PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pemasangan infus atau terapi intravena adalah suatu tindakan pemberian cairan
melalui intravena yang bertujuan untuk menyediakan air, elektrolit, dan nutrien untuk
perawat. Kompetensi perawat yang diharapkan adalah memilih tempat vena yang
sesuai, jenis kanula yang paling sesuai untuk pasien tertentu, mahir dalam teknik
pemasangan infus antara lain jenis larutan yang akan diberikan, lamanya terapi
intravena, keadaan umum pasien dan tempat vena yang digunakan, dan keterampilan
orang yang akan melakukan pemasangan infus. Banyak tempat yang dapat digunakan
untuk pemasangan infus, tetapi kemudahan akses dan potensi bahaya berbeda di
setiap vena. Vena di ekstremitas atas dipilih sebagai lokasi perifer, karena vena ini
relatif aman dan mudah dilakukan pemasangan infus, sedangkan vena di kaki jarang
di gunakan karena resiko tinggi terjadinya tromboemboli vena. Tempat lain yang
harus dihindari dalam pemasangan infus adalah vena di bawah infiltrasi vena
sebelumnya atau di bawah area yang flebitis, vena yang sklerotik atau bertrombus
lengan dengan arteriovena atau fistula, atau lengan yang mengalami edema, infeksi,
Pemasangan infus atau terapi intravena yang dilakukan secara terus menerus dan
dalam jangka waktu yang lama, tentunya akan meningkatkan terjadinya komplikasi
dari pemasangan infus, salah satunya adalah flebitis. Flebitis merupakan peradangan
pada intima tunika dari vena dangkal yang disebabkan oleh iritasi mekanik, kimia
pergerakan benda asing (kanula) yang menyebabkan gesekan dan peradangan vena
(Stokowski et al, 2009). Hal ini sering terjadi ketika ukuran kanula terlalu besar untuk
vena yang dipilih (Martinho & Rodrigues, 2008). Penempatan kanula terlalu dekat
dengan katup, akan meningkatkan risiko flebitis mekanis akibat iritasi pada dinding
pembuluh darah dengan ujung kanula (Macklin, 2003). Flebitis kimia disebabkan
oleh obat atau cairan yang diberikan melalui kanula. Faktor-faktor seperti pH dan
osmolalitas dari zat memiliki dampak yang signifikan terhadap kejadian flebitis.
Flebitis yang disebabkan oleh bakteri berasal dari tehnik aseptik yang kurang dari
Flebitis berat hampir selalu diikuti bekuan darah atau trombus pada vena yang
penyakit ini biasanya jinak, tetapi walaupun demikian jika thrombus terlepas
kemudian terbawa aliran darah dan masuk ke jantung maka dapat menimbulkan
Tanda dan gejala yang paling umum dari flebitis adalah eritema, pembengkakan
di sepanjang jalur vena, vena akan teraba mengeras, daerah pemasangan infus terasa
hangat, dan pasien mungkin mengalami rasa sakit atau ketidaknyamanan selama
pemberian obat. Untuk itu perawat harus menilai apakah rasa sakit ini terus berlanjut
Sekitar 20 juta dari 40 juta pasien rawat inap di Amerika Serikat telah dilaporkan
menerima pemasangan dan perawatan infus (Yalcin, 2004). Tingkat flebitis karena
pemasangan infus telah dilaporkan oleh Maki dan Ringer (2009) sebesar 41,8%, serta
Kocaman dan Sucuoglu (2011) sebesar 64,7%. Indonesia tahun 2010, Jumlah
kejadian flebitis pada pasien rawat inap menurut distribusi penyakit sistem sirkulasi
darah, berjumlah 744 orang atau 17,11% (DepKes RI, 2008). Penelitian Jarumiyati
(2011), yang berjudul hubungan lama pemasangan kateter intravena dengan kejadian
flebitis pada pasien rawat inap di RSUD Wonosari, menunjukkan bahwa ada
hubungan antara lama pemasangan kateter intravena dengan kejadian flebitis, ini
dibuktikan dengan nilai korelasinya 0,007. Aprilin (2011), dalam penelitiannya yang
flebitis pada pasien yang terpasang infus di Puskesmas Krian Sidoarjo. Mardiah
(2012), dalam penelitiannya yang berjudul rata- rata lama hari pemasangan infus
dalam terjadinya flebitis di RSUP Haji Adam Malik Medan, menunjukkan bahwa
kejadian flebitis pada pasien yang dipasang infus sebanyak 61,7% terjadi flebitis
dengan rata-rata hari pemasangan infus pada hari ketiga pemasangan infus dan hari
pertama pemasangan infus belum terjadi flebitis sama sekali. Hasil- hasil penelitian
diatas menggambarkan bahwa pemasangan dan perawatan infus adalah hal yang
acuan bagi perawat dan rumah sakit dalam memberikan asuhan keperawatan kepada
pasien yang dipasang infus dengan pemantauan lokasi insersi intravena kateter,
melakukan tindakan aseptik pada pemasangan infus, dan juga cara kerja yang sesuai
Medan (RSCAM) merupakan salah satu sasaran mutu yang harus dicapai, dimana
angka kejadian flebitis yang tinggi menunjukkan mutu yang rendah. Pada bulan
Januari - Agustus 2015 tercatat jumlah pasien yang dilakukan pemasangan infus di
ruang pediatrik RSCAM sebanyak 635 orang dan terdapat 12 pasien (1,8%)
mengalami flebitis pada ≤ 72 jam setelah pemasangan infus (Unit Quality Control
pada setiap pemasangan infus adalah ≤ 1,5%. Sementara itu, perawatan infus yang
dilakukan di RSCAM adalah 1x72 jam sesuai dengan SOP yang berlaku. The
pergantian kateter infus setiap 48-72 jam, kateter infus harus diganti tidak lebih dari
72 jam, kecuali ada indikasi klinis atau kateter infus rusak. CDC menyarankan untuk
mengganti set yang digunakan untuk mengelola darah, produk darah, atau lipid
mengontrol angka kejadian flebitis. Roe (2001) menyatakan bahwa kompetensi itu
nilai pribadi, dan kemampuan untuk membangun pengetahuan dan keterampilan yang
dan tehnologi. Kompetensi perawat dalam hal pemasangan, dan perawatan infus
mengurangi angka kejadian flebitis, sehingga citra dan kualitas pelayanan rumah sakit
dapat tercapai.
1.2.Tujuan Penelitian
1.2.1.Tujuan Umum :
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan
kompetensi perawat dalam memasang dan merawat infus terhadap kejadian flebitis
1.2.2.Tujuan Khusus :
terhadap kejadian flebitis di Ruang Pediatrik Rumah Sakit Columbia Asia Medan
tahun 2015.
kejadian flebitis di Ruang Pediatrik Rumah Sakit Columbia Asia Medan tahun
2015.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Definisi
2. Cairan Hipotonik
Salah satu tujuan dari cairan hipotonik adalah untuk mengganti cairan seluler,
karena larutan ini bersifat hipotonis dibandingkan dengan plasma. Tujuan lainnya
adalah untuk menyediakan air bebas untuk ekskresi sampah tubuh. Pada saat-sat
tertentu, larutan natrium hipotonik digunakan untuk mengatasi hipernatremia dan
kondisi hperosmolar yang lain. Salin berkekuatan menengah (natrium klorida 0,45%)
sering digunakan. Larutan elektrolit multipel juga tersedia. Infus larutan hipotonik
yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya deplesi cairan intravaskuler,
penurunan tekanan darah, edema seluler dan kerusakan sel. Larutan ini menghasilkan
tekanan osmotik yang kurang dari cairan ekstraseluler.
3. Cairan Hipertonik
Jika dekstrosa 5% ditambahkan pada salin normal atau larutan ringer,
osmolalitas totalnya melebihi osmolalitas CES. Meskipun demikian, dekstrosa
dengan cepat dimetabolisasi dan hanya tersisa larutan isotonik. Kerena itu efek
apapun pada kompartemen intraseluler sifatnya sementara. Sama halnya, dekstrosa
5% biasanya ditambahkan pada larutan elektrolit multipel hipotonik. Setelah
dekstrosa dimetabolisasi, larutan ini menyebar sebagai cairan hipotonik. Dekstosa
dengan konsentrasi yang lebih tinggi, seperti dekstrosa 50% dalam air, diberikan
untuk membantu memenuhi kebutuhan kalori. Larutan ini sangat hipertonis dan harus
diberikan pada vena sentral sehingga mereka dapat didilusi dengan aliran darah yang
cepat. Larutan salin juga tersedia dalam konsentrasi osmolar yang lebih tinggi
daripada CES. Larutan-larutan ini menarik air dari kompartemen intraselular ke
kompartemen ekstraselular dan menyebabkan sel-sel mengkerut. Jika diberikan
dengan cepat atau dalam jumlah besar mereka mungkin menyebabkan kelebihan
volume ekstraselular dan mencetuskan kelebihan cairan sirkulatori dan dehidrasi.
Sebagai akibatnya, larutan ini diberikan dengan hati-hati dan biasanya hanya jika
osmolalitas serum menurun sampai ke batas rendah yang berbahaya. Larutan
hipertonik menghasilkan tekanan osmoltik yang lebih besar dibandingkan dengan
cairan ekstraseluler.
4. Subtansi lain yang diberikan secara intravena
Jika saluran gastrointestinal pasien tidak dapat menerima makanan, kebutuhan
nutrisi sering kali dipenuhi melalui intravena. Pemberian parenteral mungkin
termasuk konsentrasi tinggi dari glukosa, protein atau lemak untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi. Banyak pengobatan juga diberikan secara intravena baik melalui
infus atau langsung ke dalam vena. Karena pengobatan intravena bersirkulasi dengan
cepat, pemberian melalui cara ini berpotensi sangat berbahaya. Kecepatan pemberian
dan dilusi yang dianjurkan untuk tiap obat tersedia dalam teks-teks khusus yang
menyangkut medikasi intravena dan dalam lampiran paket pabrik, hal ini harus
dibaca untuk memastikan pemberian medikasi secara intravena yang aman.
b. Emboli udara
Bahaya emboli udara selalu ada meskipun tidak sering terjadi. Emboli udara
paling sering berkaitan dengan kanulasi vena-vena sentral. Adanya emboli udara
mungkin dimanifestasikan dengan dispnea dan sianosis, hipotensi, nadi yang lemah,
cepat, hilangnya kesadaran dan nyeri dada, bahu dan punggung bawah. Pengobatan
dengan komplikasi ini adalah dengan segera mengklem kateter, membaringkan pasien
miring ke kiri dalam posisi trandelenburg, mengkaji tanda-tanda vital dan bunyi nafas
dan memberikan oksigen. Emboli udara dapat dicegah dengan menggunakan
adapter Luer-Lok pada semua jalur infus. Komplikasi emboli udara termasuk
syok dan kematian. Jumlah udarayang dibutuhkan untuk menyebabkan
kematian untuk manusia tidak diketahui, meskipun demikian, kecepatan masuknya
udara mungkin sama pentingnya dengan volume aktual udara yang masuk.
c. Septikemia
Adanya subtansi pirogenik baik dalam larutan infus atau alat pemberian dapat
mencetuskan terjadinya reaksi demam dan septikemia. Dengan reaksi demam
semacam ini, perawat dapat melihat kenaikan suhu tubuh mendadak segera setelah
infus dimulai, sakit punggung, sakit kepala, peningkatan nadi dan frekuensi
perrnafasan, mual dan muntah, diare, demam dan mengigil, malaise umum dan jika
parah dapat terjadi kolaps vaskuler. Penyebab septikemia termasuk kontaminasi pada
produk intravena atau kelalaian pada tehnik aseptik, terrutama pada pasien yang
mengalami penurunan sistem imun. Pengobatan bersifat simptomatik dan termasuk
melakukan kultur kateter IV, selang atau larutan jika dicurigai dan melakukan tempat
penusukan IV yang baru untuk pengobatan dan pemberian cairan.
d. Infeksi
Infeksi beragam dalam keparahanya mulai dari keterlibatan lokal dan tempat
penusukan sampai penyebaran sistemik organisme melalui aliran darah seperti
septikemia. Tindakan untuk mencegah infeksi merupakan hal penting pada saat
melakukan pemasangan jalur intravena(IV) dan sepanjang periode pemberian infus.
Beberapa cara ini termasuk berikut ini : mencuci tangan dengan teliti sebelum kontak
dengan carian apapun dari sistem infus atau dengan pasien, mengevaluasi penampung
IV akan adanya keretakan, kebocoran atau kekeruhan yang mungkin menandakan
suatu larutan terkontaminasi, menggunakan tehnik aseptik yang kuat, menepatkan
kanula IV dengan kuat untuk mencegah pergerakan keluar masuk, memeriksa tempat
penusukan IV setiap hari dan mengganti balutan steril, lepaskan kateter IV pada
adanya tanda pertama peradangan lokal, kontaminasi atau komplikasi, mengganti
kanula IV perifer setiap 48 jam sampai 72 jam sesuai indikasi, mengganti IV canula
yang dipasang saat keadaan gawat (dengan asepsis yang dipertanyakan) sesegera
mungkin, mengganti kantong setiap 24 jam dan seluruh set pemberian sedikitnya
setiap 48 sampai 72 jam dan setiap 24 jam jika produk darah atau lemak yang di
infuskan.
b. Tromboflebitis
Tromboflebitis mengacu pada adanya bekuan ditambah peradangan di
dalam vena. Hal ini dikarakteristikan dengan adanya nyeri yang terlokalisasi,
kemerahan, rasa hangat, dan pembengkakan di sekitar tempat penusukan atau
sepanjang vena, imobilisasi ekstremitas karena rasa tidak nyaman dan
pembengkakan, kecepatan aliran yang tersendat, demam, malaise dan leukositosis.
c. Hematoma
Hematoma tejadi sebagai akibat dari kebocoran darah ke jaringan di
sekitar tempat penusuka. Hal ini dapat disebabkan oleh pecahnya dingding vena yang
berlawanan selama penusukan vena, jarum bergeser ke luar vena dan tekanan yang
tidak sesuai yang diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau kateter
dilepaskan. Tanda dan gejala hematoma termasuk ekimosis, pembengkakan segara
pada tempat penusukan dan kebocoran darah pada tempat penusukan. Perawatan
termasuk melepaskan jarum atau kateter dan memberikan tekanan dengan kasa steril,
memberikan kantong es selama 24 jam ke tempat penusukan dan kemudian
memberikan kompres hangat untuk meningkatkan absorpsi darah, mengkaji tempat
penusukan dan memulai kembali jalur di ekstremitas lain jika di indikasikan.
Hematoma dapat dicegah dengan memasukkan jarum secara hati-hati dan
menggunakan perawatan yang baik jika pasien mempunyai kelainan perdarahan, jika
pasien menerima antikoagulan atau mempuna penyakit hati yang sudah parah
d. Bekuan (clotting)
Bekuan pada jarum merupakan komplikasi lokal lainnya. Hal ini disebabkan
karena selang IV yang tertekuk, kecepatan aliran IV yang terlalu lambat, kantong IV
yang kosong atau tidak memberikan aliran setelah pemberian obat atau larutan
intermiten. Tanda dan gejalanya adalah penurunan kecepatan aliran darah kembali ke
selang IV. Jika terjadi bekuan, jalur IV harus dihentikan. Perawatan IV terdiri dari
tidak mengirigasi atau melakukan pemijatan pada selang, tidak mengembalikan aliran
dengan meningkatkan kecepatan atau menggantung larutan lebih tinggi dan tidak
melakukan aspirasi bekuan dari kanul. Bekuan pada jarum mungkin dicegah dengan
tidak membiarkan kantong IV menjadi kosong, penempatan selang untuk mencegah
tertekuknya selang, mempertahankan kecepatan aliran yang adekuat dan memberikan
aliran ke selang setelah pemberian medikasi atau larutan intermiten.
2.4 Perhitungan Tetesan Inpus
Rumus dasar dalam hitungan menit
Jumlah tetesan permenit = jumlah kebutuhan cairan x faktor tetes
Waktu (menit)
Mikro = 60 menit
Biasanya cara menghitung tetesan infus yang salah bisa mengakibatkan kegagalan
dalam pemberian terapi cairan per infus. Kegagalan lain yang dapat terjadi dalam
pemberian cairan infus adalah: