Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

SINUSITIS MAXILLARIS DENTOGEN

Disusun Oleh :
Sefaca Sulistiyanto Jusuf (112022192)

Pembimbing :
dr. Ahmad Fauzi, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT RUMAH SAKIT ANGKATAN


UDARA DR ESNAWAN ANTARIKSA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UKRIDA
PERIODE 6 MARET 2023 – 8 APRIL 2023
LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi referat dengan judul:

SINUSITIS MAKSILARIS DENTOGEN

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik


Ilmu THT RSAU Dr. Esnawan Antariksa periode 6 Maret 2023 – 8 April 2023

Disusun oleh:

Sefaca Sulistiyanto Jusuf

112022192

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Ahmad Fauzi, Sp.THT-KL

Selaku dokter pembimbing Departemen THT-KL Umum RSAU Dr. Esnawan


Antariksa

Jakarta, 25 Maret 2023

Pembimbing

dr. Ahmad Fauzi, Sp. THT-KL


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas nikmat yang diberikan sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Referat dengan judul “Sinusitis
Maksilaris Dentogen”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
dalam Kepaniteraan Klinik di Stase Ilmu THT-KL. Dalam kesempatan kali ini,
penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihakyang telah membantu
dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada dr. Agus
Indro B, Sp. THT-KL selaku pembimbing atas pengarahannya selama penulis
belajar dalam Kepaniteraan Klinik, dan kepada para dokter dan staff Ilmu THT-
KL RSAU Dr. Esnawan Antariksa, serta rekan-rekan seperjuangan dalam
Kepaniteraan Klinik Ilmu THT-KL. Penulis sangat terbuka dalam menerima
kritik dan saran karena penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Jakarta, 25 Maret 2023

Penulis
LEMBAR PENILAIAN

Judul: Sinusitis Maksilaris Dentogen Nilai

Tanggal: Nilai Max. Nilai Dokter

Muda

Ketepatan menyerahkan makalah pada 10

pembimbing

Pendahuluan 3

Epidemiologi 3

Patofisiolofi/Patogensis 7

Gejala Klinis 5

Pemeriksaan Fisik 7

Pemeriksaan 5

Materi Penulisan Penunjang

Penulisan Diagnosis 7

Penatalaksanaan 7

Prognosis 3

Referensi 3

Suara 5

Penyajian Audiovisual Tampilan Slide 5

Penampilan 10

Diskusi Penguasaan Materi 20

Jumlah Nilai 100


Nama dan Paraf Dosen Penguji:

dr. Ahmad Fauzi, Sp. THT-KL


PENDAHULUAN

Sinusitis merupakan istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa
hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan yang
mengalami peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi pengeluaran
finansial masyarakat. Sinusitis dibagi menjadi kelompok akut dan kronik. Secara
anatomi, sinus maksilaris, berada di pertengahan antara hidung dan rongga mulut
dan merupakan lokasi yang rentan terinvasi oleh organisme patogen lewat ostium
sinus maupun lewat rongga mulut.

Masalah gigi seperti penyakit pada periodontal dan lesi periapikal


dilaporkan menyebabkan 58% sampai 78% penebalan mukosa sinus maksilaris.3
Data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit
hidung dan sinus berada dalam urutan ke25 dari 50 pola penyakit peringkat utama
atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Farhat di Medan
mendapatkan insiden sinusitis dentogen di Departemen THT-KL/RSUP H. Adam
Malik sebesar 13.67% dan yang terbanyak disebabkan oleh abses apikal yaitu
sebanyak 71.43%.

Sinusitis maksilaris akut dapat disebabkan oleh rhinitis akut, infeksi faring
seperti faringitis, adenoiditis, tonsillitis akut, infeksi gigi rahang atas P1, P2, serta
Ml, M2, M3 (dentogen). Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab
penting sinusitis. Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi
rahang atas, sehingga rongga sinus maksila hanya dipisahkan oleh tulang tipis
dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi
rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal
mudah menyebar secara langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah dan
limfe. Terdapat sejumlah konsensus, guidelines dan position papers yang
mencakup epidemiologi, diagnosis dan penatalaksanaan sinusitis yang mulai
berkembang. Pada tahun 2005 European Position Paper on Rhinosinusitis and
Nasal Polyps (EP3OS) pertama kali dipublikasikan, dipelopori oleh European
Academy of Allergology and Clinical Immunology (EAACI) dan diterima oleh
European Rhinology Society. Pada tahun 2007, EPOS mengalami revisi seiring
dengan meningkatnya perkembangan baru pada patofisiologi, diagnosis dan
penatalaksanaan sinusitis.
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput


lendir sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan pembentukan
cairan atau kerusakan tulang di bawahnya., terutama pada daerah fossa kanina dan
menyebabkan sekret purulen, nafas bau, post nasal drip. Sinusitis adalah inflamasi
mukosa sinus. Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang
merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.

ANATOMI SINUS

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. 4 pasang sinus
paranasal, sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan
kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke
dalam rongga hidung. Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi
mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan,
kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada
saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior
pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai
pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung.
Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun

Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhimya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk
piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut
fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila,
dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiomya ialah
dasar orbita dan dinding inferiomya ialah prosesus alveolaris dan palatum.
Ostium sinus maksila
berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus
semilunaris melalui infundibulum etmoid

Sinus Frontalis

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri
biasanya tid.ak simetris, satu lebih besar dari pada lain-nya dan dipisahkan oleh
sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya
mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak
berkembang. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebamya 2,4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-
lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuklekuk-d'ihding sinus -
pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan
oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi
dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrenase melalui
ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan
infundibulum etmoid.

Sinus Ethmoid

Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan
lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid
berongga- rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang
terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka
media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan
letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior ypng bermuara di
meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di
bagian terdepan sinus etmoid anterior terdapat bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan
dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat
tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.

Sinus Sphenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus
sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah
2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari
5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian
lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan
tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya ialah, sebelah
superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya
atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis
interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan
dengan fosa serebri posterior di daerah pons

Kompleks Osteomeatal

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-
muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah
ini dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid
yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan
sel- sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.

Sistem Mukosiliar

Di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam
sinus, silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium
alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding
lateral hidung terdapat 2 aliran transpor mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal
dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke
nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok
sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di
postero-superior muara tuba. lnilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-
nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung.

Anatomi Sinus Maksilaris Batas-batas dinding Sinus Maksilaris:


a. Dinding anterior : permukaan fasial os maksila (fossa kanina)
b. Dinding posterior : permukaan infra-temporal maksila
c. Dinding medial : dinding lateral rongga hidung
d. Dinding superior : dasar orbita
e. Dinding inferior : prosesus alveolaris dan palatum

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi Sinus Paranasal antara lain:

a. Sebagai pengatur kondisi udara (air Conditioning)


b. Sebagai penahan suhu
c. Membantu keseimbangan kepala
d. Membantu resonansi suara
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
f. Membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.

Ostium sinus maksilaris berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Sepertiga tengah
dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus
maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini dinamakan kompleks
ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang
prosesus uncinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior
dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila

KLASIFIKASI

a. Sinusitis Akut
Sinusitis yang berlangsung mendadak sampai 4 minggu dan membaik
dengan pengobatan
b. Sinusitis Subakut
Lanjutan dari sinusitis akut dan bertahan hingga kurang dari 12 minggu

c. Sinusitis Akut berulang

Terdapat 4 atau lebih serangan sinusitis pertahun, kemudian sembuh dan


dapat timbul kembali dengan jeda waktu 7 hari.

d. Sinusitis Kronis

Sinusitis yang berlangsung selama 12 minggu atau lebih


ETIOLOGI

Sinusitis maksilaris disebabkan oleh beberapa faktor pejamu yaitu genetik,


kondisi kongenital, alergi dan imun, abnormalitas anatomi. Faktor lingkungan
yaitu infeksi bakteri, trauma, medikamentosa, tindakan bedah. Terjadinya sinusitis
dapat merupakan perluasan infeksi dari hidung (rinogen), gigi dan gusi
(dentogen), faring, tonsil serta penyebaran hematogen walaupun jarang. Sinusitis
juga dapat terjadi akibat trauma langsung, barotrauma, berenang atau menyelam.
Faktor predisposisi yang mempermudah terjadinya sinusitis adalah kelainan
anatomi hidung, hipertrofi konka, polip hidung, dan rinitis alergi.

Penyebab terjadinya sinusitis maksilaris dentogen antara lain :

- penyebab infeksius : patologi gigi dan periodontal yang dapat terjadi


seperti karies gigi, infeksi endodontik yang disebabkan oleh proses karies
dalam yang berkembang dengan komplikasi pulpa dan periapikal dan
terkadang melalui lesi endoparodontal yang kompleks dengan poket
periodontal infraboni sebagai titik awal.
- penyebab iatrogenik : penyebab paling umum dari sinusitis dentogen yaitu
prosedur pengangkatan sinus yang salah, implan gigi dengan dimensi dan
sumbu insersi yang tidak disesuaikan dengan gambaran klinis individu,
benda asing, pencabutan gigi dengan atau tanpa mendorong fragmen akar
ke dalam rongga sinus, bedah ortognatik, bedah celah labio-palatine.
- kista odontogenik dengan keterlibatan sinus
- cedera traumatis pada tulang rahang atas

PATOFISIOLOGI

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium sinus dan lancarnya


klirens mukosiliar (mucociliary clearance) didalam kompleks osteo-meatal. Sinus
dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat
dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda.
Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat
sebagai antimikroba serta mengandungi zat- zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan. Cairan
mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya
berlebihan.

Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya


sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium
sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi yang menyebabkan fungsi
silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang
kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang
baik pada sinus.

Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena
infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga
jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak. Pada pulpa yang terbuka, kuman akan
masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren
pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan
periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses
periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar
menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila
sehingga memicu inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus
serta abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus
sehingga terjadinya sinusitis maksila.

Etiologi peradangan sinonasal akut atau sinusitis mungkin disebabkan oleh


alergen lingkungan, iritasi, infeksi bakteri, jamur, atau masalah gigi termasuk
peradangan, infeksi, atau benda asing. Sinusitis odontogenik paling sering terjadi
pada usia 40- 60 tahun dengan sedikit dominasi wanita. Sekitar 50% pasien akan
melaporkan operasi atau infeksi gigi sebelumnya, namun hanya sepertiga yang
akan melaporkan nyeri gigi terkait. Diperkirakan bahwa 10% kasus sinusitis
maksilaris kronis berasal dari odontogenik,

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini


berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas
sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah sistem
fisiologis dan menyebabkan sinusitis.
MANIFESTASI KLINIS

Gejala sinusitis maksilaris akut berupa demam, malaise, nyeri kepala,


wajah terasa bengkak dan penuh, gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak
(sewaktu naik atau turun tangga), nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk,
sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan berbau busuk.

Gambaran klinis yang sering dijumpai pada sinusitis maksilaris kronik


berupa hidung tersumbat, sekret kental, cairan mengalir di belakang hidung,
hidung berbau, indra pembau berkurang, dan batuk.

Kriteria :

a. Gejala Mayor:

1) Nyeri saat wajah ditekan

2) Kongesti atau rasa penuh pada wajah

3) Hidung tersumbat

4) Demam

b. Gejala Minor:

1) Sakit kepala

2) Lemas

3) Sakit gigi

4) Batuk

Dikatakan sinusitis maksilaris jika ditemukan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor
dan 2 atau lebih gejala minor.

Presentasi klinis sinusitis dentogen bervariasi, tetapi paling sering termasuk gejala
nyeri atau tekanan pada wajah, postnasal drip, hidung tersumbat, rinore anterior
purulen yang mungkin unilateral, bau atau rasa busuk, kelelahan.
PEMERIKSAAN FISIK

Untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus maksilaris dilakukan


inspeksi luar, palpasi, dan sinuskopi. Selain itu perlu dilakukan transiluminasi,
radiologi dan Ct Scan (gold standart).

a) Inspeksi Pemeriksaan yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada


muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna
kemerahmerahan mungkin menunjukan sinusitis maksilaris akut.
b) Palpasi Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya
sinusitis maksilaris.
c) Transiluminasi Pemeriksaan ini menunjukan adanya perbedaan sinus
kanan dan kiri. Sinus yang sakit akan tampak lebih gelap.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan radiologi, foto posisi waters tampak adanya edema mukosa


dan cairan dalam sinus. Jika cairan tidak penuh akan tampak gambaran air fluid
level. CT scan Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus
maksilaris adalah pemeriksaan CT scan. Potongan CT scan yang rutin dipakai
adalah koronal.

PENATALAKSANAAN

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut


bakterial, dimana antibiotik berfungsi untuk menghilangkan infeksi dan
pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang
dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman
telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan
amoksisilinklavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis
antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.
Pemberian antibiotik pada penderita sinusitis kronik harus disesuaikan. Pemberian
antihistamin pada penderita tidak rutin diberikan, karena antihistamin memiliki
sifat antikolinergik yang dapat menyebabkan sekret menjadi lebih kental. Irigasi
sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan
yang dapat bermanfaat dan jika penderita menderita alergi berat maka imunoterapi
harus dipertimbangkan.
KESIMPULAN

Sinusitis merupakan suatu inflamasi pada mukosa hidung dan sinus


paranasal, disertai dua atau lebih gejala dimana salah satunya adalah buntu pada
hidung (nasal blockage/obstruction/congestion) atau nasal discharge
(anterior/posterior nasal drip) ditambah nyeri fasial dan penurunan/hilangnya
daya penciuman. Sinusitis dibagi menjadi dua menurut waktunya, yaitu sinusitis
akut dan sinusitis kronis. Sinusitis akut dapat diobati jika dengan pengobatan
yang tepat. Jika sinusitis akut tidak diobati dengan baik akan terjadi sinusitis
kronis dan memerlukan terapi tambahan. Salah satu penyebab sinusitis maksilaris
adalah infeksi gigi. Perlu untuk edukasi pasien agar menjaga kebersihan gigi agar
keluhan sinusitis dapat diobati dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Fokkens WJ, Lund V, Mullol J, Bachert C, Baroody F, Thomas M, et al.


European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps. Rhinology:
Official journal of the european and international societies. 2012 ;
50(23):1– 298
2. Rosenfeld RM, Piccirillo JF, Chandrasekhar SS, Brook I, Ashok Kumar K,
Kramper M, et al. Clinical practice guideline (update): Adult sinusitis.
Otolaryngol - Head Neck Surg (United States). 2015
3. Beule AG. Epidemiology of chronic rhinosinusitis, selected risk factors,
comorbidities and economic burden. Laryngorhinootologie. 2015 ;
94(1):2– 5.
4. Shi JB, Fu QL, Zhang H, Cheng L, Wang YJ, Zhu DD, et al.
Epidemiology of chronic rhinosinusitis: Results from a cross-sectional
survey in seven Chinese cities. Allergy Eur J Allergy Clin Immunol. 2015
; 70(5):533–9.
5. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar
N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala & leher. 7 th eds. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2012; p. 127– 30.
6. Jebreel A, Wu K, Loke D, Stafford N. Chronic rhinosinusitis: Role of CT
scans in the evaluation of paranasal sinuses. Internet J Otorhinolaryngol.
2012;6(2):1– 3.
7. Benninger MS, Stokken J. Rhinosinusitis : Pathogenesis, treatment and
complications. In: Flint PW, Haughey BH, Lund VJ, Niparko JK, Robbins
T, Thomas R, et al., editors. Cummings otolaryngology. 6th ed. USA:
Saunders, Philadelphia; 2015. p. 703–28.
8. Kern RC, Liddy W. Pathogenesis of chronic rhinosinusitis. In: Flint PW,
Haughey BH, Lund VJ, Niparko JK, Robbins T, Thomas R, et al., editors.
Cummings otolaryngology head and neck surgery 1st. 6th ed. USA:
Saunders Elsevier; 2015. p. 714–22
9. Meltzer EO, Hamilos DL. Rhinosinusitis diagnosis and management for
the clinician: A synopsis of recent consensus guidelines. NCBI. 2011;
86(5):429– 35.
10. Eccles R. Anatomy and physiology of the nose and control of nasal
airflow. In: Bachert C, Calus L, Gevaert P, editors. Middleton’s allergy:
Principles and practice 1st. 8th ed. China: Mosby Elsevier;2013. p. 701–
14.
11. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus paranasal. In: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok Kepala & leher. 7 th eds. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI; 2012. p. 122– 6
12. Referensi diambil dari: file:///C:/Users/bilin/Downloads/1165-1766-1- PB
%20(1).pdf pada tanggal 07 Februari 2021
13. Referensi diunduh dari:
http://digilib.unimus.ac.id/files//disk1/143/jtptunimus-gdl-aryabogiku-
7110-3-babii.pdf pada tanggal 07 Februari 2021
14. Referensi diunduh dari:
https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/96af20e92fa5f683329fbd0e6
b610e70.pdf pada tanggal 07 Februari 2021
15. Trimartani, Hermani B, Dharmabakti USD, editors. Panduan praktik
klinis, panduan praktis klinis tindakan, dan clinical pathway. PERHATI-
KL; Jakarta: Pengurus Pusat PERHATI-KL; 2015.
16. Little RE, Long CM, Loehrl TA, Poetker DM. Odontogenic sinusitis:
A review of the current literature. Laryngoscope Investig
Otolaryngol. 2018 Mar 25;3(2):110-114. doi: 10.1002/lio2.147.
PMID: 29721543; PMCID: PMC5915825.
17. Martu C, Martu MA, Maftei GA, Diaconu-Popa DA, Radulescu L.
Odontogenic Sinusitis: From Diagnosis to Treatment Possibilities-A
Narrative Review of Recent Data. Diagnostics (Basel). 2022 Jun
30;12(7):1600. doi: 10.3390/diagnostics12071600. PMID:
35885504; PMCID: PMC9319441.

Anda mungkin juga menyukai