Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN APENDISITIS

A.   DEFINISI
  Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-
laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10
sampai 30 tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).
  Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith
(batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan
penyebab utama Apendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena
parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius
vermikularis (Ovedolf, 2009).
  Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang terpuntir,
appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan multiplikasi
(Chang, 2010)
  Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa penyebab yang
jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau
pembuluh darahya (Corwin, 2009).
B.   ETIOLOGI
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor
prediposisi yaitu:
1.    Factor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi
karena:
a.     Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
b.     Adanya faekolit dalam lumen appendiks
c.      Adanya benda asing seperti biji-bijian
d.     Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
2.    Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus
3.    Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun (remaja
dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
4.    Tergantung pada bentuk apendiks:
a.     Appendik yang terlalu panjang
b.     Massa appendiks yang pendek
c.      Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
d.     Kelainan katup di pangkal appendiks
(Nuzulul, 2009)

C.   KLASIFIKASI
                                  1. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada
dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari
apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
a.      Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
b.      Fekalit
c.      Benda asing
d.      Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat
keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga
menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks
sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding
apendiks.
Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ
lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.
  .                            2.  Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang
ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan
mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,
nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif.
Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-
tanda peritonitis umum.
                                3. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua
syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah
apendektomi.
Kriteria  mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus
lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara
1-5 persen.
                   4. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang
di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil patologi
menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn apendisitis akut
pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna kembali ke bentuk
aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn lagi
sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang
diperiksa secara patologik.Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan
apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan akut.
                                 5. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat
adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika
isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang,mukokel dapat
disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan
bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi
infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi.
                                   6. Tumor Apendiks
Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi atas
indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan 
hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh lebih baik
dibanding hanya apendektomi.
                                     7. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis
prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas spesimen
apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa
rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme bronkus, dan
diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor
memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan residif
dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen patologik
apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi
ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan

D.   ANATOMI DAN FISIOLOGI


1.      ANATOMI
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm
dan berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan
embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat
antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi
appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah
ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens Apendisitis pada usia tersebut.
Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian
distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum
dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala klinik Apendisitis ditentukan
oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum)
65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di
depan usus halus) 1%, dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%, seperti terlihat
pada gambar dibawah ini.

2.      FISIOLOGI
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan
ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara
appendiks tampaknya berperan pada patogenesis Apendisitis. Imunoglobulin sekretoar
yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat
disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A).
Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol
proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen
intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun
tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran
cerna dan seluruh tubuh.

E.   PATOFISIOLOGI
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan
intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah
terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah
terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2010) .

F.    MANIFESTASI KLINIK


1.      Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual,
muntah dan hilangnya nafsu makan.
2.      Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
3.      Nyeri tekan lepas dijumpai.
4.      Terdapat konstipasi atau diare.
5.      Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
6.      Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
7.      Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.
8.      Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
9.      Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
10.   Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen
terjadi akibat ileus paralitik.
11.   Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien mungkin
tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.
Nama pemeriksaan Tanda dan gejala
Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada kuadran
kiri bawah dan timbul nyeri pada sisi kanan.
Psoas sign atau Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian dilakukan
Obraztsova’s sign ekstensi dari panggul kanan. Positif jika timbul nyeri pada
kanan bawah.
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan dilakukan rotasi
internal pada panggul. Positif jika timbul nyeri pada
hipogastrium atau vagina.
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah dengan batuk
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut pada korda
spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium atau sekitar
sign pusat, kemudian berpindah ke kuadran kanan bawah.
Sitkovskiy Nyeri yang semakin bertambah pada perut kuadran kanan
(Rosenstein)’s sign bawah saat pasien dibaringkan pada sisi kiri
Aure-Rozanova’s Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit triangle kanan
sign (akan positif Shchetkin-Bloomberg’s sign)
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kanan
bawah kemudian dilepaskan tiba-tiba

G.   KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita
meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan
diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat
melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas
dan mortalitas. Proporsi komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil
dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75%
pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang
tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih
pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi,
sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi
diantaranya:
1.     Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
2.     Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke
rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70%
kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih
dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3.     Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang
dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis.

H.   PEMERIKSAAN PENUNJANG


1.    Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3
(leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum
yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan
meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses
elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan
90%.
2.    Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning
(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang
terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan
bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami
inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka
sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai
tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-
100% dan 96-97%.
3.    Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi
saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
4.    Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan
hati, kandung empedu, dan pankreas.
5.    Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya
kemungkinan kehamilan.
6.    Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium
enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma
colon.
7.    Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi
mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus halus
atau batu ureter kanan.

I.      PENATALAKSANAAN MEDIS


Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
1.      Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai
akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna
untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi, sebelum operasi
dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik
2.      Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi.
Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
3.      Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang
lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka
dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci
dengan garam fisiologis atau antibiotik.

PATHWAY

PRE OP
POST OP
LAPORAN PENDAHULUAN POST OP LAPARATOMI

A.    GAMBARAN KLINIS PENYAKIT


1.      Definisi
Laparotomi adalah pembedahan yang dilakukan pada usus akibat terjadinya
perlekatan usus dan biasanya terjadi pada usus halus. (Arif Mansjoer, 2010).
Laparatomi adalah pembedahan perut, membuka selaput perut dengan operasi.
(Lakaman 2011).
2.      Etiologi
Etiologi sehingga dilakukan laparatomi adalah karena disebabkan oleh beberapa
hal (Smeltzer, 2012) yaitu:
1.      Trauma abdomen (tumpul atau tajam).
2.      Peritonitis.
3.      Perdarahan saluran cerna.
4.      Sumbatan pada usus halus dan usus besar.
5.      Massa pada abdomen
3.      Jenis-jenis Laparatomi
a.       Mid-line incision
b.      Paramedian, yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang (12,5
cm).
c.       Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya
pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
d.      Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian bawah
±4cm diatas anterior spinaliliaka, misalnya; pada operasi appendictomy. 
Latihan - latihan fisik seperti latihan napas dalam, latihan batuk, menggerakan
otot-otot kaki, menggerakkan otot-otot bokong, Latihan alih baring dan turun
dari tempat tidur. Semuanya dilakukan hari ke 2 post operasi.(Smeltzer, 2012).
4.      Manifestasi Klinis
a.       Nyeri tekan.
b.      Perubahan tekanan darah, nadi, dan pernafasan.
c.       Kelemahan.
d.      Gangguan integumen dan jaringan subkutan.
e.       Konstipasi.
f.       Mual dan muntah, anoreksia.
5.      Komplikasi
a.     Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis. Tromboplebitis
post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi. Bahaya besar
tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah
vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak.
Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki, ambulasi dini post operasi.
b.     Infeksi, infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam pasca operasi. Organisme
yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilococus aurens, organisme
gram positif. Stapilococus mengakibatkan peranahan. Untuk menghindari
infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan
aseptik dan antiseptik.
c.      Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi.
d.      Ventilasi paru tidak adekuat.
e.       Gangguan kardiovaskuler: hipertensi, aritmia jantung.
f.       Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
g.      Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan.(Arif Mansjoer, 2012).
                            
6.      Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ;
kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi,
adanya darah menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.
 Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.
 Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.
 IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran
kencing.

 Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang
diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang
disertai dengan trauma kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan
jarum pungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui dinding perut didaerah
kuadran bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan menggosokkan buli-
buli terlebih dahulu.
 Lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan
memasukkan cairan garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan
kedalam rongga peritonium.

Perlengkapan yang dilakukan pada pasien post laparatomy, adalah;

a. Respiratory: Bagaimana saluran pernapasan, jenis pernapasan, bunyi pernapasan.

b.   Sirkulasi: Tensi, nadi, respirasi, dan suhu, warna kulit, dan refill kapiler.

c.   Persarafan : Tingkat kesadaran.

d  Balutan: Apakah ada tube, drainage ? Apakah ada tanda-tanda infeksi?  Bagaimana
penyembuhan luka?

e.   Peralatan: Monitor yang terpasang, cairan infus atau transfusi.

f.   Rasa nyaman: Rasa sakit, mual, muntah, posisi pasien, dan fasilitas ventilasi.

g.   Psikologis : Kecemasan, suasana hati setelah operasi.Pengkajian

B.     KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

            Asuhan keperawatan adalah sesuatu bentuk pelayanan yang diberikan oleh
seseorang pasien dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari berupa bimbingan,
pengawasan, perlindungan. (Brunner & suddarth, 2009).

1.      Pengkajian
      Pengkajian merupakan proses pengumpulan data yang dilakukan secara sistemik
mengenai kesehatan. Pasien mengelompokkan data menganalisis data tersebut
sehingga dapat pengkajian adalah memberikan gambaran secara terus menerus
mengenai keadaan pasien .Adapun tujuan utama dari pada pengkajian adalah
memberikan gambaran secara terus-menerus mengenai keadaan pasien yang mungkin
perawat dapat merencanakan asuhan keperawatan. (Arif mutaaq 2013).

Pengkajian pada laparatomu meliputi identitas klien keluhan utama, riwayat


penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat
penyakit psikososial.

a.       Identitas klien


Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan MRS, nomor register, dan
diagnosis medis.
2.      Keluhan Utama
Sering  menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah  nyeri
pada abdomen.
3.      Riwayat Kesehatan
a.       Riwayat kesehatan sekarang
Kapan nyeri pertama kali dirasakan dan apa tindakan yang telah diambil sebelum
akhirnya klien dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan secara medis.
b.      Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit terdahulu sehingga klien dirawat di rumah sakit.
c.       Riwayat kesehatan keluarga
Bisanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi,diabetes melitus,atau adanya
riwayat stroke dari generasi terdahulu.
d.      Riwayat psikososial dan spiritual
Peranan  pasien  dalam  keluarga  status emosional meningkat, interaksi meningkat,
interaksi sosial terganggu, adanya rasa cemas yang berlebihan, hubungan dengan
tetangga tidak harmonis, status dalam pekerjaan. Dan apakah klien rajin dalam
melakukan ibadah sehari-hari.
4.      Aktivitas sehari-hari (sebelum dan selama sakit)
a.       Pola Nutrisi
b.      Pola Eliminasi
c.       Pola Personal Hygiene
d.      Pola Istirahat dan Tidur
e.       Pola Aktivitas dan Latihan
f.       Seksualitas/reproduksi
g.      Peran
h.      Persepsi diri/konsep diri
i.        Kognitif diri/konsep diri
j.        Kognitif perseptual
5.      Pemeriksaan Fisik
1.      Kepala
pasien pernah mengalami trauma kepala, adanya hematoma atau riwayat operasi.
2.      Mata
penglihatan adanya kekaburan, akibat akibat adanya gangguan nervus optikus (nervus
II), gangguan dalam mengangkat bola mata (nervus III), gangguan dalam memutar
bola mata (nervus IV) dan gangguan dalam menggerakkan boal mata kalateral (nervus
VI).
3.      Hidung
Adanya gangguan pada penciuman karna terganggu pada nervus olfatorius (nervus I).
4.      Mulut
Adanya gangguan pengecapan (lidah ) akibat kerusakan nervus vagus adanya
kesulitan dalam menelan.
5.      Dada
Inspeksi                           :kesimetrisan bentuk, dan kembang kempih dada.
Palpasi                             :ada tidaknya nyeri tekan dan massa.
Perkusi                            :mendengar bunyi hasil perkusi.
Auskultasi                       :mengetahui suara nafas, cepat dan dalam.
6.      Abdomen
Inspeksi                           : bentuk, ada tidaknya pembesaran.
Auskultasi                       : mendengar bising usus.
Perkusi                            : mendengar bunyi hasil perkusi.
Palpasi                             : ada tidaknya nyeri tekan pasca operasi.
7.      Ekstremitas
Pengukuran otot menurut (Arif Mutaqqin, 2012)
a.       Nilai 0: bila tidak terlihat kontraksi sama sekali.
b.      Nilai 1: Bila terlihat kontraksi dan tetapi tidak ada gerakan pada sendi.
c.       Nilai 2: Bila ada gerakan pada sendi tetapi tidak bisa melawan grafitasi.
d.      Nilai 3: Bila dapat melawan grafitasi tetapi tidak dapat melawan tekanan
pemeriksaan.
e.       Nilai 4: Bila dapat melawan tahanan pemeriksaan tetapi kekuatanya berkurang.
f.       Nilai 5: bila dapat melawan tahanan pemeriksaan dengan kekuatan penuh.
C.     DIAGNOSA KEPERAWATAN
   Pre operasi
1.      Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal oleh
inflamasi)
2.      Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan peritaltik.
3.      Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
4.      Cemas  berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.
   Post operasi
1.      Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi appenditomi).
2.      Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post pembedahan).
3.      Defisit self care berhubungan dengan nyeri.
4.      Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d
kurang informasi.

D.     RENCANA KEPERAWATAN

PRE OPERASI
NO DX KEP NOC NIC RASIONAL
1. Nyeri akut Setelah 1. Kaji tingkat nyeri, lokasi Untuk mengetahui sejauh mana
berhubung dilakukan dan karasteristik nyeri. tingkat nyeri dan merupakan
an dengan asuhan indiaktor secara dini untuk
agen injuri keperawatan, dapat memberikan tindakan
biologi diharapkan nyeri selanjutnya
(distensi klien berkurang2.  Jelaskan pada pasien  Informasi yang tepat dapat
jaringan dengan kriteria tentang penyebab nyeri menurunkan tingkat kecemasan
intestinal hasil: pasien dan menambah
oleh    Klien mampu pengetahuan pasien tentang
inflamasi) mengontrol nyeri.
nyeri (tahu 2. Ajarkan tehnik untuk   Napas dalam dapat menghirup
penyebab nyeri, pernafasan diafragmatik O2 secara adequate sehingga
mampu lambat / napas dalam. otot-otot menjadi relaksasi
menggunakan sehingga dapat mengurangi
tehnik rasa nyeri.
nonfarmakologi  
untuk 3. Berikan aktivitas hiburan Meningkatkan relaksasi dan
mengurangi (ngobrol dengan anggota dapat meningkatkan
nyeri, mencari keluarga) kemampuan kooping.
bantuan) 
         Melaporkan
bahwa nyeri 5.    Observasi tanda-tanda DDeteksi dini terhadap
berkurang vital perkembangan kesehatan
dengan 6.    pasien.
menggunakan Kolaborasi dengan tim   Sebagai profilaksis untuk
manajemen medis dalam pemberian dapat menghilangkan rasa
nyeri analgetik nyeri.
         Tanda vital
dalam rentang
normal
TD (systole 110-
130mmHg,
diastole 70-
90mmHg),
HR(60-
100x/menit), RR
(16-24x/menit),
suhu (36,5-
37,50C)
         Klien
tampak rileks
mampu
tidur/istirahat
2. Perubahan Setelah 1. Pastikan kebiasaan   Membantu dalam
pola dilakukan defekasi klien dan gaya pembentukan jadwal irigasi
eliminasi asuhan hidup sebelumnya. efektif
(konstipasi keperawatan, 2.
) diharapkan 2.    Auskultasi bising usus   Kembalinya fungsi
berhubung konstipasi klien gastrointestinal mungkin
an dengan teratasi dengan terlambat oleh inflamasi intra
penurunan kriteria hasil: peritonial
peritaltik.         BAB 1-2
3.    Tinjau ulang pola diet   Masukan adekuat dan serat,
kali/hari dan jumlah / tipe makanan kasar memberikan
        Feses lunak masukan cairan. bentuk dan cairan adalah faktor
        Bising usus penting dalam menentukan
5-30 kali/menit konsistensi feses.
  Makanan yang tinggi serat
4.    Berikan makanan tinggi
dapat memperlancar
serat.
pencernaan sehingga tidak
terjadi konstipasi.
  Obat pelunak feses dapat
5.    Berikan obat sesuai
melunakkan feses sehingga
indikasi, contoh :
tidak terjadi konstipasi.
pelunak feses
3. Kekuranga Setelah 1.    Monitor tanda-tanda   Tanda yang membantu
n volume dilakukan vital mengidentifikasikan fluktuasi
cairan asuhan volume intravaskuler.
berhubung keperawatan 2.    Kaji membrane mukosa,   Indicator keadekuatan
an dengan diharapkan kaji tugor kulit dan sirkulasi perifer dan hidrasi
mual keseimbangan pengisian kapiler. seluler.
muntah. cairan dapat 3.    Awasi masukan dan
dipertahankan haluaran, catat warna   Penurunan haluaran urin pekat
dengan kriteria urine/konsentrasi, berat dengan peningkatan berat jenis
hasil: jenis. diduga dehidrasi/kebutuhan
        kelembaban4.    Auskultasi bising usus, peningkatan cairan.
membrane catat kelancaran flatus,   Indicator kembalinya
mukosa gerakan usus. peristaltic, kesiapan untuk
        turgor kulit5.    Berikan perawatan pemasukan per oral.
baik mulut sering dengan   Dehidrasi mengakibatkan
        Haluaran perhatian khusus pada bibir dan mulut kering dan
urin adekuat: 1 perlindungan bibir. pecah-pecah
cc/kg BB/jam 6.    Pertahankan
        Tanda-tanda penghisapan gaster/usus.   Selang NG biasanya
vital dalam batas dimasukkan pada praoperasi
normal dan dipertahankan pada fase
TD (systole 110- segera pascaoperasi  untuk
130mmHg, dekompresi usus,
diastole 70- meningkatkan istirahat usus,
90mmHg), 7.    Kolaborasi pemberian mencegah mentah.
HR(60- cairan IV dan elektrolit   Peritoneum bereaksi terhadap
100x/menit), RR iritasi/infeksi dengan
(16-24x/menit), menghasilkan sejumlah besar
suhu (36,5- cairan yang dapat menurunkan
37,50C) volume sirkulasi darah,
mengakibatkan hipovolemia.
Dehidrasi dapat terjadi
ketidakseimbangan elektrolit
4. Cemas  Setelah 1.    Evaluasi tingkat   Ketakutan dapat terjadi karena
berhubung dilakukan ansietas, catat verbal dan nyeri hebat, penting pada
an dengan asuhan non verbal pasien. prosedur diagnostik dan
akan keperawatan, pembedahan.
dilaksanak diharapkan 2.    Jelaskan dan persiapkan   Dapat meringankan ansietas
an operasi. kecemasab klien untuk tindakan prosedur terutama ketika pemeriksaan
berkurang sebelum dilakukan tersebut melibatkan
dengan kriteria pembedahan.
hasil: 3. Jadwalkan istirahat   Membatasi kelemahan,
        Melaporkan adekuat dan periode menghemat energi dan
ansietas menghentikan tidur. meningkatkan kemampuan
menurun sampai4. koping.
tingkat teratasi 4.    Anjurkan keluarga untuk  Mengurangi kecemasan klien
        Tampak menemani disamping
rileks klien

POST OPERASI
NO DX KEP NOC NIC RASIONAL
1. Nyeri Setelah dilakukan 1. Kaji skala nyeri lokasi,   Berguna dalam
berhubunga asuhan karakteristik dan pengawasan dan keefesien
n dengan keperawatan, laporkan perubahan obat, kemajuan
agen injuri diharapkan nyeri nyeri dengan tepat penyembuhan,perubahan
fisik (luka berkurang dengan 2. dan karakteristik nyeri.
insisi post kriteria hasil: 2.    Monitor tanda-tanda   Deteksi dini terhadap
operasi         Melaporkan vital perkembangan kesehatan
appenditomi nyeri berkurang pasien.
).         Klien tampak 3.    Pertahankan istirahat   Menghilangkan tegangan
rileks dengan posisi semi abdomen yang bertambah
        Dapat tidur fowler. dengan posisi terlentang.
dengan tepat 4.    Dorong ambulasi dini.   Meningkatkan kormolisasi
        Tanda-tanda fungsi organ.
vital dalam batas 5.    Berikan aktivitas   Meningkatkan relaksasi.
normal hiburan.   Menghilangkan nyeri.
TD (systole 110- 6.    Kolborasi tim dokter
130mmHg, diastole dalam pemberian
70-90mmHg), analgetika.
HR(60-
100x/menit), RR
(16-24x/menit),
suhu (36,5-37,50C)

2. Resiko Setelah dilakukan 1.    Kaji adanya tanda-   Dugaan adanya infeksi
infeksi asuhan tanda infeksi pada area
berhubunga keperawatan insisi  
n dengan diharapkan infeksi 2.    Monitor tanda-tanda Dugaan adanya
tindakan dapat diatasi vital. Perhatikan infeksi/terjadinya sepsis,
invasif dengan kriteria demam, menggigil, abses, peritonitis
(insisi post hasil: berkeringat, perubahan   mencegah transmisi
pembedaha        Klien bebas mental penyakit virus ke orang lain.
n). dari tanda-tanda 3.    Lakukan teknik isolasi   Mencegah meluas dan
infeksi untuk infeksi enterik, membatasi penyebaran
        Menunjukkan termasuk cuci tangan organisme infektif /
kemampuan untuk efektif. kontaminasi silang.
mencegah 4.    Pertahankan teknik   Menurunkan resiko
timbulnya infeksi aseptik ketat pada terpajan.
        Nilai leukosit perawatan luka insisi /
(4,5-11ribu/ul) terbuka, bersihkan
dengan betadine.
5.    Awasi / batasi
pengunjung dan siap
kebutuhan.
6.    Kolaborasi tim medis   Terapi ditunjukkan pada
dalam pemberian bakteri anaerob dan hasil
antibiotik aerob gra negatif.

3. Defisit self Setelah dilakukan 1.    Mandikan pasien setiap  Agar badan menjadi segar,
care asuhan hari sampai klien melancarkan peredaran
berhubunga keperawatan mampu melaksanakan darah dan meningkatkan
n dengan diharapkan sendiri serta cuci kesehatan.
nyeri. kebersihan klien rambut dan potong
dapt dipertahankan kuku klien.
dengan kriteria 2.    Ganti pakaian yang   Untuk melindungi klien
hasil: kotor dengan yang dari kuman dan
        klien bebas dari bersih. meningkatkan rasa nyaman
bau badan 3.    Berikan Hygiene   Agar klien dan keluarga
        klien tampak Edukasi pada klien dan dapat termotivasi untuk
bersih keluarganya tentang menjaga personal hygiene.
        ADLs klien pentingnya kebersihan  
dapat mandiri atau diri.
dengan bantuan 4.    Berikan pujian pada Agar klien merasa
klien tentang tersanjung dan lebih
kebersihannya. kooperatif dalam kebersihan
5.    Bimbing keluarga klien  Agar keterampilan dapat
memandikan / menyeka diterapkan
pasien
6.    Bersihkan dan atur   Klien merasa nyaman
posisi serta tempat tidur dengan tenun yang bersih
klien. serta mencegah terjadinya
infeksi.

4. Kurang Setelah dilakukan 1.    Kaji ulang pembatasan  Memberikan informasi pada
pengetahua asuhan aktivitas pascaoperasi pasien untuk merencanakan
n tentang keperawatan kembali rutinitas biasa tanpa
kondisi diharapkan menimbulkan masalah.
prognosis pengetahuan 2.    Anjuran menggunakan  Membantu kembali ke
dan bertambah dengan laksatif/pelembek feses fungsi usus semula
kebutuhan kriteria hasil: ringan bila perlu dan mencegah ngejan saat
pengobatan        menyatakan hindari enema defekasi
b.d kurang pemahaman proses3.    Diskusikan perawatan   Pemahaman meningkatkan
informasi. penyakit, insisi, termasuk kerja sama dengan terapi,
pengobatan dan mengamati balutan, meningkatkan penyembuhan
        berpartisipasi pembatasan mandi, dan
dalam program kembali ke dokter
pengobatan untuk mengangkat
                                  jahitan/pengikat   Upaya intervensi
        
4.    Identifikasi gejala yang menurunkan resiko
memerlukan evaluasi komplikasi lambatnya
medic, contoh penyembuhan peritonitis.
peningkatan nyeri
edema/eritema luka,
adanya drainase,
demam

E.  Implementasi Keperawatan


 Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus
kesehatan yang  baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Potter &
Perry, 2011). 

F.  Evaluasi Keperawatan

Menurut Craven dan Hirnle (2011) evaluasi didefenisikan sebagai keputusan


dari efektifitas asuhan keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang telah
ditetapkan dengan respon prilaku klien yang tampil.

DAFTAR PUSTAKA
Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.
Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA
Intervention Project, Mosby.
Mansjoer, A.  (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI
Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby.
NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.
Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & suddart. Edisi 8.
Volume 2. Jakarta, EGC
Nazir, Moh. 2011. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Nursalam. 2010. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Edisi II.
Salemba Medika. Jakarta
 Prasetyo, S. N. 2010. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Soeparman, dkk. 2010. Ilmu Penyakit Dalam : Balai Penerbit FKUI, Jakarta
Smeltzer, Suzanne C. 2010. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8
Vol.3.  EGC : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai