Anda di halaman 1dari 88

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI EFEKTIVITAS TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK


PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT
TNI ANGKATAN LAUT Dr. MINTOHARDJO
JAKARTA PUSAT

SKRIPSI

NINDYA NURFITRIANI AZHAR


1111102000095

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
SEPTEMBER 2015
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI EFEKTIVITAS TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK


PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT
TNI ANGKATAN LAUT Dr. MINTOHARDJO
JAKARTA PUSAT

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

NINDYA NURFITRIANI AZHAR


1111102000095

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
SEPTEMBER 2015

ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Nindya Nurfitriani Azhar

NIM : 1111102000095

Tanda Tangan :

Tanggal : September 2015

iii
ABSTRAK

Nama : Nindya Nurfitriani Azhar


Program Studi : Farmasi

Judul : Uji Efektivitas Terapi Oksigen Hiperbarik Pada Pasien


Diabetes Melitus di Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr.

Mintohardjo Jakarta Pusat

Diabetes merupakan suatu penyakit heterogen yang gejalanya ditandai dengan


peningkatan gula darah yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut.
Selain dengan obat-obatan kimia, pengembangan teknologi dilakukan untuk
penyembuhan berbagai macam penyakit termasuk penyakit diabetes yaitu terapi
oksigen hiperbarik. Terapi oksigen hiperbarik adalah terapi di mana pasien berada di
ruangan bertekanan tinggi dan bernafas dengan oksigen murni (100%) pada tekanan
udara lebih besar daripada udara atmosfir normal. Penelitian ini untuk mengetahui
efektivitas pengobatan diabetes dengan menggunakan terapi oksigen hiperbarik.
Dalam penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan melakukan
observasi pengendalian gula darah pada pasien diabetes yang menggunakan terapi
oksigen hiperbarik. Hasil penelitian diperoleh bahwa rata-rata kadar HbA1c pasien
yang menggunakan obat sebesar 9,37±1,38% sedangkan setelah terapi oksigen
hiperbarik 7,5± 1,109%. Dan rata-rata kadar GDS pasien yang menggunakan obat
sebesar 249,21±39,71% sedangkan setelah terapi oksigen hiperbarik 158,7± 48,82%.
Hal ini menunjukan terapi DM Tipe 2 dengan OAD dan oksigen hiperbarik, kadar
HbA1c dan kadar GDS pasien dapat dikendalikan mendekati normal.

Kata Kunci : Diabetes mellitus, kadar HbA1c, kadar GDS, terapi oksigen
hiperbarik.

vi
ABSTRACT

Name : Nindya Nurfitriani Azhar


Study Program : Pharmacy

Title : Effectiveness Test of Hyperbaric Oxygen Therapy In


Diabetes Mellitus Patient in Rumah Sakit TNI Angkatan

Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat

Diabetes is a heterogeneous disease which characterized with the increased blood


glucose that caused by the deficiency of relative insulin or absolute. Beside the use of
chemical drug, the development of technology can be conducted to recover the
several diseases particularly diabetes disease by using hyperbaric oxygen therapy.
The hyperbaric oxygen therapy is a therapy in which the patient located in high
pressure room and breathed with pure oxygen (100%) at the air pressure greater than
the normal pressure atmosphere. The objective of this research is to study the
effectiveness of diabetes treatment by using hyperbaric oxygen therapy. In this
research is used cross sectional design that conducted the observation to control the
blood glucose at the diabetes patient who used the hyperbaric oxygen therapy. The
result in this research showed that the average of HbA1c patient that using the drug is
9,37±1,38%, while, after using the hyperbaric oxygen therapy is 7,5± 1,109%. The
average of GDS patient by using the drug is 249,21±39,71%, whilst, after finishing
the hyperbaric oxygen therapy is 158,7± 48,82%. The result indicated that the DM
therapy type 2 with OAD and the hyperbaric oxygen therapy, the level of HbA1c and
the level of GDS patient can be controlled related to the normal condition.

Key words: Diabetes mellitus, HbA1c levels, levels of GDS, hyperbaric oxygen
therapy.

vii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan
segala rahmat-Nya kepada kita semua, khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penulisan skripsi ini tentu banyak berbagai kesulitan dan halangan
yang menyertai, sehingga penulis tidak terlepas dari doa, bantuan, dan bimbingan
berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Delina Hasan, M.Kes., Apt. sebagai Pembimbing I dan Bapak Drs.
Fakhren Kasim, MH.Kes., Apt. sebagai Pembimbing II yang telah
memberikan ilmu, nasehat, waktu, tenaga, dan dukungan moral selama masa
perkuliahan, penelitian, hingga penulisan skripsi.
2. Bapak Dr. H Arif Sumantri, SKM., M.Kes. selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Yardi, Ph.D., Apt. atas dedikasi dan profesionalitas beliau sebagai
ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt. sebagai Dosen Pembimbing
Akademik yang telah memberikan nasehat, waktu, dan dukungan moral
selama masa perkuliahan, penelitian, hingga penulisan skripsi.
5. Bapak dan Ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan selama menempuh pendidikan di Program Studi
Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

viii
6. Bapak Ari, dan seluruh civitas RUMKITAL Dr. Mintohardjo yang telah
memberikan kesempatan dan kemudahan untuk melakukan penelitian.
7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Haryanto dan Ibunda Sari Asri serta adik
yang sangat saya sayangi Kayla Amira Azhar yang selalu ikhlas memberikan
dukungan moral, material, nasehat, serta lantunan doa yang tiada pernah putus
di setiap waktu.
8. Teman-teman di Program Studi Farmasi 2011: Indah, Elsa, Puji,Ageng, Ani,
Nova, Annisa, Anissa, Anis, Ices, Ika, Aditya, Andis, Tari, Miyadah, Happy,
Aci, Brasti, Hala, Syaiful, serta teman-teman Farmasi 2011 beng-beng atas
semangat dan kebersamaan kita selama 4 tahun kita bersama.
9. Randi Herlambang yang selalu hadir memberi semangat dan dukungan tanpa
henti, yang selalu menemani suka duka, yang selalu memotivasi dan
menginspirasi.
10. Tiara, Erna, Rina,Agung, yang selalu menginspirasi dan menguatkan saya.
Terima kasih atas persaudaraan dan pertemanan yang berkesan selama ini.
11. Linda, Mba Rica, Tia, Mba Ita, Mba Nun, Tisa, Mba Dani, Firdha, Yane,
Henny, Karina, Kasa, Swara, Rani, Galih Fitri, Ari, Manda, Diah Ayu, terima
kasih atas dukungan, motivasi, dan kebersamaannya selama ini.
12. Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian dan
penulisan.

Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah
SWT. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan
penulis nantikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
Ciputat, September 2015

Penulis

ix
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Nindya Nurfitriani Azhar


NIM : 1111102000095
Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)


Jenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya
dengan judul :
UJI EFEKTIVITAS TERAPI HIPERBARIK PADA PASIEN DIABETES
MELITUS DI RUMAH SAKIT TNI ANGKATAN LAUT DR.
MINTOHARDJO JAKARTA PUSAT
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta
Tanggal : September 2015

Yang menyatakan,

(Nindya Nurfitriani Azhar)

x
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................. iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………… v
ABSTRAK ............................................................................................... vi
ABSTRACT ............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ............................................................................ viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ................. x
DAFTAR ISI ........................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xiii
DAFTAR TABEL ................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................... 4
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................. 4
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................ 4
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................. 5
1.4.1 Secara Teoritis ............................................................ 5
1.4.2 Secara Metodologi ...................................................... 5
1.4.3 Secara Aplikatif .......................................................... 5
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ...................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 6


2.1 Diabetes Melitus ………………..………………...……….... 6
2.1.1 Definisi Diabetes Melitus …………………...……...... 6
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus …………….....…….….. 6
2.1.3 Etiologi Diabetes Melitus …………………...……...... 10
2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus ……………...……….. 11
2.1.5 Gejala Diabetes Melitus ……………………...……… 12
2.1.6 Faktor Risiko Diabetes Melitus ……………………… 13
2.1.7 Diagnosis Diabetes Melitus ……………………...…... 14
2.1.8 Komplikasi Diabetes Melitus …………………...…… 15
2.1.9 Penatalaksanaan Diabetes Melitus ………………...… 18
2.1.10 Penggolongan Obat Diabetes Melitus ……………...... 21
2.2 Hiperbarik Oksigen …………………….......……………...... 28

xi
2.2.1 Sejarah Terapi Oksigen Hiperbarik ………………...... 28
2.2.2 Definisi Terapi Oksigen Hiperbarik …………...…….. 30
2.2.3 Indikasi-indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik ……...… 35
2.2.4 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik …...……... 35
2.2.5 Protap Terapi Oksigen Hiperbarik ………………...… 36
2.2.6 Klasifikasi Ruang Hiperbarik ……………………....... 39
2.3 Hiperbarik Center RUMKITAL Dr. Mintohardjo …….……. 40

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN


HIPOTESIS ............................................................................................. 43
3.1 Kerangka Konsep …………………………...……………..... 43
3.2 Definisi Operasional ………………………………………... 44
3.3 Hipotesis …………………………………………………..... 46

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ……………………………. 47


4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………….. 47
4.2 Desain Penelitian …………………………………………… 47
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian …………………………….. 47
4.3.1 Populasi ………………………………………........... 47
4.3.2 Sampel …………………………………………......... 48
4.3.2.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Sampel …...... 48
4.4 Prosedur Penelitian ………………………………………..... 48
4.4.1 Pengumpulan Data …………………………….......... 48
4.4.2 Pengolahan Data …………………………………...... 49
4.4.3 Analisis Data ………………………………............... 49

BAB V HASIL …...........................................…………………………. 51


5.1 Hasil Penelitian ………………………………...................... 51
5.1.1 Jumlah Pasien Berdasarkan Karakteristik Pasien ....... 51
5.1.2 Kondisi Pasien yang Menggunakan OAD dan
Setelah Terapi Oksigen Hiperbarik .............................. 52

BAB VI PEMBAHASAN ….........................…………………………. 59


6.1 Pembahasan ….....……………………………...................... 59
6.1.1 Karakteristik Pasien ..................................................... 59
6.1.2 Kondisi Pasien yang Menggunakan Obat
Antidiabetes dan Setelah Terapi Oksigen Hiperbarik 60

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN …........................…………. 65


7.1 Kesimpulan ….....……………………………....................... 65
7.2 Saran ….....……………………………................................. 65

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………. 66


LAMPIRAN ............................................................................................ 70

xii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Algoritma Penatalaksanaan DM tipe 2 .................................... 20
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian.................................................... 43

xii
i
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Kadar Gula Darah Sewaktu dan Puasa............................ 15


Tabel 2.2. Kriteria Pengendalian DM .............................................. 15
Tabel 2.3. Target Pelaksanaan Diabetes Melitus ............................. 19
Tabel 3.2. Definisi Operasional ........................................................ 44
Tabel 5.1. Distribusi Pasien DM Tipe 2 Berdasarkan Karakteristik
di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-
Maret 2015 ...................................................................... 51
Tabel 5.2. Distribusi kondisi pasien selama menggunakan OAD di
RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-
Februari 2015 .................................................................... 52
Tabel 5.3. Distribusi kondisi pasien sebelum dan setelah terapi
OHB di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari
2014-Februari 2015 ......................................................... 54
Tabel 5.4. Rekapitulasi pasien yang menggunakan terapi oksigen
hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode
Januari 2014-Maret 2015 ................................................... 56
Tabel 5.5. Frekuensi terapi oksigen hiperbarik dan jenis OAD pada
keadaan pasien keluar yang terkendali di RUMKITAL
Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015 …... 56
Tabel 5.6. Frekuensi terapi oksigen hiperbarik dan jenis OAD pada
keadaan pasien keluar yang tidak terkendali di
RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-
Februari 2015 .......................................................................... 58

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Penelitian Dari UIN Syarif


Hidayatullah Jakarta Prodi Farmasi ..................................... 71
Lampiran 2. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian Dari
RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat ...................... 72
Lampiran 3. Pasien Diabetes yang Menggunakan Obat
Antidiabetes dan Terapi Oksigen Hiperbarik di
RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat ..................... 73
Lampiran 4. Uji Paired Samples T-Test dari Hasil Data HbA1c
dan GDS Pasien Sebelum dan Setelah Terapi
Oksigen Hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo
Jakarta Pusat Periode Januari 2014-Februari 2015 .......... 76

xv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes melitus (DM) merupakan masalah kesehatan global yang
insidennya semakin meningkat. Diabetes adalah suatu penyakit heterogen yang
gejalanya ditandai dengan peningkatan gula darah yang disebabkan oleh defisiensi
insulin relatif atau absolut (Mycek, J. Mary, 2001). Diabetes melitus adalah
penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal.
Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin
baik secara absolut maupun relatif. Ada 2 tipe diabetes melitus yaitu diabetes tipe
I yaitu diabetes yang umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe
II yaitu diabetes yang didapat setelah dewasa (ADA, 2011).
Sebanyak 346 juta orang di dunia menderita diabetes, dan diperkirakan
mencapai 380 juta jiwa pada tahun 2025 (WHO, 2011). Dan sekitar 60% jumlah
pasien tersebut terdapat di Asia. Jumlah ini diasumsikan akan meningkat tiga kali
lipat pada tahun 2030 (Hilary King et al, 2004). Prevalensi diabetes di Indonesia
berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter sebesar 1,5 persen. Diabetes
melitus yang berdasarkan wawancara juga terjadi peningkatan dari 1,1 persen
(2007) menjadi 2,4 persen (2013). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter
tertinggi terdapat di Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara
(2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis
dokter atau gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara
(3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa Tenggara Timur 3,3 persen (Rikesda,
2013).
Peningkatan terjadi akibat bertambahnya populasi penduduk usia lanjut
dan perubahan gaya hidup, mulai dari pola makan/jenis makanan yang
dikonsumsi sampai berkurangnya kegiatan jasmani. Hal ini terjadi terutama pada
kelompok usia dewasa ke atas pada seluruh status sosial-ekonomi (Zahtamal dkk,
2007). Penyakit diabetes melitus sering menimbulkan komplikasi berupa stroke,
gagal jantung, nefropati, kebutaan dan bahkan harus menjalani amputasi jika

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


2

anggota badan menderita luka gangren (Nuh Huda, 2010). Prevalensi penyakit
diabetes melitus yang terus menerus meningkat, mengharuskan pemerintah
Indonesia untuk senantiasa tanggap dalam penanganan dan pengobatan untuk
pasien diabetes melitus.
Ada 4 hal penting yang perlu dijalankan agar pasien diabetes dapat hidup
sehat kembali yang disebut dengan empat pilar pengendalian diabetes (Edukasi,
pengaturan makan, olahraga, obat seperti tablet atau insulin) (Kariadi,2009).
Namun pada kenyataannya angka kematian dan komplikasi dari penyakit diabetes
melitus tetap saja tinggi. Upaya yang dilakukan yaitu memberikan penyuluhan
dan pendidikan kesehatan (edukasi) tentang perawatan dan pengobatan penyakit
diabetes melitus secara mandiri. Edukasi ini mencakup perencanaan makan (diet),
kegiatan olah raga, pemakaian obat oral dan insulin secara tepat. Pemantauan
kadar gula dalam darah dan urin serta meningkatnya motivasi penderita diabetes
melitus untuk kontrol secara teratur yang bertujuan menghilangkan gejala,
mencegah komplikasi akut dan kronik, mengurangi komplikasi yang sudah ada,
mengobati penyakit penyerta, menciptakan dan mempertahankan kesehatan tubuh,
memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi angka kematian (Soegondo, 1995).
Kemajuan teknologi dalam bidang ilmu pengetahuan kedokteran
menghasilkan metode–metode baru dalam upaya penyembuhan penyakit,
termasuk penyakit diabetes. Salah satu pengembangan teknologi tersebut adalah
terapi oksigen hiperbarik. Telah banyak penelitian yang dilakukan terhadap
metode pengobatan terapi hiperbarik dalam bidang medis.
Terapi oksigen hiperbarik diperkenalkan pertama kali oleh Behnke pada
tahun 1930. Saat itu angkatan laut Amerika Serikat (US Navy) memulai penelitian
terhadap terapi hiperbarik untuk mengobati penyakit dekompresi dan emboli
udara pada arteri yang dialami oleh para penyelam militer. Terapi oksigen
hiperbarik hanya diberikan kepada para penyelam untuk menghilangkan gejala
penyakit dekompresi yang timbul akibat perubahan tekanan udara saat menyelam,
sehingga fasilitas terapi tersebut sebagian besar hanya dimiliki oleh beberapa
Rumah Sakit TNI AL dan Rumah Sakit yang berhubungan dengan pertambangan
(Nuh Huda, 2010).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3

Terapi hiperbarik oksigen adalah terapi dimana penderita harus berada


dalam suatu ruangan bertekanan tinggi dan bernafas dengan oksigen murni
(100%) pada tekanan udara lebih besar daripada udara atmosfir normal, yaitu
sebesar 1 ATA (Atmosfir Absolut) sama dengan 760 mmHg. Pemberian oksigen
tekanan tinggi untuk terapi dilaksanakan dalam chamber atau RUBT (Ruang
Udara Bertekanan Tinggi) (Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda, 2010).
Konsentrasi O2 yang digunakan dalam terapi oksigen hiperbarik berbeda
dengan O2 yang digunakan dalam tabung oksigen yang biasa karena pada
pemberian O2 di hiperbarik disertai tekanan tinggi yaitu 2,4 atm yang akan
membantu distribusi O2 dengan cepat dan terpenuhi dengan baik pada organ
tubuh. Sedangkan O2 dalam tabung oksigen tidak disertai tekanan tinggi.
Pada tahun 2003, The American Society of Hyperbaric Medicine
(Underwater and Hyperbaric Medical Society, UHMS) mempublikasikan indikasi–
indikasi untuk terapi oksigen hiperbarik yang disetujui oleh komite tersebut
berdasarkan bukti ilmiah yang ada, seperti emboli udara, keracunan karbon
monoksida, keracunan karbon monoksida dan sianida, anemia karena pendarahan,
penyakit dekompresi, abses intrakranial, infeksi nekrosis jaringan lunak,
osteomyelitis refraktur, luka bakar dan lain-lain.
Tahun 2010 Rady dwipayana, dkk meneliti tentang efek hiperbarik pada
cedera otot pada tikus putih dan hasilnya hiperbarik oksigen meningkatkan
terjadinya jaringan granulasi dan proliferasi fibroblas pada penyembuhan cedera
otot fleksor pada tikus putih. Pada tahun yang sama T. Nuh Huda meneliti tentang
pengaruh hiperbarik oksigen terhadap perfusi perifer luka gangren penderita
diabetes melitus, hasilnya ada perubahan menjadi lebih baik pada luka tetapi
tidak signifikan. Mayor Laut (K) Tituk Harnanik, dokter dan Kepala
Subdepartemen Faal Penyelaman TNI AL Armada Timur mengatakan, terapi
hiperbarik oksigen mampu mempercepat kesembuhan dan mengurangi dosis obat
yang diminum penderita diabetes.
Secara teori terapi OHB dapat meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap
insulin dan menimbulkan hipoglikemik pada penderita diabetes melitus, di mana
terapi HBO pada 2,4 atmofir absolut menimbulkan penurunan kadar gula darah
(Ishihara, 2007).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


4

Salah satu Rumah Sakit yang memiliki fasilitas terapi hiperbarik ini adalah
RUMKITAL Dr. Mintohardjo. Di RUMKITAL Dr. Mintohardjo ini terapi
hiperbarik banyak digunakan untuk penyembuhan pada pasien diabetes.
Walaupun sudah banyak digunakan dalam penyembuhan diabetes bagi pasien di
Rumah Sakit TNI AL Mintohardjo, tetapi belum pernah dilakukan penelitian
sebelumnya mengenai efektivitas dari penggunaan terapi hiperbarik bagi pasien
diabetes di RUMKITAL Dr. Mintohardjo.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian di atas menunjukan bahwa pengobatan pada pasien
diabetes melitus selama ini banyak menggunakan obat-obatan kimia.
Sebagaimana diketahui obat-obatan kimia mempunyai banyak efek samping.
Untuk menghindari efek samping dari penggunaan obat kimia dan mempercepat
proses penyembuhan dapat dicari teknologi baru untuk pengobatan diabetes
melitus. Teknologi hiperbarik sudah dikenal dapat menyembuhkan beberapa
penyakit termasuk diabetes.
Di RUMKITAL Dr. Mintohardjo mempunyai alat hiperbarik yang sudah
digunakan untuk pengobatan diabetes, tetapi belum diketahui lebih lanjut
efektivitas pengobatan diabetes dengan terapi hiperbarik dibandingkan hanya
dengan penggunaan obat kimia di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas terapi
hiperbarik pada pasien diabetes melitus di RUMKITAL Dr. Mintohardjo pada
bulan Januari 2014 hingga Maret 2015.

1.3.2 Tujuan Khusus


 Untuk mengidentifikasi fungsi dari penggunaan terapi hiperbarik terhadap
pasien diabetes.
 Untuk mengetahui apakah penggunaan terapi hiperbarik lebih efektif
dibandingkan hanya penggunaan obat antidiabetes.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


5

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan serta
wawasan tentang penggunaan terapi hiperbarik, khususnya bagi pasien diabetes
melitus.

1.4.2 Secara Metodologi


Metode penelitian ini dapat menjadi referensi untuk diaplikasikan pada
penelitian farmasi klinis sejenis.

1.4.3 Secara Aplikatif


Secara aplikatif hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu bahan
pertimbangan ataupun kebijakan dalam pengobatan diabetes melitus di
RUMKITAL Dr. Mintohardjo.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian yang berjudul “Uji Efektivitas Terapi Oksigen Hiperbarik pada
Pasien Diabetes Melitus di Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr. Mintohardjo
Jakarta”, terbatas hanya membahas pada pasien diabetes yang menggunakan obat
antidiabetes dan terapi oksigen hiperbarik dengan mengamati kadar HbA1c dan
GDS dari data rekam medis pasien di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta.
Desain yang digunakan adalah cross sectional dengan pendekatan retrospektif.
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret 2015 di RUMKITAL Dr.
Mintohardjo Jakarta Pusat.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus


2.1.1 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multietiologi yang ditandai dengan tingginya kadar
gula darah (hiperglikemia) disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat,
lipid, dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi
insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-
sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-
sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
Diabetes Melitus (DM) atau penyakit kencing manis merupakan suatu
penyakit menahun yang ditandai dengan kadar glukosa darah (gula darah)
melebihi nilai normal yaitu kadar gula darah sewaktu sama atau lebih dari 200
mg/dl dan kadar gula darah puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl
(Misnadiarly, 2006).

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus


WHO (World Health Association) membagi DM menjadi dua kelas, yaitu
kelas klinis dan kelas risiko statistik.
a) Kelas klinis
Jika hasil pemeriksaan kadar glukosa darah lebih tinggi dari normal.
Kelas klinis dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:
1) Diabetes Melitus, seseorang termasuk kelompok penderita Diabetes
Melitus jika kadar glukosa darah dalam keadaan puasa lebih dari 140
mg/dl, atau dua jam sesudah makan (post prandial) kadarnya lebih
dari 200 mg/dl. Diabetes Melitus sendiri terbagi lagi menjadi empat,
yakni sebagai berikut:
 DM tipe 1 (DM tergantung insulin/DMTI) = insulin dependent
DM/IDDM. Kelompok ini adalah penderita penyakit DM yang
sangat tergantung pada suntikan insulin. Kebanyakan penderitanya

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


7

masih muda dan tidak gemuk. Gejala biasanya timbul pada masa anak–
anak dan puncaknya pada usia remaja. Begitu penyakitnya terdiagnosis,
penderita langsung memerlukan suntikan insulin karena
pankreasnya sangat sedikit atau sama sekali tidak membentuk insulin.
Umumnya penyakit berkembang ke arah ketoasidosis diabetik yang
menyebabkan kematian. Tipe ini
disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas sehingga terjadi
kekurangan produksi/sekresi insulin absolut. IDDM umumnya
diderita oleh orang–orang di bawah umur 30 tahun, dan gejalanya
mulai tampak pada usia 10–13 tahun. Penyebab IDDM belum
begitu jelas, tetapi diduga kuat disebabkan oleh infeksi virus yang
menimbulkan autoimun yang berlebihan untuk membunuh virus.
Akibatnya sel–sel pertahanan tubuh tidak hanya membasmi virus,
tetapi juga merusak sel–sel Langerhans. Faktor genetik juga
menentukan kerentanan sel-sel beta terhadap infeksi virus.
 DM tipe II (DM tidak tergantung insulin/DMTT) = non insulin
dependent DM = NIDDM. Kelompok Diabetes Melitus tipe II tidak
tergantung insulin. Kebanyakan timbul pada penderita berusia di
atas 40 tahun. Penderita DM tipe II inilah yang terbanyak di
Indonesia. Data sementara menyebabkan, hampir 90% penderita
diabetes di Indonesia adalah penderita NIDDM dan umumnya
disertai dengan kegemukan dan kegagalan pankreas mensekresi
insulin (defisiensi insulin) untuk mengkompensasi resistensi
insulin. Pengobatannya diutamakan dengan perencanaan menu
makanan yang baik dan latihan jasmani secara teratur. NIDDM
diduga disebabkan oleh faktor genetik dan dipicu oleh pola hidup
yang tidak sehat, tetapi munculnya terlambat. Dengan pola hidup
modern saat ini, prevalensi NIDDM semakin meningkat dengan
penderita yang berusia di bawah 40 tahun. DM tipe II dibagi lagi
menjadi dua, penderita tidak gemuk (non obese), penderita gemuk
(obese).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


8

 DM terkait malnutrisi (DMTM) = malnutrition related DM


(MRDM). Diabetes Melitus yang terkait dengan malnutrisi
biasanya terjadi di negara–negara berkembang di kawasan tropis
yang sebagian besar penduduknya masih berpendapat perkapita
rendah sehingga terjadi gangguan atau kekurangan makan
(malnutrisi) dan tidak didapati adanya ketosis. DMTM dibagi lagi
menjadi dua, yakni fibrocalculous pancreatic DM (FCPD) dan
protein deficient pancreatic DM (PDRD).
 Diabetes Melitus tipe lain yang berhubungan dengan keadaan atau
sindrom tertentu, misalnya penyakit pankreas, penyakit hormonal, obat-
obatan atau bahan kimia lain, kelainan insulin atau reseptornya,
sindrom genetik tertentu, dan penyebab lain yang belum diketahui.
Diabetes Melitus tipe ini adalah penderita yang mengalami diabetes
melitus akibat komplikasi penyakit yang
dideritanya. Misalnya, penderita mengidap penyakit pankreas
sehingga fungsi organ tersebut terganggu dan tidak mampu
menghasilkan hormon insulin akibatnya kadar gula darahnya
meningkat, efek samping konsumsi obat-obatan untuk
menyembuhkan penyakit lain, dan sebagainya.
2) Gangguan toleransi glukosa (GTG)
Penderita GTG ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa
darah pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang nilainya berada di
daerah perbatasan, yaitu di atas normal, tetapi di bawah nilai
diagnostik untuk diabetes melitus. Penderita GTG sangat berisiko
untuk menjadi penderita diabetes melitus tidak tergantung insulin dan
terserang penyakit kardiovaskuler, seperti penyakit jantung koroner
dan stroke.
3) DM pada kehamilan (Gestational DM)
Gestational Diabetes Melitus merupakan penyakit diabetes melitus
yang muncul pada saat mengalami kehamilan padahal sebelumnya
kadar glukosa darah selalu normal. Diabetes Melitus pada masa
kehamilan dapat menimbulkan dampak yang buruk untuk janin dalam

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


9

kandungan jika tidak segera dilakukan pengobatan dengan benar.


Kelainan yang dapat timbul pada bayi, misalnya kelainan bawaan,
gangguan pernafasan, bahkan kematian janin. Umumnya diabetes tipe
ini akan diderita selama masa kehamilan dan kembali normal setelah
melahirkan. Meski begitu, terdapat sejumlah kasus yang tidak
terkendali sehingga diabetes melitus dapat berkembang lebih lanjut
pasca melahirkan.
Oleh karena bisa berkembang lebih lanjut, diabetes tipe ini harus
ditangani secara ekstra. Caranya dengan berkonsultasi ke dokter ahli
secara rutin, diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol kadar
glukosa darah yang tinggi, dan didukung perencanaan makan yang
baik. Perencanaan makan harus memperhatikan kebutuhan kalori
perhari, komposisi zat makanan, dan kebutuhan vitamin serta
mineral.
Penderita Gestational DM sebaiknya melakukan pengukuran HbA1c.
Kadar HbA1c yang meningkat pada 12 minggu pertama kehamilan
menandakan adanya kehamilan dengan diabetes melitus yang dapat
meningkatkan risiko cacat lahir (kelainan kongenital). Jika pada
kehamilan dini kadar HbA1c lebih besar dari 12% risiko keguguran
(abortus) juga semakin meningkat. Keracunan kehamilan yang berat,
air ketuban berlebih, hipertensi, janin tumbuh besar, kematian janin
dalam kandungan, dan gawat janin adalah faktor yang mempersulit
persalinan ibu hamil dengan diabetes melitus. Oleh karenanya, ibu
hamil yang terkena diabetes melitus harus melahirkan di Rumah Sakit
untuk mengurangi risiko kematian bayi dan ibu.
b) Kelas Risiko Statistik
Kelas ini mencakup mereka yang mempunyai kadar glukosa dalam batas
toleransi normal, tetapi mempunyai risiko lebih besar untuk mengidap
diabetes melitus. Orang–orang yang termasuk dalam kelas ini antara lain:
 Toleransi glukosa pernah abnormal,
 Kedua orang tua mengidap DM, dan
 Pernah melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4 kg.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


10

American Diabetes Association (ADA) juga menggolongkan penyakit


Diabetes Melitus ke dalam klasifikasi sebagai berikut:
 DM tipe 1 (IDDM)
 DM tipe II (NIDDM)
 DM dengan kehamilan
 DM tipe lain, terdiri dari defek genetik fungsi sel beta (MODY, DNA
mitokondria), defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas
(pankreatitis, tumor/pankreatektomi, pankreatopati fibrokalkulus),
endokrinopati (akromegali, sindroma cushing, feokromositoma,
hipertiroideisme), obat zat kimia, infeksi, imunologi, dan sindrom
genetik lain yang berkaitan dengan DM.

2.1.3 Etiologi Diabetes Melitus


Penyebab diabetes melitus menurut American College of Clinical
Pharmacy berdasarkan klasifikasinya adalah:
1) Diabetes Melitus (DM) tipe 1
Diakibatkan oleh hancurnya sel β pankreas sehingga menyebabkan
produksi insulin berkurang. Hampir 5%-10% yang menderita DM tipe 1.
Dikenal sebagai insulin independent diabetes atau juvenile onset diabetes.
Prevalensi di America 0,12% atau sekitar 340.000 penderita pasien DM.
Biasanya diderita oleh anak-anak atau orang dewasa muda. Biasanya pada
anak-anak, gejala onsetnya lebih cepat dibandingkan dengan orang dewasa
tua.
2) Diabetes Melitus tipe 2
Diakibatkan karena adanya resistensi insulin akibat kerusakan eksresi
insulin. Hampir 90%-95% yang mederita DM tipe 2. Dikenal sebagai
insulin non insulin dependent diabetes atau adult onset diabetes. Prevalensi
di Amerika 7,8% atau sekitar 23,6 juta. Penderita DM tipe 2 ini biasanya
menderita obesitas.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


11

3) MODY ( Maturity-Onset Diabetes of the Young)


Diakibatkan karena penyakit genetik yang disebabkan oleh melemahnya
aksi insulin. Biasanya diderita pada umur dibawah 25 tahun dan termasuk
DM tipe 1 dan tipe 2.
4) Diabetes Gestational
Terjadi intoleransi glukosa selama masa kehamilan. Prevalensi 1%-14%
pada wanita hamil. Hanya terjadi pada trimester ketiga.
5) Prediabetes
Lemahnya toleransi glukosa. Lemahnya glukosa puasa.
6) Tipe DM lain
Kerusakan genetik pada fungsi sel β atau aksi insulin. Penyakit pada
pankreas (seperti, pankreatitis, neoplasia, dan cystic fibrosis). Induksi
kimia atau obat (seperti, glukokortikoid, asam nikotinat, penghambat
protease, dan antipsikosis atipikal).

2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus


Secara normal insulin dihasilkan oleh sel pankreas. Dalam keadaan sehat
pankreas secara spontan akan memproduksi insulin saat gula darah tinggi. Proses
awalnya adalah jika kadar gula darah rendah, maka glukagon akan dibebaskan
oleh sel alfa pankreas, kemudian hati akan melepaskan gula ke darah yang
mengakibatkan kadar gula normal. Sebaliknya jika kadar gula darah tinggi, maka
insulin akan dibebaskan oleh sel beta pankreas, kemudian sel lemak akan
mengikat gula yang mengakibatkan gula darah kembali normal (Black & Hwak,
2005).
Patofisiologi DM secara klinis dibagi 2 yaitu DM tipe 1 dan 2. DM tipe 1
disebabkan kurangnya sekresi insulin. Kelainan dasar pada DM tipe 2 yaitu
resistensi insulin dan kegagalan pankreas mensekresi insulin (defisiensi insulin)
untuk mengkompensasi resistensi insulin.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


12

2.1.5 Gejala Diabetes Melitus


Gejala diabetes melitus tipe I dan tipe II tidak banyak berbeda. Hanya pada
diabetes melitus tipe I, gejalanya lebih ringan dan prosesnya lambat, bahkan
kebanyakan orang tidak merasakan adanya gejala. Akibatnya, penderita baru
mengetahui menderita diabetes melitus setelah timbul komplikasi, seperti
penglihatan menjadi kabur atau bahkan mendadak buta, timbul penyakit jantung,
penyakit ginjal, gangguan kulit dan saraf, atau bahkan terjadi pembusukan pada
kaki (gangren). Berikut ini adalah gejala yang umumnya dirasakan penderita
diabetes melitus (Tobing dr. Ade, 2008):
 Sering buang air kecil. Tingginya kadar gula dalam darah yang
dikeluarkan lewat ginjal selalu diiringi oleh air atau cairan tubuh maka
buang air kecil menjadi lebih banyak. Bahkan tidur di malam hari kerap
terganggu karena harus bolak–balik ke kamar kecil.
 Haus dan banyak minum. Banyaknya urin yang keluar menyebabkan
cairan tubuh berkurang sehingga kebutuhan akan air (minum) meningkat.
 Fatigue (lelah). Rasa lelah muncul karena energi menurun akibat
berkurangnya glukosa dalam jaringan/sel. Kadar gula dalam darah yang
tinggi tidak bisa optimal masuk dalam sel disebabkan oleh menurunnya
fungsi insulin sehingga orang tersebut kekurangan energi.
 Rasa lelah, pusing, keringat dingin, ridak bisa konsentrasi, disebabkan oleh
menurunnya kadar gula. Setelah seseorang mengonsumsi gula, reaksi
pankreas meningkat (produksi insulin meningkat), menimbulkan
hipoglikemik (kadar gula rendah).
 Meningkatnya berat badan. Berbeda dengan diabetes melitus tipe 1 yang
kebanyakan mengalami penurunan berat badan, penderita tipe 2 seringkali
mengalami peningkatan berat badan. Hal ini disebabkan terganggunya
metabolisme karbohidrat karena hormon lainnya juga terganggu.
 Gatal. Gatal disebabkan oleh mengeringnya kulit (gangguan pada regulasi
cairan tubuh) yang membuat kulit mudah luka dan gatal. Akibatnya, energi
panas meningkat (damp heat) menyebabkan timbulnya iritasi di kulit
(gatal).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


13

 Gangguan immunitas. Meningginya kadar glukosa dalam darah


menyebabkan pasien diabetes sangat sensitif terhadap penyakit infeksi.
Hal ini disebabkan oleh menurunnya fungsi sel–sel darah putih. Infeksi
yang sering muncul pada pasien diabetes melitus ialah infeksi kandung
kemih, infeksi kulit (acne), infeksi jamur (candidiasis), dan infeksi saluran
pernafasan.
 Gangguan mata. Penglihatan berkurang disebabkan oleh perubahan cairan
dalam lensa mata. Pandangan akan tampak berbayang disebabkan adanya
kelumpuhan pada otot mata.
 Polyneuropathy. Gangguan sensorik pada saraf periferal (kesemutan) di
kaki dan tangan.

2.1.6 Faktor Risiko Diabetes Melitus


Penyakit DM kebanyakan adalah penyakit keturunan, bukan penyakit
menular. Meskipun demikian tidak berarti penyakit ini pasti menurun pada anak.
Berikut ini adalah urutan yang menunjukan siapa saja yang mempunyai
kemungkinan akan menderita penyakit DM yaitu (Misnadiarly, 2006):
 Kedua orang tuanya mengidap penyakit DM.
 Salah satu orang tuanya atau saudara kandungnya mengidap penyakit
DM.
 Salah satu anggota keluarga (nenek, paman, bibi, keponakan, sepupu)
mengidap DM.
 Pernah melahirkan bayi dengan berat badan lahir >4 kg.
 Pada waktu pemeriksaan kesehatan pernah ditemukan kadar glukosa
darah melebihi antara 140–200 mg/dl.
 Kelompok usia dewasa tua (>45 tahun).
 Tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg).
 Kegemukan (BB(kg)) >120% BB idaman atau IMT >27 (kg/m2)).
 Dislipidemia (HDL <35 mg/dl dan atau Trigliserida >250 mg/dl).
 Menderita penyakit lever (hati) kronik atau agak berat.
 Terlalu lama minum obat–obatan, mendapat suntikan atau minum
tablet golongan kortikosteroid (sering digunakan oleh penderita asma,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14

penyakit kulit, penyakit reumatik, dan lain–lain) misalnya, prednison,


oradexon, kenacort, rheumacyl, kortison, hidrokortison.
 Terkena infeksi virus tertentu misalnya virus morbili, virus yang
menyerang kelenjar ludah, dan lain–lain.
 Terkena obat–obatan antiserangga (insektisida).

2.1.7 Diagnosis Diabetes Melitus


Diagnosis klinis khas DM pada umumnya adalah bahwa terdapat keluhan
khas DM yaitu, poliuria (banyak kencing), polidipsia (banyak minum), polifagia
(banyak makan), dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya, dan
keluhan lainnya seperti, kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensia pada pria,
prioritis vulva pada wanita (Misnadiarly, 2006).
Kriteria diagnosis diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa
menurut ahli diabetes di Surabaya tahun 1987 merupakan modifikasi dari kriteria
diagnosis diabetes melitus yang ditetapkan di WHO tahun 1985 seperti berikut:
1) Diagnosis diabetes melitus apabila:
 Terdapat gejala-gejala diabetes melitus ditambah dengan
 Salah satu dari, GDP 120 mg/dL, 2 jam PP 200 mg/dL, atau
glukosa darah acak > 200 mg/dL.
2) Diagnosis diabetes melitus apabila:
 Tidak terdapat gejala-gejala diabetes melitus, tetapi
 Terdapat 2 hasil dari, GDP 120 mg/dL, 2 jam PP 200 mg/dL atau
random 200 mg/dL.
3) Diagnosis gangguan toleransi glukosa (GTG) apabila, GDP< 120
mg/dL dan 2 jam PP 140-200 mg/dL.
4) Untuk kasus meragukan dengan hasil GDP< 120 mg/dL dan 2 jam
PP> 200 mg/dL, maka ulangi pemeriksaan laboratorium sekali lagi,
dengan persiapan minimal 3 hari dengan diet karbohidrat lebih dari
150 gram perhari dan kegiatan fisik seperti biasa, kemungkinan
hasilnya adalah:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


15

 DM, apabila hasilnya sama atau tetap, yaitu GDP< 120 mg/dL dan
2 jam PP 200 mg/dL, atau apabila hasilnya memenuhi kriteria I
atau II.
 GTG, apabila hasilnya cocok dengan kriteria III.

Tabel 2.1. Kadar gula darah sewaktu dan puasa


Bukan Belum DM
DM pasti DM
Kadar gula darah Plasma vena darah <110 110 – 199 ≥200
sewaktu (mg/dl) kapiler <90 90 – 199 ≥200
Kadar gula darah puasa Plasma vena darah <110 110 – 125 ≥126
(mg/dl) kapiler <90 90 – 109 ≥110
[Sumber : Hendromartono, 1999]

Tabel 2.2. Kriteria pengendalian DM


Pemeriksaan glukosa darah plasma vena (mg/dl) Baik Sedang Buruk
Puasa 80 – 109 110 – 139 140
2 jam pp 110 – 159 160 – 199 >200
HbA1c % 4–6 6–8 >8
Tekanan darah < 140 / 90 < 160 / 95 >160/95
[Sumber : Hendromartono, 1999]

Hemoglobin A1c (HbA1c)/Glycosylated Haemoglobin adalah apabila


hemoglobin dipisahkan secara kromatografi melalui perubahan kation akan
berubah menjadi HbA0, HbAIa1, HbAIa2, HbA1b, HbA1c (Boucher, 1988 dalam
Nuh Huda, 2010). Pengukuran HbA1c/Glycosylated Haemoglobin telah diterima
secara obyektif dan menjadi indeks quantitative pengukuran kadar glukosa darah
selama 6-10 minggu dan nilai pengukuran tersebut akan meningkat pada penderita
Diabetes Melitus (Nuh Huda, 2010).

2.1.8 Komplikasi Diabetes Melitus


Komplikasi penyakit diabetes melitus diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
komplikasi yang bersifat akut dan kronis (menahun). Komplikasi akut merupakan
komplikasi yang harus ditindak cepat atau memerlukan pertolongan dengan
segera. Adapun komplikasi kronis merupakan komplikasi yang timbul setelah
penderita mengindap diabetes melitus selama 5–10 tahun atau lebih (Tobing dr.
Ade, 2008).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16

Komplikasi akut meliputi ketoasidosis diabetika (DKA), koma nonketosis


hiperglikemia. Sementara komplikasi kronis meliputi komplikasi mikrovaskuler
(komplikasi di mana pembuluh–pembuluh rambut kaku atau menyempit sehingga
organ yang seharusnya mendapatkan suplai darah dari pembuluh–pembuluh
tersebut menjadi kekurangan suplai) dan komplikasi makrovaskuler (komplikasi
yang mengenal pembuluh darah arteri yang lebih besar sehingga terjadi
aterosklerosis) (Tobing dr. Ade, 2008).
Berikut beberapa kerusakan dan gangguan yang terjadi akibat komplikasi
penyakit diabetes melitus (Tobing dr. Ade, 2008):
 Kerusakan pada pembuluh darah (vasculopathy), kerusakan pada dinding
pembuluh darah akan mengakibatkan masalah pada jantung dan otak, serta
gangguan pada pembuluh darah di kaki. Akibatnya, makro dan
mikrovaskuler sirkulasi akan terganggu, peningkatan tekanan darah, dan
infark hati dan cerebral.
 Gangguan fungsi jantung, gangguan pada pembuluh darah akan
mengakibatkan aliran darah ke jantung terhambat atau terjadi iskemia
(kekurangan oksigen di otot jantung), timbul angina pectoris (sakit di
daerah dada, lengan, dan rahang), bahkan pada akhirnya bisa
menyebabkan serangan jantung.
 Gangguan fungsi pembuluh otak, pasien sering merasakan berat di
belakang kepala, leher, dan pundak, pusing (vertigo), serta pendengaran
dan penglihatan terganggu. Jika hal ini dibiarkan, gangguan neurologis
akan muncul, misalnya dalam bentuk stroke yang disebabkan oleh
penyumbatan atau pendarahan.
 Tidak stabilnya tekanan darah, tidak stabilnya atau seimbangnya tekanan
darah yakni kadang tinggi atau rendah banyak terjadi pada pasien diabetes
melitus. Tekanan darah tinggi disebabkan oleh buruknya kondisi
pembuluh darah dan memburuknya fungsi ginjal.
 Gangguan pada sistem saraf, neuropathy adalah salah satu komplikasi
diabetes melitus. Kerusakan pada sistem saraf ini lebih mengacu pada
saraf sensorik (saraf perasa), menimbulkan rasa sakit, kesemutan, serta
baal (mati rasa) pada kaki dan tangan. Kerusakan pada sistem motorik

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


17

memang lebih sedikit, gangguan ini termanefestasi pada berkurangnya


tenaga otot dan volume dari jaringan otot.
 Gangguan mata (retinopathy), disebabkan memburuknya kondisi mikro
sirkulasi sehingga terjadi kebocoran pada pembuluh darah retina. Hal ini
bahkan bisa menjadi salah satu penyebab kebutaan. Retinopathy
sebenernya merupakan kerusakan yang unik pada diabetes karena selain
oleh gangguan mikrovaskuler, penyakit ini juga disebabkan adanya
biokimia darah sehingga terjadi penumpukan zat–zat tertentu pada jaringan
retina.
Katarak dan glaukoma (meningkatnya tekanan pada bola mata) juga
merupakan salah satu dari komplikasi mata pada pasien diabetes. Oleh
karenanya, selain mengontrol kadar gula darah, mengontrol mata pada
dokter mata secara rutin juga mutlak dilakukan oleh pasien diabetes.
 Gangguan ginjal (nefropathy), sebab utama gangguan ginjal pada pasien
diabetes adalah buruknya mikrosirkulasi. Gangguan ini sering muncul
paralel dengan gangguan pembuluh darah di mata. Penyebab lainnya
adalah proses kronis dari hipertensi yang akhirnya merusak ginjal.
Kebanyakan pasien sebelumnya tidak memiliki keluhan ginjal.
 Gangguan pada kaki karena diabetes melitus, kaki adalah bagian tubuh
yang paling sensitif pada pasien diabetes melitus. Ada beberapa faktor
yang berperan dalam perubahan ini, yaitu terhambatnya sirkulasi
menimbulkan rasa sakit pada betis kaki sewaktu berjalan, gangren
(gangguan makro dan mikrosirkulasi vasculopathy), gangguan pada saraf
(neuropathy), yakni kerusakan pada saraf di otot, kulit, dan kerusakan
saraf autonom yang mengganggu regulasi keringat, dan sensitif terhadap
infeksi di kaki.
 Gangguan pada otot dan sendi–sendi, terhambatnya ruang gerak sendi dan
otot banyak diderita pada orang tua. Namun, kini gejala tersebut juga
kerap dirasakan pada pasien usia muda yang menderita diabetes melitus
tipe 2.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


18

2.1.9 Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Penilaian klinis pada pasien setelah menegakkan diagnosis diabetes
melitus, lakukan terapi komplikasi metabolik akut dan terapi hipoglikemik seumur
hidup, pemeriksaan untuk mencari kerusakan pada organ setiap 6–12 bulan
penglihatan (retinopati dan katarak), sistem kardiovaskuler (denyut nadi perifer, tanda–
tanda gagal jantung, hipertensi), sistem saraf (neuropati sistem saraf
otonom dan saraf sensoris perifer) dan kaki (ulkus, gangren, dan infeksi). Fungsi
ginjal (kreatinin dan albuminuria) harus diperiksa.
Terapi harus meminimalkan gejala dan menghindari komplikasi dan harus
memungkinkan pasien menjalani hidup normal, hal ini membutuhkan edukasi dan
dukungan kepada pasien.
Usaha memaksimalkan prognosis tergantung pada kontrol glukosa darah
secara optimal dan menyingkirkan faktor–faktor risiko kardiovaskuler seperti
merokok, hipertensi (usahakan tekanan darah <130/80 mmHg), dan
hiperlipidemia. Kontrol kadar glukosa yang optimal dengan sendirinya dapat
memperbaiki kadar kolesterol, namun apabila kadar kolesterol tetap tinggi setelah
ini, terapi penurunan lipid secara agresif dengan statin dapat dilakukan. Hampir
semua orang yang menderita diabetes dan memiliki penyakit vaskuler seharusnya
mendapat terapi statin (Davey Patrick, 2005).
Karena penting bagi pasien untuk pemeliharaan pola makan yang teratur,
maka penatalaksanaan dapat dilakukan dengan perencanaan makanan. Tujuan
perencanaan makanan dan dalam pengelolaan diabetes adalah untuk
mempertahankan kadar glukosa darah dan lipid dalam batas normal, menjamin
nutrisi yang optimal untuk pertumbuhan anak dan remaja, ibu hamil dan janinnya,
dan mencapai dan mempertahankan berat badan idaman (Waspadji, dkk, 2002).
Latihan jasmani yang teratur memegang peran penting terutama pada DM
tipe 2. Manfaatnya adalah memperbaiki metabolisme atau menormalkan kadar
glukosa darah dan lipid darah, meningkatkan kerja insulin, membantu
menurunkan berat badan, meningkatkan kesegaran jasmani dan rasa percaya diri,
dan mengurangi risiko kardivaskuler (Waspadji, dkk, 2002).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


19

Menggunakan obat hipoglikemik oral, dapat dijumpai dalam bentuk


golongan sulfonilurea, golongan biguanida, dan inhibitor glukosidase alfa
(Waspadji, dkk, 2002).
Menurut American College of Clinical Pharmacy merekomendasikan
beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan
penatalaksanaan DM.

Tabel 2.3. Target Pelaksanaan Diabetes Melitus


Parameter Kadar Ideal yang Diharapkan
Kadar plasma glukosa puasa 70 – 130 mg/dl
Kadar plasma glukosa setelah makan < 180 mg/dl
Kadar hemoglobin A1c <7%
Kadar HDL >45 mg/dl = pria , >50 mg/dl = wanita
Kadar LDL 100 – 129 mg/dl
[Sumber: American College of Clinical Pharmacy, 2013]

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


20

Gambar 2.1. Algoritma Penatalaksanaan DM tipe 2 (Dipiro Et, al,2009)

Awal Intervensi
Target:HbA1c ≤ 6,5
Edukasi/nutrisi/olahraga
– 7,0 % (penurunan
0,5-1,0%), GDS :
110 – 130 mg/dl,
GDPP : 140 - 180 Monoterapi/kombinasi
awal sulfonylurea dan
Pilihan
atau metformin
monoterapi lain:
Pioglitazone,
Target tercapai
Target Rosiglitazone,
Di cek HbA 1 c tidak Nateglinid,
tiap 3-6 bulan tercapai Akarbose/insulin,
setelah Insuln analog
Target tercapai 3 bulan

Terapi dilanjutkan atau


Kombinasi lain:
dicek HbA 1 c tiap 3-6
Kombinasi Metformin/sulfonilurea
sulfonilurea dengan
pioglitazone/rosiglitazon
atau akarbose/miglitol

Metformin dengan
nateglinid/insulin/insulin
analog
(monoterapi/kombinasi)
Target tercapai

Terapi dilanjutkan atau


dicek HbA 1 c tiap 3-6 bulan Target tidak tercapai
setelah 3-6 bulan

Insulin kerja menengah atau 1x perhari glargin. Sebelum pemberian insulin


kerja regular atau lispro/aspart tambah 3 kombinasi antidiabetik oral atau diganti
untuk memisah dosis insulin/insulin analog terapi berkunjung ke endorinologis.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


21

2.1.10 Penggolongan Obat Diabetes Melitus


Menurut American College of Clinical Pharmacy, 2013 dalam istiqomah,
2013, terdapat 9 golongan antidiabetes oral (ADO) DM tipe 2 dan telah
dipasarkan di Indonesia yakni golongan: sulfonilurea, meglitinid, biguanid,
penghambat α-glukosidase, tiazolidindion, penghambat dipeptidyl peptidase-4,
sekuestran asam empedu, bromokriptin, dan produk kombinasi. Kesembilan
golongan ini dapat diberikan pada DM tipe 2 yang tidak dapat dikontrol hanya
dengan diet dan latihan fisik saja.
1) Sulfonilurea
Mekanisme kerjanya dengan mengikat reseptor pada sel beta
pankreas, membentuk membran depolarisasi dengan stimulasi sekresi
insulin. Generasi pertama yaitu, tolbutamide, klorpropamid. Generasi
kedua yaitu:
a) Gliburid dengan dosis 2,5-5,0 mg 1 atau 2x sehari dengan dosis
maksimal per hari 20 mg, gliburid dengan dosis 1,5-3 mg 1 atau 2x
sehari dengan dosis maksimal per hari 12 mg.
Contoh sediaan seperti Glibenkamid (generik), Abenon (Heroic),
Clamega (Emba Megafarma), Condiabet (Armoxindo), Daonil
(Aventis).
Memiliki efek hipoglikemik yang poten sehingga pasien perlu
diingatkan untuk melakukan jadwal makan yang ketat. Gliburid
dimetabolisme dalam hati, hanya 25% metabolit di ekskresi melalui
empedu dan dikeluarkan bersama tinja. Gliburid efektif dengan
pemberian dosis tunggal. Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih
keluar dari serum setelah 36 jam. Diperkirakan memiliki efek terhadap
agregasi trombosit. Dalam batas-batas tertentu masih dapat diberikan
pada pasien gangguan ginjal dan hati (Handoko dan Suharto, 1995).
b) Glipizid dengan dosis 5 mg 1 atau 2x sehari (extended release) dengan
dosis maksimal per hari 40 mg.
Contoh sediaan seperti Diamicron (Darya Varia), Glibet (Dankos),
Glicab, Glidabet.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


22

Mempunyai efek hipoglikemik sedang sehingga tidak begitu sering


menyebabkan efek hipoglikemik. Mempunyai efek antiagregasi
trombosit yang lebih poten. Dapat diberikan pada penderita gangguan
fungsi hati dan ginjal (Soegondo, 1995b).
c) Glimepirid dengan dosis 1-2 mg 1x sehari dengan dosis maksimal per
hari 8 mg, contoh sediaan seperti Amaryl. Memiliki waktu mula kerja
yang pendek dan waktu kerja yang lama, sehingga umum diberikan
dengan cara pemberian dosis tunggal. Untuk pasien yang berisiko
tinggi, yaitu pasien usia lanjut, pasien dengan gangguan ginjal atau
yang melakukan aktivitas berat dapat diberikan obat ini. Dibandingkan
dengan glibenklamid, glimepirid lebih jarang menimbulkan efek
hipoglikemik pada awal pengobatan (Soegondo, 1995b).
d) Glibenklamid dengan dosis 2,5-5 mg/hari dengan dosis maksimal
perhari 15 mg.
e) Glikuidon dengan dosis 15 mg/hari dengan dosis maksimal perhari 60
mg. Contoh sediaan seperti Gluronerm (Boehringer ingelhem).
Mempunyai efek hipoglikemik sedang dan jarang menimbulkan
serangan hipoglikemik. Karena hampir seluruhnya diekskresi melalui
empedu dan usus, maka dapat diberikan pada pasien gangguan ginjal
dan hati yang agak berat (Soegondo, 1995b).
Efek merugikan secara umum seperti hipoglikemia, penambahan
berat badan. Dan efek yang jarang terjadi seperti ruam kulit, sakit kepala,
mual, muntah, dan fotosintesis.
Kontraindikasinya seperti hipersensitivitas dengan sulfonamide,
pasien dengan tidak sadar menderita hipoglikemi, fungsi ginjal tidak
berfungsi baik (glipizid merupakan pilihan yang lebih baik daripada
gliburid atau glimepirid pada pasien yang geriatri atau memiliki
kelemahan pada ginjal karena obat atau metabolit aktif tidak dapat
dieliminasi di dalam ginjal).
Efikasi dari sulfonamida ini seperti reduksi 1%-2% HbA1c, dan
semua pengobatan untuk mengobati hiperglikemia. Interaksi obat yang
terjadi dengan obat sulfonilurea dapat meningkatkan risiko hipoglikemia

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


23

sewaktu pemberian obat hipoglikemik sulfonilurea antara lain dengan:


alkohol, fenformin, sulfonamida, salisilat, fenilbutazon, oksifenbutazon,
probenezide, dikumarol, kloramfenikol, penghambat MAO, guanetidin,
steroida anabolitik, fenfluramin, dan klofibrat.
2) Meglitinid
Mekanisme kerja dari golongan meglitinid sama dengan sulfonilurea
yaitu, meningkatkan sekresi insulin dari pankreas tetapi onset lebih cepat
dan waktu durasi lama.
Pada pemberian oral absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai
dalam waktu 1 jam. Masa paruhnya 1 jam, karena itu harus diberikan
beberapa kali sehari sebelum makan. Metabolisme utamanya di hepar dan
metabolitnya tidak aktif. Sekitar 10% dimetabolisme di ginjal. Pada pasien
dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal harus diberikan secara berhati-
hati. Efek samping utamanya hipoglikemia dan gangguan saluran cerna.
Reaksi alergi juga pernah dilaporkan.
Efek merugikan seperti hipoglikemia (lebih kecil dibandingkan
dengan sulfonilurea), berat badan berkurang, infeksi pernapasan
meningkat. Kontraindikasi seperti hipersensitivitas, penggunaan repaglinid
dengan gemfibrozil dapat meningkatkan konsentrasi repaglinid. Efikasi
seperti reduksi 0,5%-1,5% HbA1c (repaglinid menunjukan penurunan
HbA1c lebih dari nateglinid), lebih efektif pada postprandial glukosa.
Obat golongan meglitinid seperti:
 Repaglinid, dosis lazim 0,5-1 mg 15 menit sebelum makan. Dosis
maksimum per hari 16 mg.
Contoh sediaan, Prandin/NovoNorm/GlucoNorm (Novo Novdisk).
Merupakan turunan asam benzoat. Mempunyai efek hipoglikemik
ringan sampai sedang. Diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian
per oral, dan diekskresi secara cepat melalui ginjal. Efek samping
yang mungkin terjadi adalah keluhan saluran cerna (Soegondo,
1995b).
 Nateglinid, dosis 120 mg sebelum makan. Dosis 60 mg jika HbA1c
mendekati tujuan yang diinginkan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


24

Contoh sediaan, Starlix (Novartis Pharma AG).


Merupakan turunan fenilalanin, cara kerja mirip dengan repaglinid.
Diabsorpsi cepat setelah pemberian per oral dan diekskresi
terutama melalui ginjal. Efek samping yang dapat terjadi pada
penggunaan obat ini adalah keluhan infeksi saluran nafas atas
(ISPA) (Soegondo, 1995b).
3) Biguanid (Metformin)
Mekanisme kerjanya mereduksi glukoneogenesis hati, juga
menimbulkan efek yang menguntungkan sehingga meningkatkan
sensitivitas insulin. Dosis lazim 500 mg 1 atau 2x sehari, dengan dosis
maksimum perhari 2250 mg. Dapat meningkatkan interval pemakaian
mingguan. Menurunkan dosis lazim dan titrasi lambat pada gastrointestinal
(GI).
Efek merugikan secara umum seperti mual, muntah, dan diare. Efek
yang jarang terjadi seperti menurunkan konsentrasi vitamin B12, asidosis
laktat. Gejala asidosis laktat termasuk mual, muntah, meningkatkan laju
respirasi, sakit perut, syok, dan takikaardia. Kontraindikasi seperti
kelemahan pada ginjal, usia 80 tahun atau lebih, risiko tinggi mengalami
penyakit kardiovaskuler, dan kelemahan hati. Efikasi yang terjadi seperti
reduksi 1%-2% HbA1c, mereduksi TG dan kehilangan berat badan, dan
menjadi pertimbangan terapi lini pertama karena kontraindikasi yang
sedikit. Interaksi obat seperti mengganggu absorpsi vitamin B12,
berinteraksi dengan simetidin dengan menurunkan klirens metformin di
ginjal.
Contoh sediaan, metformin (generik), benoformin (Benofarma),
bestab (Yekatria). Metformin, satu-satunya golongan biguanid yang masih
digunakan sebagai obat antidiabetes oral. Bekerja menurunkan kadar
glukosa darah dengan memperbaiki transport glukosa ke dalam sel-sel
otot. Obat ini dapat memperbaiki uptake glukosa sampai sebesar 10-40%.
Menurunkan produksi glukosa hati dengan jalan mengurangi
glikogenolisis dan glukoneogenesis (Soegondo, 1995b).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


25

4) Penghambat α-glukosidase
Mekanisme kerja obat ini dapat memperlambat absorpsi
polisakarida, dekstrin, dan disakarida di intestin. Dengan menghambat
kerja enzim α-glikosidase di brush border intestin, dapat mencegah
peningkatan glukosa plasma pada orang normal dan pasien DM. Karena
kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan
menyebabkan efek samping hipoglikemia. Akarbose dapat digunakan
sebagai monoterapi pada DM usia lanjut atau DM yang glukosa
postprandialnya sangat tinggi. Obat golongan ini diberikan pada waktu
mulai makan dan absorpsi buruk.
Dua obat yang tergolong obat ini yaitu:
a) Akarbose
Akarbose dapat diberikan dalam terapi kombinasi dengan
sulfonilurea, metformin, atau insulin. Interaksi obat yang terjadi
seperti diperlemah oleh kolestiramin, absorben usus, enzim
pencernaan. Contoh sediaan, Glucobay (Bayer), Precose.
Akarbose paling efektif bila diberikan bersama makanan yang
berserat mengandung polisakarida, dengan sedikit kandungan
glukosa dan sukrosa. Bila akarbose diberikan bersama insulin,
atau dengan golongan sulfonilurea, dan menimbulkan
hipoglikemia, pemberian glukosa akan lebih baik daripada
pemberian sukrosa, polisakarida, dan maltosa (Departemen
Farmakologi dan Terapi Universitas Indonesia, 2007).
b) Miglitol
Miglitol biasanya diberikan dalam terapi kombinasi dengan obat-
obat antidiabetik oral golongan sulfonilurea. Contoh sediaan,
Glycet.
Dosis lazimnya 25 mg 3x sehari bersamaan dengan makan.
Maksimal perhari 300 mg. Efek merugikan seperti diare dan sakit perut.
Meningkatkan enzim di hati dengan meningkatnya dosis akarbosa.
Kontraindikasi seperti inflamasi pada perut, ulserasi usus kecil, obstruksi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


26

pencernaan. Efikasi yang terjadi, reduksi 0,5%-0,8% HbA1c. Tidak efektif


pada pasien dengan diet karbohidrat rendah.
5) Tiazolidindion
Mekanisme kerjanya seperti proliferasi peroksisom mengaktifkan
reseptor gamma antagonis. Dan meningkatkan sensitivitas insulin dan
produksi metabolisme glukosa. Efek merugikan seperti kehilangan berat
badan, retensi cairan, fraktur tulang, meningkatkan risiko gagal jantung,
dan meningkatkan infark miokardia. Kontraindikasinya seperti kelemahan
ginjal dan gagal jantung.
Efikasi seperti reduksi 0,5-1,4% HbA1c. Keduanya meningkatkan HDL-
C, tetapi pioglitazon mempunyai efek yang lebih baik untuk mereduksi
LDL-C dan TG bila dibandingkan dengan rosiglitazon.
Dua golongan obat ini adalah:
 Pioglitazon, dosis lazim 15 mg 1x sehari dengan dosis maksimum
perhari 45 mg.
 Rosiglitazon, dosis lazim 1-2 mg 1x sehari dengan dosis
maksimum perhari 8 mg.
6) Penghambat dipeptidyl peptidase-4
Mekanisme kerjanya seperti menghambat kerusakan glukagon like
peptide (GLP 1), dapat meningkatkan sekresi insulin 1. Efek merugikan
seperti infeksi saluran urin, sakit kepala, hipoglikemia. Kontraindikainya
seperti hipersensitivitas dan memiliki riwayat pankreatitis. Efikasi pada
reduksi 0,5-0,8% HbA1c.
Ada 2 golongan obat ini:
 Sitagliptin, dosis 100 mg 1x sehari. Efek samping pada beberapa
kondisi dapat menyebabkan pankreatitis akut, angioderma, sindrom
steven johnson dan anafilaksis.
 Saxagliptin, dosis 5 mg 1x sehari.
7) Sekuestran asam empedu
Mekanisme kerjanya menurunkan konsentrasi glukosa belum
diketahui, selain itu asam empedu digunakan untuk managemen kolesterol.
Dosisnya 625 mg 1x sehari atau 625 mg 2x sehari.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


27

Efek merugikan dari obat ini seperti konstipasi, dispepsia, mual, dan
muntah. Efikasi dari obat ini seperti reduksi 0,3%-0,5% HbA1c.
Kontraindikasi dari obat ini adalah pada pasien obstruksi perut, serum TG
lebih besar dari 500 mg/dL. Pasien dengan keadaan tidak dapat menelan,
disfasia, dan serum TG dengan konsentrasi lebih dari 300 mg/dL.
8) Bromokriptin
Mekanisme kerja dari obat ini belum diketahui dengan pasti. Dosis
lazimnya 0,8 mg 1x sehari, bersamaan dengan makanan. Dan dosis
maksimumnya perhari 4,8 mg. Efek merugikan obat ini mual, muntah,
malas, sakit kepala, hipotensi, dan kelaparan. Kontraindikasinya sebaiknya
tidak digunakan pada pasien migrain. Efikasi obat ini reduksi 0,1%-0,6%
HbA1c.
9) Produk kombinasi
Metformin dengan gliburid, glipizid, sitagliptin, repaglinid,
pioglitazon, dan rosiglitazon. Selain itu glimepirid dengan pioglitazon atau
rosiglitazon.

Insulin
Kategori insulin menurut American College of Clinical Pharmacy dan
Farmakologi & Terapi:
 Insulin kerja cepat, insulin regular, onsetnya 30-60 menit, dengan waktu injeksi
sebelum makan 30 menit, puncak kerja obat 2-3 jam, dengan durasi 4-6 jam.
 Insulin kerja sangat cepat, insulin aspart/lispro/glulisin, onsetnya 5-20 menit,
dengan waktu injeksi sebelum makan 15 menit, puncak kerja obat 1-3 jam,
dengan durasi 3-5 jam.
 Insulin kerja menengah, NPH Lente, onsetnya 1-2 jam, dengan waktu injeksi
sebelum makan tidak tersedia, puncak kerja obat 4-8 jam, dengan durasi 10-20
jam.
 Insulin kerja panjang, Detemir, Glargine, onsetnya 2-4 jam atau 1-2 jam, dengan
waktu injeksi sebelum makan tidak tersedia, puncak kerja obat 6-8 jam, dengan
durasi 6-24 jam.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


28

Kebutuhan insulin pada pasien DM umumnya berkisar antara 5–150 IU


sehari, tergantung keadaan pasien. Selain faktor tersebut, untuk penetapan dosis
perlu diketahui kadar glukosa darah puasa dan dua jam sesudah makan serta kadar
glukosa dalam urin empat porsi, yaitu antara jam 7-11, jam 12-16, jam 16-21, dan
jam 21-7.
Dosis terbagi insulin digunakan pada DM:
 Tidak stabil dan sukar dikontrol
 Bila hiperglikemi berat sebelum makan pagi tidak dapat dikoreksi
dengan insulin dosis tunggal perhari
 Pasien yang membutuhkan insulin lebih dari 1000 IU perhari. Pada
pasien ini diet karbohidrat sebaiknya dibagi menjadi 6-7 kali
pemberian.
Dosis awal pasien DM muda 0,7-1,5 IU/kg berat badan. Untuk terapi awal,
regular insulin dan insulin kerja sedang merupakan pilihan dan diberikan 2 kali
sehari. Untuk DM dewasa yang kurus 8-10 IU insulin kerja sedang diberikan 20-
30 menit sebelum makan pagi dan 4 IU sebelum makan malam. Dosis
ditingkatkan secara bertahap sesuai hasil pemeriksaan glukosa darah dan urin
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).

2.2 Hiperbarik Oksigen (HBO)


2.2.1 Sejarah Terapi Oksigen Hiperbarik
Pada tahun 1921, Dr. Cunningham mulai mengemukakan teori dasar
tentang penggunaan hiperbarik oksigen untuk mengobati keadaan hipoksia. Dr.
Orville Cunningham, seorang professor dalam bidang anestesi, mendirikan sebuah
bangunan bernama Steel Ball Hospital pada tahun 1928. Bangunan tersebut terdiri
atas 6 lantai dan diameter 64 kaki. Bangunan tersebut mempunyai tekanan 3
atmosfer. Tetapi Rumah Sakit tersebut ditutup pada tahun 1930 karena tidak
mempunyai bukti ilmiah yang cukup yang mengindikasikan terapi tersebut untuk
memperingan penyakit (Neuman S Tom, 2008).
Angkatan laut Amerika Serikat (US Navy) memulai penelitian terhadap
terapi oksigen hiperbarik pada tahun 1930an untuk mengobati penyakit
dekompresi dan emboli udara pada arteri yang dialami oleh para penyelam militer.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


29

Karena hasil yang baik pada tahun 1940, US Navy menetapkan terapi oksigen
hiperbarik sebagai terapi standar untuk para penyelam militer yang menderita
penyakit dekompresi dan emboli udara pada arteri. Pada tahun yang sama, standar
keamanan dan indikasi terapi oksigen hiperbarik dibuat. Pada tahun 1850an,
Bertin dari Eropa membuat chamber hiperbariknya sendiri dan menulis buku
pertama yang membahas tentang teknologi medik dengan oksigen hiperbarik.
Pada tahun 1956, terapi oksigen hiperbarik pertama kali digunakan pada penyakit
yang tidak berhubungan dengan penyelaman. Pada waktu yang bersamaan,
banyak peneliti yang mulai tertarik dengan penelitian terapi dengan oksigen ini.
Tetapi yang pertama kali menggunakan terapi oksigen hiperbarik dan disebut
dengan bapak dari terapi oksigen hiperbarik adalah seorang dokter bedah
berkebangsaan Belanda, Ita Boerema, yang melakukan operasi di dalam kamar
bertekanan tinggi. Pada tahun 1960 dan 1970, terapi oksigen hiperbarik mulai
digunakan untuk berbagai penyakit (Neuman S Tom, 2008).
Pada tahun 1662, pendeta berkebangsaan Inggris bernama Henshaw mulai
tertarik dengan pengobatan dengan terapi oksigen hiperbarik. Ia membangun
sebuah struktur bernama domicillium yang digunakan untuk mengobati bermacam–
macam penyakit. Kamar tersebut diberikan tekanan. Pada tahun 1875, Forlanini dari
Itali yang pertama menemukan treatment oksigen hiperbarik untuk artificial
pneumothotaks; tuberkulosis. Ide mengobati pasien dibawah tekanan
tinggi dikembangkan lagi oleh dokter bedah berkebangsaan Perancis bernama
Fontaine pada tahun 1879. Dia memperkenalkan ruang operasi hiperbarik mobile,
muat untuk 12 orang (Neuman S Tom, 2008). Sejak saat itu, terapi hiperbarik
terus dikembangkan dan diperluas penggunaannya untuk bidang kesehatan.
Mengetahui besarnya manfaat terapi hiperbarik dalam penyembuhan
berbagai penyakit sudah selayaknya terapi hiperbarik dijadikan salah satu terapi
pengobatan baru yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Di Indonesia,
perawatan untuk terapi oksigen hiperbarik ini masih sangat sedikit. Hanya daerah–
daerah tertentu yang memiliki ruang hiperbarik. Dan masih banyak tenaga kesehatan
khususnya di bidang kedokteran belum mengenal dan mengerti manfaat terapi
hiperbarik.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


30

Di Indonesia sendiri, terapi oksigen hiperbarik pertama kali dimanfaatkan


pada tahun 1960 oleh Lakesla yang bekerjasama dengan RS AL Dr. Ramelan,
Surabaya. Hingga saat ini fasilitas tersebut merupakan yang terbesar di Indonesia.
Adapun beberapa rumah sakit lain yang memiliki fasilitas terapi oksigen
hiperbarik adalah (Nuh Huda, 2010):
 RS PT Arun, Aceh
 RS AL Dr. Midiyatos, Tanjung Pinang
 RS AL Dr. MINTOHARDJO, Jakarta
 RS Pertamina, Cilacap
 RS Panti Waluyo, Solo
 Lakesla TNI AL, Surabaya
 RSU Sanglah, Denpasar, dll

2.2.2 Definisi Terapi Oksigen Hiperbarik


Hiperbarik berasal dari kata hyper berarti tinggi, bar berarti tekanan.
Dengan kata lain terapi hiperarik adalah terapi dengan menggunakan tekanan
yang tinggi. Pada awalnya terapi hiperbarik hanya digunakan untuk mengobati
decompression sickness, yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh penurunan
tekanan lingkungan secara mendadak sehingga menimbulkan sejumlah
gelembung nitrogen dalam cairan tubuh baik dalam sel maupun di luar sel, dan hal
ini dapat menimbulkan kerusakan di setiap organ dalam tubuh, dari derajat ringan
sampai berat bergantung pada jumlah dan ukuran gelembung yang terbentuk.
Seiring dengan berjalannya waktu, terapi hiperbarik berkembang fungsinya untuk
terapi bermacam–macam penyakit, beberapa diantaranya seperti, stroke, multiple
sclerosis, cerebral edema, keracunan karbon monoksida dan sianida, trauma
kepala tertutup, gas ganggrene, peripheral neuropathy,osteomyelitis, sindroma
kompartemen, diabetic neuropathy, migraine, myocardial infarction (Guyton. A.
C. & Hall. JE, 2006).
Hiperbarik oksigen (HBO) adalah suatu cara terapi di mana penderita
harus berada dalam suatu ruangan bertekanan, dan bernafas dengan oksigen 100%
pada suasana tekanan ruangan yang lebih besar dari 1 ATA (Atmosfer Absolute)
(Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda, 2010).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


31

Tidak terdapat definisi yang pasti akan tekanan dan durasi yang digunakan
untuk sesi terapi oksigen hiperbarik. Umumnya tekanan minimal yang digunakan
adalah sebesar 2,4 atm selama 90 menit. Banyaknya sesi terapi tergantung pada
kondisi pasien dengan rentang satu sesi untuk keracunan ringan karbon
monoksida hingga enam puluh sesi atau lebih untuk lesi diabetik pada kaki.
(Hanabe, 2004).
Terapi oksigen hiperbarik dilakukan dalam 10 hari untuk 1 sesi. Penentuan
frekuensi terapi yang dilakukan pasien sesuai dengan pemeriksaan pada pasien
setelah terapi. Apabila hasil pemeriksaan sudah sesuai target penyembuhan
penyakit, maka terapi dapat dihentikan. Terapi oksigen hiperbarik dilakukan pada
tekanan 2,4 atm selama 90 menit. Tiap 30 menit terapi, pasien diberikan waktu
istirahat selama 5 menit. Hal ini dilakukan untuk menghindari keracunan oksigen
pada pasien (Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda, 2010).
Oksigen 100% diberikan dengan menggunakan masker, sementara gas
disekitar tubuh merupakan udara normal yang terkompresi pada tekanan yang
sama. Di dalam RUBT posisi penderita bisa duduk/tiduran (Mahdi, 1999 dalam
Samsudin, 2003). RUBT merupakan suatu tabung yang terbuat dari plat baja yang
dibuat sedemikian rupa sehingga mampu diisi udara tekan mulai dari 1 ATA
(Atmosfer Absolute) sampai beberapa ATA, tergantung jenis dan penggunaannya
(Mahdi, 1999 dalam Samsudin, 2003).

Aspek fisika
Untuk praktisnya, komposisi udara disederhanakan menjadi 21% O 2 , 79%
N2. Tekanan total dari campuran gas ini pada permukaan air laut adalah 760
mmHg (Jain, 1999).
Hukum Dalton mengatakan, tekanan gas pada suatu campuran gas
berbanding lurus dengan proporsi gas tersebut terhadap total volume campuran
gas itu, tekanan parsial suat gas = tekanan absolut x proporsi terhadap volume
total gas. Jadi tekanan parsial oksigen (PO2) di udara adalah 760 x 21 / 100 = 160
mmHg.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


32

Hukum boyle: Apabila temperatur tetap, volume gas berbanding terbalik


dengan tekanannya. Oleh karena itu gas-gas yang terdapat pada rongga-rongga
tubuh volumenya akan terpengaruh oleh keadaan hiperbarik.

Aspek fisiologi
Aspek fisiologi dari terapi HBO mencakup beberapa hal yaitu sebagai
berikut:
a. Fase Respirasi
Fase-fase respirasi dari pertukaran gas terdiri dari fase ventilasi,
transportasi, utilisasi, dan diffusi. Dengan kondisi tekanan oksigen yang
tinggi, diharapkan matriks seluler yang menopang kehidupan suatu
organisme mendapatkan kondisi yang optimal. Efek fisiologis dapat
dijelaskan melalui mekanisme oksigen yang terlarut plasma. Pengangkutan
oksigen ke jaringan meningkat seiring dengan peningkatan oksigen terlarut
dalam plasma (Mahdi, 2009).
Seperti diketahui, kekurangan oksigen pada tingkat sel menyebabkan
terjadinya gangguan kegiatan basal yang pokok untuk hidup suatu
organisme. Untuk mengetahui kegunaan HBO dalam mengatasi hipoksia
seluler, perlu dipelajari fase–fase pertukaran gas sebagai berikut:
1) Fase Ventilasi
Fase ini merupakan penghubung antara fase transportasi dan
lingkungan gas di luar. Fungsi dari saluran pernafasan adalah
memberikan O2 dan membuang CO2 yang tidak diperlukan dalam
metabolisme. Gangguan yang terjadi dalam fase ini akan menyebabkan
hipoksia jaringan. Gangguan tersebut meliputi gangguan membran
alveoli, atelektasis, penambahan ruang rugi, ketidakseimbangan
ventilasi alveolar, dan perfusi kapiler paru (Pennefather, 2002).
2) Fase Transportasi
Fase ini merupakan penghubung antara lingkungan luar dengan organ-
organ (sel dan jaringan). Fungsinya adalah menyediakan gas yang
dibutuhkan dan membuang gas yang dihasilkan oleh proses metabolisme.
Gangguan dapat terjadi pada aliran darah lokal atau

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


33

umum, hemoglobin, dan shunt anatomis atau fisiologis. Hal ini dapat
diatasi dengan merubah tekanan gas di saluran pernafasan (Kindwall &
Whelan, 1999).
3) Fase Utilisasi
Pada fase utilisasi terjadi metabolisme seluler, fase ini dapat
terganggu apabila terjadi gangguan pada fase ventilasi maupun
transportasi. Gangguan ini dapat diatasi dengan hiperbarik oksigen,
kecuali gangguan itu disebabkan oleh pengaruh biokimia, enzim, dan
cacat atau keracunan (Kindwall & Goldman, 1998).
4) Fase Difusi
Fase ini adalah fase pembatas fisik antara ketiga fase tersebut dan
dianggap pasif, namun gangguan pada pembatas ini akan
mempengaruhi pertukaran gas.

b. Pada Fase Transportasi dan Utilisasi Oksigen


1) Efek kelarutan oksigen dalam plasma
Pada tekanan barometer normal, oksigen yang larut dalam plasma
sangat sedikit. Namun pada tekanan oksigen yang aman 3 ATA, dimana
PO2 arterial mencapai ±2000 mmHg, tekanan oksigen meningkat 10–
13 kali dari normal dalam plasma. Oksigen yang larut dalam plasma
sebesar ±6 vol % (6 ml O2 per 100 ml plasma) yang cukup untuk
memberi hidup meskipun tidak ada darah (Grim et al, 2009).
2) Haemoglobin
1 gr Hb dapat mengikat 1,34 ml O2 , sedangkan konsentrasi normal
dari Hb adalah ±15 gr per 100 ml darah. Bila saturasi Hb 100% maka
100 ml darah dapat mengangkut 20,1 ml O2 yang terikat pada Hb (20,1
vol %). Pada tekanan normal setinggi permukaan laut, dimana PO 2

alveolar dan arteri ±100 mmHg, maka saturasi Hb dengan O2±97%


dimana kadar O2 dalam darah adalah 19,5 vol %. Saturasi Hb akan
mencapai 100% pada PO2 arteri antara 100–200 mmHg (Grim et al,
2009).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


34

Saat terapi oksigen hiperbarik, hemoglobin pada pembuluh darah


vena juga tersaturasi penuh sehingga tekanan oksigen meningkat pada
pembuluh darah. Difusi oksigen bergantung pada perbedaan tekanan
sehingga oksigen akan dialirkan ke jaringan dari pembuluh darah
(Hanabe, 2004).
Oksigen dalam darah diangkut dalam bentuk larut dalam cairan
plasma dan bentuk ikatan dengan hemoglobin. Bagian terbesar berada
dalam bentuk ikatan dengan hemoglobin dan hanya sebagian kecil
dijumpai dalam bentuk larut. Dalam HBO, oksigen bentuk larut
menjadi amat penting, hal ini disebabkan sifat dari oksigen bentuk larut
lebih mudah dikonsumsi oleh jaringan lewat difusi langsung dari pada
oksigen yang terikat oksigen lewat sistem hemoglobin (Guritno, 2005).
3) Utilisasi O2
Utilisasi O2 rata–rata tubuh manusia dapat diketahui dengan
mengukur perbedaan antara jumlah O2 yang ada dalam darah arteri
waktu meninggalkan paru-paru dan jumlah O2 yang ada dalam darah
vena diarteri pulmonalis. Darah arteri mengandung ±20% oksigen,
sedangkan darah vena mengandung ±14% vol oksigen sehingga 6 vol
% oksigen dipakai oleh jaringan (Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda,
2010).
4) Efek kardiovaskuler
Pada manusia, oksigen hiperbarik menyebabkan penurunan curah
jantung sebesar 10–20%, yang disebabkan oleh terjadinya bradikardia.
Tekanan darah umumnya tidak mengalami perubahan selama
pemberian hiperbarik oksigen. Pada jaringan yang normal HBO dapat
menyebabkan vasokonstriksi sebagai akibat naiknya PO2 arteri. Efek
vasokonstriksi ini kelihatannya merugikan, namun perlu diingat bahwa
pada PO2 ±2000 mmHg, oksigen yang tersedia dalam tubuh adalah 2
kali lebih besar daripada biasanya. Pada keadaan dimana terjadi edema,
efek vasokonstriksi yang ditimbulkan oleh hiperbarik oksigen justru
dikehendaki karena dapat mengurangi edema (Hanabe, 2004).
Hiperbarik pada jaringan normal akan menyebabkan vasokonstriksi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


35

tetapi hal ini dikompensasi dengan peningkatan oksigen dalam plasma


dan aliran darah mikrovaskular. Vasokonstriksi ini mempunyai efek
mengurangi edema jaringan post trauma yang berkontribusi terhadap
terapi crush injures, compartment syndromes, dan luka bakar (Hanabe,
2004).

c. Terapi oksigen hiperbarik meningkatkan produksi oksigen radikal bebas


yang mengoksidasi protein dan membran lipid, merusak DNA, dan
menghambat fungsi metabolik bakteri. Terapi oksigen metabolik terutama
efektif untuk kuman anaerob dan memfasilitasi sistem peroksidase yang
tergantung pada oksigen dimana sel darah putih membunuh bakteri
(Hanabe, 2004).

2.2.3 Indikasi-indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik


Indikasi–indikasi untuk terapi oksigen hiperbarik (Moore E James, 2014):
 Keracunan karbon monoksida, keracunan karbon monoksida dan sianida
 Clostridial myositis dan myonecrosis (gas gangren)
 Crush injury compartment syndrome, dan iskemi traumatik akut lainnya
 Penyakit dekompresi
 Penyembuhan yang dipercepat pada beberapa luka yang bermasalah, dan lain-
lain.
Selain ada indikasi pada penggunaan terapi, terdapat efek samping dari
terapi oksigen hiperbarik seperti barotrauma, intoksikasi oksigen. Intoksikasi
oksigen seperti pucat, keringat dingin, twitching, mual, muntah, dan kejang
(Lakesla, 2009).

2.2.4 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik


Kontraindikasi absolut, yaitu penyakit pneumothorak yang belum
ditangani (Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda, 2010).
Kontraindikasi relatif meliputi keadaan umum lemah, tekanan darah
sistolik >170 mmHg atau <90 mmHg. Diastole >110 mmHg atau <60 mmHg. Demam
tinggi >38ᵒ C, ISPA (infeksi saluran pernafasan atas), sinusitis,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


36

Claustropobhia (takut pada ruangan tertutup), penyakit asma, emfisema dan


retensi CO2, infeksi virus, infeksi aerob seperti TBC, lepra, riwayat kejang,
riwayat neuritis optic, riwayat operasi thorak dan telinga, wanita hamil, penderita
sedang kemoterapi seperti terapi adriamycin, bleomycin (Lakesla, 2009 dalam T
Nuh Huda, 2010).

2.2.5 Protap Terapi Oksigen Hiperbarik


Persiapan Terapi Oksigen Hiperbarik (Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda,
2010):
a. Pasien diminta untuk menghentikan kebiasaan merokoknya 2 minggu
sebelum proses terapi dimulai. Tobacco mempunyai efek vasokonstriksi
sehingga mengurangi penghantaran oksigen ke jaringan.
b. Beberapa medikasi dihentikan 8 jam sebelum memulai terapi oksigen
hiperbarik antara lain vitamin c, morfin, dan alkohol.
c. Pasien diberikan pakaian yang terbuat dari 100% bahan katun dan tidak
memakai perhiasan, alat bantu dengar, lotion yang terbuat dari bahan dasar
petroleum, kosmetik, bahan yang mengandung plastik, dan alat elektronik.
d. Pasien tidak boleh menggunakan semua zat yang mengandung minyak
atau alkohol (yaitu, kosmetik, hair spray, cat kuku, deodoran, lotion,
cologne, parfum, salep) dilarang karena berpotensi memicu bahaya
kebakaran dalam ruang oksigen hiperbarik.
e. Pasien harus melepaskan semua perhiasan, cincin, jam tangan, kalung,
sisir rambut, dan lain-lain sebelum memasuki ruangan untuk mencegah
goresan akrilik silinder dari ruang hiperbarik.
f. Lensa kontak harus dilepas sebelum memasuki ruang karena pembentukan
potensi gelembung antara lensa dan kornea.
g. Pasien juga tidak diperbolehkan membawa koran, majalah, atau buku
untuk menghindari percikan api karena tekanan oksigen yang tinggi
berisiko menimbulkan kebakaran.
h. Sebelum pasien mendapatkan terapi oksigen hiperbarik, pasien dievaluasi
terlebih dahulu oleh seorang dokter yang menguasai bidang hiperbarik.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


37

Evaluasi mencakup penyakit yang diderita oleh pasien, apakah ada


kontraindikasi terhadap terapi oksigen hiperbarik pada kondisi pasien.
i. Sesi perawatan hiperbarik tergantung pada kondisi penyakit pasien. Pasien
umumnya berada pada tekanan 2,4 atm selama 90 menit 2 jam kemudian
diselingi pasien keuar dari ruangan hiperbarik agar komplikasi oksigen
hiperbarik dapat dihindari.
j. Terapi oksigen hiperbarik memerlukan kerja sama multidisiplin sehingga
satu pasien dapat ditangani oleh berbagai bidang ilmu kedokteran.
k. Pasien dievaluasi setiap akhir sesi untuk perkembangan hasil terapi dan
melihat apakah terdapat komplikasi hiperbarik pada pasien.
l. Untuk mencegah barotrauma GI, ajarkan pasien bernafas secara normal
(jangan menelan udara) dan menghindari makan besar atau makanan yang
memproduksi gas atau minum sebelum perawatan.
Prosedur penatalaksanaan hiperbarik oksigen adalah sebagai berikut
(Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda, 2010):
a. Sebelum terapi hiperbarik oksigen
Dokter jaga HBO dan perawat (tender) melaksanakan:
1) Anamnesis:
Identitas, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,
kontraindikasi absolut dan relatif untuk terapi HBO.
Indikasi HBO:
Beberapa indikasi penyakit yang bisa diterapi dengan HBO adalah
penyakit dekompressi, emboli udara, keracunan gas CO, HCN, H2S,
infeksi seperti gas gangren, osteomyelitis, lepra, mikosis, pada bedah
plastik, dan rekonstruksi seperti luka yang sulit sembuh, luka bakar,
operasi reimplantasi dan operasi cangkok jaringan. Keadaan trauma
seperti crush injury, compartment syndrome dan cidera olahraga.
Gangguan pembuluh darah tepi, berupa shock dan lain-lain. Bypass
jantung dan nyeri tungkai iskemik, bedah ortopedi seperti fracture non
union, cangkok tulang, osteoradionekrosis. Keadaan neurologik
seperti, stroke, multiple sclerosis, migrain, edema cerebri, multi infrak
demensia, cedera medula spinalis, abses otak, dan neuropati perifer.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


38

Kondisi masa rehabilitasi seperti hemiplegi spastik stroke, paraplegi,


miokard insufisiensi kronik dan penyakit pembuluh darah tepi.
2) Pemeriksaan fisik lengkap
3) X–foto thorak PA
4) Pemeriksaan tambahan bila dianggap perlu, yaitu:
a) EKG
b) Bubble detector untuk kasus penyelaman
c) Perfusi dan PO2 transcutaneus
d) Laboratorium darah
e) Konsultasi dokter spesialis
5) Menerangkan manfaat, efek samping, proses dan program terapi
HBO, yaitu:
a) Terapi dilaksanakan di dalam Ruang Udara Bertekanan Tinggi.
b) Cara adaptasi terhadap perubahan tekanan, manuver valsava atau
equalisasi.
c) Bernafas menghirup O2 100% melalui masker selama 3 x 30 menit
untuk tabel terapi Kindwall atau sesuai tabel terapi kasus
penyelaman.
d) Efek samping seperti, barotrauma, intoksikasi oksigen,
memodulasi nitrit oksida pada sel endotel untuk meningkatkan
VEGF (vascular endothelial growth factor) sehingga memicu
fibroblast yang diperlukan untuk sintesis proteoglikan yang akan
memacu kolagen sintesis pada proses remodeling yaitu salah satu
proses dalam penyembuhan luka.
e) Selama terapi didampingi oleh seorang perawat.
f) Menandatangani inform concern.

b. Selama Terapi Hiperbarik Oksigen


1) Selama proses kompresi, Tender membantu adaptasi peserta terapi
HBO terhadap peningkatan tekanan lingkungan.
2) Selama proses menghirup O2 100%

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


39

a) Observasi tanda–tanda intoksikasi oksigen seperti pucat, keringat


dingin, twitching, mual, muntah, dan kejang. Bila terjadi hal
demikian maka perawat akan memberitahukan kepada petugas di
luar bahwa terapi dihentikan sementara sampai menunggu kondisi
penderita baik kembali, kemudian penderita dikeluarkan dan
diberikan perawatan sampai kondisi adekuat.
b) Observasi tanda–tanda vital dan keluhan peserta terapi HBO.
c) Untuk kasus penyelaman, observasi sesuai keluhan, yaitu
gangguan motorik dan sensorik, rasa nyeri.
d) Mengamati tanda–tanda dan gejala barotrauma, keracunan oksigen
dan komplikasi atau efek samping yang ditemui dalam HBO.
3) Selama proses dekompresi perawat membantu adaptasi peserta terapi
HBO terhadap pengurangan tekanan lingkungan dengan Valsava
maneuver, menelan ludah atau minum air putih.
a) Jika pasien mengalami nyeri ringan sampai sedang, hentikan
dekompresi hingga nyeri reda. Jika nyeri ringan sampai sedang
tidak lega, pasien harus dikeluarkan dari ruang dan diperiksa oleh
dokter THT.
b) Perlu diingatkan bahwa Valsava maneuver hanya untuk digunakan
selama dekompresi dan mereka perlu bernafas normal selama
terapi (tidak menahan nafas).

c. Setelah Terapi Hiperbarik Oksigen


Dokter dan perawat jaga HBO melaksanakan anamnesis setelah terapi,
evaluasi penyakit, evaluasi ada tidaknya efek samping. Bila kondisi baik
maka pasien akan dikembalikan ke ruang perawatan seperti semula.

2.2.6 Klasifikasi Ruang Hiperbarik


Menurut klasifikasi dari National Fire protection Association (NFPA-99
Health care Facilities) United states, ruangan hiperbarik dibagi:
a) Kelas A–untuk Manusia, (multiplace chamber) atau ruangan hiperbarik
yang diperuntukan bagi manusia dengan jumlah lebih dari satu orang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


40

dimana ruangan tersebut lebih dari 1 ruangan bisa dua, tiga, atau lebih,
sehingga jika terjadi kendala atau masalah pada salah satu pasien atau
peserta terapi dapat dilakukan penanganan dengan baik tanpa mengganggu
pasien yang lain. Selain itu juga masalah kontaminasi penyakit maupun
hal lain dapat dipisahkan dengan baik. Alat hiperbarik seperti ini adalah
yang terbaik jika akan melayani pasien lebih dari 1 orang dalam satu kali
pelayanan, sehingga baik tenaga perawat yang menemani di dalam
maupun di luar, paramedis maupun dokter ahli hiperbarik dapat
memberikan bantuan langsung ke dalam jika terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
Biasanya digunakan pada pasien dengan kondisi umum yang buruk atau
yang menggunakan alat bantuan, multiplace chamber dipilih karena
mempunyai keuntungan yaitu alat–alat bantu tersebut dapat dimasukan ke
dalam chamber dan perawat dapat ikut memonitor kondisi pasien tersebut.
Kamar tipe A dapat dimasuki oleh beberapa orang pasien sekaligus dan
dapat disertai dengan perawat atau pendamping yang mengobservasi
pasien dan membantu di saat gawat darurat. Pasien dalam multiplace
chamber menghirup oksigen 100% melalui masker (Richard A. Neubauer,
1998).
b) Kelas B-untuk Manusia, (monoplace chamber) dengan satu ruangan untuk
satu pasien. Biasanya pasien sendiri di dalam ruangan dan tidak ditemani
oleh tenaga medis. Tenaga medis hanya mengawasi dan memantau dari
luar. Semua instruksi, peralatan pendukung, dan kendali ada di luar.
Pada kamar tipe B pasien tidak menggunakan masker untuk menghirup
oksigen 100% karena udara di dalam chamber tersebut telah dialiri oleh
oksigen 100% (Richard A. Neubauer, 1998).
c) Kelas C-untuk Binatang bukan untuk Manusia.

2.3 Hiperbarik Center RUMKITAL Dr. Mintohardjo


Terapi Oksigen Hiperbarik RUMKITAL Dr. Mintohardjo
memperkenalkan kepada masyarakat umum dan sejawat dokter tentang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


41

tersedianya fasilitas Terapi Oksigen Hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo


Jakarta.
RUMKITAL Dr. Mintohardjo menjadi rumah sakit rujukan untuk
angkatan laut walaupun begitu RUMKITAL Dr. Mintohardjo juga menerima
pasien umum. Pelayanan Terapi Oksigen Hiperbarik RUMKITAL Dr.
Mintohardjo dimulai pada pukul 07.30-15.00 dari hari Senin sampai hari Jumat
kecuali hari libur nasional. Terapi dilakukan selama 10 hari dalam 1 sesi. Dalam 1
hari terapi dilakukan selama 90 menit dengan istirahat 5 menit tiap 30 menit
terapi.
Pada tahun 1969, RUMKITAL Dr. Mintohardjo memiliki chamber
pertama yang bernama Kurimoto. Chamber ini digunakan untuk tes bagi calon
penyelam. Pada tahun 1978, RUMKITAL Dr. Mintohardjo memiliki chamber
Oceanering yang digunakan untuk terapi di bidang militer.
Sekarang terdapat 4 buah multiple chamber tetapi yang digunakan terapi
hanya 2 buah, sisanya masih dalam tahap persiapan. Multiple chamber tersebut
ada yang memiliki AC (air conditioner) dan ada yang tanpa AC (air conditioner).
Chamber dengan fasilitas AC bernama Ambalat dan yang non AC bernama Rote
Island.
Dokter yang bekerja di bagian terapi hiperbarik berjumlah 6 orang.
Sebagian telah bergelar S2 hiperbarik, sisanya masih dalam pendidikan
spesialisasi.
Rata–rata jumlah kunjungan per hari adalah 72–78 orang. Pasien berasal
dari seluruh Indonesia terutama Jakarta. Harga sekali terapi adalah 180 ribu
Rupiah. Penyakit yang sering diterapi dengan terapi hiperbarik oksigen di
RUMKITAL Dr. Mintohardjo diantaranya seperti, stroke, sudden deafness,
diabetes melitus, gangrene akibat diabetes melitus, luka bekas operasi, luka yang
sulit sembuh, ulkus yang sulit sembuh, fraktur terbuka, fraktur yang sulit sembuh,
luka bakar, vertigo, autis, dan decompression sickness. Jumlah kasus dari masing–
masing penyakit di atas berubah dari waktu ke waktu. Selain untuk terapi berbagai
penyakit, fasilitas hiperbarik juga digunakan dalam bidang angkatan laut seperti,
tes ketahanan tekanan pada anggota baru angkatan laut, tes ketahanan tekanan
secara rutin pada anggota lama angkatan laut, dan res ketahanan tekanan pada

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


42

awak kapal selam. Fasilitas hiperbarik juga digunakan untuk kebugaran tubuh.
Pasien dapat melakukan aktivitas fisik sewaktu di dalam chamber yang diberi
tekanan hiperbarik. Untuk kasus emergensi, fasilitas hiperbarik dapat dilakukan
24 jam.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


43

BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Rekam Medik Pasien Diabetes Melitus yang


menggunakan terapi oksigen hiperbarik Memenuhi Kriteria
Januari 2014-Februari 2015 Inklusi dan Ekslusi

Terapi Obat Diabetes Terapi Oksigen Hiperbarik

Hemoglobin KadarGula Kadar Gula


Hemoglobin
A1c/ darah darah
A1c/
hemoglobin hemoglobin
terglikosilasi terglikosilasi

Gambar3.1. Kerangka Konsep Penelitian

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


44

3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional


N Nama Definisi Cara Hasil Pengukuran
o. Variabel Operasional Pengukuran
1. Pasien Pasien rawat inap Membaca data Pasien menderita
penderita diabetes rekam medis diabetes melitus
mellitus di pasien
RUMKITAL Dr.
Mintohardjo Jakarta
2. Terapi Suatu alat yang Pemberian Dilakukan terapi
Oksigen digunakan untuk oksigen 100% oksigen hiperbarik
Hiperbarik terapi penyakit di dalam ruang
diabetes melitus udara
bertekanan
tinggi pada 2,4
ATA 3x30
menit selama
perawatan DM
3. Obat Obat-obatan kimiawi Membaca data Pasien mendapatkan
Antidiabetes yang digunakan untuk rekam medis obat antidiabetes
pengobatan penyakit pasien
diabetes mellitus
4. Kadar HbA1c Kadar Hemoglobin Membaca data 1. Terkendali
A1c pada pasien DM. rekam medis 2. Tidak terkendali
Terkendali menurut pasien
Dipiro et all, 2009:
≤6,5-7,0%
5. Kadar gula Kadar gula darah pada Membaca data 1. Terkendali
darah pasien DM. rekam medis 2. Tidak terkendali
Terkendali menurut pasien
Dipiro et all, 2009:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


45

110-130 mg/dL
6. Usia Rentang usia pasien Membaca data Usia menurut DEPKES
penderita diabetes rekam medis RI, 2009:
melitus yang berobat pasien 1. 5-11 tahun: masa
ke RUMKITAL Dr. kanak-kanak
Mintohardjo Jakarta 2. 12-16 tahun: masa
remaja awal
3. 17-25 tahun: masa
remaja akhir
4. 25-35 tahun: masa
dewasa awal
5. 36-45 tahun: masa
dewasa akhir
6. 46-55 tahun: masa
lansia awal
7. 55-65 tahun: masa
lansia akhir
8. 65-sampai di atas:
manula
7. Jeniskelamin Kondisi fisik yang Membaca data 1. Laki-laki
menentukan status rekam medis 2. Perempuan
seseorang laki-laki pasien
atau perempuan
8. Efektivitas Seberapa baik terapi Mengamati 1. Efektif
hiperbarik yang dan mencatat 2. Tidak efektif
diberikan dapat status pasien
menyembuhkan dari data
pasien. Efektif apabila rekam medis
HbA1c dan GDS
terkendali.
Keterangan: DM: diabetes mellitus, HbA1c: Hemoglobin terglikosilasi, GDS: guladarah
sewaktu, ATA: atmosferabsolut

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


46

3.3 Hipotesis
Berdasarkan uraian pada latar belakang, rumusan masalah, yang
didukung oleh kajian teoritis, maka hipotesis yang dapat dikemukakan
adalah sebagai berikut:
 Penggunaan oksigen bertekanan tinggi (HBO) sebesar 2,4 ATA 3x30
menit/hari selama perawatan pasien diabetes melitus dapat
menurunkan kadar HbA1c.
 Penggunaan oksigen bertekanan tinggi (HBO) sebesar 2,4 ATA 3x30
menit/hari selama perawatan pasien diabetes melitus dapat
menurunkan kadar gula darah.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


47

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

5.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di RUMKITAL Dr. Mintohardjo dengan
alamat Jl. Bendungan Hilir No. 17 Jakarta Pusat 10210. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Maret 2015.

5.2 Desain Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder, yakni
berupa catatan rekam medis pasien diabetes melitus yang menggunakan terapi
oksigen hiperbarik dan menggunakan obat antidiabetes di RUMKITAL Dr.
Mintohardjo Jakarta Pusat pada bulan Januari 2014 sampai Maret 2015.
Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian cross sectional,
yaitu pengumpulan data variable untuk mendapatkan gambaran pengaruh terapi
oksigen hiperbarik terhadap diabetes, efektivitas penggunaan terapi oksigen
hiperbarik dan lamanya penggunaan terapi oksigen hiperbarik untuk pengobatan
diabetes melitus. Metode pendekatan yang digunakan adalah retrospektif yaitu
penelitian berdasarkan rekam medis pasien, melihat kebelakang peristiwa yang
terjadi di masa lalu, dalam hal ini dilihat dari rekam medis pasien periode 2014
sampai 2015. Analisa dilakukan secara deskriptif yaitu dengan menggambarkan
pengaruh terapi oksigen hiperbarik pasien diabetes melitus.

5.3 Populasi dan Sampel Penelitian


5.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah rekam medis pasien rawat inap
penderita diabetes melitus yang menjalani terapi hiperbarik di RUMKITAL Dr.
Mintohardjo Jakarta Pusat pada periode Januari 2014 sampai Maret 2015 yaitu
sebanyak 44 rekam medis pasien.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


48

5.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria
inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu
semua rekam medis pasien yang memenuhi kriteria inklusi diambil sebagai
penelitian yaitu sebanyak 30 rekam medis pasien.

5.3.2.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Sampel


a) Kriteria inklusi penelitian ini adalah:
1) Pasien yang menderita diabetes melitus yang menggunakan obat
antidiabetes dan terapi hiperbarik.
2) Pasien dewasa, usia ≥ 25 tahun.
b) Kriteria eksklusi penelitian ini adalah:
1) Pasien yang tidak memiliki data rekam medis lengkap dan jelas.
Lengkap dan jelas, seperti terdapat nomor rekam medis, identitas
pasien (nama, jenis kelamin, dan usia), tanggal perawatan, kadar gula
darah pasien, kadar HbA1c, data penggunaan obat (Jenis, regimen
dosis, dan aturan penggunaan), data penggunaan terapi oksigen
hiperbarik (Frekuensi, aturan penggunaan), dan hasil laboratorium di
ruang Administrasi Medis.
2) Pasien rawat jalan (bukan pasien rawat inap)

4.4 Prosedur Penelitian


4.4.1 Pengumpulan Data
a) Penelusuran data pasien diabetes melitus yang menggunakan terapi
hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat dari bulan
Januari 2014 sampai Februari 2015.
b) Data dikumpulkan dengan melakukan observasi data rekam medis yang
memenuhi kriteria inklusi.
c) Pengambilan dan pencatatan data hasil rekam medis berupa nomor rekam
medis, identitas pasien (nama, jenis kelamin, dan usia), tanggal perawatan,
kadar gula darah, HbA1c, diagnosa, dan lain-lain.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


49

4.4.2 Pengolahan Data


 Editing data
Sebelum melakukan penilaian terhadap data mentah, terlebih dahulu
dilakukan pemeriksaan kembali kebenaran data yang diperoleh dan
mengeluarkan data yang tidak memenuhi kriteria penelitian.
 Coding data
Peneliti melakukan coding terhadap data yang terpilih dari proses seleksi
untuk mempermudah analisis di program Microsoft Excel. Coding berupa
kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas
beberapa kategori.
 Entry data
Peneliti memasukan data yang telah dilakukan proses coding ke dalam
program Microsoft Excel dalam bentuk tabel.
 Cleaning data
Kegiatan pembersihan data dilakukan untuk mengecek kembali sebelum
dilakukan analisis lebih lanjut.

4.4.3 Analisis Data


Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji statistik. Data-data yang
telah dilakukan pengolahannya dengan benar selanjutnya dianalisis menggunakan
program Microsoft Excel dan program SPSS versi 16.0 untuk memperoleh
gambaran efektivitas dari terapi hiperbarik pada pasien diabetes melitus. Variabel
dianalisis dengan analisa univariat dan bivariat.
1) Analisa univariat
Analisis univariat adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis
setiap variabel penulis. Tujuannya untuk melihat sebaran data setiap
variabel. Analisis univariat dilakukan terhadap variabel yang ikut dalam
penelitian:
 Karakteristik pasien
a) Jenis kelamin
b) Usia

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


50

 Penggunaan antidiabetik
 Penggunaan terapi oksigen hiperbarik
2) Analisa bivariat
Analisis bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang
diduga berhubungan/berkorelasi dan untuk melihat kemaknaan antara
variabel.
Analisis bivariat yang digunakan pada penelitian ini adalah uji T
dependent/Paired samples T-Test karena sampel pada penelitian ini terdiri
dari satu kelompok dan dilihat kadar HbA1c beserta kadar gula darahnya
sebelum dan sesudah diberikan terapi hiperbarik.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


51

BAB V
HASIL

5.1 Hasil Penelitian


Didapatkan 30 data rekam medis dari populasi total 44 rekam medis pasien
diabetes rawat inap di RUMKITAL Dr Mintohardjo Jakarta Pusat Periode Januari
2014 sampai Maret 2015 yang menggunakan obat dan terapi hiperbarik dan
memenuhi kriteria inklusi penelitian.

5.1.1 Jumlah Pasien Berdasarkan Karakteristik Pasien


Hasil pengamatan data rekam medis berdasarkan karakteristik pasien,
yaitu jenis kelamin dan usia pasien diabetes yang menggunakan obat dan terapi
oksigen hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat selama Januari
2014 sampai Maret 2015 dapat dilihat pada tabel 5.1.

Tabel 5.1. Distribusi pasien DM Tipe 2 berdasarkan karakteristik


pasien di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015
No Karakteristik N %
1 Jenis Kelamin
Laki-laki 26 86,67
Perempuan 4 13,33
2 Usia
36-45 1 3,33
46-55 9 30
56-65 15 50
>65 5 16,67
Keterangan:N: jumlah. Pembagian usia berdasarkan DEPKES RI, 2009

Pada tabel 5.1, terlihat bahwa pasien berkelamin laki-laki mempunyai


persentase sebesar 86,67%, sedangkan pasien perempuan 13,33%. Pada kelompok
usia, persentase usia 56-65 tahun mencapai 50%, usia 46-55 tahun mencapai 30%,
usia >65 tahun mencapai 16,67%, dan persentase terkecil pada usia 36-45 yaitu
3,33%.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


52

5.1.2 Kondisi Pasien yang Menggunakan Obat Antidiabetes dan Setelah


Terapi Oksigen Hiperbarik
Hasil pengamatan data rekam medis tentang hasil kondisi pasien diabetes
yang menggunakan obat dan telah menjalani terapi oksigen hiperbarik di
RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat selama Januari 2014 sampai Maret
2015, dapat dilihat pada tabel 5.2 dan tabel 5.3.

Tabel 5.2. Distribusi kondisi pasien selama menggunakan OAD di


RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015
No Nama Jenis OAD GDS (mg/dL) HbA1c (%) Keadaan
Awal Minggu 1 Minggu 2 Awal Minggu 1 Minggu 2 Pasien
(T/TT)
1. Tini Metformin + 233 227 215 9,7 9,0 8,7 TT
Glimepirid
2. Didi Metformin + 294 289 280 12,5 12,0 11,5 TT
Glimepirid
3. Umar Metformin + 241 236 230 10,0 9,8 9,5 TT
Glimepirid
4. Harto Metformin+ 229 224 220 9,9 9,0 8,5 TT
Glimepirid
5. Budhi Inj. novorapid 247 240 - 9,5 8,9 - TT
6. Faruk Inj. novorapid 223 215 - 10,2 9,5 - TT
7. Agus Metformin 235 215 211 120 11,2 10,6 TT
8. Iwan Metformin 226 220 218 10,5 10,0 9,7 TT
9. Sry Glimepirid + 311 297 - 10,9 10,5 - TT
Metformin +
Inj. novorapid +
Inj. lantus
10. Teguh Metformin 254 219 200 10,5 9,5 9,1 TT
11. Radilah Inj novorapid 325 318 309 13,7 13,0 12,8 TT
12. Djoko Glimepirid + 380 375 360 11,7 10,8 10,2 TT
Metformin +
Inj. novorapid +
Inj. lantus
13. Imlati Glimepirid + 291 285 - 11,9 10,5 - TT
Metformin +
Inj. novorapid +
Inj. Lantus
14. Bamban Glimepirid + 305 292 289 12,8 12,0 11,8 TT
gP Metformin +
Inj. novorapid +
Inj. lantus
15. Aries Inj novorapid 312 228 - 10,4 9,5 - TT
16. Sutanmi Glimepirid + 323 319 - 123 11,9 - TT
wati Metformin +
Inj. novorapid +

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


53

Inj. lantus
17. Sjafrie Metformin + 247 234 228 13,2 12,9 12,6 TT
Glimepirid
18. Milla Metformin + 309 300 285 10,9 10,3 9,7 TT
Glimepirid +
Inj. novorapid
19. Niluh Metformin + 258 243 - 12,0 10,5 - TT
Glimepirid +
Inj novorapid
20. I gusti Metformin + 251 242 235 11,7 10,3 7,8 TT
made glimepirid +
Inj novorapid
21. C. Budhi Metformin + 219 210 - 10,6 8,5 - TT
Glimepirid +
Inj novorapid
22. Haryono Metformin + 256 245 - 10,9 9,9 - TT
Glimepirid +
Inj novorapid
23. Eddy Metformin + 247 228 212 12,3 11,0 9,9 TT
Glimepirid
24. Bamban Inj novorapid + 301 285 - 11,5 8,0 - TT
g Inj lantus
25. Adam Inj novorapid + 252 249 235 12,1 11,7 11,5 TT
Inj lantus
26. Risyof Inj novorapid + 230 272 - 11,5 9,0 - TT
Inj lantus
27. Taufik Inj novorapid + 327 310 - 11,0 10,9 - TT
Inj lantus
28. Bamban Metformin + 382 370 362 10,1 9,8 9,0 TT
gW Glimepirid
29. Saleh Inj novorapid + 328 320 - 11,7 11,5 - TT
Inj lantus
30. Supri Inj novorapid + 317 298 280 9,9 8,9 8,0 TT
Inj lantus
Keterangan: HbA1c: Hemoglobin terglikosilasi, GDS:glukosa darah sewaktu, OAD:
obat antidiabetes, Tidak ada GDS dan HbA1c yang terkendali selama penggunaan OAD.
Terkendali apabila HbA1c: ≤6,5-7,0%, GDS: 110-130mg/dL (Dipiro et al, 2009).

Pada tabel 5.2, terlihat bahwa tidak ada keadaan pasien yang terkendali
yaitu kadar HbA1c >7% dan GDS >140mg/dL. Hal ini menunjukan penggunaan
OAD belum dapat mengendalikan kadar HbA1c dan GDS pasien.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


54

Tabel 5.3. Distribusi kondisi pasien sebelum dan sesudah terapi OHB di
RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015
No Nama Freku Jenis OAD Sebelum Terapi Sesudah Terapi Keadaan
ensi Hiperbarik Hiperbarik Pasien
OHB HbA1c GDS HbA1c GDS Keluar
(sesi) (%) (mg/dL) (%) (mg/dL) (T/TT)
1 Tini 1 Metformin + 8,6 215 6,4 130 T
Glimepirid
2 Didi 4 Metformin + 11,2 278 7,0 116
Glimepirid 11,7 262 7,0 130 T
10,2 243 7,0 122
9,7 230 6,9 112
3 Umar 2 Metformin + 9,4 226 6,8 130 T
Glimepirid 8,6 210 6,4 115
4 Harto 2 Metformin+ 8,1 216 7,0 129 T
Glimepirid 9,2 218 6,7 120
5 Budhi 2 Inj. novorapid 8,9 240 7,0 130 T
7,8 235 6,9 129
6 Faruk 2 Inj. novorapid 9,5 215 7,0 128 T
8,3 220 6,8 129
7 Agus 1 Metformin 10,7 210 6,8 128 T
8 Iwan 1 Metformin 9,7 218 6,6 125 T
9 Sry 2 Glimepirid + 10,2 278 6,5 129
Metformin + 7,6 220 6,5 125 T
Inj. novorapid +
Inj. lantus
10 Teguh 1 Metformin 9,1 199 6,9 130 T
11 Radila 3 Inj novorapid 12,6 309 9,8 260
h 8,8 280 9,7 200 T
7,9 258 6,9 124
12 Djoko 2 Glimepirid + 10,1 360 8,0 227
Metformin + 11,7 309 8,3 209 TT
Inj. novorapid +
Inj. lantus
13 Imlati 2 Glimepirid + 10,7 284 9,6 219
Metformin + 8,9 207 7,0 118 T
Inj. novorapid +
Inj. lantus
14 Bamba 2 Glimepirid + 11,8 288 7,8 232
ng P Metformin + 7,8 209 6,5 130 T
Inj. novorapid +
Inj. lantus
15 Aries 1 Inj novorapid 9,2 226 6,9 128 T
16 Sutan 5 Glimepirid + 11,8 319 8,2 251
miwati Metformin + 10,5 288 8,5 250 T
Inj. novorapid + 9,7 254 8,9 200
Inj. lantus
8,1 220 7,0 127
8,1 209 6,8 115
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55

17 Sjafri 2 Metformin + 12,6 226 9,7 200 T


Glimepirid 8,1 208 6,9 118
18 Milla 2 Metformin + 9,5 284 8,9 200
Glimepirid + 8,1 207 6,7 120 T
Inj. novorapid
19 Niluh 1 Metformin + 10,4 243 7,0 130
Glimepirid + T
Inj novorapid
20 I gusti 2 Metformin + 7,8 232 6,5 113
made glimepirid + 8,1 278 9,7 204 TT
Inj novorapid
21 C, 2 Metformin + 8,4 207 6,4 129
budhi Glimepirid + 7,7 211 6,7 117 T
Injnovorapid
22 Haryo- 2 Metformin + 9,9 245 8,8 210
no Glimepirid + 8,9 277 8,7 212 TT
Inj novorapid
23 Eddy 2 Metformin + 9,8 211 9,8 200 T
Glimepirid 8,1 205 7,0 124
24 Bamba 2 Inj novorapid + 7,8 284 8,9 219 T
ng W Inj lantus 7,8 265 6,4 123
25 Adam 2 Inj novorapid + 11,5 234 6,6 130 T
Inj lantus 9,3 207 6,9 129
26 Risyof 2 Inj novorapid + 8,9 270 7,0 130 T
Inj lantus 8,7 248 6,5 128
27 Taufik 2 Inj novorapid + 10,7 307 9,7 264 TT
Inj lantus 11,2 276 8,9 208
28 Bamba 2 Metformin + 8,9 360 8,0 227 TT
ng Glimepirid 8,7 267 8,5 210
29 Saleh 2 Inj novorapid + 11,3 319 7,9 260 T
Inj lantus 8,4 232 7,1 119
30 Supri 2 Inj novorapid + 7,8 278 6,4 121 T
Inj lantus 7,6 219 6,3 130
Rata-rata 9,37 249,217 7,5 158,7
Standar Deviasi 1,38 39,706 1,109 48,82
Keterangan: OHB: oksigen hiperbarik, atm:atmosfer absolut, wkt: waktu, HbA1c:
Hemoglobin terglikosilasi, GDS:glukosa darah sewaktu, T: terkendali, TT: tidak
terkendali, Terkendali apabila HbA1c: ≤6,5-7,0%, GDS: 110-130mg/dL (Dipiro et al,
2009), Tekanan pada terapi OHB: 2,4 atm, Waktu terapi OHB: 90 menit/sesi.

Dari tabel 5.3, terlihat bahwa rata-rata kadar HbA1c pasien sebelum terapi
sebesar 9,37± 1,38% dan sesudah diterapi sebesar 7,5± 1,109%. Rata-rata GDS
pasien sebelum terapi sebesar 249,21± 39,71% dan sesudah diterapi sebesar
158,7± 48,82%. Hal ini menunjukan adanya perubahan kadar HbA1c dan GDS
yang mendekati normal setelah penggunaan terapi. Data yang telah diperoleh
kemudian diolah secara statistik dengan menggunakan uji Paired samples T-Test

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


56

(lihat pada lampiran 4), mendapatkan hasil yang bermakna yaitu (p≤0,05) yang
menunjukan adanya perubahan kadar HbA1c dan GDS pada pasien diabetes
sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik.

Tabel 5.4. Rekapitulasi pasien yang menggunakan terapi oksigen hiperbarik


di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Maret 2015
Penilaian Klinis N % Keterangan
Terkendali 25 83,3 Efektif
Tidak Terkendali 5 16,7 Tidak Efektif
Jumlah 30 100
Keterangan:N: jumlah, Efektif apabila penilaian klinis terkendali, Tidak efektif apabila
penilaian klinis tidak terkendali, Terkendali apabila HbA1c: ≤6,5-7,0% , GDS: 110-
130mg/dL (Dipiro et al, 2009)

Dari tabel 5.4, terlihat bahwa keadaan pasien keluar yang terkendali adalah
83,3% dan 16,7% tidak terkendali.

Tabel 5.5. Frekuensi terapi oksigen hiperbarik dan jenis OAD pada keadaan
pasien keluar yang terkendali di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode
Januari 2014-Februari 2015

Frekuensi Jenis OAD SebelumTerapi Sesudah Terapi N %


Terapi Hiperbarik Hiperbarik
Hiperbarik HbA1c GDS HbA1c GDS
(% ) (mg/dL) (% ) (mg/dL)
1 sesi 8,6 215 6,4 130 1 4
9,4 226 6,8 130
8,6 210 6,4 115
8,1 216 7,0 129
2 sesi 9,2 218 6,7 120 4 16
Metformin + 8,9 240 7,0 130
Glimepirid 7,8 235 6,9 129
9,5 215 7,0 128
8,3 220 6,8 129
11,2 278 7,0 116
4 sesi 11,7 262 7,0 130 1 4
10,2 243 7,0 122
9,7 230 6,9 112
7,8 284 8,9 219
7,8 265 6,4 123
11,5 234 6,6 130
9,3 207 6,9 129
2 sesi Inj. Novorapid + 8,9 270 7,0 130 5 20
Inj. Lantus 8,7 248 6,5 128

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


57

11,3 319 7,9 260


8,4 232 7,1 119
7,8 278 6,4 121
7,6 219 6,3 130
10,2 278 6,5 129
7,6 220 6,5 125
2 sesi Metformin + 10,3 284 9,6 219 3 12
Glimepirid + Inj. 8,9 207 7,0 118
Novorapid + Inj. 11,8 288 7,8 232
Lantus 7,8 209 6,5 130
5 sesi 11,8 319 8,2 251
10,5 288 8,5 250
9,7 254 8,9 200 1 4
8,1 220 7,0 127
8,1 209 6,8 115
1 sesi 10,4 243 7,0 130 1 4
9,5 284 8,9 200
Inj. Novorapid + 8,1 207 6,7 120
2 sesi Glimepirid + 3 12
Metformin 8,4 207 6,4 129
7,7 211 6,7 117
1 sesi 9,2 226 6,9 128 1 4
Inj. Novorapid 8,9 240 7,0 130
2 sesi 7,8 235 6,9 129 2 8
9,5 215 7,0 128
8,3 220 6,8 129
3 sesi 12,6 309 9,8 260
8,8 280 9,7 200 1 4
7,9 258 6,9 124
10,7 210 6,8 128
1 sesi Metformin 9,7 218 6,6 125 3 12
9,1 199 6,9 130
Jumlah 25 100
Keterangan:OAD: obat antidiabetes, HbA1c: Hemoglobin terglikosilasi,
GDS:glukosa darah sewaktu, N: jumlah

Pada tabel 5.5, terlihat bahwa frekuensi penggunaan OHB dan jenis OAD
pada keadaan pasien keluar yang terkendali di RUMKITAL Dr. Mintohardjo yang
memiliki tingkat kesembuhan paling tinggi adalah pada frekuensi penggunaan
terapi oksigen hiperbarik selama 2 sesi dengan Inj. Novorapid + Inj. Lantus
sebesar 20 %.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


58

Tabel 5.6. Frekuensi terapi oksigen hiperbarik dan jenis OAD pada keadaan
pasien keluar yang tidak terkendali di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode
Januari 2014-Februari 2015

Frekuensi Jenis OAD SebelumTerapi Sesudah Terapi N %


Terapi Hiperbarik Hiperbarik
Hiperbarik HbA1c GDS HbA1c GDS
(% ) (mg/dL) (% ) (mg/dL)
2 sesi Metformin + 8,9 360 8,0 227 1 20
Glimepirid 8,7 267 8,5 210
2 sesi Inj. Novorapid 10,7 307 9,7 264 1 20
+ Inj. Lantus 11,2 276 8,9 208
Metformin + 10,1 360 8,0 227 1
2 sesi Glimepirid + 11,7 309 8,3 209 20
Inj. Novorapid
+ Inj. Lantus
Inj. Novorapid 9,9 245 8,8 210
2 sesi + Glimepirid + 8,9 277 8,7 212 2 40
Metformin 7,8 232 6,5 113
8,1 278 9,7 204
Jumlah 5 100
Keterangan:OAD: obat antidiabetes, HbA1c: Hemoglobin terglikosilasi,
GDS:glukosa darah sewaktu, N: jumlah.

Pada tabel 5.6, terlihat bahwa frekuensi penggunaan OHB dan jenis OAD
pada keadaan pasien keluar yang tidak terkendali di RUMKITAL Dr.
Mintohardjo yaitu paling banyak terdapat pada frekuensi penggunaan terapi
oksigen hiperbarik selama 2 sesi dengan injeksi novorapid + glimepirid +
metformin sebesar 40%.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


59

BAB VI
PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pengumpulan data


menggunakan metode retrospektif yaitu melihat data rekam medis pasien yang
terjadi di masa lalu. Data penelitian ini dikumpulkan dari medical record pasien
periode Januari 2014 sampai Maret 2015. Pencatatan data yang hanya diambil dari
medical record sangat terbatas sehingga masih ada data yang diperlukan untuk
mendukung analisis dalam penelitian ini tetapi tidak tercantum dalam medical
record tersebut. Kedua hal di atas (desain penelitian deskriptif dan pengumpulan
data secara retrospektif) merupakan keterbatasan dalam penelitian ini.

6.1 Pembahasan
6.1.1 Karakteristik Pasien
a. Jenis Kelamin
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pasien laki-laki lebih
banyak menderita DM daripada pasien perempuan. Hasil tersebut sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Nuh Huda di Surabaya tahun 2011,
yang menyatakan diabetes lebih banyak diderita oleh laki-laki sebesar
65% pasien dan perempuan 35% pasien.
Tidak ada hipotesa yang menyebutkan bahwa jenis kelamin
berhubungan dengan angka kejadian diabetes, tetapi kecenderungan
kearah laki-laki lebih benyak menderita diabetes lebih diakibatkan oleh
pola makan yang susah diatur daripada perempuan (Tjokroprawiro, 2007).

b. Usia
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pasien diabetes yang
menggunakan obat antidiabetes dan terapi oksigen hiperbarik paling
banyak terdapat pada kelompok usia 56-65 tahun.
Terlihat bahwa penderita diabetes mulai rentan dan sering terjadi
pada usia 46 tahun ke atas hingga 65 tahun. Pada usia ini, umur sangat erat
kaitannya dengan terjadinya kenaikan kadar glukosa darah, sehingga

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


60

semakin meningkat usia maka prevalensi diabetes dan gangguan toleransi


glukosa semakin tinggi. Proses menua yang berlangsung setelah usia 30
tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia.
Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan
dan akhirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi
homeostatis. Komponen tubuh yang dapat mengalami perubahan adalah
sel beta pankreas yang menghasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan
target yang menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang
mempengaruhi kadar glukosa (Goldberg dan Coon dalam Rochman,
2006).
Menurut Waspadji 2008 dalam Sri Wahyuni 2010, dibandingkan
dengan usia yang lebih muda, usia lanjut mengalami peningkatan produksi
insulin glukosa dari hati, cenderung mengalami resistensi insulin, dan
gangguan sekresi insulin akibat penuaan dan apoptosis sel beta pankreas.
Proses penuaan juga menjadi penyebab akibat penyusutan sel-sel beta
pankreas yang progresif sehingga sekresi insulin semakin berkurang dan
kepekaan reseptornya turut menurun. Penyebab lain diduga akibat infeksi
virus sewaktu muda (WHO, dalam istiqomah 2013). Menurut WHO
setelah usia 30 tahun maka kadar glukosa akan naik 1-2 mg/dL pada saat
puasa dan akan naik 5,6-13 pada 2 jam setelah makan (Sudoyo, 2006).

6.1.2 Kondisi Pasien yang Menggunakan Obat Antidiabetes dan Sesudah


Terapi Oksigen Hiperbarik
Data yang telah diperoleh kemudian diolah secara statistik dengan
menggunakan uji Paired Samples T-Test (lihat pada lampiran 4) mendapatkan
hasil yang bermakna yaitu (p≤0,05), ini menunjukan adanya perubahan kadar
HbA1c dan GDS pada pasien diabetes sebelum dan sesudah terapi oksigen
hiperbarik.
Hasil penelitian ini menunjukan adanya perubahan berupa penurunan
kadar HbA1c yang menandakan adanya perbaikan kadar glukosa darah pasien.
Pada pasien diabetes yang terkontrol dengan baik (gula darah normal) akan terjadi
penurunan proses glikosilasi hemoglobin, sehingga terjadi penurunan HbA1c

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


61

(Prihartini, 2001). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Budhiarto tahun 1983 yang menyebutkan penurunan yang bermakna dari HbA1c
pada pasien diabetes yang semula tidak baik dan menjadi lebih baik dengan
menggunakan terapi HBO (Prihartini, 2001).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian indra, 2000 yang
menggunakan terapi oksigen hiperbarik pada pasien diabetes tanpa menggunakan
obat antidiabetes yang hasilnya adalah terjadi penurunan kadar glukosa darah dan
HbA1c akibat efek oksigen bertekanan tinggi atau terjadi efek hipoglikemia pada
penggunaan oksigen bertekanan tinggi. Terapi oksigen hiperbarik meningkatkan
sensitivitas jaringan terhadap insulin dan menimbulkan hipoglikemik pada
penderita diabetes, di mana terapi oksigen hiperbarik pada 2,4 atmosfer absolut
menimbulkan penurunan kadar gula darah (Ishihara, 2007). Efek hipoglikemik
tersebut dihipotesakan terjadi karena oksigen bertekanan tinggi menginhibisi
hormon anti insulin, meningkatkan sekresi C-peptidase dan sensitivitas sel
reseptor insulin di jaringan untuk mengoreksi keseimbangan asam basa (Ishihara,
2007).
Pada penderita DM, terjadi gangguan keseimbangan antara glukosa ke
dalam sel, glukosa yang disimpan di hati, dan glukosa yang dikeluarkan dari hati.
Keadaan ini menyebabkan kadar glukosa dalam darah meningkat dan
kelebihannya akan keluar melalui urin. Jumlah urin banyak dan mengandung gula.
Penyebab keadaan ini hanya 2. Pertama, pankreas tidak mampu lagi membuat
insulin. Kedua, sel tubuh tidak memberi respon terhadap kerja insulin sebagai
kunci untuk membuka pintu sel sehingga tidak dapat masuk ke dalam sel (Hans
Tandra, 2008).
Terapi oksigen hiperbarik dapat meningkatkan jumlah molekul oksigen
yang masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan maupun pori-pori atau jaringan
luar tubuh. Dengan meningkatnya oksigen yang dihirup, maka jumlah oksigen
yang terlarut di dalam darah semakin meningkat. Oksigen diangkut oleh darah ke
seluruh sel-sel dan jaringan tubuh. Banyak fungsi-fungsi sel dan jaringan tubuh
yang tergantung pada oksigen, sehingga meningkatkan kemampuan sel-sel dan
jaringan tubuh untuk membelah atau bergenerasi, membunuh kuman penyakit,
dan meningkatkan metabolisme pada sel yang akan menghasilkan banyak manfaat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


62

bagi tubuh (Samsudin, 2003). Pada penderita diabetes dimana terjadi penurunan
sensitivitas atau kerusakan sel Langerhans yang menyebabkan gula darah tidak
terkontrol, dengan adanya peningkatan suplai O2 mengakibatkan perbaikan
metabolisme pada sel Langerhans yang sekaligus meningkatkan sensitivitas sel
Langerhans dalam merangsang pengeluaran insulin untuk mengontrol kadar gula
darah. Insulin meningkatkan transport glukosa dalam sel. Insulin meningkatkan
transport glukosa dalam beberapa detik sampai beberapa menit yang menunjukan
kerja langsung insulin pada membran sel sendiri (Indra, 2000). Penelitian Price
tahun 1995 menyatakan penurunan kadar gula darah terjadi karena meningkatnya
metabolisme tubuh sehingga kecepatan pemakaian glukosa juga meningkat.
Berdasarkan pengamatan pada tabel 5.4, tentang rekapitulasi pasien yang
menggunakan terapi oksigen hiperbarik didapatkan hasil paling banyak adalah
keadaan pasien keluar yang terkendali. Penilaian dinyatakan terkendali apabila
HbA1c ≤6,5-7,0% dan GDS 110-130 mg/dL. Penilaian tersebut sesuai dengan
algoritma penatalaksanaan DM Tipe 2 menurut Dipiro et al, 2009.
Berdasarkan pengamatan pada tabel 5.5, frekuensi penggunaan terapi
oksigen hiperbarik dan obat antidiabetes yang memiliki tingkat kesembuhan yang
paling banyak adalah lama penggunaan terapi 2 sesi dengan kombinasi obat Inj.
Novorapid + Inj. Lantus. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Dedov tahun 1994 yang menjelaskan bahwa dalam penelitiannya pada penderita
diabetes selama 1 tahun yang diukur kadar glukosa darahnya tiap 2 bulan
menyatakan penggunaan oksigen tekanan tinggi secara berulang 2 kali dengan
interval 6 bulan dapat mencegah kenaikan kadar glukosa darah kembali dan ini
lebih efektif daripada hanya sekali (Prihartini, 2001). Pada penelitian Dedov, hasil
yang lebih efektif akan terjadi bila penggunaan terapi oksigen hiperbarik
dilakukan berulang, 2 atau 3 kali atau lebih dan untuk memperpanjang perbaikan
kadar glukosa darah penderita diabetes dapat berhasil sampai setengah tahun pada
3 kali terapi dengan interval 4 bulan (Prihartini, 2001).
Injeksi Novorapid termasuk ke dalam golongan insulin rapid acting (kerja
cepat) dan injeksi lantus termasuk ke dalam golongan insulin long acting (kerja
panjang). Penggunaan insulin kerja cepat dikarenakan efeknya yang dapat bekerja
cepat, seringkali mulai menurunkan kadar glukosa darah 20 menit setelah

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


63

penyuntikan. Namun efek insulin kerja cepat hanya sebentar, karena itu
diperlukan insulin kerja panjang untuk membuat kadar glukosa darah menjadi
stabil sepanjang hari. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil
(Sudoyo, 2006).
Obat Antidiabetes oral pada pasien diabetes melitus yang menggunakan
terapi oksigen hiperbarik adalah metformin + glimepirid. Glimepirid merupakan
obat yang termasuk ke dalam golongan sulfonilurea. Mekanisme kerja glimepirid
yaitu dengan menstimulasi ekskresi insulin dan metformin pun bekerja untuk
mengurangi glukoneogenesis hepatik, meningkatkan sensitifitas insulin, serta
mengurangi absorbsi glukosa pada saluran cerna.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, kombinasi kedua obat tersebut
merupakan kombinasi yang rasional karena mempunyai cara kerja yang sinergis,
sehingga kombinasi ini dapat menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada
pengobatan tunggal masing-masing, baik pada dosis maksimal keduanya maupun
pada kombinasi dosis rendah. Kombinasi dengan dosis maksimal dapat
menurunkan glukosa darah yang lebih banyak. Pemakaian kombinasi dengan
sulfonilurea sudah dapat dianjurkan sejak awal pengelolaan diabetes, berdasarkan
hasil penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) hanya
50% pasien diabetes mellitus tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan dengan
pengobatan tunggal metformin atau sulfonilurea sampai dosis maksimal
(Soegondo, 2005).
Selain penggunaan beberapa obat antidiabetes oral dan insulin, pemakaian
obat antidiabetes oral dengan injeksi juga dapat digunakan oleh pasien diabetes
yang tidak berhasil dikelola dengan obat antidiabetes oral dosis maksimal atau
terdapat kontraindikasi dari obat tersebut. Pemakaian obat antidiabetes oral
dengan insulin yang paling banyak digunakan adalah kombinasi metformin +
glimepirid dengan injeksi novorapid + injeksi lantus dengan pemberian 2 sesi
terapi oksigen hiperbarik dan kombinasi injeksi novorapid dengan glimepirid +
metformin dengan pemberian 2 sesi terapi oksigen hiperbarik. Kombinasi obat
antidiabetes oral dengan insulin diberikan bila sasaran kadar glukosa darah belum
tercapai. Kombinasi obat antidiabetes oral dengan insulin yang banyak

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


64

dipergunakan adalah kombinasi antidiabetes oral dengan insulin basal (insulin


kerja cepat atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang
tidur.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


65

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat


disimpulkan sebagai berikut:

a. Terapi diabetes melitus tipe 2 dengan menggunakan obat antidiabetes dan


oksigen hiperbarik, kadar HbA1c pada pasien dapat dikendalikan
mendekati normal.
b. Terapi diabetes melitus tipe 2 dengan menggunakan obat antidiabetes dan
oksigen hiperbarik, kadar GDS pada pasien dapat dikendalikan mendekati
normal.

7.2 Saran

a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas terapi oksigen


hiperbarik yang digunakan pada pasien diabetes di RUMKITAL Dr.
Mintohardjo dengan menggunakan metode prospektif.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


66

DAFTAR PUSTAKA

American College of Clinical Pharmacy. 2013. Pharmacotherapy Review


Programfor Advanced Clinical Pharmacy Practice and Impaired Glucose
Tolerance in Indonesia.

American Diabetes Association Diagnosis and classification of diabetes. 2011.


Diabetes Care, vol, Suppl 1.

Anonim. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus, 8-76,


Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.


2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta.

Black. J & Hawk. J. 2005. Medical Surgical Nursing. 7th ed. St. Louis. Elsevier
Sounders.

Black & Hawks, 2009; National Collaborating Centre for Chronic Conditions.

Davey, Patrick. 2005. At a glance Medicine. Erlangga. Jakarta.

Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. 2007. Farmakologi dan Terapi. Gaya Baru. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-


2025. Jakarta.

Dwipayana rady. 2010. The effect of hyperbaric oxygen on the healing of rat’s
flexor muscle injury. Surabaya.

Grim. Et al. 2009. Hyperbaric Oxygen Therapie. Terdapat dalam


http://www.hbotofaz.org/research/hbot.htm diakses pada 2 maret 2010
10.00 WIB.

Guritno, M. 1997. Prosedur pengobatan oksigen hiperbarik. Lembaga Kesehatan


Kelautan. Surabaya.

GuytonAC, 1997. Buku Teks Fisiologi Kedokteran. Edisi 19, Ahli Bahasa: Iyan
Darmawan, Jakarta: EGC, hlm 487-495.

Guyton. A. C. & Hall. JE. 2006. Textbook of Medical Physiology, 11th ed. WB.
Saunders. Philadelphia.

Hanabe. I. 2004. Society for Safety of Hyperbaric Medicine in ECHM Proceeding


of the 1st European Consensus Conference on Hyperbaric Medicine. Lille.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


67

Hendromartono, 1999. Consensus in the management of diabetes mellitus


(Perkeni 1998). Naskah Lengkap Surabaya Diabetes UPDATE-VI 1999,
Surabaya Pusat Diabetes dan Nutrisi RSUD dr. Soetomo-FK Unair, hal 1-
14. Surabaya.

Hilary, King, Sicree Richard, Green Anders, Roglic Gojka, Wild Sarah. 2004.
Global Prevalence of Diabetes: Estimates for the year 2000 and
projections for 2030. Diabetes care vol 27 number 5 : 1047 – 1053.

Huda Nuh. T. 2010. Pengaruh Hiperbarik Oksigen terhadap Perfusi Perifer Luka
Gangren pada penderita Diabetes Melitus di RS AL Dr. RAMELAN
Surabaya. Balai PenerbitFK-UI. Depok.

Ishihara. A. 2007. Hyperbarik Exposure in Rat Muscle and Nerve. Laboratory Of


Metabolism. Graduate School of Human Genomic Drug Discovery Science.
Kyoko University. Japan.

Jain. KK. 1999. Oxsygen Toxicity. Textbook of Medicine 3rd revised Edition.
Hogrefe and Huber Publishing Inc.

Joseph, T. Dipiro, Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gry R. Matzkee, Barbara G.


Wells, L. Michael Polsey (Eds.). 2008. Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach Edisi ke-7, New York: Mc Graw-Hill Medical
Publishing Division.

Kariadi, Sri Hartini. 2009. Diabetes? Siapa Takut!! Panduan Lengkap Untuk
Diabetisi, Keuarganya dan Profesional Medis. Bandung.

Kindwall. EP. & Goldman. RW. 1998. Hyperbaric Medicine Procedures. 6th ed.
St. Luke Hospital. Mylwaukee.

Kindwall. EP. & Whelan HT. 1999. The Physiologic Effect Of The Hyperbaric
Oxygen. Hyperbaric Medicine Practice 2nd. Best Publishing Co.

Mahdi, H. Et al. 2009. Ilmu Kesehatan Bawah Air dan Hiperbarik. Lembaga
Kesehatan Keangkatan Lautan (LAKESLA). Surabaya.

Misnadiarly. 2006. Diabetes Mellitus : Gangren, Ulcer, Infeksi. Mengenal gejala,


menanggulangi, dan mencegah komplikasi Ed. 1. Pustaka Populer Obor.
Jakarta.

Moore E James, dkk. 2014. Biomedical Technology and Devices. Second Edition.
CRC Press. U.S.

Mycek, Mary J. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika. Jakarta.

Neubauer, RA & Walker, M. 1998. Hyperbaric Oxygen Therapy. Avery


Publishing Group Inc. New York.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


68

Neuman S Tom & Stephen R. Thom. 2008. Physiology and medicine of


hyperbaric oxygen therapy. United States of America.

Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.

Pennefather, J. 2002. Hyperbaric Equipment; Diving & Subquatic Medicine.


Oxford University Press. London.

PERKENI. 2007. Petunjuk Praktis Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Price ME, Stabler CM, Kemper GB, 1995. Evaluation of glucose monitoring
devices in the hyperbaric chamber. Military Medicine, 1995, 160 (30): 143-
6.

Samsudin Moh. 2003. Pengaruh Oksigen Hiperbarik terhadap tekanan intra


okuler mata normal. Semarang.

Soegondo. 1995. Penyuluhan Sebagai Komponen Terapi Diabetes, Diabetes


Melitus Penatalaksanaan Terpadu. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta.

Soegondo S. 2005. Prinsip Pengobatan Diabetes, Obat Hipoglikemik Oral dan


Insulin. Balai Penerbit FK UI. Depok.

Sudoyo, Aru W, Dr.dr.2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Tandra Hans. 2008. Segala sesuatu yang harus anda ketahui tentang diabetes:
panduan lengkap mengenal & mengatasi diabetes dengan cepat dan
mudah. PT: Gramedia. Jakarta.

Tjokroprawiro, A. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Airlangga University


Press. Surabaya.

Tobing dr. Ade, dkk. 2008. Care Your Self : Diabetes Mellitus. PenebarPlus+.
Jakarta.

Wahyuni sri. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit diabetes


melitus daerah perkotaan di Indonesia tahun 2007 (analisis data sekunder
Rikesda 2007). Jakarta.

Waspadji, S, dkk. 2002.Komplikasi Kronik Diabetes. Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam ed 3. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


69

Widiyanti Prihatini. 2001. Pengaruh Oksigen Hiperbarik Terhadap Agregasi


Trombosit pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Surabaya.

Wijayanto Indra. 2000. Pengaruh HBO pada diabetes melitus melalui pengukuran
HbA1c. Surabaya.

World Health Organization. 1999. Definition, Diagnosis and Classification of


Diabetes Mellitus and its Complications Report of a WHO Consultation
Part 1: Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. WHO
Department of Noncommunicable Disease Surveillance. Geneva.

World Health Organization. 2011. Definition, Diagnosis and Classification of


Diabetes Mellitus and its Complications Report of a WHO Consltation.
WHO Department of Noncommunicable Disease Surveillance. Geneva.

Zahtamal, Chandra, F., Suyanto, dan Restuastuti, T. 2007. Faktor-faktor Risiko


Pasien Diabetes Melitus. Berita Kedokteran Masyarakat. Jakarta. Vol. 23,
No. 3. Hal. 142-147.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Lampiran 3. Pasien diabetes yang menggunakan obat antidiabetes dan terapi hiperbarik
di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat

L Usia Freku Se belum Terapi Setelah Terapi Keadaan


No Nama / (thn) Obat Dosis ensi Hiperbarik Hiperbarik Pasien
P Antidiabetes OHB HbA1c (%) GDS(mg HbA1c (%) GDS(mg/ Keluar
(sesi) /dL) dL) (T/TT)
1 Tini P 77 Metformin + 3x500 mg 1 8.6 215 6,4 130 T
Glimepirid 1x2 mg
2 Didi L 75 Metformin + 3x500 mg 4 11.2 278 7,0 116
Glimepirid 1x2 mg 11.7 262 7,0 130 T
10.2 243 7,0 122
9.7 230 6,9 112
3 Umar L 70 Metformin + 3x500 mg 2 9.4 226 6,8 130 T
Glimepirid 1x2 mg 8.6 210 6,4 115
4 Harto L 55 Metformin+ 3x500 mg 2 8.1 216 7,0 129 T
Glimepirid 1x2 mg 9.2 218 6,7 120
5 Budhi L 55 Inj. novorapid 3x8 ui 2 8.9 240 7,0 130 T
7.8 235 6,9 129
6 Faruk L 56 Inj. novorapid 3x8 ui 2 9.5 215 7,0 128 T
8.3 220 6,8 129
7 Agus L 56 Metformin 3x500 mg 1 10.7 210 6,8 128 T
8 Iwan L 56 Metformin 3x500 mg 1 9.7 218 6,6 125 T
9 Sry P 61 Glimepirid + 1x2 mg 2 10.2 278 6,5 129
Metformin + 3x500 mg T
Inj. novorapid + 3x12 ui 7.6 220 6,5 125
Inj. lantus 1x12 ui
10 Teguh L 49 Metformin 3x500 mg 1 9.1 199 6,9 130 T
11 Radila L 44 Inj novorapid 3x12 ui 3 12.6 309 9,8 260 T

73 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


h 8.8 280 9,7 200
7.9 258 6,9 124
12 Djoko L 69 Glimepirid + 1x2 mg 2 10.1 360 8,0 227
Metformin + 3x500 mg TT
Inj. novorapid + 3x12 ui 11.7 309 8,3 209
Inj. lantus 1x12 ui
13 Imlati P 70 Glimepirid + 1x2 mg 2 10.7 284 9,6 219
Metformin + 3x500 mg T
Inj. novorapid + 3x12 ui 8.9 207 7,0 118
Inj. lantus 1x12 ui
14 Bamba L 61 Glimepirid + 1x2 mg 2 11.8 288 7,8 232
ng P Metformin + 3x500 mg T
Inj. novorapid + 3x12 ui 7.8 209 6,5 130
Inj. lantus 1x12 ui
15 Aries L 46 Inj novorapid 3x8 ui 1 9.2 226 6,9 128 T
16 sutan L 60 Glimepirid + 1x2 mg 5 11.8 319 8,2 251
miwati Metformin + 3x500 mg 10.5 288 8,5 250
Inj. novorapid + 3x12 ui 9.7 254 8,9 200 T
Inj. lantus 1x12 ui 8.1 220 7,0 127
8.1 209 6,8 115
17 Sjafrie L 61 Metformin + 3x500 mg 2 12.6 226 9,7 200 T
Glimepirid 1x2 mg 8.1 208 6,9 118
18 Milla P 55 Metformin + 3x500 mg 2 9.5 284 8,9 200
Glimepirid + 1x2 mg T
8.1 207 6,7 120
Inj. novorapid 3x12 ui
19 Niluh L 50 Metformin + 3x500 mg 1 10.4 243 7,0 130 T
Glimepirid + 1x2 mg
Inj novorapid 3x8 ui
20 I gusti L 60 Metformin + 3x500 mg 2 7.8 232 6,5 113 TT
made glimepirid + 1x2 mg

74 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Inj novorapid 3x8 ui 8.1 278 9,7 204
21 C. L 61 Metformin + 3x500 mg 2 8.4 207 6,4 129
budhi Glimepirid + 1x2 mg T
Inj novorapid 3x8 ui 7.7 211 6,7 117
22 Haryo- L 58 Metformin + 3x500 mg 2 9.9 245 8,8 210
no Glimepirid + 1x2 mg TT
Inj novorapid 3x8 ui 8.9 277 8,7 212
23 Eddy L 61 Metformin + 3x500 mg 2 9.8 211 9,8 200 T
Glimepirid 1x2 mg 8.1 205 7,0 124
24 Bamba L 55 Inj novorapid + 3x10 ui 2 7.8 284 8,9 219 T
ng W Inj lantus 1x12 ui 7.8 265 6,4 123
25 Adam L 58 Inj novorapid + 3x8 ui 2 11.5 234 6,6 130 T
Inj lantus 1x12 ui 9.3 207 6,9 129
26 Risyof L 53 Inj novorapid + 3x8 ui 2 8.9 270 7,0 130 T
Inj lantus 1x12 ui 8.7 248 6,5 128
27 Taufik L 60 Inj novorapid + 3x12 ui 2 10.7 307 9,7 264 TT
Inj lantus 1x12 ui 11.2 276 8,9 208
28 Bamba L 61 Metformin + 3x500 mg 2 8.9 360 8,0 227 TT
ng w Glimepirid 1x2 mg 8.7 267 8,5 210
29 Saleh L 57 Inj novorapid + 3x12 ui 2 11.3 319 7,9 260 T
Inj lantus 1x12 ui 8.4 232 7,1 119
30 Supri L 52 Inj novorapid + 3x12 ui 2 7.8 278 6,4 121 T
Inj lantus 1x12 ui 7.6 219 6,3 130
Rata-rata 9,37 249,214 7,5 158,7
Standar Deviasi 1,38 39,7 1,109 48,8
Keterangan:L: laki-laki, P: perempuan, OHB: oksigen hiperbarik, atm:atmosfer absolut, thn: tahun, wkt: waktu, HbA1c: Hemoglobin
terglikosilasi, GDS:glukosa darah sewaktu, TK: terkendali, TTK: tidak terkendali, Terkendali apabila HbA1c: ≤6,5-7,0%, GDS: 110-130mg/dL
(Dipiro et al, 2009)

75 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Lampiran 4. Uji Paired Samples T-Test dari Hasil Data HbA1c dan GDS Pasien Sebelum dan Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik
di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat Periode Januari 2014-Februari 2015

Paired Samples Test

Paired Differences

95% Confidence Interval of the


Difference

Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper


t df Sig. (2-tailed)

Pair 1 GDS_sbl - GDS_ssd 9.05167E1 31.95415 4.12526 82.26204 98.77130 21.942 59 .000

Keterangan:
p≤0,05 = menunjukan signifikan statistik kadar GDS pada pasien sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik

menunjukan terjadi perubahan kadar GDS pada pasien sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik

Paired Samples Test

Paired Differences

95% Confidence Interval of the


Difference

Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper t df Sig. (2-tailed)

Pair 1 HbA1c_sbl - HbA1c_ssd 1.87000 1.32873 .17154 1.52675 2.21325 10.901 59 .000

Keterangan:
p≤0,05 = menunjukan signifikan statistik kadar HbA1c pada pasien sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik

menunjukan terjadi perubahan kadar HbA1c pada pasien sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik

76 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai