SKRIPSI
INTAN SURI
11161020000013
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
INTAN SURI
11161020000013
Disetujui Oleh:
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui,
Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Ciputat
Tanggal : 5 Oktober 2020
Perubahan gaya hidup dan pola makan menjadi salah satu penyebab terjadinya
gangguan saluran pencernaan. Gangguan pencernaan yang paling banyak diderita
adalah dispepsia. Dalam hal ini banyak faktor risiko yang menyebabkan
terjadinya kekambuhan dispepsia. Penelitian ini dilakukan dengan metode cross
sectional dengan metode pengambilan data secara retrospektif melalui rekam
medik pasien yang bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien dan
penggunaan obat dispepsia di klinik A daerah Bekasi Timur. Pemilihan sampel
dengan menggunakan teknik total sampling dimana terdapat 200 sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian. Hasil penelitian menunjukkan
Karakteristik pasien dispepsia di Klinik A Daerah Bekasi Timur yang dominan
adalah berjenis kelamin perempuan (60%), berada pada rentang umur ≥ 56 tahun
(27,5%), tanpa ada penyakit penyerta (76,5%), jenis penyakit penyerta hipertensi
(46,42%), frekuensi kedatangan pasien 1 kali (64,5%), dan penggunaan obat
dispepsia dengan 3 kombinasi (57%). Dari hasil uji statistik dihasilkan pernyataan
bahwa jenis kelamin, umur tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan
frekuensi dispepsia (p > 0,05). Penyakit penyerta mempunyai hubungan yang
bermakna dengan frekuensi dispepsia (p < 0,05). Jenis kelamin, umur, penyakit
penyerta tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan penggunaan obat
dispepsia (p > 0,05). Frekuensi dispepsia mempunyai hubungan yang bermakna
dengan obat dispepsia (p < 0,05).
Changes in lifestyle and diet are one of the causes of digestive tract disorders. The
most common digestive disorder is dyspepsia. In this case, many risk factors
cause dyspepsia recurrence. This study was conducted using cross sections
method with retrospective data collection method through patient medical records
which aims to describe patient characteristics and the use of dyspepsia drugs in
clinic A, Bekasi Timur area. The sample selection used a total sampling technique
where there were 200 samples that met the inclusion criteria in the study. The
results showed that the dominant characteristics of dyspepsia patients at Clinic A
in East Bekasi were female (60%), were in the age range ≥ 56 years (27.5%),
without any comorbidities (76.5%), type of disease. hypertension comorbidities
(46.42%), the frequency of arrival of the patient once (64.5%), and the use of
dyspepsia drugs with 3 combinations (57%). From the statistical test results, the
statement that gender, age did not have a significant relationship with the
frequency of dyspepsia (p > 0.05). Comorbidities had a significant relationship
with the frequency of dyspepsia (p < 0.05). Gender, age, comorbidities did not
have a significant relationship with the use of dyspepsia drugs (p > 0.05). The
frequency of dyspepsia has a significant relationship with dyspepsia drugs (p <
0.05).
ِس ِم
ْ َللا ِب
ِِّ نِِ الر ْح َم
ّ ِالرحِ يم
ّ
Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur selalu terpanjatkan atas segala
nikmat, karunia, serta ilmu yang bermanfaat yang diberikan oleh Allah
Subhanahu wata’ala, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Gambaran Karakteristik pasien dan Penggunaan Obat Dispepsia Di Klinik A
Daerah Bekasi Timur. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada
junjungan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beserta keluarga,
sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir nanti semoga kita mendapat syafaat
dari beliau.
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam
memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi, Fakultas Ilmu
Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama proses penyusunan dan
penulisan laporan ini, penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud
tanpa begitu banyak bantuan dari berbagai pihak yang telah meluangkan
waktunya, mendidik dan membimbing, dan mendoakan yang terbaik kepada
penulis. Pada kesempatan kali ini, penulis menyampaikan penghargaan setinggi-
tingginya dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Kedua orang tua tercinta, Ayah Surya Trisno dan Bunda Arnaity atas doa,
kesabaran, bimbingan, dukungan moral, materi, serta kasih sayang sampai saat
ini.
2. Ibu Dr. apt. Nurmeilis, M.Si. dan Bapak apt. Marvel, M.Farm. selaku dosen
pembimbing skripsi penulis yang telah memberikan waktu, motivasi, pikiran,
dan bimbingan selama penelitian dan penyusunan skripsi.
3. Ibu Dr. apt. Zilhadia, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dr. apt. Nurmeilis, M.Si. selaku Kepala Program Studi Farmasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ibu apt. Ismiarni Komal, M.Sc., Ph.D. selaku
Sekretaris Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu dan Bapak staf pengajar dan karyawan yang telah memberikan bimbingan
dan bantuan selama saya menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
untuk perbaikan dan penyempurnaan dari skripsi ini. Demikian skripsi ini dibuat,
dengan harapan tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis, masyarakat, dan
perkembangan ilmu pengetahuan.
Penulis
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-undang
Hak Cipta. Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya
buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Ciputat
Pada Tanggal : 5 Oktober 2020
Yang menyatakan
(Intan Suri)
jumlah kasus dispepsia di kota Bekasi yaitu sekitar 25584 kasus, dinilai lebih
tinggi dibanding kota lainnya di Jawa Barat (Dinkes Kota Bekasi, 2014).
Berdasarkan algoritma pengobatan dari ACG and CAG, pasien yang
mengalami dispepsia dengan negatif terinfeksi H.pylori terapi lini pertama
pengobatan yang diberikan adalah obat golongan PPI (Proton Pump Inhibitor)
contohnya seperti omeprazol, lansoprazol, pantoprazol, esomeprazol. Sebagian
besar penelitian juga telah menunjukkan bahwa PPI secara signifikan lebih efektif
untuk mengobati pasien dengan gangguan dispepsia (Talley et al., 1998) (Shiau et
al., 2002).
Selain obat golongan PPI digunakan juga obat golongan lain seperti
antagonis reseptor H2, antasida, sitoprotektif, prokinetik atau kombinasi diantara
dua sampai tiga golongan obat. Berdasarkan hasil penelitian Alfiyani (2009)
tentang pola pengobatan pasien dispepsia di RSD Dr. Soebandi Jember
menunjukkan bahwa jumlah golongan obat yang paling banyak digunakan adalah
Antagonis reseptor H2 60,82%; PPI 2,17% ; kombinasi Antagonis reseptor H2 dan
PPI 23,91% (Alfiyani, 2009). Penelitian lain yang dilakukan oleh (Srikandi et al.,
2017) dari 258 pasien dispepsia menggunakan obat antasida 29,96%, lansoprazol
23,63%, omeprazol 11,64%, ranitidin oral 5,14%, sukralfat 5,14%, dan ranitin
injeksi 0,86% (Srikandi et al., 2017). Terapi dispepsia ini ditujukan untuk
mengobati, mengurangi atau meniadakan gejala sakit, menghentikan atau
memperlambat proses penyakit serta mencegah penyakit atau gejala.
Prevalensi kekambuhan dispepsia berulang berhubungan dengan berbagai
macam faktor risiko, diantaranya faktor jenis kelamin (Tiana et al., 2017), umur
(Muya et al., 2015), pekerjaan (Setyono et al., 2006), pola makan (Tiana et al.,
2017), konsumsi makanan pedas, makanan instan ataupun asam (Fithriyana,
2018), merokok (Nugroho et al., 2018), konsumsi alkohol (Mahadeva & Goh,
2006), konsumsi kafein yang tinggi (Putri et al., 2015), infeksi Helicobacter
pylori (Kim, 2016), penggunaan Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID)
(Fithriyana, 2018), hubungan psikologis (stress) (Filipović et al., 2013), dan
ketidakpatuhan pasien dalam konsumsi obat (Hemriyantton et al., 2017).
Berdasarkan penjelasan diatas dan tingginya angka kejadian dispepsia di dunia
bahkan di Indonesia, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap
1.4.3. Peneliti
Menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai karakteristik pasien dan
penggunaan obat dispepsia di Klinik A Daerah Bekasi Timur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dispepsia
2.1.1. Definisi
Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri
ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat kenyang, dan sendawa.
Keluhan ini sangat bervariasi, baik dalam jenis gejala maupun intensitas gejala
tersebut dari waktu ke waktu (Djojoningrat, 2007). Dispepsia sebagai suatu gejala
ataupun sindrom, dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, baik yang bersifat
organik, maupun yang fungsional.
Dispepsia adalah suatu istilah yang merujuk pada gejala abnormal di perut
bagian atas. Istilah ini biasa pula digunakan untuk menerangkan berbagai keluhan
yang dirasakan di abdomen bagian atas. Diantaranya adalah rasa nyeri ataupun
rasa terbakar di daerah epigastrium (ulu hati), perasaan penuh atau rasa bengkak
di perut bagian atas, sering sendawa, mual, ataupun rasa cepat kenyang (Herman,
2004).
2.1.2. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, sindrom dispepsia dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Dispepsia organik
Ulkus peptikum (dispepsia organik) adalah putusnya kontinuitas mukosa
lambung yang meluas sampai dibawah epitel (Lindseth, 2012). Ulkus peptikum
terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara pertahanan mukosa dan asam
lumen. Pada orang sehat, asam lambung dan pepsin tidak akan merusak mukosa
lambung karena terdapat mukus yang melapisinya. Mukus ini mensekresi
bikarbonat yang menjaga pH tetap 7 (Emmanuel & Inns, 2014). Ulkus peptikum
dapat terjadi pada bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu
distal esofagus, lambung, duodenum, setelah gastroenterostomi, jejunum, dekat
dengan di vertikulum meckel atau pada anastomosis usus halus manapun
(Lindseth, 2012) (Emmanuel & Inns, 2014). Ulkus peptikum berkaitan erat
dengan usia, riwayat ulkus peptikum dalam keluarga, indeks massa tubuh, dan
merokok (Bernersen et al., 1996).
2. Dispepsia Non-organik
Dispepsia non-ulkus (dispepsia fungsional) berkaitan dengan faktor psikologis
dan kondisi sosial (Bernersen et al., 1996). Faktor lainnya yang juga mungkin
berperan adalah hipersensitivitas viseral terhadap asam atau dilatasi lambung,
gangguan akomodasi lambung, gangguan pada bagian otak yang berkaitan dengan
pencernaan, motilitas atau pengosongan lambung yang lama, diet, dan faktor gaya
hidup. Dispepsia fungsional ini dapat ditegakkan bila sarana penunjang diagnostik
tidak dapat menunjukkan adanya gangguan patologi struktural atau biokimiawi
(Djojoningrat, 2014).
2.1.3. Etiologi
Penyebab dari dispepsia adalah menurut (Djojoningrat, 2006)
1. Adanya gangguan atau penyakit dalam limen saluran cerna seperti tukak
gaster/duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.
Ulkus peptikum terjadi karena putusnya kontinuitas mukosa lambung yang
meluas sampai dibawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai
ke bawah epitel disebut sebagai erosi, walaupun sering dianggap juga sebagai
ulkus (Price & Wilson, 2006).
Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa
lambung yang bersifat akut, kronis, difus, atau lokal. Infeksi Helicobacter
pylory lebih sering dianggap sebagai penyebab gastritis akut. Organisme
tersebut melekat pada epitel lambung dan menghancurkan lapisan mukosa
pelindung, meninggalkan daerah epitel yang rata (Price & Wilson, 2006).
2. Obat-obatan: NSAID (Non Steroidal Anti-Inflammatory Drug), aspirin,
beberapa jenis antibiotik, digitalis, teofilin.
Pemakaian NSAID mempunyai efek samping terjadinya dispepsia,
gastroduodenal ulcers, dan perdarahan atau perforasi. Aspirin dan obat anti
inflamasi nonsteroid (NSAID), termasuk NSAID siklooksigenase-2-selektif
dapat menyebabkan tukak dan dispepsia (Hawkey & Langman, 2003).
3. Penyakit pada hepar, pankreas, sistem biller, hepatitis, pankreatitis,
kolesistitiskronik.
Hepatitis merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang dominan
menyerang hati. Hepatitis disebabkan oleh virus hepatitis A, virus hepatitis B,
virus hepatitis C, virus hepatitis D, dan virus hepatitis E. Infeksi virus tersebut
dapat menimbulkan gejala gastrointestinal seperti malaise, anoreksia, mual,
dan muntah (Santiyoso, 2006).
Pankreatitis adalah radang pada kelenjar pankreas. Pankreatitis disebabkan
oleh alkohol dan penyakit saluran empedu. Gejala yang dirasakan yaitu nyeri
mendadak yang menjalar ke punggung dan perut yang makin tegang dan
kembung (Price & Wilson, 2006).
Dua penyakit saluran empedu yang dapat menyebabkan dispepsia adalah
pembentukan batu (kolelitiasis) dan radang kronis penyerta (kolesistitis). Batu
empedu merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu yaitu
kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak, dan
fosfolipid. Etiologi batu empedu masih belum diketahui sepenuhnya, akan
tetapi faktor predisposisi terpenting adalah gangguan metabolisme yang
menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan
infeksi kandung empedu (Price & Price, 2014).
4. Penyakit sistemik seperti: diabetes melitus, penyakit tiroid, dan penyakit
jantung koroner.
Diabetes Melitus merupakan suatu sindrom dengan terganggunya
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh
berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap
insulin (Guyton & Hall, 2008). Diabetes melitus dengan neuropati sering
menyebabkan komplikasi pengosongan lambung yang lambat, sehingga
timbul keluhan mual, muntah, perasaan cepat kenyang. Gangguan fungsi
saluran cerna merupakan masalah yang sering ditemui pada penderita diabetes
melitus, dimana hal ini bisa berkaitan dengan terjadinya disfungsi neurogenik
dari saluran cerna tersebut atau kelainan motilitas lambung yang memicu
terjadinya dispepsia (Sutadi, 2003). Berdasarkan penelitian (Hasler et al.,
2008) sekresi asam lambung akan menurun pada penderita diabetes melitus
oleh karena faktor retensi gaster, sel anti parietal antibodi dan adanya distensi
lambung.
Hipertiroid menimbulkan keluhan rasa nyeri di perut dan mual, sedangkan
hipotiroid menyebabkan timbulnya hipomotilitas lambung. Hipotiroidisme
7. Peranan hormonal
Peranan hormon masih belum jelas diketahui dalam patogenesis dispepsia
fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang
menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan,
progesteron, estradiol, dan prolaktin memengaruhi kontraktilitas otot polos dan
memperlambat waktu transit gastrointestinal (Djojoningrat, 2009).
8. Diet dan faktor lingkungan
Faktor makanan dapat menjadi penyebab potensial dari gejala dispepsia
fungsional. Pasien dengan dispepsia fungsional cenderung mengubah pola makan
karena adanya intoleransi terhadap beberapa makanan khususnya makanan
berlemak yang telah dikaitkan dengan dispepsia. Intoleransi lainnya dengan
prevalensi yang dilaporkan lebih besar dari 40% termasuk rempah-rempah,
alkohol, makanan pedas, cokelat, paprika, buah jeruk, dan ikan (Chan & Burakoff,
2010)
9. Faktor psikologis
Stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetusakan
keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung
yang mendahului mual setelah stimulus stres sentral. Tetapi korelasi antara faktor
psikologi stres kehidupan, fungsi otonom dan motilitas masih kontroversial
(Djojoningrat, 2009).
2.1.5. Gejala
Kriteria diagnosa dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu
penyakit dengan satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di
gastroduodenal (Chang, 2006) :
1. Nyeri epigastrium
2. Rasa terbakar di epigastrium
3. Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
4. Rasa cepat kenyang
Kriteria dispepsia memiliki utilitas terbatas dan terbagi atas 2 kelompok
berdasarkan bukti yang tersedia, yaitu kelompok yang berhubungan dengan
makanan, dan kelompok yang berhubungan dengan nyeri (Chang, 2006). Pada
klinis, pengelompokan ini tidak dipergunakan, dan kriteria dispepsia tetap
2.2.1. Internal
1. Jenis Kelamin
Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Andriani et al., 2019) ternyata
mayoritas responden berjenis kelamin perempuan lebih beresiko mengalami
dispepsia daripada laki-laki dengan jumlah 74.2% dan laki-laki hanya 25.8%.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
(Nugroho et al., 2018), bahwa kelompok jenis kelamin yang sering mengalami
dispepsia mayoritas adalah perempuan sebesar 71,2% dari total populasi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan (Tiana et al., 2017) pada
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wancana
Angkatan 2013, ditemukan bahwa sindroma dispepsia mayoritas diderita oleh
perempuan. Perbandingan insiden ini mencapai 2:1.
Beberapa penelitian di Amerika Serikat menunjukkan perbandingan
prevalensi penderita dispepsia wanita lebih banyak dari pada laki-laki yaitu
sebesar 4:1 (Abdeljawad et al., 2017). Penelitian yang dilakukan oleh Li
tentang gambaran dispepsia pada mahasiswa di provinsi Zhejiang, Tiongkok
juga didapatkan bahwa sindrom dispepsia fungsional lebih besar terjadi pada
perempuan yaitu 7,53% daripada laki-laki yaitu 4,14% (Li et al., 2014).
Dari hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa perempuan
mempunyai peluang yang lebih besar mengalami kejadian dispepsia
dibandingkan laki-laki. Hasil penelitian ini kembali diperkuat oleh penelitian
(Tiana et al., 2017) bahwa, terdapat hubungan yang bermakna antara jenis
kelamin dengan kejadian sindroma dispepsia.
2. Umur
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Rumbai
Pekanbaru, didapatkan hasil mayoritas umur responden yaitu 26-35 tahun
dengan jumlah 20 orang responden (38,5%) yaitu berada pada masa dewasa
akhir (Nugroho et al., 2018). Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian
Harahap (2009) yang menyatakan bahwa dispepsia banyak terjadi pada umur
25-35 tahun sebesar 50%.
Menurut (Muya et al., 2015), walaupun pada usia muda kejadian dispepsia
sangat rentan terjadi, apabila tidak ditangani dengan serius maka seiring
bertambahnya usia seseorang maka akan terus mengalami kejadian penyakit
tersebut. Pertambahan umur seseorang biasanya selalu berkaitan dengan
penurunan aktivitas olahraga rutin dan penurunan aktivitas hormonal fisiologis
seseorang sehingga sangat berhubungan dengan meningkatnya risiko kejadian
dispepsia (Muya et al., 2015).
3. Tingkat Pendidikan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Setyono et al., 2006) dispepsia
terjadi pada seseorang dengan latar belakang pendidikan rendah yaitu 61,9%.
Penelitian ini sesuai dengan Moore (1997) yang menyatakan penderita
dispepsia memerlukan pengelolaan medis dan dietetika yang perlu partisipasi
penderita, dimana penderita dengan pendidikan tinggi lebih mudah menyerap
pendidikan kesehatan.
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan (Muya et al., 2015) dispepsia
banyak diderita oleh seseorang yang tingkat pendidikannya tinggi karena ada
faktor risiko yang mempengaruhi, misalnya stres psikologis. Biasanya
penderita yang mempunyai pendidikan tinggi mempunyai pekerjaan yang
cenderung lebih berat dibandingkan penderita dengan pendidikan menengah
kebawah. Hal ini mungkin menyebabkan stres psikologis yang lebih besar
dibandingkan tingkat pendidikan yang lebih rendah.
4. Pekerjaan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Nugroho et al. (2018), bahwa
mayoritas yang bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) sebesar 61,5%
mengalami dispepsia. Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian (Muya et
al., 2015) bahwa dispepsia lebih banyak dialami pada oleh ibu rumah tangga
yaitu sebanyak 23,6% dari total populasi pada penelitian.
Stres dapat terjadi karena adanya tuntutan kehidupan. Kebanyakan
pekerjaan dengan waktu sangat sempit ditambah lagi dengan tuntutan harus
serba cepat dan tepat membuat orang hidup dalam ketegangan/stres.
Berdasarkan laporan dari America Institut disebutkan bahwa stres kerja masih
menjadi perhatian, dimana 80% dari karyawan dilaporkan terjadi stres
(Seaward, 2012).
Menurut penelitian yang dilakukan (Setyono et al., 2006) dispepsia lebih
banyak terjadi pada penderita yang tidak bekerja yaitu 64,29%, sedangkan
pada penderita dengan pekerjaan PNS adalah 9,52% dan swasta adalah
26,19%. Hal ini mungkin disebabkan faktor stres yang lebih tinggi pada orang
yang tidak bekerja sehingga memicu peningkatan sekresi asam lambung.
2.2.2. Ekternal
1. Pola Makan
Pola makan yang tidak teratur menjadi pemicu terjadinya
ketidakseimbangan dalam tubuh. Kondisi ini berhubungan dengan proses
pengosongan pada lambung. Faktor yang berhubungan dengan pengisian dan
pengosongan lambung ialah jeda waktu makan, frekuensi makan, pola makan,
dan jadwal makan. Kekosongan pada lambung dapat menyebabkan erosi pada
lambung akibat gesekan antara dinding – dinding lambung. Kondisi ini
mengakibatkan peningkatan produksi asam lambung (HCl) yang akan
merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung (Susanti et al., 2011).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Andre et al., 2013)
ketidakteraturan makan seperti kebiasaan makan yang buruk, tergesa-gesa,
dan jadwal yang tidak teratur dapat menyebabkan dispepsia. Menurut
Fithriyana (2018) pola makan yang tidak teratur mempunyai risiko 21 kali
lebih banyak akan mengalami dispepsia.
2. Konsumsi Kafein
Kafein dapat mengendurkan LES (Lower Esophageal Sphincter), katup
antara lambung dan tenggorokan, sehingga menyebabkan gas di lambung naik
ke kerongkongan. Minum kopi dapat merangsang lambung untuk
mengeluarkan asam lambung lebih banyak daripada jumlah normal
(Mahadeva & Goh, 2006). Penelitian yang dilakukan (Putri et al., 2015) yang
menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan minum kopi dengan kejadian
dispepsia, dalam penelitian tersebut di dapatkan 50,6% yang memiliki
kebiasaan minum kopi mengalami dispepsia.
3. Konsumsi Alkohol
Di kawasan Asia Pasifik, populasi di India dan Selandia Baru
menunjukkan hubungan yang pasti antara alkohol dan dispepsia. Alkohol
bekerja melenturkan katup LES (Lower Esophageal Sphincter), sehingga
menyebabkan refluks, atau berbaliknya asam lambung ke kerongkongan.
Alkohol juga dapat meningkatkan produksi asam lambung (Mahadeva & Goh,
2006)
Konsumsi alkohol mempunyai efek seperti kopi yang dapat meningkatkan
produksi asam lambung, produksi gas, dan malabsorbsi zat-zat gizi (Krause,
2002). (Boekema et al., 1999) menyatakan mengonsumsi alkohol
menyebabkan penurunan tekanan spingter esofagus sehingga mengakibatkan
refluks gastroesofagus dan gangguan pengosongan lambung.
4. Kebiasaan Merokok
Merokok merupakan salah satu pencetus terjadinya dispepsia, asap rokok
menyebabkan kerusakan sebagian mukosa lambung. Rokok juga dapat
menyebabkan penurunan tekanan spingter esofagus bagian bawah sehingga
menyebabkan refluk gastroesofagus dan mengganggu pengosongan lambung
(Moore, 1997).
Sebuah penelitian menemukan faktor risiko merokok terbesar terdapat
pada populasi di Amerika, Kanada, Inggris, dan India. Tar dalam asap rokok
dapat melemahkan katup LES (Lower Esophageal Sphincter), katup antara
lambung dan tenggorokan, sehingga menyebabkan gas di lambung naik
hingga kerongkongan (Mahadeva & Goh, 2006).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Irwan (2015) tentang faktor risiko
terhadap kejadian dispepsia di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten
Majalengka tahun 2015 menunjukkan bahwa faktor yang yang paling beresiko
terhadap kejadian dispepsia pada gaya hidup adalah salah satunya merokok
(Irawan, 2015).
6. Psikologis (stress)
Stres adalah mekanisme pertahanan diri atau mekanisme koping terhadap
masalah. Stres yang berlebihan dapat memicu lambung untuk mengeluarkan
asam lambung secara berlebihan. Reaksi ini dapat mengganggu aktifitas
lambung bahkan dapat memicu kebocoran lambung. Dispepsia sering
dihubungkan dengan keadaan psikologis seseorang. Produksi asam lambung
akan meningkat pada keadaan stress, seperti beban kerja yang berlebihan,
cemas, takut atau terburu-buru.
Stres dalam kehidupan dapat menimbulkan reaksi pada tubuh. Hawari
(2001), setiap permasalah kehidupan yang menimpa pada diri seseorang
(stressor psikososial) dapat mengakibatkan gangguan fungsi/faal organ tubuh.
Stres akut dapat mempengaruhi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan
pada orang sehat (Djojoningrat, 2014).
7. Sosial Ekonomi
Terdapat hubungan yang kuat antara pendapatan rumah tangga yang
kurang dan anggota keluarga yang banyak dengan peningkatan gejala
dispepsia (Mahadeva & Goh, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh (Bytzer et
al., 2001) dari Department of Medicine, University of Sydney, Nepean
Hospital, Penrith, Australia terhadap 15.000 orang dewasa Australia, dia
menyimpulkan bahwa sosial ekonomi yang rendah adalah salah satu faktor
risiko terjadinya gejala gangguan saluran cema bagian atas dan bawah.
Faktor sosial ekonomi juga pernah diteliti dalam berbagai penelitian
berbasis populasi, penelitian Dr. Ossman di Amerika Serikat menemukan
hubungan yang kuat antara pendapatan rendah dengan kejadian gangguan
saluran pencernaan fungsional termasuk dispepsia fungsional. Hasil serupa
didapatkan di Cina, bahwa dispepsia fungsional berhubungan dengan
ketidakpuasan terhadap pendapatan (Kumar et al., 2012).
a
Patologi Organik Normal
Positif Negatif
Tidak ada
Respon
Respon Respon
TCA atau
Respon
prokinetik
Berhasil
Respon
Tidak
Respon
Pertimbangan
Psikoterapi
2. Antagonis Reseptor H2
Antagonis reseptor H2 mengurangi sekresi asam lambung dengan cara
berkompetisi dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor H2 pada sel
pariental lambung. Efek samping dari obat golongan ini sangat kecil dan obat
golongan ini tidak menghambat oksigenase fungsi campuran di dalam hati,
dengan demikian tidak mempengaruhi konsentrasi obat lainnya (Mycek,
2001).
Hasil dari beberapa uji klinik menunjukkan obat-obat ini dapat menjaga
gejala dengan efektif selama episode akut dan mempercepat penyembuhan
(Ghosh dan Kinnear, 2003). Simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin
adalah reseptor antagonis H2 yang merupakan produk selektif dan inhibisi
reversibel dari sekresi reseptor H2 oleh sel pariental di abdomen (Flood et al.,
2015).
4. Sitoprotektif
Obat golongan ini misalnya misoprostol, sukralfat. Jenis obat golongan
sitoproteksi mekanisme kerjanya yaitu membentuk suatu kompleks yang
berbentuk gel dan mukus sukralfat menciptakan barier yang menghalangi
difusi HCl dan mencegah degradasi mukus oleh pepsin. Penggunaan sukralfat
di maksudkan untuk mencegah kekambuhan jika digunakan dalam terapi
jangka panjang (Mycek, 2001). Sukralfat sebaiknya dikonsumsi pada saat
perut kosong untuk mencegah ikatan dengan protein dan fosfat (Mönkemüller
et al., 2006).
5. Prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini adalah metoklopramid (antagonis
reseptor dopamin D2), domperidon (antagonis reseptor D2 yang tidak melewati
sawar otak), dan cisaprid (agonis reseptor 5-HT4). Dalam berbagai studi
penelitian domperidon dan cisaprid mempunyai efektivitas yang baik
dibandingkan plasebo dalam mengurangi nyeri epigastrik, cepat kenyang,
distensi abdomen dan mual (Allescher et al., 2001) (Dobrilla et al., 1989).
Metoklopramid bekerja secara selektif pada sistem kolinergik traktus
gastrointestinal (efek gastropokinetik). Metoklopramid merangsang motilitas
saluran cerna bagian atas tanpa merangsang sekresi asam lambung, empedu
atau pankreas (Mönkemüller et al., 2006). Metoklopramid cukup memberi
manfaat pada dispepsia fungsional, akan tetapi karena keterbatasan studinya
dan memberikan efek samping ekstrapiramidal (Allescher et al., 2001)
(Dobrilla et al., 1989). Cisaprid tergolong agonis reseptor 5-HT4 dan
antagonis 5-HT3, berdasarkan penelitian cisaprid memberikan tingkat
keberhasilan dua kali lipat dibandingkan plasebo. Bekerja pada pengosongan
lambung dan disritmia lambung. Akan tetapi memiliki efek samping yaitu
pada aritmia jantung, terutama perpanjangan masa QT, sehingga
penggunaannya berada dalam pengawasan (Dobrilla et al., 1989).
Berdasarkan hasil studi menunjukkan potensi prokinetik adalah untuk
penggunaan jangka pendek, dan efektifitas jangka panjang prokinetik tidak
terbukti. Agen prokinetik yang telah dipelajari termasuk metokrolamid,
domperidon, cisaprid, eritromisin, dan tegaserod (Moayyedi et al., 2006).
Interaksi Obat:
PPI dapat mempengaruhi eliminasi beberapa obat yang mempunyai jalur
metabolisme yang sama dengannya antara lain warfarin, diazepam dan
siklosporin. Obat yang dimetabolisme melalui sistem sitokrom P450 (Katzung
et al., 2014).
2. Simetidin dan Ranitidin
Komposisi:
Tiap tablet salut ranitidin mengandung 150 mg
Farmakologi:
Simetidin dan ranitidin bekerja dengan menghambat reseptor H2 secara selektif
dan reversibel. Simetidin dan ranitidin dapat menghambat sekresi asam
lambung akibat perangsangan obat muskarinik, stimulasi vagus, atau gastrin.
Simetidin dan ranitidin juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan
lambung. Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa, dan
memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal dan penyakit hati.
(Katzung et al., 2014).
Indikasi:
Efektif untuk mengatasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat
penyembuhannya. Karena terapi pemeliharaan untuk mencegah kekambuhan
hanya membutuhkan dosis setengahnya dan diberikan satu kali sehari. Dosis
penggunaan ranitidin adalah 150 mg 2 kali/hari selama 4-8 minggu
(Kemenkes RI, 2012).
Efek Samping:
Efek samping kedua obat ini rendah, antara lain nyeri kepala, pusing, malaise,
mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido dan
impoten.
Peringatan dan Perhatian:
Ekskresi antagonis reseptor H2 terutama melalui ginjal maka pada pasien
gangguan fungsi ginjal dosis perlu dikurangi.
Interaksi Obat:
1. Terjadi interaksi yang mungkin tidak bermakna secara klinis antara
simetidin oral dengan antasida dan metoklopramid akan tetapi dianjurkan
beri selang waktu minimal 1 jam antara penggunaan obat tersebut.
2. Obat yang metabolismenya dipengaruhi simetidin antara lain warfarin,
fenitoin, kafein, teofilin, fenobarbital, karbamazepin, diazepam,
propranolol, metoprolol dan imipramin. Nifedipin, warfarin, teofilin dan
metoprolol dilaporkan berinteraksi dengan ranitidin. Obat-obat ini
diberikan dengan selang waktu minimal 1 jam.
3. Penggunaan ranitidin bersama antasida atau antikolinergik sebaiknya
diberikan dengan selang waktu 1 jam (Katzung et al., 2014)
3. Antasida
Komposisi:
Tiap tablet antasida (Aluminium Hidroksida 200 mg dan Magnesium
Hidroksida 200 mg).
Farmakologi:
Kombinasi Aluminium Hidroksida dan Magnesium hidroksida merupakan
antasida yang bekerja menetralkan asam lambung dan menginaktifkan pepsin
sehingga rasa nyeri ulu hati akibat iritasi oleh asam lambung dan pepsin
berkurang. Di samping itu efek laksatif dari Magnesium hidroksida akan
mengurangi efek konstipasi dari Aluminium Hidroksida
Indikasi:
Indikasi antasida untuk mengurangi gejala-gejala yang berhubungan dengan
kelebihan asam lambung, gastritis, tukak lambung, tukak usus 12 jari, dengan
gejala-gejala seperti nyeri lambung, nyeri ulu hati.
Dosis antasida 1-2 tab sehari 3-4 kali dikunyah dahulu. Semua dosis diminum
1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan dan menjelang tidur.
Efek Samping:
Efek Samping dari antasida adalah konstipasi, diare, mual dan muntah, reaksi
alergi.
Interaksi Obat:
1. Sukralfat dapat mengganggu absorpsi tetrasiklin, warfarin, fenitoin dan
digoksin, sehingga dianjurkan untuk diberikan dengan interval 2 jam.
2. Sukralfat menurunkan bioavailabilitas siprofloksasin dan norfloksasin,
sehingga untuk menghindari kegagalan pengobatan dengan antibiotika ini,
jangan diberikan secara bersamaan.
3. Pemberian antasida untuk mengurangi nyeri dapat diberikan dengan
interval 1 jam setelah sukralfat.
5. Domperidon
Komposisi:
Tiap tab salut selaput mengandung domperidon 10 mg.
Farmakologi:
Domperidon merupakan derivat benzimidazol, seperti metoklopramid bekerja
sebagai antagonis spesifik dopamin yang menstimulasi peristaltik pada saluran
cerna, mempercepat waktu pengosongan lambung, dan meningkatkan tonus
sfingter esofagus bagian bawah.
Indikasi:
Indikasi domperidon adalah meringankan mual dan muntah yang disebabkan
oleh dispepsia, terapi kanker atau obat lain. Dosis mual dan muntah untuk
dewasa dan usia lanjut 10-20 mg tiap 4-8 jam, dispepsia fungsional 10-20 mg 3
kali/hari. Maksimal pengobatan selama 2 minggu. Berikan 15-30 menit
sebelum makan dan sebelum tidur.
Kontraindikasi:
Domperidon kontraindikasi dengan pasien dengan perdarahan GI, obstruksi
atau perforasi mekanik, anak-anak kecuali pada mual dan muntah yang
disebabkan oleh sitostatik.
Efek Samping:
Efek Samping dari domperidon jarang sedasi, reaksi distonik ekstrapiramidal,
parkinsonisme dan diskinesia tardiv, galaktore, ginekomastia, pembesaran dan
pelunakan payudara, ruam dan reaksi alergi lain.
Skala
No Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur
Ukur
1 Jenis Kondisi fisik yang Melakukan pencatatan 1. Laki-laki Nominal
Kelamin menentukan status jenis kelamin pasien dari 2. Perempuan
seseorang laki-laki rekam medik pasien,
atau perempuan kemudian dikelompokkan.
4.3.2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang digunakan sebagai subyek
penelitian. Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah total
sampling yaitu dengan mengambil semua rekam medik yang sesuai dengan
kriteria inklusi. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi untuk di evaluasi dalam
penelitian ini adalah 200 sampel.
Rancangan Penelitian
Studi Pendahuluan
Dari tabel 5.1 dapat terlihat bahwa pasien yang berjenis kelamin laki-laki
berjumlah 80 orang (40%), sedangkan pasien perempuan lebih banyak yaitu
berjumlah 120 orang (60%).
Berdasarkan jenis kelamin didapatkan hasil bahwa jumlah pasien dispepsia
perempuan lebih banyak dibandingkan jumlah pasien laki-laki. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan (Mulandani et al., 2020),
(Andriani et al., 2019), (Nugroho et al., 2018), (Li et al., 2014). Beberapa
penelitian di Amerika Serikat menunjukkan perbandingan prevalensi penderita
dispepsia wanita lebih banyak dari pada laki-laki yaitu sebesar 4:1 (Abdeljawad et
al., 2017). Menurut teori hal ini dapat terjadi karena sekresi lambung diatur oleh
mekanisme saraf dan hormonal. Hormon ini bekerja pada kelenjar gastrik dan
menyebabkan aliran tambahan ke lambung yang sangat asam. Sekresi tersebut
berlangsung selama beberapa jam. Ada beberapa hal yang mempengaruhi kerja
hormon gastrin, salah satunya yaitu jenis kelamin. Faktor hormonal wanita lebih
reaktif dibanding laki-laki (Dewi, 2017).
Penyebab lain tingginya dispepsia pada wanita akibat dari pengaruh stres
(Jamil et al., 2016), stres akan menimbulkan kecemasan yang berkaitan dengan
pola hidup sehingga mengakibatkan perubahan respon fisiologis tubuh misalnya
gangguan pencernaan seperti dispepsia (Widyasari, 2012), selain itu diet yang
dilakukan oleh banyak perempuan menyebabkan pola makan tidak teratur dan
jeda waktu makan menjadi lama (Reshetnikov, 2007) (Mulandani et al., 2020).
Dari tabel 5.2 dapat terlihat bahwa pasien yang berumur 17 sampai 25
tahun berjumlah 24 orang (12%), yang berumur 26 - 35 tahun berjumlah 43 orang
(21,5%), yang berumur 36 - 45 tahun berjumlah 43 orang (21,5%), yang berumur
46 - 55 tahun berjumlah 35 orang (17,5%) dan yang berumur ≥ 56 tahun
berjumlah 55 orang (27,5%).
Berdasarkan umur, didapatkan bahwa umur terbanyak pasien yang
mengalami dispepsia di Klinik A daerah Bekasi Timur adalah kelompok umur
≥ 56 tahun. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
(Hemriyantton et al., 2017). Namun hal ini berbeda dengan penelitian (Musnelina
et al., 2019) bahwa pasien yang mengalami dispepsia paling banyak pada
kelompok umur 46-55 tahun. Akan tetapi, perbedaan jumlah pasien dispepsia pada
penelitian ini tidak begitu signifikan, karena selisihnya tidak terlalu besar.
Pertambahan umur dapat meningkatkan insiden sindrom dispepsia yang
disebabkan oleh pola hidup yang tidak teratur, stres, pola makan. Selain itu
pertambahan umur seseorang biasanya selalu berkaitan dengan penurunan
aktivitas olahraga rutin dan penurunan aktivitas hormonal fisiologis seseorang
sehingga sangat berhubungan dengan meningkatnya risiko kejadian dispepsia
(Muya et al., 2015). Pada usia tua memiliki risiko lebih tinggi mengalami
gangguan lambung dibanding dengan usia muda. Hal ini menunjukkan bahwa
seiring dengan bertambahnya usia seseorang, mukosa lambung cenderung menjadi
tipis dan produksi mukus (cairan pelindung lambung) berkurang sehingga lebih
Dari tabel 5.3 dapat terlihat bahwa pasien yang ada penyakit penyerta
berjumlah 47 orang (23,5%), sedangkan yang tidak ada penyakit penyerta
berjumlah 153 orang (76,5%).
Dispepsia dengan penyakit penyerta dapat dipengaruhi oleh obat yang
dikonsumsi ataupun patofisiologi penyakit penyerta itu sendiri. Berdasarkan hasil
penelitian, pasien yang banyak mengalami dispepsia adalah pasien yang tidak
mempunyai penyakit penyerta. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
(Srikandi et al., 2017). Hal ini bisa disebakan karena faktor lain seperti stress
kerja. Jika dilihat dari keseluruhan kelompok umur, pasien yang berada pada
umur produktif yaitu diasumsikan < 56 tahun jumlahnya lebih banyak sebesar
145 pasien.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Abdeljawad et al., 2017)
didapatkan dispepsia sering dijumpai pada kelompok umur yang lebih muda,
prevalensi 66% pada kelompok umur dibawah 55 tahun. Penelitian lain yang
dilakukan (Jonsson et al., 1995) umur terbanyak pasien yang mengalami dispepsia
adalah 24-50 tahun dan terdapat hubungan yang signifikan antara gejala stres
pekerjaan, dukungan sosial, dan kepribadian dengan dispepsia fungsional kronik.
Berdasarkan laporan dari America Institut disebutkan bahwa stres kerja masih
menjadi perhatian, dimana 80% dari karyawan dilaporkan mengalami stres
(Seaward, 2012). Stres dalam kehidupan dapat menimbulkan reaksi pada tubuh.
Setiap permasalah kehidupan yang menimpa pada diri seseorang (stressor
psikososial) dapat mengakibatkan gangguan fungsi/faal organ tubuh (Hawari,
Dari tabel 5.4 dapat terlihat bahwa jenis penyakit penyerta yang paling
banyak terjadi pada pasien dispepsia di klinik A daerah Bekasi timur periode
Januari-Desember 2019 adalah diabetes melitus berjumlah 9 orang (16%),
osteoartritis berjumlah 5 orang (8,92%), reumatoid artritis berjumlah 13 orang
(23,21%), hipertensi berjumlah 26 orang (46,42%), jantung berjumlah 1 orang
(1,78%) dan asam urat berjumlah 2 orang (3,57%).
Penyakit penyerta yang dialami pasien dispepsia di Klinik A daerah Bekasi
Timur adalah hipertensi, reumatoid artritis, diabetes melitus, osteoartritis, asam
urat, dan jantung. Penyakit yang disebutkan termasuk kedalam penyakit penyerta
yang dialami pasien dispepsia di RSUD Dr. Moewardi tahun 2016 berdasarkan
penelitian yang dilakukan (Farikhah, 2017). Pada penelitian ini penyakit penyerta
yang paling banyak dialami pasien dispepsia adalah hipertensi. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh (Mulandani et al., 2020). Berdasarkan
penelitian Konita & Azmi, (2014) diketahui bahwa penyakit penyerta yang paling
banyak diderita oleh pasien hipertensi rawat inap adalah dispepsia.
Dari tabel 5.5 dapat terlihat penggunaan obat dispepsia yang diterima
pasien adalah obat tunggal berjumlah 5 orang (2,5%), kombinasi 2 obat berjumlah
81 orang (40,5%), dan kombinasi 3 obat berjumlah 114 orang (57%).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien lebih banyak mendapatkan
terapi kombinasi dibandingkan terapi tunggal. Variasi jumlah obat dispepsia yang
banyak digunakan adalah kombinasi 3 obat diikuti kombinasi 2 obat dan tunggal.
Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (Mulandani et al., 2020)
pada pasien rawat jalan di RSUD H.Abdul Manap Kota Jambi yang menunjukkan
bahwa kombinasi 2 obat lebih banyak digunakan pada pasien dispepsia. Variasi
1,2, atau 3 jumlah obat yang diberikan kepada pasien berbeda beda, hal ini
disebabkan karena setiap pasien mempunyai keluhan yang berbeda, frekuensi
dispepsia yang berbeda dan beberapa pasien terdiagnosa mempunyai penyakit
penyerta dengan penyakit lain.
Dari tabel 5.6 dapat terlihat jenis obat dispepsia yang diresepkan dokter di
Klinik A daerah Bekasi Timur adalah omeprazol 5 pasien (2,5%), omeprazol +
Dari tabel 5.7 dapat terlihat frekuensi pasien yang datang dengan diagnosa
dispepsia adalah 1 kali berjumlah 129 orang (64,5%), 2 kali berjumlah 41 orang
(20,5%), 3 kali berjumlah 19 orang (19%), 4 kali berjumlah 5 orang (2,5%) 5 kali
berjumlah 4 orang (2%) dan 6 kali berjumlah 2 orang (1%).
Gambaran frekuensi kedatangan pasien dispepsia di Klinik A daerah
Bekasi Timur adalah 1 hingga 6 kali. Hasil ini menunjukkan bahwa dispepsia bisa
terjadi berulang kali. Dispepsia bisa berulang jika pasien tidak menghindari faktor
risiko yang dapat menyebabkan terjadinya dispepsia kembali. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh (Kamada et al., 2013) meskipun mortalitas yang
berhubungan dengan dispepsia jarang terjadi, beban pada sistem perawatan
kesehatan cukup besar karena sifat gangguan ini yang kronis dan berulang.
Berbagai penelitian epidemiologi telah dilakukan dan ditemukan prevalensinya
bervariasi antara 15-40% orang dewasa pernah mengalami gejala dispepsia atau
kambuh (Tack et al., 2004). Berdasarkan (Babaeian et al., 2015) bahwa dispepsia
merupakan kelainan yang tidak mengancam jiwa, namun gejala yang sering
timbul seperti nyeri perut dan gangguan pencernaan membutuhkan kunjungan
medis berulang, yang akan meningkatkan biaya kesehatan dan mempengaruhi
kualitas hidup pasien.
Waktu kekambuhan penyakit bervariasi antara satu individu dengan
individu lainnya. Populasi di Negara Barat yang menderita dispepsia kronik atau
dispepsia yang berulang berkisar antara 20-37% (Talley & Vakil, 2005a; Aro et
al., 2011). Penyebab kambuhnya dispepsia dapat dipicu pola konsumsi makan,
diantaranya konsumsi alkohol yang terlalu banyak, rokok, kafein, kopi/teh,
minuman berkarbonasi, makanan berbumbu tajam, makanan tinggi garam,
Dari tabel 5.8 dapat diketahui bahwa hasil uji statistik dengan
menggunakan Mann Whitney diketahui nilai p value sebesar 0,178 artinya hasil
nilai p value > 0,05 sehingga tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki
dan perempuan dalam penggunaan obat dispepsia. Dengan kata lain tidak ada
hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan obat dispepsia yang
digunakan di Klinik A daerah Bekasi Timur.
Dari hasil penelitian tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis
kelamin dengan penggunaan obat dispepsia. Hal ini karena keluhan yang
dirasakan setiap pasien berbeda dan ada beberapa pasien yang memiliki penyakit
penyerta sehingga bukan jenis kelamin yang menentukan jenis obat dispepsia
yang akan diterima pasien. Pada penelitian ini jenis obat yang sering diresepkan
dokter pada pasien laki-laki maupun perempuan adalah 3 kombinasi dan 2
kombinasi obat dispepsia. Namun, tidak ada literatur yang mendukung hasil
penelitian ini secara langsung karena hingga saat ini belum ada literatur yang
mempublikasikan mengenai hubungan antara jenis kelamin dengan penggunaan
obat dispepsia.
Dari tabel 5.9 dapat diketahui bahwa hasil uji statistik dengan
menggunakan Mann Whitney diketahui nilai p value sebesar 0,877 artinya hasil
nilai p value > 0,05 sehingga tidak ada perbedaan yang bermakna antara pasien
yang ada penyakit penyerta dan tidak ada penyakit penyerta dalam penggunaan
obat dispepsia. Dengan kata lain tidak ada hubungan antara penyakit penyerta
dengan penggunaan obat dispepsia di klinik A daerah Bekasi Timur.
Pada penelitian ini pasien yang memiliki penyakit penyerta paling banyak
diberikan 3 kombinasi obat dispepsia. Berdasarkan penelitian (Srikandi et al.,
2017) bahwa variasi jumlah obat yang diberikan kepada pasien berbeda beda, hal
ini di sebabkan karena setiap pasien mempunyai keluhan yang berbeda dan
beberapa pasien terdiagnosa mempunyai penyakit penyerta dengan penyakit lain.
Namun, tidak ada literatur yang mendukung hasil penelitian ini secara langsung
karena hingga saat ini belum ada literatur yang mempublikasikan mengenai
hubungan antara penyakit penyerta dengan penggunaan obat dispepsia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fajar, (2013) menjelaskan
penggunaan obat PPI dapat menurunkan kadar gula darah pada pasien diabetes
melitus, dan dapat digunakaan pada pasien osteoartritis yang menggunakan obat
OAINS (obat anti inflamasi non steroid) yang merupakan faktor risiko terjadinya
peptik ulser. Penelitian lain yang dilakukan (Flood et al., (2015) menjelaskan
penggunaan antasida jangka panjang dapat menyebabkan pasien dengan hipertensi
atau penyakit jantung kemungkinan tidak dapat mentoleransi terjadinya
peningkatan sodium.
Dari tabel 5.10 dapat diketahui bahwa dari hasil uji statistik dengan
menggunakan kruskal-wallis diketahui nilai p value sebesar 0,285 artinya hasil
nilai p value > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang
bermakna antara kelompok umur dengan penggunaan obat dispepsia. Dengan kata
lain tidak ada hubungan antara kelompok umur dengan penggunaan obat dispepsia
pada pasien dispepsia di klinik A daerah Bekasi Timur.
Pada penelitian ini kelompok pasien yang paling banyak mendapatkan 2
kombinasi ataupun 3 kombinasi obat dispepsia adalah kelompok umur ≥ 56 tahun.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambahnya umur maka semakin banyak
kombinasi obat yang diberikan. Hal ini bisa disebabkan karena pasien yang sudah
lanjut usia lebih banyak mempunyai riwayat penyakit penyerta. Namun, tidak ada
literatur yang mendukung hasil penelitian ini secara langsung karena hingga saat
ini belum ada literatur yang mempublikasikan mengenai hubungan antara umur
pasien dengan penggunaan obat dispepsia.
Dari tabel 5.11 dapat diketahui bahwa hasil uji statistik dengan
menggunakan Mann Whitney diketahui nilai p value sebesar 0,642 artinya hasil
nilai p value > 0,05 sehingga tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki
dan perempuan dalam frekuensi dispepsia pasien. Dengan kata lain tidak ada
hubungan antara jenis kelamin dengan obat dispepsia di klinik A daerah Bekasi
Timur.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Muya et
al., 2015) yaitu tingkat kekambuhan tidak berhubungan dengan perbedaan jenis
kelamin. Pada penelitian ini jenis kelamin perempuan paling sering mendatangi
klinik lebih dari 1 kali untuk mengobati dispepsia yang dialami artinya sering
mengalami kekambuhan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Muya et
al., 2015) yaitu perempuan lebih sering mengalami kekambuhan dispepsia
fungsional. Hal ini karena laki-laki lebih toleran terhadap gejala pada gangguan
lambung seperti nyeri dari pada wanita.
Dari tabel 5.12 dapat diketahui bahwa hasil uji statistik dengan
menggunakan Mann Whitney diketahui nilai p value sebesar 0,018 artinya hasil
nilai p value < 0,05 sehingga ada perbedaan yang bermakna antara pasien yang
ada penyakit penyerta dengan yang tidak ada penyakit penyerta dengan frekuensi
dispepsia pasien. Dengan kata lain ada hubungan penyakit penyerta dengan
frekuensi dispepsia pasien di klinik A daerah Bekasi Timur. Namun, tidak ada
literatur yang mendukung hasil penelitian ini secara langsung karena hingga saat
ini belum ada literatur yang mempublikasikan mengenai hubungan antara
penyakit penyerta dengan frekuensi dispepsia pada pasien. Akan tetapi jika
dilihat, terjadinya dispepsia berulang dapat dipengaruhi oleh ada atau tidak
adanya penyakit penyerta. Hal ini bisa dipengaruhi oleh obat yang dikonsumsi
ataupun patofisiologi penyakit penyerta itu sendiri.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Waranugraha et al., 2010)
penggunaan OAINS (obat anti inflamasi non-steroid) sebagai terapi pengobatan
rematoid artritis ataupun osteoartritis dapat menimbulkan gastropati (lesi pada
lambung) sehingga dapat menyebabkan dispepsia dengan adanya ulkus atau tanpa
adanya ulkus. Celecoxib dan etoricoxib memiliki efek samping pada saluran
cerna, frekuensi efek samping lainnya hampir sama dengan OAINS lainnya (IRA,
2014a). Penggunaan gastroprotektif pada pasien rematoid artritis ataupun
osteoartritis ditujukan sebagai perlindungan terhadap lambung karena semua
OAINS memberikan efek samping pada gastrointestinal baik dari golongan
selektif maupun non-selektif (IRA, 2014b).
Gangguan fungsi saluran cerna merupakan masalah yang sering ditemui
pada penderita diabetes melitus, dimana hal ini bisa berkaitan dengan terjadinya
disfungsi neurogenik dari saluran cerna tersebut atau kelainan motilitas lambung
yang memicu terjadinya dispepsia (Sutadi, 2003). Berdasarkan penelitian (Hasler
et al., 2008) sekresi asam lambung akan menurun pada penderita diabetes melitus
oleh karena faktor retensi gaster, sel anti parietal antibodi dan adanya distensi
lambung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Felicia, (2014) yang menyatakan
bahwa sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 2 mengalami sindrom
dispepsia. Metformin sebagai obat antidiabetes oral pilihan pertama sering
menimbulkan reaksi obat yang merugikan yang berupa efek samping gangguan
gastrointestinal seperti diare, mual, muntah, dan perut kembung. Kejadian ini
dilaporkan sehubungan dengan penggunaan metformin tanpa disertai asupan
makanan (Bouchoucha et al., 2011).
Dari tabel 5.13 dapat diketahui bahwa dari hasil uji statistik dengan
menggunakan kruskal-wallis diketahui nilai p value sebesar 0,161 artinya hasil
nilai p value > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
bermakna antara kelompok umur dengan frekuensi dispepsia pasien. Dengan kata
lain tidak ada hubungan antara kelompok umur dengan frekuensi dispepsia pada
pasien di klinik A daerah Bekasi Timur.
Pada penelitian ini rentang umur yang paling sering mengalami
kekambuhan adalah umur ≥ 56 tahun. Hal ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan (Muya et al., 2015) bahwa sering terjadi kekambuhan dispepsia berada
pada kisaran umur 46-55 tahun. Kekambuhan dispepsia mungkin disebabkan oleh
beragam faktor-faktor risiko yang mempengaruhi penderita, misalnya aktivitas
olahraga efektif meningkatkan kemampuan manajemen stres, merangsang
peningkatan sistem imum terhadap H.pylory, membantu seseorang bertahan
terhadap stres, dan mereduksi rangsangan sekresi asam lambung (Mahadeva &
Goh, 2006). Belum ada literatur yang mendukung hasil penelitian ini secara
langsung karena hingga saat ini belum ada literatur yang mempublikasikan
mengenai hubungan antara umur dengan frekuensi dispepsia pada pasien.
6.2. Saran
Abdeljawad, K., Wehbeh, A., & Qayed, E. (2017). Low Prevalence of Clinically
Significant Endoscopic Findings in Outpatients with Dyspepsia.
Gastroenterology Research and Practice, 2017.
https://doi.org/10.1155/2017/3543681
Aini, N. (2019). Pola Penggunaan Obat pada Pasien Dispepsia Rawat Inap di
RSUD Aek Kanopan Kab . Labuhanbatu Utara. Universitas Sumatera Utara.
Alfiyani, I. (2009). Pola Pengobatan Dispepsia Pada Pasien Rawat Inap Di Rsd
Soebandi Jember.
http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/26695/A
%2892%29A_1.pdf?sequence=1
Allescher, H. D., Bockenhoff, A., Knapp, G., Wienbeck, M., & Hartung, J.
(2001). Treatment of non-ulcer dyspepsia: a meta-analysis of plasebo-
controlled prospective studies. Scand. J. Gastroenterol, 36(9), 934–941.
https://doi.org/https://doi.org/10.1080/003655201750305440
Andre, Y., Machmud, R., & Murni, A, W. (2013). Hubungan Pola Makan dengan
Kejadian Depresi pada Penderita Dispepsia Fungsional. Jurnal Kesehatan
Andalas, 2(2), 73–75.
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/123
Andriani, D., Yani, J. A., Kemiri, P., Babussalam, K., Aceh, K., & Provinsi, T.
(2019). Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nurul Hasanah Kutacane. 2(1).
Anwar, J. (2000). Farmakologi dan terapi: Obat-obat saluran cerna. Hipokres.
Ariefiany, D., Hassan, A. H., Dewayani, B. M., & Yantisetiasti, A. (2014).
Analisis gambaran histopatologi gastritis kronik dengan dan tanpa bakteri
Helicobacter pylori menurut sistem Sydney. Majalah Patologi, 23(2), 20–26.
Aru W, S. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (D. Sudoyo (ed.); 5th ed.).
Interna Publishing.
Babaeian, M., Naseri, M., Kamalinejad, M., Ghaffari, F., Emadi, F., Feizi, A.,
Yekta, N. H., & Adibi, P. (2015). Herbal Remedies for Functional Dyspepsia
and Traditional Iranian Medicine Perspective. 17(11).
https://doi.org/10.5812/ircmj.20741
Berdanier, C. D., Dwyer, J., & Feldman, E. B. (2008). Handbook of Nutrition and
Food. In Handbook of Nutrition and Food (Second Edi). CRC Press.
Bernersen, B., Johnsen, R., & Straume, B. (1996). Non-ulcer dyspepsia and peptic
ulcer: The distribution in a population and their relation to risk factors. Gut,
38(6), 822–825. https://doi.org/10.1136/gut.38.6.822
Boekema, P. J., Samsom, M., Van Berge Henegouwen, G. P., & Smout, A. J. P.
M. (1999). Coffee and gastrointestinal function: Facts and fiction: A review.
Scandinavian Journal of Gastroenterology, Supplement, 33(34), 35–39.
https://doi.org/10.1080/003655299750025525
Bouchoucha, M., Uzzan, B., & Cohen, R. (2011). Metformin and digestive
disorders. Diabetes Metabolisb, 37(2), 90–96.
https://doi.org/10.1016/j.diabet.2010.11.002
Braunwald, E., Zipes, D., & Libby, P. (2001). Heart disease: a textbook of
cardiovascular medicine. . Philadelphia: W.B. Saunders. (6th ed).
Bytzer, P., Howell, S., Leemon, M., Young, L. J., Jones, M. P., & Talley, N. J.
(2001). Low socioeconomic class is a risk factor for upper and lower
gastrointestinal symptoms: A population based study in 15 000 Australian
adults. Gut, 49(1), 66–72. https://doi.org/10.1136/gut.49.1.66
Chan, W., & Burakoff, R. (2010). Functional (Nonulcer) dyspepsia. In
Greenberger, Norton J. Current Diagnosis & Treatment Gastroenterology,
Hepatology, & Endoscopy (pp. 203–206). Mc Graw Hill.
Chang, L. (2006). From Rome to Los Angeles -- The Rome III criteria for the
functional GI disorders. Medscape.
Christensen, & Kockrow. (2006). Adult Health Nursing (5th ed.).
MosbyCompany.
Delaney, B., Ford, A. C., Forman, D., Moayyedi, P., & Qume, M. (2009). Initial
management strategies for dyspepsia. Cochrane Database of Systematic
Reviews. https://doi.org/10.1002/14651858.cd001961.pub3
Depkes RI. (2007). Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Kompendia Obat Bebas (2nd ed.). Depkes RI.
Dewi. (2017). Hubungan pola makan Sindrom, karakteristik individu terhadap
Angkatan, dispepsia pada mahasiswa Kedokteran, 2015 dan 2016 Fakultas
Skripsi., Universitas Hasanuddin. Makassar. Universitas Hasanuddin.
Dinkes Kota Bekasi. (2014). Profil Kesehatan Kota Bekasi Tahun 2014. In Profil
Kesehatan Kota Bekasi Tahun 2014.
http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KAB_KOTA_
2014/3275_Jabar_Kota_Bekasi_2014.pdf
Djojoningrat, D. (2006). Ilmu Penyakit Dalam (D. I. P. Dalam (ed.)). Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Djojoningrat, D. (2007). Dispepsia Fungsional. Dalam: Sudoyo,dkk., Buku Ajar:
Ilmu Penyakit Dalam (4th ed., pp. 352–354). Balai Penerbit FKUI.
Djojoningrat, D. (2009). Dispepsia Fungsional dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam (5th ed.). InternaPublishing.
Djojoningrat, D. (2014). Dispepsia Fungsional. In S. B. Setiati S, Alwi I, Sudoyo
AW, Simadibrata M (Ed.), Buku ajar ilmu penyakit dalam (6th ed.). Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Dobrilla, G., Comberlato, M., Steele, A., & Vallaperta, P. (1989). Drug treatment
of functional dyspepsia: A meta-analysis of randomized controlled clinical
trials. Journal of Clinical Gastroenterology, 11(2), 169–177.
https://doi.org/10.1097/00004836-198904000-00011
Emmanuel, A., & Inns, S. (2014). Lecture Notes: Gastroenterologi dan
Hepatologi. Erlangga.
Farikhah, H. N. (2017). EVALUASI INTERAKSI OBAT POTENSIAL PADA
PASIEN GASTRITIS DAN DISPEPSIA DI RAWAT INAP RSUD Dr.
MOEWARDI TAHUN 2016. UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA.
Felicia Gayle, A. (2014). Kejadian Dispepsia Pada Penderita Diabetes Melitus
Tipe 2 Yang Berkunjung Ke Poliklinik Endokrin RSUD. dr. Pirngadi Medan
Pada Bulan September Hingga November.
Filipović, B. F., Randjelovic, T., Ille, T., Markovic, O., Milovanović, B.,
Kovacevic, N., & Filipović, B. R. (2013). Anxiety, personality traits and
quality of life in functional dyspepsia‐suffering patients. European Journal
of Internal Medicine, 24(1), 83–86.
https://doi.org/10.1016/j.ejim.2012.06.017
Fithriyana, R. (2018). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Dispepsia Pada Pasien Di Wilayah Kerja Puskesmas Bangkinang Kota. 2,
43–54.
Flood, P., Rathmell, J., & Shafer, S. (2015). STOELTING’S Pharmacology and
Physiology in Anesthetic Practice (Fifth Edit). Library of Congress
Cataloging.
Fransen, G. A. J., Mesters, I., Janssen, M. J. R., Knottnerus, J. A., & Muris, J. W.
M. (2009). Which patient-related factors determine self-perceived patient
adherence to prescribed dyspepsia medication? Health Education Research,
24(5), 788–798. https://doi.org/10.1093/her/cyp014
Fugit, R. V., & Berardi, R. . (2009). Upper Gastrointestinal Disorder. In M. A.
Koda-Kimble, L. Y. Young, B. KAlldredge, R. L. Corelli, B. J. Guglielmo,
W. A. Kradjan, & Bradley R Williams (Eds.), Applied Therapeutics the
Cinical Use of Drugs (9th ed.). Annals of Internal Medicine.
https://doi.org/10.7326/0003-4819-99-4-582_4
Guyton, arthur C., & Hall, john E. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (11th
ed.). EGC.
Harahap, Y. (2009). Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap di RS Martha
Friska Medan tahun 2017. In Universitas Stuttgart. Universitas Sumatera
Utara.
Hasler, W. L., Coleski, R., Chey, W. D., Koch, K. L., Mccallum, R. W., Wo, J.
M., Kuo, B., Sitrin, M. D., Katz, L. A., Hwang, J., Semler, J. R., & Parkman,
H. P. (2008). Differences in intragastric pH in diabetic vs . idiopathic
gastroparesis : relation to degree of gastric retention. 48109, 1384–1391.
https://doi.org/10.1152/ajpgi.00023.2008.
Hawari, D. (2001). Manajemen Cemas dan Depresi. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Hawkey, C. J., & Langman, M. J. S. (2003). Non-steroidal anti-inflammatory
drugs: Overall risks and management. Complementary roles for COX-2
inhibitors and proton pump inhibitors. Gut, 52(4), 600–608.
https://doi.org/10.1136/gut.52.4.600
Hemriyantton, B., Arifin, H., & Murni, A. W. (2017). Hubungan Depresi
Terhadap Tingkat Kepatuhan dan Kualitas Hidup Pasien Sindrom Dispepsia
di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 3(2), 141.
https://doi.org/10.29208/jsfk.2017.3.2.118
Herman, B. . (2004). Fisiologi Pencernaan Untuk Kedokteran. Andalas
University Press.
IRA. (2014a). Diagnosis dan Penatalakana Osteoarthritis. Perhimpunan
Rheumatologi Indonesia.
IRA. (2014b). Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid. In Perhimpunan
Rheumatologi Indonesia.
Irawan, A. T. (2015). Faktor Resiko Terhadap Kejadian Dispepsia di Instalasi
Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2015. Medisina,
1(2), 1–9.
Irianto, K. (2015). Memahami Berbagai Penyakit Penyebab, Gejala, Penularan,
Pengobatan, Pemulihan Dan Pencegahan.
Jamil, O., Sarwar, S., Hussain, Z., Fiaz, R. O., & Chaudary, R. D. (2016).
Association between functional dyspepsia and severity of depression.
Journal of the College of Physicians and Surgeons Pakistan, 26(6), 513–516.
Jonsson, H. B., Theorell, T., & Gotthard, R. (1995). Symptoms and personality in
patients with chronic functional dyspepsia. Journal of Psychosomatic
Research, 39(1), 93–10.
Kamada, T., Fujimura, Y., Gotoh, K., Imamura, H., Manabe, N., & Kusunoki, H.
(2013). A Study on the Efficacy of Proton Pump Inhibitors in Helicobacter
pylori - Negative Primary Care Patients with Dyspepsia in Japan. 7(1), 16–
22.
Katzung, B. G., Masters, S. B., & Trevor, A. J. (2014). Farmakologi Dasar &
Klinik, Vol.2 (B. I. R. S. et Al (ed.); Edisi 12). Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Kementerian Kesehatan RI. (2012). Formularium Ilmu Penyakit Dalam
(Direktorat & J. B. K. dan A. Kesehatan (eds.)). Kementerian Kesehatan RI.
Kim, S. E. (2016). Functional dyspepsia. Helicobacter Pylori, 207–218.
https://doi.org/10.1007/978-981-287-706-2_18
Lanjutan
41 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1 hipertensi
42 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2
43 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+sukra(2x1sdm) 2
44 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1 RA
45 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 3
46 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+domperidon(2x1) 2
47 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2
48 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1 DM,as.urat
49 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2 RA
50 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 5 hipertensi
51 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2
52 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 3
53 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+sukra(2x1sdm) 3
54 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 3
55 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 5
56 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2
57 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1 hipertensi,RA
58 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2 hipertensi
59 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+domperidon(2x1) 2 hipertensi
60 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2 hipertensi
61 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 3 hipertensi
62 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2
63 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2 RA
64 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1 RA
65 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2 hipertensi,RA
66 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 3
67 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 2
68 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 3 hipertensi
69 rani/sime(2x1)+ome (2x1) 1 OA
70 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
71 ome (2x1)+antasida(2x1) 1 RA
72 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
73 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
74 ome(2x1)+antasida(2x1) 1 DM,hipertensi
75 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1 hipertensi
76 ome(2x1)+antasida(2x1) 1 hipertensi
77 ome(2x1)+antasida(2x1) 1 RA
78 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 2
79 ome(2x1)+antasida(2x1) 2
80 ome(2x1)+antasida(2x1) 1 hipertensi
81 ome(2x1)+antasida(2x1) 1 DM ,hipertensi
82 ome(2x1)+antasida(2x1) 2
83 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
84 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1 hipertensi
85 ome(2x1)+rani/sime(2x1) 4
86 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1 hipertensi
87 ome(2x1)+antasida(2x1) 2
88 ome(2x1)+rani/sime(2x1) 3
89 ome(2x1)+antasida(2x1) 2 OA
90 ome(2x1)+antasida(2x1) 2
91 ome(2x1)+antasida(2x1) 1 as.urat
92 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1 DM,Hipertensi
93 ome(2x1)+antasida(2x1) 2
94 ome(2x1)+antasida(2x1) 2
95 ome(2x1)+antasida(2x1) 1 hipertensi
96 ome(2x1)+antasida(2x1) 2 RA
97 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1 hipertensi
98 ome(2x1)+domperidon(2x1) 2
99 ome(2x1) 2
100 ome(2x1) 2 Riwayat jantung
101 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
102 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
103 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
104 rani/sime(2x1)+ome (2x1)+antasida(2x1) 1 DM,OA
105 rani/sime(2x1)+ome (2x1)+antasida(2x1) 1
106 rani/sime(2x1)+ome (2x1)+antasida(2x1) 1
107 ome (2x1)+antasida(2x1) 1
108 rani/sime(2x1)+ome (2x1)+antasida(2x1) 1
109 rani(2x1)+ome(2x1) 1
110 ome (2x1)+antasida(2x1)+domperidon(2x1) 1
111 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
112 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1 hipertensi
113 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
114 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1 hipertensi
115 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
116 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
117 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
118 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
119 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
120 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
121 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+domperidon(2x1) 1
122 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
123 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
124 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+sukra(2x1sdm) 1
125 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
126 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
127 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
128 ome(2x1)+antasida(2x1sdm) 1
129 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
130 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
131 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+domperidon(2x1) 1
132 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
133 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
134 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
135 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
136 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
137 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
138 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
139 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
140 ome(2x1) 1
141 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
142 rani(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
143 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
144 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
145 rani(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
146 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
147 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
148 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
149 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
150 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
151 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
152 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
153 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
154 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
155 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
156 ome(2x1) 1
157 ome(2x1) 1
158 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
159 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
160 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
161 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
162 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+sukra(2x1sdm) 1
163 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
164 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
165 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
166 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
167 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
168 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
169 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
170 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
171 rani(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
172 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
173 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
174 ome(2x1)+antasida(2x1)+sukra(2x1sdm) 1
175 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
176 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+domperidon(2x1) 1
177 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
178 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
179 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
180 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
181 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
182 rani/sime(2x1)+ome(2x1) 1
183 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
184 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
185 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
186 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
187 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
188 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
189 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
190 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
191 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
192 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+domperidon(2x1) 1
193 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
194 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
195 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
196 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
197 rani/sime(2x1)+antasida(2x1) 1
198 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
199 ome(2x1)+antasida(2x1) 1
200 rani/sime(2x1)+ome(2x1)+antasida(2x1) 1
Ket :
DM: Diabetes Melitus
OA: Osteoartritis
RA: Rematoid Artritis
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Jenis Kelamin .392 200 .000 .622 200 .000
Umur Pasien .170 200 .000 .882 200 .000
Penyakit Penyerta .475 200 .000 .525 200 .000
Obat Dispepsia .365 200 .000 .685 200 .000
Frekuensi Dispepsia .365 200 .000 .650 200 .000
Keluhan Pasien .241 200 .000 .817 200 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Ranks
Jenis Kelamin N Mean Rank Sum of Ranks
Obat Dispepsia Laki-laki 80 106.35 8508.00
Perempuan 120 96.60 11592.00
Total 200
Test Statisticsa
Obat Dispepsia
Mann-Whitney U 4332.000
Wilcoxon W 11592.000
Z -1.347
Asymp. Sig. (2-tailed) .178
a. Grouping Variable: Jenis Kelamin
Descriptives
Jenis Std.
Kelamin Statistic Error
Obat Laki-laki Mean 2.60 .061
Dispepsia 95% Lower Bound 2.48
Confidence Upper Bound 2.72
Interval for
Mean
5% Trimmed Mean 2.64
Median 3.00
Variance .294
Std. Deviation .542
Minimum 1
Maximum 3
Range 2
Interquartile Range 1
Skewness -.901 .269
Kurtosis -.264 .532
Perempuan Mean 2.50 .050
95% Lower Bound 2.40
Ranks
Penyakit Penyerta N Mean Rank Sum of Ranks
Obat Dispepsia ada 47 99.51 4677.00
tidak ada 153 100.80 15423.00
Total 200
Test Statisticsa
Obat Dispepsia
Mann-Whitney U 3549.000
Wilcoxon W 4677.000
Z -.155
Asymp. Sig. (2-tailed) .877
a. Grouping Variable: Penyakit Penyerta
Descriptives
Penyakit Std.
Penyerta Statistic Error
Obat ada Mean 2.53 .080
Dispepsia 95% Confidence Lower Bound 2.37
Interval for Mean Upper Bound 2.69
5% Trimmed Mean 2.56
Median 3.00
Variance .298
Std. Deviation .546
Minimum 1
Maximum 3
Range 2
Interquartile Range 1
Skewness -.550 .347
Kurtosis -.873 .681
tidak Mean 2.54 .044
ada 95% Confidence Lower Bound 2.45
Interval for Mean Upper Bound 2.63
5% Trimmed Mean 2.58
Median 3.00
Variance .302
Std. Deviation .550
Minimum 1
Maximum 3
Range 2
Interquartile Range 1
Skewness -.651 .196
Kurtosis -.679 .390
Ranks
Umur Pasien N Mean Rank
Obat Dispepsia 17-25 24 85.31
26-35 43 94.36
36-45 43 100.92
46-55 35 112.11
>56 55 104.21
Total 200
Test Statisticsa,b
Obat Dispepsia
Kruskal-Wallis H 5.027
df 4
Asymp. Sig. .285
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Umur Pasien
Descriptives
Std.
Umur Pasien Statistic Error
Obat Dispepsia 17-25 Mean 2.38 .118
95% Confidence Lower Bound 2.13
Interval for Mean Upper Bound 2.62
5% Trimmed Mean 2.41
Median 2.00
Variance .332
Std. Deviation .576
Minimum 1
Maximum 3
Range 2
Interquartile Range 1
Skewness -.210 .472
Kurtosis -.683 .918
26-35 Mean 2.47 .090
95% Confidence Lower Bound 2.28
Interval for Mean Upper Bound 2.65
5% Trimmed Mean 2.51
Median 3.00
Variance .350
Std. Deviation .592
Minimum 1
Maximum 3
Range 2
Interquartile Range 1
Skewness -.583 .361
Kurtosis -.556 .709
36-45 Mean 2.56 .077
95% Confidence Lower Bound 2.40
Interval for Mean Upper Bound 2.71
5% Trimmed Mean 2.56
Median 3.00
Variance .252
Std. Deviation .502
Minimum 2
Maximum 3
Range 1
Interquartile Range 1
Skewness -.243 .361
Kurtosis -2.038 .709
46-55 Mean 2.66 .091
95% Confidence Lower Bound 2.47
Interval for Mean Upper Bound 2.84
5% Trimmed Mean 2.71
Median 3.00
Variance .291
Std. Deviation .539
Minimum 1
Maximum 3
Range 2
Interquartile Range 1
Skewness -1.278 .398
Kurtosis .758 .778
>56 Mean 2.58 .072
95% Confidence Lower Bound 2.44
Interval for Mean Upper Bound 2.73
5% Trimmed Mean 2.61
Median 3.00
Variance .285
Std. Deviation .534
Minimum 1
Maximum 3
Range 2
Interquartile Range 1
Skewness -.718 .322
Kurtosis -.706 .634
Ranks
Jenis Kelamin N Mean Rank Sum of Ranks
Frekuensi Dispepsia Laki-laki 80 98.51 7881.00
Perempuan 120 101.83 12219.00
Total 200
Test Statisticsa
Frekuensi Dispepsia
Mann-Whitney U 4641.000
Wilcoxon W 7881.000
Z -.465
Asymp. Sig. (2-tailed) .642
a. Grouping Variable: Jenis Kelamin
Descriptives
Jenis Std.
Kelamin Statistic Error
Frekuensi Laki-laki Mean 1.58 .112
Dispepsia 95% Confidence Lower Bound 1.35
Interval for Mean Upper Bound 1.80
5% Trimmed Mean 1.43
Median 1.00
Variance 1.007
Std. Deviation 1.003
Minimum 1
Maximum 6
Range 5
Interquartile Range 1
Skewness 2.179 .269
Kurtosis 5.361 .532
Perempuan Mean 1.63 .093
95% Confidence Lower Bound 1.44
Interval for Mean Upper Bound 1.81
5% Trimmed Mean 1.48
Median 1.00
Variance 1.043
Std. Deviation 1.021
Minimum 1
Maximum 6
Range 5
Interquartile Range 1
Skewness 2.013 .221
Kurtosis 4.253 .438
Ranks
Penyakit Penyerta N Mean Rank Sum of Ranks
Frekuensi Dispepsia ada 47 115.41 5424.50
tidak ada 153 95.92 14675.50
Total 200
Test Statisticsa
Frekuensi Dispepsia
Mann-Whitney U 2894.500
Wilcoxon W 14675.500
Z -2.368
Asymp. Sig. (2-tailed) .018
a. Grouping Variable: Penyakit Penyerta
Descriptives
Penyakit Std.
Penyerta Statistic Error
Frekuensi ada Mean 1.91 .177
Dispepsia 95% Confidence Lower Bound 1.56
Interval for Mean Upper Bound 2.27
5% Trimmed Mean 1.78
Median 1.00
Variance 1.471
Std. Deviation 1.213
Minimum 1
Maximum 6
Range 5
Interquartile Range 2
Skewness 1.468 .347
Kurtosis 1.972 .681
tidak Mean 1.51 .075
ada 95% Confidence Lower Bound 1.36
Interval for Mean Upper Bound 1.66
5% Trimmed Mean 1.38
Median 1.00
Variance .857
Std. Deviation .926
Minimum 1
Maximum 6
Range 5
Interquartile Range 1
Skewness 2.341 .196
Kurtosis 6.230 .390
Ranks
Umur Pasien N Mean Rank
Frekuensi Dispepsia 17-25 24 79.94
26-35 43 96.56
36-45 43 108.85
46-55 35 99.40
>56 55 106.73
Total 200
Test Statisticsa,b
Frekuensi Dispepsia
Kruskal-Wallis H 6.558
df 4
Asymp. Sig. .161
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Umur Pasien
Descriptives
Std.
Umur Pasien Statistic Error
Frekuensi 17-25 Mean 1.21 .104
Dispepsia 95% Confidence Lower Bound .99
Interval for Mean Upper Bound 1.42
5% Trimmed Mean 1.13
Median 1.00
Variance .259
Std. Deviation .509
Minimum 1
Maximum 3
Range 2
Interquartile Range 0
Skewness 2.539 .472
Kurtosis 6.258 .918
26-35 Mean 1.44 .107
95% Confidence Lower Bound 1.23
Interval for Mean Upper Bound 1.66
5% Trimmed Mean 1.35
Median 1.00
Variance .491
Std. Deviation .700
Minimum 1
Maximum 4
Range 3
Interquartile Range 1
Skewness 1.742 .361
Kurtosis 3.261 .709
36-45 Mean 1.77 .176
95% Confidence Lower Bound 1.41
Interval for Mean Upper Bound 2.12
5% Trimmed Mean 1.61
Median 1.00
Variance 1.326
Std. Deviation 1.151
Minimum 1
Maximum 6
Range 5
Interquartile Range 1
Skewness 1.953 .361
Kurtosis 4.196 .709
46-55 Mean 1.60 .160
95% Confidence Lower Bound 1.28
Interval for Mean Upper Bound 1.92
5% Trimmed Mean 1.52
Median 1.00
Variance .894
Std. Deviation .946
Minimum 1
Maximum 4
Range 3
Interquartile Range 2
Skewness 1.133 .398
Kurtosis -.340 .778
>56 Mean 1.78 .168
95% Confidence Lower Bound 1.45
Interval for Mean Upper Bound 2.12
5% Trimmed Mean 1.63
Median 1.00
Variance 1.544
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
a
Pearson Chi-Square 18.107 1 .000
Continuity Correctionb 16.864 1 .000
Likelihood Ratio 18.846 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear 18.016 1 .000
Association
N of Valid Cases 200
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
31.32.
b. Computed only for a 2x2 table