Anda di halaman 1dari 44

HUBUNGAN KEPATUHAN SOP PEMASANGAN INFUS DENGAN

KEJADIAN FLEBITIS DI RUANG RAWAT INAP RS


BHAYANGKARA MANADO

PROPOSAL

OLEH :
LIDYA MURARY
NIM. 1714201191

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA


FAKULTAS KEPERAWATAN
MANADO
2021
BAB I

PENDAHULUAAN

A. Latar Belakang

Pemasangan infus atau terapi intravena adalah suatu tindakan

pemberian cairan melalui intravena yang bertujuan untuk menyediakan air,

elektrolit, dan nutrien untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pemasangan

infus dapat menggantikan air dan memperbaiki kekurangan cairan elektrolit

serta merupakan suatu medium untuk pemberian obat secara intravena

(Verry, 2015).

Kemampuan pemasangan infus merupakan kompetensi dan tanggung

jawab perawat. Kompetensi perawat yang diharapkan adalah memilih tempat

vena yang sesuai, jenis kanula yang paling sesuai untuk pasien tertentu,

mahir dalam Teknik aseptik, dan teknik penusukan vena. Faktor-faktor lain yang

mempengaruhi pemasangan infus antara lain jenis larutan yang akan

diberikan, lamanya terapi intravena, keadaan umum pasien dan tempat vena

yang digunakan, dan keterampilan orang yang akan melakukan pemasangan

infus. Banyak tempat yang dapat digunakan untuk pemasangan infus, tetapi

kemudahan akses dan potensi bahaya berbeda di setiap vena (Smeltzer &

Bare, 2011).
Sekitar 20 juta dari 40 juta pasien rawat inap di Amerika Serikat

telah dilaporkan menerima pemasangan dan perawatan infus. Tingkat flebitis

karena pemasangan infus telah dilaporkan sebesar 41,8%. Di Australia

tingkat flebitis sebesar 82.5%. Terjadinya flebitis pada pasien salah

satunya kesalahan dalam melakukan tindakan pemasangan infus. Rumah

Sakit di Negara berkembang sudah menggunakan alat canggih berupa senter

vena untuk mendeteksi vena pada saat melakukan tindakan pemasangan infus

(WHO, 2014).

Di Indonesia tahun 2010, Jumlah kejadian flebitis pada pasien rawat

inap menurut distribusi penyakit sistem sirkulasi darah, berjumlah 744 orang

atau 34,11% kejadian flebitis terdata di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

Jakarta. Sebesar 56.9% kejadian flebitis dideteksi di Rumah Sakit Aceh, di

Rumah Sakit Makasar sebesar 72.2% dan didata di Rumah Sakit Umum

Manado kejadian flebitis sebesar 43.5% (Kemenkes RI, 2013).

Depkes RI (2013) merekomendasikan kejadian flebitis pada setiap

pemasangan infus adalah ≤ 1,5%. Sementara itu, perawatan infus yang

dilakukan di RSCAM adalah 1x72 jam sesuai dengan SOP yang berlaku.

The Centers for Disease Control and Prevention (CDC), merekomendasikan

untuk pergantian kateter infus setiap 48-72 jam, kateter infus harus diganti

tidak lebih dari 72 jam, kecuali ada indikasi klinis atau kateter infus rusak.

CDC menyarankan untuk mengganti set yang digunakan untuk mengelola

darah, produk darah, atau lipid emulsi dalam waktu 24 jam.


Flebitis merupakan peradangan pada intima tunika dari vena dangkal

yang disebabkan oleh iritasi mekanik, kimia atau sumber bakteri (mikro

organisme) yang dapat menyebabkan pembentukan trombus. Flebitis mekanik

disebabkan oleh pergerakan benda asing (kanula) yang menyebabkan gesekan

dan peradangan vena. Hal ini sering terjadi ketika ukuran kanula terlalu

besar untuk vena yang dipilih. Penempatan kanula terlalu dekat dengan

katup, akan meningkatkan risiko flebitis akibat iritasi pada dinding

pembuluh darah dengan ujung kanula. Flebitis kimia disebabkan oleh obat

atau cairan yang melalui kanula. Faktor-faktor seperti pH dan osmolalitas

dari zat memiliki dampak yang signifikan terhadap kejadian flebitis. Flebitis

yang disebabkan oleh bakteri berasal dari tehnik aseptik yang kurang dari

keterampilan perawat dalam memasang infus (Kohno, 2012).

Kejadian flebitis bagi pasien merupakan masalah yang serius namun

tidak sampai menyebabkan kematian, tetapi banyak dampak yang nyata yaitu

tingginya biaya perawatan diakibatkan lamanya perawatan di rumah sakit

serta pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit menjadi terhambat. Fungsi

cairan intravena diberikan untuk menyediakan air, elektrolit dan nutrien

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, menggantikan air dan memperbaiki

kekurangan elektrolit dan untuk menyediakan suatu medium untuk

pemberian obat secara intravena Flebitis juga berakibat dapat memperlambat

proses penyembuhan pasien terhadap penyakit yang diderita pasien (Sylvia,

2013).
Flebitis dapat dicegah dengan menggunakan teknik aseptik selama

pemasangan, menggunakan ukuran kateter dan ukuran jarum yang sesuai

untuk vena, mempertimbangkan komposisi cairan dan medikasi ketika

memilih daerah penusukan akan adanya komplikasi apapun setiap jam, dan

menempatkan kateter atau jarum dengan baik (Kohno, 2012).

Angka phlebitis dapat terjadi sekitar 20% sampai 70% pada pasien

yang di rawat dan terpasang infus di Rumah Sakit. Insiden phlebitis dapat

meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena , komposisi

cairan tubuh atau obat yang diberikan, ukuran dan tempat kanula

dimasukkan, pemasangan IV kateter dan masuknya mikroorganisme pada

saat penusukan. Komplikasi yang terjadi serta akibat pemasangan infus

adalah phlebitis yang terjadi hingga 75% pada pasien yang dirawat. Tindakan-

tindakan spesifik untuk mencegah terjadinya phlebitis yang berhubungan dengan

pemberian terapi intravena merupakan hal yang penting dilakukan bagi

seluruh perawat di Rumah Sakit (Smeltzer & Bare, 2011).


RS Bhyangkara Manado merupakan rumah sakit rujukan untuk

wilayah Sulawesi utara, dengan jumlah perawat 150 orang.

Berdasarkan survei data awal yang dilakukan oleh peneliti pada

tahun 2021 di dapatkan jumlah pasien dengan kejadian flebitis. Pada bulan

januari, februari pasien dengan kejadian flebitis sebanyak 6 pasien. dan

pada bulan maret, april, dan mei tahun 2021 kejadian flebitis meningkat

sebanyak 9 pasien. setelah melakukan observasi dan wawancara kepada 5

perawat yang ditemui saat shif siang, 3 perawat sudah sesuai dengan

prosedur sedangkan 2 perawat belum sesuai dengan prosedur pemasangan

infus di RS Bhayangkara Manado. 2 perawat tidak melakukan pemasangan

infus sesuai prosedur seperti mencuci tangan. Survei awal tersebut dapat

diketahui bahwa tidak semua perawat melaksanakan prosedur pemasangan

infus dengan lengkap. Pemasangan infus perlu dilakukan sesuai proptap,

karena dapat mengurangi resiko kejadian flebitis .

Berdasarkan fenomena di atas penelitian tertarik untuk melakukan

penelitian tentang “ Hubungan Kepatuhan SOP Pemasangan Infus

Dengan Kejadian Flebitis Di Ruang Rawat Inap RS Bhayangkara

Manado “
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan

masalah yaitu “ Apakah ada Hubungan Antara Kepatuhan SOP Pemasangan

Infus Dengan Kejadian Flebitis Di Ruang Rawat Inap RS Bhayangkara

Manado ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan kepatuhan SOP pemasangan infus dengan

kejadian flebitis di ruang rawat inap RS Bhayangkara Manado.

2. Tujuan Khusus :

a. Untuk mengetahui kepatuhan SOP pemasangan infus di RS

Bhayangkara Manado

b. Untuk mengetahui kejadian flebitis di RS Bhayangkara

Manado

c. Untuk mengetahui hubungan kepatuhan SOP pemasangan infus

dengan kejadian flebitis di ruang rawat inap RS Bhayngkara

Manado.
D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan referensi dan pengembangan ilmu pengetahuan

khususnya dalam bidang kesehatan tentang bagaimana cara untuk

mengurangi angka kejadian flebitis.

2. Bagi Rumah Sakit

Sebagai bahan evaluasi dan informasi yang berguna bagi manajemen

keperawatan rumah sakit untuk tempat pelayanan kesehatan guna

meningkatkan pelayanan dan juga menjadi bahan informasi terkait

tentang jumlah flebitis yang ada di lingkungan rumah sakit.

3. Bagi Peneliti

Sebagai bahan masukan referensi bagi mahasiswa dalam penyusunan

karya tulis ilmiah dan menambah pengetahuan juga pengalaman

dalam mengembangkan wawasan di bidang riset dan ilmu

pengetahuan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Flebitis

1. Definisi

Flebitis adalah daerah bengkak, kemerahan, panas, dan nyeri pada

kulit sekitar tempat kateter intravascular dipasang (kulit bagian luar).

Jika flebitis disertai dengan tanda-tanda infeksi lain selain demam

dan pus yang keluar dari tempat tusukan, ini digolongkan sebagai

infeksi klinis bagian luar (Myrnawati, 2013).

Flebitis adalah inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia

maupaun mekanik. Kondisi ini dikarakteristikkan dengan adanya

daerah yang memrah dan hangat di sekitar daerah insersi / penusukan

atau sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak pada area insersi dan

membengakak (Myrnawati, 2013).

Flebitis adalah iritasi vena oleh alat IV, obat-obatan atau infeksi

yang ditandai dengan kemerahan, bengakak, nyeri tekan pada sisi IV.

Flebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi

kimia maupun mekanik yang sering disebabkan oleh komplikasi terapi

intra vena (Weinstein, 2012).


Secara sederhana flebitis berarti peradangan vena. Flebitis berat

hampir diikuti bekuan darah, atau thrombus pada vena yang sakit.

Kondisi demikian dikenal sebagai tromboflebitis. Dalam istilah yang

lebih teknis lagi, flebitis mengacu ke temuan klinis adanya nyeri,

nyeri tekan, bengkak, pengerasan, eritema, dan hangat. Semua ini

diakibatkan peradangan, infeksi dan / atau thrombosis (Hidayat,

2011).

2. Etiologi Flebitis

Flebitis (peradangan vena), merupakan penyulit tersering yang

berkaitan dengan terapi intravaskular, biasanya terjadi akibat iritasi

kimiawi atau mekanis. Faktor predisposisi utama adalah infus larutan

hipertonik dan adanya benda berbentuk partikel yang berasal dari

obat yang belum larut sempurna, potongan karet atau kaca dari vial,

dan plastik dari kanula. Terbentuk eritema di bagian proksimal dari

tempat pungsi vena, disertai nyeri. Flebitis jarang disebabkan oleh

bakteri, tetapi septikemia lebih sering dijumpai pada pasien yang

mengalami flebitis (Endacot, 2013). Banyak faktor telah dianggap

terlibat dalam patogenesis flebitis, antara lain:

a. Faktor-faktor kimia seperti obat atau cairan yang iritan

b. Faktor-faktor mekanis seperti bahan, ukuran kateter, lokasi dan

lama kanulasi
c. Agen infeksius

Faktor pasien yang dapat mempengaruhi angka flebitis mencakup,

usia, jenis kelamin dan kondisi dasar ( yakni : diabetes mellitus,

infeksi, luka bakar ). Suatu penyebab yang sering luput perhatian

adalah adanya mikropartikel dalam larutan infus dan ini bisa

dieliminasi dengan penggunaan filter (Weinstein, 2012). Flebitis bisa

disebabkan berbagai faktor sebagaimana disebutkan di atas :

a. Flebitis Kimia

1) pH dan osmolaritas cairan infus yang tinggi selalu

diikuti risiko flebitis tinggi. pH larutan dekstrosa

berkisar antara 3-5, dimana keasaman diperlukan untuk

mencegah karamelisasi dekstrosa selama proses

sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang mengandung

glukosa, asam amino dan lipid yang digunakan dalam

nutrisi parenteral bersifat lebih flebitogenik

dibandingkan normal saline. Obat suntik yang bisa

menyebabkan peradangan vena yang hebat, antara lain

kalium klorida, vancomycin, amphotrecin B,

chepalosporins, diazepam, midazolam dan banyak obat

khemoterapi. Larutan infus dengan osmolaritas >900


mOsm/L harus diberikan melalui vena sentral

(Weinstein, 2012).

2) Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak

larut sempurna selama pencampuran juga merupakan

faktor kontribusi terhadap flebitis. Jadi, kalau diberikan

obat intravena masalah bisa diatasi dengan penggunaan

filter 1 sampai 5 μm (Endacot, 2013).

3) Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau

lengan bawah) sangat dianjurkan untuk larutan infus

dengan osmolaritas >500 mOsm/L. hindarkan vena pada

punggung tangan bila anda memberikan : Asam

amino+glukosa; Glukosa+elektrolit; D5 atau NS yang telah

dicampurkan dengan obat suntik atau Meylon dan

lain-lain (Weinstein, 2012).

4) Kateter yang terbuat dari silikon dan poliuretan kurang

bersifat iritasi disbanding politetrafluoroetilen (Teflon)

karena permukaan lebih halus, lebih thermoplastic dan

lentur. Risiko tinggi untuk flebitis dimiliki kateter yang

terbuat dari polivinil klorida atau polietilen (Endacot,

2013).
5) Dulu dianggap pemberian infus lambat kurang

menyebabkan iritasi daripada pemberian cepat.

b. Flebitis Mekanis

Flebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula. Kanula

yang dimasukkan ada daerah lekukan sering menghasilkan

flebitis mekanis. Ukuran kanula harus dipilih sesuai dengan

ukuran vena dan difiksasi dengan baik (Endacot, 2013).

c. Flebitis Bakterial

Faktor - faktor yang berkontribusi terhadap flebitis bakteri

meliputi :

1) Teknik pencucian tangan yang buruk

2) Kegagalan memeriksa peralatan yang rusak.

Pembungkus yang bocor atau robek mengundang

bakteri

3) Teknik aseptick tidak baik

4) Teknik pemasangan kanula yang buruk

5) Kanula dipasang terlalu lama

6) Tempat suntik jarang diinspeksi visual

7) Skala Flebitis
3. Patofisiologi

Didalam proses pembentukan flebitis terjadi penigkatan

permeabilitas kapiler, dimana protein dan cairan masuk ke dalam

interstisial. Selanjutnya jaringan yang mengalami trauma teriritasi

secara mekanik, kimia dan bakteri. System imun menyebakan leukosit

terkumpul pada bagian yang terinflamasi. Saat leukosit dilepaskan,

pirogen juga merangsang sum-sum untuk melepaskan leukosit dalam

jumlah besar. Kemerahan dan ketegangan meningkat pada tahap

flebitis (Hidayat, 2011).

4. Gejala Flebitis Menurut Sylvia (2013)

a. Nyeri yang terlokalisasi

b. Pembengkakkan

c. Kulit kemerahan timbul dengan cepat diatas vena

d. Terasa hangat saat diraba

e. Suhu tubuh meningkat

5. Pencegahan Flebitis
a. Mencegah Flebitis Bakterial : Pedoman ini menekankan

kebersihan tangan, teknik aseptik, perawatan daerah infus serta

antisepsis kulit. Walaupun lebih disukai sediaan chlorhexidine-2%,

tinctura yodium , iodofor atau alkohol 70% juga bisa digunakan

(Graber, 2011).

b. Selalu waspada dan jangan meremehkan teknik aseptic : Stopcock

sekalipun (yang digunakan untuk penyuntikan obat atau pemberian

infus IV, dan pengambilan sampel darah ) merupakan jalan masuk

kuman yang potensial ke dalam tubuh. Pencemaran stopcock lazim

dijumpai dan terjadi kira-kira 45 – 50% dalam serangkaian besar

kajian (Hidayat, 2011).

c. Rotasi kanula : Teknik pemberian nutrisi parenteral perifer (PPN),

di mana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral

setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas flebitis. Namun,

dalam uji kontrol acak yang dipublikasi oleh Webster dkk (1996)

disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih dari

72 jam jika tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control and

Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk

membatasi potensi infeksi, namun rekomendasi ini tidak didasarkan

atas bukti yang cukup (Hidayat, 2011).


d. Aseptic dressing : Dianjurkan aseptic dressing untuk mencegah

flebitis. Kasa setril diganti setiap 24 jam.

e. Laju pemberian : makin lambat infus larutan hipertonik diberikan

makin rendah risiko flebitis. Namun, ada paradigma berbeda untuk

pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas

boleh mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam. Durasi

sebaiknya kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak campuran

yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian

tinggi (150 – 330 mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan kateter

yang sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju

infus yang diinginkan, dengan filter 0.45 mm. Kanula harus diangkat bila

terlihat tanda dini nyeri atau kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih

relevan dalam pemberian infus juga sebagai jalan masuk obat, bukan terapi

cairan maintenance atau nutrisi parenteral (Graber, 2011).

f. Titrable acidity : Titratable acidity dari suatu larutan infus tidak

pernah dipertimbangkan dalam kejadian flebitis. Titratable acidity

mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menetralkan pH larutan

infus. Potensi flebitis dari larutan infus tidak bisa ditaksir hanya
berdasarkan pH atau titrable acidity sendiri. Bahkan pada pH 4.0, larutan

glukosa 10% jarang menyebabkan perubahan karena titrable acidity-nya

sangat rendah (0.16 mEq/L). Dengan demikian makin rendah titrable

acidity larutan infus makin rendah risiko flebitisnya (Graber, 2011).

g. Heparin & hidrokortison : Heparin sodium, bila ditambahkan ke

cairan infus sampai kadar akhir 1 unit/mL, mengurangi masalah dan

menambah waktu pasang kateter. Risiko flebitis yang berhubungan

dengan pemberian cairan tertentu (misal, kalium klorida, lidocaine, dan

antimikrobial) juga dapat dikurangi dengan pemberian aditif IV

tertentu, seperti hidrokortison. Pada uji klinis dengan pasien penyakit

koroner, hidrokortison secara bermakna mengurangi kekerapan flebitis

pada vena yg diinfus lidokain, kalium klorida atau antimikrobial. Pada

dua uji acak lain, heparin sendiri atau dikombinasi dengan hidrokortison

telah mengurangi kekerapan flebitis, tetapi penggunaan heparin pada

larutan yang mengandung lipid dapat disertai dengan pembentukan

endapan kalsium (Weinstein, 2012).

h. In-line filter : In-line filter dapat mengurangi kekerapan flebitis

tetapi tidak ada data yang mendukung efektivitasnya dalam mencegah

infeksi yang terkait dengan alat intravaskular dan sistem infus

(Weinstein, 2012).

6. Penanganan Flebitis Menurut Nikita (2013)


a. Periode istirahat dengan lokasi tungkai elevasi

b. Pemberian anti inflamasi non-steroid

c. Pemberian antibiotic

e. Kompres hangat pada daerah flebitis

B. Konsep Dasar Pemasangan Infus

1. Definisi

Pemberian cairan intravena (infus) adalah memasukan cairan

atau obat langsung ke dalam pembuluh darah vena dalam jumlah

dan waktu tertentu dengan menggunakan infus set. Teknik

penusukan vena melalui transkutan dengan stilet yang kaku,

seperti angiokateter atau dengan jarum yang di sambungkan. Terapi

intravena atau yang biasa disebut dengan terapi infus merupakan

metode yang efektif untuk mensuplai cairan, elektrolit, nutrisi,

dan obat melalui pembuluh darah atau intravaskular. Kateterisasi

vena adalah pembuatan jalur vena untuk pemberian cairan, darah

atau obat, dan suntikan berulang (Potter & Perry, 2015).

Pemberian cairan intravena adalah pemberian cairan atau

darah langsung ke dalam vena yang dapat dikerjakan dengan 2 cara

yaitu tanpa membuat luka sayat, jarum infus (ujung tajam)

ditusukkan langsung ke dalam vena, cara kedua adalah dengan

menyayat kulit untuk mencari vena dan melubangi vena setelah itu
jarum infus tumpul dimasukkan. Terapi intravena adalah

kemampuan untuk mendapat akses ke sistem vena guna memberikan

cairan dan obat merupakan keterampilan perawat. Tanggung

jawab ini termasuk memilih vena, jenis kanula yang sesuai, dan

mahir dalam teknik

penusukan vena. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi

pemasangan infus termasuk jenis larutan yang akan diberikan,

lamanya terapi intravena yang diharapkan, keadaan umum

pasien, dan vena yang digunakan. Keterampilan orang yang

melakukan pemasangan infus juga merupakan pertimbangan

penting (Latief, 2013).

2. Tujuan Pemasangan Infus

Pilihan untuk memberikan terapi intravena tergantung pada

tujuan spesifik untuk apa hal itu dilakukan. Umumnya cairan

intravena diberikan untuk mencapai satu atau lebih tujuan

berikut: menyediakan air, elektrolit, menyediakan nutrien untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan menjadi medium untuk

pemberian obat secara intravena (Smeltzer & Bare, 2011).

Menurut Latif (2013), tujuan pemberian terapi intravena yaitu :

a. Memberikan atau menggantikan cairan tubuh yang mengandung

air, elektrolit, vitamin, protein, lemak, dan kalori yang tidak dapat

dipertahankan secara adekuat melalui oral.


b. Memperbaiki keseimbangan asam-basa.

c. Memperbaiki volume komponen-komponen darah.

d. Memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan

kedalam tubuh. Kelima, Memonitor tekanan vena sentral (CVP).

e. Memberikan nutrisi pada saat sistem pencernaan

diistirahatkan.

3. Pedoman Pemilihan vena

Banyak tempat yang dapat digunakan untuk terapi

intravena, tetapi kemudahan akses dan potensi bahaya berbeda

di setiap vena. Vena di ekstremitas dipilih sebagai lokasi

perifer, karena vena ini relatif aman dan mudah dimasuki

kateter infus. Vena-vena di ekstremitas atas paling sering

digunakan. Vena di lengan dan tangan yang sering digunakan yakni

vena sefalika, vena basilika, vena fosa antekubital, vena kubital

mediana, vena sefalika asesorius, vena antebrakialis mediana, vena

basilika, vena sevalika, jaring-jaring vena dorsalis, vena

metakarpal dan vena digitalis. Vena di kaki sebaiknya sangat jarang

digunakan, karena resiko tinggi terjadinya tromboemboli, vena ini

merupakan cara terakhir dan dapat dilakukan hanya sesuai

dengan program medik dokter. Tempat tambahan untuk dihindari

termasuk vena di bawah infiltrasi vena sebelumnya atau di bawah


area yang flebitis, vena yang sklerotik atau bertrombus, lengan

fistula atau lengan yang mengalami edema, infeksi, bekuan darah

atau kerusakan kulit. Selain itu, lengan pada sisi yang mengalami

mastekstomi dihindari karena aliran balik vena yang terganggu.

Vena sentral yang sering digunakan oleh dokter termasuk vena

subclavicula dan vena jugularis interna adalah memungkinkan untuk

mengakses atau mengkanulasi pembuluh darah yang lebih besar,

bahkan pembuluh darah perifer sudah kolaps dan vena ini

memungkinkan pemberian larutan dengan osmolar tinggi. Meskipun

demikian bahanya jauh lebih besar dan mungkin termasuk

penusukan yang kurang hati-hati masuk ke dalam arteri atau

rongga pleura. Idealnya, kedua lengan dan tangan harus

diinspeksi dangan cermat sebelum tempat pungsi vena spesifik

dipilih (Smeltzer & Bare, 2011).

Lokasi harus dipilih yang tidak mengganggu mobilisasi.

Untuk alasan ini, fosa antekubital dihindari, kecuali sebagai

upaya terakhir. Tempat yang paling distal dari lengan atau umumnya

digunakan pertama kali sehingga intravena (IV) yang berikutnya

dapat dilakukan ke arah yang atas. Hal-hal berikut menjadi

pertimbangan ketika memilih tempat penusukan vena adalah


kondisi vena, jenis cairan atau obat yang akan diinfuskan, lamanya

terapi, usia, dan ukuran kateter infus yang sesuai untuk pasien,

riyawat kesehatan dan status kesehatan pasien sekarang dan

keterampilan tenaga kesehatan. Vena harus dikaji dengan palpasi

dan inspeksi, vena harus teraba kuat, elastis, besar dan bulat,

tidak keras, datar dan tidak bergelombang (Smeltzer & Bare,

2011).

4. Pemilihan Alat dalam Pemasangan Infus

a. Jenis Larutan Intravena

Larutan intravena sering dikategorikan sebagai larutan

isotonik, hipotonik atau hipertonik. Hal ini sesuai dengan

osmolaritas total larutan intravena, kurang dari atau lebih besar

dari osmolaritas darah. Larutan elektorlit dianggap isotonik jika

kandungan elektrolit totalnya (anion ditambah kation) kira-kira 310

mEq/L. Larutan dianggap hipotonik jika kandungan elektrolit

totalnya kurang dari 250mEq/L, dan larutan hipertonik jika

kandungan elektrolit totalnya melebihi 375 mEq/L. Perawat juga

harus mempetimbangkan osmolaritas suatu larutan, tetap

mengingat bahwa osmolaritas plasma adalah kira-kira 300

mosm/L. Jika memberikan cairan parenteral, penting untuk

memantau respons pasien terhadap cairan. Perawat harus


mempertimbangkan volume cairan, kandungan cairan dan status

klinis pasien (Latif, 2013).

b. Ukuran Kateter Intravena

Jarum infus atau abocath atau kateter intravena,

secara umum diberi warna yang berbeda-beda dengan alasan untuk

mempermudah petugas mengenali ukuran abbocath yang

diperlukan. Semakin rendah ukuran abochath maka semakin

besar jarum abocath. Macam-macam abocath menurut ukuran

jarum infus yang biasa digunakan adalah :

Ukuran 16G berwarna abu-abu berguna bagi pasien dewasa,

bedah Mayor, dan trauma. Apabila sejumlah besar cairan perlu

diinfuskan pertimbangan perawat dalam penggunaan ukuran 16G

adalah adanya rasa sakit pada insersi dan membutuhkan vena besar.

Ukuran 18G berwarna hijau digunakan pada pasien anak dan

dewasa, biasanya untuk tranfusi darah, komponen darah, dan infus

kental lainnya. Ukuran 20G berwarna merah muda biasanya umum


dipakai pada pasien anak dan dewasa, Sesuai untuk kebanyakan

cairan infus, darah, komponen darah, dan infus kental lainnya.

Ukuran 22G warna biru digunakan pada bayi, anak, dan dewasa

(terutama usia lanjut), cocok untuk sebagian besar cairan infus dan

memerlukan pertimbangan perawat karena lebih mudah untuk

insersi ke vena yang kecil, tipis dan rapuh, Kecepatan tetesan

harus dipertahankan lambat, dan Sulit insersi melalui kulit yang

keras. Ukuran 24G berwarna kuning, 26 berwarna putih digunakan

pada nenonatus, bayi, anak dewasa (terutama usia lanjut), Sesuai

untuk sebagian besar cairan infus, tetapi kecepatan tetesan lebih

lambat.Wing yaitu jarum infus yang mirip sayap kupu-kupu yang

jarumnya padat dan sangat halus (Potter & Perry, 2015)

5. Standar Operasional Prosedur ( SOP ) Pemasangan Infus

Standar Operasional Prosedur adalah pendoman atau acuan

untuk melaksanakan tugas perkerjaan sesuai dengan fungsi dan

alat penilaian kinerja berdasarkan indikator – indikator teknis,

administrasif dan prosedural sesuai dengan tata kerja, prosedur

kerja dan sistem kerja pada unit kerja yang bersangkutan

( Nursalam, 2016 ). SOP menggambarkan langkah – langkah

kerja ( sistem, mekanisme dan tata kerja internal ) yang


diperlukan dalam pelaksanaan suatu tugas untuk mencapai

tujuan ( Bustami, 2016 ). SOP sebagai suatu dokumen atau

instrument memuat tentang proses dan prosedur suatu kegiatan

yang bersifat efektif dan efesien berdasarkan suatu standar yang

sudah baku. pengembangan instrument manajemen tersebut

dimaksudkan untuk memastikan bahwa proses di seluruh unit

kerja dapat terkendali dan dapat berjalan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku ( Sumijatun, 2017 ).

Penerapan standar operasional prosedur bertujuan agar tidak

terjadi kesalahan dalam pengejaran suatu proses kerja yang

dirancang dari SOP. dari setiap teori telah dikemukakan, di

ketahui bahwa tujuan dari SOP adalah untuk memudahkan dan

menyamakan persepsi semua orang yang memanfaatkannya dan

untuk lebih memahami setiap langkah kegiatan yang harus

dilaksanakannya. Adapun tujuan – tujuan dari standard operating

procedure antara lain sebagai berikut : ( Sumijatun, 2017 ).

1) Agar pekerja dapat menjaga konsisten dalam

menjalankan suatu prosedur kerja

2) Agar pekerja dapat mengetahui dengan jelas peran

dan posisi mereka dalam perusahaan.

3) Memberikan keterangan atau kejelasan tentang alur

proses kerja, tanggung jawab, dan staf terkait dalam

proses tersebut.
4) Memberikan keterangan tentang dokumen – dokumen

yang dibutuhkan dalam suatu proses kerja.

5) Mempermudah perusahaan dalam mengetahui

terjadinya inefisiensi proses dalam suatu prosedur

kerja.

Rumah sakit akan mendapat banyak manfaat dari penerapan

SOP jika dijalankan dengan benar, Adapun manfaat dari SOP

adalah sebagai berikut :

1) Memberikan penjelasan tentang prosedur kegiatan secara

detail dan terinci dengan jelas dan sebagai dokumentasi

aktivitas tindakan keperawatan.

2) Meminlimalisasi variasi dan kesalahan dalam suatu

prosedur operasional kerja.

3) Mempermudah dan menghemat waktu dan tenaga dalam

program training perawat.

4) Menyamaratakan seluruh kegiatan yang dilakukan oleh

semua pihak.

5) Membantu dalam melakukan evaluasi dan penilaian

terhadap setiap proses operasional dalam perusahan.

6. Prosedur Pemasangan Infus


Dalam pemasangan infus, persiapan yang harus dilakukan

meliputi persiapan alat dan bahan serta pemahaman mengenai

prosedur kerja yang sesuai dengan SOP. Adapun prosedur

pemasangan infus menurut SOP Rumah Sakit Columbia Asia (2014)

yaitu:

a. Alat dan bahan : set infus, IV kateter (adsyte) sesuai ukuran,

cairan infus, alkohol swab, tegaderm, torniquet, gunting, mikropore,

kidney dish, yellow bag, glove, dan sharp box.

b. Prosedur kerja : bawa peralatan ke dekat pasien, Jelaskan

prosedur yang akan dilakukan kepada keluarga/pasien, jaga

privasi pasien, cuci tangan dan pakai glove jika perlu, sediakan

cairan yang akan dipasang, pasang pengalas di bawah tangan

yang akan di infus, cari lokasi vena yang tepat, pasang turniquet

sekitar 10 cm dari vena yang akan ditusuk, lakukan desinfeksi

dengan alkohol swab, masukkan Iv kanula dengan sudut 45 derajat,

setelah darah keluar turunkan IV kanula 30 derajat, kemudian

masukkan sedikit IV kanula kemudian tarik madrain, lalu

masukkan IV kanula secara perlahan, lepaskan torniquet, sambil

memegang ujung dengan sayap IV kanula , keluarkan madrain dan

buang ke dalam sharp box, sambungkan set infus dengan IV

kanula, jalankan cairan infus sesuai kebutuhan, pastikan bahwa

penyambungan antara IV kanula dan set infus sudah kuat, lakukan


fiksasi dengan transparan IV dressing (tegaderm), rapikan pasien

dan peralatan, pastikan selang infus sudah difiksasi dengan aman,

atur tetesan infus sesuai kebutuhan, dokumentasikan tindakan dan

hasil tindakanyang dilakukan pada catatan keperawatandan

formulir terkait (Latif, 2013).

7. Perawatan Infus

Mempertahankan suatu infus intravena yang sudah terpasang

merupakan tanggung jawab keperawatan yang menuntut

pengetahuan tentang larutan yang sedang diberikan dan prinsip-

prinsip aliran. Selain itu, pasien harus dikaji dengan teliti baik

terhadap komplikasi lokal ataupun sistemik. Aliran dari infus

sesuai pada prinsip-prinsip yang sama yang mengatur

perpindahan

cairan secara umum yaitu aliran berbanding langsung dengan

ketinggian bejana cairan. Menaikkan ketinggian wadah infus

dapat memperbaiki aliran yang tersendat-sendat, aliran berbanding

langsung dengan diameter selang, klem pada selang IV mengatur

aliran dengan mengubah diameter selang, selain itu aliran akan lebih

cepat melalui kanula dengan diameter besar dan berlawanan dengan

kanul yang kecil, Aliran berbanding terbalik dengan panjang selang,


menambah panjang selang pada jalur IV akan menurunkan aliran,

Aliran berbanding terbalik dengan viskositas cairan, larutan

intravena yang kental, seperti darah membutuhkan kanula yang

lebih besar dibandingkan dengan air atau larutan salin (Smeltzer &

Bare, 2011).

Perawatan infus merupakan tindakan yang dilakukan perawat

kepada pasien yang telah dilakukan pemasangan infus sesuai

prodesur yang dilakukan dalam 24-72 jam setelah pemasangan

infus dan bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi. Prinsip

perawatan infus dilakukan dengan prinsip aseptik (steril) seperti

mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, memakai

sarung tangan tujuannya agar pasien terhindar dari infeksi

nasokomial.

Pelepasan kateter intravena berkaitan dengan dua

kemungkinan bahaya yaitu perdarahan dan emboli kateter.

Untuk mencegah perdarahan berlebihan, sebuah spons yang kering

dan steril harus diletakkan di atas tempat penusukan pada saat

kanula dilepaskan. Tekanan yang kuat seharusnya diberikan sampai

semua perdarahan berhenti. Jika suatu kateter IV plastik putus, dapat

berjalan ke ventrikel kanan dan menyumbat aliran darah. Untuk


mendeteksi komplikasi saat ini kateter dilepaskan, panjangnya

dibandingkan dengan panjang kateter aktualnya (saat dipasang).

Kateter plastik harus selalu dilepaskan dengan hati-hati dan

panjangnya diukur untuk memastikan bahwa tidak adafragmen yang

terlepas. Harus selalu diterapkan kewaspadaan ketika menggunakan

gunting di sekitar balutan tempat tusukan.

jika terlihat jelas bahwa kateter putus, suatu upaya dapat dilakukan

untuk membendung vena di atas tempat penusukan dengan

memasang turniket untuk mencegah kateter memasukisirkulasi

sentral (sampai pelepasan secara bedah memungkinkan). Meskipun

demikian seperti biasanya, lebih baik mencegah masalah yang

mungkin berakibat fatal daripada menanganinya sesudah masalah

tersebut terjadi.

Untungnya, emboli kateter dapat dengan mudah dicegah dengan

mengikuti peraturan sederhana berikut ini, seperti tidak

menggunakan gunting di dekat kateter dan tidak menarik kateter

melalui jarum pengisersi. Pedoman dari pabrik pembuat harus di

ikuti dengan seksama, seperti menutup ujung jarum dengan

penutupnya untuk mencegah kateter rusak. Pendekatan yang cermat

akan membantu mencegah kateter memasuki sirkulasi umum jika

secara tidak disengaja kateter tersebut terlepas dari adapternya

(Smeltzer & Bare, 2011).


BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Kepatuhan SOP Kejadian Flebitis

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

B. Hipotesis
Ho : Tidak ada hubungan antara kepatuhan SOP pemasangan infus

dengan kejadian flebitis di ruang rawat inap RS Bhayangkara

Manado

Ha : Ada hubungan antara kepetuhan SOP pemasangan infus dengan

kejadian flebitis di ruang rawat inap RS Bhayangkara Manado

C. Definisi Operasional

Variabel Definisi operasional Alat ukur Hasil Ukur Skala

Kepatuhan Suatu tindakan Kuesioner 1.Kurang Ordinal

SOP perawat dalam Patuh

melakukan tindakan

pemasangan infus 2. Patuh

sesuai SOP

pemasangan infus

yang terdiri dari

persiapan diri,

persiapan alat dan


bahan, sampai pada

prosedur kerja yakni

menjelaskan maksud

dan tujuan tindakan

dll.

Kejadian Yaitu dimana Lembar 1. Ya Ordinal

Flebitis terjadinya Observasi

pembengkakan, nyeri 2. Tidak

dan kemerahan di

area IV.

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif

dengan pendekatan cross sectional. Dimana pengambilan variabel dependent

(terikat) dan independent (bebas) dilakukan secara bersamaan (Notoatmodjo,

2012).

B. Tempat Dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di ruang rawat inap RS Bhayangkara

Manado

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan juni 2021

C. Populasi Dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan di teliti yang

memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh peneliti ( Nursalam,

2013 ). Pada penelitian ini populasinya adalah perawat yang berada di

ruang rawat inap berjumlah 40 orang.

2. Sampel

Penentuan sampel penelitian ini menggunakan Teknik total sampling

yang sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria ekskluasi yakni

sebanyak 40 orang. menentukan jumlah sampel yang diambil pada

penelitian ini menggunakan rumus Slovin ( Susila dan Suyanto,

2014 ):

N
n =
N . d 2 +1

40
=
40 ¿ ¿

40
=
40(0,0025)+1
40 40
= = = 36 Sampel
0,1+1 1,1

Keterangan :

n = ukuran sampel

N = jumlah populasi

e = nilai presisi atau sig. (ditetapkan 0,05).

D. Kriteria Inklusi Dan Eksklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari

suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti ( Nursalam,

2013 ). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

1. Kriteria Inklusi

a. Perawat yang berada di ruang rawat inap di RS Bhayangkara

Manado

b. Perawat yang bersedia menjadi responden

2. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan/mengeluarkan subjek yang

memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab

(Nursalam, 2013).

a. Perawat yang tidak hadir saat pelaksanaan penelitian


E. Instrumen Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan daftar pertanyaan

kuesioner dan lembar observasi. Kuesioner ini berisikan 10 pertanyaan

untuk tindakan kepatuhan dengan pilihan jawaban Ya dan Tidak, Ya

diberikan nilai 2 dan tidak diberikan nilai 1 dengan skor > 10 dikatakan

baik dan < 10 dikatakan kurang. Lembar observasi digunakan untuk

mengkaji terjadinya flebitis.

F. Pengolahan Data

1) Editing

Setelah data terkumpul, maka dilakukan pemeriksaan kelengkapan

data, kesenambungan data dan keseragamaan data.

2) Coding

Dilakukan untuk memudahkan pengolahan data yaitu memberikan

simbol – simbol dari setiap jawaban responden

3) Entry Data
Jawaban yang sudah beri kode kategori kemudian dimasukan

kedalam tabel dengan cara menghitung dan memasukan data melalui

pengolahan computer.

4) Tabulating

Mengelompokan data kedalam tabel menurut sifat yang sesuai

dengan tujuan penelitian.

G. Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis Univariat mengambarkan karakteristik variabel – variabel

penelitian dengan menggunakan distribusi frekuensi dan presentase

2. Analisis Bivariat

Analisis ini digunakan sebagai kelanjutan dari analisis unvariat untuk

melihat hubungan ( kolerasi ) antar variabel. Dalam hal ini, untuk

mencari hubungan antara sikap dan tindakan perawat dengan kejadian

flebitis di RS Bhayangkara Manado, menggunakan uji Chi-Square.

H. Etika Penelitian

1. informed Consent
Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan

diteliti yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian

dan manfaat penelitian. Bila subjek menolak maka peneliti tidak

memaksakan kehendak dan tetap menghormati hak – hak subjek.

2. Anonymity

Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak mencantumkan nama

responden tetapi lembar tersebut di beri kode atau inisial.

3. Confidential

Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh penelitia dan hanya

kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian

DAFTAR PUSTAKA

Arif. 2014. Pengantar ilmu keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Anugrah. 2012. Tindakn Pemasangan Infus Dan Praktik Keperawatan. Jakarta:


EGC

Aprilin. 2013. Hubungan Sikap Perawat Dalam Perawatan Infus Dengan


Terjadinyaflebitis, Sidoarjo: Puskesmas Krian Sidoarjo. Skripsi.
Universitas Ghoa. Makasar
DepKes RI. 2013. Distribusi penyakit sirkulasi darah, Jakarta : Depkes RI. Dalam
http://dianhusadariza03.blogspot.com/p/asuhan-keperawatan-terkait-
dengan.html. Diakses tanggal 10 Juni 2016: 10.00 wita

Darmawan. 2008. Infeksi nosokomial Problematika dan Pengendaliannya.


Jakarta: Salemba Medika

Endacot. 2013. Clinical Nursing skills, core and advanced, Oxford: Oxford
University Press. Dalam http://dianhusadariza03.blogspot.com/p/asuhan-
keperawatan-terkait-dengan.html.

Enjel. 2014. Hubungan Tindakan Perawat Dengan Pencegahan Flebitis Dirumah


Sakit Siti Amina. Skripsi. Universitas Sumatera Utara

Fidia. 2015. Sikap Dan Tindakan Perawat: Yogyakarta: CEG

Graber. 2011. Terapi Cairan, Elektrolit Dan Metabolik. Jakarta:Farmedia

Hidayat. 2011. Buku Saku Kebutuhan Dasar Manusia, Jakarta: EGC.

Hayati, 2012. Mencegah Infeksi Nosokomial. Jurnal Nasional, Edisi Minggu 15


Januari 2012, hal. 23.

Jarumiyati. 2011. Hubungan Lama Pemasangan Kateter Intravena Dengan


Kejadian Flebitis Pada Pasien Rawat Inap di RSUD Wonosari. Skripsi.
UNHAS

Karl. 2014. Tindakan Sosial Kemasyarakatan. Jakarta: CEG

Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

Kohno. 2012. Phlebitis, a painful complication of peripheral IV catheterization


that may be prevented. American journal of nursing. Dalam http://zona-
prasko.blogspot.com/2013/02/pengertian-dan-faktor-yang-
mempengaruhi.html.

Latief. 2013. Tandards For Infusion Therapy, London: Royal Colage of Nursing

Lili. 2015. Performance Seorang Perawat. Jakarta: EGC


Liliyana. 2014. Hubungan Sikap Perawat Dengan Pencegahan Flebitis Pada
Pasien Anak Rs Columbia Asia Medan. Skripsi. Universitas Hasanudin

Myrnawati. 2013. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta: FKUI.

Martinho. 2013. Occurrence of phlebitis on intravenious Amiodarione, Einstein.


Dalam http://zona-prasko.blogspot.com/2013/02/pengertian-dan-faktor-
yang-mempengaruhi.html.

Max. 2014. Tindakan Petugas Pelayanan Masyarakat. Jakarta: Salemba Medika

Nursalam. 2013. Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba


Medika

Notoatmodjo, (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Cetakan Kedua Edisi


Revisi. Rhineka Cipta. Jakarta.

Notoatmodjo. 2013. Sikap Yang Harus Dimiliki Perawat. Diakses dari http://zona-
prasko.blogspot.com/2013/02/pengertian-dan-faktor-yang-
mempengaruhi.html.

RS Bhayangkara Manado, 2021

Potter & Perry. 2015. Kapita Selecta Kedokteran. . Diakses dari http://zona-
prasko.blogspot.com/2015/02/pengertian-dan-faktor-yang-
mempengaruhi.html.

Roeshadi. 2012. Rata-rata lama hari pemasangan infus dalam terjadinya flebitis
Medan: RSUP Haji Adam Malik

Satyaputra. 2014. Buku Ajar Kebutuhan Manusia: Teori & Aplikasi, Jakarta:
CVSagung Seto. Dalam http://zona-
prasko.blogspot.com/2013/02/pengertian-dan-faktor-yang-
mempengaruhi.html.

Sylvia. 2013. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik,
Edisi 4 Volume 1, Jakarta: EGC.

Smeltzer & Bare. 2011. Keperawatan medical bedah, Jakarta: EGC

Scahffer. 2012. Pencegahan Infeksi dan Praktik yang Aman. Alih Bahasa
Setiawan. Jakarta: EGC

Sukidjo. 2015. Sikap Yang Menunjang Pelayanan Kesehatan. Yogyakarta: CEG


Tresnaningsih. 2015. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya. Jakarta

Verry. 2015. Buku Ajar Kebutuhan Manusia: Teori & Aplikasi, Jakarta:
CVSagung Seto.

WHO. 2014. The efficacy of non-pharmacological methods of pain management


in school age children receiving venepuncture in a paediatric department.
journal of A randomized controlled trial of audiovisual distractin and
routine psychological intervention. Swiss Med. Dalam http://zona-
prasko.blogspot.com/2013/02/pengertian-dan-faktor-yang-
mempengaruhi.html.

Weinstein. 2012. IV catheterization. American journal of nursing. Dalam


http://zona-prasko.blogspot.com/2013/02/pengertian-dan-faktor-yang-
mempengaruhi.html.

Yuni. 2012. Hubungan Tindakan Keperawatan Dengan Mengurangi Angka


Flebitis Pada Pasien Rawat Inap Di Rs Cipto Mangunkusumo. Tesis.
Universitas Muhamadiyah Makasar.

LEMBAR KUESIONER

HUBUNGAN KEPATUHAN SOP PEMASANGAN INFUS DENGAN


KEJADIAN FLEBITIS DI RUANG RAWAT INAP RS
BHAYANGKARA MADADO

A. Lembar Karakteristik Responden

Nama :
Umur :
Pendidikan :
Lama Kerja :
Lama Dirawat :

Petunjuk Pengisian

1. Bacalah pertanyaan yang ada dengan teliti agar benar - benar


dimengerti.
2. Untuk menjawab pertanyaan, berikan tanda cek (√) pada kolom
pilihan jawaban yang tersedia untuk jawaban yang dianggap
paling tepat. Jika ingin memperbaiki jawaban yang salah, berikan
tanda silang (X) pada kolom jawaban yang salah, lalu berikan
tanda cek (√) pada kolom jawaban yang dianggap benar.

B. Kuesioner Kepatuhan SOP Pemasangan Infus


No. PERNYATAAN Ya Tidak
Res (2) (1)

Tahap Persiapan

1 Perawat memberi salam pada pasien

2 Perawat menjelaskan prosedur tindakan yang


dilakukan

3 Perawat menjelaskan tujuan tindakan


pemasangan infus

4 Perawat memberikan kesempatan pada pasien


untuk bertanya

Tahap Kerja

5 Perawat menyiapkan semua alat dan bahan


perlengkapan tindakan pemasangan infus sesuai
kebutuhan

6 Perawat mencuci tangan sebelum menyentuh


pasien

7 Perawat menggunakan alcohol sebelum


melakukan tindakan pemasangan infus pada
lokasi yang akan ditusuk

8 Perawat menggunakan handscoen saat melakukan


tindakan

9 Perawat mencuci tangan setelah kontak dengan


pasien satu sebelum kontak dengan pasien lain

10 Perawat mengistirahatkan pasien saat bebrapa


kali dilakukan tindakan pemasangan infus

Sumber : Enjel, 2014 Hubungan Tindakan Perawat Dengan


Pencegahan Flebitis Dirumah Sakit Siti
Amina. Skripsi. Universitas Sumatera
Utara

C. Lembar Observasi Flebitis

No Observasi Ya Tidak

6
7

Sumber : INS ( Infusion Nursing Society ) 2006

Anda mungkin juga menyukai