Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

“PNEUMONIA”

Disusun Oleh :
Sita Ardhya Prameswari Sayekti

1920221174

Diajukan Kepada :
Pembimbing

dr. Endang Prasetyowati, Sp.A

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian


Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ambarawa

Telah disetujui
Tanggal :

Disusun oleh :

Sita Ardhya Prameswari Sayekti

1920221174

Fakultas Kedokteran UPN ”Veteran” Jakarta

Ambarawa, Februari 2020


Pembimbing,

dr. Endang Prasetyowati, Sp.A


BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit pneumonia pada balita merupakan salah satu masalah kesehatan


yang belum dapat terselesaikan di Indonesia. Menurut Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia (2018) pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan
paru-paru (alveoli). Pneumonia dapat disebabkan oleh virus, bakteri, parasit,
maupun jamur. Bakteri tersering penyebab pneumonia pada balita adalah
Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influenza. Pneumonia merupakan
masalah kesehatan dunia karena angka kematiannya tinggi, tidak saja di negara
berkembang tetapi juga di negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan
negara-negara Eropa.

Pada Profil Kesehatan Republik Indonesia data tahun 2017 didapatkan


angka insiden pneumonia di Indonesia sebesar 20,54 per 1000 balita. Jumlah kasus
pneumonia balita di Indonesia tahun pada tahun 2013 hingga 2017 mengalami
kenaikan dan penurunan. Pada tahun 2013 ditemukan kasus pneumonia balita
sebanyak 571.547 kasus. Kasus tersebut mengalami kenaikan pada tahun 2014
menjadi 657.490 kasus. Penurunan angka kasus terjadi pada tahun 2015 dengan
besaran 554.650 kasus. Namun, pada tahun 2016 kembali mengalami kenaikan
hingga sebanyak 568.146 kasus dan menurun pada tahun 2017 sebesar 511.434
kasus.

Diagnosis pneumonia ditegakkan secara klinis berdasarkan kriteria


organisasi kesehatan sedunia WHO (World Health Organization) yaitu ditemukan
adanya batuk atau sesak napas dan takipne serta pada auskultasi terdengar ronki,
suara napas menurun atau suara napas bronkial. Subjek dikelompokkan pneumonia
berat bila selain temuan yang telah disebutkan juga ditemukan salah satu dari gejala,
retraksi, merintih, atau napas cuping hidung. Sedangkan pneumonia sangat berat bila
selain gejala/ tanda pneumonia berat juga ditemukan salah satu dari gejala, sianosis
sentral, tidak bisa minum, muntah, kejang, letargi, kesadaran menurun atau anggukan
kepala.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus


respiratorius dan alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat
mengganggu pertukaran oksigen dan karbon dioksida di paru-paru. Pneumonia
adalah infeksi pada parenkima paru akut yang ditandai dengan adanya infiltrat pada
pemeriksaan radiografik paru.

II.2 Epidemiologi

Penyakit infeksi traktus respiratorius bagian bawah masih menjadi


penyebab kematian yang tinggi di dunia, yaitu pada urutan ke-4 dengan jumlah
kematian 3,1 juta orang pada tahun 2012. Persebaran pneumonia di dunia tidaklah
seimbang, dengan adanya angka yang lebih tinggi pada negara berkembang atau
negara dengan pendapatan rendah jika dibandingkan dengan negara maju.

II.3 Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri,


virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas yang diderita oleh masyarakat luar
negeri banyak disebabkan gram positif, sedangkan pneumonia rumah sakit banyak
disebabkan gram negatif. Dari laporan beberapa kota di Indonesia ditemukan dari
pemeriksaan dahak penderita komunitas adalah bakteri gram negatif.

Penyebab paling sering pneumonia yang didapat dari masyarakat dan nosokomial:

a. Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia, Mycoplasma


pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella pneumophila, chlamydia
pneumonia, anaerob oral, adenovirus, influenza tipe A dan B.
b. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli, Klebsiella
pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus.

2
III. 4 Faktor Resiko
Faktor resiko yang meningkatkan kemungkinan terjadinya pneumonia
adalah faktor usia, faktor lingkungan, gaya hidup, dan faktor penyakit medis
lainnya. Pneumonia dapat mengenai segala umur namun yang memiliki risiko
tinggi terkena pneumonia adalah anak atau bayi berusia kurang dari sama dengan
dua tahun dan seseorang yang berusia lebih dari sama dengan 65 tahun. Pajanan zat
kimia, polutan, dan zat toksik lainnya kemudian kebiasaan merokok, minum
alcohol, dan asupan yang kurang bernutrisi merupakan faktor lingkungan dan gaya
hidup yang dapat meningkatkan kemungkinan individu menderita pneumonia.
Adanya penurunan kesadaran yang menyebabkan tidak dapat beraktivitas normal
atau sedasi, penyakit paru seperti kista, influenza, fibrosis, dan COPD, penggunaan
ventilator di rumah sakit, dan kondisi imun yang rendah merupakan faktor risiko
terjadinya pneumonia pada individu.

III. 5 Manifestasi Klinis


Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan
hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat,
mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan
perawatan di RS.
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak
adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yag luas,
gejala klinis yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya
penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi non infeksi yang relatif lebih
sering dan faktor patogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan
faktor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga
perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat
ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:

• Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
napsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang-
kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner

3
• Gejala gangguan respiratori untuk batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,
napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.

Pasien biasanya mengalami demam tinggi, batuk, gelisah, rewel, dan sesak
nafas. Pada bayi, gejalanya tidak khas, seringkali tanpa demam dan batuk. Anak
besar kadang mengeluh sakit kepala, nyeri abdomen disertai muntah.
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok
umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada,
grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih tua jarang ditemukan grunting.
Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan
iritabel.
Pada auskultasi, dapat terdengar suara pernapasan menurun. Fine creackles
(ronki basah halus) yang khas pada anak besar, bisa tidak ditemukan pada bayi.
Gejala lain pada anak besar adalah dull (redup) pada perkusi, vokal fremitus
menurun, suara nafas menurun, dan terdengar fine creakles (ronkhi basah halus) di
daerah yang terkena. Iritasi pleura akan mengakibatkan nyeri dada; bila berat
gerakan dada menurun waktu inspirasi, anak berbaring ke arah yang sakit dengan
kaki fleksi. Rasa nyeri dapat menjalar ke leher, bahu dan perut.
II.6 Patogenesis

Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer


melalui saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang
mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian
paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin,
eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut
stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat
fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat.
Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag
meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan
debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner
jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.

4
II.7 Diagnosis
Pneumonia pada anak umunya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang
menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor
paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala
respiratori berikut: takipnea, batuk, nafas cuping hidung, retraksi, ronki dan suara
nafas melemah.
Tanda bahaya pada anak:
1. Usia 2 bulan – 5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun,
stridor, dan gizi buruk
2. Tanda bahaya pada anak berusia dibawah 2 bulan adalah malas minum, kejang,
kesadaran menurun, stridor, mengi dan demam/badan terasa dingin.

Berikut adalah kalsifikasi pneumonia berdasarkan pedoman diagnosis dari WHO:

Usia 2 bulan – 5 tahun

• Pneumonia berat:
- Pernapasan cuping hidung
- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
- Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi)
- Napas cepat:

5
Anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali/menit
Anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit
Anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali/menit
- Suara merintih (grunting) pada bayi muda
- Pada auskultasi terdengar:
Crackles (ronki)
Suara pernapasan menurun
Suara pernapasan bronkial
- Harus dirawat dan diberikan antibiotik
• Pneumonia ringan
- Bila tidak ada sesak nafas
- Ada nafas cepat dengan laju nafas:
Ø >50x/menit untuk anak usia 2 bulan-11 bulan
Ø >40x/menit untuk anak > 1-5 tahun
- Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral

• Bukan pneumonia
- Bila tidak ada nafas cepat dan sesak nafas
- Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan
simtomatis seperti penurun panas

Usia < 2 bulan

• Pneumonia
- Bila ada nafas cepat (>60x/menit) atau sesak nafas
- Harus dirawat dan diberikan antibiotik
• Bukan pneumonia
- Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas
- Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis.

II.8 Pemeriksaan penunjang


1. Darah Perifer Lengkap
Pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma
umumnya ditemukan leukosit dalam batas normal ataus sedikit meningkat.

6
Akan tetapi, pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar
antara 15.000-40.000/mm3 dengan predominan PMN. Leukopenia (
>5.000/mm3) menunjukan prognosis yang buruk. Leukositosis hebat (<
3.000/ mm3) hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri, sering
ditemukan pada keadaan bakteriemi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih
tinggi. Pada infeksi Chalmydia pneumoniae kadang-kadang ditemukan
eosinofiilia. Efusi pleura merupakan cairan eksudat dengan sel PMN
berkisar antara 300-100.000/mm3, protein >2,5 g/dl, dan glukosa relatif
lebih rendah daripada glukosa darah. Kadang-kadang terdapat anemia
ringan dan laju endap darah (LED) yang meningkat. Secara umum, hasil
pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan
antara infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti.
2. C- Reactive Protein (CRP)
CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit.
Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat
distimulasi oleh sitokin, terutama inteleukin (IL) -6, IL-1, dan TNF.
Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan
dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel yang rusak. Kadar CRP biasanya
lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis daripada
infeksi bakteri profunda. CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi
respon terapi antibiotik.
3. Uji serologi
Uji serologi untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi
bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan
tetapi, diagnosis infeksi streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan
peningkatan titer antibodi seperti antistreptolisin O, streptozim, atau anti
Dna se B. Peningkatan titer dapat juga berarti adanya infeksi terdahulu.
Untuk konfirmasi diperlukan serum fase akut dan serum fase konvalesen
4. Pemeriksaan mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di Rs. Untuk
pemeriksaan mikrobiologis spesimen dapat berasal dari usap tenggorok,

7
sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru.
diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan
pleura, atau aspirasi paru. kecuali pada masa neonatus, kejadian bakteremia
sangat rendah sehingga kultur darah jarang yang positif. Spesimen yang
memenuhi syarat adalah sputum yang mengandung lebih dari 25 lekosit dan
kurang dari 40 sel epitel/ lapangan pada pemeriksaan mikroskopis dengan
pemebesaran kecil.
5. Rontgen toraks
Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang
diagnosis pneumonia di Instalasi gawat darurat hanyalah pemeriksaan
rontgen toraks posisi AP. Posisi lateral tidak meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas penegakan diagnosis pneumonia pada anak. Foto AP lateral
hanya dilakuakan pada pasien dengan tanda dan gejala klinik distress
pernapasan.
Gambaran foto rongen toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat
ringan pada satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. pada suatu
penelitian ditemukan bahwa lesi pneumonia pada anak terbanyak berada di
paru kanan, terutama lobus atas. Bila ditemukan di paru kiri, dan terbanyak
di lobus bawah, maka hal itu merupakan prediktor perjalanan penyakit yang
lebih berat dengan resiko terjadinya pleuritis lebih meningkat.
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan
kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat
intersisial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus.
Infiltrat alveolar berupa konsolidari segmen atau lobar, bronkopneumonia
dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada
pneumonia stafilokokus sering ditemukan abses-abses kecil dan
pneumatokel dengan berbagai ukuran. Jika terdapat gambaran retikonodular
fokal pada satu lobus, hal ini cenderung disebabkan oleh infeksi
mikoplasma. Demikian pula bila terlihat gambaran perkabutan atau ground
glass consolidation, serta transient pseudoconsolidation karena infiltrat
intersisial yang konfluens, patut dipertimbangkan adanya infeksi
mikoplasma.

8
II. 9 Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya toksis, distres
pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada komplikasi dan terutama
mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan
klinis pneumonia harus dirawat inap. Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap
adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif.
Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi
terhadap gangguan keseimbangan asam-basa, elektrolit dan gula darah. Untuk nyeri
dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. kompilasi yang mungkin terjadi
harus dipantau dan diatasi.

1. Pneumonia rawat jalan


Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotika lini pertama secara
oral, misalnya kotrimoksazol 4mg/kg BB/kali 2 kali sehari selama 3 hari atau
amoksisilin 25 mg/kgBB/kali 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien HIV
diberikan selama 5 hari. Edukasi orangtua untuk membawa kembali anaknya
setelah 2 hari, atau lebih cepat kalau keadaan anak memburuk atau tidak bisa
minum atau menyusu.
Ketika anak kembali:
• Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu
makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari.
• Jika frekuensi pernapasan, demam dan nafsu makan tidak ada
perubahan, ganti ke antibiotik lini kedua dan nasihati ibu untuk
kembali 2 hari lagi.
• Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit.

2. Pneumonia rawat inap


• Terapi Antibiotik
Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam),
yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi
respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan

9
di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (15 mg/ kgBB/kali tiga
kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang
berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya,
kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka
ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan
pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.
Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari).
Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan buat foto
dada.
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin
(7.5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasilin (50 mg/kgBB IM atau IV setiap
6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari –3 kali pemberian). Bila keadaan
anak membaik, lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin) secara oral 4 kali
sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara
oral selama 2 minggu.
• Terapi Oksigen
Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat
Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen
(berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila tersedia oksigen yang
cukup). Lakukan periode uji coba tanpa oksigen setiap harinya pada anak yang
stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian
oksigen setelah saat ini tidak berguna
Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal. Penggunaan
nasal prongs adalah metode terbaik untuk menghantarkan oksigen pada bayi
muda. Masker wajah atau masker kepala tidak direkomendasikan. Oksigen
harus tersedia secara terus-menerus setiap waktu. Perbandingan terhadap
berbagai metode pemberian oksigen yang berbeda dan diagram yang
menunjukkan penggunaannya terdapat pada bagian

10
Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat atau napas > 70/menit) tidak
ditemukan lagi.
• Perawatan penunjang
- Bila anak disertai demam (> 39º C) yang tampaknya menyebabkan distres,
beri parasetamol.
- Bila ditemukan adanya wheeze, beri bronkhodilator kerja cepat
- Bila terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan
oleh anak, hilangkan dengan alat pengisap secara perlahan.
- Pastikan anak memperoleh kebutuhan cairan rumatan sesuai umur anak,
tetapi hati-hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi.
- Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral.
Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan rumatan
dalam jumlah sedikit tetapi sering. Jika asupan cairan oral mencukupi, jangan
menggunakan pipa nasogastrik untuk meningkatkan asupan, karena akan
meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. Jika oksigen diberikan bersamaan dengan
cairan nasogastrik, pasang keduanya pada lubang hidung yang sama.
Bujuk anak untuk makan, segera setelah anak bisa menelan makanan. Beri makanan
sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai kemampuan anak dalam menerimanya.

• Pemantauan

Anak harus diperiksa oleh perawat paling sedikit setiap 3 jam dan oleh dokter
minimal 1 kali per hari. Jika tidak ada komplikasi, dalam 2 hari akan tampak
perbaikan klinis (bernapas tidak cepat, tidak adanya tarikan dinding dada, bebas
demam dan anak dapat makan dan minum).

II. 10 Komplikasi
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis
purulenta, pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmuner seperti meningitis purulenta.
Empiema torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia
bakteri

11
II.11 Prognosis
Pada umumnya anak akan sembuh dari pneumonia dengan cepat dan
sembuh sempurna, walaupun kelainan radiologi dapat bertahan selama 6-8 minggu
sebelum kembali ke kondisi normal. Pada beberapa anak, pneumonia dapat
berlangsung lebih lama dari 1 bulan atau dapat berulang. Pada kasus seperti ini
kemungkinan adanya penyakit lain yang mendasari harus dinvestigasi lebih lanjut,
seperti dengan uji tuberkulin, pemeriksaan hidroklorida keringat untuk penyakit
kistik fibrosis, pemeriksaan imunoglobulin serum dan determinasi sub kelas IgG,
bronkoskopi untuk identifikasi kelaianan anatomis atau mencari benda asing, dan
pemeriksaan barium meal untuk refluks gastroesofageal.

II. 12 Pencegahan
Vaksin influenza yang diberikan tiap tahun dianjurkan untuk seluruh anak
berusia 6 bulan- 18 tahun. Bayi 6 bulan sampai dengan anak usia 5 tahun memiliki
risiko tinggi terjadinya komplikasi dari influenza yang dilemahkan dapat diberikan
pada pasien 2-49 tahun. Beberapa vaksin trivalen telah memiliki lisensi untuk
digunakan sejak berusia 6 bulan. vaksinasi universal sejak masa kanak-kanak
dengan vaksinasi H. Influenza tipe B terkonjungasi dan S.pneumonia telah
menurunkan insidens terjadinya pneumonia secara bermakna. Keparahan suatu
infeksi RSV dapat dikurangi dengan menggunakan palivisumab pada pasien yang
beresiko tinggi.
Upaya mengurangi durasi ventilasi mekanik dan pemberian antibiotik
dengan bijaksana dapat menurunkan pneumonia akibat ventilator. Tempat tidur
pada bagian kepala harus dinaikan setinggi 30-45 derajat pada pasien terintubasi
untuk meminimalisasi risiko aspirasi dan semua instrumen penghisap lendir dan
cairan saline harus steril. Cuci tangan baik sebelum dan setelah kontak dengan
setiap pasien dan menggunakan sarung tangan steril ketika menggunakan prosedur
invasif sangat penting untuk mencegah terjadinya penularan infeksi nosokomial.
Untuk mencegah pneumonia perlu partisipasi aktif dari masyarakat atau
keluarga terutama ibu rumah tangga, karena pneumonia sangat dipengaruhi oleh
kebersihan di dalam dan di luar rumah. Pencegahan pneumonia bertujuan untuk
menghindari terjadinya penyakit pneumonia pada balita.

12
Berikut adalah upaya untuk mencegah terjadinya penyakit pneumonia :

1. Perawatan selama masa kehamilan


Untuk mencegah risiko bayi dengan berta badan lahir rendah, perlu gizi ibu
selama kehamilan dengan mengkonsumsi zat-zat bergizi yang cukup bagi
kesehatan ibu dan pertumbuhan janin dalam kandungan serta pencegahan
terhadap hal-hal yang memungkinkan terkenanya infeksi selama kehamilan.
2. Perbaikan gizi balita
Untuk mencegah risiko pneumonia pada balita yang disebabkan karena
malnutrisi, sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI pada bayi neonatal
sampai umur 2 tahun. Karena ASI terjamin kebersihannya, tidak terkontaminasi
serta mengandung faktor-faktor antibodi sehingga dapat memberikan
perlindungan dan ketahanan terhadap infeksi virus dan bakteri. Oleh karena itu,
balita yang mendapat ASI secara ekslusif lebih tahan infeksi dibanding balita
yang tidak mendapatkannya.
3. Memberikan imunisasi lengkap pada anak
Untuk mencegah pneumonia dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi yang
memadai, yaitu imunisasi anak campak pada anak umur 9 bulan, imunisasi DPT
(Difteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada umur 2 bulan, 3 bulan
dan 4 bulan.
4. Memeriksakan anak sedini mungkin apabila terserang batuk.
Balita yang menderita batuk harus segera diberi pengobatan yang sesuai untuk
mencegah terjadinya penyakit batuk pilek biasa menjadi batuk yang disertai
dengan napas cepat/sesak napas.
5. Mengurangi polusi didalam dan diluar rumah
Untuk mencegah pneumonia disarankan agar kadar debu dan asap diturunkan
dengan cara mengganti bahan bakar kayu dan tidak membawa balita ke dapur
serta membuat lubang ventilasi yang cukup. Selain itu asap rokok, lingkungan
tidak bersih, cuaca panas, cuaca dingin, perubahan cuaca dan dan masuk angin
sebagai faktor yang memberi kecenderungan untuk terkena penyakit
pneumonia.

6. Menjauhkan balita dari penderita batuk.

13
Balita sangat rentan terserang penyakit terutama penyakit pada saluran
pernapasan, karena itu jauhkanlah balita dari orang yang terserang penyakit
batuk. Udara napas seperti batuk dan bersin-bersin dapat menularkan
pneumonia pada orang lain. Karena bentuk penyakit ini menyebar dengan
droplet, infeksi akan menyebar dengan mudah. Perbaikan rumah akan
menyebabkan berkurangnya penyakit saluran napas yang berat. Semua anak
yang sehat sesekali akan menderita salesma (radang selaput lendir pada hidung),
tetapi sebagian besar mereka menjadi pneumonia karena malnutrisi.

14
BAB III
KESIMPULAN

Pneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru. Klasifikasi pneumonia


berdasarkan umur, yaitu pada usia kurang dari 2 bulan diklasifikasikan sebagai
pneumonia berat dan bukan pneumonia, pada usia 2 bulan sampai 5 tahun
pneumonia diklasifikasikan sebagai pneumonia berat, pneumonia dan bukan
pneumonia. Penanganan pneumonia yaitu pemberian oksigen, antibiotik serta
pengobatan simptomatis. Pneumonia pada umumnya dapat sembuh sempurna jika
cepat terdiagnosa serta mendapatkan terapi yang adekuat.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Hartati S, Nurhaeni N, Gayatri D. Faktor Risiko Terjadinya Pneumonia pada


Anak Balita. J Keperawatan Indonesia. 2012;15(1):13–20.
2. Kliegman, RM, Behrman, RE, Jenson, HB, Stanton, BS 2015, Nelson
TexTBook of Pediatrics, ed 18, Elsevier, Philadelphia
3. Pechere JC. Pneumonia no single definition. Dalam: Community aquired
pneumonia in children. International Forum Series. Edisi pertama. Cambridge
Medical Publications, Wellingborough 1995.h.1-6.
4. Pneumonia Ringan. 2016. Hospital Care For Children
http://www.ichrc.org/421-pneumonia-ringan
5. Pneumonia Berat Diagnosis dan Tatalaksana. 2016. Hospital Care For Children
http://www.ichrc.org/422-pneumonia-berat-diagnosis-dan-tatalaksana
6. Pneumonia Berat: Perawatan Penunjang, Pemantauan, Dan Komplikasi.
2016. Hospital Care For Children http://www.ichrc.org/422-pneumonia-berat-
perawatan-penunjang-pemantauan-dan-komplikasi
7. Prober CG. Pneumonia. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, eds.
Nelson textbook of pediatrics edisi ke-15. Saunders, Philadelphia 1996.h. 716-
21.
8. Rahajoe N, Supriyanto B, setyanto D. Respirologi anak. Edisi ke-1. Jakarta:
IDAI; 2013
9. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian RI tahun 2013. Diakses: 2 Oktober 2016, dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%20 2013.pdf.
10. Ryusuke O. Tugas Responsi Mendeley [Internet]. 2017. Available from:
https://ejournal.unisayogya.ac.id
11. Sari EF, Rumende CM, Harimurti K. Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan
Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut. J Penyakit Dalam Indones.
2017;3(4):183.
12. Sari MP, Cahyati WH. HIGEIA JOURNAL OF PUBLIC HEALTH Tren
Pneumonia Balita di Kota Semarang Tahun 2012-2018. 2019;3(3):407–16.

16
13. Subanada IB, Purniti NPS. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Pneumonia Bakteri pada Anak. Sari Pediatr. 2016;12(3):184.
14. Supriyono, Baequny A, Hidayati S, Hartono M, Harnany AS. Pengaruh
perilaku dan status gizi terhadap kejadian TB paru di kota Pekalongan. Pena
Med J Kesehat. 2013;4(1):8.
15. Vinogradova Y, Hippisley-Cox J, Coupland C. Identification of new risk
factors for pneumonia: Population-based case-control study. Br J Gen Pract.
2009;59(567):742–9.
16. Walker R, Whittlesea C. 2012. Clinical Pharmacy and Therapeutics : Fifth
Edition. London: Churchill Livingstone Elsevier.
17. Woodhead M, Aliyu S, Ashton C, Brown J, Eccles S, Greenwood S, et al. NICE
Clinical Guideline 191: Pneumonia in adults: diagnosis and management.
2014;(September 2019). Available from:
https://www.nice.org.uk/guidance/cg191

17

Anda mungkin juga menyukai