Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK PKMRS

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2021


UNIVERSITAS HASANUDDIN

DIARE KRONIK

Oleh:
Nurul Azizah
C014202026

Residen Pembimbing:
dr. Andi Emiral
dr. Liesa Ferawaty Lesomar

Supervisor Pembimbing:
dr. Sri Hardiyanti Putri, M. Kes, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 2
2.1 DEFINISI .................................................. ............................................................. 2
2.2 EPIDEMIOLOGI .................................................................................................... 2
2.3 ETIOLOGI .............................................................................................................. 3
2.4 PATOFISIOLOGI .................................................................................................. 8
2.5 MANIFESTASI KLINIS ....................................................................................... 11
2.6 DIAGNOSIS .......................................................................................................... 12
2.7 PENATALAKSANAAN ....................................................................................... 14
2.8 KOMPLIKASI ........................................................................................................ 22
2.9 PENCEGAHAN ..................................................................................................... 24
BAB III KESIMPULAN ............................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 26

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Diare adalah buang air besar (defekasi dengan tinja berbentuk cair atau setengah
cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau
200 ml/24 jam. Frekuensi buang air besar encer lebih dari 3 kali/hari yang dapat/disertai
lendir dan darah. Bila diare berlangsung kurang dari 2 minggu, disebut sebagai diare akut.
Apabila diare berlangsung 2 minggu atau lebih, digolongkan pada diare kronik. Feses
dapat dengan atau tanpa lendir, darah, atau pus. Gejala penyerta dapat berupa mual,
muntah, nyeri abdominal, mulas, tenesmus, demam, dan tanda-tanda dehidrasi.1
Klasifikasi diare yaitu diare akut, persisten, dan kronis. Diare akut merupakan diare
dengan durasi kurang dari 2 minggu. Diare kronis merupakan keluhan yang sering
ditemukan di bidang ilmu kesehatan anak dan dapat menimbulkan situasi yang kompleks
bagi dokter dan keluarga.2
Diare merupakan salah satu penyakit endemik di Indonesia terutama diare akut.
Angka kejadian diare akut di sebagian besar wilayah Indonesia hingga saat ini masih
tinggi termasuk angka morbiditas dan mortalitasnya. Penyebaran penyakit diare akut ini
juga tersebar ke semua wilayah di Indonesia dengan penderita terbanyak adalah bayi dan
balita. Berdasarkan riset hasil kesehatan dasar (Riset Kesehatan Dasar 2007) yang
dilakukan oleh Kementrian Kesehatan pada tahun 2007, diare akut merupakan penyebab
kematian bayi (31,4%) dan balita (25,2%)3
Berdasarkan data dari RISKESDAS KEMENKES RI tahun 2018, kasus diare
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan selama periode tahun 2018 berjumlah sebanyak
1.017.290 kasus, dengan wilayah tertinggi yaitu Jawa Barat (186.809 kasus). Provinsi
Lampung menyumbangkan 32.148 kasus diare selama tahun 2018. Kasus diare terbanyak
ditemukan pada kelompok umur 5 – 14 tahun diikuti kelompok umur 15 – 24 tahun, dan
perempuan lebih sering terserang diare dibandingkan laki laki.4
Data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2015 menunjukkan bahwa
Kabupaten/kota dengan angka kesakitan diare tertinggi (13.212-28.257) yaitu Kabupaten
Pinrang, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Gowa, dan kejadian
terbesar di Kota Makassar, sedangkan terendah (2,936-5.579) yaitu Kabupaten Barru,
Kabupaten Selayar, Kabupaten Sinjai, Kota Parepare, Kota Palopo dan Kabupaten
Luwu.5

1
Diare kronis dapat menimbulkan lebih banyak dilema dalam proses mendiagnosis,
sebab memerlukan pertimbangan beberapa gangguan alergi, intoleransi, infeksi, dan
inflamasi dalam diagnosis banding2

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Diare adalah keadaan tidak normalnya pengeluaran feses yang ditandai dengan
peningkatan volume dan keenceran feses serta frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali
sehari (pada neonatus lebih dari 4 kali sehari) dengan atau tanpa lendir darah.2
Diare kronik adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dengan
konsistensi tinja lebih lembek atau cair dan berlangsung dalam waktu lebih dari 2 minggu.
Sebagian ahli lain berpendapat bahwa diare kronis merupakan kategori luas kondisi diare
dengan etiologi non infeksius yang berlangsung lebih dari 2 minggu, dan ada lagi yang
disebut dengan diare persisten yaitu diare yang berlangsung lebih dari 2 minggu dengan
penyebab infeksius.6
Diare atau mencret didefinisikan sebagai buang air besar dengan feses tidak
berbentuk (unformed stools) atau cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam 24 jam.
Bila diare berlangsung kurang dari 2 minggu, disebut sebagai diare akut. Apabila diare
berlangsung 2 minggu atau lebih, digolongkan pada diare kronik. Feses dapat dengan atau
tanpa lendir, darah, atau pus. Gejala penyerta dapat berupa mual, muntah, nyeri
abdominal, mulas, tenesmus, demam, dan tanda-tanda dehidrasi.7

2.2 Epidemiologi
Diare menempati urutan nomor dua penyebab kematian pada anak berusia di
bawah lima tahun (WHO, 2017). Sebelas persen kematian anak berusia di bawah lima
tahun disebabkan oleh penyakit diare (WHO, 2013). Diare merupakan penyakit endemis
di Indonesia dan berpotensi menyebabkan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) yang
sering disertai dengan kematian (Kemenkes RI, 2018). Berdasarkan Kemenkes RI (2018),
angka kematian saat KLB diare diharapkan kurang dari 1%, tetapi pada tahun 2017 angka
kematian saat KLB belum mencapai target yang diharapkan, yaitu 1,97%.1
Data Kementrian Kesehatan Indonesia tahun 2018 menyatakan, jumlah penderita
diare balita di Indonesia yaitu 4.003.786 dan jumlah penderita diare balita di Provinsi
Sulawesi Selatan sendiri diperkirakan sebanyak 139.612.8
Data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2015 menunjukkan bahwa
Kabupaten/kota dengan angka kesakitan diare tertinggi (13.212-28.257) yaitu Kabupaten
Pinrang, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Gowa, dan Kota

3
Makassar sedangkan terendah (2,936-5.579) yaitu Kabupaten Barru, Kabupaten Selayar,
Kabupaten Sinjai, Kota Parepare, Kota Palopo dan Kabupaten Luwu. Tahun 2015
perkiraan diare sebanyak 364.669 kasus, adapun diare yang ditangani sebanyak 238.085
kasus (65,29%). Dengan kejadian terbesar di Kota Makassar dengan jumlah yang
ditangani dilaporkan sebanyak 28.257 kasus dari seluruh jumlah penduduk sebanyak
1.449.401 jiwa.5

2.3 Etiologi
Etiologi dari diare kronik sangat beragam dan tidak selalu hanya disebabkan oleh
kelainan usus. Kelainan yang dapat menimbulkan diare kronik antara lain kelainan
endokrin, kelainan hati, kelainan pankreas, infeksi, keganasan, dll. Sedangkan etiologi
terbanyak dari diare kronik di negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah
infeksi. Hal ini berbeda dengan etiologi terbanyak di negara maju yaitu penyakit usus
inflamatorik. Walaupun telah diusahakan secara maksimal diperkirakan sekitar 10-15%
pasien diare kronik tidak dapat ditetapkan etiologinya, mungkin disebabkan kelainan
sekresi atau mekanisme neuroendokrin yang belum diketahui.
Beberapa penyebab diare kronik yaitu:
1. Virus: Rotavirus (40-60%), Adenovirus.
2. Bakteri: Escherichia coli (20-30%), Shigella sp. (1-2%), Vibrio cholere, dan
lain-lain.
3. Parasit: Entamoeba histolytica (<1%), Giardia lambia, Crylosoridium (4-11%)
4. Keracunan makanan
5. Malabsorbsi: Karbohidrat, lemak, dan protein
6. Alergi: makanan, susu sapi
7. Immunodefisiensi: AIDS
8. Lain-lain: obat-obatan (antibiotik atau obat lainnya), kelainan anatomi.8

2.4 Klasifikasi
Klasifikasi diare yaitu diare akut, persisten, dan kronis. Diare akut merupakan
diare dengan durasi kurang dari 2 minggu. Diare persisten dan diare kronis merupakan
diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. Istilah diare persisten di Indonesia digunakan
untuk etiologi infeksi, sedangkan diare kronis untuk etiologi non-infeksi.
Diare kronik itu sendiri dapat diklasifikasikan berdasarkan patofisiologinya:
1. Diare osmotik: terjadi peningkatan osmotik isi lumen usus.

4
2. Diare skretorik: terjadi peningkatan sekresi cairan usus
3. Malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak: terjadi motilitas yang lebih
cepat pembentukan micele empedu
4. Defek sistem pertukaran anion/transport elektrolit aktif di eritrosit: terjadi
penghentian mekanisme transpor ion aktif di enterosit, gangguan absorbsi
natrium dan air.
5. Motilitas dan waktu transit usus abnormal: terjadi motilitas yang lebih cepat,
tak teratur sehingga isi usus tidak sempat diabsorbsi.
6. Gangguan permeabilitas usus: terjadi kelainan morfologi usus dimembran
epitel spesifik sehingga permeabilitas mukosa usus halus dan usus besar
terhadap air dan garam/elektrolit terganggu.
7. Edukasi cairan, elektrolit dan mukus berlebihan: terjadi peradangan dan
kerusakan mukosa usus halus serta daya lekat kuman8

2.6 Patofisiologi
Dua faktor utama mekanisme diare kronis adalah (1) faktor intralumen dan (2)
faktor mukosal. Faktor intralumen berkaitan dengan proses pencernaan dalam lumen,
termasuk gangguan pankreas, hepar dan brush border membrane. Faktor mukosal adalah
faktor yang mempengaruhi pencernaan dan penyerapan, sehingga berhubungan dengan
segala proses yang mengakibatkan perubahan integritas membran mukosa usus, ataupun
gangguan pada fungsi transport protein. Perubahan integritas membran mukosa usus
dapat disebabkan oleh proses akibat infeksi maupun non-infeksi, seperti alergi susu sapi
dan intoleransi laktosa. Gangguan fungsi transport protein misalnya disebabkan gangguan
penukar ion Natrium-Hidrogen dan Klorida-Bikarbonat.9
Secara umum patofisiologi diare kronis/persisten digambarkan secara jelas oleh
Ghishan, dengan membagi menjadi lima mekanisme: (1) sekretoris, (2) osmotik, (3)
mutasi protein transport membran apikal, (4) pengurangan luas permukaan anatomi, dan
(5) perubahan motilitas usus.9
1. Sekretoris
Pada diare sekretoris, terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel
kripta akibat mediator intraseluler seperti cAMP, cGMP, dan Ca2+. Mediator
tersebut juga mencegah terjadinya perangkaian antara Na+ dan Cl- pada sel vili
usus. Hal ini berakibat cairan tidak dapat terserap dan terjadi pengeluaran cairan
secara masif ke lumen usus. Diare dengan mekanisme ini memiliki tanda khas

5
yaitu volume tinja yang banyak (>200ml/24jam), konsistensi tinja yang sangat
cair, konsenstrasi Na+ dan Cl- >70mEq, dan tidak berespon terhadap penghentian
makanan. Contoh penyebab diare sekretoris adalah Vibrio cholerae di mana
bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMP.9
2. Osmotik
Diare dengan mekanisme osmotik bermanifestasi ketika terjadi kegagalan
proses pencernaan dan/atau penyerapan nutrien dalam usus halus sehingga zat
tersebut akan langsung memasuki colon. Hal ini mengakibatkan peningkatan
tekanan osmotik di lumen usus sehingga menarik cairan ke dalam lumen usus.
Absorpsi usus tidak hanya tergantung pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga
pada kecukupan waktu yang diperlukan dalam proses pencernaan dan kontak
dengan epitel. Perubahan waktu transit usus, terutama bila disertai dengan
penurunan waktu transit usus yang menyeluruh, akan menimbulkan gangguan
absorbsi nutrien.
Contoh klasik dari jenis diare ini adalah diare akibat intoleransi laktosa.
Absennya enzim laktase karena berbagai sebab baik infeksi maupun non infeksi,
yang didapat (sekunder) maupun bawaan (primer), menyebabkan laktosa terbawa
ke usus besar dalam keadaan tidak terserap. Karbohidrat yang tidak terserap ini
kemungkinan akan difermentasi oleh mikroflora sehingga terbentuk laktat dan
asam laktat. Kondisi ini menimbulkan tanda dan gejala khas yaitu pH<5, bereaksi
positif terhadap substansi reduksi, dan berhenti dengan penghentian konsumsi
makanan yang memicu diare.9
3. Mutasi protein transport
Mutasi protein CLD (Congenital Chloride Diarrhea) yang mengatur
pertukaran ion Cl/HCO3- pada sel brush border apical usus ileo-colon, berdampak
pada gangguan absorpsi Cl- dan menyebabkan HCO3- tidak dapat tersekresi. Hal
ini berlanjut pada alkalosis metabolik dan pengasaman isi usus yang kemudian
mengganggu proses absorpsi Na+. Kadar Cl- dan Na+ yang tinggi di dalam usus
memicu terjadinya diare dengan mekanisme osmotik. Pada kelainan ini, anak
mengalami diare cair sejak prenatal dengan konsekuensi polihidramnion,
kelahiran prematur dan gangguan tumbuh kembang. Kadar klorida serum rendah,
sedangkan kadar klorida di tinja tinggi. Selain mutasi pada penukar Cl-/HCO3-,
didapat juga mutasi pada penukar Na+/H+ dan Na+ protein pengangkut asam
empedu.9

6
4. Pengurangan luas permukaan anatomi usus
Oleh karena berbagai gangguan pada usus, pada kondisi-kondisi tertentu
seperti necrotizing enterocolitis, volvulus, atresia intestinal, penyakit Crohn dan
lain-lain, diperlukan pembedahan, bahkan pemotongan bagian usus yang
kemudian menyebabkan short bowel syndrome. Diare dengan patogenesis ini
ditandai dengan kehilangan cairan dan elektrolit yang masif, serta malabsorbsi
makro dan mikronutrien.9
5. Perubahan pada gerakan usus
Hipomotilitas usus akibat berbagai kondisi seperti malnutrisi,
skleroderma, obstruksi usus dan diabetes mellitus, mengakibatkan pertumbuhan
bakteri berlebih di usus. Pertumbuhan bakteri yang berlebihan menyebabkan
dekonjugasi garam empedu yang berdampak meningkatnya jumlah cAMP
intraseluler, seperti pada mekanisme diare sekretorik. Perubahan gerakan usus
pada diabetes mellitus terjadi akibat neuropati saraf otonom, misalnya saraf
adrenergik, yang pada kondisi normal berperan sebagai antisekretori dan/atau
proabsorbtif cairan usus, sehingga gangguan pada fungsi saraf ini memicu
terjadinya diare.9

2.8 Manifestasi Klinis


1. Berat badan menurun
2. Sakit perut
3. Distensi abdomen
4. Mual dan muntah
5. Mata dan ubun-ubun cekung
6. Mulut dan kulit menjadi kering
7. Nafsu makan menurun
8. Anak tampak gelisah dan suhu badannya meningkat
9. Konsistensi tinja encer berlendir atau berdarah
10. Warna tinja tampak kehijauan akibat tercampurnya dengan cairan empedu
11. Anak mengalami gangguan gizi akibat kurangnya intake (asupan) makanan.
12. Anak mengalami hipoglikemia (penurunan kadar gula darah).
13. Anak mengalami dehidrasi (kekurangan cairan) yang ditandai dengan:

7
• Tanda utama: keadaan umum gelisah/cengeng atau lemah/letargi/koma, rasa
haus, turgor kulit abdomen menurun.
• Tanda tambahan: ubun-ubun besar, kelopak mata, air mata, mukosa bibir,
mulut dan lidah.
14. Penilaian derajat dehidrasi dilakukan sesuai dengan kriteria berikut:
• Tanpa dehidrasi (kehilangan cairan <5% berat badan)
Tidak ditemukan tanda utama dan tanda tambahan
Keadaan umum baik, sadar
Ubun-ubun besar tidak cekung, air mata ada, mukosa mulut dan bibir basah
Turgor abdomen baik, bising usus normal
Akral hangat.
• Dehidrasi ringan-sedang (kehilangan cairan 5-10% berat badan)
Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah 2 atau lebih tanda tambahan
Keadaan umum gelisah atau cengeng
Ubun ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata kurang,
mukosa mulut dan bibir sedikit kering
Turgor kurang
Akral hangat.
• Dehidrasi berat (kehilangan cairan >10% berat badan)
Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah 2 atau lebih tanda tambahan
Keadaan umum lemah, letargi atau koma
Ubun ubun sangat cekung, mata sangat cekung, air mata tidak ada, mukosa
mulut dan bibir sangat kering
Turgor sangat kurang
Akral dingin.9, 11

2.9 Diagnosis
Terbagi menjadi pemeriksaan awal (dasar), yang meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah sederhana, tinja dan urin dan
pemeriksaan lanjutan yang disesuaikan dengan perkiraan diagnosis yang sudah
didapatkan pada pemeriksaan awal, yaitu meliputi:
1. Anamnesis

8
Anamnesis harus dapat menggali secara jelas perjalanan penyakit diare,
antara lain berapa lama diare sudah berlangsung, frekuensi diare, volume tinja,
konsistensi tinja, warna, bau, ada tidaknya lendir dan darah. Eksplorasi gejala
penyerta seperti ada atau tidaknya mual, muntah, nyeri perut, kembung dan
demam, apakah anak pernah kejang selama diare atau tidak, apakah anak
rewel, gelisah, buang air kecil terakhir, riwayat makan dan minum sebelum
terjadinya diare (minimal 24 jam terakhir). Mencari faktor-faktor risiko
penyebab diare, antara lain tidak diberikannya ASI atau ASI tidak eksklusif
dalam 6 bulan pertama kehidupan; riwayat kecil masa kehamilan; riwayat
diare dalam dua bulan terakhir (yang menunjukkan ada masalah dalam sistem
imunologi anak); tanda-tanda adanya penyakit sistemik; apakah ada penderita
diare di sekitar dan riwayat obat-obatan yang pernah dikonsumsi atau yang
sedang dikonsumsi; riwayat keluarga dengan diare kronis atau tidak dapat
disembuhkan; kapan diare muncul (saat neonatus, bayi, atau anak-anak) untuk
mengetahui apakah termasuk diare kongenital atau didapat. 9,10,11
2. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisik pada diare kronis harus mencakup perhatian khusus
pada penilaian status dehidrasi, status gizi, dan status perkembangan anak.
Periksa keadaan umum, kesadaran, tanda-tanda vital dan status gizi (BB dan
TB). Periksa adanya tanda-tanda dehidrasi seperti rewel/gelisah,
letargi/kesadaran menurun, mata cekung, cubitan kulit perut kembali lambat
(turgor kulit menurun), haus/minum lahap, malas atau tidak dapat minum,
ubun-ubun cekung. Periksa tanda-tanda ketidakseimbangan asam basa dan
elektrolit seperti hipokalemia berupa kembung, kejang akibat gangguan
natrium, napas cepat dan dalam akibat asidosis metabolic. Edema mungkin
menunjukkan adanya protein losing enteropathy yang merupakan akibat
sekunder dari inflammatory bowel disease, lymphangiektasia atau colitis.
Perianal rash merupakan akibat dari diare yang memanjang atau merupakan
tanda dari malabsorpsi karbohidrat karena feses menjadi bersifat asam. Tanda-
tanda malnutrisi seperti cheilosis, rambut merah jarang dan mudah dicabut,
lidah yang halus, badan kurus, baggy pants. 9,11
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah

9
Pemeriksaan darah standar meliputi pemeriksaan darah lengkap,
hitung jenis leukosit, elektrolit, ureum darah, albumin, tes fungsi hati,
vitamin B12, A, D, dan E folat, kalsium, feritin, laju endap darah, dan
protein C-reaktif, waktu protrombin (petanda untuk defisiensi vitamin K)
untuk mengevaluasi gangguan nutrisi akibat diare yang berkepanjangan.
9,10,11

b. Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja spesifik antara lain meliputi, tes enzim pankreas,
seperti tes fecal elastase, untuk kasus yang diduga sebagai insufisiensi
pankreas. pH tinja 50 mOsm menunjukkan diare osmotic. Kultur tinja
diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi oleh patogen. 9,10,11
c. Pencitraan.
Pencitraan memiliki peran utama dalam pendekatan diagnostik.
• Ultrasonografi abdomen dapat membantu mendeteksi kelainan hati
dan pankreas atau peningkatan ketebalan dinding ileum distal yang
menunjukkan inflammatory bowel disease. 13
• Foto polos abdomen awal berguna untuk mendeteksi distensi
abdomen, sugestif obstruksi usus, atau peningkatan retensi feses
kolon. Gas intramural atau portal dapat terlihat pada necrotizing
enterocolitis atau intususepsi. Kelainan struktural seperti
divertikula, malrotasi, stenosis, loop buta, dan congenital short
bowel, serta gangguan motilitas, dapat dilihat melalui barium meal.
10,11

• Endoskopi dan kolonoskopi dengan biopsi digunakan untuk


mengevaluasi pasien yang dicurigai mengalami inflammatory
bowel disease, memungkinkan eksplorasi seluruh saluran usus
untuk mencari perubahan struktural, peradangan, atau perdarahan.
10,11

d. Hydrogen breath test.


Tes ini mengukur jumlah hidrogen dalam pernapasan anak.
Biasanya, hanya sejumlah kecil hidrogen yang dapat dideteksi. Namun,
bakteri memecah gula - seperti laktosa dan fruktosa yang tidak dicerna
oleh usus kecil dan menghasilkan hidrogen berlebih. Dalam pertumbuhan
berlebih bakteri di usus kecil, bakteri memecah gula di usus kecil dan
10
menghasilkan hidrogen. Untuk tes ini, anak bernapas ke dalam wadah
seperti balon yang mengukur hidrogen. Kemudian, anak tersebut
meminum minuman yang mengandung laktosa, dan napas anak dianalisis
secara berkala untuk mengukur jumlah hidrogen. Hydrogen breath test
dilakukan untuk memeriksa tanda-tanda intoleransi laktosa, intoleransi
fruktosa, atau pertumbuhan berlebih bakteri usus kecil. 10,13

2.10 Penatalaksanaan Diare


Diare kronis yang disertai dengan gangguan nutrisi harus selalu dianggap sebagai
penyakit yang serius, dan terapi harus segera dimulai. Terapi dapat dibagi menjadi
tindakan suportif umum, rehabilitasi nutrisi dan obat. 11
1. Tindakan suportif umum
Tindakan suportif yang dapat dilakukan ialah dengan rehidrasi. Kematian
akibat diare paling sering disebabkan oleh dehidrasi, maka intervensi awal yang
paling utama adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang. Rehidrasi
paling baik dilakukan dengan cairan rehidrasi oral. Pengobatan diare berdasarkan
derajat dehidrasinya:
Rehidrasi diberikan sesuai derajat dehidrasi, yaitu :
Tanpa dehidrasi → rencana terapi A
Dengan dehidrasi ringan/sedang → rencana terapi B
Dengan dehidrasi berat → rencana terapi C
A. Rencana Terapi A untuk mengobati diare di rumah (diare tanpa dehidrasi)
1. Berikan anak lebih banyak cairan daripada biasanya
• Teruskan ASI lebih sering dan lebih lama
• Anak yang mendapat ASI eksklusif, beri oralit atau air matang sebagai
tambahan.
• Anak yang tidak mendapat ASI eksklusif, beri susu yang biasa diminum
dan oralit atau cairan rumah tangga sebagai tambahan (kuah sayur, air
tajin, air matang, dsb).
• Beri oralit sampai diare berhenti.
Ketentuan pemberian oralit formula baru:
a. Beri ibu 2 bungkus oralit formula baru

11
b. Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 liter air matang,
untuk persediaan 24 jam.
c. Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan
ketentuan sebagai berikut:
• Untuk anak berumur < 2 tahun : berikan 50-100 ml tiap kali
BAB
• Untuk anak 2 tahun atau lebih : berikan 100-200 ml tiap
BAB
d. Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa,
maka sisa larutan harus dibuang.
Tunjukkan kepada ibu cara memberikan oralit
• Berikan satu sendok teh tiap 1-2 menit untuk anak dibawah umur 2
tahun.
• Berikan beberapa teguk dari gelas untuk anak yang lebih besar.
• Bila anak muntah, tunggulah 10 menit. Kemudian berikan cairan lebih
lama (misalnya satu sendok tiap 2-3 menit). Bila diare berlanjut setelah
oralit habis, beritahu ibu untuk memberikan cairan lain seperti
dijelaskan dalam cara pertama atau kembali kepada petugas kesehatan
untuk mendapatkan tambahan oralit.

2. Beri tablet zinc


Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut, meskipun anak telah sembuh
dari diare. Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang, ASI,
atau oralit. Untuk anak-anak yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau
dilarutkan dalam air matang atau oralit.
Dosis zinc untuk anak-anak:
• Anak di bawah umur 6 bulan : 10 mg (1/2 tablet) per hari
• Anak di atas umur 6 bulan : 20 mg (1 tablet) per hari

3. Beri anak makanan untuk mencegah kurang gizi


• Beri makan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada waktu
anak sehat. Teruskan ASI.
• Tambahkan 1-2 sendok the minyak sayur setiap porsi makan

12
• Beri makanan kaya Kalium seperti sari buah segar, pisang, air kelapa
hijau.
• Beri makan lebih sering dari biasanya dengan porsi lebih kecil (setiap
3-4 jam)
• Setelah diare berhenti, beri makanan yang sama dan makanan
tambahan selama 2 minggu.

4. Bawa anak kepada petugas kesehatan bila anak tidak membaik dalam 3 hari
atau menderita sebagai berikut :
• Buang air besar cair lebih sering
• Muntah terus menerus
• Rasa haus yang nyata
• Makan atau minum sedikit
• Demam
• Tinja berdarah

B. Rencana Terapi B (diare dehidrasi ringan/sedang)


1. Pada 3 jam pertama, beri anak larutan oralit dengan perkiraan jumlah sesuai
dengan berat badan anak (atau umur anak jika berat badan anak tidak
diketahui). Jumlah oralit yang diperlukan = 75 ml/kg berat badan

Namun demikian, jika anak ingin minum lebih banyak, beri minum lebih
banyak.
2. Tunjukkan pada ibu cara memberi larutan oralit pada anak
• Satu sendok teh setiap 1 – 2 menit jika anak berumur di bawah 2 tahun;
dan pada anak yang lebih besar, berikan minuman oralit lebih sering
dengan menggunakan cangkir.
• Jika anak muntah, tunggu 10 menit lalu lanjutkan kembali rehidrasi oral
pelan-pelan (misalnya 1 sendok setiap 2 – 3 menit).

13
• Bila kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian oralit dan berikan
air masak atau ASI. Beri oralit sesuai Rencana Terapi A bila
pembengkakan telah hilang.
• Lanjutkan ASI selama anak mau.
3. Berikan tablet Zinc selama 10 hari.
4. Setelah 3 jam : Ulangi penilaian dan klasifikasikan kembali derajat
dehidrasinya. Kemudian pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan
pengobatan.
5. Jika ibu tidak dapat tinggal di klinik hingga 3 jam :
• Tunjukkan cara menyiapkan larutan oralit di rumah.
• Tunjukkan berapa banyak larutan oralit yang harus diberikan di rumah
untuk menyelesaikan 3 jam pengobatan.
• Beri bungkus oralit yang cukup untuk rehidrasi dengan menambahkan 6
bungkus lagi sesuai yang dianjurkan dalam Rencana Terapi A.
• Jelaskan 4 aturan perawatan di rumah:
1) Beri cairan tambahan lihat rencana terapi A.
2) Beri tablet zinc selama 10 hari
3) Beri anak makanan untuk mencegah kurang gizi
4) Kapan anak harus dibawa harus kembali

C. Rencana terapi C (diare dehidrasi berat)


Anak dengan dehidrasi berat harus diberi rehidrasi intravena secara cepat
yang diikuti dengan terapi rehidasi oral. Untuk informasi lebih lanjut, lihat bagan
Rencana Terapi C berikut : 14
Bagan 1. Rencana Terapi C untuk penanganan dehidrasi berat.13

14
2. Rehabilitasi nutrisi
• Rehabilitasi nutrisi sangatlah penting pada anak malnutrisi yang mengalami
infeksi usus. Sejumlah kalori yang cukup harus selalu disediakan. Pemasukan
kalori dinaikkan secara bertahap sampai 50% atau lebih di atas RDA
(Recomended Daily Allowance) untuk umur dan jenis kelamin. Pemberian
kalori dimulai dari 75 kkal/kgBB/hari dinaikkan bertahap sebesar 25
kkal/kgBB/hari sampai bisa mencapai 200 kkal/kgBB/ hari. Untuk anak yang
tidak dapat menerima volume makanan dalam jumlah yang banyak, kepadatan
kalori dapat ditingkatkan dengan penambahan lemak atau karbohidrat, tetapi
kapasitas absorpsi usus harus selalu dimonitor.
• Suplementasi mikronutrien dan vitamin merupakan bagian dari rehabilitasi
gizi, terutama pada anak kurang gizi. Pemberian mikronutrien Vitamin A,
asam folat, besi, vitamin B12, zinc bekerja pada mukosa intestinal dan respons

15
imun sehingga harus diberikan pada pasien diare kronik. Pasien diare kronik
rentan terhadap kekurangan mikronutrien, diakibatkan asupan nutrisi yang
tidak adekuat dan pembuangan mikronutrien melalui defekasi.
• Suplementasi multivitamin dan mineral harus diberikan minimal dua RDA
(Recommended Daily Allowances) selama dua minggu. Satu RDA untuk anak
umur 1 tahun meliputi asam folat 50 mikrogram, zinc 10 mg, vitamin A 400
mikrogram, zat besi 10 mg, tembaga 1 mg dan magnesium 80 mg. WHO
(2006) merekomendasikan suplementasi zinc untuk anak berusia ≤6 bulan
sebesar 10 mg dan untuk anak berusia >6 bulan sebesar 20 mg, dengan masa
pemberian 10 – 14 hari. Zink merupakan mikronutrien penting dalam
pencegahan dan terapi diare kronis, karena meningkatkan penyerapan ion,
memulihkan proliferasi epitel, dan merangsang respons imun serta berfungsi
untuk mengurangi lama dan tingkat keparahan diare serta menurunkan
kekambuhan kejadian diare pada tiga bulan berikutnya.
• Anak yang masih minum ASI harus lebih sering di beri ASI. Anak yang
minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya. Anak usia 6
bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan padat harus
diberikan makanan yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit dan
lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan
selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat badan.
• ASI memiliki keunggulan dalam mengatasi dan mencegah diare
kronik/persisten, antara lain mengandung nutrisi dalam jumlah yang
mencukupi, serta membantu pertahanan tubuh dalam mencegah infeksi.
Proses pencernaan ASI di lambung berlangsung lebih cepat dibandingkan
susu non-ASI, sehingga lambung cepat kembali ke kondisi pH rendah, dengan
demikian dapat mencegah invasi bakteri ke dalam saluran pencernaan. ASI
juga membantu mempercepat pemulihan jaringan usus pasca infeksi karena
mengandung epidermial growth factors.
• Susu bebas laktosa sebaiknya diberikan pada semua anak dengan diare kronis
yang tidak mendapat ASI.
• Anak dengan steatorrhea dapat diberikan medium-chain tryglicerides (MCT)
karena produk itu lebih mudah diabsorpsi.

16
• Eksklusi makanan biasanya diberikan untuk mengatasi intoleransi makanan.
Rangkaian eliminasi diet harus dilakukan bertahap mulai dari diet yang masih
mengandung sedikit bahan yang dilarang sampai yang sama sekali tidak
mengandung bahan yang dilarang, seperti misalnya cow’s milk protein
hydrolisat sampai amino acid based formula, atau sebaliknya sesuai dengan
kondisi pasien. Bila tidak terdapat susu protein hidrolisat, dapat
dipertimbangkan pemberian susu protein kedelai.
• Jika nutrisi oral tidak memungkinkan atau gagal, nutrisi enteral dan parenteral
harus dipertimbangkan. Nutrisi enteral dapat diberikan melalui selang
nasogastrik atau gastrostomi. Hal ini diindikasikan untuk anak yang tidak
dapat makan melalui oral, baik karena ketidakmampuan untuk mentolerir
kebutuhan nutrisi karena penyakit primer di usus atau karena kelemahan yang
ekstrim.
• Anak yang sangat kurus, nutrisi enteral mungkin tidak cukup. Pada beberapa
kasus nutrisi parenteral adalah prosedur untuk menyelamatkan jiwa. Nutrisi
parenteral harus dilakukan pada fase awal, segera setelah pendekatan nutrisi
yang lebih sedikit invasif sudah dicoba tetapi tidak berhasil. Walaupun
demikian harus diingat bahwa nutrisi parenteral mempunyai banyak risiko,
sehingga merupakan pilihan terakhir, yaitu pada pasien dengan intoleransi
terhadap hampir semua makanan, termasuk monosakarida.

3. Terapi Farmakologis

Terapi antibiotik rutin tidak direkomendasikan karena terbukti tidak


efektif. Antibiotika hanya bermanfaat pada penderita diare dengan darah
(sebagian besar karena shigellosis) serta kolera. Jika dicurigai penyebab adalah
infeksi lainnya, antibiotik disesuaikan dengan hasil biakan tinja dan sensitivitas.
Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba,
giardia).
Obat-obatan Anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang
menderita diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak di
anjurkan kecuali muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun
meningkatkan status gizi anak, bahkan sebagian besar menimbulkan efek samping
yang bebahaya dan bisa berakibat fatal.

17
Table 1. Antibiotik pada diare9

4. Pemantauan
Pemantauan diperlukan untuk memantau tumbuh kembang anak sekaligus
memantau perkembangan hasil terapi. Anak-anak yang tidak menunjukkan
perbaikan dengan terapi membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk
menyingkirkan kemungkinan diare intraktabel. Kegagalan manajemen nutrisi
ditandai dengan adanya peningkatan frekuensi BAB dan diikuti kembalinya
tanda-tanda dehidrasi, atau kegagalan pertambahan berat badan dalam waktu 7
hari. Ketika semua terapi telah dilakukan namun tidak ada perbaikan, maka satu-
satunya pilihan adalah nutrisi parenteral atau pembedahan, termasuk transplantasi
usus.
5. Nasihat pada ibu atau pengasuh
Kembali segera jika demam, tinja berdarah, muntah berulang, makan atau
minum sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau belum membaik dalam 3
hari.

18
2.11 Komplikasi
Beberapa masalah mungkin terjadi selama pengobata rehidrasi. Beberapa
diantaranya membutuhkan pengobatan khusus.
1. Gangguan Elektrolit
a. Hipernatremia
Penderita diare dengan natrium plasma >150 mmol/L memerlukan
pemantauan berkala yang ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium
seara perlahan-lahan. Penurunan kadar natrium plasma yang cepat sangat
berbahaya oleh karena dapat menimbulkan edema otak. Rehidrasi oral atau
nasogastrik menggunakan oralit adalah cara terbaik dan paling aman. Koreksi
dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan menggunakan cairan 0,45% saline
– 5% dextrose selama 8 jam. Hitung kebutuhan cairan menggunakan berat
badan tanpa koreksi. Periksa kadar natrium plasma setelah 8 jam. Bila normal
lanjutkan dengan rumatan, bila sebaliknya lanjutkan 8 jam lagi dan periksa
kembali natrium plasma setelah 8 jam. Untuk rumatan gunakan 0,18% saline
- 5% dektrosa, perhitungkan untuk 24 jam. Tambahkan 10 mmol KCl pada
setiap 500 ml cairan infus setelah pasien dapat kencing. Selanjutnya
pemberian diet normal dapat mulai diberikan. Lanjutkan pemberian oralit 10
ml/kgBB/setiap BAB, sampai diare berhenti.
b. Hiponatremia
Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya
mengandung sedikit garam, dapat terjadi hiponatremi (Na< 130 mol/L).
Hiponatremi sering terjadi pada anak dengan Shigellosis dan pada anak
malnutrisi berat dengan oedema. Oralit aman dan efektif untuk terapi dari
hampir semua anak dengan hiponatremi. Bila tidak berhasil, koreksi Na
dilakukan bersamaan dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu : memakai Ringer
Laktat atau Normal Saline. Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 – kadar Na serum
yang diperiksa dikalikan 0,6 dan dikalikan berat badan. Separuh diberikan
dalam 8 jam, sisanya diberikan dalam 16 jam. Peningkatan serum Na tidak
boleh melebihi 2 mEq/L/jam.
c. Hiperkalemia
Disebut hiperkalemia jika K > 5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan
pemberian kalsium glukonas 10% 0,5 – 1 ml/kgBB i.v. pelan-pelan dalam 5 –
10 menit dengan monitor detak jantung.

19
d. Hipokalemia
Dikatakan hipokalemia bila K < 3.5 mEq/L, koreksi dilakukan menurut
kadar K : jika kalium 2,5 – 3,5 mEq/L diberikan per-oral 75 mcg/kgBB/hr
dibagi 3 dosis. Bila < 2,5 mEq/L maka diberikan secara intravena drip (tidak
boleh bolus) diberikan dalam 4 jam. Dosisnya: (3,5 – kadar K terukur x BB x
0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam) diberikan dalam 4 jam, kemudian 20 jam
berikutnya adalah (3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB).
Hipokalemi dapat menyebabkan kelemahan otot, paralitik ileus, gangguan
fungsi ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemi dapat dicegah dan kekurangan
kalium dapat dikoreksi dengan menggunakan oralit dan memberikan makanan
yang kaya kalium selama diare dan sesudah diare berhenti.9
2. Kegagalan Upaya Rehidrasi Oral
Kegagalan upaya rehidrasi oral dapat terjadi pada keadaan tertentu
misalnya pengeluaran tinja cair yang sering dengan volume yang banyak, muntah
yang menetap, tidak dapat minum, kembung dan ileus paralitik, serta malabsorbsi
glukosa. Pada keadaan-keadaan tersebut mungkin penderita harus diberikan
cairan intravena.
a. Kejang
Pada anak yang mengalami dehidrasi, walaupun tidak selalu, dapat terjadi
kejang sebelum atau selama pengobatan rehidrasi. Kejang tersebut dapat
disebabkan oleh karena : hipoglikemi, kebanyakan terjadi pada bayi atau anak
yang gizinya buruk, hiperpireksia, kejang terjadi bila panas tinggi, misalnya
melebihi 40˚C, hipernatremi atau hiponatremi.

2.12 Pencegahan
Upaya pencegahan diare dapat dilakukan dengan cara:
1. Mencegah penyebaran kuman patogen penyebab diare
Kuman-kuman patogen penyebab diare umumnya disebarkan secara fekal -
oral. Pemutusan penyebaran kuman penyebab diare perlu difokuskan pada cara
penyebaran ini. Upaya pencegahan diare yang terbukti efektif meliputi:
a. Pemberian ASI yang benar
b. Memperbaiki penyiapan dan penyimpanan makanan pendamping ASI.
c. Penggunaan air bersih yang cukup.

20
d. Membudayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sehabis buang air
besar dan sebelum makan.
e. Penggunaan jamban yang bersih dan higienis oleh seluruh anggota keluarga.
f. Membuang tinja bayi yang benar.9
2. Memperbaiki daya tahan tubuh pejamu
Cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh anak dan
dapat mengurangi resiko diare antara lain:
a. Memberi ASI paling tidak sampai usia 2 tahun
b. Meningkatkan nilai gizi makanan pendamping ASI dan memberi makan
dalam jumlah yang cukup untuk memperbaiki status gizi anak
c. Imunisasi9

21
BAB III
KESIMPULAN

Diare adalah buang air besar (defekasi dengan tinja berbentuk cair atau setengah
cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau
200 ml/24 jam. Frekuensi buang air besar encer lebih dari 3 kali/hari yang dapat/disertai
lendir dan darah. Bila diare berlangsung kurang dari 2 minggu, disebut sebagai diare akut.
Apabila diare berlangsung 2 minggu atau lebih, digolongkan pada diare kronik.
Kejadian diare sering dikaitkan dengan sumber air yang tercemar, sanitasi yang
tidak memadai, praktik kebersihan yang buruk, makanan yang terkontaminasi dan
malnutrisi. Kejadian diare dapat disebabkan beberapa faktor antara lain : faktor
pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi dan faktor makanan dan minuman yang
dikonsumsi, faktor balita seperti umur balita, gizi balita, serta faktor lingkungan.
Etiologi diare kronik ialah karena infeksi (bakteri, virus, parasite) dan non infeksi
(imunodefisiensi, Celiac disease, inflammatory bowel disease, intoeransi laktosa,
malabsorpsi karbohidrat, dan yang lainnya). Secara umum patofisiologi diare kronik
dibagi menjadi lima mekanisme yaitu sekretoris, osmotik, mutasi protein transport
membran apikal, pengurangan luas permukaan anatomi, dan perubahan motilitas usus.
Diare kronis yang disertai dengan gangguan nutrisi harus selalu dianggap sebagai
penyakit yang serius, dan terapi harus segera dimulai. Terapi dapat dibagi menjadi
tindakan suportif umum, rehabilitasi nutrisi dan obat. Kematian akibat diare paling sering
disebabkan oleh dehidrasi, maka intervensi awal yang paling utama adalah penggantian
cairan dan elektrolit yang hilang. Rehidrasi paling baik dilakukan dengan cairan rehidrasi
oral.

22
Daftar Pustaka

1. Wiryani, NGP Cilik, Wibawa, I Dewa Nyoman. PENDEKATAN DIAGNOSTIK


DAN TERAPI DIARE KRONIS. Denpasar. Jurnal Penyakit Dalam, Vol. 8 No.1.
2007. P66
2. Utami, Nurul, Luthfiana, Nabila. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian
Diare pada Anak Vol. 5 No. 4. Lampung. 2016. p102
3. Riset Kesehatan Dasar. Laporan Nasional 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia.2007.
4. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan. Laporan nasional RISKESDAS
2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2018.
5. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2015. Makassar: Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan. 2016.
6. Wibowo, Satrio, Primawardani, Putri. DIOCTAHEDRAL SMECTITE
MEMPERPENDEK DURASI DIARE KRONIK PADA ANAK. Malang:
Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya-RSUD Dr. Saiful Anwar Vol 5 No 2. 2018. P102
7. Amin LZ. Managemant Of Acute Diarrhea. Jakarta: CDK. 2015.
8. Sari, Nikma Kumala. Lukito, Alamsyah. Astria, Aspri. Hubungan Pengetahuan
Ibu Tentang Diare Dengan Kejadian Diare Pada Anak 3-4 Thun di Wilayah
Puskesmas Pekan Bahoro Vol.25 No.4. Medan. 2017. P4
9. Soenarto, Yati. Buku Ajar Gastroenterologi Hepatologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jilid I. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009.
10. Kliegman RM, et al. Nelson texbook of pediatric. 21 ed. Philadelphia : Elsevier.
2020. p2033-2040.
11. 12. Pudjiaji. A. H., et al. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jilid II Cetakan pertama. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2011.
12. WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. 2009.
13. Donowitz. M. Chronic Diarrhea in Children. NIH Publication : The National
Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK). 2014.

23
24
25

Anda mungkin juga menyukai