Spondilitis TB
Tuberkulosis masih menjadi salah satu penyakit paling mematikan di seluruh dunia. World Health Organization
(WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat lebih dari 8 juta kasus baru tuberkulosa dan lebih kurang 3
juta orang meninggal akibat penyakit ini. Tuberkulosis sering dijumpai di daerah dengan penduduk yang padat,
sanitasi yang buruk dan malnutrisi. Walaupun manifestasi tuberkulosis biasanya terbatas pada paru, penyakit ini
dapat mengenai organ apapun, seperti tulang, traktus genitourinarius dan sistem saraf pusat.
Spondilitis tuberkulosa memiliki distribusi di seluruh dunia dengan prevalensi yang lebih besar pada negara
berkembang. Tulang belakang adalah tempat keterlibatan tulang yang paling sering, yaitu 5-15% dari seluruh
pasien dengan tuberculosis
Daerah lumbal dan torakal merupakan daerah yang paling sering terlibat, sedangkan insidensi keterlibatan daerah
servikal adalah 2-3%
ANATOMI
• Mycobacterium tuberculosis
• walaupun spesies Mycobacterium
yang lainpun dapat juga bertanggung
jawab sebagai penyebabnya antara lain
:
• Mycobacterium africanum (penyebab
paling sering tuberkulosa di Afrika
Barat)
• bovine tubercle baccilus
• non-tuberculous mycobacteria
(banyak ditemukan pada penderita
HIV)
EPIDEMIOLOGI
• Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya
berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang
tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa
merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan
sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk
masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang sudah
berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam
kurun waktu 30 tahun terakhir.
FAKTOR RISIKO
Usia dan jenis kelamin
• Sebelum pubertas, lesi primer di paru merupakan lesi yang berada di area lokal, walaupun kavitas seperti pada orang dewasa
dapat juga dilihat pada anak-anak malnutrisi di Afrika dan Asia, terutama perempuan usia 10-14 tahun.
• Puncak usia terjadinya infeksi berkisar antara usia 40-50 tahun untuk wanita, sementara pria bisa mencapai usia 60 tahun.
Nutrisi
• Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan menurunkan resistensi terhadap penyakit.
Faktor toksik
• Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya tahan tubuh. Demikian pula dengan pengguna obat
kortikosteroid atau immunosupresan lain.
Penyakit
• Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia meningkatkan resiko terkena penyakit tuberkulosa.
Ras
• orang Eskimo atau Amerika asli, mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap penyakit ini
PATOGENESIS
• Trias TB
• Riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah
disertai nyeri dada.
• Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri
yang menjalar.
INSPEKSI
• Laboratorium
• Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis.
• Tuberculin skin test positif. dikatakan positif jika tampak area
berindurasi, kemerahan dengan diameter ≥ 10mm di sekitar tempat
suntikan 48-72 jam setelah suntikan.
• Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium
tuberculosis
• Cairan serebrospinal akan tampak: Xantokrom
RADIOLOGI
• Rontgen
• fase awal, akan tampak lesi
osteolitik pada bagian anterior
korpus vertebra dan osteoporosis
regional.
• Pada fase lanjut, Korpus menjadi
kolaps dan terjadi fusi anterior
yang menghasilkan angulasi yang
khas disebut gibbus.
MIELOGRAFI
• KONSERVATIF
• Terapi OAT secepat mungkin semua obat menembus ke dalam lesi vertebra TB.
• Tulang sklerotik vertebra menghambat penetrasi OAT.
• Durasi pengobatan dan jumlah obat kontroversi.
• WHO merekomendasikan pengobatan berbasis kategori untuk tuberkulosis.
• TBC tulang belakang kategori 1 dengan regimen OAT dua fase:
fase intensif (awal) dan fase lanjutan.
• Karena risiko kecacatan dan kematian yang serius, WHO
merekomendasikan 9 bulan pengobatan.
Isoniazid Pirazinamid Rifampisin Etambutol Streptomisin
Dosis 5 mg/kg/hari – 15-30 mg/kg/ hari 10 mg/kg/ hari – 15-25 mg/kg/hari 15mg/kg/hari – 1
300 mg/hari 600 mg/hari g/kg/hari
• Banyak ahli jangka waktu 12-24 bulan /bukti radiologis /patologis
dari regresi penyakit
• NSAID terapi tambahan lebih awal menghambat atau efek
minimalisasi destruksi tulang dari prostaglandin.
• Non farmakologi
• Menurut Boswots Compos imobilisasi dan artrodesis posterior awal
• Istirahat dengan memakai gips
• melindungi tulang belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada fase aktif
• untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih
lanjut.
• Istirahat di tempat tidur 3-4 minggu keadaan yang tenang melihat
tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium.
• Pemasangan gips tergantung pada letak lesi,
• vertebra servikal jaket Minerva
• vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal atas body cast jacket
• lesi pada lumbal bawah, lumbosakral dan sakral body jacket
/korset dari gips
• Jangka waktu immobilisasi kurang lebih 6 bulan
PEMBEDAHAN
Manfaat
• Kifosis<<
• segera terbebasnya jaringan saraf yang terkompresi,
• pereda nyeri
• persentase fusi tulang lebih tinggi dan lebih cepat
• lebih sedikit kambuh
• kembali ke aktivitas sebelumnya,
• mencegah masalah neurologis
Paraplegi pembedahan
Indikasi absolut
• Paraplegi terjadi selama pengobatan konservatif,
• paraplegia memburuk atau menetap setelah pengobatan konservatif,
• kehilangan kekuatan motorik yang bersifat komplit selama 1 bulan setelah pengobatan
konservatif,
• paraplegia disertai spastisitas yang tidak terkontrol
• paraplegia berat dengan onset cepat dan/atau berat
Indikasi relatif
• Paraplegia berulang disertai paralisis
• paraplegia pada usia tua,
• paraplegia disertai nyeri akibat adanya spasme atau kompresi akar saraf
• komplikasi batu atau terjadi infeksi saluran kencing
Algoritma tatalaksana
spondilitis TB dengan
komplikasi neurologi
KOMPLIKASI
• Agrawal, V., Patgaonkar, P. R., & Nagariya, S. P. 2010. Tuberkulosis of spine. Retrieved March 25, 2019, from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3075833/
• Garg, R. K., & Somvanshi, D. S. 2011. Spinal tuberkulosis : A review. The Journal of Spinal Cord Medicine, 34(5), 440–454.
• Harisinghani MG, McLoud TC, Shepard JO, Ko JP, 2000. Tuberkulosis from head to toe1. Radiographics: 20:449-70.
• Jain, A. K., & Kumar, J. 2013. Tuberkulosis of spine : neurological deficit. Eur Spine J, 22, 624–633.
• Marjono, Mahar. Priguna Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta. Dian Rakyat. Hal. 427.
• Moesbar, N. 2006. Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang. Majalah Kedokteran Nusantara 39(3) pp. 279-89.
• Pradhan, R. L., Pandey, B. K., Sharma, S., & Lakhey, S. 2013. Conservative treatment of TB Spondylitis in Dorsolumbar and
Lumbar spine. NOAJ, 3(2), 33–37.
• Purniti, P. S., Subanada, I. B., & Astawa, P. (2008). Spondilitis Tuberkulosis. Sari Pediatri, 10(3), 177–183.
• Rasouli, M. R., Mirkoohi, M., & Vaccaro, A. R. (2012). Spinal Tuberkulosis : Diagnosis and Management. Asian Spine Journal,
6(4), 294–308.
• Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC
• Tortora, G. J., & Derrickson, B. (2009). Principles of Anatomy and Physiology Ed 12. Danvers: John Wiley & Sons, Inc.
• Vitriana. 2002. Spondilitis Tuberkulosa. (Online). (http://www.google.com/ pustaka.unpad.ac.id.spondilitis_tuberkulosa.pdf, diakses
tanggal 26 Maret 2019)