Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengendalian infeksi di rumah sakit merupakan serangkaian aktifitas kegiatan yang
wajib dilakukan oleh team/depertemen instalasi pencegahan dan pengendalian (PPI) infeksi
rumah sakit yang merupakan tuntutan kualitas sekaligus persyaratan administrasi rumah sakit
dalam menuju akreditasi. Pengendalian infeksi dalam industrialisasi rumah sakit bertujuan
untuk melindungi masyarakat dari resiko bahaya penularan wabah, baik yang datang
ditularkan dari pasien ke pasien, dari tenaga rumah sakit ke pasien, lingkungan rumah sakit ke
pasien/pengunjung, tentunya ini sangat mempunyai peran penting terhadap citra dan nama
besar rumah sakit.
”Health-care Associated Infections (HAIs)” merupakan komplikasi yang paling sering
terjadi di pelayanan kesehatan. HAIs selama ini dikenal sebagai Infeksi Nosokomial atau
disebut juga sebagai Infeksi di rumah sakit ”Hospital-Acquired Infections” merupakan
persoalan serius karena dapat menjadi penyebab langsung maupun tidak langsung kematian
pasien. Kalaupun tak berakibat kematian, pasien dirawat lebih lama sehingga pasien harus
membayar biaya rumah sakit yang lebih banyak.
HAIs adalah penyakit infeksi yang pertama muncul (penyakit infeksi yang tidak berasal
dari pasien itu sendiri) dalam waktu antara 48 jam dan empat hari setelah pasien masuk
rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya, atau dalam waktu 30 hari setelah
pasien keluar dari rumah sakit. Dalam hal ini termasuk infeksi yang didapat dari rumah sakit
tetapi muncul setelah pulang dan infeksi akibat kerja terhadap pekerja di fasilitas pelayanan
kesehatan.
Angka kejadian terus meningkat mencapai sekitar 9% (variasi3-21%) atau lebih dari 1,4
juta pasien rawat inap di rumah sakit seluruh dunia.Kondisi ini menunjukkan penurunan mutu
pelayanan kesehatan. Tak dipungkiri lagi untuk masa yang akan datang dapat timbul tuntutan
hukum bagi sarana pelayanan kesehatan, sehingga kejadian infeksi di pelayanan kesehatan
harus menjadi perhatian bagi Rumah Sakit.

1
Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien merupakan kelompok
yang berisiko mendapat HAIs. Infeksi ini dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada
petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga maupun dari
petugas kepada pasien. Dengan demikian akan menyebabkan peningkatan angka morbiditas,
mortalitas, peningkatan lama hari rawat dan peningkatan biaya rumah sakit.
Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) sangat Penting untuk melindungi
pasien, petugas juga pengunjung dan keluarga dari resiko tertularnya infeksi karena dirawat,
bertugas juga berkunjung ke suatu rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Keberhasilan program PPI perlu keterlibatan lintas profesional: Klinisi, Perawat, Laboratorium,
Kesehatan Lingkungan, Farmasi, Gizi, IPSRS, Sanitasi & Housekeeping, dan lain-lain sehingga
perlu wadah berupa Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.

B. Landasan Hukum
Laporan bulanan Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit Umum
Universitas Muhammadiyah Cirebon ini dibuat dengan merujuk kepada:
1. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indoneisa Nomor 986/ Menkes/Per/XI/ 1992
tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit;
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2017 Tentang
Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
3. SK MENKES No.270/MENKES/2007 tentang Pedoman Manajerial PPI di RS dan Fasilitas
Kesehatan lainnya;
4. SK MENKES No. 382/MENKES/2007 tentang Pedoman PPI di RS dan Fasilitas Kesehatan
lainnya;
5. SK MENKES No. 129/ MENKES/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah
Sakit;
6. SK MENKES 1165. A./MENKES/SK/X/2004 tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit.

2
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN

A. Maksud
Untuk memantau dan menilai pencapaian indikator yang telah ditetapkan, diperlukan
data atau informasi yang diperoleh dari catatan dan laporan terkait dengan aspek yang akan
dinilai. Dimana pencatatan dan pelaporan merupakan bentuk pengawasan dan pengendalian.
Pencatatan dilakukan pada setiap langkah kegiatan, sedangkan pelaporan dilakukan secara
berkala sesuai dengan kebutuhan rumah sakit (bulanan/triwulan/ tahunan) yang mengacu
pada pedoman organisasi.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum :
Untuk membantu meningkatkan kualitas mutu pelayanan kesehatan terhadap
pasien, keluarga, dan petugas kesehatan sehingga mereka merasa nyaman dan aman
dirawat dan bekerja dalam lingkup rumah sakit
2. Tujuan Khusus :
a. Mencegah terjadinya infeksi nosokomial dengan beberapa kegiatan yang bersifat
kebersihan lingkungan kerja dan kebiasaan kerja yang aman
b. Menyiapkan data infeksi di rumah sakit melalui tindakan surveilans yang dilakukan
terhadap kasus kasus yang spesifik dapat menimbulkan infeksi nosokomial
c. Memberikan pendidikan dan pelatihan kepada petugas rumah sakit, pasien, penjaga
pasien dan pengunjung
d. Membandingkan data yang ada di rumah sakit dengan rumah sakit lain sehingga dapat
mengukur tingkat keberhasilan dalam penanganan infeksi di rumah sakit

3
BAB III
KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN

Kegiatan Surveilans yang dilaksanakan Panitia PPI Rumah Sakit Umum Universitas
Muhammadiyah Cirebon dilaksanakan kontinyu setiap bulan. Laporan ini menyajikan data
surveilans periode Mei, Juni, Juli 2018.
A. Waktu dan Tempat
Kegiatan Surveilans berlangsung, pada:
Waktu : Bulan Mei Juni Juli 2018
Tempat : Seluruh Unit Perawatan RSU Universitas Muhammadiyah
Cirebon
B. Sasaran Kegiatan
Sasaran kegiatan Surveilans adalah infeksi IADP dan Phlebitis terkait pemasangan alat
IVL dan CVL, ISK terkait pemasangan Catheter, VAP terkait pemasangan Ventilator, HAV
terkait Perawatan Pasien yang Lebih dari 3 hari baik terpasang alat maupun tidak
terpasang alat ETT/Ventilator dan Decubitus terkait pasien tirah baring lama (>5 hari)
C. Pelaksana Kegiatan
Penanggung Jawab : Direktur RSU Universitas Muhammadiyah
Cirebon
Ketua Pelaksana : Ketua Komite PPI RSU Universitas Muhammadiyah
Cirebon
Pelaksana : IPCN dan IPCLN
D. Bentuk Kegiatan
Kegiatan berupa:
1. Persiapan : Form Surveilans
2. Pengumpulan data
3. Analisis
4. Pelaporan

4
BAB IV
HASIL YANG DICAPAI

Adapun hasil yang dicapai dari kegiatan Surveilans Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi RSU Universitas Muhammadiyah Cirebon selama bulan Mei, Juni, Juli 2018, berupa :
A. Melakukan Surveilans
Data yang dikumpulkan berhubungan dengan infeksi HAIs, adalah :
1. Kepatuhan dalam melakukan pengisian survei yang dilakukan oleh IPCLN terhadap
kegiatan resiko infeksi yang ada di setiap unit.
2. Melakukan validasi data yang telah dan sedang dikumpulkan bersama dengan IPCN.
3. Melakukan analisa terhadap data yang ada terhadap serveilans yang telah dilakukan.

a. Kepatuhan pengisian survei harian

Tabel 4.1 Angka kepatuhan survei harian yang dilakukan di Ruang Rawat Inap Bulan Mei, Juni,
Juli 2018 RSU Universitas Muhammadiyah Cirebon

Ruangan Kepatuhan pengisian surveilans

Ruang Perawatan Umum 0


Ruang Perawatan Bedah 0
Perinatologi 60
Ruang Nifas 40
HCU 0
Ruang Perawatan Anak 90
Rata-rata 50%

Berdasarkan Tabel 4.1 didapatkan data bahwa :


1) >50% : Hal tersebut menggambarkan masih ada di setiap ruangan di RSU
Universitas Muhammadiyah Cirebon yang belum berkomitmen dalam melakukan
survey harian yang dilakukan perawat dalam upaya pencegahan infeksi di ruang
rawat inap.

5
b. Angka Mutu Pelayanan (Nilai mutu)
Kejadian phlebitis akibat pemasangan infus dapat menimbulkan kerugian bagi banyak pihak
terutama pasien itu sendiri. Apalagi jika harus dipasang infus lagi dapat menimbulkan
antara lain lama hari perawatan bertambah panjang menurut Nursalam (2005). Sedangkan
menurut Terry (1995) tanda dari phlebitis adalah terdapat dua atau lebih dari tanda
phlebitis, yang terdiri dari: nyeri pada lokasi pemasangan kateter, erytema, edema,
terdapat garis merah pada vena yang terpasang infus, teraba keras.

a) Phlebitis
Tabel 4.2 Distribusi tingkat Phlebitis di Ruang Rawat Inap
Bulan Mei, Juni, Juli 2018 RSU Universitas Muhammadiyah Cirebon

Angka Phlebitis (%)


Ruangan
Mei juni juli

RPU 3,4 3,0 2,8

RPB 3,6 3,4 3,1


Perinatologi 5 3,5 2,1
RPA 10 8,6 7,5
HCU 2,5 2,5 2,6
R. Nifas 3,2 2,9 2,3

Berdasarkan tabel 4.2 diatas, angka kejadian phlebitis tertinggi terjadi di ruang
perawatan anak yaitu 10 % dalam artian dari 1000 kali pemasangan infus terjadi
phlebitis terhadap 10 pasien. Hal ini di perlukan monitoring dan evaluasi dalam
melakukan survei phlebitis yang lebih di tingkatkan serta monev kepatuhan dalam
pelaksaaan SPO pemasangan dan pencegahan phlebitis.

6
Grafik 4.1 Grafik Hasil Kejadian Phlebitis Periode Mei, Juni, Juli 2018
RSU Universitas Muhammadiyah Cirebon

MEI
12

10

6
MEI

0
RPU RPB Perinatologi RPA HCU NIFAS

Grafik 4.3 Grafik Hasil Kejadian Phlebitis Periode Juni, 2018

RSU Universitas Muhammadiyah Cirebon

JUNI
10
9
8
7
6
5
JUNI
4
3
2
1
0
RPU RPB Perinatologi RPA HCU NIFAS

7
Grafik 4.4 Grafik Hasil Kejadian Phlebitis Periode Juni, 2018 RSU Universitas
Muhammadiyah Cirebon

JULI
8

4
JULI
3

0
RPU RPB Perinatologi RPA HCU NIFAS

Dari grafik diatas angka phlebitis tertinggi pada bulan Mei 2018 terjadi di
ruang perawatan anak sebesar 10 ‰ yang artinya dari 1000 kali pemasangan infus
terjadi phlebitis terhadap 10 pasien. Angka phlebitis pada bulan Juni dan Juli 2018 di
ruang perawatan anak mengalami penurunan dari bulan Mei yaitu 10% tetapi masih
di atas ketentuan KEMKES yaitu ≤ 5‰. Nilai 10 ‰ adalah perhitungan dengan standar
per seribu. Nilai rata-rata Phlebitis Bulan Mei 2018 RSU Universitas Muhammadiyah
Cirebon adalah 10 ‰, artinya diatas standar nilai Kemkes, yaitu kurang dari 5‰.
Insiden kejadian phlebitis di rumah sakit tersebut dikatakan tinggi karena
masih di atas standar yang ditetapkan oleh Kemkes RI yaitu ≤ 5‰ Dengan demikian
angka phlebitis masih diatas standar, yaitu 11,2 o/oo. Hal ini menjadi indikator untuk
meningkatkan kewaspadaan standar yang harus dilakukan oleh perawat, yaitu hand
hygiene.

8
Berdasarkan Standar Pelayanan Minimal Kemenkes tahun 2008, bila dijadikan
persentase maka akan menjadi nilai 1,12%. Standar nilai nya <1,5%, hal tersebut
menggambarkan bahwa nilai phlebitis di bawah standar.
Di Indonesia belum ada angka yang pasti tentang pravalensi kejadian phlebitis,
kemugkinan disebabkan oleh penelitian dan publikasi yang berkaitan dengan phlebitis
jarang dilakukan. Data Depkes RI Tahun 2013 angka kejadian phlebitis di Indonesia
sebesar 50,11% untuk Rumah Sakit Pemerintah sedangkan untuk Rumah Sakit Swasta
sebesar 32,70%. Penelitian yang dilakukan oleh Nurdin (2013) di RSUD Prof. Dr. Aloe
Saboe Gorontalo, di dapatkan kejadian phlebitis sebesar 7,51%.
Menurut hasil penelitian tentang analisis faktor yang berpengaruh terhadap
phlebitis yang dilakukan oleh Asrin dkk di RSUD Purbalingga pada tahun 2006
didapatkan hasil bahwa jenis cairan intravena yang diberikan menjadi penyebab
terjadinya phlebitis dengan nilai p value (0,01), golongan obat pekat 5 dapat
menyebabkan phlebitis dengan nilai p value (0,02), lokasi pemasangan infus sebagai
salah satu faktor penyebab phlebitis dengan nilai p value (0,01), ukuran kanula
berpengaruh dengan phlebitis dengan nilai p value (0,01), lama pemasangan kateter
dalam terapi intravena akan mempengaruhi phlebitis dengan nilai p value (0,01),
prosedur teknik cuci tangan akan mempengaruhi phlebitis dengan nilai p value (0,01),
prosedur teknik aseptik akan mempengaruhi terjadinya phlebitis dengan nilai p value
(0,01), prosedur teknik aseptik akan mempengaruhi terjadinya phlebitis dengan nilai p
value (0,01), teknik pemasangan kanula akan mempengaruhi terjadinya phlebitis
dengan nilai p value (0,01), perawatan infus juga berpengaruh terhadap kejadian
phlebitis dengan nilai p value (0,01)
Survei prevalent yang dilakukan dengan bantuan WHO pada 55 RS di 14
negara mewakili wilayah 4 WHO (Eropa, Mediteranian timur, Asia tenggara dan pasifik
barat) menunjukan rata–rata 8,7% pasien dirumah sakit mengalami infeksi
nosokomial. Frekuensi nosokomial yang tinggi dilaporkan dari wilayah Asia tenggara
yaitu 10%. (Jurnal Intravascular Device – related Infection, 2003)
Penelitian yang dilakukan Marwoto (2007), menunjukkan bahwa kejadian
infeksi nosokomial di lima rumah sakit pendidikan yaitu di RSUP Dr. Sardjito sebesar
7,94%, RSUD Dr. Soetomo sebesar 14,6%, RS Bekasi sebesar 5,06%, RS Hasan Sadikin
Bandung sebesar 4,60%, RSCM Jakarta sebesar 4,60%. Angka insiden infeksi

9
nosokomial di Jawa Timur pada tahun 2011 hingga 2013 mengalami tren naik yaitu
sebanyak 306 pada tahun 2011, 400 pada tahun 2012, dan 526 pada tahun 2013

b) Decubitus
Grafik 4.5 Kejadian Decubitus Bulan Mei, Juni, Juli Tahun 2018
di RSU Universitas Muhammadiyah Cirebon

1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5 MEI
0.4
JUNI
0.3
JULI
0.2
0.1
0

Risiko dekubitus yang terjadi di ruang RPU dan HCU. Rata-rata Decubitus pada bulan Me, Juni,
Juli 2018 di RSU Universitas Muhammadiyah Cirebon sebesar 0 % hal ini berarti dari 100
pasien tirah baring lebih dari 3 hari yang dirawat tidak terdapat 1 pasien yang mengalami
dekubitus, angka tersebut di bawah standar yaitu 5%. Hal ini dikarenakan meningkatnya
kepatuhan pada SPO tentang pencegahan dekubitus pada pasen tirah baring.
b) Infeksi HAIs
Infeksi HAIs adalah infeksi yang didapat oleh seorang pasien selama dirawat di rumah
sakit dan menunjukkan gejala infeksi setelah
72 jam perawatan serta tanda infeksi tidak muncul saat pasien masuk ke rumah sakit. Batasan
atau kriteria infeksi HAIs adalah tanda infeksi tidak muncul saat penderita mulai dirawat di
rumah sakit, pada waktu penderita mulai dirawat tidak dalam masa inkubasi dari infeksi
tersebut, tanda infeksi baru muncul minimal 3 × 24 jam sejak pasien mulai dirawat dan infeksi
tersebut bukan merupakan residual dari infeksi sebelumnya (Hasbullah, 1993 dalam Ede,
2014)

10
1. Infeksi Aliran Darah Primer (IADP)
4.3 Grafik Jumlah pemasangan CVL Mei, Juni, Juli Tahun 2018
di RSU Universitas muhammadiyah Cirebon

0.9

0.8

0.7

0.6
MEI
0.5 JUNI
0.4 JULI

0.3

0.2

0.1

0
RPU RPB Perinatologi RPA HCU NIFAS

Pada grafil 4.3 didapatkan data bahwa angka pemasngan CVL tertinggi di ruang
perinatologi dengan jumlah 10 pasien Bulan Mei 2018 di RSU Universitas Muhammadiyah
Cirebon. Rata-rata pemasangan CVL Bulan Mei 2018 adalah 10 pasien per bulan.
Penggunaan CVL di Ruang perinatologi paling tinggi daripada ruangan lain. Indikasi
pemasangan CVL :
a. Pengukuran tekanan vena sentral pada kegawat daruratan guna mengetahui kecukupan
cairan.
b. Sebagai jalur infus
(1). Bila akses vena perifer sulit dilakukan
(2). Pemberian obat yang bersifat kaustik atau sklerosan bagi vena perifer, seperti
inotropic, Amiodarone, cairan hipertonis, KCl, dan lain-lain.
(3). Nutrisi parenteral baik jangka pendek, jangka panjang maupun permanen
(4). Pemberian antibiotika jangka panjang
(5). Pemberian anti nyeri jangka panjag
(6). Pemberian kemoterapi

11
c. Dialisis
d. Plasmaferesis
e. Pengambilan sampel darah berulang
f. Pengambilan sel induk darah perifer
g. Akses intravena berulang lainnya
h. Kateterisasi jantung kanan dalam pemantauan hemodinamik

Grafik 4.4 Grafik Angka IADP Bulan Mei, Juni, Juli 2018
di RSU Universitas Muhammadiyah Cirebon

0.9

0.8

0.7

0.6
MEI
0.5 JUNI
0.4 JULI
0.3

0.2

0.1

0
RPU RPB Perinatologi RPA HCU NIFAS

Angka Infeksi Aliran Darah Primer yang terjadi di bulan Mei, Juni, Juli 2018 yaitu
sebesar 0 ‰ artinya dari 1000 pemasangan CVL tidak ada pasien terkena infeksi dari ,hal ini
sesuai ketentuan angka yang ditetapkan oleh Kemkes yaitu < 5 ‰.
Pemberian cairan intravena yaitu memasukkan cairan atau obat langsung ke
dalam pembuluh darah vena dalam jumlah dan waktu tertentu dengan menggunakan infus set
(Perry dan Potter, 2005). Bila terapi intra vena hanya diperkirakan untuk jangka pendek, akses
ke sirkulasi biasanya melalui vena dipunggung telapak tangan, pergelangan tangan atau
dilengan bawah. Bila terapi intra vena dilakukan untuk jangka panjang, beberapa hari
atauminggu, biasanya kanulasi dilakukan di vena subklavia atau vena jugularis internal.

12
Prosedur ini merupakan prosedur infasif, oleh karena itu teknik asepsis perlu dilakukan untuk
mengurangi risiko infeksi (Ruth Johnson, Wendy Taylor, 2004 dalam Nugraeni 2012).

2. Infeksi Saluran Kemih ( ISK )

4.6 Grafik kejadian Infeksi Saluran Kemih (ISK) Bulan Mei, Juni, Juli 2018
di RSU Universitas Muhammadiyah Cirebon

0.9

0.8

0.7

0.6
MEI
0.5
JUNI
0.4 JULI
0.3

0.2

0.1

0
RPU RPB Perinatologi RPA HCU NIFAS

Dari Grafik di atas dapat terlihat bahwa pemasangan Urine Catheter di RSU Universitas
Muhammadiyah Cirebon yang terjadi di bulan Mei, juni, juli 2018 yaitu sebesar 0 ‰ artinya
dari beberapa pemasangan Urine Cateter tidak ada pasien terkena infeksi hal ini sesuai
ketentuan angka yang ditetapkan oleh Kemkes yaitu < 4,7 ‰
Kateterisasi urine adalah proses atau tindakan pengeluaran urine dengan memasukkan kateter
urine dari uretra ke menuju kandung kemih. Kateterisasi urine dilakukan apabila pasien tidak
mampu mengeluarkan urine secara normal (retensi atau obstruksi urine). Pemasangan kateter
urine menjadi port of entry bagi mikroorganisme untuk masuk ke dalam kandung kemih pada
kateter yang terkontaminasi. Terdapat dua metode yang digunakan dalam kateterisasi urine
yaitu kateter indwelling (kateter menetap) dan kateter intermitten (kateter yang digunakan
sewaktu- waktu). Kateter tetap akan berpotensi bagi mikroorganime untuk berkolonisasi di

13
sepanjang kateter. Jalur perjalanan mikroorganisme ke kandung kemih melalui 3 hal yaitu:
uretra ke dalam kandung kemih pada saat pemasangan kateter, jalur dalam lapisan tipis cairan
uretra yang berada di luar kateter, dan migrasi ke dalam kandung kemih di sepanjang lumen
internal kateter yang terkontaminasi (Smeltzer dan Bare, 2008).

Menurut Pellowe dan Pratt (2004), kolonisasi bakteri akan mencapai kandung
kemih setelah 7 hari pemasangan kateter urine indwelling pada pasien yang dirawat di rumah
sakit. Penelitian yang dilakukan oleh Leaver (2007), menyebutkan bahwa bakteriuria
ditemukan sebanyak 44% pada pasien setelah 72 jam pertama pemasangan kateter urine
indwelling.
Penelitian lain oleh Soewondo (2007), menyebutkan bahwa pada pasien
terpasang kateter urine indwelling ditemukan bakteriuria 3–10% per hari, sehingga
pemasangan kateter urine indwelling harus dilakukan pada pasien yang tepat indikasi dengan
teknik aseptik yang benar dan peralatan yang steril. Hal tersebut merupakan langkah awal
kewaspadaan standar (universal precaution) sebagai tindakan pencegahan dan pengendalian
infeksi nosokomial saluran kemih
3. Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
Ventilator Associated Pneumonia (VAP) di definisikan sebagai pneumonia yang
terjadi 48 jam atau lebih setelah ventilator mekanik diberikan. Ventilator Associated
Pneumonia (VAP) merupakan bentuk infeksi nosokomial yang paling sering ditemui di unit
perawatan intensif (UPI), khususnya pada pasien yang menggunakan ventilator mekanik.
Grafik 4.8 Angka kejadian VAP berdasarkan Bulan Mei Juni, Juli 2018 di RSU
Universitas Muhammadiyah Cirebon

14
1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5 ME
0.4
JUNI
0.3
0.2 JULI
0.1
0

Angka VAP yang terjadi dibulan Mei 2018 yaitu sebesar 0 ‰ yang berarti dari 1000
pasen yang terpasang Ventilator dan ETT ataupun yang tidak terpasang alat tersebut tidak ada
yang terkena VAP. Angka VAP ini juga di bawah ketentuan KEMKES yang menetapkan angka
VAP yaitu < 5.8‰. hal ini bisa disebabkan karena : kepatuhan pada sop pencegahan dan
pengendalian VAP dan penerapan bundle VAP.
Grafik 4.9 Angka kejadian HAP Bulan Mei, Juini, Juli 2018
di RSU Universitas Muhammadiyah Cirebon

1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5 MEI
0.4
JUNI
0.3
JULI
0.2
0.1
0

15
Dari grafik di atas dapat terlihat bahwa HAP pada bulan Mei terjadi pada
pasien yang di rawat di ruang ICU sebanyak 0‰. Data RSU Universitas Muhammadiyah
Cirebon pada bulan Mei yaitu 0‰ dalam artian bahwa dari 1000 pasien yang di rawat di RSU
Universitas Muhammadiyah Cirebon tidak ada yang terinfeksi.Hal ini masih di bawah standar
KEMKES yaitu 1‰ .
Rekomendasi :
Pencegahan VAP merupakan upaya penting yang harus dilakukan secara optimal.
Ventilasi mekanis non-invasif (tanpa intubasi) dilaporkan dapat menurunkan kejadian VAP
secara bermakna. Pembatasan penggunaan antibiotik secara berlebihan di ICU juga dapat
menurunkan insidens pneumonia nosokomial akibat resistensi obat.

4. Infeksi Luka Operasi


Infeksi luka operasi adalah infeksi dari luka yang didapat setelah operasi. Dapat
terjadi diantara 30-90 hari setelah operasi, biasanya terjadi antara 5 sampai 10 hari setelah
operasi. Infeksi luka operasi ini dapat terjadi pada luka yang tertutup ataupun pada luka yang
terbuka, dikarenakan untuk proses penyembuhannya. Dapat juga terjadi pada jaringan dari
organ tubuh dan juga dapat terjadi pada jaringan superfisial (yang dekat dengan kulit) ataupun
pada jaringan yang lebih dalam.

Grafik 4.10 Kejadian Infeksi Luka Operasi (IDO) Bulan Mei, Juni, Juli
Tahun 2018 di RSU Universitas Muhammadiyah Cirebon

1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5 MEI
0.4
JUNI
0.3
JULI
0.2
0.1
0

16
Angka infeksi daerah Operasi pada bulan Mei 2018 sebesar 0 % hal ini berarti
tidak ada pasien yang di lakukan oprasi mengalami infeksi , hal ini masih sesuai dengan
standar pelayanan minimal dimana menurut Kemkes standar angka IDO < 2%. Pelayanan
oprasi terjadi di ruang rawat inap di RPU dan RPB dengan jumlah oprasi pada bulan Mei 73
paien, Juni 59 pasien, Juli 89 pasien. dan tidak ada pasien yang mengalami infeksi luka oprasi.
Data IDO RSU Universitas Muhammadiyah Cirebon pada bulan Mei, Juni, dan Juli 2018 yaitu 0
% Angka tersebut sesuai yang di tetapkan KEMKES yaitu 2%.

IDO menjadi penyulit yang serius pada pembedahan karena IDO menjadi sumber utama
morbiditas pasca operasi dan menimbulkan infeksi nosokomial dalam jumlah bermakna serta
merupakan masalah perawatan kesehatan di rumah sakit seluruh dunia. Infeksi luka pasca
bedah mengenai paling sedikit 920.000 orang dari 23 juta pasien yang menjalani pembedahan
setiap tahun di Amerika Serikat (Haley et al, 1985 dalam Gruendeman, 2005). Perkiraan 27 juta
pembedahan yang dilakukan setiap tahun di Amerika Serikat dan ternyata 290.000 pasien
mengalami IDO dan 8000 pasien meninggal karena infeksi.
Kasus infeksi nosokomial di Indonesia yaitu pada 10 RSU pendidikan, cukup tinggi yaitu
6–16% dengan rata-rata 9,8% pada tahun 2010. Infeksi nosokomial paling umum terjadi adalah
infeksi Derah operasi (IDO). Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa angka kejadian
IDO pada rumah sakit di Indonesia bervariasi antara 2–18% dari keseluruhan prosedur
pembedahan. Ini dibuktikan pada penelitian di RSUP Haji Adam Malik Medan bulan April s/d
Januari 2010, dari jumlah sampel 534 pasien, diperoleh angka prevalensi IDO sebesar 5,6%
dengan kelompok usia terbesar pada usia lebih dari 65 tahun yaitu 33,3% (Dharshini J., 2010).
Di sisi lain, tindakan pembedahan laparotomi semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Hasil survey Departemen Kesehatan RI, didapatkan bahwa kasus laparotomi meningkat dari
162 pada tahun 2005 menjadi 983 kasus pada tahun 2006, dan 1.281 kasus pada tahun 2007.

17
BAB V
ANALISIS MASALAH

A. Infection Control Risk Assesment (ICRA Infeksi)


Skoring
(A) (B) (C) Skor
Masalah Potensi Infeksi Ket
Frekuensi Dampak Resiko Sistem Yang Ada (AxBxC)
4 3 2 1 0 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1
IADP ( Infeksi Aliran Darah Primer ) √ √ √ 0
ISK ( Infeksi Saluran Kemih ) √ √ √ 0
IDO ( Infeksi Daerah Operasi ) √ √ √ 0
VAP ( Ventilator Associated
√ √ √ 0
Pneumonia )
HAP( Hospital Associated Pneumonia) √ √ √ 0
Phlebitis √ √ √ 18
Decubitus √ √ √ 0

SKOR Frekuensi Dampak Resiko SKOR Sistem Yang Ada


SKOR
( Kesehatan / Keuangan / Hukum ) 5 Tidak Ada Peraturan
4 Sering ( 6 -12 x / Bln )
Kerugian Sangat Besar (Hilang Nyawa/ Hilang Peraturan ada, Faisilitas tidak ada,
3 Agak Sering ( 4 - 6 x / Bln ) 4
5 Fungsi Gerak yang permanen/ Keuangan yang Tidak Dilaksanakan
2 Kadang ( 3- 4 x / Bln ) sangat besar) Peraturan ada, Fasilitas ada, Tidak
1 Jarang ( 1- 2 x / Bln ) 4 Kerugian Besar ( Fungsi/ Keuangan/ Hukum ) 3
dilaksanakan
0 Tidak Pernah 3 Lama rawat bertambah Peraturan ada, Fasilitas ada, Tidak
2
2 Dampak Klinis dan Keuangan Sedang selalu dilaksanakan
1 Dampak Klinis dan Keuangan Minimal 1 Peraturan ada, dilaksanakan konsisten

18
B. Rencana Tindak Lanjut Skala Prioritas Infeksi
No Masalah Skor Tujuan Strategi Cara Mencapai Evaluasi Progres/Analisis
1 Phlebitis 18 Menurunkan angka 1. Mengajukan pelatihan 1. Koordinasi terkait 1. IPCLN akan 1. Monitoring dan
phlebitis di RSU Pemasangan infus pelatihan mengikuti Evaluasi
Universitas 2. Pelatihan pemasangan pemasangan infus workshop 2. Pelatihan
Muhammadiyah infus berkoordinasi 2. Koordinasi PPI tgl 30 pemasangan
Cirebon dari 10 ‰ dengan bidang Rencana Revisi Sept 2018 infus dan
sesuai dengan keperawatan ,komite SPO Pemasangan sebanyak 52 perubahan
standar kemkes < 5 keperawatan dan Diklat infus sesuai Kaidah peserta. SPO Infus
‰ 3. Koordinasi dengan PPI akan
bidang keperawatan 3. Nota dinas dilaksanakan
dan komite pengajuan IV bln berikutnya
keperawatan untuk Dressing 3. Pengajuan IV
revisi SPO infus sesuai dressing blm
dengan kaidah PPI terlaksana
4. Koordinasi dengan Sie pengadaannya
Sarana dan Prasarana .
Keperawatan serta Ka.
Instalasi CSSD untuk
kebutuhan alat
instrument
5. Koordinasi dengan

19
bagian farmasi terkait
pengadaan IV Dressing

2 HAP 0 Mencegah 1. Audit Kepatuhan HH 4. Sosialisasi HH Tidak Terjadi Monitoring dan


terjadinya angka 2. Audit Kepatuhan SPO 5. Re Sosialisasi SPO Angka Kejadian Evaluasi
kejadian HAP akibat Kohorting Kohorting, SPO HAP/VAP
Hospitalisasi di RSU
3. Penerapan Bundles Pencegahan bulan
UMC HAP/VAP HAP/VAP berikutnya
6. Sosialisasi Bundles )
HAP/VAP

20
No Masalah Skor Tujuan Strategi Cara Mencapai Evaluasi Progres/Analisis
3 Decubitus 0 Mencegah tidak 7. Membuat SPO 9. Sosialisasi SPO Tidak Terjadi Monitoring dan
terjadinya angka Pencegahan Decubitus Pencegahan Angka Kejadian Evaluasi
kejadian decubitus 8. Audit Kepatuhan Hand Decubitus Decubitus
akibat tirah baring Hygiene 10. Sosialisasi Hand bulan
lama perawatan di Hygiene berikutnya
RSU UMC

4 ISK 0 Mencegah tidak 11. Audit Kepatuhan HH 15. Sosialisasi HH Tidak Terjadi Monitoring dan
terjadinya angka 12. Penerapan Bundles ISK 16. Re Sosialisasi SPO Angka Kejadian Evaluasi
kejadian ISK akibat pada saat Pemasangan kateter, ISK bulan
Pemasangan 13. pemasangan kateter SPO Pencegahan ISK berikutnya
Catheter di RSU 14. Audit SPO Pemasangan 17. Sosialisasi Bundles
UMC kateter ISK

5 IDO 0 Mencegah tidak 18. Audit Kepatuhan HH 20. Sosialisasi SPO Tidak Terjadi Monitoring dan
terjadinya angka 19. Audit Kepatuhan Bundle’s Pencegahan IDO Angka Kejadian Evaluasi

21
kejadian IDO akibat IDO 21. Sosialisasi HH IDO bulan
Tindakan Operasi di 22. Koordinasi dengan berikutnya
RSU UMC Keperawatan untuk
Re Sosialisasi SPO
Persiapan pasien
operasi dan
Perawatan Luka
Operasi
6 IAD 0 Mencegah tidak 23. Audit Kepatuhan HH 26. Sisoalisasi HH Tidak
terjadinya angka 24. Audit Bundle IADP pada 27. Sosialisasi SPO terjadinya
kejadian IAD akibat saat pemasangan CVL pencegahan IADP Angka Kejadian
Tindakan Operasi di25. Audit Kepatuhan SPO 28. Sosialisasi Bundle IAD bulan
RSU UMC Pencegahan IADP dan IADP. berikutnya
Pemasangan Infus

22
23
24
25
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dan saran dari seluruh kegiatan surveilans pengendalian dan


pencegahan infeksi RSU Universitas Muhammadiyah Cirebon Periode Bulan Mei 2018
adalah sebagai berikut:
1. Diperlukan peran aktif IPCLN dan duta PPI untuk menyokong keberlangsungan
kegiatan surveilans Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
2. Diperlukan mekanisme koordinasi antara panitia PPI, manajemen, dan instalasi
dalam penyelenggaraan kegiatan PPI.
3. Diperlukan pelaksanaan supervisi dan audit secara berkala mengenai kegiatan-
kegiatan PPI.
4. Sosialisasi dan monitoring terkait PPI ke seluruh unit pelayanan
5. Diperlukan komitmen bersama semua element untuk keberlangsungan program
Kegiatan PPI

23
BAB VI
PENUTUP

Dari seluruh hasil kegiatan Surveilans Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
Rumah Sakit Umum Universitas Muhammadiyah Cirebon, yang sudah terlaksana ini
diharapkan dapat ditingkatkan dan dapat membantu dalam memahami permasalahan-
permasalah kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
Diharapkan pada akhirnya rumah sakit dapat melakukan upaya-upaya antisipasi
terhadap akibat-akibat yang ditimbulkan, yang juga dapat meningkatkan mutu rumah
sakit.
Semoga laporan kegiatan ini di bulan berikutnya dapat lebih menggambarkan
permasalahan dan cara penanggulangan secara komprehensif.

Ketua Komite PPI

dr. Atep Lutpia Pahlepi

24
25

Anda mungkin juga menyukai