Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengetahuan perawa tentang pemasangan dan perawatan infus menjadi


faktor yang penting dalam pemberian asupan cairan dan elektrolit melalui
vena. Kurangnya pengetahuan perawat tentang prinsip dan prosedur
pemasangan infus akan menimbulkan ketidakpatuhan dalam pelaksanaan
tindakan sesuai prosedur sehingga meningkatkan resiko kesalahan yang
mengakibatkan komplikasi dan ketidaknyamanan, oleh karenanya perawat
diharuskan memiliki pengetahuan dan kompetensi klinis yang tinggi sehingga
pemberian terapi infus akan lebih terjamin.

Pemasangan infus merupakan prosedur invasif dan merupakan tindakan


yang sering dilakukan di rumah sakit. Namun, hal ini risiko tinggi terjadinya
infeksi nosokomial atau disebut juga Hospital Acquired Infection (HAI) yang
akan menambah tingginya biaya perawatan dan waktu perawatan. Tindakan
pemasangan infus akan berkualitas apabila dalam pelaksanaannya selalu
mengacu pada standar yang telah ditetapkan. Pemasangan infus digunakan
untuk mengobati berbagai kondisi penderita disemua lingkungan perawatan
di rumah sakit dan merupakan salah satu terapi utama. Sebanyak 70% pasien
yang dilakukan rawat inap endapatkan terapicairan infus.

Menurut WHO (2016) prevalensi infeksi nasokomial Rumah Sakit di


dunia lebih dari 1,4 juta atau sedikitnya 9% pasien rawat inap di seluruh
dunia mendapatkan infeksi nasokomial. Sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari
14 negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik
tetap menunjukkan adanya infeksi nosokomial dan di Asia Tenggara sebanyak
10,0%. Sedangkan di Indonesia, sebanyak 9,8 % pasien dirawat inap
mendapat infeksi baru selama dirawat.

Hasil penelitian di Ciputra Hospital Citraraya Tangerang, dilaporkan angka


kejadian infeksi nasokomial selama rawat inap sebesar 1,6%. Angka ini masih
di atas angka yang diisyaratkan oleh Kepmenkes No.129/Menkes/SK/II/2008
tentang standar pelayanan minimal Rumah Sakit yaitu sebesar < 1,5%
(Ningsih dkk, 2016). Infeksi selama rawat inap di rumah sakit berkaitan
dengan berbagai prosedur tindakan invasif. Salah satu tindakan invasif yang
paling sering dilakukan di rumah sakit ialah pemasangan infus

Tujuan dilakukannya intervensi pemasangan infus adalah untuk


mengatasi keadaan dehidrasi, pemberian makanan, atau jalan untuk
memasukkan obat-obatan (Dougherty, 2011). Apabila pemberian cairan IV
dibutuhkan dan diprogramkan oleh dokter, perawat harus mengidentifikasi
larutan yang benar, peralatan, dan prosedur yang dibutuhkan untuk memulai,
mengatur, dan mempertahankan system.

Sebagai perwujudan sikap profesional dari asuhan keperawatan,


Kementrian Kesehatan RI telah memberlakukan adanya Standar Operasionl
Prosedur (SOP) pemasangan infus yang meliputi SOP Pelayanan, dan SOP
Administras di semua Instansi kesehatan milik pemerintah, agar pelayanan
kesehatan dapat dilakukan sesuai dengan SOP. Hal ini dilakukan agar
pelayanan keperawatan yang diberikan dalam bentuk penampilan kerja
perawat harus didasari oleh kemampuan yang tinggi sesuai dengan standar
asuhan keperawatan sehingga dapat terjamin kualitasnya.

Perawat merupakan tenaga kesehatan yang harus profesional serta


mempunyai kemampuan, tanggung jawab dan kewenangan melaksanakan
pelayanan asuhan keparawatan. Perawat juga melakukan tindakan sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang
tidak diinginkan seperti terjadinya infeksi. Berbagai intervensi atau tindakan
yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial pada
pasien yang akan atau sudah terpasang infus merupakan suatu bentuk dari
perilaku. Perilaku itu sendiri dipengaruhi faktor predisposing yaitu meliputi
pengetahuan, sikap, tradisi, dan nilai. Apabila perilaku didasari oleh
pengetahuan, kesadaran serta sikap yang positif maka perilaku tersebut akan
bersifat langgeng..
Perawat profesional yang bertugas dalam memberikan pelayanan kesehatan
tidak terlepas dari kepatuhan perilaku perawat dalam setiap tindakan
prosedural yang bersifat invasif seperti halnya pemasangan infus.
Pemasangan infus dilakukan oleh setiap perawat, semua perawat dituntut
memiliki kemampuan dan keterampilan mengenai pemasangan infus yang
sesuai standar operasional prosedur (SOP).

Kepatuhan merupakan bagian dari perilaku individu yang bersangkutan


untuk mentaati atau mematuhi sesuatu, sehingga kepatuhan perawat dalam
melaksanakan SOP pemasangan infus tergantung dari perilaku perawat itu
sendiri. Perilaku kepatuhan dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor
yang mempengaruhi kepatuhan dapat dikategorikan menjadi faktor intrernal
yaitu karakterisitk perawat itu sendiri (umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, status perkawinan, kepribadian, sikap, kemampuan, persepsi dan
motivasi) dan faktor eksternal (karakteristik organisasi, karakteristik
kelompok, karakteristik pekerjaan, dan karakteristik lingkungan)

Penelitian yang dilakukan oleh Pasaribu (2010), yang melakukan analisa


pelaksanaan pemasangan infus di ruang rawat inap Rumah Sakit Haji Medan
menunjukan bahwa pelaksanaan pemasangan infus yang sesuai Standar
Operasional Prosedur katagori baik 27 %, sedang 40 % dan buruk 33 %.
Sementara hasil penelitian yang dilakukan Ratnawati (2010), alasan perawat
tidak melakukan pemasangan infus karena pengetahuan. Dari hasil penelitian
terhadap 103 responden sebanyak 47 orang (45,6%) melakukan tindakan
yang sesuai prosedur. Sebanyak 53,4% responden memiliki tingkat
pengetahuan tentang patient safety yang kurang baik.

Berdasarkan uraian dan fenomena diatas, maka penulis merasa bahwa


perawat di Ciputra Hospital Citraraya Tangerang belum melaksanankan
prosedur pemesangan infus dengan benar sehingga dirasa penulis tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai hubungan tingkat pengetahuan perawat
dalam kepatuhan melaksanakan SPO pemasangan infus di Rumah Sakit
Ciputra Hospital Citraraya Tangerang.

Anda mungkin juga menyukai