Anda di halaman 1dari 65

PRAKTIS

Treatment of Peripheral Nerve Tumors


ISSN: 0125-913 X I 179 / vol. 37 no. 6 / Agustus 2010

455

http.//www.kalbe.co.id/cdk

CDK 179 / vol. 37 no. 6 / Agustus 2010

Erosi Dasar Tengkorak dan Kelainan Saraf Kranial pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RS. H. Adam Malik Medan

HASIL PENELITIAN

Stetoskop-Stetoskop Masa Depan

OPINI

Prof. Dr. Bambang Hermani, SpTHT (K) Teknologi THT Semakin Canggih, Sehingga Bedah Otak Saat ini Melalui Jalur THT Terlebih Dahulu

PROFIL

ed-1ed_179 1 UntitCDK led-3.indd 1 Agustus-September'10 DR.indd 403

6/26/2010 11:51:24 3:00:44 PM 7/26/2010 5:28:59 7/27/2010

Petunjuk untuk Penulis

CDK

menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, bisa berupa tinjauan kepustakaan ataupun hasil penelitian di bidang-bidang tersebut, termasuk laporan kasus. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh CDK; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah berisi 2.000 - 3.000 kata ditulis dengan program pengolah kata seperti MS Word, spasi ganda, font Eurostile atau Times New Roman 10 pt. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grak/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas- jelasnya dan telah dimasukkan dalam program MS Word. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9).

DAFTAR ISI
Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik Vimala Acala, Kartono Sudarman, Anton Christanto, Slamet Widodo Erosi Dasar Tengkorak dan Kelainan Saraf Kranial pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RS. H. Adam Malik Medan Deltri Munir, Ramsi Lutan, Muzakkir Zam-Zam, Chairul Abdi Hubungan antara Stadium Polip Nasi dengan Fungsi Ventilasi dan Drainase Telinga Tengah berdasarkan Gambaran Timpanogram Iin Fatimah Hanis, Sutji Pratiwi Raharjo, R. Boy Arfandy, Nani.I.Djufri Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media Supuratif Kronis Tutie Ferika Utami, Kartono Sudarman, Bambang Udji Djoko Rianto, Anton Christanto Hubungan antara Rintis Kronis dan Gambaran Sinusitis pada Foto Waters Dewi Ayu Paramita, Suyono, Kristanto Yuli Yarsa, Mardiatmo, Wachid Putranto Introduction of Student Oral Case Analysis (SOCA) to Assess Students Performance in Pre-clinical Setting in Faculty of Medicine, Mataram University Eustachius Hagni Wardoyo, Bobby Marwal Syahrizal, Dyah Purnaning, Ida Ayu Eka Widiastuti, Ardiana Ekawanti, Muhammad Farid Wajdi Epulis Gigantocellulare Azamris BERITA TERKINI Beberapa Tip Menurunkan Tekanan Darah Epirubicin dan Cyclophosphamide dengan Transtuzumab pada trial HERCULES Eprotirome, Hormon Tiroid Analog, Menurunkan Kadar Kolesterol Pasien Dislipidemia yang Diterapi dengan Statin Review Kriteria Diagnostik dan Skrining DM bagi Dokter Keluarga Efektitas Penggunaan Preparat Sodium Divalproat Lepas Berkesinambungan (Extended Release/ER) pada Terapi Gangguan Bipolar Kombinasi Testosteron dan Progestogen sebagai alternatif Kontrasepsi Pria BCAA untuk Anoreksia Pasien Kanker Aktivitas SOD pada Kanker Prostat dan BPH Keefektifan Chlorhexidine Gel Intra-alveolar pada Alveolar Osteitis dan Komplikasi Perdarahan pada Pembedahan Molar Ketiga Mandibular Pasien dengan Gangguan Perdarahan Nutraseutikal Kombinasi Terbaru untuk Terapi Hiperkolesterolemia PRAKTIS OPINI INFORMATIKA KEDOKTERAN PROFIL LAPORAN KHUSUS INFO PRODUK GERAI ANTAR SEJAWAT AGENDA RPPIK
| AGUSTUS 2010

409

415

419

425

Contoh : 1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974 ; 457-72. 3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan lariasis di Indonesia. CDK. 1990; 64: 7-10. Jika pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk softcopy / CD atau melalui e-mail ke alamat : Redaksi CDK Jl. Letjen Suprapto Kav. 4 Cempaka Putih, Jakarta 10510 E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id Tlp: (021) 4208171. Fax: (021) 42873685 Mengingat saat ini CDK sudah dapat diakses lewat internet (online) maka (para) penulis hendaknya menyadari bahwa makalah yang diterbitkan juga akan dapat lebih mudah dimanfaatkan oleh lingkungan yang lebih luas. Korespondensi selanjutnya akan dilakukan melalui e-mail; oleh karena itu untuk keperluan tersebut tentukan contact person lengkap dengan alamat e-mailnya.

431

434 437 441 442

443 444

445 447 449 450

451 453 455 458 461 465 467 474 476 477 479 480
405

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga tempat kerja si penulis.

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 405

7/26/2010 5:29:40 PM

PRAKTIS

Treatment of Peripheral Nerve Tumors


ISSN: 0125-913 X I 179 / vol. 37 no. 6 / Agustus 2010

146

http.//www.kalbe.co.id/cdk

Erosi Dasar Tengkorak dan Kelainan Saraf Kranial pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RS. H. Adam Malik Medan

HASIL PENELITIAN

Stetoskop-Stetoskop Masa Depan

OPINI

Prof. Dr. Bambang Hermani, SpTHT (K) Teknologi THT Semakin Canggih, Sehingga Bedah Otak Saat ini Melalui Jalur THT Terlebih Dahulu

PROFIL

EDITORIAL
Di antara penyakit/masalah THT yang umum didapatkan di kalangan masyarakat dan juga sudah menjadi istilah awam adalah penyakit amandel, yang terutama menjadi masalah di kalangan anak-anak; bahkan di masa lalu masa liburan sekolah merupakan masa tonsilektomi ! Sebenarnya banyak hal lain di bidang THT yang perlu diketahui, antara lain rinitis alergi dan sinusitis yang sebenarnya tidak jarang dijumpai ; topik ini yang antara lain menjadi pokok bahasan di edisi CDK kali ini - kaitannya dengan gambaran radiologi perlu dipahami untuk mencegah pemeriksaan yang tidak perlu. Artikel lain yang mungkin menarik bagi kalangan pendidikan ialah penilaian SOCA - umpan balik ini perlu untuk menilai seberapa jauh manfaatnya bagi proses belajarmengajar di fakultas kedokteran. Pengalaman sejawat di pusat pendidikan lain kami tunggu untuk dijadikan bahan perbandingan. Ditambah dengan berita terkini dari berbagai sumber , semoga bisa memenuhi kebutuhan sejawat akan berita kedokteran yang mutakhir. Selamat membaca,

Redaksi

406

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 406

7/23/2010 10:32:56 PM

Redaksi Kehormatan
Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, MScD, PhD
Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

Prof. Dr. Abdul Muthalib, SpPD KHOM

ISSN: 0125-913 X http://www.kalbe.co.id/cdk

Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. Dr. Djoko Widodo, SpPD-KPTI


Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. DR. Dr. Charles Surjadi, MPH


Pusat Penelitian Kesehatan Unika Atma Jaya Jakarta

Prof. DR. Dr. H. Azis Rani, SpPD, KGEH


Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. DR. Dr. Sidartawan Soegondo, SpPD, KEMD, FACE


Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

DR. Dr. Abidin Widjanarko, SpPD-KHOM


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Kanker Dharmais, Jakarta

DR. Dr. med. Abraham Simatupang, MKes


Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta

Prof. Dr. Sarah S. Waraouw, SpA(K)


Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado

Prof. DR. Dr. Rully M.A. Roesli, SpPD-KGH


Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Dr. Aucky Hinting, PhD, SpAnd


Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya

DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJP


Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Prof. DR. Dra. Arini Setiawati


Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Prof. Dr. Faisal Yunus, PhD, SpP(K)


Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/SMF Paru RS Persahabatan, Jakarta

Susunan Redaksi
Ketua Pengarah Dr. Boenjamin Setiawan, PhD Pemimpin Umum Dr. Kupiya Timbul Wahyudi Ketua Penyunting Dr. Budi Riyanto W. Manajer Bisnis Nofa, S.Si, Apt. Dewan Redaksi Dr. Artati Dr. Irwan Widjaja Dr. Esther Kristiningrum Dr. Dedyanto Henky Dr. Harvian Satya Dharma Dr. Yoska Yasahardja Tata Usaha Dodi Sumarna

Prof. DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK


Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Dr. R.M. Nugroho Abikusno, MSc., DrPH


Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta

Prof. DR. Dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS


Fakultas KedokteranUniversitas Udayana Denpasar, Bali

Prof. DR. Dr. Ignatius Riwanto, SpB(K)


Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS Dr. Kariadi, Semarang

Dr. Tony Setiabudhi, SpKJ, PhD


Universitas Trisakti/ Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia, Jakarta

Prof. DR. Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAI


Sub Dept. Alergi-Imunologi, Dept. Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Dr. Prijo Sidipratomo, SpRad(K)


Departemen Radiologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. DR. Dr. Johan S. Masjhur, SpPD-KEMD, SpKN


Departemen Kedokteran Nuklir Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Dr. Hendro Susilo, SpS(K)


Dept. Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr. Soetomo, Surabaya

Prof. DR. Dr. Darwin Karyadi, SpGK


Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat

Dr. Ike Sri Redjeki, SpAn KIC, M.Kes


Bagian Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

| AGUSTUS 2010

407

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 407

7/26/2010 5:30:15 PM

ENGLISH SUMMARY

Skull Base Erosion and Cranial Nerve Palsy among Nasopharyngeal Carcinoma Patients in H. Adam Malik Hospital, Medan, Indonesia
Delfitri Munir, Ramsi Lutan, Muzakkir Zam-Zam, Chairul Abdi
Department of ENT, H. Adam Malik Hospital, Medan, Indonesia

deafness, social isolation, decrease in prestige and productivity, even causing handicap and death due to complications and disease process. A large percentage of chronic otitis media is still difcult to cure. Doctors usually assume that inammation is caused by bacterial infections. Thus, antibiotics are generally prescribed for treatment. But recurrent inammation may be caused by allergic rhinitis; in CBSOM this possibility cannot be overlooked. Objective. To study the presence of allergic rhinitis as a risk factor in CBSOM. Method and Material. This is a case control study at the ENT polyclinic, Dr. Sardjito Hospital. Patients with CBSOM as case group compared with patients without ear complaints as control group. Risk factors to allergic rhinitis was assessed through history taking, anterior rhinoscopic examination and skin prick test. Data analysis used X2 test and logistic regression analysis. Results. A total of 50 patients as cases and 50 patients as controls underwent allergic rhinitis diagnosis. Forty patients (80%) from case group and 8 patients (16%) from control group were positive for allergic rhinitis. The difference is signicant (p = 0,001) which shows that allergic rhinitis is a risk factor for CBSOM. The risk of suffering CBSOM is 21 times more frequent in allergic rhinitis patients compared to controls (OR = 21, IK = 95% : 7,53% 58,56%). Conclusion. Allergic rhinitis is a risk factor for CBSOM. Key words: CBSOM, allergic rhinitis, risk factor
CDK 2010; 37(6): 425-29

Correlation between Chronic Rhinitis and Sinusitis on Waters X-ray


Dewi Ayu Paramita*, Suyono*, Kristanto Yuli Yarsa**, Mardiatmo*, Wachid Putranto***
Department of Radiology*, Department of Histology**, Department of Internal Medicine*** Faculty of Medicine, Sebelas Maret University/ Dr. Moewardi Hospital, Surakarta, Indonesia

Skull base erosion and cranial nerve palsy are complications of nasopharyngeal carcinoma (NPC). These complications can be caused by primary or metastatic tumor. Among 37 NPC patients in H. Adam Malik Hospital, Medan during 2004, we found 27 % with skull base erosion and 59,5 % with cranial nerve palsies, mostly n. VI. Keywords: Undifferentiated Ca, Non keratinizing Ca, Keratinizing squamous Ca, Foramen lacerum, Sella turcica, Os petrosum.
dm,rl,mz,ca CDK 2010; 37(6): 415-18

Objective: To nd correlation between chronic rhinitis and sinusitis on Waters view Xray photo. Method: This study is observational with cross sectional approach, conducted from January to June 2008. Samples are Waters view lms at Radiology Department of Dr. Moewardi Hospital Surakarta. Result: Total samples analyzed were 91. There is strong correlation between chronic rhinitis and sinusitis imaging on Waters view (p value = 0,002; OR 3,78). Conclusion: Subject with rhinitis have 3,78 bigger possibility to have sinusitis in imaging. Key words: chronic rhinitis, sinusitis, Waters view
CDK 2010; 37(6): 431-33

Allergic Rhinitis is a Risk Factor for Chronic Benign Suppurative Otitis Media
Tutie Ferika Utami, Kartono Sudarman, Bambang Udji Djoko Rianto, Anton Christanto.
Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery Department, Faculty of Medicine Gadjah Mada University/Dr. Sardjito Hospital, Yogyakarta, Indonesia

Background. Chronic benign suppurative otitis media (CBSOM) is a common disease in developing countries especially Indonesia. The prevalence of CBSOM in Indonesia is 2,1 5,2%. Inadequate management can cause
| AGUSTUS 2010

408

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 408

7/26/2010 5:30:48 PM

HASIL PENELITIAN

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik
Vimala Acala, Kartono Sudarman, Anton Christanto, Slamet Widodo
Bagian Telinga Hidung dan Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RS DR. Sardjito, Yogyakarta, Indonesia

LATAR BELAKANG Rinosinusitis adalah peradangan mukosa nasal dan sinus paranasal, dikatakan kronis apabila berlangsung paling sedikit 12 minggu. Penegakan diagnosis rinosinusitis merupakan masalah di fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak memiliki CT-Scan, atau biaya CT-Scan yang mahal; sehingga masih menggunakan foto polos. Masalah saat ini adalah validitas foto polos di RS Sardjito, bahkan di Indonesia belum pernah diteliti. Tujuan: Menentukan validitas foto polos sinus paranasal 3 posisi untuk menegakkan diagnosis rinosinusitis kronik. Desain dan metode: Penelitian ini menggunakan desain uji diagnostik. Sampel diambil mulai bulan Januari sampai Maret 2007 di poliklinik RSUP DR.Sardjito secara consecutive sampling. Kritera inklusi adalah penderita tersangka rinosinusitis kronik (kriteria task force), memiliki foto polos sinus paranasal 3 posisi, memiliki CT scan potongan koronal. Kriteria eksklusi adalah pernah menjalani operasi sinus sebelumnya, terdiagnosis tumor sinonasal, catatan medis tidak lengkap. Analisis statistik menggunakan diagnostic test. Hasil: Sensitivitas = 85,7% Spesisitas = 33,3% Nilai duga positif = 75% Nilai duga negatif = 50% Rasio kecenderungan positif = 1,28 Rasio kecenderungan negatif = 0,42

Simpulan: Foto polos SPN 3 posisi valid untuk mendiagnosis rinosinusitis kronis. Kata kunci: rinosinusitis kronik, foto polos sinus paranasal 3 posisi, CTScan, diagnosis PENDAHULUAN Rinosinusitis (RSK) merupakan istilah yang lebih tepat karena sinusitis jarang tanpa didahului rinitis dan tanpa melibatkan inamasi mukosa hidung. Rinosinusitis menjadi penyakit berspektrum inamasi dan infeksi mukosa hidung dan sinus paranasal(1). Rinosinusitis didenisikan sebagai gangguan akibat inamasi mukosa hidung dan sinus paranasal; dikatakan kronik apabila telah berlangsung sekurangnya 12 minggu(1). Sinus paranasalis seperti bagian alat pernafasan lain, dilapisi oleh epitel pseudostratied kolumner berlapis semu bersilia(2). Mukosa sinus paranasal merupakan kelanjutan mukosa kavum nasi meskipun lebih tipis(3). Membran basal tampak lebih tipis, jaringan subepitel memiliki jaringan ikat tipis yang melekat kuat pada periosteum, dan kelenjar seromusin relatif lebih sedikit. Sinus paranasalis mempunyai sistem mukosilia, terdiri dari gabungan epitel bersilia dan lapisan mukus, berfungsi proteksi dan melembapkan udara inspirasi. Lapisan mukus didorong oleh silia menuju ke ostium sinus. Transportasi mukus sinus diawali dari

dasar sinus dengan gerakan menyerupai bintang, sepanjang dinding depan, medial, posterior dan lateral, serta atap sinus bertemu di ostium (3,4,5). PATOFISIOLOGI Penyakit sinus terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor atau kombinasi faktor-faktor tersebut mengubah siologi dan menimbulkan rinosinusitis. Obstruksi ostium menimbulkan drainase tidak adekuat, berakibat penumpukan cairan dalam sinus; pada sinus maksilaris menjadi penting karena mukus dibersihkan melawan pengaruh gravitasi (3). Obstruksi menyebabkan hipoksi lokal dalam sinus, menimbulkan perubahan pH, kerusakan epitel dan fungsi silia. Cairan dalam sinus menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri, menimbulkan inamasi jaringan dan penebalan mukosa sehingga menambah obstruksi ostium. KLASIFIKASI RSK ditandai penebalan mukosa, hiperplasi sel goblet, brosis subepitel dan inamasi permanen. Remodelling mukosa sinus mengarah pada gangguan keseimbangan antara deposit dan degradasi kolagen dan matriks protein lain. Peningkatan sintesis broblas merupakan respon adanya aktivasi eosinol beserta produknya, termasuk probrotic transforming growth factor- (TGF-). Sel inamasi yang banyak terdapat di sinus an-

| AGUSTUS 2010

409

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 409

7/23/2010 10:32:59 PM

HASIL PENELITIAN

tara lain : sel T, eosinol, basol, dan neutrol memiliki jumlah menonjol di mukosa sinus. Pinheiro et al. (1998) membagi rinosinusitis ditinjau dari lima aksis : 1) gambaran klinis (akut, subakut, dan kronik), 2) lokasi sinus yang terkena (maksilaris, frontalis, ethmoidalis, dan sphenoidalis), 3) organisme yang terlibat (virus, bakteri, atau jamur), 4) keterlibatan ekstrasinus (komplikasi atau tanpa komplikasi), dan 5) modikasi penyebab spesik (atopi, obstruksi komplek osteomeatal). Klasikasi lain didasarkan ditemukan tidaknya alergi, membagi rinosinusitis menjadi alergi dan nonalergi atau berdasarkan ada tidaknya infeksi dibagi dalam rinosinusitis infeksi dan noninfeksi. Sedangkan untuk derajat sinusitis digunakan gambaran radiologis untuk menunjukkan berat ringannya penyakit. Pembagian secara radiologis telah banyak dilakukan di antaranya menurut Lund MacKay. Pembagian menurut sistem Lund MacKay didasarkan pada pengukuran obyektif kelainan masing-masing sinus, dengan skor 0 bila tidak ditemukan kelainan, skor 1 bila ditemukan opasitas parsial, skor 2 bila ditemukan opasitas total sinus, dan penilaian patensi osteomeatal komplek. Sistem ini banyak dipakai karena mampu mengukur kelainan masing-masing sinus secara obyektif, dapat dipakai untuk kasus individual, dan mempertimbangkan kondisi komplek osteomeatal (7). GEJALA DAN TANDA Gejala RSK berbeda-beda, dari sangat ringan hingga berat. Gejala bisa dikelompokkan menjadi gejala subyektif dan obyektif. Gejala subyektif meliputi gejala nasal dan nasofaringeal, faring dan nyeri wajah. Gejala nasal mencakup obstruksi hidung, sekresi hidung dan post nasal drip. Sering disertai epistaksis dan gangguan olfaktorius. Gejala faring berupa rasa ke-ring di tenggorokan dan gejala nyeri wajah akibat keadaan vakum di sinus. Nyeri pada sinusitis maksilaris timbul di daerah pipi atau zigomatik, sedangkan sinusitis etmoidalis menimbulkan

nyeri daerah sela mata. Untuk sinusitis frontalis nyeri terasa di daerah dahi, sedangkan sinusitis sphenoidalis menimbulkan nyeri di daerah puncak kepala atau di oksipital (5). Tanda obyektif ditentukan melalui pemeriksaan rinoskopi anterior, rinoskopi posterior dan pemeriksaan faring. Pemeriksaan rinoskopi anterior dapat menemukan tanda inamasi yaitu mukosa hiperemis, edema, discharge mukopurulen yang terlihat di meatus media. Pemeriksaan rinoskopi posterior menemukan kumpulan pus di permukaan palatum, dapat berasal dari tiap sinus tetapi paling sering dari sinus maksilaris. Pus dapat tampak menetes melalui ujung posterior konka inferior dari meatus media. Pada pemeriksaan farings dapat terlihat pus mengalir sampai ke bawah melalui sela dinding lateral faring dan umumnya berasal dari sinus maksilaris, frontalis atau ethmoidalis(5,8). Pada pemeriksaan endoskopi dapat dilihat edema dan hiperemi di meatus media atau bulla ethmoid dan dan jaringan granulasi (9). DIAGNOSIS Diagnosis RSK dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan sik dan penunjang. Anamnesis didasarkan pada gejala seperti obstruksi hidung, kongesti, rasa nyeri di wajah, nyeri kepala, gangguan discharge hidung, post nasal drip, nafas bau, batuk, gangguan penghidu dengan atau tanpa telinga terasa penuh, faringitis, fatigue, malaise atau demam yang telah berlangsung selama 12 minggu (1). Pemeriksaan sik harus menemukan salah satu tanda inamasi yaitu 1) discharge berwarna di saluran nafas, polip atau pembengkakan konka polipoid menggunakan rinoskopi anterior atau endoskopi setelah aplikasi dekongestan; 2) edema dan hiperemi di meatus media atau bulla ethmoid yang diidentikasi menggunakan endoskopi nasal; 3) eritema lokal atau keseluruhan, edema dan jaringan granulasi (1). RADIOLOGI SINUS PARANASAL Penyakit inamasi sinus membutuhkan
| AGUSTUS 2010

diagnosis yang akurat sebagai kunci manajemen terapi termasuk untuk menetapkan etiologi dan faktor predisposisi. Para ahli menyepakati bahwa rinosinusitis disebabkan oleh obstruksi clearance mukosilia dari sinus paranasal, khususnya daerah KOM. Pemeriksaan radiologi diharapkan dapat menggambarkan secara akurat morfologi regional dan menunjukkan obstruksi osteomeatal. Foto polos atau radiogra standar Foto polos sinus paranasal merupakan metode mudah dan cepat untuk evaluasi struktur maksilofasial. Ada empat posisi yang sering adalah posisi Waters, Townes, lateral, dan submentoverteks. Paparan radiasi berkisar 40-60 mSv. Pemeriksaan tersebut memuaskan untuk sepertiga bawah kavum nasi dan sinus maksila. Gambaran sinus ethmoid anterior et posterior, sinus frontal, dan sphenoid sering kurang baik akibat penumpukan bayangan (7). Penebalan mukosa lebih dari 4 mm, opasitas komplit sinus maksilaris, dan gambaran air uid level merupakan gambaran radiologis utama yang digunakan untuk diagnosis sinusitis pada foto polos. Gambaran opasitas sinus maksilaris tersebut dapat akibat penebalan dinding anterior sinus atau jaringan lunak yang tebal. Polip sinus juga dapat memberi gambaran seperti air uid level(7). Beberapa peneliti membandingkan roentgen polos dan CT scan koronal pada bayi dan anak dengan sinusitis rekuren. Hasilnya dari 70 pasien terdapat 80% mempunyai CT scan abnormal dan 75% roentgen tidak berkorelasi terhadap CT scan. Berdasarkan evaluasi pada 21 pasien didapatkan kesesuaian korelasi roentgen polos dengan CT scan pada penderita sinusitis akut sebesar 87%. CT scan CT scan menyediakan gambaran hidung dan sinus paranasal yang lebih detail dibandingkan roentgen. Ahli THT sangat membutuhkan gambaran KOM dan kelainan yang mungkin terdapat di sinus paranasal untuk menda411

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 411

7/23/2010 10:33:00 PM

HASIL PENELITIAN

patkan diagnosis akurat dan rencana terapi selanjutnya. Potongan koronal CT scan memberikan gambaran akurat sinus ethmoid anterior, 2/3 kavum nasi bagian atas, recessus frontalis. Potongan lintang CT scan dapat menilai kondisi soft tissue di kavum nasi, sinus paranasal, orbita, dan intrakranial. Perbedaan yang teridentikasi antara komponen kavum nasi yaitu udara - tulang, lemak - orbita, dan soft tissue udara. Perbedaan densitas juga mempermudah identikasi sinus frontal, recessus frontal, processus uncinatus, infundibulum ethmoid, bulla ethmoid, sinus maksila, ostia sinus maksilaris, meatus media, sinus ethmoid, sinus sphenoid, dan recessus sphenoid. Gambaran yang jelas sangat mempermudah diagnosis dan rencana terapi (7). Potongan koronal merupakan potongan terbaik karena mampu menunjukkan hubungan antara otak dan sinus ethmoid, orbita dan sinus paranasal, juga KOM. Endoskopi hanya memberikan gambaran anatomi yang terletak di depan endoskopi, sedangkan CT scan mampu mendenisikan daerah yang tidak tampak pada endoskopi. Pasien diposisikan prone dengan hiperekstensi di meja scanner. Kondisi KOM ideal diperoleh dengan CT scan difokuskan pada kavum nasi dan sinus paranasal. Bila pasien tidak dapat posisi prone maka dibuat potongan aksial dari palatum hingga melalui sinus frontalis(7). Pelaksanaan CT scan sering kali terkendala biaya, maka dikerjakan CT scan terbatas untuk mengatasi permasalahan dan meningkatkan nilai diagnosis foto polos sinus paranasal. Jika perkiraan jarak sinus sphenoid hingga nares sekitar 7,5 cm maka CT scan standar dengan jarak antara 3 mm akan menghasilkan 25 gambar. CT scan terbatas dikerjakan dengan jarak antar potongan beragam mulai 3, 4, 5 hingga 10 mm. sentrasi kavum nasi dan sinus paranasal (7). Penilaian CT scan meliputi 6 tahap, yaitu: 1) melihat gambaran dari anterior

ke posterior (identikasi sinus frontalis, sinus ethmoidalis, bulla ethmoidalis, sinus maksilaris, sinus sphenoidalis, kavum nasi, orbita, fossa kranii media, dan septum deviasi), 2) melihat lamina papiracea, processus uncinatus, dan konka media, 3) melihat recessus frontalis, 4) perhatikan asimetri kanankiri dengan melihat basis kranii, 5) indentikasi sinus sphenoidalis, melihat septum intersphenoidalis, 6) melihat perluasan penyakit (7). Perbandingan CT scan koronal terbatas dan foto polos sinus paranasal CT scan potongan koronal terbatas telah diteliti sensitivitas dan spesisitasnya dibandingkan dengan foto polos sinus paranasal. CT scan 4 slice dibandingkan CT scan standar memiliki sensitivitas 81,25%, spesisitas 89,47%, nilai duga positif 92,86, dan nilai duga negatif 73,91.13 Penelitian Goodman et al. (1995) mendapatkan bahwa foto polos sinus paranasal memiliki sensitivitas dan spesisitas secara keseluruhan 54% dan 64%.14 Penelitian serupa oleh Garcia et al. (1994) mendapatkan kesesuaian foto polos mendeteksi sinusitis adalah 20% untuk sinus frontal, 0% sinus sphenoid, dan 54% sinus ethmoid; sinus maksila 75%. Sensitivitas dan spesisitas posisi Waters adalah 76% and 81%. Sinus CT scan mempunyai kesesuaian dibandingkan CT standar masing-masing 100% untuk sinus frontal, 82% untuk sinus sphenoid, 73% untuk sinus ethmoid, dan 97% untuk sinus maksila. Kesesuaian secara keseluruhan bila dibandingkan CT scan standar adalah 88% (14). Pemeriksaan radiologi dibutuhkan untuk konrmasi klinis. Pada rontgen sinus paranasalis didapatkan air uid level, pengkabutan atau penebalan mukosa pada satu atau lebih sinus (2,4) . CT scan dapat menggambarkan penebalan mukosa, perubahan struktur tulang maupun kondisi osteomeatal komplek (1). Sensititas dan spesisitas radiologi sinus paranasal 85% dan 80% untuk posisi Waters, untuk tiga posisi 90% dan 60%

sedangkan CT scan lebih dari 95% dan 61% (15). METODA PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan uji diagnostik untuk menentukan validitas foto polos sinus paranasal 3 posisi dan CT scan potongan koronal sebagai alat diagnosis pada pasien dengan gejala klinis/persangkaan rinosinusitis kronis menurut kriteria task force. B. Populasi Penelitian Populasi target pada penelitian ini adalah pasien yang memenuhi kriteria klinis task force untuk persangkaan rinosinusitis kronis (RSK). Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien yang memenuhi kriteria klinis task force untuk persangkaan rinosinusitis kronis di RS Dr. Sardjito. C. Sampel Penelitian Sampel adalah bagian dari populasi terjangkau yang dipilih dengan cara tertentu. Teknik pengambilan sampel dengan cara berurutan (consecutive sampling), yaitu setiap pasien RSK di RS Dr. Sardjito Yogyakarta dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Cara pemilihan sampel seperti ini adalah satu cara yang terbaik dalam penelitian klinik (16). D. Kriteria Inklusi Penderita dengan persangkaan RSK (task force positif), memiliki foto polos sinus paranasal 3 posisi, memiliki CT scan potongan koronal E. Kriteria Eksklusi Pernah menjalani operasi sinus, terdiagnosis tumor sinonasal, memiliki catatan medis tidak lengkap. tidak bersedia ikut dalam penelitian. F. Cara Pengukuran 1). Semua penderita tersangka RSK memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dicatat identitasnya pada formulir penelitian, 2). Dilakukan foto polos sinus paranasal 3 posisi dan CT Scan potongan koronal.

412

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 412

7/23/2010 10:33:02 PM

HASIL PENELITIAN

G. Kerangka Penelitian
Penderita rinosinusitis kronis

Informed consent

Kriteria inklusi dan eksklusi

H. Analisis Statistik Analisis data dalam penelitian ini adalah sensitivitas, spesisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kecenderungan positif, dan rasio kecenderungan negatif dari CT Scan dan foto polos SPN 3 posisi. HASIL PENELITIAN Karakteristik subyek penelitian Jumlah sampel penelitian seluruhnya 20 pasien, wanita 11 orang (55%) dan laki-laki 9 orang (45%), paling banyak pada umur dekade ke 3 (30%). (tabel 2). Keluhan utama pasien dengan persangkaan RSK terdistribusi dalam tabel 3. Uji Diagnostik/Validasi Foto polos SPN 3 posisi (Tabel 4) Sensitivitas = 12/14 x 100 % = 85,7% Spesisitas = 2/6 x 100 % = 33,3% Nilai duga positif = 12/16 x 100 % = 75% Nilai duga negatif = 2/4 x 100 % = 50% Rasio kecenderungan positif = 85,7%/ (4/(4 + 2)) = 1,28 Rasio kecenderungan negatif = (2/(12 + 2))/33,3% = 0,14/0,33 = 0,42 PEMBAHASAN Jumlah sampel penelitian seluruhnya ada 20 pasien, wanita 11 orang (55%) dan laki-laki 9 orang (45%). Umur terutama pada dekade ke 3 (30%) (tabel 2). Keluhan utama pada sampel penelitian (kriteria task force) adalah discharge purulen (40%), hidung tersumbat (30%) dan gangguan penghidu (20%) (tabel 3). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Evans (1994) yang mendapatkan gejala subyektif meliputi gejala nasal dan nasofaringeal, faring dan nyeri wajah. Gejala nasal mencakup obstruksi hidung, sekresi hidung dan post nasal drip. Sering gejala tersebut disertai epistaksis dan gangguan olfaktorius. Gejala faring berupa rasa kering di tenggorokan dan gejala nyeri wajah disebabkan oleh keadaan vakum pada sinus. Proyeksi nyeri pada

Sampel Penelitian

Foto polos SPN 3 posisi

CT scan SPN potongan coronal

Uji Diagnostik

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Sensitivitas Spesisitas Nilai duga positif Nilai duga negatif Rasio kecenderungan positif Rasio kecenderungan negatif

Gambar 1. Bagan alur penelitian dan analisis pada penelitian Tabel 2. Distribusi umur sampel penelitian

Umur (dalam tahun) <9 10-19 20-29 30-39 40-49 50-59 >60
Tabel 3. Distribusi gejala sampel penelitian

Jumlah (%) 0 (0) 4 (20) 6 (30) 4 (20) 2 (10) 4 (20) 0 (0)

No. 1 2 3 4 5 6 7

Gejala rinosinusitis Discharge purulen Hidung tersumbat Gangguan penghidu Rasa tertekan atau nyeri di sinus Nyeri kepala Fatigue Gangguan tidur

Jumlah (%) 8 (40) 6 (30) 4 (20) 1 (5) 1 (5) 0 (0) 0 (0)

Tabel 4. Tabel penghitungan sensitivitas, spesisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, akurasi, rasio kecenderungan positif, dan rasio kecenderungan negatif foto polos SPN 3 posisi (17)

Foto polos SPN 3 posisi + + 12 4 Total 16

| AGUSTUS 2010

413

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 413

7/23/2010 10:33:02 PM

HASIL PENELITIAN

sinusitis maksilaris di daerah pipi atau zigomatik, sedangkan sinusitis etmoidalis menimbulkan nyeri di daerah sela mata. Untuk sinusitis frontalis nyeri terasa di daerah dahi, sedangkan sinusitis sphenoidalis menimbulkan nyeri di daerah puncak kepala atau di oksipital. Hal tersebut di atas menandakan bahwa keluhan utama discharge purulen hidung pada umur sekitar dekade 3 harus dicurigai sebagai gejala RSK. Masalahnya adalah untuk membuktikan kecurigaan tersebut. Mahalnya CT Scan dan tidak adanya fasilitas CT Scan di beberapa daerah menyebabkan masih perlunya foto polos SPN 3 posisi untuk menegakkan diagnosis RSK, tetapi validitas foto polos di RS Sardjito belum pernah diteliti, bahkan di Indonesia.

Hal tersebut membuat kalangan klinisi ragu dan cenderung merujuk ke pusat pelayanan medis dengan fasilitas CT Scan. Hal ini menjadi beban tersendiri, karena pengobatan bisa dilakukan di daerah yang tidak memiliki fasilitas CT Scan. Masalah ini menjadi dasar bagi peneliti untuk mencari validitas foto polos SPN 3 posisi dalam menegakkan diagnosis RSK. Penelitian dengan 20 sampel mendapatkan sensitivitas sebesar 85,7% dan spesisitas sebesar 33,3%. Hal ini berarti 85,7% kemungkinan seseorang benar benar positif RSK jika ditemukan foto polos SPN 3 posisi positif. Dan 33.3% kemungkinan subyek bukan RSK apabila hasil foto polos SPN 3 posisi ditemukan negatif. Foto polos SPN 3 posisi bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosis RSK.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian Dolor(2001) yang mendapatkan sensititas dan spesisitas radiologi sinus paranasal untuk tiga posisi 90% dan 60%. Dari 16 sampel pasien dengan CT Scan positif didapatkan 12 sampel foto polos SPN 3 posisi yang juga positif, ini menandakan bahwa hasil foto polos SPN 3 posisi mempunyai nilai duga positif yang tinggi (75%), sehingga tidak diperlukan foto CT Scan untuk mendiagnosis RSK. Foto polos SPN 3 posisi layak untuk mendiagnosis RSK di daerah yang tidak memiliki fasilitas CT Scan. SIMPULAN Foto polos SPN 3 posisi valid untuk mendiagnosis rinosinusitis kronis dengan sensitivitas 85,7% dan spesisitas 33,3%.

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Benninger MS, Poole M, Ponikau J. Adult chronic rhinosinusitis: denitions, diagnosis, epidemiology, and pathophysiology. Otolaryngol Head Neck Surg (suppl) 2003;129S: S1-S32. Hilger PA. Penyakit sinus paranasalis. Dalam: Boies: Buku Ajar penyakit THT. Effendi H (terj.ed.) 6th ed. EGC, Jakarta. 1997. Miller AJ, Amedee RG. Sinus anatomy and function. In: Bailey BJ. Head & Neck Surgery - Otolaryngology. 2nd ed. 1998.Lippincott-Raven, New York ; p: 41321. Rohr AS. Sinusitis: pathophysiology, diagnosis, and management. J Immunol Allergy Clin North Am 1987;7:383-91 Evans KL. Fortnightly review: diagnosis and management of sinusitis. BMJ 1994;309:1415-22. Pinheiro AD, Facer GW, Kern EB. Sinusitis: Current concepts and management. In Bailey BJ. Head & Neck Surgery - Otolaryngology. 2nd ed. Lippincott-Raven, New York, 1998. p: 441-55. Zeinreich SJ. Imaging for staging of rhinosinusitis. Ann Otol. Rhinol. Laryngol 2004.; 133: 19-23. Sucipto D. Temuan sinuskopi pada pasien sinusitis maksilaris kronis. Kongres Nasional Perhati XI. Jogjakarta: 1995.. 179-189. Khun FA. Role of endoscopy in the management of chronic rhinosinusitis. Ann Otol Rhinol Laryngol 2004.; 113: 10-14.

10. Kurt R, Lange S, Grumme T, Wolfgang K. Cerebral and spinal computerized tomography. Schering AG, West Germany. 1989. 11. Toshibas Medical Electronic. The statement of ROI. In Manual of Toshibas CT scan. Serial number 27345-Tosh-201. 1995. 12. Awaida JPS, Woods SE, Doerzbacher M, Gonzales Y, Miller TJ. Four cut sinus computed tomographic scanning in screening for sinus disease. Southern Medical J 2004; 97: 18-20. 13. Goodman GM, Martin DS, Klein J. Comparison of a screening coronal CT versus a contagious coronal CT for evaluation of patients with presumptive sinusitis. Am Allerg. Asthma Immunol 1995.; 74: 178-182. 14. Garcia GP, Corbett ML, Elbery SM, Joyce MR, Le HT, Karibo JM et al. Radiographic imaging studies in pediatric chronic sinusitis. J Allerg Clin Immunol 1994; 94: 1-11. 15. Dolor RJ, Williams JW. Management of Rhinosinusitis in Adults: Clinical Applications of Recent Evidence and Treatment Recommendations. JCOM 2001.; 9: 463-477. 16. Hulley SB, Cummings SR. Designing Clinical Research. Williams and Wilkins, Baltimore. 1998. 17. Fletcher RH, Fletcher SW, Wagner EH. Clinical Epidemiology : The Essential, 2nd ed. Williams & Wilkins, Baltimore, USA 1988:58-04.

414

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 414

7/23/2010 10:33:02 PM

HASIL PENELITIAN

Erosi Dasar Tengkorak dan Kelainan Saraf Kranial pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RS. H. Adam Malik Medan
Delfitri Munir, Ramsi Lutan, Muzakkir Zam-Zam, Chairul Abdi
Bagian Telinga Hidung Tenggorok - Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara, Medan

ABSTRAK Erosi dasar tengkorak dan kelainan saraf kranial merupakan komplikasi karsinoma nasofaring (KNF). Komplikasi ini dapat disebabkan oleh tumor primer atau metastasis. Pada 37 penderita KNF.di RS H Adam Malik, Medan selama tahun 2004 dijumpai 27% dengan erosi dasar tengkorak dan 59,5% dengan kelainan saraf kranial, terutama n. VI.

PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring (KNF) di Indonesia menduduki urutan pertama keganasan kepala-leher dan urutan ke-empat setelah keganasan serviks, payudara dan kulit Insiden tumor ini meningkat pada akhir dekade ke dua dan mencapai puncak pada umur 4050 tahun dengan perbandingan pria dan wanita 2 : 1 sampai 4:1.1,2 Menurut Survai Departemen Kesehatan 1987, angka prevalensi KNF di Indonesia adalah 4,7 per 100,000 penduduk per tahun. Di bagian THT RSCM, KNF menempati urutan pertama dari seluruh tumor ganas kepalaleher, dan hampir setengahnya penderita baru 3 Di RSUP H. Adam Malik Medan ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 kasus baru tumor kepala dan leher dari tahun 1998-2002.4 Tumor ganas ini dapat mengenai semua golongan usia dan berpotensi menyebar cepat ke jaringan sekitar dan bermetastasis jauh. Biasanya penderita datang berobat setelah mencapai stadium lanjut, dengan gejala penyebaran berupa pembesaran kelenjar getah bening di leher dan kelainan saraf kranial34

Kelainan saraf kranial berhubungan dengan perluasan tumor ke jaringan sekitar dan invasi tumor yang mengakibatkan erosi dasar tengkorak.5 Well (1963) menemukan adanya erosi pada tulang tengkorak mummi dari Mesir yang diduga disebabkan oleh KNF.6 Di Indonesia perluasan tumor ke arah atas lebih sering ditemukan, terbanyak mengenai saraf kranial VI.7 Muyassaroh menemukan proporsi kelainan saraf kranial sebesar 27,7 % dari 141 kasus KNF dan yang terbanyak adalah saraf kranial VI, 8 Furukawa menemukan kelainan saraf kranial akibat perluasan tumor sebanyak 18%.4 Tumor yang meluas ke posterior dapat menyebabkan kelainan saraf hipoglosus. Chong menemukan kelainan saraf hipoglosus 75% dari 16 pasien KNF.9 Sham menemukan erosi tulang tengkorak 31,3% dari 262 kasus KNF yang ditelitinya.10 Di RSUP H. Adam Malik Medan belum ada data mengenai kelainan saraf kranial dan erosi dasar tengkorak pada penderita karsinoma nasofaring. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui erosi dasar tengkorak dan kelainan saraf kranial pada penderita KNF.

BAHAN DAN CARA Penelitian dilakukan secara deskriptif analitik dengan metode cross sectional. Populasi penelitian adalah semua penderita yang dicurigai menderita karsinoma nasofaring berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan THT-KL Sampel penelitian adalah semua populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. - Kriteria Inklusi: Penderita KNF yang diagnosisnya ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologis tumor di nasofaring. - Kriteria Eksklusi: Penderita dengan kelainan saraf kranial yang tidak disebabkan oleh KNF seperti stroke, tumor kepala leher selain karsinoma nasofaring, trauma kepala dan penyakit infeksi telinga. Besar sampel ditentukan berdasarkan jumlah kasus yang didapat selama rentang waktu penelitian mulai dari Januari 2004 sampai Desember 2004. Tempat penelitian di Bagian Ilmu Penyakit THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

| AGUSTUS 2010

415

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 415

7/23/2010 10:33:03 PM

HASIL PENELITIAN

Responden yang memenuhi kriteria inklusi dicatat semua data yang dibutuhkan sesuai dengan kuesioner yang telah disiapkan. Kemudian dilakukan pemeriksaan radiologi untuk meneliti adanya erosi dasar tengkorak akibat KNF ; selanjutnya penderita dikonsultasikan ke bagian Neurologi untuk mengetahui adanya kelainan saraf kranial yang disebabkan oleh KNF. Data disusun dalam bentuk tabel dan dianalisis secara statistik dengan program Window SPSS versi 10,1. HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Distribusi erosi dasar tengkorak pasien KNF.

Kelainan saraf kranial yang terbanyak dijumpai akibat KNF adalah saraf VI (18 - 48,6 % ).
Tabel 4. Hubungan Erosi Dasar Tengkorak denganKelainan Saraf kranial pada pasien KNF

Tabel 8. Distribusi jenis histopatologis tumor

Histipatotogis Undifferentiated Ca Non Keratinizing Ca Keratinizing Squamous Ca Jumlah

Jumlah 17 16 4 37

% 45,9 43,2 10,8

Erosi dasar tengkorak Kelainan 15 + Total 15

Tabel 9. Distribusi stadium tumor

Stadium Stadium Stadium III Stadium IV Total

Jumlah 1 25 11 37

% 2,7 67,6 29,7

Jumlah

%
Tabel 5. Distribusi kelompok umur pasien KNF

Jenis histopatologis yang terbanyak adalah tipe III yaitu Undifferentiated Carcinoma (45,9 %) dan stadium tumor yang terbanyak dijumpai adalah stadium III (67,6 %). PEMBAHASAN Erosi dasar tengkorak akibat tumor didapatkan pada 10 (27 %) dari 37 kasus (tabel 1). Effendi menjumpai erosi dasar tengkorak akibat KNF (Karsinoma Nasofaring) pada 19 kasus (47,50 %) dari 40 penderita KNF.6 Godtfredsen menjumpai erosi dasar tengkorak 20% dari 454 kasus KNF.5 Sedangkan Roh menjumpai 38,6% dari 119 pasien KNF yang ditelitinya.11 Pada penelitian ini didapatkan 22 (59,5 %) kasus KNF dengan kelainan saraf kranial, yang terbanyak adalah saraf kranial VI (48,6 %). Pada penelitian Effendi atas 40 kasus KNF di RS. Dr. Pirngadi Medan ditemukan 31 kasus (77,5 %) dengan kelainan saraf kranial, yang terbanyak adalah saraf V (51, 61 %).6 Muyassaroh di Semarang menemukan kelainan saraf kranial terbanyak adalah saraf VI (92,3 %).8 Dari data beberapa pusat pendidikan dokter di Indonesia, 15 - 30 % penderita KNF mengalami kelainan saraf kranial; terbanyak pada saraf VI. Sedangkan di luar negeri kelainan saraf kranial tercatat lebih tinggi yaitu 40 - 50 %, dan yang terbanyak adalah saraf V.9,10,11 Ilhan dalam penelitiannya menjumpai kelainan saraf kranial pada 16% dari 166 kasus KNF ; 57,2% adalah kelainan saraf kranial VI.12

Umur 20-29 30-39 40-49 50-59


Tabel 2. Distribusi kasus Kelainan Saraf Kranial pasien KNF

Jumlah 3 4 13 12 2 3 37

% 8,1 10,8 35,1 32,4 5,4 8,1

60-69 70-79 Total

Jumlah

Tabel 6. Distribusi jenis kelamin pasien KNF

Jumlah Pria Wanita Jumlah


Tabel 3. Distribusi kelainan saraf kranial pasien KNF

% 78,4 21,6 100

29 8 37

Tabel 7. Distribusi suku pasien KNF

Jumlah Lesi saraf kranial I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII Jumlah 2 4 15 13 15 18 9 4 14 14 1 11 % 5,4 10,8 40,5 35,1 40,5 48,6 24,3 10,8 37,8 37,8 2 ;7 29,7 Batak Jawa Aceh Minang Melayu Nias Jumlah 17 9 7 2 1 1 37

% 45,9 24,3 18,9 5,4 2,7 2,7

Penderita KNF terbanyak pada golongan umur 40 -49 tahun (35,1 % ). Termuda 20 tahun dan paling tua 78 tahun, Perbandingan pria dan wanita adalah 3,63 : 1, sedangkan suku bangsa penderita KNF yang terbanyak adalah suku Batak (49,5 %),

| AGUSTUS 2010

417

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 417

7/23/2010 10:33:03 PM

HASIL PENELITIAN

Terdapat hubungan yang bermakna antara 22 kasus kelainan saraf kranial dengan 10 kasus yang mengalami erosi dasar tengkorak (p < 0.05). (tabel 4). Hal ini berbeda dengan penelitian Effendi (1984)6 yang tidak menemukan hubungan antara erosi dasar tengkorak dengan kelainan saraf kranial pada penderita KNF. Menurut Godtfredsen yang dikutip dari Zaman (1977)5, lebih dari separah gejala kelainan saraf kranial penderita KNF yang diteliti menunjukkan adanya erosi dasar tengkorak. Pada penelitian ini didapatkan 37 orang penderita KNF ; 29 orang pria dan 8 orang wanita, Umur termuda adalah 20 tahun dan tertua 78 tahun; 35,1 %. pada kelompok umur 40 - 49 tahun (tabel 5) ; sama dengan penelitian Gosal (1977)12 di Ujung Pandang. Sedangkan Roezin di Jakarta (1977)13 mendapatkan 28,1 %, Zainuddin di Padang (1977)14 38,6 % dan Lutan 35,8 % di Medan (1986). l Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa insiden KNF tertinggi adalah pada dekade keempat Perbandingan pria dan wanita adalah 3,63 : 1 (tabel 6). Lutan (2003)4 mendapatkan perbandingan pria dan wanita 3:1, Susilo (1995)16 di Semarang 2 : 1, dan Yong-sheng (1983)17 di Guangdong 2,21 : 1. Suku bangsa yang terbanyak menderita KNF adalah suku Batak (45,9 %).(tabel 7) Demikian juga dengan penelitian Lutan (1986)10 mendapatkan suku Batak 50 %. Kalangan suku bangsa Cina Selatan, baik yang berada di negara Cina maupun yang menjadi imigran di penjuru dunia memiliki angka kejadian KNF tertinggi dibanding suku-suku lainnya,19,20 Hal ini mungkin karena suku Batak merapakan etnis terbanyak di Sumatera Utara, dan RSUP H. Adam Malik Medan tempat penelitian ini dilakukan tidak menggambarkan kunjungan berobat dari seluruh suku-suku yang ada di kota Medan.

Pada penelitian ini didapatkan jenis histopatologis terbanyak adalah Undifferentiated Ca (45,9 %). (tabel 8). Hal ini sama dengan yang didapatkan oleh Lutan (1986)10 - 57,50 %, Susilo (1995)16 - 55,47 %, dan Yong-sheng (1983)17 di Guangdong sebanyak 93,13 %. Pada penelitian ini dijumpai jenis nonkeratinizing Ca sebanyak 16 kasus (43,2%). Jumlah ini lebih banyak bila dibandingkan dengan di Taiwan (15%).21

Stadium tumor terbanyak pada penelitian ini adalah stadium III (67,6 %), dan hanya 1 kasus stadium II. (tabel 8). Sesuai dengan Soeleiman (1999)7 di Medan yang mendapatkan 70 % kasus adalah stadium III. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita KNF baru terdeteksi pada saat penyakitnya sudah lanjut

DAFTAR PUSTAKA 1. Hulu O. Karsinoma nasofaring pada pada anak. Kumpulan Naskah Konas XII 1999; 25-32. 2. Hadi W. Aspek klinis dan histopatologi karsinoma nasofaring (Tinjauan 29 kasus). Kumpulan Naskah Konas XII Perhati 1999; 1001-7 3. Soetjipto D. Karsinoma nasofaring, Dalam: Tumor Telinga Hidung Tenggorok diagnosis & penatalaksanaan FK-UI. Jakarta 1989; 71-82. 4. Lutan R. Diagnosis dan penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Kumpulan Naskah KONAS XIII PERHATI 2003; 16. 5. Zaman M. Karsinoma nasofaring. Paralisis nervus abducen yang bilateral dengan destruksi os sphenoidale. Kumpulan Naskah Konas Perhati V 1977; 539-44 6. Effendi S. Tumar ganas nasofaring dengan kelainan neurologi dan kerusakan dasar tengkorak di RS Dr. Pirngadi Medan. Tesis. 1984. 7. Soeleiman S. Hubungan Gambaran makroskopis karsinoma nasofaring pada pemeriksaan nasofaringoskopi dengan histopatologis. Tesis 1999. 8. Muyassaroh. Kelainan neurologi pada karsinoma nasofaring di SMF THT RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 1996 - 1998. Kumpulan Naskah Konas Perhati XII1999; 1132-9 9, Chong VF, Fan YF. Hypoglossal nerve palsy in nasopharyngeal carcinoma. Eur Radiol 1998; 8(6): 939-45 10. Sham JS, Cheng YK, Choy D, Chan FL, Leong L. Cranial nerve involvement and base of skull erosion in NPC. Cancer 1991; 68(2): 422-6 11. Roh JL, Sung MW, Kim KH, Chi BY, Oh SH, Rhee CS. Nasopharyngeal carcinoma with skull base invasion: a necessity of staging sudivision. Am J Otolaryngol 2004; 25(l):26-32 12. Ilhan O, Sener EC, Ozyar E. Outcome of abducens nerve paralysis in patiens with naPerhati sopharyngeal carcinoma. Eur J Ophthalmol 2002; 12(1): 55-9 13. 13. Siregar P. Manifestasi neurologi karsinoma nasofaring. Kumpulan Naskah Konas Perhati V 1977; 545 - 51 14. Lutan R, Efendi Ss Aboet A . Kerusakan pada dasar tengkorak suspek oleh karena inltrasi dari karsinoma nasofaring. Kumpulan Naskah Konas VIII Perhati 1986; 117-121 15. Bambang SS. Diagnostik klinik kanker nasofaring. Kumpulan Naskah Seminar Kanker Nasofaring. Yayasan Kanker Wilayah Jawa Tengah. 1998; 17- 42. 16. Gosal. Insidens minimum tumor ganas nasofaring di Ujung Pandang. Kumpulan Naskah Konas V Perhati 1977; 565 - 571. 17. Roezin A. Gejala telinga pada karsinoma nasofaring. Kumpulan Naskah Konas V. Perhati 1977; 588-593. 18. Zainuddin MZ. Frekuensi tumor ganas nasofaring di Sumatera Barat Kumpulan Naskah Ilmiah Konas V Perhati 1977; 599 - 605 19. Susilo N, Wiratno. Karsinoma nasofaring di SMF THT RSUP Dr. Kariadi Semarang Tahun 1990-1994. Kumpulan Naskah Konas X Perhati 1995; 1229 - 37. 20. Yong-Seng Z. Histopathologic types and incidence of malignant nasopharyngeal tumors in Zhongshan Country. Chinese Med. J. 1983; 96 (7): 511-6 21. Willard E, Fee Jr. Nasopharynx. Dalam: JP Shah. ed Essential of Head and Neck Oncology. Thieme: New York 1998; 205-10 22. Mulyarjo. Diagnosis dan penatalaksanaan karsinoma nasofaring, Disampaikan pada Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan III Ilmu Penyakit THT-KL 2002. 23. Pathmanathan. Pathology in: Nasopharyngeal carcinoma. 3th ed. Amour Publ., 1999. 6-12

418

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 418

7/23/2010 10:33:04 PM

HASIL PENELITIAN

Hubungan antara Stadium Polip Nasi dengan Fungsi Ventilasi dan Drainase Telinga Tengah berdasarkan Gambaran Timpanogram
Iin Fatimah Hanis, Sutji Pratiwi Raharjo, R. Boy Arfandy, Nani.I.Djufri
Bagian / SMF Ilmu Kesehatan THT-KL, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin / RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

ABSTRAK Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara stadium polip nasi terhadap fungsi telinga tengah berdasarkan pemeriksaan timpanometri menggunakan Audiometri Impedans tipe AA222. Subyek dan kerja : Penelitian cross sectional dengan 43 sampel pada 26 pasien polip nasi dari berbagai stadia yang berobat di RS.Dr.Wahidin Sudirohusodo, Makassar. Dilakukan prosedur pemeriksaan rinoskopi anterior dan atau rinoskopi posterior serta nasoendoskopi untuk menetapkan stadium polip nasi, dilanjutkan pemeriksaan audiometri impedans untuk melihat berbagai tipe timpanogram. Hasil : Terdapat hubungan tidak bermakna antara stadium polip nasi dengan gambaran timpanogram (p>0.05), ada hubungan tidak bermakna antara stadium polip nasi dengan fungsi ventilasi dan drainase telinga tengah dan secara berurutan pada uji asosiasi linier (p>0,05) Simpulan : Walaupun terdapat hubungan yang tidak bermakna antara stadium polip nasi dengan fungsi telinga tengah, komplikasi ini tidak boleh diabaikan. Kata kunci : Polip nasi, Fungsi Ventilasi dan Drainase telinga tengah, Timpanometri.

PENDAHULUAN Polip nasi merupakan masalah medis dan masalah sosial karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita baik sekolah, kerja, aktivitas harian dan kenyamanan. Polip nasi merupakan mukosa yang mengalami inamasi dan menimbulkan prolaps mukosa di dalam rongga hidung; dapat dilihat melalui pemeriksaan rinoskopi dengan atau tanpa bantuan endoskop. Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya sedikit laporan hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi penelitian dan metoda diagnostik yang digunakan. Di Amerika Serikat diperkirakan prevalensi penderita polip nasi antara 1-4 % sedangkan di Eropa dilaporkan sekitar 1-2 % pada dewasa. Pada anak-anak

sangat jarang ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar 0,1%.1-6 Di Indonesia, Sardjono Soejak dan Sri Herawati (dikutip dari Nurmusa, 1980) melaporkan penderita polip nasi sebesar 4.63% dari semua pengunjung poliklinik THT RS.Dr.Sutomo Surabaya. Rasio pria dan wanita 2-4 : 1. Keluhan dan gejala utama yang menonjol dari polip nasi adalah obstruksi nasi, sehingga sering gejala- gejala lain terabaikan (overlooked); salah satu di antaranya adalah gangguan telinga berupa gangguan fungsi ventilasi dan drainase telinga tengah; padahal dampaknya berupa rasa tidak nyaman dapat mengganggu quality of life penderitanya. Gangguan ini akan memerlukan penanganan khusus seperti parasentesis dan pemasangan
| AGUSTUS 2010

ventilation tube (Grommet / Shepard). Keluhan akibat gangguan fungsi ventilasi dan drainase telinga tengah dapat dideteksi dengan beberapa pemeriksaan antara lain Audiometri Nada Murni (PTA) dan Timpanometri. Hasil pemeriksaan timpanometri (Audiometri Impedans) menggambarkan fungsi ventilasi dan drainase telinga tengah serta mobilitas membran timpani. Akibat sumbatan di tuba Eustachius, tekanan udara dalam telinga tengah akan menurun/berkurang dibandingkan dengan tekanan udara luar, sehingga didapatkan hasil timpanogram tipe C. Jika ada cairan efusi dalam rongga telinga tengah akan menghasilkan timpanogram tipe B. Gangguan fungsi ventilasi dan drainase telinga tengah pada penderita
419

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 419

7/23/2010 10:33:04 PM

HASIL PENELITIAN

polip nasi serta gambaran timpanogramnya telah dilaporkan oleh P.J. Hadeld, dkk (1999 ), dari 211 penderita kistik brosis didapatkan 37% polip nasi; 193 penderita di antaranya menjalani pemeriksaan timpanometri, dan ditemukan otitis media efusi pada 7 penderita ( 3,6 % ). 7 Tujuan Penelitian: Umum : untuk mengetahui dampak stadium polip nasi terhadap gangguan fungsi ventilasi dan drainase telinga tengah berdasarkan gambaran timpanogram. Khusus : untuk mengevaluasi gambaran tipe timpanogram pada berbagai stadium polip nasi serta untuk mengetahui besaran dampak stadium polip nasi terhadap fungsi ventilasi dan drainase telinga tengah berdasarkan gambaran timpanogram. Bahan dan Cara Kerja Rancangan penelitian ini adalah cross sectional study; populasi adalah semua penderita polip nasi yang berobat ke RS Dr. Wahidin Sudirohusodo. Kriteria penerimaan : Penderita polip nasi (termasuk polip nasi residif), penderita polip nasi dengan atau tanpa rinitis alergi (alergi ringan-sedang sesuai kriteria ARIA-WHO 2001), bersedia ikut dalam penelitian, membran timpani utuh dan berusia minimal 15 tahun. Kriteria penolakan : penderita infeksi saluran nafas atas dalam 2 minggu sebelumnya, penderita yang secara klinis menderita alergi berat menurut kriteria ARIA-WHO 2001, penderita hipertro adenoid/ adenoid persisten, penderita tumor sinonasal, karsinoma nasofaring, deviasi septi yang berat. Pada semua sampel penelitian dilakukan anamnesis, pemeriksaan otoskopi serta pemeriksaan sis THT lainnya. Pemeriksaan otoskopi dilakukan untuk mencari adanya serumen yang dapat mengganggu hasil pemeriksaan, un-

tuk menentukan ukuran dan bentuk ujung probe ( probe tip ) yang akan digunakan serta untuk menilai ada tidaknya perforasi atau ruptur membran timpani. Persiapan. Sebelum timpanometri dilakukan anamnesis dan pemeriksaan otoskopi serta pemeriksaan sis THT lainnya. Pemeriksaan rinoskopi anterior / rinoskopi posterior dan nasofaringoendoskopi terlebih dahulu dilakukan untuk menetapkan stadium polip nasi saat pengambilan sampel penelitian. Teknik Pemeriksaan Probe dipasangi tip yang sesuai, kemudian dimasukkan ke liang telinga sedemikian rupa sampai liang telinga tertutup rapat. Selanjutnya pada alat timpanometer ditekan tanda yang bertulis timpanometri, jika pada probe terlihat lampu hijau menandakan tidak ada kebocoran; gambaran timpanogram akan terlihat di layar (monitor ). HASIL DAN DISKUSI Didapat 43 sampel dari 26 penderita polip nasi yang datang ke poliklinik RS.Wahidin Sudirohusodo dalam kurun waktu 4 bulan ( Juli sampai Oktober 2006 ); terbanyak di kelompok umur 20-29 tahun (32,7%), dengan rerata umur adalah 34,39 tahun (tabel 1). Manifestasi polip nasi biasanya setelah usia 20 tahun. Pada penelitian ini sampel dibatasi pada usia 15 tahun ke atas untuk menyingkirkan kemungkinan hipertro adenoid; selain itu fungsi ventilasi tuba Eustachius pada anakanak kurang efektif dibandingkan orang dewasa. Tuba Eustachius anak-anak lebih pendek dan lebih lebar serta posisinya lebih horizontal dibanding orang dewasa sehingga infeksi saluran nafas berulang dan pembesaran adenoid akan memudahkan infeksi telinga tengah pada anak-anak. Adanya hipertro adenoid persisten disingkirkan dengan pemeriksaan nasofaringoendoskopi.

Tabel 1. Distribusi menurut kelompok umur

Kelompok Umur (tahun) Frekuensi 10-19 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 Total
15 10 5 0 Kelom pok Um ur
Grak 1. Distribusi menurut kelompok umur

% 20.9 32.7 14.0 6.9 9.2 16.3 100

9 14 6 3 4 7 43

Distribusi menurut stadium polip nasi


Tabel 2. Distribusi menurut stadium polip nasi

Stadium Polip Nasi Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Total


40 35 30 25 20 15 10

Frekuensi 2 7 34 43

% 4.6 16.3 79.1 100

34

Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3

7
5 0
Frekuensi

Grak 2. Distribusi menurut stadium polip nasi

Dari 43 sampel, stadium 3 paling banyak ditemukan (79.1%) (Tabel 2). Hal ini mungkin karena meningkatnya stadium polip nasi menyebabkan keluhan obstruksi makin berat; dan mendorong penderita berobat. Stadium 1 jarang ditemukan karena sering diabaikan, dianggap hanya penyakit rinitis akut yang akan sembuh sendiri. Di kepustakaan, peneliti tidak mendapatkan data prevalensi masing-masing stadium polip nasi.

| AGUSTUS 2010

421

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 421

7/23/2010 10:33:04 PM

HASIL PENELITIAN

Distrubusi menurut stadium polip nasi dan tipe timpanogram Tabel 3 menunjukkan pola tipe timpanogram pada penderita polip nasi. Tipe timpanogram A didapatkan pada 29 sampel (67.7%), tipe timpanogram As pada 3 sampel (6.9%), tipe timpanogram Ad pada 2 sampel (4.6%), tipe timpanogram B pada 3 sampel (6.9%) dan tipe timpanogram C pada 6 sampel (14.0%) . Pola ini menunjukkan bahwa dari 43 sampel yang diteliti, 34 sampel (79.1%) dengan fungsi ventilasi dan drainase telinga tengah normal (tipe timpanogram A, As dan Ad), 9 sampel (20.9%) dengan gangguan fungsi ventilasi telinga tengah ( tipe timpanogram B dan C ), 3 sampel (6.9%) dengan gangguan fungsi drainase telinga tengah ( tipe timpanogram B ). Didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara stadium polip nasi dan fungsi ventilasi telinga tengah (p>0,05). Pada uji asosiasi linier (Linear-by-linear Association) ditemukan hubungan tidak bermakna antara stadium polip nasi dan tipe timpanogram (p>0,05) Polip nasi dengan fungsi ventilasi telinga tengah normal didapatkan pada 34 sampel (79.1%) (Tabel 4), Pada seluruh sampel polip nasi stadium 1 (2 - 4.6%) didapatkan fungsi ventilasi telinga tengah normal. Pada 7 penderita polip nasi stadium 2 hanya 1 sampel yang terganggu fungsi ventilasi telinga tengahnya. Penderita polip nasi stadium 3, 34 orang (79.1%), 8 di antaranya mengalami gangguan fungsi ventilasi telinga tengah, dengan perbedaan yang cukup tinggi ( > 10% ). Artinya ada trend linear, makin tinggi stadium polip nasi, makin besar kemungkinan mengalami gangguan fungsi ventilasi telinga tengah; tetapi pada asosiasi linier (Linear-by-linear Association) ditemukan hubungan tidak bermakna antara stadium polip nasi dan fungsi ventilasi telinga tengah (p>0,05) ; hal ini mungkin karena tidak memperhitungkan sumber dan lokasi polip, bisa berasal dari sinus ethmoid

Tabel 3. Distribusi menurut stadium polip nasi dan tipe timpanogram

Stadium Polip Nasi

Tipe Timpanogram Tipe A n % Tipe As n % Tipe Ad n % Tipe B n % Tipe C n %

25 20
jumlah

21 Tipe A Tipe As 6 2 0 0 0 0 1 0 0 1 0 2
Stadium Polip Nasi

15 10 5 0 6 3 2 2 3

Tipe Ad Tipe B Tipe C

Grafik 3. Distribusi menurut stadium polip nasi dan tipe timpanogram Tabel 4. Distribusi menurut stadium polip nasi dan fungsi ventilasi telinga tengah

Fungsi Ventilasi TelingaTengah Stadium Polip Nasi Normal (-100 daPa s/d +100 daPa) n 1 2 3 2 6 26 % 4.6 14.0 60.5 Abnormal (< -100 daPa ) n 0 1 8 % 0 2.3 18.6 n 2 7 34

Total

% 4.6 16.3 79.1

30 25 20 15 10 5 0

26

Jumlah

6 2 1 0 2 Stadium Polip Nasi 1 3

Fungsi Ventilasi Telinga tengah Normal Fungsi Ventilasi Telinga tengah Abnormal
Grafik 4. Distribusi menurut stadium polip nasi dan fungsi ventilasi telinga tengah

422

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 422

7/26/2010 5:31:17 PM

HASIL PENELITIAN

Tabel 5. Distribusi menurut stadium polip nasi dan fungsi drainase telinga tengah

2.

Mackay IS, Naclerio RM. Guidelines for the management of Nasal Polyposis, In : Mygind N, Lidholdt T(eds.) Nasal Polyposis, An Inammatory disease and its treatment. Copenhagen : Munksgaard,1997 : 177-80

Fungsi Drainase Telinga Tengah Stadium Polip Nasi Normal (0.2 -2.5 ml) n % Abnormal (<0.2ml atau >2.5 ml) n % n Total %
3.

Drakee-Lee A B, Nasal Polyps, In : Kerr AG (ed). Rhinology, Scott-Browns Otolaryngology,6th ed,Vol.4,Oxford : Reed Educational and Professional Publ. Ltd,1997,4/10/1-6

4.

Van der Baan B. Epidemiology and Natural History, In : Mygind N, Lidholdt T eds, Nasal Polyposis, An Inammatory disease and its treatment, Copenhagen, Munksgraad, 1997 : 13-6

5.

Archer S M. Nasal Polyps, Non Surgical Treatment. . accessed 2002: 1-11 Vento S. Nasal Polypoid Rhinosinusitis- Clinical Course and Etiological Investigations, Department of Otorhinolaryngology- Head and Neck Surgery, University of Helsinki, Finland, Haartmaninkatu 4E, Helsinki, On May 4th, 2001,13-33.

40
Jumlah

30 20 10 0 1 2 6 2 32 3
2 1 0

Fungsi Drainase Normal Fungsi Drainase Abnormal

Grak 5. Distribusi menurut stadium polip nasi dan fungsi drainase telinga tengah

6.

Stadium Polip Nasi

7.

Hadeld P J. Prevalence of nasal polyps in adults with cystic brosis, In Clinical Otolaryngology, Blackwell Science Ltd 2000,25 : 19-22

atau dari sinus maksillaris yang meluas ke koana. Gangguan fungsi ventilasi telinga tengah pada sampel mungkin disebabkan polip nasi yang meluas ke arah nasofaring dan menyumbat langsung ostium tuba Eustachius. Alasan lain, karena selama penelitian hanya dilakukan satu kali pengamatan. Distribusi menurut stadium polip nasi dan fungsi ventilasi telinga tengah. Tabel 5 menunjukkan 40 ( 93.1%) penderita polip nasi dengan fungsi drainase telinga tengah normal dan 3 (6.9%) penderita dengan fungsi drainase telinga tengah abnormal, 2 pada sampel polip nasi stadium 3 dibanding 1 pada sampel polip nasi stadium 2. Perubahan ini tidak sejalan dengan gangguan fungsi ventilasi telinga tengahnya. Ini menunjukkan bahwa yang terganggu lebih dahulu adalah fungsi ventilasi baru kemudian fungsi drainase telinga tengah. Adanya trend linear seharusnya diikuti hubungan linier, tetapi pada asosiasi linier (Linear-by-linear Association) terdapat hubungan yang tidak bermakna antara stadium polip nasi dan fungsi drainase telinga tengah (p>0,05).

SIMPULAN a. Didapatkan pola distribusi tipe timpanogram pada penderita polip nasi . b. Didapatkan hubungan tidak bermakna antara stadium polip nasi dengan tipe timpanogram, fungsi ventilasi dan drainase telinga tengah. SARAN 1. Walaupun hubungan antara stadium polip nasi dengan fungsi ventilasi, fungsi drainase dan tipe timpanogram telinga tengah tidak bermakna, dampak polip nasi terhadap telinga tengah tidak dapat diabaikan. 2. Agar hasil penelitian ini dapat menjadi data awal hubungan antara polip nasi dengan fungsi ventilasi, fungsi drainase dan tipe timpanogram, diperlukan penelitian lanjutan menggunakan sampel yang lebih besar, penelitian eksperimental pada binatang atau penelitian dengan melihat sumber polip pada manusia.
KEPUSTAKAAN 1. Arfandy RB. Pola penanganan polip hidung. Simposium Penanganan Alergi dan Polip Hidung, Makassar : Perhati-KL Cabang Sulselra 2001 : 1-7

8.

Meek RB, Middle Ear, Eustachian Tube, Inamation/Infection,ed. Goldsmith AJ, accessed March 22,2006

9.

Kuppersmith RB. Eustachian Tube Function and Dysfunction, Baylor College of Medicine. www// Wikipedia.com,accessed July 11,1996.

10. Bess FH. Tympanometry in Just Second. accessed July 13, 2006 11. Snow JB, Ballenger JJ. Tympanometry, Diagnostic Audiology and hearing aid. In: Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 15th ed. Ballenger JJ (ed.) Williams & Wilkins, London 1996 :957 12. R.Sedjawidada. Bahan-bahan yang perlu dibicarakan dalam lokakarya Audiologi. Himpunan Naskah Lokakarya Audiologi, Ujung Pandang, Bagian THT FIIK UNHAS, 1978 :3 13. Mappangara B. Impedance Audiometry. Himpunan Naskah Lokakarya Audiologi, Ujung Pandang, Bagian THT FIIK UNHAS,1978 :59-85 14. Margaretha. Nilai Audiometri Impedans pada Evaluasi Gangguan Fungsi Pendengaran, Karya Akhir dalam Penyelesaian Pendidikan Spesialis I, THT,1986 15. Operation Manual. The AA222 Tympanometer and Audiometer, Audio Traveller AA222, Valid from serial no. 128998 and software version 1.09116, 65416-vers 05/2005 16. Nur Musa M. Lokasi Pangkal Pertumbuhan Polip Hidung dan Sinus. Paranasalis pada orang dewasa.Karya Akhir dalam penyelesaian Pendidikan Dokter Spesialis I THT-KL 1993

| AGUSTUS 2010

423

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 423

7/23/2010 10:33:06 PM

HASIL PENELITIAN

Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media Supuratif Kronis


Tutie Ferika Utami, Kartono Sudarman, Bambang Udji Djoko Rianto, Anton Christanto
Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta, Indonesia

LATAR BELAKANG Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah radang kronik telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul.1 OMSK juga merupakan peradangan akibat infeksi mukoperiosteum kavitas timpani yang ditandai oleh perforasi membran timpani dengan sekret yang keluar terus menerus atau hilang timbul selama lebih dari 3 bulan dan dapat menyebabkan perubahan patologik yang permanen.2 Ada juga yang memberi batas waktu 6 minggu untuk terjadinya awal proses kronisitas pada OMSK.3 Sekret yang keluar mungkin serosa, mukus atau purulen.1,2,3,4 OMSK secara klasik dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu otitis media supuratif kronik tipe benigna (OMSKB) atau tipe tubotimpanum atau tipe safe dan tipe maligna, atau tipe atikoantral atau tipe unsafe. OMSKB dibagi menjadi tipe aktif, tipe laten dan tipe inaktif. Pada OMSKB tipe laten, saat pemeriksaan kavum timpani kering setelah mendapat pengobatan, tetapi sebelumnya ada riwayat otore yang hilang timbul. OMSKB inaktif bila ada riwayat otore di masa lalu dan saat pemeriksaan kavum timpani kering tanpa kemungkinan kekambuhan dalam waktu dekat. Pada otitis media supuratif tipe benigna proses infeksi hanya terbatas pada mukosa telinga tengah saja dan yang terkena adalah mesot-

impanun dan hipotimpanum serta tuba auditoria. Tipe ini jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya.5 Prevalensi OMSKB di negara berkembang berkisar antara 5 10% , sedangkan di negara maju 0,5 2%.6 Diperkirakan sekitar 10 juta penduduk Indonesia menderita OMSKB.7 Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994 1996 menunjukkan prevalensi OMSKB antara 2,10 5,2%.8 Frekuensi OMSKB di RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 1989 sebesar 15,21%.9 Di RS Hasan Sadikin Bandung dilaporkan frekuensi OMSKB selama periode 1988 1990 sebesar 15,7% 10 dan pada tahun 1991 dilaporkan prevelensi OMSKB sebesar 10,96%.11 Frekuensi penderita OMSKB di RS Dr Sardjito Yogyakarta pada tahun 1997 sebesar 8,2%.12 Data catatan medis kunjungan kasus baru penderita OMSKB di RS Sardjito tahun 2002 adalah 460 orang, sedangkan jumlah seluruh kunjungan di poliklinik THT pada tahun tersebut adalah 13.524 orang, maka frekuensi OMSKB adalah 3,4%.13 Faktor predisposisi kronisitas otitis media diduga karena: 1) disfungsi tuba auditoria kronik, infeksi fokal seperti sinusitis kronik, adenoiditis kronik dan tonsilitis kronik yang menyebabkan infeksi kronik atau berulang saluran napas atas dan selanjutnya mengakibatkan udem serta obstruksi tuba

auditoria. Beberapa kelainan seperti hipertro adenoid, celah palatum mengganggu fungsi tuba auditoria. Gangguan kronik fungsi tuba auditoria menyebabkan proses infeksi di telinga tengah menjadi kronik, 2) perforasi membran timpani yang menetap menyebabkan mukosa telinga tengah selalu berhubungan dengan udara luar. Bakteri yang berasal dari kanalis auditorius eksterna atau dari luar lebih leluasa masuk ke dalam telinga tengah menyebabkan infeksi kronik mukosa telinga tengah.5 3) Pseudomonas aeruginusa dan Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang tersering diisolasi pada OMSKB, sebagian besar telah resisten terhadap antibiotika yang lazim digunakan. Ketidaktepatan atau terapi yang tidak adekuat menyebabkan kronisitas infeksi.14 4) Faktor konstitusi, alergi merupakan salah satu faktor konstitusi yang dapat menyebabkan kronisitas. Pada keadaan alergi ditemukan perubahan berupa bertambahnya sel goblet dan berkurangnya sel kolumner bersilia pada mukosa telinga tengah dan tuba auditoria sehingga produksi cairan mukoid bertambah dan esiensi silia berkurang.15 Penyakit alergi adalah suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan asing yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun.16

| AGUSTUS 2010

425

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 425

7/23/2010 10:33:06 PM

HASIL PENELITIAN

Rinitis alergi adalah suatu gangguan hidung yang disebabkan oleh reaksi peradangan mukosa hidung diperantarai oleh imunoglobulin E (Ig E), setelah terjadi paparan alergen (reaksi hipersensitivitas tipe I Gell dan Comb). Gejala klinik rinitis alergi disebabkan oleh mediator kimia yang dilepaskan oleh sel mast, basol dan eosinol akibat reaksi alergen dengan Ig E spesik yang melekat di permukaannya. Mediator yang paling banyak diketahui peranannya adalah histamin. Histamin akan menyebabkan hidung gatal, bersin-bersin, rinore cair dan hidung tersumbat.17 Rinitis alergi bersifat kronik dan persisten sehingga dapat menyebabkan perubahan berupa hipertro dan hiperplasi epitel mukosa dan dapat menimbulkan komplikasi otitis media, sinusitis dan polip nasi. Beberapa pendapat menyatakan bahwa pada rinitis alergi, edema mukosa selain terjadi di kavum nasi juga meluas ke nasofarings dan tuba auditoria sehingga dapat mengganggu pembukaan sinus dan tuba auditoria.17 Prevalensi rinitis alergi di Indonesia belum diketahui pasti, namun data dari beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa frekuensi rinitis alergi berkisar 10 26%. Penelitian tentang penatalaksanaan OMSKB telah banyak dilakukan, namun lebih banyak ditujukan pada jenis pengobatan seperti perlunya antibiotik, jenis antibiotik, apakah cukup lokal atau sistemik, apakah antibiotika yang diberikan sudah sesuai dengan jenis bakterinya serta apakah cukup tindakan konservatif atau perlu tindakan operatif saja. Begitu juga penelitian mengenai faktor-faktor yang mendasari patogenesis OMSKB seperti fungsi ventilasi dan drainase tuba auditoria dalam hubungannya dengan proses penyembuhan OMSKB.12 Faktor alergi khususnya rinitis alergi sebagai faktor risiko OMSKB belum pernah diteliti. Restuti (2006)16 menyatakan bahwa prevalensi dan patogenesis OMSK dipengaruhi oleh banyak

faktor antara lain kekerapan infeksi saluran napas atas, sosioekonomi, gizi, alergi dan faktor imunitas. Sebagai respons alergi terjadi sekresi berbagai mediator dan sitokin yang mempengaruhi terjadinya inamasi dan kondisi seperti ini dapat berulang hingga kronis. Interleukin-1 (IL-1) merupakan sitokin yang kadarnya tinggi pada pasien OMSK; demikian juga tumor necrosis factor- (TNF-) yang dihubungkan dengan kronisitas pada otitis media juga memiliki kadar yang tinggi. Selain faktor fungsi tuba, patogenesis OMSK juga dipengaruhi oleh faktor mukosa telinga tengah sebagai target organ alergi. Pada biopsi mukosa telinga tengah didapatkan eosinophilic cationic protein (ECP), IL-5 dan basic major protein (BMP) yang tinggi pada pasien otitis media dengan rinitis alergi dibandingkan dengan pasien otitis media tanpa rinitis alergi. Sebagian besar otitis media supuratif kronik tampaknya berasal dari otitis media supuratif akut yang berulang, namun beberapa peneliti mengatakan bahwa otitis media kronis mungkin berasal dari otitis media efusi yang terinfeksi sekunder dengan hipertro dan hipersekresi mukosa telinga tengah.6 Penelitian epidemiologi di beberapa negara memperlihatkan angka > 50% pasien otitis media dengan rinitis alergi, 21% pasien rinitis alergi menderita otitis media. Tuba auditoria memegang peranan penting sebagai fungsi regulasi tekanan udara di dalam telinga tengah. Mekanisme ini dihubungkan dengan patosiologi penyebab obstruksi tuba, terutama akibat infeksi atau inamasi dari proses alergi. Rinitis dihubungkan sebagai etiologi otitis media dengan 2 cara yaitu: disfungsi tuba disebabkan oleh reaksi alergi dari mukosa nasal atau adanya fungsi mukosiliar yang terganggu.18 METODE PENELITIAN Rancangan dan Populasi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kasus-kontrol; bertujuan menganalisis /menentukan rinitis alergi sebagai fak-

tor risiko otitis media supuratif kronik benigna (OMSKB), membandingkan antara pasien OMSKB dengan faktor risiko rinitis (kasus) dan pasien non OMSKB dengan faktor risiko rinitis alergi (kontrol). Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah semua penderita OMSKB yang berobat ke klinik rawat jalan THT RS Dr. Sardjito Yogyakarta. Pengambilan sampel dengan cara berurutan (consecutive sampling) sampai tercapai jumlah sampel minimal. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria Inklusi: 1) Pasien OMSKB rawat jalan dengan keluhan sekret telinga berulang atau pernah, dan pada pemeriksaan otoskopi didapat cairan/ tanpa cairan pada liang telinga, membran timpani perforasi sentral tanpa kolesteatom dan granulasi, kontrol : pasien non OMSKB, yang datang ke poli rawat jalan THT, 2) Penderita pria atau wanita umur 5 tahun dan kooperatif, 3) Bebas dari obat antihistamin, kortikosteroid sistemik dan topikal setidaknya selama 7-10 hari. Kriteria Eksklusi : 1) Menderita OMA pada kelompok kontrol. Subyek Penelitian Subyek yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan menandatangani informed consent tanpa randomisasi dibagi menjadi kelompok kasus dan kelompok kontrol setelah anamesis dan pemeriksaan otoskopi. Setiap subyek terpilih selanjutnya dianamnesis dan menjalani pemeriksaan sik hidung serta pemeriksaan rinoskopi anterior, selanjutnya dilakukan skin prick test bagi sampel yang belum pernah di test. Jumlah Sampel Perkiraan besar sampel dihitung menggunakan rumus besar sampel untuk penelitian analitik kategorik tidak berpasangan dengan ditentukan sebesar 5% untuk tingkat kesalahan tipe I, ditetapkan sebesar 20% untuk kesalahan tipe II; power (1-) adalah 80% berarti penelitian ini mempunyai pe-

426

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 426

7/23/2010 10:33:07 PM

HASIL PENELITIAN

luang sebesar 80% untuk mengetahui adanya pengaruh faktor risiko terhadap kasus apabila perbedaan itu ada di populasi. Z untuk menguji hipotesis satu arah sebesar 1,64 dan Z sebesar 0,84. Dari kepustakaan didapatkan proporsi pajanan pada kelompok kontrol sebesar 20 %. Dari hasil perhitungan besar sampel minimal, maka jumlah total sampel 98 orang, untuk kelompok kasus adalah 49 orang dan kelompok kontrol 49 orang. Analisis Statistik Data disajikan dalam bentuk tabulasi dan deskripsi statistik. Analisis statistik yang digunakan adalah: 1) Uji X2 untuk menghitung ada tidaknya perbedaan karakteristik kedua kelompok. 2) Analisis regresi logistik, untuk menilai variabel-variabel yang berpengaruh pada otitis media supuratif kronik benigna. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian di poliklinik THT RS Dr. Sardjito Yogyakarta dari bulan Juni 2007 sampai dengan bulan Maret 2008 menemukan 53 penderita OMSKB dan 50 pasien non OMSKB, 100 pasien di antaranya memenuhi kriteria inklusi penelitian ini, sisanya sebanyak 3 pasien dari kelompok kasus tidak bersedia menjalani skin prick test. 1. Karakteristik demogras subyek penelitian Uji X2 mendapatkan nilai p = 0,102 (> 0,05), tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antar usia kelompok kasus dengan kelompok kontrol pada penelitian ini. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin subyek pada kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan nilai p = 0,840 (p > 0,05); OR: 0,922; IK 95%: 0,41- 2,03. Kedua variabel umur dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap morbiditas OMSKB.

Tabel 1. Distribusi subyek penelitian menurut umur dan jenis kelamin

Kasus N(%) Umur (tahun) 5 15 16 25 26 55 56 Jenis Kelamin Laki laki Perempuan 21 (42) 29 (58) 5 (10) 15 (30) 26 (52) 4 (8)

Kontrol N(%) 5 (10) 26 (52) 18 (36) 1 (2)

Total (%)

Nilai p (Uji X2)

10 (10) 41 (41) 44 (44) 5 (5) 0,102

22 (44) 28 (56

43 (43) 57 (57)

0,840

Tabel 2a. Distribusi menurut keluhan dan kelainan telinga

Keluhan dan Kelainan telinga Cairan dari Telinga Batuk, pilek dan demam Manipulasi telinga Kambuh < 3 x/ th Kambuh 3 x/th Pendengaran menurun Perforasi MT

Kel.Kasus N(%) 26 (52) 41 (82) 9 (18) 7 (14) 43 (86) 3 (6) 50 (100

Kel.Kontrol N(%) -

Nilai p (Uji X2) 0,001 0,001

0,006 0,079 0,001

Tabel 2b. Distribusi menurut keluhan dan kelainan hidung

Keluhan dan Kelainan hidung Meler, bersin dan tersumbat Riwayat atopi (+) Hipertro, livide, discharge serous, Shiner dan crease 41 (82) 26 (52) 40 (80) 9 (18) 1 (2) 4 (8) 0,001 0,001 0,001

Tabel 3. Hubungan keluhan dan kelainan telinga dan hidung dengan rinitis alergi

RA (+) Keluhan dan kelainan Telinga Telinga meler Tidak meler Batuk, pilek dan demam Manipulasi telinga Kambuh < 3 x/th Kambuh 3 x/th Perforasi MT Tidak perforasi MT Keluhan dan kelainan Hidung Meler, bersin dan tersumbat Tanpa keluhan Riwayat atopi Tanpa riwayat atopi Hipertro, livide, discharge sereus, shiner dan crease Tanpa kelainan hidung 48 27 21 44 4 20 28 36 12 4 44 40 8

RA (-)

Total N(%) 26(26) 74(74) 41(41) 59(59) 7(7) 93(93) 50(50) 50(50)

Nilai p (Uji X2)

6 46 5 47 3 49 10 42

0,001

0,001

0,616 0,001

2 50 52 52

50(50) 50(50) 27(27) 73(73) 44(44) 56(56) 0,001 0,001 0,001

| AGUSTUS 2010

427

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 427

7/23/2010 10:33:07 PM

HASIL PENELITIAN

2. Karakteristik keluhan dan kelainan telinga dan hidung Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok kasus dan kontrol pada keluhan cairan keluar dari telinga dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05); OR: 3,08; IK 95%: 2,2 4,2. Sebanyak 41 kasus (82%) mengeluh batuk, pilek dan demam sebelum keluhan telinga timbul dan 9 pasien (18%) karena manipulasi telinga - p = 0,001 (< 0,05); OR: 6,5; IK 95%: 3,5 11,9. Sebanyak 7 pasien (14%) kambuh kurang dari 3 kali pertahun, 43 pasien (86%) kambuh 3 kali per tahun. p = 0,006 (< 0,05); OR: 2,1; IK 95%: 1,7 2,7. Keluhan penurunan pendengaran perbedaan antara kelompok kasus dan kelompok kontrol tidak berbeda bermakna - p = 0,079 ( > 0,05); OR: 2,06; IK 95%: 1,68 2,53. Penurunan pendengaran dapat disebabkan karena faktor usia. Kelainan telinga berupa perforasi membran timpani terjadi pada semua kasus - 50 pasien (100%), sedangkan di kelompok kontrol tidak terdapat kelainan telinga. p = 0,001 (p < 0,05). Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol pada ketiga variabel keluhan dan kelainan hidung (p = 0,001). 3. Hubungan antara keluhan dan kelainan telinga dan hidung dengan rinitis alergi Terdapat perbedaan bermakna keluhan telinga meler, batuk, pilek dan demam serta kelainan telinga berupa perforasi membran timpani pada rinitis alergi (p = 0,001 < 0,05). Namun tidak terdapat perbedaan rinitis alergi yang bermakna antara kekambuhan < 3 kali/tahun maupun kekambuhan 3 kali/tahun (p = 0,616 > 0,05). Setasubrata (1999)12 tidak mendapatkan perbedaan bermakna frekuensi kekambuhan dalam hal gangguan fungsi ventilasi (p = 0,26) dan drainase dari tuba eustachius dengan (p = 0,12).

Tabel 4. Hasil pengukuran kedua kelompok penelitian terhadap rinitis alergi

Kasus N(%) Rinitis Alergi (+) Rinitis Alergi (-) Total 40 (80) 10 (20) 50 (100)

Kontrol N(%) 8 (16) 42 (84) 50 (100)

Nilai p 0,001

Tabel 5. Hasil regresi logistik pengaruh variabel terhadap OMSKB

Variabel Rinitis Alergi Keluhan dan kelainan telinga Batuk, pilek dan demam Manipulasi telinga Perforasi MT Tidak perforasi MT Telinga meler Tidak meler Keluhan dan kelainan hidung Meler, bersin dan Tersumbat Riwayat atopi (+) Hipertro, livide, Discharge sereus, Shiner dan crease

0,080 3,108

p 0,001 0,008

Adjusted OddRatio 21,00 22,38

IK 95% 7,53 58,56 2,24 22,81

1,752 -1,69 13,89

0,032 0,135 0,894

5,76 0,185 1083859,7

1,16 28,56 0,02 1,69 0,001 4,525

0,001 12,51

1,000 0,944

1,000 270964,93

0,001 1,024 0,001 2,586

Keluhan dan kelainan hidung dengan rinitis alergi berbeda bermakna (p = 0,001 < 0,05) pada ketiga variabel karena ketiga variabel tersebut merupakan tanda dan gejala rinitis alergi. Hasil penelitian ini sama dengan hasil Wratsongko (2004)19 dengan nilai p = 0,001 untuk ketiga variabel tersebut. 4. Hubungan OMSKB terhadap rinitis alergi Terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok terhadap rinitis alergi dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05); OR: 21; IK 95%: 7,53 58,56. Risiko kejadian kasus (OMSKB) adalah 21 kali lebih sering pada orang yang menderita rinitis alergi dibandingkan dengan orang yang tidak menderita rinitis alergi. Hurst (2002)20 juga menemukan perbedaan bermakna antara pasien otitis media efusi (OME) dengan pasien atopi, (p = 0,001). Begitu juga Suprihati dan Putra (1993)17 menemukan hubungan antara rinitis alergi dengan OME (PR prevalence ratio = 2,18 ) yang menandakan bahwa rinitis alergi

merupakan faktor risiko OME. 5. Analisis regresi logistik Variabel tergantung pada penelitian ini adalah OMSKB, sedangkan variabel bebas yang dianalisis adalah rinitis alergi, keluhan dan kelainan telinga dan keluhan dan kelainan hidung. Didapatkan tiga variabel yang berhubungan bermakna atau berpengaruh terhadap OMSKB yaitu rinitis alergi (p = 0,001, OR: 21: IK 95%: 7,53 58,56). Peluang terjadinya OMSKB 22 kali lebih besar pada pasien dengan keluhan telinga diawali batuk, pilek dan demam dibandingkan pasien dengan keluhan telinga tanpa diawali batuk, pilek dan demam (p = 0,008, OR: 22,38 ; IK 95%: 2,24 22,81). Peluang terjadinya OMSKB 5 kali lebih besar pada pasien dengan perforasi membran timpani dibandingkan pasien tanpa perforasi membran timpani (p = 0,032, OR: 5,76 ; IK 95%: 1,16 28,56).

428

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 428

7/23/2010 10:33:07 PM

HASIL PENELITIAN

SIMPULAN Rinitis alergi merupakan faktor risiko pada otitis media supuratif kronik benigna (OMSKB). SARAN Melakukan test alergi (skin prick test), menegakkan diagnosis rinitis alergi serta memberikan terapi rinitis alergi pada pasien otitis media yang sering berulang untuk menekan angka kejadian OMSKB.

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Helmi. Panduan penatalaksanaan baku otitis media supuratif kronik di Indonesia. Jakarta 2002: 4-13. Paparela MM. Denition and classication of otitis media. Fifth Asia Oceania Congress of Otorhinological Societies 1983: 9-14. Proctor B. Chronic otitis media and mastoiditis. Otolaryngology vol 2. Paparela, (eds). Philadelphia:WB. Saunders Co. 1973. 138-140. Djaafar ZA. Diagnosis dan pengobatan otitis media supuratif kronik. Pengobatan Non Operatif Otitis Media Supuratif Kronik. Jakarta 1990: 47-56. Mawson SR. Disease of Middle Ear. Disease of the ear. 3rd ed. Great Britain: Alden and Mombrax ltd.. 1974 Sedjawidada R. Historia naturalis of otitis media: a scheme resuming the inter relationships between various form of otitis media and their resective surgical iteration. ORL Indonesia 1985: 16(3). Boesoirie T. Miringoplasti dini, suatu cara efektif merekonstruksi mekanisme pendengaran konduktif pasca radang kronis telinga tengah. FK UNPAD Bandung. Disertasi 1995: 1-112. Departemen Kesehatan RI. Pedoman upaya kesehatan telinga dan pencegahan gangguan pendengaran untuk puskesmas.1998. Helmi. Perjalanan penyakit dan gambaran klinis otitis media supuratif kronik. Pengobatan non operatif otitis media supuratif. Jakarta 1990:17-30. 10. Boesoirie T. Prevalensi serta pola kepekaan kuman aerob dan anaerob pada otomastoiditonis kronis di RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung. FK UNPAD Bandung. Tesis Magister 1992:52-54. 11. Djohar TH. Evaluasi fungsi tuba eusthacius dengan metoda modikasi inasi-deasi dan tetes telinga memakai zat warna pada penderita-penderita otitis media perforata kering dewasa. Karya Tulis Akhir 1992 Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung. 12. Setasubrata YD. Peran fungsi ventilasi dan drainase tuba auditoria pada kesembuhan otitis media supuratif kronik benigna aktif. Karya Tulis Akhir 1999: 1-39. 13. Hartanto D. Daya guna klinis amnion sebagai bahan bridge pada penutupan perforasi membran timpani permanen secara konservatif. Karya Tulis Akhir 2004. FK UGM Yogyakarta. 14. Djoko Rianto BU. Effectiveness of ciprooxacin ear drops vs chloramphenicol ear drops for treating active benign type chronic otitis media. Master of Science in Public Health Thesis.1998 .Yogyakarta Gadjah Mada University. 15. Gladstone HB, Jackler RK, Varav K. Tympanic membrane wound healing: an overview. Otolaryngol Clin North Am 1995.28: 913-932. 16. Restuti RD. Hubungan Alergi dengan Otitis Media Supuratif Kronik. Abstrak Pertemuan Ilmiah Tahunan Otologi I. Jakarta 2006: 31. 17. Putra IGK, Suprihati W. Hubungan antara rinitis kronik alergika dan otitis media dengan efusi. Kumpulan Naskah Ilmiah Kongres PERHATI. Bukit Tinggi 1993. 18. Lazo-Saenz JG, Galvan Aguilera AA. Eustachian tube dysfunction in allergic rhinitis. Otollaryngol Head Neck Surg 2005.132: 626-631. 19. Wratsongko GT. Uji Diagnostik Skor Rinitis Alergi. Karya Tulis Akhir 2003. FK UGM Yogyakarta. 20. Hurst DS, Venge P. The impact of atopy on neutrophil activity in middle ear effusion from children and adults with chronic otitis media. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2002.128: 561-566. MM, Schumrick, DA

| AGUSTUS 2010

429

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 429

7/23/2010 10:33:08 PM

HASIL PENELITIAN

Hubungan antara Rinitis Kronis dan Gambaran Sinusitis pada Foto Waters
Dewi Ayu Paramita*, Suyono*, Kristanto Yuli Yarsa**, Mardiatmo*, Wachid Putranto***
*Departemen Radiologi ,**Departemen Histologi ,***Departemen Interna Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/ RSUD DR. Moewardi, Surakarta

ABSTRAK Obyektif: untuk mengetahui hubungan antara rinitis kronis dan gambaran sinusitis pada foto Waters. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun manfaat praktis di bidang radiologi. Metode: Penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Subjek penelitian pasien dengan hasil foto Waters di bagian Radiologi RSUD Dr. Moewardi Surakarta antara bulan Januari sampai Juni 2008. Data dianalisis menggunakan Mantel-Haenszel Chi Square OpenEpi version 2. Hasil: Total subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi adalah 91 orang. Hasil uji statistik MantelHaenszel Chi Square OpenEpi version 2 menunjukkan nilai p = 0,002 dengan odds ratio 3,78. Simpulan: Subjek penderita rinitis berkemungkinan 3,78 kali lebih besar untuk mempunyai gambaran sinusitis pada foto Waters. Kata kunci: rinitis kronis, sinusitis, foto Waters

PENDAHULUAN Rinitis adalah radang membran mukosa hidung1 Gejala rinitis seperti pilek, demam, dan nyeri kepala sering diabaikan; padahal rinitis bisa merupakan permulaan penyakit yang akan mengganggu kehidupan selanjutnya.2 Rinitis dan sinusitis adalah kondisi medis umum yang sering dihubungkan satu sama lain dan dapat mengakibatkan morbiditas dan biaya medis yang tinggi.3 Ratusan juta serangan common cold setiap tahun di Amerika dan di negara lain berdampak besar pada ekonomi dunia.4

Pasien rinitis alergi sering kualitas tidurnya buruk, nafas terganggu saat tidur, mengantuk siang hari dan kelelahan yang mengarah ke penurunan kognitif dan psikomotor, gangguan prestasi kerja, belajar, penurunan produktivitas, kesulitan konsentrasi, dan desit memori.5 Penderita sinusitis kronis mempunyai tingkat nyeri paling tinggi di antara beragam penyakit termasuk penyakit jantung, nyeri punggung bawah, dan penyakit paru kronis. Mereka juga memberi hasil paling buruk pada tes-

tes fungsi sosial.6 Pada pasien dengan keluhan klinis yang mengarah pada sinusitis, diperlukan informasi keadaan sinus. Di beberapa rumah sakit atau klinik di Indonesia, evaluasi sinus paranasalis cukup dengan foto kepala AP dan lateral serta posisi Waters. Apabila foto di atas belum dapat menentukan atau belum diperoleh informasi lengkap, baru dilakukan pemotretan dengan posisi lain.7 Berdasarkan latar belakang masalah

| AGUSTUS 2010

431

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 431

7/23/2010 10:33:15 PM

HASIL PENELITIAN

tersebut, peneliti berminat mengetahui hubungan antara rinitis kronis dan gambaran sinusitis pada foto Waters. METODOLOGI

Cara Kerja 1. Tahap Persiapan: Mengumpulkan data pasien yang menjalani pemeriksaan foto Waters. 2. Tahap Pelaksanaan: Interpretasi hasil pemeriksaan foto Waters dengan melihat rekam medis pasien di Instalasi Rekam Medis RSUD DR. Moewardi Surakarta.

Teknik Analisis Data Menggunakan Mantel-Haenszel Chi Square OpenEpi version 2. HASIL Dari 179 subjek, sampel yang dapat diambil adalah 91 orang karena sisanya tidak memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, seperti langsung didiagnosis sinusitis, pilek lebih dari 1 bulan bukan disebabkan rinitis kronis, nomor rekam medis tidak jelas, dan identitas kurang lengkap. Dari 91 sampel, 51% (46 orang) menunjukkan gambaran sinusitis pada pemeriksaan foto Waters - 53% (25 orang) wanita dan 47% (21 orang) laki -laki. Hal ini sesuai dengan penelitian Ramanan (2007) yang menyatakan bahwa wanita mempunyai lebih banyak episode sinusitis karena cenderung mempunyai hubungan lebih dekat dengan anak-anak.9 Gambaran sinusitis maxillaris merupakan yang terbanyak - 52% (24 orang) ipsilateral, 28% (13 orang) bilateral. Sisanya 20% (9 orang), menunjukkan gambaran sinusitis maxillaris bersamaan dengan gambaran sinusitis lain, yakni 1 orang bersama sinusitis frontalis, 5 orang bersama sinusitis ethmoidalis, dan 3 orang pansinusitis. Hal ini sesuai penemuan Mangunkusumo dan Rifki (2006) - paling sering sinusitis maxillaris dan sinusitis ethmoidalis.8 Penelitian William et al (1992) pada rekam medis dan staf ahli radiologi, ahli radiologi dengan pelatihan khusus radiologi tulang, dan residen radiologi senior menyimpulkan bahwa foto Waters dapat diterima untuk mendiagnosis sinus maxillaris.10 Pada penelitian ini ditemukan bahwa gambaran sinusitis relatif meningkat dari kelompok usia 10-20 tahun sampai usia 50-60 tahun; relatif rendah pada usia 0-10 (diagram 2). Hal ini sesuai dengan Sharma (2006) yang menyatakan bahwa prevalensi tertinggi sinusitis adalah pada usia dewasa, 18-75 tahun, setelah itu anak-anak kurang dari 15 tahun dan pada anak usia 5-10 tahun.11

Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di bagian Radiologi dan Instalasi Rekam Medik RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Waktu penelitian dari bulan Januari 2008 sampai bulan Juni 2008. POPULASI DAN SAMPEL Sampel adalah semua hasil foto Waters bagian Radiologi RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada Januari-Juni 2008. Sampel penelitian adalah semua populasi sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi Teknik Sampling Teknik pengambilan sampel yang dipakai adalah purposive sampling dengan kriteria : 1. a. Inklusi :

Identikasi Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : Rinitis Kronis Rinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik. Rinitis disebut kronis bila radang terjadi lebih dari 1 bulan.8 Cara pengukuran : pemeriksaan klinis Skala : Nominal 2. Variabel terikat : Gambaran Sinusitis Sinusitis adalah inamasi mukosa sinus paranasalis.8 Pada pencitraan foto Waters, akan tampak penebalan mukosa, air uid level (kadang), perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus, serta penebalan sklerotik dinding sinus (kasus kronis).7

Telah melakukan foto Waters pada Januari-Juni 2008 b. Penderita tanpa batasan umur maupun jenis kelamin 2. Eksklusi : Semua hasil foto Waters yang memiliki gejala pilek lama dan bukan didiagnosis rinitis kronis (contoh: polip nasi, carcinoma nasi, granulomatosis Wegener, dan benda asing di cavum nasi) dan pasien yang langsung didiagnosis sinusitis pada bulan JanuariJuni 2008.

Cara pengukuran : Interpretasi foto Skala : Nominal 3. a. Variabel perancu:

Variabel perancu yang dapat dikendalikan : semua foto Waters pada pasien pilek lama bukan disebabkan oleh rinitis kronis. b. Variabel perancu yang tidak dapat dikendalikan: subjektivitas penilaian ahli radiologi

Rancangan Penelitian
Rinitis kronis + Populasi sampel Sampel foto Waters Rinitis kronis -

Sinusitis + Sinusitis Analisis data Sinusitis + Sinusitis | AGUSTUS 2010

Bagan 1. Rancangan penelitian

432

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 432

7/23/2010 10:33:16 PM

HASIL PENELITIAN

15 10 5 0
0-10 th 10-20 th 20-30 th 30-40 th 40-50 th 50-60 th 60-70 th

Tidak ada gambaran Ada gambaran

SIMPULAN Terdapat hubungan bermakna antara rinitis kronis dan gambaran sinusitis pada foto Waters. SARAN Perlu penelitian lanjutan dengan sampel lebih besar dan metode penelitian lebih baik (misal cohort) agar lebih mewakili populasi dengan hasil lebih terpercaya.

Diagram 2. Persentase subjek penelitian berdasarkan umur

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC,1994. Ballenger J.J. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher 225-74 3. 4. 5. Dykewicz M. Rhinitis and sinusitis. J. Allerg. Clin. Immunol. 2003;111(2):520-9 Boies LR. dkk. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC,1997. Pratt EL, Craig TJ. Assessing Outcomes from the Sleep Disturbance associated with Rhinitis. Curr. Opin. Allerg Clin Immunol. 2007.7(3): 249-56 6. Metson RB. Menyembuhkan Sinusitis. Jakarta: PT Buana Ilmu Populer 2006. Rachman MD dkk. Radiologi Diagnostik. Edisi kedua. Jakarta: Gaya Baru, 2005.pp: 431-8 8. Soepardi, Eaty A, Nurbaiti I (eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi kelima. Jakarta: Gaya Baru, pp: 101-122 9. Ramanan R.V. Sinusitis 2007.. http://www. emedicine.com/ (19 Juli 2008). bag THT FKUI/ RSCM (ed.). Jakarta: Bina Aksara; 1993.Hal Diagram 3. Sebaran penyakit subjek penelitian Tabel 4. Hubungan antara Rinitis Kronis dan Gambaran Sinusitis pada Foto Waters

Diagnosis Rinitis Kronis (+) Gambaran Sinusitis pada foto Waters (-)

Sedikitnya subjek berumur 0-10 tahun adalah karena pemeriksaan foto Waters hanya cocok pada anak usia lebih dari 3 tahun. Foto polos sinus pada anak usia 3 tahun atau kurang tidak berguna karena adanya false opasitas sinus yang belum berkembang.12 Sinus paranasalis mencapai besar maksimal pada usia 15-18 tahun.8 Yang harus diperhatikan pada pembacaan foto Waters untuk sinus paranasalis rutin ialah kejernihan anthrum maxillaris, keutuhan dinding anthrum dan os zygomaticus, sinus sphenoidalis (jika foto Waters dilakukan dengan mulut terbuka), septum nasi, air uid level, dapat terlihat sinus lain tetapi tidak maksimal.13 Gambaran sinusitis pada foto polos adalah penebalan mukosa, air uid level, dan opasitas, serta penebalan sklerotik dinding sinus (kasus kronis).7 Penebalan mukosa terlihat pada lebih dari 90% kasus sinusitis, tetapi sangat

tidak spesik. Air uid level dan opasitas lebih spesik untuk sinusitis tapi hanya terlihat pada sekitar 60% sinusitis. Interpretasi foto polos radiogra bisa sangat berbeda antar observer, dan mungkin false negatif.12 Dari 91 orang subjek penelitian, diagnosis terbanyak adalah rinitis kronis (49% - 46 orang). Kemudian berturutturut fraktur tulang kepala (18% - 17 orang), kelainan gigi (10% - 9 orang), sefalgia (6% - 6 orang), dan tumor (1 tumor malignan tuberokista dan 2 tumor maksila) serta cedera kepala 3 orang. Subjek dengan diagnosis selain di atas adalah 10 orang (11%). Hasil uji statistik Mantel-Haenszel Chi Square OpenEpi menunjukkan odds ratio 3,78 (p = 0,002). Pasien rinitis kronis berrisiko mempunyai gambaran sinusitis pada foto Waters 4 kali lebih besar daripada tanpa rinitis kronis; peningkatan risiko tersebut secara statistik sangat signikan.

7.

10. William JWJ, Roberts LJ, Distell B, Simel DL. Diagnosing sinusitis by X-ray: is a single Waters view adequate. J Gen Intern Med. 1992;(5):566. 11. Sharma GD. 2006. Sinusitis. http://www.emedicine.com/ (19 Juli 2008). 12. Okuyemi KS, Tsue TT. Radiologic imaging in the management of sinusitis. Radiologic Decision-Making. 2002.http://ndarticles.com/ (19 Juli 2008) 13. Meschan I. Synopsis of Analysis of Roentgen Signs in General Radiology. Philadelphia: WB Saunders, 1974. pp:205-8

| AGUSTUS 2010

433

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 433

7/23/2010 10:33:16 PM

HASIL PENELITIAN

Introduction of Student Oral Case Analysis (SOCA) to Assess Students Performance in Pre-clinical Setting in Faculty of Medicine, Mataram University
Eustachius Hagni Wardoyo1, Bobby Marwal Syahrizal1, Dyah Purnaning , Ida Ayu Eka Widiastuti1, Ardiana Ekawanti1, Muhammad Farid Wajdi2
1

1. Faculty of Medicine, Mataram University (FMMU), Mataram, Indonesia 2. Dept. of Internal Medicine, Mataram General Hospital / FMMU, Mataram, Indonesia

ABSTRACT Background: The competence-based curriculum that integrate different knowledge and skills to produce certain competencies requires proper assessment. In clinical setting, Student Oral Case Analysis (SOCA) has been widely used to assess students performance; however, the evidence in preclinical setting with more students is still limited Objective: To describe the implementation of SOCA in pre-clinical setting Method: The study is a descriptive study. Every student participating in Metabolism and Energy Block were included in the study. SOCA was used to assess students performance in the following manner: 1) developing dietary plan for normal individual, 2) developing dietary plan for patient with nutritional disorder (under-nutrition), and 3) developing dietary plan for patient with organ disorders (kidney, heart and liver) and metabolic disorders (diabetes and hypertension). Each student was assessed in 20 minutes : 5 minutes for the scenario, 5 minutes for explanation with a simple owchart, 10 minutes for answering 4-5 questions. Evaluation components was on the presentation (40%), the answers (50%) and general performance (10%). The score was from 60 to 100 : frequent inaccuracy and guesses (60-69), occasional inaccuracy (70-79), generally accurate, no guess (80-89), exceptionally complete (90-100). A semi-structured interview was conducted to explore students perception on SOCA. Result: Participants were 61 students. Sixty (98.36%) students passed SOCA (cut-off point: 70). Fifty two (85.24%) students perceived that SOCA had helped them understand the topic, transforming basic medical science to clinical setting. Forty nine (80.33%) students also mentioned that the motivation to study was enhanced through SOCA. Conclusion: SOCA in FMMU helped students in topics understanding and increased study motivation. Keywords: SOCA, competence-based curriculum

Medical education has shifted to problem-based learning paradigm. Lecture that used to be the main learning activities, now simply act only as instructional class assignment or introduction to learning objectives. Tutorial as main learning activity enhanced students ability to orally present their opinion. The introduction of competencebased curriculum that integrate different knowledge and skills to produce certain competencies requires proper assessment. In many medical schools,

Student Oral Case Analysis (SOCA) is one of the instrument to assess students performance in clinical clerkship. Oral case presentation is vital in medical career, i.e. to present a case, and to explain the disease to a patient or their family.1,2 SOCA has low psychometric indicators with low reliability and validity. These criticisms are justied if the objectives are to produce relatively homogeneous products for diverse trades or professions. But these same

characteristics may be quite powerful to promote diversity of student performance; active discussion may serve as a powerful incentive to go beyond mere competence and to demonstrate air.3 It is possible to increase the reliability using several rather than single oral examination(2). SOCA has been widely implemented in clinical clerkship in many medical schools in Indonesia but implementa-

434

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 434

7/23/2010 10:33:17 PM

HASIL PENELITIAN

tion in pre-clinical setting is poorly documented. In 2007 The Faculty of Medicine Mataram University has introduced SOCA to assess students performance in preclinical setting in the fth block Metabolism and Energy. This study described the implementation SOCA in pre-clinical setting. METHODS Participants characteristics The participants consist of 61 students: 43 (70.49%) female and 18 (29.51%) male in Metabolism and Energy block. All participants fullled 75% attendance in all learning activities in Metabolism and Energy block to qualify SOCA. Examiners characteristics Examiners were tutors of Metabolism and Energy block; consist of 5 persons and 3 additional examiners. All examiners were trained as SOCA examiner. The training was technical on how to examine using existing instruments PROCEDURES Development of SOCA protocol SOCA protocol was developed as a part of Metabolism and Energy block. Modications was needed to adjust SOCA in clinical clerkship setting to a pre-clinical setting,. Real case in clinical setting was modied by case scenario (bedside presentation is not applicable in pre-clinical setting) and SOAP (subjective, objective, assessment, plan and prognosis) presentation in clinical setting is modied by a short scheme / owchart. In this study, students were asked to develop a dietary plan. SOCAs implementation Students were divided into three groups, each group underwent SOCA in three different days. SOCAs examiners were all ve tutors in Metabolism and Energy block plus three other examiners. All were trained as SOCA examiners. Different scenarios were used in different days. Each student underwent 20 minutes of SOCA and 5 minutes interval. The time allocation were summarized in table 1.

Tabel 1. SOCA Time allocation

Time The rst 5 minutes

Time allocation Read the scenario carefully

tween pre and post SOCA students. A semi-structured questionnaire was conducted to explore students perception of SOCA RESULT Implementation of SOCA Introduction of SOCA in pre-clinical setting at FMMU was started in Metabolism and Energy block. SOCA was held in May 26 28, 2008. Sixty (98.36%) among 61 students passed the exam (cut off: 70). One student underwent remedial SOCA a week later because of sick leave. Objectivity of SOCA was increased through several efforts: 1) Random students queue 2) Random scenario 3) Drawn scheme as part of assessment 4) Examiners trained as SOCA examiner. Perceptions of students Fifty two (85.24%) students perceived that SOCA helped in transforming basic medical science to clinical setting. Some students changed their learning strategy by reading more learning resources weeks before, and by practicing SOCA assessed by peers. Forty nine (80.33%) students also mentioned that motivation was enhanced through SOCA. Implementation of SOCA increased anxiety among students, but nally students felt excited and relieved. Some of their comments: So relieve after the exam, I thought it is going to be hard, but I can make it!, I am very anxious on what is going to be, but I am satised for what Ive learned., and I imagine I can implement my knowledge to a real patient. One student is really tired and think SOCA is unnecessary, has not enough time to prepare; and the ringing bell during

-69), occasionally inaccurate (70-79), generally accurate, no guess (80-89), exceptionally complete (90-100).
Table 2. Components of assessment

Components of assessment

Score (60-100)

| AGUSTUS 2010

435

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 435

7/23/2010 10:33:17 PM

HASIL PENELITIAN

SOCA was disturbing. One examiner was criticized as has low objectivity. The limitation was a low lecturer : student ratio (17 : 211). DISCUSSION Five criteria for determining the usefulness of a particular method of assessment: 1) reliability (measurement accuracy and reproducibility), 2) validity (whether the assessment measures what it claims to measure), 3) impact on future learning and practice, 4) acceptability to learners and faculty, and 5) costs (to individual trainee, institution, and society)(4). Reliability was enhanced by providing assessments instruments. SOCA can be performed repeatedly.

SOCA could not be used as a single component, SOCA at FMMU was one of assessment methods used in Metabolism and Energy Block. Impact of SOCA partly has been explored in students perception regarding SOCA implementation. Prospective study is needed to assess future impact of SOCA. Cost of SOCA is quite high due to development of SOCAs protocol, large human resources need and time consuming. In conclusion, SOCA has been successfully implemented to assess students performance in pre-clinical setting in Faculty of Medicine, Mataram University, with positive impact in helping students to construct their

understanding of the topic, transforming basic medical science to clinical setting and in enhancing study motivation.

REFERENCES 1. Jayawickramarajah PT. Oral examinations in medical education Medical Education 2009;19 (4): 290 293. 2. CPM, Donker AJM, Reliability of clinical oral examinations re-examined. Medical Teacher 2001; 23( 4): 422-424 3. 4. Rangachari PK. The targeted oral. Advances in Physiology Education 2004; 28: 213214. VanDer Vleuten CPM. The assessment of professional competence: developments, research and practical implications. Adv Health Sci Educ 1996;1: 41-67

Kami Tunggu Tulisan Anda Mengenai :


TIS dan Dar PRAKCair an
Terapi ah
e.co.id/c dk

IS nderita AKT k Pe PRet untu


Di litus Mel
http

etes Diab

146
o. dk id/c
/ vol.3 7 no. - Jun 4 / Mei i 2010

http.//w

ww.kalb

PRAKTIS

.//ww

w.ka

lbe.c

Manajemen Pembedahan pada Cedera Medula Spinais


ISSN: 0125-913 X I 178 / vol.37 no. 5 / Juli - Agustus 2010

146

ISSN:

0125-913

X I 177

ISSN:

http.//www.kalbe.co.id/cdk

0125-9

13 X

I 179

/ vol.

37 no.

6 / Ag

ustus

2010

Treatm TIS Tumors ent of Per iph

PRAK

eral Ne

rve

01 ISSN:

25-9

I 17 13 X

6/

vol.

. 37 no

3/

April

2010

http.//w

ww.ka lbe

455
.co.id/ cdk

nja a ium Usah akit Gi l Stad Peny Ginja

A AKukan PUSTrbur akit AN bat Pe Peny JAU rlam ik ke TIN Mempe l Kron Akhir

L wan OFI arta FACE PRDr . Sid EMD. icu -K . DR PD Pem in Prof do, Sp a DM kr on Tu Endo Soeg rang i Ahli O jad Men

LIT kong PENE n Sing HASIL rak Dau adap Fungsi h Ekst Pengaru uttilisima) terh h yang t Tikus Puti osamin (Maniho Ginjal Nitr inogen Hati dan si Kars Diinduk

IAN

PU tah yang UAN l Mun n Mua TINJA oterapi aksanaa Penatal Diinduksi Kem

STAKA

PROF PHD, Pin, at Dr. Yow emuan Dap en Pen Setiap g Ribuan Pasi Menolon
4/26/2010 3:33:16 PM

IL

Hubungan antara Derajat Lengkung Kaki dengan Tingkat Kemampuan Endurans pada Calon Jemaah Haji, 2007

HASIL PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA

t,FNBUJBO#BUBOH0UBL t4JOESPN1JSJGPSNJT t$FOUSBM1POUJOF.ZFMJOPMZTJT Diagnosis dan Penatalaksanaan

Erosi NE Das Kelaina ar Ten LITIA Pender n Saraf gkorak danN PROFIL Kra ita Kar di RS. Irawan sinoma nial pada Dr. Cosphiadi H. Ad Na SpPD KHOM, am Malik sofaring
CDK #FSNBOGBBUVOUVL0SBOH-BJO ed_179 Agustus -Sep tember'1 0 DR. indd

HASIL

PE

+BEJMBI0SBOHZBOH

Medan

Ste tos

kop -St

eto sko

OPIN

p Ma sa De pan Prof. PROF Dr. IL Teknol Bambang He ogi TH Sehing T Sem rmani, SpT ga Bed akin HT (K) ah Jalur Canggi THT Otak Saa t ini Me h, Terleb ih Da hulu lalui

us Peng la Darahda Tik Gu ka pa Lu

mb e SIL Kese abetik HAaruh Temp dan Di

N TIA r ELI p Kada PENterhada uhan

7 mei

cover.indd

403

INFEKSI

KESEHATAN ANAK

GASTROENTEROLOGI

436

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 436

7/26/2010 5:31:41 PM

LAPORAN KASUS

Epulis Gigantocellulare
Azamris Sub Bagian Bedah Onkologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas / RSUP. M.Djamil Padang

ABSTRAK Epulis gigantosellulare atau epulis sel raksasa adalah kondisi serupa tumor yang biasanya berkembang dari tepi bebas gusi. Epulis gigantosellulare merupakan nodul ekstraosseus terdiri dari proliferasi mononuklear dan multinukleasi giant cell berhubungan dengan vaskularisasi, ditemukan di gingiva atau ridge alveolar. Epulis gigantosellulare adalah reaksi hiperplastik jaringan ikat gingiva yang didominasi oleh komponen seluler histiositik dan endotelial. Kedua jenis sel tersebut bercampur baur dan tersusun pada pola lobular yang dipisahkan oleh jaringan ikat brous yang mengandung pembuluh darah sinusoid besar. KASUS: Seorang perempuan 14 thn dengan benjolan di rongga mulut sejak 4 tahun. Awalnya benjolan kecil sebesar kacang tanah di rahang bawah, kemudian sejak 2 tahun membesar seukuran tinju dan terdapat di rahang atas dan bawah, mengganggu, tidak nyeri, mudah berdarah. Pada pemeriksaan sik tampak benjolan sebesar tinju ukuran 12 x 8 x 5 cm, dan 10 x 3 x 1,5 cm, merah muda, bergranul, pus di permukaan. teraba massa keras padat, terksir, tidak bertangkai, batas tegas, permukaan licin dan tidak rata. Dilakukan ekskokleasi epulis dan ekstraksi seluruh gigi. Pasien pulang dalam keadaan sembuh.

PENDAHULUAN Epulis gigantosellulare dikenal sebagai epulis sel raksasa adalah kondisi serupa tumor yang biasanya berkembang dari tepi bebas gusi. Istilah granuloma sel raksasa perifer lebih disukai daripada granuloma reparatif sel raksasa perifer. Lesi ini ditemukan pada semua kelompok usia, dengan insiden tertinggi pada orang dewasa usia 30 tahun dan anak-anak selama periode gigi bercampur. 1 Dalam bahan penelitian atas 173 penderita granuloma sel raksasa perifer, dijumpai paling sering pada periode gigi-geligi bercampur. Pada masa kanak-kanak granuloma lebih umum terdapat pada anak laki-laki, setelah usia 16 tahun perempuan dua kali lebih sering terkena. Mandibula sedikit lebih sering terkena dibandingkan maksila dan lebih sering terjadi di daerah premolar-molar daripada di daerah incisivus-caninus. Kadang-kadang lesi ditemukan di daerah edentulous ridge alveolar.2

Di Rumah Sakit Umum Pusat M. Djamil Padang dari Januari 2007 sampai dengan Oktober 2009 ditemukan 186 kasus epulis. 180 pasien di bagian Gigi dan Mulut, 6 pasien di bagian Bedah. Pasien berkunjung ke bagian Bedah biasanya karena massa tumor yang cukup besar sehingga diharapkan dapat dilakukan tindakan bedah dengan membuang massa tumor. LAPORAN KASUS Seorang wanita 14 tahun datang ke Bagian Bedah Onkologi RSUP M. Djamil Padang dengan keluhan benjolan di mulut sejak 4 tahun (gambar 1 dan 2). Awalnya benjolan terdapat di gusi bagian bawah sebesar kacang, sejak 2 tahun ini makin membesar dan terdapat di gusi bagian atas dan bawah. Benjolan tidak nyeri tetapi sangat mengganggu karena pasien tidak dapat sempurna menutup mulut, mengunyah dan menelan makanan terganggu. Riwayat trauma tidak ada. Riwayat penyakit dahulu: sering sakit

gigi, riwayat pertukaran gigi susu ke gigi permanen tidak ada keluhan.Tidak pernah menderita penyakit lain. Status generalisata dalam batas normal, pada status lokal tampak massa tumor hampir memenuhi seluruh rongga mulut bagian depan (gambar 1 dan 2), merah muda, bergranul, pus di pemukaannya. Pada palpasi teraba massa keras padat di rahang atas dan bawah, ukuran 12 x 8 x 5 cm, 10 x 3 x 1,5 cm terksir, tidak bertangkai, batas tegas, permukaan licin dan tidak rata. Tidak ditemukan benjolan di tempat lain dan tidak ada pembesaran kel limfe leher. Pemeriksaan laboratorium dalam batas normal, brain CT Scan (gambar 3 dan 4) tampak soft tissue mass dengan gambaran gigi erupted dan destruksi regio os maxilla anterior. Hasil biopsi : mikroskopis tampak epitel berlapis gepeng pada permukaan dengan bagian yang mengalami erosi,

| AGUSTUS 2010

437

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 437

7/23/2010 10:33:19 PM

LAPORAN KASUS

di bawahnya terdapat stroma jaringan ikat longgar mengandung banyak kepingan kalsikasi di antaranya. Tampak pula kapiler-kapiler dan sel-sel limfosit, plasma serta netrol. Direncanakan tindakan Ekskokleasi epulis yaitu pengangkatan jaringan patologis dari gingiva serta pengerokan sisa jaringan patologis akar gigi. Laringoskop tidak dapat masuk sempurna karena terhalang massa tumor, sehingga ETT tidak dapat dipasang. Diputuskan trakeostomi agar operasi dapat berjalan lancar (gambar 5) Pembedahan oleh ahli bedah tumor. Massa tumor dapat diangkat dengan sempurna dengan pengerokan gingiva yang terkena dan ekstraksi hampir seluruh bagian gigi. Perdarahan di tempat pengerokan massa tumor dapat diatasi dengan sempurna. Analisis jaringan menunjukkan Congenital Granular Cell Epulis, tak tampak tanda ganas.
Gambar 4. Brain CT Scan posisi lateral

lesi reaktif yang jarang terjadi. Lesi ini juga dikenal sebagai giant-cell epulis, osteoclastoma, giant cell reparative granuloma atau giant cell hyperplasia dan myeloid epulis. 3 Termasuk lesi giant cell yang paling sering terjadi di rahang, berasal dari jaringan ikat periosteum atau dari membran periodontal, sebagai respon terhadap iritasi lokal atau trauma kronis.3 Epulis gigantosellulare berupa nodul ekstraosseus yang terdiri dari proliferasi mononuklear dan multinukleasi giant cell yang berhubungan dengan vaskularisasi, yang ditemukan pada gingiva atau alveolar ridge, merupakan reaksi hiperplastik jaringan ikat gingiva yang didominasi oleh komponen seluler histiositik dan endotelial. Kedua jenis sel tersebut bercampur baur dan tersusun lobular, dipisahkan oleh jaringan ikat brous yang mengandung pembuluh darah sinusoid besar. 4 Nama lesi ini diambil dari kecenderungan histiosit mononuklear untuk membentuk giant cell multinukleasi yang luas; lokasi perifer (ekstraosseus) dari lesi ini sempit, lebih cenderung ke tengah (intraosseus); dan gambaran klinisnya mirip respon terhadap granuloma yang reaktif. Lesi mengandung jaringan giant cell mirip dengan yang ditemukan pada bagian lain dari tubuh tetapi utamanya pada tulang.5 Penyebab Epulis gigantosellulare tidak diketahui; iritasi lokal oleh plak gigi atau kalkulus, penyakit periodontal, restorasi gigi yang buruk, protesa yang buruk, atau pencabutan gigi, dianggap ikut berperan pada perkembangan lesi ini.6 Penelitian baru-baru ini menghubungkannya dengan implan gigi; merupakan komplikasi yang tidak umum, berkembang dari beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah penempatan implan gigi.7 Gambaran klinis lesi diawali dengan pembengkakan berbentuk kubah kemerahan atau keunguan di papilla interdental atau alveolar ridge. Pada

Gambar 3. Brain CT Scan posisi AP

Pasien pulang pada hari ke 5 dalam keadaan baik. (gambar 6).

Gambar 5. Trakeostomi saat tindakan bedah.

Gambar 1. Massa tumor memenuhi rongga mulut terdapat di bagian atas dan bawah gingiva, bergranul, merah muda dan pus.

Gambar 6. Pasien hari ke 5 pascaoperasi.

Gambar 2. Massa tumor dilihat dari samping.

DISKUSI Etiologi Epulis gigantosellulare tidak diketahui, masih diperdebatkan apakah proses reaktif atau neoplastik; kebanyakan ahli percaya bahwa granuloma giant cell perifer termasuk
| AGUSTUS 2010

438

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 438

7/23/2010 10:33:19 PM

LAPORAN KASUS

pasien dentulous lesi sering terlihat lebih kemerahan oleh ulserasi yang terjadi ketika makanan dikunyah dan mengenai epitelium yang tipis.6 Lesi yang lebih luas biasanya mengelilingi satu atau lebih gigi, sering melibatkan ligamen periodontal, termasuk apeks gigi. Lesi ini menyebabkan hilangnya dan goyangnya gigi. Pada daerah edentulous lesi berbentuk kubah, ungu, biasanya mempunyai permukaan yang utuh. Radiogra periapikal umumnya menunjukkan hilangnya lapisan supercial tulang kortikal, dan sisa tulang di bagian tengah yang tidak ikut terlibat.8 Pembengkakan berbatas jelas, keras, dan jarang berulserasi. Dasarnya tidak bertangkai, permukaannya licin atau sedikit bergranula, berwarna merah muda sampai merah ungu tua berdiameter beberapa mm sampai 1 cm; pembesaran yang cepat dapat mengganggu gigi-gigi di sampingnya. Lesi umumnya tanpa gejala, tatapi karena sifatnya yang agresif, tulang alveolar di bawahnya sering terlibat dan membuat radiolusensi peripheral cuff supersial yang patognomonik.7 Gambaran mikroskopis menunjukkan

susunan nodular jaringan giant cell dipisahkan oleh septum brous. Jaringan giant cell terdiri dari campuran mononuklear dan multinuklear yang mendasari ekstravasasi sel darah merah. Terdapat beberapa pembuluh kapiler dan ruang sinusoid. Stroma brous menipis atau menebal, mengandung jaringan yang luas dan struktur dinding vaskular yang tipis. Sejumlah besar hemosiderin umumnya terdapat dalam jaringan giant cell dan mengelilingi komponen brous.9 Diagnosis banding osteoblastic osteosarcoma dapat dibedakan melalui beragam sel stroma dan kurangnya displasia sel. Pada remaja gambaran mitosis bervariasi, dan sulit dibedakan dari proliferasi aktif sel stroma. Epulis Gigantosellulare tidak dapat dibedakan dengan brown tumor ekstraoseus dari hiperparatiroidisme yang jarang terjadi.10 Tindakan pada epulis gigantosellulare adalah Ekskokleasi epulis yaitu pengangkatan jaringan patologi dari gingiva serta pengerokan sisa jaringan patologis akar gigi; eksisi disertai mandibulektomi parsial atau total; Cryosurgery terbatas pada tumor yang sangat supercial.11

Indikasi pengangkatan massa tumor adalah rasa nyaman penderita sehingga dapat membuka dan menutup mulut sempurna, dan indikasi kosmetik. Prognosisnya baik. dapat kambuh kembali pada 10% kasus, mungkin disebabkan oleh pengangkatan yang tidak sempurna.12 SIMPULAN Granuloma giant cell perifer dikenal sebagai epulis gigantosellulare adalah kondisi serupa tumor yang biasanya berkembang dari tepi bebas gusi. Penyebabnya tidak diketahui, meskipun iritasi lokal oleh plak gigi atau kalkulus, penyakit periodontal, restorasi gigi yang buruk, protesa yang buruk, atau pencabutan gigi, dianggap ikut berperan. Lesi diawali dengan pembengkakan berbentuk kubah berwarna kemerahan atau keunguan pada papilla interdental atau alveolar ridge. Granuloma giant cell perifer dirawat dengan eksisi; jika tidak tuntas akan cenderung kambuh. Pada kasus ini operasi dilakukan karena massa menutupi rongga mulut yang sudah menimbulkan gangguan makan.

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Allen C. Peripheral Giant Cell Granuloma. Available from: http://www.emedicine.com/DERM/topic685.htm. Accessed Oktober 20,2008 Bodnar L.et al. Growth potential of peripheral giant cell granuloma. Oral Surgery.Oral Med. Oral Pathol.1997;83:548. Lifshitz MS, Flotte TJ, Greco MA.Congenital granular cell epulis.Cancer 1984;53:1845-8. Rainey JB, Smith IJ. Congenital epulis of the newborn. J Pediatr Surg 1984;19:305-6 Damm DD, Cibull ML,Geisler RH, et al. Investigation into histiogenesis of congenital epulis of newborn. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1993:76:205-212 Sunderland EP,Smith CJ. Hypoplasia following Congenital Epulis. Br Dent J 1984;157:535 Lack EE, Worsham GF. Callihan MD. Granular cell tumor:A clinical pathologic study of 110 patient. J Surg Oncol 1980;13:301-16 Daley TD et al. The major epulides: clinicopathological correlations. J. Can. Dent. Assoc. 1990; 6/7: 626, Falaschini S dkk. Peripheral Giant Cell Granuloma: Immunohistochemical analysis of different markers. Study of Three Cases. Avances En Odontoestomatologia 2007; 23(4): 189. Available from: http://medind.nic.in/jao/t05/i2/jaot05i2p74.pdf. Accessed Oktober 20, 2008 10. Zarbo RJ, Lyod RV, Beals TF, McClatchey KD. Congenital gingival granular cell tumor with smooth muscle cytodifferentiation. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1983; 56: 512-520 11. Philip SJ, Eversole LR, Wysocki GP. Contemporary Oral and Maxillofacial Pathology 2nd. St.Louis Missouri: Mosby. 2004: p.292-4. 12. Peripheral Giant Cell Granuloma. Available from: http://www.maxillofacialcenter.com/BondBook/softtissue/pgcg.html. Accessed Oktober 20, 2008

| AGUSTUS 2010

439

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 439

7/23/2010 10:33:23 PM

BERITA TERKINI

Beberapa Tip Menurunkan Tekanan Darah

ekitar 60 persen penderita diabetes tipe 2 mengalami hipertensi. Penderita hipertensi dan diabetes berisiko lebih besar mengalami penyakit kardiovaskular dan ginjal. Anda bisa menurunkan risiko dengan menjaga tekanan darah dalam rentang normal. Berikut beberapa cara yang bisa Anda lakukan untuk menurunkan tekanan darah: BERHENTI MEROKOK Merokok mengurangi suplai oksigen ke organ-organ tubuh, meningkatkan kadar kolesterol dan meningkatkan tekanan darah. Karena itu, berhenti merokok merupakan langkah utama dalam mengontrol tekanan darah dan diabetes. TURUNKAN BERAT BADAN Pengurangan berat badan berkaitan dengan penurunan tekanan darah. Anda bisa menurunkan berat badan dengan mengurangi asupan lemak dan kalori, serta berolahraga secara teratur. Diet tinggi lemak secara otomatis akan menambah konsumsi makanan dan total energi dan akan berkurang jika diet Anda rendah lemak. Olahraga tidak mempunyai efek terlalu besar dalam menurunkan berat badan. Akan tetapi, olahraga (30-45 menit sehari) bagus untuk meningkatkan sensititas insulin, mengurangi kadar glukosa darah dan mempertahankan berat badan dalam jangka panjang. MODIFIKASI DIET Karbohidrat: Sertakan makanan yang mengandung karbohidrat, khususnya dari whole grain, buah-buahan, sayuran, dan susu rendah lemak dalam diet penderita diabetes. Jumlah total karbohidrat dari makanan

dan kudapan lebih penting dibandingkan sumbernya. Serat: Sama seperti populasi pada umumnya, penderita diabetes didorong untuk memilih berbagai makanan yang mengandung serat seperti whole grain, buah, dan sayuran. Makanan ini mengandung vitamin, mineral, serat dan komponen lain yang baik untuk kesehatan. Protein: Tidak ada bukti yang mengharuskan penderita diabetes mengubah asupan protein (15 hingga 20 persen dari total energi harian) jika fungsi ginjalnya normal. Karena protein diperlukan untuk membangun jaringan tubuh yang sehat, pilihlah sumber protein yang rendah lemak. Ikan merupakan pilihan yang baik, konsumsilah dua hingga tiga kali per minggu. Daripada memasak dengan lemak, cobalah menambah rasa makanan dengan menggunakan anggur, herbal dan bumbu. Anda yang vegetarian bisa mendapatkan protein dari telur, kacang kedelai, kacang polong dan sumber lainnya. Lemak: Batasi lemak jenuh dan asupan kolesterol dari diet. Asupan lemak jenuh sebaiknya kurang dari 10 persen dari asupan energi total. Beberapa individu (misalnya orang dengan kadar kolesterol jahat LDL 100 mg/dl) akan mendapatkan manfaat dengan menurunkan asupan lemak jenuh hingga di bawah 7 persen dari asupan energi. Asupan kolesterol sebaiknya kurang dari 300 mg per hari. Beberapa individu (misalnya orang dengan kadar kolesterol jahat LDL 100 mg/dl) akan mendapatkan manfaat dengan menurunkan asupan kolesterol hingga di bawah 200 mg per hari.

Kurangi garam: Pengurangan konsumsi garam membantu menurunkan tekanan darah. Usahakan mengurangi asupan sodium hingga 2.400 mg atau garam hingga 6.000 mg per hari. Asupan alkohol: Peneliti sudah mengungkapkan adanya hubungan antara asupan alkohol tinggi (tiga takar/hari) dengan peningkatan tekanan darah. Akan tetapi, tidak ada perbedaan tekanan darah antara orang yang minum lebih sedikit dari tiga takar alkohol/hari dengan mereka yang tidak minum. Asupan kalium dan kalsium: Diet rendah lemak yang menyertakan buah dan sayuran ( lima hingga sembilan takar/hari) dan produk susu rendah lemak (dua hingga empat takar/hari) secara umum sudah kaya akan kalium, magnesium, kalsium dan bisa menurunkan tekanan darah. Asupan air: Cobalah minum paling tidak dua liter air putih sehari. Cara ini membantu mengeluarkan kelebihan gula dari tubuh dan membantu serat menjalankan tugasnya dalam mengontrol gula darah. Selain itu, air ini juga memungkinkan ginjal dan organ lain (termasuk kulit) tetap sehat. Gula darah Cobalah terus memantau kadar glukosa darah di rumah. Tes kadar glukosa bisa dilakukan dengan menggunakan alat monitor glukosa yang mudah dibawa. Catat rutinitas harian dan kadar glukosa Anda. Data ini akan membantu Anda menemukan pola manajemen diabetes yang tepat. Obat-obatan Penderita diabetes sebaiknya mengontrol tekanan darah dengan hatihati. Anda bisa mengontrol kedua penyakit ini dengan kontrol diet. (NFA)

| AGUSTUS 2010

441

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 441

7/23/2010 10:33:23 PM

BERITA TERKINI

Epirubicin dan Cyclophosphamide dengan Trastuzumab pada trial HERCULES


STUDI HERCULES Studi klinis oleh Dr. Michael dkt., pada HERCULES sebagaimana yang dipublikasi dalam Journal of Clinical Oncology, Vol 28, No 9, 2010 menunjukkan bahwa regimen lini pertama Epirubicin dan Cyclophosphamide serta Trastuzumab pada kanker payudara metastasis dengan Epidermal Growth Factor Receptor 2 (EGFR-2) positif menunjukkan hasil baik dalam segi keamanan terhadap kardiotoksisitas dan juga mengenai efektivitasnya sendiri. RESUME HERCULES Didapati insidensi tinggi kegagalan jantung kongestif (CHF) pada pasien kanker payudara metastasis yang menerima regimen doxorubicin dan trastuzumab. Adapun regimen Herceptin (nama dagang dari Trastuzumab), Cyclophosphamide dan Epirubicin ingin mengevaluasi keamanan regimen trastuzumab dengan cyclophosphamide dan evaluasi efek samping kardiotoksisitas yang lebih rendah golongan anthracycline epirubicin. Studi bersifat prospektif dan merupakan kombinasi fase 1 mengenai dosis dan temuan stadium dengan fase 2 secara acak. Sejumlah 120 penderita kanker payudara metastasis dengan human epidermal growth factor receptor 2 (HER2) positif dan fungsi jantung adekuat, menerima lini pertama regimen trastuzumab (4 mg/kg iv dosis loading, kemudian 2 mg/kg setiap minHasil trial HERCULES ini, insidensi kardiotoksisitas terkait dosis / DLC masing-masing 5%, 1,7%, dan 0% pada kelompok yang mendapat regimen HEC-90, HEC-60, and EC-90. Semua kasus kejadian DLC dapat dikelola dengan baik. Tidak ada kematian yang disebabkan efek pada jantung. Gambaran efek samping ggu) ditambah dengan Cyclophosphamide (600 mg/m2) dan Epirubicin 60 mg/m2 (HEC-60) atau 90 mg/m2 (HEC90) sebanyak 6 siklus pemberian, diikuti pengobatan tunggal trastuzumab sampai tingkat progresi. Sejumlah 60 pasien dengan HER2 negatif menerima Epirubicin (90 mg/m2) dan Cyclophosphamide (EC-90) tunggal. Tujuan utama (primary end point) adalah efek kardiotoksisitas yang terkait dosis atau Dose-limiting cardiotoxicity (DLC). hampir sama pada ketiga kelompok tersebut, kecuali febrile neutropenia, yang ditemukan pada 10% kelompok HEC-90 berbanding dengan 3% pada dua kelompok lainnya. Angka respon tumor atau Tumor response rate adalah 57% pada HEC-60, 60%, pada HEC-90 dan 25% pada kelompok EC90; adapun waktu median time sampai progresi masing-masing sebesar 12,5, 10,1, dan 7,6 bulan. Kesimpulan trial HERCULES, regimen Trastuzumab (Herceptin), dengan Epirubicin dan Cyclophosphamide merupakan opsi pengobatan yang cukup menjanjikan pada penderita kanker payudara metastasis dengan HER2 positif. Insidens kardiotoksisitas terkait dosis atau DLC pada regimen HEC lebih rendah, dibandingkan dengan insidens di regimen trastuzumab dan doxorubicin, terutama yang berkaitan dengan pengobatan model adjuvant ataupun neoadjuvant. (IWA)

REFERENSI : 1. Michael U et al. First-Line Trastuzumab Plus Epirubicin and Cyclophosphamide Therapy in Patients With Human Epidermal Growth Factor Receptor 2Positive Metastatic Breast Cancer: Cardiac Safety and Efcacy Data From the Herceptin, Cyclophosphamide, and Epirubicin (HERCULES) Trial. J. Clin. Oncol. 2010;28( 9 ): 1473-1480

442

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 442

7/23/2010 10:33:25 PM

BERITA TERKINI

Eprotirome, Hormon Tiroid Analog, Menurunkan Kadar Kolesterol Pasien Dislipidemia yang Diterapi dengan Statin

protirome (hormon tiroid analog) menambah penurunan kadar lemak darah pada pasien-pasien dislipidemia yang telah diterapi dengan statin. Simpulan ini merupakan hasil penelitian dr. Paul Ladenson dan rekan dari Johns Hopkins University School of Medicine, Baltimore, Amerika Serikat. Dr. Paul mengatakan bahwa berdasarkan penelitian ini, eprotirome menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein). Selain itu, tidak seperti statin, eprotirome efektif menurunkan kadar trigliserida, sehingga dapat diberikan sebagai terapi pasien dislipidemia campuran. Hasil penelitian dr. Paul dan rekan ini telah dipublikasikan dalam the New England Journal of Medicine edisi bulan Maret 2010. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti apakah pemberian eprotirome dapat memberikan manfaat tambahan dalam menurunkan kadar kolesterol total, trigliserida dan kolesterol LDL, yang merupakan lipoprotein yang bersifat artherogenik serta meneliti efek samping yang mungkin terjadi. Penelitian efek samping ini penting, karena eprotirome, sebagai hormon tiroid analog dikhawatirkan memiliki efek samping terhadap organ tubuh yang sensitif terhadap hormon tiroid, yaitu jantung dan otot skeletal. Penelitian merupakan penelitian kontrol plasebo, multisenter melibatkan 137 pasien yang telah mendapatkan terapi statin paling tidak selama 3 bulan. Pasien secara acak dibagi menjadi 3 kelompok terapi, yang diberi terapi eprotirome 25 g, 50 g, atau 100 g. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemberian eprotirome pada pasien-pasien yang telah diterapi dengan

statin secara bermakna menambah penurunan kadar kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida. Penurunan ini semakin nyata pada kelompok dengan dosis eprotirome yang lebih besar. Selain itu tidak dijumpai tanda maupun gejala akibat pemberian hormon tiroid analog seperti tirotoksikosis/ hipertiroidisme, peningkatan denyut jantung per-menit atau aritmia, penurunan berat badan, maupun gangguan pembentukan tulang (dari pemeriksaan marker serologik dan penekanan terhadap tirotropin). Dr. Ladenson mengatakan bahwa eprotirome ini dapat menjadi terapi tambahan bagi pasien-pasien yang telah diterapi dengan statin namun tidak mencapai target terapi.

runan kadar lemak darah pada pasien-pasien yang telah diterapi dengan statin. Walau merupakan hormon tiroid analog, tanda dan gejala efek samping tirotoksikosis/ hipertoroidisme tidak dalam penelitian ini. (YYA)

REFERENSI: 1. Ladenson P, Kristensen JD, Ridgway C, Olsson AG, Carlsson B, Klein I, et al. Use of the Thyroid Hormone Analogue Eprotirome in StatinTreated Dyslipidemia. NEJM 2010; 362 (10): 906-16. 2. Medscape. Eprotirome Further Reduces Cholesterol Levels in Statin-Treated Patients. [cited 2009 March 23]. Available from: http://www. medscape.com/viewarticle/718099?src=mpne ws&spon=2&uac=117092CG

SIMPULAN: Eprotirome merupakan hormon tiroid analog yang dalam penelitian dapat menambahkan penu-

Fariabel per dosis eprotirome (g) Kolesterol Total (mg/dL) 25 50 100 Kolesterol LDL (mg/dL) 25 50 100 Trigliserida (mg/dL) 25 50 100

Garis dasar (baseline)

Minggu ke-12

Perubahan ratarata dibanding baseline (mg/dL)

214 211 215

178 166 158

-36 -45 -57

<0.001 <0.001 <0.001

144 138 141

113 99 94

-32 -39 -47

<0.001 <0.001 <0.001

140 141 155

112 106 93

-29 -34 -61

<0.01 <0.01 <0.001

Tabel 1. Perbandingan kadar lemak serum sebelum dan sesudah terapi eprotirome.
| AGUSTUS 2010

443

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 443

7/23/2010 10:33:29 PM

BERITA TERKINI

ada 1 April 2010 American Family Physician mempublikasi pedoman bagi dokter keluarga dalam mendiagnostik dan menskrining pasien diabetes. Pencegahan, diagnostik akurat dan terapi merupakan hal yang penting bagi pasien diabetes karena begitu luasnya kemungkinan komplikasi seperti nefropati, retinopati, neuropati, penyakit kardiovaskuler, stroke bahkan kematian; yang dapat diperlambat bahkan dicegah dengan pemilihan terapi yang sesuai. Sejak tahun 1997 American Diabetes Association (ADA) telah memperkenalkan etiologi diabetes berdasarkan klasikasi dan kriteria diagnostik, yang di tahun 2010 kembali direvisi, dan penting diketahui bagi para dokter dokter keluarga. Kriteria diagostik diabetes adalah penilaian kadar hemoglobin A1c (HbA1c), kadar gula darah puasa dan kadar gula darah sewaktu atau hasil pemeriksaan toleransi glukosa oral (OGTT). ADA mendenisikan diabetes dalam dua kondisi yaitu kadar glukosa darah puasa (8 jam) di atas 126 mg/dL dan kriteria lain: kadar glukosa darah sewaktu di atas 200 mg/dL dengan keluhan poliuria, polidipsi, penurunan berat badan dan karakterisktik lainnya yang positif. Kadar glukosa darah sewaktu dapat digunakan sebagai skrining dan diagnostik tetapi sensitivitasnya hanya 39-55%. Pemeriksaan lini pertama pasien diabetes adalah OGTT; pasien puasa selama 8 jam dan diberi asupan glukosa 75 g. ; didiagnosis diabetes jika kadar glukosa di atas 199 mg/dL, dan didiagnosis ada gangguan gula darah puasa jika kadar glukosa 140-199 mg/ dL pasca asupan glukosa; kriteria lain gangguan gula darah puasa jika kadar gula darah puasa tanpa asupan glukosa adalah 100-125 mg/dL. Pemeriksaan kadar HbA1c tidak memerlukan puasa, dapat berguna sebagai diagnostik dan skrining diabe-

Review Kriteria Diagnostik dan Skrining DM bagi Dokter Keluarga


tes jika kadar HbA1c setidaknya 6,5% dalam dua kali pemeriksaan, keterbatasan pemeriksaan ini adalah sensitivitasnya rendah dan dipengaruhi oleh faktor di antaranya ras, anemia dan terapi yang digunakan. Pemberian larutan glukosa 50 g merupakan skrining yang paling sering dilakukan untuk mendiagnosis diabetes gestasional, meskipun pemberian 75 -100 g glukosa dibutuhkan untuk mengkonrmasi hasil awal yang positif. Diabetes ketoasidosis merupakan kejadian yang sering terjadi pada pasien diabetes tipe 1 atau kadang pasien diabetes tipe 2 ; lebih sering pada pasien obesitas dan warna kulit hitam; dikatakan diabetes ketoasidosis jika hasil pemeriksaan kadar gula darah melebihi 250 mg/dL dengan pH arteri < 7,3 dan keton darah meningkat. Meskipun belum cukup konsisten, skrining diabetes perlu dilakukan pada pasien hipertensi dan hiperlipidemia untuk menentukan klasikasi diabetes berdasarkan tipe, perlunya pemberian insulin berkelanjutan dapat difasilitasi dengan pemeriksaan kadar C peptide; sedangkan pemeriksaan autoantibodi terhadap sel islet, insulin, glutamic acid decarboxylase (GADA), tyrosine phosphatase (1A-2 dan 1A-2) atau marker lainnya un| AGUSTUS 2010

tuk melihat adanya destruksi sel beta pankreas. Rekomendasi spesik bagi klinisi berdasarkan bukti ilmiah adalah : Skrining diabetes harus dilakukan pada pasien dengan tekanan darah di atas 135/80 mmHg (level of evidence A) Skrining diabetes harus dilakukan pada pasien hipertensi atau hiperlipidemia (level of evidence B) Kalkulasi risiko dapat digunakan sebagai identikasi pasien yang memerlukan skrining lebih lanjut (level of evidence C) Diabetes dapat didiagnosis jika kadar HbA1C > 6,5% dalam dua kali pemeriksaan terpisah (level of evidence C) Pada pasien dengan risiko tinggi diabetes, counseling direkomendasikan untuk memberiksan strategi yang efektif, mengurangi risiko diabetes termasuk penurunan berat badan dan latihan sik. (level of evidence C). (ARI)

REFERENSI 1. 2. L Barclay. Am Fam Physician 2010;81:863-70. abstract. Executive Summary : Standards of Medical Care in Diabetes -2010

444

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 444

7/23/2010 10:33:31 PM

BERITA TERKINI

Efektifitas Penggunaan Preparat Sodium Divalproat Lepas Berkesinambungan (Extended Release/ER) pada Terapi Gangguan Bipolar
ampai saat ini pengobatan jangka panjang untuk gangguan bipolar American Psychiatric Association dan National Institute for Health and Clinical Excellence terdiri dari penggunaan mood stabilizer yaitu litium dan sodium divalproat yang juga dikenal sebagai antiepilepsi serta golongan antipsikotik atipikal olanzapine. Beberapa tahun belakangan ada kecenderungan penggunaan sodium divalproat sebagai terapi pasien bipolar rawat jalan. Penggunaan sodium divalproat ini juga didasarkan karena terbukti efektif dalam aktitas antimaniknya dan adanya bukti adanya efek perlindungan jangka panjang dalam melawan kekambuhan gangguan bipolar. Sodium divalproat juga pada beberapa penelitian ternyata lebih baik dalam mengatasi gangguan manik pasien bipolar dengan mood yang berganti-ganti (mood swing). Efek tersebut bergantung kepada dosis dan konsentrasi serum. Efek antimaniknya yang cepat sendiri dicapai dengan dosis penuh 20mg/kgbb. perhari. Tahun 2003 di Amerika, FDA telah menyetujui sodium divalproat lepas berkesinambungan (extended release/ER) dengan dosis satu kali sehari sebagai obat untuk migrain dan oleh Canada disetujui sebagai obat anti epilepsi. Bentuk baru dari sodium divalproat ini memberikan beberapa keuntungan yaitu konsentrasi yang lebih stabil dan dosis yang lebih sederhana, satu kali sehari. Suatu penilitian klinis tidak tersamar menemukan tidak adanya perbedaan dalam efektitas dan efek samping antara sodium divalproat ER dengan jenis yang standar pada pasien epilepsi

Suatu penelitian awal dengan metode open-label selama 6 minggu melibatkan 12 pasien (8 perempuan dan 4 lakilaki) dengan usia rata-rata 45,7 tahun. Diagnosis subjek penelitian menurut DSM-IV adalah Bipolar I dan II dan gangguan skizoafektif tipe bipolar. Pasien ini telah memakai obat sodium divalproat standar dua kali sehari selama setidaknya 4 minggu. Preparat standar diberikan dua kali sehari sedangkan preparat ER diberikan sehari sekali di saat hendak tidur. Konsentrasi sodium divalproat diukur menggunakan uorescence polarization immunoassay pada hari 1, hari ke-7, minggu ke-6 dan satu minggu setelah penyeimbangan dosis. Serum darah diambil di antara 10-14 jam setelah penggunaan terakhir dosis kedua pada sodium divalproat standar dan di antara 22-26 jam setelah penggunaan dosis terakhir sodium divalproat ER. Status mental secara klinis dievaluasi saat awal penelitian dan setiap minggu dengan menggunakan Young Mania Rating Scale, 17-item Hamilton Depression Rating Scale, Clinical Global Impression (CGI) of severity and improvement, Global Assessment of Functioning Scale (DSM-IV) dan the 17-item Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS) serta the Udvalg for Kliniske Undersgelser (UKU) Side Effect Rating Scale untuk menilai efek samping obat. Peneliti menemukan bahwa ke 12 pasien tersebut dapat diganti pengobatannya dari sodium divalproat standar menjadi sodium divalproat ER. Penelitian ini tidak menrmukan pengurangan efektitas pada pemakaian sediaan ER Hal lain yang patut diperhatikan adalah tidak adanya peningkatan risiko efek samping selama 6

minggu penggunaan preparat sodium divalproat ER. Penggunaan sodium divalproat ER membutuhkan dosis sekitar 21% lebih tinggi agar mencapai dosis ekuivalen preparat sodium valproat standar untuk mencapai kadar serum yang terapeutik untuk kasus bipolar. Walaupun demikian preparat ER ternyata lebih stabil sehingga meningkatkan efektitasnya. Dosis preparat sodium ER yang sederhana yaitu sehari sekali dapat meningkatkan kepatuhan berobat dan mempunyai efek manfaat jangka panjang terutama dalam mencegah kekambuhan . Dengan pertimbangan tersebut, penggunaan sodium divalproat lepas berkesinambungan (extended release/ ER) dapat menjadi pilihan baik bagi pasien bipolar yang belum pernah diterapi dengan preparat sodium divalproat atau sebagai terapi pengganti pasien bipolar yang sudah memakai preparat sodium divalproat standar yang diharapkan dapat meningkatkan ketaatan berobat karena dosis yang lebih sederhana
Andri
Bagian Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana Jakarta SUMBER : 1. Blanco C, Laje G, Olfson M,et al. Trends in the Treatment of Bipolar Disorder by Outpatient Psychiatrists. Am J Psychiatry 2002; 159:10051010 2. Centorrino F, Kelleher JP, Berry JM, Salvatore P, Eakin M, Fogarty V, et al. Pilot Comparison of Extended-Release and Standard Preparations of Divalproex Sodium in Patients With Bipolar and Schizoaffective Disorders Am J Psychiatry 2003; 160:13481350 3. Bipolar Disorder. Quick Reference Guideline. National Institute for Health and Clinical Excellence. July 2006

| AGUSTUS 2010

445

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 445

7/26/2010 5:37:45 PM

BERITA TERKINI

Kombinasi Testosteron dan Progestogen sebagai Alternatif Kontrasepsi Pria


tudi penggunaan kombinasi hormon androgen dan progestogen untuk kontrasepsi pada pria memberikan hasil yang cukup menjanjikan, meskipun masih terus disempurnakan untuk diaplikasikan. Androgen berfungsi menekan hormon gonadotropin sehingga dapat menekan spermatogenesis, juga untuk mempertahankan kadar testosteron darah agar tidak menimbulkan efek tidak diinginkan seperti penurunan libido. Sedangkan progestogen diharapkan dapat lebih menekan hormon gonadotropin sehingga dapat lebih menekan spermatogenesis. Penelitian Prof Moeloek dkk (2002) mengenai kombinasi androgen dan progestogen jangka panjang menggunakan Testosteron undekanoat (TU) dan Depot Medroksi Progesteron Asetat (DMPA) pada 40 pria Indonesia, di Jakarta dan Palembang menunjukkan semua pria mencapai azoospermia. Beliau saat ini sedang melakukan penelitian membuat TU dan DMPA menjadi satu emulsi yaitu Mikroemulsi TU/DMPA sehingga lebih mudah diterima masyarakat karena hanya perlu satu kali suntik setiap datang1. Dr. Gu dan rekan dari Beijing menggunakan suntikan depot medroxyprogesterone acetate (DMPA) dan testosterone undecanoate (TU) interval 8 minggu untuk menekan proses spermatogenesis pada pria China sehat. Setelah skrining awal, 30 sukarelawan pria sehat dipilih secara acak masuk dalam 3 kelompok dosis ; 10 orang / kelompok mendapatkan 1000 mg TU (kelompok A); 1000 mg TU +150 mg DMPA (kelompok B) seta 1000 mg TU + 300 mg DMPA (kelompok C). Semua dosis obat tersebut diberikan secara suntikan intramuskular setiap 8 minggu. Pengamatan dalam periode 8 minggu kontrol (baseline) , setelah 24 minggu periode pengobatan serta 24 minggu periode recovery. Keadaan azoospermia atau oligozoospermia yang berat tercapai dan dipertahankan pada seluruh sukarelawan selama periode pengobatan , kecuali untuk 2 pria dalam kelompok TU konsentrasi spermanya meningkat (rebound). Regimen pengobatan kombinasi Testosteron Undekanoat selama 8 minggu ditambah depot MPA efektif menekan proses spermatogenesis yaitu azoospermia pada pria China. Seluruh suntikan dapat ditoleransi dengan baik; tidak ada laporan efek samping serius. Kombinasi dosis yang lebih rendah, direkomendasikan untuk studi / test selanjutnya untuk menilai efektivitas yang lebih bermakna2. (IWA)

REFERENSI : 1. Moeloek N, Perkembangan terkini kontrasepsi hormonal pria di dunia. Abstrak PIT PERSANDI IV & PANDI XVIII April 2010. 2. Gu YQ et al. Male Hormonal Contraception: Effects of Injections of Testosterone Undecanoate and Depot Medroxyprogesterone Acetate at Eight-Week Intervals in Chinese Men. J. Clin. Endocrin. & Metabolism 2004; 89(5): 2254-2262; (abstract).

| AGUSTUS 2010

447

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 447

7/23/2010 10:33:34 PM

BERITA TERKINI

BCAA untuk Anoreksia Pasien Kanker

ada keadaan keganasan/ kanker, dapat terjadi penurunan berat badan drastis yang sering disebut dengan Kakeksia (cachexia) akibat pemecahan protein otot khususnya di perifer, yang memetabolisme asam amino yang diperlukan bagi pembentukan protein di hati dan juga di tumor. Pemberian asam amino secara teoritis dapat memberikan tambahan energi yang diperlukan sebagai protein-sparing metabolic dengan membantu metabolisme otot dan gluconeogenesis.1 Branched-chain amino acids (BCAA) yang terdiri dari leucine, isoleucine, dan valine dipergunakan dengan tujuan meningkatkan keseimbangan / balans nitrogen terutama pada metabolisme protein otot Dilaporkan bahwa penambahan BCAA dalam nutrisi parenteral berhasil meningkatkan keseimbangan protein dan sintesis albumin, selain itu BCAA dapat mengurangi keadaan anorexia dan cachexia secara berkompetisi dengan tryptophan, prekursor serotonin otak, melewati sawar otak (blood-brain barrier) dan menghambat peningkatan aktivitas serotonin di

hipotalamus, dan berdasarkan laporan, pemberian BCAA oral berhasil menurunkan keadaan anorexia yang berat pada penderita kanker. Leucine, isoleucine dan valine merupakan asam amino rantai cabang dan merupakan asam amino yang cukup banyak diteliti dan dibuktikan memiliki efek farmakologis sebagai prekursor (zat pendahulu) dalam sintesis glutamine dan alanine pada otot rangka. Leucine paling jelas efeknya dan berguna untuk sintesis protein yang diteliti pada keadaan sepsis dan luka bakar2. Keadaan kakhesia juga dapat terjadi pada gangguan fungsi hati; Dr. Holecek menentukan 3 target suplementasi BCAA pada penyakit hati.3 : (1) ensefalopati hati (2) regenerasi hati, dan (3) kakhesia hati . Pemberian BCAA dapat mengurangi ensefalopati hati dengan meningkatkan detoksikasi amonia, mengoreksi ketidakseimbangan asam amino plasma dan mengurangi inuks asam amino aromatik. Suplementasi BCAA pada ensefalopati hati lebih efektif pada gangguan hati kronik

dengan hiperamonemia dan kadar rendah BCAA dalam darah, dan pada keadaan penyakit hati akut dengan hiperaminoacidemia. Pada keadaan regenerasi hati, suplementasi BCAA berkaitan dengan efek stimulasi pada sintesis protein, sekresi faktor pertumbuhan pada hepatosit, produksi glutamin dan efek penghambatan proteolisis. Sedangkan pada keadaan kakhesia hati, efek suplementasi BCAA cukup signikan pada penyakit hati terkompensasi dengan mengurangi keadaan inamasi dan juga peningkatan kadar turnover protein. Suplementasi BCAA dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan juga prognosis penyakit hati. (IWA)

REFERENSI : 1. 2. 3. Inui A. Cancer anorexia-cachexia syndrome. CA Cancer J Clin 2002;52:72-91 Calder PC. Branched-chain amino acids and immunity.J Nutr. 2006 Jan;136(1) Suppl Holecek M. Three targets of branched-chain amino acid supplementation in the treatment of liver disease. Nutrition 2010 May; 26(5): 482-90

| AGUSTUS 2010

449

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 449

7/23/2010 10:33:39 PM

BERITA TERKINI

rostat merupakan organ pria yang paling sering mengalami proses pembesaran jinak maupun ganas. Secara histologi, prostat terdiri dari stroma dan epitel yang masing-masing, baik secara individual ataupun kombinasi, dapat berkembang menjadi nodul hiperplastik dan menimbulkan gejala khas. BPH (benign prostatic hyperplasia) merupakan salah satu tumor jinak paling sering pada pria dan kejadiannya berkaitan dengan usia. Prevalensi BPH berkaitan dengan usia dan onset biasanya setelah usia 40 tahun :50% pada usia 60 tahun dan 90% pada usia 85 tahun. Sebanyak 50% pasien dengan diagnosis histologi BPH mempunyai gejala saluran kemih sedang hingga berat. Jumlah pria dengan kanker prostat meningkat dalam 2 dekade terakhir akibat meningkatnya usia penduduk. Kanker prostat merupakan penyebab kematian akibat kanker ke tiga paling sering pada pria. Penyebab spesik onset dan progresivitas kanker prostat tidak diketahui, namun faktor genetik dan lingkungan berperan. Sebanyak 90% kanker prostat merupakan adenokarsinoma sel asinar dan 70%-nya terjadi di daerah perifer. Pembesaran prostat mempunyai faktor etiologi multifaktorial dan endokrin. Faktor yang dikaitkan dengan pembesaran prostat adalah peningkatan kadar DHT (dihydrotestosterone) dan penuaan. Observasi dan studi klinis pada pria juga menunjukkan keterlibatan kontrol endokrin dalam pembesaran prostat. Telah diketahui bahwa stres oksidatif juga berperan pada pembesaran prostat. Stres oksidatif merupakan ketidakseimbangan antara produksi ROS (Reactive Oxygen Species) dengan pertahanan antioksidan. Dalam sistem antioksidan enzim, SOD berperan penting dalam mempertahankan keseimbangan ROS. SOD mengkatalisasi konversi superoksida menjadi hidrogen peroksida, sedangkan respirasi

Aktivitas SOD pada Kanker Prostat dan BPH


mitokondria menghasilkan sejumlah besar superoksida dalam sel. Penurunan aktivitas Mn-SOD telah dikaitkan dengan berbagai jenis tumor, antara lain bahwa peningkatan ekspresi Mn-SOD dapat menekan tumorigenisitas melanoma, sel kanker payudara dan sel glioma manusia. Fungsi penekanan Mn-SOD juga dikaitkan dengan kanker ovarium, kanker paru dan kanker prostat. Banyak studi menunjukkan bahwa MnSOD dapat berfungsi sebagai gen penekan tumor secara umum, dan merupakan petunjuk untuk aplikasi terapi di masa mendatang dan bahwa antioksidan berperan penting dalam pencegahan kanker prostat. Suatu studi telah dilakukan untuk menilai status stres oksidatif/nitrosatif pada kanker prostat dan BPH pada 312 pria (107 pasien kanker prostat, 167 pasien BPH dan 38 subyek kontrol). Dalam studi ini dilakukan pengukuran kadar MDA (malondialdehyde) eritrosit, aktivitas CuZn-SOD, glutation peroksidase (GPx) dan katalase eritrosit, dan nitrit/nitrat plasma. Hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi MDA yang lebih tinggi dengan aktivitas GPx dan CuZn-SOD yang lebih rendah ditemukan pada pasien kanker prostat dibanding pasien BPH dan subyek kontrol. Aktivitas katalase menurun pada pasien kanker prostat dibanding subyek kontrol. Lebih lanjut, pasien kanker prostat mengalami peningkatan nitrit/nitrat plasma dibanding pasien BPH dan subyek kontrol. Studi ini mengkonrmasi peran stres oksidatif dan perubahan status nitrosatif pada pasien dengan kanker prostat. Penurunan aktivitas SOD pada pasien kanker prostat juga telah diteliti sebelumnya pada 25 pasien kanker prostat non-metastatik, 36 pasien BPH dan 24 subyek pria sehat sebagai kontrol dimana aktivitas GPx dan SOD secara bermakna menurun pada pasien kanker dibanding pasien BPH dan subyek kontrol. Secara bermakna, peroksidasi lemak meningkat dengan penurunan aktivitas SOD dan kadar Zn pada pasien BPH dibanding subyek kontrol. Hal ini menunjukkan adanya perubahan indeks peroksidasi lemak dengan disertai perubahan sistem pertahanan antioksidan pada pasien kanker prostat dibanding pasien BPH, sehingga peneliti mempunyai hipotesis bahwa perubahan keseimbangan prooksidan-antioksidan dapat menyebabkan peningkatan kerusakan oksidatif dan konsekuensinya dapat berperan penting dalam karsinogenesis prostat. (EKM)

REFERENSI 1. Esa F, Noem C, Melchor C, Equihua JLR, Jos F, Arzave C et al. Manganese superoxide dismutase (Mn-SOD) expression levels in prostate cancer and benign prostatic hyperplasia tissue. Rev Mex Urol 2009;69(4):159-62. 2. Arsova-Saranovska Z, Eken A, Matevska N, Erdem O, Sayal A, Savaser A et al. Increased oxidative/nitrosative stress and decreased antioxidant enzyme activities in prostate cancer. Clin Biochem. 2009;42(12):1228-35. 3. Aydin A, Arsova-Saranovska Z, Sayal A, Eken A, Erdem O, Erten K et al. Oxidative stress and antioxidant status in nonmetastatic prostate cancer and benign prostatic hyperplasia. Clin Biochem. 2006;39(2):176-9.

450

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 450

7/23/2010 10:33:45 PM

BERITA TERKINI

Keefektifan Chlorhexidine Gel Intra-alveolar pada Alveolar Osteitis dan Komplikasi Perdarahan pada Pembedahan Molar Ketiga Mandibular Pasien dengan Gangguan Perdarahan

hlorhexidine adalah suatu antiseptik yang termasuk golongan bisbiguanide. Chlorhexidine merupakan antiseptik dan disinfektan yang mempunyai efek bakterisidal dan bakteriostatik terhadap bakteri Gram (+) dan Gram (-). Chlorhexidine lebih efektif terhadap bakteri Gram positif dibandingkan dengan bakteri Gram negatif. Chlorhexidine dapat menyebabkan kematian sel bakteri dengan menimbulkan kebocoran sel (pada pemaparan chlorhexidine konsentrasi rendah) dan koagulasi kandungan intraselular sel bakteri (pada pemaparan chlorhexidine konsentrasi tinggi). Chlorhexidine akan diserap dengan sangat cepat oleh bakteri dan penyerapan ini tergantung pada konsentrasi chlorhexidine dan pH. Chlorhexidine menyebabkan kerusakan pada lapisan luar sel bakteri, namun kerusakan ini tidak cukup untuk menyebabkan kematian sel atau lisisnya sel. Kemudian chlorhexidine akan melintasi dinding sel atau membran luar, diduga melalui proses difusi pasif, dan menyerang sitoplasmik bakteri atau membran dalam sel bakteri. Kerusakan pada membran semipermiabel ini akan diikuti dengan keluarnya kandungan intraselular sel bakteri. Kebocoran sel tidak secara langsung menyebabkan inaktivasi selular, namun hal ini merupakan konsekuensi dari kematian sel. Chlorhexidine konsentrasi tinggi akan menyebabkan koagulasi (penggumpalan) kandungan intraselular sel bakteri sehingga sitoplasma sel menjadi beku, dan mengakibatkan penurunan kebocoran kandungan intraselular. Jadi terdapat efek bifasik (memiliki 2

fase) chlorhexidine pada permeabilitas membran sel bakteri, dimana peningkatan kebocoran kandungan intraselular akan bertambah seiring bertambahnya konsentrasi chlorhexidine, namun kebocoran ini akan menurun pada chlorhexidine konsentrasi tinggi akibat koagulasi dari sitosol (cairan yang terletak di dalam sel) sel bakteri. Baru-baru ini, gel bioadesif yang mengandung CHX diperkenalkan di pasaran. Pemberian gel ini secara intraalveolar memungkinkan efek terapi CHX lebih langsung dan lebih lama bertahan, yang berguna mencegah terjadinya osteitis alveolar pasca pencabutan molar ketiga yang impaksi. Pemberian CHX gel intraalveolar pada pasien dengan gangguan perdarahan dapat meningkatkan risiko komplikasi perdarahan pasca operasi. Sebaliknya, kelainan perdarahan dapat mempengaruhi ekasi CHX sebagai obat pencegah osteitis alveolar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keefektifan gel CHX 0,2% dalam menurunkan insidens osteitis alveolar pasca ekstraksi molar ke tiga yang impaksi pada pasien dengan gangguan perdarahan. Digunakan metode penelitian tersamar ganda, acak dan kelompok paralel pada 38 pasien gangguan perdarahan. Kelompok eksperimen (n=14) diobati dengan gel CHX 0,2% intraoperatif setelah pembedahan pengangkatan gigi molar ke tiga. Kelompok kontrol (n=24) diobati dengan gel plasebo. Hasil penelitian memperlihatkan penurunan insidens osteitis alveolar sebesar 57,15% pada kelompok eks-

perimen: insidens osteitis alveolar di kelompok kontrol 17% dan di kelompok eksperimen sebesar 7% (p=0,402). Komplikasi perdarahan terjadi pada 21% kelompok eksperimen dibandingkan dengan 29% di kelompok kontrol (p=0,601). Seperti hasil penelitian sebelumnya, CHX 0,2% intraalveolar intraoperatif dosis tunggal tampaknya menurunkan insidens osteitis alveolar setelah pencabutan molar ke tiga yang impaksi pada pasien dengan gangguan perdarahan. (SFN)

REFERENSI: 1. Torres-Lagares D, Gutierrez-Perez JL, HitaIglesias P. Randomized, double-blind study of effectiveness of intra-alveolar application of chlorhexidine gel in reducing incidence of alveolar osteitis and bleeding complications in mandibular third molar surgery in patients with bleeding disorders. J Oral Maxillofac Surg. 2010 Jun;68(6):1322-6. Available from: http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20346565 2. Torres-Lagares D, Gutierrez-Perez JL, InfanteCossio P, Garcia-Calderon M, Romero-Ruiz MM, Serrera-Figallo MA. Randomized, doubleblind study on effectiveness of intra-alveolar chlorhexidine gel in reducing the incidence of alveolar osteitis in mandibular third molar surgery. Int J Oral Maxillofac Surg 2005;35(4):34851. Nov 9. Available from: http://www.ncbi. nlm.nih.gov/pubmed/16289676

| AGUSTUS 2010

451

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 451

7/23/2010 10:33:47 PM

BERITA TERKINI

Nutraseutikal Kombinasi Terbaru untuk Terapi Hiperkolesterolemia

ombinasi berberine, red yeast rice, dan policosanol secara bermakna menurunkan kadar kolesterol total, kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) serta memperbaiki fungsi vaskular. Demikian hasil penelitian dr. Valentina Mercurio dan rekan dari University of Naples Federico II School of Medicine, Italia dan telah dipublikasikan pada acara EuroPREVENT 2010. Dr. Valentina mengatakan bahwa berberine, red yeast rice, dan policosanol

telah digunakan sejak lama di dunia medis Timur (non-Barat) untuk mengontrol kadar kolesterol. Berberine dapat menurunkan kadar lipid total, mengatasi gangguan pencernaan dan telah digunakan dalam pengobatan tradisional Cina sebagai terapi diabetes melitus. Dalam penelitian dr. Yifei Zhang dan rekan dari Shanghai Clinical Center for Endocrine and Metabolic Diseases and Division of Endocrine and Metabolic Diseases, Shanghai, China, berberine efektif dan relatif aman sebagai terapi pasien

diabetes dan dislipidemia. Berberine dapat ditemukan pada tumbuhan Berberis, goldenseal (Hydrastis canadensis), and Chinese goldthread (Coptis chinensis). Red yeast rice, atau red fermented rice, red kojic rice, red koji rice, atau ang-kak, adalah nasi fermentasi berwarna merah keunguan, secara alami mengandung lovastatin, apabila nasi merah tersebut diolah bersamaan dengan jamur Monascus purpureus. Dalam penelitian, red yeast rice secara

| AGUSTUS 2010

453

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 453

7/23/2010 10:33:49 PM

BERITA TERKINI

bermakna menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL dibandingkan plasebo. Policosanol merupakan campuran alkohol alifatik yang berasal dari lilin tumbuhan seperti tebu, ubi rambat atau dari lilin lebah. Data menunjukkan bahwa policosanol ini diberikan pada pasien diabetes, namun hingga kini pengaruhnya terhadap kontrol gula darah masih dipertanyakan Penelitian dr. Valentina dkk. merupakan penelitian acak, tersamar ganda, melibatkan 50 pasien hiperkolesterolemia. Kelompok I menerima terapi nutraseutikal kombinasi (500-mg berberine, 200-mg red yeast rice, dan 10-mg policosanol); dan kelompok II diberi plasebo selama periode 6 minggu. Setelah 6 minggu pertama, dilakukan penelitian lanjutan (penelitian terbuka), kelompok I dan II diberi terapi nutraseutikal kombinasi selama 4 minggu. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa setelah 6 minggu, kadar kolesterol total dan LDL turun di kelompok I, namun tidak di kelompok II plasebo. Selain itu ow-mediated dilation mengalami perbaikan pada kelompok I terapi nutraseutikal kombinasi, namun tidak berubah pada kelompok II (plasebo). Pada akhir masa penelitian lanjutan (kelompok I dan II diberi terapi nutraseutikal kombinasi) terjadi penurunan trigliserida pada kedua kelompok penelitian. Selain hasil tersebut, analisis sekunder memperlihatkan perbaikan sensiti-

tas insulin secara bermakna pada pasien yang pada baseline mengalami resistensi insulin. Selama penelitian berlangsung, tidak ada efek samping berat yang teramati pada kedua kelompok penelitian; efek samping relatif ringan seperti diare dan konstipasi. Penurunan kadar lemak dipeneklitian ini dapat diperbandingkan dengan penurunan kadar lemak yang dapat dicapai dengan dosis statin standar. Di Italia kombinasi nutraseutikal ini tersedia dalam sediaan tablet untuk pemberian sekali sehari serta dijual di apotik. Dr. Valentina menambahkan bahwa produk nutraseutikal kombinasi ini hendaknya diresepkan oleh dokter dan bukan dibeli langsung oleh pasien/ masyarakat. SIMPULAN: o Kombinasi berberine, red yeast rice, dan policosanol secara bermakna menurunkan kadar kolesterol total, kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) serta memperbaiki fungsi vaskular o Selain memperbaiki prol lemak, nutraseutikal kombinasi ini juga diperkirakan dapat diberikan pada pasien diabetes melitus karena dapat memperbaiki sensitivitas insulin. (YYA)

REFERENSI : 1. Heber D, Yip I, Ashley JM, Elashoff DA, Elashoff RM, Go VLW. Cholesterol-lowering effects of a proprietary Chinese red-yeastrice dietary supplement. Am J Clin Nutr 1999; 69: 2316. 2. Medscape. Nutraceutical Combo for Lipid Lowering Shows Promise in Small, Preliminary Trial. [cited 2010 Mei 14]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/72139 0?src=mpnews&spon=2&uac=117092CG 3. Torres O, Agramonte AJ, Illnait J, Ms Ferreiro J, Fernndez L, Fernndez JC. Treatment of hypercholesterolemia in NIDDM with policosanol. [cited 2010 Mei 14]. Available from: 4. http://care.diabetesjournals.org/ content/18/3/393.abstract? Zhang Y, Li X, Zou D, Liu W, Yang J, Zhu N, et al. Treatment of Type 2 Diabetes and Dyslipidemia with the Natural Plant Alkaloid Berberine. J Clin Endocrinol Metab. 2008; 93: 255965.

Tabel 1. Perbandingan perubahan dari baseline pada minggu ke-6, antara kelompok I (terapi nutraseutikal) dengan kelompok II (plasebo). Pengukuran Kolesterol total (mmol/L) Kolesterol LDL (mmol/L) Dilatasi karena aliran darah (ow-mediated dilation (%)) Kelompok I -1,14 -1,06 3 Kelompok II -0,03 -0,04 0 Nilai p <0,001 <0,001 <0,05

454

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 454

7/23/2010 10:33:51 PM

PRAKTIS

Treatment of Peripheral Nerve Tumors


Julius July1, Abhijit Guha2 1. Department of Neurosurgery, Medical School of Universitas Pelita Harapan, Siloam Lippo Karawaci Hospital, Tangerang, Indonesia 2. Professor, Department of Surgery; Alan & Susan Hudson Chair in Neurooncology Toronto Western Hospital, University Health Network; Co-Director, Arthur & Sonia Labatts Brain Tumor Centre, Hospital for Sick Childrens Research Institute, Univ. of Toronto, Ontario, Canada

INTRODUCTION All cellular elements that comprise a peripheral nerve (perineural cells, Schwann cells and broblasts) can theoretically give rise to peripheral nerve tumors (PNTs). The tumors are classied as either benign or malignant, and sub-classied according to their origin from either neural or non-neural elements (Table 1). HISTORY AND PHYSICAL EXAMINATION When a soft tissue mass is associated with sensory and/or motor symptoms supplied by a known peripheral nerve, the suspicion of a peripheral nerve tumor is readily apparent. Then a focused history of patient to harbor a peripheral nerve tumor (PNTs) should be directed towards the onset, duration, and growth alterations of the mass. A family history of NF-1 or NF-2 or other predisposition syndromes is of special importance, since majority of PNTs are linked with these syndromes. Presence or absence of symptoms and signs such as pain, numbness, weakness, the overlying skin temperature and color, uctuance, along with the patients general health inquiry including immune status, pre-existing malignancy are of importance in the differential diagnosis. However, many peripheral nerve tumors present without any neurological symptoms due to their slow growth rate or origin from a supercial small sensory branch. Several features of the examination that suggests a peripheral nerve origin(1): 1. PNTs are mobile perpendicular but not along the

Peripheral Nerve Tumors

Benign

Malignant

Neural Elements Schwanoma Neurobroma Perineurioma Etc.

Neural Elements MPNST Primary PN Lymphoma Etc.

Non Neural Elements Desmoid Ganglion Cyst Fibrolipomatous Hamartoma Lipoma Neuromuscular choristoma Etc.

Non Neural Elements Pancoast Tumor Soft Tissue sarcoma /carcinoma Etc.

Table 1. Peripheral Nerve Tumors Simple Classication Scheme

longitudinal axis of a known peripheral nerve. 2. Palpation or percussion (Tinels sign) of a PNT may elicit sensory stimuli radiating along the distribution of the nerve of origin. 3. A mass in the presence of a patient with a genetic predisposition such as neurobromatosis (NF) most likely represents a pe-

ripheral nerve tumor. DIAGNOSTICS Nerve conduction and EMG evaluation are not generally performed in the management of PNTs as they are not diagnostic nor do they help in the management decision. However,

| AGUSTUS 2010

455

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 455

7/23/2010 10:33:52 PM

PRAKTIS

intra-operative electrophysiology is crucial as discussed below. Plain X-ray and CT scans are occasionally helpful, especially to demonstrate remodeling of adjacent bony structures such as the neural foramina. Angiography or MR angiography is rarely required, and restricted to large PNTs at the base of the neck, chest or retroperitoneum, where close proximity and or rarely vascular invasion may be present. MRI is the most useful and sensitive technique, often but not always revealing the nerve of origin (Fig. 1). It is especially useful in determining the relationship of the mass to adjacent anatomical structures, which are of relevance. Although CT scan or MRI cannot distinguish between the various subtypes of PNTs and determine whether a lesion is benign or malignant (2,3), MR imaging may be highly suggestive but not diagnostic of the sub-type of PNT, with elements of the history and physical examination often superior in predicting whether the lesion is benign vs. malignant and the likely sub-type of PNT to be present. Occasionally, MR imaging of schwannoma demonstrates the nerves of origin, and the displaced passer-by fascicles around the capsule, consistence with its typical extra-fascicular growth. In contrast, neurobromas are more fusiform (ie. spindle) or multi-nodal, suggestive of their typical intra-fascicular growth. Of note, a PNT in the context of an NF-1 patient will most certainly be a neurobroma vs. an NF-2 patient who likely harbors a schwannoma. Lipomas have the characteristic bright on T1 and T2 signal, while ganglion cysts are bright on T2 with the origin traced to joint capsule in proximity to the nerve. MRI of PNTs may demonstrate heterogeneous enhancement, indicating intra-tumor hemorrhage, necrosis or cystic degeneration. However, its relationship to malignancy is poor. In fact, there are no denitive radiological features of a Malignant Peripheral Nerve Sheath Tumor (MPNST), a diagnosis mainly suspected on rapid

clinical and radiological growth, progressive neurological deterioration and most importantly pain. Use of 18 FDG PET scanning, a developing technique for dynamic imaging of glucose metabolism(4,5), is of potential promise in distinguishing MPNST from benign PNTs. Still, one should be aware of the occasional false-negative

results with this modality(6). Initial studies have shown that 18FDG-PET can be used to identify potentially malignant transformation of a benign plexiform neurobroma to a MPNST. In those instances where malignant transformation is probable but not yet conrmed, biopsy of the lesion before surgery is essential.

Figure 1. Patient with Left median nerve schwanoma. Upper Left: T1W MRI showed a masses along the course of left median nerve with obvious nerve origin. Upper Right: intraoperative picture showed proximal and distal part before dissection to identify the nerve and isolated with rubber band. Lower: Identifying the nerve and isolated with rubber band. Schwannoma always can be separated from the nerve and leave the nerve intact.

456

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 456

7/23/2010 10:33:52 PM

PRAKTIS

OPERATIVE PRINCIPLES There are several operative principles that are applicable for all peripheral nerve tumors(1), such as: 1) Anesthetic without neuromuscular paralysis to allow intra-operative nerve stimulation. The limb was positioned and draped to allow anatomical accessibility and evaluation of the distal muscles that are supplied by the nerve of origin. The incision over the tumor should extend proximally and distally to allow adequate exposure of the nerve of origin at either pole of the tumor, coursing in a curvilinear fashion over exor/extensor creases. If the tumor is adjacent to a known entrapment point such as the carpal tunnel or bular head at the knee, the incision should allow prophylactic release of the entrapment point in conjunction with tumor removal. Magnication, intraoperative electrophysiological monitoring including Nerve Action Potentials

2)

5)

3)

6)

4)

(NAP), and microneurosurgical instruments should be ensured. Ultrasonic aspiration is sometimes required to internally debulk large PNTs, which allows the tumor capsule to be collapsed and facilitating subsequent dissection of the passerby fascicles from the tumor capsule. The rst step of dissection involves isolating of the proximal and distal segments of the nerve of origin from adjacent vascular and soft tissue structures and encircling them in vessel loops. Gross observation of the tumor and the position of the displaced fascicles will often reveal the underlying pathology and vital to avoid injuring the nerve during tumor removal(7,8,9). In schwannomas, passerby fasicles will be found displaced relative to the tumor capsule, though they may be quite attenuated. The routes of these fasicles should be noted microscopically and evaluated with electrical stimulation noting distal muscle activity. Neurobromas

7)

in contrast typically do not reveal the discrete passerby fasicles, as nerve fasicles are encompassed within the tumor. However, several major fasicles may be displaced around the bulk of the tumor and their position in the tumor capsule should be noted. A small biopsy of the tumor from an electrically silent region is sent for pathological verication. The pathology in conjunction with the gross and microscopic observation will determine the feasibility of total removal (as in schwannomas) vs. limited resection (as in neurobromas, desmoids). If the quick section pathology suggests a neurogenic sarcoma, then we recommend closure and management as outlined below.

Using the principles outlined above, the single nerve fascicle which gives rise to the schwannoma can usually be isolated and electrophysiologically conrmed to be non-conducting, and then total removal of the tumor can be undertaken, (Fig 1).

REFERENCES: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9 July J, Guha A. Surgical Management of benign peripheral nerve tumors. Medical Journal of Indonesia 2008;17(3): 163-8. Levine E, Huntrakoon M, Wetzel L. Malignant-nerve sheath neoplasms in Neurobromatosis: Distinctions from benign tumors by using imaging techniques. Am. J. Radiol.1987;149:1059-1064. Suh J, Abenoza P, Galloway H, Everson L, Grifths H. Peripheral (extracranial) nerve tumors: Correlation of MR imaging and histological ndings. Radiology 1992;183:341-346. Adler LP, Blair HF, Makley JT, Williams RP, Joyce MJ, Leisure G, Al-Kaisi N, Miraldi F. Noninvasive grading of musculoskeletal tumors using PET. J Nucl Med.1991;32:1508-12. Lucas JD, ODoherty MJ, Wong JCH, Bingham JB, McKee PH, Fletcher CDM, Smith MA. Evaluation of uorodeoxyglucose positron emission tomography in the management of soft tissue sarcomas. J Bone Joint Surg (Br) 1998;80-B:441-7. Hsu CH, Lee CM, Wang FC, Fang CL. Neurobroma with increased uptake of (F-18)-uoro-2- deoxy-D-Glucose interpreted as a metastatic lesion. Ann Nucl Med 2003;17:609-611. Hudson A, Gentili F, Kline D. Peripheral Nerve Tumors. In: Schmidek H, Sweet W (Eds). Operative Neurosurgical Techniques. Grune & Stratton, New York 1988. pp. 1599-1610. Kline D, Hudson A. Operative Results of Major Nerve Injuries, Entrapments and Tumors. W. B. Saunders, Philadelphia. 1994. Rosenberg A, Dick H, Botte M. Nerve Tumors. In Gilberman R (Ed.), Operative Nerve Repair and Reconstruction, J.B. Lippincott, Philadelphia,1991.

| AGUSTUS 2010

457

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 457

7/23/2010 10:33:54 PM

OPINI

Stetoskop - Stetoskop Masa Depan


Penggalih Mahardika Herlambang Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Indonesia

SEJARAH SINGKAT STETOSKOP Sejak ditemukan pertama kali di Perancis pada 1816 oleh Ren-ThophileHyacinthe Laennec, stetoskop telah menjadi simbol pekerjaan seorang dokter selama berabad-abad. Kata Stetoskop sendiri berasal dari bahasa Yunani (stethos, dada dan skopeein, memeriksa) yang berarti sebuah alat medis akustik untuk memeriksa suara dalam tubuh. Alat ini banyak digunakan untuk auskultasi suara jantung dan pernapasan, meskipun juga digunakan untuk mendengar bising usus dan aliran darah arteri dan vena.

jelas apakah Laennec mencoba menghindarinya, atau untuk menghindari rasa malu pasien. Apabila dilihat dari bentuk dan teknologinya, stetoskop dibagi menjadi 2 jenis : 1. Stetoskop Akustik

versi akustik dengan penambahan beberapa teknologi baru untuk bisa meng-amplikasi suara tubuh dari tingkat frekuensi terendah sampai yang tertinggi agar memudahkan diagnosis. Modikasi yang ditambahkan bermacam-macam mulai dari penggunaaan Diaphragma Elektronik, Kristal Piezo-Elektrik, hingga Piranti Nirkabel yang akan mulai muncul di pasaran beberapa saat lagi. STETOSKOP MASA DEPAN Perkembangan teknologi yang makin cepat telah merambah ke alat-alat medis konvensional. Improvisasi dengan teknologi nirkabel hingga kristal piezo-elektrik pun menambah fungsi stetoskop masa kini dan akan terus berkembang di masa depan.

Bentuk awal alat ini pertama kali adalah tabung kayu kosong. Konon beliau menciptakan stetoskop sehingga ia tidak perlu menaruh telinganya di buah dada wanita Perancis. Tidak

Ini bentuk paling umum yang diciptakan oleh Rappaport & Sprague di awal abad ke-20 berdasarkan prinsip penjalaran suara dari tubuh pasien akan diteruskan ke dalam tabung kosong lewat 2(dua) sisi chestpiece untuk memperjelas suara. Sisi diaphragma (lempengan plastik) untuk memproduksi gelombang akustik dan sisi bell (mangkuk kosong) untuk menyalurkan suara frekuensi rendah. Masalah yang sering timbul dari stetoskop akustik adalah tingkatan suara sangat rendah membuat diagnosis relatif sulit 2. Stetoskop Elektronik Stetoskop elektronik atau stetophone, merupakan pengembangan
| AGUSTUS 2010

Banyak produk stetoskop mutakhir telah muncul saat ini, beberapa di antaranya: 1. 3M-Littmann 3200 Bluetooth Stethoscope Penggunaan teknologi Bluetooth sering berhubungan dengan audio atau suara tetapi tidak menyangka kalau penggunaan Bluetooth sampai untuk stetoskop. 3M Littmann 3200 adalah sebuah stetoskop digital yang telah dilengkapi dengan teknologi Bluetooth. Stetoskop yang satu ini mempunyai tur yang biasanya ada di sebuah earphone yaitu dikenal dengan nama Ambient Noise Reduction, sebuah fungsi untuk mengurangi suara berisik

458

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 458

7/23/2010 10:33:54 PM

OPINI

dari luar sehingga suara yang dihasilkan benar-benar baik. Stetoskop ini juga bisa merekam suara detak jantung, paru-paru dan lainnya dan kemudian le suara tersebut dapat ditransfer ke komputer melalui koneksi Bluetooth. Dalam paket penjualannya juga telah disertakan sebuah software Zargis Steth Assist yang dapat digunakan untuk menganalisis suara yang direkam dan bisa juga untuk berkomunikasi sekaligus berkonsultasi dengan sejawat lain secara jarak jauh dengan tur Zargis TeleMed. Harga resmi 3M Littmann Electronic Stethoscope adalah US$ 379 sedangkan perangkat lunaknya dijual terpisah seharga US$ 385. 2. GE Vscan Pocket UltraSound Ultrasound diprediksi akan menjadi salah satu teknologi masa depan yang akan diterapkan. Teknologi ini telah dikembangkan oleh General Electric (GE). CEO GE Jeff Immelt telah memajang perangkat baru yang dilengkapi dengan mesin ultrasound. Perangkat yang diberi nama Vscan ini digadang-gadang akan menggantikan stetoskop di masa depan. Perangkat pencitraan ukuran saku ini memiliki desain lipat yang dilengkapi dengan layar berukuran kecil 135x73x28 mm pada cangkang atas dan tombol keypad yang terintegrasi di cangkang bawah yang langsung tersambung pada probe.

sik luar juga bisa melihat kelainan di dalam tubuh secara pencitraan hitam putih dan kode warna aliran darah (echo) secara langsung di tempat. Tujuan aplikasi klinis alat ini, menurut GE, adalah sebagai alat bantu diagnosis cepat untuk kelainan jantung, abdomen, vesica urinaria, obstetrik & ginekologi, pediatri, vaskularisasi perifer, dan pergerakan cairan pleura dalam thoraks.

Dilengkapi slot memori MicroSD yang bisa di-upgrade hingga 32GB, data pasien dengan format .jpg (gambar), .mpg(video) dan .wav(suara) akan makin banyak tersimpan dalam piranti VScan ini dan bisa ter-integrasi dengan aplikasi Vscan Gateway Software . Sayangnya piranti ini belum dapat dinikmati secara umum walaupun sudah lolos uji dari FDA Amerika Serikat, Kanada, dan Uni Eropa.

Teknologi ultrasound pada Vscan memungkinkan dokter memeriksa kondisi kesehatan pasien, selain pemeriksaan

| AGUSTUS 2010

459

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 459

7/23/2010 10:33:57 PM

OPINI

3. iStethoscope Pro (iPhone 2G/3G/3Gs + Stethoscope) Dikembangkan oleh Peter J.Bentley, seorang pakar komputer sekaligus penulis 7(tujuh) buku sains populer yang tergabung dalam perkumpulan The Undercover Scientist di University College London. Aplikasi iStethoscope Pro merupakan pengembangan bersama dengan pakar kardiologi dari aplikasi pendahulunya yaitu iStetoscope yang masih tergolong software iseng saja. Terdapat 6 (enam) mode pengoperasian dari mode mute, heartbeat pure, heartbeat ltered, conversation, clear sound, hingga mode accelerometer. Prinsip pemakaiannya sangat sederhana, cukup men-download aplikasi ini di Apple AppStore seharga US$0,99 ke dalam iPhone, lalu aktifkan, kemudian pasang headset lalu atur sensititas microphone dan tempelkan pada permukaan daerah dada. Bisa juga dengan membeli iStetho adapter rancangan Dr.Blaine Warkentine, MD yang berbentuk chestpiece stetoskop dan bisa langsung dipasang pada iPhone. Kekurangan pasti ada di setiap teknologi buatan manusia, begitupula iStethoscope. Karena belum melewati uji FDA maka aplikasi ini tidak disarankan untuk praktek resmi para tenaga medis di AS saat ini. Di sisi lain, pengembang aplikasi ini sudah memperingatkan untuk tidak mecobanya pada pasien yang memiliki implant pacemaker karena dapat mempengaruhi fungsi alat pacu jantung. BIJAK MENGGUNAKAN TEKNOLOGI Perkembangan nirkabel untuk piranti digital pemeriksan dasar yang lain sangat mungkin makin berkembang. Meski begitu, faktor manusia tetaplah yang paling utama. Perlu dikhawatirkan jika kelak sinergisme kinerja piranti-piranti tersebut dipakai sebagai parameter absolut. Jika ini terjadi, justru dapat menimbulkan kesalahan interpretasi. Alhasil, yang bicara adalah mesin (program). Dampak lebih

jauh, setiap orang bisa merasa bisa mendiagnosis hanya dengan menggunakan piranti digital tanpa dilandasi dasar-dasar pengetahuan medis yg terintegrasi. Padahal, pasien adalah manusia dinamis dengan banyak unsur subyektitas. Terlepas dari kelemahan-kelemahan tersebut, kehadiran piranti medis digital patut kita sambut dengan gembira dan juga lebih bijak menggunakannya. (pm)

DAFTAR PUSTAKA: 1. 2. Wikipedia, 28 Februari 2010. Stethoscope, http://en.wikipedia.org/wiki/Stethoscope Medgadget. 2010. Litmann 3200 Bluetooth stetoschope Brings Auscultation to PC For Sharing, Futher Review. http://www.medgadget.com/archives/2009/08/littmann_3200_bluetooth_stethoscope_brings_ auscultation_to_pc_for_sharing_futher_review.html 3. 4. 5. Bentley, PJ. 2008. iStethoscope Pro. http://www.peterjbentley.com/ Steth Assist User Manual, 2009, download dari http://www.mystethoscope.com/littmann-3200-electronic-stethoscope-bluetooth-p-429.html , Vscan Data Sheet., 2010, download dari https://www2.gehealthcare.com/portal/site/vscan/aboutvscan/

460

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 460

7/23/2010 10:34:05 PM

INFORMATIKA KEDOKTERAN

OsiriX, Peranti Lunak Pencitraan Kedokteran


Prima Almazini
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

ubuh manusia adalah objek yang sangat rumit dan menarik. Dengan peranti lunak OsiriX, kita dapat melihatnya dalam bentuk gambar 4D yang bisa diperbesar dan eksplorasi sesuai keinginan. OsiriX. Nama program ini mirip dengan nama Dewa Kehidupan, Kematian, dan Kesuburan zaman Mesir, Osiris.

Faktanya aplikasi ini memang ada hubungannya dengan hal tersebut, yaitu sebagai sebuah peranti lunak kedokteran untuk melihat potongan tubuh manusia yang telah di-scan. Osirix merupakan peranti lunak yang didedikasikan khusus untuk menampilkan gambar DICOM (ekstensi .dcm) yang diproduksi oleh peralatan pen-

citraan (MRI, CT, PET, PET-CT, SPECTCT, USG). Tampilan dan interpretasi sebuah gambar diperoleh dengan cara mengkombinasi data tiga dimensi yang didapat dengan dua modalitas berbeda (misalnya PET dan CT) pada subjek yang sama membutuhkan perangkat peranti lunak kompleks yang memungkinkan pengguna mengatur berbagai parameter gambar.

| AGUSTUS 2010

461

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 461

7/23/2010 10:34:10 PM

INFORMATIKA KEDOKTERAN

Osirix didesain secara spesik untuk navigasi dan visualisasi berbagai modalitas dan gambar multidimensional: 2D, 3D, 4D (series 3D dengan dimensi waktu sesaat, contoh: Cardiac CT) dan 5D (series 3D dengan dimensi waktu sesaat dan fungsional, contoh: Cardiac PET-CT). 3D viewer menawarkan seluruh mode proses rendering modern: multiplanar reconstruction (MPR), surface rendering, volume rendering and maximum intensity projection (MIP). Seluruh mode ini mendukung data 4D dan menghasilkan gabungan gambar antara 2 series yang berbeda (contohnya PET-CT). Selain DICOM, OsiriX dapat digunakan untuk membaca format le lain seperti: TIFF (8,16, 32 bits), JPEG, PDF, AVI, MPEG, dan Quicktime. Osirix pun dapat digunakan untuk menerima transfer gambar oleh protokol komunikasi DICOM dari berbagai Picture Achiving and Communication Systems (PACS) atau modalitas pencitraan. Proyek pembuatan OsiriX dimulai pada tahun 2003 di California Amerika Serikat. Peranti lunak ini dibuat dan dikembangkan oleh Dr. Antoine Rosset, dengan bantuan dari Joris Heuberger, seorang ilmuwan komputer. Dr. Antoine Rosser adalah seorang radiologis, spesialis dalam MRI dan CT, bekerja di Rumah Sakit LaTour. Mereka sama-sama bekerja di Jenewa, Swiss. OsiriX tersedia dalam format 32-bit dan 64-bit. Versi 64-bit menyediakan fasilitas untuk memuat jumlah gambar yang tak terbatas, melebihi batas 4-GB dari aplikasi 32-bit. Versi 64-bit juga dioptimalkan oleh prosesor multi-cores Intel, menawarkan performa terbaik untuk proses rendering 3D. OsiriX hanya tersedia untuk pengguna operating system MAC OS X versi 10.4 atau lebih dan prosesor PPC/Intel Mhz. Osirix digunakan oleh para dokter untuk membaca secara cepat gambar DICOM dan memahami gambar 4D (gambar 3D disertai tampilan peristiwa sesaat, misalnya denyut jantung).

Gambar hasil pencitraan dapat dilihat dalam format 3D, dapat diperbesar, dan diperjelas detailnya. Hal ini memberikan pemahaman yang sempurna mengenai bentuk organ manusia dan dapat berguna untuk interpretasi dan untuk sarana pembelajaran untuk mahasiswa kedokteran. OsiriX dapat diunduh gratis di http://homepage.mac. com/rossetantoine/osirix. Beberapa contoh le DICOM dapat diunduh di http://pubimage.hcuge.ch:8080/. Tutorial penggunaan peranti lunak ini banyak tersedia di You Tube dengan kata kunci pencarian OsiriX. Selamat mencoba!

SUMBER: 1. 2. 3. Anonim. About Osirix. Available from: http:// www.osirix-viewer.com/AboutOsiriX.html Migliorini F. Process DICOM images. Available from: http://osirix.en.softonic.com/mac Rosset A, Spadola L, Pysher, Ratib O. Informatics in radiology (infoRAD): navigating the fth dimension: innovative interface for multidimensional multimodality image navigation. Radiographics. 2006 Jan-Feb;26(1):299-308.

| AGUSTUS 2010

463

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 463

7/23/2010 10:34:12 PM

PROFIL

Profil: Prof. Dr. Bambang Hermani, SpTHT (K)

Teknologi THT Semakin Canggih, Sehingga Bedah Otak Saat ini Melalui Jalur THT Terlebih Dahulu

Dr. Bambang Hermani adalah sosok seorang dokter yang sederhana dan ramah. Beliau sangat bersedia diwawancarai sehingga saya dipersilakan datang keesokan harinya di ruang kerjanya di Departemen Ilmu Penyakit THT FKUI/RSCM Jakarta. Penyakit telinga, hidung, tenggorokan merupakan penyakit yang banyak dijumpai di Indonesia; terutama di poliklinik rumah sakit tempat saya bekerja, banyak dijumpai pasien dengan

keluhan di telinga, hidung dan tenggorokan tutur Prof. Dr. Bambang Hermani, Sp THT-KL(K) ketika menjawab pertanyaan CDK mengenai mengapa mengambil spesialisasi THT ketika itu. Masuk kedokteran sebenarnya bukan cita-citanya; ketika lulus dari SMA 1 Boedi Oetomo Jakarta tahun 1966 beliau ingin masuk ke Akademi Angkatan Laut. Tetapi karena teman-teman SMA banyak yang mendaftar ke Fakultas Kedokteran dan juga orangtua

mendukung, maka akhirnya saya daftar dan alhamdulillah diterima di FKUI pada tahun 1967, tutur Bambang. Orangtua beliau hanya pegawai negeri biasa; dari tujuh orang bersaudara hanya beliau yang menjadi dokter. Saya anak pertama, jadi sayalah yang menjadi tulang punggung keluarga untuk membantu adik-adik saya, tuturnya. Dokter yang lahir di Klaten 62 tahun

| AGUSTUS 2010

465

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 465

7/23/2010 10:34:15 PM

PROFIL

yang lalu ini lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1973; meneruskan ke spesialisasi THT dan lulus tahun 1977. Banyak pasien tidak mengetahui gejala penyakit telinga, hidung, tenggorokan, apalagi gejala kanker di pita suaranya; oleh karena itu beliau mengambil subspesialisasi Konsultan Laring/Faring, Kepala dan Leher dan lulus tahun 2000; pada tahun 2007 dikukuhkan menjadi Guru Besar Tetap di Departemen Ilmu Penyakit THT RSCM/FKUI Jakarta. Dokter yang mempunyai tiga anak ini terus mengabdi sebagai staf pengajar di Departemen Ilmu Penyakit THT RSCM/FKUI; beliau mempublikasikan penelitian ilmiah di berbagai majalah dan seminar. PENGALAMAN MENARIK Sub Bagian Konsultan Laring tidak banyak dipilih dokter karena kasus karsinoma laring, selain sulit dan berat, memerlukan keseriusan; juga tindakan operasinya sangat lama - sekitar 4 - 5 jam. saya mengambil subspesialis ini karena banyak tantangannya, ujar Bambang. Mengenai suka dan dukanya, sukanya adalah banyak penyanyi terutama artis yang datang untuk merawat pita suaranya. Mereka datang untuk memperbaiki pita suara, ujar Bambang. Ada artis penyanyi yang suaranya serak, padahal malamnya akan tampil bernyanyi. Alhamdulillah artis tersebut dapat tampil malam itu juga; artis tersebut sangat senang dan saya juga senang, ujar Bambang. Kalau dukanya, jika ada pasien datang dalam keadaan lanjut sehingga tidak bisa diapa-apakan lagi, saya berusaha menanganinya dan setelah itu saya pasrah dengan doa agar diberi kesembuhan, ujar mantan Ketua Departemen THT ini. MEMBAGI WAKTU Dalam hal membagi waktu dengan keluarga, beliau mengaku tidak ada

masalah, yang penting saling memahami tugas masing-masing. Anak saya tiga orang dan semua sudah berumah tangga, mereka mempunyai kesibukan sendiri-sendiri, tuturnya. Bekerja di RSCM sampai pk.16.00, sorenya praktek bergiliran di dua tempat - RS St Carolus dan RS Proklamasi. Kesibukan saya selain di tempat kerja juga aktif di berbagai organisasi, sehingga saya hanya menyempatkan dengan keluarga hari Sabtu dan Minggu saja, ujar dokter yang hobynya main bulutangkis ini. Moto hidup beliau : suatu pekerjaan jika benar dikerjakan dengan sungguhsungguh, disertai dengan doa akan memberikan hasil yang bermanfaat. Untuk menambah ilmu, Ketua Umum Perhati ini menyarankan, dokter harus mengikuti perkembangan dunia kedokteran. Ini akan menguntungkan pasien dan juga dokternya. kita harus mempelajari terus perkembangan ilmu dan mentransfer ilmu ke orang lain. Saya di organisasi profesi banyak mengadakan kegiatan pelatihan spesialis THT di daerah-daerah dan teknologi THT sudah makin canggih; apalagi bedah otak sekarang melalui jalur THT terlebih dahulu, ujar Kepala Sub Bagian Laring/Faring THT FKUIRSCM ini. Beliau banyak mengikuti berbagai kegiatan pelatihan baik dalam negeri maupun luar negeri, seperti di Malaysia, Singapura, Perancis dan Australia. JABATAN Berbagai jabatan yang pernah dipegang adalah Koordinator Pelayanan Masyarakat THT FKUI-RSCM, Staf Pengajar Kelas Internasional FKUI, Ketua Tim Penyusunan Proposal Pembangunan RS Pendidikan, Gedung FKUI, Gedung FKG UI Depok. Sampai saat ini masih menjadi Staf Pengajar Bagian THT FKUI-RSCM dan Anggota Komite Medik RSCM. Di organisasi profesi pernah menjadi Ketua Perhati Jaya Periode I dan Periode II, Ketua I Pengurus Pusat PER-

HATI, Ketua Kelompok Studi Head & Neck PERHATI, Chairman ASEAN ORL H&N Society, Wakil Pemimpin Redaksi Majalah ORLI dan sampai saat ini menjadi Wakil Ketua KORPRI Unit RSCM. KARYA ILMIAH Hasil penelitian yang dipublikasikan sebagai Penulis Utama berjumlah 5 artikel dan sebagai Penulis Pembantu sebanyak 7 artikel. Karya Ilmiah Bukan Hasil Penelitian yang dipublikasikan sebagai Penulis Utama sebanyak 3 artikel, sebagai Pembantu 11 artikel dan karya ilmiah lainnya sebanyak 3 artikel. Selain itu karya ilmiah berupa buku: Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Telinga Hidung Tenggorok (kontributor), Panduan Penatalaksanaan Gawat Darurat Telinga Hidung Tenggorok (kontributor), dan Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok (kontributor). TANDA PENGHARGAAN Berbagai penghargaan yang diperoleh: dari Hearing International Japan: for effort and dedication to fulllling the goals of the project ear health care in Indonesia from 1995-2000, Satyalencana Karya 20 tahun 2002, sebagai staf Subbid Kesehatan Pertemuan Para Pemimpin Kerjasama Ekonomi Asia Pasik. (APEC) Bogor 15 Nopember 1994, Penghargaan Sujono Juned Pusponegoro sebagai Penulis Ilmiah Bidang Kedokteran dengan topik The efcacy and safety of ooxacin otic solution for active suppurative otitis media. Maj Kedokteran Indonesia 2002;52 (11):373-376 (Penulis pembantu), Anggota Tim Penilai Kesehatan Calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia tahun 2004, Penghargaan Dekan FKUI atas prestasi selama menjabat Ketua Departemen Ilmu Penyakit Telinga, Hidung & Tenggorok FKUI 2000 2004, dan Penghargaan Dekan FKUI dan Panitia Dies Natalis UI ke-56 Kategori Staf Akademik 2006. (REDAKSI)

466

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 466

7/23/2010 10:34:21 PM

LAPORAN KHUSUS

Pelaksanaan The 13th Asian Australasian Congress of Anaesthesiologists (AACA) 2010


1 - 5 Juni 2010

i negara Jepang, tepatnya di Fukuoka International Congress Center, telah dilangsungkan the 13th Asian Australasian Congress of Anaesthesiologists (13th AACA) pada tanggal 1-5 Juni 2010. Acara yang diikuti oleh lebih dari 500 peserta, khususnya dokter spesialis anestesia tersebut mengambil tema Safety and Challenge yang bertujuan untuk memberikan kesempatan yang berharga bagi para dokter spesialis anestesia untuk belajar mengenai perkembangan baru dalam bidang anestesia, nyeri, perawatan klinis, kedokteran kegawatdaruratan dan perawatan paliatif. Program ilmiah dalam acara tersebut meliputi workshop, kuliah pleno, simposium, dan luncheon seminar dengan pembicara dari berbagai negara termasuk Indonesia. Selain itu, juga ada pameran poster ilmiah dan dimeriahkan dengan pameran beberapa produk dan peralatan anestesia di Marinemesse Fukuoka yang gedungnya cukup jauh terpisah dari gedung tempat berlangsungnya simposium. Salah satu topik yang dibicarakan dalam program ilmiah adalah mengenai desurane yang merupakan suatu obat anestetik inhalasi yang relatif baru di beberapa negara. Krishan Narani dari Sir Ganga Ram Hospital India menyampaikan bahwa desurane mempunyai titik didih 22,8 C pada 1 atm dan tekanan uap 669 mmHg pada 20 C sehingga memerlukan botol dan vaporizer khusus untuk penyimpanan dan penghantaran uap desurane dengan terkontrol. Desurane mempunyai koesien partisi darah:gas 0,42 yang menyebabkan cepatnya pencapaian tekanan parsial alveolus yang diperlukan untuk anestesia, diikuti dengan pulih sadar yang cepat setelah pemberian desurane dihentikan. Nilai MAC (Minimal Alveolar Concentration) desurane 6,6% dalam O2 pada suhu 37 C dan turun menjadi 2,38% jika desurane diberikan dengan N2O 60-70%. Desurane juga mempunyai bau yang tajam dapat merangsang saluran pernapasan sehingga kurang sesuai untuk induksi anestesia. Desurane menyebabkan penurunan volume tidal, resistensi vaskular, teka-

nan darah dan curah jantung, tetapi tidak menyebabkan risiko aritmia atau mensensitisasi jantung terhadap epinephrine. Desurane dapat meningkatkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, yang dapat diturunkan dengan hiperventilasi. Desurane tidak bersifat nefrotoksik maupun hepatotoksik desurane mengalami metabolisme yang minimal pada manusia, yaitu hanya sekitar 0,02% yang dimetabolisme oleh tubuh. Namun desurane dapat didegradasi menjadi karbon monoksida pada CO2 absorber yang sangat kering. Dilihat dari karakteristik desurane tersebut, maka desurane baik digunakan untuk anestesia pada pasien bedah rawat jalan. Penggunaan rocuronium juga dibahas dalam acara ini yang antara lain disampaikan oleh Takahiro Suzuki dari Surugadai Nihon University Hospital, Jepang. Rocuronium merupakan obat pelumpuh otot dengan onset yang cepat, namun efeknya berbeda nyata pada dosis yang berbeda, sehingga monitoring neuromuskular sangat bermanfaat untuk mencapai intubasi yang tercepat dan teraman. Monitoring neuromuskular khususnya bermanfaat untuk menjaga hambatan neuromuskular tetap konstan karena kebutuhan infus rocuronium secara nyata berbeda menurut otototot yang dimonitor, usia pasien dan anestetik.

| AGUSTUS 2010

467

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 467

7/23/2010 10:34:24 PM

LAPORAN KHUSUS

Infus rocuronium yang lebih besar diperlukan untuk mempertahankan T1 10% dari kontrol pada otot corrugator supercilii (7,1 mcg/kg/menit) dibanding pada otot adductor pollicis (4,7 mcg/kg/menit) pada pasien muda selama anestesia sevourane. Sedangkan pada pasien usia lanjut, kebutuhan rocuronium lebih kecil dan pada pasien dengan anestesia propofol, kebutuhan rocuronium lebih besar. Selain itu, ada topik lain yang membahas mengenai sejumlah fakta dalam anestesia regional yang disampaikan oleh Ma. Concepcion Cruz dari Department of Anesthesiology UP Col-

lege of Medicine Philippine General Hospital. Antara lain disebutkan bahwa pemberian analgesia neuroaksial termasuk epidural dapat mempengaruhi kejadian persalinan operatif, dan kejadian hipotensi maternal setelah anestesia spinal dan epidural untuk persalinan sectio caesarea dapat diturunkan dengan pemberian infus cairan dimana cairan kristaloid lebih baik dibanding tanpa cairan, cairan koloid lebih efektif dibanding kristaloid, dan tidak ditemukan perbedaan untuk dosis, kecepatan maupun cara pemberian yang berbeda dari kristaloid maupun koloid. Namun kebanyakan studi menunjuk-

kan bahwa kejadian hipotensi masih relatif tinggi sehingga masih perlu dipersiapkan pemberian vasopresor. Pemberian cairan preloading ternyata juga tidak lebih unggul dibanding pemberian cairan coloading. Selain itu sering ada anggapan bahwa analgesia epidural untuk persalinan meningkatkan risiko nyeri punggung pasca persalinan, namun kenyataannya bahwa kehamilan itu sendiri dapat menyebabkan nyeri punggung akibat adanya berbagai perubahan dalam tubuh seperti perubahan berat badan dan hormonal, serta ketidakseimbangan otot. (EKM)

468

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 468

7/27/2010 8:03:37 AM

LAPORAN KHUSUS

Liver Update dan 3rd China Indonesia joint Symposium on Hepatology Medicine & Surgery (CISHMS)
Jakarta, 24-27 Juni 2010

embukaan 3rd China Indonesia joint Symposium on Hepatology Medicine & Surgery (3rd CISHMS) tahun 2010 benar-benar berbeda. Kamis, 24 Juni 2010 Ibu Hj Ani Bambang Yudhoyono menyempatkan datang ke hotel Gran Melia Jakarta untuk membuka acara di bidang penyakit hati ini. Tidak ketinggalan, hadir pula Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH selaku Mentri Kesehatan dan Duta Besar Luar Biasa China. Pukul 10.00 Ibu Ani SBY masuk ke da-

lam ballroom, diikuti acara seremonial seperti menyanyikan lagu Indonesia Raya dan sambutan-sambutan. Prof. Dr. LA Lesmana, Ph.D, SpPD, KGEH selaku ketua panitia menyatakan bahwa sekitar 900 orang terdaftar dalam acara tersebut, 750 peserta dari Indonesia, 250 peserta dari China dan sisanya dari negara lain seperti US, India, Korea, Jepang, dan Singapore. Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih juga mengucapkan selamat datang pada seluruh peserta baik dari Indonesia

maupun luar Indonesia. Beliau menyatakan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 menetapkan bahwa pembangunan kesehatan adalah bagian penting dari pembangunan SDM. Walaupun bukan merupakan penyakit penyebab kematian langsung, hepatitis virus menimbulkan masalah di usia produktif , di saat para penderita ini seharusnya berfungsi sebagai sumber daya pembangunan. Beliau juga melaporkan bahwa Indonesia merupakan negara anggota WHO di Asia Teng-

| AGUSTUS 2010

469

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 469

7/23/2010 10:34:26 PM

LAPORAN KHUSUS

gara yang bersama Brazil dan Colombia telah megusulkan resolusi agar Hepatitis virus diangkat menjadi issue dunia. Usulan ini telah diterima dan ditetapkan tanggal 28 Juli sebagai hari hepatitis dunia (World Hepatitis Day). Dalam sambutannya, duta besar luar biasa China Zhang Qi Yue mengucapkan selamat pada Indonesia yang telah menyelenggarakan CISHMS. Beliau berharap 3rd CISHMS ini mampu memfasilitasi diskusi tata laksana penyakit hati secara komprehensif, mengingat penyakit hati memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Ibu Ani SBY sendiri menyatakan bahwa arti penting dari acara ini adalah tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat hidup sendiri, semua perlu kerja sama. Di Indonesia terdapat 20 juta

orang pengidap hepatitis B dan hepatitis C, merupakan 3 besar di dunia setelah China dan India, sehingga hal ini memerlukan perhatian bersama, misalnya dengan menggalakkan kampanye Hepatitis B dan C. Bu Ani juga mengaharapkan acara 3rd CISHMS dapat menjadi kombinasi antara pengobatan barat yang modern dan lebih ke zat kimia dengan pengobatan timur yang berupa herbal. Menutup sambutannya, bu Ani juga menyinggung masalah global warming dan dampaknya. Sekitar pukul 11.00 acara resmi dibuka dengan ditandai pemukulan gong oleh Ibu Ani SBY , didampingi Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, Prof. L.A. Lesmana, dan Dubes China. Di hari yang sama diselenggarakan workshop endoscopy & interventional hepatology dan workshop patologi secara paralel.

Acara kongres sendiri dilaksanakan 3 hari, 25-27 Juni 2010 di hotel yang sama. Dengan tema New Frontiers & Current Development in Hepatology, berbagai topik diangkat dalam sesi Liver Update dan sesi CISHMS secara paralel. Pembicara dari Indonesia maupun China, Korea, Singapore, India secara bergantian berbagi pengalamannya di bidang penyakit hati. Acara ditutup hari Minggu sebelum santap siang. (SVA)

470

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 470

7/23/2010 10:34:28 PM

LAPORAN KHUSUS

Seminar Nasional Terapi Medis Berbasis Herbal

cara ini dilangsungkan di Auditorium FK UGM Jogjakarta pada tanggal 8-9 Mei 2010, dihadiri oleh 508 peserta dari berbagai pihak, dokter spesialis, apoteker, mahasiswa, farmasi bahkan masyarakat awam yang berminat atau berkecimpung dalam dunia herbal dan alternatif; acara tersebut juga diramaikan oleh 12 perusahaan farmasi, perusahaan obat herbal dan laboratorium diagnostik. Acara tersebut diketuai oleh Dr.dr. Nyoman Kertia, SpPD-KR, yang dalam

sambutannya menyatakan acara nasional ini dilangsungkan sebagai tindak lanjut program Menteri Kesehatan RI yang sejak tanggal 6 Januari 2010 mencanangkan obat herbal berbasis pelayanan medis. Obat dari bahan alami telah digunakan masyarakat Indonesia sejak berabadabad dalam lingkup pengalaman turun menurun, trial and error tetapi belum ada standarisasi bahan baku dan belum didukung bukti ilmiah tentang manfaat dan keamanannya secara klinik, sedangkan dunia kedokteran

bahkan masyarakat saat ini menuntut cara berpikir rasional; oleh karena itu bahan alam yang digunakan sebagai obat perlu dikaji lebih lanjut tentang standarisasi, manfaat dan keamanannya. Di Indonesia baru ada 5 sediaan tofarmaka (ada uji klinik dan preklinik), 17 obat herbal terstandar (telah ada uji preklinik) di pasaran, tetapi sebenarnya potensi sumber daya alam Indonesia sebagai bahan baku obat masih demikian luas; acara ini dilangsungkan untuk memperluas informasi

| AGUSTUS 2010

471

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 471

7/23/2010 10:34:30 PM

LAPORAN KHUSUS

sumber daya alam tersebut dan meningkatkan minat penelitian lebih lanjut untuk bukti ilmiah manfaat, keamanan serta standarisasi klinik. 1. OBAT BAHAN ALAM YANG SERING DIGUNAKAN PADA PENYAKIT REMATIK.
Prof.Dr.phil.nat.Sudarsono,Apt

kan ambang rangsang iritasi saraf yang memicu batuk. 2. PERAN VITAMIN B DALAM PENANGANAN SINDROM NYERI CAMPURAN.
Dr.dr.Nyoman Kertia, SpPD-KR

o Nyeri seringkali underdiagnosed sehingga penanganannya kurang optimal, yang akan mempengaruhi hidup pasien. Penggunaan neurotropik (B1,B2, B12) bisa mengurangi nyeri nosiseptik dan nyeri neuropatik (sindroma nyeri campuran) pada low back pain. Kombinasi vitamin B1 25 mg/hari dan vitamin B6 50 mg/hari dapat digunakan pada neuropati diabetika yang dalam penelitian mengurangi nyeri hingga 88,9%, numbness 82,5% dan kesemutan 89,7%. Pemberian gabungan vitamin B (B1,B2 dan B12) ditambah dengan B9 (asam folat) 3 kali perhari juga secara bermakna memperbaiki keluhan dan gejala polineuropati alkoholik dibandingkan plasebo. 3. OBAT BAHAN ALAM UNTUK KESEHATAN GIGI DAN MULUT
(Drg.Goeno Subagyo,Sp.O.Path)

Pengembangan obat herbal untuk dimanfaatkan sebagai pengobatan rematik didasarkan atas pertimbangan hasil penelitian analgetik, diuretik, laksatif, antiinamasi, antiphlogistik dan imunostimulan. Dalam masyarakat Jawa Tengah dikenal berbagai jenis jamu antara lain kunir asem, beras kencur dan paitan : Kunyit asem : hasil penelitian di FK UGM menyatakan kurkuminoid lebih stabil dalam lingkungan asam dan memiliki efek anti radang; dalam masyarakat memang digunakan oleh ibu pasca melahirkan yang akan mengalami peradangan sekitar panggul. Temulawak : telah ditelaah mengandung kurkumin, desmetoksikurkumin dan xanthorrhizol (salah satu komponen minyak atsiri) berefek memacu keluarnya cairan empedu, sehingga nafsu makan bertambah dan membantu proses pencernaan dengan mengemulsi lipid, sehingga mungkin menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total serum. Paitan, biasanya diminum para manula, terdiri dari batang brotowali, daun sambiloto, biji kedawung, setelah ditelaah secara ilmiah diketahui salah satu efeknya adalah stomachicum (memacu sekresi HCl lambung), dengan tujuan meningkatkan nafsu makan. Beras kencur, biasanya digunakan dengan tujuan penyegar dan mengurangi frekuensi batuk terutama batuk akibat pergantian musim, dukungan ilmiahnya adalah efek etil parametoksi sinamat yang bersifat menghilangkan rasa (anestetik) sehingga meningkat-

Propolis (air liur lebah) bersifat antibakteri mulut dan menghambat perlekatan S.mutans dan S.sobrinus pada gelas; aktivitas antibakterinya mirip dengan chlorhexidine dan lebih baik dari ekstrak cengkeh. Naringin terbukti juga efektif terhadap Actinomyceta comitans, Actinobacillus dan P.gingivalis. Curcuma xanthorrhiza (zingiberaceae); ekstrak metanol akar tanaman ini terbukti memiliki aktivitas antibakteri mirip chlorhexidine terhadap bakteri mulut. Xylitol, menunjukkan efek antikariogenik dengan menghambat pertumbuhan S.mutans, sedangkan Streptococcus lain tidak terpengaruh.

Masyarakat Indonesia sudah sejak lama mengenal berbagai bahan alam untuk menjaga kesehatan gigi seperti daun sirih, bunga cengkeh, cabe, bawang putih dan merah, jeruk nipis, lidah buaya dsb. Bahan tersebut sering digunakan untuk mengatasi gangguan di mulut seperti nyeri, gusi berdarah dan luka di mulut . Beberapa ekstrak bahan alam terhadap bakteri rongga mulut o Bawang putih (Allium sativa - liliaceae) memiliki aktivitas antimikroba gram negatif (P.gingivitis) tetapi kurang efektif terhadap gram positif, pengamatan awal mendukung penggunaan bawang putih untuk penyakit periodontal atau penyakit mulut lainnya.

Aktivitas minyak atsiri terhadap bakteri rongga mulut o Sifat antibakteri minyak atsiri termasuk aktivitasnya terhadap bakteri rongga mulut telah dilaporkan di antaranya minyak atsiri Melaleuca alternifolia (minyak atsiri pohon teh) - bila digunakan bersama minyak kayu putih secara bermakna mengurangi jumlah chlorhexidine yang dibutuhkan. o Larutan kumur mengandung ekstrak daun serut (Aper streblus) dan daun nimba (Adirachta indica) dapat menurunkan secara selektif jumlah S.mutan dengan tidak mempengaruhi jumlah bakteri total, pH dan kapasitas buffer air ludah. o Evaluasi in vivo obat kumur 2,5% ekstrak bawah putih menurunkan bermakna S.mutans ludah. o Ekstrak buah delima (Punica granatum) dapat mencegah plak gigi lebih baik dibandingkan chlorhexidine ataupun akuades. 4. OBAT BAHAN ALAM BERKHASIAT APRODISIAK UNTUK DISFUNGSI EREKSI PADA DIABETES MELLITUS
(Dewa P Pramantara S)

Obat bahan alam sebagai aprodisiak (dorongan seksual) umumnya men-

472

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 472

7/23/2010 10:34:33 PM

LAPORAN KHUSUS

gandung senyawa turunan saponin, yohimbin, ginseng, gingko, alkaloid, tanin dan senyawa lain yang secara siologis dapat memperlancar peredaran darah sistem saraf pusat dan sirkulasi darah perifer termasuk alat kelamin pria. Epimedium sagittatum mengandung senyawa icariin telah diketahui menghambat enzim PDE5 di korpus kavernosum yang kerjanya mirip dengan obat kimiawi sildenal. Vigor dengan kandungan ginseng dan cinnamonum ditujukan untuk aprodisiak tetapi juga dapat membantu regulasi gula darah dan kolesterol. 5. OBAT BAHAN ALAM UNTUK PENYAKIT KULIT
(Dr.Nurwestu Rusetyanti,Mkes,SpKK )

Dematitis atopik (DA) Pengobatan DA antara lain secara tradisional Cina (CHM) dan pengobatan herbal tradiosional Jepang (kampo) CHM yang telah diteliti menggunakan 10 jenis herbal yaitu : Potentilla chinensis, Tribulus terrestris, Rehmannia glutinosa, Lophatherum gracile, Clematis armandii, Ledebouriella saseloide, Dictamnus dasycarpus, Paeonia lactiora, Schizonepeta tenuifolia dan G.glabra, herbal tersebut direbus seperti teh; menurunkan skor eritema (51%) dibandingkan kelompok kontrol (6,15%). Di Jepang, Hochu-ekki-to berupa granul halus berisi ginseng radix, Atractylodis rhizoma, Astragali radix, Angelicae radix, Zizyphi fructus, Bupleuri radix, Glycyrrhizae radix, Zingiberis rhizoma, Cimicfugae rhizoma dan Aurantii nobilis pericarpium selama 6 bulan diteliti, memiliki ekasi 19 % lebih baik dibandingkan plesebo 5%. Psoriasis Akar Angelicae dahuricae (CHM) mengandung furocoumarins imperatorium, isoimpertorin dan alloimperatorin; pada penelitian 300 pasien psoriasis dengan kombinasi UV-A

setara dengan pemberian psoralenUV-A dengan methoksalen, dengan efek samping mual dan pusing lebih rendah. Bahan lain adalah indigo naturalis dari Strobilanthes formosanis Moore (Acanthaceae) menurunkan skuama, eritema dan indurasi (81%) dibandingkan kelompok kontrol vehiculum (26%), tidak dilaporkan efek samping berat. Aloe vera: 60 pasien psoriasis tipe plak derajat ringan sedang mendapat krim hidrolik Aloe vera 0,5% atau plasebo, terdapat perbaikan (83,3%) dibandingkan plasebo (6,6%) serta tidak ditemukan efek samping. Herpes simplex Melissa ofcinalis - keluarga tanaman mint, digunakan secara topikal pada 116 pasien; 96% terdapat perbaikan lesi herpes di hari ke-8 setelah pemakaian balm 1% 5 kali sehari. Hepers zoster Jel licorice Glyxyrrhiza glabra dan Glycyrrhiza uralensis merupakan penghambat replikasi virus varicella zoster tetapi belum diuji klinis.

Penelitian bahan alam di bagian kulit dan kelamin FK UGM Suryawati N : ekstrak teh hijau 3 % dibandingkan pembersih asam salisilat 1% + resorsinol 0,5% untuk akne vulgaris derajat sedang, hasilnya tidak ada perbedaan Hartati F : ekstrak sirih merah dan ekstrak teh hijau dalam bentuk sabun : penurunan jumlah koloni Candida sp vulva pada penggunaan ekstrak sirih merah lebih besar tetapi tidak bermakna dibandingkan ekstrak teh hijau. Qomariah LN : krim ekstrak Aloe vera 1% memiliki efek hidrasi sama dengan krim urea 10% sebagai pelembab kulit kering non dermatotik (p>0,05). (ARI)

| AGUSTUS 2010

473

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 473

7/23/2010 10:34:35 PM

INFO PRODUK

Terapi Rinitis Alergi dengan Kombinasi Fexofenadine dan Pseudoephedrine

RINITIS ALERGI Rinitis alergi adalah suatu kondisi inamasi membran mukosa hidung yang ditandai dengan gejala bersin, rinore, kongesti hidung dan gatal pada hidung akibat paparan alergen. Prevalensi rinitis alergi mencapai hampir 20 persen di populasi umum. Rinitis alergi menyebabkan dampak yang berat dan menurunkan kualitas hidup penderitanya. Pada rinitis alergi, paparan alergen inisial akan mengaktifasi sel B menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi IgE (fase sensititasi). IgE yang diproduksi akan menempel pada reseptor IgE pada membran sel mast. Pada paparan alergen yang ke dua dan selanjutnya, alergen akan menempel pada dua molekul IgE yang telah menempel pada sel mast. Aksi ini akan memicu degranulasi sel mast dan pengeluaran berbagai mediator kimia seperti histamin, leukotrien dan lainnya (fase alergi). Ada beberapa cara pengobatan rinitis alergi yaitu penghindaran alergen, terapi simtomatik dengan antihistamin dan dekongestan baik tunggal maupun kombinasi dan terapi bedah (misal konkotomi). Terapi penghindaran alergen sangat sulit dilakukan karena sangat banyaknya alergen di lingkungan sekitar terutama alergen inhalan. Antihistamin dan dekongestan dalam bentuk tunggal maupun kombinasi masih merupakan pilihan terapi untuk pasien rinitis alergi.

Gambar 1. Patosiologi alergi

FEXOFED Fexofed merupakan produk dengan kandungan zat aktif kombinasi fexofenadine 60 mg lepas cepat (immediate release) dan pseudoephedrine 120 mg lepas lambat (extended release), tersedia dalam bentuk kaplet lepas lambat. Fexofenadine merupakan antihistamin generasi ke tiga yang diindikasikan untuk pasien rinitis alergi. Karena sifatnya yang sangat selektif terhadap reseptor histamin perifer, kemungkinan fexofenadine menyebabkan efek samping mengantuk sangat kecil. Pseudoephedrine merupakan obat golongan simpatomimetik amin aktif yang bekerja sebagai dekongestan. Pseudoephedrine secara efektif dapat meredakan sumbatan hidung akibat

rinitis alergi.Sebuah studi meta-analisis yang mempelajari efek samping pseudoephedrine menyimpulkan bahwa pada dosis yang dianjurkan kecil kemungkinan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. Fexofed diindikasikan untuk meredakan gejala yang berhubungan dengan rinitis alergi pada dewasa dan anak 12 tahun. Efektif mengatasi gejala bersin, pilek, gatal pada hidung/langit-langat mulut (palatum dan atau tenggorokan), gatal/berair/kemerahan pada mata dan hidung tersumbat. Fexofed diberikan satu kaplet dua kali sehari, diminum dengan air saat perut kosong ; penggunaan Fexofed bersamaan saat makan sebaiknya di-

474

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 474

7/23/2010 10:34:36 PM

INFO PRODUK

hindari karena makanan akan mengganggu penyerapannya. Dosis satu tablet sekali sehari dianjurkan sebagai dosis awal untuk pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Fexofed harus ditelan utuh, jangan dikunyah atau dihancurkan (digerus) karena dapat menyebabkan inaktifnya kandungan Fexofed. Fexofed hadir dengan keunggulan: Zat aktif fexofenadine dalam Fexofed merupakan antihistamin generasi ke tiga dengan efek samping sedasi sangat minimal dan efektif meredakan gejala rinitis alergi. Zat aktif pseudoephedrine lepas lambat dalam Fexofed menjamin efek dekongestan jangka panjang dan dapat mengurangi frekuensi pemakaian. Kombinasi dua zat aktif antihistamin generasi ke tiga dengan pseudoephedrine sebagai

dekongestan dalam fexofenadine tidak saling berinteraksi dan secara sinergis meredakan gejalagejala yang berkaitan dengan rinitis alergi dan kondisi rinitis lainnya yang membutuhkan antihistamin dan dekongestan. Fexofed relatif aman dan dapat ditoleransi baik. (ASL)

4.

Pratt, Brown, Rampe, Mason, Russell, Reynold, et al. Cardiovascular safety of fexofenadine HCl. Clin. and Experiment. Allergy 2001;29: 212-6

5.

Kaliner, White, Economides, Crisalida, Hele, Liao, et al. Relative potency of fexofenadine HCl 180 mg, loratadine 10 mg, and placebo using a skin model of wheal-and-are suppresion. Ann Allergy Asthma Immunol. 2003;90(6):629-34

6.

Vena GA, Cassano N, Filieri M, Filotico R, DArgento V, Coviello C. Fexofenadine in chronic idiopathic urticaria: a clinical and immunohis-

REFERENSI 1. Togias AG. Systemic immunologic and inammatory aspects of allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol. Nov 2000;106(5):S247-50 2. Valet RS, Fahrenholz JM. Allergic rhinitis: update on diagnosis. Consultant 2009;49:610613 3. Dicpinigaitis PV, Gayle YE. Effect of the second-generation antihistamin, fexofenadine, on cough reex sensitivity and pulmonary function. Br.J. Clin. Pharmacol. 2003; 56 (5): 5014. 7.

tochemical evaluation. Internat.J. Immunopathol. Pharmacol. 200215 (3): 217224. Salerno SM, Jackson JL, Berbano EP. Effect of Oral Pseudoephedrine on Blood Pressure and Heart Rate: A Meta-analysis. Arch Intern Med. 2005;165:1686-1694.

| AGUSTUS 2010

475

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 475

7/23/2010 10:34:40 PM

GERAI

Dalam kegiatan 3rd China Indonesia Joint Symposium on Hepatobilliary Medicine & Surgery (3rd CISHMS) yang tahun ini digabung bersama Simposium Liver Update, PT. Kalbe Farma Tbk. berpartisipasi dalam pameran dengan menampilkan produk Lancid, Rillus, Hepatosol dan Aminofusin Hepar.

Ibu Hj. Ani Susilo Bambang Yudhoyono membuka 3rd China Indonesia joint Symposium on Hepatobilliary Medicine & Surgery (3rd CISHMS) pada hari Kamis, 24 Juni 2010 di hotel Grand Melia Jakarta. Hadir pula Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH selaku Menteri Kesehatan dan Duta Besar Luar Biasa China Zhang Qi Yue serta ketua panitia Prof. Dr. L.A Lesmana, Ph.D, SpPD-KGEH.

PT. Kalbe Farma Tbk., berkontribusi dalam acara Simposium Endokrinologi Klinik VIII 2010, yang dilaksanakan pada tanggal 23 25 Juli 2010 di Hotel Hyatt Regency Bandung. Acara ini merupakan hasil kerjasama antara Perkeni (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) Cabang Bandung dengan Bagian Penyakit Dalam FK UNPAD/ RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung.

476

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 476

7/26/2010 5:37:21 PM

ANTAR SEJAWAT

1) Saya sangat tertarik dengan artikel2 dan jurnal2 ilmiah yang dimuat CDK, apalagi yang versi Ebooknya. Cuma alangkah lebih baik kalau CDK Online dibuatkan website tersendiri yang lebih interaktif, hal ini akan membuat para praktisi medis merasa lebih eksklusif dan ada ruang tersendiri untuk berinteraksi dengan redaksi maupun pembaca lainnya. Dr. Faizal Arief Nurokhman *) Surabaya Jawab : CDK online yang tersendiri sudah dalam pemikiran; tetapi memerlukan persiapan yang matang, terutama layanan interaktif; semoga tidak lama lagi bisa terlaksana sehingga sejawat lebih cepat mengakses CDK kami. Kami sangat senang jika ternyata CDK dapat membantu aktivitas sejawat. 2) Saya bekerja pada bagian perpustakaan Akademi Keperawatan YAPENAS 21 Maros, saya tertarik untuk mendapatkan Majalah Cermin Dunia Kedokteran sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa(i) kami..Mahasiswa kami sekarang telah mencapai 1000 orang dengan 10 dosen berstatus Dokter. Abdullah Had Makassar Jawab : Majalah CDK disebarluaskan ke dokter-dokter dan perpustakaan Faklutas Kedokteran, termasuk perpustakaan Akademi Keperawatan. Sehubungan hal tsb., Akademi Keperawatan YAPENAS 21 Maros akan kami masukkan dalam daftar pelanggan CDK, yang akan dikirim pada setiap penerbitan secara reguler. Selain itu CDK juga dapat diakses secara online di www.kalbe.co.id/cdk. Silakan memilih sendiri artikel yang diminati.

3) Hai CDK, Sekedar saran, bagaimana kalau artikel mengenai penyakit infeksi menular (ITD) dan update terapi hadir di setiap edisi CDK, mengingat di Indonesia merupakan sarang terbesar di dunia untuk penyakit infeksi menular. Terima kasih Dr Sam Ginting Bogor Jawab : Kami berusaha agar artikel yang diterbitkan selalu mutakhir; tetapi tentu tergantung dari para kontributor. Beberapa artikel mengenai infeksi antara lain DBD dan malaria akan kami terbitkan di edisi mendatang. Jika sejawat mempunyai artikel sejenis, kami akan dengan senang hati menerbitkannya. Artikel CDK yang telah diterbitkan dapat sejawat akses (dan pilih) di www.kalbe.co.id/cdk. Mengenai sarang terbesar infeksi masih bisa diperdebatkan; tetapi pada Riset Kesehatan Dasar mutakhir yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan, penyakit noninfeksi seperti penyakit jantung dan stroke sudah merupakan penyebab kematian yang perlu diperhatikan. 4) How is the mechanism involved in generation of convulsion in epilepsy? Hegar Pramas Bandung Jawab : The answer to this question is rather complicated. It needs an article by itself. You can look for the answer(s) by searching several websites www.ilae.org or www.wfneurology.org or though google.com using keywords : epilepsy, mechanism of epilepsy, pathophysiology.

| AGUSTUS 2010

477

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 477

7/23/2010 10:34:51 PM

AGENDA

KALENDER ACARA BULAN SEPTEMBER - OKTOBER 2010


SEPTEMBER
5th ASEAN Society of Pediatric Surgery in conjunction with 2nd Multidisciplinary Pediatric Surgery Meeting Tanggal: 22 - 24 September 2010 Tempat: Discovery Kartika Plaza, Kuta, Bali Kalangan: Dokter anak, dokter bedah, dokter umum Sekretariat: EO Pharma Pro Phone: 0856-845-5050; 0813-1785-7586 Email: 5asps@pharma-pro.com URL: www.bedahanakfkui-rscm.com Contact Person: Lia, Tiolan 23rd European Society of Intensive Care Medicine (ESICM) Annual Congress 2010 Tanggal: 09 - 13 Oktober 2010 Tanggal: 26 - 29 September 2010 Tempat: Sydney Convention and Exhibition Centre, Darling Harbour, Sydney, Australia Kalangan: Doctor, paramedic, nurse Sekretariat: APMF 2010 Meeting Managers c/o Arinex pty ltd. Postal GPO Box 128 Sydney, NSW, 2001 Australia Phone: + 61 2 9265 0700 Fax: + 61 2 9267 5443 Email: apmf2010@arinex.com.au URL: http://www.apmf2010.com/program.asp 14th Congress of the European Federation of Neurological Societies (EFNS 2010) Tanggal: 25 - 28 September 2010 Tempat: Geneva, Switzerland Kalangan: Dokter Sekretariat: Kenes International, Global Congress Organisers and Association Management Services 1-3 rue de Chantepoulet, P.O. Box 1726, 1211 Geneva 1, Switzerland Phone: +41 22 908 04 88 Fax: +41 22 906 91 40 Email: efns2010@kenes.com URL: www.kenes.com/efns2010 Tanggal: 23 - 27 Oktober 2010 Tempat: Centre Convencions International Barcelona, Spain 23rd Scientic Meeting of the International Society of Hypertension Tanggal: 26 - 30 September 2010 Tempat: Vancouver, Canada Kalangan: Dokter Sekretariat: Sea to Sky Meeting Management Inc. Suite 206, 201 Bewicke Avenue, North Vancouver, BC, Canada, V7M 3M7 Phone: +1 604-984-6448 Fax: +1 604-984-6434 Email: info@vancouverhypertension2010.com URL: http://www.vancouverhypertension2010.com Tanggal: 30 - 31 Oktober 2010 Tempat: Hotel Gumaya Semarang Kalangan: Dokter Sekretariat: SMF Ilmu Kesehatan Anak Jl. Dr. Sutomo 16-18 Semarang Phone: 024-8414296 Metabolic, Endocrinology and Social Pediatric Meeting Kalangan: Dokter Sekretariat: UEGF Secretariat, Barcelona, Spain Phone: +4319971639 Fax: +4319971639 Email: ofce@uegf.org Contact Person: UEGF Secretariat URL: www.uegw10.uegf.org 18th United European Gastroenterology Week (UEGW) 2010 Konker & PIT 2010 Pernefri Tanggal: 21 - 24 Oktober 2010 Tempat: Hotel Patra Jasa Semarang Kalangan: Dokter spesialis, dokter umum Sekretariat: Sub Bagian Nefrologi Hipertensi SMF Penyakit Dalam FK UNDIP/RS Dr. Kariadi Semarang Phone: 024-8446757 Fax: 024-8446758 Email: nefro_smg@yahoo.com Contact Person: Dr. Dwi Lestari S., SpPD Tempat: CCIB (Centre Convencions Internacional Barcelona), Barcelona, Spain Kalangan: Intensivist Sekretariat: European Society of Intensive Care Medicine (ESICM) Rue Belliard, 19 B-1040 Brussels, Belgium Phone: +32 2 559 03 55/71 Fax: +32 2 559 03 69 URL: http://www.esicm.org/

OKTOBER
Seminar & Workshop Radiology in Daily Clinical Practice Tanggal: 02 Oktober 2010 Tempat: Gedung Prodia, Jl.Kramat Raya no. 150, Jakarta Kalangan: Dokter umum dan perawat Sekretariat: Laboratorium Prodia, Jl. Kramat Raya no. 150, Jakarta Phone: 081386339424 Fax: 021-3908082 Email:radiologi2010@gmail.com Contact Person: Mathilda Albertina

The Fourth Scientic Meeting of the Asia Pacic Menopause Federation 2010

1. 2.

Informasi ini sesuai pada saat dicetak. Apabila ingin mengetahui lebih lanjut, silakan akses http://www.kalbe.co.id/calendar Apabila kegiatan ilmiah Anda ingin dipublikasikan, kirim pemberitahuannya ke cdk.redaksi@yahoo.co.id

Fax: 024-8414296 Email: ikarsdk@gmail.com Contact Person: Cicik URL: www.pediatrics-undip.com

| AGUSTUS 2010

479

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 479

7/23/2010 10:34:53 PM

RPPIK

RUANG PENYEGAR DAN PENAMBAH ILMU KEDOKTERAN


Dapatkah sejawat menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini? Jawablah B jika benar, S jika salah

Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media Supuratif Kronis


Tutie Ferika Utami, Kartono Sudarman, Bambang Udji Djoko Rianto, Anton Christanto

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik
Vimala Acala, Kartono Sudarman, Anton Christanto, Slamet Widodo

1.

Pada Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) selalu dijumpai perforasi membran timpani. Sekret pada OMSK selalu purulen. Otitis Media Supuratif dikatakan kronis jika berlangsung lebih dari 6 bulan. Pada OMSK benigna, tuba auditoria tidak ikut terinfeksi. Tonsilitis kronis bisa merupakan faktor predisposisi OMSK. Bakteri yang tersering diisolasi pada OMSK ialah Pseudomonas aeruginosa. Alergi dapat menyebabkan OMS menjadi kronis.

1.

Sinus paranasalis dilapisi oleh epitel kolumner berlapis semu bersilia. Mukosa sinus paranasalis berhubungan dengan mukosa hidung. Sinus paranasalis berfungsi antara lain untuk menetralisir bakteri udara pernapasan. Nyeri pada sinusitis maksilaris dirasakan di daerah sela mata. Foto polos sinus paranasal dapat dilakukan dengan posisi Towne. Gambaran air-uid level bisa dijumpai pada keadaan polip sinus. Diagnosis sinusitis pada foto polos antara lain jika penebalan mukosa > 12 mm. Teknik CT scan yang terbaik untuk gambaran sinus adalah potongan koronal. Teknik endoskopi lebih unggul dibandingkan dengan CT scan untuk diagnostik sinusitis.

2. 3.

2.

3.

4.

4.

5.

5.

6.

6.

7. 8.

7. Keadaan alergi menyebabkan berkurangnya sekresi sel goblet. 8. 9. Rinitis alergi dikaitkan dengan peranan IgE. 9.

10. Otitis media dapat berisiko rinitis kronis akibat disfungsi mukosilier.

10. Untuk mendapatkan gambaran sinusitis yang baik, pada pemeriksaan CT scan, posisi pasien adalah telungkup (prone).

480

| AGUSTUS 2010

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 480

JAWABAN: 1.B
7/23/2010 10:34:56 PM

2.B

3.S

4.S

5.B

6.B

7.S

8.B

9.S

10.B

JAWABAN ; 1.B

2.S

3.S

4.S

5.B

6.B

7.B

8.S

9.B

10.B

Anda mungkin juga menyukai