Anda di halaman 1dari 41

BAGIAN ILMU THT- KL REFERAT

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER SEPTEMBER 2022


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
HALAMAN JUDUL

TONSILITIS

DISUSUN OLEH :

MOH.ADREZKI M.YUSUF
111 2020 2075

DOKTER PENDIDIK KLINIK :

dr.Rismayanti Nawir,M.Kes,Sp.THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU THT- KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : MOH.ADREZKI M.YUSUF

Stambuk : 111 2020 2075

Judul : Tonsilitis

Telah menyelesaikan tugas referat berjudul “Tonsilitis” dan telah disetujui

serta dibacakan dihadapan dokter pendidik klinik dalam rangka tugas

kepaniteraan klinik pada Bagian ilmu THT-KL Fakultas Kedokteran

Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, 25 September 2022

Menyetujui, Penulis
Dokter Pendidik Klinik

dr.Rismayanti Nawir,M.Kes,Sp.THT-KL Moh.Adrezki M.Yusuf


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan
Karunia-Nya serta salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad SAW
beserta sahabat dan keluarganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat ini dengan judul “TONSILITIS” sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu THT-KL
Selama persiapan dan penyusunan referat ini rampung, penulis
mengalami kesulitan dalam mencari referensi. Namun berkat bantuan, saran,
dan kritik dari berbagai pihak akhirnya referat ini dapat terselesaikan serta tak
lupa penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
tulisan ini.
Semoga amal dan budi baik dari semua pihak mendapatkan pahala dan
rahmat yang melimpah dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan referat ini terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan referat ini. Saya berharap sekiranya referat ini dapat
bermanfaat untuk kita semua. Aamiin.

Makassar, 25 September 2022


Hormat Saya,

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iv
BAB I....................................................................................................................1
BAB II...................................................................................................................2
2.1. Anatomi........................................................................................................2
2.2. Definisi..........................................................................................................8
2.3.Epidemiologi.................................................................................................8
2.4. Etiologi Tonsilitis......................................................................................10
2.5. Klasifikasi Tonsilitis 11...............................................................................10
2.5.1 Tonsilitis akut........................................................................................10
2.5.2 Tonsilitis kronik....................................................................................12
2.5.3 Tonsilitis membranosa........................................................................14
2.6. Diagnosis....................................................................................................19
2.6.1 Anamnesis...........................................................................................19
2.6.2 Pemeriksaan fisik.................................................................................20
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang......................................................................22
2.7 Tatalaksana.............................................................................................28
2.8 Komplikasi..............................................................................................31
2.9 Prognosis................................................................................................32
BAB III................................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................34
BAB I

PENDAHULUAN

Tonsil adalah massa yang terdiri atas jaringan limfoid dan ditunjang oleh

jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Tonsil merupakan bagian dari Cincin

Waldeyer. Cincin Waldeyer tersusun atas tonsil tuba Eustachius (lateral band

dinding faring atau Gerlach’s tonsil), tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina

(tonsil faucial), dan tonsil lingual (tonsil pangkal lidah). Tonsil (faucial atau

palatina) berjumlah sepasang dan berbentuk oval, terletak di dinding lateral

orofaring, di fossa tonsilaris, di antara plika palatoglossus dan plika

palatofaringeus.

Struktur histologi tonsil berhubungan erat dengan fungsinya sebagai organ

imunologis. Tonsil palatina, seperti adenoid, tidak memiliki limfatik aferen.

Tonsil palatina memiliki 10 sampai 30 invaginasi seperti kripte yang

cabangnya terletak di dalam parenkim tonsil dan dihubungkan oleh epitel

squamous antigen-processing khusus. Epitel ini bekerja sebagai sistem imun

untuk antigen inhalasi dan ingesti. Epitel kripte mempunyai sistem kompleks

sel antigen-processing khusus dan micropores yang mengirim antigen pada

sel limfoid aktif imunologis. Empat zona (atau bagian) yang penting pada

proses antigen yaitu: epitel squamous khusus, area extrafolikuler (area kaya
14
sel T), lapisan folikel limfoid, dan pusat germinal folikel limfoid (sel B).
Jaringan limfoid utama pada traktus aerodigestivus adalah tonsil dan

adenoid. Keduanya berperan dalam imunitas lokal maupun sistemik. Adenoid

juga menjadi target organ pada stimulasi alergi, yang mengakibatkan

terjadinya hipertrofi. Efek tonsiloadenoidektomi terhadap keseluruhan

integritas sistem imun hanya minimal. Meskipun setelah ekstirpasi kedua

organ ini tidak ditemukan adanya efek samping, tonsil dan adenoid memiliki

peran dalam fungsi imunitas yang tidak boleh dikesampingkan, terutama

pada masa awal anak. Dengan demikian, tindakan mengambil tonsilapalatina


14
dan adenoid harus disertai adanya indikasi penyakit klinis yang jelas.

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian

dari cicin waldeyer. Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets),

tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.

Insidensi terjadinya tonsilitis rekuren di Eropa dilaporkan sekitar 11% dengan

komplikasi tersering adalah abses peritonsilar. Tonsilitis baik akut maupun

kronik dapat terjadi pada semua umur, namun lebih sering terjadi pada anak.

Faktor yang menjadi penyebab utama hal tersebut adalah ISPA dan tonsillitis
1
akut yang tidak mendapat terapi yang adekuat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi

2.1.1 Faring

Faring terletak dibelakang cavum nasi, mulut, dan laring. Bentuknya

mirip corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium

dan bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai eosophagus setinggi

vertebra cervicalis enam. Dinding faring terdiri atas tiga lapis yaitu mukosa,

fibrosa, dan muskular.

Gambar 1. Anatomi Faring 2


Berdasarkan letak, faring dibagi atas tiga bagian yaitu : nasofaring,

orofaring, dan laringofaring.

1. Nasofaringx

Nasofaring terletak dibelakang rongga hidung, di atas palatum molle.

Nasopharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior,

dandinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan

pars basilaris ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut

tonsila pharyngeal, yang terdapat didalam submucosa. Bagian dasar

dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang miring. Dinding anterior

dibentuk oleh aperture nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir posterior

septum nasi. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang

berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis.

Dinding 3 lateral pada tiap-tipa sisi mempunyai muara tuba auditiva ke

faring. Kumpulan jaringan limfoid di dalam submukosa di belakang muara

tuba auditiva disebut tonsila tubaria.

2. Orofaring

Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah

palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, kedepan adalah

rongga mulut, sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal. Orofaring

mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding

lateral. Bagian atap dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle dan
isthmus pharygeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di dalam

submukosa permukaan bawah palatum molle. Bagian dasar dibentuk oleh

sepertiga posterior lidah dan celah antara lidah dan permukaan anterior

epiglotis. Membrana mukosa yang meliputi sepertiga posterior lidah

berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya jaringan limfoid

dibawahnya, yang disebut tonsil linguae. Membrana mukosa melipat dari

lidah menuju ke epiglotis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut

plica glosso epiglotica mediana, dan dua plica glosso epiglotica lateralis.

Lekukan kanan dan kiri plica glosso epiglotica mediana disebut vallecula.7

Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus oropharynx

(isthmus faucium). Dibawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus linguae.

Dinding posterior disokong oleh corpos vertebra cervicalis kedua dan bagian

atas corpus vertebra cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral

terdapat arcus palate glossus dengan tonsila palatina diantaranya. 4

Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior pharynx,

tonsil palatina, fossa tonsila serta arcus pharynx anterior dan posterior,

uvula, tonsila lingual dan foramen sekum.1  Fossa Tonsilaris Fossa

tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada dinding lateral

oropharynx diantara arcus palatoglossus di depan dan arcus

palatopharyngeus dibelakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina.

Batas lateralnya adalah m.konstriktor pharynx superior. Pada batas atas


yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang

dinamakan fossa supra tonsila. Fossa ini berisi jaringan ikat jarang dan

biasanya merupakan tempat nanah memecah keluar bila terjadi abses.

Fossa tonsila diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia

bukopharynx, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan

kapsul yang sebenarnya.1 Gambar 3. Struktur pada Orofaring  Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh

jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu

tonsila faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsila lingual yang ketiga-

tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina

yang biasanya disebut tonsil saja terletak didalam fossa tonsil. Pada kutub

atas tonsil sering kali ditemukan celah 5 intratonsil yang merupakan sisa

kantong pharynx yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada

dasar lidah.1 Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa

dinding lateral rongga mulut. Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun

oleh otot palatoglosus, dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun

oleh otot palatofaringeus.8 Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka

ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi

tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Didalam kriptus

biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa

makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia pharynx yang sering
juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot pharynx,

sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.Cincin Waldeyer Tonsil

mendapat darah dari arteri palatina minor, arteri palatine asendens, cabang

tonsil arteri maksila eksterna, arteri pharynx asendens dan arteri lingualis

dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh

ligamentum glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini

terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh

papilla sirkum valata. Tempat ini kadangkadang menunjukkan penjalaran

duktus tiroglossus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada

massa tiroid lingual (lingual thyroid) dan kista duktus tiroglosus. Vena-vena

menembus m.constrictor pharyngeus superior dan bergabung dengan vena

palatine eksterna, vena pharyngealis, atau vena facialis. Aliran limfe

pembuluhpembuluh limfe bergabung dengan nodi lymphoidei profundi.

Nodus yang terpenting 6 dari kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus,

yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae.


Gambar 2. Anatomi Cincin Waldeyer Error: Reference source not found

3. Laryngofaring

Laryngofaring terletak di belakang aditus larynges dan permukaan

posterior larynx, dan terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan

pinggir bawah cartilage cricoidea. Laryngofaring mempunyai dinding anterior,

posterior dan lateral. Dinding anterior dibentuk oleh aditus laryngis dan
membrane mukosa yang meliputi permukaan posterior laringDinding

posterior disokong oleh corpus vertebra cervicalis ketiga, keempat, kelima,

dan keenam. Dinding lateral disokong oleh cartilage thyroidea dan membrane

thyrohyoidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada membrana, disebut fossa

piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus laryngis.

2.2. Definisi

 Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian

dari cincin Waldeyer Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang

terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina

(tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius

(lateral band dinding taring I Gerlach's tonsil). Penyebaran infeksi melalui

udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua

umur, terutama pada anak. 3

2.3. Epidemiologi

Tonsilitis secara epidemiologi paling sering terjadi pada anak-anak.

Pada balita, tonsilitis umumnya disebabkan oleh infeksi virus sedangkan

infeksi bakterial lebih sering terjadi pada anak berusia 5-15 tahun. Group A

beta-hemolytic streptococcus merupakan penyebab utama tonsilitis bacterial

.4
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, tetapi jarang terjadi

pada anak usia < 2 tahun. Tonsilitis juga sangat jarang terjadi pada orang tua

usia >40 tahun. Insidensi terjadinya tonsilitis rekuren di Eropa dilaporkan

sekitar 11% dengan komplikasi tersering adalah abses peritonsilar.

Komplikasi ini lebih sering terjadi pada anak-anak dengan puncaknya pada

masa remaja kemudian risikonya menurun hingga usia tua. Abses peritonsilar

lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki .5

World Health Organization (WHO) tidak mengeluarkan data mengenai

jumlah kasus tonsilitis di dunia, namun WHO memperkirakan 287.000 anak

dibawah 15 tahun mengalami tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi,

248.000 (86,4 %) mengalami tonsiloadenoidektomi dan 39.000 (13,6 %)

lainnya menjalani tonsilektomi. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT

di tujuh provinsi Indonesia, prevalensi tonsilitis kronik 3,8 % tertinggi setelah

nasofaringitis akut 4,6 % .6

Tonsilitis baik akut maupun kronik dapat terjadi pada semua umur,

namun lebih sering terjadi pada anak. Faktor yang menjadi penyebab utama

hal tersebut adalah ISPA dan tonsillitis akut yang tidak mendapat terapi yang

adekuat.4,5 Tonsilitis lebih umum pada anak- anak usia 5-15 tahun dengan

prevalensi tonsillitis bakterial 15-30% pada anak dengan gangguan

tenggorokan dan 5-15% pada dewasa dengan gangguan tenggorokan .7


2.4. Etiologi Tonsilitis

Tonsilitis akut terutama disebabkan oleh virus, seperti virus DNA untai

ganda (adenovirus manusia, Virus Epstein Barr), virus DNA untai tunggal

(Human Boca Virus), virus RNA untai tunggal (virus influenza dan para-

influenza; virus; entero-virus termasuk virus Coxsackie; virus corona;

respiratory syncytial virus (RSV); human meta-pneumo-virus), retro-virus

[human immunodeficiency virus (HIV)]. Patogen terpenting penyebab tonsilitis

bakterialis adalah GABHS, yaitu Streptococcus pyogenes .8

2.5. Klasifikasi Tonsilitis 11

2.5.1 . Tonsilitis akut

1. Tonsilitis viral

Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa

nyeri tenggorokan. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr.

Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika

terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan

tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan

pasien. Terapi tonsillitis viral yaitu istirahat, minum cukup, analgetika, dan

antivirus diberikan jika gejala berat.


2. Tonsilitis bakterial

Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus B

hemolitikus yang dikenal sebagai streptthroat, pneumokokus, Streptokokus

viridan dan Streptokokus piogenes. lnfiltrasi bakteri pada lapisan epitel

jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit

polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus lhi merupakan

kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis

detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning Bentuk

tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila

bercak- bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan

terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat melebar sehingga

terbentuk semacam membran semu (pseudo-membrane) yang menutupi

tonsil.

Gejala dan tanda tonsillitis bacterial yakni masa inkubasi 2-4 hari.

Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorokan dan nyeri

waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi rasa lesu,nyeri di

sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri di

telinga ini karena nyeri alih (reffered pain) melalui saraf n.glosofaringeus

(n.lX). Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan


terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh membran semu,

Kelenjar sub- mandibula membengkak dan nyeri tekan

Terapi pada tonsillitis bacterial yakni antibiotika spektrum lebar

penisilin, eritromisin. Antipiretik dan obat kumur yang mengandung

desinfektan Komplikasi pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis

media akut, sinusitis, abses peritonsil (Quincy thorat), abses parafaring,

bronkitis, glomerulonefritis akut, miokarditis, artritis serta se!ptikemia akibat

infeksi v. Jugularis interna (sindrom Lemierre).

Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui

mulut, tidur men- dengkur (ngorok), gangguan tidur karena terjadinya sleep

apnea yang dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS).

2.5.2 Tonsilitis kronik

Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang

menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk,

pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak

adekuat. Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-

kadang kuman berubah menjadi kuman golongan Gram negatif.


Pada pemeriksaan patologi didapatkan tanda radang berulang yang

timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada

proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan

mengalami pengerutan sehingga kripte melebar. Secara klinik kripte ini

tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan tenrs sehingga menembus kapsul

tonsil dan akhirnya menimbulkan pedekatan dengan jaringan di sekitar fosa

tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa

submandibula.

Gejala dan tanda pada tonsillitis kronik. Pada pemeriksaan tampak

tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan

beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorok,

di- rasakan kering di tenggorok dan napas berbau.

Terapi tonsillitis kronik adalah terapi lokal ditujukan pada higiene mulut

dengan berkumur atau obat isap. Komplikasi pada tonsillitis kronik yakni

radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya

berupa rinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum.

Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul

endokarditis, artritis, miosilis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus,

urtikaria dan furunkulosis


Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik,

gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.

2.5.3 Tonsilitis membranosa

Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsilitis membranosa ialah

(a) Tonsilitis difteri, (b) Tonsilitis septik (sepfrb sore throat), (c) Angina Plaut

Vincent, (d) Penyakit kelainan darah seperti leukemia akut, anemia

pernisiosa, neutro- penia maligna serta infeksi mono-nukleosis, (e) Proses

spesifik lues dan tuber-kulosis, (f) lnfeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan

blastomikosis, (g) lnfeksi virus morbili, pertusis dan skarlatina.

1. Tonsilitis difteri

Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi

pada bayi dan anak. Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman micobacterium

diphteriae, kuman yang termasuk Gram positif dan hidung di saluran napas

bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua omng yang terinfeksi

oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti

toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0.03 satuan per cc

darah dapat dianggap memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai

pada tes Schick.


Tonsililis difleri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10

tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2 - 5 tahun walaupun pada orang

dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.

Gejala dan tanda pada tonsillitis difteri dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala

umum, gejala lokal dan gejala akibat eksotoksin.

a) Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu

tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah,

nadi lambat serta keluhan nyeri menelan.

b) Gejala lokal yang tampak berupa tonsil, membengkak diltutupi bercak

putih kotor. Yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk

membrane semu. Membran ini dapat meluas ke palatum molle, uvula,

nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran

napas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila

diingkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila

infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengkak

sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck)

atau disebut juga Burgemeester's hals.

c) Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan

menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi

miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial


menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan

pada ginjal menimbulkan albuminuria.

Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan ber dasarkan gambaran klinik dan

pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah

membran semu dan di- dapatkan kuman Corynebacteium diphteriae.

Terapi tonsillitis difteri adalah Anti Difleri Serum (ADS) diberikan

segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan dosis 20.000 - 100.000 unit

tergantung dari umur dan beratnya penyakit. Antibiotika Penisilin atau

Eritromisin 25 - 50 mg per kg berat badan dibag-i dalam 3 dosis selama 14

hari. Kortikosteroid 1,2 mg per kg berat badan per hari. Antipiretik untuk

simtomatis. Karena penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan

harus istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu.

Komplikasi tonsillitis difteri yakni laringitis difteri dapat bedangsung

cepat, membran semu menjalar ke laring dan me- nyebabkan gejala

sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat timbul komplikasi ini.

Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung alau dekompensaslo cordis.

Kelumpuhan otot palatum mole, otol mata untuk akomodasi, otot faring serta

otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan


kelumpuhan olot-otot per- napasan. Albuminuria sebagai akibat komplikasi ke

ginjal.

2. Tonsilitis septik

Penyebab dari tonsilitis septik ialah Streptokokus hemolitikus yang

terdapat dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Oleh karena di

lndonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara pasteurisasi sebelum

diminum maka penyakit ini jarang ditemukan.

3. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulsero membranosa)

Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang

didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi

vitamin C.

Gejala Angina Plaut Vincent (stomatitis ulsero membranosa) adalah

demam sampai 39 C, nyeri kepala, badan lemah dan kadang-kadang

terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi dan

gusi mudah berdarah.


Pada pemeriksaan didapatkan mukosa mulut dan faring hiperemis,

tampak membran putih keabuan di atas tonsil, uvula, dinding farirg, gusi serta

prosesus alveolans, mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar sub mandibula

membesar.

Terapi Angina Plaut Vincent (stomatitis ulsero membranosa) adalah

Antibiolika spektrum lebar selama 1 minggu. Memperbaiki higiene mulut.

Vitamin C dan vitamin B kompleks

4. Penyakit kelainan darah

Tidak jarang tanda pertama leukemia akut, angina agranulositosis dan

infeksi mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran

semu. Kadang-kadang ter- dapat perdarahan di selaput lendir mulut dan

faring serta pembesaran kelenjar submandibula.

a) .Leukemia akut

Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut,

gusi dan di bawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan. Tonsil

membengkak ditutupi membran semu tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri

yang hebat di tenggorok.

b).Angina agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin,

sulfa dan arsen. Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring

serta di sekitar ulkus tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan di

genitalia dan saluran cerna.

c).lnfeksi mononukleosis

Pada penyakit ini terjadi tonsilo faringitis ulsero membranosa bilateral.

Membran semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul

perdarahan. Terdapat pembesaran ke- lenjar limfa leher, ketiak dan

regioinguinal. Gambaran darah khas yaitu terdapat leukosit mononukleus

dalAm jumlah besar. Tanda khas yang lain ialah kesanggupan serum pasien

untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (reaksi Paul Bunnel)

2.6. Diagnosis

2.6.1 Anamnesis

Diagnosis tonsilitis dilakukan oleh dokter dengan menggunakan

anamnesis dan pemeriksaan fisik. Setiap gejala yang ditemukan diberi skor

masing-masing 1, sehingga apabila ditemukan lebih dari 1 gejala seperti

batuk, demam>380C, pembengkakan tonsil, nyeri tekan pada kelenjar getah

bening di leher, dan kesulitan menelan, maka skor dijumlahkan sesuai

dengan gejala yang ditemukan. Durasi tonsilitis juga diperhitungkan, apabila

tonsilitis berlangsung kurang dari 2 minggu maka diberi skor 1 dan apabila
berlangsung selama lebih dari 4 minggu atau menetap diberi skor 2. Total

skor gejala merupakan penjumlahan dari banyaknya tanda atau gejala

tersebut.9 Diagnosis yang dilakukan oleh dokter saat ini masih dilakukan

dengan cara langsung mengecek pada rongga mulut pasiennya, padahal

saat menderita tonsilitis pasien akan merasa sangat kesakitan apabila

diminta untuk membuka rongga mulut, terlebih lagi dengan waktu yang cukup

lama. Proses diagnosis dilakukan secara visual dan hasil yang subjektif

tergantung dari keahlian dokter. Untuk itu diperlukan suatu sistem yang dapat

membantu dan mempermudah dokter dalam mendiagnosis dan menjelaskan

pada pasien mengenai penyakit tonsilitis ini. Tonsilitis dapat dideteksi dengan

mengetahui karakteristik yang terlihat pada tonsil, karakteristik yang paling

mudah dapat dilihat adalah terjadinya perubahan warna (kemerahan) pada

daerah tonsil dan sekitarnya serta luas pembengkakan pada tonsil.10


2.6.2 Pemeriksaan fisik

Gambar 3. Ukuran besar tonsil.

Pemeriksaan klinis tonsil dilakukan dengan bantuan spatula lidah

dengan menilai warna, besar, pelebaran muara kripte, ada tidaknya detritus,

nyeri tekan, dan hiperemis pada arkus anterior. Besar tonsil dinyatakan

dalam T0, T1, T2, T3, dan T4. T0 apabila tonsil berada di dalam fossa tonsil

atau telah diangkat. T1 apabila besar tonsil 1/4 jarak arkus anterior dan

uvula, dimana tonsil tersembunyi di dalam pilar tonsilar. T2 apabila besar

tonsil 2/4 jarak arkus anterior dan uvula, dimana tonsil membesar ke arah

pilar tonsilar. T3 apabila besar tonsil 3/4 jarak arkus anterior dan uvula, atau

terlihat mencapai luar pilar tonsilar. T4 apabila besar tonsil mencapai arkus

anterior atau lebih, dimana tonsil mencapai garis tengah.

Beberapa penelitian berusaha untuk membedakan antara infeksi

group A beta-hemolytic streptococcal (GABHS) dan virus berdasarkan gejala


dan tanda. Gejala dan tanda ternyata tidak cukup untuk menegakkan

diagnosis, diperlukan kombinasi dari beberapa faktor untuk dapat digunakan

sebagai prediksi klinik. Tes yang umum dilakukan selain temuan klinik adalah

kultur swab tenggorok dan rapid antigen testing. Skor Centor dapat

digunakan untuk mendiagnosis infeksi tenggorok akibat infeksi streptokokus

grup A. Skor Centor ini merupakan acuan tervalidasi untuk prediksi klinis

pada infeksi streptokokus pada pasien lebih dari 15 tahun. Hal ini

dikarenakan pada pasien anak, terutama satu tahun awal, memiliki

manifestasi nyeri tenggorok yang berbeda. (level bukti II, derajat rekomendasi

B).

Skor Centor diajukan pada tahun 1981 oleh Centor dkk setelah

melakukan penelitian di Departemen Emergensi Universitas Virginia pada

286 pasien dewasa. Centor dkk menilai 4 tanda dan gejala untuk

memperkirakan kemungkinan faringitis akut streptokokus grup A pada pasien

dewasa yang mengalami nyeri tenggorok. Empat tanda dan gejala tersebut

adalah ditemukannya pembesaran dan eksudat pada tonsil, pembesaran dan

nyeri tekan kelenjar getah bening leher anterior (limfadenopati servikal

anterior), adanya riwayat demam lebih dari 38°C, dan tidak ada riwayat

batuk. Masing-masing tanda dan gejala memiliki skor satu. Risiko terjadinya

infeksi streptokokus grup A tergantung jumlah skor dari tanda dan gejala.

Semakin besar jumlah skor, maka semakin besar kemungkinan infeksi


streptokokus grup A. Skor Centor dapat digunakan pada pasien anak, tetapi

tidak dianjurkan pemakaiannya pada anak usia kurang dari 3 tahun.

1.1.Tabel Skor Centor

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

Gejala dan tanda ternyata tidak cukup untuk menegakkan diagnosis,

diperlukan kombinasi dari beberapa faktor untuk dapat digunakan sebagai

prediksi klinik. IDSA (Infectious Disease Society of America) dan AHA

(American Heart Association) merekomendasikan konfirmasi status

bakteriologik untuk menegakkan diagnosis tonsilitis, baik menggunakan kultur

swab tenggorok maupun menggunakan rapid antigen detection test.

Tes untuk mengetahui infeksi streptokokus tidak diperlukan pada

pasien anak dan dewasa dengan tanda dan gejala yang mengarah pada

infeksi virus. (level bukti I, derajat rekomendasi A) Gejala dan tanda tersebut

antara lain konjungtivitis, coriza atau rhinorea, stomattis anterior dan ulkus
oral diskret, batuk, serak, diare, dan exanthem atau enanthem viral. Tes juga

tidak diperlukan pada anak kurang dari 3 tahun. (level bukti II, derajat

rekomendasi B)

Pada pasien dewasa, rapid antigen detection test dan kultur swab

tenggorok dianjurkan pada tanda dan gejala yang mengarah pada infeksi

streptokokus. Tanda dan gejala tersebut ialah demam persisten, keringat

malam, kaku badan, nodus limfe yang nyeri, pembengkakan tonsil atau

eksudat tonsilofaringeal, scarlatiniform rash, dan petekie palatum. CDC

(Centers for Disease Control and Prevention) dan ACP (American College of

Physicians) merekomendasikan kultur swab tenggorok atau RAT pada

dewasa apabila gejala mengarah pada infeksi streptokokus, seperti demam

persisten, limfadenpati servikal anterior yang nyeri, nyeri wajah, dan

discharge nasal yang purulen.

a. Kultur Swab Tenggorok

Kultur swab tenggorok yang optimal dilakukan dengan swab tunggal

pada tonsil dan faring posterior, dengan menghindari mukosa bukal dan

lidah. Hasil swab yang diperoleh dimasukkan ke dalam media transpor

berupa Stuart atau tioglikolat. Hasil swab kemudian dioleskan pada agar

darah. Pemeriksaan swab tenggorok ini dilakukan sebelum antibiotik mulai

diberikan.

Hasil kultur pada agar darah yang positif menunjukkan zona

karakteristik hemolisis komplit (hemolisis beta) pada infeksi S pyogenes dan


homolisis parsial pada Streptococcus pneumoniae. Pertumbuhan kultur ini

berlangsung selama 18-48 jam. Swab tenggorok pada seluruh anggota

keluarga yang berkontak dengan pasien secara simultan dapat

dipertimbangkan dan tata laksana dapat diberikan pada subyek yang

memiliki hasil kultur dan/atau RAT positif untuk episode rekuren dalam

keluarga. Hasil kultur positif swab tenggorok untuk GHBS dapat

menentukan diagnosis nyeri tenggorok akibat streptokokus, namun kultur

yang negatif tidak menyingkirkan kemungkinan penyebabnya adalah

streptokokus. Terdapat beberapa kasus dimana didapatkan streptokokus

namun tidak terdapat bukti infeksi secara serologik. Karier asimptomatik

GABHS mencapai 40% kasus. Kekurangan utama kultur swab tenggorok

secara klinik adalah keterlambatan hasil pemeriksaan (18-24 jam atau

lebih). Selain itu, masih menjadi perdebatan apakah hasil kultur negatif

harus dilakukan pemeriksaan ulang setelah beberapa hari untuk

meningkatkan sensitivitas tes. Namun, swab tenggorok dapat digunakan

untuk menegakkan etiologi dari episode rekuren pada pasien dewasa ketika

dipertimbangkan untuk dilakukan tonsilektomi.

Infectious Disease Society of America (IDSA) tidak

merekomendasikan kultur swab tenggorok atau rapid antigen test dilakukan

secara rutin setelah tata laksana, tetapi dapat dipertimbangkan untuk

kondisi khusus. (level bukti I, derajat rekomendasi A) Kondisi ini antara lain

bila pasien berada dalam risiko tinggi mengalami demam reumatik akut,
rekurennya gejala klasik yang kompatibel dengan faringitis streptokokus

grup A. Anak-anak yang mendapatkan terapi antibiotik secara tepat, 7-37%

akan mendapatkan hasil positif. Anak-anak tersebut akan menjadi karier

streptokokus dan pemberian antibiotik tidak diperlukan. American Heart

Association tidak merekomendasikan kultur swab tenggorok 2-7 hari setelah

terapi antibiotik selesai, kecuali gejala masih ada atau kambuh, serta pada

pasien yang memiliki riwayat demam reumatik akut.

Dengan demikian, kultur swab tenggorok tidak rutin dilakukan pada

pemeriksaan diagnosis nyeri tenggorok untuk mendeteksi streptokokus

grup-A.

b. Rapid Antigen Test (RAT)

RAT memiliki spesifisitas yang tinggi sehingga tata laksana wajib

diberikan apabila diperoleh hasil yang positif. Sensitivitas RAT bervariasi

bergantung pada assay yang digunakan. Pada tes dengan sensitivitas tinggi,

kultur swab tenggorok tidak diperlu dilakukan lagi. (level bukti I, derajat

rekomendasi A) Apabila hasil RAT menunjukkan hasil yang negatif, kultur

swab tenggorok diperlukan pada anak dan remaja. IDSA menyatakan kultur

swab tenggorok setelah RAT tidak diperlukan pada pasien dewasa dan AHA

menyatakan kultur swab tenggorok setelah RAT dapat dipertimbangkan.

Dengan adanya RAT, maka peresepan antibiotik dapat bekurang.

RAT umum digunakan di Amerika Utara untuk identifikasi GABHS.

Bahan diambil dari swab tenggorok dan hasilnya didapatkan dalam 10 menit.
Bermacam-macam tipe RAT dapat digunakan untuk diagnosis nyeri

tenggorok akibat streptokokus grup A.

Umumnya pemeriksaan RAT memiliki senstivitas 59-95% dan

spesifisitas lebih dari 90% dibandingkan dengan kultur swab tenggorok pada

agar darah. Nilai prediktif negatif RAT sangat tinggi berkisar antara 93%-

97% dan umumnya 95%. Sensitivitas RAT adalah 90% (antara 86% dan

94,8%) dibandingkan dengan kultur swab tenggorok pada agar darah. Nilai

prediktif positif RAT berkisar antara 77% dan 97%, umumnya sekitar 90%.

Namun, pemeriksaan RAT untuk deteksi streptokokus grup A dipengaruhi

oleh keterampilan, pengalaman dan ekspertise tenaga medis yang

mengambil swab tenggerok dan melakukan RAT. Untuk memperbaiki

akurasi RAT, maka RAT seharusnya dilakukan oleh tenaga terlatih dan

dilakukan pada dinding faring posterior dan kedua tonsil.

Pada anak dan dewasa, semua penelitian mendukung akurasi yang

tinggi pada RAT ketika dilakukan pada pasien dengan probabilitas yang

tinggi menderita radang tenggorok akibat streptokokus berdasarkan skor

Centor. Pasien dengan kemungkinan besar mengalami infeksi streptokokus

(skor centor 3-4) maka dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksan

RAT. Pasien dengan kemungkinan kecil mengalami infeksi -25- streptokokus

(skor Centor 0-2) maka tidak perlu rutin dilakukan pemeriksaan RAT.

Penelitian di Kanada menunjukkan bahwa penggunaan RAT dapat

mengurangi penggunaan antibiotik. Penelitian di Swiss menunjukkan


penurunan penggunaan antibiotik setelah dilakukan pemeriksaan RAT

dibandingkan pada pasien dengan skor Centor 3 atau 4 tanpa pemeriksaan

RAT. Penggunaan RAT untuk diagnosis infeksi GABHS rekuren juga dinilai

efektif. Pada pasien yang telah memperoleh pengobatan dalam 28 hari

terakhir, RAT memiliki sensitivitas yang mirip (91%) dan sensitivitas yang

lebih tinggi (70%) dibandingkan pada pasien tanpa infeksi streptokokus

sebelumnya

c. Pemeriksaan Penunjang Lain

Pemeriksaan titer antibodi anti streptokokus untuk diagnosis rutin tidak

dilakukan. Hal ini dikarenakan hasil yang diperoleh dapat menunjukkan

infeksi yang telah lampau, bukan infeksi sekarang. (level bukti I, derajat

rekomendasi A).

Titer anti-streptolysin O (ASO) and anti-deoxyribonuclease B dapat

digunakan untuk mengindentifikasikan infeksi streptokokus grup A pada

pasien yang dicurigai memiliki demam reumatik atau komplikasi non-

supuratif lainnya. Titer ASO mendeteksi antibodi terhadap streptolisin O

pada darah. Streptolisin O merupakan substasi yang diproduksi oleh

GABHS. Tes ini digunakan untuk mendeteksi infeksi streptokokus grup A

sebelumnya. Antibodi ASO diproduksi sekitar seminggu sampai sebulan

setelah infeksi terjadi dan mencapai puncaknya pada 3-5 minggu setelah

penyakit muncul. Antibodi ASO masih dapat ditemukan dalam darah dalam
kurun waktu minggu hingga bulan setelah infeksi streptokokus hilang. Hasil

titer ASO >200 IU atau lebih dari 166 Todd unit dinyatakan positif.

Pemeriksaan C-reactive protein tidak terbukti dalam mendiagnosis

infeksi streptokokus grup A. Anti-DNase B berguna untuk membuktikan

penyakit invasif tetapi karena pemeriksaannya bersifat serial maka tidak

direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin pada nyeri tenggorok.

Terdapat 1 review yang fokus pada komplikasi faringitis streptokokus yang

menyimpulkan bahwa tes laboratorium (laju endap darah dan Creactive

protein) mungkin indikasi untuk komplikasi post streptokokus.

Lebih lanjut, tidak didapatkan bukti apakah informasi klinis

dikombinasikan dengan data biomarker menyediakan informasi prognosis

yang lebih baik untuk tata laksana nyeri tenggorok. Sehingga berdasarkan

bukti terkini, penggunaan biomarker tidak rutin dalam menilai nyeri tenggorok

akut. (level bukti IV, derajat rekomendasi C).

2.7 Tatalaksana

2.7.1. Farmakologi

Antibiotika spektrum luas penisilin, eritromisin. Antipiretik dan obat

kumur yang mengandung desinfektan .

Pemberian tatalaksana berbeda-beda setiap kategori tonsillitis sebagai

berikut.
A. Tonsilitis Akut

1. Tonsillitis viral

Pada umumnya, penderita dengan tolnsilitis akut disertai demam

sebaiknya tirah baring, pemberian cairan adekuat, dan diet ringan. Analgesik,

dan antivirus diberikan jika gejala berat.

2. Tonsillitis bakterial

Antibiotika spectrum luas, seperti penisilin, eritromisin. Antipiretik dan

obat kumur yang mengandung desinfektan.

B. Tonsilitis kronik

Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan

pengangkatan tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus- kasus di mana

penatalaksanaan medis atau yang lebih konservatif gagal untuk meringankan

gejala-gejala. Penatalaksanaan medis termasuk pemberian penisilin yang

lama, irigasi tenggorokan sehari-hari, dan usaha untuk mernbersihkan kripta

tonsilaris dengan alat irigasi gigi atau oral. Ukuran jaringan tonsil tidak

mempunyai hubungan dengan infeksi kronis atau berulang.

C. Tonsilitis Membranosa
1. Tonsillitis difteri

Anti difteri serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur,

dengan dosis 20.000 – 100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya

penyakit. Antibiotik penisilin atau eritromisin 25 – 50 mg/kgBB dibagi dalam 3

dosis selama 14 hari. Kortikosteroid 1,2 mg/kgBB/hari. Antipiretik untuk

simtomatis. Pasien harus diisolasi karena penyakit ini dapat menular. Pasien

istirahat di tempat tidur selama 2 – 3 minggu.

2.Angina Plaut Vincent

Antibiotik spectrum luas selama 1 minggu, perbaiki kebersihan mulut,

konsumsi vitamin C dan B kompleks.

2.7.2. Intervensi bedah

Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik,

gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.

Indikasi Absolut. Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi yang hampir absolut

adalah berikut ini:

1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronis.

2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur.


3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan

berat badan penyerta.

4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma).

5. Abses peritonsilaris berulang alau abses yang meluas pada ruang

jaringan sekitarnya.

Indikasi Relatif. Seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi dianggap

relatif.

1. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil dalam 1 tahun dengan terapi

antibiotik adekuat.

2. Halitosis akibat tonsillitis kronis yang tidak membaik dengan terapi

antibiotik adekuat.

3. Tonsillitis kronis berulang pada karier streptokokus beta hemolitikus grup

A yang tidak membaik dengan antibiotik.

2.8 Komplikasi

Menurut tinjauan literatur, phlegmon peritonsillar adalah komplikasi

yang utama dari tonsilitis dan 2,4% dari keadaan tersebut. Sedangkan

penyakit jantung menyumbang 33,33% dari komplikasi dalam penelitian kami.

Regurgitasi mitral adalah penyakit jantung paling umum dengan persentase

sebanyak 40%. Komplikasi lain dalam penelitian lain juga termasuk selulitis
serviks (13,33%), abses parafaringeal (6,67%), dan sepsis (6,67%) (Haidara

& Sibide, 2019). Sedangkan pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis

media akut, sinusitis, abses peritonsil, abses para faring, bronchitis,

glomerulonephritis akut, miokarditis, artritis, serta septicemia. Kelumpuhan

otot palatum mole, otot mata, otot faring, otot laring serta otot pernafasan

juga dapat terjadi pada tonsillitis difteri . 13

2.9 Prognosis

Secara umum, prognosis tonsilitis sangat baik dan sembuh tanpa

komplikasi. Sebagian besar tonsilitis virus sembuh dalam 7-10 hari,

sedangkan tonsilitis bakteri dengan terapi antibiotik sesuai mulai membaik

dalam 24-48 jam. Morbiditas dapat meningkat jika tonsilitis berulang sehingga

mengganggu aktivitas dalam sekolah dan bekerja.


BAB III

KESIMPULAN

 Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh infeksi

bakteri streptococcus atau infeksi virus.

 Diagnosis dapat ditegakkan dengan mengetahui tanda dan gejala serta dapat

dilakukan pemeriksaan penunjang meliputi kultur dan pemeriksaan biopsi

jaringan.

 Komplikasi yang dapat menyertai tonsillitis adalah phlegmon peritonsillar,

penyakit jantung, selulitis serviks, abses parafaringeal, dan sepsis.

 Secara umum, prognosis tonsilitis sangat baik dan dapat sembuh tanpa

komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ringgo, A. S., (2019) Hubungan Kebiasaan Makan dengan Risiko

Terjadinya Tonsilitis Konik Pada Anak Sekolah Dasar di Bandar

Lampung. Malahayati Nursing Journal, Volume 1, p. 188.

2. I Gusti Ayu Harry (2017). Tonsilitis Kronis Eksaserbasi Akut Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana

3. Ringgo, A. S., 2019. Hubungan Kebiasaan Makan dengan Risiko

Terjadinya Tonsilitis Konik Pada Anak Sekolah Dasar di Bandar

Lampung. Malahayati Nursing Journal, Volume 1, p. 188.

4. Georgalas, C. C. N. S. T. A. N., 2014. Tonsillitis. Clinical Evidence, p. 2.

5. U, S., 2018. Tonsilitis and Peritonsilar Abscess.

6. Ramadhan, F. S. I. K., 2017. Analisa Faktor Risiko Kejadian Tonsilitis

Kronik Pada Anak Usia 5 - 11 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas

Puuwatu Kota Kendari. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan, Volume 2.

7. Nadhila, N. F. M., 2016. Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut pada Pasien

Dewasa.. J Medula Unila, pp. 107-108.

8. Windfuhr, J. P., Toepfner, N., Steffen, G., Waldfahrer, F., & Berner, R.

(2016). Clinical practice guideline: tonsillitis I. Diagnostics and nonsurgical

management. European archives of oto-rhino-laryngology : official journal

of the European Federation of Oto-Rhino-Laryngological Societies


(EUFOS) : affiliated with the German Society for Oto-Rhino-Laryngology -

Head and Neck Surgery, 273(4), 973–987.

https://doi.org/10.1007/s00405-015-3872-6

9. Prasetya, G. Z., Candra, A. & Kurniawati, D. M., 2018. Pengaruh

Suplementasi Seng terhadap Kejadian Tonsilitis pada Balita. Journal of

Nutrition College, 7(3), p. 3.

10. Lanang, S. M., Rizal, A. & Ramatryana, I. N. A., 2015. Simulasi Deteksi

Tonsilitis Mengunakan Pengolahan Citra Digital. JNTETI.

11. Soepardi A.E.dkk.(2007).Buku Ajar ilmu Kesehatan telinga hidung

tenggorokan kepala dan leher.fakultas kedokteran universitas

Indonesia.jakarta.

12. Adams, G. L., Boies, L. R. & Higler, P. A., 2012. BOIES Buku Ajar Penyakit

THT. 6 ed. Philadelphia: BOEIS FUNDMENTALS OF OTOLARYNGOLOGY.

13. Rusmarjono & Soepardi, E. A., 2016. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi

Adenoid. In: A. A. Soepardi & N. Iskandar, eds. Telinga Hidung Tenggorokan &

Leher. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI, p. 200.

14. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia(2018).pedoman

nasional pelayanan kedokteran tatalaksana tonsilitis.jakarta

Anda mungkin juga menyukai