PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian dan
manfaat penelitian
Rumah sakit merupakan suatu tempat pelayanan kesehatan dan sekaligus tempat
kesehatan perseorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat
jalan dan gawat darurat. Setiap tindakan medis harus selalu mengutamakan keselamatan
Ditempat ini pasien mendapatkan terapi dan perawatan untuk dapat sembuh, oleh karena
itu perawatan yang diberikan salah satunya adalah pemasangan infus atau terapi
interavena (Darmadi, 2010). Terapi intravena merupakan salah satu tindakan kolaborasi
yang dilakukan secara invasif dengan menggunakan metode yang efektif untuk
mensuplai cairan dan elektrolit, nutrisi dan obat melalui pembuluh darah (intravascular).
Lebih dari 80% pasien rawat akut mendapatkan terapi intravena di rumah sakit. Adanya
terapi ini sering menyebabkan terjadinya komplikasi antara lain terjadi plebitis
(Wayunah, 2011).
Menurut data Menkes RI tahun 2013 angka kejadian plebhitis di Indonesia sebesar
50,11% untuk Rumah Sakit Pemerintah sedangkan untuk Rumah Sakit Swasta sebesar
32,70%.
1 Universitas Borobudur
2
Angka kejadian plebitis merupakan salah satu indikator mutu asuhan keperawatan yang
diperoleh dari perbandingan jumlah kejadian plebitis dengan jumlah pasien yang
mendapat terapi intravena dengan standar kejadian kurang dari atau sama dengan 1,5%
(Menkes RI, 2008). Berdasarkan hasil pengambilan data awal mengenai angka kejadian
phlebitis di Rumah Sakit Sentosa di Tahun 2019 bulan Maret sebesar 4,2%, jika dihitung
per unit ruang ICU yang paling banyak yaitu mencapai 22,8%, sedangkan ruang rawat
CDC (The Centers for Disease Control and Prevention), merekomendasikan untuk
pergantian kateter infus setiap 48-72 jam, kateter infus harus diganti tidak lebih dari 72
jam. CDC menyarankan untuk mengganti infus set yang digunakan untuk mengelola
darah, produk darah, atau lipid emulsi dalam waktu 24 jam. Plebhitis merupakan infeksi
nosokomial yaitu infeksi oleh mikroorganisme yang dialami oleh pasien yang diperoleh
selama dirawat di rumah sakit diikuti dengan manifestasi klinis yang muncul sekurang-
kurangnya 3 x 24 jam setelah diberikan terapi intravena, selain itu plebhitis juga
merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi
intravena (Alexander, et al., 2010). Menurut Brunner & Suddarth (2013), plebitis terjadi
disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Hal ini dikarakteristikkan dengan adanya
area penusukan intravena yang memerah dan hangat disekitar sepanjang vena, nyeri atau
rasa lunak di daerah penusukan atau sepanjang vena dan terjadi pembengkakan.
Angka kejadian plebhitis di rumah sakit umum Autapura Palu mengalami penurunan dari
Tahun 2016 yaitu dari 699 orang mengalami plebhitis menjadi 365 orang pada tahun
2017. Insiden plebhitis akan meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur
intravena. Komplikasi cairan atau obat yang di infuskan (terutama PH dan tonisitasnya),
ukuran dan tempat canula dimasukkan. Kejadian plebhitis yang terjadi pada pasien
Universitas Borobudur
3
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain prosedur tetap pemasangan infus, jenis
cairan intravena yang digunakan, lamanya pemasangan dan perawatan infus setelah
pemasangan (Lestari D Dwi et al, 2016). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa
angka kejadian phlebitis jauh lebih besar dari standar yang ditetapkan oleh Depkes RI
Salah satu diantara faktor yang perlu diperhatikan yaitu teknik aseptik atau kesterilan
sewaktu pemasangan infus, melakukan disinfektan sebelum penusukan kanule intra vena
pada daerah sekitar penusukan serta kesterilan alat-alat yang digunakan akan berperan
penting untuk menghindari komplikasi peradangan vena, seperti: cuci tangan sebelum
melakukan tindakan, disinfektan daerah yang akan dilakukan penusukan (Brunner dan
Suddart 2013). Plebitis juga dapat disebabkan karena jenis cairan yang digunakan,
pemberian cairan intravena disesuaikan dengan kondisi kehilangan cairan pada pasien.
Pemberian cairan intravena merupakan salah satu tindakan invasif yang dilakukan tenaga
kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Mada (2011), yang bertema hubungan
pengetahuan perawat tentang infeksi nosokomial dengan penerapan prinsip steril pada
Tindakan pemasangan infus harus sesuai standar di rumah sakit. Standar Operasional
Prosedure ( SOP ) adalah tatacara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui
untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu. Penerapan SOP pada prinsipnya adalah
bagian dari kinerja dan perilaku individu dalam bekerja sesuai dengan tugasnya dalam
Universitas Borobudur
4
organisasi, dan biasanya berkaitan dengan kepatuhan (Simamora, 2012). Penelitian yang
dilakukan oleh Mitrajadi (2017) mengenai kepatuhan perawat terhadap SOP pemasangan
infus di rumah sakit umum daerah dr. Soedirman Kebumen didapatkan hasil 54
responden pada tahap praintraksi 4 tidak patuh (7,4%), pada tahap orientasi tidak patuh
sebanyak 8 (14,8%), pada tahap kerja semua masuk kategori patuh dan pada tahap
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran perilaku
Pemasangan infus yang tidak sesuai prosedur menyebabkan plebhitis, sehingga peneliti
Universitas Borobudur
5
Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi untuk
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan informasi kepada
terjadinya plebhitis.
Universitas Borobudur