Anda di halaman 1dari 128

3

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

REKONTRUKSI
Ektropion Involusional H.02.109
Ektropion Involusional adalah keadaan dimana tepi kelopak mata
berputar keluar yang berhubungan dengan usia disebabkan oleh
1. Pengertian (Definisi) panjang kelopak horizontal yang berlebih karena pemanjangan
tendon kontur medial dan lateral dan disinsersi retrobtoe kelopak
bawah
1. Epifora
2. Anamnesa 2. Mata Merah Kronis
3. Mata tidak bisa menutup sempurna
1. Kelopak bawah berbelok ke bawah
3. Pemeriksaan Fisik 2. Bisa bagian lakral lebih besar dari pada lateral atau sebaliknya
3. Bergesernya lokasi punctum lakrimal
4. Kriteria Diagnosis 1. Horizontal Laxity : Distraction Test ≥ 8 mm
2. Punctum lakrimal Dislokasi > 1 mm
3. Disinsersi Retraktor bawah
5. Diagnosis Ektropion Involusional
6. Diagnosis Banding Ektropion sebab lain
7. Pemeriksaan Penunjang Fluorescence Test
8. Terapi 1. Horizontal lid shortening
2. Tarsoconjunctival Diamond Excision
9. Edukasi 1.Jaga kebersihan mata
2. jangan menggosok-gosok mata
3. tetes artifisial tears untuk menghindari dry eye
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
11.Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis dr. Riani Erna, Sp.M(K)
14. Indikator Medis Hipertropi konjungtiva tarsal
15. Lama Rawat Tidak dirawat
16. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology 2015 – 2016
2. Collin J.R.O, A Manual of Systemic Eyelid Surgery 2006
3. Clinical Ophthalmology : Kansky

3
4

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

REKONTRUKSI
Nasolacrimal Duct Obstruction (NLDO) H04.539
1. Pengertian (Definisi) Nasolacrimal Duct Obstruction (NLDO) Adalah sumbatan pada
duktusnasolakrimal. Obstruksi duktus nasolakrimal kongenital
biasanya disebabkan karena belum terbukanya membrane Hassner.
Kelainan ini di dapat sejak lahir.
2. Anamnesa Mata berair-air sejak lahir
Dapat disertai sekret atau tidak
3. PemeriksaanFisik 1.Pemeriksaan mata umum
2.Terdapat epifora
3.Terdapat sekret Pada saat daerah sakus lakrimal ditekan dengan
jari akan tampak regurgitasi sekret dari pungtum lakrimal.
4. Kriteria Diagnosis 1.Epiphora
2.Regurgitasi sekret dari pungtum lakrimal
3.Tes Anel (-)
4.Probing
5. Diagnosis Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan ophthalmologi serta
pemeriksaan penunjang.
6. Diagnosis Banding 1.Pungtal agenesis dan disgenesis
2.Kanalikuli agenesis dan disgenesis
7. PemeriksaanPenunjang 1.TesAnel (-)
2.Probing
3.Dakriosistografi
8. Terapi 1.Massage pada sakus lakrimal ( usia< 6 bulan)
2.Probing, bila (+) pasang silikon intubasi (bil agagal 2 kali  no.3)
3.Dakriosistor hinostomi dengan silikon tube
9. Edukasi 1.Melakukan massage 2 kali sehari
2.Membersihkan kotoran mata dengan tisu sekali pakai
3.Menjaga kebersihan anak
10. Prognosis Advitam : dubia ad bonam
Adfungsionam : dubia ad bonam
Adsanationam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. PenelaahKritis dr. Riani Erna, Sp.M(K)
14. IndikatorMedis Pada dakriosistografi terdapat sumbatan pada duktus nasolakrimalis
15. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology 2015-2016
2. Collin J.R.O, A Manual of Systemic Eyelid Surgery 2006
3. Clinical Ophthalmology : Kansky

4
5

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

REKONTRUKSI
Entropion Involusional H02.009
Entropion Involusional adalah inversi tepi kelopak mata yang
1. Pengertian (Definisi)
berhubungan dengan usia (age related)
- Mata seperti ada yang menusuk
- Mata berair – air
2. Anamnesa - Riwayat penyakit infeksi (trachoma, herpes zoster)
- Riwayat operasi
- Riwayat trauma (panas, kimia)
- Overriding otot orbicularis preseptal
- Horizontal atau vertical laxity
3. Pemeriksaan Fisik - Retraction Laxity
- Scarring
- Ocular Irritation / Inflamation
4. Kriteria Diagnosis 1. Inversi Kelopak bawah
2. Konjungtivalisasi tepi kelopak mata
3. Pseudotichiasis
4. Erosi Pungtat Kornea
5. Ulkus
5. Diagnosis Entropion Involusional
6. Diagnosis Banding 1. Trichiasis
2. Epiblepharon
7. Pemeriksaan Penunjang Fluoresence Test
8. Terapi 1. Suture Techniques
2. Lateral tarsal strip
3. Weiss procedure
9. Edukasi 1. Jaga kebersihan mati
2. Jangan menggosok-gosok mata
10.Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
11.Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis dr. Riani Erna, Sp.M(K)
14. Indikator Medis Konjungtivalisasi margo
15. Lama Rawat Tidak dirawat
16. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology 2015 – 2016
2. Collin J.R.O, A Manual of Systemic Eyelid Surgery 2006
3. Clinical Ophthalmology : Kansky

5
6

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

REKONTRUKSI
Ptosis H02.409
Turunnya kelopak mata atas dibawah kedudukan yang normal dan
1.Pengertian (Definisi) dapat menutupi aksis visual atau tidak dan terjadinya dapat
unilateral atau bilateral
- Mulai terjadinya ptosis
- Perubahan yang terjadi
- Adanya penyakit penyerta seperti : horner syndrome, myastenia
gravis, guallian barre syndrome, botulism, cerebral ptosis
2.Anamnesa - Riwayat keluarga ptosis
- Riwayat penyakit kelopak mata yang pernah diderita
- Riwayat penyakit sistemik yang berhubungan
- Riwayat operasi
- Riwayat trauma
- Bell”s phenomen
- Lid lag
- MRD 1 dan 2
- MLD
3.Pemeriksaan Fisik - Fissura palpebra
- LA
- Skincrease
- Tensilon test
- Phenilephine test
4.Kriteria Diagnosis 1. Umur saat onset terjadinya ptosis
2. Photograf sebelum terjadi ptosis dan sekunder
3. Penyakit siskemik yang mendasari
5.Diagnosis Ptosis Unilateral / Ptosis Bilateral
7.Diagnosis Banding 1. Pseudoptosis
2. Enoftalmos
8.Pemeriksaan Penunjang 1. Fotografi seluas muka
2. Tensilon
3. Ice paek test
4. Reseksi levator
5. Operasi aponemratis
6. Frontal suspension
7. Fasanela suruat procedure
9.Terapi 1. Fassanela servat
2. advancement aponeurosis levator
3. Levator Reseksi
4. Facia lata suspension
6
7

3. Edukasi Jaga kebersihan mata


11.Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
12.Tingkat Evidens IA
13. Tingkat Rekomendasi A
14.Penelaah Kritis dr. Riani Erna, Sp.M(K)
15.Indikator Medis Margo palpebra turun dibawah posisi normal
Tidak dirawat pada dewasa dengan anestesi lokal, dirawat pada
16.Lama Rawat
anak-anak dengan anestesi umum
17.Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology 2015 – 2016
2. Collin J.R.O, A Manual of Systemic Eyelid Surgery 2006
3. Clinical Ophthalmology : Kansky

7
8

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

NEUROOFTALMOLOGI
Neuritis Optik tipikal ( ICD 10. H.46 )
peradangan pada nervus optikus yang berhubungan dengan proses
1. Pengertian (Definisi)
demyelinasi primer pada nervus optikus
1. Penurunan tajam penglihatan mendadak pada satu atau dua mata
2. Anamnesa 2. Nyeri periokular, retrobulbar terutama pada pergerakan mata
3. Tidak ada gejala neurologi lainnya
1. Pemeriksaan oftalmologi umum
3. Pemeriksaan Rutin 2. Pemeriksaan warna dan sensitivitas kontras
3. Pemeriksaan lapang pandangan
1. Penurunan tajam penglihatan yang bervariasi (dari 6/6 sampai
Nol)
2. Penurunan persepsi warna ( diskromatopsia ) dan penurunan
kontras yang bervariasi
3. RAPD (+) pada mata yang terkena
4. Kelainan lapang pandang ( tersering adalah skotoma sentral)
1. Kriteria Diagnosis
5. Uhthoff phenomenon
6. Papil Nervus II
a. Dua pertiga pasien akan tampak normal
b. Sepertiga akan menunjukkan gambaran edema papil yang
ringan sampai moderat
c. Tidak ada gambaran eksudat keras maupun cotton wool spot
2. Diagnosis
Neuritis Optik tipikal
- Neuritis Optik Atipikal
- Iskemik optik Neuropati
3. Diagnosis Banding - Neuropati optik kompresif
- Neuropati optic infiltrative
- Neuropati optic para neoplastik
1. Pemeriksaan MRI nervus optikus
2. Pemeriksaan OCT
3. Pemeriksaan Foto Fundus
4. Pemeriksaan Visual Evoked Potensial (VEP)s : prolong
4. Pemeriksaan Penunjang latencies (fase laten memanjang ) pada mata yang sakit
5. Pemeriksaan Lumbal Pungsi :
1. peningkatan immunoglobulin danatau oligoclonal band pada
25% kasus
2. untuk menyingkirkan diagnosis banding
5. Terapi - Pemberian kortikosteroid sesuai dengan ONTT ( Optic Neuritis
Treatment Trial ) setelah sebelumnya dilakukan konsultasi
8
9

dengan spesialis penyakit dalam dan spesialis anak sesuai


dengan usia pasien untuk kontraindikasi pemberian.
- Kontrol berkala untuk kemungkinan terjadinya Multiple
Sklerosis (MS)
- Evaluasi nervus optikus
6. Edukasi
- Evaluasi penglihatan warna dan sensitivitas kontras
- Evaluasi lapang pandangan
- Kontrol penyakit sistemik
Ad Vitam : bonam
7. Prognosis
Ad Functionam : dubia ad bonam
8. Tingkat Evidens IA
9. Tingkat Rekomendasi A
10. Penelaah Kritis
- Tajam penglihatan (Visus)
- Penglihatan warna
11. Indikator Medis
- Sensitivitas Kontras
- Lapang pandang
12. Lama Rawat 3 – 5 Hari
1. Jonathan D Trobe. Rapid Diagnosis in Ophthalmology.
Neuroophthalmology,2008
2. Anthony Pane, Michael Burdon, Neil r Miller, The
Neurophthalmology, Survival Guide, 2007
3. Neil R Miller, Nancy J Newman; Clinical Neuroopthalmology
13. Kepustakaan Walsh-Hoyt, 6th ed/2005
4. Liesegang,G. Et all. Selected Systemic Conditions with Neuro-
Ophthalmic Signs. Neuroophthalmology. Sec. 5th. American
Academy Ophthalmology. 2015 - 2016
5. Ehlers, J P. et al. Neuro-Ophthalmology. The Wills Eye Manual.
5th edition. William & Wilkins.2009:p.250-252.

9
10

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

NEUROOFTALMOLOGI
Neuritis Optik Atipikal ( ICD 10. H.46 )
peradangan pada nervus optikus yang berhubungan dengan proses
1. Pengertian (Definisi)
demyelinasi sekunder pada nervus optikus
1. Penurunan tajam penglihatan mendadak pada satu atau dua mata
2. Anamnesa 2. Nyeri pada pergerakan bola mata
3. Dapat disertai demam atau limfadenopati
1. Pemeriksaan oftalmologi umum
3. Pemeriksaan Rutin 2. Pemeriksaan warna dan sensitivitas kontras
3. Pemeriksaan lapang pandangan
1. Penurunan tajam penglihatan yang bervariasi (dari 6/6 sampai
Nol)
2. Penurunan persepsi warna (diskromatopsia )
3. Penurunan kontras sensitifitas
4. Kriteria Diagnosis 4. RAPD (+) pada mata yang terkena
5. Kelainan lapang pandangan ( tersering adalah skotoma sentral)
6. Papil Nervus II dapat normal, edema maupun pucat
7. Dapat ditemukan adanya kelainan lain pada mata seperti vitritis,
vaskulitis retina dan macula star
5. Diagnosis Neuritis Optik Atipikal

- Neuritis Optik tipikal


- Iskemik optik Neuropati
- Neuropati optik kompresif
6. Diagnosis Banding
- Neuropati optic infiltrative
- Neuropati optic para neoplastik
- Iskemik optik Neuropati

1. Pemeriksaan OCT
2. Pemeriksaan Foto Fundus
7. Pemeriksaan Penunjang 3. Pemeriksaan MRI
4. Pemeriksaan Lumbal Pungsi
5. Pemeriksaan laboratorium sesuai dengan perkiraan penyebab
- Non spesifik : Kortikosteroid
8. Terapi
- Spesifik : Ditujukan pada penyakit yang mendasari
9. Edukasi - Kontrol berkala
- Evaluasi papil syaraf optikus( funduskopi atau foto fundus )
- Evaluasi lapang pandangan
10
11

- Pemeriksaan warna
- Pemeriksaan sensitivitas kontras
- Kontrol penyakit yang mendasari
Ad Vitam : dubia ad bonam
10. Prognosis
Ad Functionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
- Tajam Penglihatan
- Lapangan Pandang
14. Indikator Medis - Penglihatan warna
- Sensitivitas kontras
- Kondisi syaraf optikus
15. Lama Rawat 5 – 10 Hari
1. Jonathan D Trobe. Rapid Diagnosis in Ophthalmology.
Neuroophthalmology,2008.
2. Anthony Pane, Michael Burdon, Neil r Miller, The
3. Neurophthalmology, Survival Guide, 2007.
4. Neil R Miller, Nancy J Newman; Clinical Neuroopthalmology
16. Kepustakaan
Walsh-Hoyt, 6th ed/2005
4. Liesegang,G. Et all.. Neuroophthalmology. Sec. 5th.
AmericanAcademy Ophthalmology. 2015-2016
5. Ehlers, J P. et al. Neuro-Ophthalmology. The Wills Eye Manual.
6th edition. William & Wilkins.2012

11
12

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

NEUROOFTALMOLOGI
Non Arteritis Anterior Iskemik Optik Neuropati (NAION) ( ICD 10. H.47.0 )
penurunan tajam penglihatan mendadak pada satu mata pada usia >
1. Pengertian (Definisi) 40 tahun yang disebabkan oleh penurunan perfusi pada nervus
optikus
1. Penurunan tajam penglihatan mendadak pada satu mata tanpa
disertai rasa nyeri pada pergerakan.
2. Anamnesa
2. Riwayat factor resiko arteriosklerotik (Hipertensi,darah rendah,
dislipidemia, diabetes, nerokok ), hiperkoagulas, sleep apnoe
1. Pemeriksaan oftalmologi Umum
2. Pemeriksaan warna.
3. Pemeriksaan Rutin
3. Sensitivitas kontras
4. Pemeriksaan lapang pandangan
1. Penurunan tajam penglihatan mendadak pada satu mata tanpa
disertai rasa nyeri pada pergerakan.
2. RAPD (+) pada mata yang terkena
3. Edema papil yang seringkali segmental dan disertai perdarahan
4. Kriteria Diagnosis peripapil.
4 Gangguan lapang pandang : mayoritas skotoma altitudinal, 25%
skotoma sentral
5. Tidak ditemukan adanya gejala polymyalgia atau Giant
cellarteritik
5. Diagnosis Non Arteritis Anterior iskemik Optik Neurophaty

 Optikus Neuritis
 AAION
 Compressive optikus nerve tumor
 Neuropati optic infiltrative
6. Diagnosis Banding
 Papilopati diabetika
 Neuropati ptik hipertensi
 Neuropati optic para neoplastic
 papiledema

7. Pemeriksaan Penunjang - MRI


- Foto fundus
- OCT
- Laboratorium

12
13

 ESR
 Homeostasis/ hiperkoagulasi
 Profil lipid
 Gula darah

8. Terapi Tata Laksana ditujukan pada penyakit yang mendasari


9. Edukasi Kontrol penyakit yang mendasari
Ad Vitam : dubia ad bonam
10. Prognosis
Ad Fungsionam : dubia
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
- Tajam Penglihatan
- Nervus optikus
14. Indikator Medis
- Penglihatn warna
- Kontras sensitivitas

1. Jonathan D Trobe. Rapid Diagnosis in Ophthalmology.


Neuroophthalmology,2008
2. Anthony Pane, Michael Burdon, Neil r Miller, The
Neurophthalmology, Survival Guide, 2007
3. Neil R Miller, Nancy J Newman; Clinical Neuroopthalmology
1. Kepustakaan Walsh-Hoyt, 6th ed/2005
4. Liesegang,G. Et all. Sec. 5th. American Academy
Ophthalmology. 2015-2016
5. Ehlers, J P. et al. Neuro-Ophthalmology. The Wills Eye Manual.
6th edition. William & Wilkins.2012

13
14

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

NEUROOFTALMOLOGI
Traumatik Optik Neuropati ( ICD 10.H.47.0 )
Kerusakan saraf optik akibat trauma pada kepala, mata atau bola
1. Pengertian (Definisi) mata. dapat terjadi secara langsung, tidak langsung atau akibat
proses kompresi.
Penurunan tajam penglihatan mendadak dan sering berat pada satu
2. Anamnesa
mata atau dua mata setelah trauma pada kepala atau mata
1. Pemeriksaan oftalmologi Umum
3. Pemeriksaan Rutin
2. Pemeriksaan Lapang pandangan
1. Buram mendadak setelah trauma kepala ataupun mata
2. Umumnya unilateral
3. Diplopia bisa ada ataupun tidak ada
4. RAPD (+) pada mata yang terkena
4. Kriteria Diagnosis
5. Papil nervus optikus umumnya normal pada keadaan
awalkemudian memucat setelah 4 - 8 minggu
6. Dapat ditemukan adanya gangguan pergerakan mata
7. Terdapat gangguan lapang pandangan
5. Diagnosis Traumatik Optik Neuropati
- Jika riwayat dan kelaianan yang dijumpai memenuhi kriteria
diagnosis maka tidak ada diagnosis banding
6. Diagnosis Banding
- Retinopati traumatika
- Ruptur koroidal
- Pemeriksaan CT Scan/MRI orbita
7. Pemeriksaan Penunjang - Foto Fundus
- Pemeriksaan OCT
1. Beberapa pasien mengalami perbaikan dengan sendirinya
2. Tatalaksana meliputi observasi, pemberian kortikosteroid,
8. Terapi operasi bila memungkinkan ( orbital decompression atau orbital
canal decompression ) .
3. Neuroprotektif agent
9. Edukasi
Ad vitam : dubia
10. Prognosis
Ad Fungsionam : dubia
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Tajam Penglihatan, Lapang Pandang
14
15

1. Jonathan D Trobe. Rapid Diagnosis in Ophthalmology.


Neuroophthalmology,2008
2. Anthony Pane, Michael Burdon, Neil r Miller, The
Neurophthalmology, Survival Guide, 2007
3. Neil R Miller, Nancy J Newman; Clinical Neuroopthalmology
15. Kepustakaan Walsh-Hoyt, 6th ed/2005
4. Liesegang,G. Et all. Selected Systemic Conditions with Neuro-
Ophthalmic Signs. Neuroophthalmology. Sec. 5th. American
Academy Ophthalmology. 2015 - 2016.
5. Ehlers, J P. et al. The Wills Eye Manual. 6th edition. William &
Wilkins.2012

15
16

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

NEUROOFTALMOLOGI
Papil Edema ( ICD 10. H.47.1 )
Edema pada kedua nervus optikus yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan intakranial oleh karena terdapatnya SOL atau
1. Pengertian (Definisi)
hidrosefalus yang dapat dibuktikan pada pemeriksaan
neuroimaging.
1. Dapat ditemukan gejala neurologis seperti nyeri kepala hebat,
tinnitus pulsatile, non spesifik paraestesia, mual, muntah dan
gejala lain yang berhubungan dengan penyebabnya.
2. Anamnesa
2. Terdapat keluhan Transient Visual Obscuration
3. Fotopsia
4. Diplopia
1. Pemeriksaan Oftalmologi Umum
2. Pemeriksaan Warna
3. Pemeriksaan Rutin
3. Pemeriksaan sensitivitas kontras
4. Pemeriksaan Lapang pandang

1. Dapat ditemukan gejala neurologis seperti nyeri kepala hebat,


tinnitus pulsatile, non spesifik paraestesia, mual, muntah dan
gejala lain yang berhubungan dengan penyebabnya.
2. Terdapat keluhan Transient Visual Obscuration
3. Fotopsia
4. Kriteria Diagnosis 4. Terkadang dapat ditemukan adanya diplopia yang
disebabkanoleh parese N.III, IV atau VI karena peningkatan
tekanan intracranial
5. Tajam penglihatan dapat normal atau menurun
6. Presepsi warna dapat normal ataupun menurun
7. Gangguan lapang pandangan

5. Diagnosis Papil edema


- Pseudopapil edema
6. Diagnosis Banding
- Papilitis
1. Foto Fundus
7. Pemeriksaan Penunjang 2. Pemeriksaan OCT
3. Pemeriksaan neuroimaging (CT Scan/MRI brain)
8. Terapi Ditujukan pada penyebabnya
9. Edukasi Pemeriksaan mata rutin
Ad Vitam : dubia ad bonam
10. Prognosis
Ad Fungsionam : dubia
11. Tingkat Evidens I/II/III
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
16
17

13. Penelaah Kritis


- Tajam penglihatan
- evaluasi diskus optikus (foto fundus)
14. Indikator Medis - Penglihatan warna
- Sensitivitas kontras
- Lapang Pandang
1. Jonathan D Trobe. Rapid Diagnosis in Ophthalmology.
Neuroophthalmology,2008
2. Anthony Pane, Michael Burdon, Neil r Miller, The
Neurophthalmology, Survival Guide, 2007

15. Kepustakaan 3. Neil R Miller, Nancy J Newman; Clinical Neuroopthalmology


Walsh-Hoyt, 6th ed/2005
4. Liesegang,G. Et all. Neuroophthalmology. Sec. 5th. American
Academy Ophthalmology. 2015 - 2016.
5. Ehlers, J P. et al. The Wills Eye Manual. 6th edition. William &
Wilkins.2012

17
18

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

NEUROOFTALMOLOGI
GRAVES OFTALMOPATI ( ICD 10.E.05 )
Inflamasi Subakut atau kronik pada otot ekstraokular atau jaringan
1. Pengertian (Definisi) lunak orbita lainnya yang berhubungan dengan reaksi autoimun
terhadap kelenjar tiroid
Ditemukan adanya hipertiroid atau hipotiroid namun pada
2. Anamnesa
beberapa pasien dapat ditemukan eutiroid
1. Pemeriksaan oftalmologi umum termasuk tekanan intra okular
3. Pemeriksaan Rutin
2. Pemeriksaan fungsi kelopak mata
3. Pemeriksaan Hertel
4. Pemeriksaan Lapang pandangan
5. Forced Duction Test (FDT)
1. Ditemukan adanya hipertiroid atau hipotiroid
namun pada beberapa pasien dapat ditemukan eutiroid
4. Kriteria Diagnosis 2. Pada pemeriksaan dapat ditemukan lid retraction,
lid lag, lagoftalmus, exoftalmus, gangguan gerak bola mata,
diplopia, oftalmoplegi, dan pembesaran otot ekstra
5. Diagnosis Graves Ophthalmopaty
- Penyakit Inflamasi orbita
- Tumor orbita
6. Diagnosis Banding - Carotid cavernosus Fistula
- Neuropati optic infiltrative
- Selulitis orbita
1.Pemeriksaaan laboratorium, untuk kadar hormon tiroid
7. Pemeriksaan Penunjang 2.CT Scan / MRI Orbita
3.Foto fundus
 Tatalaksana dilakukan bersama dengan dokter spesialis
penyakit dalam
 Bila ditemukan adanya lagotalmus dapat diberikan artifisial
tears untuk siang hari dan salep mata untuk malam hari untuk
mencegah kekeringan kornea
 Kortikosteroid dapat diberikan pada keadaan:
8. Terapi
1. Gangguan fungsi nervus optikus
2. Diplopia akut
3. Exoftalmus berat
4. Tanda-tanda kongesti akut
 Dapat dilakukan dekompresi orbita apabila ditemukan adanya
kompresi nervus optikus
9. Edukasi Kontrol penyakit yang mendasari
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
18
19

11. Tingkat Evidens I A


12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
- Tajam Penglihatan
- Gangguan gerak mata
14. Indikator Medis
- Tanda tanda kompesif pada syaraf optikus
- Tanda gannguan pada segmen anterior mata

1. Jonathan D Trobe. Rapid Diagnosis in Ophthalmology.


Neuroophthalmology,2008
2. Anthony Pane, Michael Burdon, Neil r Miller, The
Neurophthalmology, Survival Guide, 2007
3. Neil R Miller, Nancy J Newman; Clinical Neuroopthalmology
15. Kepustakaan Walsh-Hoyt, 6th ed/2005
4. Liesegang,G. Et all. Neuroophthalmology. Sec. 5th. American
Academy Ophthalmology. 2015 - 2016.
5. Ehlers, J P. et al. The Wills Eye Manual. 6th edition. William
& Wilkins. 2012

19
20

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

NEUROOFTALMOLOGI
Methanol Toxic Optic Neuropathy ( ICD 10.G.62.31 )
Suatu keadaan penurunan visus dan gangguan N. Optikus diakibatkan
1. Pengertian (Definisi)
terdapatnya metanol di dalam pembuluh darah
1. Riwayat minum alkohol (methanol)
2. Penurunan visus
2. Anamnesa 3. Sakit kepala
4. Mual/Muntah
5. Sakit perut
1. Pemeriksaan Oftalmologi umum
2. Pemeriksaan sensitivitas warna
3. Pemeriksaan Rutin 3. Pemeriksaan sensitivitas kontras
4. Pemeriksaan Lapang pandangan
5. Pemeriksaan Foto fundus
1. Riwayat minum alkohol
2. Penurunan tajam penglihatan yang bervariasi bersifat bilateral,
simetris, tidak nyeri, gradual dan progresif.
3. Penurunan persepsi warna dan kontras yang bervariasi
4. RAPD pada mata yang terkena (bisa ada atau tidak)
6. Kriteria Diagnosis
5. Kelainan lapang pandangan
6. Papil syaraf optikus menunjukkan gambaran edema papilyang ringan
sampai moderat tanpa gambaran eksudat kerasmaupun cotton wool
spot
7. Asidosis Metabolik
8. Diagnosis Methanol Toxic Optic Neuropathy
9. Diagnosis Banding Metabolic optic neuropati
10. Pemeriksaan Penunjang 1. Analisa gas darah
2. Pemeriksaan laboratorium
3. Pemeriksaan OCT
11. Terapi Ada 4 tujuan utama :
1. Menghambat alkohol dehidrogenase untuk mencegah
pembentukan metabolik toksis
2. Koreksi asidosis dengan bikarbonat, pemberian etil alkohol
IV
3. Penggunaan kofaktor enzim spesifik seperti asam folat,
thiamin, piridoksin untuk memodifikasi deleterious metabolik
pathways
4. Pengeluaran toksin dan metabolit dengan hemodialisis
Kriteria Memulai Terapi
1. Plasma metanol > 20 mg
2. Riwayat konsumsi atau keracunan metanol dan osmolar gap > 10
mosm/L

20
21

3. Diduga konsumsi alkohol dengan paling sedikit 2 diantara :


1. PH arterial 7,3
2. Serum bikarbonat < 20 mosm /L
3. Osmolar gap > 10 mosm/L
Hemodialisa
Hemodialisis urgent :
1. Asidosis signifikan pH < 7,2 dengan terapi unresponsif
2. Penurunan vital sign meskipun telah dilakukan terapi intensif
3. Gagal ginjal
4. Inbalans elektrolit yang berat
5. Visus atau funduskopi abnormal
6. Konsentrasi serum metanol > 50 mg/dl atau > 30 gr
12. Edukasi 1. Antisipasi dengan penyimpanan obat yang
berbahaya
2. Motivasi bagi yang ketergantungan
3. Merujuk ketempat ketergantungan obat.
13. Prognosis Ad Vitam : dubia
Ad Fungsionam : dubia
14. Tingkat Evidens IA
15. Tingkat Rekomendasi A
16. Penelaah Kritis
17. Indikator Medis Tajam Penglihatan
18. Kepustakaan 1. Jonathan D Trobe. Rapid Diagnosis in Ophthalmology.
Neuroophthalmology,2008
2. Anthony Pane, Michael Burdon, Neil r Miller, The
Neurophthalmology, Survival Guide, 2007
3. Neil R Miller, Nancy J Newman; Clinical
Neuroopthalmology Walsh-Hoyt, 6th ed/2005
4. Diany Y, Methanol Toxic Optikus Neurophathy. Airlangga
University . Divisi Neuroophthalmology,2011

21
22

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

NEUROOFTALMOLOGI
Ocular Myasthenia Gravis ( ICD 10.G.70.01 )
Penyakit autoimun yang mengenai neuromuscular junction yang
1. Pengertian (Definisi)
menyebabkan kelemahan pada otot otot bola mata
Kelemahan otot-otot semakin memburuk pada sore hari dan membaik
2. Anamnesa
dengan istirahat
1. Pemeriksaan oftalmologi umum
2. Pemeriksaan Gerak bola mata
3. Pemeriksaan Fungsi kelopak mata
3. Pemeriksaan Rutin
4. Forced duction test
5. Ice pack test
6. Sleep test
1. Ptosis
- Unilateral, bilateral, atau alternating
- Pada yang bilateral dapat simetris maupun tidak
- Onsetnya gradual atau intermiten
- Bervariasi dari hari ke hari
- Umumnya lebih berat pada sore hari atau saat kelelahan
- Dapat membaik setelah beristirahat
4. Kriteria Diagnosis
2. Diplopia
- Horisontal, vertikal, atau oblik
- Keparahan diplopia bervariasi dari hari ke hari dan dalam satu hari
- Umumnya lebih berat pada sore hari dan saat lelah
- Dapat membaik setelah beristirahat
3. Kelainan sistemik (pada general miasthenia gravis)
- Kelemahan pada otot tubuh lainnya
5. Diagnosis Myastenia gravis
1. Eaton-Lambert Syndrome
2. Third nerve Palsy
3. Horner Syndrome
6. Diagnosis Banding
4. Thyroid Related Orbitopathy
5. Orbital Inflamatory Pseudotumor
6. Myotonic Dystrophy
7. Pemeriksaan Penunjang 1 Tensilon test
2 Pemeriksaan Serum Assays untuk anti-asetilkoline reseptor antibodi
atau anti muscle spesifik kinase (MuSk)
3 Electromyografi
4 CT Scan thorax (untuk deteksi Thymoma)
22
23

1. Asetilkolinesterase-inhibitor (mestinon)
2. Kortikosteroid
8. Terapi
3. Imunosupresan
4. Thymectomy (bila ada thymoma)
9. Edukasi Kontrol berkala
Ad Vitam : dubia ad bonam
10. Prognosis
Ad Fungsionam : dubia ad bonam/bonam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Perbaikan dari gejala kelemahan otot mata
 Liesegang,G. Et all. Neuroophthalmology. Sec. 5th. American
Academy Ophthalmology. 2015 – 2016

 Jonathan D Trobe. Rapid Diagnosis in Ophthalmology.


Neuroophthalmology,2008
15. Kepustakaan
 Anthony Pane, Michael Burdon, Neil r Miller, The
Neurophthalmology, Survival Guide, 2007
 Neil R Miller, Nancy J Newman; Clinical Neuroopthalmology
Walsh-Hoyt, 6th ed/2005
 Ehlers, J P. et al. The Wills Eye Manual. 5th edition. William &
Wilkins. 2012

23
24

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

NEUROOFTALMOLOGI
Arteritis Anterior Iskemik Optik Neuropati (AAION)
Peradangan sistemik vaskulitis granulomatosa yang mempengaruhi arteri
1. Pengertian (Definisi)
berukuran besar dan medium.
Terdapat nyeri kepala dan leherserta dapat yeri mengunyah, nyeri pada
rahang dan lidah, terdapat kehilangan penglihatan sementara waktu atau
2. Anamnesa permanen pada satu mata atau kedua mata secara tiba -tiba, diplopia atau
nyeri pada mata serta nyeri pada anggota gerak. Biasanya pada usia  50
tahun
- Pemeriksaan oftalmologi umum
- Pemeriksaan warna
3. Pemeriksaan Rutin
- Pemeriksaan sensitivitas kontras
- Pemeriksaan lapang pandang
1. Kehilangan visus monocular atau binocular yang terjadi tiba - tiba
2. Kehilangan lapang pandang
3. Edema diskus optikus kadang pucat
4. Kriteria Diagnosis
4. Tedapat nyeri kepala , jaw claudication, fatique, anoreksia, nyeri pada
anggota gerak
5. Hasil Laboratorium yang abnormal (ESR, Platelet atau CRP)
5. Diagnosis Arteritis Anterior Iskemik Optik Neuropati (AAION)
1.Neuritis optic atipikal
6. Diagnosis Banding 2. NAION
3. Neuropati optic infiltratif
1. foto fundus
2. OCT
7. Pemeriksaan Penunjang
3. Fluorescein angiografi
4. Pem Lab
8. Terapi Kortikosteroid
9. Edukasi Kontrol berkala
Ad Vitam : dubia ad bonam
11. Prognosis
Ad Fungsionam : dubia
16. Tingkat Evidens IA
17. Tingkat Rekomendasi A
18. Penelaah Kritis
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan  Liesegang,G. Et all. Neuroophthalmology. Sec. 5th. American Academy
Ophthalmology. 2015 - 2016
 Jonathan D Trobe. Rapid Diagnosis in Ophthalmology.
24
25

Neuroophthalmology,2008
 Anthony Pane, Michael Burdon, Neil r Miller, The Neurophthalmology,
Survival Guide, 2007
 Neil R Miller, Nancy J Newman; Clinical Neuroopthalmology Walsh-
Hoyt, 6th ed/2005
 Ehlers, J P. et al. The Wills Eye Manual. 5th edition. William &
Wilkins. 2012

25
26

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

VITREO RETINA
RETINOPATI HIPERTENSI ( H35.039 )
Suatu perubahan vaskular retina akibat tingkatan tekanan darah
1. Pengertian (Definisi)
sistemik untuk waktu yang lama
1. Umumnya tidak ada gejala awal (sekalipun pada pemeriksaan
fundus sudah ada gangguan pembuluh darah retina)
2. Anamnesa 2. Floaters terjadi akibat adanya bercak-bercak perdarahan vitreus
3. Penglihatan buram mendadak dapat terjadi perdarahan vitreus yang
lebih masif
1. Pemeriksaan tajam penglihatan
2. Tonometri
3. Pemeriksaan Fisik 3. Oftalmoskopi dalam kondisi pupil dilatasi :
 Oftalmologi direk
 Oftalmologi indirek
4. Kriteria Diagnosis Dijumpai vasokonstriksi fokal maupun luas pada anterior retina,
crossing phenomen, copper wire dan silver wire, perdarahan, eksudat,
serta cotton wool spots. Pada keadaan lanjut dapat ditemukan star
figure eksudat.
Klasifikasi Scheie :
1. Hipertensi :
a. Grade 0 : Pembuluh darah retina normal
b. Grade 1 : Penyempitan arteriola yang difus, kaliber
arteriolar yang uniform
c. Grade 2 : Penyempitan arteriolar semakin jelas dan
didapatkan area fokal konstriksi arteriolar
d. Grade 3 : Grade 2 + dengan perdarahan retina dan, atau eksudat
5. Diagnosis e. Grade 4 : Grade 3 + dapat ditemukan bersama edema retina,
eksudat keras, papil edema
2. Arteriolar Sklerosis :
a. Grade 0 : Normal
b. Grade 1 : Perubahan refleks dinding pembuluh arteri yang mudah
dilihat
c. Grade 2 : Peningkatan refleks pembuluh arteri yang nyata
d. Grade 3 : Copper wire arteri
e. Grade 4 : Silver wire arteri
6. Diagnosis Banding 1. Branch Retinal Vein Occlusion (BRVO)
2. Central Retinal Vein Occlusion (CRVO)
3. Ocular Ischemic Syndrome
4. Retinopathy Hemoglobinopathies

26
27

7. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto Fundus


2. Fundus Fluorescein Angiography (FFA)
5.Konsultasi Penyakit Dalam : Ginjal-hipertensi
6.Konsultasi cabang ilmu lain sesuai keperluan
8. Terapi 1. Atasi hipertensinya (konsultasi Bagian Penyakit Dalam)
2. Bila dalam keadaan lanjut terjadi perdarahan vitreus dapat
dipertimbangkan tindakan vitrektomi pars plana
9. Edukasi Kontrol sistemik faktor-faktor resiko, yaitu meraih tekanan darah dan
faktor sistemik lain yang optimal
10. Prognosis Dubia
11. Tingkat Evidens 1A
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis dr. H.A.K.Ansyori,Sp.M(K),M.Kes,MARS
1. Penurunan visus
2. Riwayat Hipertensi
14. Indikator Medis 3. Ditemukan kelainan pada retina seperti perdarahan, eksudat,
edema papil, kelainan pembuluh darah (kelainan sesuai dengan
derajat kerusakan retina)
15. Lama Rawat Rawat jalan
16. Kepustakaan Liesegang, G., et all. Retina and Vitreous.Sec 5 th. American
Academy Ophtalmology.2014-2015

27
28

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

VITREO RETINA
ABLASIO RETINA ( H.33 )
Lepasnya lapisan neurosensoris retina dari pigmen epitel retina

Klasifikasi Ablasio Retina :


1. Ablasio Retina Rhegmatogen :
Pelepasan lapisan neurosensoris retina dari epitel pigmen retina
dengan adanya cairan subretina yang masuk lewat robekan retina
2. Ablasio Retina Non Rhegmatogen
 Traction Retinal Detachment :
1. Pengertian (Definisi)
Pelepasan retina sensoris dari epitel pigmen retina oleh
tarikan membran vitreus atau proliferasi vitreoretina (PVR)
 Exudative Retinal Detachment :
Pengumpulan cairan disubretina akibat adanya kerusakan
epitel pigmen terina atau pembuluh darah retina sehingga
cairan dapat masuk kedalam subretina. Keadaan ini bisa terjadi
pada proses inflamasi seperti penyakit Harada, neoplasma
khoroid, hipertensi, dan ARMD
1. Ablasio Retina Rhegmatogen :
Mata tenang dengan penglihatan menurun, seperti tertutup tirai,
yang umumnya diawali floaters dan, atau fotopsia
2. Ablasio Retina Non Rhegmatogen
 Tractional Retinal Detachment :
2. Anamnesa
Mata tenang dengan penglihatan menurun
 Exudative Retinal Detachment :
Mata tenang dengan penglihatan menurun, seperti tertutup tirai
dimana daerah yang mengalami tertutup tirai dapat berpindah-
pindah. Tidak ditemukan floaters atau fotopsia
1. Pemeriksaan tajam penglihatan
2. Tonometri
3. Pemeriksaan Fisik 3. Oftalmoskopi dalam kondisi pupil dilatasi :
 Oftalmologi direk
 Oftalmologi indirek
4. Kriteria Diagnosis Klasifikasi Ablasio Retina Rhegmatogen :
1. Ablasio Retina Rhegmatogen Simpel, ditemukan :
2. Ablasio Retina Rhegmatogen dengan Proliferative Vitreo
Retinopathy (PVR)

Klasifikasi Ablasio Retina Non Rhegmatogen :


28
29

1. Tractional Retinal Detacment


2. Exudative Retinal Detachment
Ablasio Retina Rhegmatogen :
1. Ablasio Retina Rhegmatogen Simpel, ditemukan :
 Schafer sign “ tobacco dust appearance “ pada vitreus
 Robekan retina atau “ retinal break “ pada 90 – 95 % kasus
 Retina terangkat, berundulasi atau ada lipatan (retinal folds)
 Tanda–tanda khusus : garis demarkasi
 Subretinal fluid (SRF) jernih, bila sudah lama, kuning
 Tekanan intraokular menurun
2. Ablasio Retina Rhegmatogen dengan Proliferative Vitreo
Retinopathy (PVR)
Dinilai berdasarkan klasifikasi tahun 1991 dengan gambaran-
gambaran sebagai berikut :
 Grade A : Kekeruhan vitreus, bercak-bercak pigmen vitreus
serta pigmen-pigmen di bagian inferior retina
 Grade B : Pengerutan permukaan dalam retina, pengkakuan
retina, menjadi kaku peningkatan turtositas pembuluh darah,
pinggiran robekan retina lingkar, berkurangnya mobilitas
vitreus
 CP 1 – 12 : Bagian posterior dari ekuator, terlipatnya seluruh
5. Diagnosis
tebal retina, fokal, difus maupun sirkumferensial, subretina
strands
 CA 1 – 12 : Bagian anterior dari ekuator, terlipatnya seluruh
tebal retina, fokal, difus maupun sirkumferensial, subretinal
strands
 Dinyatakan dalam luas daerah terkena berdasarkan jam (clock
hours) atau jumlah kwadran

Ablasio Retina Non Rhegmatogen :


1. Traction Retinal Detachment, ditemukan :
 Membran vitreus dan jaringan proliferasi vitreoretina (PVR)
 Retina tidak bergerak
 Retina yang terlepas konkaf kearah anterior dan jarang
mencapai ora serrata
 Kadang-kadang disertai ablasio retina rhegmatogen
2. Exudative Retinal Detachment, ditemukan :
 Retina menggelembung dengan permulaan rata
 Shifting fluid
 Tidak ditemukan robekan retina
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto Fundus
2. Ultrasonografi mata, bila media keruh
8. Terapi Ablasio Retina Rhegmatogen :
1. Non bedah :
 Bedrest
 Positioning pasien
2. Bedah : dilakukan dalam anestesi umum atau lokal
 Pneumatic retinopexy
Penyuntikan gas SF6 atau C3F8 murni ke dalam rongga
29
30

vitreus yang diikuti dengan retinopexy pada daerah robekan di


retina
 Scleral buckling
Menempatkan band sebanyak 3600 dan tire pada daerah yang
terdapat robekan retina. Tindakan ini dapat diikuti oleh
penyuntikan gas SF6 atau C3F8 murni ke dalam rongga vitreus
serta diikuti dengan pemberian terapi cryo
 Vitrektomi pars plana
Vitrektomi secara umum adalah tindakan membersihkan
vitreus dari rongga vitreus. Tindakan vitrektomi ini
memungkinkan pembebasan retina dari traksi vitreoretina dan
kekeruhan vitreus, drainase cairan subretina secara internal,
dan berbagai prosedur vitreoretina lain, termasuk membrane
peeling, injeksi cairan perfluorokarbon dan silicone oil, serta
retinopexy secara langsung pada retina (endolaser). Tindakan
ini dapat dilakukan dengan atau tanpa kombinasi pemasangan
band 3600. Pada vitrektomi untuk ablasio retina, umumnya
diikuti oleh pemberian tamponade internal silicone oil atau gas
SF6 atau C3F8 serta aplikasi endolaser
Ablasio Retina Non Rhegmatogen :
1. Traction Retinal Detachment :
 Pada PDR :
Fotokoagulasi laser sebelum Scleral Buckling dan Vitrektomi
dengan membrane peeling
 Dengan ablasio retina rhegmatogen :
Operasi Scleral Buckling dan vitrektomi dengan membrane
peeling dan gas
2. Exudative Retinal Detachment :
Pasien ditatalaksana sesuai dengan penyakit yang mendasari
terjadinya exudative retinal detachment

9. Edukasi Pasca bedah :


1. Monitor tekanan intraokular
2. Positioning pasien sesuai dengan letak robekan retina
3. Pemberian antibiotika topikal dan kortikosteroid topikal selama 1-2
bulan
4. Pemberian midriatikum atau siklopegik selama 2 minggu
5. Pemeriksaan lanjut berkala pascaoperasi
 Bulan ke 1 : tiap 1 minggu
 Bulan ke 2 : tiap 2 minggu
 Bulan ke 3 – 6 : tiap 1 bulan
 Bulan ke 6 sampai 1 tahun : tiap 2 bulan

10. Prognosis Dubia


11. Tingkat Evidens 1C
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis Dokter Spesialis Mata
14. Indikator Medis 1.Penurunan visus mendadak
2.Pandangan seperti tertutup tirai

30
31

3.Ditemukan retinal detachment


15. Lama Rawat Rawat Jalan/ Rawat Inap
16. Kepustakaan Liesegang, G., et all. Retina and Vitreous.Sec 5 th. American
Academy Ophtalmology.2014-2015

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

VITREO RETINA
MAKULOPATI DIABETIKA ( E11.352 )
Edema retina yang mengancam atau melibatkan makula, yang
1. Pengertian (Definisi) merupakan konsekuensi visual dari permeabilitas vaskular yang
abnormal pada retinopati diabetika
1. Mata tenang dengan tajam penglihatan menurun
2. Anamnesa 2. Dapat juga asimptomatik dan memiliki tajam penglihatan yang
normal
1. Pemeriksaan tajam penglihatan
2. Tonometri
3. Pemeriksaan Fisik 3. Oftalmoskopi dalam kondisi pupil dilatasi :
 Oftalmologi direk
 Oftalmologi indirek
4. Kriteria Diagnosis Penebalan retina akibat edema makula diabetika dapat terjadi
secara lokal maupun difus
Klasifikasi (Clinically Significant Macular Edema (CSME)
menurut ETDRS :
1. Penebalan retina yang terletak pada bagian tengah makula atau
dalam jarak 500 μm dari tengah makula
5. Diagnosis 2. Eksudat keras pada atau dalam jarak 500 μm dari bagian tengah
makula apabila terdapat penebalan retina di sekitarnya
3. Zona penebalan retina lebih besar daripada 1 disc area, apabila
terdapat pada area dalam jarak 1 disc diameter dari bagian
tengah makula
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto Fundus
2. Optical Coherence Tomography (OCT)
8. Terapi 1. CSME tanpa keterlibatan pusat makula, dengan ketajaman
penglihatan normal : dilakukan fotokoagulasi laser. Pemeriksaan
OCT tidak dilakukan
2. CSME dengan keterlibatan pusat makula, ketajaman
penglihatan normal atau berkurang sedikit (>78 huruf) :
dilakukan fotokoagulasi laser atau observasi jika sumber
kebocoran sangat dekat dengan fovea dan tidak ada lesi yang
dapat diterapi dengan laser. Pemeriksaan OCT belum perlu
dilakukan
3. CSME dengan keterlibatan pusat makula, ketajaman
31
32

penglihatan 78-24 huruf, keadaan afakia, dan pemeriksaan OCT


didapatkan ketebalan retina sentral > 250 μm : dilakukan injeksi
intravitreal anti-VEGF dengan, atau tanpa laser. Pada mata yang
tidak responsif dapat diberikan implant fluocinolone intravitreal,
namun ingatlah efek sampingnya
4. CSME dengan keterlibatan pusat makula, ketajaman
penglihatan 78-24 huruf, keadaan pseudofakia, dan pemeriksaan
OCT didapatkan ketebalan retina sentral > 250 μm : dilakukan
injeksi intravitreal anti-VEGF atau triamcinolone dengan, atau
tanpa laser tambahan. Pada mata yang tidak responsif dapat
dipertimbangkan implant fluocinolone intravitreal
5. CSME dengan keterlibatan pusat makula, ketajaman
penglihatan < 24 huruf, keadaan pseudofakia, dan pemeriksaan
OCT didapatkan ketebalan retina sentral > 250 μm : observasi
dapat dipertimbangkan, terutama jika sudah berlangsung lama
dan tidak ada respon
Terhadap terapi laser sebelumnya, atau jika mungkin terdapat
iskemia makula. Pertimbangkan injeksi intravitreal anti-VEGF
atau steroid setelah konsultasi yang cermat dan informed
consent
1. CSME dengan keterlibatan pusat makula, ketajaman penglihatan
< 24 huruf, dan pemeriksaan OCT didapatkan traksi vitreoretina
: pertimbangkan vitrektomi dengan, atau tanpa terapi injeksi
intravitreal anti-VEGF atau steroid tambahan

9. Edukasi 1. Kontrol sistemik faktor-faktor resiko, yaitu kontrol glikemik


dan faktor sistemik lainnya secara optimal
2. Kontrol ulang :
 Setiap 3-4 bulan : setelah menjalani laser makula selama
tidak ada hal-hal tertentu yang membutuhkan follow up
yang lebih sering
 Setiap bulan selama 1 tahun pertama : setelah menjalani
terapi anti-VEGF
 Pengawasan tekanan intraokular secara berkala : setelah
menjalani terapi steroid intravitreal
10. Prognosis Dubia
11. Tingkat Evidens 1A
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis dr. H.A.K.Ansyori,Sp.M(K),M.Kes,MARS
1.Penurunan visus
14. Indikator Medis 2.Riwayat DM
3.Ditemukan edema makula
15. Lama Rawat 2 hari
16. Kepustakaan Liesegang, G., et all. Retina and Vitreous.Sec 5 th. American
Academy Ophtalmology. 2014-2015

32
33

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

VITREO RETINA
(Nasolacrimal Duct Obstruction NLDO) ICD 10 = H.04.0

16. Pengertian (Definisi) Nasolacrimal Duct Obstruction (NLDO)


Adalah sumbatan pada duktus nasolakrimal. Obstruksi duktus
nasolakrimal kongenital biasanya disebabkan karena belum
terbukanya membran Hassner.
Kelainan ini didapat sejak lahir.
17. Anamnesa Mata berair-air sejak lahir
Dapat disertai sekret atau tidak
18. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan mata umum
2. Terdapat epifora
3. Terdapat sekret
19.Pada saat daerah sakus lakrimal ditekan dengan jari akan tampak
regurgitasi sekret dari pungtum lakrimal.
20. Kriteria Diagnosis 1. Epiphora
2. Regurgitasi sekret dari pungtum lakrimal
3. Tes Anel (-)
4. Probing
21. Diagnosis Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan ophthalmologi serta
pemeriksaan penunjang.
22. Diagnosis Banding 1. Pungtal agenesis dan disgenesis
2. Kanalikuli agenesis dan disgenesis
23. Pemeriksaan Penunjang 1. Tes Anel (-)
2. Probing
3. Dakriosistografi
24. Terapi 1. Antibiotika topikal (golongan spectrum luas seperti Floxa, LFX)
2. Massage pada sakus lakrimal ( usia < 6 bulan)
3. Probing, bila (+) pasang silikon intubasi
(bila gagal 2 kali  no.3)
4. Dakriosistorhinostomi dengan silikon tube
26. Edukasi 1. Melakukan massage 2 kali sehari
2. Membersihkan kotoran mata dengan tisu sekali pakai
3. Menjaga kebersihan anak
27. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Adfungsionam: dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
28. Tingkat Evidens IA
33
34

29. Tingkat Rekomendasi A


30. Penelaah Kritis dr. H.A.K.Ansyori,Sp.M(K),M.Kes,MARS
31. Indikator Medis Epifora dan tidak resolve spontan
32. Lama Rawat Tidak dirawat, dirawat jika akan melakukan tindakan probing dan
Dakriosistorhinostomi
33. Kepustakaan 1. AAO section 6 2015-2016 p.234-240
2. AAO section 7 2015-2016 p.250-256
3. Protap FKUI-RSCM

34
35

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

PEDIATRIK OPHTHALMOLOGI
Epidemik Keratokonjungtivitis ICD 10 = H.10.0
1. Pengertian (Definisi) Epidemik keratokonjungtivitis adalah konjungtivitis viral yang
sering disebabkan oleh adenovirus (DNA virus) dan terjadi
secara epidemik.
Infeksi konjungtivitis viral adalah konjungtivitis folikular akut
yang biasanya unilateral dan disertai pembesaran kelelenjar limfe
preaurikular
2. Anamnesa - Nyeri periorbital
- Rasa mengganjal
- Mata merah
- Berair-air
- Sering pada anak-anak
3. Pemeriksaan Fisik - Miks injeksi konjungtiva
- Edema konjungtiva
- Konjungtiva membran
- Erosi kornea
- Infiltrat subepitel
4. Kriteria Diagnosis 1. Onset 2 minggu
2. Anamnesa
3. Pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Pemeriksaan klinis
Test Imunochromatography
6. Diagnosis Banding 1. Konjungtivitis atopi
2. Konjungtivitis alergi
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Test Imunochromatography
8. Terapi 1. Suportif
2. Topikal steroid 3 -4 kali /hari (Tobroson, Posop, P-Pred)
3. Artificial tears (Protagenta, C-lyteers)
4. Kompres dingin
9. Edukasi 1. Membersihkan kotoran mata dengan tisue sekali pakai
2. Membersihkan kotoran mata sesering mungkin
3. Membuang tisue bekas pakai pada tempatnya ( mencegah
penularan)
4. Istirahat dirumah atau izin dari sekolah
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Adfungsionam: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
35
36

11. Tingkat Evidens IA


12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Mix Injeksi konjungtiva dan Erosi kornea
15. Lama Rawat Tidak dirawat
16. Kepustakaan 1. AAO section 6 2015-2016 p.267-268
2. AAO section 8 2015-2016 p.120-121
3. Protap FKUI-RSCM

36
37

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

PEDIATRIK OPHTHALMOLOGI
Glaukoma Kongenital ICD 10 = Q 15.0
1. Pengertian (Definisi) Glaukoma kongenital adalah glaukoma yang terjadi sejak lahir
atau tahun pertama kehidupan. Glaukoma kongenital terdiri atas
glaukoma infantil primer dan sekunder serta glaukoma juvenile
2. Anamnesa Trias:
- Epifora
- Fotofobia
- Blefarospmasme
3. Pemeriksaan Fisik 1. Diameter kornea > 12 mm
2. Kornea keruh: ringan - berat
3. Haab’s striae ( descemet tear)
4. Penurunan tajam penglihatan hingga ambliopia
5. TIO meningkat
6. Gonioskopi: bilik mata depan dalam, terbuka, insersi
pangkal iris ke anterior, tidak ada angle resess, hipoplasia
iris perifer, penebalan trabekulum sisi uvea.
4. Kriteria Diagnosis 1. TIO (sedasi atau anestesi umum)
2. Diameter kornea
3. Funduskopi (sedasi atau anestesi umum)
4. Gonioskopi (sedasi atau anestesi umum)
5. Diagnosis Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan ophthalmologi serta
pemeriksaan penunjang.
6. Diagnosis Banding Naso Lacrimal Ductus Obstruction
7. Pemeriksaan Penunjang 1. USG orbita bila segment posterior tidak tembus
2. Gonioskopi bila memungkinkan
8. Terapi 1. Obat anti glaukoma
2. Goniotomi bila kornea jernih
3. Trabekulotomi bila kornea keruh
4. Kombinasi trabekulotomi dan trabekulektomi
5. Implant
10. Edukasi 1. Fungsi penglihatan setelah operasi sangat ditentukan oleh
kerusakan papil optik.
2. Tindakan bedah yang telah dilakukan, sangat mungkin
dilakukan pengulangan tindakan bedah
3. Komplikasi yang mungkin terjadi: katarak, pphaerdarahan
suprakoroid dan endophthalmitis
4. Penting untuk kontrol secara berkala
37
38

11. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad fungsionam : dubia ad malam
Adsanationam: dubia ad malam
12. Tingkat Evidens IA
13. Tingkat Rekomendasi A
14. Penelaah Kritis

15. Indikator Medis Kornea keruh dan TIO meningkat


16. Lama Rawat Dirawat jika akan dilakukan tindakan dengan anestesi umum
17. Kepustakaan 1. AAO section 6 2015-2016 p.277-289
2. AAO section 10 2015-2016 p.139-158

38
39

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

PEDIATRIK OPHTHALMOLOGI
Rabdomiosarkoma
1. Pengertian (Definisi) Rabdomiosarkoma adalah tumor otot skeletal orbita yang paling
sering ditemukan pada anak-anak usia 5 – 7 tahun
2. Anamnesa Mata menonjol dalam waktu yang cepat, kadang-kadang didahului
oleh trauma.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Proptosis
2. Masa tumor biasanya di kuadran superonasal
3. Pergeseran bola mata kearah lateral bawah
4. Blepharoptosis
5. Edema palpebra dan konjungtiva
6. Bisa terjadi lagoftalmos dan keratitis eksposure
4. Kriteria Diagnosis 1. Masa di kuadran superonasal dalam waktu yang cepat
2. Proptosis
3. Pergeseran bola mata kearah lateral bahan
4. Riwayat trauma sebelumnya
5. Diagnosis Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan ophthalmologi dan
pemeriksaan penunjang.
6. Diagnosis Banding 1. Pseudotumor
2. Grave’s ophthalmopathy
3. Tumor metastase (leukemia)
7. Pemeriksaan Penunjang 1. CT-Scan dan MRI
2. Pemeriksaan Histopatologi (FNAB)
3. Pemeriksaan imunohistokimia
8. Terapi 1. Bila terbatas pada orbita:
- Biopsi
- Konsul bagian IKA utk terapi sitostatika
- Radioterapi  paliatif
- Eksisi – eksenterasi  tergantung sisa tumor
2. Bila tumor meluas ke ekstraorbita: intrakranial, sinus paranasal,
kelenjar getah bening regional:
- Biopsi
- Konsul bagian IKA utk terapi sitostatika
- Radioterapi  paliatif
- Konsul bedah saraf / THT utk joint operasi (bila mungkin)
3. Tumor dengan metastase jauh:
- Biopsi
- Konsul bagian IKA utk terapi sitostatika
39
40

- Radioterapi  paliatif
9. Edukasi 1. Fungsi penglihatan sangat tergantung dengan besar tumor dan
perluasan tumor
2. Terapi sitostatika dan radioterapi mempunyai efek samping
3. Memberikan suport kepada anak agar tidak rendah diri
4. Merencanakan tindakan rekonstruksi setelah operatif
5. Mengingatkan untuk menjaga mata yang satu sebaik-baiknya
(bila dialkukan eksenterasi)
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam – malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad bonam – malam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Proptosis dan Pergeseran bola mata
15. Lama Rawat Dirawat jika akan dilakukan tindakan biopsy, eksenterasi
dengan menggunakan anestesi umum
16. Kepustakaan 1. AAO section 4 2015-2016 p. 76-78
2. AAO section 6 2015-2016 p. 221-222
3. Protap FKUI-RSCM

40
41

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

PEDIATRIK OPHTHALMOLOGI
Dermoid kornea
1. Pengertian (Definisi) Dermoid kornea adalah choristoma yang terdiri atas jaringan
fibrofatty yang ditutupi oleh epitel keratin.
Dermoid kadang berisi folikel rambut, kelenjar sebasea, dan
kelenjar keringat.
2. Anamnesa Tampak benjolan berwarna merah muda dibagian tepi kornea
(biasanya didekat limbus)
3. Pemeriksaan Fisik 1. Dermoid dapat mencapai ukuran 8 – 10 mm
2. Selalu berada di atas limbus
3. Bisa meluas ke stroma kornea dan perbatasan sklera
4. Paling sering di kuadran infero-temporal limbus
4. Kriteria Diagnosis 1. Masa dermoid di sekitar limbus (limbal dermoid)
2. Sering ditemukan pada Goldenhar syndrome
5. Diagnosis Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan ophthalmologi dan
pemeriksaan penunjang.
6. Diagnosis Banding 1. Kista konjungtiva
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Biopsi eksisi
2. Pemeriksaan histopatologi
8. Terapi Eksisi
Artificial tears (Protagenta, C-lyteers)
Antibiotika steroid topical (Tobroson)
9. Edukasi Post operasi bisa terjadi sikatrik kornea yang menyebabkan
astigmatisma dan ambliopia.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Adsanationam: dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Massa dermoid mengganjal dan meluas ke kornea
15. Lama rawat Dirawat karena tindakan eksisi menggunakan anestesi umum
16. Kepustakaan 1. AAO section 6 2015-2016 p.243

41
42

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

PEDIATRIK OPHTHALMOLOGI
KATARAK
1. Pengertian (Definisi) Katarak adalah kekeruhan yang terjadi pada nukleus, kapsullensa
Atau keduanya.
2. Anamnesa - Riwayat kehamilan dan persalinan?
- Riwayat penyakit yang sama dalam keluaarga? pedigree
- Riwayat trauma?
- Ada kotoran? warna? kekentalan?
- Apakah riwayat mata merah berulang?
- Ada rasa nyeri?tibatiba?
- Apakah ada rasa silau?
- Apakah penglihatan kabur perlahan/mendadak?
- Apakah mata berair-air?
- Adakah terlihat mata seperti mata kucing?
- Adakah riwayat pemakaian obat yang lama?
- Adakah reaksi alergi obat?
- Riwayat mata merah?
- Apakah ada batuk yang lama? Sakit gigi? Nyeri sendi? demam?
- Apakah memelihara kucing atau anjing?
- Apakah penyakit mengenai satu mata atau dua mata?
3. Pemeriksaan Fisik - Pemeriksaan oftalmologis (segmen anterior dan posterior)
4. Kriteria Diagnosis 1. Penurunan tajam penglihatan
2. TIO normal/tinggi
3. Segmen posterior : Reflek fundus -/+
4. Sejak lahir atau terjadi dalam 1 tahun pertama
5. Kekeruhan dilensa atau kapsul lensa, atau keduanya
6. Diagnosis - Katarak congenital
- Katarak Juvennile
7. Diagnosis Banding 1. Retinoblastoma
2. Coats disease
3. ROP
4. PHPV
8. Pemeriksaan Penunjang 1. USG
9. Terapi Ekstraksikatarak (ECCE, ICCE.SICS, Phacoemusification) + IOL
Obat tetes mata post operasi berupa antibiotika topical
(Tobroson,Floxa,LFX), anti inflamasi (Noncort), anti edema kornea
(Siloxan), dan siklopegik (Homatropin)
42
43

10. Edukasi 1. Menggantiperban 1 kali seharipadapagihari


2. Jangan kena air dan tidak menggosok mata selama 1 minggu
3. Memberi obat tetes sesuai petunjuk dokter
11. Prognosis Advitam : bonam
Adfungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
12. Tingkat Evidens IA
13. Tingkat Rekomendasi A
14. Penelaah Kritis
15. Indikator Medis Penurunan tajam penglihatan, deprivasi, dan mengganggu kegiatan
sehari-hari
16. Lama Rawat Dirawat karena tindakan ekstraksi katarak menggunakan anestesi
umum
17. Kepustakaan 1. AAO Pediatric ophthalmology and Clinical Strabismus section
6. San Fransisco California 2015-2016: 291-303

43
44

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

PEDIATRIK OPHTHALMOLOGI
RETINOBLASTOMA (ICD .10 : Q.69.2 )
1. Pengertian (Definisi) Retinoblastoma (RB) adalah tumor ganas retina
danmerupakan tumor primer intraocularterbanyakpadaanak
2. Anamnesa - Riwayat kehamilan dan persalinan?
- Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga? pedigree
- Riwayat trauma?
- Ada kotoran? warna? kekentalan?
- Apakah riwayat mata merah berulang?
- Ada rasa nyeri? Tiba tiba?
- Apakah ada rasa silau?
- Apakah penglihatan kabur perlahan/mendadak?
- Apakah mata berair-air?
- Adakah terlihat mata seperti mata kucing?
- Adakah riwayat pemakaian obat yang lama?
- Adakah reaksi alergi obat?
- Riwayat mata merah?
- Apakah ada batuk yang lama? sakitgigi? nyerisendi?
demam?
- Apakah memelihara kucing atau anjing?
- Apakah penyakit mengenai satu mata atau dua mata?
3. Pemeriksaan Fisik - Pemeriksaan oftalmologis (segmen anterior dan posterior)
4. Kriteria Diagnosis - Leukokoria
- Reflek mata putih seperti mata kucing
- Strabismus
- Mata merah, nyeri, hipopion, hifema (jarang)
- Proptosis
- Nystagmus
- Unilateral/bilateral
5. Diagnosis Retinoblastoma
6. Diagnosis Banding 1.Katarak
2.Coats disease
3.ROP
4. PHPV
7. Pemeriksaan Penunjang - USG
- CT Scan
44
45

- Analisa DNA
- MRI
- Px. Laboratoriumlengkap
- Aspiorasi bone marrow danbiopsi
8. Terapi - Kemoterapi
- Enukleasi
- Cryotherapi
- Photokoagulasi
- Eksentrasi
9. Edukasi 1. Perawatan luka setelah operasi
10. Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Tumor dapat bermetastase dan mengancam nyawa
15. Lama Rawat Dirawat karena tindakan enukleasi dan eksenterasi
menggunakan anestesi umum
16. Kepustakaan The foundation of American academic ophthalmology, basic
andefidence Course. Pediatric ophthalmology and Clinical
Strabismus section 6. San Fransisco California 2015-2016:
339-347

45
46

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

PEDIATRIK OPHTHALMOLOGI
Retinopathy of prematurity (ROP) (ICD .10 : H.35.1)
1. Pengertian (Definisi) ROP adalahretinopati bilateral berupaproliferasi abnormal
jaringan vascular retina yang terjadipadabayi premature dimana
system vaskularisasi retina periferbelumlengkap
2. Anamnesa - Riwayat kehamilan dan persalinan (factor resiko
premature, BBLR, BBL<1500 gram, masagestasi <30
minggu
- Riwayat penyakit yang sama dalam keluaarga? Pedigree
- Riwayat trauma?
- Ada kotoran?warna?
- Apakah riwayat mata merah berulang?
- Ada rasa nyeri? Tiba-tiba?
- Apakah ada rasa silau?
- Apakah penglihatan kabur perlahan/mendadak?
- Apakah mata berair-air?
- Adakah terlihat mata seperti mata kucing?
- Adakah riwayat pemakaian obat yang lama?
- Adakah reaksi alergi obat?
- Riwayat mata merah?
- Apakah ada batuk yang lama? sakitgigi? nyerisendi?
demam?
- Apakah memelihara kucing atau anjing?
- Apakah penyakit mengenai satu mata atau dua mata?
3. Pemeriksaan Fisik - Pemeriksaan oftalmologis (segmen anterior dan posterior)
4. Kriteria Diagnosis Pemeriksaaan:
- Pembuluhdarahtumbuhtidak normal  ROP
- Fibrovaskular proliferation
Berdasarkan stadium ROP I-IV:
I: demarkasi line
II: Lempeng-lempengproliferasifibrovascularekstraretinal
(popcorn)
III : ridge denganproliferasifibrovascularekstraretinal
IV : ablation retina subtotal
46
47

V: ablation retina total


5. Diagnosis ROP
6. Diagnosis Banding 1.katarak
2.Coats disease
3.Retinoblastoma
4. PHPV
7. Pemeriksaan Penunjang Funduskopi indirect
8. Terapi - Followupsesuai stadium ROP
- Fotokogulasi
- cryotheraphy
- buckle sclera danvitrektomi
- inj.avastin
9. Edukasi Followupsesuaijadwal
10. Prognosis Sesuai stadium ROP
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Fibrovaskular proliferation dan ablasio retina

15. Lama Rawat Dirawat jika dilakukan tindakan menggunakan anestesi umun
16. Kepustakaan The foundation of American academic ophthalmology, basic
andefidence Course. Pediatric ophthalmology and Clinical
Strabismus section 6. San Fransisco California 2015-2016: 321-
329

47
48

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

PEDIATRIK OPHTHALMOLOGI
OPHTHALMIA NEONATORUM (ICD.10:P.39.1)

1. Pengertian (Definisi) Ophtalmia neonatorum adalah konjungtivitis yang terjadi dalam 1 bulan
pertama kehidupan oleh agen termasuk bacterial,viral, dankimia.
2. Anamnesa - Riwayat kehamilan dan persalinan?
- Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga? pedigree
- Ada kotoran? warna? kekentalan?
- Ada rasa nyeri? Tiba-tiba?
- Apakah ada rasa silau?
- Apakah penglihatan kabur perlahan/mendadak?
- Apakah mata berair-air
- Adakah reaksi alergi obat?
- Riwayat mata merah?
- Apakah penyakit mengenai satu mata atau dua mata?
3. Pemeriksaan Fisik - Pemeriksaan oftalmologis (segmen anterior dan posterior)
4. Kriteria Diagnosis - Mata merah
- Sekretpurulen
- Unilateral/bilateral
- Terjadi 1 bulan pertama kehidupan
5. Diagnosis Ophthalmia neonatorum
6. Diagnosis Banding 1. Obstruksi duktus nasolakrimalis
2. Konjungtivitis neonates
3. konjungtivitis yang terjadi pada periode neonates (bakteri, viral,
chlamidia, chemicall)
7. Pemeriksaan Penunjang - Laboratorium
- Sediaan langsung sekret, kultur + resistensi
8. Terapi - N.gonorrhoe:penderi tadi rawat diruang isolasi, ceftriakson IV atau
IM 50 mg/kgBB/perhari selama 1 minggu, irigasi,topical antibiotic jika
kornea terlibat (Floxa,LFX)
- Chlamidia : oral eritromisin 50 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama
14 hari, topical eritromisin salep
9. Edukasi Bila penyebab gonnorhoe sangat infeksius dan menyebabkan perforasi

48
49

kornea sampai kebutaan. Terapi harus ditujukan kepada pasangan orang


tua.
10. Prognosis Ad vitam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Mata merah dan terdapat sekret konjungtiva serta terjadi keterlibatan pada
kornea
15. Lama Rawat Dirawat jika melibatkan kornea
16. Kepustakaan The foundation of American academic ophthalmology, basic andnce
Course. Pediatric ophthalmology and Clinical Strabismus section 6. San
Fransisco California 2015-2016: 264-270

49
50

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

PEDIATRIK OPHTHALMOLOGI
AMBLYOPIA (ICD.10 :H.53.0)

1. Pengertian (Definisi) Amblyopia adalah Gangguan perkembangan penglihatan spatial pada satu
atau kedua mata terjadi pada siapa perkembangan dihubungkan dengan
kelainan strabismus, kelainan refraksi dan hambatan media.
2. Anamnesa - Riwayat kehamilan dan persalinan?
- Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga? pedigree
- Apakah penglihatan kabur perlahan?
- Adakah kabur melihat jauh/dekat?
- Apakah penyakit mengenai satu mata atau dua mata?
- Adakah mata juling?
3. Pemeriksaan Fisik - Pemeriksaan oftalmologis (segmen anterior dan posterior)
4. Kriteria Diagnosis - Mata kabur
- Mata juling ( bisada/tidak)
5. Diagnosis Amblyopia
6. Diagnosis Banding - Strabismic amblyopia
- Anisometrik amblyopia
- Refractive amblyopia
- Deprivation amblyopia
7. Pemeriksaan - Streak retinoscopy
Penunjang - Funduscopy
8. Terapi Penanganan ambliopia tergantung jenisnya, prinsipnya terdiri dari:
1. Menghilangkan deprivasi
2. Koreksi kelainan refraksi (kacamata, lensa kontak, operasi)
3. Oklusi mata dominan
9. Edukasi Kepatuhan pasien dalam menjalani semua tindakan terapi sangat
menentukan keberhasilan terapi, dalam hal ini kerjasama dan perhatian
orangtua sangat dibutuhkan.
10. Prognosis Ad vitam : bonam
Ad fungsionam : dubia
Ad sanationam : dubia
11. Tingkat Evidens IA

50
51

12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Visus tidak mencapai visus sesuai umur
15. Lama Rawat Tidak dirawat, dirawat jika ada tindakan untuk koreksi strabismic
amblyopia dan deprivation amblyopia
16. Kepustakaan The foundation of American academic ophthalmology, basic andnce
Course. Pediatric ophthalmology and Clinical Strabismus section 6. San
Fransisco California 2015-2016
BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

STRAMBISMUS
Eksotropia ICD 10 : H50.1
Keadaan bolamata yang bergulir keluar ( eksodeviasi ) manifestasi
1. Pengertian (Definisi)
deviasi divergen horizontalnya sudah tetap.
1. Bola mata pasien terlihat juling keluar
2. Keadaan tersebut dapat menjadi progresif dan deviasinya makin
besar
2. Anamnesa
3. Dapat disertai ambliopia disfungsi otot obliq (A atau V pattern)
ataupun deviasi vertikal
4. Stereoaccuitynya dapat normal atau berkurang kemampuannya
1. Pemeriksaan segemnt anterior dan posterior
2. Tajam penglihatan tempa dan dengan koreksi
3. Pemeriksaan Fisik
3. Gerakan otot bolamata : duksi dan versi
4. Pemeriksaan dominan mata : cover test dan cover uncover test
4. Kriteria Diagnosis 1. Hirschberg dan krimsky
2. ACT = Alternan Cover Test
3. Pemeriksaan refraksi subjektif
4. Pemeriksaan refraksi objektif dan streak retinoskopi dan
sikloplegik
5. Pemeriksaan besarnya deviasi dengan prisma cover test tanpa
koreksi dan dengan koreksi kacamata
5. Diagnosis Eksotropia
6. Diagnosis Banding - Eksotropia Non Akomodatif
- Eksotropia Akomodatif

7. Pemeriksaan Penunjang 1. TNO


2. Synoptophore
2. Maddox Rod (MR)
3. Metode “Push Up’
4. Near Point Convergence (NPC)
5. Near Point Accomodation (NPA)
6. Test Bielschowsky
51
52

7. AC/A Ratio
8. Bagolini Striated Glass
9. Test Filter Merah
10. Test Defek Aferen Pupil (Marcus Gunn Test)
11. Swinging Light Test
12. Pemeriksaan Nystagmus Optokinetik
8. Terapi 1. Non Bedah : memaksimalkan tajam penglihatan dengan
kacamata dan atau terapi oklusi jika terdapat ambliopia
2. Bedah : dilakukan jika terjadi progresivitas, jenis pembedahan
adalah reses dan resek otot bola mata pada mata yang tidak
dominan, jika deviasi besar (>50 PD) dapat dipikirkan operasi 2
tahap non dominan, kemudian dominan jarak 4 minggu
9. Edukasi 1. Luka operasi jangan terkena air langsung ( ± 2 minggu )
2. Luka operasi jangan digosok – gosok sampai benar – benar
sembuh
3. Penggunaan obat – obat yang sudah diresepkan dokter
4. kontrol teratur untuk evaluasi hasil operasi
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IIIA
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Mata Berdeviasi Keluar
15. Lama Rawat 2 - 3 hari
16. Kepustakaan American Academy of Ophthalmology Section 6 tahun 2014

52
53

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

STRAMBISMUS
Esotropia akomodatif ICD 10 : H50.3
Esotropia akomodatif adalah Esotropia terjadi sebagai akibat
1. Pengertian (Definisi) hipermetropia yang tidak dikoreksi dan bila dikoreksi dengan
kacamata sferis (+) akan terjadi perubahan dalam besarnya deviasi
1. Onset umurnya antara usia 6 bulan sampai 6,5 thn
( rata rata 2,5 thn)
2. Awalnya bersifat hilang timbul kemudian menetap
3. Sering bersifat herediter
2. Anamnesa
4. Kadang – kadang dicetuskan oleh trauma atau sakit
5. Sering berhubungan dengan ambliopia
6. Dapat terjadi diplopia tetapi umumnya menghilang setelah
terjadi supresi
1. Pemeriksaan segment anterior dan posterior
2. Tajam penglihatan tanpa dan dengan koreksi
3. Pemeriksaan Fisik
3. Gerakan otot bola mata : duksi dan versi
4. Pemeriksaan dominan mata; cover dan cover uncover test
4. Kriteria Diagnosis 1. Hirschberg dan krimsky
2. ACT = Alternan Cover Test
3. Pemeriksaan terjadi subjektif
4. Pemeriksaan refraksi objektif dengan streak retinoskopi dan
sikloplegik
5. Pemeriksaan besarnya deviasi dengan prisma cover test tanpa
koreksi dan dengan koreksi kacamata
5. Diagnosis Esotropia Akomodatif
6. Diagnosis Banding - Esotropia Akomodtif Refraktif
- Esotropia Akomodatif Non Refraktif
- Esotropia Akomodatif Parsial

7. Pemeriksaan Penunjang 1. TNO


2. Synoptophore
3. Maddox Rod (MR)
53
54

4. Metode “Push Up’


5. Near Point Convergence (NPC)
6. Near Point Accomodation (NPA)
7. Test Bielschowsky
8. AC/A Ratio
9. Bagolini Striated Glass
10. Test Filter Merah
11. Test Defek Aferen Pupil (Marcus Gunn Test)
12. Swinging Light Test
13. Pemeriksaan Nystagmus Optokinetik
8. Terapi 1. Non Bedah : memaksimalkan tajam penglihatan pasien dengan
kacamata dan atau terapi oklusijika terdapat ambliopia
2. Bedah :
- Dilakukan jika terjadi progresivitas
- Reses dan resek pada mata yang non dominan . Dapat
dipikirkan operasi 2 tahap setelah 4 minggu tahap I, operasi
mata dominan.
9. Edukasi 1. Luka operasi jangan terkena air langsung ( ± 2 minggu )
2. Luka operasi jangan digosok – gosok sampai benar sembuh
3. Penggunaan obat – obat yang sudah diresepkan dokter / kontrol
teratur untuk evaluasi hasil operasi
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IIIA
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Esotropia Terkoreksi Dengan Koreksi Refraksi
15. Lama Rawat 2 - 3 hari
16. Kepustakaan American Academy of Ophthalmology

54
55

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

STRAMBISMUS
Esotropia Basic
Merupakan Esotropia yang berkembang setelah usia 6 bulan dan
1. Pengertian (Definisi)
tidak berhubungan dengan akomodasi
1. Mata berdeviasi kedalam
2. Deviasi jauh sama dengan deviasi dekat
2. Anamnesa
3. Tidak ada faktor akomodatif
4. Hipermetropia tidak bermakna
1. Pemeriksaan segment anterior dan posterior
3. Pemeriksaan Fisik 2. Duksi dan versi
3. Cover uncover dan alternate cover test
4. Kriteria Diagnosis 1. Pemeriksaan Segment anterior dan posterior
2. ACT = Alternan Cover Test
3. Duksi & versi
4. Cover uncover dan alternate cover test
5. Refraksi subjektif dan objektif dalam sikloplegik
6. Hirschberg / krimsky untuk pasien yang tidak dapat dilakukan
cover test
5. Diagnosis Esotropia Basic
6. Diagnosis Banding - Esotropia Divergence Insufficiency
- Esotropia Convergence Excess

7. Pemeriksaan Penunjang 1. TNO


2. Synoptophore
3. Maddox Rod (MR)
4. Metode “Push Up’
5. Near Point Convergence (NPC)
6. Near Point Accomodation (NPA)
7. Test Bielschorosky
8. AC/A Ratio
9. Bagolini Striated Glass
10. Test Filter Merah
11. Test Defek Aferen Pupil (Marcus Gunn Test)
55
56

12. Swinging Light Test


1. Pemeriksaan Nystagmus Optokinetik
8. Terapi 1. Koreksi kelainan refraksi bila ada
2. Terapi Ambliopia
3. Koreksi bedah dilakukan secepat mungkin setelah onset ( tidak
lama setelah onset)
9. Edukasi 1. Luka operasi jangan terkena air langsung untuk sementara waktu
( ± 2 minggu )
2. Luka operasi jangan digosok – gosok sampai benar – benar
sembuh
3. Penggunaan obat yang sudah diresepkan sesuai petunjuk dokter
4. Kontrol teratur sesuai petunjuk dokter untuk mengevaluasi hasil
operasi
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
11. Tingkat Evidens IIIA
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Mata berdiviasi kedalam sama besar pada fiksasi jauh dan dekat
15. Lama Rawat 2 - 3 hari
16. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology

56
57

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

STRAMBISMUS
Eksotropia Basic
Keadaan bolamata yang bergulir keluar ( eksodeviasi ) manifestasi
1. Pengertian (Definisi)
deviasi divergen horizontalnya sudah tetap.
1. Bola mata pasien terlihat juling keluar
2. Keadaan tersebut dapat menjadi progresif dan deviasinya makin
besar
2. Anamnesa
3. Dapat disertai ambliopia disfungsi otot obliq (A atau V pattern)
ataupun deviasi vertikal
4. Stereoaccuitynya dapat normal atau berkurang kemampuannya
1. Pemeriksaan segemnt anterior dan posterior
3. Pemeriksaan 2. Tajam penglihatan tempa dan dengan koreksi
Fisik 3. Gerakan otot bolamata : duksi dan versi
4. Pemeriksaan dominan mata : cover test dan cover uncover test
4. Kriteria Diagnosis 1. Hirschberg dan krimsky
2. ACT = Alternan Cover Test
3. Pemeriksaan refraksi subjektif
4. Pemeriksaan refraksi objektif dan streak retinoskopi dan
sikloplegik
5. Pemeriksaan besarnya deviasi dengan prisma cover test tanpa
koreksi dan dengan koreksi kacamata
5. Diagnosis Eksotropia
6. Diagnosis Banding - Eksotropia Convergence Insufficiency
- Eksotropia Divergence Excess

7. Pemeriksaan 1. TNO
Penunjang 2. Synoptophore
3. Maddox Rod (MR)
4. Metode “Push Up’
5. Near Point Convergence (NPC)
6. Near Point Accomodation (NPA)
7. Test Bielschowsky
8. AC/A Ratio

57
58

9. Bagolini Striated Glass


10. Test Filter Merah
11. Test Defek Aferen Pupil (Marcus Gunn Test)
12. Swinging Light Test
13. Pemeriksaan Nystagmus Optokinetik
8. Terapi 1. Non Bedah : memaksimalkan tajam penglihatan dengan
kacamata dan atau terapi oklusi jika terdapat ambliopia
2. Bedah : dilakukan jika terjadi progresivitas, jenis pembedahan
adalah reses dan resek otot bola mata pada mata yang tidak
dominan, jika deviasi besar (>50 PD) dapat dipikirkan operasi 2
tahap non dominan, kemudian dominan jarak 4 minggu
9. Edukasi 1. Luka operasi jangan terkena air langsung ( ± 2 minggu )
2. Luka operasi jangan digosok – gosok sampai benar – benar
sembuh
3. Penggunaan obat – obat yang sudah diresepkan dokter
4. kontrol teratur untuk evaluasi hasil operasi
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IIIA
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Mata Berdeviasi Keluar Sama Besar Pada Viksasi Jauh dan Dekat
15. Lama Rawat 2 - 3 hari
16. Kepustakaan American Academy of Ophthalmology Section 6 tahun 2014

58
59

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

STRAMBISMUS
Duane’s syndrome
Merupakan spektrum kelainan pergerakan bolamata, dengan
1. Pengertian (Definisi) gambaran retraksi bolamata terutama saat mencoba abduksi ,
disertai dengan penyempitan fissura palpebra saat adduksi
Terdapat hambatan pergerakan bolamata baik saat adduksi
maupun adduksi, tergantung pada tipenya. Pada keadaan yang
2. Anamnesa
berat dapat disertai dengan up shoot atau down shoot saat
mencoba adduksi
1. Pemeriksaan segmen anterior dan posterior
2. Tajam penglihatan tanpa dan dengan koreksi
3. Pemeriksaan Fisik 3. Gerakan otot bolamata : duksi & versi
4. Pemeriksaan dominasi test : cover test dan cover -uncover
test
4. Kriteria Diagnosis 1. Hirschberg dan Krimsky
2. ACT = Alternan Cover Test
3. Pemeriksaan refraksi subjektif
4. Pemeriksaan refraksi objektif dengan streak retinoskopi
dan sikloplegia
5. Pemeriksaan dasarnya deviasi dengan prisma cover test
tanpa koreksi dan dengan koreksi kacamata
6. Diagnosis Duane’s syndrome
7. Diagnosis Banding - Hambatan / Limitasi Gerakan Bola Mata disebabkan
oleh kelumpuhan Nervus III
- Hambatan / Limitasi Gerakan Bola Mata disebabkan
oleh kelumpuhan Nervus VI

8. Pemeriksaan Penunjang 1. TNO


2. Synoptophore
3. Maddox Rod (MR)
4. Metode “Push Up’
5. Near Point Convergence (NPC)
6. Near Point Accomodation (NPA)
59
60

7. Test Bielschowsky
8. AC/A Ratio
9. Bagolini Striated Glass
10. Test Filter Merah
11. Test Defek Aferen Pupil (Marcus Gunn Test)
12. Swinging Light Test
13. Pemeriksaan Nystagmus Optokinetik
9. Terapi 1. Non Bedah : memaksimalkan tajam penglihatan pasien
dengan kacamata bila ada kelainan refraksi dan atau terapi
oklusi bila ada ambliopia

2. Bedah : dilakukan pembedahan reses dan resek bila


terdapat progresifitas.Bila deviasinya besar dipikirkan
operasi 2 tahap, non dominan, kemudian dominan setelah 4
minggu
10. Edukasi
11. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
12. Tingkat Evidens IIIA
13. Tingkat Rekomendasi A/B/C
14. Penelaah Kritis
Terdapat limitasi pada pergerakan bola mata yang bukan
15. Indikator Medis
disebabkan oleh kelumpuhan saraf yang didapat.
16. Lama Rawat 2 - 3 hari
17. Kepustakaan American Academy of Ophthalmology

60
61

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

GLAUCOMA
POAG ( Primary Open Angle Glaucoma)atauGlaukoma Sudut Terbuka Primer (H 40.1)
POAG ( Primary Open Angle Glaucoma) atau
Glaukoma Sudut Terbuka Primer merupakan Neuropati Optik dengan
1. Pengertian (Definisi)
defek lapang pandang dan peningkatan TIO merupakan faktor
penyebab terbanyak pada Gonioskopi sudut terbuka
2. Anamnesa Sakit kepala, lapang pandang menyempit
TIO (Tekanan Intra Okular ) meningkat
Visus : bisa normal / menurun
3. Pemeriksaan Fisik
Segmen anterior tenang
Funduskopi : pelebaran “cupping” Defek Lapang Pandang
4. Kriteria Diagnosis 1. TIO meningkat
2. Funduskopi : pelebaran cupping
3. Lapang pandang menyempit
4. Gonioskopi : sudut terbuka
5. Diagnosis Glaukoma sudut terbuka primer
6. Diagnosis Banding 1. Glaukoma sudut terbuka sekunder
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Gonioskopi
2. OCT
3. Humphrey
4. Fotofundus
9. Terapi 1. Anti Glaukoma :
- β Blocker
- Carbonic Anhydrase Inhibitor
- Miotikum
- Prostaglandin analog
- Gliserin / Manitol
2. Trabekulektomi
10. Edukasi 1. Kontrol berkala
2. Evaluasi Funduskopi
3. Evaluasi Lapang Pandang
4. Kontrol penyakit sistemis
61
62

11. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam


Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam/bonam
12. Tingkat Evidens IA
13. Tingkat Rekomendasi A
14. Penelaah Kritis
Penyempitan lapangan pandang, kelainan n.optikus dan penipisan
15. Indikator Medis lapisan retina disertai peningkatan TIO dengan gonioskopi sudut
terbuka
16. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology 2015-2016
2. Diagnosis and Therapy of the Glaucoma, Baecker and Shaffer

62
63

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

GLAUCOMA
PACG (Primary Angle Closure Glaucoma) atauGlaukoma sudut tertutup primer (H. 40.2)
PACG (Primary Angle Closure Glaucoma ) atau Glaukoma sudut
1. Pengertian (Definisi) tertutup primer Neuropati Optik , defek lapang pandang, Sudut
tertutup atau sempit dengan TIO meningkat
Tajam penglihatan turun mendadak, mata kadang merah , sakit
2. Anamnesa
kepala,mual, dan kadang disertai muntah
Visus menurun, TIO meningkat, mata merah, konjungtiva infeksi,
3. Pemeriksaan Fisik
edema kornea, iris dilatasi dan lensa keruh
4. Kriteria Diagnosis 1. Injeksi konjungitva / injeksi silier
2. TIO meningkat / TIO , kornea edema
3. Papil / iris dilatasi, lensa keruh
4. Gonioskopi : sudut sempit
5. Humphrey bila meningkat ada defek lapang pandang
5. Diagnosis PACG
6. Diagnosis Banding 1. Glaukoma Akut Sekunder
2. Glaukoma Maligna
3. Phacomorfic Glaukoma
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Gonioskopi
2. Humphrey Perimetry
3. OCT
4. Fotofundus
8. Terapi 1. Obat Anti glaukoma
- β Blocker
- Carbonic Anhydrase Inhibitor
- Miotikum
- Prostaglandin Analog
- Gliserin / Manitol
2. laser iridotomi perifer (argon/nd yag) / iridektomi surgical
3. Trabekulektomi
9. Edukasi 1. Kontrol berkala
2. Evaluasi perimetri tiap 6 bulan
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam bila cepat
Ad Sanationam : dubia ad bonam diterapi
63
64

Ad Fungsionam : dubia ad bonam


11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
Penyempitan lapangan pandang, kelainan n.optikus dan penipisan
14. Indikator Medis lapisan retina disertai peningkatan TIO dengan gonioskopi sudut
tertutup.
15. Lama Rawat Rawat Jalan/ Rawat Inap
16. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology 2015-2016
2. Diagnosis and Therapy of the Glaucoma, Baecker and Shaffer

64
65

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

GLAUCOMA
NTG : Normal Tension Glaukoma (H40.8)
NTG : Normal Tension Glaukoma : Glaukoma
1. Pengertian (Definisi) Tekanan Normal : Neuropati Optik disertai defek lapang pandang,
sudut terbuka dengan TIO Normal
2. Anamnesa sakit kepala : Lapang pandang menyempit
Visus Normal atau menurun
Segmen anterior : tenang
3. Pemeriksaan Fisik Funduskopi : pelebaran cupping
Gonioskopi : sudut terbuka
Lapang pandang : menyempit
4. Kriteria Diagnosis 1. TIO Normal
2. Funduskopi : Pelebaran cupping
3. Gonioskopi : sudut terbuka
4. Lapang pandang : menyempit
5. Diagnosis Normo Tension Glaukoma
6. Diagnosis Banding 1. POAG
2. Anomali Papil
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Gonioskopi
2. Humphrey
3. OCT
4. Fotofundus
8. Terapi 1. Anti Glaucoma :
- β Blocker
- Miotikum
- Prostaglandia.
- Gliserin / Manitol
2. Laser Trabekuloplasti
3. Operasi Trabekulektomi
9. Edukasi Pemakaian obat teratur
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
Ad Funfsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
Penyempitan lapangan pandang, kelainan n.optikus dan penipisan
14. Indikator Medis
lapisan retina dengan TIO normal dan gonioskopi sudut terbuka.
15. Lama Rawat Rawat jalan, bila operasi rawat 3-5 hari.
16. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology 2015-2016

65
66

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

TUMOR
Adenoma Pleomorfik ( IC D 10 31.3)
Adenoma Pleomorfik ialah bentuk tumor jinak campuran yang
1. Pengertian (Definisi)
berasal dari epitel yang bervariasi.
o Sejak kapan keluhan mulai dirasakan?
o Ukuran makin besar atau tidak?
o Ada tidaknya nyeri?
2. Anamnesa o Apakah mudah berdarah?
o Lokasi timbulnya massa?
o Permukaan menonjol atau rata?

Pemeriksaan mata umum


3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis Tampak massa di superolateral
5. Diagnosis Adenoma Pleomorfik
6. Diagnosis Banding Kista dermoid Orbita

7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan histopatologis


2. Pemeriksaan CT-scan bila dicurigai ada invasi ke orbita
8. Terapi Non Bedah

Bedah
 Eksisi Tumor, Ekstirpasi Kista
9. Edukasi Tahun I : tiap 3 bulan
Tahun II : tiap 6 bulan
Tahun III : tiap bulan
10. Prognosis Ad Vitam : bonam
Ad fungsionam : dubia
Ad sanationam : dubia
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
Pada adenoma pleomorphic tampak adanya massa pada supero
14. Indikator Medis
lateral
15. Lama Rawat 4 Hari
16. Kepustakaan American academic ophthalmology. Orbit eyelid sect 7. 2016

66
67

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

TUMOR
Basal sel karsinoma ( IC D 10 44.11)
Basal sel karsinoma ialah keganasan kulit yang berasal dari sel
1. Pengertian (Definisi)
basal lapisan epidermis, yang berpotensi merusak jaringan
o Sejak kapan keluhan mulai dirasakan?
o Ukuran makin besar atau tidak?
o Ada tidaknya nyeri?
2. Anamnesa
o Apakah mudah berdarah?
o Lokasi timbulnya massa?
o Permukaan menonjol atau rata?

1. Pemeriksaan mata umum


2. Massa/lesi ulseratif dengan pigmen kehitaman di adneksa
3. Pemeriksaan Fisik
mata yang tidak sembuh dengan terapi medikamentosa.
Permukaan massa seperti lilin dengan depresi pada
sentral. Permukaan pada tepi massa lebih tinggi.
4. Kriteria Diagnosis Klinis & Histopatolpgis
5. Diagnosis BASAL SEL KARSINOMA
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan histopatologis
2. Pemeriksaan imunohistokimia (bila diperlukan)
3. Pemeriksaan CT-scan (bila diperlukan)
8. Terapi Non Bedah
Tumor Inoperable
- Radioterapi palliative
Bedah
1. Tumor terbatas pada adneksa
o Eksisi luas 4mm dari batas makroskopis tumor yang
dipandu oleh pemeriksaan potong beku
o Bila defek horizontal yang terjadi pasca eksisi tumor
>50%, bila diperlukan rekonstruksi dapat dilakukan
kerjasama dengan Divisi Plastik Rekonstruksi
2. Tumor sudah menginvasi orbita
o Eksenterasi
o Radioterapi (sesuai indikasi)
3. Tumor sudah menginvasi sinus paranasal dan/atau
intrakranial
o Konsul ke Divisi Onkologi Departemen Bedah Saraf
untuk operasi bersama melalui team Onkologi Terpadu
RSMH
4. Terapi setelah dilakukan tindakan bedah

67
68

o Antibiotika oral
o Analgetik oral
o Anti inflamasi oral
o Antibiotika topikal (salep mata)
o Angkat tampon orbita setelah 5-7 hari (pada kasus
eksenterasi)
9. Edukasi Pasien dianjurkan untuk kontrol ulang ke poliklinik setiap:
Tahun I : tiap 3 bulan
Tahun II : tiap 6 bulan
Tahun III : tiap 1 tahun
10. Prognosis Ad Vitam : dubia
Ad fungsionam: dubia
Ad sanationam : dubia
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Tampak lesi pada kelopak mata dengan ulserasi
15. Lama Rawat 4 hari
16. Kepustakaan American academic ophthalmology. Orbit eyelid sect 7. 2016

68
69

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

TUMOR
Conjungtival Intraepithelial Neoplasia ( IC D 10 44.1)
Conjungtival Intraepithelial Neoplasia ialah displasia sebagian
1. Pengertian (Definisi)
sel epitel konjungtiva yang terbatas pada membran basalis.
o Sejak kapan keluhan mulai dirasakan?
o Ukuran makin besar atau tidak?
o Ada tidaknya nyeri?
2. Anamnesa
o Apakah mudah berdarah?
o Lokasi timbulnya massa?
o Permukaan menonjol atau rata?
Lokasi massa biasanya di limbus, berbatas tegas, bulat,
3. Pemeriksaan Fisik
permukaan licin.
4. Kriteria Diagnosis Klinis & Histopatologis
5. Diagnosis Conjungtival Intraepithelial Neoplasia
6. Diagnosis Banding 1. Limbal dermoid
2. Squammous Cell carcinoma (Karsinoma Sel Skuamosa)
3. Melanosis
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan histopatologis
2. Pemeriksaan CT-scan bila dicurigai ada invasi ke orbita
8. Terapi Non Bedah
 Topical interferron alpha 2b, 5FU, Mitomycin C
Bedah
 Eksisi tumor+cryotherapy
9. Edukasi 1. Bila Eksisi Bebas Tumor, lakukan setiap bulan
2. Bila Eksisi Tidak Bebas Tumor:
a. Tahun I : tiap 3 bulan
b. Tahun II : tiap 6 bulan
c. Tahun III : tiap bulan
10. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis Dr. H. Ibrahim,SpM(K)
Timbul benjolan pada dareah dekat dengan limbus, tmapak
14. Indikator Medis
gelatin atau leukoplakic
15. Lama Rawat 4 hari
16. Kepustakaan American academic ophthalmology. Orbit eyelid sect 7. 2015-
2016
American academic ophthalmology sect 4 2015-2016

69
70

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

TUMOR
Karsinoma Sel Skuamosa ( ICD 10 C 44.12)
Karsinoma Sel Skuamosa ialah keganasan epitel invasif yang
berasal dari lapisan sel skuamosa epidermis yang memberikan
1. Pengertian (Definisi)
gambaran diferensiasi keratinositik, yang dapat terjadi pada
palpebra, konjungtiva dan orbita.
o Sejak kapan keluhan mulai dirasakan?
o Ukuran makin besar atau tidak?
o Ada tidaknya nyeri?
2. Anamnesa
o Apakah mudah berdarah?
o Lokasi timbulnya massa?
o Permukaan menonjol atau rata?
- Pemeriksaan umum
- KSS konjungtiva : lesi berbentuk nodular, gelatinous,
leukoplakia maupun difusa
3. Pemeriksaan Fisik
- KSS Palpebra : lesi seperti ulkus yang non spesifik,
rusaknya struktur bulu mata dan oklusi dari kelenjar
Meibom
4. Kriteria Diagnosis Klinis & Histopatologis
5. Diagnosis KARSINOMA SEL SKUAMOSA
6. Diagnosis Banding Karsinoma Glandula Sebasea
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan histopatologis
2. Pemeriksaan CT-scan bila dicurigai ada invasi ke orbita
8. Terapi Non Bedah
Bedah
Konjungtiva Bulbi
1. Bila diameter tumor 1-2mm :
Eksisi 4mm dari batas makroskopik tumor, diikuti dengan
pengobatan krioterapi -70 oC
2. Bila diameter tumor 2-5 mm :
Bila eksisi luas tidak mungkin dianjurkan untuk enukleasi
atau eksenterasi
3. Bila diameter tumor > 5 mm & Menginvasi Ke Orbita
Eksenterasi
Untuk selanjutnya, tergantung adanya infiltrasi tumor ke organ
sekitar, metastasis jauh, prosedur tindakan sama dengan
karsinoma sel skuamosa pada palpebra.

Kelopak Mata

70
71

1. Bila tumor terbatas pada kelopak


a. Eksisi 6 sampai 7 mm dari batas makroskopik tumor
yang dipandu dengan pemeriksaan potong beku.
b. Bila ukuran tumor lebih dari ½ kelopak, maka operasi
bersama dengan divisi plastik rekonstruksi
2. Bila tumor sudah menginvasi orbita
a. Tanpa pembesaran Kelenjar Getah Bening regional
b. Eksenterasi
c. Bila operasi tidak bebas tumor maka dilakukan
pemberian radioterapi loco regional
3. Dengan pembesaran KGB regional
a. Eksenterasi
b. Diseksi kelenjar getah bening regional oleh departemen
bedah (Tumor)
c. Radioterapi loco regional
4. Bila didapat invasi tumor ke intracranial, sinus paranasalis,
pembesaran kelenjar getah bening regional tanpa metastasis
jauh.
a. Operasi Bersama Team Onkologi Terpadu RS
Sriwijaya

5. Bila didapat metastasis jauh


a. Konsul ke Departemen Ilmu Penyakit Dalam
(Hematologi) untuk kemungkinan pemberian Sitostatika
b. Tindakan pada matanya adalah radioterapi loco regional

PASCA TINDAKAN BEDAH


1. Antibiotika Oral
2. Antibiotika Topikal
3. Analgetik Oral
4. Anti Inflamasi Oral
5. Anti Inflamasi Topikal

9. Edukasi 1. Bila Eksisi Bebas Tumor, lakukan setiap bulan


2. Bila Eksisi Tidak Bebas Tumor:
a. Tahun I : tiap 3 bulan
b. Tahun II : tiap 6 bulan
c. Tahun III : tiap bulan

10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam


Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
1. Tampak massa pada konjungtiva, mudah berdarah, lesi
14. Indikator Medis
berbentuk nodular, gelatinous, leukoplakia maupun difusa
15. Lama Rawat 3-4 hari
71
72

16. Kepustakaan American academic ophthalmology. Orbit eyelid sect 7. 2016

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

TUMOR
Kista dermoid ( ICD 10d 27.9)
Kista Dermoid ialah kista yang berisi struktur dasar seperti
1. Pengertian (Definisi)
rambut, cairan, gigi, atau kelenjar pada kulit.
o Sejak kapan keluhan mulai dirasakan?
o Ukuran makin besar atau tidak?
o Ada tidaknya nyeri?
2. Anamnesa
o Apakah mudah berdarah?
o Lokasi timbulnya massa?
o Permukaan menonjol atau rata?
1. Pemeriksaan mata umum
2. Orbital dermoid: biasanya ditemukan di tulang-tulang orbita
Epibulbar dermoid: biasanya ditemukan di permukaan mata, baik
3. Pemeriksaan Fisik itu di perbatasan antara kornea dan sklera atau di perbatasan
antara konjungtiva bulbi dan tarsal.
Massa biasanya berbetuk seperti telur di bawah kulit, lunak,
warna permukaan sama seperti warna jaringan sekitarnya
4. Kriteria Diagnosis Klinis dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kista Dermoid
6. Diagnosis Banding Limbal Epidermoid

7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan histopatologis


2. Pemeriksaan CT-scan bila dicurigai ada invasi ke orbita
8. Terapi Non Bedah
Bedah
 Eksisikista
9. Edukasi Tahun I : tiap 3 bulan
Tahun II : tiap 6 bulan
Tahun III : tiap bulan
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
Massa ditemukan di permukaan mata, baik itu di perbatasan
14. Indikator Medis antara kornea dan sklera atau di perbatasan antara konjungtiva
bulbi dan tarsal.
15. Lama Rawat 3-4 hari
16. Kepustakaan American academic ophthalmology. Orbit eyelid sect 7. 2016
72
73

American academic ophthalmology sect 4,. 2016

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

TUMOR
Kista konjungtiva( ICD 10 H 11.44)
1. Pengertian (Definisi) Kista konjungtiva ialah kista pada konjungtiva
o Sejak kapan keluhan mulai dirasakan?
o Ukuran makin besar atau tidak?
o Apakah ada keluhan mata berair-air?
2. Anamnesa o Ada tidaknya nyeri?
o Apakah mudah berdarah?
o Lokasi timbulnya massa?
o Permukaan menonjol atau rata?
1. Pemeriksaan mata umum
2. Massa berisi cairan di dalam konjungtiva, berbatas tegas,
3. Pemeriksaan Fisik
bulat, permukaan licin, sering menyebabkan rasa tidak
nyaman pada mata dan banyak mengeluarkan air mata.
4. Kriteria Diagnosis Klinis dan pemeriksaan
5. Diagnosis Kista konjungtiva
6. Diagnosis Banding Tumor Konjungtiva Lain

7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan histopatologis


2. Pemeriksaan CT-scan bila dicurigai ada invasi ke orbita
8. Terapi Non Bedah
 Lubricent topical jika diperlukan
Bedah
 Eksisikista
9. Edukasi Tahun I : tiap 3 bulan
Tahun II : tiap 6 bulan
Tahun III : tiap bulan
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
Massa berisi cairan di dalam konjungtiva, berbatas tegas, bulat,
14. Indikator Medis
permukaan licin.
15. Lama Rawat 3 hari
16. Kepustakaan American academic ophthalmology. Orbit eyelid sect 7. 2016

73
74

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

TUMOR
Melanoma Konjungtiva (IC D 10 C.43.10)
Melanoma Konjungtiva ialah Tumor ganas adneksa yang berasal
1. Pengertian (Definisi)
dari sel melanosit atau sel yang mengandung pigmen melanoma
o Sejak kapan keluhan mulai dirasakan?
o Ukuran makin besar atau tidak?
o Apakah diawali oleh adanya tahi lalat (nevus)?
2. Anamnesa o Ada tidaknya nyeri?
o Apakah mudah berdarah?
o Lokasi timbulnya massa?
o Permukaan menonjol atau rata?
1. Pemeriksaan mata umum
2. Massa berwarna kehitaman pada konjungtiva bulbi, palpebral
dan forniks, serta karankula dan plika semilunaris; umumnya
3. Pemeriksaan Fisik
unilateral, immobile. Tersering timbul di daerah limbus.
Adanya pembesa ran kelenjar getah bening (preauricular,
submanibular, dan cervical)
4. Kriteria Diagnosis Klinis dan pemeriksaan
5. Diagnosis MELANOMA KONJUNGTIVA
6. Diagnosis Banding 1. Conjunctival squamous cell carcinoma
2. Conjunctival melanosis
3. Conjunctival seborrheic keratosis
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan kelenjar getah bening
2. Pemeriksaan histopatologis
3. Pemeriksaan immunohistokimia (bila diperlukan)
4. Pemeriksaan CT-scan (bila diperlukan)
8. Terapi Non Bedah
Bedah
1. Eksisi luas 3-5 mm dari batas makroskopis tumor yang
dipandu oleh pemeriksaan potong beku.
2. Bila ada keterlibatan sclera, dapat dipertimbangkan
enukleasi.
3. Radioterapi (sesuai indikasi)
4. Kemoterapi (sesuai indikasi)

Eksplorasi Metastasis Regional dan Jauh (sesuai indikasi)


1. Pemeriksaan kelenjar getah bening

74
75

2. Pemeriksaan foto thorax


3. Pemeriksaan USG Hati

PASCA TINDAKAN BEDAH


1. Antibiotika Oral
2. Analgetik Oral
3. Anti Inflamasi Oral
4. Antibiotika Topikal (Salep mata)
5. Buka blefarorafi setelah 7 hari (pada kasus enukleasi)
6. Angkat tampon orbita setelah 5-7 hari (pada kasus
eksenterasi)

9. Edukasi Bila batas sayatan bebas tumor :


Tahun I : tiap 3 bulan
Tahun II : tiap 6 bulan
Tahun III dst : tiap tahun
Bila batas sayatan tidak bebas tumor :
Tahun I : tiap bulan
Tahun II : tiap 6 bulan
Tahun III dst : tiap tahun

10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam


Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
Massa berwarna kehitaman pada konjungtiva bulbi, palpebral
14. Indikator Medis
dan forniks.
15. Lama Rawat 4 hari
16. Kepustakaan American academic ophthalmology. Orbit eyelid sect 7. 2016

75
76

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

TUMOR
Nevus Pigmentosus ( ICD 10 D 22)
Nevus Pigmentosus ialah lesi jinak yang paling sering terjadi
1. Pengertian (Definisi)
pada permukaan mata.
o Sejak kapan keluhan mulai dirasakan?
o Ukuran makin besar atau tidak?
o Ada tidaknya nyeri?
2. Anamnesa o Apakah mudah berdarah?
o Lokasi timbulnya massa?
o Permukaan menonjol atau rata?
o Warna lesi?
1. Pemriksaan mata umum
2. Lesi biasanya terdapat di konjungtiva, dengan warna yang
3. Pemeriksaan Fisik
bervariasi dari coklat tua sampai ke kekuning-kuningan,
seringkali berisi komponen-komponen yang mirip dengan kista.
4. Kriteria Diagnosis Klinis dan pemeriksaan
5. Diagnosis Nevus Pigmentosus
6. Diagnosis Banding 1. Melanoma
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan histopatologis
8. Terapi Non Bedah
Bedah
 Eksisinevus
9. Edukasi Tahun I : tiap 3 bulan
Tahun II : tiap 6 bulan
Tahun III : tiap bulan
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
Lesi biasanya terdapat di konjungtiva, dengan warna yang
14. Indikator Medis
bervariasi dari coklat tua sampai ke kekuning-kuningan
15. Lama Rawat 3- 4 hari
16. Kepustakaan American academic ophthalmology. Orbit eyelid sect 7. 2016
American academic ophthalmology.sect 4. 2016

76
77

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

TUMOR
Pseudotumor ( ICD 10 H05.10 )
Pseudotumor ialah Inflamasi non-spesifik yang secara klinis
dapat terjadi secara akut maupun sub akut, dan dapat berupa
1. Pengertian (Definisi)
miositis, peradangan kelenjar lakrimal, anterior, difus maupun
apeks orbita
Gejala Klinis :
Bervariasi tergantung derajat dan lokasi anatomi inflamasinya.
Lima lokasi tersering berdasarkan urutan kejadian adalah otot-
otot ekstraokular, kelenjar lakrimal, anterior, apical dan inflamasi
2. Anamnesa orbita difus. Onset dapat bersifat akut, subakut dan kronik.
Gejala tersering adalah nyeri onset akut, mata merah, edema
palpebra, kemosis dan proptosis. Pada kasus kronik, gejala
berupa adanya massa, inflamasi, dengan/tanpa infiltrasi yang
menyebabkan gangguan fungsi dan penglihatan yang bervariasi.
1. Pemeriksaan mata umum
2. Anamnesis Kasus akut: nyeri, mata merah, edema palpebra,
kemosis dan proptosis.
3. Pemeriksaan Fisik
Kasus kronik: adanya massa, inflamasi, dengan/tanpa infiltrasi
yang menyebabkan gangguan fungsi dan penglihatan yang
bervariasi.
4. Kriteria Diagnosis Klinis dan pemeriksaan fisik
5. Diagnosis PSEUDOTUMOR
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan histopatologis (bila diperlukan), kecuali pada
miositis orbita dan sindroma apeks orbita
Pemeriksaan imunohistokimia (bila diperlukan)
Pemeriksaan CT-scan (bila diperlukan)
8. Terapi 1. Non Bedah
a. Terapi steroid dosis tinggi
b. Prednisone 1mg/kgBB/hari (maksimal dosis dewasa 60-
80 mg/kgBB/hari) atau Methylprednisolon
0,8mg/kgBB/hari, diberikan secara dosis tunggal selama
14 hari
c. Bila gejala klinis membaik, dosis steroid diturunkan
perlahan (tapering-off) yaitu sebesar 10-25% dosis
77
78

terakhir tiap 1-2minggu, dilanjutkan dosis pemeliharaan


(Prednison/Methylprednisolon 1-2 tablet selang sehari)
selama 1-3 bulan
d. Bila saat penurunan dosis, gejala klinis memburuk, dosis
dinaikkan kembali sebesar 10-25% atau kembali ke dosis
awal.
e. Bila dengan terapi steroid tidak ada perbaikan, maka
dosis diturunkan (tapering off) setiap 1-2 minggu
f. Sitostatika dapat diberikan pada kasus yang tidak
responsive terhadap steroid

2. Bedah
a. Biopsi (insisi/eksisi) diindikasikan untuk kasus yang
tidak responsive terhadap terapi steroid, dilanjutkan
dengan pemeriksaan patologi anatomi dan
imunohistokimia (bila diperlukan)
b. Radioterapi
c. Radiasi yang diindikasikan pada kasus pseudotumor tipe
sklerotik

9. Edukasi Pasien dianjurkan untuk kontrol ulang ke poliklinik setiap:


Tahun I : tiap 3 bulan
Tahun II : tiap 6 bulan
Tahun III : tiap 1 tahun
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
Mata merah, edema palpebra, kemosis dan proptosis.
14. Indikator Medis
Gangguan visus
15. Lama Rawat 4 hari
16. Kepustakaan American academic ophthalmology. Orbit eyelid sect 7. 2016

78
79

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

TUMOR
Tumor retrobulbar (ICD 10 H 05.011)
Tumor retrobulbar ialah lesi yang terletak pada cavum orbita
1. Pengertian (Definisi)
sehingga menyebabkan bola mata terdorong ke depan.
o Sejak kapan keluhan mulai dirasakan?
o Ukuran makin besar atau tidak?
o Apakah mata lebih menonjol?
2. Anamnesa o Ada tidaknya nyeri?
o Apakah mudah berdarah?
o Lokasi timbulnya massa?
o Permukaan menonjol atau rata?
1. Pemeriksaan mata umum
2. Terdapat proptosis, bisa disertai nyeri atau tidak,
3. Pemeriksaan Fisik
hambatan pada gerakan bola mata, bisa disertai
adanya keluhan penurunan tajam penglihatan.
4. Kriteria Diagnosis Klinis dan pemeriksan fisik
5. Diagnosis Tumor Retrobulbar
6. Diagnosis Banding Sphenoid wing meningioma, Hemangioma Karsinoma
1. Pemeriksaan Penunjang 18. Pemeriksaan histopatologis (bila diperlukan), kecuali pada
miositis orbita dan sindroma apeks orbita
19. Pemeriksaan imunohistokimia (bila diperlukan)
20. Pemeriksaan CT-scan
21. Terapi Eksisi tumor
22. Edukasi Pasien dianjurkan untuk kontrol ulang ke poliklinik setiap:
Tahun I : tiap 3 bulan
Tahun II : tiap 6 bulan
Tahun III : tiap 1 tahun
23. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
24. Tingkat Evidens IA
25. Tingkat Rekomendasi A
26. Penelaah Kritis
Terdapat proptosis, bisa disertai nyeri atau tidak, hambatan pada
27. Indikator Medis gerakan bola mata, bisa disertai adanya keluhan penurunan tajam
penglihatan.
28. Lama Rawat 4 hari

79
80

29. Kepustakaan American academic ophthalmology. Orbit eyelid sect 7. 2016

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

LENSA
Afakia H27.0
Afakia adalah keadaan tidak ada ada lensa akibat komplikasi operasi
1. Pengertian (Definisi)
katarak sebelumnya
Keluhan utama : penglihatan tetap kabur setelah operasi, ada riwayat
2. Anamnesa
operasi katarak
1. Visus : ≥ 1/60
2. TIO : Normal
3. Pemeriksaan Fisik 3. Lensa : tidak ada
4. Keratometri
5. Biometri
4. Kriteria Diagnosis 1. Riwayat operasi katarak
2. Lensa tidak ada
5. Diagnosis Afakia
6. Diagnosis Banding 13. Afakia
14. Afakia + Astigmat
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium : Darah rutin dan Gula darah
2. Ultrasonografi bola mata
3. Keratometri
4. Biometri
8. Terapi 1. Insersi lensa tanam dengan fiksasi sklera
2. Antibiotik oral
3. Antibiotik + steroid tetes
4. Analgetik oral
5. Steroid oral
9. Edukasi 1. Komplikasi Tindakan
2. Perawatan setelah operasi
10. Prognosis Ad Vitam : Ad bonam
Ad Fungsionam : Ad bonam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Tajam Penglihatan
1. American Academic of Ophthalmology ed 2015- 2016
15. Kepustakaan 2. Transisi Menuju Fekoemulsifikasi 2004
16. Lama rawat 2 – 5 hari
80
81

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

LENSA
After Cataract/ PCO H26.4
Katarak Sekunder : kekeruhan kapsul posterior setelah operasi
1. Pengertian (Definisi)
ekstraksi lensa dan insersi lensa tanam
Keluhan utama : penglihatan kabur secara bertahap beberapa bulan
2. Anamnesa sampai tahun setelah operasi
Riwayat penyakit yang mendasari
1. Visus : 6/9 – 1/60
2. TIO : Normal
3. Pemeriksaan Fisik
3. Bilik Mata depan : Jernih
4. Kapsul posterior : Keruh
4. Kriteria Diagnosis 1. Riwayat Penyakit
2. Visus menurun perlahan
3. Lensa Keruh
5. Diagnosis Katarak Sekunder (Postrior Capsular Opacity= PCO)
6. Diagnosis Banding 1. Katarak Sekunder
2. Pseudofakia + Uveitis Sanata
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium : Darah rutin dan Gula darah
2. Ultrasonografi bola mata
8. Terapi 1. Nd Yag Laser
2. Steroid tetes
9. Edukasi 1. Jenis penyakit dan perkembangannya
2. Komplikasi penyakit dan tindakan
3. Perawatan setelah tindakan
10. Prognosis Ad Vitam : Ad bonam
Ad Fungsionam : Ad bonam
11. Kepustakaan 1. American Academic of Ophthalmology ed. 2015- 2016
2. Transisi Menuju Fekoemulsifikasi 2004
12. Tingkat Evidens IA
13. Tingkat Rekomendasi A
14. Penelaah Kritis Dokter Spesialis Mata
15. Indikator Medis Tajam Penglihatan
16. Lama rawat Rawat Jalan

81
82

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

LENSA
Katarak Komplikata H26.22
Katarak Komplikata adalah kekeruhan lensaakibat dari kelainan
sistemik seperti DM atau kelainan intraokuler seperti Uveitis,
1. Pengertian (Definisi)
Glaukoma atau kelainan kongenital seperti Aniridia, atau kelainan
okuler yang menyebabkan kekeruhan pada lensa
Keluhan utama : penglihatan kabur secara bertahap
2. Anamnesa
Riwayat penyakit yang mendasari
1. Visus : 6/9 – 1/∞
2. TIO : Normal – meningkat
3. Bilik Mata depan : Jernih - kekeruhan
3. Pemeriksaan Fisik
4. Lensa : keruh (Kriteria LOCS)
5. Keratometri
6. Biometri
4. Kriteria Diagnosis 1. Riwayat Penyakit
2. Visus menurun perlahan
3. Lensa Keruh
4. Diagnosis Katarak Komplikata
5. Diagnosis Banding 1. Katarak Komplikata
2. Katarak Senelis
3. Katarak Juvenil
4. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium : Darah rutin dan Gula darah
2. Ultrasonografi bola mata
3. Keratometri
4. Biometri
5. Terapi 1. Ekstraksi Lensa
2. Insersi lensa tanam
3. Antibiotik + steroid tetes
4. Analgetik oral
5. Steroid oral
6. Edukasi 1. Jenis Penyakit dan perkembangannya
2. Komplikasi Penyakit dan Tindakan
3. Perawatan setelah operasi
7. Prognosis Ad Vitam : Ad bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad bonam
8. Kepustakaan 1. American Academic of Ophthalmology ed. 2015- 2016
2. Transisi Menuju Fekoemulsifikasi 2004
82
83

9. Tingkat Evidens 1A
10. Tingkat Rekomendasi A
11. Penelaah Kritis
12. Indikator Medis Tajam Penglihatan
13. Lama rawat 2 – 5 hari
BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

LENSA
Katarak Senilis H25.0
Katarak senilis adalah kekeruhan pada lensa yang berhubungan
1. Pengertian (Definisi)
dengan usia atau faktor degenerasi.
Keluhan utama : penglihatan kabur seperti melihat asap atau awan
secara berangsur-anngsur, dapat disertai keluhan silau, penglihatan
2. Anamnesa
monokuler diplopia dan lebih nyaman pada sore hari atau keadaan
agak redup
1. Visus : 6/9 – 1/∞
2. TIO : Normal
3. Pemeriksaan Fisik 3. Lensa : keruh (Kriteria LOCS)
4. Keratometri
5. Biometri
1. Usia penderita
4. Kriteria Diagnosis 2. Visus menurun perlahan
3. Lensa keruh
5. Diagnosis Katarak Senilis
6. Diagnosis Banding 1. Katarak Senilis
2. Katarak Juvenil
15. Katarak Traumatika
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium : Darah rutin dan Gula darah
2. Ultrasonografi bola mata
3. Keratometri
4. Biometri
8. Terapi 1. Ekstraksi Lensa
2. Insersi lensa tanam
3. Antibiotik + steroid tetes
4. Analgetik oral
5. Steroid oral
9. Edukasi 1. Jenis Penyakit dan perkembangannya
2. Komplikasi Penyakit dan Tindakan
3. Perawatan setelah operasi
10. Prognosis Ad Vitam : Ad bonam
Ad Fungsionam : Ad bonam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
83
84

14. Indikator Medis Tajam Penglihatan


15. Kepustakaan 1. American Academic of Ophthalmology ed 2015- 2016
2. Transisi Menuju Fekoemulsifikasi 2004
16. Lama rawat 2 – 5 hari
BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

LENSA
Katarak Traumatika H26.1
Katarak Traumatika : katarak akibat dari ruda paksa langsung
1. Pengertian (Definisi)
maupun tidak langsung
Keluhan utama : penglihatan kabur setelah terjadi ruda paksa dapat
2. Anamnesa
segera atau bebrapa hari kemudian
1. Visus : 6/9 – 1/∞
2. TIO : Normal
3. Pemeriksaan Fisik 3. Lensa : keruh (Kriteria LOCS)
4. Keratometri
5. Biometri
4. Kriteria Diagnosis 1. Riwayat ruda paksa
2. Visus menurun tiba- tiba atau perlahan
3. Lensa Keruh
4. Diagnosis Katarak Traumatika
5. Diagnosis Banding 1. Katarak Traumatika
2. Katarak Senilis
3. Katarak Juvenil
4. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium : Darah rutin dan Gula darah
2. Ultrasonografi bola mata
3. Keratometri
4. Biometri
5. Terapi 2. Ekstraksi Lensa
3. Insersi lensa tanam
4. Antibiotik + steroid tetes
5. Analgetik oral
6. Steroid oral
7. Edukasi 1. Jenis Penyakit dan perkembangannya
2. Komplikasi Penyakit dan Tindakan
3. Perawatan setelah operasi
8. Prognosis Ad Vitam : Ad bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad bonam
9. Kepustakaan 1. American Academic of Ophthalmology ed 2015- 2016
2. Transisi Menuju Fekoemulsifikasi 2004
10. Tingkat Evidens IA
11. Tingkat Rekomendasi A
12. Penelaah Kritis
13. Indikator Medis Tajam Penglihatan
84
85

14. Lama rawat 2 – 5 hari

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

REFRAKSI
Low Vision
ICD-10 : H54.2
Suatu kondisi penurunan tajam pengelihatan dimana setelah
dilakukan tindakan optimal seperti pengobatan, operasi dan
koreksi kacamata tetapi pengelihatan masih buram (kurang
1. Pengertian (Definisi)
dari 6/18) dan atau lapangan pandang kurang dari 10 derajat
dari titik fiksasi tetapi sisa pengelihatan masih dapat
digunakan untuk melihat.
- Sifat,lama dan kecepatan gangguan penglihatan.
- Kesulitan mengenali wajah teman dan orang sekitarnya.
- Kesulitan membaca,memasak,menjahit dan mengenal
alat-alat disekitarnya.
2. Anamnesa - Kesulitan melakukan aktivitas dirumah dengan
penerangan yang redup.
- Kesulitan Membaca rambu-rambu lalu lintas,bis dan nama
toko
- Kesulitan Memilih dan mencocokan warna baju.
- Pemeriksaan tajam
pengelihatan(Snellenchart,LOGMAR,LEA chart)
- Pemeriksaan pengelihatan dekat dan kemampuan
3. Pemeriksaan Fisik membaca(The Lighthouse near acuity)
- Pengukuran sensitivitas kontras (pelli-robson chart, LEA
low-contrast chart)
- Pemeriksaan lapangan pandang (Amsler grid)
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Low Vision
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Autorefraktometer
2. Streak Retinoscopy
3. Humprey
4. OCT
5. Foto Fundus
8. Terapi Optik :
1. Kacamata
2. Kaca pembesar
3. Teleskop
85
86

Non optik:
1. Alat bantu tulis
2. Lampu penerangan
3. Video pembesar
9. Edukasi 1. Mengenal dan mengajarkan fungsi dari alat-alat bantu low
vision sesuai dengan derajat low vision.
2. Meningkatkan kemampuan untuk hidup mandiri.
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia
Ad Sanationam : dubia
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
Gangguan pengelihatan dapat dibantu dengan alat optik dan
14. Indikator Medis
non optik untuk melakukan kegiatan sehari-hari.
15. Lama Rawat Tidak dirawat
16. Kepustakaan 1. Skuta G L et al. Clinical Optics. In American Academy of
Ophthalmology. Italy: 2014-2015.
2. Freman PB and Jose RT. The Art and Practice of Low
Vision. USA; 2007.
3. Dijk KV et al. Low Vision Training Manual. Centre For
Eye Research Australia University Of Melbourne. 2007.

86
87

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

REFRAKSI
Buta Warna ICD-10 : H53.5
Buta Warna : Ketidakmampuan untuk membedakan warna yang orang
normal mampu untuk membedakannya.
1. Pengertian (Definisi) Berdasarkan etiologi : Acquired atau herrediter
Klasifikasi buta warna : buta warna total atau buta warna parsial (Red
green defisiensi)
- Kesulitan melihat warna tertentu
- Adakah riwayat penyakit tertentu  untuk mengetahui etiologi
2. Anamnesa
(katarak, degenerasi makula, retinopati diabetikum, glaukoma,
neuropati optik)
3. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan visus dengan koreksi terbaik
2. Uji Ishihara ( 38 Plate )
- Ruang pemeriksaan harus cukup pencahayaan
- Lama pengamatan masing – masing lembar maksimal 10 detik
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis
2. Pemeriksaan status ophthalmologi
5. Diagnosis Red green defisiensi dan atau total calour blindness.
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Slit Lamp
2. Funduskopi/Foto Fundus
3. Pemeriksaan Lapang Pandang
4. Ocular cohorence Tomography
9. Terapi Sesuai dengan Etiologi
10. Edukasi 1. Konseling Genetik
2. Memilih pekerjaan yang tidak membutuhkan penglihatan warna
yang baik
11. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia
Ad Sanationam : dubia
12. Tingkat Evidens IA
13. Tingkat Rekomendasi A
14. Penelaah Kritis
Test ishihara 38 plate: yang memenuhi kriteria red green defisiensi dan
15. Indikator Medis
atau total calour blindness.
16. Lama Rawat Tidak dirawat
17. Kepustakaan 1. Skuta G L et al. Clinical Optics. In American Academy of

87
88

Ophthalmology.Italy : 2014-2015.
2. Ilyas S. Kelainan Refraksi dan kacamata. Ilmu Penyakit Mata. Edisi
ketiga. Jakarta: FKUI, 2007

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

REFRAKSI
Hipermetropia ICD-10 : H52.0
- Merupakan suatu anomali refraksi dimana sinar paralel
tanpa akomodasi akan difokuskan dibelakangretina
17. Pengertian (Definisi) - Klasaifikasi berdasarkan derajat :
 Ringan < + 3,00 D
 Sedang > +3,00 D - +5,00 D
- Penglihatan dekat kabur
- Cepat lelah
18. Anamnesa - Pada anak – anak : hipermetropia tinggi biasanya
menyebabkan strabismus konvergen
- Pada Hipermetropia tinggi : penglihatan jauh juga kabur
19. Pemeriksaan Fisik - Pemeriksaan dan koreksi tajam penglihatan
20. Kriteria Diagnosis 3. Anamnesis
4. Pemeriksaan visus dan koreksi
21. Diagnosis Hipermetropia
22. Diagnosis Banding
23. Pemeriksaan Penunjang 6. Slit Lamp
7. Funduskopi/Foto Fundus
8. Autorefraktometer
9. Streak Retinoscopy
10. USG
26. Terapi 1. Kacamata atau lensa kontak dengan koreksi spheris
tertinggi dengan tajam penglihatan terbaik
2. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan bedah refraktif
27. Edukasi 3. Koreksi optik sebaiknya digunakan saat melakukan
pekerjaan sehari – hari
28. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
29. Tingkat Evidens IA
30. Tingkat Rekomendasi A
31. Penelaah Kritis
Gangguan pengelihatan dekat yang dapat dikoreksi dengan
32. Indikator Medis
lensa sferis positif (+)
33. Lama Rawat Tidak dirawat
34. Kepustakaan 1. Skuta G L et al. Clinical Optics. In American Academy of

88
89

Ophthalmology. Italy: 2014-2015.


2. Benjamin, William J.Borish’s Clinical Refraction.
Philadelphia USA; 2006
3. Slone AE. The Teaching of Refraction. Chicago; 2005.

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

REFRAKSI
Astigmatisma ICD-10 : H52.2
- Kondisi Refraksi Mata dimana terdapat perbedaan derajat
refraksi pada meridian berbeda, tiap meridian akan
1. Pengertian (Definisi) memfokuskan sinar paralel pada titik fokus yan berbeda.
- Berdasarkan orientasi meridian dibagi atas : Astigmatisma
reguler dan irreguler
- Penglihatan buram
- Head tilting
2. Anamnesa - Menengok untuk melihat jelas
- Memicingkan mata
- Memegang bahan bacaan lebih jelas
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan dan koreksi tajam penglihatan
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis
2. Pemeriksaan visus dan koreksi
- Astigmatisma, dibagi berdasarkan letak titik fokus
meridian utama terhadap retina
1. Astigmatisma miopia simplek
5. Diagnosis 2. Astigmatisma miopia kompositus
3. Astigmatisma mixtus
4. Astigmatisma hipermetropia simple
5. Astigmatisma hipermetropia kompositus
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Slit Lamp
2. Foto Fundus/Funduskopi
3. Autorefraktometer
4. Streak Retinoscopy
5. Keratormetri/Topografi Kornea
6. USG
10. Terapi 1. Kacamata atau lensa kontak
2. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan bedah refraktif
11. Edukasi 1. Koreksi optik sebaiknya digunakan saat melakukan
pekerjaan sehari – hari
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam

89
90

13. Tingkat Evidens IA


14. Tingkat Rekomendasi A
15. Penelaah Kritis
Gangguan pengelihatan yang dapat dikoreksi dengan lensa
16. Indikator Medis
silender
17. Lama Rawat Tidak dirawat
18. Kepustakaan 1. Skuta G L et al. Clinical Optics. In American Academy of
Ophthalmology. Italy: 2014-2015.
2. Benjamin, William J.Borish’s Clinical Refraction.
Philadelphia USA; 2006
3. Slone AE. The Teaching of Refraction. Chicago; 2005.

90
91

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

REFRAKSI
MIOPIA
ICD-10 : H52.1
Suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasan
1. Pengertian (Definisi) yang melebihi panjang bola mata, sehingga sinar sejajar yang
datang dibiaskan di depan retina
- Penglihatan jauh kabur
- Cepat lelah
2. Anamnesa
- Pada miopia tinggi terdapat degenerasi retina perifer
- Gambaran spot flooting dikarenakan degenerasi vitreous
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan dan koreksi tajam penglihatan
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis
2. Pemeriksaan visus dan koreksi
Miopia, dibagi menjadi :
1. Miopia ringan : - 3,00 D
5. Diagnosis 2. Miopia Sedang : -3,00 D s/d -6,00 D
3. Miopia tinggi / berat : > -6,00 D
4. Miopia Patologis > -8.00 D dan Axial lenght ≥ 26 mm
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Slit Lamp
2. Foto Fundus/Funduskopi
3. Autorefraktometer
4. Streak Retinoscopy
5. Keratometri/Topografi Kornea
6. USG
10. Terapi 1. Kacamata atau lensa kontak dengan koreksi spheris,
Terendah dengan tajam penglihatan terbaik
2. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan bedah refraktif
3. Miopia patologis dapat dilakukan laser Fotokoagulasi PRP
12. Edukasi 1. Koreksi optik sebaiknya digunakan saat melakukan
pekerjaan sehari – hari
2. Mengurangi akomodasi dan menambah aktifitas yang
menggunakan pengelihatan jauh.
13. Prognosis Ad Vitam : dubia aad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
14. Tingkat Evidens IA
91
92

15. Tingkat Rekomendasi A


16. Penelaah Kritis
Gangguan pengelihatan yang dapat dikoreksi dengan lensa
17. Indikator Medis
sferis negatif (-)
18. Lama Rawat Tidak dirawat
19. Kepustakaan 1. Skuta G L et al. Clinical Optics. In American Academy of
Ophthalmology. Italy: 2014-2015.
2. Benjamin, William J.Borish’s Clinical Refraction.
Philadelphia USA; 2006
3. Slone AE. The Teaching of Refraction. Chicago; 2005.

92
93

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

REFRAKSI
PRESBIOPIA
ICD-10 : H52.4
Presbiopia adalah menurunnya respon akomodasi akibat dari
1. Pengertian (Definisi)
berkurangnya elastisitas dari lensa kristalina
- Umur ≥ 40 thn
- Sulit dan merasa cepat lelah bila melakukan pekerjaan pada jarak
2. Anamnesa dekat ( misal : membaca, menjahit)
- Lebih nyaman bila pekerjaan jarak dekat tersebut dilakukan
dengan pencahayaan yang lebih
- Pemeriksaan dan koreksi tajam penglihatan
- Pemberian koreksi presbiopia dengan mempertimbangkan variasi
umur
Misal :
3. Pemeriksaan Fisik  40 thn : S +1 D
 45 thn : S + 1,50 D
 50 thn : S + 2,00 D
 55 thn : S +2,50 D
 60 thn : S +3,00 D
4. Kriteria Diagnosis 1. Pertimbangan riwayat jenis pekerjaan ( penjahit, arsitektur, tukang
las)
5. Diagnosis Presbiopia
6. Diagnosis Banding 1. Isufisiensi Akomodasi
7. Pemeriksaan 1. Slit Lamp
Penunjang 2. Funduskopi/Foto fundus
3. The Lighthouse near acuity.
4. Pemeriksaan Amplitudo Akomodasi
11. Terapi 1. Kacamata bifokal atau lensa kontak
2. Dalam keadaan tertentu dapat dilakukan bedah refraktif
12. Edukasi 1. Koreksi optik sebaiknya digunakan untuk melakukan kegiatan
dekat untuk mencegah mata cepat lelah
2. Istirahatkan mata ± 10 menit saat melakukan kegiatan jarak dekat
lebih dari 1 jam
13. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Snationam : dubia ad bonam
93
94

14. Tingkat Evidens IA


15. Tingkat Rekomendasi A
16. Penelaah Kritis
17. Indikator Medis Gangguan pengelihatan dekat pada usia diatas usia 40 tahun
18. Lama Rawat Tidak dirawat
19. Kepustakaan 1. Skuta G L et al. Clinical Optics. In American Academy of
Ophthalmology. Italy: 2014-2015.
2. Benjamin, William J.Borish’s Clinical Refraction. Philadelphia
USA; 2006
3. Slone AE. The Teaching of Refraction. Chicago; 2005.

94
95

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
Corpus alienum (T15.0)
Corpus alienum : benda asing yang masuk pada mata dan
1. Pengertian (Definisi)
menyebabkna reaksi radang
Mata merah, berair dan mmpunyai riwayat kelilipan, terasa
2. Anamnesa masuk sesuatu pada mata, sering terjadi pada pasien yang
pekerjaannya tukang las
1. Pemeriksaan visus dengan menggunakan kartu snellen atau
chart projector dengan koreksi terbaik sertan menggunakan
pinhole
2. Pemeriksaan TIO dengan tonometer non kontak
3. Pemeriksaan Fisik
3. Fluorescein test
4. Pemeriksaan segmen anterior dengan menggunakan slit lamp
5. Dilakukan pemeriksaan kelopak mata superior dengan
melakukan eversi
4. Kriteria Diagnosis Terlihat adanya korpus alienum menempel pada kornea
5. Diagnosis Corpus alienum
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan Penunjang -
8. Terapi 1. Ekstraksi korpus alienum dengan menggunakan anestesi
topical
2. Bebat tekan selama 8 jam
3. Antibiotic topical dan pemberian air mata buatan setelah
bebat tekan dibuka
9. Edukasi 1 Jenis Penyakit dan perkembangannya
2 Komplikasi Penyakit dan Tindakan / treatment
3 Follow up dan kepatuhan pasien
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam :Dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Mata merah, sensasi mengganjal
15. Lama perawatan Tidak rawat inap
16. Kepustakaan American Academy of Ophtalmology section 8 2015-2016
Cornea and external eye disease Frank Larkin 2014

95
96

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
Dry eye syndrome ( H04.123)
Dry eye syndrome : Kelompok kelainan pada mata akibat
produksi air mata berkurang atau evaporasi air mata berlebihan
1. Pengertian
yang berhubungan dengan ketidaknyamanan mata dengan atau
(Definisi)
tanpa gejala gangguan penglihatan dan dapat menyebabkan
kelainan pada permukaan bola mata.
Iritasi, berair, pedas, perih, sensasi benda asing, gatal ringan,
fotofobia, penglihatan buram, intoleransi terhadap lensa kontak,
2. Anamnesa mata merah, secret mucous, frekuensi mengedip meningkat,
fluktuasi diurnal dimana gejala semakin sakit pada sore atau
malam hari
1. anamnesis : riwayat pemakaian obat-obatan mata sebelumnya,
penggunaan lensa kontak, konjungtivitis alergi, kelainan pada
permukaan bola mata, pembedahan mata sebelumnya, bell’s
palsy, pajanan asap rokok, kebersihan kelopak dan wajah, atopi,
menopause, inflamasi sistemik, trauma, infeksi virus kronis,
radiasi orbit, kelainan neurologis, mulut kering, gigi berlubang,
sariawan
2. pemeriksaan visus dengan snellen chart dengan koreksi terbaik
3. Pemeriksaan
dengan menggunakan pinhole
Fisik
3. pemeriksaan TIO dengan tonometers non kontak
4. pemeriksaan slit lamp untuk melihat segmen anterior, melihat
tanda kering, defisiensi air mata, peningkatan evaporasi, dan
melihat adanya iritasi okular lainnya
5. pemeriksaan eksternal pada kulit, kelopak mata, adneksa,
proptosis, fungsi saraf kranialis
6. Schirmer test, break up time, ferning test, uji sensibilitas
kornea
4. Kriteria tanda kering, defisiensi air mata, peningkatan evaporasi, dan
Diagnosis melihat adanya iritasi okular lainnya
5. Diagnosis DRY EYE SYNDROME
6. Diagnosis -
Banding
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan lab pada pasien yang dcurigai ada kelainan
Penunjang imunologis, konsultasi departemen lain seperti penyakit dalam,
neurologi, gigi mulut.

96
97

8. Terapi 1. edukasi dan modifikasi lingkungan


2. menghilangkan penyebab seperti obat-obatan topical atau
sistemik
3. subtitusi defisiensi dengna pemberian air mata buatan
4. terapi kelopak mata (higine kelopak mata dan kompres hangat)
5. terapi faktor-faktor yang mengkontribusi seperti blefaritis, atau
meibomitis
6. perlu dipertimbangkan untuk dilakukan tarsorafi bila dry eye berat
7. konsul ke subdivisi rekonstruksi bila terdapat malformitas pada
kelopak mata, dan departemen lain bila terdapat kelainan sistemik
9. Edukasi 1. Jenis Penyakit dan perkembangannya
2. Komplikasi Penyakit dan Tindakan / treatment
3. Follow up dan kepatuhan pasien
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam :Dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Senasi mengganjal seperti berpasir, berair
15. Lama perawatan Tidak rawat inap
16. Kepustakaan American Academy of Ophtalmology section 8 2015-2016
Cornea and external eye disease Frank Larkin 2014

97
98

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
Erosi kornea (H18.833)
17. Pengertian Erosi kornea : Erosi pada lapisan epitel kornea yang disebabkan
(Definisi) karena benda asing ataupun trauma
18. Anamnesa Berair, pandangan kabur, sensasi benda asing, fotofobia
1. pemeriksaan visus dengan snellen chart dengan koreksi
terbaik dengan menggunakan pinhole
19. Pemeriksaan
2. pemeriksaan TIO dengan tonometers non kontak
Fisik
3. fluorescein test
4. pemeriksaan slit lamp untuk melihat segmen anterior
20. Kriteria Tampak fluorescein test (+) pada kornea
Diagnosis
21. Diagnosis Erosi kornea
22. Diagnosis -
Banding
23. Pemeriksaan Pemeriksaan gram dan KOH
Penunjang
24. Terapi Tatalaksana :
1. bebat tekan selama 8 jam/lensa kontak
2. antibiotic topical dan air mata buatan topikal
3. mencari penyebab
25. Edukasi 1 Jenis Penyakit dan perkembangannya
2 Komplikasi Penyakit dan Tindakan / treatment
3 Follow up dan kepatuhan pasien
1. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam :Dubia ad bonam
2. Tingkat Evidens IA
3. Tingkat A
Rekomendasi
4. Penelaah Kritis
5. Indikator Medis Penurunan visus, nyeri, mata merah
6. Lama Perawatan 7 hari
7. Kepustakaan American Academy of Ophtalmology section 8 2015-2016
Cornea and external eye disease Frank Larkin 2014
98
99

99
100

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
Hordeolum (H00.019)
1. Pe Hordeolum : radang akut pada kelenjar
ngertian (Definisi) (meibom atau zeiss moll)
2. A Benjolan pada kelopak mata, rasa mengganjal pada mata, edema
namnesa dan nyeri pada kelopak mata (daerah sekitar benjolan)
1. Pemeriksaan visus dengan kartu snellen atau chart projector
dengan koreksi terbaik dan menggunakan pinhole
3. Pe 2. Pemeriksaan TIO dengan tonomoter non kontak
meriksaan Fisik 3. Pemeriksaan segmen anterior dengan menggunakan slit lamp
4. Dilakukan pemeriksaan pada palpebra superior dengan
melakukan eversi kelopak mata
4. Kriteria Diagnosis Benjolan berbatas tegas, dalam palpebra superior dengan/atau
palpebra inferior yang berisi pus, dengan disertai tanda-tanda
radang. Dapat berulang dan disertai komplikasi konjungtivitis,
blefaritis, ataupun
5. Diagnosis Hordeolum
6. Diagnosis Banding Kalazion
7. Pemeriksaan Penunjang -
8. Terapi 1. Pemberian antibiotic topical dalam bentuk salep mata
2. Dilakukan insisi dan kuretase pada hordeolum/kalzion
dengan anestesi lokal
9. Edukasi 1 Jenis Penyakit dan perkembangannya
2 Komplikasi Penyakit dan Tindakan / treatment
3 Follow up dan kepatuhan pasien
4 Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam :Dubia ad bonam
5 Tingkat Evidens IA
6 Tingkat Rekomendasi A
7 Penelaah Kritis
8 Indikator Medis Sensai mengganjal, kelopak mata terasa berat
9 Lama Perawatan 21 hari
10 Kepustakaan American Academy of Ophtalmology section 8 2015-2016
Cornea and external eye disease Frank Larkin 2014

100
101

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
Keratitis (H16.9)
1. Pe Keratitis : Peradangan pada lapisan kornea (bisa terbatas pada
ngertian (Definisi) epitel saja atau sampai ke stroma)
2. A Keluhan utama: Mata merah, silau, penglihatan kabur
namnesa
1. Visus turun
2. TIO normal
3. Pe 3. pemeriksaan sensibilitas kornea dan fluorescein test
meriksaan Fisik 4. Slit lamp untuk melihat segmen anterior
5. Oftalmoskopi indirek (lensa condensing atau binocular
indirect ophtalmoscope) untuk pemeriksaan segmen posterior
4. Kr 1. Injeksi silier
iteria Diagnosis 2. Fluorescein test (+)
3. Sensibilitas meningkat bila disebabkan jamur
4. Infiltrat (+)
5. Di Keratitis
agnosis
6. Di Superficial punctat keratopathy
agnosis Banding
7. Pe -
meriksaan Penunjang
8. Te 1. Beri terapi topical sesuai dengan
rapi gambaran klinis, misalnya antiviral topical bila didiagnosa
dengan infeksi virus
2. hentikan obat bila disebabkan oleh
iatrogenic (toksik) dan berikan air mata buatan.
3. berikan kortikosteroid topical bila tidak
ada kontraindikasi
4. berikan antiviral oral bila didiagnosa
sebagai keratitis stromal virus
5. berikan vitamin c oral untuk mempercepat
penyembuhan
9. Ed 1. Jenis Penyakit dan perkembangannya
ukasi 2. Komplikasi Penyakit dan Tindakan / treatment
3. Follow up dan kepatuhan pasien
10. Pr Ad Vitam : dubia ad bonam
ognosis
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
11. Ti IA
ngkat Evidens
12. Ti A
101
102

ngkat Rekomendasi
13. Pe
nelaah Kritis
14. In Penurunan visus, nyeri, silau
dikator Medis
15. La 21 Hari
ma Perawatan
16. Ke American Academy of Ophtalmology section 8 2015-2016
pustakaan Cornea and external eye disease Frank Larkin 2014

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
Konjungtivitis (H10.0)
Konjungtivitis : Peradangan pada konjungtiva yang dapat
1. Pengertian (Definisi) disebabkan oleh virus, bakteri, reaksi alergi, reaksi toksik,
trauma/iritasi.
Keluhan utama: Mata merah, silau, kotoran mata (+), berair-
2. Anamnesa
air, rasa mengganjal (sensasi benda asing)
1. Visus normal
2. TIO normal
3. pemeriksaan fluorescein test
4. Slit lamp untuk melihat segmen anterior
5.lakukan eversi untuk melihat konjungtiva tarsal da melihat
ada tidaknya papil, cobble stone, sikatrik, granuloma,
pseudomembran, atau membrane
3. Pemeriksaan Fisik 6. pada konjungtiva bulbi umumnya ditemukan injeksi
konjungtiva tanpa injeksi siliar, serta melihat ada tidaknya
flikten
7.secret dilihat berdasarkan bentuk dan kosistensinya
8.bila ditemukan infiltrate kornea maka didiagnosis sebagai
keratokonjungtivitis
8.Oftalmoskopi indirek (lensa condensing atau binocular
indirect ophtalmoscope) untuk pemeriksaan segmen posterior
4. Kriteria Diagnosis 1. Injeksi konjungtiva, kemosis konjungtiva
2. Fluorescein test (-)
3. sekret (+) bila disebabkan bakteri
11 Diagnosis Konjungtivitis
12 Diagnosis Banding
13 Pemeriksaan Penunjang 1.pewarnaan gram dan kultur agar darah
2.cari faktor-faktor predisposisi sistemik (diabetes mellitus
102
103

atau immunocomprimised) atau lokal (dry eye, disfungsi


kelenjar meibom, atau obstruksi duktus nasolakrimal)
3.pemeriksaan schirmer, break-up time, ferning, anel test, bila
dicurigai adanya predisposisi lokal
14 Terapi 1.terapi sesuai penyebab
2. virus : kortikosteroid topical (kombinasi dengan
antibiotic), dan air mata buatan, bakteri : antibiotika topical
dan air mata buatan, bila alergi : mast cell stabilizer, air mata
buatan, antihistamin topical atau sistemik, dan
vasokonstriktor topikal, kortikosteroid topical hanya pada
keadaan akut dan perlu diwaspadai efek sampingnya
3.bila ditemukan pseudomembran dilakukan membrane
peeling
4.dilakukan spooling RL-Betadine
9.Edukasi 1. Jenis Penyakit dan perkembangannya
2. Komplikasi Penyakit dan Tindakan / treatment
3. Follow up dan kepatuhan pasien
10.Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
11.Tingkat Evidens IA
12.Tingkat Rekomendasi A
13.Penelaah Kritis
14.Indikator Medis Mata merah, berair, sekret
15.Kepustakaan American Academy of Ophtalmology section 8 2015-2016
Cornea and external eye disease Frank Larkin 2014

103
104

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
Litiasis
Litiasis : bintik kekuningan yang berisi lipid dan menempel pada
1. Pengertian (Definisi)
konjungtiva tarsalis superior atau inferior atau keduanya.
2. Anamnesa Keluhan utama: rasa mengganjal pada mata
1. pemeriksaan visus dengan mengguanakan kartu
snellen atau chart projector dengan koreksi terbaik dan
menggunakan pinhole
2. lakukan pemeriksaan slit lamp untuk melihat
3. Pemeriksaan Fisik segemen anterior
3. lakukan eversi pada palpebra superior untuk
melihat ada tidaknya litiasis
4. bila ada komplikasi konjungtivitis terapi sesuai protab
konjungtivitis
2. Kriteria Diagnosis 1. terlihat litiasis pada konjungtiva tarsalis superior atau inferior
atau keduanya
3. Diagnosis Litiasis
4. Diagnosis Banding -
5. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan cholesterol dan trigliserida
6. Terapi 1. ekstraksi litiasis
2. berikan salep mata antibiotic topical
3. berikan air mata buatan topikal
7. Edukasi 1. Jenis Penyakit dan perkembangannya
2. Komplikasi Penyakit dan Tindakan / treatment
3. Follow up dan kepatuhan pasien
8. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam :Dubia ad bonam
9. Tingkat Evidens IC
10. Tingkat Rekomendasi B
104
105

11. Penelaah Kritis


12. Indikator Medis Sensasi mengganjal
American Academy of Ophtalmology section 8 2015-2016
13. Kepustakaan Cornea and external eye disease Frank Larkin 2014

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
TRAUMA KIMIA BOLA MATA (S05.90XA)
Trauma akibat bahan kimia yang mengenai mata dapat berupa
bahan cair, padat atau gas. Bahan kimia dapat dibedakan menjadi
1. Pengertia asam, yaitu bahan yang memilki tingkat keasaman (pH) kurang
n (Definisi) dari tujuh yang menyebabkan proses koagulasi. Jenis bahan
kimia basa memiliki tingkat pH lebih dari tujuh dan
menyebabkan reaksi penyabunan.
2. Anamnes Riwayat mata terkena zat kimia, nyeri, mata merah, penglihatan
a menurun
1. Anamnesis jenis bahan kimia penyebab, waktu dan lama
kontak sampai tindakan pembilasan, lamanya irigasi yang
telah dilakukan, tempat kejadian (rumah tangga, pekerjaan,
kriminal)
2. Pemeriksaan visus dengan menggunakan snellen chart dengan
koreksi terbaik dan menggunakan pinhole
3. Pemeriks
3. Tekanan intraokular diukur dengan tonometers aplanasi atau
aan Fisik
schiotz jika kornea intak, jika terdapat defek pada kornea,
tekanan bola mata diperiksa dengan tekanan palpasi
4. Pemeriksaan slit lamp untuk melihat segmen anterior
5. Pemeriksaan segmen posterior bila memungkinkan
6. Kertas lakmus untuk mengetahui PH bahan kimia
7. USG bila segmen posterior sulit dinilai
4. Kriteria 1. Anamnesis jenis bahan kimia penyebab, waktu dan lama
Diagnosis kontak sampai tindakan pembilasan, lamanya irigasi yang
telah dilakukan, tempat kejadian (rumah tangga, pekerjaan,
kriminal)
2. Pemeriksaan slit lamp untuk menentukan gradasi tingkat
keparahan. Gradasi klinis berdasarkan kerusakan stemcell
limbus (hughes):

105
106

 Derajat I: iskemia limbus yang minimal atau tidak ada


 Derajat II: iskemia kurang dari 2 kuadran limbus
 Derajat III: iskemia kurang dari 3 kuadran limbus
 Derajat IV: Iskemia pada seluruh limbus, seluruh permukaan
epitel konjungtiva dan bilik mata depan
3. PH bahan kimia

5. Diagnosis TRAUMA KIMIA BOLA MATA


6. Diagnosis -
Banding
7. Pemeriks 1. Tes flourescein untuk menilai kerusakan epitel kornea
aan Penunjang 2. Pemeriksaan siedel test untuk menilai adanya perforasi
kornea
8. Terapi Prinsip penanganan trauma kimia adalah mengutamakan irigasi
sebanyak-banyaknya sebelum tindakan lain
1. Sebelum dibawa ke Rumah sakit harus dilakukan
pembilasan bagian mata yang terkena trauma kimia dengan
segera menggunakan air mengalir
2. Penderita dirawat di rumah sakit bila trauma kimia asam
mengenai kedua mata. Semua penderita trauma kimia basa
harus dirawat.
3. Phase Kejadian ( Immediate )
a. Tujuan : menghilangkan materi penyebab sebersih
mungkin
a. Tindakan :
I. Pembilasan dilakukan segera, bila mungkin berikan
anestesi topikal terlebih dahulu (sebelum dilakukan
pembilasan dilakukan pemeriksaan pH air mata).
Pembilasan dengan larutan non-toksik (NaCI 0.9%,
Ringer Laktat dsb ). Sampai pH air mata kembali
normal ( dinilai dengan kertas Lakmus ).
II. Benda asing yang melekat dan jaringan bola mata
yang nekrosis harus dibuang ( pada anak-anak, jlka
perlu dalam narkose ).
III. bila diduga telah terjadi penetrasI bahan kimia ke
dalam bIlik mata depan (BMD) dilakukan kumbah
BMD dengan larutan RL di ruang operasi
4. Phase akut ( sampai hari ke 7 )
a. Tujuan : Mencegah terjadinya penyulit
b. Prinsip :
i. Mempercepat proses re-epitelisasi kornea dengan

menggunaka autoserum, lensa kontak dan obat-obatan


topikal
i. Mengontrol tingkat peradangan, mencegah infiitrasi

sel-sel radang, mencegah pembentukan enzim


kolagenase menggunakan obat-obatan topikal (salep
dan tetes mata) dan oral
ii. Mencegah infeksi sekunder menggunakan antibiotik

topikal
iii. Mencegah peningkatan tekanan bola mata dengan

menggunakan obat-obatan topikal


106
107

iv. Suplement/ anti oksidan per oral


v. Tindakan pembedahan (kumbah BMD di ruang
operasi)

5. Phase pemulihan dini (early repair : hari ke 7 — 21)


a. Tujuan : Membatasi tingkat penyulit
b. Problem :
I. Hambatan re-epitelisasi kornea diatasi dengan tindakan
amnion graft atau limbal stem cell graft
II. Gangguan fungsl kelopak mata
iii. Hilangnya sel Goblet diatasi dengan menggunakan air mata

buatan topikal
iv. Ulserasi stroma yang dapat berlanjut menjadi perforasi

kornea
b. Prinsip : sesuai dengan phase II
6. Phase pemulihan akhir ( rate repair : setelah ke 21 )
a. Tujuan Rehabilitasi fungsi penglihatan
b. Problem :
I. Disfungsi sel Goblet
ii. Hambatan re-epitelisasi kornea
ill. Ulserasi stroma ( gradasi III dan IV )
c. Prinsip :
i. Mempercepat proses re-epitelisasi komea atau

optimalisasi fungsi epitel permukaan


ii. Dan seterusnya sesuai dengan phase ll

9. Edukasi - Jenis Penyakit dan perkembangannya


- Komplikasi Penyakit dan Tindakan / treatment
- Follow up dan kepatuhan pasien
10. Prognosis Ad Vitam : dubia
Ad fungsionam :dubia
11. Tingkat Evidens IA
30. Tingkat Rekomendasi A
31. Penelaah Kritis
32. Indikator Medis Penurunan visus, nyeri, mata merah
33. Lama Perawatan 30 Hari
34. Kepustakaan American Academy of Ophtalmology section 8 2015-2016
Cornea and external eye disease Frank Larkin 2014

107
108

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
TRAUMA MEKANIK BOLA MATA (S05.90XA)
cedera langsung berupa ruda paksa yang mengenai jaringan
1. Pengertia
mata, beratnya kerusakan jaringan tergantung dari jenis trauma
n (Definisi)
dan jaringan yang terkena
2. Anamnes Riwayat trauma pada mata sebelumnya, mekanisme trauma
a
1. Anamnesis mekanisme trauma,
adakah penuruna kesadaran, vital sign
2. Pemeriksaan visus dengan
menggunakan snellen chart dengan koreksi terbaik dan
menggunakan pinhole
3. Tekanan intraokular diukur dengan
tonometers aplanasi atau schiotz jika kornea intak, jika
3. Pemeriks
terdapat defek pada kornea, tekanan bola mata diperiksa
aan Fisik
dengan tekanan palpasi
4. Pemeriksaan slit lamp untuk melihat
segmen anterior
5. Pemeriksaan segmen posterior bila
memungkinkan
6. Menentuka klasifikasi trauma menurut
BETT ( Birmingham Eye Trauma Terminology)
4. Kriteria Diagnosis Menurut klasifikasi BETT
5. Diagnosis TRAUMA MEKANIK BOLA MATA
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriks 1. USG untuk melihat kelainan
aan Penunjang segmen posterior
2. Rontgen orbita bila ada kecurigaan
fraktur dinding orbita atau benda asing dalam rongga mata

108
109

atau dalam orbita


3. Pemeriksaan siedel test
8. Terapi 1. Pada luka tembus yang minimal,
tanpa kerusakan intraokular, tidak ada prolap, diberikan
antibiotic sistemik atau dengan topical dengan observasi
yang ketat. Bila luka tembus dengan bilik mata yang
normal, diberikan obat-obat supresi produksi aquos , bebat
tekan atau lensa kontak. Bila 3 hari tidak berhasil dilakukan
penjahitan kornea
2. Rapair korneosklera untuk
memperbaiki integritas bola mata (tujuan primer) dan
memperbaiki visus (tujuan sekunder). Bila prognosis visus
kurang baik dan mempunyai resiko simpatis oftalmia,
dilakukan enukleasi / eviserasi
3. Eviserasi / Enukleasi primer hanya
dilakukan pada kasus trauma mata yang berat sehingga
rekonstruksi anatomi bola mata sudah tidak memungkinkan
dan harus disetujui oleh 2 orang konsulen mata
4. Anestesi umum dipergunakan
untuk repair korneeosklera, sebab anestesi retrobulbar atau
peribulbar akan meningkatkan tekanan bola mata, tetapi
repair dapat dilakukan dengan anestesi lokal pada kasus
repair kornea yang sederhana
5. Pada akhir oprasi diberikan injeksi
antibiotic-kortikosteroid subkonjungtiva. Antibiotic
intravitreal pada luka yang terkontaminasi yang melibatkan
vitreus, bila tidak melibatkan vitreus bisa diberikan
antibiotik intracamera. Diberikan antibiotic salep mata
kemudian mata ditutup
9. Edukasi - Jenis Penyakit dan perkembangannya
- Komplikasi Penyakit dan Tindakan / treatment
- Follow up dan kepatuhan pasien

Perawatan pasca operasi :


- Pengangkatan benda asing intraokular, repair iris,
ekstraksi katarak, vitrektomi, insersi lensa intraokular
merupakan indikasi setelah repair primer laserasi korneo
sclera
- Pemberian antibiotic intravena disesuaikan dengan derajt
trauma mata maupun keterlibatan organ tubuh lainnya,
bisa dilanjutkan dengan antibiotic oral golongan
fluoroquinolone selama 7-10 hari pasca oprasi. Antibiotic
topical dipakai sampai 21 hari sedangkan kortikosteroid
dan sikloplegia dikurangi tergantung keadaan
inflamasinya.

- Bila jahitan kornea tidak longgar dapat diletakkan sampai


3 bulan dan kemudian mulai dibuka secara bertahap
- Trauma mata akan meningkatkan resiko ablasio retina,
maka pemeriksaan segmen posterior harus sering
dilakukan. Bila fundus tidak terlihat, maka dilakukan
109
110

USG. Koreksi penglihatan segera dilakukan bila


memungkinkan. Pada anak-anak kemungkinan ambliopia
dapat terjadi bila rehabilitasi visus ditunda.
10. Prognosis Ad Vitam : dubia
Ad fungsionam :Dubia
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Penurunan visus, mata merah
15. Lama Perawatan 7 Hari
16. Kepustakaan American Academy of Ophtalmology section 8 2015-2016
Cornea and external eye disease Frank Larkin 2014

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
Trikiasis (H02.059)
1. Pengertia Trikiasis : tumbuhnya bulu mata kearah dalam mata, dapat
n (Definisi) disertai dengan
Rasa mengganjal pada mata, bisa disertai dengan mata merah
2. Anamnes
dan berair-air bila disertai dengan iritasi pada permukaan bola
a
mata
1. Pemeriksaan visus dengan menggunakan snellen chart
dengan koreksi terbaik dan menggunakan pinhole
2. Fluorescein test bila dicurigai adanya iritasi pada permukaan
bola mata
3. Pemeriksa
3. Pemeriksaan tekanan intraokular dengan menggunakan
an Fisik
tonometer non kontak
4. Pemeriksaan segmen anterior dengan menggunakan slit lamp
5. Pemeriksaan segmen posterior dengan menggunakan
funduskopi indirek
4. Kriteria 1. Tumbuhnya buku mata(silia) kea rah dalam sehingga dapat
Diagnosis menyebabkan terjadinya iritasi pada permukaan bola mata
2. Dapat terjadi akibat kelainan pada palpebra misalnya adanya
110
111

enteropion ataupun sikatrik


5. Diagnosis Trikiasis
6. Diagnosis -
Banding
7. Pemeriksa -
an Penunjang
8. Terapi 1. Epilasi bulu mata
2. Pengobatan infeksi sesuai dengan protab
3. Konsul ke subdivisi rekonstruksi bila terdapat enteropion
atau malformitas pada palpebra
9. Edukasi - Jenis Penyakit dan perkembangannya
- Komplikasi Penyakit dan Tindakan / treatment
- Follow up dan kepatuhan pasien
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam :Dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IB
12.Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
14.Indikator Medis Mata terasa tertusuk-tusuk, senasi mengganjal
15.Kepustakaan American Academy of Ophtalmology section 8 2015-2016
Cornea and external eye disease Frank Larkin 2014

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
Ulkus kornea (H16.003)
1. Pengertian Ulkus kornea : Radang ulseratif pada kornea (bisa sentral atau
(Definisi) marginal)
Mata merah, penurunan penglihatan, riwayat trauma yang tidak
2. Anamnesa
diobati sebelumnya, terdapat banyak kotoran mata,
1. Pemriksaan visus dengan snellen chart, hand movement
ataupun persepsi sinar.
2. Pemeriksaan tekanan intraokular dengan menggunakan
tonometer non kontak, bila tidak memungkinkan, pengukuran
dilakukan dengan palpasi
3. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan segmen anterior dengan menggunakan slit lamp
4. Pemeriksaan sensibilitas kornea, fluorescein dan tes fistel bila
dicurigai adanya perforasi
5. Nilai segmen posterior dengan menggunakan USG atau
funduskopi indirek
4. Kriteria Diagnosis 1. Mata merah, nyeri, silau, penglihatan kabur, dengan atau
111
112

tanpa secret mata


2. Pada pemeriksaan dapat ditemukan injeksi siliar, infiltrat dan
dapat menyebabkan komplikasi perforasi kornea, uveitis, atau
endolftalmitis
3. Dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, parasit, neuropati,
trauma debu, ataupun akibat lagoftalmos
5. Diagnosis Ulkus kornea
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang 1. USG untuk melihat kelainan segmen posterior
2. Pemeriksaan gram dan koh 10%, serta kultur
resistensi dari kerokan kornea
8. Terapi 1. Pemberian antibiotic topical spectrum luas/anti jamur sambil
menunggu hasil kerokan kornea
2. Terapi disesuaikan dengan hasil kerokan kornea  gram (+)/
(-), jamur atau parasit
3. Bila hasil kultur resistensi sudah ada, terapi diberikan sesuai
dengan tes sensitivitas
4. Diberikan sulfas atropin 1% dan air mata buatan
5. Bila pada hasil kultur didapatkan jamur golongan filamentosa
dapat diberika natamisin/amfoterisin B / varikonazole. Bila
pada hasil kultur didapat yeast diberikan flukonazole
6. Pemberian antibiotic sistemik atau antijamur peroral dapat
disesuaikan dengan tingkat keparahan
7. Pemberian antiglaukoma diberikan pada ulkus yang sudah
melewati 1/3 stroma
8. Bila sudah terdapat perforasi, desmetokel perlu dilakukan
tindakan bedah amnion graft/periosteal graft/flap
konjungtiva/fascia latta/keratoplasti
9. Edukasi 1. Jenis Penyakit dan perkembangannya
2. Komplikasi Penyakit dan Tindakan / treatment
3. Follow up dan kepatuhan pasien
10. Prognosis Ad Vitam : dubia
Ad fungsionam :Dubia
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
Penurunan visus, bintik putih, nyeri pada bola mata, mata merah,
14. Indikator Medis
sekret
15. Lama Perawatan 21 Hari
16. Kepustakaan American Academy of Ophtalmology section 8 2015-2016
Cornea and external eye disease Frank Larkin 2014

112
113

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
Endoftalmitis (H44.129)
1. Pengertia Endoftalmitis : infeksi berat jaringan intraokuler
n (Definisi)
2. Anamnes Keluhan utama: pandangan mata sangat kabur, Mata merah,
a terasa sakit
1. Visus sangat menurun
2. TIO dapat tinggi atau rendah
3. Pemeriks 3. Slit lamp untuk melihat segmen anterior
aan Fisik 4.Oftalmoskopi indirek (lensa condensing atau binocular indirect
ophtalmoscope) untuk pemeriksaan segmen posterior
5.USG untuk melihat segmen posterior
4. Kriteria Diagnosis 1. Visus sangat menurun, mata merah, terasa sakit
2. Pada pemeriksaan segmen anterior terlihat peradangan berat
dengan kornea edem, terdapat fibrin hingga hipopion
5. Diagnosis endoftalmitis
6. Diagnosis Banding

113
114

7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan darah perifer lengkap,


tes fungsi hati, profil ginjal urinalisis bila pasien
direncanakan untuk vitrektomi dan atau operasi lainnya
8. Terapi 1. Pasien di rawat
2. Persiapan untuk operasi vitrektomi
3. Konsul pasien ke poli vitreoretina
3. Bila tidak memungkinkan untuk operasi
vitrektomi segera, maka dilakukan injeksi antibiotika
intravitreal. Lebih dipilih antibiotika vankomycin dan
ceftazidim sebagai lini pertama, tetapi bila tidak didapatkan
maka dapat diganti dengan cefuroxime dan amikacin.
4. Sebelum dilakukan injeksi intravitreal, lakukan
pengambilan specimen untuk kultur mikrobiologi. Injeksi
intravitreal diberikan setiap 3 hari sesuai dengan keadaan
klinis pasien dan pemeriksaan USG serial setiap hari
5. Diberikan antibiotika sistemik dan topikal dengan
pilihan pertama adalah antibiotika golongan fluoroquinolon
dan dapat diteruskan atau diganti sesuai dengan hasil kultur
dan tes sensitifitas
7. Terapi tambahan lain sesuai pemeriksaan lain yang ditemukan,
seperti antiglaukoma bila TIO tinggi
8. Bila tajam penglihatan sudah nol, maka direncanakan untuk
operasi eviserasi dan rekonstruksi bola mata
9. Edukasi 1. Jenis Penyakit dan perkembangannya
2. Komplikasi Penyakit dan Tindakan / treatment
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad malam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
14.Indikator Medis Penurunan visus, nyeri hebat pada mata, mata merah
15. Lama perawatan 14 Hari
16.Kepustakaan American Academy of Ophtalmology section 9 2015-2016
Robert B Nussenblatt;Uveitis fundamentals and clinical practice
2014

114
115

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
Panoftalmitis (H44.019)
Panoftalmitis : peradangan berat seluruh jaringan bola mata, baik
1. Pengertian (Definisi)
intraokuler maupun jaringan ekstra okuler
Keluhan utama: umunya tidak dapat melihat, Mata merah, terasa
2. Anamnesa sakit, nyeri saat menggerakan bola mata, mata menonjol, dapat
disertai demam
1. Umumnya visus nol
2.TIO dapat tinggi atau rendah
3. Slit lamp untuk melihat segmen anterior
3. Pemeriksaan Fisik
4. Oftalmoskopi indirek (lensa condensing atau binocular indirect
ophtalmoscope) untuk pemeriksaan segmen posterior
5.USG untuk melihat segmen posterior
4. Kriteria Diagnosis 1. Umumnya visus nol
2. Pada pemeriksaan segmen anterior terlihat

115
116

peradangan berat dengan kornea edem, terdapat fibrin hingga


hipopion
3. Gangguan gerak bola mata
4. Biasanya disertai dengan proptosis
5. Dapat disertai demam
5. Diagnosis Panoftalmitis
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah perifer lengkap, tes fungsi hati, profil ginjal
urinalisis bila pasien direncanakan untuk vitrektomi dan atau
operasi lainnya
8. Terapi 1. Pasien di rawat
2. Persiapan untuk operasi vitrektomi
3. Konsul pasien ke poli vitreoretina
4. Bila tidak memungkinkan untuk operasi vitrektomi segera, maka
dilakukan injeksi antibiotika intravitreal. Lebih dipilih antibiotika
vankomycin dan ceftazidim sebagai lini pertama, tetapi bila tidak
didapatkan maka dapat diganti dengan cefuroxime dan amikacin.
5. Sebelum dilakukan injeksi intravitreal, lakukan pengambilan
specimen untuk kultur mikrobiologi. Injeksi intravitreal diberikan
setiap 3 hari sesuai dengan keadaan klinis pasien dan pemeriksaan
USG serial setiap hari
6. Diberikan antibiotika sistemik dan topikal dengan pilihan
pertama adalah antibiotika golongan fluoroquinolon dan dapat
diteruskan atau diganti sesuai dengan hasil kultur dan tes sensitifitas
7. Terapi tambahan lain sesuai pemeriksaan lain yang ditemukan,
seperti antiglaukoma bila TIO tinggi
8. Bila tajam penglihatan sudah nol, maka direncanakan untuk
operasi eviserasi dan rekonstruksi bola mata

9. Edukasi 1. Jenis Penyakit dan perkembangannya


2. Komplikasi Penyakit dan Tindakan / treatment
10.Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad malam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
Penurunan visus, nyeri hebat pada mata, mata merah, sulit saat
14. Indikator Medis
menggerakan bola mata
15. Lama perawatan 17 Hari
16. Kepustakaan American Academy of Ophtalmology section 9 2015-2016
Robert B Nussenblatt;Uveitis fundamentals and clinical practice
2014

116
117

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
Uveitis Anterior (H44.132)
1. Pengertian (Definisi) Uveitis anterior : radang yang mengenai iris dan badan siliaris
2. Anamnesa Keluhan utama: Mata merah, silau, penglihatan kabur
1. Visus turun
2. TIO normal atau > 21 mmHg
3. Slit lamp untuk melihat segmen anterior
4. Oftalmoskopi indirek (lensa condensing atau
3. Pemeriksaan Fisik binocular indirect ophtalmoscope) untuk pemeriksaan segmen
posterior
5. Foto fundus untuk menilai segmen posterior
6. USG bila pemeriksaan segmen posterior sulit
dinilai
4. Kriteria Diagnosis 1. Injeksi silier, keratik presipitat (KPs),
cells dan flares di bilik mata depan. kadang–kadang ada hipopion

117
118

2. Sinekia posterior
3. Uveitis anterior ditegakkan bila tidak ditemukan uveitis
intermediate atau uveitis posterior.
5. Diagnosis Uveitis anterior
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan darah perifer lengkap, hitung jenis, tes fungsi hati,
profil ginjal urinalisis, VDRL/TPHA, rontgen thorax, tes mantoux
2. Pemeriksaan laboratorium tambahan
bila dicurigai adanya kelainan sistemik yang mendasari
3. Dalam keadaan dimana penyebab sulit
ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang maka dapat dipertimbangkan pemeriksaan
polymerase chain reaction (PCR) dengan pengambilan specimen
aquous humor atau vitreus
8. Terapi a. Kortikosteroid topikal dan sikloplegik
b. Pada inflamasi berat dapat diberikan kortikosteroid oral dengan
dosis imunosupresif dan bila terdapat kontraindikasi pemberian
kortikosterioid dapat diberikan obat immunosupresant oral
c. Antiglaukoma bila TIO meningkat
d. Pembedahan ekstraksi katarak dilakukan bila uveitis sudah tenang
selama 3 bulan dengan memberikan kortikosteroid topikal 1
minggu sebelum operasi
e. Apabila terdapat penyakit yang mendasari dapat dilakukan konsul
ke departemen yang terkait
9. Edukasi 1. Jenis Penyakit dan perkembangannya
2. Komplikasi Penyakit dan Tindakan / treatment
3. Follow up dan kepatuhan pasien
4. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
5. Tingkat Evidens IB
6. Tingkat Rekomendasi B
7. Penelaah Kritis
8. Indikator Medis Penurunan visus
9. Lama perawatan Tidak dirawat inap
10. Kepustakaan American Academy of Ophtalmology section 9 2015-2016
Robert B Nussenblatt;Uveitis fundamentals and clinical practice 2014

118
119

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
Uveitis intermediate (H44.139)
1. Pengertian Uveitis intermediate : radang yang mengenai badan silier posterior
(Definisi) atau pars plana
Keluhan utama: keluhan melihat floaters, penurunan tajam
2. Anamnesa penglihatan, mengenai 2 mata, tanpa nyeri, tanpa mata merah, tanpa
fotofobia
3. Pemeriksaan 1. Visus turun
Fisik 4. TIO normal atau > 21 mmHg
5. Slit lamp untuk melihat segmen anterior
6. Oftalmoskopi indirek (lensa condensing atau binocular indirect
ophtalmoscope) untuk pemeriksaan segmen posterior

119
120

7. USG bila pemeriksaan segmen posterior sulit dinilai


4. Kriteria Diagnosis 1. Umumnya mengenai dua mata
2. Kekeruhan vitreus di belakang lensa dan di sekitar
pars plana yang difuse atau snow balls
3. Kadang terlihat cells di BMD (spill over)
4. Kadang terlihat sinekia posterior dan katarak
subkapsularis posterior
5. Pada kasus berat dapat terjadi cyclitic membrane atau ablasio
retina
5. Uveitis intermediate ditegakkan bila tidak ditemukan uveitis
anterior atau uveitis posterior.
6. Diagnosis Uveitis intermediate
7. Diagnosis Banding -
8. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan darah perifer lengkap, hitung jenis, tes fungsi hati,
profil ginjal urinalisis, VDRL/TPHA, rontgen thorax, tes mantoux
2. Pemeriksaan laboratorium tambahan bila dicurigai adanya
kelainan sistemik yang mendasari
3. Dalam keadaan dimana penyebab sulit ditentukan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka dapat
dipertimbangkan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR)
dengan pengambilan specimen aquous humor atau vitreus.
9. Terapi 1. Kortikosteroid topikal & kortikosteroid oral
2. Pada kasus berat diberikan kortikosteroid
melalui injeksi periorbita (subtenon) dan intraviteral
3. Bila peradangan tetap ada setelah terapi
maksimal dapat dikonsulkan ke vitreoretina untuk dilakukan
vitrektomi
4. Apabila ditemukan penyakit yang mendasari,
dapat dikonsulkan ke departemen terkait
10. Edukasi o Jenis Penyakit dan perkembangannya
o Komplikasi Penyakit dan Tindakan / treatment
o Follow up dan kepatuhan pasien
11. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
12. Tingkat Evidens IB
13. Tingkat Rekomendasi A
14. Penelaah Kritis
15. Indikator Medis Penurunan visus
16. Lama perawatan Tidak dirawat inap
17. Kepustakaan American Academy of Ophtalmology section 9 2015-2016
Robert B Nussenblatt;Uveitis fundamentals and clinical practice 2014

120
121

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
Uveitis posterior (H44.139)
Uveitis posterior : inflamasi intraokuler yang melibatkan koroid,
juga dapat mengenai nervus optikus, retina (retinokoroiditis atau
korioretinitis), neuroretinitis. Dapat disebabkan oleh infeksi
1. Pengertian
seperti TBC, sifilis, toksoplasmosis dan infeksi sitomegalovirus.
(Definisi)
Dapat juga disebabkan penyakit autoimun seperti vogt-koyagi-
harada, behcet, oftalmia simpatica atau penyakit autoimun
sistemik lainnya
Penglihatan buram dapat terjadi mendadak yang kemudian
2. Anamnesa berjalan progresif, tanpa disertai mata merah, tidak sakit.
Keluhan melihat floaters (+)
121
122

1. Visus turun
2. TIO normal atau > 21 mmHg
3. Slit lamp untuk melihat segmen anterior
4. Oftalmoskopi indirek (lensa condensing atau
binocular indirect
ophtalmoscope) untuk pemeriksaan segmen posterior
5. Foto fundus sebagai dan untuk evaluasi
pengobatan (follow up)
3. Pemeriksaan Fisik
6. Secara selektif lakukan fundus flouresence
angiography
7. Dilakukan OCT bila ada indikasi
8. USG bila segmen posterior tidak bisa dinilai
secara langsung
9. Pada uveitis yang berhubungan dengan keadaan
sistemik, identifikasi keadaan yang berhubungan seperti lesi
kulit, genital, neuroauditori dan susunan saraf pusat.
4. Kriteria Diagnosis 1. Penglihatan buram dapat terjadi mendadak
yang kemudian berjalan progresif, tanpa disertai mata merah,
tidak sakit. Keluhan melihat floaters (+)
2. Identifikasi keadaan yang berhubungan seperti lesi kulit,
genital,
neuroauditori dan susunan saraf pusat.
3. Pemeriksaan penunjang
4. Uveitis posterior ditegakkan bila tidak ditemukan uveitis
anterior atau uveitis intermediate.
5. Diagnosis Uveitis posterior
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium darah perifer lengkap, hitung jenis,
tes fungsi hati, profil ginjal urinalisis, VDRL/TPHA, rontgen
thorax, tes mantoux dan gula darah (sebagai data dasar dan
pedoman untuk pemberian terapi sistemik)
2. Secara selektif lakukan tes serologi Ig G dan Ig M toxoplasma,
sitomegalovirus, herpes simplex dan HIV penyaring.
3. Dalam keadaan dimana penyebab sulit ditentukan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang maka dapat dipertimbangkan pemeriksaan
polymerase chain reaction (PCR) dengan pengambilan
specimen aquous humor atau vitreus.
8.Terapi 1. Bila diyakini penyebabnya adalah infeksi, maka
berikan pengobatan yang spesifik untuk infeksinya dan bila
dibutuhkan dapat ditambahkan kortikosteroid per oral dosis
imunosupresif 48-72 jam setelahnya (kecuali retinitis CMV
pada penderita HIV)
2. Pemberian pulse IV metyl prednisolon untuk
uveitis yang berhubungan dengan VKH, bechet dan oftalmia
sympatica, dan pada penyakit ini dapat diberikan obat-obatan
imunosupresif lini kedua.
3. Kortikosteroid per oral dengan dosis tinggi di awal diberikan
Selama minimal 2 minggu dan diturunkan berdasarkan respon
individual
4. Bila penyebabnya dalah retinitis CMV, maka diberikan
122
123

valganciclovir per oral, kecuali pasien tidak mampu maka dapat


dipertimbangkan pemberian ganciclovir intravitreal
5. Pemberian imunosupresif lini kedua dapat dipertimbangkan
bila pada pemberian kortikosteroid didapatkan efek samping,
dengan dosis tinggi kortikosteroid tidak memberikan respon,
atau terjadi rekurensi pada dosis di atas dosis rumatan.
6. Kortikosteroid lokal, seperti injeksi orbital floor, subtenon,
atau intravitreal dapat dipertimbangkan bila dianggap perlu.
7. Terapi komplikasi yang timbul berhubungan dengan
penyakitnya atau pengobatan seperti antiglaukoma dan bila
dibutuhkan dapat dilakukan terapi bedah filtrasi.
8. Tindakan pembedahan seperti ekstraksi katarak bila uveitis
sudah tenang selama 3 bulan dengan memberikan kortikosteroid
sistemik minimal 1 minggu sebelum operasi dan dilanjutkan
setelah operasi dengan tappering
9.Edukasi 1. Jenis Penyakit dan perkembangannya
2. Komplikasi Penyakit dan Tindakan / treatment
3. Follow up dan kepatuhan pasien
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Penurunan visus
15. Lama perawatan 5 Hari
16.Kepustakaan American Academy of Ophtalmology section 9 2015-2016
Robert B Nussenblatt;Uveitis fundamentals and clinical practice
2014

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
Selulitis Preseptal (H00.0)
infeksi di palpebra dan jaringanlunak disekitarnya yang hanya
1. Pengertian (Definisi)
mengenai bagian anterior septum orbita
2. Anamnesa kelopak mata merah, bengkak
3. Pemeriksaan Fisik Edema, hiperemis, abses pada palpebra
4. Kriteria Diagnosis 1. pemeriksaan visus
2. pemeriksaan segmen anterior dengan slit lamp
3. Kultur darah bila terdapat demam
5. Diagnosis Selulitis preseptal
123
124

6. Diagnosis Banding Selulitis orbital


7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Gram dan kultur, USG orbita, CT SCAN orbita
8.Terapi Pemberian corticosteroid dan pemberian antibiotik sistemik
9.Edukasi 1. Jenis Penyakit dan perkembangannya
2. Follow up dan kepatuhan pasien
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IB
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Penurunan visus, USG orbita dan CT scan orbita
15. Lama perawatan 7 hari
16. Kepustakaan American Academy of Ophtalmology section 8 2015-2016
Cornea and external eye disease Frank Larkin 2014

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
Selulitis orbita (H05.01)
1. Pengertian (Definisi) Peradangan dari jaringan sekitar bola mata dalam rongga orbita
2. Anamnesa Mata merah, gerakan bola mata terhambat, pandangan kabur
3. Pemeriksaan Fisik Edema palpebra, khemosis, hiperemis
4. Kriteria Diagnosis 1. pemeriksaan visus
2. pemeriksaan segmen anterior dengan slit lamp
3. Kultur darah bila terdapat demam
5. Diagnosis Selulitis orbita
6. Diagnosis Banding Selulitis preseptal
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan radiologi
124
125

CT Scan
8.Terapi Antibiotik diberikan dosis tinggi sistemik
Bila terjadi abses pre-orbita dapat dilakukan insisi dan drainase
9.Edukasi 1. Jenis Penyakit dan perkembangannya
2. Follow up dan kepatuhan pasie
10. Prognosis Ad Vitam : dubia
11. Tingkat Evidens IB
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Penurunan visus, USG orbita, CT Scan
15. Lama perawatan 21 hari
16. Kepustakaan American Academy of Ophtalmology section 8 2015-2016
Cornea and external eye disease Frank Larkin 2014

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
Skleritis/episkleritis (H15.0)
Episkleritis adalah peradangan episklera dengan gambaran mata
tampak merah yang dapat disertai nodul, diifusa dan nyeri yang
3. Pengertian (Definisi) minimal
Skleritis adalah peradangan sklera dengan gambaran yang sama
dengan episkleritis namun dengan disertai rasa sakit.
4. Anamnesa Mata merah dengan irirtasi yang ringan. Gejala yang berulang.
3. Pemeriksaan Fisik Mata hiperemis, nyeri yang hebat
4. Kriteria Diagnosis 1. pemeriksaan visus
125
126

2. pemeriksaan segmen anterior dengan slit lamp


3. Pemeriksaan TIO (Non contact)
5. Diagnosis Epskleritis
6. Diagnosis Banding Skleritis
7. Pemeriksaan Penunjang - Pemeriksaan sistemik
- USG bila curiga skleritis posterior
- Pemeriksaan laboratorium lengkap
- rontgen thorak dan lumbosakral
8.Terapi Pada episkleritis dapat self limited namun pada skleritis dapat dengan
pengobatan dengan kortikosteroid topikal
Pemberian terapi kortikosteroid peroral harus diyakini dulu bahwa
tidak ada hipertensi dan diabetes
9.Edukasi 1. Jenis Penyakit dan perkembangannya
2. Komplikasi Penyakit dan Tindakan / treatment
3. Follow up dan kepatuhan pasien
10. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IA
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Mata merah, nyeri mata saat gerakan bola mata
15. Lama perawatan Tidak dirawat
16. Kepustakaan American Academy of Ophtalmology section 8 2015-2016
Cornea and external eye disease Frank Larkin 2014

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
Perforasi Kornea (H16.079)
Perforasi kornea yaitu terjadinya robekan atau bolong pada
5. Pengertian
lapisan kornea yang dapat disebabkan berbagai hal seperti
(Definisi)
kejadian trauma ataupun ulkus kornea
6. Anamnesa Mata merah, nyeri, keluar cairan dari dalam bola mata
3. Pemeriksaan Fisik Mata hiperemis, penurunan visus
4. Kriteria Diagnosis 1. pemeriksaan visus
2. pemeriksaan segmen anterior dengan slit lamp
3. Pemeriksaan TIO (Non contact)
126
127

4. USG orbita
5. Diagnosis Perforasi kornea
6. Diagnosis Banding Prolaps iris
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan kultur, laboratorium
8.Terapi Untuk mengurangi peradangan bisa diberikan tetes mata
kortikosteroid, namun tindakan operatif (periosteal graft atau
keratoplasti) yang efektif untuk penatalaksanaan perforasi kornea
9.Edukasi 1. Jenis Penyakit dan perkembangannya
2. Komplikasi Penyakit dan Tindakan / treatment

10. Prognosis Ad vitam : Dubia


Ad Sanasionam : Dubia
Ad fungsionam : Dubia ad malam
11. Tingkat Evidens IB
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Edema kornea
15. Lama perawatan 5 hari
16. Kepustakaan American Academy of Ophtalmology section 8 2015-2016
Cornea and external eye disease Frank Larkin 2014

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
skleromalacia (H15.059)
7. Pengertian Skleritis anterior nekrotik dengan atau tanpa disertai tanda
(Definisi) inflamasi dan umumnya berhubungan dengan penyakit autoimun
8. Anamnesa Mata merah, terasa menganjal, silau
3. Pemeriksaan Fisik Penyakit autoimun lain
4. Kriteria Diagnosis 1. pemeriksaan visus
2. pemeriksaan segmen anterior dengan slit lamp
3. Pemeriksaan TIO (Non contact)
5. Diagnosis Skleromalasia
127
128

6. Diagnosis Banding Skleritis


7. Pemeriksaan Penunjang - Pemeriksaan sistemik
- USG
- CT SCAN
- laboratorium work up lengkap
- rontgen thorak dan lumbosakral
8.Terapi Pemberian NSAID digunakan untuk mengurangi rasa sakit
sekaligus sebagai anti-inflamasi, bila pada kondisi tertentu
ditemu kegagalan regimen di atas, maka dianjurkan penggunaan
imunositotoksik.
Tindakan operatif : skleral graft atau periosteal graft
9.Edukasi 1. Jenis Penyakit dan perkembangannya
2. Komplikasi Penyakit dan Tindakan / treatment
3. Follow up dan kepatuhan pasien
10. Prognosis Ad vitam : Dubia
Ad Sanasionam : Dubia
Ad fungsionam : Dubia ad malam
11. Tingkat Evidens IC
12. Tingkat Rekomendasi B
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Penurunan visus, riwayat penyakit autoimun
15. Lama perawatan 21 hari
16.Kepustakaan American Academy of Ophtalmology section 8 2015-2016
Cornea and external eye disease Frank Larkin 2014

BAB III

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


INSTALASI RAWAT JALAN
KLINIK UTAMA MATA
SILAMPARI SRIWIJAYA EYE CENTRE
LUBUKLINGGAU

IIM
Prolap iris (H21.89)
Prolaps iris terjadi saat kornea mengalami perforasi karena
9. Pengertian (Definisi) berbagai hal, mengakibatkan humor aqueous secara cepat keluar
dan terakumulasi didepan iris sehingga mendorong iris keluar.
10. Anamnesa Riwayat ulkus kornea, riwayat tindakan operasi mata sebelumnya
3. Pemeriksaan Fisik Nyeri hebat pada mata, sinekia anterior parsial
4. Kriteria Diagnosis 1. pemeriksaan visus
2. pemeriksaan segmen anterior dengan slit lamp
3. Pemeriksaan TIO (Non contact)
128
129

5. Diagnosis Prolaps iris


6. Diagnosis Banding Laserasi korneo sklera
Melanoma iris
7. Pemeriksaan Penunjang Flourescein angiography
CT Scan
USG orbita
8.Terapi Penanganan harus sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakan
untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Medikamentosa hanya
dapat dilakukan jika prolaps iris kecil dan terlindungi oleh
konjungtiva dan tanpa komplikasi atau penyulit lain. Pemberian
obat tetes antibiotik dan siklopegik dapat diberikan selama fase
akut. Tindakan bedah dilakukan ketika konjungtiva tidak dapat
melindungi atau menutupi prolaps iris dan terdapat penyulit atau
komplikasi.
Tindakan operatif : keratoplasti atau periosteal graft
9.Edukasi 1. Jenis Penyakit dan perkembangannya
2. Komplikasi Penyakit dan Tindakan / treatment
3. Follow up dan kepatuhan pasien
10. Prognosis Prognosis tergantung dari beberapa faktor, semakin kecil prolaps
maka prognosis akan jauh lebih baik.
11. Tingkat Evidens IB
12. Tingkat Rekomendasi B
13. Penelaah Kritis
Penurunan visus, CT Scan pada mata diindikasikan pada kasus
14. Indikator Medis
yang diakibatkan trauma.
15. Lama perawatan 7 hari
16. Kepustakaan American Academy of Ophtalmology section 8 2015-2016
Cornea and external eye disease Frank Larkin 2014

BAB IV

DOKUMENTASI

Semua SPO yang mencakup Diagnosis :

- Tenzel Procedure - Insisi Hordeolum dan Khalazion


- Skin Flap + Graft Mukosa Bibir - Aspirasi Hipopion
- Hudges Procedure - Eviscerasi + DFG
- Cuttler Berad Procedure - Injeksi Antibiotik Intravitreal
- Mustarde Rotation Procedure - Slit Lamp
- VY Plasty - Injeksi Subtenon
- Kantopeksi - Hertel Exophthalmometer
- Kantoplasti - Adneksa Mata
- Z Plasty - Eksentrasi
- Tarsoraphy - Orbitotomi Lateral
- Perimetri Goldman - Ekstraksi Lithiasis
- Schioztz Tonometer - Repair Kornea dan Atau Sklera
- Gonioskopi
- Trabekulektomi
129
130

- Laser Trabekulektomi
- Laser Iridotomi
- ICCE
- ECCE
- Keratometri
- Biometri
- Foto Fundus
- Laser Fotokuagulasi
- Fundus Fluorescen Angiography (FFA)
- Ocular Coherence Tomography (OCT)
- Induksi Gas
- Injeksi Intravitreal
- Evakuasi Silicon
- Ablasio Retina (Vitrektomi)
- Ablasio Retina (buckle Sklera + Vitrektomi)
- Ablasio Retino ( Buckle Sklera)
- Humprey Field Analyzer
- Fitting Lensa Kontak RGP
- Lensometer
- Trial Lens
- Auto Refrakator
- Streak Retinoskopi
- Auto Refraktometer
- Ischihara Test
- Maddox ROD
- Reses dan Resek
- Synopthtophore
- Forced Duction
- Metode Krimsky
- Worth Four Dot Test
- Amnion Flap Konjungtiva/Graft Fascia Lata
- Enukleasi Tau Eviscerasi tanpa Dermato Fat Graft
- Keratoplasty

130

Anda mungkin juga menyukai