Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

GENERAL ANESTESI PADA RINOSINUSITIS SINUS MAXILARIS


DEXTRA DENGAN CALDWELL-LUC

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian dalam Pendidikan Profesi


Dokter Stase Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Bambang Sutanto, Sp.An

Disusun Oleh:
Muhammad Apriyanda, S.Ked J 510 165 037
Mita Restuning Aji, S.Ked J 510 165 078
Nur Isman , S.Ked J 510 165 061

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN

TUGAS LAPORAN KASUS


GENERAL ANESTESI PADA RINOSINUSITIS SINUS MAXILARIS
DEXTRA DENGAN CALDWELL-LUC

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian dalam Pendidikan Profesi


Dokter Stase Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran

Disusun Oleh:
Muhammad Apriyanda, S.Ked J 510 165 037
Mita Restuning Aji, S.Ked J 510 165 078
Nur Isman , S.Ked J 510 165 061

Telah dipresentasikan, disetujui dan di sahkan oleh bagian Program Pendidikan


Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pada hari ........................................

Mengetahui :

Pembimbing :
dr. Bambang Sutanto, Sp.An (........................................)

Dipresentasikan di hadapan :
dr. Bambang Sutanto, Sp.An (........................................)
BAB I
PENDAHULUAN

Kata anestesi berasal dari bahasa Yunani a = tanpa dan aesthesis =


rasa/sensasi yang berarti keadaan tanpa rasa sakit, dan reanimasi berasal dari re =
kembali dan animasi = gerak/hidup. Ilmu anestesi dan reanimasi adalah cabang
ilmu kedokteran yang mempelajari tatalaksana untuk “mematikan” rasa, baik rasa
nyeri, takut, dan rasa tidak nyaman yang lain sehingga pasien nyaman dan ilmu
yang mempelajari tatalaksana unuk menjaga/ mempertahankan hidup dan
kehidupan pasien selama mengalami “kematian” akibat obat anestesi. Sedangkan
anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
meliputi pemberian anestesi ataupun analgesi, pengawasan keselamatan penderita
yang mengalami pembedahan atau tindakan lainnya, pemberian bantuan hidup
dasar, perawatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri
menahun.
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
(1) Anestesi lokal/regional, yaitu suatu tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa
disertai hilangnya kesadaran, dan
(2) Anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang reversible yang disebabkan
oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh.
Sebagian besar operasi (70-75 %) dilakukan dengan anestesi umum, lainnya
dengan anestesi lokal / regional. Anestesi spinal merupakan salah satu macam
anestesi regional. Pungsi lumbal pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun
1891. Anestesi spinal subarachnoid dicoba oleh Corning, dengan menganestesi
bagian bawah tubuh penderita dengan kokain secara injeksi columna spinal. Efek
anestesi tercapai setelah 20 menit, mungkin akibat difusi pada ruang epidural.
Indikasi penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah tindakan pada daerah
abdominal bawah dan inguinal.
Dalam pembedahan membutuhkan tindakan anestesi karena nyeri sangat
mungkin terjadi saat pembedahan berlangsung. Usaha penanggulangan nyeri
terutama nyeri akut akibat trauma atau bedah, dilakukan untuk memperpendek
fase akut/katabolitik pasca trauma atau bedah sehingga pasien segera memasuki
fase anabolik dan proses penyembuhan luka lebih cepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. SINUSITIS
1. Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus
paranasal.Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering
disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold)
yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi
bakteri.Sinusitis dikarakteristikkan sebagai suatu peradangan pada sinus
paranasal.Sinusitis diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila
mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis. Bila mengenai
semua sinus paranasalis disebutpansinusitis. Disekitar rongga hidung
terdapat empatsinus yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus
etmoidalis (kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus
sfenoidalis (terletak di belakang dahi).1,2

2. Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita
hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau
hipertrofi konka, sumbatan kompleks osti-meatal (KOM), infeksi tonsil,
infeksi gigi, kelainan imunologik, diskenesia silia seperti pada sindrom
Kartgener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Faktor
predisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasal yang timbul pada
rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat
sinus.1,2
Penyebab sinusitis dibagi menjadi:

1. Rhinogenik
Penyebab kelainan atau masalah di hidung. Segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.
Contohnya rinitis akut, rinitis alergi, polip, diaviasi septum dan lain-
lain. Alergi juga merupakan predisposisi infeksi sinus karena terjadi
edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak
menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan
epitel permukaan, dan siklus seterusnya berulang.
2. Dentogenik/odontogenik
Penyebab oleh karena adanya kelainan gigi. Sering menyebabkan
sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas (premolar dan molar).
Bakteri penyebab adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus
influenza, Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus,
Branchamella catarhalis dan lain-lain.

3. Patogenesis
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks
osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa
yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous
superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel
epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta
mengandungi zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus
secara alami menuju ke ostiumuntuk dikeluarkan jika jumlahnya
berlebihan. 1
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya
sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi
ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang
menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan
mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan
menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus. Organ-organ
yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema,
mukosa yang berhadapan, akan saling bertemu sehingga silia tidak dpat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam
rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous.
Kondisi ini boleh dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan
biasanya sembuh dalam waktu beberapa hari tanpa pengobatan. 1
Bila kondisi ini menetap, sekret yang dikumpul dalam sinus merupakan
media baik untuk pertumbuhan dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi
purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis aku bakterial dan
memerlukan terapi antibiotik.
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini
berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan
kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah
sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis. 1

4. Manifestasi klinis
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai dengan
nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke
tenggorok (post nasal drip).Dapat disertai dengan gejala sistemik seperti
demam dan lesu.1
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan
ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat
lain (referred pain) .nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di
antara atau di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoida,
nyeri di dahi atau kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis
maksila kadang-kadang terdapat nyeri alih ke gigi dan telinga.
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal
drip yang dapat menyebabkan batuk dan sesak pada anak.
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-
kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di bawah ini:
a. Sakit kepala kronik
b. Post-nasal drip
c. Batuk kronik
d. Ganguan tenggorok
e. Ganguan telinga akibat sumbatan di muara tuba Eustachius
f. Ganguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), brokietakasis,
serangan asma yang meningkat dan sulit diobati.

5. Tatalaksana
Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan KOM sehingga
drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih alami.6,

Medika Mentosa

1. Kebanyakan infeksi sinus akut disebabkan oleh virus, di mana


mayoritas pasien dapat membaik dalam 2 minggu tanpa pengobatan
antibiotik.7
2. Gejala awal dari infeksi saluran pernapasan atas dapat diobati dengan
obat-obatan lokal atau obat-obatan over-the-counter (OTC).
3. Irigasi dengan larutan salin normal direkomendasikan.
4. Dekongestan topikal, seperti oxymetazoline, dikombinasikan dengan
dekongestan oral, seperti pseudoephedrine, dapat membantu hidung
tersumbat dan untuk drainase.5,6,7
5. Untuk rinosinusitis akut yang disebabkan oleh bakteri didapatkan dari
komunitas (community-acquired bakteri), antibiotik mengurangi durasi
penyakit dan membantu membasmi infeksi.1
6. Flurokuinolon mungkin juga berguna, tetapi belum disetujui untuk
populasi anak. Penggunaan selama 10 hari dapat memberikan
pemberantasan 90 %.5
7. Parameter praktis oleh Joint Task Force on Practice Parameters for
Allergy and Immunology menetapkan penilaian respons gejala setelah
3-5 hari terapi dan diteruskan untuk tambahan 7 hari jika ada perbaikan.
Namun, jika tiada respon, antibiotik seharusnya ditukar.7
8. Tambahan steroid hidung dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan
lebih tinggi. Kortikosteroid yang digunakan intranasal bisa efektif
dengan melemahkan respon inflamasi, meskipun pada saat ini manfaat
mereka masih tidak menyakinkan. Penggunaan kortikosteroid sistemik
mungkin memiliki kelebihan dibandingkan dengan penggunaan
intranasal, seperti tingkat terapeutik yang tinggi dan tidak ada risiko
pelepasan buruk disebabkan oleh penyumbatan hidung. Review
Cochrane baru-baru ini yang mengenai terapi kortikosteroid sistemik
untuk rinosinusitis akut, melaporkan obat ini mempunyai efek
mengguntungkan jangka pendek.5,8
Non Medika Mentosa

1. Pembedahan umumnya dicadangkan untuk pasien dengan kelainan


anatomi dan hanya setelah terapi medis maksimal gagal. Kriteria
mutlak untuk operasi meliputi setiap perluasan infeksi atau adanya
tumor di rongga hidung atau sinus. Indikasi relatif termasuk sinusitis
bakteri akut berulang, obstruksi oleh poliposis hidung, rinosinusitis
kronis yang tidak responsif terhadap pengobatan dan penyakit penyerta
seperti asma yang recalcitrant. Kerjasama yang erat dengan
otolaryngologist berpengalaman sangat penting dalam kasus-kasus yang
sulit.Bedah sinus endoskopi fungsional(BSEF/FESS) merupakan
operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi.
Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus
terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan
tindakan lebih ringan dan tidak radikal.1,5
2. Jika perlu, dapat diberikan terapi seperti analgetik, pencucian rongga
hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi).1
Selain itu, simptomnya juga dapat dikurangkan dengan
humidifikasi/vaporizer, kompresi hangat, hidrasi yang adekuat dan
nutrisi seimbang.6
B. General Anestesi
General anestesi / anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa
nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih
kembali (reversibel). Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari
analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot11.
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian
menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah
jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran
menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang
memberikan anestesi perlu mengetahui stadium anestesi untuk menentukan
stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya kelebihan
dosis10,11.
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin,
pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini
didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat
anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang
tersedia12,

1. Stadium Anestesi 12,13


Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium
anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah
terjadinya kelebihan dosis. Tanda-tanda klinis anestesia umum
(menggunakan zat anestesi yang mudah menguap, terutama diethyleter):

Stadium I : analgesia dari mulainya induksi anestesi hingga hilangnya


kesadaran.
Stadium II : excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya
respirasi teratur, mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau
muntah.
Stadium III : dari mulai respirasi teratur hingga berhentinya respirasi.
Dibagi 4 plane:
Plane 1 : dari timbulnya pernafasan teratur hingga berhentinya
pergerakan bola mata.
Plane 2 : dari tidak adanya pergerakan bola mata hingga mulainya
paralisis interkostal.
Plane 3 : dari mulainya paralisis interkostal hingga total paralisis
interkostal.
Plane 4 : dari kelumpuhan interkostal hingga paralisis diafragma.

Stadium IV : overdosis, dari timbulnya paralysis diafragma


hingga cardiac arrest.

2. Persiapan Pra Anestesi


Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif
dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin.
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk
keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi
adalah:10,13
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka
mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal :
insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup
dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan)6
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri
dari kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.

3. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi.Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain :10,11
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron
f. memperlancar induksi, misal : pethidin
g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas
atropin.
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan
hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis
pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan
demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus
selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik,
derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat
hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi,
macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan11.

4. Obat-obatan Premedikasi
a. Sulfas Atropin
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna untuk
mengurangi sekresi lendir dan menurunkan efek bronchial dan kardial
yang berasal dari perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atau
tindakan operasi. Efek lainnya yaitu melemaskan otot polos,
mendepresi vagal reflek, menurunkan spasme gastrointestinal, dan
mengurangi rasa mual serta muntah. Obat ini juga menimbulkan rasa
kering di mulut serta penglihatan kabur, maka lebih baik tidak
diberikan pra anestesi lokal maupun regional. Dalam dosis toksik dapat
menyebabkan gelisah, delirium, halusinasi, dan kebingungan pada
pasien. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian prostigmin 1 –2
mg intravena.
Sediaan : dalam ampul 0,25 dan 0,5 mg.
Dosis : 0,01 mg/ kgBB.
Pemberian : SC, IM, IV

b. Pethidin
Pethidin merupakan narkotik yang sering digunakan untuk
premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan
induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia
pra dan pasca bedah, memudahkan melakukan pemberian pernafasan
buatan , dan dapat diantagonis dengan naloxon.
Pethidin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat
menyebabkan hipotensi orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila
digunakan pada pasien dengan hipovolemia. Juga dapat menyebabkan
depresi pusat pernapasan di medula yang dapat ditunjukkan dengan
respon turunnya CO2. mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi
narkotik pada pusat muntah di medula. Posisi tidur dapat mengurangi
efek tersebut.
Sediaan : dalam ampul 100 mg/ 2cc.
Dosis : 1 mg/ kgBB.
Pemberian : IV, IM

5. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai
tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan
tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam
stadium anestesi setelah induksi.
Pada kasus ini digunakan obat induksi :

a. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat
dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide
telur dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5mg/kgBB untuk
induksi tanpa premedikasi3.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat
intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat
diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif,
pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi
mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai induksi
maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk
operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan
sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat
memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi
pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik11,12.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi
secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi
jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan
dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O
dan/atau anestetik inhalasi lain10,12.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer
dan venodilatasi.Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira
80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada
penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan
intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira
30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat
daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam urin
sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1% diekskresi
dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar daripada
aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol
dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam
memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak
merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak
dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena
bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik.
Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang
terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek
antiemetik10.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.
Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga
saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg)10,12.

6. Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan
zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti.
Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena
Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya
dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan
dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%11.12.
7. Obat Pelumpuh Otot
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme
kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat
secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat
kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin.
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi
cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi
otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali10,11.
Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :
 Atracurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru
yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman
Leontice leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan
dengan obat terdahulu antara lain adalah :

a. Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu


reaksi kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak
bergantung pada fungsi hati dan ginjal.
b. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
c. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang
bermakna.
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang
dipakai. Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah
2-3 menit, sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35
menit12.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah
lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian
antikolinesterase. Nampaknya atracurium dapat menjadi obat terpilih
untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang
berat1,2.
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50
mg atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada
penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.

Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv


Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv

8. Intubasi Nasal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea,
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan.
Intubasi trakea bertujuan untuk :10
a. Mempermudah pemberian anestesi.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e. Pemakaian ventilasi yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.

9. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang.Terapi cairan
perioperatif bertujuan untuk10.
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa,
muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang
ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-
lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg
BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
 Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
 Sedang = 6 ml/kgBB/jam
 Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan
kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan
kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien1.

10. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi
dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery
room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi.Ruang
pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU.Dengan
demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya11.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi
dan pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk
anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Steward
mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas
pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage10,13.

\
Tabel 1. Aldrete Scoring System
No. Kriteria Skor
1 Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas 2
motorik perintah atau secara sadar.
 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas 1
perintah atau secara sadar.
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas 0
perintah atau secara sadar.
2 Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk 2
 Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi 1
 Apneu/tidak bernafas 0
3 Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2
 Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari semula 1
 Tekanan darah berbeda >50% dari semula 0
4 Kesadaran  Sadar penuh 2
 Bangun jika dipanggil 1
 Tidak ada respon atau belum sadar 0
5 Warna  Kemerahan atau seperti semula 2
kulit  Pucat 1
 Sianosis 0
Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.

Tabel 2. Steward Scoring System


No. Kriteria Skor
1 Kesadaran  Bangun 2
 Respon terhadap stimuli 1
 Tak ada respon 0
2 Jalan  Batuk atas perintah atau menangis 2
napas  Mempertahankan jalan nafas dengan baik 1
 Perlu bantuan untuk mempertahankan jalan 0
nafas
3 Gerakan  Menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2
 Gerakan tanpa maksud 1
 Tidak bergerak 0
Steward score ≥5 boleh dipindah ruangan

Tabel 3. Scoring System untuk pasien anak


Tanda Kriteria
Tanda vital Respirasi, T/N, suhu seperti semula
Reflek laryng dan pharyng Mampu menelan, batuk, dan muntah
Gerakan Mampu bergerak sesuai umur dan tingkat
perkembangan
Muntah Muntah, mual pusing minimal
Pernafasan Tidak ada sesak nafas, stridor, dan
mendengkur
Kesadaran Alert, orientasi tempat, waktu, dan orang

Tabel 5. Bromage Scoring System

Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Bromage score < 2  boleh pindah ke ruang perawatan.
BAB III
KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.S
Usia : 57 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Sukoharjo
Nomer RM : 033XXXX
Tanggal MRS : 13-11-2017

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri pada pipi kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang laki-laki berusia 55 tahun datang ke RS PKU Muhamaadiyah
Surakarta dengan keluhan nyeri pada pipi kiri. Pipi kiri pasien bengkak
dan terasa nyeri.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat operasi : Prostat
Riwayat hipertensi : (-)
Riwayat DM : (+) sejak 10 tahun yang lalu
Riwayat asma : (-)
4. Riwayat Alergi :
Alergi obat dan makanan : Disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a) Keadaan Umum : Sedang
b) Kesadaran : Compos mentis
c) Tekanan Darah : 201/106 mmHg
d) Nadi : 80 kali/menit
e) Respirasi : 18 kali/menit
f) Suhu : Afebris

2. Pemeriksaan Fisik
a) Status Gizi
1) Berat Badan : 80 kg
2) Tinggi Badan : 152 cm
b) Kepala : pipi kiri bengkak, nyeri tekan (+) pipi kiri.
c) Leher : dalam batas normal
d) Thorax
Paru : dalam batas normal
Jantung : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
e) Abdomen : dalam batas normal
f) Ekstremitas : akral hangat
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Hematologi
13 November 2017
Darah Rutin
Leukosit : 10.90 x 103 H
Eritrosit : 4.37 x 106 L
Hemoglobin : 12.4 g/Dl L
Hematokrit : 37.1 L
Trombosit : 242
Neutrofil : 71.4 H
Limfosit : 20.8
Monosit : 7.8
MCV : 84.9
MCH : 28.3
MCHC : 33.4
MPV : 8.5 fL L

Golongan Darah + Rhesus


Golongan Darah :A
Rhesus : Positif

Kimia Klinik
SGOT : 25
SGPT : 26
Ureum : 64.0 H
Creatinin : 2. 10 H
GDS : 334.4 H

2. Pemeriksaan CT Scan Kepala Polos


- Tak tampak lesi hipodens/ isodens/ hiperdens intraserebral
- Tampak lesi hiperdens sinus maxillaris dextra
- Hipertrofi concha nasalis bilateral
- Septum nasi deviasi ke sinistra
- Nasopharing bersih
- Air cellulai mastoidea normal
Kesan : Rhinosinusitis Maxillaris Dextra dengan septum nasi deviasi ke
sinistra

E. DIAGNOSIS
Rinosinusitis Sinus Maxilaris Dextra

F. TINDAKAN / TATALAKSANA
Caldwell-Luc

G. ASSESMENT MEDIS ANESTESI DAN SEDASI


Diagnosis Pre-operatif : Rinosinusitis Sinus Maxilaris Dextra
Macam Operasi : Caldwell-Luc Dextra
Tanggal Operasi : 17 November 2017

1. Keadaan Pra Induksi


a. Berat Badan : 80 kg
b. Tekanan Darah : 201/106 mmHg
c. Respirasi : 18 kali/menit
d. Nadi : 80 kali/menit
e. SpO2 : 99%
f. Alergi :Tidak
g. GCS :15, Compos mentis
h. Hb : 12.4
i. GDS : 217 mg/dL

2. Pemeriksaan Fisik
a. Jalan Nafas : Normal
b. Anamnesis : Autoanamnesis

3. Status Fisik ASA


ASA 2
4. Teknik Anestesi
a. Jenis : General Anestesi dengan Endotracheal tube
b. Obat :
1) Inhalasi Awal : Isofluran 1-2 %
2) Intravena : - Ketorolac 30 mg
- Recofol 100 mg (propofol)
5. Monitoring Durante Operasi
a. Obat
- Asam Tranexamat 1 gr
- Ondancetron 4 mg
- Keterolac 30 mg
b. Infus
- Ringer Laktat
c. Keterangan
- Induksi : 13.38 WIB
- Pasien siap insisi : 13.54 WIB
- Insisi mulai : 13.55 WIB
- Operasi selesai : 14.20 WIB

6. Pemantauan Tanda Vital


7. Instruksi Pasca Anestesi dan Sedasi
a. Posisi : Supine
b. Analgesia : Ketorolac 30 mg
c. Anti Emetik : Ondansetron 4 mg
d. Infus : Ringer Laktat 24 tetes / menit
e. Makan / Minum : post operasi pasien sadar penuh tidak mual boleh
minum
f. Pemantauan : Tensi, Nadi, Nafas tiap 15 menit selama 1 jam
BAB IV
PEMBAHASAN

1. Pre Operasi
Pasien setelah dikonsulkan dengan dokter spesialis THT, kemudian
direncanakan operasi Caldwell-Luc. Sebelum dilakukan operasi tanda vital
pasien; TD : 201/106 mmHg, DJ: 80x/menit, S: afebris, SpO2: 99% dan GCS
:15 (E4V5M6). Pasien memiliki riwayat operasi prostat sebelumnya dan pasien
juga memliki riwayat Diabetes melitus (+) sejak 10 tahun yang lalu, riwayat
hipertensi (-), alergi (-), asma (-).

2. Durante Operasi
Sebelum dilakukan tindakan operatif pada pasien ini diputuskan akan
dilakukan general anestesi dan memakai fasilitas intubasi atas salah satu
indikasi lokasi tindakan operatif yang terletak di area kepala sehingga dengan
teknik ini diharapkan dapat mengendalikan jalan napas dengan baik, serta pada
pasien ini dilakukan pemasangan endotrakeal tube (ETT).
Induksi anestesi pada pasien ini dimulai dengan pemberian Ketorolac
Trometamol 30 mg IV untuk memberi efek analgetik . Obat hipnotik pada
operasi ini menggunakan recofol ½ ampul (100mg) yang isinya adalah
propofol. Propofol digunakan sebagai induksi pada anestesi umum dan
perawatan intensif. Injeksi secara intravena sering menyebabkan nyeri oleh
karena itu diberikan lidokain 2% ½ ampul (mg) yang dicampurkan kedalam
propofol. Dosis propofol adalah 2-2,5mg/Kgbb sehingga pada pasien ini
diberikan 100mg dan dosis lidokain adalah 1-2mg/Kgbb.
Propofol merupakan cairan berwarna putih seperti susu, tidak larut dalam
air dan bersifat asam. Sebagai obat induksi, mula kerjanya cepat. Penurunan
kesadaran segera terjadi setelah pemberian obat secara intravena. Obat ini
merupakan hipnotik murni, tidak mempunyai efek analgetik maupun relaksasi
otot. Walaupun terjadi penurunan tonus otot rangka, hal ini disebabkan karena
efek sentralnya.Propofol menyebabkan depresi respirasi yang beratnya sesuai
dengan dosis yang diberikan. Pada ibu hamil propofol tidak boleh diberikan
karena dapat menembus plasenta.
Propofol adalah modulator selektif reseptor gamma aminobutyric acid
(GABA). GABA merupakan neurotransmitter inhibitor utama di sistem saraf
pusat. Saat reseptor GABA diaktifkan akan terjadi peningkatan konduksi
klorida transmembran sehingga terjadi hiperpolarisasi membran sel post sinap
dan inhibisi fungsi neuron post sinap. Interaksi antara propofol dan reseptor
GABA menurunkan kecepatan disosiasi neurotransmitter inhibisi dari
reseptornya sehingga memperpanjang efek GABA. Efek hipnotik propofol
sebagian besar oleh karena kerjanya meningkatkan GABA, memicu ion klorida
melalui ikatannya ke reseptor β subunit GABAa. Propofol melalui kerjanya di
reseptor GABAamenghambat pelepasan asetilkolin dihipokampus dan corteks
prefrontal. Sistem α2 adrenoreseptor juga berperan secara tidak langsung pada
efek sedasi propofol.
Efek propofol pada sistem kardiovaskular adalah penurunan tekanan
darah arteri pada saat induksi. Penurunan tekanan darah terjadi oleh karena
propofol menurunkan resistensi sistemik vaskular dan menurunkan
kontraktilitas jantung.
Untuk pemeliharaan anestesi diberikan secara inhalasi. Zat yang
diberikan adalah N2O (Nitrous Oksida), O2(Osigen), dan Isofluran. N2O
merupakan gas yang tidak berwarna, berbau harum manis dan tidak mudah
terbakar. N2O di dalam darah tidak berikatan dengan hemoglobin tetapi larut
dalam plasma dengan kelarutan 15 kali lebih besar dari kelarutan oksigen. N2O
mampu berdifusi di semua rongga tubuh, sehingga dapat menimbulkan
hipoksia apabila tidak diberikan bersamaan dengan oksigen. Oleh karena itu,
oksigen harus diberikan setiap memberikan N2O. Pada pasien ini diberikan
N2O : O2 sebanyak 2 : 2 L/menit (50:50).
Selain itu, sebagai anestesi inhalasi juga diberikan isofluran. Isofluran
merupakan halogenisasi eter yang dikemas dalam bentuk cairan, tidak
berwarna, tidak eksplosif dan tidak larut dalam darah. Isofluran tidak
menimbulkan vasodilatasi dan perubahan sirkulasi serebral serta mekanisme
autoregulasi aliran darah otak lebih stabil. Isofluran juga menyebabkan
penurunan konsumsi oksigen otak, tidak berpengaruh pada tekanan
intrakranial, mempunyai efek proteksi serebral dan efek metaboliknya yang
menguntungkan pada teknik hipotensi kendali sehingga, isofluran dijadikan
pilihan utama pada kraniotomi.
Efek depresi napas pada isofluran ditentukan berdasarkan dosisnya. Efek
depresi otot jantung dan pembuluh darah lebih ringan dibandingkan dengan
obat anestesia volatil yang lain. Tekanan darah dan denyut jantung lebih stabil
selama anestesia. Isofluran juga dapat menurunkan tonus otot skelet melalui
mekanisme depresi pusat motoris pada serebrum, sehingga berpotensiasi
dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi. Isofluran hampir seluruhnya
dikeluarkan melalui udara ekspirasi hanya 0,2% dimetabolisme dalam tubuh.
Untuk induksi, konsentrasi isofluran yang diberikan pada udara inspirasi
adalah 2-3% bersama-sama dengan N2O. Untuk pemeliharaan dengan pola
napas spontan konsentrasinya berkisar antara 1-2,5% dan untuk napas kendali
berkisar antara 0,5-1%. Pada pasien saat induksi diberikan isofluran sebanyak
2,5% dan pada saat pemeliharaan diberikan isofluran sebanyak 1-2%.
Obat tambahan yang diberikan selama operasi adalah ketorolac 1 ampul
(30mg guna mengurangi rasa nyeri selama operasi dan setelah operasi.
Ketorolac merupakan senyawa anti inflamasi non steroid yang bekerja pada
jalur siklooksigenase, menghambat biosintesis prostaglandin dengan efek
analgetik kuat secara perifer maupun sentral.
Selanjutnya pasien juga diberikan ondansetron 1 ampul (4mg) sebagai
antiemetik. Ondansetron merupakan obat selektif pada reseptor antagonis 5
hidroksi triptamin (5HT3) di otak dan juga aferen saraf vagal saluran cerna.
Obat ini selektif dan kompetitif untuk mencegah mual dan muntah setelah
operasi dan radioterapi. Ondansetron memblok reseptor di gastrointestinal dan
area postrema CNS. Obat anastesi akan menyebabkan pelepasan serotonin dari
sel-sel mukosa enterochromafin dan dengan melalui lintasan yang melibatkan
5HT3 dapat merangsang area post trema menimbulkan muntah.
Pelepasan serotonin akan diikat reseptor 5HT3 dan memicu aferen vagus
untuk mengaktifkan refleks muntah. Serotonin juga diaktifkan akibat
manipulasi pembedahan atau iriasi usus yang merangsang distensi
gastrointestinal. Kerja obat ini adalah dengan memblokade sentral pada area
post trema dan nukleus traktus solitorius melalui kompetitif selektif di reseptor
5HT3. Ondansetron juga memblokade reseptor perifer pada ujung saraf vagus
yaitu dengan menghambat ikatan serotonin dan reseptor pada ujung saraf
vagus. Dosis ondansetron adalah 0,1mg/Kgbb.
Untuk mengganti kehilangan cairan tubuh diberikan cairan kristaloid
selama operasi. Selama operasi tanda vital pasien juga dipantau setiap 5 menit.
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pulih sadar.

3. Post Operasi
Pasien dibawa ke ruang pulih sadar dan dipantau tanda vitalnya. Tanda
vital pasien DJ: 78x/menit, TD:135/85 mmHg, SpO2: 99%. Pasien juga
dilakukan ekstubasi dan diberikan oksigen nasal sebanyal 3 liter per menit.
Skor aldrete pada saat pasien masuk ruang pulih sadar adalah 4 dengan rincian
warna kulit (2), aktifitas motorik (0), pernapasan (1), tekanan darah (2),
kesadaran (0). Setelah dievaluasi selama 1 jam di ruang pulih sadar skor aldrete
pasien adalah 9 dengan rincian warna kulit (2), aktifitas motorik (2),
pernapasan (2), tekanan darah (2), dan kesadaran (1). Skor aldrete pada pasien
>8 maka pasien dapat dipindahkan ke bangsal.
BAB V

KESIMPULAN

Pada kasus ini, pasien terdiagnosa rhinosinusitis maxillaris dextra.


Dilakukan operasi CWL menggunakan anestesi umum (General Anestesi) dengan
intubasi endotracheal tube ukuran 7.5 dengan obat-obatan anestesi
intravena maupun inhalasi yang sesuai. Dalam operasi CWL ini menggunakan
General Anestesi dikarenakan General Anestesi menghilangkan rasa sakit seluruh
tubuh secara sentral dan juga memblock nervus vagus (saraf simpatis). Ketorolac
Trometamol 30 mg . Ketorolac Trometamol adalah suatu OAINS yang
menunjukkan efek analgesik yang petensial namun efek anti inflamasinya
sedang. Keuntungan terapi ketorolac untuk terapi analagesi yaitu tidak
menimbulkan depresi ventilasi atau depresi kardiovaskuler. General Anestesi
diinduksi dengan Recofol 100 mg (Propofol), propofol merupakan obat hipnotik
intravena diisopropilfenol yang menimbulkan induksi anenstesi yang
cukup dengan aktivitas eksitasi yang maksimal. Kemudian diberi rumatan
anestesi dengan N2O, O2, dan Isofluran. Obat-obat yang diberikan selama
anestesi berlangsung ondansetron 4 mg untuk mencegah terjadinya mual dan
asam traneksamat untuk menghentikan perdarahan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan


telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi keenam. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.h.150-4.
2. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Hidung dan sinus paranasalis. Buku ajar
penyakit tht. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC;
1994.h.173-240
3. Mark A. Zacharek, Preeti N. Malani, Michael S. Benninger. An approach
to the diagnosis and management of acute bacterial rhinosinusitis. 2005.
Diunduh dari informahealthcare.com/doi/pdf/10.1586/14787210.3.2.271 .
19 November 2017.
4. Cummings CW. Radiology of nasal cavities and paranasal. Cumming
otolaryngology head and neck surgery. 4th edition. USA: Mosby;
2006.p.201.
5. Hallet R, Naguwa SM. Severe rhinosinusitis. Clinical reviews in allergy
and immunology. California : Human Press Inc. 2003; 5(3):177-90.
6. Brook I, Benson BE, Riauba L, Cunha BA. Acute sinusitis. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview. 20 November
2017.
7. Georgy MS, Peters AT. Chapter 8: rhinosinusitis. Allergy Asthma Proc.
2012 ;33 Suppl 1:24-7
8. Venekamp RP, Bonten MJM, Rovers MM, Verheij TJM,Sachs
APE.Systemic corticosteroid monotherapy for clinically diagnosed acute
rhinosinusitis: a randomized controlled trial. CMAJ. 2012; 184: 751-7
9. Cunha J P, Stoppler M C, Doerr S. Sinus infection. Diunduh dari
http://www.emedicinehealth.com/sinus_infection/page12_em.htm#sinus_i
nfection_prevention, 21 November 2017.
10. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi
Intensif, FKUI. Jakarta: CV Infomedia.
11. Drake.Tonsillectomy.http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm/emedto
nsilektomi, diakses tanggal 21 November 2017.
12. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi
FKUI, edisi ke- 4. Jakarta:Gaya baru.
13. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai