Anda di halaman 1dari 8

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengetahuan atau aspek kognitif merupakan domain yang sangat penting

untuk terbentuknya perilaku seseorang, dimana perilaku adalah keseluruhan

(totalitas) pemahaman dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antar

faktor internal dan eksternal. Notoatmojdo (2010) mengemukakan bahwa perilaku

yang didasari oleh pengetahuan,kesadaran dan sikap yang positif,maka perilaku

tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sedangkan perilaku yang tidak didasari

oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama. Berdasarkan

pernyataan tersebut, maka perawat yang memiliki pengetahuan yang tinggi tentang

penatalaksanaan terapi infus seyogyanya dapat menampilkan perilaku untuk

mengikuti prosedur pemasangan infus yang benar sehingga mengurangi resiko

komplikasi. Perawat dalam terapi infus terutama dalam melakukan tugas delegasi,

dapat bertindak sebagai care giver, dimana mereka harus memiliki pengetahuan

tentang bidang praktik keperawatan yang berhubungan dengan pengkajian,

perencanaan, implementasi, dan evaluasi dalam perawatan terapi infus. Terapi infus

diinstruksikan oleh dokter tetapi perawatlah yang bertanggung jawab pada pemberian

serta mempertahankan terapi tersebut pada pasien. Peran perawat dalam terapi

infus bukan hanya untuk pemberian agen medikasi, tetapi lebih luas meliputi

pemasangan alat akses IV, perawatan, monitoring, dan yang paling penting adalah

pencegahan infeksi.

1
2

Terapi infus termasuk kedalam salah satu tindakaan invasif,oleh karena itu

perawat harus cukup terampil saat melakukan pemasangan infus. Ketika seorang

perawat diberi tugas untuk memberikan terapi infus, satu-satunya kemampuan yang

diperlukan adalah melakukan pemasangan dengan benar dan terampil. Perawat juga

harus memiliki komitmen untuk memberikan terapi infus yang aman, efektif dalam

pembiayaan, serta melakukan infus yang berkualitas. Terapi infus adalah salah satu

teknologi yang paling sering digunakan dalam pelayanan kesehatan di seluruh dunia.

Lebih dari 60% pasien yang masuk rumah sakit mendapat terapi infus

(Alexander,Corigan,Gorski,Hankins dan Perucca.2010).

Menurut WHO terapi infus merupakan cara yang digunakan untuk

memberikan cairan pada pasien yang tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau

syok. Dimana menurut WHO terapi infus ini menyebabkan timbulnya infeksi berupa

kejadian phlebitis 1,4 juta setiap hari diseluruh dunia. Terapi infus merupakan salah

satu tindakan yang paling sering diberikan pada pasien yang menjalani rawat inap

sebagai jalur terapi infus (IV), pemberian obat, cairan, dan pemberian produk darah,

atau sampling darah (Alexander, Corigan, Gorski, Hankins, & Perucca, 2010).

Di Indonesia belum ada angka yang pasti tentang prevalensi kejadian

phlebitis, mungkin disebabkan penelitian yang berkaitan dengan terapi infus dan

publikasinya masih jarang. Menurut Depkes RI Tahun 2014 kejadian phlebitis di

Indonesia dari hasil suvei point prevalensi dari 11 Rumah Sakit di DKI Jakarta yang

dilakukan oleh Perdalin Jaya dan Rumah Sakit Penyakit infeksi Prof.Dr.Sulianti

Saroso sebanyak (9,8%).


3

Berdasarkan data dari Tim Standar Pelayanan Mutu (SPM) Rumah Sakit di

Jawa Timur diketahui bahwa kejadian plebitis masih dijumpai di beberapa Rumah

Sakit. Dari hasil audit Tim SPMRS tahun 2014 tersebut diperoleh data bahwa

kejadian plebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Saiful Anwar Malang pada bulan

Januari 2014 sampai dengan Juni 2014 sebanyak 6,3 %, Sedangkan kasus plebitis di

RSUD Dr Soetomo Surabaya sebanyak 8,23% kasus. Lebih lanjut dijelaskan bahwa

yang paling dominan menimbulkan kejadian plebitis adalah pengetahuan sikap

perawat pada saat melaksanakan pemasangan infus tidak melaksanakan tindakan

sesuai dengan standar operasional prosedur. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor

diantaranya kurang baiknya pelaksanaan universal precaution serta pelaksanaan

prosedur yang belum adekuat (Kemenkes, 2014).

Hasil studi pendahuluan melalui observasi yang dilakukan peneliti dibantu

oleh petugas Infection Prevention and Control Nurse (IPCN) RSUD Blambangan

Banyuwangi bulan januari sampai dengan juni 2015 yang lakukan diruang NICU

RSUD Blambangan Banyuwangi sebagai berikut.

Tabel 1.1 Jumlah kejadian phlebitis diruang NICU RSUD Blambangan Banyuwangi
laporan bulanan Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi RS (PPIRS)
tahun 2015

Bulan Jumlah neonatus Jumlah kejadian Persentase ( % )


yang terpasang phlebitis
infus
Januari
59 3 5,08%
Februari
56 3 5,3%
Maret
34 1 2,9%
April 51 2 3,9%
4

Mei
38 3 7,8%
Juni
42 2 4,7%

Terapi infus memberikan banyak manfaat bagi sebagian besar pasien. Namun

akibat pengetahuan perawat tentang prosedur pemasangan yang kurang tepat, posisi

yang salah, serta kegagalan dalam menembus vena dapat menimbulkan komplikasi,

baik komplikassi lokal maupun sistemik. Komplikasi lokal terdiri dari phlebitis,

infiltrasi, dan ekstravasasi: sementara komplikasi sistemik antara lain emboli udara,

kelebihan cairan, reaksi alergi dan sepsis (Hafifah,2012)

Phlebitis merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien yang

mendapatkan terapi infus. Phlebitis adalah inflamasi lapisan vena yang disebabkan

faktor mekanik, kimia, maupun teknik aseptik yang kurang. Phlebitis

dikarakteristikan dengan adanya kemerahaan pada area tusukan nyeri, bengkak,

pengerasan atau indurasi, pengerasan sepanjang vena, dan panas. Phlebitis

disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab phlebitis yang paling sering adalah

ketidaksesuaian ukuran kateter dan pemilihan vena, jenis cairan (pH dan osmolaritas),

kurangnya teknik aseptik saat pemasangan, dan waktu kanulasi yang lama

(Alexander,et all.,2010).

Angka kejadian phlebitis merupakan salah satu indikator mutu asuhan

keperawatan yang diperoleh dari perbandingan jumlah kejadian phlebitis dengan

jumlah pasien yang mendapat terapi infus (Ditjen Bina Yanmed Depkes RI &
5

PERDALIN,2011). Sedangkan angka kejadian yang direkomendasikan oleh Infution

Nurses Society (INS) adalah 5% atau kurang. Dan jika ditemukan angka kejadian

plebitis lebih dari 5%, maka data harus dianalisis kembali terhadap derajat phlebitis

dan kemungkinan penyebabnya untuk menyusun pengembangan kinerja perawat.

Akibat yang ditimbulkan dari komplikasi phlebitis adalah meningkatkan lama rawat

di rumah sakit atau length of stay (LOS), menambah lama terapi, dan meningkatkan

tanggung jawab perawat, serta dapat menyebabkan pasien mendapat resiko masalah

kesehatan lain (Alexander, et all, 2010).

Keterlibatan perawat dalam pemberian terapi infus memiliki implikasi

tanggung jawab dalam mencegah terjadinya komplikasi phlebitis, oleh karena itu

perawat harus memiliki kompetensi klinik dari semua aspek terapi infus. Royal

College of Nursing (RCN) memberikan standar tentang teori dan praktek terapi infus

yang harus dikuasai oleh perawat meliputi aspek legal dan profesional terapi infus:

anatomi fisiologi akses vasculer: farmakologi cairan dan obat infus: prosedur

pemasangan infus: perawatan infus: pencegahan komplikasi: pengelolaan komplikasi

dan ketrampilan spesifik dalam menginersi alat akses vaskular pada pasien

khusus,misalnya untuk neonatus dan anak-anak. Dengan pengetahuan-pengetahuan

tersebut, maka perawat diharapkan mempunyai critical thinking dalam pengambilan

keputusan berkaitan dengan tindakannya. Contohnya sebelum perawat melakukan

prosedur infus, kemampuan pertama yang harus dimiliki oleh perawat adalah mampu

menentukan ukuran kanula dan lokasi vena yang akan di insersi berdasarkan terapi

yang akan diberikan. Pertimbangan yang mempengaruhi pilihan-pilihan tersebut


6

antara lain ditentukan oleh jenis larutan yang akan diberikan, lamanya terapi infus

yang diharapkan, dan keadaan umum pasien (Smeltzer & Bare,2010).

Selain pengetahuan tentang penatalaksanaan, yang paling penting yang harus

dimiliki oleh perawat adalah pengetahuan tentang keselamatan pasien (patien safety).

Pengetahuan ini berkaitan dengan bagaimana mencegah terjadinya kerugian bagi

pasien selama pengobatan dan perawatan. Salah satu tindakan patien safety dalam

penatalaksanaan terapi infus adalah melakukan tindakan pemasangan infus

berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang sudah di tetapkan.

Sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian tentang terapi infus dan

kejadian phlebitis khususnya pada neonatus, terutama terkait dengan pengetahuan

perawatnya tentang terapi infus. Melihat pentingnya perawat dalam mencegah

kejadian phlebitis, mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang hubungan

pengetahuan perawat tentang terapi infus (infus) dengan kejadian phlebitis pada

neonatus di ruang NICU RSUD Blambangan Banyuwangi. Penelitian ini merupakan

penelitian pertama sebagai dasar untuk melakukan penelitian-penelitian selanjutnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan diatas maka

peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Bagaimanakah hubungan

pengetahuan dan sikap perawat tentang terapi infus dengan kejadian phlebitis pada

neonatus di ruang NICU RSUD Blambangan Banyuwangi ?


7

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

pengetahuan dan sikap perawat tentang terapi infus dengan kejadian phlebitis pada

neonatus di ruang NICU RSUD Blambangan Banyuwangi tahun 2015.

1.3.2 Tujuan Khusus

Mengidentifikasi pengetahuan dan sikap perawat tentang terapi infus dengan

kejadian phlebitis pada neonatus diruang NICU RSUD Blambangan Banyuwangi

tahun 2015 meliputi :

1) Mengetahui tingkat pengetahuan perawat tentang terapi infus.

2) Mengetahui angka kejadian phlebitis pada neonatus.

3) Menganalisa hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang terapi infus dengan

kejadian phlebitis.

4) Menganalisa hubungan sikap perawat tentang penatalaksanaan terapi infus

dengan kejadian phlebitis.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang jumlah

kejadian phlebitis sehingga perawat yang bertugas dapat mengevaluasi tindakan

pemasangan infus yang telah digunakan.


8

1.4.2 Manfaat Praktis

1.4.2.1 Bagi Tempat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi atau masukan kepada

bidang pelayanan keperawatan tentang kinerja perawat terutama dalam

penatalaksanaan terapi infus sehingga dapat dijadikan masukan dalam

menyusun perencanaan untuk meningkatkan kinerja perawat terutama

meningkatkan pengetahuan perawat dalam hal penatalaksanaan terapi

infus sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan kaperawatan yang

menjadi salah satu penilaian akreditasi rumah sakit.

1.4.2.2 Bagi perawat

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang konsep atau teori

yang harus dimiliki oleh perawat dalam konteks pemberian terapi infus,

sehingga perawat dapat mengevaluasi dan meningkatkan pengetahuannya

tentang prosedur dan perawatan infus terutama dalam hal meminimalkan

terjadinya phlebitis.

1.4.2.3 Bagi peneliti yang akan datang

Disamping itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan bagi penelitian

selanjutnya yang berhubungan dengan pengetahuan perawat tentang

terapi infus dengan kejadian phlebitis pada neonatus.

Anda mungkin juga menyukai