Disusun Oleh :
Dian Iswari
1610104021
Disusun Oleh:
Dian iswari
1610104021
Menyetujui
Pembimbing pendidikan
Puji dan syukur saya panjatkan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta kuasa-Nya sehingga saya diberikan nikmat kesehatan
dan dapat menyelesikan Laporan Kasus Keterampilan Dasar Praktik Klinik.
Laporan kasus ini disusun sebagai syarat dalam pelaksanaan Praktik Klinik
semester ganjil dan diharapkan khususnya bagi saya dan bagi pembaca agar dapat
memahami dan mengetahui isi dan tujuan Laporan Kasus Keterampilan Dasar
Praktik Klinik ini.
Pada kesempatan ini saya ingin mengucakan banyak triama kasih kepada:
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menerapkan keterampilan dasar praktik klinik
dalam pemasangan infus.
2. Tujuan khusus
a. Mampu melakukan pemasangan infus secara benar dan aman
b. Menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit pasien
c. Memberikan pengobatan secara intravena
BAB II
TINJAUAN TEORI
C. Jenis Cairan
1. Cairan hipotonik
Osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi Ion
Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan
menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam
pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah
dari osmolaritas rendah keosmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi
sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi,
misalnya pada pasien cuci darah (dialysis) dalam terapi diuretik, juga pada
pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis
diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba
cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps
kardiovakular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada
beberapa orang.
Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%. Cairan Isotonik:
osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagiancair
dari komponen darah), sehingga terus berada di osmolaritas (tingkat
kepekatan) cairannya mendekati serum (bagiancair dari komponen darah),
sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien
yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan
darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan
cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi.
Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normalsaline/larutan
garam fisiologis (NaCl 0,9%).
2. Cairan hipertonik
Osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga
“menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh
darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin,
dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan
cairan Hipotonik.
Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-
Lactate,Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin.
(Perry & Potter, 2006)
Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:
a. Cairan Kristaloid : Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah
volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu
yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera.
Misalnya Ringer-Laktat dan garam fisiologis.
b. Cairan Koloid : Ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar
sehingga tidak akan keluar dari membrane kapiler, dan tetap berada dalam
pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari
luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan steroid (Perry &
Potter, 2006)
E. Kebutuhan Elektrolit
Elektolit terdapat pada seluruh cairan tubuh. Cairan tubuh mengandung
oksigen, nutrien, dan sisa metabolisme (seperti karbondioksida), yang
semuanya disebut dengan ion. Beberapa jemis garam dalam air akan
dipecah dalam bentuk ion elektrolit. Contohmya NaCl akan dipecah menjadi
ion Na dan CI . pecahan elektrolit tersebut merupakan ion yang dapat
menghantarkan arus listrik. Ion yang bermuatan negatif disebut anion
sedangkan ion yang bermuatan positif disebut kation. Contoh kation antara
lain natrium, kalium, kalsium, dan magnesium (Nurul, 2007).
Contoh anion antara lain klorida, bikarbonat, dan fosfat.
F. Pengaturan Elektrolit
1. Pengaturan keseimbangan natrium
Natrium merupakan kation dalam tubuh yang berfungsi dalam
pengaturan osmolaritas dan volume cairan tubuh. Natrium ini paling
banyak pada cairan ekstrasel (Uliyah, 2008).
2. Pengaturan keseimbangan kalium
Kalium merupakan kation utama yang terdapat dalam cairan intrasel
dan berfungsi mengatur keseimbangan elektrolit. Keseimbangan kalium
diatur oleh ginjal dengan mekanisme perubahan ion natrium dalam
tubulus ginjal (Uliyah, 2008).
3. Pengaturan keseimbangan kalsium
Kalsium dalam tubuh berfungsi dalam pembentukan tulang,
penghantar impuls kontraksi otot, koagulasi darah (pembekuan darah),
dan membantu beberapa enzim pankreas (Uliyah, 2008).
4. Pengaturan keseimbangan magnesium
Magnesium merupakan kation dalam tubuh yang terpenting kedua
dalam cairan intrasel. Keseimbanganya diatur oleh kelenjar paratiroid.
Magnesium diabsorpsi dari saluran pencernaan (Uliyah, 2008).
5. Pengaturan keseimbangan klorida
Klorida merupakan anion utama dalam cairan ekstrasel, tetapi
klorida dapat ditemukan pada cairan eksternal dan intrasel. Fungsi
klorida biasanya bersatu dengan natrium yaitu mempertahankan
keseimbangan tekanan osmotik dalam darah (Uliyah, 2008).
6. Pengaturan keseimbangan bikarbonat
Bikarbonat merupakan elektrolit utama dalam larutan buffer
(penyangga) dalam tubuh (Uliayh, 2008).
7. Pengaturan keseimbangan fosfat (PO4)
Fosfat bersama-sama dengan kalsium berfungsi dalam pembentukan
gigi dan tulang. Fosfat diserap dari saluran pencernaan dan dikeluarkan
melalui urine (Uliyah, 2008).
G. Cara menghitung cairan infus
Mililiter per jam : cc/jam = jumlah total cairan infus (cc)
Lama waktu penginfusan (jam)
Tetesan per menit
Jumlah total cairan infus (cc) x faktor tetesan
Lama waktu penginfusan
H. Pemasangan Infus
1. Pemberian Cairan Melalui Pemasangan Infus
Pemberian cairan melalui infus merupakan tindakan
memasukkan cairan melalui intravena yang dilakukan pada pasien
dengan bantuan perangkat infus. Tindakan ini dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit serta sebagai tindakan
pengobatan dan pemberian makanan (Dewi, 2010).
2. Tujuan Pemasangan infus
a. Sebagai akses pemberian obat.
b. Mengganti dan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
tubuh.
c. Sebagai makanan bagi pasien yang tidak dapat atau tidak boleh
makan melalui mulut (Dewi, 2010).
3. Indikasi
Pasien dehidrasi, syok, intoksikasi berat, pra dan pasca bedah,
sebelum transfusi darah, pasien yang tidak bisa atau tidak boleh makan
dan minum melalui mulut, pasien yang memerlukan pengobatan
tertentu (Dewi, 2010).
4. Kontraindikasi
a. Inflamasi (bengkak, nyeri demam) dan infeksi di lokasi pemasangan
infus.
b. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini
akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt)
pada tindakan hemodialisis (cuci darah).
c. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil
yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai
dan kaki) (Yuda, 2010).
5. Resiko Pemasangan Infus
a. Flebitis (peradangan pembuluh vena)
Tanda-tanda: hangat, merah, bengkak di daerah luka tusukan.
Penyebab: kurangnya aliran darah di sekitar abbocath, gesekan di
dalam vena.
Intervensi: ganti abbocath, gunakan kompres hangat, pemberian
analgesik anti inflamasi (Dougherty, 2010).
b. Hematoma
Yaitu darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya
pembuluh darah, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat
memasukkan jarum, atau tusukan berulang pada pembuluh darah.
Tanda-tanda: tenderness, memar. Penyebab: vena terembes,
jarum tidak pada tempatnya dan darah mengalir.
Intervensi: abbocath dipindahkan, gunakan tekanan dan kompres,
cek kembali tempat keluar darah (Dougherty, 2010).
c. Infiltrasi
Yaitu masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan
pembuluh darah) atau kebocoran cairan infus ke jaringan sekitar.
Terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah.
Tanda-tanda: kepucatan, bengkak, dingin, nyeri dan terhentinya
tetesan infus (Dougherty, 2010).
Intervensi: kaji tingkat keparahan, lepas infus,
tinggikan ekstremitas yang terpasang infus.
I. Pedoman Pemilihan Vena
1. Gunakan vena distal terlebih dahulu
2. Gunakan tangan yang tidak dominan jika mungkin
3. Pilih vena yang cukup besar untuk memungkinkan aliran darah yang
adekuat
4. Pilih lokasi yang tidak mempengaruhi prosedur atau pembedahan yang
direncanakan
5. Pastikan lokasi yang dipilih tidak mengganggu aktivitas pasien
6. Perbedaan vena dan arteri
Tabel 1. Perbedaan Vena dan Arteri
Vena Arteri
- Darah merah gelap Darah merah terang
- Aliran darah pelan Aliran darah cepat, berdenyut
- Katup-katup dititik percabangan Tidak ada katup
- Aliran kearah jantung Aliran menjauhi jantung
- Lokasi superfisial Lokasi dalam dikelilingi otot
- Banyak vena menyuplai satu area Satu arteri menyuplai satu area
7. Tipe Vena yang perlu Dihindari
a. Vena yang telah digunakan sebelumnya
b. Vena yang telah mengalami infiltrasi atau flebitis
c. Vena keras dan sklerotik
d. Vena kaki, karena sirkulasi lambat dan komplikasi sering terjadi
e. Ekstremitas yang lumpuh
f. Vena yang dekat area terinfeksi
g. Vena pada jari, karena mudah terjadi komplikasi (flebitis, infiltrasi)
dan dekat dengan persyarafan
h. Vena yang terletak di bawah vena yang terjadi flebitis dan infiltrasi
(Dougherty, 2010).
J. Pemilihan Abbocath
Pemilihan abbocath, tergantung pada vena yang digunakan.
Pemilihan abbocath juga harus mempertimbangkan kondisi pasien dan jenis
cairan yang akan diberikan. Di bawah ini adalah ukuran abbocath serta
penggunaanya:
24-22 : untuk anak-anak dan lansia
24-20 : untuk klien penyakit dalam dan post operasi
18 : untuk pasien operasi dan diberikan transfusi darah
16 : untuk pasien yang trauma dan memerlukan rehidrasi yang cepat
(Dougherty, 2010).
N. Induksi Persalinan
1. Definisi
Induksi dimaksudkan sebagai stimulasi kontraksi sebelum mulai
terjadi persalinan spontan, dengan atau tanpa rupture membrane.
Augmentasi merujuk pada stimulasi terhadap kontraksi spontan yang
dianggap tidak adekuat karena kegagalan dilatasi serviks dan penurunan
janin (Cunningham, 2013).
Induksi persalinan adalah upaya memulai persalinan dengan cara-
cara buatan sebelum atau sesudah kehamilan cukup bulan dengan jalan
merangsang timbulnya
His (Sinclair, 2010).
2. Indikasi Induksi Persalinan
Adapun indikasi induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini,
kehamilan lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis, preeklampsi
berat, hipertensi akibat kehamilan, intrauterine fetal death (IUFD) dan
pertumbuhan janin terhambat (PJT), insufisiensi plasenta, perdarahan
antepartum, dan umbilical abnormal arteri doppler (Oxford, 2013).
3. Kontraindikasi Induksi Persalinan
Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi
untuk menghindarkan persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya
yaitu: disproporsi sefalopelvik (CPD), plasenta previa, gamelli,
polihidramnion, riwayat sectio caesar klasik, malpresentasi atau kelainan
letak, gawat janin, vasa previa, hidrosefalus, dan infeksi herpes genital
aktif (Cunningham, 2013 & Winkjosastro, 2002).
4. Persyaratan Induksi Persalinan
Untuk dapat melaksanakan induksi persalinan perlu dipenuhi
beberapa kondisi/persyaratan sebagai berikut:
a. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)
b. Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah
mendatar dan menipis, hal ini dapat dinilai menggunakan tabel
skor Bishop. Jika kondisi tersebut belum terpenuhi maka kita
dapat melakukan pematangan serviks dengan menggunakan
metode farmakologis atau dengan metode mekanis
c. Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak jani
d. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga
panggul (Oxorn, 2010).
BAB III
ASUHAN KEBIDANAN SOAP
KETERAMPILAN DASAR PRAKTIK KLINIK
PEMASANGAN INFUS PADA Ny. U UMUR 24 TAHUN DENGAN
INDUKSI PERSALINAN
DI RSU RAJAWALI CITRA
A. IDENTITAS
Nama : Ny. U
Umur : 24 Tahun
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Pendidikan : SMK
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Banyakan RT 003
NO Telepon : 085763542XXX
B. TUJUAN
Untuk dilakukan Induksi persalinan pada Ny. U umur 24 tahun
C. INDIKASI
Pemasangan Infus dilakukan pada Ny. U umur 24 tahun dengan indikasi
pembukaan lama maka dilakukan pemasangan infus untuk induksi
persalinan.
D. PERSIAPAN ALAT
15. Bak instrument kecil
16. Sarung tangan
17. Pengalas
18. Bengkok
19. Torniquat
20. Hepafik/ plester
21. Kasa steril
22. Alkohol swab/ kapas alkohol 70%
23. Set infus makro
24. Cairan infus
25. Abboket
26. Gunting
27. Tiang infus
28. Betadine atau salep yodium povidin (Utami, 2015).
E. PENATALAKSANAAN
F. EVALUASI
Setelah dilakukan pemasangan infus untuk induksi persalinan pada Ny. U
umur 24 tahun dengan aturan 20 kali tetes permenit yang bertujuan untuk
menambah pembukaan atau kemajuan persalinan. Setelah itu tetap harus
dilakukan observasi pada Ny. U terkait infus yang terpasang agar tidak
terjadi pembengkakakan. Dan juga tetap dilakukan observasi terkait
tetesan pada infus tersebut.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Dari kasus diatas, pemasangan infus yang dilakukan pada pasien bertujuan
untuk memberikan obat melalui intravena. Tindakan ini dilakukan karena
untuk merangsang adanya tanda-tanda persalinan. Pemasangan infus
dilakukan pada tanggal 28 September 2018 pukul 11.00 WIB di Ruang
Bersalin. Infus dipasang pada vena di tangan kanan pasien dengan cairan
infus RL dengan tetesan 20 tetes permenit.
B. Pada saat persiapan alat dalam teori dan praktek di lapangan terdapat
kesenjangan yaitu dalam teori masih menggunakan betadien dan untuk praktek
di lapangan sudah tidak menggunakan betadine, dan untuk persiapan alat yang
lain sama antara teori dan praktek di lapangan yaitu mempersiapan alat dan
bahan berupa bak instrumen, standar infus, selang infus, cairan sesuai dengan
kebutuhan pasien, abbocat sesuai dengan ukuran, pengalas, tourniquet, alkohol
swab/ kapas alkohol 70%, plester/ hepafik, hansaplas, kassa streril dan sarung
tangan.
C. Pada saat persiapan pasien, tidak terjadi kesenjangan antara teori dan praktek
yaitu sebelum tindakan memberitahukan kepada pasien bahwa akan dilakukan
tindakan berupa pemasangan infus dan tujuan dari pemasangan infus itu
sendiri yaitu untuk memenuhi kebutuhan pasien.
D. Pada saat melakukan tindakan
1. Pada teori dan di lahan praktek tidak ada kesenjangan karena setiap
sebelum maupun sesudah melakukan suatu tindakan petugas selalu
mencuci tangan. Hal ini untuk mencegah terjadinya infeksi.
2. Menurut teori saat memfiksasi menggunakan kassa yang diberi betadine
atau salep yodium pofidim sedangkan dilahan praktek menggunakan
hansaplas kemudian ditutup dengan hepafik.
3. Saat melakukan desinfeksi pada teori dilakukan dengan cara sirkular
namun di lahan prakter terkadang masih menggunakan secara vertikal.
4. Pemberian keterangan waktu pemasangan infus, berdasarkan teori setelah
pemasangan infus selesai lalu diberikan tanggal dan jam pada hepafix yang
bertujuan untuk memantau dan mengingatkan tenaga kesehatan kapan
infus terpasang saat petuggas kesehatan melakukan observasi infus. Pada
lahan praktek pemasangan infus dituliskan pada buku rekam medis pasien
saja dan cukup membaca melalui rekam medis pasien.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
1. Bagi Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa trampil dalam melakukan pemasangan
infus
2. Bagi Petugas Kesehatan
Untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan dengan
meningkatkan peran bidan dalam tugasnya sebagai pelaksana
pelayanan
3. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan kepustakaan bagi yang membutuhkan laporan
tentang pemasangan infus.
DAFTAR PUSTAKA
Aprillin, H. (2011). Hubungan Perawatan Infus dengan Terjadinya Flebitis pada
Pasien yang Terpasang Infus di Psukesmas Krian Sidoarjo. Jurnal Keperawatan
Volume 01 / Nomor 01 , 1-9.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
RINEKA CIPTA.
Azari, M., Safri, & Woferst, R. (2015). Gambaran Skala Nyeri Pada Anak Dengan
Menggunakan Skala Nyeri FLACC SCALE Saat Tindakan Invasif . JOM Vol 2
No 2 , 1275-1284.
Clara, L. A., Sulastri, & Susilaningsih, E. Z. (2015). Pengaruh Pemberian Glukosa
Oral 40% Terhadap Respon Nyeri Pada Bayi Yang Dilakukan Imunisasi
Pentavalen Di Puskesmas Baki Sukoharjo. Naskah Publikasi Surakarta
Universitas Muhammadiyah Surakarta , (online). URL.
http://eprints.ums.ac.id/34683/.
Gutgsell, K. J., Schluchter, M., Margevicius, S., DeGolia, P. A., McLaughlin, B.,
Harris, M., et al. (2013). Music Therapy Reduces Pain in Palliative Care Patients:
A Randomized Controlled Trial. Journal of Pain and Symptom Management Vol.
45 No. 5 , 822-831.
Hajar, A. I., & Hastuti, R. P. (2013). Pengaruh Terapi Non Farmakologis
Terhadap Respon Nyeri Anak Dengan Prosedur Infus Di RSUD HM Ryacudu
Tahun 2010. Jurnal Kesehatan, Volume IV, Nomor 2 , 381-384.
Hidayat, A. A. (2008). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data .
Jakarta: Salemba Medika.
Khasanah, N. N., & Astuti, I. I. (2017). Teknik Distraksi Guided Imagery sebagai
Alternatif Manajemen Nyeri pada Anak saat Pemasangan Infus. Jurnal Kesehatan,
Volume VIII, Nomor 3 , 326-330.
Kyle, T., & Carman, S. (2012). Buku Ajar Keperawatan Pediatri, Ed 2, Vol. 2.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Maharani, N., Susilaningsih, E. Z., Irdawati, & Nur, D. (2018). Pengaruh Terapi
Bermain Story Telling Terhadap Respon Nyeri Saat Pemasangan Infus Pada
Anak. Naskah Publikasi. Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta,
(online). URL. http://eprints.ums.ac.id/59771/.