Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

SINUSITIS

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Kepresidenan Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat Gatot Soebroto

Disusun oleh :

Olivia Nancy - 112016144


Nevy Olianovi - 112017154
Restika Osin Sukur - 112017233

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN


ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO
PERIODE 10 SEPTEMBER – 13 OKTOBER 2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

SINUSITIS

Disusun oleh :

Olivia Nancy - 112016144


Nevy Olianovi - 112017154
Restika Osin Sukur - 112017233

Referat ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu prasyaratan mengikuti
ujian kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok di Rumah Sakit
Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta.

Jakarta, Oktober 2018


Mengetahui,

Pembimbing
dr. Susilaningrum, Sp.THT-KL

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. atas rahmat-Nya sehingga
penyusun dapat menyelesaikan referat dengan judul “Sinusitis”. Referat ini bertujuan untuk
mengetahui tentang kelainan dan mengenali tanda-tanda terjadinya sinusitis secara lebih luas
melalui anatomi sinus paranasal, definisi, klasifikasi, etiologi, epidemiologi, patogenesis, gejala
klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, prognosis, dan pencegahan.
Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat banyak
kekurangan yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran dan kritik
yang membangun guna menambah ilmu dan pengetahuan penyusun dalam ruang lingkup
ilmuTelinga, Hidung dan Tenggorokan, khususnya yang berhubungan dengan referat ini.
Tak lupa penyusun ucapkan terima kasih pada seluruh pembimbing di Departemen THT
RSPAD Gatot Soebroto Jakarta, atas ilmu dan bimbingannya selama ini, khususnya kepada dr.
Susilaningrum, SpTHT selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini. Semoga referat ini
bermanfaat bagi para pembacanya.

3
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................................ 1

Lembar Pengesahan ........................................................................................................ 2

Kata Pengantar ................................................................................................................ 3

Daftar Isi ......................................................................................................................... 4

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 6

I.1 Latar Belakang .................................................................................................... 6

I.2 Batasan Masalah .................................................................................................. 7

1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................................. 7

1.4 Metode Penulisan ................................................................................................ 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 8

II.1 Anatomi................................................................................................................ 9

II.2 Epidemiologi ........................................................................................................ 11

II.3 Definisi & Klasifikasi .......................................................................................... 12

II.4 Etiologi ................................................................................................................. 13

II.5 Patofisiologi ......................................................................................................... 14

II.6 Gejala klinis ......................................................................................................... 16

II.7 Diagnosis ............................................................................................................. 17

II.8 Penatalaksanaan ................................................................................................... 18

II.9 Komplikasi ........................................................................................................... 19

4
II.10 Pencegahan .......................................................................................................... 20

II.11 Prognosa ............................................................................................................... 20

BAB III PENUTUP ........................................................................................................

II.1 Kesimpulan................................................................................................................ 22

II.2 Daftar Pustaka ........................................................................................................... 23

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Data dari
DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-
25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah
sakit.Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas
bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari
7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005
menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69% nya
adalah sinusitis.
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitissehingga sinusitis sering
juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitisadalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan
dan mungkin akan terusmeningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat mengakibatkan
gangguankualitas hidup yang berat, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain
untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejaladan metode diagnosis dari
penyakit rinosinusitis ini.
Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti olehinfeksi bakteri. Secara
epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinusetmoid dan maksila. Yang berbahaya dari
sinusitis adalah komplikasinya keorbita dan intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat
tatalaksana yanginadekuat atau faktor predisposisi yang tak dapat dihindari.
Komplikasi akibat sinus paranasal sangat bervariasi, baik lokal, intra orbital maupun
intrakranial. Sinusitis dengan komplikasi intra orbita adalah penyakit yang berpotensi fatal yang
telah dikenal sejak zaman Hippocrates.1 Diperkirakan bahwa 1 dari 5 pasien mengalami
komplikasi sinusitis sebelum era antibiotik. Pada era antibiotik saat ini 17% dari penderita
dengan selulitis orbita meninggal karena meningitis dan 20% mengalami kebutaaan. Komplikasi
intrakranial sinusitis jarang terjadi pada era antibiotik dimana angka kejadiannya sekitar 4% pada
pasien yang dirawat dengan sinusitis akut atau kronik. Meskipun jarang, komplikasi ini dapat

6
mengancam jiwa akibat komplikasi dari meningitis, epidural empiema serta abses, trombosis
sinus kavernosus, dan abses serebri.2
Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap sinusitis ini menjadi penting karena hal diatas.
Terapi antibiotik diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi hipertrofi, mukosa polipoid dan
atau terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan operasi.

1.2 Batasan Masalah

Referat ini membahas mengenai sinusitis dengan komplikasinya meliputi anatomi dan
fisiologi sinus paranasal, definisi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, diagnosis, pentalaksanaan
dan komplikasi sinusitis.

1.3 Tujuan Penulisan

I.3.1 Mengetahui etiologi dan patofisiologi sinusitis


I.3.2 M engetahui cara mendiagnosis dan penatalaksanaan sinusitis
I.3.3 M engetahui komplikasi dari sinusitis
I.3.4 M engetahui pencegahan dari sinusitis

1.4 Metode Penulisan

Referat ini disusun berdasarkan studi kepustakaan dengan merujuk ke berbagai literatur.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI HIDUNG

Hidung secara anatomi dibagi menjadi dua bagian yaitu hidung bagian luar (nasus
eksterna) dan rongga hidung (nasus interna) atau kavum nasi.

Bagian hidung yang paling menonjol ke depan disebut ujung hidung (apex nasi), pangkal
hidung disebut radiks nasi. Bagian hidung dari radiks hingga apex nasi disebut dorsum nasi.
Lubang hidung yang dipisahkan oleh sekat yang disebut kolumela. Di sebelah lateral nares
dibatasi oleh ala nasi kanan dan kiri.3

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis maksila
dan prosesus nasalis os frontal sedangkan tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hdung yaitu sepasang kertilago nasalis lateralis superior, sepasang
nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor dan tepi anterior kartilago
septum.4

Rongga hidung atau kavum nasi dibagi menjadi dua, kanan dan kiri yang dibatasi oleh
septum nasi yang sekaligus menjadi dinding medial rongga hidung. Kerangka septum dibentuk
oleh lamina prependikularis, kartilago kuadrangularis, tulang vomer, dan krista maksila dan
krista palatina yang menghubungkan septum dengan dasar rongga hidung.Ke arah belakang
rongga hidung berhubungan dengan nasofaring melalui sepasang lubang yang disebut koana
berbentuk lonjong.3

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior, yaitu vestibulum nasi.Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.Tiap kavum nasi mempunyai 4
buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan superior. Dinding medial hidung adalah
septum nasi. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada
bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.4

8
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah
konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka
inferior dan yang terkecil adalah konka suprema yang biasanya rudimenter. Di antara konka-
konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Berdasarkan
letaknya, ada tiga meatus yatu meatus inferior, media, superior.

FISIOLOGI HIDUNG

1. Penghidu
Nervus olfaktorius atau saraf kranial melayani ujung organ pencium. Serabut-
serabut saraf ini timbul pada bagian atas selaput lender hidung, yang dikenal sebagai
bagian olfaktorik hidung. Nervus olfaktorius dilapisi sel-sel yang sangat khusus, yang
mengeluarkan fibril-fibril halus untuk berjalin dengan serabut-serabut dari bulbus
olfaktorius. Bulbus olfaktorius pada hakekatnya merupakan bagian dari otak yang
terpencil, adalah bagian yang berbentuk bulbus (membesar) dari saraf olfaktorius yang
terletak di atas lempeng kribiformis tulang ethmoid. Dari bulbus olfaktorius, perasaan
bergerak melalui traktus olfaktorius dengan perantaraan beberapa stasiun penghubung,
hingga mencapai daerah penerimaan akhir dalam pusat olfaktori pada lobus temporalis
otak, dimana perasaan itu ditafsirkan.5

2. Saluran Pernapasan
Rongga hidung dilapisi selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah, dan
bersambung dengan lapisan faring dan dengan selaput lendir semua sinus yang
mempunyai lubang masuk ke rongga hidung. Daerah pernapasan dilapisi dengan
epithelium silinder dan sel epitel berambut yang mengandung sel cangkir atau sel
lender.Sekresi dari sel itu membuat permukaan nares basah dan berlendir.Diatas septum
nasalis dan konka selaput lender ini paling tebal, yang diuraikan di bawah. Adanya tiga
tulang kerang (konkhae) yang diselaputi epithelium pernapasan dan menjorok dari
dinding lateral hidung ke dalam rongga, sangat memperbesar permukaan selaput lendir
tersebut. Sewaktu udara melalui hidung, udara disaring oleh bulu-bulu yang terdapat di
dalam vestibulum, dan arena kontak dengan permukaan lender yang dilaluinya maka

9
udara menjadi hangat, dan oleh penguapan air dari permukaan selaput lender menjadi
lembab.5

3. Resonator
Ruang atas rongga untuk resonansi suara yang dihasilkan laring, agar memenuhi
keinginan menjadi suara hidung yang diperlukan. Bila ada gangguan resonansi, maka
udara menjadi sengau yang disebut nasolalia.5

KOMPLEKS OSTEOMEATAL (KOM)

Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi
oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah
prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus
frontal.KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari
sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmmoid anteriordan frontal. Jika
terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, makan akan terjadi perubahan patologis yang
signifikan pada sinus-sinus yang terkait.4

SINUS PARANASAL

Sinus paranasal adalah udara yang terdapat pada lubang-lubang tulang tengkorak
tertentu.Ada empat pada setiap sisinya.Sinus paranasal klinis telah dibagi menjadi dua kelompok.

Kelompok Anterior: adalah ethmoidal anterior, maksilaris, dan frontal. Mereka semua berada di
meatus media.

Kelompok Posterior:yaitu sinus ethmoidal posterior yang berada di meatus superior, dan sinus
sphenoid yang ada di reses spheno-ethmoidal.

SINUS MAXILARIS
Adalah sinus paranasal terbesar dan terletak di maksila. Sinus maksilaris berbentuk
piramidal dengan dasar ke arah dinding lateral hidung dan apex mengarah pada lateral ke dalam
prosessus zygomaticus . Rata-rata, sinus maksilaris memiliki kapasitas 15 ml pada orang
dewasa.

10
SINUS FRONTAL
Sinus frontal terletak di antara bagian dalam dan luar tulang frontal di atas margin supra
orbital.Sinus frontalis dapat bervariasi dalam bentuk dan ukuran dan sering dilokalisasi.Dua
sinus frontal sering asimetris.

SINUS ETHMOIDALIS
Sinus ethmoidal adalah rongga udara berdinding tipis pada massa lateral tulang ethmoid.
Jumlahnya bervariasi dari 3 hingga 18. Ethmoidal menempati ruang antara sepertiga atas dinding
hidung lateral dan dinding medial orbita. Sel ethmoidal secara klinis dibagi menjadi grup
ethmoid anterior yang membuka ke meatus media dan grup ethmoid posterior yang membuka ke
meatus superior.

SINUS SPHENOID
Sinus sphenoid terletak pada os sphenoid. Dibagi menjadi duayang jarang simetris dan
dipisahkan oleh septum tulang tipis. Ostium dari sinus sphenoid terletak di bagian atas dinding
anterior dan mengalir ke reses sphenoethmoidal.

2.2 Epidemiologi

Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia, terutama di tempat
dengan polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin, dengan konsentrasi pollen yang tinggi
terkait dengan prevalensi yang lebih tinggi dari sinusitis. Sinusitis maksilaris adalah sinusitis
dengan insiden yang terbesar. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit
hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.

Di Amerika Serikat, lebih dari 30 juta orang menderita sinusitis. Virus adalah penyebab
sinusitis akut yang paling umum ditemukan. Namun, sinusitis bakterial adalah diagnosis
terbanyak kelima pada pasien dengan pemberian antibiotik. Lima milyar dolar dihabiskan setiap
tahunnya untuk pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan
operatif sinusitis di Amerika Serikat.

11
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis sering juga
disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan
mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan
kualitas hidup yang berat.6

2.3 Definisi dan Klasifikasi

Sinusitis adalah peradangan yang terjadi pada rongga sinus paranasal. Sinusitis bisa
terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau
sfenoidalis). Sinusitis lebih sering terkena pada sinus maksilaris dikarenakan merupakan sinus
paranasal yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret tergantung
dari gerakan silia, dasarnya adalah akar gigi, ostium sinus maksilaris terletak di meatus medius,
disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.Apabila mengenai beberapa
sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis.7

Sinusitis dapat dibagi berdasarkan letak anatomi (sinusitis maksilaris, frontalis, etmoid,
dan sfenoidalis), berdasarkan organisme penyebab (virus, bakteri dan fungi), berdasarkan ada
tidaknya komplikasi ke luar sinus (seperti adanya komplikasi osteomyelitis pada tulang frontal)
dan secara klinis sinusitis dapat dikatagorikan sebagai sinusitis akut bila gejalanya berlangsung
dari beberapa hari sampai 4 minggu, sinusitis subakut berlangsung lebih dari 4 minggu tapi
kurang dari 3 bulan dan sinusitis kronik bila lebih dari 3 bulan.

Berdasarkan beratnya penyakit, rhinosinusitis dapat dibagi menjadi ringan, sedang dan berat
berdasarkan total skor visual analogue scale (VAS) (0-10cm)7:

- Ringan = VAS 0-3


- Sedang = VAS >3-7
- Berat= VAS >7-10

Nilai VAS > 5 mempengaruhi kualitas hidup pasien

Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi atas :

12
1. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Contohnya rinitis akut
(influenza), polip, dan septum deviasi.
2. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering menyebabkan sinusitis
infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre molar dan molar). Bakteri penyebabnya adalah
Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenza, Steptococcusviridans, Staphylococcus
aureus, Branchamella catarhatis.

2.4 Etiologi

Agen etiologi sinusitis dapat berupa virus, bakteri atau jamur.Sinusitis virus biasanya
terjadi selama infeksi saluran napas atas; virus yang lazim menyerang hidung dan nasofaring
juga menyerang sinus. Mukosa sinus paranasalis berjalan kontinu dengan mukosa hidung, dan
penyakit virus yang rnenyerang hidung perlu dicurigai dapat meluas ke sinus.8
Pada sinusitis bakteri, edema dan hilangnya fungsi silia nornral pada infeksi virus
menciptakansuatu lingkungan yang ideal untuk perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini
seringkali rnelibatkan lcbih dari satu baktcri. Organisme penyebab sinusitis akut mungkin sama
dengan penyebab otitis media. Yang sering ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun
adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, bakteri anerob, Branhamella
catarrhalis, streptokokalfa, Stoplrylococcus oureus, danStreptococcus pyogenes. Selama suatu
fase akut, sinusitis kronik dapat disebabkan oleh bakteri yang sama sepertiyang menyebabkan
sinusitis akut.
Namun, karena sinusitis kronik biasanya berkaitan dengan drainase yang tidak adekuat
ataupun fungsi mukosiliar yang terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung
oportunistik, di mana proporsi terbesar merupakan bakteri anaerob.Akibatnya, biakan rutin
tidakmemadai dan diperlukan pengambilan sampel secara hati-hati untuk bakteri anaerob.
Bakteri aerobyang sering ditemukan dalarn frekuensi yang makin menurun antara lain
Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans, Haemophilus influenzae, Neisseria flavus,
Staphylococcus epidermidis, Streptococcuspneumoniae, dan Escherichia coli.Bakteri anaerob
termasuk Peptostreptococcus, Corynebacterium,Bacteroides, danVeillonella. Infeksi campuran
antara organisme aerob dan anaerob seringkali terjadi.6

13
2.5 Patofisiologi

Sinus biasanya steril dalam kondisi fisiologis.Sekresi yang dihasilkan di sinus mengalir
oleh aktivitas silia melalui ostia dan mengalir ke rongga hidung.Pada individu yang sehat, aliran
sekresi sinus selalu searah (yaitu, menuju ostia), yang mencegah kontaminasi kembali sinus.
Pada kebanyakan individu, sinus maksilaris memiliki ostium tunggal (diameter 2,5 mm, 5 mm2di
area cross-sectional) yang berfungsi sebagai satu-satunya saluran keluar untuk drainase. Saluran
tipis ini menduduki sebagian besar dinding medial rongga sinus dalam posisi tidak bergantung.
Kemungkinan besar, edema mukosa pada 1- hingga 3-mm ini menjadi sesak dengan beberapa
cara (misalnya alergi, virus, iritasi kimia) yang menyebabkan obstruksi stasis saluran keluar dari
sekresi dengan tekanan negatif, yang menyebabkan infeksi oleh bakteri.9
Lendir yang tertahan, ketika terinfeksi, menyebabkan sinusitis. Mekanisme lain
berhipotesis bahwa karena sinus bersambungan dengan rongga hidung, bakteri yang
terkolonisasi di nasofaring dapat mengontaminasi sinus steril lainnya. Bakteri ini biasanya
dikeluarkan dengan pembersihan mukosiliar; dengan demikian, jika pembersihan mukosiliar
diubah, bakteri dapat diinokulasi dan infeksi dapat terjadi, yang menyebabkan sinusitis.9
Patofisiologi rinosinusitis terkait dengan 3 faktor:
 Obstruksi saluran drainase sinus (sinus ostia)
 Kerusakan silia
 Perubahan kuantitas dan kualitas lendir

Obstruksi Drainase Sinus


Obstruksi ostia sinus mencegah drainase lendir yang normal.Ostia dapat diblokir oleh
pembengkakan mukosa atau penyebab lokal (misalnya, trauma, rhinitis), serta oleh gangguan
sistemik dan gangguan kekebalan terkait peradangan tertentu.Penyakit sistemik yang
mengakibatkan penurunan pembersihan mukosiliar, termasuk fibrosis kistik, alergi pernapasan,
dan primary ciliary dyskinesia(sindrom Kartagener), dapat menjadi faktor predisposisi untuk
sinusitis akut dalam kasus yang jarang.Pasien dengan defisiensi imun (misalnya,
agammaglobulinemia, gabungan imunodefisiensi variabel, dan imunodefisiensi dengan
penurunan imunoglobulin G [IgG] - dan imunoglobulin A [IgA] -seluruh sel) juga terdapat
peningkatan risiko yang mengembangkan sinusitis akut.9

14
Obstruksi mekanis karena polip hidung, benda asing, septum deviasi, atau tumor juga dapat
menyebabkan penyumbatan ostial.Secara khusus, variasi anatomi yang mempersempit kompleks
ostiomeatal, termasuk deviasi septum, membuat area ini lebih sensitif terhadap obstruksi
terhadap peradangan mukosa. Biasanya, tepi mukosa edematosa terlihat bergerigi, tetapi pada
kasus yang parah, lendir mungkin sepenuhnya mengisi sinus, sehingga sulit untuk membedakan
proses alergi dari sinusitis infeksi. Secara karakteristik, semua sinus paranasal terpengaruh dan
turbinat nasal yang berdekatan membengkak.Hipoksia di dalam sinus yang terobstruksi diduga
menyebabkan disfungsi siliaris dan perubahan dalam produksi lendir, yang semakin merusak
mekanisme normal untuk pembersihan lendir.9

Gangguan Fungsi Silia


Bertentangan dengan model sebelumnya dari fisiologi sinus, pola drainase sinus paranasal
tidak bergantung pada gravitasi tetapi pada mekanisme transpor mukosiliar.Koordinasi
metakronus dari sel epitel kolumnar bersilia mendorong isi sinus ke arah ostia sinus.Setiap
gangguan fungsi silia menyebabkan akumulasi cairan di dalam sinus. Fungsi silia yang buruk
dapat terjadi akibat hilangnya sel epitel silia; aliran udara yang tinggi; virus, bakteri, atau
ciliotoxins lingkungan; mediator inflamasi; kontak antara 2 permukaan mukosa; bekas luka; dan
sindrom Kartagener.Aktivitas silia dapat dipengaruhi oleh faktor genetik, seperti sindrom
Kartagener.Sindrom Kartagener berhubungan dengan silia yang lumpuh dan karenanya retensi
sekresi dan predisposisi terhadap infeksi sinus. Fungsi silia juga berkurang dengan adanya pH
rendah, anoxia, asap rokok, racun kimia, dehidrasi, dan obat-obatan (misalnya, obat
antikolinergik dan antihistamin).9
Paparan racun bakteri juga dapat mengurangi fungsi siliaris.Sekitar 10% kasus sinusitis
akut dihasilkan dari inokulasi langsung sinus dengan sejumlah besar bakteri.Abses gigi atau
prosedur yang menghasilkan komunikasi antara rongga mulut dan sinus dapat menghasilkan
sinusitis oleh mekanisme ini.Selain itu, aktivitas silia dapat terpengaruh setelah infeksi virus
tertentu.Beberapa faktor lain dapat menyebabkan gangguan fungsi siliaris. Udara dingin
dikatakan “menyengat” epitel siliaris, menyebabkan gangguan gerakan siliaris dan retensi sekresi
di rongga sinus.Sebaliknya, menghirup udara kering mengeringkan lapisan mukosa sinus, yang
menyebabkan berkurangnya sekresi. Setiap lesi massa dengan saluran udara hidung dan sinus,
seperti polip, benda asing, tumor, dan pembengkakan mukosa dari rinitis, dapat memblokir ostia

15
dan mempengaruhi sekresi yang ditahan dan infeksi berikutnya. Trauma wajah atau inokulasi
besar dari berenang dapat menghasilkan sinusitis juga. Minum alkohol juga dapat menyebabkan
mukosa hidung dan sinus membengkak dan menyebabkan gangguan drainase mukosa.9

Kualitas dan Kuantitas Lendir yang Berubah


Sekresi sinonasal memainkan peran penting dalam patofisiologi rinosinusitis.Mukosa yang
melapisi sinus paranasal mengandung mucoglycoproteins, imunoglobulin, dan sel-sel inflamasi.
Mukosa ini terdiri dari 2 lapisan: (1) lapisan serosa dalam (yaitu, fase sol) di mana silia pulih dari
gerakan aktif mereka dan (2) lapisan luar, lebih kental (yaitu, fase gel), yang diangkut oleh
gerakan silia. Keseimbangan yang tepat antara fase sol dalam dan fase gel luar adalah sangat
penting untuk pembersihan mukosiliar normal.9
Jika komposisi lendir berubah, sehingga lendir yang dihasilkan lebih kental (misalnya,
seperti pada cystic fibrosis), transportasi menuju ostia melambat secara signifikan, dan lapisan
gel menjadi lebih tebal.Ini menghasilkan kumpulan lendir tebal yang disimpan di sinus untuk
berbagai periode.Berkurangnya sekresi atau hilangnya kelembaban di permukaan yang tidak
dapat dikompensasi oleh kelenjar lendir atau sel goblet, lendir menjadi semakin kental, dan fase
sol dapat menjadi sangat tipis, sehingga memungkinkan fase gel untuk memiliki kontak intens
dengan silia dan menghalangi aktivitas mereka. Overproduksi lendir dapat membanjiri sistem
pembersihan mukosiliar, menghasilkan sekresi yang ditahan di dalam sinus.9

Sinusitis Akut dalam Pengaturan Perawatan Intensif


Sinusitis akut pada populasi perawatan intensif adalah perwujudan yang berbeda, terjadi
pada 18-32% pasien dengan periode intubasi yang lama, dan biasanya didiagnosis selama
evaluasi demam yang tidak dapat dijelaskan.Kasus di mana penyebabnya adalah obstruksi
biasanya jelas dan dapat mencakup adanya intubasi nasogastrik atau nasotrakeal yang
berkepanjangan. Selain itu, pasien dalam pengaturan perawatan intensif umumnya lemah,
membuat predisposisi mereka untuk komplikasi septik, termasuk sinusitis.9

2.6 Manifestasi klinis

Gejala rinosinusitis bakteri akut termasuk yang berikut:


 Nyeri atau tekanan pada wajah (terutama unilateral)

16
 Hyposmia/anosmia
 Hidung tersumbat
 Drainase hidung
 Postnasal drip
 Demam
 Batuk
 Kelelahan
 Nyeri gigi maksila
 Telinga penuh

2.7 Diagnosis
Pemeriksaan Fisik

Inspeksi
Yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada muka.Pembengkakan di pipi
sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahan mungkin menunjukkan sinusitis
maksila akut.Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal
akut. Sinusitis etmoid akut jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila telah
terbentuk abses.4
Palpasi
Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis
maksila.Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal yaitu pada bagian
medial atap orbita. Sinus etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius.4
Transiluminasi
Transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk
memeriksa sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologi tidak
tersedia. Bila pada pemeriksaan transiluminasi tampak gelap di daerah orbita, mungkin
berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di
dalam antrum.4

17
Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksila, akan tampak terang pada
pemeriksaan transiluminasi, sedangkan pada foto rontgen tampak adanya perselubungan berbatas
tegas di dalam sinus maksila.4
Transiluminasi pada sinus frontal hasilnya lebih meragukan. Besar dan bentuk kedua sinus
ini seringkali tidak sama. Gambaran yang terang berarti sinus berkembang dengan baik dan
normal, sedangkan gambaran yang gelap mungkin berarti sinusitis atau hanya menunjukkan
sinus yang tidak berkembang.4

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Radiologi
Bila dicurigai adanya kelainan di sinus paranasal, maka dilakukan pemeriksaan
radiologi. Posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan lateral. Posisi Waters
terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi
postero-anterior untuk menilai sinus frontal dan lateral untuk menilai sinus frontal,
sphenoid, etmoid. Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus
paranasal adalah pemeriksaan CT Scan. Potongan CT Scan yang rutin dipakai adalah
koronal dan aksial. Indikasi utama CT Scan hidung dan sinus paranasal adalah sinusitis
kronik, trauma dan tumor.4

Sinoskopi
Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskopi.Endoskopi
dimasukkan melalui lubang yang yang dibuat di meatus inferior atau fosa kanina. Dengan
sinoskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada secret, polip, jaringan granulasi,
massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa dan apakah ostiumnya terbuka.4

2.8 Penatalaksanaan

Pengobatan harus berupa terapi infeksi dan faktor-faktor penyebab infeksi secara
berbarengan. Disamping terapi obat-obatan yang memadai dengan antibiotik dan dekongestan,
juga perlu diperhatikanpredisposisi kelainan obstruktif dan tiap alergi yang mungkin ada.8

18
Tindakan bedah sederhanapada sinusitis maksilaris kronik adalah membuat suatu lubang
drainase yang memadai.Proseduryang paling lazim adalah nasoantrostomi atau pembentukan
fenestra nasoantral.Sepotong dinding medial meatus inferior dilcpaskan guna memungkinkan
drainase gravitasionaldan ventilasi, dan dengan demikian mernungkinkan pula regenerasi
membrana mukosa yang sehat dalamsinus maksilaris.Suatu prosedur yang lebih radikal
dinamakan menurut dua ahli bedah yang mempopulerkannya- operasi Caldwell-Luc. Pada
prosedur bedah ini, epitel rongga sinusmaksilaris diangkat seluruhnya dan pada akhir prosedur
dilakukan antrostomi untuk drainase sesuaicara yang dijelaskan sebelumnya. Hasil akhir
memuaskan karena membran mukosa yang sakit telahdiganti oleh mukosa nonnal atau terisi
dengan jaringan parut lambat.Pembedahan sinus endoskopik, merupakan suatu teknik yang
memungkinkan visualisasi yang baikdan magrifikasi anatomi hidung dan ostium sinus nonnal
bagi ahli bedah, teknik ini menjadi popular akhir-akhir ini.8

2.9 Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotika.


Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi
akut. Komplikasi yang dapat terjadi adalah:

Komplikasi Orbita

Komplikasi ini dapat terjadi karena letak sinus paranasal yang berdekatan dengan mata
(orbita). Sinusitis etmoidalis merupakan penyebab komplikasi orbita yang tersering kemudian
sinusitis maksilaris dan frontalis. Terdapat lima tahapan terjadinya komplikasi orbita ini.6

a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan


b. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita
namun pus belum terbentuk
c. Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis
d. Abses periorbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita

19
e. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena ke dalam sinus kavernosus di mana selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis
septic.

Komplikasi Intrakranial

Komplikasi ini dapat berupa meningitis, abses epidural, abses subdural, abses otak.

Kelainan Paru

Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelaian paru ini disebut sinobronkitis.
Sinusitis dapat menyebabkan bronchitis kronis dan bronkiektasis. Selain itu juga dapat timbul
asma bronkhial.

2.10 Pencegahan

Tidak ada cara yang pasti untuk menghindari baik sinusitis yang akut atau kronis. Tetapi di
sini ada beberapa hal yang dapat membantu:

- Menghindari kelembaban sinus - gunakan saline sprays atau sering diirigasi.


- Hindari lingkungan indoor yang sangat kering.
-
Hindari terpapar yang dapat menyebabkan iritasi, seperti asap rokok atau aroma bahan
kimia yang keras.10

2.11 Prognosis

Sinusitis tidak menyebabkan kematian yang signifikan.Namun, sinusitis dengan komplikasi


dapat menyebabkan morbiditas dan, dalam kasus yang jarang, kematian.Sekitar 40% kasus
sinusitis akut sembuh secara spontan tanpa antibiotik.Obat spontan untuk sinusitis virus adalah
98%.Pasien dengan sinusitis akut, ketika diobati dengan antibiotik yang tepat, biasanya
menunjukkan perbaikan yang cepat. Tingkat kambuh setelah pengobatan yang berhasil adalah
kurang dari 5%.9

20
Dengan tidak adanya respons dalam waktu 48 jam atau perburukan gejala, evaluasi kembali
pasien. Rinosinusitis yang tidak diobati atau tidak diobati dapat menyebabkan komplikasi seperti
meningitis, tromboflebitis sinus kavernosa, selulitis orbital atau abses, dan abses otak.9
Pada pasien dengan rinitis alergi, pengobatan agresif dari tanda-tanda edema mukosa, yang
dapat menyebabkan obstruksi saluran keluar sinus, dapat menurunkan sinusitis sekunder. Jika
adenoid terinfeksi secara kronis, menghilangkan adenoid untuk mengurangi infeksi dan dapat
menurunkan infeksi sinus.9

21
BAB III
3. 1 Kesimpulan

Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, yaitu sinus frontal, sinus etmoid, sinus maksila,
dan sinus sfenoid. Sinus paranasal dalam kondisi normal mengalirkan sekresi dari mukosa ke
daerah yang berbeda dalam kavum nasi.

Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksivirus,
bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yangada
(maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis). Sinusitis bisa bersifat akut(berlangsung
selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat
berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun).

Keluhan utama sinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri atau tekanan pada
wajah dan sekret purulen, yang seringkali turun ke tenggorokan (post nasal drip). Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Prinsip
penatalaksanaan sinusitis adalah mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi dan
mencegah perubahan menjadi kronik.

Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 % akan sembuh secara spontan
tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bisa mengalami relaps setelah pengobatan
namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5 %. Komplikasi dari penyakit ini bisa terjadi akibat
tidak ada pengobatan yang adekuat yang nantinya akan dapat menyebabkan komplikasi orbita
atau intrakranial.

22
3.2 Daftar Pustaka

1. Hilger PD. Disease of Parasanal Sinuses. Adam GL Boies LRJK Hilger Fundametal of
Oyolaryngology,6th ed. Philadelphia ; Sounders Company, 1990.p49 – 270
2. Blumenthal MN. Alergic Conditions in Otolaryngology Patients. Adam GL, Boies LR Jr.
Hilger P. (Eds). Boies Fundametal of Otolaryngology, 6th ed. Philadelphia 1989, 195 – 205.
3. Herawati S, Rukmini S. Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok untuk mahasiswa
kedokteran gigi. Jakarta: EGC; 2015. h. 8-11.
4. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala&leher. Edisi ke-7. Jakarta: FKUI; 2012. h. 96-130.
5. Pearce EC. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: Gramedia; 2009.
6. Mangunkusumo Endang, Soetjipto Damajanti. Sinusitis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta: FKUI,2010: h. 152
7. Waguespack R, 1995, Mucociliary Clearance Patterns Following Endoscopic Sinus Surgery,
Laryngoscope(Supplement):p 1-40
8. Boies A. Buku ajar penyakit tht. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2015. h. 171-260
9. Brook I. Acute sinusitis. 2018. Diunduh dari https://emedicine.medscape.com/article/232670
pada tanggal 30 september 2018
10. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F, Soejak S.
Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p 81-91

23

Anda mungkin juga menyukai