Pengetahuan perawa tentang pemasangan dan perawatan infus menjadi
faktor yang penting dalam pemberian asupan cairan dan elektrolit melalui vena. Kurangnya pengetahuan perawat tentang prinsip dan prosedur pemasangan infus akan menimbulkan ketidakpatuhan dalam pelaksanaan tindakan sesuai prosedur sehingga meningkatkan resiko kesalahan yang mengakibatkan komplikasi dan ketidaknyamanan, oleh karenanya perawat diharuskan memiliki pengetahuan dan kompetensi klinis yang tinggi sehingga pemberian terapi infus akan lebih terjamin.
Pemasangan infus merupakan prosedur invasif dan merupakan tindakan
yang sering dilakukan di rumah sakit. Namun, hal ini risiko tinggi terjadinya infeksi nosokomial atau disebut juga Hospital Acquired Infection (HAI) yang akan menambah tingginya biaya perawatan dan waktu perawatan. Tindakan pemasangan infus akan berkualitas apabila dalam pelaksanaannya selalu mengacu pada standar yang telah ditetapkan. Pemasangan infus digunakan untuk mengobati berbagai kondisi penderita disemua lingkungan perawatan di rumah sakit dan merupakan salah satu terapi utama. Sebanyak 70% pasien yang dilakukan rawat inap endapatkan terapicairan infus.
Menurut WHO (2016) prevalensi infeksi nasokomial Rumah Sakit di
dunia lebih dari 1,4 juta atau sedikitnya 9% pasien rawat inap di seluruh dunia mendapatkan infeksi nasokomial. Sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan adanya infeksi nosokomial dan di Asia Tenggara sebanyak 10,0%. Sedangkan di Indonesia, sebanyak 9,8 % pasien dirawat inap mendapat infeksi baru selama dirawat.
Hasil penelitian di Ciputra Hospital Citraraya Tangerang, dilaporkan angka
kejadian infeksi nasokomial selama rawat inap sebesar 1,6%. Angka ini masih di atas angka yang diisyaratkan oleh Kepmenkes No.129/Menkes/SK/II/2008 tentang standar pelayanan minimal Rumah Sakit yaitu sebesar < 1,5% (Ningsih dkk, 2016). Infeksi selama rawat inap di rumah sakit berkaitan dengan berbagai prosedur tindakan invasif. Salah satu tindakan invasif yang paling sering dilakukan di rumah sakit ialah pemasangan infus
Tujuan dilakukannya intervensi pemasangan infus adalah untuk
mengatasi keadaan dehidrasi, pemberian makanan, atau jalan untuk memasukkan obat-obatan (Dougherty, 2011). Apabila pemberian cairan IV dibutuhkan dan diprogramkan oleh dokter, perawat harus mengidentifikasi larutan yang benar, peralatan, dan prosedur yang dibutuhkan untuk memulai, mengatur, dan mempertahankan system.
Sebagai perwujudan sikap profesional dari asuhan keperawatan,
Kementrian Kesehatan RI telah memberlakukan adanya Standar Operasionl Prosedur (SOP) pemasangan infus yang meliputi SOP Pelayanan, dan SOP Administras di semua Instansi kesehatan milik pemerintah, agar pelayanan kesehatan dapat dilakukan sesuai dengan SOP. Hal ini dilakukan agar pelayanan keperawatan yang diberikan dalam bentuk penampilan kerja perawat harus didasari oleh kemampuan yang tinggi sesuai dengan standar asuhan keperawatan sehingga dapat terjamin kualitasnya.
Perawat merupakan tenaga kesehatan yang harus profesional serta
mempunyai kemampuan, tanggung jawab dan kewenangan melaksanakan pelayanan asuhan keparawatan. Perawat juga melakukan tindakan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti terjadinya infeksi. Berbagai intervensi atau tindakan yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial pada pasien yang akan atau sudah terpasang infus merupakan suatu bentuk dari perilaku. Perilaku itu sendiri dipengaruhi faktor predisposing yaitu meliputi pengetahuan, sikap, tradisi, dan nilai. Apabila perilaku didasari oleh pengetahuan, kesadaran serta sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng.. Perawat profesional yang bertugas dalam memberikan pelayanan kesehatan tidak terlepas dari kepatuhan perilaku perawat dalam setiap tindakan prosedural yang bersifat invasif seperti halnya pemasangan infus. Pemasangan infus dilakukan oleh setiap perawat, semua perawat dituntut memiliki kemampuan dan keterampilan mengenai pemasangan infus yang sesuai standar operasional prosedur (SOP).
Kepatuhan merupakan bagian dari perilaku individu yang bersangkutan
untuk mentaati atau mematuhi sesuatu, sehingga kepatuhan perawat dalam melaksanakan SOP pemasangan infus tergantung dari perilaku perawat itu sendiri. Perilaku kepatuhan dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan dapat dikategorikan menjadi faktor intrernal yaitu karakterisitk perawat itu sendiri (umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, status perkawinan, kepribadian, sikap, kemampuan, persepsi dan motivasi) dan faktor eksternal (karakteristik organisasi, karakteristik kelompok, karakteristik pekerjaan, dan karakteristik lingkungan)
Penelitian yang dilakukan oleh Pasaribu (2010), yang melakukan analisa
pelaksanaan pemasangan infus di ruang rawat inap Rumah Sakit Haji Medan menunjukan bahwa pelaksanaan pemasangan infus yang sesuai Standar Operasional Prosedur katagori baik 27 %, sedang 40 % dan buruk 33 %. Sementara hasil penelitian yang dilakukan Ratnawati (2010), alasan perawat tidak melakukan pemasangan infus karena pengetahuan. Dari hasil penelitian terhadap 103 responden sebanyak 47 orang (45,6%) melakukan tindakan yang sesuai prosedur. Sebanyak 53,4% responden memiliki tingkat pengetahuan tentang patient safety yang kurang baik.
Berdasarkan uraian dan fenomena diatas, maka penulis merasa bahwa
perawat di Ciputra Hospital Citraraya Tangerang belum melaksanankan prosedur pemesangan infus dengan benar sehingga dirasa penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan tingkat pengetahuan perawat dalam kepatuhan melaksanakan SPO pemasangan infus di Rumah Sakit Ciputra Hospital Citraraya Tangerang.