Anda di halaman 1dari 92

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN DAN


PENGGUNAAN OBAT DISPEPSIA DI KLINIK A DAERAH
BEKASI TIMUR

SKRIPSI

INTAN SURI
11161020000013

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
JAKARTA
OKTOBER 2020
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN DAN


PENGGUNAAN OBAT DISPEPSIA DI KLINIK A DAERAH
BEKASI TIMUR

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

INTAN SURI
11161020000013

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
JAKARTA
OKTOBER 2020

ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri,


dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Intan Suri


NIM : 11161020000013
Tanda Tangan :

Tanggal : 5 Oktober 2020

iii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING

Nama : Intan Suri


NIM : 11161020000013
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Gambaran Karakteristik Pasien dan Penggunaan
Obat Dispepsia Di Klinik A Daerah Bekasi Timur

Disetujui Oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. apt. Nurmeilis, M.Si. apt. Marvel , M.Farm.


NIP. 197407302005012003 NIP. 198703192018011002

Mengetahui,
Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dr. apt. Nurmeilis, M.Si.


NIP. 197407302005012000

iv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh


Nama : Intan Suri
NIM : 11161020000013
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Gambaran Karakteristik Pasien dan Penggunaan
Obat Dispepsia Di Klinik A Daerah Bekasi Timur

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi
pada Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Dr. apt. Nurmeilis, M.Si. ( )

Pembimbing II : apt. Marvel, M.Farm. ( )

Penguji I : Dr. apt. Delina Hasan, M. Kes ( )

Penguji II : apt. Suci Ahda Novitri, M.Si. ( )

Ditetapkan di : Ciputat
Tanggal : 5 Oktober 2020

v UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


ABSTRAK

Nama : Intan Suri


Program Studi : Farmasi
Judul : Gambaran Karakteristik Pasien dan Penggunaan Obat Dispepsia
Di Klinik A Daerah Bekasi Timur

Perubahan gaya hidup dan pola makan menjadi salah satu penyebab terjadinya
gangguan saluran pencernaan. Gangguan pencernaan yang paling banyak diderita
adalah dispepsia. Dalam hal ini banyak faktor risiko yang menyebabkan
terjadinya kekambuhan dispepsia. Penelitian ini dilakukan dengan metode cross
sectional dengan metode pengambilan data secara retrospektif melalui rekam
medik pasien yang bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien dan
penggunaan obat dispepsia di klinik A daerah Bekasi Timur. Pemilihan sampel
dengan menggunakan teknik total sampling dimana terdapat 200 sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian. Hasil penelitian menunjukkan
Karakteristik pasien dispepsia di Klinik A Daerah Bekasi Timur yang dominan
adalah berjenis kelamin perempuan (60%), berada pada rentang umur ≥ 56 tahun
(27,5%), tanpa ada penyakit penyerta (76,5%), jenis penyakit penyerta hipertensi
(46,42%), frekuensi kedatangan pasien 1 kali (64,5%), dan penggunaan obat
dispepsia dengan 3 kombinasi (57%). Dari hasil uji statistik dihasilkan pernyataan
bahwa jenis kelamin, umur tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan
frekuensi dispepsia (p > 0,05). Penyakit penyerta mempunyai hubungan yang
bermakna dengan frekuensi dispepsia (p < 0,05). Jenis kelamin, umur, penyakit
penyerta tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan penggunaan obat
dispepsia (p > 0,05). Frekuensi dispepsia mempunyai hubungan yang bermakna
dengan obat dispepsia (p < 0,05).

Kata Kunci : Dispepsia, penggunaan obat dispepsia, frekuensi dispepsia

vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


ABSTRACT

Name : Intan Suri


Major : Pharmacy
Title : Description of Patient Characteristics and Use of Dyspepsia
Drugs in Clinic A Region Bekasi East

Changes in lifestyle and diet are one of the causes of digestive tract disorders. The
most common digestive disorder is dyspepsia. In this case, many risk factors
cause dyspepsia recurrence. This study was conducted using cross sections
method with retrospective data collection method through patient medical records
which aims to describe patient characteristics and the use of dyspepsia drugs in
clinic A, Bekasi Timur area. The sample selection used a total sampling technique
where there were 200 samples that met the inclusion criteria in the study. The
results showed that the dominant characteristics of dyspepsia patients at Clinic A
in East Bekasi were female (60%), were in the age range ≥ 56 years (27.5%),
without any comorbidities (76.5%), type of disease. hypertension comorbidities
(46.42%), the frequency of arrival of the patient once (64.5%), and the use of
dyspepsia drugs with 3 combinations (57%). From the statistical test results, the
statement that gender, age did not have a significant relationship with the
frequency of dyspepsia (p > 0.05). Comorbidities had a significant relationship
with the frequency of dyspepsia (p < 0.05). Gender, age, comorbidities did not
have a significant relationship with the use of dyspepsia drugs (p > 0.05). The
frequency of dyspepsia has a significant relationship with dyspepsia drugs (p <
0.05).

Keywords: dyspepsia, dyspepsia drug use, dyspepsia frequency

vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


KATA PENGANTAR

ِ‫س ِم‬
ْ ‫َللا ِب‬
ِِّ ‫ن‬ِِ ‫الر ْح َم‬
ّ ِ‫الرحِ يم‬
ّ
Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur selalu terpanjatkan atas segala
nikmat, karunia, serta ilmu yang bermanfaat yang diberikan oleh Allah
Subhanahu wata’ala, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Gambaran Karakteristik pasien dan Penggunaan Obat Dispepsia Di Klinik A
Daerah Bekasi Timur. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada
junjungan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beserta keluarga,
sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir nanti semoga kita mendapat syafaat
dari beliau.
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam
memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi, Fakultas Ilmu
Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama proses penyusunan dan
penulisan laporan ini, penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud
tanpa begitu banyak bantuan dari berbagai pihak yang telah meluangkan
waktunya, mendidik dan membimbing, dan mendoakan yang terbaik kepada
penulis. Pada kesempatan kali ini, penulis menyampaikan penghargaan setinggi-
tingginya dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Kedua orang tua tercinta, Ayah Surya Trisno dan Bunda Arnaity atas doa,
kesabaran, bimbingan, dukungan moral, materi, serta kasih sayang sampai saat
ini.
2. Ibu Dr. apt. Nurmeilis, M.Si. dan Bapak apt. Marvel, M.Farm. selaku dosen
pembimbing skripsi penulis yang telah memberikan waktu, motivasi, pikiran,
dan bimbingan selama penelitian dan penyusunan skripsi.
3. Ibu Dr. apt. Zilhadia, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dr. apt. Nurmeilis, M.Si. selaku Kepala Program Studi Farmasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ibu apt. Ismiarni Komal, M.Sc., Ph.D. selaku
Sekretaris Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu dan Bapak staf pengajar dan karyawan yang telah memberikan bimbingan
dan bantuan selama saya menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


6. apt. Zahra Rusli., S.Farm dan seluruh staf Klinik A yang telah memberikan
bantuan yang bermanfaat selama melaksanakan penelitan.
7. Kedua abang tercinta yakni Ahmad Zaki Fitra dan Harits Al Ansyari atas
dukungan materi, motivasi dan selalu mendoakan penulis.
8. Tante tercinta Sri Rahyuni (Alm) yang telah memberi kasih sayang,
membantu dan memberi banyak saran dalam segala hal.
9. Kk ica yang banyak membantu, memberi saran,dan selalu mendukung penulis
selama penelitian dan penulisan skripsi.
10. Keluarga, sepupu (kk dya, ari, dedek ica, ade, alfat), kk ipar yelni yang telah
memberi semangat dan motivasi.
11. Sahabat wisurga yang telah memberi warna diperkuliahan Sari, Leli, Yanti,
Acil, Kamil, Lung, Ipeh, dan Neng yang tiada hentinya memberikan semangat
dan hiburan semasa awal hingga akhir perkuliahan.
12. Anis, Vero dan Umi atas bantuan, dukungan, dan motivasinya selama ini.
13. Teman-teman seperjuangan Mahasiswa/i S1 Farmasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta angkatan 2016.
14. Rekan-rekan anak bimbingan Ibu Numeilis: Luthfia, Bahar, Rifa, Dinkam,
Farda, Safna.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
untuk perbaikan dan penyempurnaan dari skripsi ini. Demikian skripsi ini dibuat,
dengan harapan tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis, masyarakat, dan
perkembangan ilmu pengetahuan.

Ciputat, Oktober 2020

Penulis

ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif


Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Intan Suri
NIM : 11161020000013
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Ilmu Kesehatan
Jenis Karya : Skripsi
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah
saya dengan judul

Gambaran Karakteristik Pasien dan Penggunaan Obat Dispepsia Di Klinik


A Daerah Bekasi Timur

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-undang
Hak Cipta. Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya
buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Ciputat
Pada Tanggal : 5 Oktober 2020
Yang menyatakan

(Intan Suri)

x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii


HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR BAGAN.............................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 3
1.3.1. Tujuan Umum ............................................................................... 3
1.3.2. Tujuan Khusus .............................................................................. 3
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................ 3
1.4.1. Institusi .......................................................................................... 3
1.4.2. Peneliti Lain .................................................................................. 3
1.4.3. Peneliti .......................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 4
2.1. Dispepsia ....................................................................................... 4
2.1.1. Definisi .......................................................................................... 4
2.1.2. Klasifikasi ..................................................................................... 4
2.1.3. Etiologi .......................................................................................... 5
2.1.4. Patofisiologi .................................................................................. 7
2.1.5. Gejala ............................................................................................ 9
2.2. Faktor Risiko Dispepsia .............................................................. 10
2.2.1. Internal ........................................................................................ 10
2.2.2. Ekternal ....................................................................................... 12
2.3. Tatalaksana Pengobatan Dispepsia ............................................. 16
2.3.1. Algoritma Pengobatan Dispepsia ................................................ 16
2.3.2. Terapi Farmakologi ..................................................................... 17

xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


2.3.3. Terapi Non Farmakologi ............................................................. 19
2.4. Informasi Obat Dispepsia ............................................................ 20
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ............ 26
3.1. Kerangka Konsep ........................................................................ 26
3.2. Definisi Operasional.................................................................... 27
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 28
4.1. Desain Penelitian ......................................................................... 28
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 28
4.2.1. Lokasi Penelitian ......................................................................... 28
4.2.2. Waktu Penelitian ......................................................................... 28
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian .................................................. 28
4.3.1. Populasi ....................................................................................... 28
4.3.2. Sampel ......................................................................................... 28
4.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ....................................................... 29
4.4.1. Kriteria Inklusi ............................................................................ 29
4.4.2. Kriteria Eksklusi.......................................................................... 29
4.5. Jenis Data dan Instrumen Penelitian ........................................... 29
4.6. Pengolahan dan Analisis Data ..................................................... 29
4.6.1. Pengolahan Data.......................................................................... 29
4.6.2. Analisis Data ............................................................................... 30
4.7. Alur Penelitian ............................................................................ 31
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 32
5.1. Analisis Univariat........................................................................ 32
5.1.1. Gambaran Pasien Dispepsia Berdasarkan Jenis Kelamin ........... 32
5.2. Analisis Bivariat .......................................................................... 39
BAB VI PENUTUP ............................................................................................. 46
6.1. Kesimpulan ................................................................................. 46
6.2. Saran ............................................................................................ 46
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 47
LAMPIRAN ......................................................................................................... 55

xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Definisi Operasional .........................................................................27


Tabel 5.1. Gambaran Pasien Dispepsia di Klinik A Daerah Bekasi Timur
Berdasarkan Jenis Kelamin ...............................................................32
Tabel 5.2. Gambaran Pasien Dispesia di klinik A Daerah Bekasi Timur
Berdasarkan Umur ............................................................................33
Tabel 5.3. Gambaran Pasien Dispepsia di klinik A Daerah Bekasi Timur
Berdasarkan Penyakit Penyerta ........................................................34
Tabel 5.4. Gambaran Jenis Penyakit Penyerta pada Pasien Dispepsia di
Klinik A Daerah Bekasi timur ..........................................................35
Tabel 5.5. Gambaran Penggunaan Obat Dispepsia di Klinik A Daerah
Bekasi Timur.....................................................................................36
Tabel 5.6. Gambaran Jenis Obat Dispepsia di Klinik A Daerah Bekasi
Timur ................................................................................................36
Tabel 5.7. Gambaran Frekuensi Kedatangan Pasien Dispepsia di klinik A
Daerah Bekasi Timur ........................................................................38
Tabel 5.8. Hubungan Jenis Kelamin dengan Penggunaan Obat Dispepsia ........39
Tabel 5.9. Hubungan Penyakit Penyerta dengan Penggunaan Obat
Dispepsia ..........................................................................................40
Tabel 5.10. Hubungan Umur dengan Obat Dispepsia ..........................................41
Tabel 5.11. Hubungan Jenis Kelamin dengan Frekuensi Dispepsia ....................42
Tabel 5.12. Hubungan Penyakit Penyerta dengan Frekuensi Dispepsia ..............42
Tabel 5.13. Hubungan Umur dengan Frekuensi Dispepsia ..................................44
Tabel 5.14. Hubungan Frekuensi Dispepsia dengan Penggunaan Obat
Dispepsia ...........................................................................................45

xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1. Algoritma Pengobatan Dispepsia ....................................................... 16


Bagan 3.1. Kerangka Konsep ............................................................................... 26
Bagan 4.1. Alur Penelitian.................................................................................... 31

xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Rekam Medik Pasien ...................................................................... 55


Lampiran 2. Data Pasien ..................................................................................... 57
Lampiran 3. Uji Normalitas ................................................................................ 62
Lampiran 4. Hasil SPSS : Chi-Square, Mann Whitney dan Kruskal-Wallis ....... 63

xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perubahan gaya hidup dan pola makan menjadi salah satu penyebab
terjadinya gangguan saluran pencernaan. Gangguan pencernaan yang paling
banyak diderita adalah dispepsia. Dispepsia merupakan sekumpulan gejala klinis
atau sindrom yang terdiri dari rasa perih, kembung, panas, dan rasa tidak nyaman
pada perut bagian atas (Irianto, 2015) (Talley et al., 2001). Kata dispepsia berasal
dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata ‘dys’ yang berarti buruk dan ‘peptei’
yang berarti pencernaan. Jadi dispepsia dapat diartikan sebagai pencernaan yang
buruk (Djojoningrat, 2014).
Dispepsia merupakan salah satu jenis penyakit tidak menular yang paling
umum ditemukan. WHO pada tahun 2015 menemukan bahwa, kasus dispepsia di
dunia mencapai 13 - 40% dari total populasi dalam setiap negara. Kasus dispepsia
ini apabila tidak ditangani dengan serius maka pada tahun 2020 proporsi angka
kematian akibat penyakit tidak menular akan meningkat menjadi 73% dan
proporsi angka kesakitan menjadi 60% di dunia (WHO, 2015). Peningkatan
kualitas hidup perlu dipertimbangkan karena merupakan salah satu tolak ukur dari
keberhasilan terapi dan gejala penyakit yang berhubungan dengan morbiditas dan
mortalitas (Talley et al., 2001).
Secara global terdapat sekitar 15 - 40% penderita dispepsia di dunia. Setiap
tahun sebanyak 25% dari populasi dunia mengeluhkan dispepsia. WHO pada
tahun 2010 menemukan bahwa di Amerika Serikat, Eropa, dan Oseania,
prevalensi dispepsia bervariasi antara 5% hingga 43 %, sedangkan di Asia
prevalensi dispepsia berkisar 8-30% (Purnamasari, 2017).
Wilayah Indonesia sendiri diperkirakan sekitar 15-40% populasi mengalami
dispepsia. Hampir 30% pasien dengan keluhan dispepsia mendatangi praktik
umum (Aru, 2009). Terdapat 60% pasien yang datang berobat ke praktik
gastroenterologi mengalami keluhan dispepsia (Djojoningrat, 2009). Sebuah
penelitian menyebutkan bahwa dispepsia menempati peringkat keenam keluhan
pasien rawat jalan di RS Indonesia (Simadibrata et al., 2017). Pada tahun 2014
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2

jumlah kasus dispepsia di kota Bekasi yaitu sekitar 25584 kasus, dinilai lebih
tinggi dibanding kota lainnya di Jawa Barat (Dinkes Kota Bekasi, 2014).
Berdasarkan algoritma pengobatan dari ACG and CAG, pasien yang
mengalami dispepsia dengan negatif terinfeksi H.pylori terapi lini pertama
pengobatan yang diberikan adalah obat golongan PPI (Proton Pump Inhibitor)
contohnya seperti omeprazol, lansoprazol, pantoprazol, esomeprazol. Sebagian
besar penelitian juga telah menunjukkan bahwa PPI secara signifikan lebih efektif
untuk mengobati pasien dengan gangguan dispepsia (Talley et al., 1998) (Shiau et
al., 2002).
Selain obat golongan PPI digunakan juga obat golongan lain seperti
antagonis reseptor H2, antasida, sitoprotektif, prokinetik atau kombinasi diantara
dua sampai tiga golongan obat. Berdasarkan hasil penelitian Alfiyani (2009)
tentang pola pengobatan pasien dispepsia di RSD Dr. Soebandi Jember
menunjukkan bahwa jumlah golongan obat yang paling banyak digunakan adalah
Antagonis reseptor H2 60,82%; PPI 2,17% ; kombinasi Antagonis reseptor H2 dan
PPI 23,91% (Alfiyani, 2009). Penelitian lain yang dilakukan oleh (Srikandi et al.,
2017) dari 258 pasien dispepsia menggunakan obat antasida 29,96%, lansoprazol
23,63%, omeprazol 11,64%, ranitidin oral 5,14%, sukralfat 5,14%, dan ranitin
injeksi 0,86% (Srikandi et al., 2017). Terapi dispepsia ini ditujukan untuk
mengobati, mengurangi atau meniadakan gejala sakit, menghentikan atau
memperlambat proses penyakit serta mencegah penyakit atau gejala.
Prevalensi kekambuhan dispepsia berulang berhubungan dengan berbagai
macam faktor risiko, diantaranya faktor jenis kelamin (Tiana et al., 2017), umur
(Muya et al., 2015), pekerjaan (Setyono et al., 2006), pola makan (Tiana et al.,
2017), konsumsi makanan pedas, makanan instan ataupun asam (Fithriyana,
2018), merokok (Nugroho et al., 2018), konsumsi alkohol (Mahadeva & Goh,
2006), konsumsi kafein yang tinggi (Putri et al., 2015), infeksi Helicobacter
pylori (Kim, 2016), penggunaan Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID)
(Fithriyana, 2018), hubungan psikologis (stress) (Filipović et al., 2013), dan
ketidakpatuhan pasien dalam konsumsi obat (Hemriyantton et al., 2017).
Berdasarkan penjelasan diatas dan tingginya angka kejadian dispepsia di dunia
bahkan di Indonesia, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3

gambaran karakteristik pasien dan penggunaan obat dispepsia di Klinik A Daerah


Bekasi Timur.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran karakteristik pasien dan penggunaan obat dispepsia
di Klinik A Daerah Bekasi Timur ?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Memperoleh informasi mengenai karakteristik pasien dan penggunaan
obat dispepsia di Klinik A Daerah Bekasi Timur?

1.3.2. Tujuan Khusus


1. Mengetahui karakteristik pasien yang menderita dispepsia di Klinik A
daerah Bekasi Timur.
2. Mengetahui hubungan antara karakteristik pasien dengan frekuensi
dispepsia dan penggunaan obat dispepsia di Klinik A Daerah Bekasi
Timur.
3. Mengetahui hubungan antara frekuensi dispepsia dengan penggunaan obat
dispepsia di Klinik A Daerah Bekasi Timur.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Institusi
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan referensi
serta membuka wawasan ilmiah bagi civitas akademi di program studi farmasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.4.2. Peneliti Lain


Dapat dijadikan penelitian selanjutnya mengenai gambaran karakteristik
pasien dan penggunaan obat pada dispepsia fungsional ataupun organik.

1.4.3. Peneliti
Menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai karakteristik pasien dan
penggunaan obat dispepsia di Klinik A Daerah Bekasi Timur.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dispepsia
2.1.1. Definisi
Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri
ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat kenyang, dan sendawa.
Keluhan ini sangat bervariasi, baik dalam jenis gejala maupun intensitas gejala
tersebut dari waktu ke waktu (Djojoningrat, 2007). Dispepsia sebagai suatu gejala
ataupun sindrom, dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, baik yang bersifat
organik, maupun yang fungsional.
Dispepsia adalah suatu istilah yang merujuk pada gejala abnormal di perut
bagian atas. Istilah ini biasa pula digunakan untuk menerangkan berbagai keluhan
yang dirasakan di abdomen bagian atas. Diantaranya adalah rasa nyeri ataupun
rasa terbakar di daerah epigastrium (ulu hati), perasaan penuh atau rasa bengkak
di perut bagian atas, sering sendawa, mual, ataupun rasa cepat kenyang (Herman,
2004).

2.1.2. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, sindrom dispepsia dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Dispepsia organik
Ulkus peptikum (dispepsia organik) adalah putusnya kontinuitas mukosa
lambung yang meluas sampai dibawah epitel (Lindseth, 2012). Ulkus peptikum
terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara pertahanan mukosa dan asam
lumen. Pada orang sehat, asam lambung dan pepsin tidak akan merusak mukosa
lambung karena terdapat mukus yang melapisinya. Mukus ini mensekresi
bikarbonat yang menjaga pH tetap 7 (Emmanuel & Inns, 2014). Ulkus peptikum
dapat terjadi pada bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu
distal esofagus, lambung, duodenum, setelah gastroenterostomi, jejunum, dekat
dengan di vertikulum meckel atau pada anastomosis usus halus manapun
(Lindseth, 2012) (Emmanuel & Inns, 2014). Ulkus peptikum berkaitan erat
dengan usia, riwayat ulkus peptikum dalam keluarga, indeks massa tubuh, dan
merokok (Bernersen et al., 1996).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


5

2. Dispepsia Non-organik
Dispepsia non-ulkus (dispepsia fungsional) berkaitan dengan faktor psikologis
dan kondisi sosial (Bernersen et al., 1996). Faktor lainnya yang juga mungkin
berperan adalah hipersensitivitas viseral terhadap asam atau dilatasi lambung,
gangguan akomodasi lambung, gangguan pada bagian otak yang berkaitan dengan
pencernaan, motilitas atau pengosongan lambung yang lama, diet, dan faktor gaya
hidup. Dispepsia fungsional ini dapat ditegakkan bila sarana penunjang diagnostik
tidak dapat menunjukkan adanya gangguan patologi struktural atau biokimiawi
(Djojoningrat, 2014).

2.1.3. Etiologi
Penyebab dari dispepsia adalah menurut (Djojoningrat, 2006)
1. Adanya gangguan atau penyakit dalam limen saluran cerna seperti tukak
gaster/duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.
Ulkus peptikum terjadi karena putusnya kontinuitas mukosa lambung yang
meluas sampai dibawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai
ke bawah epitel disebut sebagai erosi, walaupun sering dianggap juga sebagai
ulkus (Price & Wilson, 2006).
Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa
lambung yang bersifat akut, kronis, difus, atau lokal. Infeksi Helicobacter
pylory lebih sering dianggap sebagai penyebab gastritis akut. Organisme
tersebut melekat pada epitel lambung dan menghancurkan lapisan mukosa
pelindung, meninggalkan daerah epitel yang rata (Price & Wilson, 2006).
2. Obat-obatan: NSAID (Non Steroidal Anti-Inflammatory Drug), aspirin,
beberapa jenis antibiotik, digitalis, teofilin.
Pemakaian NSAID mempunyai efek samping terjadinya dispepsia,
gastroduodenal ulcers, dan perdarahan atau perforasi. Aspirin dan obat anti
inflamasi nonsteroid (NSAID), termasuk NSAID siklooksigenase-2-selektif
dapat menyebabkan tukak dan dispepsia (Hawkey & Langman, 2003).
3. Penyakit pada hepar, pankreas, sistem biller, hepatitis, pankreatitis,
kolesistitiskronik.
Hepatitis merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang dominan
menyerang hati. Hepatitis disebabkan oleh virus hepatitis A, virus hepatitis B,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


6

virus hepatitis C, virus hepatitis D, dan virus hepatitis E. Infeksi virus tersebut
dapat menimbulkan gejala gastrointestinal seperti malaise, anoreksia, mual,
dan muntah (Santiyoso, 2006).
Pankreatitis adalah radang pada kelenjar pankreas. Pankreatitis disebabkan
oleh alkohol dan penyakit saluran empedu. Gejala yang dirasakan yaitu nyeri
mendadak yang menjalar ke punggung dan perut yang makin tegang dan
kembung (Price & Wilson, 2006).
Dua penyakit saluran empedu yang dapat menyebabkan dispepsia adalah
pembentukan batu (kolelitiasis) dan radang kronis penyerta (kolesistitis). Batu
empedu merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu yaitu
kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak, dan
fosfolipid. Etiologi batu empedu masih belum diketahui sepenuhnya, akan
tetapi faktor predisposisi terpenting adalah gangguan metabolisme yang
menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan
infeksi kandung empedu (Price & Price, 2014).
4. Penyakit sistemik seperti: diabetes melitus, penyakit tiroid, dan penyakit
jantung koroner.
Diabetes Melitus merupakan suatu sindrom dengan terganggunya
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh
berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap
insulin (Guyton & Hall, 2008). Diabetes melitus dengan neuropati sering
menyebabkan komplikasi pengosongan lambung yang lambat, sehingga
timbul keluhan mual, muntah, perasaan cepat kenyang. Gangguan fungsi
saluran cerna merupakan masalah yang sering ditemui pada penderita diabetes
melitus, dimana hal ini bisa berkaitan dengan terjadinya disfungsi neurogenik
dari saluran cerna tersebut atau kelainan motilitas lambung yang memicu
terjadinya dispepsia (Sutadi, 2003). Berdasarkan penelitian (Hasler et al.,
2008) sekresi asam lambung akan menurun pada penderita diabetes melitus
oleh karena faktor retensi gaster, sel anti parietal antibodi dan adanya distensi
lambung.
Hipertiroid menimbulkan keluhan rasa nyeri di perut dan mual, sedangkan
hipotiroid menyebabkan timbulnya hipomotilitas lambung. Hipotiroidisme

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


7

dapat terjadi akibat pengangkatan kelenjar tiroid dan pada pengobatan


tirotoksikosis. Juga terjadi akibat infeksi kronis kelenjar tiroid dan atropi
kelenjar tiroid yang bersifat idiopatik. Jika produksi hormon tiroid tidak
adekuat maka kelenjar tiroid akan berkompensasi untuk meningkatkan
sekresinya sebagai respons terhadap rangsangan hormon TSH (Thyroid
Stimulating Hormone). Penurunan sekresi hormon kelenjar tiroid akan
menurunkan laju metabolisme basal yang akan mempengaruhi semua sistem
tubuh. Proses metabolik yang di pengaruhi seperti penurunan produksi asam
lambung (aclorhidia), penurunan motilitas usus, penurunan detak jantung,
gangguan fungsi neurologi, penurunan produksi panas (Guyton & Hall, 2008).
Gejala awal dan lokasi infark miokard berkorelasi dengan pembuluh darah
koroner yang tersumbat (Kiyici et al., 2001). Ada 3 lokasi infark antara lain
anterior, lateral, dan inferior. Nyeri dada merupakan gejala paling umum tanpa
bergantung pada lokasi infark. Infark anterior sering menimbulkan sesak nafas
karena gangguan ventrikel kiri. Infark inferior sering menimbulkan mual,
muntah, dan cegukan. Nervus vagus mempunyai peran menimbulkan mual
dan muntah pada pasien infark inferior (Braunwald et al., 2001).
5. Bersifat fungsional, yaitu : dispepsia dengan kasus yang tidak ditemukan
adanya kelainan/gangguan organik. Dikenal sebagai dispepsia fungsional
atau dispepsia non ulkus.
2.1.4. Patofisiologi
Patofisiologi dispepsia terutama dispepsia fungsional dapat terjadi karena
bermacam-macam penyebab dan mekanismenya. Patofisiologinya yang dapat
dibahas disini adalah sebagai berikut :
1. Peranan Sekresi Asam Lambung
Peningkatan sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola makan
yang tidak teratur. Pola makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit
untuk beradaptasi dalam pengeluaran sekresi asam lambung. Jika hal ini
berlangsung dalam waktu yang lama, produksi asam lambung akan berlebihan
sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung (Rani & Jacobus,
2011).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


8

2. Gangguan Motilitas Gastrointestinal


Gangguan motilitas gastrointestinal dapat dikaitkan dengan gejala dispepsia
dan merupakan faktor penyebab yang mendasari terjadinya dispepsia fungsional.
Sebuah studi meta-analisis menyelidiki dispepsia fungsional dan ganguan
pengosongan lambung, ditemukan 40% pasien dengan dispepsia fungsional
memiliki pengosongan lebih lambat 1,5 kali dari pasien normal (Chan &
Burakoff, 2010)
3. Peranan Hipersensitivitas Viseral
Hipersensitivitas viseral berperan penting dalam patofisiologi dispepsia
fungsional, terutama peningkatan sensitivitas saraf sensorik perifer dan sentral
terhadap rangsangan reseptor kimiawi dan reseptor mekanik intraluminal lambung
bagian proksimal. Hal ini dapat menimbulkan atau memperberat gejala
(Djojoningrat, 2009).
4. Gangguan Akomodasi Lambung
Akomodasi lambung dimediasi oleh serotonin dan nitrat oksida melalui saraf
vagus dari sistem saraf enterik. Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia
fungsional terjadi penurunan kemampuan relaksasi fundus posprandial pada 40%
kasus dengan pemeriksaan gastricscintigraphy dan ultrasound (USG) (Chan &
Burakoff, 2010).
5. Helicobacter pylori
Peran infeksi H.pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya
dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H.pylori terdapat sekitar 50% pada
dispepsia fungsional dan tidak berbeda pada kelompok orang sehat. Mulai
terdapat kecenderungan untuk melakukan eradikasi H.pylori pada dispepsia
fungsional dengan H.pylori positif yang gagal dengan pengobatan konservatif
baku (Djojoningrat, 2009).
6. Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas
gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga
diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu
menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan
rasa cepat kenyang (Djojoningrat, 2009).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


9

7. Peranan hormonal
Peranan hormon masih belum jelas diketahui dalam patogenesis dispepsia
fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang
menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan,
progesteron, estradiol, dan prolaktin memengaruhi kontraktilitas otot polos dan
memperlambat waktu transit gastrointestinal (Djojoningrat, 2009).
8. Diet dan faktor lingkungan
Faktor makanan dapat menjadi penyebab potensial dari gejala dispepsia
fungsional. Pasien dengan dispepsia fungsional cenderung mengubah pola makan
karena adanya intoleransi terhadap beberapa makanan khususnya makanan
berlemak yang telah dikaitkan dengan dispepsia. Intoleransi lainnya dengan
prevalensi yang dilaporkan lebih besar dari 40% termasuk rempah-rempah,
alkohol, makanan pedas, cokelat, paprika, buah jeruk, dan ikan (Chan & Burakoff,
2010)
9. Faktor psikologis
Stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetusakan
keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung
yang mendahului mual setelah stimulus stres sentral. Tetapi korelasi antara faktor
psikologi stres kehidupan, fungsi otonom dan motilitas masih kontroversial
(Djojoningrat, 2009).

2.1.5. Gejala
Kriteria diagnosa dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu
penyakit dengan satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di
gastroduodenal (Chang, 2006) :
1. Nyeri epigastrium
2. Rasa terbakar di epigastrium
3. Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
4. Rasa cepat kenyang
Kriteria dispepsia memiliki utilitas terbatas dan terbagi atas 2 kelompok
berdasarkan bukti yang tersedia, yaitu kelompok yang berhubungan dengan
makanan, dan kelompok yang berhubungan dengan nyeri (Chang, 2006). Pada
klinis, pengelompokan ini tidak dipergunakan, dan kriteria dispepsia tetap

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


10

diaplikasikan. Gejala seperti penurunan berat badan, timbulnya anemia, melena,


muntah yang prominen, merupakan petunjuk awal akan kemungkinan adanya
penyebab organik yang membutuhkan pemeriksaan penunjang diagnostik secara
lebih intensif seperti endoskopi dan sebagainya (Djojoningrat, 2007).

2.2. Faktor Risiko Dispepsia


Faktor risiko adalah karakteristik, tanda atau kumpulan gejala pada penyakit
yang diderita seseorang yang mana secara statistik berhubungan dengan
peningkatan kejadian suatu penyakit. Faktor risiko biasanya tidak menyebabkan
penyakit tetapi hanya mengubah probabilitas seseorang (atau risiko) untuk
mendapatkan penyakit. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya dispepsia
terbagi 2 kelompok, yaitu internal dan eksternal.

2.2.1. Internal
1. Jenis Kelamin
Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Andriani et al., 2019) ternyata
mayoritas responden berjenis kelamin perempuan lebih beresiko mengalami
dispepsia daripada laki-laki dengan jumlah 74.2% dan laki-laki hanya 25.8%.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
(Nugroho et al., 2018), bahwa kelompok jenis kelamin yang sering mengalami
dispepsia mayoritas adalah perempuan sebesar 71,2% dari total populasi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan (Tiana et al., 2017) pada
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wancana
Angkatan 2013, ditemukan bahwa sindroma dispepsia mayoritas diderita oleh
perempuan. Perbandingan insiden ini mencapai 2:1.
Beberapa penelitian di Amerika Serikat menunjukkan perbandingan
prevalensi penderita dispepsia wanita lebih banyak dari pada laki-laki yaitu
sebesar 4:1 (Abdeljawad et al., 2017). Penelitian yang dilakukan oleh Li
tentang gambaran dispepsia pada mahasiswa di provinsi Zhejiang, Tiongkok
juga didapatkan bahwa sindrom dispepsia fungsional lebih besar terjadi pada
perempuan yaitu 7,53% daripada laki-laki yaitu 4,14% (Li et al., 2014).
Dari hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa perempuan
mempunyai peluang yang lebih besar mengalami kejadian dispepsia
dibandingkan laki-laki. Hasil penelitian ini kembali diperkuat oleh penelitian

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


11

(Tiana et al., 2017) bahwa, terdapat hubungan yang bermakna antara jenis
kelamin dengan kejadian sindroma dispepsia.

2. Umur
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Rumbai
Pekanbaru, didapatkan hasil mayoritas umur responden yaitu 26-35 tahun
dengan jumlah 20 orang responden (38,5%) yaitu berada pada masa dewasa
akhir (Nugroho et al., 2018). Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian
Harahap (2009) yang menyatakan bahwa dispepsia banyak terjadi pada umur
25-35 tahun sebesar 50%.
Menurut (Muya et al., 2015), walaupun pada usia muda kejadian dispepsia
sangat rentan terjadi, apabila tidak ditangani dengan serius maka seiring
bertambahnya usia seseorang maka akan terus mengalami kejadian penyakit
tersebut. Pertambahan umur seseorang biasanya selalu berkaitan dengan
penurunan aktivitas olahraga rutin dan penurunan aktivitas hormonal fisiologis
seseorang sehingga sangat berhubungan dengan meningkatnya risiko kejadian
dispepsia (Muya et al., 2015).

3. Tingkat Pendidikan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Setyono et al., 2006) dispepsia
terjadi pada seseorang dengan latar belakang pendidikan rendah yaitu 61,9%.
Penelitian ini sesuai dengan Moore (1997) yang menyatakan penderita
dispepsia memerlukan pengelolaan medis dan dietetika yang perlu partisipasi
penderita, dimana penderita dengan pendidikan tinggi lebih mudah menyerap
pendidikan kesehatan.
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan (Muya et al., 2015) dispepsia
banyak diderita oleh seseorang yang tingkat pendidikannya tinggi karena ada
faktor risiko yang mempengaruhi, misalnya stres psikologis. Biasanya
penderita yang mempunyai pendidikan tinggi mempunyai pekerjaan yang
cenderung lebih berat dibandingkan penderita dengan pendidikan menengah
kebawah. Hal ini mungkin menyebabkan stres psikologis yang lebih besar
dibandingkan tingkat pendidikan yang lebih rendah.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


12

4. Pekerjaan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Nugroho et al. (2018), bahwa
mayoritas yang bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) sebesar 61,5%
mengalami dispepsia. Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian (Muya et
al., 2015) bahwa dispepsia lebih banyak dialami pada oleh ibu rumah tangga
yaitu sebanyak 23,6% dari total populasi pada penelitian.
Stres dapat terjadi karena adanya tuntutan kehidupan. Kebanyakan
pekerjaan dengan waktu sangat sempit ditambah lagi dengan tuntutan harus
serba cepat dan tepat membuat orang hidup dalam ketegangan/stres.
Berdasarkan laporan dari America Institut disebutkan bahwa stres kerja masih
menjadi perhatian, dimana 80% dari karyawan dilaporkan terjadi stres
(Seaward, 2012).
Menurut penelitian yang dilakukan (Setyono et al., 2006) dispepsia lebih
banyak terjadi pada penderita yang tidak bekerja yaitu 64,29%, sedangkan
pada penderita dengan pekerjaan PNS adalah 9,52% dan swasta adalah
26,19%. Hal ini mungkin disebabkan faktor stres yang lebih tinggi pada orang
yang tidak bekerja sehingga memicu peningkatan sekresi asam lambung.

2.2.2. Ekternal
1. Pola Makan
Pola makan yang tidak teratur menjadi pemicu terjadinya
ketidakseimbangan dalam tubuh. Kondisi ini berhubungan dengan proses
pengosongan pada lambung. Faktor yang berhubungan dengan pengisian dan
pengosongan lambung ialah jeda waktu makan, frekuensi makan, pola makan,
dan jadwal makan. Kekosongan pada lambung dapat menyebabkan erosi pada
lambung akibat gesekan antara dinding – dinding lambung. Kondisi ini
mengakibatkan peningkatan produksi asam lambung (HCl) yang akan
merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung (Susanti et al., 2011).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Andre et al., 2013)
ketidakteraturan makan seperti kebiasaan makan yang buruk, tergesa-gesa,
dan jadwal yang tidak teratur dapat menyebabkan dispepsia. Menurut
Fithriyana (2018) pola makan yang tidak teratur mempunyai risiko 21 kali
lebih banyak akan mengalami dispepsia.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


13

2. Konsumsi Kafein
Kafein dapat mengendurkan LES (Lower Esophageal Sphincter), katup
antara lambung dan tenggorokan, sehingga menyebabkan gas di lambung naik
ke kerongkongan. Minum kopi dapat merangsang lambung untuk
mengeluarkan asam lambung lebih banyak daripada jumlah normal
(Mahadeva & Goh, 2006). Penelitian yang dilakukan (Putri et al., 2015) yang
menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan minum kopi dengan kejadian
dispepsia, dalam penelitian tersebut di dapatkan 50,6% yang memiliki
kebiasaan minum kopi mengalami dispepsia.

3. Konsumsi Alkohol
Di kawasan Asia Pasifik, populasi di India dan Selandia Baru
menunjukkan hubungan yang pasti antara alkohol dan dispepsia. Alkohol
bekerja melenturkan katup LES (Lower Esophageal Sphincter), sehingga
menyebabkan refluks, atau berbaliknya asam lambung ke kerongkongan.
Alkohol juga dapat meningkatkan produksi asam lambung (Mahadeva & Goh,
2006)
Konsumsi alkohol mempunyai efek seperti kopi yang dapat meningkatkan
produksi asam lambung, produksi gas, dan malabsorbsi zat-zat gizi (Krause,
2002). (Boekema et al., 1999) menyatakan mengonsumsi alkohol
menyebabkan penurunan tekanan spingter esofagus sehingga mengakibatkan
refluks gastroesofagus dan gangguan pengosongan lambung.

4. Kebiasaan Merokok
Merokok merupakan salah satu pencetus terjadinya dispepsia, asap rokok
menyebabkan kerusakan sebagian mukosa lambung. Rokok juga dapat
menyebabkan penurunan tekanan spingter esofagus bagian bawah sehingga
menyebabkan refluk gastroesofagus dan mengganggu pengosongan lambung
(Moore, 1997).
Sebuah penelitian menemukan faktor risiko merokok terbesar terdapat
pada populasi di Amerika, Kanada, Inggris, dan India. Tar dalam asap rokok
dapat melemahkan katup LES (Lower Esophageal Sphincter), katup antara
lambung dan tenggorokan, sehingga menyebabkan gas di lambung naik
hingga kerongkongan (Mahadeva & Goh, 2006).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


14

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Irwan (2015) tentang faktor risiko
terhadap kejadian dispepsia di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten
Majalengka tahun 2015 menunjukkan bahwa faktor yang yang paling beresiko
terhadap kejadian dispepsia pada gaya hidup adalah salah satunya merokok
(Irawan, 2015).

5. Konsumsi NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs)


Sebuah penelitian pada setiap warga Amerika yang dewasa, penggunaan
NSAID sangat berhubungan kuat dengan dispepsia. Penggunaan NSAID dapat
menyebabkan kerusakan mukosa dengan cara mengiritasi langsung pada epitel
lambung dan menghambat pembentukan prostaglandin. Prostaglandin berguna
untuk mempertahankan mukosa gastrointestinal (Mahadeva & Goh, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Christensen & Kockrow (2006) di
Denmark, menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
penggunaan obat NSAID dengan kejadian dispepsia yaitu 2 kali lebih berisiko
dari orang yang tidak mengonsumsi NSAID. Penelitian lain yang dilakukan
Fithriyana menyatakan ada hubungan antara pasien yang mengonsumsi
NSAID dengan kejadian dispepsia, ialah pasien yang mengonsumsi NSAID
memiliki risiko 5 kali lebih banyak mengalami dispepsia (Fithriyana, 2018).

6. Psikologis (stress)
Stres adalah mekanisme pertahanan diri atau mekanisme koping terhadap
masalah. Stres yang berlebihan dapat memicu lambung untuk mengeluarkan
asam lambung secara berlebihan. Reaksi ini dapat mengganggu aktifitas
lambung bahkan dapat memicu kebocoran lambung. Dispepsia sering
dihubungkan dengan keadaan psikologis seseorang. Produksi asam lambung
akan meningkat pada keadaan stress, seperti beban kerja yang berlebihan,
cemas, takut atau terburu-buru.
Stres dalam kehidupan dapat menimbulkan reaksi pada tubuh. Hawari
(2001), setiap permasalah kehidupan yang menimpa pada diri seseorang
(stressor psikososial) dapat mengakibatkan gangguan fungsi/faal organ tubuh.
Stres akut dapat mempengaruhi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan
pada orang sehat (Djojoningrat, 2014).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


15

Penelitian lain yang dilakukan oleh Kusuma, Arinton, dan Paramita


terhadap pasien dispepsia rawat jalan di Klinik Penyakit Dalam RSUD Prof.
Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, menunjukkan adanya korelasi bermakna
antara skor dispepsia dengan skor kecemasan, dimana semakin tinggi skor
dispepsia, maka semakin tinggi juga skor kecemasan (Setyono et al., 2006).

7. Sosial Ekonomi
Terdapat hubungan yang kuat antara pendapatan rumah tangga yang
kurang dan anggota keluarga yang banyak dengan peningkatan gejala
dispepsia (Mahadeva & Goh, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh (Bytzer et
al., 2001) dari Department of Medicine, University of Sydney, Nepean
Hospital, Penrith, Australia terhadap 15.000 orang dewasa Australia, dia
menyimpulkan bahwa sosial ekonomi yang rendah adalah salah satu faktor
risiko terjadinya gejala gangguan saluran cema bagian atas dan bawah.
Faktor sosial ekonomi juga pernah diteliti dalam berbagai penelitian
berbasis populasi, penelitian Dr. Ossman di Amerika Serikat menemukan
hubungan yang kuat antara pendapatan rendah dengan kejadian gangguan
saluran pencernaan fungsional termasuk dispepsia fungsional. Hasil serupa
didapatkan di Cina, bahwa dispepsia fungsional berhubungan dengan
ketidakpuasan terhadap pendapatan (Kumar et al., 2012).

8. Tingkat Kepatuhan Minum Obat


Depresi dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien dalam pengobatan
terutama pada pasien dispepsia (Fransen et al., 2009). Faktor yang
menyebabkan rendahnya kepatuhan pasien adalah gangguan psikis, lamanya
pengobatan, jumlah obat yang banyak, harga obat, dan regimen obat yang
komplek (WHO, 2003). Depresi dapat memberikan pengaruh yang buruk
terhadap kehidupan pasien, seperti menurunkan kualitas hidup dan kepatuhan
pasien dalam pengobatan. Pada pasien dispepsia dengan depresi memiliki
kualitas hidup yang lebih rendah, serta dapat menyebabkan penurunan
kepatuhan pasien dalam pengobatan (Talley et al., 1995).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


16

Tatalaksana Pengobatan Dispepsia


2.2.3. Algoritma Pengobatan Dispepsia

Pasien Dispepsia Dewasa


Berusia ≥ 60 tahun Berusia < 60 tahun

Endoskopi Uji dan terapi H.


pylori

a
Patologi Organik Normal
Positif Negatif

Kelola berdasarkan Kelola berdasarkan


guideline yang relevan guideline dispepsia
fungsional H. pylori Tidak ada respon PPI
eradication

Tidak ada
Respon
Respon Respon

TCA atau
Respon
prokinetik
Berhasil

Respon
Tidak
Respon

Pertimbangan
Psikoterapi

Bagan 2.1. Algoritma Pengobatan Dispepsia

Sumber: (Moayyedi et al., 2017)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


17

2.2.4. Terapi Farmakologi


1. Antasida
Antasida merupakan obat yang paling umum dikonsumsi oleh penderita
dispepsia, merupakan suatu obat yang bekerja lokal, menetralkan asam
lambung dengan menurunkan aktivitas pepsin. Antasida umumnya merupakan
kombinasi alumunium hidroksida dan magnesium hidroksida, kombinasi dari
kedua zat ini untuk menghindari efek samping dari masing-masing zat aktif
tersebut yang mana efek laktasif dari magnesium hidroksida akan mengurangi
efek konstipasi dari alumunium hidroksida (Fugit & Berardi, 2009).
Penggunaan obat dispepsia golongan antasida dengan kandungan
alumunium dan atau magnesium banyak digunakan. Mekanisme kerja antasida
yaitu menetralisir produksi asam lambung yang berlebihan (Depkes RI, 2007).
Golongan antasida yang mengandung aluminium hidroksida yang kering bila
ditambahkan air akan membentuk larutan gel. Antasida tidak larut dalam air,
larutan gel ini melekat pada permukaan mukosa lambung membuat suatu
lapisan pelindung terhadap iritasi lambung. Kerja aluminium hidroksida
adalah menetralkan HCl secara kimiawi dan menahan asam lambung sampai
pH 4. (Anwar, 2000).

2. Antagonis Reseptor H2
Antagonis reseptor H2 mengurangi sekresi asam lambung dengan cara
berkompetisi dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor H2 pada sel
pariental lambung. Efek samping dari obat golongan ini sangat kecil dan obat
golongan ini tidak menghambat oksigenase fungsi campuran di dalam hati,
dengan demikian tidak mempengaruhi konsentrasi obat lainnya (Mycek,
2001).
Hasil dari beberapa uji klinik menunjukkan obat-obat ini dapat menjaga
gejala dengan efektif selama episode akut dan mempercepat penyembuhan
(Ghosh dan Kinnear, 2003). Simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin
adalah reseptor antagonis H2 yang merupakan produk selektif dan inhibisi
reversibel dari sekresi reseptor H2 oleh sel pariental di abdomen (Flood et al.,
2015).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


18

3. Proton Pump Inhibitor


Terapi utama yang digunakan untuk pasien dispepsia berdasarkan guideline
adalah antisekretori asam golongan PPI (proton pump inhibitor) dalam dosis
standar atau full dose (Kindiasari, 2017). Mekanisme kerja PPI adalah
memblokir kerja enzim H+, K+ ATPase yang akan memecah H+, K+ ATPase
akan menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam dari
kanalikuli serta pariental ke dalam limen lambung. Penghambat pompa proton
dimetabolisme dihati dan dieliminasi di ginjal. Dengan pengecualian penderita
disfungsi hati berat, tanpa penyesuaian dosis pada penyakit liver dan penyakit
ginjal.
PPI adalah golongan obat yang paling umum digunakan saat ini untuk
pengobatan pasien dengan penyakit refluks gastro-esofagus. Reseptor
antagonis H2 dan antasida menunjukkan efek positif pada sekitar 40% pasien
(yang berada dalam kisaran dari tingkat respon plasebo), sedangkan respon
PPI secara signifikan lebih tinggi sekitar 60%. PPI efektif terutama pada
gejala nyeri epigastrik dan rasa terbakar di dada. Pada beberapa studi
prospektif pada pasien dengan gejala dominan, PPI terbukti lebih efektif
daripada plasebo atau alternatif perawatan lainnya. Ini juga membuktikan
bahwa pada pasien dengan refluks ulser PPI memberikan respons yang lebih
baik dibandingkan dengan plasebo (Sigterman et al., 2013). Oleh karena itu,
efek positif dari PPI dapat diharapkan ketika gejala refluks mendominasi atau
setidaknya berkontribusi ke spektrum gejala dispepsia pasien (Delaney et al.,
2009). Obat-obat golongan PPI diantaranya omeprazol, lansoprazol,
esomeprazol, pantoprazol, dan rabeprazol (Flood et al., 2015) .

4. Sitoprotektif
Obat golongan ini misalnya misoprostol, sukralfat. Jenis obat golongan
sitoproteksi mekanisme kerjanya yaitu membentuk suatu kompleks yang
berbentuk gel dan mukus sukralfat menciptakan barier yang menghalangi
difusi HCl dan mencegah degradasi mukus oleh pepsin. Penggunaan sukralfat
di maksudkan untuk mencegah kekambuhan jika digunakan dalam terapi
jangka panjang (Mycek, 2001). Sukralfat sebaiknya dikonsumsi pada saat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


19

perut kosong untuk mencegah ikatan dengan protein dan fosfat (Mönkemüller
et al., 2006).
5. Prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini adalah metoklopramid (antagonis
reseptor dopamin D2), domperidon (antagonis reseptor D2 yang tidak melewati
sawar otak), dan cisaprid (agonis reseptor 5-HT4). Dalam berbagai studi
penelitian domperidon dan cisaprid mempunyai efektivitas yang baik
dibandingkan plasebo dalam mengurangi nyeri epigastrik, cepat kenyang,
distensi abdomen dan mual (Allescher et al., 2001) (Dobrilla et al., 1989).
Metoklopramid bekerja secara selektif pada sistem kolinergik traktus
gastrointestinal (efek gastropokinetik). Metoklopramid merangsang motilitas
saluran cerna bagian atas tanpa merangsang sekresi asam lambung, empedu
atau pankreas (Mönkemüller et al., 2006). Metoklopramid cukup memberi
manfaat pada dispepsia fungsional, akan tetapi karena keterbatasan studinya
dan memberikan efek samping ekstrapiramidal (Allescher et al., 2001)
(Dobrilla et al., 1989). Cisaprid tergolong agonis reseptor 5-HT4 dan
antagonis 5-HT3, berdasarkan penelitian cisaprid memberikan tingkat
keberhasilan dua kali lipat dibandingkan plasebo. Bekerja pada pengosongan
lambung dan disritmia lambung. Akan tetapi memiliki efek samping yaitu
pada aritmia jantung, terutama perpanjangan masa QT, sehingga
penggunaannya berada dalam pengawasan (Dobrilla et al., 1989).
Berdasarkan hasil studi menunjukkan potensi prokinetik adalah untuk
penggunaan jangka pendek, dan efektifitas jangka panjang prokinetik tidak
terbukti. Agen prokinetik yang telah dipelajari termasuk metokrolamid,
domperidon, cisaprid, eritromisin, dan tegaserod (Moayyedi et al., 2006).

2.2.5. Terapi Non Farmakologi


Pasien perlu diberi penjelasan untuk dapat mengenal dan menghindari
keadaan yang potensial mencetuskan serangan dispepsia. Menghilangkan
kebiasaan-kebiasaan tidak sehat seperti makan tidak teratur, merokok,
mengonsumsi alkohol, mengonsumsi minuman berkarbonasi, makanan berlemak,
pedas, asam dan yang menimbulkan gas di lambung.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


20

Jika memungkinkan obat-obatan penghilang nyeri dan golongan NSAID


yang dapat memicu terjadinya dispepsia diganti dengan obat-obatan yang lain.
Berat badan perlu dikontrol agar tetap ideal, karena gangguan di saluran
pencernaan seperti rasa nyeri di lambung dan konstipasi lebih umum terjadi pada
orang yang mengalami obesitas. Rajin olahraga dan mampu memanajemen stes
juga akan menurunkan risiko dispepsia (Redaksi, 2013).

2.3. Informasi Obat Dispepsia


Bertikut adalah informasi obat dispepsia yang sering diresepkan oleh
dokter di Klinik A Daerah Bekasi Timur :
1. Omeprazol
Komposisi:
Tiap Kapsul Mengandung omeprazol 20 mg.
Farmakologi:
Omeprazol merupakan obat anti ulkus golongan penghambat pompa proton.
Farmakodinamik dari obat golongan PPI adalah suatu prodrug yang
membutuhkan suasana asam untuk aktivitasnya. Produksi asam lambung
terhenti 80%-95%, setelah penghambatan pompa proton. Penghambatan
berlangsung cukup lama antara 24-48 jam dan dapat menurunkan sekresi asam
lambung basal atau akibat stimulasi, lepas dari jenis perangsangannya
histamin, asetilkolin atau gastrin (Katzung et al., 2014).
Indikasi:
Tukak lambung, tukak duodenum, sindrom Zollinger-Ellison, refluks
gastroesofagus, dispepsia dengan dosis 10-20 mg sehari selama 2-4 minggu
sesuai respon
Efek Samping:
Efek samping yang umum terjadi konstipasi, diare, mual, sakit kepala dan ruam
kulit.
Peringatan dan Perhatian:
Tidak diperlukan penyesuaian dosis pada lansia. Jangan diberikan pada wanita
hamil dan menyusui

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


21

Interaksi Obat:
PPI dapat mempengaruhi eliminasi beberapa obat yang mempunyai jalur
metabolisme yang sama dengannya antara lain warfarin, diazepam dan
siklosporin. Obat yang dimetabolisme melalui sistem sitokrom P450 (Katzung
et al., 2014).
2. Simetidin dan Ranitidin
Komposisi:
Tiap tablet salut ranitidin mengandung 150 mg
Farmakologi:
Simetidin dan ranitidin bekerja dengan menghambat reseptor H2 secara selektif
dan reversibel. Simetidin dan ranitidin dapat menghambat sekresi asam
lambung akibat perangsangan obat muskarinik, stimulasi vagus, atau gastrin.
Simetidin dan ranitidin juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan
lambung. Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa, dan
memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal dan penyakit hati.
(Katzung et al., 2014).
Indikasi:
Efektif untuk mengatasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat
penyembuhannya. Karena terapi pemeliharaan untuk mencegah kekambuhan
hanya membutuhkan dosis setengahnya dan diberikan satu kali sehari. Dosis
penggunaan ranitidin adalah 150 mg 2 kali/hari selama 4-8 minggu
(Kemenkes RI, 2012).
Efek Samping:
Efek samping kedua obat ini rendah, antara lain nyeri kepala, pusing, malaise,
mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido dan
impoten.
Peringatan dan Perhatian:
Ekskresi antagonis reseptor H2 terutama melalui ginjal maka pada pasien
gangguan fungsi ginjal dosis perlu dikurangi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


22

Interaksi Obat:
1. Terjadi interaksi yang mungkin tidak bermakna secara klinis antara
simetidin oral dengan antasida dan metoklopramid akan tetapi dianjurkan
beri selang waktu minimal 1 jam antara penggunaan obat tersebut.
2. Obat yang metabolismenya dipengaruhi simetidin antara lain warfarin,
fenitoin, kafein, teofilin, fenobarbital, karbamazepin, diazepam,
propranolol, metoprolol dan imipramin. Nifedipin, warfarin, teofilin dan
metoprolol dilaporkan berinteraksi dengan ranitidin. Obat-obat ini
diberikan dengan selang waktu minimal 1 jam.
3. Penggunaan ranitidin bersama antasida atau antikolinergik sebaiknya
diberikan dengan selang waktu 1 jam (Katzung et al., 2014)
3. Antasida
Komposisi:
Tiap tablet antasida (Aluminium Hidroksida 200 mg dan Magnesium
Hidroksida 200 mg).
Farmakologi:
Kombinasi Aluminium Hidroksida dan Magnesium hidroksida merupakan
antasida yang bekerja menetralkan asam lambung dan menginaktifkan pepsin
sehingga rasa nyeri ulu hati akibat iritasi oleh asam lambung dan pepsin
berkurang. Di samping itu efek laksatif dari Magnesium hidroksida akan
mengurangi efek konstipasi dari Aluminium Hidroksida
Indikasi:
Indikasi antasida untuk mengurangi gejala-gejala yang berhubungan dengan
kelebihan asam lambung, gastritis, tukak lambung, tukak usus 12 jari, dengan
gejala-gejala seperti nyeri lambung, nyeri ulu hati.
Dosis antasida 1-2 tab sehari 3-4 kali dikunyah dahulu. Semua dosis diminum
1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan dan menjelang tidur.
Efek Samping:
Efek Samping dari antasida adalah konstipasi, diare, mual dan muntah, reaksi
alergi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


23

Peringatan dan Perhatian:


1. Antasida jangan diberikan pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal
berat, karena dapat menimbulkan hipermagnesemia.
2. Tidak dianjurkan penggunaan terus-menerus (> 2 minggu) kecuali atas
petunjuk dokter.
Interaksi Obat:
Interaksi antasida jika pemberian bersama simetidin atau tetrasiklin dapat
mempengaruhi absorpsi obat, berikan dengan selang waktu 1-2 jam
(Kemenkes RI, 2012).
4. Sukralfat
Komposisi:
Tiap botol mengandung sukralfat suspesi 500mg/5mL
Farmakologi:
Sukralfat adalah obat antiulkus golongan sitoprotektif. Senyawa aluminium
sukrosa sulfat ini membentuk polimer mirip lem dalam suasana asam dan
terikat pada jaringan nekrotik tukak secara selektif.
Indikasi:
Dosis dewasa, untuk tukak duodenum dan tukak peptik 1 g, 4 kali sehari dalam
keadaan lambung kosong (1 jam sebelum makan), selama 4-8 minggu.
Untuk pencegahan stress ulcer diberikan 1 g, 6 kali sehari sebagai suspensi oral
(Katzung et al., 2014).
Efek Samping:
Konstipasi, diare, mual, gangguan pencernaan, gangguan lambung, mulut
kering, ruam, gatal-gatal, nyeri punggung, pusing, sakit kepala, vertigo,
mengantuk.
Peringatan dan Perhatian:
Karena sukralfat mengandung aluminium, penggunaannya pada pasien gagal
ginjal harus hati-hati. Kehamilan dan menyususi (Katzung et al., 2014).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


24

Interaksi Obat:
1. Sukralfat dapat mengganggu absorpsi tetrasiklin, warfarin, fenitoin dan
digoksin, sehingga dianjurkan untuk diberikan dengan interval 2 jam.
2. Sukralfat menurunkan bioavailabilitas siprofloksasin dan norfloksasin,
sehingga untuk menghindari kegagalan pengobatan dengan antibiotika ini,
jangan diberikan secara bersamaan.
3. Pemberian antasida untuk mengurangi nyeri dapat diberikan dengan
interval 1 jam setelah sukralfat.
5. Domperidon
Komposisi:
Tiap tab salut selaput mengandung domperidon 10 mg.
Farmakologi:
Domperidon merupakan derivat benzimidazol, seperti metoklopramid bekerja
sebagai antagonis spesifik dopamin yang menstimulasi peristaltik pada saluran
cerna, mempercepat waktu pengosongan lambung, dan meningkatkan tonus
sfingter esofagus bagian bawah.
Indikasi:
Indikasi domperidon adalah meringankan mual dan muntah yang disebabkan
oleh dispepsia, terapi kanker atau obat lain. Dosis mual dan muntah untuk
dewasa dan usia lanjut 10-20 mg tiap 4-8 jam, dispepsia fungsional 10-20 mg 3
kali/hari. Maksimal pengobatan selama 2 minggu. Berikan 15-30 menit
sebelum makan dan sebelum tidur.
Kontraindikasi:
Domperidon kontraindikasi dengan pasien dengan perdarahan GI, obstruksi
atau perforasi mekanik, anak-anak kecuali pada mual dan muntah yang
disebabkan oleh sitostatik.
Efek Samping:
Efek Samping dari domperidon jarang sedasi, reaksi distonik ekstrapiramidal,
parkinsonisme dan diskinesia tardiv, galaktore, ginekomastia, pembesaran dan
pelunakan payudara, ruam dan reaksi alergi lain.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


25

Peringatan dan Perhatian:


Domperidon tidak dianjurkan untuk gangguan ginjal dan hati, wanita menyusui
yang sengaja menggunakan obat ini untuk meningkatkan produksi ASI karena
terdapat risiko terhadap jantung yang berhubungan dengan penggunaan
domperidon, seperti aritmia, henti jantung, dan kematian mendadak (Flood et
al., 2015).
Interaksi Obat:
Aktivitas domperidon dihambat oleh obat antimuskarinik dan analgesik opioid
(Kemenkes RI, 2012).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Karakteristik Pasien Frekuensi Dispepsia


- Jenis Kelamin
- Umur
- Penyakit Penyerta
Obat Dispepsia

Bagan 3.1. Kerangka Konsep

26 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


27

3.2. Definisi Operasional


Definisi operasional dari setiap variabel penelitian ini dapat dilihat pada tabel :
Tabel 3.1. Definisi Operasional

Skala
No Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur
Ukur
1 Jenis Kondisi fisik yang Melakukan pencatatan 1. Laki-laki Nominal
Kelamin menentukan status jenis kelamin pasien dari 2. Perempuan
seseorang laki-laki rekam medik pasien,
atau perempuan kemudian dikelompokkan.

2 Umur Lamanya hidup Melakukan pencatatan 1. 17 – 25 tahun Ordinal


seseorang dilihat dari umur pasien dari data (Remaja Akhir)
tanggal lahir atau rekam medik pasien, lalu 2. 26 – 35 tahun
ulang tahun terakhir dikelompokkan dengan (Dewasa Awal)
interval tertentu. 3. 36 – 45 tahun
(Dewasa Akhir)
4. 46 – 55 tahun
(Lansia Awal)
5. ≥ 56 tahun
(Lansia Akhir-
Manula)
(Depkes,2009)

4 Obat Pada penelitian ini Melakukan pencatatan 1. Tunggal Numerik


Dispepsia adalah jenis obat obat dispepsia dari data 2. Kombinasi 2
yang diresepkan oleh rekam medik pasien. obat
dokter di klinik. 3. Kombinasi 3
Obat tunggal atau obat
kombinasi antara
obat di bawah ini :
- Antasida
- Omeprazol
- Ranitidin
- Simetidin
- Domperidon
- Sukralfat

5 Frekuensi Frekuensi Melakukan pencatatan 1. 1 kali Numerik


dispepsia kedatangan pasien ke kedatangan pasien dari 2. 2 kali
klinik dengan data rekam medik pasien. 3. 3 kali
diagnosa dispepsia 4. 4 kali
(utama / pendukung) 5. 5 kali
6. 6 kali

6 Penyakit Keadaan klinis Melakukan pencatatan dari 1. Ada penyakit Nominal


Penyerta dimana adanya data rekam medik pasien. penyerta
penyakit lain pada 2. Tidak ada
pasien dispepsia penyakit
penyerta

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional, yaitu
pengambilan data variabel dalam waktu tertentu, untuk mengetahui gambaran
karakterisitik pasien dan penggunaan obat dispepsia di Klinik A Daerah Bekasi
Timur.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian


4.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di salah satu klinik daerah Bekasi Timur terhadap
rekam medik pasien yang memenuhi kriteria penelitian yang telah diharapkan
oleh peneliti.

4.2.2. Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2020 sampai dengan bulan Juni
2020.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian


4.3.1. Populasi
Populasi adalah seluruh subyek yang akan diteliti dan memenuhi
karakteristik yang ditentukan (Riyanto, 2010). Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh pasien dengan diagnosa dispepsia pada bulan Januari-Desember
2019 di klinik A di Bekasi Timur. Jumlah populasi berdasarkan hasil studi
pendahuluan adalah 228.

4.3.2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang digunakan sebagai subyek
penelitian. Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah total
sampling yaitu dengan mengambil semua rekam medik yang sesuai dengan
kriteria inklusi. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi untuk di evaluasi dalam
penelitian ini adalah 200 sampel.

28 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


29

4.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


4.4.1. Kriteria Inklusi
1. Pasien dengan diagnosa dispepsia (utama / pendukung)
2. Pasien yang mendapatkan pengobatan dispepsia
3. Pasien berumur ≥ 17 tahun
4.4.2. Kriteria Eksklusi
Pasien dengan rekam medik tidak lengkap (jenis kelamin, umur tidak ada)

4.5. Jenis Data dan Instrumen Penelitian


Pengumpulan data pasien dalam penelitian ini dilakukan secara
retrospektif yaitu dengan melakukan penelusuran dokumen terdahulu, yaitu rekam
medik pasien dengan diagnosa dispepsia yang berkunjung ke klinik A daerah
Bekasi Timur periode Januari-Desember 2019.
Data yang dikumpulkan meliputi:
1. Nomor rekam medik.
2. Identitas pasien (nama, jenis kelamin, dan umur).
3. Frekuensi kedatangan ke klinik dengan diagnosa dispepsia.
4. Obat dispepsia yang diresepkan dokter.
5. Data penyakit penyerta.
4.6. Pengolahan dan Analisis Data
4.6.1. Pengolahan Data
Menurut Notoatmojo (2010) pengolahan data melalui tahap-tahap sebagai
berikut :
1. Pengeditan (Editing)
Pada tahap ini peneliti melakukan proses pemeriksaan ulang terhadap
kelengkapan data yang akan diolah dan mengeluarkan data-data yang tidak
memenuhi kriteria agar memudahkan proses analisis dan data dapat diolah dengan
baik.
2. Pemberian kode (Coding)
Pada tahap ini dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam memasukkan
data yang diperoleh dari data rekam medik.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


30

3. Pemasukan Data (Entry data )


Pada tahap ini semua data yang telah disusun dimasukkan kedalam program
komputer.
4. Cleaning Data
Pada tahap ini semua data diperiksa kembali untuk melihat kemungkinan
adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan, kemudian dilakukan koreksi.
4.6.2. Analisis Data
Data yang dikumpulkan, diolah dan dianalisa dengan bantuan komputer
yang menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS (Statistical package for
the Social Sciences). Analisa data menggunakan metode analisis univariat dan
bivariat. Analisa univariat digunakan untuk menghitung frekuensi distribusi
karakteristik individu.
Analisa bivariat digunakan untuk melihat hubungan variabel bebas dan
variabel terikat menggunakan uji Chi-Square, Mann Whitney dan Krustal Walls.
Metode ini digunakan untuk mencari hubungan antara dua variabel, dimana
variabel tersebut dalam kategori nominal diskrit (Riwidikdo, 2008). Hasil yang
didapatkan dengan metode ini yaitu apabila probabilitas > 0,05 maka hipotesis
(Ho) diterima sedangkan apabila probabilitas < 0,05 maka hipotesis (Ho) ditolak.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


31

4.7. Alur Penelitian

Bagan 4.1. Alur Penelitian

Rancangan Penelitian

Persiapan (Permohonan Izin Penelitian)

Studi Pendahuluan

Pengumpulan data rekam medik pasien


Dispepsia periode Januari – Desember 2019

Seleksi Rekam Medik pasien yang memenuhi


kriteria inklusi

Pengambilan dan pencatatan rekam medik


pasien

Pengolahan dan Analisis Data

Pembuatan laporan Hasil Penelitian

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Univariat


Penelitian ini memiliki keterbatasan berupa minimnya data mengenai
variabel faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan dispepsia. Dengan adanya
keterbatasan pada rekam medik, maka analisis univariat yang dilakukan adalah
berdasarkan kelengkapan data masing-masing.

5.1.1. Gambaran Pasien Dispepsia Berdasarkan Jenis Kelamin


Tabel 5.1. Gambaran Pasien Dispepsia di Klinik A Daerah Bekasi Timur
Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin n %
Laki-laki 80 40
Perempuan 120 60
Jumlah 200 100,0

Dari tabel 5.1 dapat terlihat bahwa pasien yang berjenis kelamin laki-laki
berjumlah 80 orang (40%), sedangkan pasien perempuan lebih banyak yaitu
berjumlah 120 orang (60%).
Berdasarkan jenis kelamin didapatkan hasil bahwa jumlah pasien dispepsia
perempuan lebih banyak dibandingkan jumlah pasien laki-laki. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan (Mulandani et al., 2020),
(Andriani et al., 2019), (Nugroho et al., 2018), (Li et al., 2014). Beberapa
penelitian di Amerika Serikat menunjukkan perbandingan prevalensi penderita
dispepsia wanita lebih banyak dari pada laki-laki yaitu sebesar 4:1 (Abdeljawad et
al., 2017). Menurut teori hal ini dapat terjadi karena sekresi lambung diatur oleh
mekanisme saraf dan hormonal. Hormon ini bekerja pada kelenjar gastrik dan
menyebabkan aliran tambahan ke lambung yang sangat asam. Sekresi tersebut
berlangsung selama beberapa jam. Ada beberapa hal yang mempengaruhi kerja
hormon gastrin, salah satunya yaitu jenis kelamin. Faktor hormonal wanita lebih
reaktif dibanding laki-laki (Dewi, 2017).
Penyebab lain tingginya dispepsia pada wanita akibat dari pengaruh stres
(Jamil et al., 2016), stres akan menimbulkan kecemasan yang berkaitan dengan
pola hidup sehingga mengakibatkan perubahan respon fisiologis tubuh misalnya

32 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


33

gangguan pencernaan seperti dispepsia (Widyasari, 2012), selain itu diet yang
dilakukan oleh banyak perempuan menyebabkan pola makan tidak teratur dan
jeda waktu makan menjadi lama (Reshetnikov, 2007) (Mulandani et al., 2020).

5.1.2. Gambaran Pasien Dispepsia Berdasarkan Umur


Tabel 5.2. Gambaran Pasien Dispesia di klinik A Daerah Bekasi Timur
Berdasarkan Umur
Umur (tahun) n %
17-25 24 12
26-35 43 21,5
36-45 43 21,5
46-55 35 17,5
≥56 55 27,5
Jumlah 200 100,0

Dari tabel 5.2 dapat terlihat bahwa pasien yang berumur 17 sampai 25
tahun berjumlah 24 orang (12%), yang berumur 26 - 35 tahun berjumlah 43 orang
(21,5%), yang berumur 36 - 45 tahun berjumlah 43 orang (21,5%), yang berumur
46 - 55 tahun berjumlah 35 orang (17,5%) dan yang berumur ≥ 56 tahun
berjumlah 55 orang (27,5%).
Berdasarkan umur, didapatkan bahwa umur terbanyak pasien yang
mengalami dispepsia di Klinik A daerah Bekasi Timur adalah kelompok umur
≥ 56 tahun. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
(Hemriyantton et al., 2017). Namun hal ini berbeda dengan penelitian (Musnelina
et al., 2019) bahwa pasien yang mengalami dispepsia paling banyak pada
kelompok umur 46-55 tahun. Akan tetapi, perbedaan jumlah pasien dispepsia pada
penelitian ini tidak begitu signifikan, karena selisihnya tidak terlalu besar.
Pertambahan umur dapat meningkatkan insiden sindrom dispepsia yang
disebabkan oleh pola hidup yang tidak teratur, stres, pola makan. Selain itu
pertambahan umur seseorang biasanya selalu berkaitan dengan penurunan
aktivitas olahraga rutin dan penurunan aktivitas hormonal fisiologis seseorang
sehingga sangat berhubungan dengan meningkatnya risiko kejadian dispepsia
(Muya et al., 2015). Pada usia tua memiliki risiko lebih tinggi mengalami
gangguan lambung dibanding dengan usia muda. Hal ini menunjukkan bahwa
seiring dengan bertambahnya usia seseorang, mukosa lambung cenderung menjadi
tipis dan produksi mukus (cairan pelindung lambung) berkurang sehingga lebih

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


34

mudah mengalami iritasi pada mukosa lambung (Ariefiany et al., 2014).


Dispepsia juga berhubungan dengan penurunan fungsi gastrointestinal pada orang
dengan usia lanjut (Thomas, 2001).

5.1.3. Gambaran Pasien Dispepsia Berdasarkan Penyakit Penyerta


Tabel 5.3. Gambaran Pasien Dispepsia di klinik A Daerah Bekasi Timur
Berdasarkan Penyakit Penyerta
Penyakit Penyerta n %
Ada penyakit penyerta 47 23,5
Tidak ada penyakit penyerta 153 76,5
Jumlah 200 100,0

Dari tabel 5.3 dapat terlihat bahwa pasien yang ada penyakit penyerta
berjumlah 47 orang (23,5%), sedangkan yang tidak ada penyakit penyerta
berjumlah 153 orang (76,5%).
Dispepsia dengan penyakit penyerta dapat dipengaruhi oleh obat yang
dikonsumsi ataupun patofisiologi penyakit penyerta itu sendiri. Berdasarkan hasil
penelitian, pasien yang banyak mengalami dispepsia adalah pasien yang tidak
mempunyai penyakit penyerta. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
(Srikandi et al., 2017). Hal ini bisa disebakan karena faktor lain seperti stress
kerja. Jika dilihat dari keseluruhan kelompok umur, pasien yang berada pada
umur produktif yaitu diasumsikan < 56 tahun jumlahnya lebih banyak sebesar
145 pasien.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Abdeljawad et al., 2017)
didapatkan dispepsia sering dijumpai pada kelompok umur yang lebih muda,
prevalensi 66% pada kelompok umur dibawah 55 tahun. Penelitian lain yang
dilakukan (Jonsson et al., 1995) umur terbanyak pasien yang mengalami dispepsia
adalah 24-50 tahun dan terdapat hubungan yang signifikan antara gejala stres
pekerjaan, dukungan sosial, dan kepribadian dengan dispepsia fungsional kronik.
Berdasarkan laporan dari America Institut disebutkan bahwa stres kerja masih
menjadi perhatian, dimana 80% dari karyawan dilaporkan mengalami stres
(Seaward, 2012). Stres dalam kehidupan dapat menimbulkan reaksi pada tubuh.
Setiap permasalah kehidupan yang menimpa pada diri seseorang (stressor
psikososial) dapat mengakibatkan gangguan fungsi/faal organ tubuh (Hawari,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


35

2001). Stres akut dapat mempengaruhi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan


pada orang sehat (Djojoningrat, 2009).

5.1.4. Gambaran Jenis Penyakit Penyerta pada Pasien Dispepsia


Gambaran jenis penyakit penyerta dalam penelitian ini merupakan jenis-
jenis penyakit penyerta yang terdapat pada pasien dispepsia di Klinik A Daerah
Bekasi Timur Periode Januari – Desember 2019, dimana dalam penelitian ini
terdapat beberapa pasien dengan penyakit penyerta lebih dari satu, sehingga
jumlah penyakit penyerta dalam penelitian ini sebanyak 56 penyakit penyerta
yang tertera pada tabel 5.4
Tabel 5.4. Gambaran Jenis Penyakit Penyerta pada Pasien Dispepsia di Klinik A
Daerah Bekasi timur
Penyakit Penyerta n=56 %
Diabetes Melitus 9 16
Osteoartritis 5 8,92
Reumatoid Artritis 13 23,21
Hipertensi 26 46,42
Jantung 1 1,78
Asam Urat 2 3,57
Jumlah 56 100

Dari tabel 5.4 dapat terlihat bahwa jenis penyakit penyerta yang paling
banyak terjadi pada pasien dispepsia di klinik A daerah Bekasi timur periode
Januari-Desember 2019 adalah diabetes melitus berjumlah 9 orang (16%),
osteoartritis berjumlah 5 orang (8,92%), reumatoid artritis berjumlah 13 orang
(23,21%), hipertensi berjumlah 26 orang (46,42%), jantung berjumlah 1 orang
(1,78%) dan asam urat berjumlah 2 orang (3,57%).
Penyakit penyerta yang dialami pasien dispepsia di Klinik A daerah Bekasi
Timur adalah hipertensi, reumatoid artritis, diabetes melitus, osteoartritis, asam
urat, dan jantung. Penyakit yang disebutkan termasuk kedalam penyakit penyerta
yang dialami pasien dispepsia di RSUD Dr. Moewardi tahun 2016 berdasarkan
penelitian yang dilakukan (Farikhah, 2017). Pada penelitian ini penyakit penyerta
yang paling banyak dialami pasien dispepsia adalah hipertensi. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh (Mulandani et al., 2020). Berdasarkan
penelitian Konita & Azmi, (2014) diketahui bahwa penyakit penyerta yang paling
banyak diderita oleh pasien hipertensi rawat inap adalah dispepsia.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


36

5.1.5. Gambaran Penggunaan Obat Dispepsia


Tabel 5.5. Gambaran Penggunaan Obat Dispepsia di Klinik A Daerah Bekasi
Timur
Jenis Obat n %
Tunggal 5 2.5
Kombinasi 2 obat 81 40.5
Kombinasi 3 obat 114 57
Jumlah 200 100,0

Dari tabel 5.5 dapat terlihat penggunaan obat dispepsia yang diterima
pasien adalah obat tunggal berjumlah 5 orang (2,5%), kombinasi 2 obat berjumlah
81 orang (40,5%), dan kombinasi 3 obat berjumlah 114 orang (57%).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien lebih banyak mendapatkan
terapi kombinasi dibandingkan terapi tunggal. Variasi jumlah obat dispepsia yang
banyak digunakan adalah kombinasi 3 obat diikuti kombinasi 2 obat dan tunggal.
Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (Mulandani et al., 2020)
pada pasien rawat jalan di RSUD H.Abdul Manap Kota Jambi yang menunjukkan
bahwa kombinasi 2 obat lebih banyak digunakan pada pasien dispepsia. Variasi
1,2, atau 3 jumlah obat yang diberikan kepada pasien berbeda beda, hal ini
disebabkan karena setiap pasien mempunyai keluhan yang berbeda, frekuensi
dispepsia yang berbeda dan beberapa pasien terdiagnosa mempunyai penyakit
penyerta dengan penyakit lain.

5.1.6. Gambaran Jenis Obat Dispepsia


Tabel 5.6. Gambaran Jenis Obat Dispepsia di Klinik A Daerah Bekasi Timur
Jenis Obat n %
Omeprazol 5 2,5
Omeprazol+Domperidon 2 1
Omeprazol+Antasida 43 21,5
Ranitidin/simetidin+Omeprazol 21 10,5
Ranitidin/simetidin+Antasida 15 7,5
Omeprazol+Antasida+Sukralfat 6 3
Omeprazol+Antasida+Domperidon 5 2,5
Ranitidin/simetidin+Antasida+Sukralfat 2 1
Ranitidin/simetidin+Omeprazol+Antasida 87 43,5
Ranitidin/simetidin+Omeprazol+Domperidon 8 4
Ranitidin/simetidin+Omeprazol+Sukralfat 6 2,5
Jumlah 200 100,0

Dari tabel 5.6 dapat terlihat jenis obat dispepsia yang diresepkan dokter di
Klinik A daerah Bekasi Timur adalah omeprazol 5 pasien (2,5%), omeprazol +

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


37

domperidon 2 pasien (1%), omeprazol + antasida 43 pasien (21,5%),


ranitidin/simetidin + antasida 21 pasien (10,5%), ranitidin/simetidin + antasida 15
pasien (7,5%), omeprazol + antasida + sukralfat 6 pasien (3%), omeprazol +
antasida + domperidon 5 pasien (2,5%), ranitidin/simetidin + antasida + sukralfat
2 pasien (1%), ranitidin/simetidin + omeprazol + antasida 87 pasien (43,5%),
ranitidin/simetidin + omeprazol + domperidon 8 pasien (4%), dan
ranitidin/simetidin + omeprazol + sukralfat 6 pasien (2,5 %).
Gambaran penggunaan terapi dispepsia bertujuan untuk mengetahui obat
apa saja yang diresepkan dokter kepada pasien dispepsia di klinik A daerah
Bekasi Timur. Kombinasi obat yang paling banyak digunakan adalah
ranitidin/simetidin + omeprazol + antasida. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Aini, (2019) pada pasien dispepsia rawat inap di RSUD Aek
Kanopan Kab. Labuhanbatu Utara obat-obat yang sering diresepkan pada pasien
dispepsia adalah kombinasi obat golongan penghambat pompa proton, H2
antagonis, antasida, prokinetik, sitoprotektif, dan kombinasi antibiotik (eradikasi
H.pylori).
Terapi utama yang digunakan untuk pasien dispepsia berdasarkan
guideline adalah antisekretori asam golongan PP (proton pump inhibitor) dalam
dosis standar atau full dose (Kindiasari, 2017). Ranitidin/simetidin adalah
golongan H2 antagonis yang berfungsi untuk mengurangi produksi asam lambung,
antasida tidak mengurangi volume asam yang dikeluarkan lambung tetapi
peningkatan pH akan menurunkan aktivitas pepsin (Katzung et al., 2014).
Sukralfat merupakan jenis obat golongan sitoproteksi yang mekanisme kerjanya
membentuk suatu kompleks yang berbentuk gel dan mukus, sukralfat
menciptakan barier yang menghalangi difusi HCl dan mencegah degradasi mukus
oleh pepsin. Penggunaan sukralfat di maksudkan untuk mencegah kekambuhan
jika digunakan dalam terapi jangka panjang (Mycek, 2001).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


38

5.1.7. Gambaran Frekuensi Kedatangan Pasien Dispepsia


Tabel 5.7. Gambaran Frekuensi Kedatangan Pasien Dispepsia di klinik A Daerah
Bekasi Timur
Frekuensi Dispepsia n %
1 kali 129 64,5
2 kali 41 20,5
3 kali 19 9,5
4 kali 5 2,5
5 kali 4 2,0
6 kali 2 1
Jumlah 200 100,0

Dari tabel 5.7 dapat terlihat frekuensi pasien yang datang dengan diagnosa
dispepsia adalah 1 kali berjumlah 129 orang (64,5%), 2 kali berjumlah 41 orang
(20,5%), 3 kali berjumlah 19 orang (19%), 4 kali berjumlah 5 orang (2,5%) 5 kali
berjumlah 4 orang (2%) dan 6 kali berjumlah 2 orang (1%).
Gambaran frekuensi kedatangan pasien dispepsia di Klinik A daerah
Bekasi Timur adalah 1 hingga 6 kali. Hasil ini menunjukkan bahwa dispepsia bisa
terjadi berulang kali. Dispepsia bisa berulang jika pasien tidak menghindari faktor
risiko yang dapat menyebabkan terjadinya dispepsia kembali. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh (Kamada et al., 2013) meskipun mortalitas yang
berhubungan dengan dispepsia jarang terjadi, beban pada sistem perawatan
kesehatan cukup besar karena sifat gangguan ini yang kronis dan berulang.
Berbagai penelitian epidemiologi telah dilakukan dan ditemukan prevalensinya
bervariasi antara 15-40% orang dewasa pernah mengalami gejala dispepsia atau
kambuh (Tack et al., 2004). Berdasarkan (Babaeian et al., 2015) bahwa dispepsia
merupakan kelainan yang tidak mengancam jiwa, namun gejala yang sering
timbul seperti nyeri perut dan gangguan pencernaan membutuhkan kunjungan
medis berulang, yang akan meningkatkan biaya kesehatan dan mempengaruhi
kualitas hidup pasien.
Waktu kekambuhan penyakit bervariasi antara satu individu dengan
individu lainnya. Populasi di Negara Barat yang menderita dispepsia kronik atau
dispepsia yang berulang berkisar antara 20-37% (Talley & Vakil, 2005a; Aro et
al., 2011). Penyebab kambuhnya dispepsia dapat dipicu pola konsumsi makan,
diantaranya konsumsi alkohol yang terlalu banyak, rokok, kafein, kopi/teh,
minuman berkarbonasi, makanan berbumbu tajam, makanan tinggi garam,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


39

berlemak dan berminyak (Berdanier et al., 2008). Berdasarkan Pasaribu, (2014)


ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi lapisan lambung sehingga
menyebabkan berbagai macam gangguan pada lambung yaitu perubahan gaya
hidup yang tidak sehat, konsumsi obat-obatan, stres, infeksi H.pylori. Gaya hidup
dan kebiasaan makan yang salah akan secara langsung akan mempengaruhi organ-
organ pencernaan dan menjadi pencetus penyakit pencernaan (Susilawati et al.,
2013).

5.2. Analisis Bivariat


Pada penelitian ini, digunakan uji non parametrik dikarenakan data yang
dimiliki penulis tidak berdistribusi dengan normal. Penelitian ini adalah jenis
komparatif numerik sehingga uji non parametrik yang digunakan adalah mann
withney untuk pegujian 2 kelompok data dan kruskal-wallis untuk pengujian >2
kelompok data. Analisis data untuk frekuensi dispepsia dan penggunaan obat
dispepsia digunakan uji chi square. Jika p value < 0,05 maka ada hubungan antara
variabel sedangkan apabila p value > 0,05 maka tidak ada hubungan antara
variabel.
5.2.1. Hubungan Jenis Kelamin dengan Penggunaan Obat Dispepsia
Tabel 5.8. Hubungan Jenis Kelamin dengan Penggunaan Obat Dispepsia
Jenis Kelamin Median p value
(Minimum-Maksimum)
Laki-laki (n=80) 3,00 (1-3)
0,178
Perempuan (n=120) 3,00 (1-3)
Keterangan: p value > 0,05 artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel.
Penggunaan median (minimum-maksimum) dimaksudkan untuk mewakili ukuran rata-rata pusat
dari data tersebut. Karena data tidak terdistribusi dengan normal sehingga digunakan uji beda
median.

Dari tabel 5.8 dapat diketahui bahwa hasil uji statistik dengan
menggunakan Mann Whitney diketahui nilai p value sebesar 0,178 artinya hasil
nilai p value > 0,05 sehingga tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki
dan perempuan dalam penggunaan obat dispepsia. Dengan kata lain tidak ada
hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan obat dispepsia yang
digunakan di Klinik A daerah Bekasi Timur.
Dari hasil penelitian tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis
kelamin dengan penggunaan obat dispepsia. Hal ini karena keluhan yang
dirasakan setiap pasien berbeda dan ada beberapa pasien yang memiliki penyakit

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


40

penyerta sehingga bukan jenis kelamin yang menentukan jenis obat dispepsia
yang akan diterima pasien. Pada penelitian ini jenis obat yang sering diresepkan
dokter pada pasien laki-laki maupun perempuan adalah 3 kombinasi dan 2
kombinasi obat dispepsia. Namun, tidak ada literatur yang mendukung hasil
penelitian ini secara langsung karena hingga saat ini belum ada literatur yang
mempublikasikan mengenai hubungan antara jenis kelamin dengan penggunaan
obat dispepsia.

5.2.2. Hubungan Penyakit Penyerta dengan Penggunaan Obat Dispepsia


Tabel 5.9. Hubungan Penyakit Penyerta dengan Penggunaan Obat Dispepsia
Penyakit Penyerta Median p value
(Minimum-Maksimum)
Ada penyakit penyerta (n=47) 3,00 (1-3)
0,877
Tidak ada penyakit penyerta (n=153) 3,00 (1-3)
Keterangan: p value > 0,05 artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel.
Penggunaan median (minimum-maksimum) dimaksudkan untuk mewakili ukuran rata-rata pusat
dari data tersebut. Karena data tidak terdistribusi dengan normal sehingga digunakan uji beda
median.

Dari tabel 5.9 dapat diketahui bahwa hasil uji statistik dengan
menggunakan Mann Whitney diketahui nilai p value sebesar 0,877 artinya hasil
nilai p value > 0,05 sehingga tidak ada perbedaan yang bermakna antara pasien
yang ada penyakit penyerta dan tidak ada penyakit penyerta dalam penggunaan
obat dispepsia. Dengan kata lain tidak ada hubungan antara penyakit penyerta
dengan penggunaan obat dispepsia di klinik A daerah Bekasi Timur.
Pada penelitian ini pasien yang memiliki penyakit penyerta paling banyak
diberikan 3 kombinasi obat dispepsia. Berdasarkan penelitian (Srikandi et al.,
2017) bahwa variasi jumlah obat yang diberikan kepada pasien berbeda beda, hal
ini di sebabkan karena setiap pasien mempunyai keluhan yang berbeda dan
beberapa pasien terdiagnosa mempunyai penyakit penyerta dengan penyakit lain.
Namun, tidak ada literatur yang mendukung hasil penelitian ini secara langsung
karena hingga saat ini belum ada literatur yang mempublikasikan mengenai
hubungan antara penyakit penyerta dengan penggunaan obat dispepsia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fajar, (2013) menjelaskan
penggunaan obat PPI dapat menurunkan kadar gula darah pada pasien diabetes
melitus, dan dapat digunakaan pada pasien osteoartritis yang menggunakan obat
OAINS (obat anti inflamasi non steroid) yang merupakan faktor risiko terjadinya

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


41

peptik ulser. Penelitian lain yang dilakukan (Flood et al., (2015) menjelaskan
penggunaan antasida jangka panjang dapat menyebabkan pasien dengan hipertensi
atau penyakit jantung kemungkinan tidak dapat mentoleransi terjadinya
peningkatan sodium.

5.2.3. Hubungan Umur dengan Penggunaan Obat Dispepsia


Tabel 5.10. Hubungan Umur dengan Obat Dispepsia
No Umur n Median p value
1. 17-25 tahun 24 2,00
2. 26 – 35 tahun 43 3,00
3. 36 – 45 tahun 43 3,00 0,285
4. 46 - 55 tahun 35 3,00
5. ≥ 56 tahun 55 3,00
Keterangan: p value > 0,05 artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel.
Penggunaan median dimaksudkan untuk mewakili ukuran rata-rata pusat dari data tersebut. Karena
data tidak terdistribusi dengan normal sehingga digunakan uji beda median.

Dari tabel 5.10 dapat diketahui bahwa dari hasil uji statistik dengan
menggunakan kruskal-wallis diketahui nilai p value sebesar 0,285 artinya hasil
nilai p value > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang
bermakna antara kelompok umur dengan penggunaan obat dispepsia. Dengan kata
lain tidak ada hubungan antara kelompok umur dengan penggunaan obat dispepsia
pada pasien dispepsia di klinik A daerah Bekasi Timur.
Pada penelitian ini kelompok pasien yang paling banyak mendapatkan 2
kombinasi ataupun 3 kombinasi obat dispepsia adalah kelompok umur ≥ 56 tahun.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambahnya umur maka semakin banyak
kombinasi obat yang diberikan. Hal ini bisa disebabkan karena pasien yang sudah
lanjut usia lebih banyak mempunyai riwayat penyakit penyerta. Namun, tidak ada
literatur yang mendukung hasil penelitian ini secara langsung karena hingga saat
ini belum ada literatur yang mempublikasikan mengenai hubungan antara umur
pasien dengan penggunaan obat dispepsia.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


42

5.2.4. Hubungan Jenis Kelamin dengan Frekuensi Dispepsia


Tabel 5.11. Hubungan Jenis Kelamin dengan Frekuensi Dispepsia
Median p value
(Minimum-Maksimum)
Laki-laki (n=80) 1,00 (1-6)
0,642
Perempuan (n=120) 1,00 (1-6)
Keterangan: p value > 0,05 artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel.
Penggunaan median (minimum-maksimum) dimaksudkan untuk mewakili ukuran rata-rata pusat
dari data tersebut. Karena data tidak terdistribusi dengan normal sehingga digunakan uji beda
median.

Dari tabel 5.11 dapat diketahui bahwa hasil uji statistik dengan
menggunakan Mann Whitney diketahui nilai p value sebesar 0,642 artinya hasil
nilai p value > 0,05 sehingga tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki
dan perempuan dalam frekuensi dispepsia pasien. Dengan kata lain tidak ada
hubungan antara jenis kelamin dengan obat dispepsia di klinik A daerah Bekasi
Timur.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Muya et
al., 2015) yaitu tingkat kekambuhan tidak berhubungan dengan perbedaan jenis
kelamin. Pada penelitian ini jenis kelamin perempuan paling sering mendatangi
klinik lebih dari 1 kali untuk mengobati dispepsia yang dialami artinya sering
mengalami kekambuhan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Muya et
al., 2015) yaitu perempuan lebih sering mengalami kekambuhan dispepsia
fungsional. Hal ini karena laki-laki lebih toleran terhadap gejala pada gangguan
lambung seperti nyeri dari pada wanita.

5.2.5. Hubungan Penyakit Penyerta dengan Frekuensi Dispepsia


Tabel 5.12. Hubungan Penyakit Penyerta dengan Frekuensi Dispepsia
Median p value
(Minimum-Maksimum)
Ada penyakit penyerta (n=47) 1,00 (1-6)
0,018
Tidak ada penyakit penyerta (n=153) 1,00 (1-6)
Keterangan: p value < 0,05 artinya ada hubungan yang bermakna antara variabel. Penggunaan
median (minimum-maksimum) dimaksudkan untuk mewakili ukuran rata-rata pusat dari data
tersebut. Karena data tidak terdistribusi dengan normal sehingga digunakan uji beda median.

Dari tabel 5.12 dapat diketahui bahwa hasil uji statistik dengan
menggunakan Mann Whitney diketahui nilai p value sebesar 0,018 artinya hasil
nilai p value < 0,05 sehingga ada perbedaan yang bermakna antara pasien yang
ada penyakit penyerta dengan yang tidak ada penyakit penyerta dengan frekuensi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


43

dispepsia pasien. Dengan kata lain ada hubungan penyakit penyerta dengan
frekuensi dispepsia pasien di klinik A daerah Bekasi Timur. Namun, tidak ada
literatur yang mendukung hasil penelitian ini secara langsung karena hingga saat
ini belum ada literatur yang mempublikasikan mengenai hubungan antara
penyakit penyerta dengan frekuensi dispepsia pada pasien. Akan tetapi jika
dilihat, terjadinya dispepsia berulang dapat dipengaruhi oleh ada atau tidak
adanya penyakit penyerta. Hal ini bisa dipengaruhi oleh obat yang dikonsumsi
ataupun patofisiologi penyakit penyerta itu sendiri.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Waranugraha et al., 2010)
penggunaan OAINS (obat anti inflamasi non-steroid) sebagai terapi pengobatan
rematoid artritis ataupun osteoartritis dapat menimbulkan gastropati (lesi pada
lambung) sehingga dapat menyebabkan dispepsia dengan adanya ulkus atau tanpa
adanya ulkus. Celecoxib dan etoricoxib memiliki efek samping pada saluran
cerna, frekuensi efek samping lainnya hampir sama dengan OAINS lainnya (IRA,
2014a). Penggunaan gastroprotektif pada pasien rematoid artritis ataupun
osteoartritis ditujukan sebagai perlindungan terhadap lambung karena semua
OAINS memberikan efek samping pada gastrointestinal baik dari golongan
selektif maupun non-selektif (IRA, 2014b).
Gangguan fungsi saluran cerna merupakan masalah yang sering ditemui
pada penderita diabetes melitus, dimana hal ini bisa berkaitan dengan terjadinya
disfungsi neurogenik dari saluran cerna tersebut atau kelainan motilitas lambung
yang memicu terjadinya dispepsia (Sutadi, 2003). Berdasarkan penelitian (Hasler
et al., 2008) sekresi asam lambung akan menurun pada penderita diabetes melitus
oleh karena faktor retensi gaster, sel anti parietal antibodi dan adanya distensi
lambung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Felicia, (2014) yang menyatakan
bahwa sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 2 mengalami sindrom
dispepsia. Metformin sebagai obat antidiabetes oral pilihan pertama sering
menimbulkan reaksi obat yang merugikan yang berupa efek samping gangguan
gastrointestinal seperti diare, mual, muntah, dan perut kembung. Kejadian ini
dilaporkan sehubungan dengan penggunaan metformin tanpa disertai asupan
makanan (Bouchoucha et al., 2011).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


44

Hal ini dapat disimpulkan bahwa penyakit penyerta dapat mempengaruhi


frekuensi terjadi dispepsia berulang. Artinya pasien yang memiliki riwayat
penyakit lain baik itu dari obat atau dari patofisiologi penyakit itu sendiri dapat
menyebabkan kekambuhan dispepsia.

5.2.6. Hubungan Umur dengan Frekuensi Dispepsia


Tabel 5.13. Hubungan Umur dengan Frekuensi Dispepsia
No. Umur n Median p value
1. 17-25 tahun 24 1,00
2. 26 – 35 tahun 43 1,00
3. 36 – 45 tahun 43 1,00 0,161
4. 46 - 55 tahun 35 1,00
5. ≥ 56 tahun 55 1,00
Keterangan: p value > 0,05 artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel.
Penggunaan median dimaksudkan untuk mewakili ukuran rata-rata pusat dari data tersebut. Karena
data tidak terdistribusi dengan normal sehingga digunakan uji beda median.

Dari tabel 5.13 dapat diketahui bahwa dari hasil uji statistik dengan
menggunakan kruskal-wallis diketahui nilai p value sebesar 0,161 artinya hasil
nilai p value > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
bermakna antara kelompok umur dengan frekuensi dispepsia pasien. Dengan kata
lain tidak ada hubungan antara kelompok umur dengan frekuensi dispepsia pada
pasien di klinik A daerah Bekasi Timur.
Pada penelitian ini rentang umur yang paling sering mengalami
kekambuhan adalah umur ≥ 56 tahun. Hal ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan (Muya et al., 2015) bahwa sering terjadi kekambuhan dispepsia berada
pada kisaran umur 46-55 tahun. Kekambuhan dispepsia mungkin disebabkan oleh
beragam faktor-faktor risiko yang mempengaruhi penderita, misalnya aktivitas
olahraga efektif meningkatkan kemampuan manajemen stres, merangsang
peningkatan sistem imum terhadap H.pylory, membantu seseorang bertahan
terhadap stres, dan mereduksi rangsangan sekresi asam lambung (Mahadeva &
Goh, 2006). Belum ada literatur yang mendukung hasil penelitian ini secara
langsung karena hingga saat ini belum ada literatur yang mempublikasikan
mengenai hubungan antara umur dengan frekuensi dispepsia pada pasien.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


45

5.2.7. Hubungan Frekuensi Dispepsia dengan Penggunaan Obat Dispepsia


Tabel 5.14. Hubungan Frekuensi Dispepsia dengan Penggunaan Obat Dispepsia
Frekuensi Obat Dispepsia
Total
Dispepsia 1 dan 2 kombinasi 3 kombinasi p value
n % n % n %
1 kali 70 54,7 58 45,3 128 100,0
≥2 kali 17 23,6 55 76,4 72 100,0 0,000
Jumlah 87 43,5 113 56,5 200 100,0
Keterangan: p value < 0,05 artinya ada hubungan yang bermakna antara variabel
Dari tabel 5.14 dapat diketahui bahwa dari hasil uji statistik dengan
menggunakan chi-square diketahui nilai p value sebesar 0,000 artinya hasil nilai
p value < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan bermakna
antara frekuensi dispepsia pasien dengan penggunaan obat dispepsia. Dengan
kata lain ada hubungan antara penggunaan obat dispepsia pada pasien dengan
frekuensi dispepsia pasien di klinik A daerah Bekasi Timur.
Pada hasil penelitian ini dapat dilihat semakin sering frekuensi dispepsia
pasien, maka kecenderungan dokter akan memberikan tambahan kombinasi obat.
Artinya ada kemungkinan penggunaan obat yang diberikan kurang efektif
sehingga dokter menambahkan kombinasi obat. Berdasarkan guideline terapi
dispepsia jika pasien sudah diberikan terapi tunggal akan tetapi masih mengalami
dispepsia maka ditambahkan kombinasi dengan obat golongan lain (Moayyedi et
al., 2017). Namun, tidak ada literatur yang mendukung hasil penelitian ini secara
langsung karena hingga saat ini belum ada literatur yang mempublikasikan
mengenai hubungan antara penggunaan obat dispepsia dengan frekuensi dispepsia
pada pasien.
Keterbatasan dari penelitian ini adalah karena menggunakan desain
penelitian cross sectional yang mana pengambilan data dilakukan dalam waktu
tertentu, peneli tidak bisa memastikan apakah pasien yang datang 1 kali di tahun
2019 dengan keluhan dispepsia juga sudah pernah datang ditahun sebelumnya.
Namun dari penelitian ini disimpulkan bahwa semakin sering pasien mengalami
dispepsia maka obat yang diberikan oleh dokter akan semakin banyak.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian mengenai gambaran


karakteristik pasien dan penggunaan obat dispepsia di klinik A daerah Bekasi
Timur adalah :

1. Karakteristik pasien dispepsia di Klinik A Daerah Bekasi Timur yang


dominan adalah berjenis kelamin perempuan (60%), berada pada rentang
umur ≥ 56 tahun (27,5%), tanpa ada penyakit penyerta (76,5%), jenis
penyakit penyerta hipertensi (46,42%), frekuensi kedatangan pasien 1 kali
(64,5%), dan penggunaan obat dispepsia dengan 3 kombinasi (57%).
2. Jenis kelamin, umur, penyakit penyerta tidak mempunyai hubungan yang
bermakna dengan penggunaan obat dispepsia. Jenis kelamin, umur tidak
mempunyai hubungan yang bermakna dengan frekuensi dispepsia. Penyakit
penyerta mempunyai hubungan yang bermakna dengan frekuensi dispepsia.
3. Frekuensi dispepsia mempunyai hubungan yang bermakna dengan
penggunaan obat dispepsia.

6.2. Saran

Bagi peneliti selanjutnya disarankan mengunakan data primer yaitu seperti


kuisoner untuk mendapatkan informasi pasien yang lebih lengkap dan spesifik.
Karena pada penelitian ini hanya menggunakan rekam medik pasien sehingga
informasi yang didapatkan kurang lengkap dan spesifik.

46 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR PUSTAKA

Abdeljawad, K., Wehbeh, A., & Qayed, E. (2017). Low Prevalence of Clinically
Significant Endoscopic Findings in Outpatients with Dyspepsia.
Gastroenterology Research and Practice, 2017.
https://doi.org/10.1155/2017/3543681
Aini, N. (2019). Pola Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Rawat Inap di
RSUD Aek Kanopan Kab . Labuhanbatu Utara. Universitas Sumatera Utara.
Alfiyani, I. (2009). Pola Pengobatan Dispepsia Pada Pasien Rawat Inap Di Rsd
Soebandi Jember.
http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/26695/A
%2892%29A_1.pdf?sequence=1
Allescher, H. D., Bockenhoff, A., Knapp, G., Wienbeck, M., & Hartung, J.
(2001). Treatment of non-ulcer dyspepsia: a meta-analysis of plasebo-
controlled prospective studies. Scand. J. Gastroenterol, 36(9), 934–941.
https://doi.org/https://doi.org/10.1080/003655201750305440
Andre, Y., Machmud, R., & Murni, A, W. (2013). Hubungan Pola Makan dengan
Kejadian Depresi pada Penderita Dispepsia Fungsional. Jurnal Kesehatan
Andalas, 2(2), 73–75.
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/123
Andriani, D., Yani, J. A., Kemiri, P., Babussalam, K., Aceh, K., & Provinsi, T.
(2019). Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nurul Hasanah Kutacane. 2(1).
Anwar, J. (2000). Farmakologi dan terapi: Obat-obat saluran cerna. Hipokres.
Ariefiany, D., Hassan, A. H., Dewayani, B. M., & Yantisetiasti, A. (2014).
Analisis gambaran histopatologi gastritis kronik dengan dan tanpa bakteri
Helicobacter pylori menurut sistem Sydney. Majalah Patologi, 23(2), 20–26.
Aru W, S. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (D. Sudoyo (ed.); 5th ed.).
Interna Publishing.
Babaeian, M., Naseri, M., Kamalinejad, M., Ghaffari, F., Emadi, F., Feizi, A.,
Yekta, N. H., & Adibi, P. (2015). Herbal Remedies for Functional Dyspepsia
and Traditional Iranian Medicine Perspective. 17(11).
https://doi.org/10.5812/ircmj.20741
Berdanier, C. D., Dwyer, J., & Feldman, E. B. (2008). Handbook of Nutrition and
Food. In Handbook of Nutrition and Food (Second Edi). CRC Press.
Bernersen, B., Johnsen, R., & Straume, B. (1996). Non-ulcer dyspepsia and peptic
ulcer: The distribution in a population and their relation to risk factors. Gut,
38(6), 822–825. https://doi.org/10.1136/gut.38.6.822
Boekema, P. J., Samsom, M., Van Berge Henegouwen, G. P., & Smout, A. J. P.
M. (1999). Coffee and gastrointestinal function: Facts and fiction: A review.
Scandinavian Journal of Gastroenterology, Supplement, 33(34), 35–39.

47 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


48

https://doi.org/10.1080/003655299750025525
Bouchoucha, M., Uzzan, B., & Cohen, R. (2011). Metformin and digestive
disorders. Diabetes Metabolisb, 37(2), 90–96.
https://doi.org/10.1016/j.diabet.2010.11.002
Braunwald, E., Zipes, D., & Libby, P. (2001). Heart disease: a textbook of
cardiovascular medicine. . Philadelphia: W.B. Saunders. (6th ed).
Bytzer, P., Howell, S., Leemon, M., Young, L. J., Jones, M. P., & Talley, N. J.
(2001). Low socioeconomic class is a risk factor for upper and lower
gastrointestinal symptoms: A population based study in 15 000 Australian
adults. Gut, 49(1), 66–72. https://doi.org/10.1136/gut.49.1.66
Chan, W., & Burakoff, R. (2010). Functional (Nonulcer) dyspepsia. In
Greenberger, Norton J. Current Diagnosis & Treatment Gastroenterology,
Hepatology, & Endoscopy (pp. 203–206). Mc Graw Hill.
Chang, L. (2006). From Rome to Los Angeles -- The Rome III criteria for the
functional GI disorders. Medscape.
Christensen, & Kockrow. (2006). Adult Health Nursing (5th ed.).
MosbyCompany.
Delaney, B., Ford, A. C., Forman, D., Moayyedi, P., & Qume, M. (2009). Initial
management strategies for dyspepsia. Cochrane Database of Systematic
Reviews. https://doi.org/10.1002/14651858.cd001961.pub3
Depkes RI. (2007). Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Kompendia Obat Bebas (2nd ed.). Depkes RI.
Dewi. (2017). Hubungan pola makan Sindrom, karakteristik individu terhadap
Angkatan, dispepsia pada mahasiswa Kedokteran, 2015 dan 2016 Fakultas
Skripsi., Universitas Hasanuddin. Makassar. Universitas Hasanuddin.
Dinkes Kota Bekasi. (2014). Profil Kesehatan Kota Bekasi Tahun 2014. In Profil
Kesehatan Kota Bekasi Tahun 2014.
http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KAB_KOTA_
2014/3275_Jabar_Kota_Bekasi_2014.pdf
Djojoningrat, D. (2006). Ilmu Penyakit Dalam (D. I. P. Dalam (ed.)). Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Djojoningrat, D. (2007). Dispepsia Fungsional. Dalam: Sudoyo,dkk., Buku Ajar:
Ilmu Penyakit Dalam (4th ed., pp. 352–354). Balai Penerbit FKUI.
Djojoningrat, D. (2009). Dispepsia Fungsional dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam (5th ed.). InternaPublishing.
Djojoningrat, D. (2014). Dispepsia Fungsional. In S. B. Setiati S, Alwi I, Sudoyo
AW, Simadibrata M (Ed.), Buku ajar ilmu penyakit dalam (6th ed.). Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


49

Dobrilla, G., Comberlato, M., Steele, A., & Vallaperta, P. (1989). Drug treatment
of functional dyspepsia: A meta-analysis of randomized controlled clinical
trials. Journal of Clinical Gastroenterology, 11(2), 169–177.
https://doi.org/10.1097/00004836-198904000-00011
Emmanuel, A., & Inns, S. (2014). Lecture Notes: Gastroenterologi dan
Hepatologi. Erlangga.
Farikhah, H. N. (2017). EVALUASI INTERAKSI OBAT POTENSIAL PADA
PASIEN GASTRITIS DAN DISPEPSIA DI RAWAT INAP RSUD Dr.
MOEWARDI TAHUN 2016. UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA.
Felicia Gayle, A. (2014). Kejadian Dispepsia Pada Penderita Diabetes Melitus
Tipe 2 Yang Berkunjung Ke Poliklinik Endokrin RSUD. dr. Pirngadi Medan
Pada Bulan September Hingga November.
Filipović, B. F., Randjelovic, T., Ille, T., Markovic, O., Milovanović, B.,
Kovacevic, N., & Filipović, B. R. (2013). Anxiety, personality traits and
quality of life in functional dyspepsia‐suffering patients. European Journal
of Internal Medicine, 24(1), 83–86.
https://doi.org/10.1016/j.ejim.2012.06.017
Fithriyana, R. (2018). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Dispepsia Pada Pasien Di Wilayah Kerja Puskesmas Bangkinang Kota. 2,
43–54.
Flood, P., Rathmell, J., & Shafer, S. (2015). STOELTING’S Pharmacology and
Physiology in Anesthetic Practice (Fifth Edit). Library of Congress
Cataloging.
Fransen, G. A. J., Mesters, I., Janssen, M. J. R., Knottnerus, J. A., & Muris, J. W.
M. (2009). Which patient-related factors determine self-perceived patient
adherence to prescribed dyspepsia medication? Health Education Research,
24(5), 788–798. https://doi.org/10.1093/her/cyp014
Fugit, R. V., & Berardi, R. . (2009). Upper Gastrointestinal Disorder. In M. A.
Koda-Kimble, L. Y. Young, B. KAlldredge, R. L. Corelli, B. J. Guglielmo,
W. A. Kradjan, & Bradley R Williams (Eds.), Applied Therapeutics the
Cinical Use of Drugs (9th ed.). Annals of Internal Medicine.
https://doi.org/10.7326/0003-4819-99-4-582_4
Guyton, arthur C., & Hall, john E. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (11th
ed.). EGC.
Harahap, Y. (2009). Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap di RS Martha
Friska Medan tahun 2017. In Universitas Stuttgart. Universitas Sumatera
Utara.
Hasler, W. L., Coleski, R., Chey, W. D., Koch, K. L., Mccallum, R. W., Wo, J.
M., Kuo, B., Sitrin, M. D., Katz, L. A., Hwang, J., Semler, J. R., & Parkman,
H. P. (2008). Differences in intragastric pH in diabetic vs . idiopathic
gastroparesis : relation to degree of gastric retention. 48109, 1384–1391.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


50

https://doi.org/10.1152/ajpgi.00023.2008.
Hawari, D. (2001). Manajemen Cemas dan Depresi. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Hawkey, C. J., & Langman, M. J. S. (2003). Non-steroidal anti-inflammatory
drugs: Overall risks and management. Complementary roles for COX-2
inhibitors and proton pump inhibitors. Gut, 52(4), 600–608.
https://doi.org/10.1136/gut.52.4.600
Hemriyantton, B., Arifin, H., & Murni, A. W. (2017). Hubungan Depresi
Terhadap Tingkat Kepatuhan dan Kualitas Hidup Pasien Sindrom Dispepsia
di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 3(2), 141.
https://doi.org/10.29208/jsfk.2017.3.2.118
Herman, B. . (2004). Fisiologi Pencernaan Untuk Kedokteran. Andalas
University Press.
IRA. (2014a). Diagnosis dan Penatalakana Osteoarthritis. Perhimpunan
Rheumatologi Indonesia.
IRA. (2014b). Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid. In Perhimpunan
Rheumatologi Indonesia.
Irawan, A. T. (2015). Faktor Resiko Terhadap Kejadian Dispepsia di Instalasi
Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2015. Medisina,
1(2), 1–9.
Irianto, K. (2015). Memahami Berbagai Penyakit Penyebab, Gejala, Penularan,
Pengobatan, Pemulihan Dan Pencegahan.
Jamil, O., Sarwar, S., Hussain, Z., Fiaz, R. O., & Chaudary, R. D. (2016).
Association between functional dyspepsia and severity of depression.
Journal of the College of Physicians and Surgeons Pakistan, 26(6), 513–516.
Jonsson, H. B., Theorell, T., & Gotthard, R. (1995). Symptoms and personality in
patients with chronic functional dyspepsia. Journal of Psychosomatic
Research, 39(1), 93–10.
Kamada, T., Fujimura, Y., Gotoh, K., Imamura, H., Manabe, N., & Kusunoki, H.
(2013). A Study on the Efficacy of Proton Pump Inhibitors in Helicobacter
pylori - Negative Primary Care Patients with Dyspepsia in Japan. 7(1), 16–
22.
Katzung, B. G., Masters, S. B., & Trevor, A. J. (2014). Farmakologi Dasar &
Klinik, Vol.2 (B. I. R. S. et Al (ed.); Edisi 12). Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Kementerian Kesehatan RI. (2012). Formularium Ilmu Penyakit Dalam
(Direktorat & J. B. K. dan A. Kesehatan (eds.)). Kementerian Kesehatan RI.
Kim, S. E. (2016). Functional dyspepsia. Helicobacter Pylori, 207–218.
https://doi.org/10.1007/978-981-287-706-2_18

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


51

Kindiasari, D. (2017). Pola Penggunaan Proton Pump Inhibitor (PPI) Pada


Pasien Dispepsia. Universitas Airlangga Surabaya.
Kiyici, N., Dharmarajan, T., & Pitchumoni, C. (2001). Percutaneous endoscopic
gastrostomy in the elderly: clinical and ethical aspects. Pract Gastroenterol,
25, 12–23.
Konita, S., & Azmi, S. (2014). Artikel Penelitian Pola Tekanan Darah Pada
Lansia di Posyandu Lansia Kelurahan Padang Pasir Padang Januari 2014.
4(1), 269–273.
Krause, M. (2002). Food, Nutrition, & Diet Therapy. W.B. Saunders Company.
Kumar, A., Patel, J., & Sawant, P. (2012). Epidemiology of functional dyspepsia.
Journal of Association of Physicians of India, 60(SUPPL MAR2012), 9–12.
Li, M., Lu, B., Chu, L., Zhou, H., & Chen, M. Y. (2014). Prevalence and
characteristics of dyspepsia among college students in Zhejiang province.
World Journal of Gastroenterology, 20(13), 3649–3654.
https://doi.org/10.3748/wjg.v20.i13.3649
Lindseth, G. (2012). Gangguan Lambung Dan Duodenum. In H. H (Ed.),
Patofisilogi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit (6th ed., p. 734). EGC.
Mahadeva, S., & Goh, K. L. (2006). Epidemiology of functional dyspepsia: A
global perspective. World Journal of Gastroenterology, 12(17), 2661–2666.
https://doi.org/10.3748/wjg.v12.i17.2661
Moayyedi, P. M., Lacy, B. E., Andrews, C. N., Enns, R. A., Howden, C. W., &
Vakil, N. (2017). ACG and CAG Clinical Guideline: Management of
Dyspepsia. American Journal of Gastroenterology, 112(7), 988–1013.
https://doi.org/10.1038/ajg.2017.154
Moayyedi, P., Soo, S., Deeks, J. J., Delaney, B., Harris, A., Innes, M., Oakes, R.,
Wilson, S., Roalfe, A., Bennett, C., & Forman, D. (2006). Eradication of
Helicobacter pylori for non-ulcer dyspepsia. Cochrane Database of
Systematic Reviews.
Mönkemüller, K., Malfertheiner, P., Mönkemüller, K., & Malfertheiner, P.
(2006). Drug treatment of functional dyspepsia. 12(17), 2694–2700.
Moore, M. C. (1997). Terapi Diet dan Nutrisi. In Buku Pedoman. Hipocrates.
Mulandani, R. G., Hadriyati, A., & Rahmadevi. (2020). Pola Penggunaan Obat
Pada Pasien Dispepsia Rawat Jalan di Rsud H.Abdul Manap Kota Jambi.
9(2), 17–25. https://doi.org/10.30591/pjif.v
Musnelina, L., Gede, D., & Ar, A. (2019). Profil Kesesuaian Terapi Obat
Dispepsia Terhadap Formularium Pada Pasien Rawat Jalan Rumah Sakit Tk .
IV Cijantung Jakarta , Jakarta Timur , Periode Januari – Desember 2016.
Sainstrech Farma, 12(2), 111–117.
Muya, Y., Murni, A. W., & Herman, R. B. (2015). Karakteristik Penderita
Dispepsia Fungsional yang Mengalami Kekambuhan di Bagian Ilmu

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


52

Penyakit Dalam RSUP Dr . M . Djamil Padang, Sumatera Barat Tahun 2011.


Jurnal Kesehatan Andalas, 4(2), 490–496.
Mycek, M. J. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar (2nd ed.).
Nugroho, R., Safri, & Nurchayati, S. (2018). Gambaran Karakteristik Pasien
Dengan Sindrom Dispepsia Di Puskesmas Rumbai. JOM FKp, 5(2), 823–
830.
Price, S. A., & Price, L. M. (2014). Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit.
In Patafisiologi jilid 2 (6th ed., pp. 422–423). EGC.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi. In Konsep Klinis Proses
Proses Penyakit (6th ed., pp. 422–423). EGC.
Purnamasari, L. (2017). Faktor Risiko , Klasifikasi , dan Terapi Sindrom
Dispepsia. Continuing Medical Education, 44(12), 870–873.
Putri, R., Ernalia, Y., & Bebasari, E. (2015). Gambaran Sindroma Dispepsia
Fungsional Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau Angkatan
2014. Jom Fk, 2(2), 203.
Rani, A., & Jacobus, A. (2011). Buku Ajar Gastroenterologi. Interna Publishing.
Redaksi, T. (2013). Mengatasi Gangguan Penyakit Maag. Banyu Media.
Reshetnikov O V. (2007). Prevalence Of Dyspepsia And Irritable Bowel
Syndrome Among Adolescent Of Novosibirsk. Institute of Internal Medicine
Russia. Int. 3 Circumpolar Health, 60(2), 253.
Riwidikdo, H. (2008). Statistik Kesehatan. Mitra Cendikia Press Yogyakarta.
Riyanto, A. (2010). Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Nuha Medika.
Santiyoso, A. (2006). Hepatitis Virus Akut. In D. Sudoyo (Ed.), Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam (4th ed., pp. 427–432). Balai Penerbit FKUI.
Seaward, B. (2012). Physiology of Stress TEXTBOOK. In Managing Stress.
Jones and Bartlett.
Setyono, J., Prastowo, A., & Saryono. (2006). Karakteristik Penderita Dispepsia
Di RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto. Soedirman Journal of
Nursing, 1(1), 27–31.
Shiau JY, Shukla VK, D. C. (2002). The efficacy of proton pump inhibitors in
adults with functional dispepsia. Technology report no.22.Ottawa:Canadian
Coordinating Office for Health Technology Assessment.
Sigterman, K. E., van Pinxteren, B., Bonis, P. A., Lau, J., & Numans, M. E.
(2013). Short-term treatment with proton pump inhibitors, H2-receptor
antagonists and prokinetics for gastro-oesophageal reflux disease-like
symptoms and endoscopy negative reflux disease. Cochrane Database of
Systematic Reviews, 2013(5).
https://doi.org/10.1002/14651858.CD002095.pub5

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


53

Simadibrata, M., & Adiwinata, R. (2017). Current Issues of Gastroenterology in


Indonesia. Acta Medica Indonesiana, 49(3), 270–278.
Srikandi, N., Alwiyah, M., & Ingrid, F. (2017). Profil Penggunaan Obat Pada
Pasien Dispepsia Di RSU Anutapura Palu ( Drug Use Profile Of Dyspepsia
Patients In Anutapura General Hospital Palu ). Farmasi Gelenika, 3(2), 126–
131. https://doi.org/10.22487/j24428744.2017.v3.i2.8772
Susanti, A., Briawan, D., & Uripi, V. (2011). Faktor Risiko Dispepsia pada
Mahasiswa Institut Pertanian Bogor ( IPB ). Jurnal Kedokteran Indonesia,
2(1), 80–91.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=256968&val=6970&titl
e=Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB)
Susilawati, Palar, S., & Waleleng, B. J. (2013). Hubungan Pola Makan Dengan
Kejadian Sindroma Dispepsia Fungsional Pada Remaja Di Madrasah Aliyah
Negeri Model Manado. E-CliniC, 1(2), 1–10.
https://doi.org/10.35790/ecl.1.2.2013.3273
Sutadi, S. (2003). Gastroparesis Diabetika. Universitas Sumatra Utara.
Tack, J. A. N., Bisschops, R. A. F., & Sarnelli, G. (2004). Pathophysiology and
Treatment of Functional Dyspepsia. 1239–1255.
https://doi.org/10.1053/j.gastro.2004.05.030
Talley, N. J., Meineche-Schmidt, V., Paré, P., Duckworth, M., Räisänen, P., Pap,
A., Kordecki, H., & Schmid, V. (1998). Efficacy of omeprazole in functional
dyspepsia: Double-blind, randomized, plasebo-controlled trials (the Bond
and Opera studies). Alimentary Pharmacology and Therapeutics, 12(11),
1055–1065. https://doi.org/10.1046/j.1365-2036.1998.00410.x
Talley, N. J., Verlinden, M., & Jones, M. (2001). Quality of life in functional
dyspepsia: Responsiveness of the Nepean Dyspepsia Index and development
of a new 10-item short form. Alimentary Pharmacology and Therapeutics,
15(2), 207–216. https://doi.org/10.1046/j.1365-2036.2001.00900.x
Talley, Nicholas J., & Vakil, N. (2005). Guidelines for the management of
dyspepsia. American Journal of Gastroenterology, 100(10), 2324–2337.
https://doi.org/10.1111/j.1572-0241.2005.00225.x
Talley, Nicholas J., Weaver, A. L., & Zinsmeister, A. R. (1995). Impact of
functional dyspepsia on quality of life. Digestive Diseases and Sciences,
40(3), 584–589. https://doi.org/10.1007/BF02064375
Thomas, B. (2001). Manual of Dietetic Practice. Blackwell Science Ltd.
Tiana, A., Susanto, S., Elena, I. M., Hudyono, J., Fakultas, M., Universitas, K.,
Krida, K., Ukrida, W., & Korespondensi, A. (2017). Hubungan antara
Sindroma Dispepsia dengan Pola Makan dan Jenis Kelamin pada Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wancana Angkatan 2013.
Meditek, 23(63), 4.
Waranugraha, Y., Pratomo, B., & Suryana, B. P. (2010). Hubungan Pola

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


54

Penggunaan OAINS dengan Gejala Klinis Gastropati pada Pasien Reumatik.


26(2), 107–112.
WHO. (2003). Textbook of adherence. In World Health Organization
Publication.
WHO. (2015). Maternal Mortality. In Geneva (Ed.), Reproduction Health And
Research. World Health Organization.
Widyasari I. (2012). Hubungan antara Kecemasan dan Tipe Kepribadian
Introvert dengan Dispepsia Fungsional. Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


LAMPIRAN

Lampiran 1. Rekam Medik Pasien

55 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


56

Lanjutan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


57

Lampiran 2. Data Pasien

Kode Frekuensi Penyakit


Jenis Obat Yang Digunakan
pasien Dispepsia Penyerta
1 ome(2x1+antasida(2x1)+sukra(1x1sdm) 2
2 ome(2x1)+antasida(2x1)+sukra(1x1sdm) 4
3 ome(2x1)+antasida(2x1)+sukra(1x1sdm) 3
4 ome(2x1)+antasida(2x1)+sukra(1x1sdm) 4 DM,OA
5 rani/sime(2x1)+antasida(2x1)+sukra(1x1sdm) 5
6 ome(2x1)+antasida(2x1)+sukra(1x1sdm) 6
7 rani/sime(2x1)+antasida(2x1)+ome(2x1) 5
8 rani/sime(2x1)+ome (2x1)+antasida(2x1) 2
9 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+domperidon(2x1) 3
10 rani/sime(2x1)+ome (2x1)+antasida(2x1) 2
11 rani/sime(2x1)+ome (2x1)+antasida(2x1) 2
12 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 3 hipertensi
13 rani/sime(2x1)+ome (2x1)+antasida(2x1) 2
14 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 4 hipertensi
15 ome(2x1)+antasida(2x1)+domperidon(2x1) 3
16 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2
17 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2 hipertensi
18 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+sukra(2x1sdm) 2
19 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 3
20 ome(2x1)+antasida(2x1)+domperidon(2x1) 3
21 ome(2x1)+antasida(2x1)+domperidon(2x1) 3 DM
22 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2
23 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2
24 ome(2x1)+antasida(2x1)+domperidon(2x1) 3 hipertensi
25 ome(2x1)+domperidon(2x1) 2 DM,Hipertensi
26 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1 RA
27 ome(2x1)+antasida(2x1) 6 hipertensi
28 rani(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 3 hipertensi
29 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 3 DM
30 rani/sime(2x1)+ome (2x1)+antasida(2x1) 2
31 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 4 OA
32 rani/sime(2x1)+ome (2x1)+antasida(2x1) 2
33 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2
34 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1 DM,RA
35 rani/sime(2x1)+antasid(2x1)+sukra(2x1sdm) 1 RA
36 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 3
37 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1 RA
38 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+domperidon(2x1) 2
39 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1 OA
40 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+sukra(2x1sdm) 2

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


58

41 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1 hipertensi
42 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2
43 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+sukra(2x1sdm) 2
44 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1 RA
45 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 3
46 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+domperidon(2x1) 2
47 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2
48 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1 DM,as.urat
49 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2 RA
50 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 5 hipertensi
51 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2
52 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 3
53 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+sukra(2x1sdm) 3
54 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 3
55 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 5
56 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2
57 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1 hipertensi,RA
58 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2 hipertensi
59 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+domperidon(2x1) 2 hipertensi
60 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2 hipertensi
61 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 3 hipertensi
62 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2
63 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2 RA
64 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1 RA
65 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2 hipertensi,RA
66 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 3
67 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2
68 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 3 hipertensi
69 rani/sime(2x1)+ome (2x1) 1 OA
70 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
71 ome (2x1)+antasida(2x1) 1 RA
72 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
73 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
74 ome(2x1)+antasida(2x1) 1 DM,hipertensi
75 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1 hipertensi
76 ome(2x1)+antasida(2x1) 1 hipertensi
77 ome(2x1)+antasida(2x1) 1 RA
78 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 2
79 ome(2x1)+antasida(2x1) 2
80 ome(2x1)+antasida(2x1) 1 hipertensi
81 ome(2x1)+antasida(2x1) 1 DM ,hipertensi
82 ome(2x1)+antasida(2x1) 2
83 ome(2x1)+antasida(2x1) 1

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


59

84 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1 hipertensi
85 ome(2x1)+rani/sime(2x1) 4
86 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1 hipertensi
87 ome(2x1)+antasida(2x1) 2
88 ome(2x1)+rani/sime(2x1) 3
89 ome(2x1)+antasida(2x1) 2 OA
90 ome(2x1)+antasida(2x1) 2
91 ome(2x1)+antasida(2x1) 1 as.urat
92 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1 DM,Hipertensi
93 ome(2x1)+antasida(2x1) 2
94 ome(2x1)+antasida(2x1) 2
95 ome(2x1)+antasida(2x1) 1 hipertensi
96 ome(2x1)+antasida(2x1) 2 RA
97 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1 hipertensi
98 ome(2x1)+domperidon(2x1) 2
99 ome(2x1) 2
100 ome(2x1) 2 Riwayat jantung
101 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
102 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
103 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
104 rani/sime(2x1)+ome (2x1)+antasida(2x1) 1 DM,OA
105 rani/sime(2x1)+ome (2x1)+antasida(2x1) 1
106 rani/sime(2x1)+ome (2x1)+antasida(2x1) 1
107 ome (2x1)+antasida(2x1) 1
108 rani/sime(2x1)+ome (2x1)+antasida(2x1) 1
109 rani(2x1)+ome(2x1) 1
110 ome (2x1)+antasida(2x1)+domperidon(2x1) 1
111 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
112 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1 hipertensi
113 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
114 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1 hipertensi
115 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
116 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
117 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
118 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
119 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
120 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
121 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+domperidon(2x1) 1
122 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
123 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
124 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+sukra(2x1sdm) 1
125 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
126 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


60

127 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
128 ome(2x1)+antasida(2x1sdm) 1
129 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
130 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
131 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+domperidon(2x1) 1
132 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
133 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
134 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
135 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
136 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
137 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
138 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
139 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
140 ome(2x1) 1
141 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
142 rani(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
143 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
144 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
145 rani(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
146 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
147 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
148 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
149 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
150 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
151 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
152 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
153 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
154 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
155 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
156 ome(2x1) 1
157 ome(2x1) 1
158 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
159 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
160 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
161 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
162 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+sukra(2x1sdm) 1
163 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
164 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
165 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
166 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
167 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
168 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
169 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


61

170 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
171 rani(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
172 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
173 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
174 ome(2x1)+antasida(2x1)+sukra(2x1sdm) 1
175 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
176 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+domperidon(2x1) 1
177 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
178 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
179 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
180 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
181 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
182 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
183 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
184 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
185 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
186 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
187 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
188 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
189 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
190 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
191 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
192 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+domperidon(2x1) 1
193 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
194 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
195 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
196 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
197 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
198 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
199 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
200 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1

Ket :
DM: Diabetes Melitus
OA: Osteoartritis
RA: Rematoid Artritis

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


62

Lampiran 3. Uji Normalitas

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Jenis Kelamin .392 200 .000 .622 200 .000
Umur Pasien .170 200 .000 .882 200 .000
Penyakit Penyerta .475 200 .000 .525 200 .000
Obat Dispepsia .365 200 .000 .685 200 .000
Frekuensi Dispepsia .365 200 .000 .650 200 .000
Keluhan Pasien .241 200 .000 .817 200 .000
a. Lilliefors Significance Correction

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


63

Lampiran 4. Hasil SPSS : Chi-Square, Mann Whitney dan Kruskal-Wallis

Jenis Kelamin * Obat Dispepsia

Ranks
Jenis Kelamin N Mean Rank Sum of Ranks
Obat Dispepsia Laki-laki 80 106.35 8508.00
Perempuan 120 96.60 11592.00
Total 200

Test Statisticsa
Obat Dispepsia
Mann-Whitney U 4332.000
Wilcoxon W 11592.000
Z -1.347
Asymp. Sig. (2-tailed) .178
a. Grouping Variable: Jenis Kelamin

Descriptives
Jenis Std.
Kelamin Statistic Error
Obat Laki-laki Mean 2.60 .061
Dispepsia 95% Lower Bound 2.48
Confidence Upper Bound 2.72
Interval for
Mean
5% Trimmed Mean 2.64
Median 3.00
Variance .294
Std. Deviation .542
Minimum 1
Maximum 3
Range 2
Interquartile Range 1
Skewness -.901 .269
Kurtosis -.264 .532
Perempuan Mean 2.50 .050
95% Lower Bound 2.40

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


64

Confidence Upper Bound 2.60


Interval for
Mean
5% Trimmed Mean 2.53
Median 3.00
Variance .303
Std. Deviation .550
Minimum 1
Maximum 3
Range 2
Interquartile Range 1
Skewness -.462 .221
Kurtosis -.904 .438

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


65

Penyakit Penyerta* Obat Dispepsia

Ranks
Penyakit Penyerta N Mean Rank Sum of Ranks
Obat Dispepsia ada 47 99.51 4677.00
tidak ada 153 100.80 15423.00
Total 200

Test Statisticsa
Obat Dispepsia
Mann-Whitney U 3549.000
Wilcoxon W 4677.000
Z -.155
Asymp. Sig. (2-tailed) .877
a. Grouping Variable: Penyakit Penyerta

Descriptives
Penyakit Std.
Penyerta Statistic Error
Obat ada Mean 2.53 .080
Dispepsia 95% Confidence Lower Bound 2.37
Interval for Mean Upper Bound 2.69
5% Trimmed Mean 2.56
Median 3.00
Variance .298
Std. Deviation .546
Minimum 1
Maximum 3
Range 2
Interquartile Range 1
Skewness -.550 .347
Kurtosis -.873 .681
tidak Mean 2.54 .044
ada 95% Confidence Lower Bound 2.45
Interval for Mean Upper Bound 2.63
5% Trimmed Mean 2.58
Median 3.00
Variance .302
Std. Deviation .550
Minimum 1

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


66

Maximum 3
Range 2
Interquartile Range 1
Skewness -.651 .196
Kurtosis -.679 .390

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


67

Umur * Obat Dispepsia

Ranks
Umur Pasien N Mean Rank
Obat Dispepsia 17-25 24 85.31
26-35 43 94.36
36-45 43 100.92
46-55 35 112.11
>56 55 104.21
Total 200

Test Statisticsa,b
Obat Dispepsia
Kruskal-Wallis H 5.027
df 4
Asymp. Sig. .285
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Umur Pasien

Descriptives
Std.
Umur Pasien Statistic Error
Obat Dispepsia 17-25 Mean 2.38 .118
95% Confidence Lower Bound 2.13
Interval for Mean Upper Bound 2.62
5% Trimmed Mean 2.41
Median 2.00
Variance .332
Std. Deviation .576
Minimum 1
Maximum 3
Range 2
Interquartile Range 1
Skewness -.210 .472
Kurtosis -.683 .918
26-35 Mean 2.47 .090
95% Confidence Lower Bound 2.28
Interval for Mean Upper Bound 2.65
5% Trimmed Mean 2.51

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


68

Median 3.00
Variance .350
Std. Deviation .592
Minimum 1
Maximum 3
Range 2
Interquartile Range 1
Skewness -.583 .361
Kurtosis -.556 .709
36-45 Mean 2.56 .077
95% Confidence Lower Bound 2.40
Interval for Mean Upper Bound 2.71
5% Trimmed Mean 2.56
Median 3.00
Variance .252
Std. Deviation .502
Minimum 2
Maximum 3
Range 1
Interquartile Range 1
Skewness -.243 .361
Kurtosis -2.038 .709
46-55 Mean 2.66 .091
95% Confidence Lower Bound 2.47
Interval for Mean Upper Bound 2.84
5% Trimmed Mean 2.71
Median 3.00
Variance .291
Std. Deviation .539
Minimum 1
Maximum 3
Range 2
Interquartile Range 1
Skewness -1.278 .398
Kurtosis .758 .778
>56 Mean 2.58 .072
95% Confidence Lower Bound 2.44
Interval for Mean Upper Bound 2.73
5% Trimmed Mean 2.61
Median 3.00

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


69

Variance .285
Std. Deviation .534
Minimum 1
Maximum 3
Range 2
Interquartile Range 1
Skewness -.718 .322
Kurtosis -.706 .634

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


70

Jenis Kelamin * Frekuensi Dispepsia

Ranks
Jenis Kelamin N Mean Rank Sum of Ranks
Frekuensi Dispepsia Laki-laki 80 98.51 7881.00
Perempuan 120 101.83 12219.00
Total 200

Test Statisticsa
Frekuensi Dispepsia
Mann-Whitney U 4641.000
Wilcoxon W 7881.000
Z -.465
Asymp. Sig. (2-tailed) .642
a. Grouping Variable: Jenis Kelamin

Descriptives
Jenis Std.
Kelamin Statistic Error
Frekuensi Laki-laki Mean 1.58 .112
Dispepsia 95% Confidence Lower Bound 1.35
Interval for Mean Upper Bound 1.80
5% Trimmed Mean 1.43
Median 1.00
Variance 1.007
Std. Deviation 1.003
Minimum 1
Maximum 6
Range 5
Interquartile Range 1
Skewness 2.179 .269
Kurtosis 5.361 .532
Perempuan Mean 1.63 .093
95% Confidence Lower Bound 1.44
Interval for Mean Upper Bound 1.81
5% Trimmed Mean 1.48
Median 1.00
Variance 1.043
Std. Deviation 1.021
Minimum 1

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


71

Maximum 6
Range 5
Interquartile Range 1
Skewness 2.013 .221
Kurtosis 4.253 .438

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


72

Penyakit Penyerta * Frekuensi Dispepsia

Ranks
Penyakit Penyerta N Mean Rank Sum of Ranks
Frekuensi Dispepsia ada 47 115.41 5424.50
tidak ada 153 95.92 14675.50
Total 200

Test Statisticsa
Frekuensi Dispepsia
Mann-Whitney U 2894.500
Wilcoxon W 14675.500
Z -2.368
Asymp. Sig. (2-tailed) .018
a. Grouping Variable: Penyakit Penyerta

Descriptives
Penyakit Std.
Penyerta Statistic Error
Frekuensi ada Mean 1.91 .177
Dispepsia 95% Confidence Lower Bound 1.56
Interval for Mean Upper Bound 2.27
5% Trimmed Mean 1.78
Median 1.00
Variance 1.471
Std. Deviation 1.213
Minimum 1
Maximum 6
Range 5
Interquartile Range 2
Skewness 1.468 .347
Kurtosis 1.972 .681
tidak Mean 1.51 .075
ada 95% Confidence Lower Bound 1.36
Interval for Mean Upper Bound 1.66
5% Trimmed Mean 1.38
Median 1.00
Variance .857
Std. Deviation .926
Minimum 1
Maximum 6

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


73

Range 5
Interquartile Range 1
Skewness 2.341 .196
Kurtosis 6.230 .390

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


74

Umur * Frekuensi Dispepsia

Ranks
Umur Pasien N Mean Rank
Frekuensi Dispepsia 17-25 24 79.94
26-35 43 96.56
36-45 43 108.85
46-55 35 99.40
>56 55 106.73
Total 200

Test Statisticsa,b
Frekuensi Dispepsia
Kruskal-Wallis H 6.558
df 4
Asymp. Sig. .161
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Umur Pasien

Descriptives
Std.
Umur Pasien Statistic Error
Frekuensi 17-25 Mean 1.21 .104
Dispepsia 95% Confidence Lower Bound .99
Interval for Mean Upper Bound 1.42
5% Trimmed Mean 1.13
Median 1.00
Variance .259
Std. Deviation .509
Minimum 1
Maximum 3
Range 2
Interquartile Range 0
Skewness 2.539 .472
Kurtosis 6.258 .918
26-35 Mean 1.44 .107
95% Confidence Lower Bound 1.23
Interval for Mean Upper Bound 1.66
5% Trimmed Mean 1.35
Median 1.00

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


75

Variance .491
Std. Deviation .700
Minimum 1
Maximum 4
Range 3
Interquartile Range 1
Skewness 1.742 .361
Kurtosis 3.261 .709
36-45 Mean 1.77 .176
95% Confidence Lower Bound 1.41
Interval for Mean Upper Bound 2.12
5% Trimmed Mean 1.61
Median 1.00
Variance 1.326
Std. Deviation 1.151
Minimum 1
Maximum 6
Range 5
Interquartile Range 1
Skewness 1.953 .361
Kurtosis 4.196 .709
46-55 Mean 1.60 .160
95% Confidence Lower Bound 1.28
Interval for Mean Upper Bound 1.92
5% Trimmed Mean 1.52
Median 1.00
Variance .894
Std. Deviation .946
Minimum 1
Maximum 4
Range 3
Interquartile Range 2
Skewness 1.133 .398
Kurtosis -.340 .778
>56 Mean 1.78 .168
95% Confidence Lower Bound 1.45
Interval for Mean Upper Bound 2.12
5% Trimmed Mean 1.63
Median 1.00
Variance 1.544

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


76

Std. Deviation 1.243


Minimum 1
Maximum 6
Range 5
Interquartile Range 1
Skewness 1.874 .322
Kurtosis 2.949 .634

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


77

Frekuensi Dispepsia * Obat Dispepsia


Crosstabulation
Obat Dispepsia
1 & 2 kombinasi 3 kombinasi Total
Frekuensi 1 kali Count 70 58 128
Dispepsia % within Jenis 54.7% 45.3% 100.0%
Kelamin
≥ 2 kali Count 17 55 72
% within Jenis 23.6% 76.4% 100.0%
Kelamin
Total Count 87 113 200
% within Jenis 43,5% 56,5% 100%
Kelamin

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
a
Pearson Chi-Square 18.107 1 .000
Continuity Correctionb 16.864 1 .000
Likelihood Ratio 18.846 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear 18.016 1 .000
Association
N of Valid Cases 200

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
31.32.
b. Computed only for a 2x2 table

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai