Anda di halaman 1dari 68

Phlebitis

Phlebitis adalah peradangan pada dinding pembuluh darah balik/vena,


sedangkan thrombophlebitis adalah yang dipergunakan bila bekuan darah pada vena
menyebabkan peradangan. Thrombophlebitis biasanya muncul di vena kaki, tetapi
kadang-kadang juga muncul di lengan. Thrombus (bekuan darah) pada vena
menyebakan nyeri dan iritasi yang dapat menyumbat aliran darah di dalam vena.
Menurut letaknya, phlebitis dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
 Phlebitis superficial terjadi pada vena di bawah permukaan kulit. Phlebitis jenis ini
jarang merupakan kondisis yang serius, dan dengan perawatan memadai biasanya
sembuh dengan cepat. Kadang-kadang beberapa orang denga phlebitis superficial juga
menderita phlebitis vena dalam sehingga evaluasi medis perlu dilakukan.

Skala phlebitis superficial:


Derajat 0 : tidak ada tanda phlebitis
Derajat 1 : merah atau sakit bila ditekan
Derajat 2 : merah, sakit bila ditekan dan edema
Derajat 3 : merah, sakit, edema dan vena mengeras dan
Derajat 4 : merah, sakit, dema, vena mengeras dan timbul nanah/pus.
 Thrombophlebitis dalam vena dalam (deep vein thrombosis), menyerang vena yang
lebih besar di sebelah dalam pada kaki. Sesudah thrombus terbentuk, dapat terlepas
dan bergerak menuju paru-paru. Kondisi yang mengancam jiwa, disebut thrombo-
emboli paru.
Phlebitis dapat timbul secara spontan ataupun merupakan akibat dari prosedur
medis. Penyebab phlebitis ada tiga, yaitu kimia, mekanis dan bacterial.
Secara kimia, phlebitis timbul karena obat yang dimasukan mempunyai.
 pH asam atau basa yang berbeda denga pH normal darah (7,35-7,45) secara cepat.
Obat-obatan uyang mempunyai pH berbeda sebaiknya diberikan secara intravena drip
lambat atau bolus menggunakan syringe pump selama 10-15 menit misalnya, natrium
bikarbonat , K CI dan beberapa jenis antibiotic.
 Osmolaritas tinggi yang berbeda dengan cairan tubuh normal (258 ±5 mOsm/L). cairan
yang dapat ditoleransi maksimun berosmolaritas 900 mOsm/L. Bila memberikan cairan
dengan osmolaritas tinggi, masukkan ke dalam vena sentral untuk mencegah phlebitis.
Misalnya, bebarapa cairan infuse untuk nutrisi parental mempunyai osmolaritas tinggi.
Sebelum memberikan cairan jenis ini, periksa terlebih dahulu dahulu labelnya.
Secara mekanis, phlebitis apat timbul karena.
 Diameter jarum kateter terlalu besar sehingga vena teregang
 Cara insersi kateter yang tidak baik da
 Fiksasi tidak baik sehingga kateter brgerak-gerak.
Secara bacterial, phlebitis timbul karena pencemara.
Kebanyakan infeksi disebabkan oleh pencemaran kateter dengan mikroorganisme
dari kulit pasien atau tangan petugas sewaktu pemasangan / perawatan karena kateter
yang berhubungan langsung dengan pembuluh darah. Mikroorganisme dapat
disalurkan ke dalam pembuluh darah melalui empat jalan sebagai berikut:
 Melalui ruangan di antara kateter dan jaringan
 Melalui pencemaran dengan bagian tengah (lumen kateter). Pemakaian sebuah jarum
untuk beberapa orang dapat meningkatkan resiko penularan penyakit..
 Melalui cairan infuse yang tercemar.
- Kadang-kadang obat dimasukkan ke dalam botol infus. Suntikkan obat melalui karet
karena lebih elastic dan setelah ditusuk karet akan kembali, sementara menusuk badan
plastic akan menyebabkan lubang yang menyebabkan resiko masuknya bakteri ke
dalam cairan.
- Saat penggantian botol, setelah segel dibuka tidak perlu didisenfektan karena sudah
steril.
- Bila set infuse terlepas dari sambungan, sebaiknya ganti dengan baru. Set infuse diganti
maksimal setelah infuse terpasang 72 jam.
 Melalui pembuluh darah dari tempat infeksi lain.
Bakteri gram negative dan staphylococcus merupakan penyebabutama infeksi yang
berhubungan dengan kateter pembuluh darah. Kadang ditemukan jamur pada penderita
HIV/AIDS.

Fakor-faktor yang dapat meningkatkan resiko infeksi.


1. Factor pasien sendiri: usia, kekurangan gizi, penyakit kronis, pembedahan besar,
penurunan daya tahan tubuh karena penyakit dan pengobatan
2. Ebelum pemasangan : botol infus retak, lubang/dilubangi pada botol plastic,
penghubung dan cairan infuse yang tercemar / kadaluawarsa set IV bocor. Mempunyai
banyak penghubung, dan persiapan tidak steril baik alat maupun steril.
3. Sewaktu pemakaian : penggatian cairan IV menggunakan set infus yang sama,
pemberian suntikan berkali-kali, sistem irigasi, dan alat pengukuran tekanan vena
sentral.
4. Pencemaran silang : dai daerah terinfeksi di tubuh pasien melalui pasien itu
sendiri/petugas/pasien lain atau sebaliknya melalui tangan petugas sewaktu tindakan,
pemasangan darah melalui.
5. Teknik pemasangan atau penggatian balutan yang tidak benar.

Beberapa resiko thrombophlebitis vena dalam sebagai berikut:


 Tidak aktif dala waktu berkempanjangan.
Darah kembali ke jantung engan bantuan kontraksi otot. Kondisi pasien yang
senantiasa berbaring menyebabkan darah terkumpul dan membeku. Ini juga dapat
terjadi pada penumpang mobil atau pesawat terbang atau pasien tirah baring setelah
operasi atau penyakit.
 Gaya hidup tidak pernah berolahraga.
 Obesitas.
 Merokok
 Terapi sulih hormone dan pil kontrasepsi
 Kehamilan
 Beberapa macam obat, seperti obat kanker dan obat untuk gangguan darah dapat
membekukan darah.
 Trauma pada lengan dan kaki
 Varises
Giant Cell Arteritis (GCA)

Giant Cell Arteritis (GCA) adalah suatu peradangan pada lapisan arteri - pembuluh
darah yang membawa darah yang kaya oksigen dari jantung ke seluruh tubuh. Paling
sering, peradangan mempengaruhi arteri di kepala. Untuk alasan ini, arteritis sel
raksasa kadang-kadang disebut atau temporal arteritis.

GCA yang sering menyebabkan sakit kepala, rahang sakit, dan penglihatan kabur atau
ganda. Blindness and, less often, stroke are the most serious complications of giant cell
arteritis. Kebutaan dan, kurang sering, stroke adalah komplikasi yang paling serius
arteritis sel raksasa.

Gejala
Gejala yang paling umum GCA adalah nyeri kepala. Beberapa orang, bagaimanapun,
mempunyai rasa sakit di bagian depan kepala.

Tanda dan gejala arteritis sel raksasa dapat bervariasi. Bagi sebagian orang, awal
kondisi terasa seperti flu - dengan nyeri otot (myalgia), demam dan kelelahan, serta
sakit kepala.

Umumnya, tanda-tanda dan gejala arteritis sel raksasa meliputi:


* Terus-menerus sakit kepala dan nyeri
* Penurunan ketajaman visual atau penglihatan ganda
* Kelembutan kulit kepala--mungkin sakit untuk menyisir rambut atau bahkan untuk
meletakkan kepala di atas bantal
* Sakit rahang (rahang klaudikasio) ketika mengunyah
* Sakit dan kekakuan pada leher, lengan atau pinggul--biasanya memburuk di pagi hari
sebelum keluar dari tempat tidur
* Tiba-tiba kehilangan penglihatan permanen dalam satu mata
* Demam

Perawatan
Perawatan untuk GCA terdiri dari dosis tinggi obat kortikosteroid seperti prednison.
Karena pengobatan langsung diperlukan untuk mencegah kehilangan penglihatan,
dokter anda kemungkinan untuk memulai pengobatan bahkan sebelum
meneguhkannya dengan biopsi.

Sumber: medlineplus dan mayoclinic.


detikhealth.com
BUERGER'S DISEASE / PENYAKIT BUERGER

[BAHASA INDONESIA]

Penyakit Buerger (Tromboangitis obliterans)

Adalah penyumbatan pada arteri dan vena yang berukuran kecil sampai sedang, akibat
peradangan yang dipicu oleh merokok.
Berdasarkan studi cohort, pria perokok sigaret berusia 20-40 tahun lebih banyak yang
menderita penyakit Buerger dibandingkan dengan siapapun. Sekitar 5% penderita
adalah wanita.

Penyebab

Penyebabnya tidak diketahui, tetapi berdasarkan penelitian, beberapa studi


melaporkan bahwa korelasi penyakit Buerger lebih banyak menyerang perokok dan
keadaan ini akan semakin memburuk jika penderita tidak berhenti merokok.
Penyakit ini hanya terjadi pada sejumlah kecil perokok yang lebih peka.
Mengapa dan bagaimana merokok sigaret menyebabkan terjadinya penyakit ini, tidak
diketahui.

Gejala

Gejala karena berkurangnya pasokan darah ke lengan atau tungkai terjadi secara
perlahan, dimulai pada ujung-ujung jari tangan atau jari kaki dan menyebar ke lengan
dan tungkai, sehingga akhirnya menyebabkan gangrene (kematian jaringan).
 Sekitar 40 penderita juga mengalami peradangan vena (terutama vena
permukaan) dan arteri dari kaki atau tungkai

 Penderita merasakan kedinginan, mati rasa, kesemutan atau rasa terbakar.

 Penderita seringkali mengalami fenomena Raynaud dan kram otot, biasanya di


telapak kaki atau tungkai.

 Pada penyumbatan yang lebih berat, nyerinya lebih berat dan berlangsung
lebih lama.

 Pada awal penyakit timbul luka terbuka, gangrene atau keduanya.

 Tangan atau kaki terasa dingin, berkeringat banyak dan warnanya


kebiruan,kemungkinan karena persarafannya bereaksi terhadap nyeri hebat
yang menetap.

Diagnosa

Pada lebih dari 50 penderita, denyut nadi pada satu atau beberapa arteri di kaki
maupun pergelangan tangan, menjadi lemah bahkan sama sekali tak teraba.
Tangan , kaki, jari tangan atau jari kaki yang terkena seringkali tampak pucat jika
diangkat ke atas jantung dan menjadi merah jika diturunkan.
Mungkin ditemukan ulkus (luka terbuka, borok) di kulit dan gangren, biasanya pada
satu atau lebih jari tangan atau jari kaki.
Pemeriksaan USG menunjukkan penurunan yang hebat dari tekanan darah dan aliran
darah di kaki, jari kaki, tangan dan jari tangan yang terkena.
Angiogram bisa menggambarkan arteri yang tersumbat dan kelainan sirkulasi lainya,
terutama di tangan dan kaki.

Pengobatan

Penderita harus berhenti merokok atau penyakitnya akan menjadi lebih buruk,
sehingga akhirnya memerlukan tindakan amputasi.

Penderita juga harus menghindari :

 pemaparan terhadap dingin

 cedera karena panas, dingin atau bahan (seperti iodine atau asam) yang
digunakan untuk mengobati kutil dan kapalan
 cedera karena sepatu yang longgar/sempit atau pembedahan minor

 infeksi jamur

 obat-obat yang dapat mempersempit pembuluh darah.

Berjalan selama 15-30 menit 2 kali/hari sangat baik


Penderita dengan gangrene, luka-luka atau nyeri ketika beristirahat, perlu menjalani
tirah baring.
Penderita harus melindungi kakinya dengan pembalut yang memiliki bantalan tumit
atau dengan sepatu boot yang terbuat dari karet.
Bagian kepala dari tempat tidur dapat ditinggikan 15-20 cm diatas balok, sehingga
gaya gravitasi membantu mengalirkan darah menuju arteri-arteri.
Pentoxifylline, antagonis kalsium atau penghambat platelet (misalnya aspirin)
diberikan terutama jika penyumbatan disebabkan oleh kejang.
Penderita yang berhenti merokok tetapi masih mengalami penyumbatan arteri,
mungkin perlu menjalani pembedahan untuk memperbaiki aliran darah, dengan
memotong saraf terdekat untuk mencegah kejang.
Jarang dilakukkan pencangkokan bypaas karena arteri yang terkena terlalu kecil.

(Dr Iman Firmansyah)

Pendahuluan

Penyakit Buerger (Tromboangitis Obliterans) merupakan penyakit oklusi pembuluh darah


perifer yang lebih sering terjadi di Asia dibandingkan di Negara-negara barat. Penyakit ini
merupakan penyakit idiopatik, kemungkinan merupakan kelainan pembuluh darah karena
autoimmune, panangitis yang hasil akhirnya menyebabkan stenosis dan oklusi pada pembuluh
darah.

Laporan pertama kasus Tromboangitis Obliterans telah dijelaskan di Jerman oleh von
Winiwarter pada tahun 1879 dalam artikel yang berjudul “A strange form of endarteritis and
endophlebitis with gangrene of the feet”. Kurang lebih sekitar seperempat abad kemudian, di
Brookline New York, Leo Buerger mempublikasikan penjelasan yang lebih lengkap tentang
penyakit ini dimana ia lebih memfokuskan pada gambaran klinis dari Tromboangitis Obliterans
sebagai “presenile spontaneous gangrene”.
Hampir 100% kasus Tromboangitis Obliterans (kadang disebut Tromboarteritis
Obliterans) atau penyakit Winiwarter Buerger menyerang perokok pada usia dewasa muda.
Penyakit ini banyak terdapat di Korea, Jepang, Indonesia, India dan Negara lain di Asia Selatan,
Asia tenggara dan Asia Timur.

Prevalensi penyakit Buerger di Amerika Serikat telah menurun selama separuh dekade
terakhir, hal ini tentunya disebabkan menurunnya jumlah perokok, dan juga dikarenakan kriteria
diagnosis yang lebih baik. Pada tahun 1947, prevalensi penyakit ini di Amerika serikat sebanyak
104 kasus dari 100 ribu populasi manusia. Data terbaru, prevalensi pada penyakit ini
diperkirakan mencapai 12,6 – 20% kasus per 100.000 populasi.

Kematian yang diakibatkan oleh Penyakit Buerger masih jarang, tetapi pada pasien
penyakit ini yang terus merokok, 43% dari penderita harus melakukan satu atau lebih amputasi
pada 6-7 tahun kemudian. Data terbaru, pada bulan Desember tahun 2004 yang dikeluarkan oleh
CDC publication, sebanyak 2002 kematian dilaporkan di Amerika Serikat berdasarkan penyebab
kematian, bulan, ras dan jenis kelamin (International Classification of Diseases, Tenth Revision,
1992), telah dilaporkan total dari 9 kematian berhubungkan dengan Tromboangitis Obliterans,
dengan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 2:1 dan etnis putih dan hitam adalah 8:1.

Anatomi Pembuluh Darah

Pembuluh darah terdiri atas 3 jenis : arteri, vena, dan kapiler.

1. Arteri

Arteri membawa darah dari jantung dan disebarkan ke berbagai jaringan tubuh
melalui cabang-cabangnya. Arteri yang terkecil, diameternya kurang dari 0,1 mm,
dinamakan arteriol. Persatuan cabang-cabang arteri dinamakan anastomosis. Pada arteri
tidak terdapat katup.

End arteri anatomik merupakan pembuluh darah yang cabang-cabang terminalnya


tidak mengadakan anastomosis dengan cabang-cabang arteri yang memperdarahi daerah
yang berdekatan. End arteri fusngsional adalah pembuluh darah yang cabang-cabang
terminalnya mengadakan anastomosis dengan cabang-cabang terminal arteri yang
berdekatan, tetapi besarnya anastomosis tidak cukup untuk mempertahankan jaringan tetap
hidup bila salah satu arteri tersumbat.

2. Vena

Vena adalah pembuluh darah yang mengalirkan darah kembali ke jantng; banyak
vena mempunyai kutub. Vena yang terkecil dinamakan venula. Vena yang lebih kecil atau
cabang-cabangnya, bersatu membentuk vena yang lebih besar, yang seringkali bersatu satu
sama lain membentuk pleksus vena. Arteri profunda tipe sedang sering diikuti oleh dua vena
masing-masing pada sisi-sisinya, dan dinamakan venae cominantes.

3. Kapiler

Kapiler adalah pembuluh mikroskopik yang membentuk jalinan yang


menghubungkan arteriol dengan venula. Pada beberapa daerah tubuh, terutama pada ujung-
ujung jari dan ibu jari, terdapat hubungan langsung antara arteri dan vena tanpa diperantai
kapiler. Tempat hubungan seperti ini dinamakan anastomosis arteriovenosa.

Gambar 1. Anatomi pembuluh darah

Histologi Struktur Pembuluh Darah secara umum

Tunica intima. merupakan lapisan yang kontak langsung dengan darah. Lapisan ini dibentuk
terutama oleh sel endothel.
Tunica media. Lapisan yang berada diantara tunika media dan adventitia, disebut juga lapisan
media. Lapisan ini terutama dibentuk oleh sel otot polos dan and jaringan elastic.

Tunica adventitia. Merupakan Lapisan yang paling luar yang tersusun oleh jaringan ikat.

Gambar 2. Histologi pembuluh darah

Definisi

Penyakit Buerger atau Tromboangitis Obliterans (TAO) adalah penyakit oklusi kronis
pembuluh darah arteri dan vena yang berukuran kecil dan sedang. Terutama mengenai pembuluh
darah perifer ekstremitas inferior dan superior. Penyakit pembuluh darah arteri dan vena ini
bersifat segmental pada anggota gerak dan jarang pada alat-alat dalam.

Penyakit Tromboangitis Obliterans merupakan kelainan yang mengawali terjadinya


obstruksi pada pembuluh darah tangan dan kaki. Pembuluh darah mengalami konstriksi atau
obstruksi sebagian yang dikarenakan oleh inflamasi dan bekuan sehingga mengurangi aliran
darah ke jaringan.
Gambar 3. Buerger Disease

Etiologi

Penyebabnya tidak jelas, tetapi biasanya tidak ada faktor familial serta tidak ada
hubungannya dengan penyakit Diabetes Mellitus. Penderita penyakit ini umumnya perokok berat
yang kebanyakan mulai merokok pada usia muda, kadang pada usia sekolah . Penghentian
kebiasaan merokok memberikan perbaikan pada penyakit ini.

Walaupun penyebab penyakit Buerger belum diketahui, suatu hubungan yang erat dengan
penggunaan tembakau tidak dapat disangkal. Penggunaan maupun dampak dari tembakau
berperan penting dalam mengawali serta berkembangnya penyakit tersebut. Hampir sama dengan
penyakit autoimune lainnya, Tromboangitis Obliterans dapat memiliki sebuah predisposisi
genetik tanpa penyebab mutasi gen secara langsung. Sebagian besar peneliti mencurigai bahwa
penyakit imun adalah suatu endarteritis yang dimediasi sistem imun.

Patogenesis

Mekanisme penyebaran penyakit Buerger sebenarnya belum jelas, tetapi beberapa


penelitian telah mengindikasikan suatu implikasi fenomena imunologi yang mengawali tidak
berfungsinya pembuluh darah dan wilayah sekitar thrombus. Pasien dengan penyakit ini
memperlihatkan hipersensitivitas pada injeksi intradermal ekstrak tembakau, mengalami
peningkatan sel yang sangat sensitive pada kolagen tipe I dan III, meningkatkan serum titer anti
endothelial antibody sel , dan merusak endothel terikat vasorelaksasi pembuluh darah perifer.
Meningkatkan prevalensi dari HLA-A9, HLA-A54, dan HLA-B5 yang dipantau pada pasien ini,
yang diduga secara genetic memiliki penyakit ini.
Akibat iskemia pembuluh darah (terutama ekstremitas inferior), akan terjadi perubahan
patologis : (a) otot menjadi atrofi atau mengalami fibrosis, (b) tulang mengalami osteoporosis
dan bila timbul gangren maka terjadi destruksi tulang yang berkembang menjadi osteomielitis,
(c) terjadi kontraktur dan atrofi, (d) kulit menjadi atrofi, (e) fibrosis perineural dan perivaskular,
(f) ulserasi dan gangren yang dimulai dari ujung jari.

Manifestasi klinis

Gambaran klinis Tromboangitis Obliterans terutama disebabkan oleh iskemia. Gejala


yang paling sering dan utama adalah nyeri yang bermacam-macam tingkatnya. Pengelompokan
Fontaine tidak dapat digunakan disini karena nyeri terjadi justru waktu istirahat. Nyerinya
bertambah pada waktu malam dan keadaan dingin, dan akan berkurang bila ekstremitas dalam
keadaan tergantung. Serangan nyeri juga dapat bersifat paroksimal dan sering mirip dengan
gambaran penyakit Raynaud. Pada keadaan lebih lanjut, ketika telah ada tukak atau gangren,
maka nyeri sangat hebat dan menetap.

Manifestasi terdini mungkin klaudikasi (nyeri pada saat berjalan) lengkung kaki yang
patognomonik untuk penyakit Buerger. Klaudikasi kaki merupakan cermin penyakit oklusi arteri
distal yang mengenai arteri plantaris atau tibioperonea. Nyeri istirahat iskemik timbul progresif
dan bisa mengenai tidak hanya jari kaki, tetapi juga jari tangan dan jari yang terkena bisa
memperlihatkan tanda sianosis atau rubor, bila bergantung. Sering terjadi radang lipatan kuku
dan akibatnya paronikia. Infark kulit kecil bisa timbul, terutama pulpa phalang distal yang bisa
berlanjut menjadi gangren atau ulserasi kronis yang nyeri.

Tanda dan gejala lain dari penyakit ini meliputi rasa gatal dan bebal pada tungkai dan
penomena Raynaud ( suatu kondisi dimana ekstremitas distal : jari, tumit, tangan, kaki, menjadi
putih jika terkena suhu dingin). Ulkus dan gangren pada jari kaki sering terjadi pada penyakit
buerger (gambar 4). Sakit mungkin sangat terasa pada daerah yang terkena.
Gambar 4. Manifestasi Klinis Buerger Disease

Perubahan kulit seperti pada penyakit sumbatan arteri kronik lainnya kurang nyata. Pada
mulanya kulit hanya tampak memucat ringan terutama di ujung jari. Pada fase lebih lanjut
tampak vasokonstriksi yang ditandai dengan campuran pucat-sianosis-kemerahan bila mendapat
rangsangan dingin. Berbeda dengan penyakit Raynaud, serangan iskemia disini biasanya
unilateral. Pada perabaan, kulit sering terasa dingin. Selain itu, pulsasi arteri yang rendah atau
hilang merupakan tanda fisik yang penting.

Tromboflebitis migran superfisialis dapat terjadi beberapa bulan atau tahun sebelum
tampaknya gejala sumbatan penyakit Buerger. Fase akut menunjukkan kulit kemerahan, sedikit
nyeri, dan vena teraba sebagai saluran yang mengeras sepanjang beberapa milimeter sampai
sentimeter di bawah kulit. Kelainan ini sering muncul di beberapa tempat pada ekstremitas
tersebut dan berlangsung selama beberapa minggu. Setelah itu tampak bekas yang berbenjol-
benjol. Tanda ini tidak terjadi pada penyakit arteri oklusif, maka ini hampir patognomonik untuk
tromboangitis obliterans.

Gejala klinis Tromboangitis Obliterans sebenarnya cukup beragam. Ulkus dan gangren
terjadi pada fase yang lebih lanjut dan sering didahului dengan udem dan dicetuskan oleh
trauma. Daerah iskemia ini sering berbatas tegas yaitu pada ujung jari kaki sebatas kuku. Batas
ini akan mengabur bila ada infeksi sekunder mulai dari kemerahan sampai ke tanda selulitis.

Gambar 5 merupakan gambar jari pasien penyakit Buerger yang telah terjadi gangren.
Kondisi ini sangat terasa nyeri dan dimana suatu saat dibutuhkan amputasi pada daerah yang
tersebut.
Gambar 5. Ujung jari pada Buerger Disease

Perjalanan penyakit ini khas, yaitu secara bertahap bertambah berat. Penyakit
berkembang secara intermitten, tahap demi tahap, bertambah falang demi falang, jari demi jari.
Datangnya serangan baru dan jari mana yang bakal terserang tidak dapat diramalkan. Morbus
buerger ini mungkin mengenai satu kaki atau tangan, mungkin keduanya. Penderita biasanya
kelelahan dan payah sekali karena tidurnya terganggu oleh nyeri iskemia.

Kriteria Diagnosis

Diagnosis pasti penyakit Tromboangitis Obliterans sering sulit jika kondisi penyakit ini
sudah sangat parah. Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan kriteria diagnosis walaupun
kriteria tersebut kadang-kadang berbeda antara penulis yang satu dengan yang lainnya.

Beberapa hal di bawah ini dapat dijadikan dasar untuk mendiagnosis penyakit Buerger :

1. Adanya tanda insufisiensi arteri

2. Umumnya pria dewasa muda

3. Perokok berat

4. Adanya gangren yang sukar sembuh

5. Riwayat tromboflebitis yang berpindah

6. Tidak ada tanda arterosklerosis di tempat lain


7. Yang terkena biasanya ekstremitas bawah

8. Diagnosis pasti dengan patologi anatomi

Sebagian besar pasien (70-80%) yang menderita penyakit Buerger mengalami nyeri
iskemik bagian distal saat istirahat dan atau ulkus iskemik pada tumit, kaki atau jari-jari kaki.

Gambar 6. Kaki dari penderita dengan penyakit Buerger. Ulkus iskemik pada jari kaki pertama, kedua dan kelima.
Walaupun kaki kanan penderita ini kelihatan normal, dengan angiographi aliran darah terlihat terhambat pada kedua
kakinya.

Gambar 7. Tromboplebitis superficial jempol kaki pada penderita dengan penyakit buerger.

Penyakit Buerger’s juga harus dicurigai pada penderita dengan satu atau lebih tanda klinis
berikut ini :

a. Jari iskemik yang nyeri pada ekstremitas atas dan bawah pada laki-laki dewasa muda
dengan riwayat merokok yang berat.

b. Klaudikasi kaki
c. Tromboflebitis superfisialis berulang

d. Sindrom Raynaud

Diagnosis Banding

Penyakit Buerger harus dibedakan dari penyakit oklusi arteri kronik aterosklerotik.
Keadaan terakhir ini jarang mengenai ekstremitas atas. Penyakit oklusi aterosklerotik diabetes
timbul dalam distribusi yang sama seperti Tromboangitis Obliterans, tetapi neuropati penyerta
biasanya menghalangi perkembangan klaudikasi kaki.

Pemeriksaan Penunjang

Tidak terdapat pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis penyakit


Buerger. Tidak seperti penyakit vaskulitis lainnya, reaksi fase akut (seperti angka sedimen
eritrosit dan level protein C reaktif) pasien penyakit Buerger adalah normal.

Pengujian yang direkomendasikan untuk mendiagnosis penyebab terjadinya vaskulitis


termasuk didalamnya adalah pemeriksaaan darah lengkap; uji fungsi hati; determinasi
konsentrasi serum kreatinin, peningkatan kadar gula darah dan angka sedimen, pengujian
antibody antinuclear, faktor rematoid, tanda-tanda serologi pada CREST (calcinosis cutis,
Raynaud phenomenon, sklerodaktili and telangiektasis) sindrom dan scleroderma dan screening
untuk hiperkoagulasi, screening ini meliputi pemeriksaan antibodi antifosfolipid dan
homocystein pada pasien buerger sangat dianjurkan.

Angiogram pada ekstremitas atas dan bawah dapat membantu dalam mendiagnosis
penyakit Buerger. Pada angiografii tersebut ditemukan gambaran “corkscrew” dari arteri yang
terjadi akibat dari kerusakan vaskular, bagian kecil arteri tersebut pada bagian pergelangan
tangan dan kaki. Angiografi juga dapat menunjukkan oklusi (hambatan) atau stenosis (kekakuan)
pada berbagai daerah dari tangan dan kaki.
Gambar 8. Sebelah kiri merupakan angiogram normal. Gambar sebelah kanan merupakan angiogram abnormal dari
arteri tangan yang ditunjukkan dengan adanya gambaran khas “corkscrew” pada daerah lengan. Perubahannya
terjadi pada bagian kecil dari pembuluh darah lengan kanan bawah pada gambar (distribusi arteri ulna).

Penurunan aliran darah (iskemi) pada tangan dapat dilihat pada angiogram. Keadaan ini
akan memgawali terjadinya ulkus pada tangan dan rasa nyeri.

Gambar 9. hasil angiogram abnormal dari tangan

Meskipun iskemik (berkurangannya aliran darah) pada penyakit Buerger terus terjadi
pada ekstrimitas distal yang terjadi, penyakit ini tidak menyebar ke organ lainnya , tidak seperti
penyakit vaskulitis lainnya. Saat terjadi ulkus dan gangren pada jari, organ lain sperti paru-paru,
ginjal, otak, dan traktus gastrointestinal tidak terpengaruh. Penyebab hal ini terjadi belum
diketahui.

Pemeriksaan dengan Doppler dapat juga membantu dalam mendiagnosis penyakit ini,
yaitu dengan mengetahui kecepatan aliran darah dalam pembuluh darah.

Pada pemeriksaan histopatologis, lesi dini memperlihatkan oklusi pembuluh darah oleh
trombus yang mengandung PMN dan mikroabses; penebalan dinding pembuluh darah secara
difus. LCsi yang lanjut biasanya memperlihatkan infiltrasi limfosit dengan rekanalisasi.

Metode penggambaran secara modern, seperti computerize tomography (CT) dan


Magnetic resonance imaging (MRI) dalam diagnosis dan diagnosis banding dari penyakit
Buerger masih belum dapat menjadi acuan utama. Pada pasien dengan ulkus kaki yang dicurigai
Tromboangitis Obliterans, Allen test sebaiknya dilakukan untuk mengetahui sirkulasi darah pada
tangan dan kaki.

Terapi

Terapi medis penderita penyakit Buerger harus dimulai dengan usaha intensif untuk
meyakinkan pasien untuk berhenti merokok. Jika pasien berhasil berhenti merokok, maka
penyakit ini akan berhenti pada bagian yang terkena sewaktu terapi diberikan. Sayangnya,
kebanyakan pasien tidak mampu berhenti merokok dan selalu ada progresivitas penyakit. Untuk
pembuluh darahnya dapat dilakukan dilatasi (pelebaran) dengan obat vasodilator, misalnya
Ronitol yang diberikan seumur hidup. Perawatan luka lokal, meliputi mengompres jari yang
terkena dan menggunakan enzim proteolitik bisa bermanfaat. Antibiotic diindikasikan untuk
infeksi sekunder.

Terapi bedah untuk penderita buerger meliputi debridement konservatif jaringan nekrotik
atau gangrenosa , amputasi konservatif dengan perlindungan panjang maksimum bagi jari atau
ekstremitas, dan kadang-kadang simpatektomi lumbalis bagi telapak tangan atau simpatetomi jari
walaupun kadang jarang bermanfat.
Revaskularisasi arteri pada pasien ini juga tidak mungkin dilakukan sampai terjadi
penyembuhan pada bagian yang sakit. Keuntungan dari bedah langsung (bypass) pada arteri
distal juga msih menjadi hal yang kontroversial karena angka kegagalan pencangkokan tinggi.
Bagaimanapun juga, jika pasien memiliki bebrapa iskemik pada pembuluh darah distal, bedah
bypass dengan pengunaan vena autolog sebaiknya dipertimbangkan.

Gambar 10. Bypass arteri

Simpatektomi dapat dilakukan untuk menurunkan spasma arteri pada pasien penyakit
Buerger. Melalui simpatektomi dapat mengurangi nyeri pada daerah tertentu dan penyembuhan
luka ulkus pada pasien penyakit buerger tersebut, tetapi untuk jangka waktu yang lama
keuntungannya belum dapat dipastikan.

Simpatektomi lumbal dilakukan dengan cara mengangkat paling sedikit 3 buah ganglion
simpatik, yaitu Th12, L1 dan L2. Dengan ini efek vasokonstriksi akan dihilangkan dan pembuluh
darah yang masih elastis akan melebar sehingga kaki atau tangan dirasakan lebih hangat.

Terapi bedah terakhir untuk pasien penyakit Buerger (yaitu pada pasien yang terus
mengkonsumsi tembakau) adalah amputasi tungkai tanpa penyembuhan ulcers, gangrene yang
progresif, atau nyeri yang terus-menerus serta simpatektomi dan penanganan lainnya gagal.
Hidarilah amputasi jika memungkinkan, tetapi, jika dibutuhkan, lakukanlah operasi dengan cara
menyelamatkan tungkai kaki sebanyak mungkin.
Beberapa usaha berikut sangat penting untuk mencegah komplikasi dari penyakit buerger:

- Gunakanlah alas kaki yang dapat melindungi untuk menghindari trauma kaki dan panas atau
juga luka karena kimia lainnya.

- Lakukanlah perawatan lebih awal dan secara agresif pada lula-luka ektremis untuk
menghindari infeksi

- Menghindar dari lingkungan yang dingin

- Menghindari obat yang dapat memicu vasokontriksi

Prognosis

Pada pasien yang berhenti merokok, 94% pasien tidak perlu mengalami amputasi;
apalagi pada pasien yang berhenti merokok sebelum terjadi gangrene, angka kejadian amputasi
mendekati 0%. Hal ini tentunya sangat berbeda sekali dengan pasien yang tetap merokok, sekitar
43% dari mereka berpeluang harus diamputasi selama periode waktu 7 sampai 8 tahun
kemudian, bahkan pada mereka harus dilakukan multiple amputasi. Pada pasien ini selain
umumnya dibutuhkan amputasi tungkai, pasien juga terus merasakan klaudikasi (nyeri pada saat
berjalan) atau fenomena raynaud’s walaupun sudah benar-benar berhenti mengkonsumi
tembakau
Arteritis Temporalis (Giant Cell Arteritis, Arteritis Sel Raksasa)
DEFINISI

Arteritis Temporalis (Giant Cell Arteritis, Arteritis Sel Raksasa) adalah penyakit peradangan
menahun pada arteri-arteri besar.

Penyakit ini menyerang sekitar 1 dari 1.000 orang yang berusia diatas 50 tahun dan sedikit lebih
banyak menyerang wanita.

Gejalanya bertumpang tindih dengan polimialgia rematika.

PENYEBAB

Penyebabnya tidak diketahui, tetapi diduga merupakan akibat dari respon kekebalan.

GEJALA

Gejalanya bervariasi, tergantung kepada arteri mana yang terkena.

Jika mengenai arteri besar yang menuju ke kepala. biasanya secara tiba-tiba akan timbul sakit
kepala hebat di pelipis atau di belakang kepala.
Pembuluh darah di pelipis bisa teraba membengkak dan bergelombang.
Jika sedang menyisir rambut, kulit kepala bisa terasa nyeri.

Bisa terjadi penglihatan ganda, penglihatan kabur, bintik buta yang besar, kebutaan pada salah
satu mata atau gangguan penglihatan lainnya.
Yang paling berbahaya adalah jika terjadi kebutaan total, yang bisa timbul secara mendadak jika
aliran darah ke saraf penglihatan (nervus optikus) tersumbat.

Yang khas adalah rahang, otot-otot pengunyahan dan lidah bisa terluka jika makan atau
berbicara.

Gejala lainnya bisa meliputi polimialgia rematika.

DIAGNOSA

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan pemeriksaan fisik, dan diperkuat dengan
biopsi dari arteri temporalis di pelipis.
Pemeriksaan darah biasanya menunjukkan laju endap darah yang sangat tinggi dan anemia.

PENGOBATAN

Kebutaan terjadi pada 20% penderita yang tidak diobati, sehingga pengobatan harus segera
dimulai setelah penyakit ini terdiagnosis.

Pada awalnya kortikosteroid seperti prednison , Methylprednisolone diberikan dalam dosis


tinggi, untuk menghentikan peradangan dalam pembuluh darah. Setelah beberapa minggu, jika
menunjukkan perbaikan, dosisnya secara perlahan diturunkan.
Beberapa penderita dapat menghentikan pemakaian prednison dalam beberapa tahun, tetapi
penderita lainnya memerlukan dosis yang sangat kecil selama beberapa tahun untuk
mengendalikan gejalanya dan mencegah kebutaan.

Obat -obatan imunosupresi seperti Azathioprine , Methotrexate dapat digunakan untuk mengatasi
reaksi peradangan tanpa reaksi seperti yang ditimbulkan oleh kortikosteroid
Poliarteritis Nodosa
DEFINISI

Poliarteritis Nodosa merupakan suatu penyakit dimana bagian dari arteri-arteri berukuran sedang
mengalami peradangan dan kerusakan, dan menyebabkan berkurangnya pengaliran darah ke
organ-organ yang diperdarahinya.

Penyakit ini sering berakibat fatal jika tidak diobati dengan tepat.
Biasanya menyerang usia 40-50 tahun, tetapi bisa terjadi pada usia berapa saja.
Laki-laki 3 kali lebih sering terkena.

PENYEBAB

Penyebabnya tidak diketahui, tetapi reaksi terhadap beberapa obat dan vaksin bisa menyebabkan
terjadinya penyakit ini.

Infeksi virus dan bakteri kadang-kadang bisa memicu terjadinya peradangan.

GEJALA

Pada awalnya penyakit ini bersifat ringan, tetapi bisa menjadi fatal dalam beberapa bulan atau
menyebabkan penyakit menahun.
Berbagai organ atau sekumpulan organ bisa terkena, dan gejalanya tergantung dari organ yang
terkena.

Poliarteritis nodosa sering menyerupai penyakit lain, dimana terjadi peradangan arteri
(vaskulitis). Salah satu contohnya adalah sindroma Churg-Strauss, yang membedakannya dengan
poliarteritis nodosa adalah bahwa pada sindroma ini terjadi asma.

Gejala awal yang paling sering ditemukan adalah demam.


Nyeri perut, mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki, kelemahan dan penurunan berat
badan juga bisa terjadi.

75% penderita mengalami kerusakan ginjal, yang menyebabkan tekanan darah tinggi,
pembengkakan karena penimbunan cairan (edema) dan berkurangnya atau tidak terbentuknya air
kemih.
Jika pembuluh darah pada saluran pencernaan terkena, daerah usus bisa mengalami perforasi,
menyebabkan infeksi perut (peritonitis), nyeri hebat, diare berdarah dan demam tinggi.

Jika pembuluh darah jantung terkena, bisa timbul nyeri dada dan serangan jantung.
Kerusakan pada pembuluh darah otak bisa menyebabkan sakit kepala, kejang dan halusinasi.

Hati juga bisa mengalami kerusakan hebat.


Sering terjadi nyeri otot dan sendi, dan persendian bisa mengalami peradangan.

Pembuluh darah di dekat kulit bisa teraba menonjol dan tidak teratur, dan kadang-kadang ulkus
terbentuk pada kulit diatas pembuluh darah yang terkena.

DIAGNOSA

Tidak terdapat pemeriksaan darah yang bisa memperkuat diagnosis poliarteritis nodosa.

Dokter menduga penyakit ini jika demam dan gejala-gejala neurologis seperti mati rasa,
kesemutan atau kelumpuhan terjadi pada laki-laki setengah baya yang sebelumnya sehat.

Diagnosis bisa diperkuat dengan melakukan biopsi dari pembuluh darah yang terkena.
Mungkin juga perlu dilakukan biopsi hati atau ginjal.

Foto rontgen yang diambil setelah penyuntikan zat warna ke dalam arteri (arteriogram), bisa
menunjukkan abnormalitas dalam pembuluh darah.

PENGOBATAN

Tanpa pengobatan, hanya 33% yang bertahan hidup selama 1 tahun, 88% meninggal dalam
waktu 5 tahun.
Pengobatan yang agresif bisa mencegah kematian.
Obat-obat yang memicu terjadinya penyakit ini, pemakaiannya dihentikan.

Kortikosteroid dosis tinggi (misalnya prednison , Dexamethasone , Methylprednisolone ), dapat


mencegah memburuknya penyakit dan menyebabkan periode bebas gejala pada sekitar 30%
penderita.
Karena biasanya diperlukan pengobatan kortikosteroid jangka panjang, maka pada saat gejalanya
mereda dosisnya dikurangi.

Jika kortikosteroid tidak mampu mengurangi peradangan, bisa diganti atau digabung dengan obat
imunosupresan, seperti siklofosfamid , Azathiopine , Metotrexate

Pengobatan lainnya, seperti pengendalian tekanan darah tinggi, sering diperlukan untuk
mencegah kerusakan organ-organ dalam.

Meskipun diobati, beberapa organ vital bisa mengalami kegagalan atau pembuluh darah yang
melemah bisa pecah.
Kegagalan ginjal merupakan penyebab kematian paling sering.
Infeksi yang berakibat fatal bisa terjadi karena penggunaan kortikosteroid jangka panjang dan
obat imunosupresan, yang mengurangi kemampuan tubuh dalam melawan infeksi
PLEBITIS
Beberapa definisi tentang Plebitis :

Plebitis adalah iritasi vena oleh alat IV, obat-obatan, atau infeksi yang ditandai dengan
kemerahan, bengkak, nyeri tekan pada sisi IV.(Weinstein, 2001)

Plebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi kimia maupun mekanik
yang sering disebabkan oleh komplikasi dari terapi intravena. (La Rocca, 1998)

Terapi interavena adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan untuk memasukkan obat
atau vitamin kedalam tubuh pasien. Infeksi dapat menjadi komplikasi utama dari terapi intra
vena ( IV ) terletak pada system infus atau tempat menusukkan vena (Darmawan, 2008).

Plebitis dapat menyebabkan trombus yang selanjutnya menjadi tromboplebitis, perjalanan


penyakit ini biasanya jinak, tapi walaupun demikian jika trombus terlepas kemudian diangkut
dalam aliran darah dan masuk jantung maka dapat menimbulkan seperti katup bola yang bisa
menyumbat atrioventrikular secara mendadak dan menimbulkan kematian. (Sylvia, 1995).

Secara sederhana Plebitis berarti peradangan vena. Plebitis berat hampir selalu diikuti bekuan
darah, atau trombus pada vena yang sakit. Kondisi demikian dikenal sebagai tromboplebitis.

Dalam istilah yang lebih teknis lagi, plebitis mengacu ke temuan klinis adanya nyeri, nyeri tekan,
bengkak, pengerasan, eritema, hangat dan terbanyak vena seperti tali. Semua ini diakibatkan
peradangan, infeksi dan/atau trombosis. Banyak faktor telah dianggap terlibat dalam patogenesis
plebitis, antara lain:

1. Faktor-faktor kimia seperti obat atau cairan yang iritan;

2. Faktor-faktor mekanis seperti bahan, ukuran kateter, lokasi dan lama kanulasi; serta

3. Agen infeksius.

Faktor pasien yang dapat mempengaruhi angka plebitis mencakup, usia, jenis kelamin dan
kondisi dasar (yakni. diabetes melitus, infeksi, luka bakar). Suatu penyebab yang sering luput
perhatian adalah adanya mikropartikel dalam larutan infus dan ini bisa dieliminasi dengan
penggunaan filter

Plebitis masih merupakan masalah yang penting dalam praktek kedokteran. Pada pasien diabetes
dan penyakit infeksi, dibutuhkan lebih banyak perhatian

Berapa sering plebitis yang disebabkan infus?


Kekerapan plebitis akibat infus sangat bervariasi menurut peneliti, kondisi klinis dan
karakteristika pasien.

Kekerapan
Penulis Catatan
Plebitis

35% Pose-Reino dkk Plebitis pada pasien penyakit dalam

Nordenström J, 83 pasien bedah yang mendapat PPN (nutrisi parenteral


18% Jeppsson B, Lovén, perifer). Semua larutan nutrisi diberikan selama 24 jam dari
Larsson J. bag 3 liter dan lokasi infus dirotasi setiap hari.

Nassaji-Zavareh M,
26% 300 pasien di bangsal penyakit dalam dan bedah
Ghorbani.R

766 pasien dengan pnemonia akut yang membutuhkan


39% Manuel Monreal dkk
terapi intravena

35% Joan Webster dkk. 755 pasien

Plebitis bisa disebabkan berbagai faktor sebagaimana disebutkan di atas

1. PLEBITIS KIMIA

1. pH dan osmolaritas cairan infus yang ekstrem selalu diikuti risiko plebitis tinggi.
pH larutan dekstrosa berkisar antara 3 – 5, di mana keasaman diperlukan untuk
mencegah karamelisasi dekstrosa selama proses sterilisasi autoklaf, jadi larutan
yang mengandung glukosa, asam amino dan lipid yang digunakan dalam nutrisi
parenteral bersifat lebih flebitogenik dibandingkan normal saline. Obat suntik
yang bisa menyebabkan peradangan vena yang hebat, antara lain kalium klorida,
vancomycin, amphotrecin B, cephalosporins, diazepam, midazolam dan banyak
obat khemoterapi. Larutan infus dengan osmolaritas > 900 mOsm/L harus
diberikan melalui vena sentral.
2. Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna selama
pencampuran juga merupakan faktor kontribusi terhadap plebitis. Jadi , kalau
diberikan obat intravena masalah bisa diatasi dengan penggunaan filter 1 sampai 5
µm

3. Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau lengan bawah) sangat
dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas > 500 mOsm/L. Hindarkan
vena pada punggung tangan jika mungkin, terutama pada pasien usia lanjut

4. Jangan gunakan vena punggung tangan bila anda memberikan : Asam Amino +
glukosa; Glukosa + elektrolit; D5 atau NS yang telah dicampur dengan obat
suntik atau Meylon dan lain-lain

5. Kateter yang terbuat dari silikon dan poliuretan kurang bersifat iritasi dibanding
politetrafluoroetilen (teflon) karena permukaan lebih halus, lebih thermoplastik
dan lentur. Risiko tertinggi untuk plebitis dimiliki kateter yang terbuat dari
polivinil klorida atau polietilen.

6. Dulu dianggap pemberian infus lambat kurang menyebabkan iritasi daripada


pemberian cepat.

2. PLEBITIS MEKANIS
Plebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula. Kanula yang dimasukkan ada
daerah lekukan sering menghasilkan plebitis mekanis. Ukuran kanula harus dipilih sesuai
dengan ukuran vena dan difiksasi dengan baik.

3. PLEBITIS BAKTERIAL
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap plebitis bakteri meliputi:

1. Teknik pencucian tangan yang buruk

2. Kegagalan memeriksa peralatan yang rusak. Pembungkus yang bocor atau robek
mengundang bakteri.

3. Teknik aseptik tidak baik

4. Teknik pemasangan kanula yang buruk

5. Kanula dipasang terlalu lama

6. Tempat suntik jarang diinspeksi visual

Pasien mana yang lebih cenderung mengalami plebitis?

Faktor-faktor predisposisi
Nassaji-Zavareh M, Ghorbani. R mengkaji kekerapan plebitis pada 300 pasien yang dirawat di
bangsal interna dan bedah, dan mendapatkan sebagai berikut:

Tabel 1. Kekerapan plebitis pada pasien yang dikaji (faktor tidak terkait)

Parameter Besar sampel Plebitis (n) Kekerapan (%) OR (Odds ratio) 95% Cl for OR

Usia<60th 169 47 27.8 1.18 0.79-1.74

Usia≥60th 131 31 23.7

Trauma

Ya 58 19 32.8 1.34 0.87-2.07

Tidak 242 59 24.4

Ukuran kateter

20 G 109 30 27.5 1.11 0.75-1.65

18 G 190 47 24.7

Tabel 2. Kekerapan plebitis pada pasien yang dikaji (faktor terkait)

Parameter Besar sampel Plebitis (n) Kekerapan (%) OR (Odds ratio) 95% Cl for OR

Jenis Kelamin

Wanita 155 48 31.0 1.50 1.01-2.22

Pria 145 30 20.7

Diabetes Melitus
Ya 111 64 57.7 7.78 4.59-13.21

Tidak 189 14 7.4

Luka Bakar

Ya 3 3 100 3.96 3.26-4.82

Tidak 297 75 25.3

Penyakit Infeksi

Ya 67 50 74.6 6.21 4.27-9.03

Tidak 233 28 12.0

Lokasi kateter

Tungkai 13 10 76.9 3.25 2.26-4.67

Lengan 287 68 23.7

Sifat pemasangan

Darurat 140 50 35.7 2.04 1.36-3.05

Tidak Darurat 160 28 17.5

Bagaimana mendeteksi dan menilai adanya plebitis selama pemasangan infus?

Skor visual untuk plebitis telah dikembangkan oleh Andrew Jackson (8) sebagai berikut:
Bagaimana mencegah dan mengatasi plebitis?

Di samping pedoman sederhana di atas, bisa dipertimbangkan strategi berikut:

1. Mencegah plebitis bakterial


Pencegahan ini menekankan pada kebersihan tangan, teknik aseptik, perawatan daerah
infus serta antisepsis kulit. Walaupun lebih disukai sediaan chlorhexidine-2%, tinctura
yodium, iodofor atau alkohol 70% juga bisa digunakan.

2. Selalu waspada dan jangan meremehkan teknik aseptik.


Stopcock sekalipun (yang digunakan untuk penyuntikan obat atau pemberian infus IV,
dan pengambilan sampel darah) merupakan jalan masuk kuman yang potensial ke dalam
tubuh. Pencemaran stopcock lazim dijumpai dan terjadi kira-kira 45 – 50% dalam
serangkaian besar kajian.

1. Rotasi kanula
May dkk(2005) melaporkan hasil 4 teknik pemberian PPN, di mana mengganti tempat
(rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas
plebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi baru-baru ini oleh Webster dkk
disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam JIKA
tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control and Prevention menganjurkan
penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi, namun
rekomendasi ini tidak didasarkan atas bukti yang cukup

2. Aseptic dressing
Dianjurkan aseptic dressing untuk mencegah plebitis. Kasa setril diganti setiap 24 jam

3. Laju pemberian
Para ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus larutan hipertonik diberikan
makin rendah risiko plebitis. Namun, ada paradigma berbeda untuk pemberian infus obat
injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L jika durasi
hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu
kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan
pemberian tinggi (150 – 330 mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan kateter yang
sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus yang diinginkan,
dengan filter 0.45mm. Kanula harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri atau
kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus jaga sebagai jalan
masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi parenteral.

4. Titrable acidity
Titratable acidity dari suatu larutan infus tidak pernah dipertimbangkan dalam kejadian
plebitis. Titratable acidity mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menetralkan
pH larutan infus. Potensi plebitis dari larutan infus tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan
pH atau titrable acidity sendiri. Bahkan pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang
menyebabkan perubahan karena titrable acidity nya sangat rendah (0.16 mEq/L). Dengan
demikian makin rendah titrable acidity larutan infus makin rendah risiko plebitisnya.

5. Heparin & hidrokortison


Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir 1 unit/mL,
mengurangi masalah dan menambah waktu pasang kateter. Risiko plebitis yang
berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal, kalium klorida, lidocaine, dan
antimikrobial) juga dapat dikurangi dengan pemberian aditif IV tertentu, seperti
hidrokortison. Pada uji klinis dengan pasien penyakit koroner, hidrokortison secara
bermakna mengurangi kekerapan plebitis pada vena yg diinfus lidokain, kalium klorida
atau antimikrobial. Pada dua uji acak lain, heparin sendiri atau dikombinasi dengan
hidrokortison telah mengurangi kekerapan plebitis, tetapi penggunaan heparin pada
larutan yang mengandung lipid dapat disertai dengan pembentukan endapan kalsium.

6. In-line filter
In-line filter dapat mengurangi kekerapan plebitis tetapi tidak ada data yang mendukung
efektivitasnya dalam mencegah infeksi yang terkait dengan alat intravaskular dan sistem
infus.

KESIMPULAN
Plebitis masih merupakan masalah lazim dalam terapi cairan, ketika kita memberikan obat
intravena, terapi cairan rumatan serta nutrisi parenteral. Berbagai faktor terkait dan faktor-faktor
predisposisi meliputi usia lanjut, trauma, ukuran kateter besar, diabetes, infeksi,
hiperosmolaritas, pH, teknik aseptik yang jelek dll. Klinisi harus memikirkan sebab-sebab
multifaktor ini dan melakukan pemantauan ketat untuk mencegah dan mengatasi komplikasi
serius.

Penyakit Buerger (Tromboangitis Obliterans)

Defenisi
Penyakit Buerger (Tromboangitis obliterans) adalah penyumbatan pada arteri dan vena yang

berukuran kecil sampai sedang, akibat peradangan yang dipicu oleh merokok. Penyakit Buerger

merupakan suatu peradangan pada pembuluh darah arteri dan vena serta saraf pada tungkai yang

menyebabkan gangguan aliran darah. Jika tidak diobati dapat menyebabkan gangren pada daerah

yang dipengaruhinya. Penyakit Buerger dikenal juga sebagai tromboangitis obliteran.

Penyebab

Penyebabnya tidak diketahui, tetapi penyakit Buerger hanya menyerang perokok dan keadaan ini

akan semakin memburuk jika penderita tidak berhenti merokok. Penyakit ini hanya terjadi pada

sejumlah kecil perokok yang lebih peka. Mengapa dan bagaimana merokok sigaret menyebabkan

terjadinya penyakit ini, tidak diketahui.

Gejala

Gejala karena berkurangnya pasokan darah ke lengan atau tungkai terjadi secara perlahan,

dimulai pada ujung-ujung jari tangan atau jari kaki dan menyebar ke lengan dan tungkai,

sehingga akhirnya menyebabkan gangren (kematian jaringan). Sekitar 40% penderita juga

mengalami peradangan vena (terutama vena permukaan) dan arteri dari kaki atau tungkai.

Penderita merasakan kedinginan, mati rasa, kesemutan atau rasa terbakar. Penderita seringkali

mengalami fenome Raynaud dan kram otot, biasanya di telapak kaki atau tungkai. Pada

penyumbatan yang lebih berat, nyerinya lebih hebat dan berlangsung lebih lama. Pada awal

penyakit timbul luka terbuka, gangren atau keduanya. Tangan atau kaki terasa dingin, berkeringat

banyak dan warnanya kebiruan, kemungkinan karena persarafannya bereaksi terhadap nyeri

hebat yang menetap. Gejala karena berkurangnya pasokan darah ke lengan atau tungkai terjadi
secara perlahan, dimulai pada ujung-ujung jari tangan atau jari kaki dan menyebar ke lengan dan

tungkai, sehingga akhirnya menyebabkan gangren (kematian jaringan). Sekitar 40% penderita

juga mengalami peradangan vena (terutama vena permukaan) dan arteri dari kaki atau tungkai.

Penderita merasakan kedinginan, mati rasa, kesemutan atau rasa terbakar. Penderita seringkali

mengalami fenome Raynaud dan kram otot, biasanya di telapak kaki atau tungkai. Pada

penyumbatan yang lebih berat, nyerinya lebih hebat dan berlangsung lebih lama. Pada awal

penyakit timbul luka terbuka, gangren atau keduanya. Tangan atau kaki terasa dingin, berkeringat

banyak dan warnanya kebiruan, kemungkinan karena persarafannya bereaksi terhadap nyeri

hebat yang menetap.

Diagnosa

Diagnosis dibuat berdasarkan gejala-gejala klinis. Penderita sering mengeluh mati rasa, rasa

gatal atau rasa panas pada daerah yang dipengaruhi sebelum peradangan pada pembuluh darah

jelas terlihat. Pada lebih dari 50% penderita, denyut nadi pada satu atau beberapa arteri di kaki

maupun pergelangan tangan, menjadi lemah bahkan sama sekali tak teraba. Tangan, kaki, jari

tangan atau jari kaki yang terkena seringkali tampak pucat jika diangkat ke atas jantung dan

menjadi merah jika diturunkan. Mungkin ditemukan ulkus (luka terbuka, borok) di kulit dan

gangren, biasanya pada satu atau lebih jari tangan atau jari kaki. Pemeriksaan USG menunjukkan

penurunan yang hebat dari tekanan darah dan aliran darah di kaki, jari kaki, tangan dan jari

tangan yang terkena. Angiogram bisa menggambarkan arteri yang tersumbat dan kelainan

sirkulasi lainnya, terutama di tangan dan kaki.

Pengobatan
Tidak ada pengobatan atau pembedahan yang efektif untuk kelainan ini. Penderita harus berhenti

merokok untuk mengurangi gejala-gejala yang dikeluhkan. Obat-obat vasodilator yang

melebarkan diameter pembuluh darah dapat diberikan pada penderita, tetapi tidak efektif.

Hindarilah daerah tubuh yang terkena terhadap paparan panas dan dingin. Hindarilah daerah

yang dipengaruhi penyakit ini terhadap trauma dan jika terjadi infeksi harus segera diobati.

Penderita harus berhenti merokok atau penyakitnya akan menjadi lebih buruk, sehingga akhirnya

memerlukan tindakan amputasi. Penderita juga harus menghindari:

1. Pemaparan terhadap dingin.

2. Cedera karena panas, dingin atau bahan (seperti iodine atau asam) yang digunakan untuk

mengobati kutil dan kapalan.

3. Cedera karena sepatu yang longgar/sempit atau pembedahan minor.

4. Infeksi jamur.

5. Obat-obat yang dapat mempersempit pembuluh darah.

Berjalan selama 15 – 30 menit 2 kali/hari sangat baik. Penderita dengan gangren, luka-luka atau

nyeri ketika beristirahat, perlu menjalani tirah baring. Penderita harus melindungi kakinya

dengan pembalut yang memiliki bantalan tumit atau dengan sepatu boot yang terbuat dari karet.

Bagian kepala dari tempat tidur dapat ditinggikan 15-20 cm diatas balok, sehingga gaya gravitasi

membantu mengalirkan darah menuju arteri-arteri. Pentoxifylline, antagonis kalsium atau

penghambat platelet (misalnya aspirin) diberikan terutama jika penyumbatan disebabkan oleh

kejang. Penderita yang berhenti merokok tetapi masih mengalami penyumbatan arteri, mungkin
perlu menjalani pembedahan untuk memperbaiki aliran darah, dengan memotong saraf terdekat

untuk mencegah kejang. Jarang dilakukan pencangkokan bypass karena arteri yang terkena

terlalu kecil.

Definisi, Penyebab, dan Patogenesis Vaskulitis dan Hubungannya dengan


Takayasu Disease
Vaskulitis adalah sebuah istilah yang terkait dengan kelompok penyakit heterogen
yangmengakibatkan peradangan pembuluh darah. Pembuluh darah yang dimaksud adalah
sistemvaskular yang terdiri dari arteri yang membawa darah penuh oksigen ke jaringan tubuh
dan enayang membawa kembali darah kurang oksigen dari jaringan ke paru-paru. Vaskulitis
dapatmengenai vena, arteri maupun kapiler. Peradangan pada arteri disebut arteritis
sedangkanperadangan pada vena disebut phlebitis.

Etiologi terjadinya vaskulitis masih belum diketahui. Tetapi telah diketahui bahwa sistemimun
mempunyai peranan yang besar pada kerusakan jaringan akibat vaskulitis. Sistem imunyang
normalnya melindungi organ tubuh pada vaskulitis menjadi hiperaktif karena dirangsangoleh
stimulus yang belum diketahui mengakibatkan terjadinya inflamasi.

Patogenesis: Ketika inflamasi ini terjadi, hal ini menyebabkan perubahan pada dinding
pembuluhdarah seperti penebalan dan penyempitan yang pada akhirnya dapat menyebabkan
sumbatanpembuluh darah. Sumbatan pembuluh darah yang berat akan berefek pada jaringan
yangdiperdarahi oleh pembuluh darah tersebut, menimbulkan gangguan perfusi dan distribusi
nutrisike jaringan, terjadi iskemi, kerusakan bahkan kematian jaringan.

Takayasu disease yang merupakan suatu penyakit vaskulits pada pembuluh darah besar.Untuk
lebih mengetahui penyakit vaskulitis secara umum, maka saya akan sedikit menjelaskantentang
definisi dan klasifikasi penyakit vaskulitis
Penyakit Takayasu Arteritis adalah penyakit yang jarang, tetapi mempunyai manifestasi
klinis yang khas pada fase akhirnya dimana tekanan darah yang diukur pada kedua tangan
berbeda. Takayasu arteritis disebut juga dengan penyakit tanpa nadi (pulseless disease) adalah
penyakit inflamasi kronik mengenai pembuluh darah besar terutama aorta dan cabang utamanya.
Pertama kali ditemukan pada tahun 1908 oleh seorang oftalmologis dari Jepang bernama Mikito
Takayasu yang melaporkan adanya anastomosis arteriovenosus retina dan hilangnya nadi pada
ekstremitas atas. Takayasu arteritis mengenai terutama perempuan. Umumnya penderita berusua
15-30 tahun. Distribusi dari penyakit ini terutama di Negara-negara Asia. Di Indonesia sendiri
belum ada data epidemiologis untuk penyakit ini, karena tergolong denganpenyakit yang jarang.
Pathogenesis yang terjadi pada Takayasu Arteritis adalah inflamasi pembuluh darah
mengacu kepada penebalan dinding pembuluh darah, fibrosis, stenosis, dan pembentukan
thrombus. Gejala yang timbul dari penyakit ini merefleksikan adanya iskemi organ. Semakin
akut inflamasi yang terjadi dapat menghancurkanarteri media dan mengarah kepada
pembentukan aneurisma.
Pemeriksaan gold standard pada Takayasu arteritis dengan angiografi. Berdasarkan
pencitraan tersebut dibagi menjadi enam tipe tergantung tempat lesi inflamasi berada. Klasifikasi
ini dibuat untuk mempermudah, karena tempat lesi berada mempengarufi manifestasi dan
komplikasi yang akan timbul nantinya.
Pengobatan terutama bertujuan mencapai fase remisi dimana tidak terjadi infalamasi
aktif. Dapat di lakukandengan agen immunosupresif seperti kortikosteroid. Terapi bedah
dilakukan bila terdapat lesi parah dan telah timbul komplikasi sekunder salah satunya seperti
hipertensi akibat stenosis arteri renalis.
BAB II

PEMBAHASAN

II. A. VASKULITIS

Takayasu arteritis yang merupakan suatu penyakit vaskulits pada pembuluh darah besar.
UntUk lebih mengetahui penyakit vaskulitis secara umum, maka saya akan sedikit menjelaskan
tentang definisi dan klasifikasi penyakit vaskulitis. (1,2)

II. A. 1. Definisi, Etiologi dan Pathogenesis(1,8)

Vaskulitis adalah sebuah istilah yang terkait dengan kelompok penyakit heterogen yang
mengakibatkan peradangan pembuluh darah. Pembuluh darah yang dimaksud adalah sistem
vaskular yang terdiri dari arteri yang membawa darah penuh oksigen ke jaringan tubuh dan ena
yang membawa kembali darah kurang oksigen dari jaringan ke paru-paru.Vaskulitis dapat
mengenai vena, arteri maupun kapiler. Peradangan pada arteri disebut arteritis sedangkan
peradangan pada vena disebut phlebitis.

Etiologi terjadinya vaskulitis masih belum diketahui. Tetapi telah diketahui bahwa sistem
imun mempunyai peranan yang besar pada kerusakan jaringan akibat vaskulitis. Sistem imun
yang normalnya melindungi organ tubuh pada vaskulitis menjadi hiperaktif karena dirangsang
oleh stimulus yang belum diketahui mengakibatkan terjadinya inflamasi.

Ketika inflamasi ini terjadi, hal ini menyebabkan perubahan pada dinding pembuluh
darah seperti penebalan dan penyempitan yang pada akhirnya dapat menyebabkan sumbatan
pembuluh darah. Sumbatan pembuluh darah yang berat akan berefek pada jaringan yang
diperdarahi oleh pembuluh darah tersebut, menimbulkan gangguan perfusi dan distribusi nutrisi
ke jaringan, terjadi iskemi, kerusakan bahkan kematian jaringan.

II. A. 2. Klasifikasi Vaskulitis(2,8)

Berdasarkan penyebabnya vaskulitis dibagi menjadi:

 Vaskulitis Primer
vaskulitis primer adalah vaskulitis yang tidak diketahui penyebabnya. Melibatkan berbagai
sistem organ sehingga disebut sebagai vaskulitis sistemik. Vaskulitis primer dibagi kedalam
beberapa grup berdasarkan ukuran pembuluh darah yang terkena. Dengan adanya pembagian
ini dapat menjelaskan mekanisme patogenesis penyakit lebih baik, sehingga dapat diketahui
prognosis dan terapi yang maksimal pada tiap individu yang terkena.

Tabel 1. Klasifikasi vaskulitis primer(8)

Ukuran pembuluh Tipe vaskulitis


darah
Pembuluh darah besar Giant cell atau temporal arteritis
Takayasu’s arteritis
Pembuluh darah sedang Poliarteritis Nodosa
Penyakit Kawasaki
Churg-Strauss vasculitis
Pembuluh darah kecil Wegener’s granulomatosis
Microscopic polyangiitis
Henoch-Schönlein purpura
Esensial Cryoglobulinemia
Vaskulitis hipersensitivitas
Cutaneous leukocytoclastic
angiiti
* Klasifikasi berdasarkan International Consensus Conference di Chapel Hill, North Carolina pada tahun
1994

 Vaskulitis Sekunder

Vaskulitis sekunder terjadi karena adanya penyakit yang mendasari. Contoh keadaan yang
dapat menimbulkan vaskulitis antara lain :

- Infeksi : dapat disebabkan oleh virus hepatitis B dan C

- Kelainan sistem imun : Reumatoid arteritis, SLE, dan sindrom Sjogren’s

- Reaksi alergi : reaksi alergi dari medikasi, terpapar amfetamin atau kokain

- Keganasan : kanker yang dapat berefek pada sel darah misalnya leukemia, lymphoma,
dan multiple myeloma
II. B. AORTA

Aorta adalah cabang utama dari pembuluh darah arteri yang membawa darah penuh
oksigen untuk nutrisi jaringan.(2)

II. B. 1. Anatomi dan Histologi Aorta (2,5)


Bagian awal aorta muncul keluar dari ventrikel kiri, yang dimulai dari katup aorta. Kedua
arteri coronaria jantung bercabang dari pangkal aorta, di atas katup aorta. Aorta kemudian
melengkung balik mengelilingi arteri pulmonalis. Tiga pembuluh darah muncul keluar dari arcus
aortae ini, yaitu arteri brachiocephalica, arteri carotis communis sinistra, dan arteri subclavia
sinistra. Pembuluh-pembuluh ini memasok darah ke kepala dan bagian lengan.
Aorta kemudian menuruni badan. Bagian atas diafragma (dalam dada) dipanggil aorta pars
thoracalis dan bagian bawah diafragma (dalam abdomen) dipanggil aorta pars abdominalis.
Arteri parsthoracalis, jantung, dan pembuluh darah besar lainnya Saat bergerak ke bawah
dinding posterior abdomen, aorta abdomen beredar pada kiri vena cava inferior, bercabang-
cabang menjadi saluran darah utama pada perut dan usus, dan juga ginjal.

Terdapat banyak bentuk cabang yang dapat diketahui dalam sistem vascular abdomen.
Bentuk yang paling umum ialah cabang aorta membentuk truncus celiacus, arteri mesenterica
superior, dan juga arteri mesenterica inferior. Arteri renalis biasanya bercabang dari aorta
abdominalis di antara truncus celiacus dan arteri mesenterica superior.Aorta berakhir dengan
percabangan 2, yaitu arteri iliaca communis sinistra dan arteri iliaca communis dextra untuk
memasok darah ke anggota tubuh bagian bawah dan pelvis.

Aorta dibentuk dari 3 lapisan: lapisan dalam yang tipis atau disebut intima, lapisan
tengah yang tebal disebut media, dan lapisan luar disebut advetisia. Kekuatan aorta terletak di
lapisan media, yang terbentuk dari lembaran jaringan elastin yang berlapis dan terjalin satu sama
lain dalam bentuk spiral sehingga dapat mencegah peregangan maximum. Berdasarkan
eksperimen dinding aorta dapat menahan dari ribuan milliliter merkuri tanpa terjadi ruptur.
Berbeda dengan arteri perifer, tunika media aorta mengandung otot halus relative sedikit dan
kolagen diantara lapisan elastin. Pertumbuhan besar jaringan elastin yang memberikan aorta
tidak hanya kekuatan tetapi juga distensibilitas dan elastisitas. Tunika intima aorta adalah
lapisan yang tipis dan lembut yang dilapisi dilapisi dengan endotel yang mudah terkena trauma.
Tunika adventisia mengandung terutama kolagen dan vasa vasorum yang penting dalam
member nutrisi setengah dinding aorta luar, termasuk sebagian besar tunika media.

II. B. 2. Fisiologi Aorta

Selama sistol, aorta terdistensi oleh tekanan darah yang masuk ke dalam aorta oleh
ventrikel kiri, dan pada keadaan ini energi kinetik yang diproduksi oleh ventrikel kiri di ubah
menjadi energy potensial yang tersimpan di dinding aorta. Selama diastole, energy potensial di
ubah kembali menjadi energy kinetic mempertahankan tekanan darah sewaktu diastole,
karena saat itu, aorta akan berkontraksi secara pasif.(2)

Sebagai tambahan dari fungsi konduksi dan pompa, aorta juga berperan secara tidak
langsung dalam mengkontrol resistensi vascular sistemik dan kecepatan nadi. Reseptor tekanan
yang sama dengan di sinus carotis, terletak di aorta asendens dan lengkung aorta yang mengirim
sinyal aferen ke pusat vasomotor di batang otak melalui jaras n.vagus. Peningkatan tekanan di
dalam aorta menyebabkan reflex bradikardi dan penurunan resistensi vaskular sistemik dan
sebaliknya. Penurunan tekanan meningkatkan nadi dan resistensi vaskular. (2,5)
c

Gambar 1. Anatomi dan histologi aorta (5)

II. C. TAKAYASU ARTERITIS

II. C. 1. Definisi
Takayasu’s arteritis disebut juga dengan istilah “aortic arch syndrome”, pulseless
disease”, “aortoarteritis”, “acclusive thromboaortopathy”, “young female arteritis”, dan
“reversed coarctation”. Takayasu arteritis adalah penyakit inflamasi kronik yang tidak diketahui
penyebabnya melibatkan aorta dan cabang utamanya. Pertama kali ditemukan pada tahun 1908
oleh seorang oftalmologis dari Jepang bernama Mikito Takayasu yang melaporkan adanya
anastomosis arteriovenosus retina dan hilangnya nadi pada ekstremitas atas. (2,5,7)
II. C. 2. Epidemiologi

Insiden terjadinya Takayasu arteritis adalah 2-6 kasus per juta orang tiap tahunnya. Takayasu
mempunyai distribusi di seluruh dunia, tetapi lebih sering ditemukan di Negara Asian. Orang
Jepang dengan Takayasu mempunyai insiden lebih tinggi pada keterlibatan lengkungan aorta,
sebaliknya orang india dilaporkan mempunyai insiden lebih tinggi keterlibatan abdominal.
Kurang lebih 80% pasien dengan Takayasu arteritis adalah wanita. Perbandingan wanita dan pria
sekitar 7-8 : 1. Rentang umur saat pertama didiagnosis dari 7 bulan sampai 40 tahun. Tapi
kebanyakan pasien berumur antara 15-30 tahun. (1,2,4)

II. C. 3. Etiologi dan Patogenesis (1,2,7)

Takayasu arteritis dikarakteristikkan dengan inflamasi granulomatosa dari aorta dan


cabang utamanya, mengarah kepada stenosis, trombosis, dan formasi aneurisma.

Pathogenesis terjadinya arteritis pada Takayasu arteritis adalah terjadi infiltrasi


mononuclear dari tunika adventisia di awal penyakit. Perubahan granulomatosa ditemukan di
tunika media dengan sel Langerhans dan nekrosis sentral dari serabut elastin dan sel otot polos.
Panarterits dengan infiltrasi dari limfosit, sel plasma, histiosisit, dan sel giant terjadi. Pada
stadium awal penyakit terdapat inflamasi aktif melibatkan arteritis granulomatosa pada aorta dan
percabangannya, dengan perubahan sekunder pada tunika media dan adventisia. Penyakit ini
berkembang dalam kecepatan yang bervariasi menjadi stadium sklerotik dimana terdapat
hyperplasia dari tunika intima, degenerasi tunika media, dan fibrosis tunika adventisia.
Selanjutnya terjadi fibrosis dari tunika media dan penebalan aseluler dari tunika intima
memperburuk keadaan lumen pembuluh darah. Proses proliferative ini menuntun terjadinya
penyumbatan pada lumen aorta dan percabangannya.

Stenosis terjadi pada 90 % pasien dengan penyakit takayasu arteritis. Pasien sering
mempunyai dilatasi poststenotik dan area aneurisma lainnya. Bagian arteri yang mengalamai
stenosis menyebabkan berbagai gejala iskemi. Gejala ini bervariasi dari nyeri abdomen setelah
makan yang terjadi sekunder karena penyempitan arteri mesentrik, hipertensi renal, dan
klaudikasio ekstremitas. Aktivasi endothelial mengarah kepada hipercoagulasi dan predisposisi
terjadinya thrombosis. Gagal jantung pada pasien takayasu arteritis dapat terjadi akibat dari
hipertensi, dilatasi akar aorta, atau myokarditis. Transient ischemic attacks, gejala
cerebrovaskular, iskemi mesentrika, carotidynia, dan kaludikasio dapat terjadi. Gejala dari
gangguan vascular dapat diminimalkan dengan pengambangan sirkulasi kolateral dengan onset
lambat dari stenosis. Diseksi dinding pembuluh darah atau aneurisma dapat terjadi pada area
yang terdapat perlemahan karena inflamasi.

Salah satu hipotesis dalam berkembangnya vaskulitis granulomatosa adalah deposit antigen
pada dinding vascular yang mengaktivasi sel T CD4+, diikuti dengan pengeluaran sitokin
kemotaktik untuk monosit. Monosit ini dibentuk mejadi makrofag yang memediasi kerusakan
endotel dan terbentuknya granuloma pada dinding vascular. Sebuah penelitian dengan tikus
mendukung hipotesis ini. Ketika sel T yang tersensitisasi ke sel otot polos pembuluh darah di
injeksikan kepada tikus, vaskulitis granulomatosa pada arteriol pulmoner terjadi pada 20% dari
populasi tikus. Penelitian terhadap manusa memperkirakan aktivasi sel endotel menaikkan
ekspresi intraselular adhesi molekul 1 (intercellular adhesion molecule-1/ICAM-1) dan sel
adhesi molekul vascular (vascular cell adhesion molecule-1/VCAM-1) pada pasien dengan
Takayasu arteritis. Immunoglobulin G, immunoglobulin M, dan properdin ditemukan pada
specimen yang diambil di lesi patologis.

II. C. 4. Manifestasi Klinis

Dalam perjalanan penyakitnya, takayasu arteritis dibagi menjadi dua fase, yaitu: (1,3,7)

1. Fase awal

 Pada fase awal, pasien hanya mengeluh gejala konstitusional. Stadium ini disebut juga
fase sistemik atau prepulseless. Tanda dan gejala yang terdapat di fase ini antara lain:

o Demam
o Keringat malam

o Kelemahan

o Nyeri sendi

o Batuk

o Nyeri dada dan abdomen

o Bercak di kulit

 Untuk mendiagnosis Takayasu arteritis pada fase awal sangat sulit karena manifestasi
klinis mirip dengan penyakit-penyakit lainnya. Oleh karena itu, sangat mudah
terabaikan. Tetapi bagaimapun juga, mendiagnosis pada awal onset penting karena
semakin cepat terapi kortikosteroid diberikan dapat mempengaruhi prognosis.
 Kelainan patologis pada fase ini adalah terlihat adanya granulomatosa atau sel inflamasi
difus pada tunika media dan adventisia. Penebalan tunika intima terjadi pada perubahan
sekunder. Infiltrasi perivaskular oleh berbagai sel kadang-kadang terlihat di sekitar vasa
vasorum dan mungkin dapat meluas ke jaringan lemak sekitar.
2. Fase akhir
 Fase akhir disebut juga dengan fase oklusi atau pulseless. Manifestasi klinis dan hasil
pemeriksaan lainnya berbeda dengan fase awal. Terlebih lagi, manifestasi bervarisi
tergantung dimana letak arteritisnya berada, apakah mengenai aorta di dada, aorta
abdominal, arteri pada ekstremitas bawah, atau kombinasi dari pembuluh-pembuluh
darah ini.
 Durasi berkembangnya penyakit dari fase awal ke fase akhir belum diketahui secara pasti
karena onset awal yang sangat samar. Tetapi dari penelitian-penelitian yang telah
dilakukan, durasi interval antara fase awal dengan fase akhir bervariasi dari 1 – 8 tahun.
 Pada fase akhir, gejala sistemik mereda. Tanda dan gejala sekunder dari arteri stenosis
atau oklusi lebih mendominasi antara lain :
o Terdengar bruit pada pembuluh darah yang terkena. Bising jantung juga biasa
ditemukan
o Oklusi dan stenosis dari pembuluh darah brachiocephalic meningkatkan gejala
cerebrovaskular dan visual
o Hipertensi renal biasa terjadi bila aorta suprarenal dan arteri renalis menyempit
o Penyempitan difus pada aorta infrarenal dapat menyebabkan klaudikasio pada
ekstremitas bawah
o Lesi pada aorta abdominal tidak selalu terkait dengan abnormalitas nadi pada
lengan karena ada keterlibatan dari lesi pada lengkung aorta juga ikut yang
berperan.

 Gejala-gejala yang terjadi di fase akhir adalah :

Tabel 2. Penemuan klinis pada fase akhir takayasu arteritis (4)


Penemuan klinis pada fase akhir Takayasu Arteritis
Tanda dan gejala
Gejala kardivaskular
Bruit, terbanyak pada arteri karotis
Carotidynia
Hipertensi
Gejala iskemi cerebral
Sakit kepala, vertigo (terutama ketika melihat ke atas)
Pucat
gangguan penglihatan (terutama saat melihat matahari langsung)
Gejala iskemi pada ekstremitas
Jari-jari (akral) dingin
Mudah lelah dan nyeri pada ekstremitas atas
Gejala stenosis aorta dan arteri renal
Sakit kepala
Vertigo
Nafas yang pendek
Hipertensi
Subfebris
Pemeriksaan Fisik
Kelainan nadi pada ekstremitas atas
Nadi radialis yang lemah sampai menghilang
Perbedaan tekanan darah antara lengan kanan dan kiri
Kelainan nadi pada ekstremitas bawah
Nadi yang lemah
Nadi tidak teraba
Bising pembuluh darah pada arteri di leher, punggung, atau abdomen
Kelainan oftamologis
Penemuan laboratorium
Peningkatan LED
CRP positif
Peningkatan -globilin
Hal-hal diagnostic yang penting
Prevalensi pada wanita muda
Penegakan diagnosis akhir pada fase akhir dengan aortografi
Penilaian diagnosis akhir pada fase awal dengan CT atau MRI

Berdasarkan prevalensinya, gejala-gejala pada fase akhir Takayasu arteritis diurutkan sebagai
berikut: (1)
o Lemah atau hilangnya nadi terjadi pada 84-96% pasien berkaitan dengan klaudikasio
tungkai dan perbedaan tekanan darah.
o Bruit vaskular pada 80-94% pasien , biasa terjadi di beberapa tempat terutama mengenai
arteri carotis, subclavia, dan pembuluh darah abdomen.
o Hipertensi yang secara umum disebabkan oleh stenosis arteri renalis terdapat pada 33-
83% pasien.
o Retinopati terjadi pada 37% pasien
o Regurgitasi aorta yang disebabkan terjadinya dilatasi dari aorta asendens, penarikan katup
ke pangkalnya, dan penebalan katup terjadi pada 20-24% pasien.
o Gagal jantung berkaitan dengan hipertensi, aorta regurgitasi, dan dilatasi cardiomiopati.
o Gejala neurologis sekunder yang disebabkan oleh hipertensi dan atau iskemi, termasuk
postural dizziness, kejang dan amourosis. Amaurosis fugax adalah buta total/partial
monokuler ipsilateral, berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit. Amaurosis
fugax disebabkan emboli pada arteri karotis interna homolateral, yang berasal dari arteri
karotis eksterna tetapi dapat pula disebabkan hipo-perfusi atau vaso spasme. Keluhan
berupa “graying field” perifer diikuti penyempitan secara progresif sampai berupa titik
sehingga timbul “gray-out” lengkap atau “black out” kemudian terjadi penyembuhan
dengan urutan sebaliknya.
o Keterlibatan arteri pulmonal pada 14-100% pasien.
o Gejala lainnya seperti dyspnoe, sakit kepala, carotodynia, iskemi myocardial, nyeri dada
dan eritema nodosum.
 Kelainan patologis pada fase ini adalah terjad penipisan dari tunika media, gangguan pada
selat fiber, penebalan tunika adventisia dan penebalan tunika intima. Elastik arteri yang
mempunyai vasa vasorum seperti aorta, cabang utamanya, dan arteri pulmonal selalu terlibat,
tetapi arteri muscular seperti arteri perifer tidak terlibat.
 Berdasarkan data terakhir, fase akhir takayasu arteritis dibagi menjadi enam berdasarkan
letak lesi yang dapat dilihat dengan aortografi, yaitu :

Tabel 3. Klasifikasi angiografi Takayasu arteritis terbaru, pada konferensi Takayasu 1994. (1.3.4)
Tipe Pembuluh Darah yang Terlibat
Tipe I Melibatkan hanya cabang dari lengkung aorta
Tipe IIa Melibatkan aorta asendes dan lengkung aorta. Cabang dari lengkung aorta juga dapat
terlibat. Sisa aorta tidak terlibat
Tipe IIb Melibatkan aorta desendens di toraks dengan atau tanpa keterlibatan aorta asendens atau
lengkung aorta dengan cabangnya. Aorta abdominal tidak terlibat.

Tipe III Keterlibatan aorta desendens, abdominal aorta, dan/atau arteri renalis. Aorta asendens dan
lengkung aorta beserta cabangnya tidak terlibat
Tipe IV Melibatkan hanya aorta abdominal dan/atau arteri renalis
Tipe V Adalah tipe generalisata, dengan kombinasi jenis tipe yang lainnya
Catatan : keterlibatan arteri coroner dan pulmoner harus di catat masing-masing C(+) atau P (+).

Gambar 2. Tipe lesi Takayasu arteritis berdsarkan angiografi (3)


 Pasien dengan tipe I dan II menunjukkan gejala tipikal dari penyakit ini disebut sebagai
‘kebalikan’ coarctasio aorta dengan tidak adanya nadi pada ekstremitas atas, tekanan darah
pada lengan yang susah terdeteksi, tekanan darah yang lebih tinggi pada ekstremitas bawah,
bruits pada arteri yang kena, dan manifestasi iskemi pada daerah yang terkena. Sebagian
besar memiliki perbedaan tekanan darah > 10 mmHg atau lebih antara kedua lengan, dan
kebanyakan menderita hipotensi postural dari pusing sampai pingsan. Retinopati yang
pertama kali ditemukan Takayasu hanya ditemukan pada ¼ pasien dan biasanya berhubungan
dengan keterlibatan arteri carotis. (2)
 Pasien dengan tipe III dan VI dapat bermanifestasi angina abdominal, claudikasi kaki dan
juga kecenderungan berkembang menjadi hipertensi karena keterlibatan arteri renal. (2)

II. C. 5. Diagnosis

American College of Rheumatology (ACR) membuat klasifikasi kriteria untuk Takayasu


arteritis. Kriteria tersebut antara lain :

Kriteria Takayasu arteritis oleh ACR 1990


 Umur < 40 tahun atau lebih muda pada awal onset penyakit
 Klaudikasio pada ekstremitas
 Pelemahan nadi pada satu atau kedua arteri brachial
 Perbedaan tekanan darah sistolik > 10 mmHg antara kedua lengan
 Terdapat bruit pada satu atau kedua arteri subklavia atau aorta abdominal
 Pada arteriografi didapatkan penyempitan atau penyumbatan aorta, cabang utamanya atau
arteri besar pada ekstremitas atas atau bawah yang bukan disebabkan oleh
arteriosklerosis, displasia fibromuskular atau penyebab lainnya.
Untuk menegakkan diagnosis Takayasu arteritis dibutuhkan 3 dari 6 kriteria
Tabel 4. Kriteria Takaysu arteritis berdssarkan ACR 1990 (1.3,6)

Penjelasan dari kriteria Takayasu arteritis dari American College of Rheumatology: (1)
 Onset penyakit < 40 tahun , berkembangnya gejala atau tanda yang berhubungan dengan
Takayasu arteritis ditemukan pada tahun < 40 tahun.
 Klaudikasio adalah nyeri pada otot-otot ekstremitas biasa pada tungkai yang timbul saat
aktivitas dan hilang saat istirahat.
 Pelemahan pulsasi nadi arteri brachial pada satu atau kedua arteri brachial.
 Perbedaan tekanan darah >10mmHg pada tekanan darah sistolik di kedua lengan.
 Terdengar bruit pada arteri subclavia dan aorta pada auskultasi pada satu atau kedua arteri
subclavia atau pada aorta abdominal.
 Kelainan arteriografi terlihat adanya penyempitan atau sumbatan pada aorta, cabang
utamanya, atau arteri besar pada proximal ektremitas atas atau bawah, yang bukan
disebabkan oleh arteriosklerosis, dysplasia fibromuskular, atau penyebab yang sama;
perubahan biasanya local atau segmental.
 Diperlukan 3 dari 6 kriteria untuk menegakkan diagnosis. Adanya 3 atau kriteria lebih
menghasilkan 90,5% sensitivitas dan 97,8% spesifitas.

II. C. 6. Pemeriksaan penunjang

Dari pemeriksaan laboratorium, LED dan CRP dapat ditemukan meningkat, tetapi hubungan
keduanya dengan akktifitas penyakit tidak bermakna dan tidak membantu dalam diagnosis dan
laporan telah menyarankan bahwa tes ini tidak lagi dapat diandalkan sebagai penanda untuk
aktivitas penyakit dalam jumlah yang cukup besar patients. Dalam kohort NIH, 50% pasien
dalam fase aktif, meskipun tidak terjdi peningkatan reaktan fase akut. Takayasu arteritis tidak
mempunyai serum marker yang spesifik. (3)
Diagnosis dikonfirmasi oleh pencitraan vascular. Angiografi memberikan informasi terbaik
tentang lumen pembuluh dan dapat dikombinasikan dengan angioplasti, jika
diindikasikan. Arteriografi aorta lengkap dapat membantu menentukan distribusi dan tingkat
keterlibatan. Teknik pencitraan non-invasif vaskular dengan CT, MRI, dan magnetic resonance
angiografi dapat membantu memperkirakan tingkat inflamasi dari dinding aorta. (3,4)
II C.7. Diagnosis Banding

Diagnosis banding termasuk vasculitis pembuluh darah besar: inflamasi aortitis (sifilis,
tuberculosis, SLE, Rheumatoid arthritis, spondyloartropathies, penyakit Behcet’s, penyakit
Kawasaki, dan arteritis giant cell); perkembangan abnormalitas (coarctasio aorta dan Marfan
sindrom), dan kelainan patologis aorta lainnya seperti ergotism dan neurofibromatosis.
Pencitraan sangat berguna dlaam menyngkirkan diagnosis banding hampir semua secuali arteritis
sel giant. Arteritis sel giant seperti Takayasu arteritis yang mengenai arteri besar dan
memperlihatkan vaskulitis granulomatosa pada pemeriksaan histologist. Perbedaanya dapat
dilihat pada predileksi lesi dan umur penderita. (1,3,6)

II. C. 8. Takayasu Arteritis dengan Kehamilan

Karena Takayasu arteritis terutama mengenai wanita pada masa reproduktif, kaitannya
dengan kehamilan perlu dipikirkan. Berdasarkan penelitian Kerr dan kawan-kawan dari 60
pasien wanita dnegan Takayasu arterits, semuanya mengalami persalinan normal dengan bayi
normal hidup. Hanya satu pasien yang mengalami eksaserbasi penyakit selama kehamilan. (1)
Penelitian dari Hong Kong melaporkan 13 wanita yang mengalami total 30 kehamilan.
Selain hipertensi tidak ada lagi masalah obstetric dan tidak ada ibu yang meninggal yang
berhubungan secara langsung dengan kehamilan. Komplikasi maternal dilaporkan pada 12
pasien dari India dengan superimpose preeklamsi, gagal jantung, renal linsufisiensi, dan satu
kasus sepsis post partum. Keterlibatan aorta abdominal dan keterlambatan terapi medis
membawa kepada kemungkinan keadaan perinatal yang kurang baik.(1,6)
Fertilitas tidak dipengaruhi oleh penyakit Takayasu, dan kehamilan tidak mencetus
eksaserbasi penyakit, tetapi manajemen dari hipertensi itu penting. Hipertensi derajat kedua pada
persalinan adalah faktor resiko untuk perdarahan cerebral, usaha untuk memperpendek masa ini
dengan menggunakan persalinan forsep atau ekstrasi vakum merupakan jalan keluar yang baik.
(1,6)
II. C. 9. Penatalaksanaan

Terapi tergantung kepada derajat aktivitas penyakit dan juga komplikasi yang mungkin
berkembang. Aspek yang paling penting dari terapi adalah untuk mengkontrol inflamasi aktif dan
mencegah kerusakan vaskular lebih lanjut. Terapi dosis tinggi dengan kortikosteroid adalah
terapi inisial yang dipertahankan sampai pasien mencapai fase remisi. Diberikan glukokortikoid
dalam dosis tinggi (prednisone, 1mg/kgBB/hr). Pasien dengan resistensi kortikosteroid atau
relaps membutuhkan terapi agen citotoksik seperti siklofosfamid (2mg/kgBB/hr) atau pilihan
lain dengan dosis rendah methotrexat (0,3 mg/kgBB/mgu) atau azatioprin terapi yang dilanjutkan
1 tahun setalah remisi lalu pemberhentiannya dengan bertahap. (1,2)

Indikasi pembedahan pada pengobatan Takayasu arteritis belum ada secara pasti.
Pembedahan secara umum dilakukan terutama biasa untuk mengkoreksi hipertensi renovaskular,
indikasi lainnya memperbaiki cerebral, memperbaiki aorta/arteri, dan memperbaiki aorta
regurgitasi, dan aneurisma. Pembedahan yang dilakukan selama fase aktif lebih membawa
resiko besar dan reoklusi. Oleh karena itu seharusnya pembedahan dilakukan pada masa remisi
dimana inflamasi sudah mereda salah satu tindakan yang menjanjikan untuk terapi lesi obstruktif
dari Takayasu arteritis adalah dengan Percutaneous Transluminal Angioplaty. Percutaneous
Transluminal Angioplasty (PTA) adalah suatu tindakan pelebaran pembuluh darah yang
mengalami penyempitan (stenosis) dengan menggukan balon kateter. Berdsarkan penelitian,
angioplasty pada pasien dengan lesi stenosis mencapai keberhasilan 94% yang diukur dari
peningkatan diameter aorta, penurunan perbedaan tekanan darah, dan penurunan tekanan darah.
Pasien yang berhasil dengan angioplasty juga mengalami perbaikan gejala. Stenosis arteri renalis
paling baik diterapi dengan PTA. Vascular stent dilakukan pada lesi segmen panjang, lesi ostial,
perbaikan stenosisa yang tidak komplit, dan diseksi berefek baik dan efektif. Operasi radikal
untuk aneurisma parsthorakalis direkomendasikan jika terapi paliatif gagal mencegah aneurisma
atau untuk meminimalisir resiko pembedahan nantinya. (1,2,8)

II. C 10. Komplikasi

Derajat keparahan Takayasu arteritis menurut Ishikawa dilihat dari adanya komplikasi
antara lain; retinopati, hipertensi, aneurisma, dan aorta regurgitasi, yaitu : (1)
Tabel 5. Klasifikasi klinis takayasu arteritis menurut Ishikawa (1,6)

Komplikasi hipertensi pada penyakit ini terjadi pada 50-60% kasus, tetapi susah untuk
dikenali karena susahnya meraba nadi pada lengan. Hipertensi terjadi karena terjadi stenosis
arteri renal dan tanda hemodinamik yang didapat karena coarctasio aorta, tetapi penurunan
distensibilitas dan penurunan reaksi baroreseptor juga ikut berkontribusi. Komplikasi mayor
lainnya dari arteritis Takayasu adalah gagal jantung. Gagal jantung terjadi pada 28 % kasus
sebagai akibat dari hipertensi sistemik, aorta regurgitasi. Keterlibatan arteri koroner dapat
menyebabkan angina atau infark myocard. Aneurisma aorta dapat terjadi karena ketika terdapat
kerusakan dari jaringan penunjang fibrosa terjadi maka terjadi pelemahan dinding aorta untuk
dilatasi. Aneurisma itu sendiri didefinisikan sebagai dilatasi local dari aorta dan percabangannya
yang dapat berbentuk sakular atau fusiform. (1,3,7)

Bagan 1. Persentase morbiditas pada Takayasu arteritis di USA (7)


II. C. 11. Prognosis

Karena penyakit Takayasu tergolong penyakit yang jarang, data mortalitas dan mobiditas
sangat terbatas. Menurut National Institutes of Health (NIH) dari studi 60 pasien dengan
Takayasu arteritis memperlihatkan tingkat mortalitas sebanyak 3%. Data ini sama dengan data
dari Jepang dan Cina Studi NIH yang sama memperlihatkan terdapat 20% pasien mempunyai
penyakit dengan monofasik yang dapat sembuh sendiri, mereka tidak memerlukan terapi
immunosupresif. 80% pasien sisanya yang tidak mempunyai monofasik penyakit mengalami
satu kali eksaserbasi, dengan terapi imunosupresi didapatkan hasil remisi 60%. Setengah dari
60% ini mengalami relaps setelah terapi imunosupresi diberhentikan. (1,7)

Morbiditas pasien dengan Takayasu arteritis berhubungan dengan iskemi dan hipertensi
serta gagal jantung, transient ischemic attack, stroke, dan gangguan penglihatan diseksi aorta
kronik derajat ringan dapa menyebabkan nyeri dada selama bertahun-tahun. Pada umumnya
morbiditas berdasarkan keparahan dari lesi dan komplikasinya. (1)

BAB III

KESIMPULAN

1. Takayasu arteritis tergolong penyakit yang jarang terjadi, terutama mengenai perempuan
pada sekitar umur 15 -30 tahun, dan distribusi terutama di Negara Asia
2. Manifestasi klinis terdiri dari dua fase yaitu fase awal (prepulseless) dimana hanya terdapat
gejala sistemik dan fase akhir (pulseless atau oklusi) yang sudah menimbulkan gejala
sekunder akibat dari penyempitan dan tersumbatnya pembuluh darah arteri.
3. Diagnosis ditegakkan dengan kriteria ACR tahun 1990, dan angiografi tetap standar emas
untuk diagnosis.
4. Empat komplikasi yang paling penting adalah retinopati, hipertensi sekunder, aorta
regurgitasi dan pembentukan aneurisma. Empat komplikasi ini mempengaruhi terapi dan
prognosi dari penyakit.
5. Terapi terapi adalah untuk mengkontrol inflamasi aktif dan mencegah kerusakan vaskular
lebih lanjut. Terapi dosis tinggi dengan kortikosteroid adalah terapi inisial yang
dipertahankan sampai pasien mencapai fase remisi. Apabila pasien tidak tahan dengan
kortikosteroid, digunakan obat-obat sitotoksik.
6. Terapi bedah diindikasikan untuk mengkoreksi hipertensi renovaskular, indikasi lainnya
memperbaiki cerebral, memperbaiki aorta/arteri, dan memperbaiki aorta regurgitasi, dan
aneurisma. Dilakukan pada fase remisi dimana tidak terdapat aktif inflamasi. Dapat
dilakukan PTA, vascular stent dan operasi radikal untuk aneurisma.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. S L Johnston, R J Lock and M M Gompels. British Medical Journal: Takayasu arteritis a


review. Journal Clinical Pathoology 2002 vol 55: 481-486. Available at
http://jcp.bmjjournals.com/content/55/7/481.full.html. Accessed February 14th , 2010.
2. Braunwald. Heart disease: A Textbook of Cardiovaskular Medicine. 1997. W.B. Saunders
Company, Philadelphia: 1546, 1572-1573.
3. Gadolinium-enhanced Three-dimensional MR Angiography of Takayasu Arteritis. May
2004 RadioGraphics, 24, 773-786.
4. Naofumi Matsunaga, Kunniaki Hayashi, etc. Takayasu arteritis: Protean Radiologic
Manifestations and Diagnostic.1997. Available at radiographics.rsna.org/content /
17/3/579.full.pdf Accessed on February 15, 2010
5. Lawrence M. Witmer, PhD. Clinical Anatomy of Aorta. Department of Biomedical
Sciences College of Osteopathic Medicine, Ohio University. Available at:
http://www.oucom.ohiou.edu/dbms-witmer/gs-rpac.htm. Accessed on February 15, 2010.
6. S. Vitthala. ISPUB, Takayasu Arteritis & Pregnancy: A Review. The Internet Journal of
Gynecology and Obstetrics. 2008 Volume 9 Number 2. Available
at:www.ispub.com/journal/...internet_journal_of_gynecology_and_obstetrics/.../volume_
6_number_2_6.html. Accessed on February 15, 2010
7. MM Ahmed. Emedicine: Takayasu Arteritis: Rheumatology. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/332378-overview. accessed on February 14, 2010
The Johns Hopkins Vasculitis Center. Takayasu Arteritis. Available at
vasculitis.med.jhu.edu/typesof/takayasu.html. Accessed on February 15, 2010
VASKULITIS

Definisi
Vaskulitis adalah proses klinikopatologi dicirikan oleh peradangan dan kerusakan
pembuluh darah. Lumen pembuluh darah biasanya turut serta, dan ini dikaitkan dengan iskemia
jaringan yang dipasok oleh pembuluh darah yang terlibat. Sebuah kelompok yang luas dan
heterogen dari sindrom merupakan hasil dari proses ini, karena setiap jenis, ukuran, dan lokasi
pembuluh darah mungkin terlibat. Vaskulitis dan konsekuensi-konsekuensinya mungkin
manifestasi utama atau satu-satunya penyakit; alternatif lain, vaskulitis dapat menjadi
komponen sekunder primer lain penyakit. Vaskulitis bisa terbatas pada satu organ tunggal,
seperti kulit, atau mungkin secara simultan melibatkan beberapa sistem organ.

Klasifikasi
Ciri utama dari sindrom vaskulitis sebagai sebuah kelompok adalah kenyataan bahwa
ada banyak heterogenitas pada saat yang sama karena ada tumpang tindih cukup besar di
antara mereka. Sifat heterogenitas dan tumpang tindih ini di samping kurangnya pemahaman
tentang pathogenesis sindrom ini telah menjadi halangan besar untuk pengembangan sebuah
sistem yang koheren dalam klasifikasi untuk penyakit ini.

Tabel 1. Sindrom Vaskulitis

Patofisiologi dan patogenesis


Secara umum, sebagian besar sindrom vasculitis diasumsikan dimediasi setidaknya
sebagian oleh mekanisme immunopathogenik yang terjadi dalam respon terhadap rangsangan
antigen tertentu (Tabel 306-2). Namun, bukti yang mendukung hipotesis ini adalah untuk bagian
yang paling tidak langsung dan mungkin mencerminkan epifenomena sebagai lawan untuk
kausal yang benar. Selanjutnya, tidak diketahui mengapa beberapa individu mungkin
mengembangkan vasculitis dalam menanggapi rangsangan antigen tertentu, sedangkan yang
lainnya tidak. Sangat mungkin bahwa sejumlah faktor yang terlibat dalam ekspresi tertinggi dari
sebuah sindrom vaskulitis. Hal ini termasuk predisposisi genetik, paparan lingkungan, dan
mekanisme yang berkaitan dengan respon imun terhadap antigen tertentu.

Kekebalan Patogen- Formasi Kompleks


Vaskulitis umumnya dianggap dalam kategori yang lebih luas dari penyakit kompleks
imun yang mencakup serum dan beberapa penyakit jaringan ikat, yang sistemik lupus
erythematosus adalah prototipenya. Meskipun deposisi kompleks imun di dinding pembuluh
darah, mekanisme patogenik yang paling luas diterima dari vaskulitis, peran penyebab
kekebalan kompleks belum jelas dipastikan dari sebagian besar sindrom vaskulitis. Imun
kompleks yang beredar tidak perlu menghasilkan deposisi kompleks di pembuluh darah dengan
vaskulitis berikutnya, dan banyak pasien dengan vaskulitis aktif tidak memiliki bukti kompleks
imun beredar atau disimpan. Antigen yang sebenarnya terkandung di kompleks imun tubuh
jarang ditemukan pada sindrom vaskulitis. Dalam hal ini, antigen hepatitis B telah diidentifikasi
baik dalam sirkulasi dan disimpan di kompleks imun subset dari pasien dengan vaskulitis
sistemik, terutama di polyarteritis nodosa. Sindrom mixed cryoglobulinemia sangat terkait
dengan infeksi virus hepatitis C; hepatitis C virion dan kompleks antigen-antibodi hepatitis C
virus telah diidentifikasi dalam cryoprecipitates pasien ini. Mekanisme kerusakan jaringan di
kompleks-mediated imun vasculitis mirip yang diuraikan untuk penyakit serum. Dalam model
ini, kompleks antigen-antibodi terbentuk kelebihan antigen dan disimpan di dinding pembuluh
darah dimana permeabilitas telah ditingkatkan oleh vasoaktif amina seperti histamin,
bradikinin, dan leukotrien dilepaskan dari platelet atau dari sel mast sebagai hasil dari
mekanisme pemicu IgE.
Pengendapan kompleks imun menghasilkan aktivasi komponen komplemen, khususnya
C5a, yang sangat chemotactic untuk neutrofil. Sel-sel ini kemudian menyusup ke dinding
pembuluh darah, melakukan phagositosis imun kompleks, dan melepaskan enzim
intrasitoplasma mereka, yang merusak dinding pembuluh darah. Karena proses menjadi
subakut atau kronis, sel mononuklear menyusup ke dinding pembuluh darah. Hal utama pada
sindrom ini menghasilkan kompromi dari lumen pembuluh darah dengan perubahan iskemik
pada jaringan yang dipasok oleh pembuluh darah yang terlibat. Beberapa variabel dapat
menjelaskan mengapa hanya beberapa jenis kompleks imun menyebabkan vaskulitis dan
mengapa hanya pembuluh darah tertentu yang terpengaruh dalam individu pasien. Hal ini
termasuk dalam kemampuan sistem retikuloendotelial untuk menghilangkan kompleks imun
yang beredar dalam darah, ukuran dan sifat fisikokimia kompleks imun, derajat relatif turbulensi
aliran darah, tekanan hidrostatik intravaskuler di pembuluh darah yang berbeda, dan integritas
yang ada sebelumnya dari endotelium pembuluh darah.

Antineutrophil Citoplasma Antibodi (Anca)


Anca adalah antibodi yang digunakan dalam melawan protein tertentu dalam butiran
sitoplasma neutrofil dan monosit. Autoantibodi ini hadir dalam pasien dengan jumlah yang
besar, dengan sindrom vaskulitis sistemik tertentu, khususnya Wegener’s granulomatosis dan
polyangiitis mikroskopis, dan pada pasien dengan glomerulonefritis nekrosis dan cresent.
Terdapat dua kategori utama Anca berdasarkan target yang berbeda untuk antibodi. Terminologi
Anca sitoplasma (c-Anca) mengacu ke diffuse, pola pewarnaan granular sitoplasma diamati oleh
mikroskop immunofluorescence saat antibodi serum mengikat indikator neutrofil. Proteinase-3,
proteinase serin 29-kDa yang netral hadir dalam butiran azurophilic neutrofil, adalah antigen c-
Anca utama. Lebih dari 90% pasien dengan Wegener’s granulomatosis aktif khas memiliki
antibodi terdeteksi untuk proteinase-3. Terminologi Anca perinuklear (p-Anca) mengacu pada
sesuatu yang lebih lokal perinuklear atau ‘nuclear staining pattern’ sebagai indicator neutrofil.
Target utama untuk p-Anca adalah menghasilkan myeloperoxidase enzim; target lain yang dapat
menghasilkan pola p-Anca dari pewarnaan termasuk elastase, cathepsin G, laktoferin, lisozim,
dan bactericidal/ protein yang meningkatkan permeabilitas. Namun, hanya antibodi untuk
myeloperoxidase yang meyakinkan berkaitan dengan vaskulitis. Antibodi Antimyeloperoxidase
telah dilaporkan ada pada beberapa pasien dengan polyangiitis mikroskopis, sindrom Churg-
Strauss, cresent glomerulonefritis, sindrom Goodpasture’s, dan Wegener’s granulomatosis.
Sebuah p-Anca staining pattern yang bukan karena antibody antimyeloperoxidase telah
dikaitkan dengan entitas nonvaskulitis seperti rematik dan penyakit autoimun nonrheumatik,
inflammatory bowel disease, obat-obatan tertentu, dan infeksi seperti bakterial endokarditis
dan infeksi saluran nafas pada pasien dengan cystic fibrosis.
Tidak jelas bagaimana pasien dengan sindrom vaskulitis menghasilkan antibodi untuk
myeloperoxidase atau proteinase-3, sedangkan antibodi seperti ini jarang terjadi pada penyakit
inflamasi dan penyakit autoimun lainnya. Ada sejumlah observasi in vitro yang menyarankan
kemungkinan mekanisme dimana antibodi ini dapat berkontribusi pada patogenesis sindrom
vaskulitis. Proteinase-3 dan myeloperoxidase yang berada di butir azurophilic dan lisosom dari
resting neutrofil dan monosit, di mana mereka tampaknya tidak dapat diakses untuk serum
antibodi. Namun, ketika neutrofil atau monosit yang distimulasi oleh tumor nekrosis faktor
(TNF) atau interleukin (IL) 1, proteinase-3 dan myeloperoxidase memindahkan mereka ke
membran sel dimana dapat berinteraksi dengan Anca ekstraselular. Neutrofil kemudian
berdegranulasi dan menghasilkan oksigen reaktif yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan.
Selanjutnya, Anca neutrofil yang diaktifkan dapat membunuh sel-sel endotel in vitro. Aktivasi
neutrofil dan monosit oleh Anca juga menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi seperti IL-1
dan IL- 8. Namun, sejumlah observasi klinis dan laboratorium menentang peran patogen utama
untuk Anca. Pasien mungkin mendapat Wegener‘s granulomatosis tanpa adanya Anca; jumlah
absolut dari titer antibodi tidak berkorelasi dengan baik dengan penyakit; dan pasien dengan
Wegener’s granulomatosis dalam kondisi remisi dapat terus memiliki tinggi antiproteinase 3 (c-
Anca) titer selama bertahun-tahun. Dengan demikian, peran autoantibodies di patogenesis
vaskulitis sistemik masih belum jelas.

Respon Limfosit T Patogen dan Formasi Granuloma


Selain untuk mekanisme kompleks imun mediated klasik dari vasculitis sama halnya
dengan Anca, mekanisme immunopathogenik lain mungkin terlibat dalam kerusakan pembuluh
darah. Yang paling menonjol di antaranya hipersensitivitas tipe delayed dan cedera imun cell-
mediated sebagaimana tercermin dalam histopatologi dari vaskulitis granulomatosa. Namun,
kompleks imun itu sendiri dapat memicu respons granulomatosa. Sel endotel pembuluh darah
dapat mengekspresikan molekul HLA kelas II yang ikut teraktivasi oleh sitokin seperti interferon
(IFN). Hal ini memungkinkan sel-sel ini untuk berpartisipasi dalam reaksi imun seperti interaksi
dengan limfosit T CD4 dengan cara yang mirip dengan antigen makrofag. Sel endotel dapat
mengeluarkan IL-1, yang dapat mengaktifkanT limfosit dan memulai proses kekebalan atau
menyebar in situ dalam pembuluh darah. Selain itu, IL-1 dan TNF inducer yang poten dari
endothrllial-lucocyte adhesion molecule 1 (Elam-1) dan molekul adhesi sel vaskuler 1 (VCAM-1),
yang dapat meningkatkan perlekatan leukosit pada sel-sel endotel di dinding pembuluh darah.
Mekanisme lain seperti sitotoksisitas seluler langsung, antibodi diarahkan terhadap komponen
pembuluh darah, atau sitotoksisitas seluler tergantung antibody telah diusulkan dalam
beberapa jenis penyebab kerusakan pembuluh darah. Namun, tidak ada bukti yang meyakinkan
untuk mendukung kontribusi mereka sebagai penyebab patogenesis salah satu sindrom
vasculitis yang dikenal.
Diagnosis
Diagnosis vasculitis sering dipertimbangkan dalam setiap pasien dengan penyakit
sistemik yang sulit dijelaskan. Namun, ada beberapa kelainan klinis yang ketika muncul baik
sendiri atau dalam kombinasi kelainan lain harus menyarankan diagnosis vaskulitis. Hal ini
termasuk pada purpura yang teraba (palpable purpura), infiltrat paru dan hematuria
mikroskopis, peradangan kronis sinusitis, multipleks mononeuritis, kelainan iskemik yang tidak
jelas, dan glomerulonefritis dengan bukti penyakit multisistem. Sejumlah penyakit nonvaskulitis
juga dapat menghasilkan beberapa atau seluruh kelainan. Dengan demikian, langkah pertama
dalam hasil pemeriksaan dari pasien dengan dugaan vasculitis untuk mengecualikan penyakit
lain yang menghasilkan manifestasi klinis yang dapat meniru vaskulitis. Sangat penting untuk
menyingkirkan penyakit menular dengan fitur yang tumpang tindih tersebut dari vaskulitis,
terutama jika pasien kondisi klinis yang memburuk dengan cepat dan pengobatan
imunosupresif secara empiris sedang dijalankan. Setelah penyakit yang meniru vasculitis telah
disingkirkan, pemeriksaan selanjutnya harus mengikuti serangkaian langkah-langkah progresif
yang menentukan diagnosis vasculitis dan menentukan kategori sindrom vaskulitis. Pendekatan
ini cukup penting terutama karena beberapa sindrom vaskulitis membutuhkan terapi agresif
dengan glukokortikoid dan sitotoksik agen, sementara sindrom lain biasanya selesai dengan
spontan dan membutuhkan pengobatan simptomatis saja. Diagnosis definitif vaskulitis dibuat
pada biopsi jaringan yang terlibat. Hasil ‘blind’ biopsi organ tanpa bukti subjektif atau objektif
dengan keterlibatan yang sangat rendah, harus dihindari. Ketika sindrom seperti polyarteritis
nodosa, Takayasu arteritis, atau Vaskulitis sistem saraf pusat terisolasi diduga, angiogram
dengan dugaan keterlibatan organ harus dilakukan. Namun, angiograms tidak harus dilakukan
secara rutin saat pasien hadir dengan vaskulitis kulit lokal dengan tidak ada indikasi klinis
keterlibatan organ dalam.
Pemeriksaan klinis, laboratorium, biopsi, dan radiografi biasanya memungkinkan
kategorisasi yang tepat untuk kea rah sindrom spesifik, dan terapi mana yang tepat harus
dimulai sesuai untuk informasi ini. Jika ditemukan antigen yang menngarahkan ke diagnosis
vasculitis, antigen harus dihilangkan bila mungkin. Jika vaskulitis berhubungan dengan penyakit
yang mendasarinya seperti infeksi, neoplasma, atau penyakit jaringan ikat, penyakit yang
mendasari harus diobati. Jika sindrom tidak berkurang setelah menghilangkan antigen yang
ditemukan atau pengobatan penyakit yang mendasarinya, atau jika tidak ada penyakit yang
mendasari dikenali, pengobatan harus dimulai sesuai dengan kategori sindrom vaskulitis. Pilihan
pengobatan akan dipertimbangkan di bawah sindrom individu, dan prinsip-prinsip umum terapi
akan dipertimbangkan.

Gb.1 Algoritma pendekatan diagnosis pada pasien dengan dugaan vaskulitis

Prinsip Pengobatan
Setelah diagnosis vasculitis telah ditetapkan, keputusan mengenai strategi terapeutik
harus dibuat. Sindrom vaskulitis mewakili derajat penyakit yang bervariasi dengan berbagai
tingkat keparahan. Oleh karena potensi efek samping tertentu obat terapeutik mungkin cukup
besar, maka rasio risiko-lawan-keuntungan dari setiap pendekatan terapeutik harus ditimbang
dengan hati-hati. Pendekatan terapeutik spesifik yang dibahas di atas untuk sindrom vaskulitis
individu; namun, prinsip-prinsip umum tertentu mengenai terapi harus dipertimbangkan. Di
satu sisi, glukokortikoid dan / atau terapi sitotoksik harus segera diterapkan pada penyakit
dimana disfungsi sistem organ ireversibel dan morbiditas dan kematian yang tinggi telah jelas.
Wegener’s granulomatosis adalah prototipe dari vaskulitis sistemik yang parahdimana
membutuhkan pendekatan terapeutik. Di sisi lain, jika memungkinkan, terapi agresif dihindari
untuk manifestasi vaskulitis yang jarang mengakibatkan disfungsi sistem organ ireversibel dan
yang biasanya tidak respon terhadap terapi. Sebagai contoh, vaskulitis kulit idiopatik biasanya
menyelesaikan dengan pengobatan simptomatis, dan program berkepanjangan glukokortikoids
jarang menghasilkan manfaat pada klinis. Agen sitotoksik belum terbukti bermanfaat dalam
vaskulitis kulit idiopatik, dan efek sampingnya umumnya lebih besar dari efek yang
menguntungkan. Glukokortikoid harus dimulai pada orang-orang vasculitis sistemik yang tidak
dapat dikategorikan secara khusus atau yang tidak ada terapi standar, terapi sitotoksik harus
ditambahkan pada penyakit hanya bila tidak dijumpai respon yang memadai atau jika hanya
dapat mencapai kondisi remisi dan dipertahankan dengan rejimen glukokortikoid yang toksik.
Ketika remisi tercapai, salah satu harus terus-menerus digunakan untuk tapering off
glucocorticoids ke terapi alternatif harian dan menghentikannya bila memungkinkan. Bila
menggunakan obat sitotoksik, harus berdasarkan pilihan atas data yang mendukung
keberhasilan dari obat yang tersedia untuk penyakit itu, tingkat keterlibatan organ, dan profil
toksisitas obat.
Dokter harus benar-benar sadar akan efek samping toksik agen terapeutik yang bekerja.
Banyak efek samping terapi glukokortikoid rendah dalam frekuensi dan durasi pada pasien
dengan regimen alternative harian dibandingkan dengan rejimen sehari-hari. Ketika diberikan
siklofosfamid berkepanjangan dalam dosis 2 mg/kg per hari untuk periode waktu yang panjang
(satu untuk beberapa tahun), Insiden terjadinya sistitis adalah minimal 30% dan kejadian kanker
kandung kemih paling sedikit 6%. Kanker kandung kemih dapat terjadi beberapa tahun setelah
penghentian terapi siklofosfamid, karena itu, pemantauan untuk kanker kandung kemih harus
terus menerus pada pasien yang telah menerima program berkepanjangan siklofosfamid sehari-
hari. Menginstruksikan pasien untuk mengambil siklofosfamid sekaligus di pagi hari dengan
sejumlah besar cairan sepanjang hari untuk maintenance, tidak biasa dalam rejimen kronis yang
diberikan dalam dosis rendah. Permanen infertilitas dapat terjadi baik pada pria maupun
wanita. Supressi sumsum tulang adalah toksisitas penting siklofosfamid dan dapat diamati
selama tapering off glucocorticoid dari waktu ke waktu, bahkan setelah periode pengukuran
stabil. Pemantauan jumlah darah lengkap setiap 1 sampai 2 minggu selama pasien menerima
cyclophosphamide secara efektif dapat mencegah cytopenias. Jika jumlah darah putih (leukosit)
dijaga pada_3000/L, dan pasien tidak menerima glukokortikoid harian, kejadian yang
mengancam jiwa, infeksi oportunistik rendah. Namun, leukosit bukanlah prediksi yang akurat
tentang semua risiko infeksi oportunistik, dan infeksi dengan Pneumocystis carinii dan jamur
tertentu dapat dilihat dalam menghadapi leukosit yang dalam batas normal, terutama pada
pasien yang menerima glukokortikoid. Semua pasien vaskulitis yang tidak alergi terhadap sulfa
dan yang menerima glukokortikoid harian dalam kombinasi dengan obat sitotoksik harus
menerima trimetoprim-sulfametoksazol sebagai profilaksis terhadap infeksi P.carinii. Akhirnya,
perlu ditekankan bahwa setiap pasien adalah unik dan membutuhkan individu-pengambilan
keputusan. Garis besar di atas seharusnya melayani sebagai kerangka kerja untuk memandu
pendekatan terapeutik, namun fleksibilitas harus dilakukan agar dapat memberikan efikasi
terapi maksimal dengan minimal efek samping dalam setiap pasien.

Anda mungkin juga menyukai