Disusun Oleh :
YOGYAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN
Hari :
Tanggal :
( ) ( )
Mahasiswa
KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam
sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang
terlibat. Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam
dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses
parafarang, abses sub manidibula dan angina ludovici (Ludwig Angina).
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang submandibula dan
membagi ruang submandibulla atas ruang submental dan ruang submaksila saja.
Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya
sebagai kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.
B. ETIOLOGI
C. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ini belum diketahui dengan jelas. Ada beberapa teori yang
mendukung, diantaranya teori mengenai progresivitas episode eksudatif tonsilitis
menjadi peritonsilitis lalu terjadi pembentukan abses. Daerah superior dan lateral
fosa tonsilarismerupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu imfiltrasi supurasi
ke ruang peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum
mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior,
namun jarang. Pada stadium permulaan, (stadium infiltrate), selain
pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut,
daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong
ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral.
Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan
iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah
spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.
Perluasan proses inflamasi dapat terjadi baik pada pasien tonsilitis yang diobati
maupun yang tidak diobati. Abses peritonsil juga terjadi secara de novu tanpa
adanya riwayat tonsilitis kronis atau tonsilitis berulang. Abses peritonsil juga
dapat terjadi akibat infeksi mononukleosis, virus Epstein-barr. Teori lain
menyatakan hubungan abses peritonsil dengan glandula weber. Kelenjar-kelenjar
ludah minor ini ditemukan pada daerah peritonsil dan diperkirakan membantu
membersihkan debris dari tonsil. Jika teriadi obstruksi akibat adanya infeksi
tonsil, jaringan nekrosis, dan terjadi pembentukan abses maka terjadilah abses
peritonsil.
D. MANIFESTASI KLINIS
Pasien umumnya datang dengan riwayat faringitis akut bersama tonsillitis dan
nyeri faring unilateral yang semakin bertambah. Pasien juga mengalami malaise,
lemah dan sakit kepala. Mereka juga mengalami demam dan rasa penuh pada
sebagian tenggorokan. Nyeri bertambah sesuai dengan perluasan timbunan pus.
Otot pengunyah diselusupi oleh abses sehingga pasien sulit untuk membuka
mulut yang cukup lebar (trismus) untuk pemeriksaan tenggorok. Menelan jadi
sukar dan nyeri. Penyakit ini biasanya hanya pada satu sisi. Air ludah menetes
dari mulut dan ini merupakan salah satu penampakan yang khas. Pergerakan
kepala ke lateral menimbulkan nyeri, akibat infiltrasi ke jaringan leher di regio
tonsil. Selain gejala dan tanda tonsilitis akut dengan odinofagia (nyeri menelan)
yang lebih hebat biasanya pada satu sisi, juga terdapat nyeri telinga (otalgia),
muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi),
suara sengau (rinolalia) dan pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri
tekan.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
3. "Throat culture" atau "throat swab and culture” diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan
antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi
antibiotik.
F. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher.
Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau
ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg,
metronidazol 3-4 x 250-500 mg2. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi
pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi
ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis
yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral
incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses,
biasanya diletakkan di lipatan supratonsiliar. Drainase atau aspirate yang sukses
menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien.
Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di
ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi
"a" chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut
tonsilektomi "a" tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses
disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah
infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.
H. PENGKAJIAN FOKUS
1. Identitas pasien
2. Riwayat kesehatan sekarang : mengalami malaise, lemah dan sakit kepala,
demam, rasa penuh di tenggorokan, nyeri, sulit membuka mulut, susah
menelan, nyeri telinga, muntah, mulut berbau, banyak ludah, dan suara
sengau.
5. Pemeriksaan fisik Head to toe, tetapi lebih fokus ke telinga hidung dan
tenggorokan.
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Beberapa diagnosa yang mungkin dapat ditegakkan dari data yang ada antara
lain:
5. Nutrisi kurang dari kebutuhab tubuh b/d susah menelan dan muntah
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
bronkodilator
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. EGC, Jakarta.
Fachruddin, Dannila. 2006. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan,
Telinga-Hidung-Tenggorokan. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Snell, S Richard. 2002. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. EGC, Jakarta.
Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Aji Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung dan Tenggorokan, Jakarta: FKUI, 200.