Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

GENERAL ANESTESI PADA RINOSINUSITIS SINUS MAXILARIS


DEXTRA DENGAN CALDWELL-LUC

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian dalam Pendidikan Profesi


Dokter Stase Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Bambang Sutanto, Sp.An

Disusun Oleh:
Muhammad Apriyanda, S.Ked J 510 165 037
Mita Restuning Aji, S.Ked J 510 165 078
Nur Isman , S.Ked J 510 165 061

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN

TUGAS LAPORAN KASUS


GENERAL ANESTESI PADA RINOSINUSITIS SINUS MAXILARIS
DEXTRA DENGAN CALDWELL-LUC

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian dalam Pendidikan Profesi


Dokter Stase Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran

Disusun Oleh:
Muhammad Apriyanda, S.Ked J 510 165 037
Mita Restuning Aji, S.Ked J 510 165 078
Nur Isman , S.Ked J 510 165 061

Telah dipresentasikan, disetujui dan di sahkan oleh bagian Program Pendidikan


Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pada hari ........................................

Mengetahui :

Pembimbing :
dr. Bambang Sutanto, Sp.An (........................................)

Dipresentasikan di hadapan :
dr. Bambang Sutanto, Sp.An (........................................)
BAB I
PENDAHULUAN

Kata anestesi berasal dari bahasa Yunani a = tanpa dan aesthesis =


rasa/sensasi yang berarti keadaan tanpa rasa sakit, dan reanimasi berasal dari re =
kembali dan animasi = gerak/hidup. Ilmu anestesi dan reanimasi adalah cabang
ilmu kedokteran yang mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa, baik rasa
nyeri, takut, dan rasa tidak nyaman yang lain sehingga pasien nyaman dan ilmu
yang mempelajari tatalaksana unuk menjaga/ mempertahankan hidup dan
kehidupan pasien selama mengalami kematian akibat obat anestesi. Sedangkan
anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
meliputi pemberian anestesi ataupun analgesi, pengawasan keselamatan penderita
yang mengalami pembedahan atau tindakan lainnya, pemberian bantuan hidup
dasar, perawatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri
menahun.
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
(1) Anestesi lokal/regional, yaitu suatu tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa
disertai hilangnya kesadaran, dan
(2) Anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang reversible yang disebabkan
oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh.
Sebagian besar operasi (70-75 %) dilakukan dengan anestesi umum, lainnya
dengan anestesi lokal / regional. Anestesi spinal merupakan salah satu macam
anestesi regional. Pungsi lumbal pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun
1891. Anestesi spinal subarachnoid dicoba oleh Corning, dengan menganestesi
bagian bawah tubuh penderita dengan kokain secara injeksi columna spinal. Efek
anestesi tercapai setelah 20 menit, mungkin akibat difusi pada ruang epidural.
Indikasi penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah tindakan pada daerah
abdominal bawah dan inguinal.
Dalam pembedahan membutuhkan tindakan anestesi karena nyeri sangat
mungkin terjadi saat pembedahan berlangsung. Usaha penanggulangan nyeri
terutama nyeri akut akibat trauma atau bedah, dilakukan untuk memperpendek fase
akut/katabolitik pasca trauma atau bedah sehingga pasien segera memasuki fase
anabolik dan proses penyembuhan luka lebih cepat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS PARANASAL

Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid
dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-
tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara
ke rongga hidung. 1,2

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus
frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, sedangkan sinus frontal
berkembang dari dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-
superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun.
Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran
pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus dan bersilia,
sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. 1,2

Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai
ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.

Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal
maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung dinding superiornya adalah
dasar orbita dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus
maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris
melalui infindibulum etmoid.
Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus,
berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir,
sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal
sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih
15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus
frontalnya tidak berkembang. Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya
2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-
lekuk. Tidak adanya gambaran septumn-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto
Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan oleh tulang yang relatif
tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar
ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal.
Resesus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior.1,2

Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir
ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus
lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm
di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.1,2

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,
yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media
dan dinding medial orbita, karenanya seringkali disebut sel-sel etmoid. Sel-sel ini
jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid
dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid
posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-
kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus
etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-
superior dari perlekatan konka media.1,2

Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit, disebut resesus
frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula
etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum,
tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus
frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat
menyebabkan sisnusitis maksila.

Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus
sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalag 2 cmn
tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat
sinus berkembang, pembuluh darah dan nerbus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi
sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus
etmoid.1,2

Gambar 1 : sinus paranasal12


Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal.
Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena
terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Namun ada beberapa pendapat
yang dicetuskan mengenail fungsi sinus paranasal yakni :1,2

1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)


2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
3. Membantu keseimbangan kepala
4. Membantu resonansi suara
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
6. Membantu produksi mukus

RHINOSINUSITIS

Definisi

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya


disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya
ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti
oleh infeksi bakteri. Sinusitis dikarakteristikkan sebagai suatu peradangan pada sinus
paranasal. Sinusitis diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa
sinus disebut multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis disebut pansinusitis.
Disekitar rongga hidung terdapat empat sinus yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus
etmoidalis (kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sfenoidalis (terletak di
belakang dahi).1,2

Dari 5 guidelines yakni European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal


Polyps 2007 (EP3OS), British Society for Allergy and Clinical Immunology (BSACI)
Rhinosinusitis Initiative (RI), Joint Task Force on Practice Parameters (JTFPP), dan
Clinical Practice Guidelines : Adult Sinusitis (CPG:AS), 4 diantaranya sepakat untuk
mengadopsi istilah rinosinusitis sebagai pengganti sinusitis, sementara 1 pedoman yakni
JTFFP, memilih untuk tidak menggunakan istilah tersebut. Istilah rinosinusitis
dipertimbangkan lebih tepat untuk digunakan mengingat konka nasalis media terletak
meluas secara langsung hingga ke dalam sinus ethmoid, dan efek dari konka nasalis media
dapat terlihat pula pada sinus ethmmoid anterior. Secara klinis, inflamasi sinus (yakni,
sinusitis) jarang terjadi tanpa diiringi inflamasi dari mukosa nasal di dekatnya. Namun, para
ahli yang mengadopsi istilah rinosinusitis tetap mengakui bahwa istilah rinosinusitis
maupun sinusitis sebaiknya digunakan secara bergantian, mengingat istilah rinosinusitis
baru saja digunakan secara umum dalam beberapa dekade terakhir.10

Etiologi dan Faktor Predisposisi

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osti-meatal
(KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskenesia silia seperti pada
sindrom Kartgener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Faktor predisposisi
yang paling lazim adalah poliposis nasal yang timbul pada rinitis alergika; polip dapat
memenuhi rongga hidung dan menyumbat sinus.1,2

Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis


sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos
leher posisi lateral.

Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering
serta kebiasaan merokok. Keadaaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan
merusak silia. 1

Penyebab sinusitis dibagi menjadi:

1. Rhinogenik
Penyebab kelainan atau masalah di hidung. Segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.
Contohnya rinitis akut, rinitis alergi, polip, diaviasi septum dan lain-lain.
Alergi juga merupakan predisposisi infeksi sinus karena terjadi edema
mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak menyebabkan
infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan
siklus seterusnya berulang.
2. Dentogenik/odontogenik
Penyebab oleh karena adanya kelainan gigi. Sering menyebabkan sinusitis
adalah infeksi pada gigi geraham atas (premolar dan molar). Bakteri
penyebab adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenza,
Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus, Branchamella catarhalis
dan lain-lain.

Epidemiologi

Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan, dengan dampak


signifikan pada kualitas hidup dan pengeluaran biaya kesehatan, dan dampak ekonomi pada
mereka yang produktivitas kerjanya menurun. Diperkirakan setiap tahun 6 miliar dolar
dihabiskan di Amerika Serikat untuk pengobatan rinosinusitis. Pada tahun 2007 di Amerika
Serikat, dilaporkan bahwa angka kejadian rinosinusitis mencapai 26 juta individu. Di
Indonesia sendiri, data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung
dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Rinosinusitis lebih sering ditemukan pada
musim dingin atau cuaca yang sejuk ketimbang hangat.1,6,11

Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya


klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteo-meatal. Sinus dilapisi
oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua
yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan
oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta
mengandungi zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman
yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk
dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan. 1

Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis


yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan
menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan
epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia
ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus. Organ-organ yang
membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan,
akan saling bertemu sehingga silia tidak dpat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya
terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi,
mula-mula serous. Kondisi ini boleh dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan
biasanya sembuh dalam waktu beberapa hari tanpa pengobatan. 1

Bila kondisi ini menetap, sekret yang dikumpul dalam sinus merupakan media
baik untuk pertumbuhan dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini
disebut sebagai rinosinusitis aku bakterial dan memerlukan terapi antibiotik.

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga
faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu
dari faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis. 1

Manifestasi Klinis

Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai dengan nyeri/rasa
tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip).
Dapat disertai dengan gejala sistemik seperti demam dan lesu. 1

Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis
akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain) . nyeri pipi
menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang kedua bola mata
menandakan sinusitis etmoida, nyeri di dahi atau kepala menandakan sinusitis frontal. Pada
sinusitis maksila kadang-kadang terdapat nyeri alih ke gigi dan telinga.

Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang dapat
menyebabkan batuk dan sesak pada anak.

Working Diagonsis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior, dan posterior, pemeriksaan naso-
endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah
adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan ethmoid anterior dan frontal) atau
di meatus superior (pada sinusitis ethmoidalis posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis
akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan
pada kantus medius.Untuk membantu diagnosis sinusitis, American Academy of
Otolaryngology Head and Neck Surgery (AAO-HNS) membuat bagan diagnosis yang
disebut Task Force on Rhinosinusitis pada tahun 1996. Bagan ini didasarkan atas gejala
klinis yang dibagi atas kategori gejala mayor dan minor untuk diagnosis rhinosinusitis.3

RINOSINUSITIS

Major Symptoms Minor Symptoms

Facial pain/pressure Headache

Facial congestion/fullness Fever (non acute)

Nasal obstruction/blockage Halitosis

Nasal discharge/purulence/discolored Fatique


posterior drainage

Hyposmia/anosmia Dental pain

Purulence on nasal exam Cough

Fever (acute rhinosinusitis only) Ear pain/pressure/fullness

a. Facial pain/pressure alone does not constitute a suggestive history for


diagnosis in the absence of another symptom or sign.
b. Fever in acute sinusitis alone does not constitute a seggustive history
for diangosis in the absence of another symptom or sign.
Tabel 1: Bagan Task force on Rhinosinusitis 19963

Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan KOM sehingga drenase dan
ventilasi sinus-sinus pulih alami.6,1

Medika Mentosa

1. Kebanyakan infeksi sinus akut disebabkan oleh virus, di mana mayoritas pasien
dapat membaik dalam 2 minggu tanpa pengobatan antibiotik.7
2. Gejala awal dari infeksi saluran pernapasan atas dapat diobati dengan obat-obatan
lokal atau obat-obatan over-the-counter (OTC).
3. Irigasi dengan larutan salin normal direkomendasikan.
4. Dekongestan topikal, seperti oxymetazoline, dikombinasikan dengan dekongestan
oral, seperti pseudoephedrine, dapat membantu hidung tersumbat dan untuk
drainase.5,6,7
5. Untuk rinosinusitis akut yang disebabkan oleh bakteri didapatkan dari komunitas
(community-acquired bakteri), antibiotik mengurangi durasi penyakit dan
membantu membasmi infeksi.1
6. Flurokuinolon mungkin juga berguna, tetapi belum disetujui untuk populasi anak.
Penggunaan selama 10 hari dapat memberikan pemberantasan 90 %.5
7. Parameter praktis oleh Joint Task Force on Practice Parameters for Allergy and
Immunology menetapkan penilaian respons gejala setelah 3-5 hari terapi dan
diteruskan untuk tambahan 7 hari jika ada perbaikan. Namun, jika tiada respon,
antibiotik seharusnya ditukar.7
8. Tambahan steroid hidung dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan lebih
tinggi. Kortikosteroid yang digunakan intranasal bisa efektif dengan melemahkan
respon inflamasi, meskipun pada saat ini manfaat mereka masih tidak
menyakinkan. Penggunaan kortikosteroid sistemik mungkin memiliki kelebihan
dibandingkan dengan penggunaan intranasal, seperti tingkat terapeutik yang tinggi
dan tidak ada risiko pelepasan buruk disebabkan oleh penyumbatan hidung.
Review Cochrane baru-baru ini yang mengenai terapi kortikosteroid sistemik
untuk rinosinusitis akut, melaporkan obat ini mempunyai efek mengguntungkan
jangka pendek.5,8

Non Medika Mentosa


1. Pembedahan umumnya dicadangkan untuk pasien dengan kelainan anatomi dan
hanya setelah terapi medis maksimal gagal. Kriteria mutlak untuk operasi meliputi
setiap perluasan infeksi atau adanya tumor di rongga hidung atau sinus. Indikasi
relatif termasuk sinusitis bakteri akut berulang, obstruksi oleh poliposis hidung,
rinosinusitis kronis yang tidak responsif terhadap pengobatan dan penyakit
penyerta seperti asma yang recalcitrant. Kerjasama yang erat dengan
otolaryngologist berpengalaman sangat penting dalam kasus-kasus yang sulit.
Bedah sinus endoskopi fungsional(BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk
sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan
hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih
memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal.1,5
2. Jika perlu, dapat diberikan terapi seperti analgetik, pencucian rongga hidung
dengan NaCl atau pemanasan (diatermi).1
Selain itu, simptomnya juga dapat dikurangkan dengan humidifikasi/vaporizer, kompresi
hangat, hidrasi yang adekuat dan nutrisi seimbang.6

Komplikasi

Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronik
dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Komplikasi infeksi
rinosinusitis sangat jarang dan paling sering terjadi pada anak dan imunocompromised.
Perluasan yang tidak terkendali dari penyakit bakteri atau jamur mengarah kepada invasi
struktur sekitarnya terutama orbital dan otak.5,6

Komplikasi mungkin timbul dengan cepat. Komplikasi yang sering adalah selulitis
atau abses pada daerah preseptal atau orbita. Infeksi preseptal diobati dengan antibiotik dan
tidak diperlukan pembedahan. Komplikasi yang lain mungkin memerlukan pengobatan
pembedahan segera. Perluasan pada postseptal mungkin terjadi dari penyebaran infeksi
melalui lamina papyracea(lapisan kertas), tulang tipis lateral pada sinus ethmoid. Sinus
yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid, kemudian sinus frontal dan maksila.
Penyebaran infeksi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Perluasan ini dapat
melibatkan pembuluh darah ethmoid yang mengakibatkan terjadinya trombosis . Gejalanya
meliputi edema kelopak mata yang progresif, eritema, chemosis dan proptosis, yang jika
tidak diobati, dapat berkembang menjadi oftalmoplegia dan kebutaan. Perluasan pada
intrakranial termasuk terjadinya meningitis, abses epidural atau subdural, abses otak atau
sagital, atau trombosis sinus cavernosus. Setiap pasien dengan sejarah rinosinusitis dan
demam tinggi, peningkatan sakit kepala atau terjadi perubahan status mental harus
dicurigai memiliki komplikasi intrakranial.1,5

Prognosis

Sinusitis tidak menyebabkan kematian yang signifikan dengan sendirinya. Namun,


sinusitis yang berkomplikasi dapat menyebabkan morbiditas dan dalam kasus yang jarang
dapat menyebabkan kematian. Sekitar 40 % kasus sinusitis akut membaik secara spontan
tanpa antibiotik. Perbaikan spontan pada sinusitis virus adalah 98 %. Pasien dengan
sinusitis akut, jika diobati dengan antibiotik yang tepat, biasanya menunjukkan perbaikan
yang cepat. Tingkat kekambuhan setelah pengobatan yang sukses adalah kurang dari 5 %.
Jika tidak adanya respon dalam waktu 48 jam atau memburuknya gejala, pasien dievaluasi
kembali. Rinosinusitis yang tidak diobati atau diobati dengan tidak adekuat dapat
menyebabkan komplikasi seperti meningitis, tromboflebitis sinus cavernous, selulitis
orbita atau abses, dan abses otak.6

A. General Anestesi
a. Definisi
b. Stadium Anestesi
c. Persiapan Pra-Anestesi
d. Premedikasi Anestesi
e. Obat-obatan Premedikasi
f. Induksi
1) Persiapan Induksi
2) Pemeliharaan
g. Intubasi
h. Ekstubasi
i. Pemulihan
j. Terapi Cairan
BAB III
KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.S
Usia : 57 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Sukoharjo
Nomer RM : 033XXXX
Tanggal MRS : 13-11-2017

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri pada pipi kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang laki-laki berusia 55 tahun datang ke RS PKU Muhamaadiyah
Surakarta dengan keluhan nyeri pada pipi kiri. Pipi kiri pasien bengkak
dan terasa nyeri.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat operasi : Prostat
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat DM (+)
Riwayat asma (-)

4. Riwayat Alergi : Tidak

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a) Keadaan Umum : Sedang
b) Kesadaran : Compos mentis
c) Tekanan Darah : 201/106 mmHg
d) Nadi : 80 kali/menit
e) Respirasi : 18 kali/menit
f) Suhu : Afebris

2. Pemeriksaan Fisik
a) Status Gizi
1) Berat Badan : 80 kg
2) Tinggi Badan : 152 cm
b) Kepala
c) Leher
d) Thorax
e) Abdomen
f) Ekstremitas

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Hematologi
2. Pemeriksaan CT Scan Kepala Polos
Tak tampak lesi hipodens/ isodens/ hiperdens intraserebral
Tampak lesi hiperdens sinus maxillaris dextra
Hipertrofi concha nasalis bilateral
Septum nasi deviasi ke sinistra
Nasopharing bersih
Air cellulai mastoidea normal
Kesan : Rhinosinusitis Maxillaris Dextra dengan septum nasi
deviasi ke sinistra

E. DIAGNOSIS
Rinosinusitis Sinus Maxilaris Dextra
F. TINDAKAN / TATALAKSANA
Caldwell-Luc

G. ASSESMENT MEDIS ANESTESI DAN SEDASI


Diagnosis Pre-operatif : Rinosinusitis Sinus Maxilaris Dextra
Macam Operasi : Caldwell-Luc Dextra
Tanggal Operasi : 17 November 2017

1. Keadaan Pra Induksi


a. Berat Badan : 80 kg
b. Tekanan Darah : 201/106 mmHg
c. Respirasi : 18 kali/menit
d. Nadi : 80 kali/menit
e. SpO2 : 99%
f. Alergi :Tidak
g. GCS :15, Compos mentis
h. Hb : 12.4
i. GDS : 217 mg/dL

2. Pemeriksaan Fisik
a. Jalan Nafas : Normal
b. Anamnesis : Autoanamnesis

3. Status Fisik ASA


ASA 2
4. Teknik Anestesi
a. Jenis : General Anestesi dengan Endotracheal tube
b. Obat :
1) Inhalasi Awal : Isofluran 1-2 %
2) Intravena : - Neben 25 mg (ndak jelas tulisan difoto)
- Renfille 100 mg
5. Monitoring Durante Operasi
a. Obat
- Asam Tranexamat 1 gr
- Ondancetron 4 mg
- Keterolac 30 mg
b. Infus
- Ringer Laktat
c. Keterangan
- Induksi : 13.38 WIB
- Pasien siap insisi : 13.54 WIB
- Insisi mulai : 13.55 WIB
- Operasi selesai : 14.20 WIB

6. Pemantauan Tanda Vital


Screen foto
7. Instruksi Pasca Anestesi dan Sedasi
a. Posisi : Supine
b. Analgesia : Ketorolac 30 mg
c. Anti Emetik : Ondansetron 4 mg
d. Infus :Ringer Laktat 24 tetes / menit
e. Makan / Minum : post operasi pasien sadar penuh tidak mual boleh
minum
f. Pemantauan : Tensi, Nadi, Nafas tiap 15 menit selama 1 jam
BAB IV
PEMBAHASAN
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga,


hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi keenam. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.h.150-4.
2. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Hidung dan sinus paranasalis. Buku ajar
penyakit tht. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC;
1994.h.173-240
3. Mark A. Zacharek, Preeti N. Malani, Michael S. Benninger. An approach to
the diagnosis and management of acute bacterial rhinosinusitis. 2005.
Diunduh dari informahealthcare.com/doi/pdf/10.1586/14787210.3.2.271
. 19 November 2017.
4. Cummings CW. Radiology of nasal cavities and paranasal. Cumming
otolaryngology head and neck surgery. 4th edition. USA: Mosby;
2006.p.201.
5. Hallet R, Naguwa SM. Severe rhinosinusitis. Clinical reviews in allergy and
immunology. California : Human Press Inc. 2003; 5(3):177-90.
6. Brook I, Benson BE, Riauba L, Cunha BA. Acute sinusitis. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview. 20 November
2017.
7. Georgy MS, Peters AT. Chapter 8: rhinosinusitis. Allergy Asthma Proc.
2012 ;33 Suppl 1:24-7
8. Venekamp RP, Bonten MJM, Rovers MM, Verheij TJM, Sachs APE.
Systemic corticosteroid monotherapy for clinically diagnosed acute
rhinosinusitis: a randomized controlled trial. CMAJ. 2012; 184: 751-7
9. Cunha J P, Stoppler M C, Doerr S. Sinus infection. Diunduh dari
http://www.emedicinehealth.com/sinus_infection/page12_em.htm#sinus_infec
tion_prevention, 21 November 2017.
10. Meltzer EO, Hamilos DL. Rhinosinusitis diagnosis and management for the
clinician: a synopsis of recent consensus guidelines. Mayo Clin Proc. 2011; 86 (5):
427-43
11. Desrosiers M, Evans GA, Keith PK. Canadian clinical practice guidelines for acute
and chronic rhinosinusitis. Allergy Asthma Clin Immunol. 2011;7(1):2
12. Rhinosinusitis, diunduh dari : https://www.aaaai.org/conditions-and-
treatments/conditions-a-to-z-search/sinuses,-sinusitis,-rhinosinusitis.aspx , 19
November 2017.

Anda mungkin juga menyukai