Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2022

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

SINUSITIS ETHMOIDALIS

Oleh :
Anniza Fitrah M ( 105505400719)

Pembimbing :
dr.Hasnah Makmur, Sp.THT-KL

(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan


THT-KL)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNISVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2022
Referat dengan judul
SINUSITIS ETHMOIDAL

oleh:

Anniza Fitrah M
(105505400719)

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu THT
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, 18 Februari 2022

(dr. Hasnah Makmur, Sp.THT-KL)


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, hidayah,
kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga referat dengan judul “sinusitis
etmoidal” ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa tercurah
kepada Rasulullah SAW, sang pembelajar sejati yang memberikan pedoman
hidup yang sesungguhnya.

Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih


dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing dr.
Hasnah Makmur, Sp.THT-KL yang telah memberikan petunjuk, arahan dan
nasehat yang sangat berharga dalam penyusunan sampai dengan selesainya
referat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan


kekurangan dalam penyusunan referat ini, baik dari isi maupun penulisannya.
Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa penulis harapkan demi
penyempurnaan referat ini.

Demikian, semoga refarat ini bermanfaat bagi pembaca secara umum


dan penulis secara khususnya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar , Februari 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Kondisi umum di sebagian besar dunia, menyebabkan beban yang signifikan


pada masyarakat dalam hal perawatan kesehatan dan produktivitas. Rhinitis dan
Sinusitis dapat terjadi secara bersamaan, secara fisiologi dan patofisiogi sulit untuk
dibedakan antara hidung dan sinus-sinus meskipun satu area dapat lebih memberikan
efek daripada daerah lain. Istilah ini mulai digunakan sejak awal tahun 1990an lalu
kemudian digunakan secara internasional.1 Walaupun Sinusitis merupakan
terminology yang biasa digunakan jika terjadi peradangan atau infeksi pada mukosa
nasal, terminology ini sebagian besar telah diubah menjadi rhinosinusitis, karena
inflamasi atau infeksi pada hidung sangat erat kaitannya dengan inflamasi atau infeksi
pada sinus-sinus.1

Rhinosinusitis akut pada orang dewasa didefinisikan sebagai timbulnya dua


atau lebih gejala secara tiba-tiba, salah satunya seharusnya penyumbatan
hidung/obstruksi/kongesti atau keluarnya cairan dari hidung (anterior/ posterior nasal
drip) dengan ada atau tidaknya nyeri pada wajah atau saat penekanan wajah, serta ada
tidaknya penurunan penciuman selama kurang dari 12 minggu dengan interval bebas
gejala jika rekuren, dengan validasi via telepon atau wawancara.2

. Di Indonesia, pada bulan Januari hingga Agustus 2005 tercatat data dari
Divisi Rinologi Departemen THT RSCM menyebutkan jumlah pasien rinologi pada
kurun waktu tersebut sebanyak 435 pasien dan 69% (300 pasien) menderita
rinosinusitis.3

Salah satu jenis rhinosinusitis, yakni sinusitis ethmoidal, yaitu diberikan nama
sesuai anatomi pertulangan wajah, Sinusitis ethmoidalis adalah penyakit umum yang
mempengaruhi sinus ethmoid. Sinus ethmoid terletak di rongga hidung di atas
labirin.4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Gambar 1. Sinus Paranasalis

Sinus paranasalis adalah ruang berisi udara yang terdapat pada


tengkorak. Sinus ini berada di sekitar atau mengelilingi cavitas nasi.
Terdapat 4 buah pasang sinus yaitu :5
1. Sinus Maxillaris
2. Sinus Frontalis
3. Sinus Ethmoidalis
4. Sinus Sphenoidalis

Sinus ini diberikan nama sesuai anatomi pertulangan wajah.

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang
sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, se- hingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Secara
embriologik, sinus paranasal ber- asal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 34 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus
frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus
frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8
tahun. Pneumatisasi sinus stenoid ,dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari
bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar
maksimal pada usia antara 15-18 tahun.

Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus
lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan
lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid
berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di
dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan
dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus
etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan
sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. sel-sel sinus etmoid
anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang
menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina
basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih
sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau
peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan
di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila. Atap sinus etmoid yang
disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus
adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga
orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus

Sfenoid.5

2.2 Sinusitis ethmoidal

2.2.1 Definisi

Gambar 3. Definisi

Sinusitis adalah penyakit pada hidung, yang terjadi karena peradangan pada
sinus karena alergi atau infeksi virus, bakteri atau jamur. Sinusitis dapat terjadi pada
salah satu dari empat sinus (maksila, etmoidalis, frontalis, sphenoidalis) 6. proses
peradangan pada mukosa hidung secara tiba-tiba, berlangsung hingga 12 minggu.
Bisa terjadi sekali atau lebih dari satu kali dalam periode tertentu, tetapi selalu dengan
remisi lengkap dari tanda dan gejala antara semua episode.2,8
Salah satu jenis rhinosinusitis, yaitu sinusitis ethmoidal diberikan nama sesuai
anatomi pertulangan wajah, Sinusitis ethmoidalis adalah penyakit umum yang
mempengaruhi sinus ethmoid 4

2.2.2 Epidemiologi

ARS adalah masalah umum, insiden yang tepat di antaranya sulit


diperkirakan. Insiden rinosinusitis virus akut (flu biasa) sangat tinggi. Diperkirakan
orang dewasa menderita dua sampai lima episode ARS (atau pilek) per tahun dan
anak-anak sekolah mungkin menderita tujuh hingga 10 pilek per tahun (1, 2). Dalam
makalah Belanda baru-baru ini menggunakan GA2 Kuesioner LEN merupakan
prevalensi 18% (17-21%) ditemukan untuk gejala yang menunjuk ke pasca-viral /
ABRS ARS di tiga kota berbeda di Belanda. Sekitar 0,5-2% dari infeksi saluran
pernapasan bagian atas virus rumit oleh infeksi bakteri.2

Pasien dengan rinosinusitis pilek dan pilek biasa akan sering mencari bantuan
dari dokter mereka. Dalam studi kontrol kasus tiga tahun terhadap populasi Belanda,
van Gageldonk-Lafeber memperkirakan bahwa setiap tahun, 900.000 individu pasien
(545 / 10.000 tahun pasien) berkonsultasi perawatan primer mereka dokter untuk
infeksi saluran pernapasan akut dan yang paling banyak etiologi umum adalah infeksi
virus.2

Di AS, antara 2000-2009, rinosinusitis akut terjadi didiagnosis dalam 0,5%


(interval kepercayaan 95% (CI), 0,4% -0,5%) dari semua kunjungan rawat jalan di
antara orang dewasa, rata-rata 19,4 kunjungan (CI 95%,16.5-22.3) per 1000 orang
dewasa dan ini tidak berubah selama masa studi. Sebuah makalah Belanda baru-baru
ini menemukan angka yang sebanding menggunakan dua dokter Belanda yang
berbeda; insidensi konsultasi untuk rinosinusitis akut sebesar 18,8 - 28,7 per 1000
pasien tahun. Karena dokter ini tidak membuat perbedaan yang jelas antara ARS dan
CRS proporsi dari konsultasi ini mungkin untuk CRS. Obat diresepkan lebih 90%
kasus.2
Rinosinusitis akut adalah entitas yang umum pada populasi pasien dewasa.
Prevalensi rinosinusitis akut adalah 1 banding 7 hingga 8 orang dewasa per tahun di
Amerika Serikat. Sekitar 26 juta kunjungan rawat jalan per tahun untuk manajemen
rinosinusitis, yang menghasilkan lebih dari $ 4,3 miliar untuk biaya pengobatan
langsung. Biaya tambahan timbul dari gejala sisa rinosinusitis, dengan kehilangan
pekerjaan hari dan hari aktivitas terbatas untuk pasien menderita rinosinusitis2,10

. Di Indonesia, pada bulan Januari hingga Agustus 2005 tercatat data dari
Divisi Rinologi Departemen THT RSCM menyebutkan jumlah pasien rinologi pada
kurun waktu tersebut sebanyak 435 pasien dan 69% (300 pasien) menderita
rinosinusitis.3

2.2.3 Etiologi

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanital hamil, infeksi
bakteri, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,
sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan
imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagener, dan di luar negeri
adalah penyakit fibrosis kistik. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor
penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk
menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid
dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga
berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan
merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak
silia.2,7 Virus merupakan penyebab sebagian besar kasus ARS dan termasuk
rhinovirus, coronavirus, influenza, virus pernapasan syncytial (RSV), dan
parainfluenza. Pada rhinosinusitis akut bakteri , pathogen penyebab
yaitu Streptococcus pneumoniae (20% hingga 45%), Haemophilus influenzae (20%
hingga 43%), dan Moraxella catarrhalis (14% hingga 28%) adalah organisme yang
dominan. Staphylococcus aureus sekarang dianggap sebagai patogen nyata dalam
Rinosinusitis akut bakteri dan menyumbang 8% hingga 11% dari
kasus. 13  Methicillin-Resistant S. aureus (MRSA) yang resistan
terhadap metisilin.  Karena M. catarrhalis sebagian besar bersifat sembuh sendiri,
dan karena MRSA menjadi masalah perawatan kesehatan yang lebih besar, S.
aureus mungkin lebih penting untuk diobati.7

2.2.4 Klasifikasi

Ada beberapa klasifikasi yang didasarkan terutama pada durasi gejala:2,8

- ARS flu biasa atau virus: suatu kondisi yang umumnya sembuh sendiri, dimana
durasi gejala kurang dari sepuluh hari;

- ARS paska viral: bila ada gejala yang memburuk lima beberapa hari setelah
timbulnya penyakit, atau ketika gejalanya menetap selama lebih dari sepuluh hari;

- Rinosinusitis bakterial akut (ABRS): persentase kecil pasien dengan ARS pasca-
virus dapat mengembangkan ABRS.

ARS virus atau flu biasa memiliki durasi gejala biasanya kurang dari 10 hari.
Ketika ada gejala memburuk di sekitar hari kelima, atau menetap lebi dari sepuluh
hari (dan kurang dari 12 minggu), dapat diklasifikasikan sebagai ARS pasca-viral.
Diperkirakan bahwa persentase kecil ARS pasca-virus berkembang menjadi ABR,
sekitar 0,5 --- 2%.2,8

Terlepas dari durasi waktu, kehadiran setidaknya tiga dari tanda/ gejala di
bawah ini mungkin menunjukkan ABRS:2,8

- Sekresi hidung (dengan dominasi unilateral) dan adanya nanah di rongga hidung
- Nyeri lokal yang hebat (dengan dominasi unilateral);
- Demam> 38 ◦C;
- Peningkatan tingkat sedimentasi eritrosit (ESR) dan Creactive protein (CRP);
- ‘‘ Memburuk dua kali lipat ': kambuh akut atau memburuk setelah
periode awal gejala ringan.

2.2.5 Patogenesis

Rinosinusitis virus (atau flu biasa) adalah menurut definisi, suatu rinitis akut
yang disebabkan oleh virus pernapasan, seperti rhinovirus (RV), virus pernapasan
syncytial (RSV), virus influenza (IFV), coronavirus (CorV), virus parainfluenza
(PIV), adenovirus (AdeV) dan enterovirus (EV) (35, 91, 92). RV dan CorV adalah
yang paling umum virus yang diisolasi dari ARS dewasa, terhitung sekitar 50% dari
diagnosis ARS virus (93). Pada anak-anak, ada variasi yang lebih luas virus yang
bertanggung jawab, yaitu selain rhinovirus dan coronavirus, orang juga dapat
berharap untuk menemukan RSV, virus parainfluenza dan adenovirus. Secara
geografis, ada juga virus lain yang diisolasi dari pasien dengan ARS, mis. Bocavirus
manusia sering terjadi diisolasi dari kasus ARS. Dengan perkembangan baru lebih
banyak pendeteksian dan penyaringan viral yang sensitif dan tingkat tinggi teknik,
banyak virus dapat dideteksi. Namun demikian, relatif sulit untuk mengidentifikasi
virus utama yang menyebabkan atau memperburuk ARS dalam praktik klinis2

Epitel hidung

Reseptor

Epitel hidung adalah pintu masuk utama untuk virus pernapasan dan target
langsung untuk replikasi virus di jalan napas. Ini juga merupakan komponen aktif dari
respon inang awal terhadap infeksi virus. Sel-sel epitel hidung mengekspresikan
berbagai reseptor mengenali virus tertentu, seperti molekul adhesi antar sel (ICAM-
1), reseptor 3 toll like reseptor (TLR3), α-2,3-linked asam sialic (α-2,3-SA) / α-2,6-
SA yang mengandung reseptor, gen diinduksi asam retinoat 1 (RIG-1, juga dikenal
sebagai DDX58), dan MDA4 (juga dikenal sebagai IFIHI). Setelah infeksi virus
masuk oleh endositosis yang dimediasi reseptor, diikuti oleh ekspresi dan replikasi
genom virus dalam beberapa jam setelahnya infeksi.2
Infeksi RV dapat meningkatkan regulasi ICAM-1 melalui IL-1β dan
mekanisme yang bergantung pada faktor nuklir (NF) -κB, secara langsung
meningkatkan infektivitas dan mempromosikan infiltrasi sel inflamasi. Pada epitel
polip hidung, ekspresi yang lebih tinggi dari α-2,3-SA dan α-2,6-SA akan
menyebabkan masuknya lebih banyak unggas dan infeksi virus influenza musiman
daripada mukosa hidung normal.2

Dalam kultur in vitro dibedakan hidung, trakea dan bronkial sel-sel, reseptor
α-2,3-SA dan α-2,6-SA masing-masing terletak di sel bersilia dan non-bersilia.
Karena itu, influenza virus kemungkinan menargetkan sel-sel yang tidak bersilia di
hidung, sebagai α-2,6-SA reseptor diekspresikan di hidung dan trakea.2

Respon Imun

Epitel hidung tidak hanya berfungsi sebagai penghalang mekanis untuk


melindungi dari faktor lingkungan, mikroorganisme, dan racun, tetapi juga
berpartisipasi dalam respon imun bawaan (non-spesifik) dan adaptif. Permukaan jalan
napas pseudostratifikasi epitel dapat rusak dalam derajat yang berbeda tergantung
pada jenis virus dan juga dapat beregenerasi untuk memulihkan fungsi pertahanan.
Karena itu, interaksi antar hidung2

Epitel dan patogen yang menyerang berperan penting dalam penyakit ini
perkembangan dan respon imun selanjutnya terhadap virus, sehingga berkontribusi
pada beban penyakit dan memerangi infeksi epitel hidung.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa epitel hidung secara aktif memicu


respon imun bawaan dan juga memodulasi adaptif kekebalan terhadap virus ini. Nasal
spesifik epitel tanda tangan transkriptomi dapat secara signifikan mempengaruhi
respon imun hilir dan homeostasis yang menentukan patologi infeksi pernapasan dan
komplikasi. Selain itu, virus pernapasan juga berimplikasi mengganggu silia dan
integritas persimpangan yang ketat dalam sel epitel saluran napas melalui modulasi
ZO-1, claudin-1 dan occludin di jalan napas penghalang epitel.2
Sel-sel epitel hidung mendapatkan repertoar imun mereka sendiri tanggapan
dan secara aktif mencegah patogen merusak jalan napas). Setelah infeksi, mereka
tidak hanya melepaskan surfaktan anti-mikroba dan lendir untuk menunda transmisi
patogen jalan napas, tetapi juga mengekspresikan dan mengeluarkan berbagai sitokin
dan kemokin untuk mendorong respons imun terhadap invasi patogen di saluran
udara. Dalam sebuah studi in vitro, infeksi H3N2 (Aichi / 7) sel epitel hidung primer
manusia, menunjukkan:1) dinamika replikasi virus yang sangat efisien dimulai sejak
awal empat jam pasca infeksi (hpi); 2) upregulasi empat utama reseptor pengenal
patogen (PRR) RIG-I, NLRP3, TLR3 dan TLR7; 3) IFN-α2, IFN-β, IL-28A dan IL-
29 yang dinaikkan secara eksponensial hingga 72 hpi) pada mRNA intraseluler dan
kadar protein yang disekresikan; 4) produksi dan pelepasan chemokines IP-10 yang
cepat, CXCL11, dan RANTES serta penanda inflammasom termasuk IL-1α, IL1β,
IL-6, IL-8, TNFα dan TGFβ setelah 24-72 hpi; 5) indeks sel kerusakan dan kematian
menunjukkan penurunan viabilitas, integritas yang stabil dan tingkat kelangsungan
hidup 16-72 hpi. Temuan ini menunjukkan hubungan virus-host secara kuantitatif,
kapasitas transmisi dan virulensi virus pernapasan di saluran napas bagian atas2

Tanda transkriptomik

Perubahan transkriptomi dari sel epitel hidung yang terinfeksi mengungkapkan


regulasi diferensial dari 11 target (CD38, HERC5, HERC6, IFI6, IFIH1, LGALS3BP,
LY6E, MX1, PARP12, RTP4, ZBP1) membuat tanda khusus influenza. Karenanya,
kunci ini tanda transkriptomi selama influenza dipicu oleh hidung, menggarisbawahi
aplikasi potensial epitel hidung tanggapan dalam diagnostik berbasis molekul yang
cepat dan sensitif untuk meningkatkan deteksi influenza. Selain itu, penelitian terbaru
telah menyoroti ekspresi kuat interferon lambda (IFN-λ, termasuk IL-28A dan IL29)
sebagai faktor penting untuk membatasi penyebaran virus influenza, dan
kemungkinan virus lain. Di sisi lain, sementara virus lain mengekspresikan sangat
mirip tanda transkriptomik yang memberikan efek antivirus, besarnya dan waktu
tanggapan dari tanda tangan mungkin berbeda di antara infeksi virus. Sebagai contoh,
rhinovirus cenderung mengekspresikan banyak hal tanda tangan yang lebih lemah
dibandingkan dengan infeksi influenza; dan infeksi seperti RSV cenderung
menimbulkan tanggapan berkelanjutan infeksi dibandingkan dengan virus lain.
Karena itu, studi untuk membedakan mekanisme patogenik pernapasan yang berbeda
virus sangat penting untuk memahami gejala diferensial mereka dan keparahan dalam
ARS, lebih lanjut menyoroti kebutuhan untuk deteksi virus untuk manajemen gejala
ARS.2

Motil Silia

Dalam studi awal, signifikan dan tahan lama (hingga 32 hari) gangguan fungsi klirens
mukosiliar hidung seperti penurunan jumlah sel bersilia dan perubahan moderat dan
pendek dalam frekuensi sinkronisasi intraseluler diamati pada pasien dengan pilek.
Lebih baru penelitian lebih lanjut telah mengkonfirmasi bahwa gangguan ciliogenesis
menonjol setelah infeksi virus, secara konsisten mengarah ke hilangnya silia dan
kelainan ultrastruktur sel bersilia (mis.,Blebbing sitoplasma, bengkak mitokondria).
Studi in vitro dari model sel epitel hidung manusia menunjukkan bahwa regulasi
regulasi ciliogenesis Foxj dan peningkatan regulasi penanda sel piala Mucin5AC
menunjukkan fungsi muco-ciliary yang berubah karena infeksi RV (clone RV16).
Dalam penelitian lain, RSV ditemukan menginfeksi secara istimewa sel bersilia
dalam epitel hidung primer manusia. Sebagian protein RSV (F dan G)
diperdagangkan ke dalam silia antara 24 dan 48 jam setelah infeksi diikuti oleh
hilangnya silia yang luas pada lima hari pasca infeksi. Untuk influenza, infeksi itu
diikuti oleh kematian sel apoptosis dan nekrotik yang menyebabkan hilangnya epitel
termasuk sel bersilia, berdampak pada fungsi silia2

sel goblet

Lapisan mukosa rongga hidung dilapisi oleh lender tebal lapisan 10 sampai 15 μm.
Lendir disuplai oleh sel piala di dalam epitel dan kelenjar seromukosa submukosa.
Sekresi sinus adalah campuran glikoprotein, produk kelenjar lainnya, dan protein
plasma. Sekresi kaya akan lisozim, laktoferin, albumin, inhibitor leukoprotease
sekretori, dan mucoprotein (130). Dalam skenario yang ideal, segera setelah infeksi
virus, tanggapan kekebalan yang tepat waktu timbul, yang memuncak pada awal virus
eliminasi dengan kerusakan minimal pada tuan rumah. Namun demikian kaskade
peradangan yang diprakarsai oleh sel-sel epitel secara normal menyebabkan
kerusakan oleh sel infiltrasi, menyebabkan edema, pembengkakan, ekstravasasi
cairan, produksi lendir dan sinus obstruksi, akhirnya mengarah ke ARS atau
memperburuk ARS. Telah dilaporkan bahwa gejala flu biasa dapat terjadi dari
pelepasan mediator inflamasi, seperti bradykinin dan aktivitas TAME-esterase (tetapi
bukan histamin), ke dalam hidung mukosa dan sekresi. Ada entri luminal plasma,
termasuk protein pengikat besar seperti fibrinogen dan α2-macroglobulin, yang dapat
mengikat dan mengangkut berbagai sitokin baik pada pilek umum maupun rinitis
alergi. Sebagai tambahan, telah terbukti bahwa infeksi rhinovirus menginduksi lender
hipersekresi, yang mungkin berkontribusi pada kemajuan dari berair rhinorrhoea ke
pengeluaran mukoid selama pilek . Interaksi virus dengan sel piala juga dapat
berkontribusi gejala dan kejengkelan ARS. Misalnya, MUC5AC produksi dari sel
piala meningkat setelah RV dan RSV infeksi, sementara MUC5B ditemukan
meningkat setelah infeksi dengan metapneumovirus manusia (hMPV) dalam sel epitel
baris. Dengan virus influenza, sel-sel piala menghasilkan asam sialic yang kaya
umpan glikoprotein dalam lapisan lendir untuk mencegah pengikatan influenza ke sel
epitel. Namun, virus mengelak lapisan lendir kaya asam sialat dimediasi oleh
neuraminidase pembelahan asam sialat. Interaksi ini juga berkontribusi untuk
pembengkakan bakteri sekunder ARS dengan sialic yang terpecah asam yang
berfungsi sebagai sumber nutrisi tambahan untuk bakteri seperti S. pneumoniae. Oleh
karena itu, peran sel piala dalam patogenesis ARS adalah kompleks dan multifaset
yang membutuhkan dikendalikan studi dengan model yang sesuai untuk membangun
peran mereka virus berbeda.2
Faktor lain

Faktor lain seperti faktor kimia terlarut, kinin, nitrat oksida, stimulasi saraf dan
neuromediator, dapat memainkan peran penting dalam patofisiologi atau patogenesis
virus rinosinusitis sebelumnya telah diulas dalam EPOS 2012. Selain itu, selaput
lendir yang tertambat (termasuk MUC1, MUC3A, MUC3B, MUC4, MUC12,
MUC13, MUC15, MUC16, MUC17, MUC20, dan MUC21) yang diekspresikan oleh
mukosa epitel tidak seperti lendir yang disekresi diekspresikan oleh sel piala,
mungkin juga berperan dalam ARS viral Misalnya, MUC1 memiliki telah terlibat
dalam infeksi influenza dan selanjutnya respons inflamasi; sedangkan MUC4 dan
MUC16 mungkin juga memainkan peran dalam membentuk penghalang pelindung
terhadap invasi patogen.2

2.2.5.2 Post- Viral

Dalam EPOS 2012 istilah 'ARS post-viral' telah direkomendasikan untuk


mengekspresikan fenomena peningkatan gejala setelah 5 hari atau gejala persisten
setelah 10 hari dengan durasi kurang dari 12 minggu. Ini bukan merupakan indikator
pengembangan infeksi bakteri karena hanya sebagian kecil dari pasien dengan ARS
akan memiliki ABR. Patofisiologi dan mekanisme patogenik pasca-virus rinosinusitis
masih belum jelas. Infeksi virus pada hidung dan sinus menginduksi beberapa
perubahan, termasuk infiltrasi dan aktivasi berbagai sel inflamasi di mukosa sinonasal
dan cacat pada host dan fungsi pertahanan imun adaptif, serta meningkatkan risiko
superinfeksi bakteri. Karena itu, pada kebanyakan pasien, ini adalah kerangka waktu
untuk pemulihan dari satu episode ARS untuk menyelesaikan resolusi.2

2.2.5.3 bacterial akut

Rinosinusitis bakterial akut (ABRS) adalah komplikasi infeksi saluran


pernapasan atas virus yang jarang terjadi yang dapat menyebabkan kerusakan mukosa
dan infeksi super bakteri. Kerusakan atau gangguan fungsi mukosiliar karena infeksi
virus mungkin merupakan penyebab utama infeksi bakteri super atau sekunder.
Infeksi bakteri dan jamur biasanya disertai oleh infeksi virus, seperti yang diamati
pada flu biasa (infeksi RV), dan rinosinusitis berulang atau kronis. Streptococcus
pneumoniae, Hemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis adalah bakteri paling
sering pada rinosinusitis. Infeksi RV-1b dapat mempromosikan internalisasi
Staphylococcus aureus ke dalam pneumocytes biakan non-sepenuhnya permisif
dengan mekanisme yang melibatkan rilis IL-6 dan IL-8 yang dipicu oleh virus, dan
ekspresi berlebih dari ICAM-1. Infeksi RV juga mempromosikan ekspresi molekul
adhesi sel dan kepatuhan bakteri sel epitel pernapasan manusia primer. Selanjutnya di
Sel epitel nasal yang terinfeksi RV (NEC) dari nasofaring, Ekspresi TNF-α
meningkat oleh infeksi Aspergillus. Infeksi virus pada mukosa hidung dapat memicu
peradangan kaskade dianggap bertanggung jawab atas gejala pilek, tetapi juga
membentuk dasar untuk pertahanan imunologis. Proses membersihkan virus
menghasilkan epitel mati dan menyusup sel yang berkontribusi pada patologi ARS.
Perubahan transkriptom spesifik epitel hidung seperti itu dapat secara signifikan
mempengaruhi respons imun hilir dan homeostasis yang menentukan patologi infeksi
pernapasan dan komplikasi. Ini juga menciptakan lingkungan yang cocok untuk
sekunder infeksi bakteri (seperti Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pneumoniae), mewakili faktor lain yang memperburuk gejala ARS diawali oleh
infeksi virus.2

Telah disarankan bahwa infeksi virus pernapasan menginduksi produksi


interferon tipe I (IFNs), menghambat keduanya perekrutan neutrofil dan makrofag
yang bersirkulasi ke paru-paru mengikuti tantangan bakteri dan diferensiasi sel T
helper 17 (TH17) antibakteri dari sel T naif atau lainnya Jenis sel T helper (TH)
(seperti sel TH1 dan TH2). Ini kemudian mempotensiasi kerentanan inang terhadap
infeksi bakteri sekunder. Produksi Interleukin-10 (IL-10) berdasarkan virus influenza
spesifik sel T efektor dapat menghambat kemampuan sel imun bawaan dalam
makrofag tertentu, untuk membunuh bakteri. Akhirnya langsung interaksi dan / atau
infeksi sel imun bawaan – seperti makrofag, neutrofil, dan sel pembunuh alami (NK)
– dengan virus influenza menekan kemampuan sel-sel ini untuk mengambil dan
membunuh bakteri. Infeksi S. pneumoniae umumnya terkait dengan pemburukan
infeksi virus. Studi telah menunjukkan bahwa influenza infeksi mengubah ekspresi
gen yang mempromosikan S. pneumonia menyebar dari biofilm pada mukosa hidung.
Sebagai pernafasan virus menginduksi repertoar antivirus serupa di epitel hidung,
virus ini dapat menyebabkan penyebaran serupa S. pneumonia ke dalam mukosa
saluran napas.2

2.2.6 Gejala klinis

Dalam layanan primer (dan untuk penelitian epidemiologi), ARS


didefinisikan oleh gejala tanpa pemeriksaan THT terperinci atau pencitraan. ARS
didefinisikan oleh keberadaan yang relevan gejala hingga 12 minggu ARS dibagi
menjadi ‘rinosinusitis virus akut’ (identik) dengan 'flu biasa'), di mana durasi
gejalanya kurang dari 10 hari, biasanya kondisi sembuh sendiri yang sering tidak
menemui dokter, 'rinosinusitis pasca-virus akut', didefinisikan oleh peningkatan
gejala setelah lima hari atau bertahan lebih dari 10 hari dan 'bakteri rinosinusitis akut
didefinisikan oleh setidaknya tiga gejala/tanda lendir berubah warna, parah nyeri
local tergantung letak/lokasi sinus, demam> 38 ', peningkatan CRP / ESR,' sakit
ganda.2

Fungsi rongga sinus sendiri adalah untuk menjaga kelembapan hidung dan
menjaga pertukaran udara di area hidung. Rongga sinus sendiri terdiri dari 4 jenis,
yaitu:

1. Sinus Frontal, terletak di atas mata di tengah setiap alis

2. Sinus maksilaris, terletak di antara tulang pipi, tepat di samping hidung

3. Sinus ethmooid, terletak di antara mata, tepat di belakang tulang hidung


4. Sinus sphenoid, terletak di belakang sinus ethmoid dan di belakang mata

Gejala khas kelainan pada sinus adalah sakit kepala yang dirasakan saat
penderita bangun tidur di pagi hari. Sinusitis memiliki gejala yaitu nyeri tekan dan
pembengkakan pada sinus yang terkena, namun ada gejala tertentu yang timbul
berdasarkan sinus yang terkena:

A. Sinusitis maksilaris menyebabkan nyeri pipi tepat di bawah mata, sakit gigi
dan sakit kepala dan batuk

B. Sinusitis frontal menyebabkan sakit kepala di dahi, panas, sakit kepala dan
nyeri pada gigi.

C. Sinusitis ethmoid menyebabkan rasa sakit di belakang dan di antara mata serta
sakit kepala di dahi. Peradangan pada sinus etmoidalis juga dapat menyebabkan
rasa sakit saat ujung hidung ditekan, indra penciuman berkurang dan hidung
tersumbat.

D. Sinusitis sphenoid menyebabkan rasa sakit yang tidak pasti dan dapat
dirasakan di bagian atas kepala atau di belakang, atau kadang-kadang
menyebabkan sakit telinga dan sakit leher.

e. Gejala lainnya adalah:

- tidak enak badan, pusing

- demam

- lelah, lesu

- batuk, yang mungkin memburuk di malam hari

- hidung meler atau hidung tersumbat6

2.2.7 Diagnosis

2.2.7.1 Anamnesis
Penilaian subyektif didasarkan pada keberadaan dan tingkat keparahan gejala:

• Penyumbatan hidung, kemacetan atau tersumbat

• Keluarnya cairan hidung atau postnasal, sering mukopurulen

• Nyeri atau tekanan pada wajah, sakit kepala, dan

• Pengurangan / kehilangan bau

Selain gejala lokal ini, gejala jauh dan sistemik dapat terjadi. Gejala yang
terkait adalah faring, laring, dan iritasi trakea menyebabkan sakit tenggorokan,
disfonia, dan batuk, dan gejala umum termasuk mengantuk, malaise, dan demam.
Ada sedikit bukti yang dapat dipercaya tentang frekuensi relatif gejala yang berbeda
pada ARS dalam praktik komunitas. Variasi individu dari pola gejala umum ini
sangat banyak. Hanya sebagian kecil pasien dengan rinosinusitis purulen, tanpa
penyakit dada yang berdampingan, mengeluh batuk. Pada pasien dengan kecurigaan
infeksi, sakit wajah atau gigi (terutama jika unilateral) telah ditemukan sebagai
prediktor sinusitis maksilaris akut, ketika divalidasi oleh aspirasi antral maksila atau
radiografi sinus paranasal. Gejala-gejala ARS terjadi tiba-tiba tanpa riwayat gejala
hidung atau sinus menunjukkan gejala yang sudah memburuk secara tiba-tiba
eksaserbasi akut rinosinusitis kronis, yang seharusnya didiagnosis dengan kriteria
yang sama dan dirawat dengan cara yang mirip dengan ARS. 2,9

Pada anak-anak, rinosinusitis akut didefinisikan sebagai onset mendadak dua


atau lebih dari gejala berikut: hidung tersumbat / tersumbat / tersumbat atau
keluarnya cairan hidung atau batuk (siang dan malam) selama <12 minggu.2

Penilaian subyektif harus mempertimbangkan tingkat keparahan dan durasi


gejala Metode yang direkomendasikan untuk menilai tingkat keparahan gejala adalah
dengan penggunaan visual skala analog (VAS) yang direkam oleh pasien pada garis
10cm memberikan skor pada kontinum terukur dari 1 hingga 10. Kuisioner khusus
penyakit yang mengukur kualitas hidup tetapi tidak umum digunakan dalam praktik
klinis; Namun, seorang dokter yang baik akan secara informal menilai dampak ARS
pada pasien mereka sebagai bagian dari penilaian klinis lengkap. VAS bisa digunakan
untuk menilai tingkat keparahan gejala keseluruhan dan individu atau pasien dapat
diminta untuk hanya menilai gejalanya tidak ada, ringan, sedang atau berat.2

Pasien melaporkan purulensi keluarnya hidung telah direkomendasikan


sebagai kriteria diagnostik untuk rinosinusitis bakteri akut, dan diprioritaskan oleh
dokter sebagai fitur yang menunjukkan kebutuhan untuk antibiotik. Namun, rasio
kemungkinan positif untuk cairan hidung (purulen) sebagai gejala (LR + 1,3) dan
pada fisik pemeriksaan (LR + 0,88) tidak mendukung penggunaan cairan purulent
untuk mengidentifikasi asal bakteri.2,8,9

Nyeri wajah atau gigi, terutama ketika unilateral, telah ditemukan menjadi
prediktor sinusitis maksilaris akut. Sinus yang tertahan sekresi pada pasien yang
diduga infeksi bakteri dapat dikonfirmasi oleh aspirasi antral maksila atau radiografi
sinus paranasal . Rasa sakit saat menekuk ke depan dan sakit gigi di rahang atas,
terutama ketika unilateral, sering ditafsirkanoleh dokter sebagai indikasi penyakit
yang lebih parah dan kebutuhan antibiotik, meskipun dengan bukti pendukung yang
terbatas. Kehadiran sakit gigi di rahang atas memiliki kemungkinan positif rasio
untuk kehadiran rinosinusitis bakteri akut 2,0 yang menempatkan gejala ini sebagai
salah satu prediktor tertinggi 2,8

2.2.7.2 Pemeriksaan Fisis

Rinoskopi anterior

Meskipun rhinoskopi anterior saja merupakan investigasi yang sangat


terbatas, itu harus dilakukan dalam layanan primer sebagai bagian dari penilaian
klinis dugaan ARS karena dapat mengungkapkan temuan pendukung seperti
peradangan hidung, edema mukosa dan keluarnya cairan bernanah, dan kadang-
kadang dapat mengungkap temuan yang sebelumnya tidak terduga seperti polip atau
anatomi kelainan.2,8
Suhu

Adanya demam> 38 ° C mengindikasikan adanya penyakit yang lebih parah dan


kemungkinan kebutuhan untuk perawatan yang lebih aktif, terutama dalam
hubungannya dengan gejala yang lebih parah. Demam> 38 ° C secara signifikan
terkait dengan adanya kultur bakteriologis positif, terutama S. pneumoniae dan H.
influenzae, diperoleh dengan aspirasi sinus atau lavage.2,8

Inspeksi dan palpasi sinus

Rinosinusitis akut tidak menyebabkan pembengkakan atau kemerahan daerah


maksilofasial kecuali ada asal gigi ketika rasio odds diagnostik adalah 0,97. 1
Meskipun data dalam literatur terbatas, pada pasien dengan ARS, adanya edema dan
nyeri pada palpasi daerah maksilofasial mungkin mengindikasikan penyakit lebih
parah, membutuhkan antibiotik.8

Endoskopi hidung

Pada tingkat layanan primer, endoskopi hidung umumnya tidak tersedia


secara rutin dan tidak dianggap sebagai pemeriksaan wajib untuk diagnosis ARS.
Kapan tersedia, itu memungkinkan visualisasi yang lebih baik dari spesialis anatomi
hidung dan diagnosis topografi, serta kesempatan untuk mendapatkan bahan untuk
analisis mikrobiologis. Pada penilaian dan pemeriksaan klinis pasien, kemungkinan
variasi antara wilayah geografis dan populasi yang berbeda harus dipertimbangkan.
Iklim, sosial, perbedaan ekonomi dan budaya, serta beragam kesempatan akses
perawatan kesehatan, di antara faktor-faktor lain, mungkin mengubah persepsi
subjektif dari penyakit, serta berpotensi menghasilkan fitur klinis yang aneh.
Pentingnya variabilitas ini tidak diketahui dari sudut pandang ilmuwan.2,8

2.2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

CT-Scan
CT Sinus adalah baku emas untuk pencitraan sinus paranasal. Perannya dalam
sinusitis adalah untuk mengevaluasi pola penyakit, luasnya penyakit, potensi
penyebab mekanis penyakit (seperti obstruksi aliran keluar), dan relevan detail
anatomi untuk perencanaan bedah. Sinus CT adalah tes yang sangat sensitif untuk
sinusitis dan studi normal dengan yakin mengesampingkan sinusitis dari etiologi apa
pun. Namun, temuan pencitraan CT sinus abnormal, termasuk kadar udara-cairan,
penebalan mukosa, dan kekeruhan sinus lengkap, adalah tidak spesifik dan dapat
dilihat dengan kronis sinusitis bakteri atau virus, serta secara maksimal 42% dari
individu sehat tanpa gejala. Studi lain menemukan mukosa itu penebalan dan
kekeruhan adalah hal biasa ditemukan pada pasien dengan flu biasa10

Foto polos

Foto polos memiliki spesifitas yang tinggi untuk melihat gambaran semua
sinus, sensitivitas sebesar 80% untuk sinus maxillaris, dan sensitivitas yang lebih
rendah untuk sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan sinus frontalis. (Aaløkken,
2014). Hal ini serupa dengan Burke et al. (dikutip dalam Aras, 2014), yang
melaporkan bahwa spesifitas foto polos sebesar 96-100% dan sensitivitas foto polos
sebesar 70%. Meskipun demikian, foto polos lebih sering digunakan untuk
menunjang diagnosis sinusitis, dikarenakan pemeriksaan dengan foto polos tidak
membutuhkan biaya yang mahal, tersedianya alat pemeriksaan dalam jumlah yang
memadai di rumah sakit, dan waktu pemeriksaan yang cepat (Aalokken, 2014). Pada
beberapa rumah sakit atau klinik di Indonesia, untuk mengevaluasi sinus paranasal,
cukup dengan dilakukan pemeriksaan foto kepala AP dan lateral serta posisi Waters.
Apabila pada foto dengan posisi tersebut belum dapat menentukan atau belum
didapatkan informasi yang lengkap, maka dilanjutkan dengan pengambilan foto
dengan posisi lainnya11

Posisi rutin yang digunakan untuk menegakkan diagnosis sinusitis adalah


posisi Waters, PA, dan lateral. Posisi waters terutama digunakan untuk melihat
adanya kelainan di sinus maksilaris, frontalis, dan etmoidalis. Posisi postero-anterior
untuk menilai sinus frontalis, dan posisi lateral untuk menilai sinus frontalis,
sfenoidalis dan etmoidalis. Pada foto Waters secara ideal piramis tulang petrosum
diproyeksikan pada dasar maksilaris sehingga kedua sinus maksilaris dapat dievaluasi
seluruhnya. Foto Waters umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada
posisi mulut terbuka akan dapat menilai daerah dinding posterior sinus sfenoidalis
dengan baik.10

Bakterioskopi / biakan sekresi sinus

Diindikasikan dalam kasus refrakter terhadap pengobatan, dan ketika bahan


yang dikumpulkan tidak terkontaminasi. Ini dilakukan oleh tusukan sinus maksilaris
melalui kaninus fossa dan menggunakan endoskop, dengan koleksi yang dilakukan di
meatus tengah.2

Biopsi

Penting untuk mempelajari dan mengklasifikasikan keadaan inflamasi CRS dan


poliposis hidung dan itu diindikasikan untuk diagnosis diferensial penyakit autoimun,
granulomatosa.2

Protein C-reaktif (CRP)

CRP adalah biomarker hematologis (tersedia sebagai uji cepat dekat-pasien pengujian
kit) dan dinaikkan pada infeksi bakteri. penggunaan telah dianjurkan dalam infeksi
saluran pernapasan sebagai membantu menargetkan infeksi bakteri dan dengan
demikian membatasi penggunaan antibiotik yang tidak perlu. CRP rendah atau
normal dapat mengidentifikasi pasien dengan kemungkinan rendah infeksi bakteri
dan yang tidak mungkin butuhkan atau manfaat dari antibiotik. Pengobatan yang
dipandu CRP telah dilakukan terkait dengan pengurangan penggunaan antibiotik
tanpa gangguan hasil dan kadar CRP secara signifikan berkorelasi dengan perubahan
pada CT scan dan CRP yang meningkat merupakan prediksi dari kultur bakteri
positif pada tusukan sinus atau lavage.
Prokalsitonin

Prokalsitonin juga telah dianjurkan sebagai biomarker hematologis yang


mengindikasikan infeksi bakteri yang lebih parah dan diselidiki sebagai alat untuk
membimbing resep antibiotik masuk infeksi saluran pernapasan di masyarakat.
Sebuah ulasan baru-baru ini mengungkapkan dua uji coba terkontrol secara acak
(RCT) yang bertujuan untuk mengurangi resep antibiotik dengan prokalsitonin
sebagai penanda penuntun. Studi-studi ini memang menunjukkan pengurangan resep
antibiotik tanpa efek yang merugikan pada hasil Tingkat sedimentasi eritrosit (ESR)
dan viskositas plasma. Tanda-tanda peradangan seperti ESR dan viskositas plasma
adalah meningkat pada ABRS, dapat mencerminkan tingkat keparahan penyakit dan
dapat mengindikasikan perlunya perawatan yang lebih agresif dengan cara yang mirip
dengan CRP. Level ESR berkorelasi dengan perubahan CT pada ARS (251) dengan
ESR> 10 prediksi kadar cairan sinus atau opasitas sinus pada CT pemindaian. ESR
yang dinaikkan memiliki rasio kemungkinan positif untuk rinosinusitis sebesar 2,61
dan rasio kemungkinan negatif 0,68 , dengan tingkat ERS yang lebih tinggi
meningkatkan kemungkinan kehadiran rinosinusitis. Investigasi tambahan seperti
pencitraan, mikrobiologi dan tindakan oksida nitrat hidung tidak diperlukan dalam
diagnosis ARS dalam praktik rutin.2

2.2.8 Tata Laksana

Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat penyembuhan, 2) mencegah


komplikasi; dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik, Prinsip pengobatan ialah
membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara
alami.6
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut
bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka
sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilln seperti
amoksisilin. Jika dipeftirakan kuman telah resisten atau memproduksi betalaktamasd,
maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2.
Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-'14 hari meskipun gejala klinik sudah
hilang.7
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif
gram dan anaerob.7
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika
diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung
dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena
sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi
berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. lrigasi sinus maksila alau Proetz
displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat.7
lmunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang
berat.7
Tindakan Operasi Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF / FESS)
merupakan operasi terkini untuk slnusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan
ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan
hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal. lndikasinya
berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat; sinusitis kronik
disertai kista atau kelainan yang rreversibel; polip ekstensif , acianya komplikasi
sinusitis serta sinusitis jamur.
2.2.9 Komplikasi

Komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan seringkali


membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya teknologi
diagnostik dan antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari.7

Komplikasi orbita

Sinus etmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita. Pembengkakan


orbita dapat merupakan manifestasi etmoiditis akut, namun sinus frontalis dan sinus
maksilaris juga terletak dekat orbita dan dapat pula menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan:7
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi
orbita akibat infeksi sinus etmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan
pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus etmoidalis
seringkali merekah pada kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara
aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan
dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum
dan bercampur dengan isi orbita tahap ini disertai gejala sisi neuritis optik dan
kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasn gerak otot ekstraokular mata yang
terserang dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis
yang makin bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat
penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus di mana
selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septik.

Komplikasi oseus/tulang
Penyebab tersering dari infeksi tulang adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri takan dahi
setempat yang sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan menggigil.
Pembengkakan di atas alis mata juga sering terjadi dan bertambah hebat bial
terbentuk abses subperiosteal dimana telah terbentuk edema supraorbita dan mata
menjadi tertutup.7

Komplikasi intrakranial

a. Meningitis akut. Infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang


saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior
sinus frontalis atau lamina kribtiformis di dekat sistem sel udara etmoidalis.7
b. Abses dura. Terdapat kumpulan pus di antara dura dan tabula interna kranium,
seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini mungkin timbul lambat sehingga
pasien mungkin hanya mengeluh nyeri kepala, dan sebelum pus yang terkumpul
mampu menimbulkan tekanan intrakranial.7
c. Abses otak. Setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka
dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.7

BAB III

KESIMPULAN

Walaupun sinusitis merupakan terminology yang biasa digunakan jika terjadi


peradangan atau infeksi pada mukosa nasal, terminology ini sebagian besar telah
diubah menjadi rhinosinusitis, karena inflamasi atau infeksi pada hidung sangat erat
kaitannya dengan inflamasi atau infeksi pada sinus-sinus. Terdapat 4 sinus disekitar
hidung yaitu sinus maksilaris, sinus ethmoidalis, sinus frontalis dan sinus
sphenoidalis. Penyebab utama sinusitis adalah infeksi virus, diikuti oleh infeksi
bakteri.
Gejala umum rhinosinusitis yaitu hidung tersumbat disertai dengan rasa nyeri
tekan pada wajah dan ingus purulent, yang seringkali turun ke tenggorokan (post
nasal drip). Klasifikasi dari sinusitis berdasarkan klinis yatu sinusitis akut, subakut,
rekuren, kronik dan kronik eksaserbasi akut.
Tata laksana rhinosinusitis ialah mempercepat penyembuhan, mencegah
komplikasi, mencegah perubahan menjadi kronik Prinsip pengobatan ialah membuka
sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bacterial
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan
anaerob. Terapi lain yang dapat diberikan jika diperlukan adalah analgetik, mukolitik,
steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl, dan antihistamin.
Antihistamin hanya diberikan pada rhinosinusitis alergi. Analgetik dan kompres
hangat dapat diberikan untuk mengurangi nyeri.
Komplikasi yang dapat ditemukan seperti; komplikasi orbita, tulang dan
intrakranial.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fokkens, W.J, et al. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polips.
International Rhinologic Society. 2020
2. Benninger, Micheal S. Cummings Otolaryngology: Acute Rhinosinusitis:
Pathogenesis, Treatment, and Complications. Edisi 6. 2015.
3. Amelia, Nurul Lintang, et al. Prevalensi Rinosinusitis Kronik di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang. Majalah Kedokteran Sriwiaya, Th 49.2017
4. JUNYI ZHANG. Distinguishing the dominant species of pathogen in ethmoidal
sinusitis by sequencing DNA dataset analysis .2018
5. Thiagarajan, Balasubramanian. Anatomy of Paranasal Sinuses. 2012
6. Akbar R, Ibnu Rasyid Munthe, Masrizal A. Jurnal Mantik Jurnal Mantik.
Mobile-Based Natl Univ Online Libr Appl Des 2019;3(2):10–9.
7. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga,
hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2012.h.150-4
8. Anselmo, Wilma T. Brazilian Journal of Othorhinolaryngology: Rhinosinusitis:
evidence and experience.2015
9. Mark, Et al. Accuracy of Signs and Symptoms for the Diagnosis of Acute
Rhinosinusitis and Acute Bacterial Rhinosinusitis. 2019
10. Kroll, Hannes, et al. R-Scan: Imaging for Uncomplicated Acute Rhinosinusitis.
American College of Radiology. 2016
11. Amalia, Putri Shabrina. Gambaran Radiologis Foto Polos Pada Pasien
Sinusinusitis di Rumah Sakit Sekarwangi Periode Juni 2015-2016. Depatement
of ENT, Faculty of Medicine, YARSI, Jakarta. 2018

Anda mungkin juga menyukai