Anda di halaman 1dari 7

Lampiran

Tanya Jawab E-learning

1. Tanya:
Nama: Maria Fatima Koa
Soal:
Pada penelitian di RS pendidikan Nepal ditemukan bahwa 3 penyebab HAIS
terbesar adalah VAP, CLABSI, dan CAUTI. Tindakan apa yang harus
dilakukan perawat dalam hubungannya dengan peran perawat meningkatkan mutu ,
dimana indikator mutu salah satunya adalah angka infeksi nosokomial?
Jawab:
Peran perawat ICU dalam mencegah infeksi nosokomial,yaitu dangan
cara,mencuci tangan dengan memeperhatikan 5 moment,dan pada upaya pencegahan dan
pengenadlian infeksi,tentu perlu adanya rencana terintegrasi,program(program
penggunaan sarung tangan,dalam tindakan aseptik,membatasi transmisi
organisme,sterilisasi dan disinfeksi,dan monitoring.
Program pengendalian infeksi ini dapat dikelompokan dalam tiga kelompok yaitu
tindakan operasional, tindakan organisasi, dan tindakan struktural. Tindakan operasional
mencakup kewaspadaan standar dan kewaspadaan berdasarkan penularan/transmisi.
Kewaspadaan Standar Komponen utama standar pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial dalam tindakan operasional mencakup kegiatan sebagai berikut:
1. Mencuci tangan
2. Menggunakan alat pelindung diri/APD seperti: sarung tangan, masker, pelindung
wajah, kacamata dan apron pelindung
3. Praktik keselamatan kerja
Praktik keselamatan kerja berhubungan dengan pemakaian instrumen tajam
seperti jarum suntik. Hal ini meliputi: hindari menutup kembali jarum suntik yang
telah digunakan. Bila terpaksa dilakukan, maka gunakan teknik satu tangan untuk
menutup jarum, hindari melepas jarum yang telah digunakan dari spuit sekali
pakai, hindari membengkokkan, menghancurkan atau memanipulasi jarum suntik
dengan tangan serta masukkan instrumen tajam ke dalam wadah yang tahan
tusukkan dan tahan ai
4. Perawatan pasien
Perawatan pasien yang sering dilakukan meliputi tindakan: pemakaian kateter
urin, pemakaian alat intravaskular, transfusi darah, pemasangan selang
nasogastrik, pemakaian ventilator dan perawatan luka bekas operasi.
5. Penggunaan antiseptik, penanganan peralatan dalam perawatan pasien dan
kebersihan lingkungan.
Sumber:
Salaswati, R. 2012. Pengendalian Infeksi Nosokomial Di Ruang Intensive Care Unit
Rumah Sakit. (online). Jurnal kedokteran syiah kuala Volume 12 Nomor
referensi,Aranna Carolina,2009 assesment and Comparsion of Behavior Risk faktor
surveillence system.

2. Tanya:
Nama: Hasanudin
Jika dalam ICU rumah sakit pada awalnya memiliki mutu pelayanan yang baik
dan berkualitas, kemudian terjadi suatu insiden yang menyebabkan mutu ICU rumah
sakit menjadi turun dan anjlok dimata masyarakat,, dan insiden tersebut menyebar di
media sosial, media massa bahkan di televisi, bagaimana cara kita agar bisa
meningkatkan mutu rumah sakit tempat kita bekerja tersebut, karena kita tau bahwa
media sosial kini menjadi justice bagi para netizen tanpa melihat latar belakang terjadinya
permasalahan tersebut?
Jawab:
Pertama kali yang harus di lakukan adalah mengevaluasi kasus tersebut. Dimana
letak kesalahan yang harus di perbaiki. Misalkan yang salah terletak pada komunikasi
sebelum tindakan yang kurang efektif. Maka yang perlu di perbaiki adalah
komunikasinya.
Selain itu, kita perlu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap rumah
sakit. Misalkan dengan meningkatkan kualitas pelayanan. Baik dari sarpras, managemen
maupun petugas kesehatan.
Tentunya. Mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit yang
memiliki kasus tidaklah mudah dan butuh waktu yang lama. Oleh karena itu diperlukan
komitmen pada setiap petugas rumah sakit untuk meningkatkan kualitas pelayanan agar
kepercayaan masyarakat akan rumah sakit tersebut kembali seperti sedia kala.
Pihak manajemen rumah sakit bisa memberikan penjelasan atau konfirmasi
perihal masalah yang sebenarnya sedang terjadi kepada masyarakat melalui media massa
agar tidak terjadi kesalahpaham.
dan untuk meningkatkan kembali mutu, pihak RS hendaknya memberikan pelayanan
penuh kepada konsumen atau pasien sehingga kepuasaan bisa dirasaikan oleh konsumen
atau pasien dalam berbagai hal.

3. Tanya:
Nama: Gaharuni Sahika
Apakah semua persyaratan ruangan ICU harus terpenuhi agar dianggap layak
untuk menjadi ruangan ICU? Atau adakah syarat yang wajib dan syarat tambahan(tidak
harus ada) didalam ruangan ICU mengingat setiap rumah sakit memiliki hambatan/
keterbatasan masing-masing dalam segala hal. Bagaimana jika salah satu fasiiltas tidak
terpenuhi contohnya jauh dari ruang operasi, apakah ICU tersebut tetap layak digunakan?
Jawab:
Menurut Achsanuddin (2007), tingkat pelayanan ICU harus disesuaikan dengan
kelas rumah sakit. Pelayanan ICU harus memiliki kemampuan minimal sebagai berikut:
1. Resusitasi jantung paru
2. Pengelolaan jalan napas, termasuk intubasi trakeal dan penggunaan ventilator
sederhana
3. Terapi oksigen
4. Pemantauan EKG, pulse oksimetri yang terus menerus
5. Pemberian nutrisi enteral dan parenteral
6. Pemeriksaan laboratorium khusus dengan dengan cepat dan menyeluruh
7. Pelaksanaan terapi secara titrasi 8. Kemampuan melaksanakan teknik khusus sesuai
dengan kondisi pasien
8. Memberikan tunjangan fungsi vital dengan ala-talat portabel selama transportasi
pasien gawat
9. Kemampuan melakukan fisioterapi dada.
Sumber : Achsanuddin, Hanafie. (2007). Peranan Ruangan Perawatan Intensif (ICU)
dalam Memberikan Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit. Universitas
Sumatera Utara. Medan.
4. Tanya
Nama: Naomy Taulasik
Bagaimana cara mensterikan ruang ICU yang sebenarnya? Karena saya pernah
mendengar bahwa tekhnik UV yg selama ini di pakai, tidak dianjurkan lagi. Apaka benar
demikian?
Jawab:
Dari sumber yang saya baca sterisasi menggunakan sinar UV tetap digunakan.
Dan masih menjadi pilihan yang efektif untuk mencegah infeksi nosokomial.
Sumber: kemenkes., RI. 2012. Pedoman Teknis Bangunan Rumah sakit Sterilisasi
Sentral. Jakarta: Kemenkes RI.

5. Tanya
Nama: Nurul
Kualifikasi tenaga kesehatan yang bekerja di ICU yang pertama adalah sehat. Bagaimana
jika salah satu perawat ada yang terinfeksi HIV. Anda sebagai perawat bagaimana
menyikapi kasus tsb?
Jawab:
Kualifikasi tenaga kesehatan yang utama yaitu sehat. Penentuan sehat yang
dimksd disni adalah sehat yang didapatkan dari hasil tes kesehatan saat pertama masuk
pada suatu rumah sakit. Apabila yang dimaksud mba nurul perawat yang terkena HIV ini
, sudah mngidap HIV seblem tes kesehtan masuk rumah sakit, pasti tidak akan lulus tes
kesehatan. Namun apabila penyakit HIV yang dialami perawat ini didapat pada saat kerja
di rumah sakit, keputusannya itu kembali kepada pihak manajemen rumah sakit
Pada perawat yang tertular HIV biasanya akan dilakukan tes diagnostik awal
dengan pemeriksaan laboratorium. Jenis pemeriksaan laboratorium HIV dapat berupa:
1. Tes serologi
Tes serologi terdiri atas:
a. Tes cepat
Tes cepat dengan reagen yang sudah dievaluasi oleh institusi yang ditunjuk Kementerian
Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi terhadap HIV-1 maupun HIV-2. Tes cepat
dapat dijalankan pada jumlah sampel yang lebih sedikit dan waktu tunggu untuk
mengetahui hasil kurang dari 20 menit bergantung pada jenis tesnya dan dilakukan oleh
tenaga medis yang terlatih.
b. Tes Enzyme Immunoassay (EIA)
Tes ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2. Reaksi antigen-antibodi dapat
dideteksi dengan perubahan warna.
c. Tes Western Blot
Tes ini merupakan tes antibodi untuk konfirmasi pada kasus yang sulit.
Apabila perawat positif dinyatakan HIV maka, perawat harus melakukan pengobatan
sesuai dengan tatalaksana pengobatan penyakit HIV antara lain yaitu pemberian
pengobatan antiretroviral serta diberikan konseling. Untuk status kepegawaian perawat
yang tertular HIV tergantung pada pihak manajemen rumah sakit. Namun ada beberapa
rumah sakit yang tetap memperkerjakan perawat yang tertular HIV akibat dari kelalaian
atau faktor ketidaksengajaan saat melakukan tindakan invasive seperti tertusuk jarum,
atau terkena cairan pasien dsb, karena merupakan tanggung jawab rumah sakit. Namun
dengan syarat perawat tersebut harus melakukan pengobatan dan berupaya agar tidak
menularkan ke pasien lainnya. Selama perawat tersebut tidak mengundurkan diri perawat
tersebut akan dipantau/dimonitor setiap perkembangan kondisinya.
Sumber : Menteri RI. 2014. Peraturan Kemenkes RI No.87 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pengobatan Antiretroviral. Jakarta: Kemenkes RI

6. Tanya
Nama: Novy Loduo
bagaimana mungkin standar akreditasi bisa meningkat jika SDM masih kurang ? Dan
bagaimana pula cara memberdayakan SDM yang ada sesuai dengan standar akreditasi
dan peraturan yang berlaku?
Jawab:
Akreditasi rumah sakit adalah pengakuan resmi dari pemerintah kepada rumah
sakit yang telah memenuhi standar pelayanan kesehatan dan wajib dilakukan oleh semua
rumah sakit di Indonesia. Akreditasi rumah sakit diperlukan sebagai cara efektif untuk
mengevaluasi mutu suatu rumah sakit dengan penetapan standar-standar mutu pelayanan.
Tujuan akreditasi rumah sakit yaitu salah satunya untuk meningkatkan mutu sumber daya
manusia rumah sakit. Secara otomatis standart akreditasi tidak akan bisa meningkat
apabila sumber daya manusia belum memenuhi.
Berbicara peningkatan mutu di rumah sakit yang berhubungan dengan SDM tentu
saja terkait dengan pengembangan kompetensi. Kompetensi pada umumnya dapat
dipahami sebagai kombinasi antara pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), dan
sikap/perilaku (attitude) seorang karyawan sehingga mampu melaksanakan pekerjaannya.
Beberapa ahli menyatakan bahwa pengetahuan dan ketrampilan merupakan hard
competency sedangkan sikap dan perilaku sebagai soft competency. Pengembangan
kompetensi SDM ini tidak terbentuk dengan otomatis. Kompetensi harus dikembangkan
secara terencana sesuai dengan pengembangan usaha agar menjadi kekuatan untuk
mendukung pencapaian tujuan organisasi. Di rumah sakit diperlukan karyawan yang
selalu meningkatkan kompetensinya karena tehnologi, ilmu pengetahuan tentang
pelayanan kesehatan berkembang sangat pesat dari waktu ke waktu. Adanya peralatan
baru, metode perawatan yang berubah merupakan contoh betapa perlunya pengembangan
kompetensi. Kegiatan pengembangan kompetensi ini antara lain pendidikan dan
pelatihan, pemagangan di rumah sakit lain, rotasi, mutasi.
Pada pengetahuan dan ketrampilan yang di kategorikan sebagai hard competency,
dimana pengetahuan merupakan output dari pendidikan formal yang diperoleh. Dan
ketrampilan adalah wujud dari perjalanan pengalaman seseorang dan seringnya
melakukan ketrampilan tersebut. Untuk meningkatkan ketrampilan dapat dilakukan
dengan pelatihan. Di mana pelatihan merupakan usaha untuk memperbaiki performansi
pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggung jawabnya, atau satu
pekerjaan yang ada kaitannya dengan pekerjaannya. Hard competency, baik pengetahuan
dan ketrampilan biasanya lebih mudah untuk dikembangkan dan tidak memerlukan biaya
pelatihan yang besar untuk menguasainya dan rumah sakit manapun bisa melakukannya.
Untuk pengembangan Soft competency, yang terdiri dari sikap/perilaku yang
merupakan refleksi dari konsep nilai yang diyakini, karakteristik pribadi dan motivasi
karyawan. Konsep nilai bahwa bekerja adalah ibadah, menolong orang lain adalah
kewajiban, bersikap baik dan tersenyum pada semua orang adalah sebuah keharusan akan
menumbuhkan kinerja yang baik pada karyawan. Motivasi untuk selalu semangat
bekerja, belajar meningkatkan kompetensi diri adalah sesuatu yang mahal yang tidak
dipunyai oleh semua orang. Soft competency ini bersifat tersembunyi dan butuh waktu
yang panjang untuk mengembangkannya.
Apabila rumah sakit dapat mengembangkan soft competency dengan
menumbuhkan sikap dan perilaku positif pada semua karyawannya, akan menciptakan
lingkungan kondusif dan memacu motivasi pada semua karyawannya untuk berkembang
dan maju, dan akan berdampak juga pada kunjungan pasien yang meningkat dan di sertai
dengan rasa puas dan nyaman yang dirasakan oleh pasien. Hal ini merupakan suatu
layanan unggulan yang bisa bersaing dengan rumah sakit lain, serta visi Indonesia 2025
dapat terwujud.
Sumber: Agustiana, Arista, 2009, Pengembangan Kualitas Sumber Daya Manusia Pada
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta, diakses 13 Maret 2018

Anda mungkin juga menyukai