Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam bidang oftalmologi, biometri adalah alat yang digunakan untuk mengukur
kekuatan lensa intraokuler (IOL) yang akan diimplantasikan pada pasien yang akan
menjalani operasi katarak.1 Ada tiga faktor utama yang sangat menentukan akurasi dari
kekuatan IOL, yaitu panjang bola mata (axial length), kurvatur kornea yang sekaligus
menentukan power refraksi kornea dan posisi IOL.2 Operasi katarak dilakukan dengan
sebelum tahun 1949 meninggalkan pasien dalam keadaan afakia. Keadaan ini
mengharuskan pasien untuk menggunakan kacamata afakia yang berat dan menyebabkan
pembesaran serta distorsi bayangan. Penemuan Lensa Intraokuler Oleh Harold Ridley,
seorang dokter mata di inggris bermula di bulan Agustus 1940, Letnan Gordon Cleaver,
seorang penerbang dari angkatan Udara yang sedang bertugas pada perang Dunia ke 2,
lupa untuk memakai kacamata penerbangannya sebelum terbang dan mengalami
kecelakaan dimana tembakan peluru melewati sisi kokpit dan menghancurkan jendela
Perspex (memiliki bahan dasar dari PMMA) sehingga sebuah fragmen kecil dari pecahan
jendela Perspex masuk ke matanya. Cleaver memiliki banyak operasi di wajahnya, tetapi
operasi Dr Harold Ridley adalah untuk mengubah sejarah medis. Ketika bahan Perspex di
keluarkan dari mata Cleaver, tidak ditemukan adanya peradangan ataupun respon tubuh bila
ada benda asing(sebagaimana biasanya terhadap bahan-bahan seperti kayu atau logam).
Ridley mulai berpikir: jika kita bisa mengambil Perspex dari mata dan tidak didapatkan
peradangan, maka secara biologis tidak ada alasan untuk tidak menempatkan bahan
tersebut di dalam mata. Implantasi lensa intraokuler pertama kali dilakukan oleh Harold
Ridley pada tahun 1949. Ternyata memberikan hasil yang cukup mengejutkan oleh karena
kekuatan lensa yang ditanam ternyata sangat berlebihan dan menyebabkan over koreksi.
Pasca operasi diperoleh hasil sferis -12,00 dioptri dengan silindris +6,00 dioptri aksis 30
derajat.. Kejadian ini mendorong dilakukannya beberapa penelitian yang bertujuan untuk
memperkirakan kekuatan lensa intraokuler yang akan diimplantasikan. Mengingat pada saat
itu belum ada teknologi ultrasound untuk mengukur panjang bola mata (axial length), maka
1
belum ada formula perhitungan kekuatan lensa intraokuler yang dapat dikembangkan.
Adanya keterbatasan teknologi pada masa itu menyebabkan dokter mata
menggunakan lensa intraokuler yang standar dengan kekuatan 18,00 dioptri untuk semua
pasien. Namun, tidak jarang ditemukan kelainan refraksi pasca operasi yang cukup besar
pada pasien-pasien dengan miopia maupun hipermetropia tinggi. Berdasarkan temuan
tersebut, maka metode yang selanjutnya dikembangkan adalah dengan ikut
memperhitungkan status refraksi pasien sebelum operasi. Untuk setiap 1 dioptri dari ukuran
kacamata minus yang digunakan oleh pasien, akan dikurangi 1,25 dioptri dari ukuran lensa
standar (18,00 dioptri). Sebaliknya, untuk setiap 1 dioptri dari ukuran kacamata yang

1
digunakan oleh pasien hipermetropia, akan ditambahkan 1,25 dioptri dari ukuran lensa
standar. 1
Penggunaan retinoskopi streak sebagai salah satu metode yang dicobakan pada
saat operasi juga pernah dicoba, yaitu setelah katarak dikeluarkan dan media refrakta telah
jernih. Menentukan kekuatan lensa intraokuler yang akan ditanamkan cukup dengan
menambahkan nilai konstanta 9 dari hasil pemeriksaan retinoskopi streak. Bila hasil
pemeriksaan retinoskopi streak saat operasi adalah 10 dioptri, maka kekuatan lensa
intraokuler yang harus ditanam adalah 19 dioptri. Berbagai metode yang disebutkan di atas
tentu saja memberikan hasil yang tidak akurat, hingga akhirnya berkembang berbagai
1
formula perhitungan kekuatan lensa intraokuler yang kita kenal sekarang ini.
Berbagai metode tersebut belum memberikan hasil yang akurat, sampai akhirnya
ditemukan penggunaan mesin ultrasound biometry. Tidak jelas siapa yang
menjadi pendahulu dalam penggunaan ultrasound dalam bidang oftalmologi. Sebuah
catatan menyatakan bahwa Jan Worst dari Belanda sudah menggunakan mesin ultrasound
pada tahun 1972, dimana mesin tersebut belum diperuntukkan khusus untuk mata, sehingga
perlu kaliper dan berbagai perhitungan untuk mengetahui panjang bola mata yang
sesungguhnya. Penggunaan mesin biometri A-Scan menjadi popular setelah Kenneth Hoffer
mem-perkenalkannya di Amerika Serikat pada tahun 1974. Sejak itu, penggunaan lensa
intraokuler semakin berkembang. Demikian pula penelitian-penelitian mengenai formula
1
perhitungan kekuatan lensa intraokuler.
Pada sari pustaka ini akan dibahas mengenai perkembangan pemeriksaan biometri
dari masa ke masa dan perhitungan kekuatan lensa intraokuler, serta penggunaannya pada
pasien-pasien dalam keadaan khusus.

2
BAB II

PERKEMBANGAN PEMERIKSAAN BIOMETRI

Pada saat ini, operasi katarak telah memberikan hasil yang sangat me-muaskan.
Hal ini tidak terlepas dari adanya perkembangan pada pemeriksaan biometri. Ketepatan
pengukuran panjang bola mata sebelum operasi sangat menentukan ketepatan perhitungan
kekuatan lensa intraokuler. Gangguan refraksi yang ditemukan setelah operasi paling
banyak berhubungan dengan kesalahan pada pengukuran panjang bola mata, yaitu sekitar
54% dari sejumlah kasus, sementara sisanya sebesar 8% berhubungan dengan kesalahan
pengukuran kekuatan refraktif kornea dan 38% berhubungan dengan kesalahan perkiraan
kedalaman bilik mata depan setelah operasi. 2,3
Pemeriksaan biometri telah mengalami perkembangan yang nyata sejak
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1975. Saat itu, pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan gelombang suara untuk mengukur panjang bola mata. Di awal tahun 2000,
pemeriksaan biometri mengalami kemajuan yang sangat besar dengan dikembangkannya
1,4
teknik pengukuran kekuatan lensa intraokuler menggunakan gelombang laser.

II.1 ULTRASOUND BIOMETRY (A-SCAN BIOMETRY)


Suara merambat dalam bentuk gelombang. Gelombang suara yang dapat didengar
oleh telinga manusia berada pada frekuensi 20 Hz – 20.000 Hz. Ultrasound suatu keadaan
dimana gelombang suara memiliki frekuensi lebih dari 20.000Hz. Dalam bidang oftalmologi,
ultrasound biometry (baik A-scan maupun B-Scan) kebanyakan menggunakan frekuensi 10
MHz.4

Kecepatan rambat suara ditentukan oleh media rambat yang dilaluinya. Suara
merambat lebih cepat pada media yang padat dibanding media yang cair, hal ini merupakan
prinsip penting untuk dipahami oleh karena mata terdiri atas komponen padat dan cair.
Dalam A-scan biometry, gelombang suara berjalan melalui kornea yang solid, humor aquos
yang cair, lensa yang solid, vitreus, retina, koroid, sclera dan jaringan orbita, sehingga
kecepatan rambat gelombang suara berubah-ubah. 4,5

Prinsip pengukuran panjang bola mata dengan A-Scan Biometry adalah


berdasarkan waktu yang diperlukan oleh gelombang suara saat dikeluarkan oleh transmitter
probe hingga mencapai target dan kembali ke receiver probe. Mata terdiri dari berbagai
struktur dengan densitas yang berbeda-beda, sehingga kecepatan gelombang suara yang
melewatinya juga akan berubah-ubah. (tabel 1). Dengan mengetahui kecepatan gelombang
suara saat melewati masing-masing struktur tersebut, maka panjang bola mata pun dapat
diukur. 1,4,5
TABEL 1. KECEPATAN RAMBAT GELOMBANG SUARA

3
PADA BERBAGAI MEDIA1,4,5,6

MEDIA KECEPATAN

Kornea dan lensa 1461


Akuous dan vitreus 1532
Lensa nomal 1550-1555
Lensa katarak 1640
Sillicone Oil 987
IOL PMMA 2381-2720
IOL Sillicone 980-1000
IOL Acrylic 2026

A-Scan Biometry dapat dilakukan dengan menggunakan 2 teknik, yaitu (1)


Aplanasi dan (2) Imersi. Teknik Imersi dinilai sedikit lebih akurat dibandingkan teknik
aplanasi karena ultrasound probe tidak menyentuh kornea sehingga menghindari
penekanan yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran panjang bola mata. Sayangnya,
teknik imersi ini dianggap kurang praktis karena membutuhkan waktu pemeriksaan yang
lebih lama. 1,7,8

II.1.1 TEKNIK APLANASI


Teknik aplanasi A-Scan biometry ditandai dengan probing ultrasound yang
ditempatkan secara langsung pada permukaan kornea. 6,7 Pemeriksaan dimulai dengan
meneteskan anestesi topikal pada mata yang akan diperiksa. Ultrasound probe dipegang
dengan tangan, kemudian ujungnya disentuhkan pada kornea dalam posisi tegak lurus.
Idealnya, sebuah probe memiliki lampu di tengah yang akan menjadi titik fiksasi mata
pasien. Pada saat ujung probe akan disentuhkan pada kornea, pasien diminta menatap
lampu fiksasi dan operator menyentuhkan ujung probe pada refleks kornea yang ditimbulkan
oleh lampu fiksasi tersebut. 5

Gambar 1. Teknik Aplanasi A-Scan Biometry

4
Pada teknik aplanasi, ultrasound probe diposisikan hingga terjadi kontak langsung
dengan kornea. Gelombang suara kemudian meninggalkan transduser dan melewati
berbagai struktur di mata yang memiliki densitas yang berbeda. Hal ini akan menimbulkan
sejumlah echo, yang kemudian akan diterima oleh probe. Berdasarkan pada waktu
timbulnya echo dan kecepatan gelombang suara melewati struktur tersebut, perangkat lunak
biometri akan menyusun suatu echogram. 4,5
Pada mata dengan lensa kristalina, echogram memiliki 6 gelombang, dimana
masing-masing akan mewakili : (a) ujung probe dan kornea, (b) kapsul anterior lensa, (c)
kapsul posterior lensa, (d) retina, (e) sklera, dan (f) lemak orbita (gambar 2). Panjang aksis
bola mata merupakan hasil penjumlahan kedalaman bilik mata depan (a-b), ketebalan lensa
(b-c), dan kavum vitreus (c-d). 4,5

s
Gambar 2. Echogram A-Scan Biometry dengan teknik aplanasi 4,5

Karakteristik A-Scan yang baik:

Terdapat 5 buah echo:


 Echo kornea yang tinggi
 Echo yang tinggi dari lensa bagian anterior dan posterior lensa
 Echo retina yang tinggi dengan bentuk yang langsung tegak lurus
 Echo yang tidak terlalu tinggi dari sclera
 Echo yang rendah yang berasal dari lemak orbita

Tinggi echo yang baik:


 Ketinggian echo dari bagian anterior lensa harus lebih dari 90%
 Echo yang berasal dari posterior lensa tingginya antara 50-75%
 Echo retina mempunyai tinggi yang lebih dari 75%

5
1
Gambar 3 : Contoh hasil pemeriksaan A-Scan yang baik

1
Gambar 4 : Contoh hasil pemeriksaan A-Scan yang buruk

Pada gambar di atas, tampak bahwa echo lensa bagian anterior tidak terlalu tinggi,
demikian juga dengan echo lensa posterior. Echo retina juga tidak naik dengan tegak lurus,
dimana hal ini menunjukkan bahwa posisi probe ultrasound tidak tegak lurus dengan aksis
visual mata. Jika tidak terdapat gambaran echo lemak orbita di belakang echo retina, hal ini
menunjukkan bahwa pemeriksaan tersebut tidak pada daerah makula melainkan pada
1
daerah nervus optik, sehingga ukuran axial length (AXL) yang diperoleh tentu tidak benar.
Teknik aplanasi memerlukan kontak langsung dengan permukaan kornea sehingga
terjadi penekanan yang akan mengakibatkan pemendekan dari panjang bola mata, yaitu
berkisar antara 0,14 hingga 0,33 mm. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa kesalahan
pengukuran sebesar 0,1 mm akan mengakibatkan gangguan refraksi pasca operasi sekitar
0,25 dioptri. Oleh karena itu, teknik pengukuran tanpa adanya kontak langsung dengan
kornea mulai dikembangkan.4
Teknik applanasi diyakini mempunyai akurasi yang cukup baik jika dilakukan pada pasien
dengan posisi tegak (duduk) dibandingkan hasil yang diperoleh dengan applanasi ketika
pasien berbaring.

6
II.1.2 TEKNIK IMERSI
Teknik imersi mulai dikembangkan seiring dengan kebutuhan akan hasil
pemeriksaan panjang bola mata yang akurat. A-Scan biometry dengan menggunakan teknik
imersi akan menunjukkan axial length lebih panjang dibandingkan teknik aplanasi oleh
karena tidak terdapatnya kompresi pada kornea sehingga axial length yang diperoleh lebih
akurat. Teknik imersi ini menggunakan ”prager scleral shell”. Meskipun prinsip dari imersi
biometry sama dengan aplanasi biometry akan tetapi tekniknya sedikit berbeda. 1

Gambar 5 : Prager shell.9

Teknik ini menggunakan penampang kecil berisi air untuk menghindari


penempatan probe langsung pada kornea. Jika dilakukan dengan benar, penekanan pada
kornea akan dapat dikurangi sehingga kesalahan pengukuran panjang bola mata juga
dihindari. 4,9

Gambar 6: Teknik Imersi A-Scan Biometry


Cara pemeriksaan:

Pasien berbaring terlentang dengan penampang plastik yang diletakkan pada
permukaan kornea.

Penampang tersebut lalu diisi dengan sejumlah cairan/BSS yang akan meneruskan
gelombang suara yang dilepaskan oleh probe ke dalam mata.

7

Echogram yang dihasilkan oleh teknik pemeriksaan ini akan memberikan sebuah
gelombang tambahan, yaitu gelombang a yang mewakili ujung probe yang
sekarang terpisah dengan kornea yang diwakili oleh gelombang b (gambar 7). 4

Gambar 7. Perbandingan echogram pada teknik aplanasi dan teknik imersi 4


Dengan menggunakan A-Scan ultrasound biometry, mata dibagi atas tiga
kompartemen, yaitu :

(1). Bilik mata depan (Anterior Chamber Depth / ACD) merupakan jarak antara permukaan
anterior kornea dan permukaan anterior lensa.

(2). Ketebalan lensa (Lens Thickness / LT), merupakan jarak antara permukaan anterior
lensa dan permukaan posterior lensa.

(3). Kedalaman corpus vitreus, jarak antara permukaan posterior lensa dengan permukaan
anterior kornea.

Sedangkan axial length merupakan jarak permukaan anterior kornea dengan


permukaan anterior retina. Hasil pengukuran-pengukuran tersebut dapat dilihat langsung
pada layar monitor atau dapat dihitung berdasarkan skala yang terdapat di bagian bawah
sumbu X pada layar dalam satuan milimeter. 9 Namun hasil pengukuran dengan
menggunakan teknik aplanasi memberikan hasil yang tidak konsisten dibanding teknik
imersi.

8
Gambar 8 : Perbandingan hasil pengukuran pada teknik aplanasi dan imersi A-Scan
biometry.7,11

Pada gambar di atas terlihat bahwa hasil pengukuran dengan menggunakan


teknik aplanasi menunjukkan variasi dari satu pengukuran ke pengukuran berikutnya akibat
adanya penekanan kornea yang tidak konsisten, sedangkan pada teknik imersi tampak hasil
pengukuran yang konsisten.1,7,11

II.2 OPTICAL BIOMETRY

Optical biometry bersifat non-kontak dan telah terbukti keakuratannya dalam


mengukur axial length dan juga sekaligus mengukur radius kurvatur kornea (corneal power)
dan bilik mata depan, sehingga dalam satu kali pemeriksaan dalam waktu yang singkat (1
menit) dapat diperoleh ukuran power IOL. Sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun
2000, optical biometry telah digunakan secara luas menggantikan ultrasound biometry. Alat
1,4
ini terbukti lebih akurat dalam mengukur panjang bola mata.

II.2.1 PARTIAL COHERENCE INTERFEROMETRY (PCI)


Alat optical biometry pertama yang menggunakan partial coherence interferometry
dikenal sebagai IOL Master (Carl Zeiss Meditec AG). Alat ini merupakan alat optik non
4,10,11
kontak yang mengukur jarak antara puncak kornea dengan lapisan epitel pigmen retina.

9
Gambar 9. IOL Master 10

Keunggulan IOL Master adalah memiliki ketepatan pengukuran hingga ± 0,02 mm,
lima kali lebih baik dibandingkan alat ultrasound yang hanya memiliki ketepatan pengukuran
0,10-0,12 mm. Perbedaan ini terjadi oleh karena IOL Master menggunakan cahaya koheren
dengan panjang gelombang yang lebih pendek dibanding ultrasound sehingga panjang bola
mata diukur dari kornea sampai lapisan RPE di fovea dan bukan terhadap membrana
limitans interna seperti pada alat ultrasound. Hal ini akan memberikan perbedaan sekitar
4,10,11
130 um yang berhubungan dengan ketebalan retina di fovea.

Gambar 10. Perbedaan prinsip pengukuran panjang bola mata


antara alat ultrasound dengan IOL Master
Sistem pengukuran IOL Master menggunakan sinar inframerah dengan panjang
ge-lombang 780 nm yang ditransmisikan ke bola mata menggunakan interferometer
Michelson. Sinar inframerah tersebut lalu dipantulkan kembali oleh epitel pigmen retina dan
diterima oleh interferometer yang akan menghitung besar kekuatan lensa intraokuler yang
dibutuhkan. Oleh karena menggunakan sinar inframerah, alat ini dapat digunakan untuk
mengukur panjang bola mata pada keadaan pseudophakia, aphakia, maupun mata dengan
4,5
silicon oil tanpa perlu mengubah kecepatan seperti pada alat ultrasound A-Scan.
Teknik pengukuran secara non kontak memberikan beberapa keuntungan seperti
tidak dibutuhkannya anestesi topikal dan tidak adanya resiko trauma maupun infeksi pada

10
kornea. Selain itu, hasil pengukuran menggunakan IOL Master lebih sedikit dipengaruhi oleh
operator dibandingkan alat ultrasound. 4,6
Namun, alat ini juga memiliki beberapa keterbatasan, yaitu tidak dapat di-gunakan
pada mata yang memiliki katarak yang sangat padat, maupun pada keadaan dimana
terdapat kekeruhan media refrakta. Selain itu, pengukuran juga tidak dapat dilakukan pada
pasien yang kesulitan untuk menetapkan titik fiksasi, misalnya pasien dengan nistagmus,
maupun pada pasien yang tidak kooperatif, misalnya anak-anak atau pasien yang
mengalami retardasi mental. 4,5,12

Gambar 11. Perbandingan hasil pemeriksaan IOL Master


13
Pada media yang jernih dan pada katarak yang padat

II.2.2 OPTICAL LOW-COHERENCE REFLECTOMETRY (OLCR)


Tahun 2008, sebuah alat biometri yang menggunakan optical low-coherence
reflectometry (OLCR) diperkenalkan dengan menggunakan nama Lenstar LS 900 (Haag
Streit AG). Selain mengukur panjang bola mata, alat ini juga mengukur kedalaman bilik mata
depan, ketebalan kornea, lensa, dan retina, keratometri, ukuran pupil, dan diameter kornea
(white to white distance). Seluruh parameter tersebut diukur hanya dengan satu langkah
14
sehingga waktu pemeriksaan akan lebih singkat.

Gambar 12. Lenstar LS 900


Dalam mengukur panjang bola mata, alat ini menggunakan sumber cahaya berupa
diode superluminisens dengan panjang gelombang 820 nm. Dengan menggunakan prinsip

11
OLCR, alat ini juga mengukur kedalaman bilik mata depan dari endotel kornea ke kapsul
anterior lensa. Berbeda dengan alat PCI yang menggunakan slit illumination dalam
memperkirakan kedalaman bilik mata depan. Sebagai tambahan, baik PCI maupun OLCR
sama-sama menggunakan analisis gambar dalam mengukur keratometri dan white to white
distance. 15
Suatu penelitian yang membandingkan akurasi pengukuran lensa intraokuler
menggunakan kedua alat optical biometry tersebut, menemukan bahwa panjang bola mata
dan kedalaman bilik mata depan yang diukur menggunakan OLCR secara statistik lebih
besar dibanding hasil pengukuran yang menggunakan PCI. Selain itu, nilai keratometri juga
memberikan sedikit perbedaan. Namun secara klinis, saat nilai-nilai tersebut digunakan
dalam perhitungan kekuatan lensa intraokuler, perbedaan yang diperoleh tidak signifikan.
Penelitian lain membanding-kan waktu yang dibutuhkan oleh kedua alat dalam proses
pengukuran. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan dalam
pemeriksaan meng-gunakan PCI lebih singkat dibandingkan OLCR. Sebagai tambahan,
media refrakta yang keruh yang merupakan kelemahan dalam pengukuran menggunakan
PCI juga menjadi kelemahan pada

BAB III
PERHITUNGAN KEKUATAN LENSA INTRAOKULER

Penanaman IOL sebagai ganti lensa setelah pengankatan katarak telah


mengalami peningkatan yang signifikan. Beberapa teknik pengukuran pada struktur bola
mata sangat membantu dalam menentukan kekuatan lensa intraokuler yang sesuai
sehingga akan tercapai hasil refraksi yang diharapkan. Pengukuran tersebut antara lain
kekuatan refraksi kornea sentral (K-readings), panjang bola mata (biometri), diameter kornea
horizontal (white to white distance), kedalaman bilik mata depan, ketebalan lensa, dan status
refraksi sebelum operasi. Ketepatan dalam memprediksi kekuatan lensa intraokuler yang
dibutuhkan, berhubungan secara langsung dengan ketepatan dalam melakukan
16
pengukuran-pengukuran tersebut.

12
III.1 PRINSIP PERHITUNGAN KEKUATAN LENSA INTRAOKULER
Prinsip perhitungan kekuatan lensa intraokuler dibedakan ke dalam dua golongan
besar, yaitu theoretical formula yang diperoleh dari perhitungan matematis dari prinsip-
prinsip teori optik pada mata, dan regression formula yang diperoleh dari analisis sejumlah
besar kasus secara retrospektif. 1,4

III.1.1 THEORETICAL FORMULA


Dasar formula ini didasarkan pada sistem kekuatan dua lensa, yaitu kornea dan
lensa intraokuler dalam memfokuskan cahaya dari jarak yang tak terhingga ke retina. Untuk
mendapatkan hasil refraksi yang emetrop, maka kekuatan lensa intraokuler yang dibutuhkan
adalah :

di mana, P=
P : kekuatan lensa intraokuler
L : panjang bola mata
K : kekuatan refraksi kornea dalam dioptri
c : perkiraan kedalaman bilik mata depan pasca operasi,
dikenal juga sebagai effective lens position (ELP)
n : indeks refraksi dari humor akuous dan vitreus, yaitu sebesar 1,336

Perhitungan teoritis ini membuat penyederhanaan terhadap prinsip optik dari mata
sehingga memberikan prediksi yang cukup baik namun tidak sempurna mengenai kekuatan
lensa intraokuler. 6,17
Fyodorov pertama kali memperkirakan kekuatan lensa intraokuler dengan
menggunakan formula ini pada tahun 1967. Antara tahun 1972 dan tahun 1975 saat
pengukuran panjang bola mata menggunakan ultrasound telah tersedia, beberapa peneliti
seperti Thijssen, Colenbrander, dan van der Heijde mulai mengembangkan dan
mempublikasikan formula-formula lainnya. Semua formula tersebut pada dasarnya sama,
kecuali sedikit perbedaan pada pemilihan ketebalan retina dan indeks refraksi dari kornea.
Satu-satunya variabel yang tidak dapat dipilih atau dihitung sebelum operasi dilakukan
adalah ELP. Variabel inilah yang kemudian menentukan keberhasilan dalam perkembangan
perhitungan kekuatan lensa intraokuler selama 30 tahun berikutnya. .6,16,17
Hal yang menjadi masalah dalam theoretical formula adalah kesulitan dalam
memperoleh panjang aksis bola mata yang akurat. Densitas dari lensa yang katarak sangat
bervariasi sehingga kecepatan ultrasound yang dibutuhkan pun tidak dapat diketahui secara
pasti. Sebagai contoh, saat mengukur katarak dengan densitas yang lebih tinggi

13
dibandingkan densitas katarak rata-rata, maka energi suara akan bergerak lebih cepat dan
menghasilkan aksis bola mata yang lebih pendek. Akibatnya, hasil perhitungan kekuatan
lensa intraokuler akan menjadi lebih besar dan pasien akan menjadi lebih miopia setelah
operasi. 6
Selain kesulitan dalam memperoleh panjang aksis bola mata yang akurat, beberapa
kelemahan dalam formula ini juga mengakibatkan kesalahan dalam perhitungan kekuatan
lensa intraokuler. Kelemahan tersebut adalah :
1. Kedalaman bilik mata depan setelah operasi tidak dapat diperkirakan hanya
berdasarkan kedalaman bilik mata depan sebelum operasi.
2. Indeks refraksi kornea yang digunakan untuk mengubah kurvatur kornea anterior
(dalam mm) menjadi kekuatan refraksi kornea (dalam dioptri) hanya merupakan
hipotesis.
3. Pengukuran panjang aksis bola mata dilakukan mulai pada pertemuan vitreoretina dan
bukan pada lapisan sensoris retina.
5
4. Kurvatur kornea dapat mengalami perubahan akibat operasi yang dilakukan.

III.1.2. REGRESSION FORMULA


Dasar formula ini berasal dari data empiris yang diolah berdasarkan analisis
retrospektif dari status refraksi pasien yang telah menjalani operasi implantasi lensa
intraokuler. Data yang diperoleh diolah dengan memperhitungkan kekuatan refraksi kornea,
panjang bola mata, dan kekuatan lensa intraokuler yang memberikan hasil akhir yang
emetropia. Persamaan perhitungan yang paling tepat kemudian ditetapkan berdasarkan
prosedur statistik. Perhitungan kekuatan lensa intraokuler menggunakan formula ini dapat
dilakukan dengan lebih akurat oleh karena didasarkan pada analisis status refraksi yang
6
nyata setelah implantasi lensa intra-okuler.
Regression formula menghitung kekuatan lensa intraokuler secara linear berdasarkan
hasil implantasi lensa intraokuler sebelumnya. Oleh karena itu, bila dibandingkan dengan
theoretical formula, formula ini cenderung memberikan perhitungan kekuatan yang lebih
rendah pada lensa dengan kekuatan refraksi yang terlalu tinggi, dan sebaliknya memberikan
perhitungan kekuatan yang lebih tinggi pada lensa dengan kekuatan refraksi yang terlalu
rendah. Sebagai contoh, jika theoretical formula memperkirakan kekuatan lensa yang harus
digunakan sebesar 28 dioptri, maka regression formula akan memperkirakan kekuatan lensa
yang digunakan sebesar 26 dioptri. Sebaliknya pada lensa dengan kekuatan refraksi yang
rendah, jika theoretical formula memperkirakan kekuatan lensa yang harus digunakan
sebesar 10 dioptri, maka regression formula akan memperkirakan kekuatan lensa sebesar
12 dioptri. 6,17
Grafik pada gambar 13 memperlihatkan perbedaan perhitungan kekuatan lensa
intraokuler antara formula Colenbrander (theoretical formula) dan formula SRK I (regression
formula) berdasarkan panjang bola mata. Perhitungan kekuatan lensa intraokuler antara
kedua formula memberikan hasil yang hampir sama pada panjang bola mata antara 23 dan

14
24 mm. Namun formula SRK I memberikan kekuatan yang lebih besar pada mata dengan
6,17
aksis yang panjang dan lebih lemah pada mata dengan aksis yang pendek.

Gambar 13. Perhitungan kekuatan lensa intraokuler


17
berdasarkan theoretical formula dan regression formula.

III.2 PERKEMBANGAN FORMULA LENSA INTRAOKULER

Berdasarkan perkembangannya, formula lensa intraokuler dapat dike-lompokkan


mulai dari generasi pertama sampai dengan generasi keempat yang paling mutakhir dan
lazim digunakan saat ini.

III.2.1 FORMULA LENSA INTRAOKULER GENERASI PERTAMA


Semua formula lensa intraokuler yang muncul pada era sebelum tahun 1980-an,
baik theoretical formula maupun regression formula, dikelompokkan ke dalam formula
generasi pertama. Beberapa tokoh theoretical formula yang dapat disebutkan antara lain:
Fyodorov (1967), Colenbrander (1972), Thijssen (1975), Van der Heijde (1975), Hoffer
(1974), dan Binkhorst (1975). Sedangkan tokoh regression formula antara lain: Lioyd & Gills
1,5,17
(1978) dan Retzlaf, Sanders, & Kraff (1980).

Formula Binkhorst
Formula Binkhorst merupakan theoretical formula yang paling terkenal. Formula ini
menggunakan indeks refraksi kornea sebesar 1,333. Hal ini didasarkan pada perubahan

15
kurvatur kornea yang menjadi lebih datar akibat pembedahan. Binkhorst juga
memperhitungkan ketebalan lensa yang akan ditanam sehingga mengurangi panjang bola
mata sebesar 0,20 mm. Formula Binkhorst :

di mana, P=
P : kekuatan lensa intraokuler
L : panjang bola mata dalam millimeter, yaitu jarak antara permukaan
anterior kornea dan permukaan anterior retina
K : kekuatan refraksi kornea dalam dioptri
C : perkiraan kedalaman bilik mata depan setelah operasi dalam milimeter, yaitu
jarak antara permukaan anterior kornea dan permukaan anterior lensa
intraokuler. Dikenal juga sebagai effective lens position (ELP)
6,17
R : radius kurvatur kornea dalam milimeter.

Formula SRK I
Formula SRK I yang dikembangkan oleh Sanders, Retzlaff, dan Kraff pada tahun 1980
merupakan regression formula yang paling terkenal. Formula ini menggunakan nilai
konstanta A yang spesifik untuk tiap jenis lensa intraokuler dan menggambarkan hubungan
5,6,17
linear antara kekuatan lensa terhadap panjang bola mata maupun kekuatan kornea.

P = A – 2,5L – 0,9K
dimana,
P : kekuatan lensa untuk hasil akhir yang emetropia
L : panjang bola mata (dalam mm)
K : kekuatan refraksi kornea
A : nilai konstanta yang spesifik untuk tiap jenis lensa

Variabel A yang merupakan nilai konstanta lensa diperoleh dari penelitian terhadap
berbagai jenis lensa intraokuler yang digunakan, di mana produsen dari lensa tersebut akan
melampirkan rekomendasi nilai konstanta dari masing-masing lensa yang mereka produksi.
Sebagai gambaran, posterior chamber IOL mempunyai konstanta A 116,2 sampai 118,7,
anterior chamber IOL mempunyai konstanta A 114,2 sampai 115,8, sedangkan iris fixated
IOL mempunyai konstanta A 114,2 sampai 115,6. Di sini terlihat bahwa semakin ke belakang
letak lensa intraokuler, semakin besar pula konstanta A yang digunakan. Jika dihubungkan
dengan penempatan lensa, maka posterior chamber IOL yang seharusnya diletakkan di
dalam kantung lensa (in the bag), apabila diletakkan di sulkus siliaris (in the sulcus) akan
1
mengakibatkan target emetropia pasca operasi bergeser ke arah miopia.
Berbagai jenis formula generasi pertama berbeda dalam penentuan kekuatan
lensa intraokuler berdasarkan panjang bola mata dan kekuatan refraksi kornea, tetapi

16
semua formula tersebut menggunakan konstanta 4 mm dalam memperkirakan kedalaman
bilik mata depan setelah operasi atau yang dikenal sebagai effective lens position. 1,16
Istilah effective lens position (ELP) diusulkan oleh Food and Drug Administration
pada tahun 1995 untuk mengambarkan posisi lensa intraokuler di dalam mata, oleh karena
istilah kedalaman bilik mata depan tidak tepat secara anatomis untuk lensa yang diletakkan
1,16,18
di bilik mata belakang dan pada akhirnya akan membingungkan bagi para klinisi.

Gambar 14. Effective Lens Position (ELP) 22


Pada era formula generasi pertama, konstanta 4 mm yang digunakan untuk ELP
sebenarnya cukup tepat bagi sebagian besar pasien oleh karena pada masa itu lensa yang
digunakan adalah jenis iris fixated IOL. Namun seiring berkembang-nya lensa intraokuler
yang diletakkan di bilik mata belakang atau posterior chamber IOL, formula ini menjadi tidak
akurat lagi. 1,16

III.2.2 FORMULA LENSA INTRAOKULER GENERASI KEDUA


Perubahan mendasar yang membedakan formula generasi pertama dan kedua
adalah nilai ELP yang tidak lagi konstan sebesar 4 mm, namun berubah sesuai dengan
panjang bola mata. Pada tahun 1981, Binkhorst mempelopori perkembangan formula
generasi kedua dengan memperbaiki perkiraan nilai ELP menggunakan panjang bola mata
sebagai faktor pembanding. Jika panjang bola mata pasien 10% lebih panjang dari nilai
normal (23,45 mm), ELP juga akan bertambah sebesar 10%. Jadi, untuk tiap penambahan
panjang bola mata sebesar 1 mm, nilai ELP juga akan meningkat 0,17 mm dan sebaliknya.
Selain itu, nilai ELP juga disesuaikan dengan posisi penempatan lensa intraokuler, apakah di
bilik mata depan (iris fixated IOL) atau di bilik mata belakang. Di luar dari perubahan nilai
ELP tersebut, Binkhorst tetap menggunakan rumus perhitungan kekuatan lensa intraokuler
generasi pertama. 1,6,16,17,19

Formula Hoffer

17
Hoffer pada tahun 1983 mengadakan modifikasi pada formula Colen-brander
dengan menambahkan perkiraan perubahan kekuatan refraksi kornea setelah operasi (R) ke
dalam hasil keratometri (K). Saat perhitungan dilakukan dengan target refraksi yang
emetropia, maka R akan bernilai nol. Selain itu ELP juga harus berubah sesuai dengan
panjang bola mata, dengan rumus :

C koreksi: (0,292 L – 2,93) + (C-3,94)

Formula Hoffer sendiri adalah :

P= –
di mana,
P : kekuatan lensa intraokuler
L : panjang bola mata dalam millimeter
K : kekuatan refraksi kornea dalam dioptri
C : effective lens position (ELP)
17
R : perubahan kekuatan refraksi kornea setelah operasi .

FORMULA SRK II
Formula SRK II merupakan modifikasi dari formula SRK I pada formula generasi
pertama. Berdasarkan pengalaman menggunakan SRK I, pada pasien dengan panjang bola
mata yang normal berkisar antara 23,50 mm, ketepatan perkiraan kekuatan lensa intraokuler
cukup baik. Namun tidak demikian pada pasien dengan variasi panjang bola mata yang
cukup besar. Berdasarkan hal tersebut, maka dikembangkanlah formula SRK II yang
menambahkan konstanta A1 yang berbeda-beda sesuai dengan panjang bola mata.

P = A1 – 2,5L – 0,9K
di mana,
P : kekuatan lensa
L : panjang bola mata (dalam mm)
K : kekuatan refraksi kornea (dalam dioptri)
A1 : nilai konstanta lensa yang tergantung pada panjang bola mata
A1 = A+3 jika L< 20 mm
A1 = A+2 jika 20 ≤ L < 21
A1 = A+1 jika 21 ≤ L < 22
A1 = A jika 22 ≤ L < 24,5
A1 = A-0,5 jika L > 24,5

18
Beberapa modifikasi lain dari formula SRK I telah banyak dikembangkan untuk
meningkatkan keakuratannya, diantaranya adalah formula Thompson, maumenee, & Baker,
serta formula Donzis, Kastl, & Gordon. Namun formula-formula tersebut sangat jarang
digunakan. 1,17

III.2.3 FORMULA LENSA INTRAOKULER GENERASI KETIGA

Formula Holladay
Pada tahun 1988, Holladay mempelopori perkembangan formula generasi ketiga
dengan menunjukkan hubungan langsung antara kelengkungan kornea dengan posisi lensa
intraokuler. Ia memodifikasi formula Binkhorst dengan mengganti nilai ELP menjadi jarak
antara kornea dan permukaan anterior iris (aACD) ditambahkan dengan jarak antara
permukaan anterior iris dan lensa intraokuler, yang kemudian disebut Surgeon Factor (S).
Jarak antara puncak kornea ke permukaan anterior iris setelah operasi (aACD) dihitung
menggunakan rumus matematika yang melibatkan kelengkungan kornea dan panjang bola
mata.

ELP = aACD + S

aACD = 0,56 + R [R2 – (AG2) (1/4)]-2

di mana,
R : jari-jari kelengkungan kornea
AG : diameter bilik mata depan, yang diperoleh dari rumus = AL x 12,5 x (1/23,45)

Gambar 15. Pada mata pseudophakia, ELP = aACD + S,

19
dimana aACD adalah jarak antara kornea dengan permukaan anterior iris,
dan S adalah surgeon factor, yaitu jarak antara permukaan anterior iris dengan optik sentral
dari lensa intraokuler 17

Sebagaimana nilai konstanta A, surgeon factor menggambarkan variasi jenis


lensa, teknik operasi, dan alat-alat pengukuran. Secara teoritis, surgeon factor merupakan
jarak yang dapat diukur. Namun nilai ini dihitung menggunakan data pasien yang mencakup
hasil pengukuran kekuatan refraksi kornea, panjang bola mata, kekuatan lensa intraokuler
yang ditanamkan, dan status refraksi yang sudah stabil. Hubungan antara surgeon factor,
1,17
konstanta A, dan kedalaman bilik mata depan menurut Holladay :

S = (A-constant x 0,5663) – 65,60

S = (ACD value x 0,9704) – 3,595


Nilai surgeon factor yang paling umum digunakan adalah sebagai berikut :
Anterior chamber lens -0,7 hingga -0,4
Iris supported lens -0,1 hingga +0,1
Posterior chamber lens (in the sulcus)
Plano-convex +0,1 hingga +0,3
Biconvex +0,4 hingga +0,7
Posterior chamber lens (in the bag)
Plano-convex +0,9 hingga +1,1
Biconvex +1,2 hingga +1,6

Formula SRK/T
Retzlaff dan kawan-kawan mengeluarkan formula SRK/T pada tahun 1990.
Berbeda dengan formula SRK I dan SRK II yang merupakan regression formula, formula ini
merupakan gabungan antara theoretical dan regression formula yang dikembangkan dari
formula Fyodorov dan menggunakan metode regresi empiris dalam memaksimalkan
perkiraan ELP pasca operasi, faktor koreksi ketebalan retina, dan indeks refraksi kornea.

ELP = H + Offset

dimana,
Offset : ACD (constant) – 3,336

ACD (constant) sendiri dapat dihitung dengan menggunakan nilai konstanta A, dengan
rumus :

ACD(constant) = (0,62467 x A) – 68,747

20
Formula ini menggunakan konstanta A yang sama dengan konstanta A pada
formula SRK. Nilai ini mewakili berbagai variabel seperti jenis lensa, teknik operasi,
17
penempatan lensa di dalam mata, dan alat-alat pengukuran.
Nilai konstanta A yang paling umum digunakan adalah :
Anterior chamber lens 115,0 -115,3
Iris supported lens 115,5 -115,7
Posterior chamber lens (in the sulcus)
Plano-convex 115,9 -116,2
Biconvex 116,6 -117,2
Posterior chamber lens (in the bag)
Plano-convex 117,5 -117,8
Biconvex 117,8 -118,8

Formula Hoffer Q
Pada tahun 1993, Kenneth Hoffer memperkenalkan formula Hoffer Q yang
merupakan modifikasi formula Colenbrander dengan pendekatan yang berbeda dalam
perkiraan kedalaman bilik mata depan (ACD). Hoffer mempelajari hubungan antara ACD
dengan panjang bola mata (L) dan menemukan hubungan berbentuk kurva tangensial dan
bukannya hubungan berbentuk garis lurus. Ia lalu mencoba berbagai variasi perhitungan
matematis menggunakan nilai L dan K hingga menemukan suatu formula yang memberikan
gambaran kurva yang sama. Formula tersebut adalah :
1. Nilai ACD yang berasal dari satu jenis lensa intraokuler
2. Faktor yang meningkatkan nilai ACD seiring meningkatnya panjang bola mata
3. Faktor yang meningkatkan nilai ACD seiring meningkatnya kelengkungan kornea
4. Faktor yang meminimalkan perubahan nilai ACD pada mata yang sangat panjang (lebih
dari 26 mm) dan sangat pendek (kurang dari 22 mm)
5. Konstanta yang ditambahkan pada nilai ACD

P = f (A,K,Rx,pACD)

dimana,
P : Kekuatan lensa intraokuler
A : Panjang bola mata
K : Kekuatan refraksi kornea rata-rata
Rx : Status refraksi
p : Konstanta ACD

Dalam perhitungan, radius kurvatur kornea yaitu R1 dan R2 dikonversikan ke dalam K


sesuai rumus :

K = 0,5 (K1 + K2)

21
Dimana K1 = 337,5/R1 dan K2 = 337,5/R2
Konstanta ACD (pACD) ditetapkan sesuai dengan konstanta ACD dari pabrik. Jika konstanta
A diketahui, maka pACD dapat ditentukan berdasarkan rumus :

pACD = 0.58357 * A-const - 63.896


Nilai ACD yang umumnya digunakan adalah :
Anterior chamber lens 2,8-3,1 mm
Iris supported lens 3,3-3,5 mm
Posterior chamber lens (in the sulcus)
Plano-convex 3,7-4,0 mm
Biconvex 3,8-4,1 mm
Posterior chamber lens (in the bag)
Plano-convex 4,3-4,5 mm
Biconvex 4,8-5,1 mm
Kesalahan 1 mm dalam nilai ACD akan mempengaruhi hasil refraksi pasca operasi
sebesar 1,0 D pada mata yang miopia, 1,5 D pada mata yang emetropia, dan 2,5 D pada
mata yang hipermetropia. 17
Formula lensa intraokuler generasi ketiga mengasumsikan bahwa jarak antara
kornea dengan lensa intraokuler berhubungan dengan panjang bola mata. Dengan kata lain,
bola mata yang pendek dianggap memiliki bilik mata depan yang dangkal, sementara bola
mata yang panjang dianggap memiliki bilik mata depan yang dalam. Pada kenyataannya,
anggapan ini mungkin saja salah. Bola mata yang pendek maupun yang panjang memiliki
anatomi bilik mata depan yang normal dengan kedalaman yang normal pula. Kesalahan ini
terjadi oleh karena keterbatasan rentang panjang bola mata pada masing-masing formula.
Sebagai contoh, formula Holladay I baik digunakan pada mata dengan panjang yang normal
hingga sedikit panjang. Sementara formula Hoffer Q baik digunakan pada mata dengan
4,20,21
panjang yang normal hingga pendek.

III.2.4 Formula Lensa Intraokuler Generasi Keempat

Formula Holladay II
Keterbatasan formula generasi ketiga dalam perhitungan kekuatan lensa
intraokuler dengan panjang bola mata yang ekstrim akhirnya diselesaikan oleh formula
Holladay II. Formula ini memberikan hasil perhitungan yang lebih akurat pada mata dengan
panjang yang normal maupun yang tidak normal dengan menggunakan tujuh variabel yang
secara signifikan mampu memperbaiki perkiraan nilai ELP. Ketujuh variabel tersebut adalah
panjang bola mata, kekuatan refraksi kornea, diameter horizontal kornea (white to white),
kedalaman bilik mata depan (ACD = anterior chamber depth), ketebalan lensa, status

22
refraksi sebelum operasi, dan usia pasien. Holladay II dapat digunakan pada keadaan
1,14,22,23
dimana panjang bola mata berkisar antara 15 hingga 35 mm.
Formula Holladay II tidak pernah dipublikasikan, namun tersedia dalam Holladay
IOL Consultant (Holladay LASIK Institute, Houston, TX), suatu program kcmputer yang juga
dapat digunakan dalam menentukan :
1. Perhitungan kekuatan lensa intraokuler yang standar pada mata fakia, afakia, dan
pseudofakia.
2. Koreksi pengukuran panjang bola mata pada afakia dan pseudofakia.
3. Database lensa intraokuler
4. Perhitungan nilai K setelah operasi keratorefraktif.
5. Personalisasi konstanta lensa.
6. Perhitungan lain, seperti analisis hasil, perhitungan mundur, prediksi kesalahan, analisis
17
astigmatisme, dan laporan hasil yang potensial.

Formula Haigis
Dr. Wolfgang Haigis dari Jerman melakukan suatu pendekatan yang inovatif
dengan menemukan formula Haigis. Formula ini sangat berbeda dibandingkan formula
lainnya oleh karena menggunakan tiga konstanta, yaitu a 0, a1, dan a2 dalam menentukan
effective lens position (ELP) pasca operasi.

d = a0 + (a1 * ACD) + (a2 * AL)

dimana,
d : effective lens position
ACD: anterior chamber depth, diukur dari puncak kornea ke kapsul anterior lensa
AL : panjang bola mata
a0 : konstanta yang menggerakkan kurva kekuatan lensa intraokuler
sebagaimana konstanta A, surgeon factor, maupun ACD pada formula Holladay,
Hoffer Q, dan SRK/T
a1 : konstanta yang terikat dengan nilai ACD
a2 : konstanta yang terikat dengan nilai AL

Konstanta a0, a1, dan a2 berasal dari analisis regresi dari 200 sampel dan
menghasilkan nilai yang spesifik untuk panjang bola mata dan kedalaman bilik mata dengan
rentang yang lebih luas. Konstanta tersebut disesuaikan agar sesuai dengan ahli bedah dan
lensa intraokuler yang digunakan. Hal ini berarti bahwa perhitungan matematis dari formula
Haigis dapat disesuaikan secara individual bagi masing-masing ahli bedah dan lensa
4,23
intraokuler yang digunakan.

III.3 Menghitung ELP (Effective Lens Position) dengan akurat

23
Menghitung ELP masih merupakan salah satu hal yang menyebabkan faktor error
17
dalam penentuan hasil operasi katarak. Salah satu rumus yang digunakan adalah:
IOLc = ACD pre + C x LTpre
dimana,
IOL c : Center dari IOL
ACD pre : pre-operative anterior chamber depth
LT pre : ketebalan pre-operative dari lensa cristalina
C : Constant, tergantung dari tipe IOL

Gambar 16: ELP (Effective Lens position); Konstanta C adalah rasio ketebalan lensa
preoperative dan setelah implantasi IOL.17

Kelebihan formula ini adalah seluruhnya tergantung dari anatomi segmen anterior
saja, dan independent dari pembacaan K dan axial length, walaupun kedua hal tersebut
masih dibutuhkan dalam menghitung kekuatan IOL. Oleh karena itu, tidak ada bias yang
terjadi pada mata yang panjang ataupun pendek axial length nya, mata post-LASIK dan
mata abnormal lainnya. Formula ini telah diuji hingga 1000 kasus dan menunjukkan hasil
lebih bagus dibandingkan formula lain.17

III.4 PERBANDINGAN FORMULA LENSA INTRAOKULER

Dari semua formula lensa intraokuler yang telah dijelaskan sebelumnya, saat ini
ada lima formula yang paling banyak digunakan, yaitu Holladay I dan II, Hoffer Q, SRK/T,
dan Haigis. Secara Klinis, hasil yang dapat disimpulkan adalah :
1. Formula generasi ketiga dan keempat dinilai lebih akurat dibandingkan formula
generasi pertama (Binkhorst dan SRK) maupun generasi kedua (SRK II).
2. Secara klinis, tidak ada perbedaan yang signifikan antara formula Holladay, SRK/T, dan
Horfer Q dalam menentukan kekuatan lensa intraokuler pada mata dengan panjang
rata-rata.

24
3. Formula Holladay II memiliki akurasi yang lebih baik pada panjang bola mata yang
pendek dibandingkan formula Holladay.
4. Formula Haigis dan SRK/T paling akurat dalam pengukuran kekuatan lensa intraokuler
pada mata dengan miopia tinggi (Panjang bola mata 25-28 mm)
5. Formula Haigis paling akurat dalam pengukuran kekuatan lensa intraokuler pada mata
17,24,25
dengan miopia yang sangat tinggi (Panjang bola mata >28 mm).

Gambar 17. Perbandingan formula lensa intraokuler pada berbagai


variasi panjang bola mata.

III.5 APLIKASI KLINIS

Hoffer menyarankan menggunakan formula yang berbeda menurut axial length bola
mata. Sebagai panduan praktis untuk memilih formula IOL yang tepat dapat dipakai petunjuk
sebagai berikut : 6,8

Tabel 2 : Pilihan formula IOL menurut panjang aksis bola mata. 1

25
Mengingat sebagian besar kesalahan memperhitungkan kekuatan IOL adalah
pada waktu pemeriksaan keratometri dan biometri (A-Scan), maka kita harus mencurigai
adanya kemungkinan kesalahan pada keadaan tertentu. Menurut Holladay, kedua bola mata
harus diperiksa ulang pada keadaan di bawah ini : 1,2

- Pemeriksan biometry A-Scan menunjukkan axial length yang kurang dari 22,00
mm atau lebih dari 25,00 mm.
- Rata-rata power kornea (keratometry) kurang dari 40,00 D atau lebih dari
47,00D.
- Terdapat perbedaan diantara kedua mata :
(1) Perbedaan rata-rata keratometri lebih dari 1,00 D;
(2) Perbedaan axial length lebih dari 0,3 mm; dan
(3) Hasil kalkulasi kekuatan IOL untuk target emetropia dengan perbedaan lebih
dari 1,00 dioptri.

26
BAB IV
PERHITUNGAN KEKUATAN LENSA INTRAOKULER
PADA KEADAAN KHUSUS

Implantasi lensa intraokuler semakin lama semakin mengalami peningkatan.


Peningkatan ini mengakibatkan semakin banyaknya kasus-kasus khusus yang menuntut
perhitungan kekuatan lensa intraokuler yang akurat.

IV.1 IMPLANTASI LENSA INTRAOKULER DI SULKUS SILIARIS

Umumnya, formula perhitungan kekuatan lensa intraokuler meng-hitung kekuatan


lensa untuk ditempatkan di dalam kapsul lensa (in the bag). Namun, pada keadaan tertentu
seperti robeknya kapsul posterior lensa pada saat operasi, lensa terpaksa harus
ditempatkan di sulkus siliaris, sehingga posisinya lebih anterior. Untuk mendapatkan hasil
refraksi pasca operasi sebagaimana yang telah diperhitungkan, maka kekuatan lensa
intraokuler harus dikurangi. 4

TABEL 3. KONVERSI KEKUATAN LENSA INTRAOKULER


26
UNTUK IMPLANTASI DI SULKUS SILIARIS.

KEKUATAN LENSA KEKUATAN LENSA


INTRAOKULER INTRAOKULER
IN THE BAG DI SULKUS SILIARIS

+35.00 D to +27.50 D -1.50 D


+27.00 D to +17.50 D -1.00 D
+17.00 D to +9.50 D -0.50 D
+9.00 D to -5.00 D Tidak ada perubahan

Besarnya perubahan kekuatan lensa intraokuler yang dibutuhkan tergantung pada


seberapa besar kekuatan lensa yang seharusnya ditempatkan in the bag tersebut (Tabel 3).
Konsep umumnya adalah, semakin besar kekuatan lensa intraokuler, maka semakin besar
pula kekuatan yang harus dikurangi. Untuk lensa intraokuler dengan kekuatan yang sangat
kecil, tidak perlu dilakukan pengurangan bila ternyata lensa harus diletakkan di sulkus
siliaris. 4

27
IV.2 PERHITUNGAN KEKUATAN LENSA INTRAOKULER PADA
REFRACTIVE LENS EXCHANGE

Refractive lens exchange pada umumnya dilakukan pada pasien-pasien muda


dengan kelainan refraksi tinggi seperti miopia tinggi ataupun hipermetropia tinggi.
Konsekuensinya, pengukuran panjang bola mata maupun keratometri biasanya agak
berbeda dengan pasien katarak biasa. Sebagian besar kasus dengan miopia tinggi memiliki
bola mata yang sangat panjang (> 26 mm). Pengukuran panjang bola mata yang tepat
sangat sulit untuk dilakukan oleh karena anatomi polus posterior yang biasanya tidak normal
dengan adanya stafiloma. Oleh karena itu, pada kasus ini dianjurkan untuk terlebih dahulu
mencari lokasi makula menggunakan B-Scan dan membandingkan hasilnya dengan
pengukuran menggunakan A-scan. Jika pengukuran panjang bola mata ini dapat dilakukan
dengan akurat, maka perhitungan kekuatan lensa intraokuler menggunakan formula
16
generasi ketiga akan memberikan hasil yang sangat baik.
Pada kasus dengan hipermetropia hingga +8 D, panjang bola mata biasanya
kurang dari 21 mm dan memerlukan lensa dengan kekuatan lebih dari 34 D. Pada kasus
seperti ini, piggyback lenses biasanya dibutuhkan untuk mendapatkan hasil akhir yang
emetropia. Satu-satunya formula yang dapat digunakan pada kasus seperti ini adalah
Holladay II. 16,20
Pada pasien dengan panjang bola mata yang kurang dari 21 mm, ukuran segmen
anterior biasanya normal dan tidak berhubungan dengan panjang bola mata. Bila
perhitungan dilakukan dengan menggunakan formula generasi ketiga, akan timbul
kesalahan hingga 5 D oleh karena formula generasi ketiga memperkirakan kedalaman bilik
mata depan berdasarkan panjang bola mata. Namun dengan menggunakan formula
Holladay II, kesalahan perhitungan dapat dikurangi hingga kurang dari 1 D. Jika lensa yang
dibutuhkan kurang atau sama dengan 34 D, piggyback lenses tidak dibutuhkan dan formula
16,20
generasi ketiga dapat digunakan.
Suatu penelitian membandingkan ketepatan dari empat formula lensa intraokuler,
yaitu Holladay II, Hoffer Q, SRK/T, dan Haigis dalam menghitung kekuatan lensa intraokuler
pada operasi refractive lens exchange. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada bola
mata yang pendek (hyperopic refractive lens exchange), formula Haigis, Hoffer Q dan
Holladay II memberikan hasil yang terbaik. Sedangkan pada bola mata yang sangat panjang
(myopic refractive lens exchange), formula Haigis memberikan hasil yang terbaik, diikuti oleh
27
SRK/T, Holladay II, dan Hoffer Q.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah hilangnya kemampuan akomodasi pasca
operasi. Hasil refraksi pasca opeasi perlu didiskusikan dengan pasien, oleh karena derajat

28
miopia yang ringan (-0,50 D) mungkin dibutuhkan untuk mengurangi ketergantungan akan
kacamata saat melihat dekat. 16

IV.3 PERHITUNGAN KEKUATAN LENSA INTRAOKULER PADA TORIK IOL


Studi klinis LIO torik menjelaskan beragam metode keratometri: keratometri otomatis IOL Master,
keratometri manual, autokeratorefractometry, topografi kornea, atau kombinasi dari teknik tersebut.
Ada beberapa perhitungan LIO torik yang tersedia. Kalkulator Alcon menggunakan rasio tetap dalam
menghitung vektor kekuatan silinder kornea terhadap LIO torik. Hal ini dapat disesuaikan dngan
kontribusi kornea posterior menggunakan nomogram Baylor. Kalkulator Holladay menggunakan
effective lens position (ELP) untuk menghitung vektor kornea terhadap LIO torik kemudian
disesuaikan berdasarkan nomogram Baylor atau pengukuran langsung pada kornea posterior.
Alternatif lain adalah perhitungan online yang disediakan di website Asia-Pacific Association of
Cataract and Refractive Surgeons (APACRS) atau American Society of Cataract and Refractive
Surgery (ASCRS) dan gunakan kalkulator toric I yang juga tersedia di biometer Lenstar (Haag-Streit).

Kalkulator torik Barret (Alpins, Noel et al. 2015)

IV.4 PASIEN PASCA OPERASI KERATOREFRAKTIF

Perhitungan kekuatan lensa intraokuler untuk operasi katarak telah memberikan


hasil yang sangat memuaskan dengan adanya generasi-generasi baru dari formula
perhitungan kekuatan lensa intraokuler serta alat-alat pengukuran biometri yang terbaru.
Namun, perhitungan kekuatan lensa intraokuler masih men-dapat kendala pada mata yang

29
telah menjalani operasi keratorefraktif sebelumnya. Kendala yang ditemui pada kasus-kasus
16,28,29,30,31
ini adalah sulitnya menentukan kekuatan refraksi dari kornea secara tepat.
Kesalahan dalam perhitungan kekuatan lensa intraokuler pada pasien yang telah
menjalani operasi keratorefraktif dapat terjadi akibat 3 alasan utama, yaitu :
1. Keratometri
Alat yang digunakan tidak dapat menghitung secara tepat kekuatan refraksi kornea dari
pasien yang telah menjalani operasi keratorefraktif. Pada kornea yang normal,
pemeriksaan keratometri yang standar maupun computed corneal topography dapat
menghitung secara tepat empat titik yang menentukan kedua meridian, sehingga
memberikan besar kekuatan refraksi kornea sentral yang akurat. Pada kornea yang
iregular, seperti yang telah menjalani radial keratotomy (RK), laser thermal keratoplasty
(LTK), hexagonal keratotomy (HK), penetrating keratoplasty (PKP), photorefractive
keratectomy (PRK), maupun laser-assisted in situ keratomileusis (LASIK), keempat titik
tersebut tidak lagi tepat untuk memberikan perkiraan kekuatan reftaksi kornea sentral
yang akurat. 16,32,33

2. Indeks refraksi
Indeks refraksi dari kornea dihitung berdasarkan hubungan antara kurvatur anterior dan
posterior dari kornea. Namun, pada pasien yang telah menjalani operasi keratorefraktif,
hubungan tersebut akan mengalami perubahan. Prosedur yang dijalani akan
mendatarkan permukaan anterior, sementara permukaan posterior tidak mengalami
perubahan. Hal ini akan menyebabkan perubahan kekuatan kornea sebesar 1 dioptri
33
untuk tiap koreksi operasi keratorefraktif sebesar 7 dioptri.

3. Pemilihan formula
Perhitungan kekuatan lensa intraokuler pada pasien yang telah menjalani operasi
keratorefraktif sebaiknya tidak dilakukan dengan menggunakan formula generasi ketiga,
oleh karena formula ini mengasumsikan effective lens position (ELP) berdasarkan nilai
keratometri. Dengan menggunakan panjang bola mata dan nilai keratometri dalam
menentukan ELP, kurvatur kornea yang lebih mendatar setelah operasi keratorefraktif
akan menyebabkan rendahnya nilai ELP dengan konsekuensi rendahnya nilai kekuatan
lensa intraokuler dari yang sebenarnya dibutuhkan. Untuk menghindari kesalahan
tersebut, maka perhitungan kekuatan lensa intraokuler sebaiknya dilakukan dengan
menggunakan formula Holladay II. Formula Holladay II memungkinkan penggunaan
kedua nilai keratometri, yaitu nilai sebelum dan setelah operasi keratorefraktif. Jika nilai
keratometri sebelum operasi tidak diketahui, maka formula tersebut akan menggunakan
nilai standar, yaitu 43,86 D. 4,33

Formula perhitungan kekuatan lensa intraokuler generasi ketiga sebenarnya dapat


digunakan dalam menghitung kekuatan lensa intraokuler jika sebelumnya dilakukan
koreksi dengan metode “double K” oleh Aramberri atau dengan mengacu pada
4,35,36
normogram kekuatan lensa intraokuler yang dikeluarkan oleh Koch dan Wang.

30
Ada banyak metode yang tersedia untuk meningkatkan akurasi dalam perhitungan
kekuatan lensa intraokuler bagi pasien yang telah menjalani operasi keratorefraktif. Namun,
tidak satu pun dari metode tersebut yang terbukti paling akurat. Untuk memudahkan
pengunaannya, Hoffer membaginya menjadi metode yang menghitung kekuatan refraksi
kornea pasca operasi yang sebenarnya dan metode yang langsung menentukan kekuatan
lensa intraokuler berdasarkan data standar yang tersedia. Metode tersebut kemudian dibagi
lagi menjadi metode yang memerlukan data sebelum operasi dan metode yang tidak
memerlukan data sebelum operasi. 4,33,37

IV.4.1 MENGHITUNG KEKUATAN REFRAKTIF KORNEA PASCA OPERASI

Dengan Riwayat Klinis


Metode ini dilakukan dengan menggunakan riwayat klinis serta status refraksi
pasien sebelum dilakukan operasi keratorefraktif. Metode ini dapat dilaku-kan dengan jalan :

1. Metode perhitungan berdasarkan riwayat klinis


Metode ini pertama kali digunakan oleh Holladay dalam memperkirakan ke-kuatan
refraktif kornea setelah operasi keratorefraktif. Perhitungan dilakukan berdasarkan fakta
bahwa perubahan status refraksi mata hanya berasal dari perubahan yang dilakukan
saat operasi, yaitu perubahan pada kekuatan refraktif kornea. Jika perubahan tersebut
ditambahkan pada kekuatan refraktif kornea sebelum operasi, maka akan diperoleh
33,38
kekuatan refraktif kornea pasca operasi yang sebenarnya.

dimana,
K=K PRE +R PRE -R PO
K : perkiraan kekuatan refraksi kornea setelah operasi keratorefraktif
KPRE : kekuatan refraksi kornea sentral sebelum operasi keratorefraktif
RPRE : spherical equivalent setelah operasi keratorefraktif
RPO : spherical equivalent sebelum operasi keratorefraktif

2. Metode Seitz/Speicher
Metode ini membutuhkan nilai K sebelum dan setelah operasi berdasarkan
pemeriksaan topografi kornea. 33

K = (1,114 x TKPO) – (0,114 x TKPRE)


dimana,
K : perkiraan kekuatan refraksi kornea setelah operasi keratorefraktif
TKPO : nilai K dari topografi kornea sentral setelah operasi keratorefraktif
TKPRE : nilai K dari topografi kornea sentral sebelum operasi keratorefraktif

3. Metode Savini

K = [(1,338 + 0,0009856 x RC) – 1] / (KPOr / 1000)


dimana,

K : perkiraan kekuatan refraksi kornea setelah operasi keratorefraktif


RC: perubahan spherical equivalent akibat operasi
KPOr : kekuatan refraktif kornea sentral sebelum operasi keratorefraktif

31
33
dalam radius (mm).
4. Metode Camelin dan Calossi

K = [(1,3319 + 0,00113 x RCS) – 1] / (KPOr / 1000)


dimana,

K : perkiraan kekuatan refraksi kornea setelah operasi keratorefraktif


RCS : perubahan spherical equivalent akibat operasi pada spectacle plane
KPOr : kekuatan refraktif kornea sentral sebelum operasi keratorefraktif
dalam radius (mm). 33
Tanpa Riwayat Klinis

Perhitungan kekuatan kornea setelah operasi keratorefraktif tetap dapat dilakukan


walaupun tidak tersedia riwayat klinis dan data refraksi sebelum operasi. Metode yang dapat
digunakan adalah :
1. Metode hard contact lens
Metode ini pertama kali dijelaskan oleh Frederick Ridley di Inggris pada tahun 1948 dan
diajarkan ulang oleh Soper dan Goffman pada tahun 1974. Metode ini didasarkan pada
prinsip bahwa jika suatu hard contact lens dengan kekuatan nol dan base curve sesuai
dengan kornea diletakkan di depan kornea, hal ini tidak akan mengubah status refraksi
mata. Dengan kata lain perbedaan antara spherical equivalent dengan dan tanpa hard
contact lens adalah nol. Metode ini akan menghitung kekuatan refraktif kornea jika
33,39
terdapat perubahan pada parameter tersebut.

dimana,
K = BCL + PCL + RCL - RNoCL
K : perkiraan kekuatan refraktif kornea setelah operasi keratorefraktif
BCL : base curve dari contact lens dalam dioptri
PCL : kekuatan refraksi contact lens dalam dioptri
RCL: spherical equivalent dengan contact lens
RNoCL : spherical equivalent tanpa contact lens

Sayangnya, kepustakaan yang terakhir menyebutkan bahwa metode ini kurang akurat
dibanding metode yang telah dijelaskan sebelumnya. Hasil yang lebih baik mungkin
bisa didapatkan jika tersedia contact lens yang memiliki kurvatur posterior yang sesuai
dengan kurvatur kornea anterior yang telah mengalami perubahan akibat operasi
keratorefraktif. Selain itu, metode ini tidak dapat dilakukan pada pasien dengan visus
kurang dari 20/80. 33,39,40,41,42,43
2. Metode Koch dan Wang

K = 1,1141 x TKPO – 6,1


dimana,
K : perkiraan kekuatan refraksi kornea setelah operasi keratorefraktif
33
TKPO : nilai K dari topografi kornea sentral setelah operasi keratorefraktif.
3. Metode Shammas

K = 1,14 x KPO – 6,8


dimana,
K : perkiraan kekuatan refraksi kornea setelah operasi keratorefraktif
KPO : kekuatan refraksi kornea sentral setelah operasi keratorefraktif. 33

32
4. Metode Maloney yang dimodifikasi
Metode lain dalam memperkirakan kekuatan kornea setelah operasi keratorefraktif
adalah metode yang dijelaskan oleh Robert Maloney dan dimodifikasi oleh Li Wang dan
Douglas Koch at al. Dengan metode ini, kekuatan kornea sentral diperoleh dengan
menempatkan kursor pada pusat Axial Map dari Zeiss Humphrey Atlas Topographer.
Nilai ini kemudian diubah menjadi kekuatan refraksi kornea anterior dengan jalan
mengalikannya dengan 376,0/337,5 atau 1,114.

dimana, K = (CCP x 1.114) – 6,1


K : perkiraan kekuatan refraksi kornea setelah operasi keratorefraktif
CCP : kekuatan refraksi kornea saat kursor berada di pusat peta topografi.

Metode ini tidak memerlukan data dan status refraksi sebelum operasi dan memiliki
variasi yang rendah baik bila digunakan pada formula Holladay II maupun formula
generasi ketiga yang dikoreksi dengan metode “double K” oleh Koch dan Wang. 43,44

IV.4.2 MENGHITUNG KEKUATAN LENSA INTRAOKULER


1. Aramberri Double-K Method
Salah satu kemajuan yang paling besar dalam perhitungan kekuatan lensa intraokuler
pada pasien pasca operasi keratorefraktif adalah double-K method yang dikeluarkan
oleh Aramberri pada tahun 2001 di San Sebastian, Spanyol.

KPRE : menghitung effective lens position (ELP)


Kekuatan refraktif kornea sebelum operasi (K PRE) digunakan untuk menentukan posisi
KPO :Jika
lensa introkuler (ELP). menghitung
KPRE tidak kekuatan lensaAramberri
diketahui maka intraokuler
menggunakan nilai K :
43,50 atau 44,00. Hal ini berdasarkan atas anatomi dari segmen anterior yang tidak
mengalami perubahan setelah operasi kerato-refraktif. Jika ELP ditentukan berdasarkan
kekuatan refraktif kornea setelah operasi, maka akan terjadi kesalahan pengukuran.
Sementara itu, kekuatan refraktif kornea setelah operasi (K PO) digunakan untuk
menghitung kekuatan lensa intraokuler. 33,34
2. Feiz-Mannis
Metode ini mula-mula menghitung kekuatan lensa intraokuler menggunakan nilai
keratometri sebelum operasi, yang kemudian ditingkatkan sebesar jumlah perubahan
33,45,46
status refraksi setelah operasi dibagi 0,7.
Pendekatan ini dapat ditulis:

dimana,
P P =intraokuler
: perkiraan kekuatan lensa PE + setelah operasi
PE : kekuatan lensa intraokuler sebelum operasi
RC: perubahan spherical equivalent akibat operasi

3. Metode Masket
Masket telah mengembangkan metode yang menyesuaikan kekuatan lensa intraokuler
berdasarkan jumlah koreksi yang dilakukan saat operasi kerato-refraktif. Metode ini

33
memodifikasi perkiraan kekuatan lensa intraokuler menggunakan hasil pengukuran
setelah operasi keratorefraktif. Adapun formula yang direkomendasikan dalam
menghitung kekuatan lensa intraokuler adalah formula SRK/T untuk bola mata yang
panjang, dan Hoffer Q untuk bola mata yang pendek.

P=Ppost + (RC x 0,326) + 0,101


dimana,
P : kekuatan lensa intraokuler yang telah disesuaikan
Ppost : kekuatan lensa intraokuler setelah operasi keratorefraktif
RC: perubahan spherical equivalent akibat operasi. 33,46,47

IV.5 PASIEN PASCA OPERASI VITREKTOMI DENGAN SILICONE OIL


Adanya silicone oil di kavum vitreus memberikan afek yang dramatis pada
gambaran A-Scan maupun B-Scan. Kecepatan ultrasound pada cairan ini sangat rendah
bila dibandingkan dengan vitreus. Jika saat melakukan pengukuran kita tidak mengoreksi
faktor kecepatan tersebut, maka hasil perhitungan kekuatan lensa intraokuler yang diperoleh
akan menjadi tidak akurat. Kecepatan rata-rata ultrasound pada mata yang berisi silicone oil
adalah 1139 m/detik (phakic) dan 1052 m/detik (aphakic). Bila pengukuran panjang bola
mata dilakukan dengan menggunakan kecepatan standar, yaitu 1555 m/detik, maka akan
1,6
terjadi kesalahan perhitungan sebesar 3-4 D.
Untuk menentukan kekuatan lensa intraokuler pada mata dengan silicone oil, kita
perlu melakukan koreksi dari panjang bola mata yang diperoleh, dengan ikut
memperhitungkan kecepatan rambat gelombang ultrasound pada berbagai media. Rumus
1,6
yang digunakan untuk koreksi panjang bola mata tersebut adalah :

dimana, ALc = ALm x


ALc : panjang bola mata yang telah dikoreksi (corrected)
ALm : panjang bola mata yang diperoleh dalam pengukuran (measured)
Vc : kecepatan ultrasound yang dikoreksi (corrected velocity)
Vm : kecepatan ultrasound yang digunakan sebelum koreksi (measured velocity)

Untuk mencegah terjadinya perubahan kekuatan lensa intraokuler yang akan


ditanam akibat silicone oil, maka lensa intraokuler yang digunakan sebaiknya terbuat dari
bahan polymethyl methacrylate (PMMA) berbentuk cembung-datar, dengan sisi yang datar
berhadapan dengan kavum vitreus. Kekuatan lensa yang diperoleh berdasarkan perhitungan
standar harus ditambahkan sesuai rumus yang dijelaskan oleh Patel:

P=
dimana,
P : tambahan kekuatan lensa intraokuler dalam dioptri
Ns : indeks refraksi silicone oil (1,4034)

34
Nv : indeks refraksi vitreus (1,336)
AL : Panjang bola mata dalam mm
48
ACD : Kedalaman bilik mata depan dalam mm.

Pada mata dengan ukuran yang rata-rata, penambahan kekuatan lensa intraokuler
untuk lensa jenis PMMA berbentuk cebung-datar adalah antara +3,0 D dan +3,5 D. Namun,
jika di masa mendatang silicone oil tersebut direncanakan untuk dikeluarkan, maka akan
lebih baik jika menggunakan lensa dengan kekuatan yang akan memberikan visus terbaik
4
saat silicone oil tidak lagi berada di dalam kavum vitreus.
Pada pasien yang kemungkinan di masa mendatang akan menjalani operasi
dengan silicone oil, sebaiknya dilakukan pengukuran panjang bola mata untuk melengkapi
data dan status refraksi jika ternyata kemudian dibutuhkan untuk perhitungan kekuatan
lensa intraokuler. Pasien-pasien tersebut antara lain pasien yang mengalami ablasio retina,
myopia tinggi, proliferative vitreoretinopathy, proliferative diabetic retinopathy, giant retinal
4
tear, maupun pasien dengan riwayat trauma uculus perforans.

BAB V
PENUTUP

35
Dalam bidang oftalmologi, pemeriksaan biometri banyak digunakan dalam
perhitungan kekuatan IOL yang akan diimplantasikan pada pasien yang menjalani operasi
katarak.Terdapat dua prinsip pengukuran biometry yaitu ultrasound biometri dan optical
biometry.

Optical biometry memiliki akurasi yang lebih tinggi dalam mengukur axial length,
disamping itu dapat pula secara langsung mengukur keratometri, namun pada kondisi
tertentu optical biometry tidak dapat menghitung axial length seperti pada katarak subkapsul
posterior yang tebal. Perhitungan kekuatan IOL yang akan diimplantasikan dengan
menggunakan berbagai formula IOL yang ada, hendaknya dipilih yang paling sesuai untuk
keadaan mata pasien.

Ketepatan perhitungan kekuatan lensa intraokuler tidak hanya tergantung pada


pemeriksaan biometri semata maupun pemilihan formula perhitungan yang tepat, tetapi lebih
merupakan perpaduan dari seluruh faktor yang terkait. Jika salah satu faktor terganggu,
maka hasil akhir yang dicapai tidak akan maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

36
1. Soekardi I, Hutauruk J. Kalkulasi power IOL. In : Transisi menuju fakoemulsifikasi.
Jakarta : Kelompok Yayasan Obor Indonesia; 2004 : 183-199.

2. Bhopi J. IOL power calculation in special situations. In : Evidence-based


approach in cataract surgery. New Delhi, India : Jaypee Brothers Medical
Publishers Ltd; 2004 : 60-65.

3. Olsen T. Sources of error in IOL power calculation. J Cataract Refract Surg 1992;
18 : 125-129.

4. Krieglstein G, Weinreb R. Advanced intraocular lens power calculation. In :


Essentials in ophthalmology : cataract and refractive surgery. Germany :
Springer; 2006 : 31-45.

5. Coombes A, Gartry D. Biometry and lens implant power calculation. In :


Fundamental of clinical ophthalmology : cataract surgery. London : BMJ
Publishing Group; 2003 : 66-83.

6. Agarwal S. Biometry. In : Phacoemulsification, laser cataract surgery, and


foldable iols. India : Jaypee; 2004 : 9-21.

7. Giers U, Epple C. Comparison of A-Scan device accuracy. J Cataract Refract Surg


1990; 16: 235-242.

8. Watson A, Armstrong R. Contact or immersion technique for axial length


measurement. Aust NZ J Ophthalmol 1999; 27: 49-51.

9. Liesegang TJ. Surgery for cataract. In : Basic and clinical science course, Lens
and cataract. Section 11. USA : American Academy of Ophthalmology; 2008-2009 :
149-151.

10. Holladay J, Wallace R. New techniques in biometry. Review of ophthalmology


2002; 9:04.

11. Eleftheriadis H. IOLMaster biometry : refractive results of 100 consecutive cases.


Br J Ophthalmol 2003; 87 : 960-963.

12. Lege BA, Haigis W. Laser interference biometry versus ultrasound biometry in certain
clinical conditions. Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol 2004; 242(1): 8-12.

13. Byrne SF and Green RL. Axial eye length measurement (A-scan biometry). In :
Ultrasound of the eye and orbit. Philadelphia : Mosby; 2000 : 244-271.

14. Rabsilber TM, et al. Intraocular lens power calculation : clinical comparison of 2
optical biometry devices. J Cataract Refract Surg 2010; 36: 230-234.

15. Chen YA, Hirnschall N, Findl O. Evaluation of 2 new optical biometry devices and
comparison with the current gold standard biometer. J Cataract Refract Surg
2011; 37:513-517.

37
16. Fine I, Packer M. Biometry for refractive lens surgery. In : Refractive lens surgery.
USA : Springer; 2005 : 12-47.

17. Hill WE, Lackerbauer C, Olsen T, Shah S. Diagnostic Technologies for Enchanced
Catarct Surgery Outcomes. Cataract & Refractive Surgery Europe; March 2013;
20-2.

18. Shammas H. Modern formulas for intraocular lens power calculations. In :


Intraocular lens power calculations. USA : SLACK Inc; 2004 : 15-24.

19. Holladay J. Standardizing constants for ultrasonic biometry, keratometry, and


intraocular lens power calculations. J Cataract Refract Surg 1997; 23 : 1356-1370.

20. Binkhorst R. Intraocular lens power calculation manual. In : IOL power module.
2nd edition. New York: Binkhorst; 1981: 58-59.

21. Holladay J. et al. Achieving emmetropia in extremely short eyes with two
piggyback posterior chamber intraocular lens. Ophthalmology 1996; 103: 1118-
1123.

22. Hoffer KJ. Ultrasound velocities for axial eye length measurement. J Cataract Refract
Surg 1994;20(5):554–562.

23. Holladay J. IOL power calculations for multifocal lenses. Cataract and refractive
surgery today 2007: 71-73.

24. Hill WE. Highly accurate IOL calculations. Cataract & Refractive Surg Today 2005;
67-70.

25. Petermeier K et al. Intraocular lens power calculation and optimized constants for highly
myopic eyes. J Cataract Refract Surg 2009;35:1575-1581.

26. Wang JK, Hu CY, Chang SW. Intraocular lens power calculation using the IOL master
and various formulas in eyes with long axial length. J Cataract Refract Surg
2008;34:262-267.

27. Hill WE, Byrne SF. Complex axial length measurements and unusual IOL power
calculations. In: Focal Points – Clinical Modules for Ophthalmologists. The American
Academy of Ophthalmology, San Francisco, 2004; Module 9.

28. Terzi E, Wang L, Kohnen T. Accuracy of modern intraocular lens power


calculation formulas in refractive lens exchange for high myopia and high
hyperopia. J Cataract Refract Surg 2009;35:1181-1189.

29. Fenzl R, Gills J, Cherchio N. Refractive and visual outcome of hyperopic cataract
cases operated on before and after implementation of the Holladay II formula.
Ophthalmology 1998; 105: 1759-1764.

30. Hoffer K. Intraocular lens power calculation in radial keratotomy eyes. Phaco
Foldables 1994; 7: 6.

31. Holladay J. Understanding corneal topography, the Holladay diagnostic summary,


user’s guide and tutorial. Houston: EyeSys Technologies; 1995.

38
32. Celikkol L, et al. Calculation of intraocular lens power after radial keratotomy with
computerized videokeratography. Am J Ophthalmol 1995; 120: 739-750.

33. Speicher L. Intraocular lens calculation status after corneal refractive surgery.
Curr Opin Ophthalmol 2001; 12: 17-29.

34. Hoffer KJ. Intraocular lens power calculation after previous laser refractive surgery. J
Cataract Refract Surg 2009;35:759-765.

35. Aramberri J. Intraocular lens power calculation after corneal refractive surgery: double-K
method. J Cataract Refract Surg 2003;29(11):2063–2068.

36. Koch DD, Wang L. Calculating IOL power in eyes that have had refractive surgery. J
Cataract Refract Surg 2003;29(11):2039–2042.

37. Hamilton D, Hardten D. Cataract surgery in patients with prior refractive surgery.
Curr Opin Ophthalmol 2003; 14: 44-53.

38. Holladay JT. Consultations in refractive surgery (letter). Refract Corneal Surg
1989;5:203.

39. Zeh WG, Koch DD. Comparison of contact lens overrefraction and standard
keratometry for measuring corneal curvature in eyes with lenticular opacity. J
Cataract Refract Surg 1999; 25: 898-903.

40. Argento C, Cosentino MJ, Badoza D. Intraocular lens power calculation after refractive
surgery. J Cataract Refract Surg 2003;29:1346–1351.

41. Haigis W. Corneal power after refractive surgery for myopia: contact lens method. J
Cataract Refract Surg 2003;29:1397–1411.

42. Hoffer KJ. Intraocular lens power calculation for eyes after refractive keratotomy. J
Refract Surg1995;11:490–493.

43. Wang L, Booth MA, Koch DD. Comparison of intraocular lens power calculation
methods in eyes that have undergone laser in-situ keratomileusis. Ophthalmology
2004;111(10):1825–1831.

44. Chen L. et al. Analysis of intraocular lens power calculation in post-radial


keratotomy eyes. J Cataract Refract Surg 2003; 29: 65-70.

45. Feiz V, Mannis MJ, Garcia-Ferrer F, et al. Intraocular lens power calculation after laser
in situ keratomileusis for myopia and hyperopia: a standardized approach. Cornea
2001;20:792–797.

46. Wang L. Hill WE, Koch DD. Evaluation of intraocular lens power prediction methods
using the American Society of cataract and refractive surgeons post-keratorefractive
intraocular lens power calculator. J Cataract Refract Surg 2010;36:1466-1473.

47. Masket S. Simple regression formula for intraocular lens power adjustment in eyes
requiring cataract surgery after excimer laser photoablation. J Cataract Refract Surg
2006; 32(3):430–434.

48. Patel AS. IOL power selection for eyes with silicone oil used as vitreous replacement.
Abstract # 163. Symposium on Cataract and Refractive Surgery, April 1–5, San Diego,
California, 1995;41.

39
40

Anda mungkin juga menyukai