Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN REFRAKSI

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 7 (TINGKAT 2B)

1. DESQIYA QATRUNNADA (P07120419044)


2. MINDRATU (P07120419052)
3. MUHAMMAD HILAL ISWANDI (P07120419053)
4. SAUSAN OKTAVIA ALZU (P07120419062)

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN PROGAM PROFESI

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “ASKEP PADA GANGGUAN REFRAKSI”. Terima kasih
kami ucapkan kepada Dosen Pengajar yang telah membantu kami baik secara moral
maupun materi. Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman seperjuangan
yang telah mendukung kami sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ini tepat waktu.

Kami menyadari, bahwa laporan yang kami buat ini masih jauh dari kata
sempurna baik segi penyusun, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca guna
menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang. Semoga
laporan ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat untuk
perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Mataram, 24 Maret 2021

Kelompok 7
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

A. Latar Belakang.................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C. Tujuan.................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 3

A. Konsep Teori....................................................................................... 3
1. Definisi Gangguan Refraksi........................................................... 3
2. Klasifikasi gangguan Refraksi........................................................ 3
3. Etiologi Gangguan Refraksi........................................................... 5
4. Patofisiologi Gangguan Refraksi.................................................... 6
5. Manifestasi Klinis Gangguan Refraksi........................................... 8
6. Komplikasi Gangguan Refraksi......................................................9
7. Pemeriksaan Penunjang Gangguan Refraksi..................................10
8. Penatalaksanaan Gangguan Refraksi..............................................12
B. Konsep Asuhan Keperawatan...........................................................14
1. Pengkajian ......................................................................................14
2. Diagnosa Keperawatan...................................................................15
3. Intervensi Keperawatan..................................................................16
4. Implementasi...................................................................................18
5. Evaluasi...........................................................................................18
BAB III PENUTUP.........................................................................................19

A. Kesimpulan..........................................................................................19
B. Saran....................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga
pembiasansinar tidak difokuskan pada retina (bintik kuning). Untuk memasukkan sinar
atau bayangan benda ke mata dibutuhkan suatu sistem optik. Diketahui bahwa bola mata
mempunyai panjang kira-kira 2.0 cm. Untuk memfokuskan sinar ke retina dibutuhkan
kekuatan 50.0 dioptri. Lensa berkekuatan 50.0 dioptri mempunyai titik api pada titik 2.0
cm (Ilyas, 2006).
Pada mata yang tidak memerlukan alat bantu penglihatan (biasa disebut mata
normal)   terdapat 2 sistem yang membiaskan sinar yang menghasilkan kekuatan 50.0
dioptri.    Kornea mata mempunyai kekuatan 80% atau 40 dioptri dan lensa mata
berkekuatan 20% atau 10 dioptri (Ilyas, 2006).
Menurut Ilyas (2006) kelainan refraksi yaitu keadaan dimana bayangan tegas
tidak dibuat pada retina. Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan sistem optic
pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Pada mata normal kornea dan
lensa membelokkan sinar pada titik fokus yang sempurna pada sentral retina.
Pada kelainan refraksi, sinar tidak dibiaskan sempurna pada retina, akan tetapi
sanggup di depan atau di belakang retina dan mungkin tidak terletak pada satu titik yang
tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia, dan astigmatisme.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja definisi dari gangguan refraksi?
2. Apa saja klasifikasi dari gangguan refraksi?
3. Apa saja etiologi dari gangguan refraksi?
4. Apa saja patofisiologi dari gangguan refraksi?
5. Apa saja manifestasi klinis dari gangguan refraksi?
6. Apa saja komplikasi dari gangguan refraksi?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang dari gangguan refraksi?
8. Apa saja penatalaksanaan dari gangguan refraksi?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada gangguan refraksi?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui definisi dari gangguan refraksi
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari gangguan refraksi
3. Untuk mengetahui etiologi dari gangguan refraksi
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari gangguan refraksi
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari gangguan refraksi
6. Untuk mengetahui komplikasi dari gangguan refraksi
7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari gangguan refraksi
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari gangguan refraksi
9. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada gangguan refraksi
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP TEORI
1. Pengertian
Gangguan refraksi mata adalah pembiasan sinar oleh media penglihatan yang
terdiri dari kornea, cairan mata, lensa, tubuh kara atau panjang  bola mata, sehingga
bayangan benda dibiaskan tidak sempurna di biaskan di kawasan macula lutea tanpa
sumbangan fasilitas , keadaan ini disebut Ametropia (Mansjoer, A : 1999). Gangguan
refraksi mata adalah penyimpangan cahaya yang lewat secara miring dari suatau
medium ke medium lain yang berbeda densitasnya. Penyimpangan tersebut terjadi
pada permukaan pembatas kedua medium tersebut yang dikenal sebagai permukaan
refraksi (Dorland, 1996).
Gangguan refraksi mata adalah suatu keadaan dimana penglihatan terganggu
karena terlalu pendek  atau terlalu panjang bola mata sehingga mencegah cahaya
terfokus dengan terang pada retina (Timby, Scherer dan Smith, 2000).

2. Klasifikasi
Klasifikasi kelainan refleks berdasarkan Timby, Scherer dan Smith, E. (2000),
yaitu :
a. Ametropia
Ametropia (mata dengan kelainan refraksi) berasal dari bahasa Yunani;
ametros, yang berarti tidak seimbang/sebanding, dan opsis, yaitu penglihatan.
Makara ametropia yaitu suatu keadaan mata dengan kelainan refraksi
dimana   mata yang dalam keadaan tanpa fasilitas atau istirahat memperlihatkan
bayangan sinar sejajar pada fokus yang tidak terletak pada retina. 
Ametropia dibedakan menjadi 4 yaitu:
1) Ametropi oksial: Ametropia yang terjadi akhir sumbu optik bola mata
lebih panjang atau pendek.
2) Ametropia refraktif: Ametropia akhir kelainan system pembiasan sinar di
dalam mata.
3) Ametropia kurvatur: Ametropia akhir kelengkungan kornea atau lensa
yang tidak normal.
4) Ametropia indeks: Ametropia lantaran indeks bias gila di dalam mata.
b. Myopia
Myopia yaitu mata denga daya lensa positif yang lebih berpengaruh sehingga
sinar yang sejajar atau tiba dari tak terhingga di fokuskan di depan retina. Myopia
dibedakan berdasarkan :
1) Menurut bentuknya myopia dibedakan menjadi 2 yaitu :
a) Myopia refraktif yaitu bertambahnya indeks bias media penglihatan ibarat
yang terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung
sehingga pembiasan lebih kuat.
b) Myopia aksial yaitu myopia akhir panjanganya sumbu bola mata, dengan
kelengkungan lensa mata dan kornea yang normal.
2) Menurut derajat beratnya myopia dibedakan sebagai berikut :
a) Myopia ringan dimana myopia kecil dari pada 1 – 3 dioptri.
b) Myopia sedang dimana myopia lebih dari antara 3 – 6 dioptri.
c) Myopia berat atau tinggi dimana myopia lebih besar dari 6 dioptri.
3) Menurut perjalanan myopia dikenal bentuk :
a) Myopia stasioner, myopia yang menetap setelah dewasa.
b) Myopia progresif, myopia yang bertambah terus menerus pada usia cukup
umur akhir bertambah panjangnya bola mata.
c) Myopia maligna atau degeneratif, myopia yang sanggup menimbulkan
ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan myopia pernisiosa ditemukan
pada semua umur dan terjadi semenjak lahir.
c. Hipermetropi
Merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar
jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titim fokusnya terletak dibelakang retina.
Hipermetropi dikenal dalam bentuk :
1) Hipermetropi manifestasi
Ialah hipermetropi yang sanggup dikoreksi dengan beling mata positif
maksimal yang memperlihatkan tajam penglihatan yang normal.
2) Hipermetropi laten
Ialah dimana kelainan hipermetropi tanpa sikloplegia (atau dengan obat yang
melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi.
3) Hipermetropi total
Hipermetropi yang ukuranya didapatkan sehabis diberikan sikloplegia (obat
tetes mata, biasanya diberikan pada anak, pemberian diberikan selama 3 hari
untuk mengetahui kelainan refraksi ).
d. Afakia
Adalah suatau keadaan dimana mata tidak mempunyai lensa sehingga
mata tersebut menjadi hipermetropi tinggi.
e. Astigmatisme
Adalah kelainan kelengkungan kornea mata. Astigmatisme dikenal dalam bentuk:
1) Astigmatisme reguler
Adalah Astigmatisme yang memperlihatkan kekuatan pembiasan bertambah
atau berkurang perlahan – lahan secara terataur dari satau meredian ke
meredian berikutnya.
2) Astigmatisme irreguler
Adalah astigmatisme yang terjadi tidak mempunyai 2 meredian yang tegak
lurus.
f. Presbiopi
Adalah gangguan fasilitas pada usia lanjut yang dpat terjadi akhir
kelemahan otot akomodasi, lensa meta tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya
akhir sclerosis lensa.

3. Etiologi
Penyebab kelainan refraksi berdasarkan Timby, Scherer dan smith. (2000) yaitu :
a. Myopia
1) Sumbu optik bola mata lebih panjang.
2) Pembiasan media penglihatan kornea lensa yang terlalu kuat.
b. Hipermetropi
1) Bola mata pendek atau sumbu anteropasterior yang pendek.
2) Kelengkungan kornea atau lensa kurang.
3) Indeks bias kurang pada sistem optik mata.
c. Afakia
Tidak adanya lensa mata.
d. Astigmatisme
1) Kelainan kelengkungan permukaan kornea.
2) Kelainan pembiasan pada miridian lensa yang berbeda.
3) Infeksi kornea.
4) Truma distrofi.
e. Presbiopi
1) Kelemahan otot akomodasi.
2) Lensa mata tidak kenyal atau berkurangnya elastisitas akhir sklerosis lensa.

4. Patofisiologi
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri
atas kornea, cairan mata, lensa, tubuh beling dan panjangnya bola mata. Pada orangn
normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata
demikian seimbang sehingga bayangan mata dibiaskan sempurna di macula lutea.
Mata normal disebut emetropia mata dengan kelainan refraksi menimbulkan sinar
normal tidak sanggup terfokus pada macula. Hal ini disebabkan oleh kornea yang
terlalu mendatar atau mencembung, bola mata lebih panjang atau pendek lensa
berubah kecembungannyaatau tidak ada lensa menimbulkan Ametropi dan bila di
akibatkan oleh elastisitas lensa yang kurang atau kelemahan otot fasilitas
menimbulkan presbiopi.
Pada Ametropi apabila bola mata lebih panjang pembiasan kornea berlebihan atau
lensa yang terlalu berpengaruh menimbulkan pembiasan terlalu berpengaruh sehingga
fokus terletak didepan retina dan penderita mengalami rabun jauh ( myopia )
sebaliknya bila bola mata terlalu pendek, indeks bias kurangatau kelengkungan
kornea atau lensa kurang maka pembiasan tidak cukup sehingga fokus dibelakang
retina dan menimbulkan rabun bersahabat ( hipermetropi ). Hipermetropi tinggi
terjadi akibat mata tidak mempunyai lensa (Afakia) apabila terjadi kelainan
kelengkungan kornea, benjol kornea, distrofi atau pembiasan lensa berbeda maka
akan menimbulkan bayangan ireguler (Astigmatisme). Pada presbiopi elastisitas lensa
yang berkurang atau kelemahan otot fasilitas menimbulkan daya fasilitas berkurang,
sehingga lensa kurang mencembung dan pembiasan kurang kuat. Untuk melihat mata
berakomodasi terus menerus sehingga terjadi ketegangan otot siliar yang
menimbulkan mata lelah, dan mata lembap jikalau menekan kelenjar air mata.
Pada ametropi fasilitas juga dilakukan terus menerus semoga mata sanggup
melihat. Hal ini menimbulkan mata lelah atau sakit, mata esotropia atau mata juling
ke dalam dan strabismus lantaran bola mata bersama – sama konvergensi, serta
glaucoma sekunder lantaran hipertrofi otot siliar pada tubuh siliar mempersempit
sudut bilik mata.
Rabun jauh atau myopia yang berjalan progresif akan menimbulkan kebutaan dan
hiperplasi pigmen epitei dan perdarahan, kebutaan sanggup terjadi lantaran digenari
macula dan retina perifer menimbulkan atrofi lapis sensori retina dan degennerasi
saraf optik. Hiperplasi pigmen epitel dan perdarahan terjadi lantaran neovaskularisasi
sub retina akhir ruptur membran bruch (Ilyas  : 1998).
5. Manifestasi Klinis
a. Myopia
1) Melihat terang bila bersahabat dan melihat jauh kabur (rabun jauh ).
2) Sakit kepala sering disertai juling.
3) Celah kelopak yang sempit.
4) Astemopia konvergensi.
5) Myopik kresen yaitu: citra bulan sabit yang terlihat pada polos posterior
fundus mata myopia yang terdapat pada kawasan pupil saraf optik akhir tidak
tertutupnya sklera oleh koroid.
6) Degenerasi macula dan retina kepingan perifer.
b. Hipermetropi
1) Penglihatan bersahabat dan jauh kabur.
2) Sakit kepala.
3) Silau
4) Diplopia atau penglihatan ganda.
5) Mata gampang lelah.
6) Sakit mata.
7) Astenopia akomodatif.
8) Ambiopia
9) Kelelahan setelah membaca.
10) Mata terasa pedas dan tertekan.
c. Afakia
1) Benda yang dilihat menjadi lebih besar 25% dibandingm ukuran sebenarnya.
2) Terdapat imbas prisma lensa tebal sehingga benda terlihat ibarat melengkung.
3) Bagian yang terang terlihat hanya kepingan sentral sedangkan penglihatan tepi
kabur.
d. Astigmatisme
1) Penurunan ketajaman mata baik jarak bersahabat maupun jauh.
2) Tidak teraturnya lekukan kornea.
e. Presbiopi
1) Kelelahan mata.
2) Mata berair.
3) Sering terasa pedas pada mata.

6. Komplikasi
Komplikasi sanggup terjadi pada kelainan refraksi menurut Ilyas, Tamzil,
Salamun dan Ashar (1981) yaitu :
a. Strabismus.
b. Juling atau esotropia.
c. Perdarahan tubuh kaca.
d. Ablasi retina.
e. Glaukoma sekunder.
f. Kebutaan
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang berdasarkan Mansjoer (1999) :
a. Pemeriksaan ketajaman penglihatan.
Dilakukan di kamar yang tidak terlalu terang dengan kartu snellen, caranya :
1) Pasien duduk dengan jarak 6 meter dari kartu snellen dengan mata tertutup
satu.
2) Pasien diminta membaca karakter yang terdapat pada kartu, mulai dari yang
paling atas ke bawah dan  tentukan baris terakhir yang bisa di baca seluruhnya
dengan benar.
3) Bila pasien tidak sanggup membaca baris paling atas ( terbesar ) maka
dilakukan uji hitung dengan uji hitung jarak 6m.
4) Jika pasien tidak sanggup menghitung jarak dari 6 m, maka jarak sanggup
dikurangi 1 m hingga jarak maksimal penguji dengan pasien 1m.
5) Jika pasien tetap tidak sanggup melihat, dilakukan uji lambaian tangan dari
jarak 1 m.
6) Jika pasien tetap tidak sanggup melihat lambaian tangan dilakukan uji dengan
arah sinar.
7) Jika penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinarmaka dikatakan
penglihatannya yaitu 0 ( nol ) buta total.
Penilaian :
1) Tajam penglihatan yaitu 6/6 berarti pasien sanggup membaca seluruh hurup
dalam kartu snellen dengan benar.
2) Bila baris yang dibaca seluruhnya bertanda 30 maka dikatakan tajam
penglihatan 6/30, berarti ia hanya bisa melihat pada jarak 6m yang oleh orang
normal karakter tersebut sanggup dilihat pada jarak 30m.
3) Bila dalam uji hitung pasien hganya sanggup melihat atau memilih dari
jumlah jari yang diperlihatkan pada jarak 3m maka dinyatakan tajam
penglihatan 3/60. jari terpisah sanggup terlihat orang normal pada jarak 60m.
4) Orang normal sanggup melihat gerakan atau lambaian tangan pada jarak 300m
bila mata hanya sanggup melihat lambaian tangan pada jarak 1m berarti tajam
penglihatan yaitu 1/300.
5) Bila mata hanya mengenal adanya sinar saja, tidak sanggup melihat lambaian
tangan maka dikatakan sebagai 1/ orang normal sanggup melihat cahaya pada
jarak yang tak terhingga.
b. Pemeriksaan kelainan refraksi.
Dilakukan pada satu mata secara bergantian, biasanya dimulai dengan mata kanan
kemudian mata kiri, dilakukan setelah tajam pemeriksaan diperiksa dan diketahui
adanya kelainan refraksi. Caranya :
1) Pasien duduk dengan jarak 6m dari kartu snellen.
2) Satu mata dututup dengan mata yang terbuka pasien diminta membaca baris
yang terkecil yang masih sanggup dibaca.
3) Pada mata yang terbuka diletakan lensa + 0,50 untuk menghilangkan fasilitas
pada ketika pemeriksaan.
4) Kemudian diletakan lensa positif tambahan, dikaji :
a) Bila penglihatan tidak bertambah baik berarti pasien tidak hipermetropi.
b) Bila bertambah terang dan dengan kekuatan lensa yang ditambah secara
perlahah-lahan bertambah baik berarti pasien mengalami hipermetropi,
lensa positif terkuat yang masih memperlihatkan ketajaman terbaik
merupakan ukuran lensa koreksi untuk mata hipermetropia tersebut.
5) Bila penglihatan tidak bertambah baik maka diletakan lensa negatif, bila
menjadi lebih terang bearti pasien mengalami myopia. Ukuran lensa koreksi
yaitu lensa negatif teingan yang memperlihatkan ketajaman penglihatan
maksimal.
6) Bila baik dengan lensa positif maupun negatif penglihatan tidak bertambah
baik  atau tidak maksimal (penglihatan tidak mencapai 6/6 ) maka akan
dilakukan ujipinhole. Letakan pinhole didepan mata yang sedang diuji dan
meminta membaca baris terakhir yang masih sanggup dilihat atau dibaca
sebelumnya bila :
a) Pinhole tidak memperlihatkan perbaikan berarti mata tidak sanggup
dikoreksi lebih lanjut lantaran media penglihatan keruh terdapat kelainan
pada retina atau syaraf optik.
b) Terjadi perbaikan penglihatan, berarti terdapat astigmatisma atau silinder
pada mata tersebut yang belum menerima koreksi.
7) Bila pasien astigmatisma maka pada mata tersebut di pasang lensa potsitif
untuk menciptakan pasien menderita kelainan refraksi astigmatismus
miopikus.
8) Pasien diminta melihat kartu kipas astigma dan ditanya garis yang paling
terang terlihat pada kartu  kipas astigma.
9) Bila perbedaan tidak terlihat lensa positf diperlemah secara perlahan  - lahan
hingga pasien melihat garis yang paling terang dan kabur.
10) Dipasang lensa silinder negatif dengan sumbu yang sesuai dengan garis
terkabur pada kipas astigma.
11) Lensa silinder negatif diperkuat sedikit demi sedikit  pada sumbu tersebut
sehingga sama jelasnya dengan garis lainya.
12) Bila sudah hingga jelasnya dilakukan tes kartu snellen kembali.
13) Bila tidak didapatkan hasil 6/6 maka mungkin lensa positif yang diberikan
terlalu berat harus dikurangi perlahan – lahan atau ditambah lensa negatif
perlahan-lahan hingga tajam penglihatan menjadi 6/6. derajat astigmat yaitu
ukuran lensa silinder negatif yang digunakan sehingga gambar kipas astigmat
terlihat sama jelas.
c. Pemeriksaan presbiopia.
Untuk lanjut usia dengan keluhan membaca dilanjutkan dengan investigasi
presbiopia caranya :
1) Dilakukan evaluasi tajam penglihatan dan dilakukan koreksi kelainan refraksi
bila terdapat myopia hipermetropia, atau astigmatisma sesuai mekanisme
diatas.
2) Pasien diminta membaca kartu pada jarak 30 – 40 cm.
3) Diberikan lensa positif mulai +1 dinaikan perlahan 2x hingga terbaca  huruf
terkecil pada kartu baca bersahabat dan kekuatan lensa ini ditentukan.
4) Dilakukan investigasi mata satu persatu. 

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan refraksi berdasarkan Satino, Ariani dan Lestari (2000).
a. Non bedah.
Gangguan refraksi harus diperbaiki semoga cahaya adapat terfokus pada
retina. Perbaikan ini sanggup memakai sebuah lensa. Jenis lensa yang digunakan
tergantung dari jenis kelainan refraksi, yaitu sebagai berikut :
1) Myopia memakai lensa konkaf atau negatif.
2) Hipermetropia memakai lensa konveks atau positif.
3) Presbiopia sanggup memakai lensa konveks tetapi jikalau pasien tidak
sanggup melihat jarak jauh, memakai lensa konkaf konveks atau lensa ganda.
4) Astigmatisma memakai lensa silinder. Lensa tersebut sanggup digunakan
dengan memakai beling mata atau lensa kontak, yaitu :
a) Kaca mata
Keuntungan :
1. Mudah digunakan
2. Harganya lebih murah dan tahan lama.
Kerugian :
1. Perubahan penampilan fisik
2. Beratnya frame pada hidung dan penurunan penglihatan periperal
lantaran penglihatan sanggup menjadi baik jikalau pasien melihat
melalui pusat lensa.
b) Contact lense atau lensa kontak merupakan diskus atau cakram lingkaran
dari plastik yang di design untuk mengistirahatkan kornea mata dan
dipasang dibawah mata. Contak lense dipasang sesuai dengan ukuran,
bentuk kornea dan kekuatan refraksi atau pembiasan yang diinginkan.
Keuntungan :
1. Model lebih simple.
2. Tidak menimbulkan gangguan penampilan peran.
3. Bisa berfungsi sebagai estetika.
Kerugian :
1. Sulit dalam perawatan.
2. Harga lebih mahal.
3. Ada jangka waktu pemakaian ( tidak tahan usang ).
b. Bedah
Pembedahan sanggup mejadi alternatif tindakan untuk kelainan refraksi. Ada
beberapa cara yaitu :
1) Radikal keratotomy yaitu operasi dengan menginsisi kornea perifer sehingga
kornea sentral menjadi datar. Hal ini menyebabkan sinar yang masuk ke mata
menjadi lebih dekat dengan retina.
2) Excimer laser (dengan sinar laser) yaitu operasi dengan menggunakan tenaga
laser untuk mengurangi kecembungannya dan dilengketkan kembali.
3) Keratomileusis yaitu bila kornea yang terlalu cembung di insisi kemudian
dikurangi kecembungannya dan dilengketkan kembali.
4) Epiratopati yaitu operasi dengan melakukan pengjahitan keratolens yaitu
operasi dengan koreksi refraksi ke kornea penderita yang telah dibuang
epitelnya.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Wawancara
Menurut Burnner dan Suddath (2000), informasi yang perlu didapatkan pada
wawancara yaitu sebagai berikut :
1) Menanyakan kepada pasien wacana sejarah penyebab  dan waktu mulai
terjadinya gangguan penglihatan tersebut. Pasien dengan diabetik mokular
edema contohnya tipe tertentu mempunyai ketajaman penglihatan naik turun.
Pasien dengan mokular degenerasi mempunyai pusat duduk masalah
ketajaman.
2) Menyanyakan kepada pasien sehubungan dengan kerusakan lapang periperal
dimana pada kondisi ini pasien akan lebih kesulitan ketika mobilisasi sehingga
ketergantungan aktifitas hidup sehari–hari (Medication Segmen) menjadi
sebuah kebiasaan (seperti merokok).
3)  Mengkaji wacana penerimaan dari keterbatasan fisik melalui penggunaan
fisual harus diidentifikasi pula mengenai pengharapan realistic darlowvition. 
4) Riwayat penyakit masa lalu : pada miopi mungkin terdapat retinitis sentralis
dan ablasioretina, sedangkan pada astigmatisma didapatkan riwayat
keratokonus dan keratektasia. Kaji pula adanya deficit vitamin A yang dapat
mempengaruhi sel batang dan kerucut serta produksi akueus tumor dan
kejernihan kornea.
5) Riwayat penyakit keluarga, umumnya didapatkan riwayat penyakit diabetes
mellitus dan pada miopi aksialis didapatkan fakta herediter.
b. Data dasar pengkajian pasien.
1) Aktifitas istirahat.
Gejala : perubahan aktifitas berafiliasi dengan penglihatan lelah bila
membaca.
2) Neurosensori.
Gejala : gangguan penglihatan kabur atau tidak terang , sinar terang yang
mengakibatkan silau.
Tanda : bilik mata dalam, pupil lebar.
3) Nyeri atau kenyamanan
Gejala : Nyeri pada mata dan sekitar mata, sakit kepala, pusing
c. Pemeriksaan fisik
Inspeksi :
1) Celah kelopak mata sempit
2) Gambaran bulan sabit pada polos posterior fundus mata
3) Tidak teraturnya lekukan kornea
4) Mata berair
5) Juling
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan persepsi sensori penglihatan berafiliasi dengan adanya perubahan
penerimaan sensor.
b. Nyeri akut berafiliasi dengan adanya distributor cidera biologi.
c. Resiko tinggi cidera berafiliasi dengan hilangnya keseimbangan.
3. Intervensi
a. Gangguan persepsi sensori penglihatan berafiliasi dengan adanya perubahan
penerimaan sensor
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan stimulus penglihatan  yang diterima dapat sesuai dengan
kenyataannya.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien bisa mengidentifikasi diri sendiri.
b) Pasien bisa mengidentifikasi orang lain.
c) Pasien bisa mengidentifikasi tempat ketika ini.
d) Pasien bisa mengidentifikasi hari, bulan, tahun, dan demam isu yang
benar.
3) Intervensi :
a) Beri sumbangan dalam pembelajaran dan penerimaan metode alternatif
untuk menjalani hidup dengan kurangnya  fungsi penglihatan.
b) Manipulasi lingkungan sekitar pasien senyaman mungkin.
c) Tingkatkan penglihatan pasien yang masih tersisa dengan
mengoptimalkan pencahayaan.
d) Jangan memindahkan barang-barang di dalam kamar pasien untuk
mempermudah pasien menemukan barang yang dibutuhkan.
e) Pastikan penggunaan alat bantu sensori ibarat alat bantu dengar dan
kacamata.
b. Nyeri akut berafiliasi dengan adanya distributor cidera biologi.
1) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam
diharapkan pasien bisa mengotrol nyeri.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien mengetahui penyebab dari nyerinya.
b) Pasien sanggup mendeteksi dengan segera adanya serangan nyeri.
c) Pasien sanggup mengurangi nyeri dengan tanpa memakai obat –obatan
anti nyeri.
d) Pasien sanggup memakai obat–obatan anti nyeri sesuai resep yang
dianjurkan.
e) Pasien melaporkan nyeri terkontrol.
3) Intervensi :
a) Observasi karakteristik nyeri (penyebabnya, kualitasnya, skalanya, waktu
terjadinya, arealnya dan frekuensinya)
b) Kontrol kondisi lingkungan semoga tercipta lingkungan yang nyaman
(suhu udara, kebisingan, kepadatan jumlah pengunjung)
c) Dorong pasien untuk sanggup mengontrol nyerinya sendiri ketika nyeri
menyerang dan memilih tindakan yang tepat.
d) Dorong pasien untuk banyak beristirahat guna mengurangi nyeri.
e) Ajarkan teknik non farmakologi
f) Ajarkan teknik relaksasi setiap kali timbul nyeri
g) Kolaborasi dengan medis untuk pemberian obat–obatan anti nyeri.
c. Resiko tinggi cidera berafiliasi dengan hilangnya keseimbangan.
1) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam
diharapkan pasien sanggup mengontrol factor cidera kare keterbatasan
penglihatanya dengan
2) Kriteria hasil :
a) Pasien bisa mendeteksi penyebab dari kerusakan penglihatanya.
b) Pasien bisa menggunakanalat bantu penglihatan
c) Pasien bisa memakai obat–obatan untuk mata.
d) Pasien bisa memonitor penyebab terjadinya cidera yang ada di
lingkunganya.
e) Pasien bisa melaksanakan aktifitas dengan lancar dengan sumbangan
cahaya yang adekuat.
3) Intervensi :
a) Identifikasi resiko yang meningkatkan kerentanan terhadap cidera.
b) Hindari acara yang mengakibatkan cidera fisik.
c) Pantau faktor resiko sikap langsung dan lingkungan.
d) Mengembangkan dan mengikuti taktik pengendalian resiko.
e) Mengubah gaya hidup untuk mengurangi resiko injuri.

4. Implementasi Keperawatan
Pelaksnaan keperawatan merupakan tindakan mandiri dasar berdasarkan
ilmiah, masuk akaldalam melaksanakan yang bermanfaat bagi klien yang antipasi
berhubungan dengan diagnose keperawatan dan tujuan yang telah ditetapkan.
Pelaksanaan merupakan pengelolaan dan pewujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan.Tindakan keperawatan pada
kien dapat berupa tindakan mandiri atau tindakan kolaborasi.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan
proses yangdilakukan dalam menilai keberhasilan suatu tindakn keperawatan dan
menentukan seberapa jauh tujuan sudah dicapai. Evaluasi merupakn aspek penting
daam proses keperawatan, karenamenghasilkan kesimpulan apakah intervensi
keperawatan diakhiri atau dilanjutkan kembali atau dimodifikasi.
Dalam evaluasi prinsip obyektifias, rehabilitas, dan validasi
dapatdipertahankan agar kepustakan yang diambil tepat. Evaluasi proses keperawatan
ada 2 yaitu :
a. Evaluasi proses adalah evaluasi yang dilakukan segera setelah tindakan dilakukan dan
didokumentasikan pada catatan keperawatan.
b. Evaluasi akhir adalah evaluasi yangdilakukan untuk mengukur sejauh mana
pencapaian tujuan yang ditetapkan dan dilakukan pada akhir asuhan. 
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Gangguan refraksi mata adalah penyimpangan cahaya yang lewat secara miring
dari suatau medium ke mediuGm lain yang berbeda densitasnya. Penyimpangan tersebut
terjadi pada permukaan pembatas kedua medium tersebut yang dikenal sebagai
permukaan refraksi (Dorland, 1996; 1591 ). Terdapat 2 gangguan refraksi mata yaitu
ametropia dan presbiopi. Ametropia dibagi lagi menjadi 4 macam yaitu, miopi,
hipermetropi, afakia, dan astigmatisme. Etiologi dan manifestasi klinis dari gangguan
refraksi mata tergantung dari jenis refrakasi mata itu sendiri.
Adapun komplikasi dari gangguan refraksi mata antara lain Strabismus, Juling
atau esotropia, perdarahan tubuh kaca, ablasi retina, glaukoma sekunder,
kebutaan. Terdapat 3 penatalaksanaan untuk pasien dengan gangguan refraksi mata yaitu
non bedah, bedah dan mekanisme bedah.

B. SARAN
Mencegah lebih baik daripada mengobati, salah satunya adalah menjaga kondisi
mata kita agar tetap dalam keadaan yang sehat, sering makan buah dan sayuran segar
terutama yang mengandung vitamin A. Jika sudah terlanjur, maka sebaiknya segera
periksakan dan dan obati agar tidak agar semakin parah.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner Suddarth. 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta.


Doenges, Marilyn E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Ed. 3. EGC. Jakarta.
Ilyas,Sidarta. Muzakkir Tanzil. Salamun. Zainal Azhar. 2003. Sari Ilmu Penyakit Mata. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
Makalah Gangguan Refraksi. 2013. aciknadzirah.blogspot.com/search?q=-makalah-gangguan-
refraksi-mata_21. Accessed 23 maret 2021.

Anda mungkin juga menyukai