Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN PADA Tn.

DENGAN DIAGNOSA PERITONSIL ABSES

RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL BANGSAL BOUGENVILE

Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu PKK KMB 1

Disusun Oleh :

Nugraheni Putri Utami


2620152746
2C

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO

YOGYAKARTA

2017
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan pada Tn. B dengan peritonsil abses di Bangsal Bougenvile


RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL ini dibuat untuk memenuhi tugas
Praktik Klinik Keperawatan (PKK) KMB 1, semester IV. Telah disahkan pada :

Hari :

Tanggal :

Tempat: RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

Bantul, Juli 2017

CI Lahan Pembimbing Akademik

( ) ( )

Mahasiswa

(Nugraheni Putri Utami)


BAB II

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN

Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam
sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang
terlibat. Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam
dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses
parafarang, abses sub manidibula dan angina ludovici (Ludwig Angina).

Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus


(nanah) yang terlokalisir pada jaringan/terbatas (localized) pada jaringan
peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. Ruang
submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang
sublingual dipisahkan dari rung submaksila oleh otot miohioid. Ruang
submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila
(lateral) oleh otot digastrikus anterior.

Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang submandibula dan
membagi ruang submandibulla atas ruang submental dan ruang submaksila saja.
Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya
sebagai kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.

B. ETIOLOGI

Infiltrasi kelenjar submandibula terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut


atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil.
Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Proses
ini terjadi karena komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari
kelenjar mukus weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama
dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.

Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses adalah Streptococcus


pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anacrob yang berperan adalah
Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan
Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan
karena kombinasi antara organisme aerobic san anaerobic.

C. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi penyakit ini belum diketahui dengan jelas. Ada beberapa teori yang
mendukung, diantaranya teori mengenai progresivitas episode eksudatif tonsilitis
menjadi peritonsilitis lalu terjadi pembentukan abses. Daerah superior dan lateral
fosa tonsilarismerupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu imfiltrasi supurasi
ke ruang peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum
mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior,
namun jarang. Pada stadium permulaan, (stadium infiltrate), selain
pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut,
daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong
ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral.
Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan
iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah
spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.

Perluasan proses inflamasi dapat terjadi baik pada pasien tonsilitis yang diobati
maupun yang tidak diobati. Abses peritonsil juga terjadi secara de novu tanpa
adanya riwayat tonsilitis kronis atau tonsilitis berulang. Abses peritonsil juga
dapat terjadi akibat infeksi mononukleosis, virus Epstein-barr. Teori lain
menyatakan hubungan abses peritonsil dengan glandula weber. Kelenjar-kelenjar
ludah minor ini ditemukan pada daerah peritonsil dan diperkirakan membantu
membersihkan debris dari tonsil. Jika teriadi obstruksi akibat adanya infeksi
tonsil, jaringan nekrosis, dan terjadi pembentukan abses maka terjadilah abses
peritonsil.

D. MANIFESTASI KLINIS

Pasien umumnya datang dengan riwayat faringitis akut bersama tonsillitis dan
nyeri faring unilateral yang semakin bertambah. Pasien juga mengalami malaise,
lemah dan sakit kepala. Mereka juga mengalami demam dan rasa penuh pada
sebagian tenggorokan. Nyeri bertambah sesuai dengan perluasan timbunan pus.
Otot pengunyah diselusupi oleh abses sehingga pasien sulit untuk membuka
mulut yang cukup lebar (trismus) untuk pemeriksaan tenggorok. Menelan jadi
sukar dan nyeri. Penyakit ini biasanya hanya pada satu sisi. Air ludah menetes
dari mulut dan ini merupakan salah satu penampakan yang khas. Pergerakan
kepala ke lateral menimbulkan nyeri, akibat infiltrasi ke jaringan leher di regio
tonsil. Selain gejala dan tanda tonsilitis akut dengan odinofagia (nyeri menelan)
yang lebih hebat biasanya pada satu sisi, juga terdapat nyeri telinga (otalgia),
muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi),
suara sengau (rinolalia) dan pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri
tekan.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Prosedur diagnose dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat


aspirasi dibius/dianastesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum
besar (berukuran 16-18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc.
aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material
dapat dikirim untuk dibiakkan.
Pemeriksaan penunjang lainnya :

1. Hitung daerah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit


(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).

2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan


tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif,
penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly, Liver function
tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.

3. "Throat culture" atau "throat swab and culture” diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan
antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi
antibiotik.

4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue


views) dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam
menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.

5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan


hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan
"peripheral rim enhancement".

6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.

F. PENATALAKSANAAN MEDIS

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher.
Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau
ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg,
metronidazol 3-4 x 250-500 mg2. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi
pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi
ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis
yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral
incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses,
biasanya diletakkan di lipatan supratonsiliar. Drainase atau aspirate yang sukses
menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien.

Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di
ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi
"a" chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut
tonsilektomi "a" tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses
disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah
infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.

Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses


peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
Abses peritonsil mempuyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini
belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil.
Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6-8 minggu kemudian mengingat
kemungkinan terjadi pendarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi
menganjurkan tonsilektomi segera.

Penggunaan steroids masih konvensional. Penelitian terbaru yang dilakukan


Ozbek mengungkapkan Bahwa penambahan dosis tunggal intravenous
dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan
mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri
tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok
yang hanya diberi antibiotik parenteral.
G. KOMPLIKASI

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah:

1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau piema.

2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses


parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan
mediastinitis.

3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus


sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.

Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat teriadi jika diagnosis diabaikan.


Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progress penyakit. Untuk
itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.

H. PENGKAJIAN FOKUS

Informasi dari pasien (anamnesis) sangat diperlukan untuk menegakkan


diagnosis abses peritonsiler. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada
tenggorokan adalah salah satu yang mendukung teradinya abses peritonsilar.
Riwayat adanya faringitis akut yang disertai tonsilitis dan rasa kurang nyaman
pada pharingeal unilateral. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut
dengan asimetri faring sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan
nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral terdapat
eritema, asimetri palatum mole, eksudasitonsil, dan pergeseran uvula
kontralateral. Dan pada palpasi palatum mole teraba fluktuasi. Nasofaringoskopi
dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan pada pasien yang mengalami
kesulitan bernapas, untuk melihat ada tidaknya epiglotitis dan supraglotis.

1. Identitas pasien
2. Riwayat kesehatan sekarang : mengalami malaise, lemah dan sakit kepala,
demam, rasa penuh di tenggorokan, nyeri, sulit membuka mulut, susah
menelan, nyeri telinga, muntah, mulut berbau, banyak ludah, dan suara
sengau.

3. Riwayat kesehatan dahulu: Pernah menderita tonsilitis dan caries dentis.

4. Riwayat kesehatan keluarga: Penyakit yang berhubungan dengan telinga


hidung dan tenggorokan

5. Pemeriksaan fisik Head to toe, tetapi lebih fokus ke telinga hidung dan
tenggorokan.

6. Pemeriksaan penunjang Nilai labor: B.

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Beberapa diagnosa yang mungkin dapat ditegakkan dari data yang ada antara
lain:

1. Gangguan menelan berhubungan dengan gangguan neuromuskuler

2. Nyeri akut berhubungan dengan faktor biologis

3. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan penyakit

4. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d akumulasi eksudat

5. Nutrisi kurang dari kebutuhab tubuh b/d susah menelan dan muntah

6. Resiko tinggi penyebaran infeksi b/d pecahnya abses


J. INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa NOC NIC


Keperawatan

Gangguan menelan  Status menelan Manajemen nutrisi :


berhubungan
dengan  Perawatan diri : makan Monitoring
neuromuskular  Kaji status gizi pasien
Kriteria hasil : untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi
 Kemampuan mengunyah  Identifikasi alergi
dan menelan tidak makanan yang dimiliki
terganggu pasien
Mandiri
 Muntah tidak ada
 Bantu pasien memilih
 Produksi ludah tidak makanan yang tepat
terganggu  Bantu pasien terkait
perawatan mulut sebelum
makan
 Ciptakan lingkungan yang
optimal saat
mengonsumsi makanan
Kolaborasi
 Berikan obat-obatan
sebelum makan
Nyeri akut  Tingkat nyeri Manajemen nyeri
berhubungan
dengan faktor  Kontrol nyeri Monitoring
biologis  Kaji nyeri secara
 Status kenyamanan komperehensif termasuk
lokasi, karakteristik,
Kriteria hasil : durasi, frekuensi, kualitas
dan faktor presipitasi
 Nyeri yang dilaporkan (PQRST)
tidak ada lagi
 Kaji pengetahuan dan
 Meringis tidak ada kepercayaan pasien
terhadap nyeri
 Pasien dapat mengenali  Kaji faktor yang dapat
kapan nyeri terjadi menurunkan atau
memperberat nyeri
 Pasien dapat mencegah Mandiri
terjadinya nyeri  Tentukan akibat dari
pengalaman nyeri
terhadap kuakitas hidup
pasien
 Evaluasi pengalaman
nyeri masa lampau
 Berikan informasi
mengenai nyeri seperti :
penyebab nyeri, lama
nyeri, dan anyisipasi dari
ketidaknyamanan akibat
prosedur
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan dokter
pemberian analgetik
Bersihan jalan  Status pernafasan : venilasi Manajemen jalan nafas :
nafas tidak efektif
berhubungan  Status pernafasan : Monitoring
dengan aspirasi kepatenan jalan nafas  Monitor status pernafasan
eksudat dan oksigenasi pasien
Kriteria hasil :
 Auskultasi suara nafas,
 Frekuensi nafas pasien catat area yang
dalam batas normal ventilasinya menurun atau
tidak ada atau adanya
 Irama nafas normal suara tambahan
 Kedalaman inspirasi Mandiri
normal
 Lakukan fisioterapi dada
 Penggunaan obat bantu sebagaimana mestinya
nafas tidak ada
 Posisikan pasien untuk
 Pasien mampu mengurangi sesak nafas
mengeluarkan secret
 Ajarkan pasien
bagaimana cara
menggunakan inhaler

 Ajarkan pasien cara batuk


efektif

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
bronkodilator
DAFTAR PUSTAKA

Adams, G.L. 1997. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Onofaring. Dalam: Boies,


Buku Ajar Penyakit THT, hal 333. EGC, Jakarta

Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. EGC, Jakarta.

Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medical bedah, Vol. 1

Fachruddin, Dannila. 2006. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan,
Telinga-Hidung-Tenggorokan. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Snell, S Richard. 2002. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. EGC, Jakarta.

Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Aji Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung dan Tenggorokan, Jakarta: FKUI, 200.

Taylor, Cynthia M. 2010. Diagnosis Keperawatan, Dengan Rencana Asuhan, Edisi


10. Jakarta. EGC

Wilkinson, Judith. M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi


NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta. EGC

Anda mungkin juga menyukai