Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN STUDI KASUS

KETRAMPILAN DASAR PRAKTIK KLINIK


PEMASANGAN INFUS PADA Ny. U UMUR 24 TAHUN DENGAN
INDUKSI PERSALINAN
DI RSU RAJAWALI CITRA

Dosen Pembimbing : Eka Fitriyanti, S.ST ., M.Kes

Disusun Oleh :
Dian Iswari
1610104021

PRODI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA TERAPAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN STUDI KASUS


KETRAMPILAN DASAR PRAKTIK KLINIK
PEMASANGAN INFUS PADA Ny. U UMUR 24 TAHUN DENGAN
INDUKSI PERSALINAN
DI RSU Rajawali Citra

Disusun Oleh:
Dian iswari
1610104021

Disusun Untuk Melengkapi Tugas Praktik Klinik Mata Kuliah


Ketrampilan Dasar Praktik Klinik
Tanggal:...............................

Menyetujui

Pembimbing lahan Praktikan

(Hermin Hidayat, A.md. Keb) (Dian Iswari)

Pembimbing pendidikan

(Eka Fitriyanti, S.ST ., M.Kes)


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Puji dan syukur saya panjatkan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta kuasa-Nya sehingga saya diberikan nikmat kesehatan
dan dapat menyelesikan Laporan Kasus Keterampilan Dasar Praktik Klinik.
Laporan kasus ini disusun sebagai syarat dalam pelaksanaan Praktik Klinik
semester ganjil dan diharapkan khususnya bagi saya dan bagi pembaca agar dapat
memahami dan mengetahui isi dan tujuan Laporan Kasus Keterampilan Dasar
Praktik Klinik ini.

Pada kesempatan ini saya ingin mengucakan banyak triama kasih kepada:

1. Warsiti,S.Kp., M.Kep., Sp.Mat selaku Rektor Universitas ‘Aisyiyah


Yogyakarta
2. Moh. Ali Imron, M.Fis selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
‘Aisyiyah Yogyakarta
3. Fitria Siswi Utami, S.SiT., MNs selaku Ketua Prodi Kebidanan Program
Sarjana Terapan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah
Yogyakarta
4. Eka Fitriyanti, S.ST ., M.Kes selaku pembimbing pendidikan Praktik
Klinik Kebidanan
5. Hermin Hidayat, Amd. Keb selaku pembimbing lahan di RSU Rajawali
Citra
6. Maryuni Saptawati, Amd. Keb selaku pembimbing lahan di RSU Rajawali
Citra
7. Semua pihak yang membantu penyusunan Laporan Kasus ini
Semoga Laporan Kasus ini dapat bermanfaat, dan tidak lupa semua ini
saya kembalikan kepada Allah SWT, semoga segala niat baik dalam
penyusunan Laporan ini mendapat Ridho-Nya, aamiin ya Robbal’alaamiin.

Wassalaamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh

Yogyakarta, 5 Oktober 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terapi infus merupakan tindakan yang paling sering dilakukan


pada pasien yang menjalani rawat inap sebagai jalur terapi intravena (IV),
pemberian obat, cairan, dan pemberian produk darah, atau sampling darah
(Alexander, 2010). Infus cairan intravena adalah pemberian sejumlah
cairan ke dalam tubuh melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena
(pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat
makanan dari tubuh (Yuda, 2010). Pemberian cairan intravena (Infus)
yaitu memasukkan cairan atau obat langsung ke dalam pembuluh darah
vena dalam jumlah dan waktu tertentu dengan menggunakan infus set
(Potter, 2006).

Pada umumnya cairan infus intravena digunakan untuk


penggantian cairan tubuh dan memberikan nutrisi tambahan, untuk
mempertahankan fungsi normal tubuh pasien rawat inap yang
membutuhkan asupan kalori yang cukup selama masa penyembuhan.
Selain itu ada pula kegunaan lainnya yakni sebagai pembawa obat-obatan
lain (Lachman, 2008). Menurut Perry & Potter (2006), indikasi pada
pemberian terapi intravena: pada seseorang dengan penyakit berat,
pemberian obat melalui intravena langsung masuk ke dalam jalur
peredaran darah. Hal tersebut karena ada beberapa obat yang memiliki
bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan melalui
mulut) yang terbatas atau hanya tersedia dalam sediaan intravena (sebagai
obat suntik).

Terapi infus sebagai salah satu tindakan invasif memerlukan


keterampilan yang cukup saat melakukan pemasangannya. Akibat
prosedur pemasangan yang kurang tepat, posisi yang salah, kegagalan saat
menginsersi vena, serta ketidakstabilan dalam memasang fiksasi, semua
hal tersebut dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien. Selain itu,
pemberian terapi infus juga dapat menimbulkan komplikasi plebitis.
Penyebab plebitis yang paling sering adalah karena ketidaksesuaian
ukuran kateter dan pemilihan lokasi vena, jenis cairan, kurang aseptik saat
pemasangan, dan waktu kanulasi yang lama (Alexander, 2010). Flebitis
didefenisikan sebagai inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia
maupun mekanik. Hal ini dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang
memerah dan hangat disekitar daerah penusukan atau sepanjang vena,
nyeri atau rasa lunak di daerah penusukan atau sepanjang vena,
danpembengkakan (Brunner & Suddarth, 2013). Flebitis menjadi indikator
mutu pelayanan minimal rumah sakit dengan standar kejadian ≤ 1,5%
(Depkes RI, 2008).

Dari hasil penelitian Gayatri dan Handiyani (2008) menemukan


angka kejadian plebitis di tiga rumah sakit sangat tinggi sekitar 33,8%.
Plebitis adalah salah satu komplikasi terapi infus. Salah satu faktor
penyebab plebitis adalah kurang terampilnya perawat saat melakukan
pemasangan infus (Handayani, 2008). Dari hasil penelitian Wayunah dkk
(2013) yaitu ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan perawat
tentang terapi infus dengan kejadian plebitis dan dengan kenyamanan
(Wayunah dkk, 2013). Dari kedua penelitian tersebut dapat disimpulkan
bahwa tingkat pengetahuan dan ketrampilan perawat/bidan dalam
melakukan tindakan pemasangan infus sangat berpengaruh terhadap
kejadian plebitis.

Berdasarkan undang-undang RI No. 44 tahun 2009 tentang rumah


sakit, presiden menimbang bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang
dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan
teknologi dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap
mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh
masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Peran bidan dalam terapi infus terutama melakukan tugas delegasi.


Handiyani tahun 2008 mengatakan bahwa pemberian terapi infus
diinstruksikan oleh dokter tetapi bidan yang bertanggung jawab pada
pemberian serta mempertahankan terapi tersebut pada pasien. Oleh karena
itu, dalam melakukan tugasnya tersebut, bidan harus memiliki
pengetahuan yang berkaitan dengan pengkajian, perencanaan,
implementasi, dan evaluasi dalam perawatan terapi infus. Bidan harus
memiliki komitmen dalam memberikan terapi infus yang aman, efektif
dalam pembiayaan, serta melakukan perawatan infus yang berkualitas
(Alexander, 2010).

Di Indonesia belum ada angka yang pasti tentang pravalensi


kejadian flebitis, kemungkinan disebabkan oleh penelitian dan publikasi
yang berkaitan dengan flebitis jarang dilakukan. Data Depkes RI Tahun
2013 angka kejadian flebitis di Indonesia sebesar 50,11% untuk Rumah
Sakit Pemerintah sedangkan untuk Rumah Sakit Swasta sebesar 32,70 %
(Rizky W, 2014).

Mengingat pentingnya peran bidan dalam memberikan asuhan


untuk menekankan angka kenyamanan dan kesakitan pasien, maka saya
tertarik mengambil kasus Keterampilan Dasar Praktik Klinik Pemasangan
Infus di RSU Rajawali Citra. RSU Rajawali Citra merupakan Rumah Sakit
yang terletak di Bantul Yogyakarta. Pada kasus ini diambil salah satu
pasien pemasangan infus yaitu Ny. U umur 24 tahun di RSU Rajawali
Citra. Dilakukannya pemasangan infus pada Ny. U karena Ny. U
membutuhkan pemberian obat untuk merangsang proses persalinan
dengan cara diberikan melalui intravena. Berdasarkan uraian latar
belakang tersebut maka disusunlah laporan studi kasus Ketrampilan Dasar
Praktik Klinik pemasangan infus pada Ny. U umur 24 tahun dengan
induksi persalinan di RSU Rajawali Citra.

B. Tujuan

Tujuan penulisan laporan studi kasus ini sebagai pembelajaran


tentang bagaimana proses pemasangan infus secara benar dan tepat
sehingga tidak beresiko bagi pasien dan petugas kesehatan.

1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menerapkan keterampilan dasar praktik klinik
dalam pemasangan infus.
2. Tujuan khusus
a. Mampu melakukan pemasangan infus secara benar dan aman
b. Menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit pasien
c. Memberikan pengobatan secara intravena
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Kebutuhan Cairan Tubuh Bagi Manusia


Kebutuhan cairan merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia
secara fisiologis kebutuhaan ini memiliki proporsi besar dalam tubuh
dengan hampir 90% dari total berat badan. Sementara itu, sisanya
merupakan bagian padat dari tubuh. Secara keseluruhan, presentase cairan
tubuh berbeda berdasarkan usia (Potter, 2006).
Presentase cairan tubuh bayi baru lahir sekitar 75% dari total berat
badan, pria dewasa 57% dari total berat badan, wanita dewasa 55% dari
total berat badan, dan dewasa tua 45% dari total berat badan. Selain itu,
presentase jumlah cairan tubuh yang bervariasi juga bergantung pada lemak
dalam tubuh dan jenis kelamin.jika lemak dalam tubuh sedikit, maka cairan
tubuh pun lebih besar. Wanita dewasa mempunyai jumlah cairan tubuh
lebih sedikit dibandingkan pada pria, karena jumlah lemak pada tubuh
wanita dewasa lebih banyak dibandingkan dengan lemak pada tubuh pria
dewasa (Potter, 2006)

B. Faktor Yang Berpengaruh Dalam Pengaturan Cairan


1. Tekanan cairan
Proses difusi dan osmosis melibatkan adanya tekanan cairan dalam
proses osmosis, tekanan osmotik merupakan kemampuan partikel
pelarut untuk menarik larutan melalui membran. Bila terdapat dua
larutan dengan perbedaan konsentrasi maka larutan yang konsentrasi
molekulnya lebih pekat dan tidak dapat bergabung disebut koloit.
Sedangkan larutan dengan kepekatan yang sama dan dapat bergabung,
maka larutan itu disebut kristaloit (Eni, 2006).
Prinsip tekanan osmotik sangat penting dalam proses pemberian
cairan intravena biasanya larutan yang sering digunakan dalam
pemberian infus intravena bersifat isotonik karena mempunyai
konsentrasi yang sama dengan plasma darah. Larutan intravena yang
hipotonik, yaitu larutan yang mempunyai konsentrasi kurang pekat
dibanding konsentrasi plasma darah. Hal ini menyebabkan, tekanan
osmotik plasma akan lebih besar dibanding dengan tekanan osmotik
cairan interstisial karena konsentrasi protein dalam plasma lebih besar
dibanding cairan interstisial dan molekul protein lebih besar, sehingga
bentuk larutan koloid dan sulit menembus membran semipermiabel (Eni,
2006).
2. Membran semipermiable merupakan penyaring agar cairan yang
bermolekul besar tidak bergabung. Membran semipermiable ini terdapat
pada dinding kapiler pembuluh darah, yang terdapat diseluruh tubuh
sehingga molekul atau zat lain tidak berpindah ke jaringan (Eni, 2006).

C. Jenis Cairan
1. Cairan hipotonik
Osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi Ion
Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan
menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam
pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah
dari osmolaritas rendah keosmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi
sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi,
misalnya pada pasien cuci darah (dialysis) dalam terapi diuretik, juga pada
pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis
diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba
cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps
kardiovakular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada
beberapa orang.
Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%. Cairan Isotonik:
osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagiancair
dari komponen darah), sehingga terus berada di osmolaritas (tingkat
kepekatan) cairannya mendekati serum (bagiancair dari komponen darah),
sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien
yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan
darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan
cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi.
Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normalsaline/larutan
garam fisiologis (NaCl 0,9%).
2. Cairan hipertonik
Osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga
“menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh
darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin,
dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan
cairan Hipotonik.
Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-
Lactate,Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin.
(Perry & Potter, 2006)
Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:
a. Cairan Kristaloid : Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah
volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu
yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera.
Misalnya Ringer-Laktat dan garam fisiologis.
b. Cairan Koloid : Ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar
sehingga tidak akan keluar dari membrane kapiler, dan tetap berada dalam
pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari
luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan steroid (Perry &
Potter, 2006)

D. Gangguan/Masalah Dalam Pemenuhan Kebutuhan Cairan


1. Hipovolume atau dehidrasi
Kekurangan cairan eksternal dapat terjadi karena penurunan asupan
cairan dan kelebihan pengeluaran cairan. Tubuh akan merespon
kekurangan cairan tubuh dengan mengosongkan cairan vaskuler.
Sebagai kompensasi akibat penurunan cairan vaskuler. Sebagai
kompensasi akibat penurunan cairan interstisial,tubuh akan
mengalirkan cairan keluar sel. Pengosongan cairan ini terjadi pada
pasien diare dan muntah (Nurul, 2007).
Kehilangan cairan eksternal yang berlebihan akan menyebabkan
volume eksternal berkurang (hipovolume). Pada keadaan ini,tidak
terjadi perpindahan cairan daerah intrasel ke permukaan, sebab
osmolaritasnya sama. Jika terjadi kekurangan cairan eksternal dalam
waktu yang lama, maka kadar urea, nitrogen, serta kreatinin akan
meningkat dan menyebabkan terjadinya perpindahan cairan intrasel ke
pembuluh darah. Kekurangan cairan dalam tubuh dapat terjadi secara
lambat atau cepat dan tidak selalu cepat diketahui. Kelebihan asupan
pelarut seperti protein dan klorida / natrium akan menyebabkan
ekskresi atau pengeluaran urine secara berlebihan, serta berkeringat
banyak dalam waktu yang lama dan terus menerus. Kelainan lain yang
menyebabkan kelebihan pengeluaran urine adalah adanya gangguan
pada hipotalamus, kelenjar gondok dan ginjal, diare, muntah yang terus
menerus, terpasang drainage dan lain-lain (Nurul, 2007).
Macam dehidrasi (kurang volume cairan) berdasarkan derajatnya:
a. Dehidrasi berat
1) Pengeluaran atau kehilangan cairan 4-6 L
2) Serum natrium 159-166 mEq/L
3) Hipotensi
4) Turgor kulit buruk
5) Oliguria
6) Nadi dan pernafasan meningkat
7) Kehilangan cairan mencapai > 10% BB
b. Dehidrasi sedang
1) Kehilangan cairan 2-4  I atau antara 5-10% BB
2) Serum natrium 152-158 mEq/L
3) Mata cekung
c. Dehidrasi ringan,dengan terjadinya kehilangan cairan mencapai 5%
BB atau 1,5-2 L (Nurul, 2007).
2. Hipervolume atau overhidrasi
Terdapat dua manifrestasi yang ditimbulkan akibat kelebihan cairan
yaitu hipervolume (peningkatan volume darah) dan edema (kelebihan
cairan pada interstisial). Normalnya cairan interstisial tidak terikat
dengan air, tetapi elastis dan hanya terdapat di antara jaringan. Keadaan
hipervolume dapat menyebabkan piting edema, merupakan edema yang
berada pada darah perifer atau akan mencekung setelah ditekan pada
daerah yang bengkak. Manifestasi edema paru-paru adalah
penumpukan sputum, dispnea, batuk, dan suara ronkhi. Keadaan edema
ini disebabkan oleh gagal jantung yang mengakibatkan peningkatan
penekanan pada kapiler darah paru-paru dan perpindahan cairan ke
jaringan paru-paru (Nurul, 2007).

E. Kebutuhan Elektrolit
       Elektolit terdapat pada seluruh cairan tubuh. Cairan tubuh mengandung
oksigen, nutrien, dan sisa metabolisme (seperti karbondioksida), yang
semuanya disebut dengan ion. Beberapa jemis garam dalam air akan
dipecah dalam bentuk ion elektrolit. Contohmya NaCl akan dipecah menjadi
ion Na dan CI . pecahan elektrolit tersebut merupakan ion yang dapat
menghantarkan arus listrik. Ion yang bermuatan negatif disebut anion
sedangkan ion yang bermuatan positif disebut kation. Contoh kation antara
lain natrium, kalium, kalsium, dan magnesium (Nurul, 2007).
Contoh anion antara lain klorida, bikarbonat, dan fosfat.

F. Pengaturan Elektrolit
1. Pengaturan  keseimbangan natrium
Natrium merupakan kation dalam tubuh yang berfungsi dalam
pengaturan osmolaritas dan volume cairan tubuh. Natrium ini paling
banyak pada cairan ekstrasel (Uliyah, 2008).
2. Pengaturan keseimbangan kalium
Kalium merupakan kation utama yang terdapat dalam cairan intrasel
dan berfungsi mengatur keseimbangan elektrolit. Keseimbangan kalium
diatur oleh ginjal dengan mekanisme perubahan ion natrium dalam
tubulus ginjal (Uliyah, 2008).
3. Pengaturan keseimbangan kalsium
Kalsium dalam tubuh berfungsi dalam pembentukan tulang,
penghantar impuls kontraksi otot, koagulasi darah (pembekuan darah),
dan membantu beberapa enzim pankreas (Uliyah, 2008).
4. Pengaturan keseimbangan magnesium
Magnesium merupakan kation dalam tubuh yang terpenting kedua
dalam cairan intrasel. Keseimbanganya diatur oleh kelenjar paratiroid.
Magnesium diabsorpsi dari saluran pencernaan (Uliyah, 2008).
5. Pengaturan keseimbangan klorida
Klorida merupakan anion utama  dalam cairan ekstrasel, tetapi
klorida dapat ditemukan pada cairan eksternal dan intrasel. Fungsi
klorida biasanya bersatu dengan natrium yaitu mempertahankan
keseimbangan tekanan osmotik dalam darah (Uliyah, 2008).
6. Pengaturan keseimbangan bikarbonat
Bikarbonat  merupakan elektrolit utama dalam larutan buffer
(penyangga) dalam tubuh (Uliayh, 2008).
7. Pengaturan keseimbangan fosfat (PO4)
Fosfat bersama-sama dengan kalsium berfungsi dalam pembentukan
gigi dan tulang. Fosfat diserap dari saluran pencernaan dan dikeluarkan
melalui urine (Uliyah, 2008).
G. Cara menghitung cairan infus
Mililiter per jam : cc/jam = jumlah total cairan infus (cc)
Lama waktu penginfusan (jam)
Tetesan per menit
Jumlah total cairan infus (cc) x faktor tetesan
Lama waktu penginfusan

H. Pemasangan Infus
1. Pemberian Cairan Melalui Pemasangan Infus
Pemberian cairan melalui infus merupakan tindakan
memasukkan cairan melalui intravena yang dilakukan pada pasien
dengan bantuan perangkat infus. Tindakan ini dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit serta sebagai tindakan
pengobatan dan pemberian makanan (Dewi, 2010).
2. Tujuan Pemasangan infus
a. Sebagai akses pemberian obat.
b. Mengganti dan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
tubuh.
c. Sebagai makanan bagi pasien yang tidak dapat atau tidak boleh
makan melalui mulut (Dewi, 2010).
3. Indikasi
Pasien dehidrasi, syok, intoksikasi berat, pra dan pasca bedah,
sebelum transfusi darah, pasien yang tidak bisa atau tidak boleh makan
dan minum melalui mulut, pasien yang memerlukan pengobatan
tertentu (Dewi, 2010).
4. Kontraindikasi
a. Inflamasi (bengkak, nyeri demam) dan infeksi di lokasi pemasangan
infus.
b. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini
akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt)
pada tindakan hemodialisis (cuci darah).
c. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil
yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai
dan kaki) (Yuda, 2010).
5. Resiko Pemasangan Infus
a. Flebitis (peradangan pembuluh vena)
Tanda-tanda: hangat, merah, bengkak di daerah luka tusukan.
Penyebab: kurangnya aliran darah di sekitar abbocath, gesekan di
dalam vena.
Intervensi: ganti abbocath, gunakan kompres hangat, pemberian
analgesik anti inflamasi (Dougherty, 2010).
b. Hematoma
Yaitu darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya
pembuluh darah, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat
memasukkan jarum, atau tusukan berulang pada pembuluh darah. 
Tanda-tanda: tenderness, memar. Penyebab: vena terembes,
jarum tidak pada tempatnya dan darah mengalir.
Intervensi: abbocath dipindahkan, gunakan tekanan dan kompres,
cek kembali tempat keluar darah (Dougherty, 2010).
c. Infiltrasi
Yaitu masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan
pembuluh darah) atau kebocoran cairan infus ke jaringan sekitar.
Terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah.
Tanda-tanda: kepucatan, bengkak, dingin, nyeri dan terhentinya
tetesan infus (Dougherty, 2010).
Intervensi: kaji tingkat keparahan, lepas infus,
tinggikan ekstremitas yang terpasang infus.
I. Pedoman Pemilihan Vena
1. Gunakan vena distal terlebih dahulu
2. Gunakan tangan yang tidak dominan jika mungkin
3. Pilih vena yang cukup besar untuk memungkinkan aliran darah yang
adekuat
4. Pilih lokasi yang tidak mempengaruhi prosedur atau pembedahan yang
direncanakan
5. Pastikan lokasi yang dipilih tidak mengganggu aktivitas pasien
6. Perbedaan vena dan arteri
Tabel 1. Perbedaan Vena dan Arteri
Vena Arteri
-       Darah merah gelap Darah merah terang
-       Aliran darah pelan Aliran darah cepat, berdenyut
-       Katup-katup dititik percabangan Tidak ada katup
-       Aliran kearah jantung Aliran menjauhi jantung
-       Lokasi superfisial Lokasi dalam dikelilingi otot
-       Banyak vena menyuplai satu area Satu arteri menyuplai satu area
7. Tipe Vena yang perlu Dihindari
a. Vena yang telah digunakan sebelumnya
b. Vena yang telah mengalami infiltrasi atau flebitis
c. Vena keras dan sklerotik
d. Vena kaki, karena sirkulasi lambat dan komplikasi sering terjadi
e. Ekstremitas yang lumpuh
f. Vena yang dekat area terinfeksi
g. Vena pada jari, karena mudah terjadi komplikasi (flebitis, infiltrasi)
dan dekat dengan persyarafan
h. Vena yang terletak di bawah vena yang terjadi flebitis dan infiltrasi
(Dougherty, 2010).

J. Pemilihan Abbocath
Pemilihan abbocath, tergantung pada vena yang digunakan.
Pemilihan abbocath juga harus mempertimbangkan kondisi pasien dan jenis
cairan yang akan diberikan. Di bawah ini adalah ukuran abbocath serta
penggunaanya:
24-22 : untuk anak-anak dan lansia
24-20 : untuk klien penyakit dalam dan post operasi
18 : untuk pasien operasi dan diberikan transfusi darah
16 : untuk pasien yang trauma dan memerlukan rehidrasi yang cepat
(Dougherty, 2010).

K. Persiapan Alat pemasangan infus


1. Bak instrument kecil
2. Sarung tangan
3. Pengalas
4. Bengkok
5. Torniquat
6. Hepafik/ plester
7. Kasa steril
8. Alkohol swab/ kapas alkohol 70%
9. Set infus makro
10. Cairan infus
11. Abboket
12. Gunting
13. Tiang infus
14. Betadine atau salep yodium povidin (Utami, 2015).

L. Prosedur pemasangan Infus


1. mengucapkan salam, menyambut pasien, memperkenalkan diri berjabat
tangan.
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan, meminta persetujuan
dan kontrak waktu
3. Melakukan komunikasi aktif dan kontak mata dengan klien selama
tindakan
4. Memeriksa program terapi medik
5. Mengobservasi tanda dan gejala yang mengindikasikan
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
6. Menyiapkan alat
7. Mencuci tangan
8. Memakai APD
9. Mengidentifikasi vena yang dapat diakses untuk tempat pemasangan
jarum IV, dengan menghindari:
- Daerah penonjolan tulang
- menggunakan vena dibagian distal terlebih dahulu
- menghindari pemasangan selang intravena dipergelangan tangan
pasien, didaerah yang mengalami peradangan dan ruang antekubital, di
ekstremitas yang sensitivitasnya menurun atau ditangan yang dominan
10. Memasang pengalas
11. Memeriksa larutan dengan 5 benar
12. Membuka kemasan set infus steril dengan menggunakan tehnik steril
13. Menempatkan klem yang digeser tepat dibawah bilik tetes dan gerakan
klem penggeser ke posisi penghentian aliran infus
14. Mengisi selang infus dengan cara menekan bilik kemudian lepaskan
lalu membuka pelindung jarum dan menggeser klem sehingga aliran
infus dapat mengalir dari bilik tetesan sehingga selang terisi dan keluar
udaranya, menggerakkan kembali klem penggeser ke posisi
penghentian aliran cairan
15. Memilih vena distal yang berdilatasi dengan baik untuk digunakan, dan
jika tempat insersi jarum terdapat banyak bulu maka menggunting bulu-
bulu tersebut
16. Melakukan pembendungan dengan tourniquet 10-12 cm diatas tempat
insersi
17. Menggunakan sarung tangan
18. Mendesinfeksi daerah yang akan disuntikan dengan gerakan sirkular
19. Melakukan penusukan dengan arah jarum keatas dengan sudut 20-30
derajat dengan menempatkan ibu jari diatas vena dan meregangkan
kulit berlawanan dengan arah insersi 5-7 cm dari arah distal ketempat
penusukan
20. Melihat aliran balik melalui selang jarum yang mengidentifikasi
bahwah jarum telah memasuki vena. Merendahkan jarum sampai
hampir menyentuh kulit. Memasukkan lagi kateter sekitar seperempat
inci kedalam vena dan kemudian dilonggarkan.
21. Mengstabilkan pipa abbocat dengan satu tangan lalu melepaskan
tourniquet, menarik jarum infus dan menghubungkan dengan selang
infus.
22. Menggeser klem untuk melalui aliran infus dengan kecepatan tertentu
untuk mempertahankan kepatenan selang intervena
23. Memfiksasi pipa abbocat dengan memberikan sedikit kassa betadine
atau salep yodium povidin dan selanjutnya diplester.
24. Membereskan peralatan dan melepas sarung tangan serta dekontaminasi
pada larutan klorin 0,5%
25. Mengevaluasi respon pasien
26. Mencuci tangan dan mengeringkan
27. Melakukan dokumentasi (Utami, 2015).
Gambar :
Gambar 1. Pemasangan Infus
M. Kejadian plebitis
Angka kejadian plebitis merupakan salah satu indikator mutu asuhan
keperawatan yang dimiliki oleh sebuah rumah sakit. Infusion Nurses
Society (INS) merekomen-dasikan angka kejadian plebitis adalah kurang
dari atau sama dengan 5%. Jika ditemukan angka kejadian plebitis lebih dari
5%, institusi harus segera melakukan analisis kembali terhadap derajat
plebitis dan kemungkinan penyebabnya untuk menyusun pengembangan
rencana peningkatan kinerja bidan maupun perawat (Alexander, 2010).
Hasil penelitian menunjukkan angka kejadian plebitis sangat tinggi yaitu
40%. Tingginya angka kejadian plebitis yang ditemukan dalam penelitian
ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan dalam menetapkan
kejadian plebitis yang biasa dilakukan oleh rumah sakit. Kejadian plebitis
yang dilaporkan oleh peneliti adalah kejadian plebitis dari level 1, sementara
yang dilaporkan oleh rumah sakit adalah kejadian plebitis yang sudah tahap
lanjut (biasanya sudah level 3 sampai level 4). Infusion Nursing Standards
of Practice (2006a) merekomendasikan bahwa level plebitis yang harus
dilaporkan adalah level 2 atau lebih.
Daugherty (2008) mengatakan bahwa untuk mendeteksi adanya plebitis,
maka semua pasien yang terpasang infus harus diobservasi terhadap tanda
plebitis sedikitnya satu kali 24 jam. Observasi tersebut dapat dilakukan
ketika perawat memberikan obat intravena, mengganti cairan infus, atau
mengecek kecepatan tetesan infus.
Penelitian lain yang berkaitan dengan waktu kanulasi dilakukan oleh
Barker dan Anderson yang menemukan bahwa pemindahan lokasi
pemasangan secara teratur setiap 48 jam terbukti secara signifikan
menurunkan kejadian plebitis. Hal ini dapat dijelaskan bahwa terjadinya
respon inflamasi akibat pemasangan yang lama dapat dikurangi dengan cara
penggantian sebelum inflamasi berkembang lebih lanjut. Saat vena
terpasang kateter infus, merupakan faktor risiko terjadi inflamasi, baik
karena faktor mekanik maupun faktor kimia akibat pemberian obat atau
cairan yang memiliki osmolalitas tinggi. Plebitis dapat dicegah dengan
melakukan teknik aseptik selama pemasangan, menggunakan ukuran kateter
IV yang sesuai dengan ukuran vena, mempertimbangkan pemilihan lokasi
pemasangan berdasarkan jenis cairan yang diberikan, dan yang paling
penting adalah pemindahan lokasi pemasangan setiap 72 jam secara aseptik.

N. Induksi Persalinan
1. Definisi
Induksi dimaksudkan sebagai stimulasi kontraksi sebelum mulai
terjadi persalinan spontan, dengan atau tanpa rupture membrane.
Augmentasi merujuk pada stimulasi terhadap kontraksi spontan yang
dianggap tidak adekuat karena kegagalan dilatasi serviks dan penurunan
janin (Cunningham, 2013).
Induksi persalinan adalah upaya memulai persalinan dengan cara-
cara buatan sebelum atau sesudah kehamilan cukup bulan dengan jalan
merangsang timbulnya
His (Sinclair, 2010).
2. Indikasi Induksi Persalinan
Adapun indikasi induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini,
kehamilan lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis, preeklampsi
berat, hipertensi akibat kehamilan, intrauterine fetal death (IUFD) dan
pertumbuhan janin terhambat (PJT), insufisiensi plasenta, perdarahan
antepartum, dan umbilical abnormal arteri doppler (Oxford, 2013).
3. Kontraindikasi Induksi Persalinan
Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi
untuk menghindarkan persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya
yaitu: disproporsi sefalopelvik (CPD), plasenta previa, gamelli,
polihidramnion, riwayat sectio caesar klasik, malpresentasi atau kelainan
letak, gawat janin, vasa previa, hidrosefalus, dan infeksi herpes genital
aktif (Cunningham, 2013 & Winkjosastro, 2002).
4. Persyaratan Induksi Persalinan
Untuk dapat melaksanakan induksi persalinan perlu dipenuhi
beberapa kondisi/persyaratan sebagai berikut:
a. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)
b. Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah
mendatar dan menipis, hal ini dapat dinilai menggunakan tabel
skor Bishop. Jika kondisi tersebut belum terpenuhi maka kita
dapat melakukan pematangan serviks dengan menggunakan
metode farmakologis atau dengan metode mekanis
c. Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak jani
d. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga
panggul (Oxorn, 2010).
BAB III
ASUHAN KEBIDANAN SOAP
KETERAMPILAN DASAR PRAKTIK KLINIK
PEMASANGAN INFUS PADA Ny. U UMUR 24 TAHUN DENGAN
INDUKSI PERSALINAN
DI RSU RAJAWALI CITRA

Tanggal/Jam : Jumat, 28 September 2018 / 11.00 WIB


Oleh : Dian Iswari
Tempat : Kamar Bersalin

A. IDENTITAS
Nama : Ny. U
Umur : 24 Tahun
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Pendidikan : SMK
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Banyakan RT 003
NO Telepon : 085763542XXX
B. TUJUAN
Untuk dilakukan Induksi persalinan pada Ny. U umur 24 tahun
C. INDIKASI
Pemasangan Infus dilakukan pada Ny. U umur 24 tahun dengan indikasi
pembukaan lama maka dilakukan pemasangan infus untuk induksi
persalinan.
D. PERSIAPAN ALAT
15. Bak instrument kecil
16. Sarung tangan
17. Pengalas
18. Bengkok
19. Torniquat
20. Hepafik/ plester
21. Kasa steril
22. Alkohol swab/ kapas alkohol 70%
23. Set infus makro
24. Cairan infus
25. Abboket
26. Gunting
27. Tiang infus
28. Betadine atau salep yodium povidin (Utami, 2015).

E. PENATALAKSANAAN

PENATALAKSANAAN TEKNIK PELAKSANAAN


BERDASARKAN TEORI DILAHAN PRAKTIK
1. mengucapkan salam, 1. Pelaksanaan dilahan
menyambut pasien, praktik sudah sesuai
memperkenalkan diri berjabat dengan teeori. Hanya saja
tangan. kadang tidak membawa
2. Menjelaskan tujuan dan bak instrumen, melainkan
prosedur pelaksanaan, menggunakan
meminta persetujuan dan perlengkapan untuk
kontrak waktu pemasangan dan pelepasan
3. Melakukan komunikasi infus.
aktif dan kontak mata 2. Penatalaksaan dilahan
dengan klien selama lebih efisien waktu dan
tindakan tenaga karena perkenalan
4. Memeriksa program terapi dengan pasien sudah
medik dlakukan diawal, hanya
5. Mengobservasi tanda dan saja saat plaksanaan tetap
gejala yang dijelaskan kembali.
mengindikasikan 3. Hanya saja kadang dilahan
ketidakseimbangan cairan masih terjadi bengkak jadi
dan elektrolit tidak satu kali
6. Menyiapkan alat penyuntikan, bisa jadi
7. Mencuci tangan sampai dua kali
8. Memakai APD penyuntikan.
9. Mengidentifikasi vena
yang dapat diakses untuk
tempat pemasangan jarum
IV, dengan menghindari:
- Daerah penonjolan
tulang
- menggunakan vena
dibagian distal terlebih
dahulu
- menghindari pemasangan
selang intravena
dipergelangan tangan
pasien, didaerah yang
mengalami peradangan
dan ruang antekubital, di
ekstremitas yang
sensitivitasnya menurun
atau ditangan yang
dominan
10. Memasang pengalas
11. Memeriksa larutan dengan
5 benar
12. Membuka kemasan set
infus steril dengan
menggunakan tehnik steril
13. Menempatkan klem yang
digeser tepat dibawah bilik
tetes dan gerakan klem
penggeser ke posisi
penghentian aliran infus
14. Mengisi selang infus
dengan cara menekan bilik
kemudian lepaskan lalu
membuka pelindung jarum
dan menggeser klem
sehingga aliran infus dapat
mengalir dari bilik tetesan
sehingga selang terisi dan
keluar udaranya,
menggerakkan kembali
klem penggeser ke posisi
penghentian aliran cairan
15. Memilih vena distal yang
berdilatasi dengan baik
untuk digunakan, dan jika
tempat insersi jarum
terdapat banyak bulu maka
menggunting bulu-bulu
tersebut
16. Melakukan pembendungan
dengan tourniquet 10-12
cm diatas tempat insersi
17. Menggunakan sarung
tangan
18. Mendesinfeksi daerah
yang akan disuntikan
dengan gerakan sirkular
19. Melakukan penusukan
dengan arah jarum keatas
dengan sudut 20-30 derajat
dengan menempatkan ibu
jari diatas vena dan
meregangkan kulit
berlawanan dengan arah
insersi 5-7 cm dari arah
distal ketempat penusukan
20. Melihat aliran balik
melalui selang jarum yang
mengidentifikasi bahwah
jarum telah memasuki
vena. Merendahkan jarum
sampai hampir menyentuh
kulit. Memasukkan lagi
kateter sekitar seperempat
inci kedalam vena dan
kemudian dilonggarkan.
21. Mengstabilkan pipa
abbocat dengan satu
tangan lalu melepaskan
tourniquet, menarik jarum
infus dan menghubungkan
dengan selang infus.
22. Menggeser klem untuk
melalui aliran infus
dengan kecepatan tertentu
untuk mempertahankan
kepatenan selang intervena
23. Memfiksasi pipa abbocat
dengan memberikan
sedikit kassa betadine atau
salep yodium povidin dan
selanjutnya diplester.
24. Membereskan peralatan
dan melepas sarung tangan
serta dekontaminasi pada
larutan klorin 0,5%
25. Mengevaluasi respon
pasien
26. Mencuci tangan dan
mengeringkan
27. Melakukan dokumentasi
(Utami, 2015).

F. EVALUASI
Setelah dilakukan pemasangan infus untuk induksi persalinan pada Ny. U
umur 24 tahun dengan aturan 20 kali tetes permenit yang bertujuan untuk
menambah pembukaan atau kemajuan persalinan. Setelah itu tetap harus
dilakukan observasi pada Ny. U terkait infus yang terpasang agar tidak
terjadi pembengkakakan. Dan juga tetap dilakukan observasi terkait
tetesan pada infus tersebut.
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Dari kasus diatas, pemasangan infus yang dilakukan pada pasien bertujuan
untuk memberikan obat melalui intravena. Tindakan ini dilakukan karena
untuk merangsang adanya tanda-tanda persalinan. Pemasangan infus
dilakukan pada tanggal 28 September 2018 pukul 11.00 WIB di Ruang
Bersalin.  Infus dipasang pada vena di tangan kanan pasien dengan cairan
infus RL dengan tetesan 20 tetes permenit.
B. Pada saat persiapan alat dalam teori dan praktek di lapangan terdapat
kesenjangan yaitu dalam teori masih menggunakan betadien dan untuk praktek
di lapangan sudah tidak menggunakan betadine, dan untuk persiapan alat yang
lain sama antara teori dan praktek di lapangan yaitu mempersiapan alat dan
bahan berupa bak instrumen, standar infus, selang infus, cairan sesuai dengan
kebutuhan pasien, abbocat sesuai dengan ukuran, pengalas, tourniquet, alkohol
swab/ kapas alkohol 70%, plester/ hepafik, hansaplas, kassa streril dan sarung
tangan.
C. Pada saat persiapan pasien, tidak terjadi kesenjangan antara teori dan praktek
yaitu sebelum tindakan memberitahukan kepada pasien bahwa akan dilakukan
tindakan berupa pemasangan infus dan tujuan dari pemasangan infus itu
sendiri yaitu untuk memenuhi kebutuhan pasien.
D. Pada saat melakukan tindakan
1. Pada teori dan di lahan praktek tidak ada kesenjangan karena setiap
sebelum maupun sesudah melakukan suatu tindakan petugas selalu
mencuci tangan. Hal ini untuk mencegah terjadinya infeksi.
2. Menurut teori saat memfiksasi menggunakan kassa yang diberi betadine
atau salep yodium pofidim sedangkan dilahan praktek menggunakan
hansaplas kemudian ditutup dengan hepafik.
3. Saat melakukan desinfeksi pada teori dilakukan dengan cara sirkular
namun di lahan prakter terkadang masih menggunakan secara vertikal.
4. Pemberian keterangan waktu pemasangan infus, berdasarkan teori setelah
pemasangan infus selesai lalu diberikan tanggal dan jam pada hepafix yang
bertujuan untuk memantau dan mengingatkan tenaga kesehatan kapan
infus terpasang saat petuggas kesehatan melakukan observasi infus. Pada
lahan praktek pemasangan infus dituliskan pada buku rekam medis pasien
saja dan cukup membaca melalui rekam medis pasien.

Menurut hasil observasi yang telah dilakukan bahwa SOP pemasangan


infus di RSKIA Arvita Bunda yaitu diantaranya:

1. Hasil observasi pemasangan infus penatalaksanaan antara di lapangan


dengan SOP yang ada dilahan 92% telah berjalan dengan baik. Terdapat
kesenjangan antara SOP dengan pelaksanaan di lapangan,yaitu:
a. Desinfektan
Berdasarkan kasus di lahan pelaksanaan desinfektan dengan
terkadang masih arah vertikal tidak sirkular dari dalam keluar.
Ditakutkan daerah penyuntikan terdapat kuman.
b. Fiksasi
Berdasarkan kasus di lahan pelaksanaan fiksasi menggunakan
kassa steril kemusian ditutup dengan hepafik sedangkan didalam teori
pelaksanaan fiksasi menggunakan kassa dan betadine kemuadian
diplester.
2. Hasil observasi pemasangan infus antara di lapangan dengan jurnal
penelitian kejadian plebitis terdapat kesenjangan karena dari penelitian
yang berkaitan dengan waktu kanulasi dilakukan oleh Barker dan
Anderson yang menemukan bahwa pemindahan lokasi pemasangan secara
teratur setiap 48 jam terbukti secara signifikan menurunkan kejadian
plebitis. Hal ini dapat dijelaskan bahwa terjadinya respon inflamasi akibat
pemasangan yang lama dapat dikurangi dengan cara penggantian sebelum
inflamasi berkembang lebih lanjut. Saat vena terpasang kateter infus,
merupakan faktor risiko terjadi inflamasi, baik karena faktor mekanik
maupun faktor kimia akibat pemberian obat atau cairan yang memiliki
osmolalitas tinggi. Plebitis dapat dicegah dengan melakukan teknik aseptik
selama pemasangan, menggunakan ukuran kateter IV yang sesuai dengan
ukuran vena, mempertimbangkan pemilihan lokasi pemasangan
berdasarkan jenis cairan yang diberikan, dan yang paling penting adalah
pemindahan lokasi pemasangan setiap 72 jam secara aseptik. Sedangkan di
lahan praktik tidak mengganti lokasi pemasangan setiap 72 jam hanya saja
mengganti selang infus dan mengganti posisi pemasangan jika terjadi
memar atau bengkak di tempat pemasangan.
3. Namun dalam penelitian juga dijelaskan menurut Daugherty (2008)
mengatakan bahwa untuk mendeteksi adanya plebitis, maka semua pasien
yang terpasang infus harus diobservasi terhadap tanda plebitis sedikitnya
satu kali 24 jam. Observasi tersebut dapat dilakukan ketika perawat
memberikan obat intravena, mengganti cairan infus, atau mengecek
kecepatan tetesan infus. Disini tidak ada kesenjangan antara di lahan
praktek dan penelitian ini karena di lahan praktek setiap 24 jam melakukan
observasi untuk memantau adanya plebitis.
4. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan di lahan praktek dengan
membandingkan antara teori, jurnal penelitian Wahyunah dkk (2013) yang
berjudul “Pengetahuan Perawat Tentang Terapi Infus Memengaruhi
Kejadian Plebitis Dan Kenyamanan Pasien”, dan lahan praktek di RSU
Rajawali Citra sebagian besar teknik utama pemasangan untuk mencegah
terjadinya plebitis sudah sama. Hal tersebut menunjukkan tingkat
pengetahuan tenaga kesehatan untuk permasalahan keterkaitan antara
pemasangan infus dan plebitis sudah baik. Tenaga kesehatan RSU
Rajawali Citra memberikan pelayanan yang maksimal.

BAB V
PENUTUP

 Kesimpulan

Infus cairan intravena adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam


tubuh melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik)
untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh
(Yuda, 2010).

Pemberian cairan intravena (Infus) yaitu memasukkan cairan atau obat


langsung ke dalam pembuluh darah vena dalam jumlah dan waktu tertentu
dengan menggunakan infus set (Potter, 2006).
1. Pengkajian data terhadap Ny. U umur 24 tahun dengan pemasangan
infus untuk dilakukan induksi persalinan.
2. Interpretasi data secara teliti dan akurat sehingga di dapat diagnose
Ny. U dengan pemasangan infus.
3. Penatalaksanaan yang di lakukan di RSU Rajawali Citra terhadap Ny.
U dengan pemasangan infus adalah menjaga privasi, memberitahukan
akan dipasang infus, melakukan pemasangan infus dan membereskan
pasien dan alat.
4. Pada kasus Ny. U saat pemasangan infus ada kesenjangan antara teori
yang ada dengan pelaksanaan di lahan. Antara lain : Teknik desinfeksi
pada teori secara sirkular dan yang ditemukan pada lahan praktek
desinfeksi secara vertikal. Kedua, pada lahan praktek memfiksasi pipa
abbocat menggunakan hansaplas kemudian di plester sedangkan di
teori memfiksasi pipa abbocat menggunakan kassa dan betadine.
Ketiga, pada teori dilakukan pemberian jam dan tanggal pemasangan
infus yang diberikan di plester/hepafix dan pada penatalaksanaan di
lahan hal tersebut dilakukan tetapi dituliskan pada pendokumentasian
di Rekam Medis pasien.

 Saran

1. Bagi Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa trampil dalam melakukan pemasangan
infus
2. Bagi Petugas Kesehatan
Untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan dengan
meningkatkan peran bidan dalam tugasnya sebagai pelaksana
pelayanan
3. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan kepustakaan bagi yang membutuhkan laporan
tentang pemasangan infus.
DAFTAR PUSTAKA
Aprillin, H. (2011). Hubungan Perawatan Infus dengan Terjadinya Flebitis pada
Pasien yang Terpasang Infus di Psukesmas Krian Sidoarjo. Jurnal Keperawatan
Volume 01 / Nomor 01 , 1-9.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
RINEKA CIPTA.
Azari, M., Safri, & Woferst, R. (2015). Gambaran Skala Nyeri Pada Anak Dengan
Menggunakan Skala Nyeri FLACC SCALE Saat Tindakan Invasif . JOM Vol 2
No 2 , 1275-1284.
Clara, L. A., Sulastri, & Susilaningsih, E. Z. (2015). Pengaruh Pemberian Glukosa
Oral 40% Terhadap Respon Nyeri Pada Bayi Yang Dilakukan Imunisasi
Pentavalen Di Puskesmas Baki Sukoharjo. Naskah Publikasi Surakarta
Universitas Muhammadiyah Surakarta , (online). URL.
http://eprints.ums.ac.id/34683/.
Gutgsell, K. J., Schluchter, M., Margevicius, S., DeGolia, P. A., McLaughlin, B.,
Harris, M., et al. (2013). Music Therapy Reduces Pain in Palliative Care Patients:
A Randomized Controlled Trial. Journal of Pain and Symptom Management Vol.
45 No. 5 , 822-831.
Hajar, A. I., & Hastuti, R. P. (2013). Pengaruh Terapi Non Farmakologis
Terhadap Respon Nyeri Anak Dengan Prosedur Infus Di RSUD HM Ryacudu
Tahun 2010. Jurnal Kesehatan, Volume IV, Nomor 2 , 381-384.
Hidayat, A. A. (2008). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data .
Jakarta: Salemba Medika.
Khasanah, N. N., & Astuti, I. I. (2017). Teknik Distraksi Guided Imagery sebagai
Alternatif Manajemen Nyeri pada Anak saat Pemasangan Infus. Jurnal Kesehatan,
Volume VIII, Nomor 3 , 326-330.
Kyle, T., & Carman, S. (2012). Buku Ajar Keperawatan Pediatri, Ed 2, Vol. 2.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Maharani, N., Susilaningsih, E. Z., Irdawati, & Nur, D. (2018). Pengaruh Terapi
Bermain Story Telling Terhadap Respon Nyeri Saat Pemasangan Infus Pada
Anak. Naskah Publikasi. Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta,
(online). URL. http://eprints.ums.ac.id/59771/.

Anda mungkin juga menyukai