Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pemasangan infus atau terapi intravena adalah suatu tindakan pemberian cairan

melalui intravena yang bertujuan untuk menyediakan air, elektrolit, dan nutrien untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pemasangan infus dapat menggantikan air dan

memperbaiki kekurangan cairan elektrolit serta merupakan suatu medium untuk

pemberian obat secara intravena (Smeltzer & Bare, 2001).

Kemampuan pemasangan infus merupakan kompetensi dan tanggung jawab

perawat. Kompetensi perawat yang diharapkan adalah memilih tempat vena yang

sesuai, jenis kanula yang paling sesuai untuk pasien tertentu, mahir dalam teknik

aseptik, dan teknik penusukan vena. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi

pemasangan infus antara lain jenis larutan yang akan diberikan, lamanya terapi

intravena, keadaan umum pasien dan tempat vena yang digunakan, dan keterampilan

orang yang akan melakukan pemasangan infus. Banyak tempat yang dapat digunakan

untuk pemasangan infus, tetapi kemudahan akses dan potensi bahaya berbeda di

setiap vena. Vena di ekstremitas atas dipilih sebagai lokasi perifer, karena vena ini

relatif aman dan mudah dilakukan pemasangan infus, sedangkan vena di kaki jarang

di gunakan karena resiko tinggi terjadinya tromboemboli vena. Tempat lain yang

harus dihindari dalam pemasangan infus adalah vena di bawah infiltrasi vena

sebelumnya atau di bawah area yang flebitis, vena yang sklerotik atau bertrombus

lengan dengan arteriovena atau fistula, atau lengan yang mengalami edema, infeksi,

bekuan darah, dan kerusakan kulit (Smeltzer & Bare, 2001).

Pemasangan infus atau terapi intravena yang dilakukan secara terus menerus dan

dalam jangka waktu yang lama, tentunya akan meningkatkan terjadinya komplikasi
dari pemasangan infus, salah satunya adalah flebitis. Flebitis merupakan peradangan

pada intima tunika dari vena dangkal yang disebabkan oleh iritasi mekanik, kimia

atau sumber bakteri (mikro organisme) yang dapat menyebabkan pembentukan

trombus (Royal College of Nursing, 2010). Flebitis mekanik disebabkan oleh

pergerakan benda asing (kanula) yang menyebabkan gesekan dan peradangan vena

(Stokowski et al, 2009). Hal ini sering terjadi ketika ukuran kanula terlalu besar untuk

vena yang dipilih (Martinho & Rodrigues, 2008). Penempatan kanula terlalu dekat

dengan katup, akan meningkatkan risiko flebitis mekanis akibat iritasi pada dinding

pembuluh darah dengan ujung kanula (Macklin, 2003). Flebitis kimia disebabkan

oleh obat atau cairan yang diberikan melalui kanula. Faktor-faktor seperti pH dan

osmolalitas dari zat memiliki dampak yang signifikan terhadap kejadian flebitis.

Flebitis yang disebabkan oleh bakteri berasal dari tehnik aseptik yang kurang dari

keterampilan perawat dalam memasang infus (Kohno et al, 2009).

Flebitis berat hampir selalu diikuti bekuan darah atau trombus pada vena yang

sakit atau mengalami peradangan dan selanjutnya menjadi tromboflebitis. Perjalanan

penyakit ini biasanya jinak, tetapi walaupun demikian jika thrombus terlepas

kemudian terbawa aliran darah dan masuk ke jantung maka dapat menimbulkan

gumpalan darah yang bisa menyumbat atrioventrikular secara mendadak dan

menimbulkan kematian (Sylvia, 2005).

Tanda dan gejala yang paling umum dari flebitis adalah eritema, pembengkakan

di sepanjang jalur vena, vena akan teraba mengeras, daerah pemasangan infus terasa

hangat, dan pasien mungkin mengalami rasa sakit atau ketidaknyamanan selama

pemberian obat. Untuk itu perawat harus menilai apakah rasa sakit ini terus berlanjut

atau tidak (Endacott et all, 2009).

Sekitar 20 juta dari 40 juta pasien rawat inap di Amerika Serikat telah dilaporkan

menerima pemasangan dan perawatan infus (Yalcin, 2004). Tingkat flebitis karena
pemasangan infus telah dilaporkan oleh Maki dan Ringer (2009) sebesar 41,8%, serta

Kocaman dan Sucuoglu (2011) sebesar 64,7%. Indonesia tahun 2010, Jumlah

kejadian flebitis pada pasien rawat inap menurut distribusi penyakit sistem sirkulasi

darah, berjumlah 744 orang atau 17,11% (DepKes RI, 2008). Penelitian Jarumiyati

(2011), yang berjudul hubungan lama pemasangan kateter intravena dengan kejadian

flebitis pada pasien rawat inap di RSUD Wonosari, menunjukkan bahwa ada

hubungan antara lama pemasangan kateter intravena dengan kejadian flebitis, ini

dibuktikan dengan nilai korelasinya 0,007. Aprilin (2011), dalam penelitiannya yang

berjudul hubungan perawatan infus dengan terjadinya flebitis di Puskesmas Krian

Sidoarjo menunjukkan bahwa ada hubungan perawatan infus dengan terjadinya

flebitis pada pasien yang terpasang infus di Puskesmas Krian Sidoarjo. Mardiah

(2012), dalam penelitiannya yang berjudul rata- rata lama hari pemasangan infus

dalam terjadinya flebitis di RSUP Haji Adam Malik Medan, menunjukkan bahwa

kejadian flebitis pada pasien yang dipasang infus sebanyak 61,7% terjadi flebitis

dengan rata-rata hari pemasangan infus pada hari ketiga pemasangan infus dan hari

pertama pemasangan infus belum terjadi flebitis sama sekali. Hasil- hasil penelitian

diatas menggambarkan bahwa pemasangan dan perawatan infus adalah hal yang

harus dilakukan secara benar dan sesuai dengan ketentuan Standart

Operasional Procedure (SOP). Penelitian-penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai

acuan bagi perawat dan rumah sakit dalam memberikan asuhan keperawatan kepada

pasien yang dipasang infus dengan pemantauan lokasi insersi intravena kateter,

melakukan tindakan aseptik pada pemasangan infus, dan juga cara kerja yang sesuai

SOP agar terhindar dari flebitis.

Pemantauan pemasangan dan perawatan infus di Rumah Sakit Columbia Asia

Medan (RSCAM) merupakan salah satu sasaran mutu yang harus dicapai, dimana

angka kejadian flebitis yang tinggi menunjukkan mutu yang rendah. Pada bulan
Januari - Agustus 2015 tercatat jumlah pasien yang dilakukan pemasangan infus di

ruang pediatrik RSCAM sebanyak 635 orang dan terdapat 12 pasien (1,8%)

mengalami flebitis pada ≤ 72 jam setelah pemasangan infus (Unit Quality Control

dalam Sasaran Mutu RSCAM, 2015). Depkes RI merekomendasikan kejadian flebitis

pada setiap pemasangan infus adalah ≤ 1,5%. Sementara itu, perawatan infus yang

dilakukan di RSCAM adalah 1x72 jam sesuai dengan SOP yang berlaku. The

Centers for Disease Control and Prevention (CDC), merekomendasikan untuk

pergantian kateter infus setiap 48-72 jam, kateter infus harus diganti tidak lebih dari

72 jam, kecuali ada indikasi klinis atau kateter infus rusak. CDC menyarankan untuk

mengganti set yang digunakan untuk mengelola darah, produk darah, atau lipid

emulsi dalam waktu 24 jam.

Pemasangan dan perawatan infus memerlukan kompetensi perawat dalam

mengontrol angka kejadian flebitis. Roe (2001) menyatakan bahwa kompetensi itu

adalah kemampuan untuk melaksanakan satu tugas atau peran, kemampuan

mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-

nilai pribadi, dan kemampuan untuk membangun pengetahuan dan keterampilan yang

didasarkan pada pengalaman dan pembelajaran yang dilakukan. Kompetensi menurut

Undang-Undang Keperawatan Bab IV pasal 16 ayat (2), standart kompetensi perawat

meliputi aspek pengetahuan, keterampilan, sikap, mental, moral, penguasaan bahasa

dan tehnologi. Kompetensi perawat dalam hal pemasangan, dan perawatan infus

harus mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, sikap dan tehnologi untuk

mengurangi angka kejadian flebitis, sehingga citra dan kualitas pelayanan rumah sakit

dapat tercapai.

1.2.Tujuan Penelitian

1.2.1.Tujuan Umum :
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan

kompetensi perawat dalam memasang dan merawat infus terhadap kejadian flebitis

di ruang pediatrik Rumah sakit Columbia Asia Medan tahun 2015

1.2.2.Tujuan Khusus :

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengidentifikasi kompetensi perawat dalam memasang infus di Ruang

Pediatrik Rumah Sakit Columbia Asia Medan tahun 2015.

2. Untuk mengidentifikasi kompetensi perawat dalam merawat infus di Ruang

Pediatrik Rumah Sakit Columbia Asia Medan tahun 2015.

3. Untuk menganalisis hubungan kompetensi perawat dalam memasang infus

terhadap kejadian flebitis di Ruang Pediatrik Rumah Sakit Columbia Asia Medan

tahun 2015.

4. Untuk menganalisis hubungan kompetensi perawat dalam merawat infus terhadap

kejadian flebitis di Ruang Pediatrik Rumah Sakit Columbia Asia Medan tahun

2015.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemasangan Infus

2.1.1. Definisi

Pemberian cairan intravena (infus) adalah memasukan cairan atau obat


langsung ke dalam pembuluh darah vena dalam jumlah dan waktu tertentu
dengan menggunakan infus set (Potter & Perry, 2005). Teknik penusukan vena
melalui transkutan dengan stilet yang kaku, seperti angiokateter atau dengan jarum
yang di sambungkan. Terapi intravena atau yang biasa disebut dengan terapi infus
merupakan metode yang efektif untuk mensuplai cairan, elektrolit, nutrisi, dan obat
melalui pembuluh darah atau intravaskular (Mubarak, 2008). Kateterisasi vena
adalah pembuatan jalur vena untuk pemberian cairan, darah atau obat, dan suntikan
berulang (Mansjoer, 2000).
Pemberian cairan intravena adalah pemberian cairan atau darah langsung
ke dalam vena yang dapat dikerjakan dengan 2 cara yaitu tanpa membuat luka sayat,
jarum infus (ujung tajam) ditusukkan langsung ke dalam vena, cara kedua adalah
dengan menyayat kulit untuk mencari vena dan melubangi vena setelah itu jarum
infus tumpul dimasukkan. Terapi intravena adalah kemampuan untuk mendapat
akses ke sistem vena guna memberikan cairan dan obat merupakan keterampilan
perawat. Tanggung jawab ini termasuk memilih vena, jenis kanula yang sesuai, dan
mahir dalam teknik penusukan vena. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi
pemasangan infus termasuk jenis larutan yang akan diberikan, lamanya terapi
intravena yang diharapkan, keadaan umum pasien, dan vena yang digunakan.
Keterampilan orang yang melakukan pemasangan infus juga merupakan
pertimbangan penting (Latief,dkk, 2005).
2.1.2.Tujuan Pemasangan Infus

Pilihan untuk memberikan terapi intravena tergantung pada tujuan spesifik


untuk apa hal itu dilakukan. Menurut Smeltzer & Bare (2002), umumnya cairan
intravena diberikan untuk mencapai satu atau lebih tujuan berikut : menyediakan air,
elektrolit, menyediakan nutrien untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan menjadi
medium untuk pemberian obat secara intravena. Menurut Setyorini (2006), tujuan
pemberian terapi intravena yaitu : pertama, memberikan atau menggantikan cairan
tubuh yang mengandung air, elektrolit, vitamin, protein, lemak, dan kalori yang tidak
dapat dipertahankan secara adekuat melalui oral. kedua, memperbaiki keseimbangan
asam-basa. Ketiga, memperbaiki volume komponen-komponen darah. Keempat,
memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan kedalam tubuh. Kelima,
Memonitor tekanan vena sentral (CVP). Keenam, Memberikan nutrisi pada saat
sistem pencernaan diistirahatkan.

2.1.3. Pedoman Pemilihan vena


Banyak tempat yang dapat digunakan untuk terapi intravena, tetapi
kemudahan akses dan potensi bahaya berbeda di setiap vena. Vena di ekstremitas
dipilih sebagai lokasi perifer, karena vena ini relatif aman dan mudah dimasuki
kateter infus. Vena- vena di ekstremitas atas paling sering digunakan. Vena di lengan
dan tangan yang sering digunakan yakni vena sefalika, vena basilika, vena fosa
antekubital, vena kubital mediana, vena sefalika asesorius, vena antebrakialis
mediana, vena basilika, vena sevalika, jaring-jaring vena dorsalis, vena metakarpal
dan vena digitalis. Vena di kaki sebaiknya sangat jarang digunakan, karena
resiko tinggi terjadinya tromboemboli, vena ini merupakan cara terakhir dan dapat
dilakukan hanya sesuai dengan program medik dokter. Tempat tambahan untuk
dihindari termasuk vena di bawah infiltrasi vena sebelumnya atau di bawah area
yang flebitis, vena yang sklerotik atau bertrombus, lengan fistula atau lengan yang
mengalami edema, infeksi, bekuan darah atau kerusakan kulit. Selain itu, lengan
pada sisi yang mengalami mastekstomi dihindari karena aliran balik vena yang
terganggu. Vena sentral yang sering digunakan oleh dokter termasuk vena
subclavicula dan vena jugularis interna adalah memungkinkan untuk mengakses atau
mengkanulasi pembuluh darah yang lebih besar, bahkan pembuluh darah
perifer sudah kolaps dan vena ini memungkinkan pemberian larutan dengan
osmolar tinggi. Meskipun demikian bahanya jauh lebih besar dan mungkin termasuk
penusukan yang kurang hati-hati masuk ke dalam arteri atau rongga pleura.
Idealnya, kedua lengan dan tangan harus diinspeksi dangan cermat sebelum tempat
pungsi vena spesifik dipilih. Lokasi harus dipilih yang tidak mengganggu
mobilisasi. Untuk alasan ini, fosa antekubital dihindari, kecuali sebagai upaya
terakhir. Tempat yang paling distal dari lengan atau umumnya digunakan pertama kali
sehingga intravena (IV) yang berikutnya dapat dilakukan ke arah yang atas. Hal-hal
berikut menjadi pertimbangan ketika memilih tempat penusukan vena adalah
kondisi vena, jenis cairan atau obat yang akan diinfuskan, lamanya terapi, usia,
dan ukuran kateter infus yang sesuai untuk pasien, riyawat kesehatan dan status
kesehatan pasien sekarang dan keterampilan tenaga kesehatan. Vena harus dikaji
dengan palpasi dan inspeksi, vena harus teraba kuat, elastis, besar dan bulat, tidak
keras, datar dan tidak bergelombang (Smeltzer & Bare,
2002).

2.1.4. Pemilihan Alat dalam Pemasangan Infus


2.1.4.1. Jenis Larutan Intravena
Larutan intravena sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik
atau hipertonik. Hal ini sesuai dengan osmolaritas total larutan intravena , kurang dari
atau lebih besar dari osmolaritas darah. Larutan elektorlit dianggap isotonik
jika kandungan elektrolit totalnya (anion ditambah kation) kira-kira 310 mEq/L.
Larutan dianggap hipotonik jika kandungan elektrolit totalnya kurang dari 250mEq/L,
dan larutan hipertonik jika kandungan elektrolit totalnya melebihi 375 mEq/L.
Perawat juga harus mempetimbangkan osmolaritas suatu larutan, tetap mengingat
bahwa osmolaritas plasma adalah kira-kira 300 mosm/L. Jika memberikan cairan
parenteral, penting untuk memantau respons pasien terhadap cairan. Perawat harus
mempertimbangkan volume cairan, kandungan cairan dan status klinis pasien. Jenis-
jenis cairan intravena menurut Smeltzer & Bare (2002) antara lain :
1. Cairan Isotonik
Cairan yang diklasifikasikan isotonik mempunyai osmolaritas total
yang mendekati cairan eksetraseluler dan tidak menyebabkan sel darah merah
mengkerut atau membengkak. Komposisi dari cairan-cairan ini mungkin atau
tidak memungkinkan mendekati komposisi CES. Cairan isotonik meningkatkan
volume cairan ekstraseluler. Satu liter cairan isotonik meningkatkan cairan
ekstraseluler sebesar 1 liter, meskipun demikian cairan ini meningkatkan plasma
hanya sebesar ¼ liter karena cairan isotonik merupakan cairan kristaloid dan berdifusi
dengan cepat ke dalam kompartemen CES. Untuk alasan yang sama, 3 liter cairan
isotonik dibutuhkan untuk menggatikan 1 liter darah yang hilang. Larutan dekstrosa
5% dalam air mempunyai osmaliritas serum sebesar 252 mosm/L. Sekali diberikan,
glukosa dengan cepat dimetabolisasi dan larutan yang pada awalnya merupakan
larutan isotonis kemudian berubah menjadi cairan hipotonik, sepertiga ekstraseluler
dan dua pertiga intraseluler. Karena itu, dekstrosa 5% dalam air terutama
dipergunakan untuk mensuplai air dan untuk memperbaiki osmaliritas serum yang
meningkat. Satu liter dekstrosa 5% dalam air memberikan kurang dari 200 kkal dan
merupakan sumber kecil kalori untuk kebutuhan sehari-hari tubuh. Saline normal
(0,9 % natrium klorida) mempunyai osmalalitas total sebesar 308mOsm/L. Karena
osmolalitasnya secara keseluruhan ditunjang oleh elektrolit, larutan ini tetap dalam
kompartemen ekstra seluler. Untuk alasan ini, salin normal sering dugunakan
untuk mengatasi kekurangan volume ekstraseluler, meskipun disebut sebagai
“normal”, salin normal hanya mengandung natrium dan klorida dan tidak
merangsang CES secara nyata. Beberapa larutan lain mengandung ion-ion selain
natrium klorida dan kurang lebih sama dengan komposisi CES. Larutan ringer
mengandung kalium dan kalsium selain natrium klorida. Laruran ringer lactate juga
mengandung prekursor bikarbonat.

2. Cairan Hipotonik
Salah satu tujuan dari cairan hipotonik adalah untuk mengganti cairan seluler,
karena larutan ini bersifat hipotonis dibandingkan dengan plasma. Tujuan lainnya
adalah untuk menyediakan air bebas untuk ekskresi sampah tubuh. Pada saat-sat
tertentu, larutan natrium hipotonik digunakan untuk mengatasi hipernatremia dan
kondisi hperosmolar yang lain. Salin berkekuatan menengah (natrium klorida 0,45%)
sering digunakan. Larutan elektrolit multipel juga tersedia. Infus larutan hipotonik
yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya deplesi cairan intravaskuler,
penurunan tekanan darah, edema seluler dan kerusakan sel. Larutan ini menghasilkan
tekanan osmotik yang kurang dari cairan ekstraseluler.

3. Cairan Hipertonik
Jika dekstrosa 5% ditambahkan pada salin normal atau larutan ringer,
osmolalitas totalnya melebihi osmolalitas CES. Meskipun demikian, dekstrosa
dengan cepat dimetabolisasi dan hanya tersisa larutan isotonik. Kerena itu efek
apapun pada kompartemen intraseluler sifatnya sementara. Sama halnya, dekstrosa
5% biasanya ditambahkan pada larutan elektrolit multipel hipotonik. Setelah
dekstrosa dimetabolisasi, larutan ini menyebar sebagai cairan hipotonik. Dekstosa
dengan konsentrasi yang lebih tinggi, seperti dekstrosa 50% dalam air, diberikan
untuk membantu memenuhi kebutuhan kalori. Larutan ini sangat hipertonis dan harus
diberikan pada vena sentral sehingga mereka dapat didilusi dengan aliran darah yang
cepat. Larutan salin juga tersedia dalam konsentrasi osmolar yang lebih tinggi
daripada CES. Larutan-larutan ini menarik air dari kompartemen intraselular ke
kompartemen ekstraselular dan menyebabkan sel-sel mengkerut. Jika diberikan
dengan cepat atau dalam jumlah besar mereka mungkin menyebabkan kelebihan
volume ekstraselular dan mencetuskan kelebihan cairan sirkulatori dan dehidrasi.
Sebagai akibatnya, larutan ini diberikan dengan hati-hati dan biasanya hanya jika
osmolalitas serum menurun sampai ke batas rendah yang berbahaya. Larutan
hipertonik menghasilkan tekanan osmoltik yang lebih besar dibandingkan dengan
cairan ekstraseluler.
4. Subtansi lain yang diberikan secara intravena
Jika saluran gastrointestinal pasien tidak dapat menerima makanan, kebutuhan
nutrisi sering kali dipenuhi melalui intravena. Pemberian parenteral mungkin
termasuk konsentrasi tinggi dari glukosa, protein atau lemak untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi. Banyak pengobatan juga diberikan secara intravena baik melalui
infus atau langsung ke dalam vena. Karena pengobatan intravena bersirkulasi dengan
cepat, pemberian melalui cara ini berpotensi sangat berbahaya. Kecepatan pemberian
dan dilusi yang dianjurkan untuk tiap obat tersedia dalam teks-teks khusus yang
menyangkut medikasi intravena dan dalam lampiran paket pabrik, hal ini harus
dibaca untuk memastikan pemberian medikasi secara intravena yang aman.

2.1.4.2. Ukuran Kateter Intravena


Jarum infus atau abocath atau kateter intravena, secara umum diberi warna
yang berbeda-beda dengan alasan untuk mempermudah petugas mengenali
ukuran abbocath yang diperlukan. Semakin rendah ukuran abochath maka semakin
besar jarum abocath. Macam-macam abocath menurut ukuran jarum infus yang
biasa digunakan adalah :Ukuran 16G berwarna abu-abu berguna bagi pasien
dewasa, bedah Mayor, dan trauma. Apabila sejumlah besar cairan perlu
diinfuskan pertimbangan perawat dalam penggunaan ukuran 16G adalah adanya rasa
sakit pada insersi dan membutuhkan vena besar. Ukuran 18G berwarna hijau
digunakan pada pasien anak dan dewasa, biasanya untuk tranfusi darah, komponen
darah, dan infus kental lainnya. Ukuran 20G berwarna merah muda biasanya umum
dipakai pada pasien anak dan dewasa, Sesuai untuk kebanyakan cairan infus, darah,
komponen darah, dan infus kental lainnya. Ukuran 22G warna biru digunakan pada
bayi, anak, dan dewasa (terutama usia lanjut), cocok untuk sebagian besar
cairan infus dan memerlukan pertimbangan perawat karena lebih mudah untuk
insersi ke vena yang kecil, tipis dan rapuh, Kecepatan tetesan harus dipertahankan
lambat, dan Sulit insersi melalui kulit yang keras. Ukuran 24G berwarna kuning, 26
berwarna putih digunakan pada nenonatus, bayi, anak dewasa (terutama usia lanjut),
Sesuai untuk sebagian besar cairan infus, tetapi kecepatan tetesan lebih lambat.Wing
yaitu jarum infus yang mirip sayap kupu-kupu yang jarumnya padat dan sangat halus
(Potter & Perry, 2005) Menurut Arifin (2014), dalam Training Perawat RSCAM,
kecepatan aliran infus
menurut ukuran abocath sebagai berikut:
Tabel 2.1. Kecepatan aliran cairan infus menurut ukuran abocath
Rata-rata kecepatan aliran cairan infus menurut ukuran abocath
Ukuran
kateter Panjang
kateter (mm) Warna
kateter Flow Rate
ml/min(H2O) Flow Rate
I/hr(H2O) Flow rate
ml/min(darah)
22 25 Biru 42 2.5 24
20 32 Merah
Muda 67 4.0 41
18 32 Hijau 103 6.2 75
18 45 Hijau 103 6.2 63
16 45 Abu-abu 236 14.2 167
14 45 Orange270 16.2 215

2.1.5. Prosedur Pemasangan Infus

Dalam pemasangan infus, persiapan yang harus dilakukan meliputi persiapan


alat dan bahan serta pemahaman mengenai prosedur kerja yang sesuai dengan SOP.
Adapun prosedur pemasangan infus menurut SOP Rumah Sakit Columbia Asia
Medan (2014) yaitu 1) Alat dan bahan : set infus, IV kateter (adsyte) sesuai ukuran,
cairan infus, alkohol swab, tegaderm, torniquet, gunting, mikropore, kidney dish,
yellow bag, glove, dan sharp box. 2) Prosedur kerja : bawa peralatan ke dekat pasien,
Jelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada keluarga/pasien, jaga privasi pasien,
cuci tangan dan pakai glove jika perlu, sediakan cairan yang akan dipasang, pasang
pengalas di bawah tangan yang akan di infus, cari lokasi vena yang tepat, pasang
turniquet sekitar 10 cm dari vena yang akan ditusuk, lakukan desinfeksi dengan
alkohol swab, masukkan Iv kanula dengan sudut 45 derajat, setelah darah keluar
turunkan IV kanula 30 derajat, kemudian masukkan sedikit IV kanula kemudian tarik
madrain, lalu masukkan IV kanula secara perlahan, lepaskan torniquet, sambil
memegang ujung dengan sayap IV kanula , keluarkan madrain dan buang ke dalam
sharp box, sambungkan set infus dengan IV kanula, jalankan cairan infus sesuai
kebutuhan, pastikan bahwa penyambungan antara IV kanula dan set infus sudah
kuat, lakukan fiksasi dengan transparan IV dressing (tegaderm), rapikan pasien dan
peralatan, pastikan selang infus sudah difiksasi dengan aman, atur tetesan infus sesuai
kebutuhan, dokumentasikan tindakan dan hasil tindakanyang dilakukan pada catatan
keperawatandan formulir terkait.

2.2. Perawatan Infus


Mempertahankan suatu infus intravena yang sudah terpasang
merupakan tanggung jawab keperawatan yang menuntut pengetahuan tentang
larutan yang sedang diberikan dan prinsip-prinsip aliran. Selain itu, pasien harus
dikaji dengan teliti baik terhadap komplikasi lokal ataupun sistemik. Aliran dari infus
sesuai pada prinsip-prinsip yang sama yang mengatur perpindahan cairan secara
umum yaitu aliran berbanding langsung dengan ketinggian bejana cairan. Menaikkan
ketinggian wadah infus dapat memperbaiki aliran yang tersendat-sendat, aliran
berbanding langsung dengan diameter selang, klem pada selang IV mengatur aliran
dengan mengubah diameter selang, selain itu aliran akan lebih cepat melalui kanula
dengan diameter besar dan berlawanan dengan kanul yang kecil, Aliran berbanding
terbalik dengan panjang selang, menambah panjang selang pada jalur IV akan
menurunkan aliran, Aliran berbanding terbalik dengan viskositas cairan, larutan
intravena yang kental, seperti darah membutuhkan kanula yang lebih besar
dibandingkan dengan air atau larutan salin (Smeltzer & Bare, 2002).
Perawatan infus merupakan tindakan yang dilakukan perawat kepada pasien
yang telah dilakukan pemasangan infus sesuai prodesur yang dilakukan dalam 24-72
jam setelah pemasangan infus dan bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi.
Prinsip perawatan infus dilakukan dengan prinsip aseptik (steril) seperti mencuci
tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, memakai sarung tangan tujuannya
agar pasien terhindar dari infeksi nasokomial. Adapun persiapan perawatan infus
meliputi persiapan alat dan bahan serta prosedur kerja yaitu sebagai berikut : 1) Alat
dan bahan : Pinset anatomis steril 2 buah, kasa steril, gunting, tegaderm, set infus,
cairan infus, plester (mikropore), alkohol swab, larutan NaCl 0,9 %, kidney dish,
yellow bag, glove, dan sharp box. 2) Prosedur kerja: Jelaskan prosedur yang akan
dilakukan kepada keluarga/pasien, menempatkan alat di dekat pasien dengan benar,
mengatur posisi pasien supaya tempat penusukan infus terlihat dengan jelas, mencuci
tangan, memakai sarung tangan, menyiapkan set infus dan cairan infus yang baru,
membasahi plester dengan alkohol swab dan buka balutan dengan menggunakan
pinset, membersihkan bekas plester dan membersihkan daerah tusukan dengan
larutan NaCl0,9%, menyambungkan set infus yang sudah diganti dengan IV kanula,
melakukan fiksasi dengan tegaderm dan diplester dengan rapi, mengatur tetesan infus
sesuai program, merapikan alat-alat, berpamitan dengan pasien/ keluarga, mencuci
tangan , mendokumentasikan kegiatan yang dilakukan dalam catatan keperawatan
(SOP perawatan infus RSCAM, 2014).
Perawatan termasuk menghentikan IV, memberikan kompres hangat,
meninggikan ekstremitas dan memulai jalur IV di ekstremitas yang berlawanan.
Dengan adanya tanda dan gejala tromboflebitis, seseorang tidak seharusnya mencoba
melakukan irigasi jalur IV. Tromboflebitis dapat dicegah dengan menghindarkan
trauma pada vena saat IV dimasukkan, mengobservasi tempat penusukan setiap jam
dan mencek adanya tambahan obat untuk kompabilitas. Banyak faktor yang
mempengaruhi aliran graitasi, suatu aliran tidak perlu mengalir sesuai dengan
kecepatan yang ditentukan pada awal pemasangan. Karena itu, infus intravena harus
sering dipantau untuk memastikan bahwa aliran mengalir pada kecepatan yang
ditentukan. Wadah IV sebaiknya diberi dengan tanda dengan plester untuk dengan
cepat menunjukkan apakah jumlah yang benar sudah di infuskan. Kecepatan aliran
seharusnya diperhitungkan ketika larutan pertama kali digantungkan, kemudian
dipantau sedikitnya setiap jam. Untuk menghitung kecepatan aliran, jumlah tetesan
yang dialirkan per mililiter harus ditentukan. Jumlah tetesan ini berbeda antara satu
peralatan dan baiasanya tercetak pada kemasan set larutan. Rumus yang dapat
digunakan untuk menghitung kecepatan tetesan adalah sebagai berikut: gtt /ml dari
set yang ditentukan/60 (menit dalam jam) x volume total per jam = gtt/mnt. Beragam
pompa infus tersedia untuk membantu pemberian cairan intravena. Peralatan ini
memastikan pemberian cairan dan obat yang lebih akurat dibanding dengan cara
pemberian set aliran gravitasi yang rutin. Beberapa pompa mempunyai kecepatan
aliran yang dikalibrasikan dengan istilah mililiter /jam dan disebut dengan pompa
volumetrik. Yang lain dikalibrasikan dalam tetesan/ menit dan disebut sebagai
pengontrol infus. Penting artinya untuk membaca petunjuk dari pabrik dengan teliti
sebelum menggunakan pompa infus atau mengontrol infus model mana saja karena
banyaknya variasi dalam berbagai model yang tersedia. Penggunaan peralatan ini
tidak menghilangkan perlunya pemantauan infus yang sering dan pemantauan pasien
(Smeltzer & Bare, 2002).
Pelepasan kateter intravena berkaitan dengan dua kemungkinan bahaya yaitu
perdarahan dan emboli kateter. Untuk mencegah perdarahan berlebihan, sebuah spons
yang kering dan steril harus diletakkan di atas tempat penusukan pada saat kanula
dilepaskan. Tekanan yang kuat seharusnya diberikan sampai semua perdarahan
berhenti. Jika suatu kateter IV plastik putus, dapat berjalan ke ventrikel kanan dan
menyumbat aliran darah. Untuk mendeteksi komplikasi saat ini kateter dilepaskan,
panjangnya dibandingkan dengan panjang kateter aktualnya (saat dipasang). Kateter
plastik harus selalu dilepaskan dengan hati-hati dan panjangnya diukur untuk
memastikan bahwa tidak adafragmen yang terlepas. Harus selalu diterapkan
kewaspadaan ketika menggunakan gunting di sekitar balutan tempat tusukan.jika
terlihat jelas bahwa kateter putus, suatu upaya dapat dilakukan untuk membendung
vena di atas tempat penusukan dengan memasang turniket untuk mencegah kateter
memasukisirkulasi sentral (sampai pelepasan secara bedah memungkinkan).
Meskipun demikian seperti biasanya, lebih baik mencegah masalah yang mungkin
berakibat fatal daripada menanganinya sesudah masalah tersebut terjadi. Untungnya,
emboli kateter dapat dengan mudah dicegah dengan mengikuti peraturan sederhana
berikut ini, seperti tidak menggunakan gunting di dekat kateter dan tidak menarik
kateter melalui jarum pengisersi. Pedoman dari pabrik pembuat harus di ikuti
dengan seksama, seperti menutup ujung jarum dengan penutupnya untuk mencegah
kateter rusak. Pendekatan yang cermat akan membantu mencegah kateter memasuki
sirkulasi umum jika secara tidak disengaja kateter tersebut terlepas dari adapternya
(Smeltzer& Bare, 2002).

2.3. Konsep Flebitis


Terapi intravena menimbulkan kecenderungan berbagai bahaya termasuk
komplikasi lokal maupun sistemik. Komplikasi sistemik lebih jarang terjadi tetapi
seringakali lebih serius dibandingkan komplikasi lokal dan termasuk kelebihan
sirkulasi, emboli paru, reaksi demam dan infeksi.
Flebitis didefenisikan sebagai inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia
maupun mekanik. Hal ini dikarakteristikan dengan adanya daerah yang memerah dan
hangat di sekitar daerah penusukan atau sepanjang vena dan pembengkakan. Insiden
flebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena, komposisi
cairan atau obat yang di infuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat
kanula dimasukkan, pemasangan jalur IV yang tidak sesuai dan masuknya
mikroorganisme pada saat penusukan. Flebitis merupakan peradangan pada intima
tunika dari vena dangkal yang disebabkan oleh iritasi mekanik, kimia atau sumber
bakteri (mikro organisme) yang dapat menyebabkan pembentukan trombus (Royal
College of Nursing, 2010). Flebitis mekanik disebabkan oleh pergerakan benda asing
(canula) yang menyebabkan gesekan dan peradangan vena (Stokowski et al, 2009).
Hal ini sering terjadi ketika ukuran kanula terlalu besar untuk vena yang
dipilih (Martinho & Rodrigues, 2008). Penempatan katup kanula terlalu dekat dengan
vena akan meningkatkan risiko flebitis mekanis akibat iritasi pada dinding pembuluh
darah dengan ujung kanula (Macklin, 2003). Flebitis kimia disebabkan oleh obat atau
cairan yang diberikan melalui kannula. Faktor-faktor seperti pH dan osmolalitas dari
zat memiliki dampak yang signifikan terhadap kejadian flebitis (Kohno et al, 2009).
Flebitis yang disebabkan oleh bakteri berasal dari tehnik aseptik yang kurang dari
keterampilan perawat dalam memasang infus. Menurut Infusion Nurses
Society(2006), skala flebitis dibedakan berdasarkan tanda dan gejala yang
ditimbulkanya.
Adapun skala flebitis tersebut adalah :
Tabel 2.2. Skala Flebitis berdasarkan Tanda dan Gejala
Grade Manifestasi
0 Tidak ada tanda dan gejala
1 Kemerahan dan nyeri di sekitar vena yang dipasang infus
2 Nyeri, kemerahan, dan bengkak pada sekitar vena yang dipasang infus
3 Nyeri, kemerahan (eritema), bengkak, dan vena teraba mengeras
(palpable venous cord)
4 Nyeri, kemerahan (eritema), bengkak, vena teraba mengeras (palpable
venous cord), dan tampak bernanah (pus) pada area yang dipasang infus.

2.3.1. Komplikasi Sistemik


a. Kelebihan beban cairan

Kelebihan cairan intraven akan membebani sistem sirkulasi dan


akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan tekanan vena sentral, dispnea
berat dan sianosis. Tanda dan gejala lainya, termasuk batuk dan kelopak mata yang
membengkak. Penyebab yang mungkin adalah tetesan infus yang cepat atau penyakit
hati, jantung atau ginjal. Hal ini terutama mungkin terjadi pada pasien dengan
gangguan jantung dan disebut dengan kelebihan beban sirkulasi. Pengobatan untuk
kelebihan beban sirkulatori adalah menurunkan kecepatan infus, sering memantau
tanda-tanda vital, mengkaji bunyi nafas dan membaringkan pasien dengan posisi semi
fowler tinggi. Komplikasi ini dapat dihindari dengan menggunakan infusepump dan
pemantauan yang cermat terhadap semua infus. Komplikasi dari kelebihan beban
sirkulasi termasuk gagal jantung kongestif dan edema pulmonal.

b. Emboli udara
Bahaya emboli udara selalu ada meskipun tidak sering terjadi. Emboli udara
paling sering berkaitan dengan kanulasi vena-vena sentral. Adanya emboli udara
mungkin dimanifestasikan dengan dispnea dan sianosis, hipotensi, nadi yang lemah,
cepat, hilangnya kesadaran dan nyeri dada, bahu dan punggung bawah. Pengobatan
dengan komplikasi ini adalah dengan segera mengklem kateter, membaringkan pasien
miring ke kiri dalam posisi trandelenburg, mengkaji tanda-tanda vital dan bunyi nafas
dan memberikan oksigen. Emboli udara dapat dicegah dengan menggunakan
adapter Luer-Lok pada semua jalur infus. Komplikasi emboli udara termasuk
syok dan kematian. Jumlah udarayang dibutuhkan untuk menyebabkan
kematian untuk manusia tidak diketahui, meskipun demikian, kecepatan masuknya
udara mungkin sama pentingnya dengan volume aktual udara yang masuk.

c. Septikemia
Adanya subtansi pirogenik baik dalam larutan infus atau alat pemberian dapat
mencetuskan terjadinya reaksi demam dan septikemia. Dengan reaksi demam
semacam ini, perawat dapat melihat kenaikan suhu tubuh mendadak segera setelah
infus dimulai, sakit punggung, sakit kepala, peningkatan nadi dan frekuensi
perrnafasan, mual dan muntah, diare, demam dan mengigil, malaise umum dan jika
parah dapat terjadi kolaps vaskuler. Penyebab septikemia termasuk kontaminasi pada
produk intravena atau kelalaian pada tehnik aseptik, terrutama pada pasien yang
mengalami penurunan sistem imun. Pengobatan bersifat simptomatik dan termasuk
melakukan kultur kateter IV, selang atau larutan jika dicurigai dan melakukan tempat
penusukan IV yang baru untuk pengobatan dan pemberian cairan.

d. Infeksi
Infeksi beragam dalam keparahanya mulai dari keterlibatan lokal dan tempat
penusukan sampai penyebaran sistemik organisme melalui aliran darah seperti
septikemia. Tindakan untuk mencegah infeksi merupakan hal penting pada saat
melakukan pemasangan jalur intravena(IV) dan sepanjang periode pemberian infus.
Beberapa cara ini termasuk berikut ini : mencuci tangan dengan teliti sebelum kontak
dengan carian apapun dari sistem infus atau dengan pasien, mengevaluasi penampung
IV akan adanya keretakan, kebocoran atau kekeruhan yang mungkin menandakan
suatu larutan terkontaminasi, menggunakan tehnik aseptik yang kuat, menepatkan
kanula IV dengan kuat untuk mencegah pergerakan keluar masuk, memeriksa tempat
penusukan IV setiap hari dan mengganti balutan steril, lepaskan kateter IV pada
adanya tanda pertama peradangan lokal, kontaminasi atau komplikasi, mengganti
kanula IV perifer setiap 48 jam sampai 72 jam sesuai indikasi, mengganti IV canula
yang dipasang saat keadaan gawat (dengan asepsis yang dipertanyakan) sesegera
mungkin, mengganti kantong setiap 24 jam dan seluruh set pemberian sedikitnya
setiap 48 sampai 72 jam dan setiap 24 jam jika produk darah atau lemak yang di
infuskan.

2.3.2. Komplikasi Lokal


Komplikasi lokal dari terapi intravena termasuk infiltrai, flebitis,
tromboflebitis, hematoma dan bekuan pada jarum.
a. Infiltrasi
Pergeseran jarum dan infiltrasi lokal dari larutan ke dalam jaringan sub kutan
bukanlah hal yang jarang terjadi. Infiltrasi ditunjukkan dengan adanya edema di
sekitar tempat penusukan, ketiaknyamanan dan rasa dingin di area infiltrasi dan
penurunan kecepatan aliran yang nyata. Jika larutan yang dipergunakan bersifat
mengiritasi, kerusakan jaringan bisa terjadi. Pemantauan ketat terhadap tempat
penusukan merupakan hal penting untuk mendeteksi infiltrasi sebelum hal ini
menjadi parah. Infiltrasi mudah dikenali jika tempat penusukan lebih besar daripada
tempat yang sama di ekstremitas yang berlawanan. Meskipun demikian, infiltrasi
tidak selalu senyata itu. Suatu konsepsi yang salah adalah bahwa aliran balik darah ke
selang membuktikan bahwa kanul berada di dalam pembuluh darah. Meskipun
demikian, jika ujung kateter menembus dingding pembuluh darah, cairan intravena
akan merembes ke jaringan dan juga mengalir ke dalam vena. Suatu cara yang lebih
dapat dipercaya untuk memastikan infiltrasi adalah dengan memasang turniket di atas
atau di daerah proksimal dari tempat pemasangan infus dan mengencangkan turniket
tersebut secukupnya untuk menghentikan aliran vena. Jika infus terus menetes
meskipun ada obstruksi vena terjadi infiltrasi. Segera setelah infiltrasi terlihat, infus
harus dihentikan dan IV dilepaskan. Balutan yang steril diberikan ke daerah
penusukan setelah inspeksi yang teliti. Infus IV seharusnya dimulai di tempat baru
atau proksimal dari infiltrasi jika ekstremitas yang sama digunakan. Kompres hangat
pada daerah yang terkena dapat diberikan dengan meninggikan lengan untuk
meningkatkan absorpsi cairan. Infiltrasi dapat dideteksi dan dirawat lebih cepat
dengan melakukan inspeksi pada daerah pemasangan setiap jam untuk adanya
kemerahan, edema, aliran balik darah atau rasa dingin di daerah penusukan.
Penggunaan ukuran dan jenis kanula yang sesuai untuk vena menghindarkan
komplikasi ini.

b. Tromboflebitis
Tromboflebitis mengacu pada adanya bekuan ditambah peradangan di
dalam vena. Hal ini dikarakteristikan dengan adanya nyeri yang terlokalisasi,
kemerahan, rasa hangat, dan pembengkakan di sekitar tempat penusukan atau
sepanjang vena, imobilisasi ekstremitas karena rasa tidak nyaman dan
pembengkakan, kecepatan aliran yang tersendat, demam, malaise dan leukositosis.
c. Hematoma
Hematoma tejadi sebagai akibat dari kebocoran darah ke jaringan di
sekitar tempat penusuka. Hal ini dapat disebabkan oleh pecahnya dingding vena yang
berlawanan selama penusukan vena, jarum bergeser ke luar vena dan tekanan yang
tidak sesuai yang diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau kateter
dilepaskan. Tanda dan gejala hematoma termasuk ekimosis, pembengkakan segara
pada tempat penusukan dan kebocoran darah pada tempat penusukan. Perawatan
termasuk melepaskan jarum atau kateter dan memberikan tekanan dengan kasa steril,
memberikan kantong es selama 24 jam ke tempat penusukan dan kemudian
memberikan kompres hangat untuk meningkatkan absorpsi darah, mengkaji tempat
penusukan dan memulai kembali jalur di ekstremitas lain jika di indikasikan.
Hematoma dapat dicegah dengan memasukkan jarum secara hati-hati dan
menggunakan perawatan yang baik jika pasien mempunyai kelainan perdarahan, jika
pasien menerima antikoagulan atau mempuna penyakit hati yang sudah parah

d. Bekuan (clotting)
Bekuan pada jarum merupakan komplikasi lokal lainnya. Hal ini disebabkan
karena selang IV yang tertekuk, kecepatan aliran IV yang terlalu lambat, kantong IV
yang kosong atau tidak memberikan aliran setelah pemberian obat atau larutan
intermiten. Tanda dan gejalanya adalah penurunan kecepatan aliran darah kembali ke
selang IV. Jika terjadi bekuan, jalur IV harus dihentikan. Perawatan IV terdiri dari
tidak mengirigasi atau melakukan pemijatan pada selang, tidak mengembalikan aliran
dengan meningkatkan kecepatan atau menggantung larutan lebih tinggi dan tidak
melakukan aspirasi bekuan dari kanul. Bekuan pada jarum mungkin dicegah dengan
tidak membiarkan kantong IV menjadi kosong, penempatan selang untuk mencegah
tertekuknya selang, mempertahankan kecepatan aliran yang adekuat dan memberikan
aliran ke selang setelah pemberian medikasi atau larutan intermiten.
2.4 Perhitungan Tetesan Inpus
Rumus dasar dalam hitungan menit
Jumlah tetesan permenit = jumlah kebutuhan cairan x faktor tetes
Waktu (menit)

Rumus dasar dalam jam

Jumlah tetes permenit = jumlah kebutuhan cairan x faktor tetes

waktu ( jam ) x 60 menit

Makro = 15- 20 tetes / menit

Mikro = 60 menit

Kegagalan Pemberian Cairan Per Infus

Biasanya cara menghitung tetesan infus yang salah bisa mengakibatkan kegagalan
dalam pemberian terapi cairan per infus. Kegagalan lain yang dapat terjadi dalam
pemberian cairan infus adalah:

 Jarum tidak masuk ke dalam pembuluh darah balik (vena).


 Jarum infus dan vena terjepit karena posisi tempat masuknya jarum dalam
kondisi menekuk.
 Pipa penghubung udara tidak berfungsi.
 Pipa infus terjepit atau terlipat
2
3

Anda mungkin juga menyukai