Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2023


UNIVERSITAS HASANUDDIN

KONJUNGTIVITIS

OLEH:
Nurul Azizah
C014202026

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Nurul Azizah

SUPERVISOR:
dr. Sultan Hasanuddin, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menerangkan bahwa referat dengan judul
“Konjungtivitis”, yang disusun oleh :

Nama : Nurul Azizah

NIM : C014202026

Asal Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Telah diperiksa dan dikoreksi, untuk selanjutnya dibawakan sebagai tugas pada
bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin pada waktu yang
telah ditentukan.

Makassar, April 2023

Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

Dr. dr. Sulrtan Hasanuddin, Sp.M dr. Khairun Nisa

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN…................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................2

A. Definisi....................................................................................................2
B. Anatomi...................................................................................................2
C. Epidemiologi...........................................................................................7
D. Etiologi & Faktor Risiko.........................................................................8
E. Patogenesis..............................................................................................8
F. Klasifikasi..............................................................................................10
G. Diagnosis...............................................................................................26
H. Diagnosis Banding................................................................................28
I. Komplikasi............................................................................................29
J. Prognosis...............................................................................................30
K. Edukasi..................................................................................................30

BAB III KESIMPULAN...................................................................................31


DAFTAR PUSTAKA........................................................................................32

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Mata merupakan salah satu organ yang memiliki peranan penting bagi tubuh,

terutama sebagai indera penglihatan. Dalam menjalankan fungsinya, mata ditunjang oleh

berbagai struktur, termasuk konjungtiva sebagai struktur terluarnya. Hal ini membuat

konjungtiva rentan terhadap paparan bahan, zat, atau agen- agen asing yang memicu

terjadinya infeksi. Berbagai reaksi inflamasi dapat terjadi sebagai respon utama terhadap

adanya paparan bahan atau agen infeksi yang menyerang mata. Hal ini biasanya

bermanifestasi sebagai gejala berupa mata merah.1

Konjungtivitis ditandai dengan peradangan dan pembengkakan jaringan konjungtiva,

disertai dengan pembengkakan pembuluh darah, sekret, dan nyeri. Banyak orang yang

terdiagnosis dengan konjungtivitis di seluruh dunia, dan itu adalah salah satu alasan paling

sering untuk kunjungan ke klinik dokter umum dan ophthalmologist.1

Penyakit konjungtivitis saat ini berada pada peringkat ke-3 penyakit mata terbesar di

dunia setelah penyakit katarak dan glaukoma.2 Konjungtivitis dapat bervariasi mulai dari

hiperemia ringan dengan mata berair hingga konjungtivitis berat dengan sekret purulen

kental. Konjungtivitis dapat menyerang seluruh kelompok umur, akut maupun kronis, serta

disebabkan oleh berbagai faktor baik eksogen maupun endogen. Faktor eksogen meliputi

bakteri, virus, maupun jamur. Faktor endogen penyebab konjungtivitis berupa reaksi

hipersensitivitas, baik humoral maupun selular, serta reaksi autoimun.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Konjungtivitis adalah peradangan atau infeksi pada konjungtiva. Bisa bersifat
akut atau kronis. Konjungtivitis akut mengacu pada durasi kurang 4 minggu (biasanya
hanya berlangsung 1 sampai 2 minggu) sedangkan kronis didefinisikan sebagai
berlangsung lebih dari 4 minggu.1

B. ANATOMI

Konjungtiva adalah membran mukosa transparan dan tipis yang membungkus


permukaan posterior kelopak mata dan anterior sklera. Secara umum konjungtiva dibagi
menjadi konjungtiva palpebralis, konjungtiva bulbaris dan forniks. Konjungtiva
palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat pada tarsus. Di
tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior
dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris.
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat berkali-
kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar
permukaan konjungtiva sekretorik (duktus-duktus kelenjar lakrimal bermuara ke forniks
temporal superior).3

Konjungtiva terdiri dari tiga bagian:3


1. Konjungtiva palpebralis : menutupi permukaan posterior dari palpebra dan dapat
dibagi menjadi marginal, tarsal, dan orbital konjungtiva.

 Marginal konjungtiva memanjang dari tepi kelopak mata sampai sekitar 2mm
di belakang kelopak mata menuju lengkung dangkal, sulkus subtarsalis.
Merupakan zona transisi antara kulit dan konjungtiva sesungguhnya.

 Tarsal konjungtiva bersifat tipis transparan, dan sangat vaskuler. Menempel


ketat pada seluruh tarsal plate pada kelopak mata atas. Pada kelopak mata
bawah, hanya menempel setengah lebar tarsus. Kelenjar tarsal terlihat lewat
struktur ini sebagai garis kuning.

 Orbital konjungtiva berada diantara tarsal plate dan forniks.

2
2. Konjungtiva bulbaris : menutupi sebagian permukaan anterior bola mata. Terpisah
dari sklera anterior oleh jaringan episklera dan kapsula Tenon. Tepian sepanjang
3mm dari konjungtiva bulbar disekitar kornea disebut dengan konjungtiva limbal.
Pada area limbus, konjungtiva, kapsula Tenon, dan jaringan episklera bergabung
menjadi jaringan padat yang terikat secara kuat pada pertemuan korneosklera di
bawahnya. Pada limbus, epitel konjungtiva menjadi berlanjut seperti yang ada pada
kornea. konjungtiva bulbar sangat tipis. Konjungtiva bulbar juga bersifat dapat
digerakkan, mudah melipat ke belakang dan ke depan. Pembuluh darah dengan
mudah dapat dilihat di bawahnya. Di dalam konjungtiva bulbar terdapat sel goblet
yang mensekresi musin, suatu komponen penting lapisan air mata pre-kornea yang
memproteksi dan memberi nutrisi bagi kornea.

3. Forniks : bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian posterior palpebra
dan bola mata. Forniks konjungtiva bergabung dengan konjungtiva bulbar dan
konjungtiva palpebra. Dapat dibagi menjadi forniks superior, inferior, lateral, dan
medial forniks.

Gambar 1. Anatomi konjungtiva11


Berdasarkan struktur histologinya, konjungtiva terdiri dari lapisan epitel dan
stroma (adenoid dan fibrosa). Lapisan epitel terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel
silindris bertingkat, superfisial, dan basal. Sel-sel epitel superficial mengandung sel
goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus dimana sel-sel ini akan mendorong inti sel
goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata. Sel-sel epitel basal
berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superficial dan mengandung pigmen. Stroma
konjungtiva terdiri atas lapisan adenoid (superficial) dan satu lapisan fibrosa (profundus).
3
Lapisan adenoid tidak berkembang setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan serta mengandung
jaringan limfoid. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata dan tersusun atas

jaringan penyambung yang melekat pada tarsus.3


Gambar 2. Histologi konjungtiva11

Konjungtiva mendapat suplai aliran darah baik mealui arteri maupun vena.
Pembuluh darah arteri yang menyuplai konjungtiva berasal dari cabang arteri
ophtalmikus, yaitu arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Pembuluh darah vena
umumnya mengikuti pola arteri, dimana vena konjungtiva posterior mengaliri vena pada
kelopak mata dan vena konjungtiva anterior mengaliri siliaris anterior menuju vena
oftalmikus. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun di dalam lapisan superfisial dan
profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus
limfatikus. Persarafan konjungtiva dari percabangan (oftalmik) pertama nervus 5 dengan
relatif sedikit
serabut nyeri .3

4
Gambar 3. Vaskularisasi konjungtiva11

C. EPIDEMIOLOGI

Konjungtivitis umumnya disebabkan oleh reaksi alergi, infeksi bakteri dan virus,
serta jamur yang dapat bersifat akut atau menahun. Penelitian yang dilakukan di Belanda
menunjukkan penyakit ini tidak hanya mengenai satu mata saja, tetapi bisa mengenai
kedua mata, dengan rasio 2,96% pada satu mata dan 14,99% pada kedua mata.
Konjungtivitis dapat dijumpai di seluruh dunia, pada berbagai ras, usia, jenis kelamin dan
strata sosial. Walaupun tidak ada data yang akurat mengenai insidensi konjungtivitis,
penyakit ini diestimasi sebagai salah satu penyakit mata yang paling umum. Pada 45%
kunjungan di departemen penyakit mata di Amerika serikat, 30% adalah keluhan
konjungtivitis akibat bakteri dan virus, dan 15% adalah keluhan konjungtivitis alergi.5
Konjungtivitis juga diestimasi sebagai salah satu penyakit mata yang paling
umum di Nigeria bagian timur, dengan insidensi 32,9% dari 949 kunjungan di
departemen mata Aba Metropolis, Nigeria. Di Indonesia dari 135.749 kunjungan ke
departemen mata, total kasus konjungtivitis dan gangguan lain pada konjungtiva
sebanyak 99.195 kasus dengan jumlah 46.380 kasus pada laki-laki dan 52.815 kasus pada
perempuan. Konjungtivitis termasuk dalam 10 besar penyakit rawat jalan terbanyak,
tetapi belum ada data statistik mengenai jenis konjungtivitis yang paling banyak yang
akurat5

D. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Konjungtivitis (pink eye) adalah radang konjungtiva yang dapat disebabkan oleh
mikroorganisme (virus, bakteri), iritasi atau reaksi alergi. Umumnya penderita
konjungtivitis mengalami pembengkakan kelopak mata dikarenakan struktur dibawah
kelopak mata memiliki jaringan yang lemah dan membentuk lekukan serta kaya akan
pembuluh darah.6
Faktor risiko predisposisi diantaranya adanya riwayat kedinginan atau infeksi
saluran napas bagian atas, higienitas kurang, kontak dengan orang yang terinfeksi dalam
lingkungan yang ramai, dan penularan virus dari tangan atau instrumen kontak.6

E. PATOGENESIS

5
Mikroorganisme masuk ke dalam tubuh dengan cara adhesi, evasi, dan invasi.
Adhesi adalah penempelan molekul mikroorganisme ke epitel mata yang dimediasi oleh
protein permukaan mikroorganisme. Evasi adalah upaya mikroorganisme untuk
menembus pertahanan sistem imun. Hampir semua mikroorganisme hanya menginvasi
bila terdapat kerusakan epitel kecuali beberapa bakteri seperti Neissseria gonorhoeae dan
Shigella spp. Pada infeksi bakteri dapat disebabkan oleh Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae,
Streptococus viridans, Moraxella catarrhalis dan bakteri gram negatif dari usus.
Penyebab konjungtivitis bakteri paling sering adalah S. aureus. Pada infeksi virus, adhesi
sekaligus memfasilitasi proses invasi melalui interaksi molekul virus dengan sel hospes
seperti interaksi kapsul adenovirus dengan integrin sel hospes yang menyebabkan proses
endositosis virus oleh sel. Mikroorganisme juga dapat bertahan melewati sistem
pertahanan tubuh dan bereplikasi seperti pada infeksi herpes simpleks virus, virus
varisela serta herpes zoster namun sebagian besar infeksi lainnya dapat dieradikasi oleh
sistem imun tubuh.3
Pada konjungtivitis alergen bukan hanya disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas
tipe I fase cepat, melainkan merupakan kombinasi tipe I dan IV. Faktor lain yang
berperan adalah aktivitas mediator non Ig E oleh sel mast. Reaksi hipersensitivitas tipe I
dimulai dengan terbentuknya antibodi IgE spesifik terhadap antigen bila seseorang
terpapar pada antigen tersebut. Antibodi IgE berperan sebagai homositotropik yang
mudah berikatan dengan sel mast dan sel basofil. Ikatan antigen dengan antibodi IgE ini
pada permukaan sel mast dan basofil akan menyebabkan terjadinya degranulasi dan
dilepaskannya mediator-mediator kimia seperti histamin, slow reacting substance of
anaphylaxis, bradikinin, serotonin, eosinophil chemotactic factor, dan faktor-faktor
agregasi trombosit. Histamin adalah mediator yang berperan penting, yang
mengakibatkan efek vasodilatasi, eksudasi dan hipersekresi pada mata. Keadaan ini
ditandai dengan gejala seperti mata gatal, merah, edema, berair, rasa seperti terbakar dan
terdapat sekret yg bersifat mukoid. Terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat
mempunyai karakteristik, yaitu dengan adanya ikatan antara antigen dengan IgE pada
permukaan sel mast, maka mediator kimia yang terbentuk kemudian akan dilepaskan
seperti histamin, leukotrien C4 dan derivat-derivat eosinofil yang dapat menyebabkan
inflamasi di jaringan konjungtiva. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, terjadi karena sel
limfosit T yang telah tersensitisasi bereaksi secara spesifik dengan suatu antigen tertentu,

6
sehingga menimbulkan reaksi imun dengan manifestasi infiltrasi limfosit dan monosit
(makrofag) serta menimbulkan indurasi jaringan pada daerah tersebut. Setelah paparan
dengan alergen, jaringan konjungtiva akan diinfiltrasi oleh limfosit, sel plasma, eosinofil
dan basofil. Bila penyakit semakin berat, banyak sel limfosit akan terakumulasi dan
terjadi sintesis kolagen baru sehingga timbul nodul-nodul yang besar pada lempeng
tarsal. Aktivasi sel mast tidak hanya disebabkan oleh ikatan alergen IgE, tetapi dapat juga
disebabkan oleh anafilatoksin, IL-3 dan IL-5 yang dikeluarkan oleh sel limfosit.
Selanjutnya mediator tersebut dapat secara langsung mengaktivasi sel mast tanpa melalui
ikatan alergen IgE. Reaksi hiperreaktivitas konjungtiva selain disebabkan oleh
rangsangan spesifik, dapat pula disebabkan oleh rangsangan non spesifik, misal
rangsangan panas sinar matahari, angin.7
Pada Chlamydial conjunctivitis disebabkan oleh infeksi Chlamydia trachomatis,
parasit intra-seluler yang memiliki DNA dan RNA. Parasit ini menggunakan energi sel
inang supaya mampu berkembang biak. Transmisi Chlamydia terjadi jika ada kontak
intim, khususnya secara seksual. Infeksi Chlamydia pada mata disebabkan oleh
terpaparnya sekret genital melalui auto- inokulasi atau kontak seksual.7

F. KLASIFIKASI
1. Konjungtivitis Bakteri
Konjungtivitis bakteri didefinisikan sebagai konjungtivitis yang berlangsung
kurang dari 3 minggu, dan merupakan penyakit mata yang paling sering ditemui.
Konjungtivitis bakteri dapat disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis, Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, Streptococus
viridans, Moraxella catarrhalis dan bakteri gram negatif dari usus. Penyebab
konjungtivitis bakteri paling sering adalah Staphylococcus aureus. Sindroma
imunodefisiensi dan imunosupresi sistemik dapat menjadi predisposisi dari
konjungtivitis bakteri. Konjungtivitis bakteri mudah menular dari satu mata ke mata
sebelahnya dan juga mudah menular ke orang lain melalui kontak langsung dan
benda yang kontak dengan mata.8
Beberapa tanda dan gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri adalah
kemerahan, rasa mengganjal, perih dan timbul secret dapat mengenai kedua mata
meskipun biasanya satu mata terinfeksi 1-2 hari sebelum mata yang lain, pada saat
bangun tidur kelopak mata sering lengket dan susah untuk membuka mata akibat

7
sekret yang menumpuk, adanya hiperemi pada konjungtiva yang difus, dan sekret
pada awalnya berair mirip konjungtivitis viral tetapi kemudan menjadi
mukopurulen.8

1.1 Etiologi
Faktor predisposisi terjadinya konjungtivitis bakteri, terutama dalam
bentuk epidemik, diantaranya lalat, buruknya higienitas, iklim panas dan kering,
sanitasi yang buruk dan kebiasaan untuk tidak hidup bersih. Faktor-faktor inilah
yang membantu timbulnya penyakit ini sebagai suatu penyakit yang sangat
menular. Konjungtivitis oleh bakteri dapat disebabkan oleh berbagai organisme.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri tersering yang mengakibatkan
konjungtivitis dan blefarokonjungtivitis.9,10 Staphylococcus pneumoniae
menghasilkan konjuntivitis akut dan berhubungan dengan kejadian perdarahan
subkonjungtival. Haemophilus influenzae secara klasik menyebabkan
konjungtivitis mukopurulen, yang dikenal dengan red-eye terutama pada negara
semitropikal. Terdapat pula bebrapa bakteri lain, seperti Moraxella lacunate,
Pseudomonas pycynea, Neisseria gonorrhoeae dan Corynebacterium
diphteriae.11,12
1.2 Manifestasi Klinis
1.2.1 Konjungtivitis Mukopurulen
Konjungtivitis mukopurulen akut merupakan tipe konjungtivitis
bakterial akut yang paling umum terjadi. Konjungtivitis ini
dikarakteristikan dengan adanya hiperemia konjungtiva yang bermakna
dan sekret mukopurulen dari mata. Bakteri yang umum terlibat pada tipe
ini, diantaranya Staphylococcus aureus, Koch-Weeks bacillus,
Pneumococcus dan Streptococcus. Konjungtivitis mukopurulen biasanya
disertai dengan eksantemata seperti measles dan demam skarlet.10,11
Gejala yang dirasakan oleh pasien bermula dari rasa tidak nyaman
dan sensasi benda asing oleh karena adanya pelebaran pembuluh darah.
Fotofobia ringan sehingga pasien susah mentoleransi adanya cahaya.
Sekret mukopurulen dari mata. Menempelnya tepi kelopak mata satu sama
lain oleh karena adanya sekret berlebih sewaktu tidur. Pandangan yang
cendrung kabur oleh karena adanya serpihan mukoid pada bagian depan
8
kornea. Terkadang pasien melihat halo berwarna oleh karena efek
prismatik akibat adanya mukus pada kornea. Tanda yang dapat diamati
dari pasien adanya kongesti konjungtiva yang akan sangat terlihat pada
konjungtiva palpebral, forniks dan bagian perifer dari konjungtiva bulbi,
sehingga memberikan gambaran fiery red eye. Terdapat kemosis, yakni
pembengkakan dari konjungitva. Dapat menimbulkan perdarahan berupa
peteki apabila organisme penyebabnya ialah pneumococcus.13
Pengobatan konjungtivitis mukopurulen dapat diberikan antibiotik
topikal untuk mengontrol infeksi. Secara ideal antibiotik harus diberikan
sesuai dengan hasil kultur dan tes sensitivitas antibiotik. Namun,
kebanyakan pasien memberikan respon yang baik dengan pemberian
antibiotik spektrum luas, kloramfenikol 1%, gentamisin 0.3%. Selanjutnya
irigasi pada sakus konjungtiva dengan larutan fisiologis hangat satu atau
dua kali sehari. Menggunakan kaca mata hitam juga dapat membantu
dalam fotofobia. Tidak membebat mata pasien, dan tidak memberikan
steroid. Dapat diberikan anti inflamasi dan analgetik, seperti ibuprofen dan
parasetamol.11,12

Gambar 5. Fiery red eye pada konjungtivitis mukopurulen11

1.2.2 Konjungtivitis Purulen


Umumnya terdapat dua bentuk dari konjungtivitis ini, yakni
konjungtivitis purulen pada dewasa dan oftalmia neonatorum pada
neonatus. Dapat disebabkan oleh N. gonorrhoeae, N. kochii, dan N.
9
meningitidis. Pada dewasa, terdapat beberapa stadium, yakni yang pertama
stadium infiltrasi, terjadi selama 4-5 hari dan memiliki gambaran nyeri
pada bola mata, warna merah velvet cerah pada konjungtiva, tepi kelopak
mata bengkak, sekret cair atau sanguinos, dan disertai dengan pembesaran
kelenjar limfe pre-aurikuler.2
Pada stadium blenorea, terjadi sekitar hari ke lima dan bertahan
beberapa hari. Memiliki gambaran sekret purulent yang banyak dan tebal
yang dapat menetes ke pipi. Gejala lainnya meningkat, namun
pembengkakan pada tepi kelopak menurun. Pada stadium penyembuhan
lambat, nyeri dan bengkak berkurang. Konjungtiva tetap merah dan
bengkak. Sekret berkurang perlahan dan akhirnya tidak ada. Pada oftalmia
neonatorum terdapat nyeri pada bola mata, sekret konjungtival yang
purulen, dan tepi kelopak bengkak. Konjungtiva dapat hiperemi dan
kemosis. Kornea juga dapat terlibat walaupun jarang terjadi, yakni
keratitis superisialis pungtata.2
Penatalaksanaan pada konjungtivitis purulen pemilihan terapi
sistemik lebih dipilih dari pada topikal oleh karena agen penyebab N.
gonorrhoeae. Regimen yang dapat diberikan diantaranya norfloksasin 1.2
mg secara oral 4 kali sehari selama 5 hari, cefoxitim 1 gm atau cefotaxim
500 mg secara intravena 4 kali sehari selama 5 hari. Semua regimen ini
diikuti dengan pemberian doksisiklin 100 mg 2 kali sehari atau eritromisin
250-500 mg oral 4 kali sehari selama satu minggu. Terapi topikal juga
dapat diberikan. Irigasi dengan menggunakan larutan fisiologis. Pasien
dan pasangan seksualnya perlu diperiksakan untuk dievaluasi.2
Pada oftalmia neonatorum, terapi profilaksis dapat dilakukan saat
antenatal, natal maupun postnatal. Terapi kuratif dapat dilakukan secara
topikal maupun sistemik. Terapi topikal diantaranya irigasi larutan
fisiologis hingga sekret tereliminasi, salep mata basitrasin 4 kali sehari,
apabila kornea terlibat maka dapat diberikan salep atropin sulfat. Sistemik
terapi dilakukan dalam 7 hari dengan salah satu regimen, yakni ceftriaxon
75-100 mg/kg/hari intravena/intramuskular 4 kali sehari, cefotaxim 100-
150 mg/kg/hari intravena/intramuskular tiap 12 jam, siprofloksasin atau

10
norfloksasin. Apabila isolat gonococcal sensitif dengan penisilin maka
dapat diberikan kristalin benzil penisilin G.11

Gambar 6. a) konjungtivitis akut purulen dewasa, b) oftalmia neonatorum11

1.2.3 Konjungtivitis Membranous


Merupakan konjungtivitis akut dengan karakteristik adanya
pembentukan membran sejati pada konjungtiva. Saat ini sudah jarang
terjadi oleh karena penurunan insidensi difteri. Secara tipikal disebabkan
oleh Corynebacterium diphteriae dan sesekali dapat disebabkan oleh
Streptococcus haemolyticus. Corynebacterium diphteriae menghasilkan
inflamasi yang hebat pada konjungtiva disertai dengan adanya deposisi
dari eksudat fibrin pada permukaan konjungtiva menghasilkan membran.
Biasanya membran terdapat pada konjungtiva palpebra.12
Biasanya penyakit ini terdapat pada anak usia 2-8 tahun yang tidak
memiliki imunitas terhadap difteri. Terdapat tiga stadium, yakni stadium
infiltrasi, terdapat sedikit sekret konjungtiva dan nyeri hebat pada mata.
Tepi kelopak mata bengkak dan keras, konjungtiva merah, bengkak dan
ditutupi oleh membran kuning abu-abu, yang ketika diangkat akan
memicu perdarahan dan meninggalkan ulkus. Stadium supurasi, nyeri
telah berkurang dan kelopak mata menjadi lembek, membran terkelupas
dan masih terdapat sekret purulen. Stadium sikatriksasi, ulkus yang
tertinggal diisi oleh jaringan granulasi. Penyembuhan terjadi dengan

11
pembentukan sikatriks, yang dapat memicu trikiasis dan serosis
konjungtiva.11

Terapi pada konjungtivitis membranous berupa terapi topikal,


sistemik, dan prevensi terhadap simblefaron. Terapi topikal dapat
diberikan dengan tetes mata penisilin (1:10000 unit/ml) setiap setengah
jam, serum anti difteri (ADS) setiap satu jam, atau atropin sulfat 1%
ditambahkan apabila kornea mengalami ulserasi. Antibiotik spektrum luas

dapat diberikan sebelum tidur. Terapi sistemik berupa penisilin kristalin 5


lac unit intramuskular 2 kali sehari selama 10 hari, ADS (50.000 unit)
diberikan secara intramuskular. Simblefaron terjadi ketika membran
terkelupas, maka penyembuhan dasar luka akan menghasilkan
simblefaron. Hal ini dapat dicegah dengan menyapu forniks batang kaca
yang telah diolesi salep mata.11
Gambar 7. Konjungtivitis Membranous11

1.2.4 Konjungtivitis Pseudomembran

Konjungtivitis pseudomembran dikarakteristikan dengan adanya


formasi psudomembran yang mudah untuk dikeluarkan pada epitel
konjungtiva yang intak. Dapat disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae dengan vurulensi yang rendah, staphylococcus, Neisseria
gonorrhoeae dan bakteri lainnya. Dapat pula diakibatkan oleh adanya
infeksi virus dan iritasi bahan kimia. Semua agen ini akan menyebabkan
inflamasi pada konjungtiva disertai adanya eksudat fibrin pada
permukaannya yang mengalami koagulasi sehingga tampak
pseudomembran. Konjungtivitis ini akan memberikan gambaran
konjungtivitis mukopurulen akut dengan adanya pseudomembran tipis

12
berwarna kuning keputihan pada forniks dan konjungtiva palpebra.
Psudomembran dapat dengan mudah dikupas tanpa menimbulkan
perdarahan. Terapi pada konjungtivitis pseudomembran sama halnya
dengan konjungtivitis mukopurulen.11

Gambar 8.
Konjungtivitis Pseudomembran11

1.2.5 Konjungtivitis Kataralis Kronik


Paling sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus, tetapi juga
dapat disebabkan oleh bakteri gram negatif seperti Proteus mirabilis,
Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli dan Moraxella lacunata. Sering
terkait dengan konjungtiva dan sekret mukopurulen berbusa yang terbatas
pada kedua sisi sudut mata serta adanya ekskoriasi kulit sekitar sudut
mata. Terapi pada konjungtivitis tipe ini terdiri atas terapi profilaksis dan
kuratif. Terapi profilaksis termasuk dalam mengobati infeksi nasa dan
menjaga higienitas diri yang baik. Terapi kuratif terdiri dari, pemberian
salep mata oksitetrasiklin 1% 2-3 kali sehari selama 9-14 hari untuk
mengeradikasi infeksi. Zinc lotion diberikan pada siang hari dan salep zinc
oxide diberikan saat tidur malam hari untuk mencegah fermentasi
proteolitik, sehingga mengurangi proses maserasi.11
1.2.6 Diagnosis
Diagnosis konjungtivitis bakteri dapat ditegakkan melalui riwayat
pasien dan pemeriksaan mata secara menyeluruh, seperti pemeriksaan
mata eksternal, biomikroskopi menggunakan slit-lamp dan pemeriksaan
ketajaman mata. Kerokan konjungtiva untuk pemeriksaan mikroskopik
dan biakan disarankan untuk semua kasus dan diharuskan jika penyakitnya
purulen, bermembran atau berpseudomembran. Pemeriksaan gram untuk
identifikasi organisme melalui kerokan konjungtiva dan pengecatan
dengan Giemsa menampilkan banyak neutrofil polimorfonuklear.11

2. Konjungtivitis Virus

13
Gejala konjungtivitis viral biasanya ringan, dapat sembuh sendiri dan tidak
disertai penurunan tajam penglihatan. Penyebab tersering konjungtivitis yang lain
yaitu virus. Infeksi virus tertentu cenderung mengenai konjungtiva misalnya
pharyngoconjunctival fever sedangkan virus lainnya lebih sering menginfeksi kornea
misalnya virus herpes simpleks.3
2.1 Manifestasi Klinis
Berdasarkan manifestasi klinisnya, konjungtivitis virus terdiri dari tiga
tipe yaitu konjungtivitis serosa akut (infeksi virus dengan gejala inflamasi
ringan), konjungtivitis hemoragika akut (pernah menjadi epidemik di Afrika dan
Inggris dengan tanda khas adanya hemoragik di konjungtiva bulbar) dan
konjungtivitis folikular (khas ditemukannya tonjolan pada konjungtiva oleh
agregasi dari sel-sel limfosit di lapisan adenoid). Konjungtivitis folikular yang
akut disebabkan oleh adenovirus dan herpes simpleks, sedangkan yang kronik
terkait dengan malnutrisi, hygiene yang buruk dan penyakit sistemik, sering
mengenai usia anak sekolah sehingga disbeut sebagai “school folliculosis” dan
pada kasus defisiensi imun disebabkan oleh molluscum contangiosum.11
2.1.1 Konjungtivitis Adenovirus
Virus yang paling sering menginfeksi konjungtiva adalah
adenovirus, dan termasuk tipe konjungtivitis folikular akut. Adenovirus
dengan serotipe 3, dan 7 menyebabkan jenis demam faringokonjungtiva
sedangkan adenovirus serotipe 8 dan 19 menyebabkan jenis
keratokonjungtivitis epidemika.2 Pada demam faringokonjungtival, sering
ditemukan pada anak-anak dan sering dikaitkan dengan infeksi saluran
pernafasan atas. Terdapat demam 38,3°C-40°C, sakit tenggorokan dan
ditemukannya folikel pada konjungtiva. Limfadenopati preaurikular (tidak
nyeri tekan) merupakan tanda yang khas.12
Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bersifat bilateral.
Awalnya hanya mengenai satu mata saja dan biasanya mata pertama yang
terkena cenderung lebih parah. Temuan klinis pada pasien ini adalah nyeri
pada mata, dan mata berair yang dalam 5-14 hari akan diikuti oleh
fotofobia, keratitis epitel dan kekeruhan pada subepitelial kornea
membentuk keratitis superficial pungtata. Nodus preaurikular positif

14
adalah tanda yang khas. Pada anak-anak, mungkin terdapat gejala sistemik
infeksi virus, seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media dan diare.11,12

2.1.2 Konjungtivitis Herpes Simpleks


Infeksi virus ini termasuk tipe konjungtivitis folikular akut dan
bersifat keratokonjungtivitis, biasanya mengenai anak kecil dan ditandai
dengan injeksi konjungtiva, sekret mukoid, nyeri dan fotofobia. Penyakit
ini terjadi pada infeksi primer HSV atau saat episode kambuh herpes mata,
sering disertai keratitis herpes simpleks dan menyebabkan lesi-lesi kornea
yang membentuk difus pungtata, ulkus dendritik atau ulkus geografik.12,14

2.1.3 Konjungtivitis Herpes Zooster


Pada causa herpes zooster adanya penyerta lesi pada kulit sepanjang
dermatom nervus opthalmika (cabang pertama nervus trigeminus) dan
mencapai ujung hidung (nervus nasosiliaris) disebut sebagai Hutchinson
sign. Lesi tersebut berbentuk erupsi vesikel bersifat nyeri.11

Gambar 9. Hutchinson Sign12

2.1.4 Diagnosis
Dalam penegakan diagnosis, anamnesis dan pemeriksaan (baik
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan mata) harus dilakukan secara
komprehensif. Perlu ditanyakan mengenai onset, lokasi (unilateral atau
bilateral), durasi, penyakit penyerta seperti gangguan saluran nafas bagian
atas, gejala penyerta seperti fotofobia, riwayat penyakit sebelumnya, serta
riwayat keluarga. Pemeriksaan sel-sel radang terlihat dalam eksudat atau
kerokan yang diambil dari permukaan konjungtiva di pulas dengan

15
pulasan Gram (untuk mengidentifikasi organisme) dan dengan pulasan
Giemsa (untuk menetapkan jenis dan morfologi sel). Pada konjungtivitis
virus biasanya banyak ditemukan sel mononuklear khususnya limfosit
dalam jumlah yang banyak dan sel raksasa multinuklear pada causa
herpes.12

2.1.5 Terapi
Pada konjungtivitis virus yang menyerang anak-anak di atas 1
tahun dan dewasa dapat sembuh sendiri dan mungkin tidak memerlukan
terapi. Demam faringokonjungtival biasanya sembuh sendiri dalam 2
minggu tanpa pengobatan.9 Penatalaksanaan konjungtivitis virus biasanya
menggunakan kompres air dingin, artificial tears, dan pada beberapa kasus
berat digunakan topical steroid. Antibiotik topikal dapat diberikan untuk
preventif infeksi sekunder. Paling penting mengedukasi pasien untuk
menjaga kontak dengan orang lain dan tidak menggunakan barang
bersama.16

3. Konjungtivitis Alergi
3.1 Manifestasi Klinis
Konjungtivitis alergi dibagi menjadi Konjungtivits Alergi Simpel,
Keratokonjungtivitis Vernal, Keratokonjungtivitis Atopik, dan
Keratokonjungtivitis Flinkten.11
3.1.1 Konjungtivitis Alergi Simpel
Konjungtivitis alergi simple terdiri dari dua subtipe yaitu
konjuntivitis alergi seasonal dan perennial. Pada konjungtivitis alergi
seasonal biasanya di sebabkan oleh adanya serbuk sari (pollen) dimana
alergen ini hanya muncul pada musim tertentu saja. Konjungtivitis alergi
perennial biasanya disebabkan oleh alergen yang biasa kita temui (tidak
memerlukan musim tertentu), seperti tungau. Pasien dengan konjungtivitis
seasonal disebut juga “Hay Fever Eyes” biasanya mengeluhkan gatal,
kemerahan, mata berair, dan merasa “mata seolah-olah tenggelam dalam
jaringan sekitarnya”, injeksi ringan konjungtiva. Selama serangan akut
sering ditemukan kemosis berat. Tanda khas pada konjungtivitis alergi

16
perennial adalah gatal, kemerahan, dan mata bengkak (Puffy Eyes), mata
berair, ada sekret mukus, dan rasa terbakar pada mata.11,12

3.1.2 Keratokonjungtivitis Vernal


Perburukan gejala gatal pada mata, mata berair dan terdapat sensasi
terbakar, hampir selalu terjadi selama musim panas. Pada konjungtivitis
vernal ditemukan dua bentuk tanda khas yaitu bentuk palpebra/tarsal dan
limbal. Pada bentuk palpebra terdapat papila raksasa mirip batu kali pada
konjungtiva tarsalis superior (Cobblestone appearance). Sedangkan pada
bentuk limbal terlihat bintik-bintik keputihan di limbus (trantas dot). Pada
beberapa kasus ditemukan kedua bentuk tersebut (mixed).11,12

Gambar 10. a. Cobblestone appearance b. Trantas


dot11

3.1.3 Keratokonjungtivitis Atopik


Memiliki kaitan erat dengan adanya riwayat keluarga seperti alergi,
asma, dan urtikaria. Biasanya pasien memiliki atopik dermatitis atau
eczema ketika kecil yang kemudian berkembang menjadi gejala okuler
ketika dewasa.2,9 Gejala pada keratokonjungtivitis atopik adalah gatal pada
kedua mata dan kulit kelopak mata, mata berair dan terdapat sensasi
terbakar, fotofobia, hingga sekret mukus yang berbentuk menyerupai tali.
Pada atopik blefaritis sering ditemukan pembengkakan dan lipatan pada
kelopak mata dengan tanda Dennie-Morgan fold oleh karena riwayat
menggaruk mata terlalu sering.11,12

3.1.4 Konjungtivitis Fliktenularis


Keratokonjungtivitis fliktenularis merupakan radang pada
konjungtiva dengan pembentukan satu atau lebih tonjolan kecil (flikten)

17
yang diakibatkan oleh reaksi alergi (hipersensitivitas tipe IV) terhadap
endogen protein mikroba (paling sering M.tuberculosis). Flikten adalah
kumpulan sel leukosit neutrofil dikelilingi sel limfosit, makrofag dan
kadang-kadang sel datia berinti banyak. Berukuran diameter 1-3 mm,
keras, merah, menonjol terutama terletak di daerah limbus, dan dikelilingi
zona hyperemia. Di limbus sering berbentuk segitiga dengan apeks
mengarah ke kornea, pusatnya putih kelabu dan dapat terjadi ulkus.15

Gambar 11.
Konjungtivitis Flinktenularis11

3.1.5 Diagnosis
Penetapan diagnosis
konjungtivitis alergi didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang komprehensif. Pada anamnesis, ditanyakan mengenai onset, durasi,
unilateral atau bilateral, gejala penyerta, riwayat penyakit sebelumnya,
serta riwayat keluarga. Hal ini memiliki peran penting, dimana pasien
dengan riwayat alergi pada keluarga (hay fever, eksim,dll) memiliki
kecenderungan mengalami konjungtivitis alergi.9 Pada kerokan
konjungtiva dijumpai banyak sel eosinofil.11

3.1.6 Terapi
Penatalaksanaan konjungtivitis alergi dengan kompres dingin
membantu mengatasi gejala gatal-gatal pada pasien dengan konjungtivitis
alergi. Pada konjungtivitis vernal, pemulihan terbaik dicapai dengan
pindah ke tempat beriklim sejuk sehingga pasien merasa nyaman. Gejala
akut sering di atasi dengan penggunaan steroid sistemik atau topikal
jangka pendek, anti dekogestan topical, dan anti histamin topical serta
antiinflamasi non steroid topical (hati-hati ketorolac dan lodoxamide bisa
memperlambat reepitelisasi ulkus).16

4. Konjungtivitis Chlamydia
18
Disebabkan oleh infeksi Chlamydia trachomatis, parasit intra-seluler yang
memiliki DNA dan RNA. Parasit ini menggunakan energi sel inang supaya mampu
berkembang biak. Transmisi Chlamydia dapat terjadi melalui eye to eye (disebut
sebagai tipe hiperendemik trachoma) ataupun genitals to eye (disebut sebagai
paratrachoma, terdiri dari Optalmia neonatorum dan konjungtivitis dewasa
inklusi).9,14 Center for Disease Control and Prevention (CDC) menyebutkan bahwa
ophthalmia neonatorum dapat terjadi 5-12 hari setelah lahir dan jarang terjadi segera
setelah lahir. 11

Gambar 12. Transmisi Kongjungtivitis Chlamydia11

1. Trachoma
Masa inkubasi trachoma bervariasi, biasanya 5 – 21 hari. Onsetnya sering
asimptomatik, jarang akut. Jika infeksi sekunder menyertai trachoma, dijumpai
berbagai komplikasi yang mungkin pada awalnya sulit dibedakan dari
konjungtivitis bakteri akut/mukopurulen. Pada trachoma tanpa infeksi sekunder,
gejalanya minimal berupa sensasi benda asing yang ringan, sesekali ada
lakrimasi, dan sekret mukoid sedikit. 11
Tanda trachoma dibagi menjadi tanda konjungtiva dan tanda kornea.
Tanda konjungtiva meliputi kongesti tarsus superior dan forniks konjungtiva,
folikel konjungtiva, hiperplasia papil, skar pada konjungtiva (bentuk ireguler atau
seperti bintang. Jika terletak pada sulkus subtarsalis, disebut Arlt's line), dan
19
eksudat akumulasi sel epitel mati dan mukus pada konjungtiva. Pada tanda kornea
terdiri atas: keratitis superfisial, Herbert's follicle (folikel di limbus), Pannus
(infiltrasi kornea yang berhubungan dengan vaskularisasi dan terlihat di bagian
atas), Herbert pit (lesi sirkular/oval sisa dari Herbert's follicle), ulkus kornea,
serta corneal opacity (lesi sikatriks). Berikut merupakan derajat trachoma
berdasarkan WHO11 :
1) TF : Peradangan-folikel trachomatous. Tahap trakoma aktif dengan
dominan peradangan folikel. Untuk mendiagnosis tahap ini disedikitnya
lima atau lebih folikel (masing-masing diameter 0,5 mm atau lebih)
harus ada pada tarsal atas serta pembuluh darah di konjungtiva tarsal
superior harus masih terlihat melalui folikel dan papila.
2) TI : Peradangan trachomatous intens. penebalan radang konjungtiva
tarsal superior telah mengaburkan lebih dari setengah pembuluh darah.
3) TS : Jaringan parut trachomatous. Tahap ini didiagnosis dengan adanya
jaringan parut di konjungtiva tarsal. Bekas luka ini mudah terlihat,
berwarna putih, bentuk pita atau lembaran (fibrosis).
4) TT : Trikomatous trichiasis. setidaknya satu bulu mata masuk mengenai
permukaan bola mata (trichiasis trakomatosa).
5) CO : Opacity kornea. Tanda ini mengacu pada jaringan parut kornea
yang begitu padat sehingga menyebabkan gangguan penglihatan yang
signifikan (kurang dari 6/18).

Gambar 13. Panus Trakomatous11


Terapi pada trachoma dilakukan dengan pemberian antibiotik baik secara
lokal maupun sistemik, namun pemberian secara topikal lebih direkomendasikan.
Regimen topikal yang dapat diberikan berupa salep mata tetrasiklin 1% atau
20
eritromisin 1% 4 kali sehari selama 6 minggu. Regiemen terapi sistemik berupa
tetrasiklin 250 mg per oral, 4 kali sehari selama 3-4 minggu atau doksisiklin 100
mg per oral dua kali sehari.11

2. Paratrachoma
Terdiri dari konjungtivitis inklusi dewasa dan oftalmia neonatorum. Pada
konjungtivitis inklusi dewasa memiliki manifestasi klinis meyerupai
konjungtivitis folikular akut tetapi dengan sekret yang mukopurulen. Terdapat
folikel pada konjungtiva palpebra inferior, injeksi konjungtiva yang dominan
pada fornix, dapat terjadi keratitis superficial, kadang-kadang disertai adanya
pannus, dan ada limfadenopati preauricular. Sedangkan pada oflamia neonatorum
causa chlamydia jarang terjadi segera setelah lahir, paling sering 5 – 14 hari
postpartum. Pada neonatus, sering dijumpai pseudo-membranes dan sekret hiper
purulen. Reaksi folikuler tidak dijumpai karena jaringan limfoid belum
sempurna.11
Terapi pada paratrachoma berupa topikal dan sistemik. Terapi topikal
berisi salep mata tetrasiklin 1% 4 kali sehari selama 6 minggu. Terapi sistemik
memiliki beberapa regimen, diantaranya tetrasiklin 250 mg 4 kali sehari selama 3-
4 minggu, eritromisin 250 mg 4 kali sehari selama 3-4 minggu dan doksisiklin
100 mg dua kali sehari selama 1-2 minggu.11

G. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis, ditanyakan mengenai onset, durasi, unilateral atau bilateral,
gejala penyerta, riwayat penyakit sebelumnya, serta riwayat keluarga. Hal ini memiliki
peran penting, dimana pasien dengan riwayat alergi pada keluarga (hay fever, eksim, dll)
memiliki kecenderungan mengalami konjungtivitis alergi.12

Pemeriksaan Fisik
1. Visus normal
2. Injeksi konjungtival
3. Dapat disertai edema kelopak, kemosis
4. Eksudasi; eksudat dapat serous, mukopurulen, atau purulen tergantung penyebab

21
5. Pada konjungtiva tarsal dapat ditemukan folikel, papil atau papil raksasa, flikten,
membrane, atau pseudomembran.

Pemeriksaan Penunjang (bila diperlukan)


1. Sediaan langsung swab konjungtiva dengan perwarnaan Gram atau Giemsa
2. Pemeriksaan sekret dengan perwarnaan biru metilen pada kasus konjungtivitis
gonore

Diagnosis Klinis (Asessment)


Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dan klasifikasi
konjungtivitis, yaitu:9

1. Konjungtivitis bakterial: Konjungtiva hiperemis, sekret purulen atau mukopurulen


dapat disertai membran atau pseudomembran di konjungtiva tarsal. Curigai
konjungtivitis gonore, terutama pada bayi baru lahir, jika ditemukan konjungtivitis
pada dua mata dengan sekret purulen yang sangat banyak.
2. Konjungtivitis viral: Konjungtiva hiperemis, sekret umumnya mukoserosa, dan
pembesaran kelenjar preaurikular
3. Konjungtivitis alergi: Konjungtiva hiperemis, riwayat atopi atau alergi, dan keluhan
gatal.
4. Konjungtivitis chlamydial: berupa rasa tak nyaman pada mata atau sensasi benda
asing, fotofobia ringan, dan mucopurulent discharge. Tanda meliputi konjungtiva
hiperemis terutama di forniks, hipertrofi folikel akut yang dominan di konjungtiva
palpebralis inferior, keratitis superfisial, dan limfadenopati pre-aurikula.

22
Gambar 14. Alogaritma Penanganan Konjungtivitis9

H. DIAGNOSIS BANDING
1. Keratitis
Keratitis merupakan peradangan kornea yang dapat disebabkan oleh
berbagai hal seperti kurangnya air mata, keracunan obat, reaksi alergi terhadap terapi
topikal dan konjungtivitis menahun.. Gejala- gejala yang timbul pada keratitis
memberikan gejala mata merah, rasa silau, merasa kelilipan serta mengalami
penurunan ketajaman penglihatan. Pada pemeriksaan fisik dijumpai injeksi siliar dan
infiltrat pada kornea.15
2. Uveitis
Uveitis merupakan peradangan pada uvea yang dapat mengenai jaringan iris
atau badan siliar dan korois. Iritis dan iridosiklitis merupakan suatu manifestasi
klinik reaksi imunologi terlambat, dini atau sel mediated terhadap jaringan uvea
anterior. Bakteremia atau viremia dapat menimbulkan iritis ringan, yang bila
kemudian terdapat antigen yang sama dalam tubuh dapat menimbulkan kekambuhan.
Keluhan pasien dengan uveitis mata sakit, merah, foto fobia, penurunan tajam
penglihatan dengan mata berair serta sukar melihat dekat akibat peradangan otot-otot
akomodasi.15
3. Glaukoma Akut
Mata merah dengan penglihatan turun mendadak biasanya merupakan
glaukoma sudut tertutup akut. Pada glaukoma sudut tertutup akut tekanan intraokuler
meningkat mendadak. cairan mata di belakang iris tidak dapat mengalir melalui pupil
sehingga mendorong iris ke depan. serangan glaukoma akut terjadi tiba-tiba dengan
rasa sakit hebat di mata dan kepala, perasaan mual dengan muntah, mata
menunjukkan peradangan (kongestif) dengan kelopak mata bengkak, mata merah,
dilatasi pupil, kornea suram dan edema, papil saraf optik hiperemis dan penyempitan
lapangan pandang.15

I. KOMPLIKASI
1. Blefaritis Marginal Kronik
Sering menyertai konjungtivitis bateri, Parut di konjungtiva paling sering
terjadi dan dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan menghilangkan duktulus

23
kelenjar lakrimal. Hal ini dapat mengurangi komponen akueosa dalam film air mata.
Luka parut juga dapat mengubah bentuk palpebra superior dan menyebabkan
trikiasis dan entropion sehingga bulu mata dapat menggesek kornea dan
menyebabkan ulserasi, infeksi dan parut pada kornea.15

2. Keratitis
Merupakan inflamasi pada lapisan kornea yang ditandai dengan adanya trias
keratitis berupa fotofobia, lakrimasi dan blefarospasme) dan paling sering
disebabkan oleh tipe keratokonjungtivitis.15

3. Ulkus pada kornea


Merupakan inflamasi pada lapisan kornea yang ditandai dengan adanya trias
keratitis berupa fotofobia, lakrimasi dan blefarospasme) dan paling sering
disebabkan oleh tipe keratokonjungtivitis.15

J. PROGNOSIS
Prognosis konjungtivitis virus umumnya baik karena akan sembuh dengan
sendirinya. Meskipun demikian untuk mencegah penularan perlu diperhatikan kebersihan
diri dan lingkungan begitu juga dengan konjungtivitis bakteri tetapi dapat menimbulkan
komplikasi jika tidak ditangani secara tepat. Pada konjungtivitis allergen dimana kondisi
ini dapat terus berlanjut dari waktu ke waktu, dan dapat semakin memburuk selama
musim-musim tertentu. Prognosis pada konjungtivitis terkait dengan fungsi, kesembuhan,
dan kehidupan bergantung pada kecepatan pasien mendapatkan terapi adekuat.3,4,10

K. EDUKASI
Konjungtivitis virus mudah menular dari satu mata ke mata sebelahnya dan juga
mudah menular ke orang lain melalui kontak langsung dan benda yang kontak dengan
mata. Konjungtivitis virus memiliki risiko transmisi sekitar 10%-50%. Dapat menyebar
melalui jari tangan yang tercemar, peralatan medis, air kolam renang, atau barang-barang
pribadi. Berdasarkan tingginya angka penularan, maka perlu dibiasakan cuci tangan,
desinfeksi peralatan medis, dan isolasi penderita. Pasien tidak boleh saling bertukar
barang pribadi dengan orang lain dan harus menghindari kontak langsung atau tidak
langsung (seperti di kolam renang) selama dua minggu. Pada konjugtivitis allergen

24
berupa penghindaran terhadap semua kemungkinan alergen penyebab Kebersihan
menjadi aspek paling penting untuk menurunkan transmisi Chlamydia.3,4,8
Cara pencegahan penularan yang paling efektif adalah meningkatkan daya tahan
tubuh, menghindari bersentuhan dengan sekret atau air mata pasien, mencuci tangan
setelah menyentuh mata pasien sebelum dan sesudah menggunakan obat tetes mata.
Selain itu, hindari penggunaan tetes mata dari botol yang telah digunakan pasien
konjungtivitis, hindari penggunaan alat mandi dan bantal kepala yang sama, kebersihan
wajah penting, terutama untuk pencegahan. Juga penyediaan akses air bersih,
memperbaiki higienitas personal diikuti sanitas lingkungan.10

BAB III
KESIMPULAN

Konjungtivitis adalah inflamasi jaringan konjungtiva yang dapat


disebabkan oleh invasi mikroorganisme, reaksi hipersensitivitas atau
perubahan degeneratif di konjungtiva. Beberapa jenis konjungtivitis dapat
hilang dengan sendiri, tapi ada juga yang memerlukan pengobatan.
Berdasarkan penyebab terjadinya, konjungtivitis dapat dibagi menjadi
konjungtivitis bakteri, virus, alergi, dan Chlamydia. Penting artinya untuk
mengetahui setiap ciri khas kelainan konjungtivitis karena pengobatan
dengan tiap etiologi yang berbeda memerlukan terapi yang berbeda pula.
Pengobatan yang tidak adekuat dari konjungtivitis tipe tertentu seperti
trakoma akan dapat memberikan prognosa yang buruk (mengakibatkan
kebutaan).

25
DAFTAR PUSTAKA

1. A. Azari A, Arabi A. Conjunctivitis: A Systematic Review. JOVR [Internet].


2020Jul.29 [cited 2022May24];15(3):372–395. Available from:
https://knepublishing.com/index.php/JOVR/article/view/7456

2. Pratasik CTJM, Najoan IHM, Manoppo RDP. Konjungtivitis pada Bayi (Oftalmia
Neonatorum). e-CliniC. 2021;9(1):15–9.

3. Sitompul R. Konjungtivitis Viral: Diagnosis dan Terapi di Pelayanan Kesehatan


Primer. eJournal Kedokteran Indonesia. 2017;5(1).

4. Cinthiadewi MD. Konjungtivitis Vernal. J Kedokt Indones Vol 5, No 1. 2019;5(1):1–


40.

5. Shakira IG, Azhar MB ZS. Karakteristik klinis dan demografis penderita konjungtivitis
yang berobat. Fak Kedokt dan ilmu Kesehat rumah sakit raden mattaher jambi. 2016;

6. Lovensia. Oculi Dextra Conjunctivitis ec. Suspect Viral. J Medula Unila.


2014;3(September):168–73.

7. Widyastuti SB, Siregar SP. Konjungtivitis Vernalis. Sari Pediatri. 2016;5(4):160.

8. Abdurrauf M. Memutus Mata Rantai Penularan Konjungtivitis Bakteri Akut. Idea Nurs
J [Internet]. 2016;16(3):180–4. Available from:
http://jurnal.unsyiah.ac.id/INJ/article/view/6447/5286
9. Ping W, Liang L, ChunBao C, ShengQiong N. A child confirmed COVID-19 with only
symptoms of conjunctivitis and eyelid dermatitis. Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol
2020. doi:10.1007/s00417-020-04708-6
10. Francesca C, Daniele L, Fabrizio C, Eleonora L, Licia B, Patrizia M,et al. SARS-CoV-
2 Isolation From Ocular Sekretions of a Patient With COVID-
19 in Italy With Prolonged Viral RNA Detection. AnnIntern Med
2020.doi:10.7326/M20-1176

11. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. Edisi ke-4. New Delhi: New Age
International.2007.

26
12. Kanski, J. J.Clinical ophthalmology: A systematic approach. Edinburgh: Butterworth-
Heinemann/Elsevier.edisi 9.2019.

13. Hoffmann M, Kleine-Weber H, Schroeder S, Krüger N, Herrler T, Erichsen S, et al.


SARS- CoV-2Cell Entry Depends on ACE2 and TMPRSS 2 and Is Blocked by a
Clinically Proven Protease Inhibitor Cell 2020;181(2):271–
280.e8.doi:10.1016/j.cell.2020.02.052.

14. Voughan, DanielG, Asbury, TaylorRE, Paul. Oftalmologi Umum (General


Ophthalmology). Edisi 17. Jakarta : EGC. 2000. p45-51.

15. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.
16. Kellerman, R & Rakel, D. Conn's Current Therapy 2019. Philadelphia : Elsevier.2019

27

Anda mungkin juga menyukai