Anda di halaman 1dari 66

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Terapi intravena adalah salah satu teknologi yang paling sering


digunakan dalam pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Terapi ini
merupakan cara yang digunakan untuk memberikan cairan pada pasien
yang tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok untuk
memperbaiki atau mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
dalam tubuh manusia. (Hindley, 2004; WHO, 2005; Potter, 2005)
Infeksi yang paling sering terjadi akibat terapi intravena adalah health
care association infection. Menurut data surveilans World Health
Organisation (WHO) angka kejadian health care association infection yaitu
5% per tahun pada 9 juta orang dari 190 juta pasien yang dirawat di
rumah sakit dan juga dapat menyebabkan kematian 1,4 juta kematian
setiap hari diseluruh dunia. (Septiari, 2012; Agustini et al. 2013).
Persentasi health care association infection yang tertinggi di rumah
sakit swasta maupun rumah sakit pemerintah pada tahun 2004 adalah
phlebitis dengan jumlah 2.168 pasien dari jumlah pasien yang beresiko
124.733 (1.7%) (Depkes, 2004). Phlebitis merupakan inflamasi pada
tunika intima pembuluh darah vena yang sering dilaporkan sebagai
komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan di dapatkan dari
mekanisme iritasi yang terjadi pada endhothelium tunika intima vena, dan
perlekatan trombosit pada area tersebut. (INS, 2006; Ariyanto, 2011)
Phlebitis dapat disebabkan oleh iritasi kimia, iritasi mekanik dan juga iritas
bakterial. (Haskas, 2014; Purilinawati, 2014; Efitrianiza, 2013; Iradiyanti &
Kurnia, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Barruel, G. R., et al (2013) di Nasional
Healt and Medical Research Council (NHMRC) Centre for Research
2

Excellence in Nursing di Australia, ditemukan 23% kasus phlebitis dari 233


pasien. Menurut distribusi penyakit sistem sirkulasi darah pasien rawat
inap, angka kejadian phlbittis di Indonesia pada tahun 2006 berjumlah 744
orang (17,11%) (Depkes 2006). Angka kejadian phlebitis merupakan salah
satu indikator mutu asuhan keperawatan yang diperoleh dari
perbandingan jumlah kejadian phlebitis dengan jumlah pasien yang
mendapat terapi intravena dengan standar kejadian ≤1,5% (Depkes RI,
2008). Data Depkes RI Tahun 2013 angka kejadian phlebitis di Indonesia
sebesar 50,1% untuk rumah sakit pemerintah dan sedangkan rumah sakit
swasta sebesar 32,7. Infusion Nursing Standart of Practice (2006)
merekomendasikan bahwa level phlebitis yang harus di laporkan adalah
level 2 atau lebih. Sedangkan angka kejadian yang direkomendasikan
oleh Infusion Nurses Society (INS) adalah 5% atau kurang. Dan jika
ditemukan angka kejadian phlebitis lebih dari 5%, maka data harus
dianalisis kembali terhadap derajat phlebitis dan kemungkinan
penyebabnya untuk menyusun pengembangan rencana kinerja perawat.
(Alezander, et al., 2010).
Adapun hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Awal Bros
Pekanbaru pada tahun 2013, ditemukan 27 orang pasien atau sekitar
18,6%, yang sudah menampakan adanya tanda-tanda phlebitis seperti
bengkak disekitar tusukan jarum infus, kemerahan dan nyeri disepanjang
vena (Agustini et al, 2013). Penelitian lain yang dilakukan di RSU
Mokopido Tolitoli pada tahun 2006 angka kejadian phlebitis mencapai
42,4%. (Kurnia, 2013).
Penelitian yang di lakukan oleh Istifani A.L pada tahun 2012 di RSU
Anutapura Palu dengan 41 responden menemukan angka kejadian
phlebitis pada pasien yang dirawat inap sebesar 36,6% (Mekarti B, 2017).
Sedangkan angka kejadian phlebitis di RSU Anutapura Palu mengalami
penurunan dari tahun 2016 yaitu dari 699 orang yang mengalami phlebitis
menjadi 365 orang pada tahun 2017. Insiden phlebitis akan meningkat
sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan
3

atau obat yang di infuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan


tempat kanula dimasukkan. Kejadian phlebitis yang terjadi pada pasien
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain prosedur tetap pemasangan
infus, jenis cairan intravena yang digunakan, lamanya pemasangan dan
perawatan infus setelah pemasangan (Lestari, D, Dwi., et al. 2016)

B. Rumusan Masalah

Phlebitis merupakan inflamasi pada tunika intima pembuluh darah vena


yang sering dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terapi infus.
Phlebitis dapat disebabkan oleh iritasi kimia, iritasi mekanik dan juga iritas
bakterial. Angka kejadian phlebitis di Kota Palu khususnya di RSU
Anutapura Palu mengalami peningkatan pada tahun 2016 sebanyak 699
kasus, sehingga dirasa perlu untuk melakukan evaluasi terhadap faktor-
faktor penyebabnya sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya
komplikasi yang dapat membahayakan pasien.
Dari pernyataan di atas maka bisa disimpulkan bahwa rumusan
masalah penelitian ini adalah untuk mengevaluasi apa saja faktor-faktor
yang ada hubungan dengan terjadinya phlebitis pada pasien dengan
infus di ruang perawatan RSU Anutapura Palu Palu tahun 2018?

C. Pertanyaan penelitian

a. Apakah ada hubungan antara status gizi pasien dengan terjadinya


phlebitis?
b. Apakah ada hubungan antara jenis cairan infus intravena yang
digunakan dengan terjadinya phlebitis?
c. Apakah ada hubungan antara ukuran intravena yang digunakan
dengan terjadinya phlebitis?
d. Apakah ada hubungan antara lamanya pemasangan infus dengan
terjadinya phlebitis?
4

e. Apakah ada hubungan antara lokasi pemasangan dengan terjadinya


phlebitis?

D. Hipotesis Penelitian

a. Ada hubungan antara status gizi pasien dengan terjadinya phlebitis


b. Ada hubungan antara jenis cairan infus intravena yang digunakan
dengan terjadinya phlebitis
c. Ada hubungan antara ukuran kateter intravena yang digunakan
dengan terjadinya phlebitis
d. Ada hubungan antara lamanya pemasangan infus intravena dengan
terjadinya phlebitis
e. Ada hubungan antara lokasi pemasangan infus intravena dengan
terjadinya phlebitis

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

1. Tujuan Umum

Mengetahui kejadian phlebitis pada pasien dengan infus di ruang


perawatan RSU Anutapura Palu pada tahun 2018.
2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui hubungan antara status gizi pasien dengan


terjadinya phlebitis
b. Untuk mengetahui hubungan antara jenis cairan infus intravena yang
digunakan dengan terjadinya phlebitis
c. Untuk mengetahui hubungan antara ukuran kateter intravena yang
diguhnakan dengan terjadinya phlebitis
d. Untuk mengetahui hubungan antara lamanya pemasangan infus
intravena dengan terjadinya phlebitis
5

e. Untuk mengetahui hubungan antara lokasi pemasangan infus intravena


dengan terjadinya phlebitis

F. Manfaat penelitian

1. Manfaat Keilmuan

a. Sebagai dasar pertimbangan untuk penelitian-penelitian selanjutnya


yang terkait dengan hasil penelitian ini.
b. Sebagai bahan bacaan dan bahan rujukan untuk institusi pendidikan
dan kesehatan.

2. Manfaat Aplikasi

a. Sebagai informasi bagi instansi pelayanan kesahatan bahwa betapa


pentingnya melakukan perawatan berdasarkan standar operasional
prosedur sehingga dapat menanggulagi terjadinya phlebitis.

G. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup pada penelitian ini adalah penelitian di bidang kesehatan


tentang Management Kedokteran khususnya Faktor-faktor yang Ada
Hubungan dengan Kejadian Phlebitis pada Pasien dengan Infus di Ruang
Perawatan RSU Anutapura Palu.

H. Sistematika dan Organisasi Penulisan

1. Sistematika penulisan

Bab I menjelaskan tentang hal-hal yang melatar belakangi, tujuan, dan


manfaat penelitian ini dilakukan.
Bab II berisikan tentang landasan teori penelitian (definisi infus
intravena, epidemiologi, keuntungan dan kerugian, indikasi dan kontra
indikasi, jenis cairan, lokasi pemasangan, alat dan bahan, prosedur
6

pemasangan, lama pemasangan, pemantauandan perawatan infus,


pengendalian infeksi dan akibat yang ditimbulkan. Definisi phlebitis,
epidemiologi, etiologi, faktor risiko, gambaran klinis, pencegahan dan
faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya phlebitis) kerangka teori,
kerangka konsep dan definisi operasional.
Bab III berisi tentang metode penelitian yang digunakan dalam
melakukan penelitian.
Bab IV berisi tentang hasil dan pembahasan penelitian
Bab V berisi tentang kesimpulan dan saran.

2. Organisasi Penulisan
a. Penulisan proposal
b. Seminar proposal, pada akhir semester II dan akhir semester V
c. Mengurus izin penelitian di kantor Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Sulawesi Tengah
d. Mengirim surat izin penelitian ke kantor Badan Kesatuan Bangsa,
Politik dan Perlindungan Masyarakat di Jakarta
e. Mengurus surat izin penelitian di Kantor Badan Kesatuan Bangsa,
Politik dan Perlindungan Masyarakat (KESBANG) Kota Palu
f. Mengantar surat izin penelitian di Kantor Dinas Kesehatan Kota Palu
g. Mengurus surat izin penelitian di Rumah Sakit Anutapura Palu
h. Meminta izin kepada penanggung jawab ruang perawatan di RSU
Anutapura Palu
i. Pengurusan Rekomendasi Etik pada Komisi Etik Penelitian Kesehatan
di Universitas Alkhairaat Palu
j. Melakukan penelitian di RSU Anutapura Palu
k. Penulisan skripsi
7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. LANDASAN TEORI

1. Infus Intravena

a. Definisi

Terapi intravena adalah salah satu teknologi yang paling sering


digunakan dalam pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Terapi ini
merupakan cara yang digunakan untuk memberikan cairan pada pasien
yang tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok untuk
memperbaiki atau mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
dalam tubuh manusia. (Hindley, 2004; WHO, 2005; Potter & Perry, 2005)

b. Epidemiologi

Tabel 1. Angka pemasangan infus di RSU Anutapura Palu Tahun 2016


No. Bulan Pemasangan Infus
1. Januari 8.176
2. Februari 9.015
3. Maret 8.290
4. April 8.587
5. Mei 8.385
6. Juni 8.748
7. Juli 6.837

Lanjutan Tabel
8. Agustus 7.539
9. September 7.254
8

10. Oktober 7.687


11. November 7.536
12. Desember 6.897
(Ruang PPI RSU Anutapura Palu, 2017 )

Tabel 2. Angka pemasangan infus di RSU Anutapura Palu Tahun 2017


No. Bulan Pemasangan Infus
1. Januari 7.621
2. Februari 7.709
3. Maret 7.806
4. April 6.910
5. Mei 7.682
6. Juni 7.204
7. Juli 8.483
8. Agustus 6.991
9. September 7.877
10. Oktober 7.016
11. November 7.314
12. Desember 7.087
(Ruang PPI RSU Anutapura Palu, 2018 )

Angka kejadian pemasangan infus di RSU Anutapura Palu pada tahun


2016 yang tertinggi yaitu pada bulan Februari dan terendah yaitu pada
bulan juli. Sedangkan pada tahun 2017 angka kejadian yang tertinggi yaitu
pada bulan Juli dan yang terendah pada April. (RSU Anutapura Palu,
2018).

c. Keuntungan dan Kerugian

Menurut Perry dan Potter (2005), keuntungan dan kerugian terapi


intravena adalah :
1) Keuntungan
Keuntungan terapi intravena antara lain efek terapeutik segera dapat
tercapai karena penghantaran obat ke tempat target berlangsung cepat,
absorbsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat
diandalkan, kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek terapeutik
9

dapat dipertahankan maupun dimodifikasi, rasa sakit dan iritasi obat-obat


tertentu jika diberikan intramuskular atau subkutan dapat dihindari, sesuai
untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain karena molekul
yang besar, iritasi atau ketidakstabilan dalam traktus gastrointestinalis.
2) Kerugian
Kerugian terapi intravena adalah tidak bisa dilakukan “drug recal’ dan
mengubah aksi obat tersebut sehingga resiko toksisitas dan sensitivitas
tinggi, kontrol pemberian yang tidak baik bisa menyebabkan “speed
shock” dan komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu kontaminasi mikroba
melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu, iritasi vascular,
misalnya phlebitis kimia, dan inkompabilitas obat dan interaksi dari
berbagai obat tambahan.

d. Indikasi dan Kontraindikasi Pemberian Terapi Intravena

Menurut Perry & Potter (2006) indikasi pada pemberian terapi


intravena: pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui
intravena langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada
kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga
memberikan keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral.
Namun sering terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya
diindikasikan pada infeksi serius, rumah sakit memberikan antibiotika jenis
ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa melalui
mulut) pada kebanyakan pasien dirawat di rumah sakit dengan infeksi
bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih
menguntungkan dari segi kemudahan administrasi rumah sakit, biaya
perawatan, dan lamanya perawatan. Obat tersebut memiliki
bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan melalui
mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam sediaan intravena
(sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang
susunan kimiawinya “polications” dan sangat polar, sehingga tidak dapat
10

diserap melalui jalur gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke


dalam darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah
langsung. Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang
tidak dapat menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada
keadaan seperti ini, perlu dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain
seperti rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah
kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot). Kesadaran menurun dan
berisiko terjadi aspirasi (tersedak obat masuk ke pernapasan), sehingga
pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan. Kadar puncak obat dalam
darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus
(suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat
konsentrasi obat dalam darah tercapai, misalnya pada orang yang
mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita
diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian
antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak
antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu mencapai
kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.
Menurut Darmadi (2008) kontraindikasi pada pemberian terapi
intravena: Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi
pemasangan infus. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal,
karena lokasi ini akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-
V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah). Obat-obatan yang
berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya
lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).

e. Jenis Cairan Intravena

Cairan infus merupakan cairan yang berfungsi untuk memenuhi


kebutuhan tubuh dan mengganti cairan yang keluar. Pemberian cairan
infus merupakan tindakan memasukan cairan melalui intravena yang
11

dilakukan pada pasien dengan bantuan perangkat infus (Hignell P, 2012;


Guide Provider, 2005)
Cairan infus terbagi atas dua bentuk yang berbeda antara lain :
1) Koloid
Koloid mengandung komponen makro seperti protein dan molekul makro
lainnya.Protein dan molekul tersebut sangat besar sehingga
menyebabkan tidak mampu melewati kapiler dan masuk ke sel.
Berdasarkan hal tersebut koloid terakumulasi dalam pembuluh darah
dalam waktu yang lama mengakibatkan peningkatan volume intravaskular
yang signifikan.Protein juga memiliki kemampuan untuk menarik air dari
sel ke pembuluh darah.hal itu memberikan keuntungan hanya dalam
waktu yang singkat tetapi pemberian dalam waktu yang lama
menyababkan sel kekurangan cairan dan dehidrasi (Hignell P, 2012).
Koloid berfungsi untuk menjaga volume darah, tetapi pengunaannya di
batasi.Koloid merupakan sediaan yang mahal, sehingga di tempat
pelayanan biasanya memiliki tempat penyimpanan yang khusus.
Beberapa contoh cairan koloid seperti Albumin, HES (Hydroxyetyl
Starches), Gelatin, Plasma Protein Fraction, Salt Poor Albumin, Dextran,
dan Hetastarc.

2) Kristaloid
Cairan kristaloid merupakan cairan utama yang paling sering digunakan
dalam terapi intravena. Kristalaoid adalah larutan air dengan elektrolit
yang mengandung micro molekul. Kristaloid mengandung elektrolit
(contoh: sodium, potassium, calcium dan clorida). Sediaan kristaloid di
bedakan berdasarkan tonisitasnya.
Tonisitas kristaloid menggambarkan konsetrasi dari elektrolit yang larut
dalam air. Kristaloid yang menggandung tonisitas yang sama dengan
plasma maka di golongkan sebagai “ Isotonik”. Isotonis adalah larutan
yang memiliki tekanan osmotik yang sama dengan plasma. Plasma
merupakan komponen darah berbentuk cairan berwarna kuning yang
12

menjadi medium sel-sel darah merah. Tonisitas adalah tekanan osmotik


yang di berikan oleh larutan atau padatan terlarut. Tekanan osmotik
adalah besanya tekanan yang harus diberikan pada suatu larutan untuk
mencegah mengalirnya molekul-molekul pelarut kedalam larutan melalui
membran semi permeabel. Jika kristaloid memiliki tonisitas yang lebih
tinggi maka di golongkan hipertonik dan kebalikannya adalah
hipotonik.Sedian yang paling sering digunakan adalah Ringer Lactat (RL),
Saline, Dextrosa 5% (Hignell P, 2012).
Kristaloid sangat erat hubungan dengan cairan tubuh manusia yang
terbagi atas cairan intraseluler, intravaskuler dan extraseluler. cairan
intraseluler merupakan cairan yang berada dalam sel. Cairan intraseluler
merupakan cairan yang memiliki frekuensi terbanyak dalam tubuh
manusia dimana mencapai 40%, sedangkan cairan ektraseluler terbagi
atas dua bagian yaitu cairan intertisiel dan intravasculer yakni keduanya
mengandung 20% dari cairan tubuh dengan frekuensi 15% cairan
intertisiel dan 5% intravaskuler (Hignell P, 2012).
Berdasarkan osmolalitasnya, menurut Perry dan Potter, (2005) cairan
intravena (infus) dibagi menjadi 3, yaitu :
1) Cairan Hipertonis
Osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga menarik cairan
dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu
menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan
mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan
hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%
+Ringer-Lactate.

2) Cairan Hipotonis
Osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+
lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan
menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan ditarik dari dalam pembuluh
darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari
13

osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel


yang dituju. Digunakan pada keadaan sel mengalami dehidrasi, misalnya
pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien
hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik.
Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari
dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan
peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang.
Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.

3) Cairan Isotonis
Osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair
dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah.
Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan
tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya
overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung
kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan
normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).

f. Lokasi Pemasangan Infus Intravena

Lokasi vena perifer yang sering digunakan untuk pemasangan infus


adalah vena supervisial atau perifer kutan terletak di dalam fasia subkutan
dan merupakan akses paling mudah untuk terapi intravena. Daerah
tempat infus yang memungkinkan adalah permukaan dorsal tangan (vena
supervisial dorsalis, vena basalika, vena sefalika), lengan bagian dalam
(vena basalika, vena sefalika, vena kubital median, vena median lengan
bawah, dan vena radialis), permukaan dorsal (vena safena magna, ramus
dorsalis). (Potter, 2005; Provider Guide, 2005; Hignell, 2012; Barruel,
2013)
14

Gambar 1. Anatomi Vena Superficial Dorsal tangan

Gambar 2. Anatomi pembuluh darah vena tangan atas

Menurut Dougherty et al (2010), Pemilihan lokasi pemasangan terapi


intravana mempertimbangkan beberapa faktor yaitu :
1) Umur pasien : misalnya pada anak kecil, pemilihan sisi adalah sangat
penting dan mempengaruhi berapa lama intravena terakhir.
2) Prosedur yang diantisipasi : misalnya jika pasien harus menerima
jenis terapi tertentu atau mengalami beberapa prosedur seperti
pembedahan, pilih sisi yang tidak terpengaruh oleh apapun
3) Aktivitas pasien : misalnya gelisah, bergerak, tak bergerak, perubahan
tingkat kesadaran
15

4) Jenis intravena: jenis larutan dan obat-obatan yang akan diberikan


sering memaksa tempat-tempat yang optimum (misalnya hiperalimentasi
adalah sangat mengiritasi vena-vena perifer)
5) Durasi terapi intravena: terapi jangka panjang memerlukan
pengukuran untuk memelihara vena, pilih vena yang akurat dan baik,
rotasi sisi dengan hati-hati, rotasi sisi pungsi dari distal ke proksimal
(misalnya mulai di tangan dan pindah ke lengan)
6) Ketersediaan vena perifer : bila sangat sedikit vena yang ada,
pemilihan sisi dan rotasi yang berhati-hati menjadi sangat penting, jika
sedikit vena pengganti.
7) Terapi intravena sebelumnya : tromboflebitis sebelumnya membuat
vena menjadi tidak baik untuk di gunakan, kemoterapi sering membuat
vena menjadi buruk (misalnya mudah pecah atau sklerosis)
8) Pembedahan sebelumnya : jangan gunakan ekstremitas yang terkena
pada pasien dengan kelenjar limfe yang telah di angkat (misalnya pasien
mastektomi) tanpa izin dari dokter
9) Sakit sebelumnya : jangan gunakan ekstremitas yang sakit pada
pasien dengan stroke
10) Kesukaan pasien : jika mungkin, pertimbangkan kesukaan alami
pasien untuk sebelah kiri atau kanan dan juga sisi.

g. Alat dan Bahan yang Digunakan

Alat dan bahan yang digunakan untuk pemasangan infus intravena


berdasarkan Standar Prosedur Operasional (SPO) di RSU Anutapura Palu
pada tahun 2017, yaitu :
1) Baksteril
2) Kapas alcohol
3) Abocath
4) Infuset tiang infus
5) Plester/hypafix
16

6) Cairan infus
7) Kasa steril
8) Betadin
9) manset

h. Prosedur Pemasangan Infus Intravena

Pemasangan infus adalah suatu tindakan dengan memasukkan cairan


elektrolit, nutrisi dan obat-obatan ke dalam vena (pembuluh darah) melalui
kanul. Teknik pemasangan infus intravena berdasarkan Standar Prosedur
Operasional (SPO) di RSU Anutapura Palu pada tahun 2017, yaitu:
1) Mencuci tangan
2) Menyiapkan alat-alat
3) Memberikan salam
4) Menjelaskan tujuan, prosedur, dan lamanya tindakan pada keluarga
5) Memberikan kesempatan klien bertanya sebelum kegiatan dilakukan
6) Menanyakan keluhan utama
7) Menjaga privacy pasien
8) Meletakkan pasien pada posisi semi fowler atau supine jika tidak
memungkinkan
9) Memakai sarung tangan
10) Menggulung baju/kemeja pasien ke arah atas
11) Meletakkan manset 5-15 cm di atas tempat tusukan
12) Menghubungkan cairan infus dengan infusset dan gantungkan
13) Meletakkan alat plastic di bawah lengan pasien
14) Memeriksa label pasien sesuai dengan instruksi cairan yang akan
diberikan
15) Mengalirkan cairan infus melalui selang infus sehingga tidak ada
udara di dalamnya
16) Mengencangkan klem sampai infus tidak menetes dan pertahankan
kesterilan sampai pemasangan pada tangan disiapkan
17

17) Mengencangkan tourniquet/manset tensi meter (tekanan di bawah


sistolik)
18) Menganjurkan pasien untuk mengepal dan membukanya beberapa
kali, palpasi dan pastikan tekanan yang akan ditusuk
19) Membersihkan kulit dengan cermat menggunakan kapas alcohol, arah
melingkar dari dalam keluar lokasi tusukan
20) Menggunakan ibu jari untuk menekan jaringan dan vena di atas/di
bawah tusukan
21) Memegang pada posisi 30 derajat pada vena yang akan ditusuk,
setelah pasti masuk lalu tusuk perlahan dengan pasti
22) Merendahkan posisi jarum sejajar pada kulit dan tarik jarum sedikit
lalu teruskan plastic IV ke dalam vena
23) Menekan dengan ujung jari plastik IV
24) Menarik jarum infus keluar
25) Menyambungkan plastik IV kateter dengan ujung selang infus
26) Melepaskan manset
27) Membuka klem infus sampai cairan mengalir lancar
28) Mengoleskan dengan salep betadine di atas penusukan, kemudian
ditutup dengan kasa steril
29) Mengatur tetesan infus sesuai ketentuan, pasang stiket yang sudh
diberi tanggal
30) Melepas sarung tangan
31) Mencuci tangan/mendokumentasikan

i. Lama Pemasangan Infus Intravena

Lama pemasangan infus adalah dasar yang digunakan untuk


mengganti tempat pemasangan infus intravena yang telah direncanakan
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi seperti phlebitis.
Frekuensi rotasi tempat penusukan intravena tergantung pada bahan
kateter. Untuk rotasi tempat penusukan fungsi vena perlu diganti setiap 48
18

sampai 72 jam. Jika alat-alat tetap terpasang lebih dari 72 jam karena
terbatasnya pemilihan vena. Alasan tersebut harus didokumentasikam
dalam catatan perawat (Rocco dan Otto, 1998).
Frekuensi penggantian selang intravena merupakan kewaspadaan
klinik yang sesuai dengan rekomendasi dari pabrik pada situasi-situasi
berikut yang terdapat dalam pedoman centers for disease control and
intravenous nurses society :
1) Secara rutin setiap 72 jam rotasi tempat penusukan dilakukan
2) Jika ujung selang terkontaminasi akibat tersentuh
3) Jika darah menyumbat selang dan tidak dapat dibilas dengansegera
4) Setelah pemberian darah atau produk lipid

j. Pemantauan dan Perawatan Infus Intravena

Perawatan infus merupakan tindakan yang dilakukan dengan


mengganti balutan/plester pada area insersi infus. Frekuensi penggantian
balutan ditentukan oleh kebijakan institusi. Dahulu penggantian balutan
dilakukan setiap hari, tapi saat ini telah dikurangi menjadi setiap 48
sampai 72 jam sekali, yakni bersamaan dengan penggantian daerah
pemasangan IV. Tujuan perawatan infus yaitu mempertahankan tehnik
steril, mencegah masuknya bakteri ke dalam aliran darah,
pencegahan/meminimalkan timbulnya infeksi, dan memantau area insersi.
Prosedur perawatan infus yaitu (NHS, 2009; Lawenga, 2012; Perdana,
2016) :

1) Pakai sarung tangan sekali pakai


2) Lepaskan balutan trasparan searah dengan arah pertumbuhan rambut
klien atau lepaskan plester dan kasa balutan yang lama selapis demi
selapis. Untuk kedua balutan trasparan dan balutan kasa, biarkan
plester memfiksasi jarum IV atau kateter tetap di tempat
19

3) Hentikan infus jika terjadi phlebitis, infiltrasi, bekuan, atau ada


instruksi dokter untuk melepas
4) Apabila infus mengalir dengan baik, lepaskan plester yang memfiksasi
jarum dan kateter setalah itu stabilkan jarum dengan satu tangan
5) Gunakan pinset dan kasa untuk membersihkan dan mengangkat sisa
plester
6) Bersihkan tempat insersi dengan gerakan memutar dari dalam kearah
luar dengan menggunakan yodium povidon.
7) Pasang plester untuk fiksasi.
8) Oleskan salep atau yodium povidon di tempat insersi infus.
9) Letakkan kasa kecil diatas salep/yodium povidon.
10) Tutup kasa dengan plester.
11) Tulis tanggal dan waktu penggantian balutan.
12) Bereskan alat-alat yang telah digunakan.
13) Lepas sarung tangan dan cuci tangan.
14) Kaji kembali fungsi dan kepatenan infus.
15) Kaji respon klien.
16) Dokumentasikan waktu penggantian balutan, tipe balutan, kepatenan
sistem IV, kondisi daerah vena, respon klien.

Standar Prosedur Operasional (SPO) perawatan Infus di RSU Anutapura


Palu, tahun 2017 yaitu :
Tahapan kerja
1) Mengatur posisi pasien (tempat tusukan infus terlihat jelas)
2) Memakai sarung tangan
3) Membasahi plester dengan alkohol dan buka balutan dengan
menggunakan pinset
4) Membersihkan bekas plester
5) Membersihkan daerah tusukan dan sekitarnya dengan NaCl
6) Mengolesi tempat tusukan dengan iodin cair/salf
7) Menutup dengan kassa steril dengan rapi
20

8) Memasang plester penutup


9) Mengatur tetesan infus sesuai program

k. Pengendalian Infeksi Pada pemasangan Infus

Pemasangan infus adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan
untuk memasukkan obat atau vitamin ke dalam tubuh pasien. Teknik
dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan penularan
infeksi adalah mencuci tangan. Mencuci tangan adalah menggosok
dengan sabun secara bersama seluruh kulit permukaan tangan dengan
kuat dan ringkas yang kemudian di bilas di bawah aliran air. Tujuannnya
untuk membuang kotoran dan organisme yang menempel di tangan.
Tangan yang terkontaminasi merupakan penyebab utama perpindahan
infeksi. Cuci tangan merupakan sebagai salah satu kewaspadaan standar
yang harus dilakukan, sehingga penularan penyakit dari pasien melalui
perawat, ataupun penularan keperawat sendiri dapat dihindari jika setiap
perawat ataupun petugas kesehatan melakukan tindakan mencuci tangan
sebelum maupun sesudah kontak untuk meminimalkan terjadinyan infeksi
nosokomial.
Pemilihan Alat Pelindung Diri (APD) yang akan dipakai harus didahului
dengan penilaian risiko pajanan dan sejauh mana antisipasi kontak
dengan patogen dalam darah dan cairan tubuh. Penggunaan sarung
tangan dan kebersihan tangan, merupakan komponen kunci dalam
meminimalkan penyebaran penyakit dan mempertahankan suatu
lingkungan bebas infeksi (Tietjen, 2004).
Selain itu, komponen yang sangat penting dalam kewaspadaan
standar adalah desinfeksi dan sterilisasi. Desinfeksi adalah suatu tindakan
untuk membunuh kuman patogen dan apatogen tetapi tidak dengan
sporanya pada alat perawatan atau permukaan jaringan (Tietjen, 2004).
Sedangkan, sterilisasi adalah suatu tindakan untuk membunuh kuman
21

patogen dan apatogen beserta sporanya pada alat perawatan (Thietjen,


2004).
Pada saat pemasangan infus harus menggunakan teknik sterilisasi.
Apabila ada saat melakukan pemasangan infus alat-alat yang akan
digunakan tidak menggunakan teknik sterilisasi akan mengakibatkan
tromboflebitis seperti pembengkakan, kemerahan, nyeri disepanjang vena.
Hal ini sangat merugikan bagi pasien karena infus yang seharusnya
dilepas setelah 72 jam kini harus dilepas sebelum waktunya karena
disebabkan oleh alat-alat bantu yang digunakan untuk memasang infus
tidak menggunakan teknik sterilisasi (Harry, 2006). Sesuai dengan
penjelasan sebelumnya bahwa kewaspadaan standar dapat menurunkan
resiko infeksi nosokomial diantaranya adalah resiko infeksi akibat
pemasangan jarum infus (phlebitis).

l. Akibat dari Pemasangan Infus

Terapi intravena diberikan secara terus-menerus dan dalam jangka


waktu yang lama tentunya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
komplikasi. Komplikasi dari pemasangan infus yaitu hematoma, infiltrasi,
tromboflebitis, emboli udara (Hinlay, 2006; Kaur P. et al, 2011).
1) Flebitis
Peradangan pada dinding pembuluh darah vena yang disebabkan oleh
iritasi kimia, mekanik dan bakterial. Kondisi ini dikarakteristikkan dengan
adanya daerah yang memerah dan hangat di sekitar daerah
insersi/penusukan atau sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak pada area
insersi atau sepanjang vena, dan pembengkakan.
2) Infiltrasi
Infiltrasi terjadi ketika cairan IV memasuki ruang subkutan di sekeliling
tempat pungsi vena. Infiltrasi ditunjukkan dengan adanya pembengkakan
(akibat peningkatan cairan di jaringan), palor (disebabkan oleh sirkulasi
22

yang menurun) di sekitar area insersi, ketidaknyamanan dan penurunan


kecepatan aliran secara nyata.
Infiltrasi mudah dikenali jika tempat penusukan lebih besar daripada
tempat yang sama di ekstremitas yang berlawanan. Suatu cara yang lebih
dipercaya untuk memastikan infiltrasi adalah dengan memasang torniket
di atas atau di daerah proksimal dari tempat pemasangan infus dan
mengencangkan torniket tersebut secukupnya untuk menghentikan aliran
vena. Jika infus tetap menetes meskipun ada obstruksi vena, berarti
terjadi infiltrasi.
3) Iritasi vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri selama diinfus, kemerahan pada kulit di
atas area insersi. Iritasi vena bisa terjadi karena cairan dengan pH tinggi,
pH rendah atau osmolaritas yang tinggi (misal: phenytoin, vancomycin,
eritromycin, dan nafcillin)
4) Hematoma
Hematoma terjadi sebagai akibat kebocoran darah ke jaringan di sekitar
area insersi. Hal ini disebabkan oleh pecahnya dinding vena yang
berlawanan selama penusukan vena, jarum keluar vena, dan tekanan
yang tidak sesuai yang diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau
kateter dilepaskan. Tanda dan gejala hematoma yaitu ekimosis,
pembengkakan segera pada tempat penusukan, dan kebocoran darah
pada tempat penusukan.
5) Tromboflebitis
Tromboflebitis menggambarkan adanya bekuan ditambah peradangan
dalam vena. Karakteristik tromboflebitis adalah adanya nyeri yang
terlokalisasi, kemerahan, rasa hangat, dan pembengkakan di sekitar area
insersi atau sepanjang vena, imobilisasi ekstremitas karena adanya rasa
tidak nyaman dan pembengkakan, kecepatan aliran yang tersendat,
demam, malaise, dan leukositosis.
6) Trombosis
23

Trombosis ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak pada vena, dan


aliran infus berhenti. Trombosis disebabkan oleh injuri sel endotel dinding
vena, pelekatan platelet.
7) Occlusion
Occlusion ditandai dengan tidak adanya penambahan aliran ketika botol
dinaikkan, aliran balik darah di selang infus, dan tidak nyaman pada area
pemasangan/insersi. Occlusion disebabkan oleh gangguan aliran IV,
aliran balik darah ketika pasien berjalan, dan selang diklem terlalu lama.
8) Spasme vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri sepanjang vena, kulit pucat di sekitar
vena, aliran berhenti meskipun klem sudah dibuka maksimal. Spasme
vena bisa disebabkan oleh pemberian darah atau cairan yang dingin,
iritasi vena oleh obat atau cairan yang mudah mengiritasi vena dan aliran
yang terlalu cepat.
9) Reaksi vasovagal
Digambarkan dengan klien tiba-tiba terjadi kollaps pada vena, dingin,
berkeringat, pingsan, pusing, mual dan penurunan tekanan darah. Reaksi
vasovagal bisa disebabkan oleh nyeri atau kecemasan
10) Kerusakan syaraf, tendon dan ligament
Kondisi ini ditandai oleh nyeri ekstremitas, kebas/mati rasa, dan kontraksi
otot. Efek lambat yang bisa muncul adalah paralysis, mati rasa dan
deformitas. Kondisi ini disebabkan oleh tehnik pemasangan yang tidak
tepat sehingga menimbulkan injuri di sekitar syaraf, tendon dan ligament.

2. Phlebitis Akibat Pemasangan Infus Intravena

b. Definisi

Phlebitis merupakan inflamasi pada tunika intima pembuluh darah vena


yang sering dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terapi infus.
24

Peradangan di dapatkan dari mekanisme iritasi yang terjadi pada


endhothelium tunika intima vena, dan perlekatan trombosit pada area
tersebut. (INS, 2006; Ariyanto, 2011).

c. Epidemiologi

Menurut data surveilans World Health Organisation (WHO) angka


kejadian Health Care Assosiation yaitu 5% per tahun pada 9 juta orang
dari 190 juta pasien yang dirawat di rumah sakit dan juga dapat
menyebabkan kematian 1,4 juta kematian setiap hari diseluruh dunia.
Sedangkan menurut distribusi penyakit sistem sirkulasi darah pasien
rawat inap, angka kejadian phlebitis di Indonesia pada tahun 2006
berjumlah 744 orang (17,11%) (Depkes RI, 2006; Leetari D. D., et al,
2016)
Angka kejadian phlebitis merupakan salah satu indikator mutu asuhan
keperawatan yang diperoleh dari perbandingan jumlah kejadian phlebitis
dengan jumlah pasien yang mendapat terapi intravena dengan standar
kejadian ≤1,5% (Depkes RI, 2008). Data Depkes RI Tahun 2013 angka
kejadian phlebitis di Indonesia sebesar 50,1% untuk rumah sakit
pemerintah dan sedangkan rumah sakit swasta sebesar 32,7. Infusion
Nursing Standart of Practice (2006) merekomendasikan bahwa level
phlebitis yang harus di laporkan adalah level 2 atau lebih. Sedangkan
angka kejadian yang direkomendasikan oleh Infusion Nurses Society
(INS) adalah 5% atau kurang. Dan jika ditemukan angka kejadian phlebitis
lebih dari 5%, maka data harus dianalisis kembali terhadap derajat
phlebitis dan kemungkinan penyebabnya untuk menyusun pengembangan
rencana kinerja perawat. (Alezander, et al., 2010)
Penelitian yang dilakukan di Brasil oleh Gomes, A. C. R., et al (2011) di
Rumah Sakit Pro-Cardiaco, dari 36 pasien terdapat 16,7% kasus phlebitis.
Di Batala, Punjab dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kaur, P., et al
(2011) di temukan 56,5% kasus phlebitis dari 200 pasien. Penelitian yang
25

dilakukan di National Healt and Medical Research Council (NHMRC)


Centre for Research Excellence in Nursing tahun 2013, didapatkan 23%
kasus phlebitis dari 233 pasien. Sedangkan penelitian yang dilakukan di
Rumah Sakit Zahedan, Iran pada tahun 2013 di dapatkan 44% kasus
phlebitis dari 300 pasien.

Tabel 3. Angka kejadian phlebitis di dunia

No
Penulis Lokasi Tahun Kejadian
.
Gomes, A. C. 16,7% kasus dari
1. Brasil 2011
R., et al 36 pasien
56,5% kasus dari
2. Kaur, P., et al Batala, Punjab 2011
200 pasien
Barruel, G. R., 23% kasus dari
3. Australia 2013
et al 233 orang
Abadi, S. A., et 44% kasus dari
4. Iran 2013
al 300 pasien

Tabel 4. Angka kejadian phlebitis di Indonesia

No. Penulis Lokasi Tahun Kejadian


1. Ince Maria dan Erlin Kediri 2012 2,9%
Kurnia
2. Lindayanti, N dan Semarang 2013 13,6%
Priyanto
3. Agustini Chandra, et al Pekanbaru 2013 21,7%
4. Irawati Nurma Wonogiri 2014 20,52%

Tabel 5. Angka Kejadian phlebitis di Sulawesi Tengah


26

No. Penulis Lokasi Tahun Kejadian


RSU Mokopido Toli-
1. Septiari 2006 42,4%
toli
2. Istifani, A. L RSU Anutapura Palu 2012 36,6%

Berikut adalah tabel angka kejadian phlebitis di RSU Anutapura Palu


yang diambil lima tahun terakhir yairu dari tahun 2013 sampai tahun 2017.
Angka kejadian phlebitis mengalami peningkatan dari tahun 2013 ke tahun
2014 dan dua tahun terakhir dari tahun 2016 ke tahun 2017 mengalami
penurunan yang signifikan (PPI, 2018).

Tabel 6. Angka kejadian phlebitis di RSU Anutapura Palu

Angka Kejadian
Tahun
Phlebitis
2013 165
2014 605
2015 674
2016 699
2017 365

Ruang PPI RSU Anutapura Palu, 2018

d. Etiologi

Phlebitis disebabkan oleh iritasi kimia, mekanik dan bakterial. Selain


itu, juga disebabkan karena infeksi nosokomial yang didapatkan selama
perawatan di Rumah Sakit. (Haskas, 2014; Maria & Kurnia, 2012;
Purilinawati, 2014; Prastika et al, 2009; Efitrianiza, 2013; Iradiyanti &
Kurnia, 2013).

a) Iritasi Kimia
Biasanya iritasi ini bersumber dari cairan intravena atau obat-obatan
yang digunakan umumnya cairan tersebut memiliki pH rendah dengan
27

osmolaritas tinggi, sebagai contoh adalah cairan dextrose hipertonik atau


cairan yang mengandung kalium klorida (Kaur P., et al, 2011; Barruel G.
Y., 2013).
1. Jenis cairan infus
PH dan osmolaritas cairan infus yang ekstrem selalu diikuti risiko
phlebitis tinggi. pH larutan dekstrosa berkisar antara 3-5, di mana
keasaman diperlukan untuk mencegah karamelisasi dekstrosa selama
proses sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam
amino dan lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral bersifat lebih
flebitogenik dibandingkan normal saline (Lawenga I. A., 2012)
2. Jenis obat yang dimasukan melalui infus
Obat suntik yang bisa menyebabkan peradangan vena yang hebat,
antara lain Kalium Klorida, Vancomycin, Amphotrecin B, Cephalosporins,
Diazepam, Midazolam dan banyak obat kemoterapi. Larutan infus dengan
osmolaritas > 900 mOsm/L harus diberikan melalui vena sentral.
Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna dalam
pencampuran juga merupakan faktor kontribusi terhadap phlebitis. Jadi,
jika diberikan obat intravena masalah bisa diatasi dengan penggunaan
filter sampai 5 μm (Pettit J dan Wyckoff M. M, 2007; Gomes A. C. R., et al
2011).
Jenis obat-obatan yang bisa di berikan melalui infus antara lain seperti:
Golongan antibiotik (Ampicicilin, amoxcicilin, clorampenicol, dll), anti
diuretic (furosemid, lasix dll) anti histamin atau setingkatnya (Adrenalin,
dexamethasone, dypenhydramin). Karena kadar puncak obat dalam darah
perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan
langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat
dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia
berat dan mengancam nyawa. Alasan ini juga sering digunakan untuk
pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa
banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu
mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri. Dalam
28

pemberian antibiotik melalui IV perlu diperhatikan dalam pencampuran


serbuk antibiotik tersebut, hal ini untuk menghindari terjadinya komplikasi
seperti phlebitis karena kepekatan dan tidak tercampurnya obat secara
baik. Biasanya untuk mencampur serbuk antibiotik/obat-obat yang lain
yang diberikan secara IV adala cairan aquades dengan perbandingan 4cc
larutan aquades berbanding 1 vial antibiotik atau 6cc larutan aquades
berbanding 1 vial serbuk antibiotik. Bila pencampuran obat terlalu pekat
maka aliran dalam infus terhambat dan dapat menyebabkan phlebitis
(Hankins, 2000)

b) Iritasi Mekanik
Terjadi karena faktor bahan kimia yang digunakan berdiameter besar,
sehingga mempermudah pecahnya pembuluh darah. Phlebitis dapat pula
terjadi jika pemasangan tidak pada tempat yang baik, misalnya siku atau
pergelangan tangan
1. Lokasi pemasangan infus
Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau lengan
bawah) sangat dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas >
500 mOsm/L. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 0,9%, produk darah,
dan albumin. Hindarkan vena pada punggung tangan jika mungkin,
terutama pada pasien usia lanjut, karena akan menganggu
kemandirian lansia (NHS, 2007; Earhart A, 2013)
2. Ukuran kateter intravena
Phlebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula. Kanula
yang dimasukkan pada daerah lekukan sering menghasilkan iritasi
mekanik. Ukuran kanula harus dipilih sesuai dengan ukuran vena
dan difiksasi dengan baik.
3. Jenis kateter infus
Kateter yang terbuat dari silikon dan poliuretan kurang bersifat iritasi
dibanding politetrafluoroetilen (teflon) karena permukaan lebih halus, lebih
29

termoplastik dan lentur. Risiko tertinggi untuk phlebitis dimiliki kateter yang
terbuat dari polivinil klorida atau polietilen (Earhart A, 2013)

c) Iritasi Bakterial
Misalnya fiksasi kurang baik sehingga menyebabkan kanul bergerak-
gerak dalam pembuluh darah dan menyebabkan iritasi pada pembuluh
darah. Banyak hal yang dapat menyebabkan phlebitis antara lain tindakan
pembersihan yang akan dilakukan, penusukan kateter intravena kurang
baik dan juga adanya bakteri. (Boker dan Ignaticus 1996) menyimpulkan
bahwa bakteri-bakteri yang terdapat pada kulit yang mempunyai potensi
menyebabkan phlebitis adalah Staphylococcus epidermidis dan
Staphylococcus aureus (Lawenga I. A, 2012; Earhart A, 2013; Sepvi F,
2015)
1. Teknik pencucian tangan yang buruk
Infeksi di rumah sakit dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang
didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal
dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Oleh karena itu perlu usaha
pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi yaitu dengan
meningkatkan perilaku cuci tangan yang baik
2. Teknik aseptik tidak baik
Faktor yang paling dominan menimbulkan kejadian phlebitis adalah
perawat, pada saat melaksanakan pemasangan infus tidak melaksanakan
tindakan aseptik dengan baik dan sesuai dengan standar operasional
prosedur.
3. Teknik pemasangan kanula yang buruk
Tindakan penatalaksanaan infus yang buruk, mengakibatkan pasien
akan terpapar pada resiko terkena infeksi nosokomial berupa phlebitis.
4. Lama pemasangan kanula
Kontaminasi infus dapat terjadi selama pemasangan kateter intravena
sebagai akibat dari cara kerja yang tidak sesuai prosedur serta pemakaian
yang terlalu lama. The Center for Disease Control and Prevention
30

menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi


potensi infeksi.
5. Perawatan infus
Perawatan infus bertujuan untuk mempertahankan tehnik steril,
mencegah masuknya bakteri ke dalam aliran darah,
pencegahan/meminimalkan timbulnya infeksi, dan memantau area insersi
sehingga dapat mengurangi kejadian phlebitis.
6. Faktor pasien
Faktor pasien yang dapat mempengaruhi angka phlebitis mencakup
usia, jenis kelamin dan kondisi dasar (yaitu diabetes melitus, infeksi, luka
bakar).

a. Faktor resiko phlebitis

Banyak Faktor resiko phlebitis yang telah diidentifikasi antara lain


durasi atau lama pemasangan, cuci tangan, sterilisasi kateter, jenis cairan
dan ukuran kateter (Lawenga I. A, 2012; Sepvi F, 2015).
Faktor-faktor tertentu yang lebih spesifik adalah pemilihan vena perifer
(eksrimitas superior dan inferior), perawatan pasca pemasangan yang
baik, umur, dan keterampilan pemasangan.

e. Gambaran klinik

Phlebitis dikarekteristikan dengan adanya dua atau lebih tanda


inflamasi pada bagian vena dan sekitarnya. Tanda inflamasi dapat berupa
ditemukanya tumor (bengkak) , rubor (Kemerahan), kalor (panas), dolor
(nyeri) dan fungsio laesa (NPR, 2011; NHS, 2009)

1) Rubor (Kemerahan)
Kemerahan atau rubor biasanya merupakan kejadian pertama yang
ditemukan di daerah yang mengalami peradangan. Pada reaksi
31

peradangan arteriola yang mensuplai darah tersebut mengalami


pelebaran sehingga darah yang mengalir ke mikrosirkulasi lokal lebih
banyak.
2) Kalor (Hipertermi)
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan pada reaksi peradangan.
Daerah sekitar peradangan menjadi lebih panas, karena darah yang
disalurkan ke daerah tersebut lebih besar dibandingkan daerah lainnya
yang normal.
3) Tumor (Oedem)
Pembengkakan lokal terjadi karena pengiriman cairan dan sel-sel dari
sirkulasi ke jaringan interstitiel, campuran antara sel yang tertimbun di
daerah peradangan disebut eksudat. Pada keadaan ini reaksi peradangan
eksudatnya adalah cairan.
4) Dolor (Nyeri)
Rasa nyeri pada daerah peradangan dapat disebabkan oleh perubahan
pH lokal ataupun konsentrasi ion-ion tertentu yang merangsang ujung
saraf, selain itu juga pembengkakan yang terjadi dapat juga menyebabkan
peningkatan tekanan lokal yang dapat merangsang sakit.
5) Fungtio laesa (hilangnya fungsi)
Hilangnya fungsi dapat disebabkan oleh penumpukan cairan pada cidera
jaringan dan karena rasa nyeri. Keduanya mengurangi mobilitas pada
daerah yang terkena.

Penilaian tingkat keparahan phlebitis bisa dengan menggunakan skor


visual phlebitis yang telah di kembangkan oleh Andrew dan Jackson
sebagai berikut :

Tabel 7. Skor Visual phlebitis.

No Hasil Observasi Stadium Skor


32

0 Tempat suntikan tampak sehat Tidak ada 0


1 Salah satu tanda jelas : Mungkin tanda 1
- Nyeri pada tempat suntikan dini phlebitis
- Eritema tempat suntikan
2 Dua tanda jelas : Stadium dini 2
- Nyeri phlebitis
- Kemerahan
- Pembengkakan
3 Semua tanda jelas : Stadium 3
- Nyeri sepanjang kanula moderat
- Eritema phlebitis
- Indurasi
4 Semua tanda jelas : Stadium lanjut 4
- Nyeri sepanjang kanula dan awal
- Eritema thrombophlebitis
- Indurasi
- Teraba venous cord
5 Semua tanda jelas : Stadium lanjut 5
- Nyeri sepanjang kanula thrombophlebitis
- Eritema
- Indurasi
- Venous cord teraba
- Demam

f. Pencegahan Phlebitis

Phlebitis sering terjadi pada pemberian terapi cairan dan pemberian


obat melalui intravena. Pengetahuan merupakan faktor penting untuk
mencegah dan mengatasi kejadian phlebitis (Lawenga I. A, 2012). Ada
banyak hal yang harus diperhatikan untuk mencegah terjadinya phlebitis
antar lain:
1) Mencegah phlebitis bakterial
33

Tindakan pencegahan pada phlebitis ini adalah dengan mencuci tangan,


teknik aseptic, perawatan pada daerah yang terpasang infus serta anti
sepsis kulit. Antisepsis bisa menggunakan chlorhexedine 2%, yodium dan
alkohol 70 %.
2) Waspada dan tindakan aseptik.
Prinsip aseptik dalam setiap melaksanakan tindakan pemasangan infus
merupakan cara untuk mencegah terjadinya phlebitis. Pada tempat
pengambilan sampel darah dan stopcock (persambungan kateter dengan
selang infus) tempat masuknya bakteri.
3) Rotasi kateter.
Mengganti tempat rotasi kateter merupakan salah satu cara mengurangi
terjadinya phlebitis. Apabila tidak ada kontra indikasi penggantian kanula
kateter lebih dari 72 jam bila lebih dari 72 – 96 jam maka berisiko terjadi
infeksi salah satunya adalah phlebitis.
4) Aseptic dressing
Dressing (perawatan infus) adalah suatu upaya atau cara untuk
mencegah masuknya mikroorganisme pada vaskuler sehingga tidak
menimbulkan terjadinya infeksi saat terpasang infus. Dressing adalah
tindakan yang dilakukan dengan mengganti balutan/plester pada area
insersi.
5) Kecepatan pemberian cairan
Tingkat risiko phlebitis ini kecil apabila lambatnya cairan infus hipertonik
yang masuk mengaliri pembuluh darah vena dan penggunaan ukuran
kateter yang sesuai dengan ukuran vena. Semakin tingkat osmolaritasnya
tinggi dan laju kecepatan cairan yang masuk risiko terjadinya iritasi pada
pembuluh darah vena semakin besar maka dianjurkan dalam memberikan
terapi cairan benar benar memperhitungkan hitungan tetesan cairan yang
sesuai dengan kebutuhan.
6) Titrable acidity
Titrable acidity adalah mengukur jumlah alkali untuk menetralkan pH pada
larutan infus. Seperti larutan glucose 10 % mengandung pH 4,0 yang tidak
34

menyebabkan perubahan titrable aciditynya rendah 0,16 mEq/L maka


makin rendah titrable acidity larutan infus maskin rendah risiko terjadinya
phlebitis.
7) Heparin dan hidrokortison
Heparin merupakan cairan yang dapat menambah lama waktu
pemasangan kateter. Pemberian larutan seperti kalium clorida, lidocain
dan anti microbial dapat dikurangi dengan pemberian melalui intra vena.
Penggunaan heparin pada larutan yang mengandung lipid dapat
membentuk endapan kalsium sehingga terjadi penyumbatan pada kateter,
penyumbatan pada kateter dalam jangka waktu yang lama menimbulkan
risiko terjadinya phlebitis.

3. Faktor-faktor yang ada hubungan dengan terjadinya phlebitis


akibat pemasangan infus intravena

a. Status Gizi
Pada pasien dengan status gizi buruk mempunyai vena yang tipis
sehingga mudah rapuh, selain itu pada gizi buruk daya tahan tubuhnya
kurang sehingga jika terjadi luka mudah terkena infeksi.
Menurut Mustika (2012) status gizi adalah keadaan tubuh yang
merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke
dalam tubuh dan penggunaannya. Ada beberapa faktor yang sering
merupakan penyebab gangguan gizi, baik langsung maupun tidak
langsung. Sebagai penyebab langsung gangguan gizi khususnya
gangguan gizi pada bayi dan balita adalah tidak sesuai jumlah gizi yang
mereka peroleh dari makanan dengan kebutuhan tubuh mereka.
Beberapa faktor yang secara tidak langsung mendorong terjadinya
gangguan gizi terutama antara lain pengetahuan, prasangka buruk
terhadap makanan, kebiasaan atau pantangan, kesukaan jenis makanan
35

tertentu, jarak kelahiran yang terlalu rapat, tingkat pendapatan dan


penyakit infeksi (Hartanto,2014; Marimbi, 2010).

b. Jenis cairan yang digunakan


Cairan atau obat-obatan yang bersifat iritan mengakibatkan reaksi
peradangan di daerah tunika intima vena. Peradangan menyebabkan
terjadi pembentukan thrombus yang dapat menyebabkan penyumbatan
yang sempurna di daerah lumen pembuluh darah tempat pemasangan
infus.
Pembagian jenis cairan infus tergantung pada konteks apa cairan
tersebut yang akan digunakan, bisa berdasarkan tonisitas suatu larutan,
besar molekul suatu cairan atau dibedakan pada suatu komposisi atau
kandungan dalam suatu larutan infus. Pembagian cairan infus menurut
tonisitas suatu larutan, berdasarkan pada tekanan osmotik yang terdapat
dalam larutan tersebut, antara lain larutan isotonik, larutan hipotonik dan
larutan hipertonik. (Potter dan Perry, 2006)
Osmolaritas dan pH cairan infus yang ekstrem selalu diikuti risiko
phlebitis tinggi. pH darah normal terletak antara 7,35-7,45 dan cenderung
basa. pH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang
berarti adalah netral. Osmolaritas diartikan sebagai konsentrasi sebuah
larutan atau jumlah partikel yang larut dalam suatu larutan. Pada orang
sehat, konsentrasi plasma manusia adalah 285 ± 10 mOsm/kg H 2O.
Larutan sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik dan
hipertonik sesuai dengan osmolaritas larutan tersebut dibandingkan
dengan osmolaritas plasma. Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki
osmolaritas total sebesar 280 – 310 mOsm/L, larutan yang memiliki
osmolaritas kurang dari itu disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi
disebut larutan hipertonik (INS, 2006). Tonisitas suatu larutan tidak hanya
berpengaruh terhadap suatu fisik klien akan tetapi juga berpengaruh
terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika intima akan
mengalami trauma pada pemberian larutan hiperosmolar yang
36

mempunyai osmolaritas lebih dari 600 mOsm/L. Terlebih lagi pada


pemberian dengan tetesan cepat pada pembuluh vena yang kecil. Cairan
isotonik akan menjadi lebih hiperosmolar apabila ditambah dengan obat,
elektrolit maupun nutrisi. Menurut Imam Subekti vena periver dapat
menerima osmolaritas sampai dengan 900 mOsm/L. Semakin tinggi
osmolaritas (makin hipertonis) makin mudah terjadi kerusakan pada
dinding vena perifer seperti phlebitis, thrombophlebitis dan thromboemboli.
Cairan yang bersifat hipertonis memiliki osmolaritas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan serum, sehingga menarik cairan dan elektrolit dari
jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah, misalnya: Dextrose 5%, NaCl
45% hipertonik, Dextrose 5% + Ringer-Laktat dan Manitol. Larutan-
larutan ini menarik air dari kompartemen intraseluler ke ekstraseluler dan
menyebabkan sel-sel mengkerut. Apabila diberikan dengan cepat dan
dalam jumlah besar dapat menyebabkan kelebihan volume ekstraseluler
dan mencetuskan kelebihan cairan sirkulatori dan dehidrasi. (Potter dan
Perry, 2006)

c. Jenis kateter yang digunakan

Penggunaan material kateter juga berperan pada kejadian phlebitis.


Bahan kateter yang terbuat dari polivinil klorida atau polietilen (teflon)
mempunyai risiko terjadi phlebitis lebih besar dibanding bahan yang
terbuat dari silikon atau poliureten. (INS, 2006; Ariyanto, 2011)

d. Lama pemasangan infus

Lama pemasangan kateter infus sering dikaitkan dengan insiden


kejadian phlebitis. Menurut INS (2006) salah satu faktor yang berperan
dalam kejadian phlebitis bakteri antara lain adalah pemasangan kateter
infus yang terlalu lama. Lama pemasangan kateter akan mengakibatkan
tumbuhnya bakteri pada area penusukan. Semakin lama pemasangan
tanpa dilakukan perawatan optimal maka bakteri akan mudah tumbuh dan
berkembang. Potter and Perry (2006), melaporkan hasil, dimana
37

mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada


15 pasien menyebabkan bebas phlebitis.
Menurut Fitriyanti (2015) dari hasil penelitian yang dilakukan,
menunjukkan bahwa paling banyak kejadian phlebitis terjadi pada pasien
yang mendapatkan infus lebig dari 3 hari (96-120 jam) yaitu tercatat pada
15 orang (22,1%) dan 6 orang lain (8,8%) tidak menderita phlebitis.
e. Teknik pemasangan infus
Pemasangan kateter intravena digunakan untuk memberikan cairan
ketika pasien tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok, untuk
memberikan garam yang diperlukan untuk mempertahankan
keseimbangan elektrolit, atau glukosa yang diperlukan untuk metabolisme
atau untuk memberikan medikasi. Cuci tangan merupakan hal yang
penting untuk mencegah kontaminasi dari petugas kesehatan dalam
tindakan pemasangan infus. Dalam pesan kewaspadaan universal
petugas kesehatan yang melakukan tindakan invasif harus memakai
sarung tangan. Meskipun telah memakai sarung tangan, teknik cuci
tangan yng baik harus tetap dilakukan dikarenakan adanya kemungkinan
sarung tangan robek, dan bakteri mudah berkembang biak di lingkungan
sarung tangan yang basah dann hangat, terutama sarung tangan yang
robek (NIS, 2006)
Tujuan dari cuci tangan sendiri adalah menghilangkan kotoran dan
debu secara mekanis dari permukaan kulit dan mengurangi jumlah
mikroorganisme sementara. Cuci tangan menggunakan sabun biasa dan
air, sama efektifnya dengan cuci tangan menggunkan sabun anti mikroba,
selama prosedur pemasangan atau penusukan harus menggunkan teknik
aseptik. Area yang akan dilakukan penusukan harus dibersihkan dahulu
untuk meminimalkan mikroorganisme yang ada, bila kulit kelihatan kotor
harus dibersihkan dahulu dengan sabun dan air sebelum diberikan larutan
antiseptik.
f. Perawatan Infus intravena setelah pemasangan
38

Perawatan infus merupakan tindakan yang dilakukan dengan


mengganti balutan/plester pada area insersi infus (Perry dan Potter,
2005). Frekuensi penggantian balutan ditentukan oleh kebijakan institusi.
Dahulu penggantian balutan dilakukan setiap hari, tapi saat ini telah
dikurangi menjadi setiap 48 sampai 72 jam sekali, yakni bersamaan
dengan penggantian daerah pemasangan IV (Gardner, 2006). Tujuan
perawatan infus yaitu mempertahankan tehnik steril, mencegah
masuknya bakteri kedalam aliran darah, pencegahan/meminimalkan
timbulnya infeksi, dan memantau area insersi.
g. Ukuran kateter intravena
Menurut Potter dan Perry (2006), ukuran jarum yang biasa digunakan
adalah ukuran 16, yang guna untuk dewasa, bedah mayor, trauma,
apabila sejumlah besar cairan perlu diinfuskan. Pertimbangkan
perawatan adalah sakit pada insersi, butuh vena besar. Sedangkan
ukuran 18 guna anak dan dewasa, untuk darah, komponen darah dan
infus kental lainnya. Pertimbangan perawat adalah sakit pada insersi,
butuh vena besar. Ukuran 20 guna untuk anak dan dewasa, sesuai untuk
kebanyakan cairan infus, darah, komponen darah, dan infus kental
lainnya. Pertimbangan perawatan adalah umum dipakai. Ukuran 22 guna
bayi, anak dan dewasa (terutama usia lanjut), cocok untuk sebagian
besar cairan infus. Pertimbangan perawatan adalah lebih muda untuk
insersi ke vena yang kecil, tipis dan rapuh, kecepatan tetesan harus
dipertahankan lambat, sulit insersi melalui kulit yang keras. Selain itu,
ada ukuran 24 dan 26 guna neonatus, bayi, anak, dewasa (terutama usia
lanjut), sesuai untuk sebagian besar cairan infus, tetapi kecepatan
tetesan lebih lambat. Penggunaan ukuran kateter yang besar pada vena
yang kecil dapat mengiritasi dinding vena.
h. Lokasi pemasangan infus intravena
Phlebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan atau
penempatan kateter intravena. Penempatan kateter pada area fleksi lebih
sering menimbulkan kejadian phlebitis, oleh karena pada saat
39

ekstremitas digerakkan kateter yang terpasang ikut bergerak dan


menyebabkan trauma pada dinding vena.
i. Faktor penyakit
Penyakit yang diderita pasien dapat mempengaruhi terjadinya plebitis,
misalnya pada pasien Diabetes Militus (DM) yang mengalami
aterosklerosis akan mengakibatkan aliran darah ke perifer berkurang
sehingga jika terdapat luka mudah mengalami infeksi.

B. KERANGKA TEORI

Ukuran kanula dan lokasi pemasangan

Gambar 3. Kerangka Teori


40

C. KERANGKA KONSEP

Variabel Independen Variabel Dependen

Jenis Cairan Intravena

Status Gizi

Ukuran Kateter
intravena

Lama pemasangan
infus

Lokasi pemasangan
infus

Perawatan infus
setelah pemasangan
Phlebitis

Teknik pemasangan
infus

Penyakit penyerta

Jenis kateter yang


digunakan

Keterangan:

Diteliti

Tidak ditelitti

Gambar 4. Kerangka Konsep


41

C. DEFINISI OPERASIONAL

1. Phlebitis
Phlebitis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peradangan
pembuluh darah yang diakibatkan oleh tindakan pemberian cairan infus
pada penderita yang dirawat di RSU Anutapura Palu.
Adapun kiteria phlebitis adalah sebagai berikut : (sumber kapan disebut
phlebitis) :
a. Nyeri pada tempat suntikan
b. Kemerahan
c. Pembengkakan
d. Kehilangan fungsi
e. Panas di sekitar tempat tusukan

Kriteria obyektif :
a. Phlebitis
b. Tidak phlebitis

2. Status Gizi penderita


Status Gizi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah komposisi tubuh
penderita yang ditentukan berdasarkan lingkar lengan atas (LLA)
menggunakan alat berupa pita pengukur. Hasil pengukuran LLA kemudian
diubah dalam bentuk persentase dengan standar 29,3 cm untuk laki-laki
dan 28,5 cm untuk perempuan dan dihitung dengan rumus : hasil
pengukuran LLA (cm)/standar LLA laki-laki atau perempuan (cm)X100%.
Interpretasi status gizi berdasarkan %, yaitu:
Overweight 110-120%
Normal 90-110%
Underweight < 90%

Dalam penelitian ini, cara pengumpulan data dilakukan dengan


mengukur Lingkar Lengan Atas (LLA) responden. Jika memungkinkan
42

juga akan dilakukan pengukuran indeks massa tubuh (IMT). Adapun


kriteria objektif:
i. Kurus : <90%
ii. Normal : 90-110%
iii. Gemuk : 110-120%

3. Jenis cairan infus


Jenis cairan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jenis cairan
infus ditentukan berdasarkan isotonis (RL, NaCl) hipertonis ().
Data diperoleh dari hasil observasi dan dicatat pada case report
dengan kriteria objektif :
a. Hipertonis (kapan disebut hipertonis : bila perna mendapatkan salah
satu cairan hipertonis min 1x dapat cairan yg tergolong hipertonis)
b. Isotonis (tidak pernah sama sekali mendapat cairan hipertonis)

4. Ukuran Kateter Intravena


Ukuran kateter intravena yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
ukuran kateter intravena yang digunakan penderita saat dilakukan
observasi pada lokasi pemasangan infus yang menjadi objek penilaian.
Adapun kriteria objektifnya adalah sebagai berikut :
Data diperoleh dari hasil observasi dan dicatat pada case report dengan
kriteria objektif :
a. Tidak sesuai vena
b. Sesuai vena

5. Lama Pemasangan Infus


Lama Pemasangan infus yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
rentang waktu antara awal terpasangnya kateter infus yang bersangkutan
hingga saat observasi ada tidaknya temuan phlebitis pada lokasi yang
menjadi objek penilaian. Data diperoleh dari hasil observasi dan dicatat
dalam case report dengan kriteria objektif :
43

a. Lama Pemasangan ≥ 3 hari


b. Lama Pemasangan < 3 hari

6. Lokasi Pemasangan Infus


Lokasi pemasangan infus yang dimaksud dalam penelian ini yaitu
lokasi dipasangnya jarum infus pada pasien. Infus yang dipasang di area
fleksi lebih mudah atau lebih berisiko menimbulkan kejadian phlebitis
karena pada saat ekstremitas digerakkan kateter yang terpasang ikut
bergerak dan menyebabkan trauma pada dinding vena. Sedangkan
daerah tempat infus yang memungkinkan dan tidak beresiko phlebitis
adalah permukaan dorsal tangan (vena supervisial dorsalis, vena
basalika, vena sefalika), lengan bagian dalam (vena basalika, vena
sefalika, vena kubital median, vena median lengan bawah, dan vena
radialis), dan permukaan dorsal (vena safena magna, ramus dorsalis).
Data diperoleh dari hasil observasi dan dicatat pada case report dengan
kriteria objektif:
a. Berisiko ( Pergelangan tangan)
b. Tidak berisiko ( Selain pergelangan tangan)
44

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah analitik observasional
dengan pendekatan case control dimana sampel yang diambil yaitu case
sebagai pasien yang mendapat perawatan infus lalu terjadi phlebitis,
sedangkan control sebagai pasien yang mendapat perawatan infus tetapi
tidak terjadi phlebitis.

Status Gizi

B. Waktu dan Tempat Penelitian


a. Waktu
Penelitian dilakukan pada tahun 2018, dimulai pada saat mendapatkan
persetujuan dari etik.
b. Tempat
45

Penelitian dilakukan di semua ruang perawatan Interna di RSU


Anutapura Palu.

C. Populasi dan Subyek


iv. Populasi
Pada penelitian ini, yang menjadi populasi adalah seluruh pasien
yang mempunyai faktor risiko terhadap terjadinya phlebitis yang mendapat
perawatan infus di ruang perawatan RSU Anutapura pada tahun 2018
v. Subyek
Subyek pada penelitian ini, diambil dari pasien RSU Autapura Palu
yang memenuhi kriteria.

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


1. Kriteria Inklusi
a. Kriteria Inklusi Kasus

1. Penderita rawat inap yang dipasangi infus dan mengalami phlebitis


2. Setuju ikut penelitian tanpa paksaan
3. Usia 16 sampai 80 tahun
4. Laki-laki maupun perempuan
5. Sadar

b. Kriteria Inklusi Kontrol

1. Penderita rawat inap yang dipasangi infus dan tidak mengalami


phlebitis
2. Setuju ikut penelitian tanpa paksaan
3. Usia 16 sampai 80 tahun
4. Laki-laki maupun perempuan
5. Sadar

7. Kriteria Eksklusi
46

1. Menderita diabetes mellitus


2. Menderita kelainan imunitas
3. Demam sebelum pemasangan infus
4. Menderita kelainan kulit pada daerah pemasangan infus
5. Pasien dengan riwayat kelainan pembekuan darah

A. Besar Sampel

Besar jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini menggunkan


analitik komparatif tidak berpasangan, dengan rumus besar sampel yaitu:
Z a √ 2 PQ❑+ Z β √ P1 Q 1+ P 2 Q2
Rumus:n=
P1−P2
Keterangan
N = besar sampel
Zα = deviat baku dari kesalahan tipe I
Zβ = deviat baku dari kesalahan tipe II
P2 = proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya
Q2 = 1-P2
P1 = proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement
peneliti
Q1 = 1-P1
P1-p2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna
P = proporsi total = (P1+P2)/2
Q = 1-P

Penyelesaian
Zα = 1,96
Zβ = 0,84
P2 = Proporsi phlebitis 35% : 0.35
Q2 = 1 – P2 = 1 - 0,35 = 0.65
47

P1 - P2 = 0,3
P1 = 0,3 + 0,35 = 0.65
Q1 = 1 – P1 = 1- 0,65 = 0,35
P = (P1 + P2)/2 = (0,51 + 0,35) / 2 = 0,5
Q = 1 - P = 1 –0,5 = 0,5

Jadi,

2
Z α √ 2 PQ+ Z β √ P 1 Q1+ P 2 Q2
n 1=n2= ( P1−P2 )
2 2
1,96 √ 2 x 0,5 x 0,5+ 0,84 √ 0,65 x 0,35+0,35 x 0,65 1,39+0,55
¿( 0,3 )(¿
0,3 )
2
¿ ( 6,46 )
¿ 41,81 ( dibulatkan menjadi 42 )

Jadi, berdasarakan perhitungan dengan rumus diatas jumlah sampel


yang menjadi kasus yaitu 42 orang dan sampel yang menjadi kontrol yaitu
42 orang sehingga besar sampel yang dibutuhkan pada penelitian ini
adalah 84 orang.

B. Cara Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah


secara consecutive sampling dengan mengumpulkan semua sampel
setiap hari yang memenuhi kriteria insklusi sebagai sampel penelitian
sampai sampel terpenuhi.

C. Alur Penelitian
48

Populasi Pasien yang


menerima perawatan
infus intravena

Cara Pengambilan
Sampel:

Consecutive Sampling

Memenuhi kriteria penelitian

Diberi penjelasan dan


dimintai persetujuan

Subjek penelitian

Pengambilan daya:

Pemeriksaan ditulis
dalam case report

Pengumpulan data

Analisis data

Penulisan hasil

Penyajian hasil

D. Prosedur Penelitian
49

a. Peneliti mengambil semua subjek pasien yang akan menerima


prosedur pemasangan infus di RSU Anutapura palu dengan teknik
Consecutive Sampling hingga mendapat calon subyek (populasi
penelitian) sesuai jumlah sampel yang dibutuhkan.
b. Calon subyek (populasi penelitian) diberi penjelasan mengenai latar
belakang, tujuan, cara dan manfaat penelitian, serta hak dan kewajiban
subjek penelitian, terutama hak untuk menolak menolak ikut tanpa
konsekuensi dan jaminan serta keamanan data dan penyediaan data yang
anonim. Kemudian meminta consent/izin populasi penelitian yang
bersangkutan.
c. Penjelasan kepada calon subyek penelitian:
1) Latar belakang: angka kejadian phlebitis masih cukup tinggi yang
menyebabkan waktu perawatan menjadi lebih lama. Diketahui banyak
faktor yang menyebabkan kejadian phlebitis.
2) Tujuan: Untuk mengatahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian phlebitis pada pasien yang mendapat perawatan infus.
3) Manfaat penelitian: apabila terbukti ada hubungan antara faktor-faktor
dengan kejadian phlebitis, maka dapat menjadi rekomendasi untuk
memperbaiki manajemen pemasangan infus serta sebagai acuan
untuk meningkatkan mutu pelayanan di rumah sakit.
4) Kerahasiaan data serta keselamatan selama tindakan penelitian:
Setiap data yang didapat akan dijaga kerahasiaannya dengan menulis
data responden anonim.
5) Dijelaskan juga tentang hak-hak dari subyek, yaitu hak menolak dan
mengundurkan diri dari penelitian tanpa konsekuensi kehilangan hak
mendapat pelayanan kesehatan yang diperlukannya, hak untuk
bertanya dan mendapat penjelasan bila masih diperlukan. Subyek
juga diberitahu bahwa semua biaya yang dibutuhkan dalam penelitian
ini akan ditanggung oleh peneliti.
50

d. Setelah subyek mengerti dengan semua penjelasan, maka peneliti


akan meminta persetujuan untuk menjadi subyek penelitian dengan
menandatangani formulir persetujuan.
e. Setelah subyek penelitian setuju, subyek penelitian yang memenuhi
kriteria penelitian akan diikutkan dalam penelitian tanpa paksaan dan
bersifat suka rela.
f. Pengambilan data akan dilakukan dengan menilai umur, jenis kelamin,
lama pemasangan dan lokasi pemasangan infus menggunakan case
report dan kuesioner, Phlebitis di tentukan berdasarkan diagnosis
rekam medis dan menggunakan skor phlebitis.
g. Kemudian dilakukan pengumpulan data.
h. Setiap data diinput di komputer dan dimasukkan dalam tabel.
i. Pengolahan data menggunakan SPSS 17.0 for windows. Data yang
ada akan sangat dijaga kerahasiaannya.
j. Setelah semua data diolah, dilakukan penulisan hasil sebagai laporan.
k. Hasil penelitian kemudian disajikansecara lisan dalam ujian skripsidan
secara tulisan sebagai skripsi.

E. Instrumen Pengumpulan Data

Alat yang digunakan untuk pengumpulan data pada penelitiaan ini


adalah lembar observasi dan lembar case report. Lembar observasi adalat
alat yang digunakan untul menggumpulkan data dengan melihat langsung
prosedur pemasangan infus pada sampel. Case report merupakan alat
yang digunakan dalam menggumpulkan data dari responden yang diambil
dengan melihat hasil pada rekam medik secara langsung kepada
responden yang memasang infus di RSU Anutapura Palu tahun 2018.
51

F. Rencana dan Analisa Data

a. Pengolahan data
Data pada penelitian ini diolah menggunkan perangkat lunak computer
program SPSS
b. Analisa data
1. Variabel jenis cairan intravena menggunakan chi square
2. Variabel ukuran kateter intravena menggunakan chi square
3. Variabel lama pemasangan menggunakan chi square
4. Variabel lokasi pemasangan menggunakan chi square
5. Variabel status gizi menggunakan chi square

G. Aspek Etika Penelitian

Penelitian yang saya lakukan tidak mempunyai masalah yang dapat


melanggar etik penelitian, karena:
1) Sebelum melakukan penelitian, peneliti menjelaskan secara lengkap
tentang tujuan, cara penelitian yang akan dilakukan dan dimintakan
persetujuan dari setiap subyek penelitian.
2) Subyek yang akan diteliti setuju dan mempunyai hak untuk bertanya
dan ikut ataupun menolak untuk mengikuti penelitian ini, tanpa ada
paksaan dan rasa takut untuk mengikuti penelitian.
3) Penelitian ini tidak menimbulkan kerugian dan bahaya karena hanya
dengan melihat tanda-tanda infeksi lokal pada daerah pemasangan infus
dengan menggunakan skor ataupun bertanya langsung kepada subyek
penelitian.
4) Peneliti tidak akan mencantumkan nama subyek penelitian pada
lembar pengumpulan data yang akan diisi oleh peneliti dan semua data
disimpan dengan aman dan disajikan secara lisan maupun tulisan secara
anonim.
52

5) Semua pemeriksaan yang dilakukan sehubungan dengan penelitian


tidak memungut biaya.
53

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu pada


Maret-April 2018 terhadap 84 pasien yang dirawat inap. Subyek pada
penelitian ini diambil dari 42 pasien yang terpasang infus berusia 10 – 80
tahun yang mengalami phlebitis dan 42 pasien yang terpasang infus dan
tidak terjadi phlebitis. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara
langsung dan case report. Data yang diperoleh terdiri dari status gizi, jenis
larutan yang digunakan, ukuran kateter IV yang digunakan, lokasi
pemasangan infus dan lama pemasangan infus. Hasil analisa statistik
ditampilkan dengan sistematika sebagai berikut:
a. karakteristik sampel
Pada tabel berikut menunjukan status gizi, jens larutan infus, ukuran
kateter intravena, lokasi pemasangan dan lama pemasangan infus. Status
gizi dibedakan menjadi gizi lebih, gizi normal dan gizi kurang. Jenis larutan
dibedakan menjadi larutan isotonis dan hipertonis. Ukuran kateter
intravena dibedakan menjadi sesuai vena dan tidak sesuai vena. Lokasi
pemasangan dibedakan menjadi berisiko dan tidak berisiko. Lama
pemasangan dibedakan menjadi lebih dari sama dengan (≥) 3 hari dan < 3
hari.

Tabel 9. Karateristik sampel penelitian di RSU Anutapura Palu Tahun


2018.
54

Variabel Frekuensi Persentase (%)


1. Status Gizi
a. Gizi lebih 3 3,6%
b. Gizi normal 34 40,5%
c. Gizi kurang 47 56,0%
2. Jenis Larutan
a. Isotonis 84% 100%
b. Hipertonis 0% 0%
3. Ukuran Kateter IV
a. Sesuai Usia 80 95,2%
b. Tidak Sesuai Usia 4 8,4%
4. Lokasi Pemasangan Infus
a. Berisiko 25 29,8%
b. Tidak Berisiko 59 70,2%
5. Lama Pemasangan Infus
a. ≥ 3 hari 68 81,0%
b. < 3 hari 16 19,0%
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian phlebitis pada pasien
yang di rawat di ruang perawatan RSU Anutapura Palu
1. Hubungan status gizi dengan kejadian phlebitis
Untuk mengidentifikasi status gizi dengan kejadian phlebitis, dilakukan
uji Kruskal Wallis dan didapatkan hasil sebagai berikut.
Tabel 10. Hubungan status gizi dengan kejadian phlebitis

Kejadian Phlebitis
Status Gizi Ya Tidak P
(n %) (n %)
Gizi Lebih 1 2
(33,3%) (66,7%)
Gizi Normal 12 22
(35,3%) (64,7%) 0,056
Gizi Kurang 29 18
(61,7%) (38,3%)
Total (50,0%) (50,0%)

Dari 47 responden yang mengalami gizi kurang, sebanyak 29 responden


(61,7%) yang mengalami phlebitis. Dari 34 responden dengan gizi normal,
sebanyak 12 responden (35,3%) yang mengalami phlebits. Dari 3
responden yang mengalami gizi lebih, hanya 1 responden (33,3%) yang
55

mengalami phlebitis. Walaupun kejadian phlebitis paling banyak pada


respoden dengan gizi kurang tetapi tidak bermakna secara statistik.

2. Hubungan jenis larutan dengan kejadian phlebitis


Untuk mengidentifikasi jenis larutan dengan kejadian phlebitis,
dilakukan crosstabulasi dan dihitung nilai P berdasarkan uji chi-square
yang hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 11. Hubungan jenis larutan dengan kejadian phlebitis
Kejadian
Jenis Phlebitis P OR CI
Larutan Infus Ya Tidak lower Upper
(n %) (n %)
Hipertonis 0 0
(0%) (0%)
Isotonis 42 42 0,021 3,029 1,16 7,873
(50%) (50%) 5
Total 42 42
(50,0%) (50,0%)

Ditemukan hubungan yang bermakna (p<0,05) antara jenis larutan infus


dengan kejadian phlebitis dengan Odd ratio 3,029. menunjukkan bahwa
cairan hipertonis merupakan faktor risiko phlebitis pada pemasangan
infus.

3. Hubungan ukuran kateter intravena dengan kejadian phlebitis


Untuk mengidentifikasi hubungan ukuran kateter intravena dengan
kejadian phlebitis, dilakukan crosstabulasi dan dihitung nilai P
berdasarkan uji chi-square yang hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 12. Hubungan ukuran kateter intravena dengan kejadian phlebitis

Kejadian
Ukuran Phlebitis P OR CI
Kateter Ya Tidak lower Upper
56

Intravena (n %) (n %)
Tidak Sesuai 2 2
Vena (50%) (50%)
40 40 1,000 1,000 0,13 7,451
Sesuai Vena (50%) (50%) 4
Total 42 42
(50,0%) (50,0%)

Tidak ditemukan hubungan yang bermakna (p>0,05) antara ukuran kateter


intravena dengan kejadian phlebitis, walaupun kejadian phlebitis sedikit
lebih tinggi pada ukuran kateter intravena yang tidak sesuai dibanding
dengan yang sesuai dengan odd ratio sebesar 1,538.

4. Hubungan lokasi pemasangan infus dengan kejadian phlebitis


Untuk mengidentifikasi hubungan lokasi pemasangan infus dengan
kejadian phlebitis, dilakukan crosstabulasi dan dihitung nilai P
berdasarkan uji chi-square yang hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 13. Hubungan lokasi pemasangan infus dengan kejadian phlebitis

Kejadian
Lokasi Phlebitis P OR CI
Pemasangan Ya Tidak lower Upper
Infus (n %) (n %)
Berisiko 19 6
(76,0%) (24,0%)
Tidak 23 36 0,002 4,95 1,723 14,256
Berisiko (39,0%) (61,0%) 7
Total 42 42
(50,0%) (50,0%)

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa ada hubungan yang bermakna p
value 0,002 (p<0,05) antara lokasi pemasangan infus dengan terjadinya
phlebitis. Pasien dengan lokasi pemasangan infus berisiko dan mengalami
phlebitis sebanyak 76,0% sedangkan pasien dengan lokasi pemasangan
infus tidak berisiko dan mengalami phlebitis sebanyak 39,0%. Odd ratio
4,957 menunjukan lokasi pemasangan infus 4,9 kali lebih mempunyai
57

peluang untuk terjad phlebitis dari pada pemasangan infus pada lokasi
yang tidak berisiko.

5. Hubungan lama pemasangan infus dengan kejadian phlebitis


Untuk mengidentifikasi hubungan lama pemasangan infus dengan
kejadian phlebitis, dilakukan crosstabulasi dan dihitung nilai P
berdasarkan uji chi-square yang hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 9. Hubungan lama pemasanga infus dengan kejadian phlebitis
Kejadian
Phlebitis
Lama P OR CI
Pemasangan Ya Tidak lower Upper
Infus
(n %) (n %)
≥ 3 hari 38 30
(55,9%) (44,1%)
4 12 0,026 3,80 1,112 12,983
< 3 hari
(25,0%) (75,0%) 0
Total 42 42
(50,0%) (50,0%)

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa ada hubungan yang bermakna p
value 0,026 (p<0,05) antara lama pemasangan infus dengan kejadian
phlebitis. Pasien yang mendapat perawatan infus ≥ 3 hari dengan lokasi
yang tetap mengalami phlebitis sebanyak 55,9% sedangkan pasien yang
mendapat terapi infus < 3 hari mengalami phlebitis sebanyak 25,0%. Odd
ratio 3,800 menunjukkan bahwa lama pemasangan infus ≥ 3 dengan
lokasi yang tetap berisiko 3, 9 kali lebih memungkinkan terjadi phlebitis
dari pada lama pemasangan < 3 hari.

B. Pembahasan

1. Status Gizi
58

Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan hasil akhir dari
keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan
penggunaannya (Hartanto B, 2014; Mustika, 2012).
Dari hasil penelitian berdasarkan status gizi terhadap kejadian phlebitis
diketahui bahwa sebaigian besar pasien mempunyai status gizi yang
kurang (underweight). Berdasarkan hasil analisis statistik data
menggunakan program SPSS versi 22, diperoleh hasil yang bermakna
dimana P=0,056 (p<0,05) sehingga diperoleh kesimpulan bahwa status
gizi mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian phlebitis pada
pasien yang mendapatkan perawatan infus.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Deya
Prastika pada tahun 2014, hasil analisa uji statistik memperoleh nilai
P<0,05 yang artiya terdapat hubungan antara status gizi pasien dengan
kejadian phlebitis, yang cenderung terjadi pada pasien dengan status gizi
kurang.
2. Jenis larutan intravena
Pembagian jenis cairan infus tergantung pada konteks apa cairan
tersebut yang akan dibedakan, bisa berdasarkan tonisitas suatu larutan,
besar molekul suatu cairan, atau dibedakan pada komposisi atau
kandungan dalam suatu larutan infus. Pembagian cairan infus menurut
tonisitas suatu larutan, berdasarkan pada tekanan osmotik yang terdapat
dalam larutan tersebut, antara lain larutan isotonik, larutan hipotonik dan
larutan hipertonik (Potter dan Perry, 2006).
Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas total sebesar
280–310 mOsm/L, larutan yang memiliki osmolalitas kurang dari itu
disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi disebut larutan
hipertonik (INS, 2006).
Berdasarkan hasil analisis statistik data menggunakan program SPSS
versi 22, diperoleh hasil yang bermakna dimana P=0,021 (p<0,05)
sehingga diperoleh kesimpulan bahwa jenis larutan yang digunakan
mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian phlebitis pada
59

pasien yang mendapatkan perawatan infus. Hasil ini sesuai dengan


penelitian yang dilakukan oleh Sepvi Fitriyanti di Rumah Sakit
Bhayangkara Tk. II. H. S. Samsoeri Mertojoso Surabaya Tahun 2015.
3. Ukuran kateter intravena
Untuk melakukan prosedur tindakan pemasangan infus, salah satu alat
dan bahan yang sering digunakan yaitu abocath/jarum infus/kateter
intravena, dimana alat ini amat sangat menentukan tingkat keberhasilan
dalam melakukan pemasangan infus karena tergantung dari pemilihan
ukuran sesuai dengan ukuran vena pasien.
Berdasarkan hasil analisis data statistik tidak terdapat hubungan antara
ukuran kateter dengan kejadian phlebitis. hasil ini tidak sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Dwi Agustianingsih di RS Pantiwilasa
Citarum Semarang pada tahun 2015.
Ukuran kateter intravena tidak bermakna dengan kejadian phlebitis
karena apabila ukuran kateter tidak sesuai dengan ukuran vena pasien
maka tingkat keberhasilan untuk pemasangan infus berkurang. Selain itu,
penyebab utama terjadi phlebitis adalah infeksi pada lokasi penusukan
akibat pemasangan infus yang tidak steril, jenis cairan infus yang
diberikan, penusukan yang berulang-ulang disebabkan oleh beberapa
penyakit lain seperti colapsnya vena akibat dehidrasi, maupun gangguan
sistem immunocompromised.
4. Lokasi pemasangan infus
Pada penempatan kateter yang baik yang perlu diperhatikan salah
satunya adalah lokasi pemasangan. Lokasi vena perifer yang sering
digunakan untuk pemasangan infus adalah vena supervisial atau perifer
kutan terletak di dalam fasia subkutan dan merupakan akses paling
mudah untuk terapi intravena. Daerah tempat infus yang memungkinkan
adalah permukaan dorsal tangan (vena supervisial dorsalis, vena
basalika, vena sefalika), lengan bagian dalam (vena basalika, vena
sefalika, vena kubital median, vena median lengan bawah, dan vena
radialis), permukaan dorsal (vena safena magna, ramus dorsalis)
60

Berdasarkan hasil analisa data statistik terdapat hubungan antara


lokasi pemasangan infus dengan kejadian phlebitis. Hasil ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Dede Dwi Lestari di RSU
Pancaran Kasih GMIM Manado tahun 2016.
5. Lama pemasangan infus
Menurut INS (2006) salah satu faktor yang berperan dalam kejadian
phlebitis bakteri antara lain adalah pemasangan kateter infus yang terlalu
lama. Lama pemasangan kateter akan mengakibatkan tumbuhnya bakteri
pada area penusukan. Semakin lama pemasangan tanpa dilakukan
perawatan optimal maka bakteri akan mudah tumbuh dan berkembang.
Mikroorganisme yang menyebabkan infeksi pada tempat penusukan bisa
berasal dari perawat oleh karena pemasangan infus yang tidak steril atau
penusukan yang berulang-ulang dan dapat berasal dari faktor pasien.
Infus set sebaiknya di ganti setiap 3 hari sekali. Pemasangan lebih dari
3 hari meningkatkan resiko terjadi phlebitis. Infus dapat digunakan selama
72 jam, tetapi apabila terjadi phlebitis kurang dari 72 jam maka sebaikya
infus di lepas atau dipindahkan lokasinya.
Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sepvi Fitrianti di RS.Bhayangkara TK II.H.S. Samsoeri Mertojoso
Surabaya tahun 2015. Sesuai dengan hasil penelitian dari data analisa di
dapatkan adanya hubungan bermakna (p<0,005) antara lama
pemasangan infus dengan kejadian phlebitis.

BAB V
61

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dari 84 responden di RSU Anutapura Palu


tahun 2018 tentang faktor-faktor yang ada hubungan dengan terjadinya
phlebitis pada pasien dengan infus di ruang perawatan RSU Anutapura
Palu, bahwa kejadian phlebitis di RSU Anutapura : Kejadian phlebitis
berhubungan dengan

1. Berhubungan dengan status gizi : status gizi kurang merupakan faktor


risiko kejadian phlebitis
2. Berhubungan dengan jenis larutan infus : larutan hipertonis merupakan
faktor risiko kejadian phlebitis
3. Berhubungan dengan lokasi pemasangan : lokasi pemasangan yang
berisiko (pergelangan tangan) merupakan faktor risiko kejadian phlebits
4. Berhubungan dengan lama pemasangan infus : lama pemasangan
infus lebih dari sama dengan 3 hari merupakan faktor risiko kejadian
phlebitis.
5. Tidak berhubungan dengan ukuran kateter intravena.

B. Saran
62

1. Pada pemasangan infus perlu menghindari pemasangan pada lokasi


yang berisiko terjadinya phlebitis. (pergelangan tangan), terutama pada
pasien yang gizi kurang, dan yang akan memperoleh cairan hipertonis.
2. Hendaknya pergantian lokasi infus dilakukan sebelum 3 hari untuk
menghindari phlebitis sebagai salah satu faktor infeksi nosokomial.
3. Perlu penelitian selanjutnya untuk mengetahui faktor-faktor lain antara
lain teknik pemasangan infus, perawatan infus setelah pemasangan,
penyakit penyerta dan jenis kateter yang digunakan.
63

DAFTAR PUSTAKA

1. Hindley, G. 2006. Infection control in peripheral cannulae. Nursing


Standard, 18 (27).
2. WHO, 2005. Word alliance of patient safety and, WHO Guidelines on
hand hygiene in health care advanced draft, Asummary cleans hands,
www.who.int/patient safety, 2011.
3. Perry, A.G. Potter, P.A. (2005). Pocket Guide to Basic Skills and
Procedures. St. Louis, Missouri, Alih Bahasa, Monica Ester, EGC,
Jakarta.
4. Haskas Yasir. 2014. Faktor yang berhubungan dengan kejadian
phlebitis di ruang perawatan interna Rumah Sakit Umum Daerah
Daya. Vol 4. Nomor 4.
5. Hidayat. 2006. Kepatuhan perawat dalam melaksanakan Standar
Operasional Pemasangan Infus terhadap flebitis. Jurnal STIKES
Volume 5, No. 1, 2006.
6. Wayunah. 2011. Hubungan pengetahuan perawat tentang terapi infus
dengan kejadian flebitis dan kenyamanan pasien di ruang rawat inap
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Indramayu. Tesis,
Universitas Indonesia Jakarta.
7. Lindayanti Ninik. 2013. Hubungan antara teknik insersi dan lokasi
pemasangan kateter intravena dengan kejadian flebitis di RSUD
Ambarawa. Jurnal Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 1, No. 2, Nov
2013.
8. Alexander, M, Corrigan, A, Gorski, L., et al. 2010. Infusion Nursing
Society, Infusion Nursing : An Evidence-based Approach, Third
Edition.
9. Nursing Practice Review. Phlebitis- treatment, care and prevention.
Nursing Times 2011, Vol 107 No 36.
64

10. Kaur,P. et al. Assessment of risk factors of phlebitis amongst


intravenous cannulated patients. Nursing and Midwifery Research
Journal, Vol-7, No. 3, 2011.
11. Barruel, G.Y. Infusion phlebitis assessment measures: a systematic
review. Journal of Evaluation in Clinical Practice ISSN 1365-2753.
International journal of public health policy and health services
research, 22 November 2013..
12. Hartanto B, Alimansur M. 2014. Karateristik status gizi dengan
kejadian phlebitis pada pasien dewasa di Ruang Flamboyan RSUD
Gambiran Kota Kediri. Jurnal Ilmu Kesehatan, Vol.3, No.1. Diunduh
tanggal 7 Februari 2018.
13. Hignell, P. Peripheral Intravenous Initiation. FH Vascular Access
Regional Shared Work Team Version 5 . 2012.
14. Intravenous (IV) cannulation. northerndeanery
15. Provider Guide. Intravenous Monitoring Program. Ontario Ministry of
Health 2005.
16. Irawati Nurma. 2014. Gambaran pelaksanaan pemasangan infus yang
tidak sesuai SOP terhadap kejadian flebitis di RSUD dr. Soediran
Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. STIKES Kusuma Husada
Surakarta.
17. Maria I, Kurnia E. 2012. Kepatuhan Perawat dalam Melaksanakan
Standar Prosedur Operasional Pemasangan Infus terhadap Phlebitis.
Volume 5, No.1. Di unduh tanggal 30 Juni 2015.
18. Darmadi (2008), Infeksi Nosokomial problematika dan
pengendaliannya, salemba Indonesia .
19. Centers for Disease Conlrol and Prevention (CDC), Guidelines for lhe
Prevenlion of Inlravascular Calheler Relaled Infeclions, 2002.
20. Nassaji-Zavareh M, Ghorbani R. Peripheral intravenous
catheterrelatedphlebitis and relatedrisk factors Management of
peripheral intravascular devicesSingapore Med J 2007; 48(8):733–
736.
65

21. Darmawan, I. 2008. Flebitis, apa penyebabnya dan


bagaimana cara mengatasinya. Edisi 2 Jakarta
Yayasan Bina Pustaka.
22. Salgueiro-Oliveira, A., Parreira, P., Veiga, P. Incidence of phlebitis in
patients with peripheral intravenous catheters. Australian Journal Of
Advanced Nursing Volume 30 Number 2.
23. Ince & Erlin. 2012. Jurnal STIKES Kepatuhan Perawat dalam
Melaksanakan Standar Prosedur Operasional Pemasangan Infus
terhadap Phlebitis.Volume 5 No.
24. Abadi, S.A., et al. Investigating Role of Mechanical and Chemical
Factors in the Creation of Peripheral vein inflammarion in
hospitalization Patients in hospital in zahedan , Iran. Life Science
Journal 2013; 10(1s).
25. NHS. Guidelines for the Insertion, Care and Removal of Peripheral
Intravenous Cannulae. NICE Guidelines, 2009.
26. Sarafzadeh, F., et al. Evaluation of the severity of peripheral
intravenous catheter related phlebitis during one year period in an
Iranian educational hospital, Kerman, Iran. Annals of Biological
Research, 2012, 3 (10):4741-4746.
27. Pattola, et all. 2013. Gambaran kejadian plebitis akibat pemasangan
infus pada pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Majene. Vol. 2, No.
4.
28. Hening Pujasari. 2002. Angka kejadian plebitis dan tingkat
keparahannya, Jurnal Keperawatan Indonesia. Vol. 6, No. 1. Penerbit
FIK UI. Jakarta, Maret 2002.
29. Gomes, A.C.R., et al. Assessment of Phlebitis, Infiltration and
Extravasation Events in Neonates Submitted to Intravenous
Therapy.Esc Anna Nery (impr.) 2011 ; 15 (3):472-479.
30. Perdana A.B Faktor Yang Ada Hubungannya Dengan Terjadinya
Tromboflebitis Pasca Pemasangan Infus Pada Penderita Yang
Dirawat Di RSUD Undata Palu, Tahun 2016.
66

31. Lawenga I.A Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi terjadinya


Thrombophlebitis Nasokomial pada Pasien yang Dirawat di RSU
Anutapura Palu Tahun 2012.
32. Chandra Agustin. Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian PhlebitisPada Pasien Yang Terpasang Infus Di Ruang
Medikal ChrysantRumah Sakit Awal Bros Pekanbaru tahun 2013.
33. Mustofa. 2007. Hubungan antara pengetahuan dan sikap perawat
mengenai kontrol infeksi terhadap perilaku pencegahan kejadian
flebitis di Ruang Rawat Inap RSD Sunan Kalijaga Demak. Skripsi,
Universitas Diponegoro Semarang.
34. Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar konsep dasar keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
35. Dougherty, L, et all. 2010. Standars for Infusion therapy: The RNC IV
therapy forum.
36. Intravenous Nurses Society (INS). (2006). Setting The Standard for
Infusion Care.
37. Sepvi Fitriyanti. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Phlebitis
DiRumah Sakit Bhayangkara Tk Ii. H.S. Samsoeri Mertojoso
Surabaya. Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 2 Mei 2015: 217–
229.
38. Wayunah. Pengetahuan Perawat Tentang Terapi Infus Memengaruhi
Kejadian Plebitis Dan Kenyamanan Pasien. Jurnal Keperawatan
Indonesia, Volume 16 No.2, Juli 2013, hal 128-137pISSN 1410-4490,
eISSN 2354-9203.

Anda mungkin juga menyukai