Anda di halaman 1dari 25

REFERAT THT

OBAT OTOTOKSIK

PEMBIMBING:
dr. Nurlina M. Rauf, Sp. THT

Disusun oleh:
Mediana Adrianne Riyanto
406162128

Kepaniteraan Klinik Ilmu THT


RSUD Ciawi
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 04 Desember 2017- 06 Januari 2018

1
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT
OBAT OTOTOKSIK

Dipersiapkan dan disusun oleh:


Mediana Adrianne Riyanto - 406162128

Telah dipresentasikan tanggal: .................................


Pembimbing Referat

Dr. Nurlina, Sp. THT-KL dr. Tenty, Sp. THT-KL,M.Kes

Ciawi, Desember 2017

Bagian Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan


Rumah Sakit Umum Daerah Ciawi

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmatnya dan karuniaNya referat yang berjudul “Obat Ototoksik” ini dapat
diselesaikan pada waktunya. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas
Kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara di Rumah Sakit Umum Daerah Ciawi.
Penulis menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada dr. Nurlina
M. Rauf, Sp. THT dan dr. Tenty, Sp. THT-KL serta perawat yang bertugas di
Poliklinik THT di RSUD Ciawi, atas bantuan dan bimbingannya, serta kepada
semua pihak yang turut membantu baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam penyusunan referat ini.
Dalam penyusunan referat ini, penulis berusaha mendapatkan informai dan
referensi dari buku ajar yang berhubungan dengan tema referat ini. Adapun
demikian penulis menyadari masih banyak kekurangan dari referat ini, baik dari
segi penulisan maupun segi isi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan
kritik dari para pembaca.
Akhir kata dengan segala kerendahan hati, penulis berharap referat ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca. Terima kasih.

Jakarta, Desember 2017

Penulis

3
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar isi
BAB I. PENDAHULUAN 5
BAB II.PEMBAHASAN
A. Anatomi Hidung 7

B. Fisiologi hidung 12

C. Definisi 15

D. Epidemiologi 15

E. Etiologi 16

F. Gejala 16

G. Klasifikasi 18

H. Diagnosis 19

I. Tatalaksana 20

J. Prognosis 22

K. Komplikasi 22

BAB III.KESIMPULAN 23
Daftar Pustaka 24

4
BAB I
PENDAHULUAN

Ototoksisitas merupakan keadaan gangguan pada telinga yang disebabkan


oleh obat atau zat kimia yang merusak telinga bagian dalam atau saraf
vestibulocochlear, yang mengirim info keseimbangan dan pendengaran dari
telinga bagian dalam ke otak. Otoksisitas dapat menyebab gangguan pendengaran,
keseimbangan, atau keduanya baik untuk sementara waktu atau permanen.
Banyak zat kimia yang berpotensi bersifat ototoksik, baik itu berupa obat atau zat
kimia yang ada di lingkungan kita. Obat apapun yang berpotensi menyebabkan
reaksi toksik terhadap struktur dalam telinga, yang mencakup koklea, vestibulum,
kanalis semisirkularis, dan otolit, dianggap sebagai obat ototoksik.1
Beberapa obat dapat menyebabkan reaksi toksik pada struktur telinga
dalam, termasuk koklea, vestibulum, semisirkular kanal, dan otolit, dianggap
sebagai ototoksik. Obat dapat menginduksi struktur pendengaran dan sistem
keseimbangan yang dapat menyebabkan terjadinya kehilangan pendengaran,
tinnitus dan pusing. Gangguan pendengaran akibat toksisitas kadang bersifat
sementara tetapi kebanyakan bersifat menetap pada sebagian besar golongan
Aminoglikosida. Telah diketahui bahwa gangguan pendengaran atau ketulian
mempunyai dampak yang merugikan bagi penderita, keluarga, masyarakat
maupun Negara. Penderita akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi
dengan lingkungannya, dan terisolasi. Kehilangan kesempatan dalam aktualisasi
diri, mengikuti pendidikan formal di sekolah umum, kehilangan kesempatan
memperoleh pekerjaan yang pada akhirnya berakibat pada rendahnya kualitas
hidup yang bersangkutan.1,2
Obat-obat ototoksik yang menyebabkan kerusakan sistem pendengaran
dan keseimbangan dapat menyebabkan kehilangan pendengaran, tinnitus, dan
pusing. Kelas obat-obat tertentu yang menyebabkan ototoksisitas telah ditetapkan,
dan lebih dari 100 kelas obat telah dikaitkan dengan toksisitas. Factor yang
mempengaruhi ototoksisitas mencakup dosis, durasi terapi, penyakit yang disertai
gagal ginjal, pemberian dengan obat lain yang memiliki potensi ototoksik. Obat

5
ototoksi tidak boleh digunakan secara topical jika membrane timpani mengalami
perforasi karena obat dapat mengalir ke dalam telinga bagian dalam.2,3
Obat ototoksik menjadi perhatian klinis yang utama dengan penemuan
streptomycin pada tahun 1944. Streptomisin berhasil digunakan dalam
pengobatan tuberculosis; akan tetapi, sejumlah besar pasien yang diobati dengan
streptomisin ditemukan mengalami disfungsi koklea dan vestibular yang menetap.
Saat ini, banyak agen farmakologi telah terbukti memiliki efek toksik pada system
kokleavestibular. Obat tersebut mencakup aminoglikosida, dan antibiotic yang
lain, agen antineoplastik yang berbahan cisplatin, salisilat, kuinin, dan loop
diuretic.3
Kehilangan pendengaran atau gangguan keseimbangan yang permanen
disebabkan oleh obat ototoksik mungkin memiliki akibat komunikasi, edukasi,
dan social yang serius. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan apakah
keuntungannya lebih banyak daripada kerugiannya, dan pengobatan alternative
harus dipertimbangkan jika tepat. Penanganan ditekankan pada pencegahan,
karena sebagian besar kehilangan pendengaran bersifat ireversibel. Saat ini tidak
terdapat terapi untuk menyembuhkan kerusakan akibat obat-obatan ototoksik;
akan tetapi, peneliti dan klinisi mencoba untuk menemukan metode baru unruk
meminimalisir cedera ototoksik.3
Tujuan pembuatan tinjauan pustaka ini adalah untuk menambah
pengetahuan tentang obat-obatan yang menyebabkan ototoksisitas, sehingga dapat
mendeteksi, diagnosis dan penatalaksanaan yang baik dan juga untuk memenuhi
tugas kepaniteraan klinik senior di departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan dan Bedah Kepala Leher. Dalam tinjauan pustaka ini dibahas
tentang definisi, etiologi, insidens, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, dan
terapi dari obat-obat ototoksik

Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:


1. Memberikan informasi kepada dokter maupun tenaga kesehatan tentang
obat-obat ototoksik serta berbagai hal lain yang berhubungan dengan obat-
obatan tersebut.

6
2. Menambah pengetahuan penulis tentang penyakit yang ditimbulkan oleh
obat-obat ototoksik.

3. Sebagai sumber informasi bagi pihak lain yang ingin melakukan penelitian
atau hal lain yang ada kaitannya dengan obat-obatan ini.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TELINGA DALAM


Auris interna (telinga bagian dalam) atau organum vestibulocochleare
berhubungan dengan penerimaan bunyi dan pemeliharaan keseimbangan. Auris
interna yang tertanam di dalam pars petrosa, salah satu bagian tulang temporal,
terdiri dari kantong-kantong dan pipa-pipa labyrinthus membranaceus. System
selaput ini berisi endolimfe dan organ-organ akhir untuk pendengaran dan
keseimbangan. Labyrinthus membranaceus berupa selaput yang diliputi oleh
perilimfe terbenam di dalam labyrinthus osseus.

Gambar 2.1 Anatomi Telinga Dalam

Labyrinthus osseus (Tulang Labirin)


Labyrinthus osseus auris interna menempati hampir seluruh bagian lateral
pars petrosa pada os temporal. Labyrinthus osseus auris interna terdiri dari 3
bagian, yaitu:

8
Gambar 2.2 Anatomi Tulang Labirin

Cochlea
Bagian labyrinthus osseus unu yang berbentuk seperti keong, berisi duktus
cochlearis, bagian auris interna yang berhubungan dengan pendengaran. Cochlea
membuat 2,5 putaran, mengelilingi sumbu tulang yang disebut modiolus dan
berisi terusan-terusan untuk pembuluh darah dan saraf. Putaran cochlea basal
yang lebar menyebabkan terbentuknya promontorium pada dinding medial cavitas
timpani.

Vestibulum
Ruang yang kecil dan jorong ini (panjangnya kira-kira 5 mm) berisi
utriculus dan sacculus, bagian-bagian peranti keseimbangan. Ke anterior
vestibulum bersinambungan dengan cochlea tulang, ke posterior dengan canals
semicirculares ossei, dan dengan fossa crani posterior melalui aqueductus
vestibule. Aqueductus vestibule melintas ke permukaan posterior pars petrosa dan
di sini bermuara di sebelah postero-lateral meatus acusticus internus. Di dalamnya
terdapat ductus endolymphaticus dan dua pembuluh darah kecil.

Canales semicirculares ossei


Canalis semicircularis anterior, canalis semicircularis posterior, dan
canalis semicircularis lateralis berhubungan dengan vestibulum labyrinthi ossei.

9
Canals semicircularis ossei terletak posterosuperior terhadap vestibulum yang
merupakan tempat bermuaranya canals semicircularis ossei; ketiga terusan
ditempatkan tegak lurus satu terhadap yang lain. Dengan demikian stereometris
mereka menempati tiga bidang. Masing-masing terusan berupa kira-kira dua
pertiga dari sebuah lingkaran dengan diameter kira-kira 1,5 mm, kecuali pada satu
ujung yang melebar sebagai ampulla.

Labyrinthus Membranaceus
Labyrinthus membranaceus terdiri dari urut-urutan kantung dan pipa yang
saling berhubungan dan terbenam di dalam labyrinthus osseus. Di dalam
labyrinthus membranaceus terdapat endolimfe, cairan yang menyerupai air
komposisinya berbeda dari perilimfe dalam labyrinthus osseus yang meliputinya.
Labyrinthus membranaseus terdiri dari bagian utama.
- Utriculus dan sacculus, dua kantung kecil di dalam vestibulum labyrinthi
ossei yang saling berhubungan.
- Tiga duktus semicircularis di dalam canals semicircularis ossei
- Duktus cochlearis di dalam cochlea.

Meaticus acusticus interna


Meaticus acusticus internus adalah sebuah terusan sempit yang melintas ke
lateral sejauh kira-kira 1 cm di dalam pars petrosa. Lubangnya terdapat pada
bagian posteromedial tulang tersebut, sejajar dengan meatus acusticus eksternus.
Ke arah lateral meatus acusticus internus tertutup oleh selembar tulang yang
berlubang-lubang dan tipis, dan memisahkannya dari auris interna. Melalui
lembar tulang tersebut melintas nervus fasialis (nervus cranialis VII), cabang-
cabang nervus vestibulocochlearis (nervus cranialis VIII), dan pembuluh-
pembuluh darah. Di dekat ujung lateral meatus acusticus internus, nervus
vestibulocochlearis bercabang dua menjadi nervus cochlearis dan nervus
vestibularis.4

10
Fisiologi Sistem Vestibularis
Sinyal-sinyal sensorik dari telinga dalam, retina, dan system
musculoskeletal diintegrasikan dalam SSP agar dapat mengontrol arah pandangan,
posisi serta gerak tubuh dalam ruang. Bila disebutkan system vestibularis maka
yang dimaksud tidak hanya reseptor saja, namu juga jaras-jaras SSP yang terlibat
dalam pengolahan sinyal-sinyal aferen dan aktivasi motorneuron. Reseptor system
ini adalah sel rambut yang terletak dalam Krista kanalis semisirkularis dan macula
dari organ otolit. Secara fungsional terdapat dua jenis sel. Sel-sel pada kanalis
semisirkularis peka terhadap rotasi khususnya terdapat dua jenis sel. Sel-sel pada
kanalis semisirkularis peka terhadap rotasi khususnya terhadap percepatan sudut
(yaitu perubahan dalam kecepatan sudut), sedangkan sel-sel pada organ otolit
peka terhadap gerak linear, khususnya percepatan linear dan terhadap perubahan
posisi kepala relative terhadap gravitasi. Perbedaan kepekaan terhadap percepatan
sudut dan linear ini disebabkan oleh geometri dari kanalis dan organ otolit serta
cirri-ciri fisik dari struktur-struktur yang menutupi sel rambut.6

Fisiologi Pendengaran
Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut mengetarkan membran timpani diteruskan ke telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplikasikan
getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplikasi ini
akan diteruskan ke stapes yang akan mengerakkan tingkap lonjong sehingga
perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran ini diteruskan melalui membran
reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif
antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang
mekanik yang akan menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut,
sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan
sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial
aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke

11
korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.4

Gambar 2.3 Fisiologi Pendengaran

12
2.2 GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT OBAT OTOTOKSIK
2.2.1 Patogenesis
Mekanisme gangguan pendengaran akibat obat ototoksik masih belum
begitu jelas. Patologinya meliputi hilangnya sel rambut luar yang lebih apikal,
yang diikuti oleh sel rambut dalam. Hal ini permulaannya menyebabkan gangguan
pendengaran frekuensi tinggi yang dapat berlanjut ke frekuensi rendah. Pasien-
pasien tertentu tidak mengetahui adanya gangguan pendengaran hingga defisit
mencapai derajat ringan sedang (>30 dB hearing level) pada frekuensi
percakapan.3,4
Kebanyakan poin yang terbukti saat ini adalah terdapat pengikatan obat
dengan glikosaminoglikan stria vaskularis, yang menyebabkan perubahan strial
dan perubahan sekunder sel-sel rambut. Antibiotik ototoksik menyebabkan
hilangnya pendengaran dengan mengubah proses-proses biokimia yang penting
yang menyebabkan penyimpangan metabolik dari sel rambut dan bisa
menyebabkan kematian sel secara tiba-tiba.4,6
Efek utama dari obat-obat ototoksik terhadap telinga adalah hilangnya sel-
sel rambut yang dimulai dari basal koklea, kerusakan seluler pada stria vaskularis,
limbus spiralis dan sel-sel rambut koklea dan vestibuler. Kerusakan vestibuler
juga merupakan efek yang merugikan dari antibiotik aminoglikosida dan awalnya
menunjukkan nistagmus posisional. Pada keadaan berat, kerusakan vestibuler
dapat menyebabkan ketidakseimbangan dan osilopsia. Osilopsia, yang disebabkan
oleh kerusakan sistem vestibuler bilateral, adalah ketidakmampuan sistem okuler
untuk menjaga horizon yang stabil.3,4,6

2.2.2 Gejala Klinis


Tinitus dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas. Tinnitus
biasanya menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh sebab apapun dan
seringkali keluhan pertama yang muncul serta mengganggu jika dibandingkan
dengan tulinya sendiri dimana pada ototoksik tinitus cirinya kuat dan bernada
tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz serta biasa bilateral. Pada
kerusakan yang menetap, tinnitus lama kelamaan tidak begitu kuat tetapi juga
tidak pernah hilang, gejala lainnya juga terdapat gangguan keseimbangan badan,

13
sulit memfiksasi pandangan, terutama setelah perubahan posisi, ataksia
(kehilangan koordinasi otot) dan oscillopsia ( pandangan kabur dengan
pergerakan kepala) tanpa adanya riwayat vertigo sebelumnya, menyebabkan
kesulitan melihat tanda lalu lintas ketika mengendarai kendaraan atau mengenali
wajah orang ketika berjalan.4,6
Diuretik kuat dapat menimbulkan tinnitus yang kuat dalam beberapa menit
setelah menyuntikkan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu berat
dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya
disertai tinnitus yang ringan dan biasanya menghasilkan audiogram yang
mendatar atau sedikit menurun. Tinnitus dan kurang pendengaran yang reversibel
dapat terjadi pada penggunaan salisilat dan kina serta tuli akut yang disebabkan
diuretik kuat dapat pulih dengan menghentikan pengobatan dengan segera.4
Gejala dini gangguan pendengaran pada ototoksisitas aminoglikosida sulit
dikenali oleh pasien karena hanya bermanifestasi pada frekwensi tinggi. Pada
keadaan lanjut akan mempengaruhi frekwensi percakapan dan ketuliannya akan
semakin berat jika penggunaan obat ini diteruskan. Pada audiogram ditemukan
ciri penurunan yang tajam untuk frekuensi tinggi.4

2.2.3 Penatalaksanaan
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila
pada waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam
dapat diketahui secara audiometrik, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut
harus segera dihentikan. Berat ringan ketulian yang terjadi tergantung kepada
jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan. Kerentanan pasien termasuk yang
menderita insufisiensi ginjal dan sifat obat tersendiri. Apabila ketulian sudah
terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain dengan alat Bantu dengar
(ABD), psikoterapi, auditory training, termasuk cara menggunakan sisa
pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan
belajar membaca bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral dapat dipertimbangkan
pemasangan implan koklea.4,6

14
2.2.4 Pencegahan
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka
pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk
mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien,
monitoring ketat level obat dalam serum dan fungsi ginjal harus baik sebelum,
selama dan setelah terapi. Cara lain adalah dengan mengukur fungsi audiometri
sebelum terapi, memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan
gejala-gejala keracunan telinga dalam yang timbul seperti tinnitus, kurang
pendengaran dan vertigo.4
Pada pasien-pasien yang telah mulai menunjukkan gejala tersebut diatas
harus dilakukan evaluasi audiologik dan segera menghentikan pengobatan dan
baiknya antibiotik yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran baiknya tidak
diberikan pada wanita hamil, berusia lanjut dan orang-orang yang sebelumnya
pernah menderita ketulian dan sebaiknya dilakukan pemantauan terhadap kadar
obat dalam darah jika memungkinkan baik sebelum dan selama pengobatan
berlangsung.4

2.2.5 Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah dan
lamanya pengobatan, kerentanan pasien, adanya faktor resiko seperti gagal ginjal
akut ataupun kronis dan penggunaan obat ototoksik yang lain secara bersamaan
akan tetapi pada umumnya prognosis tidak begitu baik dan malah makin
memburuk.4

15
2.3 JENIS-JENIS OBAT OTOTOKSIK
2.3.1 Aminoglikosida
A. Definisi
Aminoglikosida adalah kelompok antibiotic bakterisidal yang berasal dari
berbagai macam streptomyces. Yang termasuk kelompok obat ini adalah
streptomisin, neomisin, kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomisin,
netilmisin. Antibiotic aminoglikosida telah menjadi bagian penting dari obat
antibacterial sejak mereka ditemukan pada tahun 1940-an. Mereka memiliki
aktivitas in vitro yang kuat terhadap Pseudomonas Aeroginosa dan sebagian besar
basil gram-negatif aerob lainnya, dan juga memperlihatkan aktivitas terhadap
Staphylococcus aureus. 6,7,8
Aminoglikosida paling sering digunakan untuk melawan bakteri enteric
gram negative, terutama pada bakteremia dan sepsis, dikombinasikan dengan
vankomisin atau penisilin untuk endokarditis, dan untuk penanganan tuberculosis.
Streptomisin adalah aminoglikosida yang tertua. Gentamisin, tobramisin, dan
amikasin adalah aminoglikosida yang paling sering digunakan saat ini. Neomisin
dan kanamisin penggunaannya terbatas pada penggunaan secara topical atau oral.
Toksisitas utama dari obat ini adalah nefrotoksisitas, yang terjadi pada 15% pasien
yang mendapatkan regimen ini, dan ototoksisitas, yang menimbulkan gangguan
pendengaran dan gangguan pada system vestibuler.6, 7

B. Epidemiologi
Walaupun ototoksisitas merupakan efek samping dari aminoglikosida
yang tersering kedua, yang paling sering adalah nefrotoksisitas, angka kejadian
pastinya masih controversial. Beberapa peneliti melaporkan toksisitas auditori
mencapai 41%, sedangkan peneliti yang lain melaporkan angka yang jauh lebih
rendah yaitu 7%. Data yang terkumpul dari penelitan meta-analisa
memperlihatkan sekitar 5% insiden toksisitas auditori karena konsumsi
aminoglikosida dengan dosis ganda perhari. Toksisitas vestibuler telah dilaporkan
berada pada kisaran 0-7% pada pasien yang mendapatkan aminoglikosida.8

16
C. Patofisiologi
Toksisitas aminoglikosida paling sering terjadi pada ginjal dan system
kokleovestibular; akan tetapi, tidak ada keterkaitan antara tingkat keparahan
nefrotoksisitas dengan ototoksisitas. Toksisitas pada cochlear yang menyebabkan
kehilangan pendengaran mulai pada frekuensi tinggi dan disebabkan oleh
kerusakan yang menetap pada sel rambut bagian luar pada organ corti.
Mekanisme ototoksisitas aminoglikosida dimediasi oleh gangguan pada sintesis
protein mitokondira, dan pembentukan radikal oksigen bebas. Dasar seluler pada
kehilangan pendengaran akibat aminoglikosida adalah kerusakan sel rambut
koklear, terutama sel rambut di bagian luar. Aminoglikosida tampaknya
membentuk radikal bebas didalam telinga bagian dalam dengan mengaktivasi
sintetase nitrit oksida sehingga meningkatkan konsentrasi nitrat oksida. Oksigen
radikal kemudian bereaksi dengan nitrit oksida untuk membentuk peroksinitrat
radikal yang bersifat destruktif, yang dapat secara langsung merangsang kematian
sel. Apoptosis adalah mekanisme utama dari kematian sel dan terutama dimediasi
oleh aliran yang dimediasi oleh mitokondrial intrinsic. Tampaknya interaksi
aminoglikosida dengan logam transisi seperti besi dan tembaga mempercepat
pembentukan radikal bebas ini.3
Aminoglikosida yang berbeda memiliki afinitas yang berbeda, yang
menyebabkan pola ototoksisitas yang berbeda dengan aminoglikosida yang
berbeda. Sebagai contohnya Kanamisin, tobramisin, amikasin, neomisin, dan
dihydrostreptomisin lebih bersifat kokleotoksik daripada vestibulotoksik.
Aminoglikosida yang lain, seperti streptomisin dan gentamisin, lebih bersifat
vestibulotoksik daripada kokleotoksik. Rangkaian waktu toksisitas juga berbeda-
beda. Toksisitas neomisin biasanya cepat dan dalam, sedangkan efek yang timbul
agak lama adalah streptomisin yang diberikan secara sistemis,
dihydrostreptomisin, tobramisin, amikasin, netilmisin, dan dengan gentamisin
yang diberikan melalui telinga tengah.7

D. Tanda dan gejala


Secara klinis, kerusakan koklea akut dapat menampakkan gejala tinnitus.
Kehilangan pendengaran pada awalnya mungkin tidak disadari pasien dan

17
awalnya bermanifestasi sebagai peningkatan ambang batas pada frekuensi tinggi
(>4000 Hz). Semakin berkembang, frekuensi pembicaraan yang lebih rendah
terpengaruh dan pasien dapat menjadi tuli jika dilanjutkan pemberian obat
aminoglikosida. Jika konsumsi obat cepat dihentikan, kehilangan pendengaran
dapat dicegah.3
Gejala toksisitas vestibular biasanya mencakup ketidakseimbangan tubuh
dan gejala visual. Ketidakseimbangan tumbuh memburuk pada keadaan gelap.
Jarang terjadi vertigo. Gejala visual, disebut oscillopsia, hanya terjadi jika kepala
bergerak. Pergerakan yang cepat pada kepala berkaitan dengan penglihatan yang
menjadi kabur. Secara klinis, nistagmus dapat muncul sebagai tanda awal.3

E. Pencegahan
Pencegahan ototoksisitas aminoglikosida melibatkan pengawasan kadar
obat dalam darah dan fungsi renal serta pemeriksaan pendengaran sebelum,
selama, dan setelah terapi. Ukur fungsi audiometric dasar sebelum terapi.
Identifikasi secara teliti pasien yang beresiko tinggi dan pilih antibiotic alternative
untuk mereka. Yang terakhir, karena aminoglikosida masih tetap berada dalam
koklea dalam waktu yang lama setelah terapi dihentikan, minta pada pasien untuk
menghindari lingkungan yang bising selama 6 bulan setelah terapi dihentikan
karena mereka lebih rentan terhadap suara bising.3

2.3.2 Aminoglikosida secara Ototopikal


Data yang berasal dari penelitian yang menggunakan hewan percobaan
telah memperlihatkan hasil yang sama bahwa hampir semua antibiotic
aminoglikosida yang digunakan sebagai antibiotic topical pada telinga tengah
bersifat ototoksik. Tinjauan literature terbaru mengungkapkan terdapat 54 kasus
toksisitas vestibular gentamisin karena penggunaan antibiotic ini secara
ototopikal. Selain itu, 24 pasien tersebut juga mengalami toksisitas auditori. Juga
terdapat 11 pasien yang mengalami toksisitas auditori karena penggunaan tetes
telinga yang mengandung neomisin-polimiksin. Oleh karena itu
direkomendasikan bahwa jika memungkinkan, preparat antibiotic topical yang

18
tidak menimbulkan efek samping ototoksik harus digunakan jika terbukti terdapat
lubang pada membrane timpani.9

2.3.3 Cisplatin
A. Definisi
Cisplatin merupakan obat anti kanker yang digunakan untuk mengobati
sejumlah keganasan seperti kanker testis, kanker ovarium dan beberapa keganasan
pediatric. Dosis pemeliharaan membatasi efek samping cisplatin yaitu
ototoksisitas dan neurotoksisitas. Jika dikombinasikan dengan vinblastin dan
bleomisin atau etoposide dan bleomisin, terapi cisplatin dapat menyembuhkan
kanker testis nonseminomatous. Cisplatin adalah senyawa platinum yang paling
ototoksik bahkan dengan menambahkan salin hipertonik, prehidrasi, atau diuresis
manitol pada regimen kemoterapi.6, 8, 10

B. Epidemiologi
Cisplatin memiliki potensi ototoksik yang tertinggi dibandingkan dengan
senyawa platinum yang lain. Sekitar 50% pasien kanker kepala dan leher yang
diobati dengan cisplatin mengalami ototoksisitas. Ototoksisitas cisplatin berkaitan
dengan dosis. Dalam sebuah penelitian retrospektif yang besar yang mencakup
periode tahun 1990 hingga 2001, Derough dan rekan menemukan bahwa 42% dari
400 pasien yang mendapatkan cisplatin dosis tinggi (70-85 mg/M2; rata-rata dosis
akumulatis sebesar 420 mg) mengalami ototoksisitas simptomatik. Sebaliknya,
ototoksisitas cisplatin hanya terjadi pada 20% pasien yang mendapatkan cisplatin
dosis rendah.8

C. Patofisiologi
Mekanisme ototoksisitas cisplatin dimediasi oleh produksi radikal bebas
dan kematian sel. Senyawa platinum merusak stria vaskularis dalam scala media
dan menyebabkan kematian sel rambut pada bagian luar.radikal bebas dihasilkan
oleh NADPH oksidase pada sel rambut bagian dalam setelah terpapar cisplatin.
NADPH oksidase merupakan enzim yang mengkatalisa pembentukan radikal
superoksida. Bentuk NADPH oksidase tertentu, NOX3, diproduksi didalam

19
telinga bagian dalam dan merupakan sumber pembentukan radikal bebas yang
penting dalam koklea, yang dapat berperan dalam terjadinya kehilangan
pendengaran. Radikal bebas yang dihasilkan melalui mekanisme ini kemudian
menyebabkan kematian sel apoptotic yang dimediasi mitokondria dan dimediasi
caspase, yang pada akhirnya menyebabkan kehilangan pendengaran yang
permanen.3

D. Tanda dan gejala


Ototoksisitas cisplatin ditandai oleh kehilangan pendengaran sensorineural
yang awalnya terdeteksi pada frekuensi yang sangat tinggi. Kehilangan
pendengaran biasanya bilateral dan biasanya simetris. Cirri khas dari kehilangan
pendengaran frekuensi tinggi adalah kesulitan dalam membedakan kata yang
terdengar, terutama pada lingkungan yang bising. Semakin banyak dosis yang
terakumulasi dalam tubuh semakin parah gangguan pendengaran yang diderita.
Selain itu pasien ototoksisitas cisplatin juga mengalami tinnitus.3, 8

E. Pencegahan
Lakukan pemeriksaan audiogram dan pemeriksaan audiogram lanjutan
secara berkala selama terapi untuk semua pasien yang mendapatkan obat ini.
Lakukan pemeriksaan ini sesegera mungkin sebelum siklus obat yang selanjutnya
sehingga efek dari siklus yang sebelumnya dapat diketahui. Yang terakhir, pasieh
harus melanjutkan pemeriksaan audiometric karena retensi obat yang cukup lama
setelah menghentikan terapi. Juga beritahu pasien untuk menghindari lingkungan
yang bising selama 6 bulan.3

2.3.4. Loop Diuretik


A. Definisi
Loop diuretik seperti asam ethacrynic, bumetanide, dan furosemide
mengeluarkan efek diuretiknya dengan menghambat sodium dan penyerapan air
pada bagian proksimal Loop of henle. Obat-obat ini digunakan untuk mengobati
gagal jantung kongestif, gagal ginjal, sirosis, dan hipertensi.3, 7

20
B. Patofisiologi
Efek ototoksisitas dari loop diuretic tampaknya berkaitan dengan stria
vascularis, yang dipengaruhi oleh perubahan dalam gradient ionic diantara
perilimfe dan endolimfe. Perubahan ini menyebabkan edema epithelium dari stria
vascularis. Bukti juga memperlihatkan bahwa endolimfatik berpotensi berkurang;
akan tetapi, hal ini biasanya bergantung pada dosis dan reversible. Ototoksisitas
yang disebabkan oleh asam ethacrynic tampaknya terjadi secara lebih bertahap
dan lebih lama disembuhkan daripada yang disebabkan oleh furosemide atau
bumetanide. Secara keseluruhan, ototoksisitas yang disebabkan oleh obat loop
diuretic biasanya dapat sembuh sendiri pada pasien dewasa.3,7

C. Tanda dan gejala


Bergantung pada loop diuretic tertentu, pasien biasanya mengalami
gangguan pendengaran setelah mengkonsumsi obat ini. Gangguan pendengaran
biasanya bilateral dan simetris. Pasien juga mengeluhkan tinnitus dan
disequilibrium; akan tetapi, gejala ini jarang terlihat dan jarang terjadi tanpa
adanya gangguan pendengaran. Beberapa pasien mengalami gangguan
pendengaran permanen, terutama pasien yang menderita gagal ginjal, pasien yang
mendapatkan dosis yang lebih tinggi, atau mereka yang juga mengkonsumsi
aminoglikosida.3,7

D. Pencegahan
Pencegahan ototoksisitas yang disebabkan oleh loop diuretic terdiri dari
pengunaan dosis yang paling rendah untuk mencapai efek yang diinginkan dan
menghindari pemberian secara cepat. Selain itu, factor resiko yang berkaitan
dengan pemberian obat ini harus diperiksa seteliti mungkin, termasuk pemberian
bersama dengan obat ototoksik lainnya dan riwayat gagal ginjal. Karena
potensiasi dan sinergisme efek ototoksik dari aminoglikosida dan loop diuresis
telah diketahui, pemberian bersama obat-obat ini tidak direkomendasikan.3

21
2.3.5 Salisilat
Aspirin dan salisilat yang lain sangat berkaitan dengan tinnitus dan
gangguan pendengaran sensorineural. Gangguan pendengaran bergantung pada
dosis dan dapat berkisar dari moderat hingga parah. Jika konsumsi obat
dihentikan, pendengaran kembali normal dalam waktu 72 jam. Tinnitus terjadi
saat mengkonsumsi aspirin dengan dosis sebesar 6 hingga 8 g/hari dan pada dosis
yang lebih rendah pada beberapa pasien. Tempat terjadinya efek ototoksik
tampaknya pada tingkat mekanik koklear dasar, seperti yang dibuktikan dengan
gangguan pendengaran sensorineural, hilangnya emisi otoakustik, penurunan aksi
potensial koklear, dan perubahan ujung saraf auditori. Efek-efek ini mungkin
disebabkan oleh perubahan pada turgiditas dan motilitas sel rambut di bagian
luar.7

2.3.6. Anti Malaria


Kina dan klorokuin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan.
Absorpsi klorokuin setelah pemberian oral terjadia lengkap dan cepat dan makanan
mempercepat absorpsi ini. Metabolisme dalam tubuh berlangsung lambat sekali
dan metabolitnya dieksresi melalui urin. Dosis harian 300 mg menyebabkan kadar
mantap kira-kira 125 ug/l sedangkan dengan dosis oral 0,5 gr tiap minggu dicapai
kadar plasma antara 150-250 ug/l.7
Kina adalah alkaloid penting yang diperoleh dari kulit pohon sinkona. Kina
digunakan dalam terapi malaria. Efek ototoksisitasnya berupa gangguan
pendengaran sensorineural dan tinitus. Kuinin dapat menyebabkan sindroma
berupa gangguan pendengaran sensorineural, tinnitus dan vertigo. Tetapi bila
pengobatan dihentikan biasanya pendengaran akan pulih dan tinitusnya akan
hilang. Studi terbaru menyatakan bahwa kuinin mengganggu motilitas sel-sel
rambut. Pada pemakaian klorokuin pada dosis tinggi (lebih dari 250 mg sehari)
atau penggunaan lama (diatas 1 tahun), efek sampingnya lebih hebat, yaitu rambut
rontok, tuli menetap, dan kerusakan menetap.3,7
Kuinin telah lama diketahui berkaitan dengan terjadinya tinnitus,
gangguan pendengaran sensorineural, dan gangguan penglihatan. Sindrom
tinnitus, nyeri kepala, mual, dan gangguan penglihatan disebut cinchonism. Dosis

22
yang lebih besar dapat menyebabkan sindrom ini menjadi lebih parah. Obat ini
digunakan sebagai tambahan dalam pengobatan malaria. Efek ototoksik dari
kuinin tampaknya terjadi terutama pada fungsi pendengaran dan biasanya bersifat
sementara. Gangguan pendengaran yang permanen dapat terjadi dengan dosis
yang lebih besar atau pada pasien yang sensitif.7
Perlu dicatat bahwa kina dan klorokuin dapat melalui plasenta. Pernah ada
laporan kasus tentang tuli kongenital dan hipoplasi koklea karana pengobatan
malaria waktu ibu sedang hamil. 4,6,7

23
BAB III
KESIMPULAN

Ototoksisitas merupakan keadaan gangguan pada telinga yang disebabkan


oleh obat atau zat kimia yang merusak telinga bagian dalam atau saraf
vestibulocochlear, yang mengirim info keseimbangan dan pendengaran dari
telinga bagian dalam ke otak.
Otoksisitas dapat menyebab gangguan pendengaran, keseimbangan, atau
keduanya baik untuk sementara waktu atau permanen. Banyak zat kimia yang
berpotensi bersifat ototoksik, baik itu berupa obat atau zat kimia yang ada di
lingkungan. Obat apapun yang berpotensi menyebabkan reaksi toksik terhadap
struktur dalam telinga, yang mencakup koklea, vestibulum, kanalis semisirkularis,
dan otolit, dianggap sebagai obat ototoksik.
Mekanisme gangguan pendengaran akibat obat ototoksik masih belum
begitu jelas. Patologinya meliputi hilangnya sel rambut luar yang lebih apikal,
yang diikuti oleh sel rambut dalam. Hal ini permulaannya menyebabkan gangguan
pendengaran frekuensi tinggi yang dapat berlanjut ke frekuensi rendah.
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila
pada waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam
dapat diketahui secara audiometrik, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut
harus segera dihentikan. Berat ringan ketulian yang terjadi tergantung kepada
jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Haybach, P.J. 2011. Ototoxicity. Diakses dari http//: www.vestibular.


org/Ototoxicity. Tanggal akses 24 Oktober 2012.
2. Oghalai, J. 2007 Drug-Induced Toxicity: Inner Ear Disorder. Diakses dari
http//: www.merckmanual.com. Tanggal akses 24 Oktober 2012.
3. Mudd, P. A. 2012. Ototoxicity. Medscape Reference. Diakses dari http//:
www.emedicine.com. Tanggal akses 24 Oktober 2012.
4. Soepardi, EA. 2011. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, Edisi Keenam.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
5. Ellis Harold. 2004. Clinical Anatomy: A Revised and Applied Anatomy for
Clinical Student, Ed. 11th. US: Blackwell Science.
6. Adam, G. L, Boies, L. R. 2000. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta EGC.
7. Katzung, B. 2004. Basic Clinical Pharmacology. US: Blackwell Science.
8. Cummings, C. W. 2000. Otolaryngology Head & Neck Surgery. Ed.IV.
Philadelphia: Elsevier.
9. Roland, P. S. 2004. Ototoxicity. London: BC Decker.
10. Bailey, B. J. 2006. Head & Neck Surgery – Otolaryngology. Ed.IV.
Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins
11. Ekborn, A. 2003. Cisplatin-Induced Toxicity: Pharmacokinetics, Prediction,
and Prevention. Stockholm: Repro print.

25

Anda mungkin juga menyukai