TAHUN 2016
BAB I
PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan diarahkan kepada peningkatan mutu sumber daya manusia dan
lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, yang memberikan
prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan
rehabilitasi.Sasaran pembangunan kesehatan adalah peningkatan jumlah dan mutu tenaga
kesehatan agar mampu mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi yang terus berkembang.
Salah satu upaya pembangunan kesehatan adalah peningkatan mutu, cakupan dan efisiensi
melalui perilaku penerapan dan penyempurnaan standar pelayanan, standar tenaga, standar
peralatan, standar profesi dan peningkatan manajemen rumah sakit .
Infeksi nosokomial masih menjadi masalah utama dunia. Kejadian infeksi ini menyebabkan
length of stay (LOS),mortalitas dan health care cost meningkat.Transmisinya sendiri melalui
3 cara, yaitu: flora transien dan residen dari kulit pasien itu sendiri, flora dari petugas
kesehatan ke pasien, dan flora dari lingkungan rumah sakit. Petugas kesehatan mempunyai
peran besar dalam rantai transmisi infeksi ini. Cuci tangan menjadi salah satu langkah yang
efektif untuk memutuskan rantai transmisi infeksi, sehingga insidensi infeksi nosokomial
dapat berkurang.
Phlebitis merupakan infeksi nosokomial yaitu infeksi oleh mikroorganisme yang dialami oleh
pasien yang diperoleh selama dirawat dirumah sakit diikuti dengan manifestasi klinis yang
muncul sekurang-kurangnya 3x24 jam,dan kejadian phlebitis menjadi indikator mutu
pelayanan minimal rumah sakit dengan standar kejadian ≤1,5% (Depkes RI, 2008)4.Phlebitis
didefinisikan sebagai peradangan pada dinding pembuluh darah balik
atau vena,Darmadi ( 2008).
Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit sangat penting dilakukan
karena kejadian infeksi nosokomial menggambarkan mutu pelayanan rumah sakit. Untuk
meminimalkan risiko terjadinya infeksi dirumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya perlu diterapkan pencegahan dan pengendalian infeksi ,kegiatannya meliputi
perencanaan,pelaksanaan, pembinaan , pendidikan dan pelatihan monitoring dan evaluasi
(Depkes RI 2008 )
Salah satu tolok ukur dalam indikator mutu layanan rumah sakit adalah peningkaan angka
phlebitis yang dapat memberikan gambaran secara umum tentang baik maupun kurangnya
mutu layanan rumah sakit, dimana kejadian infeksi tersebut diakibatkan pemasangan infus
intravena. Keberhasilan pengendalian infeksi nosokomial baik itu pada tindakan pemasangan
infus maupun tindakan invasif lainnya bukanlah ditentukan oleh canggihnya peralatan yang
mempunyai pengetahuan ada, tetapi ditentukan oleh keterampilan dan sikap perawat dalam
melaksanakan perawatan klien secara benar. Pengetahuan merupakan salah asatu aspek
penting yang harus dimiliki oleh seoarngan perawat karena dapat mempengaruhi
keterampilan tertentu .Seperti yang ditegaskan oleh RCN (2005) mengatakan bahwa seorang
perawat yang akan melakukan pemasangan atau pemberian terapi infus harus memiliki dasar
pengetahuan mengenai tindakan pemasangan infus itu sendiri.
Infus intravena adalah salah satu metode umum pemberian cairan, nutrisi, dan pengobatan
untuk pasien serta intravena solution merupakan satu-satunya sumber makanan dan cairan
untuk banyak pasien akut (Kozier & Erb, 1982). Pemberian terapi intravena saat ini
merupakan yang paling banyak digunakan untuk mengatasi berbagai kondisi pasien. Data
statistik menunjukkan terapi ini belum jelas, tetapi diperkirakan sekitar 80% pasien akan
diberikan terapi intravena ini. (Wilkinson, 1996 dikutip oleh Workman, 1999) sedangkan
menurut tim Bapelkes Cilandak (2000) setiap tahunnya 50% pasien yang dirawat di rumah
sakit akan mendapat terapi intravena.
Hospital Acquired Infections (HAIs) yang biasanya sering terjadi pada pemasangan infus
adalah infeksi flebitis, Menurut Pearson (1998) resiko terjadinya flebitis dikarenakan lokasi
kateter infus dengan kejadian cairan lipid secara terus menerus dan lamanya pasien dirumah
sakit. Kontaminasi infus dapat juga terjadi selama pemasangan infus sebagai akibat dari cara
kerja yang tidak sesuai prosedur serta pemakaian yang terlalu lama (Murder, 2001). Angka
kejadian infeksi melalui jarum infus di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta
dilaporkan terdapat 53,8% (Widiyanto, 2002). Kejadian flebitis di RSUP Sardjito Jogjakarta
mencapai 27,19% (Baticola, 2002).
Komplikasi dari pemberian terapi intravena bisa bersifat sistemik dan lokal. Komplikasi
sistemik lebih jarang terjadi, tetapi seringkali lebih serius dibanding komplikasi lokal, seperti
septikemia, reaksi alergi, overload sirkulasi dan emboli udara. Komplikasi lokal selain
phlebitis antara lain infiltrasi, trombophlebitis, hematom, iritasi vena, trombosis, occlusion,
spasme vena, reaksi vasovagal, dan kerusakan saraf, tendon, ligamen (Potter dan Perry,
2005). Kejadian phlebitis menurut distribusi penyakit sistemik sirkulasi darah berjumlah
sangat banyak yakni 744 orang (Depkes, 2008).
Pencegahan dan pengendalian HAIs di rumah sakit sangat penting dilakukan karena kejadian
infeksi nosokomial menggambarkan mutu pelayanan rumah sakit. Untuk meminimalkan
risiko terjadinya infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya perlu
diterapkan pencegahan dan pengendalian infeksi .
Dari uraian latar belakang mengenai pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah
sakit,dengan kejadian plebitis,dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1. Masih cukup tingginya angka kejadian phlebitis yang terjadi di rumah sakit baik dari
hasil survey yang dilakukan perdalin,hasil penelitian beberapa rumah sakit di DKI
Jakarta, maupun di Indonesia.
2. Kesadaran petugas kesehatan untuk melakukan universal precaution masih kurang
misalnya kesadaran dari petugas kesehatan dalam melakukan cuci tangan yang dapat
menyebabkan terjadinya perpindahan microorganisme dari manusia ke manusia atau
benda lain .
3. Kurang optimalnya kepatuhan dalam pelaksanaan SOP Pencegahan dan
pegendalian Infeksi di Rumah sakit, demikian juga kepatuhan terhadap prosedur
Pelayanan Asuhan Keperawatan.
Nama Alat Audit/Nama File/ Formulir Alat Audit Formulir Pengumpulan Data mu
Angka kejadian phlebitis pada periode November 2016-Januari 2017 masih berada
dibawah standar namun terjadi peningkatan cukup tinggi pada bulan Januari 2017.
Sehingga tim PPI melakukan suatu analisis terhadap kejadian dan ditemukan
penyebab sebagai berikut:
Dari beberapa penyebab yang sudah dianalisis maka perlu dilakukan rencana tindak
lanjut antara lain:
Menurut Irawan (2007), kepuasan pasien (pelanggan) adalah tingkat keadaan yang
dirasakan seseorang yang merupakan hasil dari membandingkan penampilan
atau outcome produk yang dirasakan dalam hubungannya dengan harapan
seseorang. Dengan demikian tingkat kepuasan adalah suatu fungsi dari perbedaan
antara penampilan yang dirasakan dengan harapan. Pasien puas setelah menerima
pelayanan yang sesuai dengan harapannya, pasien memutuskan memberikan suatu
penilaian terhadap jasa dan bertindak atas dasar puas.
Judul Indikator Tingkat kepuasan pasien dan keluarga di unit rawat inap
– Meningkatkan mutu kualitas pelayanan rawat inap
Tujuan Peningkatan Mutu – Meningkatkan keselamatan pasien.
Rata-rata pencapaian kepuasan pasien sudah berada diatas standar. Sebagian besar
ketidak puasan pasien berkisar pada fasilitas rawat inap. Setiap permasalahan
tentang keluhan pasien ditangani pertama kali oleh kepala tim jaga di unit rawat inap
sehingga keluhan dapat segera teratasi. Saat ini sudah tersedia layanan handling
complain yang ditangani langsung oleh bagian humas rumah sakit. Setiap keluhan
yang ada akan dibahas setiap rapat rutin unit rawat inap dan hasilnya disampaikan
kepada manajemen rumah sakit.