BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
C. Pertanyaan penelitian
D. Hipotesis Penelitian
E. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
F. Manfaat penelitian
1. Manfaat Keilmuan
2. Manfaat Aplikasi
1. Sistematika penulisan
2. Organisasi Penulisan
a. Penulisan proposal
b. Seminar proposal, pada akhir semester II dan akhir semester V
c. Mengurus izin penelitian di kantor Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Sulawesi Tengah
d. Mengirim surat izin penelitian ke kantor Badan Kesatuan Bangsa,
Politik dan Perlindungan Masyarakat di Jakarta
e. Mengurus surat izin penelitian di Kantor Badan Kesatuan Bangsa,
Politik dan Perlindungan Masyarakat (KESBANG) Kota Palu
f. Mengantar surat izin penelitian di Kantor Dinas Kesehatan Kota Palu
g. Mengurus surat izin penelitian di Rumah Sakit Anutapura Palu
h. Meminta izin kepada penanggung jawab ruang perawatan di RSU
Anutapura Palu
i. Pengurusan Rekomendasi Etik pada Komisi Etik Penelitian Kesehatan
di Universitas Alkhairaat Palu
j. Melakukan penelitian di RSU Anutapura Palu
k. Penulisan skripsi
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. LANDASAN TEORI
1. Infus Intravena
a. Definisi
b. Epidemiologi
Lanjutan Tabel
8. Agustus 7.539
9. September 7.254
8
2) Kristaloid
Cairan kristaloid merupakan cairan utama yang paling sering digunakan
dalam terapi intravena. Kristalaoid adalah larutan air dengan elektrolit
yang mengandung micro molekul. Kristaloid mengandung elektrolit
(contoh: sodium, potassium, calcium dan clorida). Sediaan kristaloid di
bedakan berdasarkan tonisitasnya.
Tonisitas kristaloid menggambarkan konsetrasi dari elektrolit yang larut
dalam air. Kristaloid yang menggandung tonisitas yang sama dengan
plasma maka di golongkan sebagai “ Isotonik”. Isotonis adalah larutan
yang memiliki tekanan osmotik yang sama dengan plasma. Plasma
merupakan komponen darah berbentuk cairan berwarna kuning yang
12
2) Cairan Hipotonis
Osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+
lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan
menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan ditarik dari dalam pembuluh
darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari
13
3) Cairan Isotonis
Osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair
dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah.
Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan
tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya
overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung
kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan
normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).
6) Cairan infus
7) Kasa steril
8) Betadin
9) manset
sampai 72 jam. Jika alat-alat tetap terpasang lebih dari 72 jam karena
terbatasnya pemilihan vena. Alasan tersebut harus didokumentasikam
dalam catatan perawat (Rocco dan Otto, 1998).
Frekuensi penggantian selang intravena merupakan kewaspadaan
klinik yang sesuai dengan rekomendasi dari pabrik pada situasi-situasi
berikut yang terdapat dalam pedoman centers for disease control and
intravenous nurses society :
1) Secara rutin setiap 72 jam rotasi tempat penusukan dilakukan
2) Jika ujung selang terkontaminasi akibat tersentuh
3) Jika darah menyumbat selang dan tidak dapat dibilas dengansegera
4) Setelah pemberian darah atau produk lipid
Pemasangan infus adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan
untuk memasukkan obat atau vitamin ke dalam tubuh pasien. Teknik
dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan penularan
infeksi adalah mencuci tangan. Mencuci tangan adalah menggosok
dengan sabun secara bersama seluruh kulit permukaan tangan dengan
kuat dan ringkas yang kemudian di bilas di bawah aliran air. Tujuannnya
untuk membuang kotoran dan organisme yang menempel di tangan.
Tangan yang terkontaminasi merupakan penyebab utama perpindahan
infeksi. Cuci tangan merupakan sebagai salah satu kewaspadaan standar
yang harus dilakukan, sehingga penularan penyakit dari pasien melalui
perawat, ataupun penularan keperawat sendiri dapat dihindari jika setiap
perawat ataupun petugas kesehatan melakukan tindakan mencuci tangan
sebelum maupun sesudah kontak untuk meminimalkan terjadinyan infeksi
nosokomial.
Pemilihan Alat Pelindung Diri (APD) yang akan dipakai harus didahului
dengan penilaian risiko pajanan dan sejauh mana antisipasi kontak
dengan patogen dalam darah dan cairan tubuh. Penggunaan sarung
tangan dan kebersihan tangan, merupakan komponen kunci dalam
meminimalkan penyebaran penyakit dan mempertahankan suatu
lingkungan bebas infeksi (Tietjen, 2004).
Selain itu, komponen yang sangat penting dalam kewaspadaan
standar adalah desinfeksi dan sterilisasi. Desinfeksi adalah suatu tindakan
untuk membunuh kuman patogen dan apatogen tetapi tidak dengan
sporanya pada alat perawatan atau permukaan jaringan (Tietjen, 2004).
Sedangkan, sterilisasi adalah suatu tindakan untuk membunuh kuman
21
b. Definisi
c. Epidemiologi
No
Penulis Lokasi Tahun Kejadian
.
Gomes, A. C. 16,7% kasus dari
1. Brasil 2011
R., et al 36 pasien
56,5% kasus dari
2. Kaur, P., et al Batala, Punjab 2011
200 pasien
Barruel, G. R., 23% kasus dari
3. Australia 2013
et al 233 orang
Abadi, S. A., et 44% kasus dari
4. Iran 2013
al 300 pasien
Angka Kejadian
Tahun
Phlebitis
2013 165
2014 605
2015 674
2016 699
2017 365
d. Etiologi
a) Iritasi Kimia
Biasanya iritasi ini bersumber dari cairan intravena atau obat-obatan
yang digunakan umumnya cairan tersebut memiliki pH rendah dengan
27
b) Iritasi Mekanik
Terjadi karena faktor bahan kimia yang digunakan berdiameter besar,
sehingga mempermudah pecahnya pembuluh darah. Phlebitis dapat pula
terjadi jika pemasangan tidak pada tempat yang baik, misalnya siku atau
pergelangan tangan
1. Lokasi pemasangan infus
Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau lengan
bawah) sangat dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas >
500 mOsm/L. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 0,9%, produk darah,
dan albumin. Hindarkan vena pada punggung tangan jika mungkin,
terutama pada pasien usia lanjut, karena akan menganggu
kemandirian lansia (NHS, 2007; Earhart A, 2013)
2. Ukuran kateter intravena
Phlebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula. Kanula
yang dimasukkan pada daerah lekukan sering menghasilkan iritasi
mekanik. Ukuran kanula harus dipilih sesuai dengan ukuran vena
dan difiksasi dengan baik.
3. Jenis kateter infus
Kateter yang terbuat dari silikon dan poliuretan kurang bersifat iritasi
dibanding politetrafluoroetilen (teflon) karena permukaan lebih halus, lebih
29
termoplastik dan lentur. Risiko tertinggi untuk phlebitis dimiliki kateter yang
terbuat dari polivinil klorida atau polietilen (Earhart A, 2013)
c) Iritasi Bakterial
Misalnya fiksasi kurang baik sehingga menyebabkan kanul bergerak-
gerak dalam pembuluh darah dan menyebabkan iritasi pada pembuluh
darah. Banyak hal yang dapat menyebabkan phlebitis antara lain tindakan
pembersihan yang akan dilakukan, penusukan kateter intravena kurang
baik dan juga adanya bakteri. (Boker dan Ignaticus 1996) menyimpulkan
bahwa bakteri-bakteri yang terdapat pada kulit yang mempunyai potensi
menyebabkan phlebitis adalah Staphylococcus epidermidis dan
Staphylococcus aureus (Lawenga I. A, 2012; Earhart A, 2013; Sepvi F,
2015)
1. Teknik pencucian tangan yang buruk
Infeksi di rumah sakit dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang
didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal
dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Oleh karena itu perlu usaha
pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi yaitu dengan
meningkatkan perilaku cuci tangan yang baik
2. Teknik aseptik tidak baik
Faktor yang paling dominan menimbulkan kejadian phlebitis adalah
perawat, pada saat melaksanakan pemasangan infus tidak melaksanakan
tindakan aseptik dengan baik dan sesuai dengan standar operasional
prosedur.
3. Teknik pemasangan kanula yang buruk
Tindakan penatalaksanaan infus yang buruk, mengakibatkan pasien
akan terpapar pada resiko terkena infeksi nosokomial berupa phlebitis.
4. Lama pemasangan kanula
Kontaminasi infus dapat terjadi selama pemasangan kateter intravena
sebagai akibat dari cara kerja yang tidak sesuai prosedur serta pemakaian
yang terlalu lama. The Center for Disease Control and Prevention
30
e. Gambaran klinik
1) Rubor (Kemerahan)
Kemerahan atau rubor biasanya merupakan kejadian pertama yang
ditemukan di daerah yang mengalami peradangan. Pada reaksi
31
f. Pencegahan Phlebitis
a. Status Gizi
Pada pasien dengan status gizi buruk mempunyai vena yang tipis
sehingga mudah rapuh, selain itu pada gizi buruk daya tahan tubuhnya
kurang sehingga jika terjadi luka mudah terkena infeksi.
Menurut Mustika (2012) status gizi adalah keadaan tubuh yang
merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke
dalam tubuh dan penggunaannya. Ada beberapa faktor yang sering
merupakan penyebab gangguan gizi, baik langsung maupun tidak
langsung. Sebagai penyebab langsung gangguan gizi khususnya
gangguan gizi pada bayi dan balita adalah tidak sesuai jumlah gizi yang
mereka peroleh dari makanan dengan kebutuhan tubuh mereka.
Beberapa faktor yang secara tidak langsung mendorong terjadinya
gangguan gizi terutama antara lain pengetahuan, prasangka buruk
terhadap makanan, kebiasaan atau pantangan, kesukaan jenis makanan
35
B. KERANGKA TEORI
C. KERANGKA KONSEP
Status Gizi
Ukuran Kateter
intravena
Lama pemasangan
infus
Lokasi pemasangan
infus
Perawatan infus
setelah pemasangan
Phlebitis
Teknik pemasangan
infus
Penyakit penyerta
Keterangan:
Diteliti
Tidak ditelitti
C. DEFINISI OPERASIONAL
1. Phlebitis
Phlebitis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peradangan
pembuluh darah yang diakibatkan oleh tindakan pemberian cairan infus
pada penderita yang dirawat di RSU Anutapura Palu.
Adapun kiteria phlebitis adalah sebagai berikut : (sumber kapan disebut
phlebitis) :
a. Nyeri pada tempat suntikan
b. Kemerahan
c. Pembengkakan
d. Kehilangan fungsi
e. Panas di sekitar tempat tusukan
Kriteria obyektif :
a. Phlebitis
b. Tidak phlebitis
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah analitik observasional
dengan pendekatan case control dimana sampel yang diambil yaitu case
sebagai pasien yang mendapat perawatan infus lalu terjadi phlebitis,
sedangkan control sebagai pasien yang mendapat perawatan infus tetapi
tidak terjadi phlebitis.
Status Gizi
7. Kriteria Eksklusi
46
A. Besar Sampel
Penyelesaian
Zα = 1,96
Zβ = 0,84
P2 = Proporsi phlebitis 35% : 0.35
Q2 = 1 – P2 = 1 - 0,35 = 0.65
47
P1 - P2 = 0,3
P1 = 0,3 + 0,35 = 0.65
Q1 = 1 – P1 = 1- 0,65 = 0,35
P = (P1 + P2)/2 = (0,51 + 0,35) / 2 = 0,5
Q = 1 - P = 1 –0,5 = 0,5
Jadi,
2
Z α √ 2 PQ+ Z β √ P 1 Q1+ P 2 Q2
n 1=n2= ( P1−P2 )
2 2
1,96 √ 2 x 0,5 x 0,5+ 0,84 √ 0,65 x 0,35+0,35 x 0,65 1,39+0,55
¿( 0,3 )(¿
0,3 )
2
¿ ( 6,46 )
¿ 41,81 ( dibulatkan menjadi 42 )
C. Alur Penelitian
48
Cara Pengambilan
Sampel:
Consecutive Sampling
Subjek penelitian
Pengambilan daya:
Pemeriksaan ditulis
dalam case report
Pengumpulan data
Analisis data
Penulisan hasil
Penyajian hasil
D. Prosedur Penelitian
49
a. Pengolahan data
Data pada penelitian ini diolah menggunkan perangkat lunak computer
program SPSS
b. Analisa data
1. Variabel jenis cairan intravena menggunakan chi square
2. Variabel ukuran kateter intravena menggunakan chi square
3. Variabel lama pemasangan menggunakan chi square
4. Variabel lokasi pemasangan menggunakan chi square
5. Variabel status gizi menggunakan chi square
BAB IV
A. Hasil
Kejadian Phlebitis
Status Gizi Ya Tidak P
(n %) (n %)
Gizi Lebih 1 2
(33,3%) (66,7%)
Gizi Normal 12 22
(35,3%) (64,7%) 0,056
Gizi Kurang 29 18
(61,7%) (38,3%)
Total (50,0%) (50,0%)
Kejadian
Ukuran Phlebitis P OR CI
Kateter Ya Tidak lower Upper
56
Intravena (n %) (n %)
Tidak Sesuai 2 2
Vena (50%) (50%)
40 40 1,000 1,000 0,13 7,451
Sesuai Vena (50%) (50%) 4
Total 42 42
(50,0%) (50,0%)
Kejadian
Lokasi Phlebitis P OR CI
Pemasangan Ya Tidak lower Upper
Infus (n %) (n %)
Berisiko 19 6
(76,0%) (24,0%)
Tidak 23 36 0,002 4,95 1,723 14,256
Berisiko (39,0%) (61,0%) 7
Total 42 42
(50,0%) (50,0%)
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa ada hubungan yang bermakna p
value 0,002 (p<0,05) antara lokasi pemasangan infus dengan terjadinya
phlebitis. Pasien dengan lokasi pemasangan infus berisiko dan mengalami
phlebitis sebanyak 76,0% sedangkan pasien dengan lokasi pemasangan
infus tidak berisiko dan mengalami phlebitis sebanyak 39,0%. Odd ratio
4,957 menunjukan lokasi pemasangan infus 4,9 kali lebih mempunyai
57
peluang untuk terjad phlebitis dari pada pemasangan infus pada lokasi
yang tidak berisiko.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa ada hubungan yang bermakna p
value 0,026 (p<0,05) antara lama pemasangan infus dengan kejadian
phlebitis. Pasien yang mendapat perawatan infus ≥ 3 hari dengan lokasi
yang tetap mengalami phlebitis sebanyak 55,9% sedangkan pasien yang
mendapat terapi infus < 3 hari mengalami phlebitis sebanyak 25,0%. Odd
ratio 3,800 menunjukkan bahwa lama pemasangan infus ≥ 3 dengan
lokasi yang tetap berisiko 3, 9 kali lebih memungkinkan terjadi phlebitis
dari pada lama pemasangan < 3 hari.
B. Pembahasan
1. Status Gizi
58
Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan hasil akhir dari
keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan
penggunaannya (Hartanto B, 2014; Mustika, 2012).
Dari hasil penelitian berdasarkan status gizi terhadap kejadian phlebitis
diketahui bahwa sebaigian besar pasien mempunyai status gizi yang
kurang (underweight). Berdasarkan hasil analisis statistik data
menggunakan program SPSS versi 22, diperoleh hasil yang bermakna
dimana P=0,056 (p<0,05) sehingga diperoleh kesimpulan bahwa status
gizi mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian phlebitis pada
pasien yang mendapatkan perawatan infus.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Deya
Prastika pada tahun 2014, hasil analisa uji statistik memperoleh nilai
P<0,05 yang artiya terdapat hubungan antara status gizi pasien dengan
kejadian phlebitis, yang cenderung terjadi pada pasien dengan status gizi
kurang.
2. Jenis larutan intravena
Pembagian jenis cairan infus tergantung pada konteks apa cairan
tersebut yang akan dibedakan, bisa berdasarkan tonisitas suatu larutan,
besar molekul suatu cairan, atau dibedakan pada komposisi atau
kandungan dalam suatu larutan infus. Pembagian cairan infus menurut
tonisitas suatu larutan, berdasarkan pada tekanan osmotik yang terdapat
dalam larutan tersebut, antara lain larutan isotonik, larutan hipotonik dan
larutan hipertonik (Potter dan Perry, 2006).
Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas total sebesar
280–310 mOsm/L, larutan yang memiliki osmolalitas kurang dari itu
disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi disebut larutan
hipertonik (INS, 2006).
Berdasarkan hasil analisis statistik data menggunakan program SPSS
versi 22, diperoleh hasil yang bermakna dimana P=0,021 (p<0,05)
sehingga diperoleh kesimpulan bahwa jenis larutan yang digunakan
mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian phlebitis pada
59
BAB V
61
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
62
DAFTAR PUSTAKA