SKRIPSI
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
NIM : 1111102000095
Tanda Tangan :
iii
ABSTRAK
Kata Kunci : Diabetes mellitus, kadar HbA1c, kadar GDS, terapi oksigen
hiperbarik.
vi
ABSTRACT
Key words: Diabetes mellitus, HbA1c levels, levels of GDS, hyperbaric oxygen
therapy.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan
segala rahmat-Nya kepada kita semua, khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini tentu banyak berbagai kesulitan dan halangan
yang menyertai, sehingga penulis tidak terlepas dari doa, bantuan, dan bimbingan
berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Delina Hasan, M.Kes., Apt. sebagai Pembimbing I dan Bapak Drs.
Fakhren Kasim, MH.Kes., Apt. sebagai Pembimbing II yang telah
memberikan ilmu, nasehat, waktu, tenaga, dan dukungan moral selama masa
perkuliahan, penelitian, hingga penulisan skripsi.
2. Bapak Dr. H Arif Sumantri, SKM., M.Kes. selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Yardi, Ph.D., Apt. atas dedikasi dan profesionalitas beliau sebagai
ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt. sebagai Dosen Pembimbing
Akademik yang telah memberikan nasehat, waktu, dan dukungan moral
selama masa perkuliahan, penelitian, hingga penulisan skripsi.
5. Bapak dan Ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan selama menempuh pendidikan di Program Studi
Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
viii
6. Bapak Ari, dan seluruh civitas RUMKITAL Dr. Mintohardjo yang telah
memberikan kesempatan dan kemudahan untuk melakukan penelitian.
7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Haryanto dan Ibunda Sari Asri serta adik
yang sangat saya sayangi Kayla Amira Azhar yang selalu ikhlas memberikan
dukungan moral, material, nasehat, serta lantunan doa yang tiada pernah putus
di setiap waktu.
8. Teman-teman di Program Studi Farmasi 2011: Indah, Elsa, Puji,Ageng, Ani,
Nova, Annisa, Anissa, Anis, Ices, Ika, Aditya, Andis, Tari, Miyadah, Happy,
Aci, Brasti, Hala, Syaiful, serta teman-teman Farmasi 2011 beng-beng atas
semangat dan kebersamaan kita selama 4 tahun kita bersama.
9. Randi Herlambang yang selalu hadir memberi semangat dan dukungan tanpa
henti, yang selalu menemani suka duka, yang selalu memotivasi dan
menginspirasi.
10. Tiara, Erna, Rina,Agung, yang selalu menginspirasi dan menguatkan saya.
Terima kasih atas persaudaraan dan pertemanan yang berkesan selama ini.
11. Linda, Mba Rica, Tia, Mba Ita, Mba Nun, Tisa, Mba Dani, Firdha, Yane,
Henny, Karina, Kasa, Swara, Rani, Galih Fitri, Ari, Manda, Diah Ayu, terima
kasih atas dukungan, motivasi, dan kebersamaannya selama ini.
12. Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian dan
penulisan.
Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah
SWT. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan
penulis nantikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
Ciputat, September 2015
Penulis
ix
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Tanggal : September 2015
Yang menyatakan,
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................. iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………… v
ABSTRAK ............................................................................................... vi
ABSTRACT ............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ............................................................................ viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ................. x
DAFTAR ISI ........................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xiii
DAFTAR TABEL ................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xv
xi
2.2.1 Sejarah Terapi Oksigen Hiperbarik ………………...... 28
2.2.2 Definisi Terapi Oksigen Hiperbarik …………...…….. 30
2.2.3 Indikasi-indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik ……...… 35
2.2.4 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik …...……... 35
2.2.5 Protap Terapi Oksigen Hiperbarik ………………...… 36
2.2.6 Klasifikasi Ruang Hiperbarik ……………………....... 39
2.3 Hiperbarik Center RUMKITAL Dr. Mintohardjo …….……. 40
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Algoritma Penatalaksanaan DM tipe 2 .................................... 20
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian.................................................... 43
xii
i
DAFTAR TABEL
Halaman
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
xv
BAB 1
PENDAHULUAN
anggota badan menderita luka gangren (Nuh Huda, 2010). Prevalensi penyakit
diabetes melitus yang terus menerus meningkat, mengharuskan pemerintah
Indonesia untuk senantiasa tanggap dalam penanganan dan pengobatan untuk
pasien diabetes melitus.
Ada 4 hal penting yang perlu dijalankan agar pasien diabetes dapat hidup
sehat kembali yang disebut dengan empat pilar pengendalian diabetes (Edukasi,
pengaturan makan, olahraga, obat seperti tablet atau insulin) (Kariadi,2009).
Namun pada kenyataannya angka kematian dan komplikasi dari penyakit diabetes
melitus tetap saja tinggi. Upaya yang dilakukan yaitu memberikan penyuluhan
dan pendidikan kesehatan (edukasi) tentang perawatan dan pengobatan penyakit
diabetes melitus secara mandiri. Edukasi ini mencakup perencanaan makan (diet),
kegiatan olah raga, pemakaian obat oral dan insulin secara tepat. Pemantauan
kadar gula dalam darah dan urin serta meningkatnya motivasi penderita diabetes
melitus untuk kontrol secara teratur yang bertujuan menghilangkan gejala,
mencegah komplikasi akut dan kronik, mengurangi komplikasi yang sudah ada,
mengobati penyakit penyerta, menciptakan dan mempertahankan kesehatan tubuh,
memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi angka kematian (Soegondo, 1995).
Kemajuan teknologi dalam bidang ilmu pengetahuan kedokteran
menghasilkan metode–metode baru dalam upaya penyembuhan penyakit,
termasuk penyakit diabetes. Salah satu pengembangan teknologi tersebut adalah
terapi oksigen hiperbarik. Telah banyak penelitian yang dilakukan terhadap
metode pengobatan terapi hiperbarik dalam bidang medis.
Terapi oksigen hiperbarik diperkenalkan pertama kali oleh Behnke pada
tahun 1930. Saat itu angkatan laut Amerika Serikat (US Navy) memulai penelitian
terhadap terapi hiperbarik untuk mengobati penyakit dekompresi dan emboli
udara pada arteri yang dialami oleh para penyelam militer. Terapi oksigen
hiperbarik hanya diberikan kepada para penyelam untuk menghilangkan gejala
penyakit dekompresi yang timbul akibat perubahan tekanan udara saat menyelam,
sehingga fasilitas terapi tersebut sebagian besar hanya dimiliki oleh beberapa
Rumah Sakit TNI AL dan Rumah Sakit yang berhubungan dengan pertambangan
(Nuh Huda, 2010).
Salah satu Rumah Sakit yang memiliki fasilitas terapi hiperbarik ini adalah
RUMKITAL Dr. Mintohardjo. Di RUMKITAL Dr. Mintohardjo ini terapi
hiperbarik banyak digunakan untuk penyembuhan pada pasien diabetes.
Walaupun sudah banyak digunakan dalam penyembuhan diabetes bagi pasien di
Rumah Sakit TNI AL Mintohardjo, tetapi belum pernah dilakukan penelitian
sebelumnya mengenai efektivitas dari penggunaan terapi hiperbarik bagi pasien
diabetes di RUMKITAL Dr. Mintohardjo.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
masih muda dan tidak gemuk. Gejala biasanya timbul pada masa anak–
anak dan puncaknya pada usia remaja. Begitu penyakitnya terdiagnosis,
penderita langsung memerlukan suntikan insulin karena
pankreasnya sangat sedikit atau sama sekali tidak membentuk insulin.
Umumnya penyakit berkembang ke arah ketoasidosis diabetik yang
menyebabkan kematian. Tipe ini
disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas sehingga terjadi
kekurangan produksi/sekresi insulin absolut. IDDM umumnya
diderita oleh orang–orang di bawah umur 30 tahun, dan gejalanya
mulai tampak pada usia 10–13 tahun. Penyebab IDDM belum
begitu jelas, tetapi diduga kuat disebabkan oleh infeksi virus yang
menimbulkan autoimun yang berlebihan untuk membunuh virus.
Akibatnya sel–sel pertahanan tubuh tidak hanya membasmi virus,
tetapi juga merusak sel–sel Langerhans. Faktor genetik juga
menentukan kerentanan sel-sel beta terhadap infeksi virus.
DM tipe II (DM tidak tergantung insulin/DMTT) = non insulin
dependent DM = NIDDM. Kelompok Diabetes Melitus tipe II tidak
tergantung insulin. Kebanyakan timbul pada penderita berusia di
atas 40 tahun. Penderita DM tipe II inilah yang terbanyak di
Indonesia. Data sementara menyebabkan, hampir 90% penderita
diabetes di Indonesia adalah penderita NIDDM dan umumnya
disertai dengan kegemukan dan kegagalan pankreas mensekresi
insulin (defisiensi insulin) untuk mengkompensasi resistensi
insulin. Pengobatannya diutamakan dengan perencanaan menu
makanan yang baik dan latihan jasmani secara teratur. NIDDM
diduga disebabkan oleh faktor genetik dan dipicu oleh pola hidup
yang tidak sehat, tetapi munculnya terlambat. Dengan pola hidup
modern saat ini, prevalensi NIDDM semakin meningkat dengan
penderita yang berusia di bawah 40 tahun. DM tipe II dibagi lagi
menjadi dua, penderita tidak gemuk (non obese), penderita gemuk
(obese).
DM, apabila hasilnya sama atau tetap, yaitu GDP< 120 mg/dL dan
2 jam PP 200 mg/dL, atau apabila hasilnya memenuhi kriteria I
atau II.
GTG, apabila hasilnya cocok dengan kriteria III.
Awal Intervensi
Target:HbA1c ≤ 6,5
Edukasi/nutrisi/olahraga
– 7,0 % (penurunan
0,5-1,0%), GDS :
110 – 130 mg/dl,
GDPP : 140 - 180 Monoterapi/kombinasi
awal sulfonylurea dan
Pilihan
atau metformin
monoterapi lain:
Pioglitazone,
Target tercapai
Target Rosiglitazone,
Di cek HbA 1 c tidak Nateglinid,
tiap 3-6 bulan tercapai Akarbose/insulin,
setelah Insuln analog
Target tercapai 3 bulan
Metformin dengan
nateglinid/insulin/insulin
analog
(monoterapi/kombinasi)
Target tercapai
4) Penghambat α-glukosidase
Mekanisme kerja obat ini dapat memperlambat absorpsi
polisakarida, dekstrin, dan disakarida di intestin. Dengan menghambat
kerja enzim α-glikosidase di brush border intestin, dapat mencegah
peningkatan glukosa plasma pada orang normal dan pasien DM. Karena
kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan
menyebabkan efek samping hipoglikemia. Akarbose dapat digunakan
sebagai monoterapi pada DM usia lanjut atau DM yang glukosa
postprandialnya sangat tinggi. Obat golongan ini diberikan pada waktu
mulai makan dan absorpsi buruk.
Dua obat yang tergolong obat ini yaitu:
a) Akarbose
Akarbose dapat diberikan dalam terapi kombinasi dengan
sulfonilurea, metformin, atau insulin. Interaksi obat yang terjadi
seperti diperlemah oleh kolestiramin, absorben usus, enzim
pencernaan. Contoh sediaan, Glucobay (Bayer), Precose.
Akarbose paling efektif bila diberikan bersama makanan yang
berserat mengandung polisakarida, dengan sedikit kandungan
glukosa dan sukrosa. Bila akarbose diberikan bersama insulin,
atau dengan golongan sulfonilurea, dan menimbulkan
hipoglikemia, pemberian glukosa akan lebih baik daripada
pemberian sukrosa, polisakarida, dan maltosa (Departemen
Farmakologi dan Terapi Universitas Indonesia, 2007).
b) Miglitol
Miglitol biasanya diberikan dalam terapi kombinasi dengan obat-
obat antidiabetik oral golongan sulfonilurea. Contoh sediaan,
Glycet.
Dosis lazimnya 25 mg 3x sehari bersamaan dengan makan.
Maksimal perhari 300 mg. Efek merugikan seperti diare dan sakit perut.
Meningkatkan enzim di hati dengan meningkatnya dosis akarbosa.
Kontraindikasi seperti inflamasi pada perut, ulserasi usus kecil, obstruksi
Efek merugikan dari obat ini seperti konstipasi, dispepsia, mual, dan
muntah. Efikasi dari obat ini seperti reduksi 0,3%-0,5% HbA1c.
Kontraindikasi dari obat ini adalah pada pasien obstruksi perut, serum TG
lebih besar dari 500 mg/dL. Pasien dengan keadaan tidak dapat menelan,
disfasia, dan serum TG dengan konsentrasi lebih dari 300 mg/dL.
8) Bromokriptin
Mekanisme kerja dari obat ini belum diketahui dengan pasti. Dosis
lazimnya 0,8 mg 1x sehari, bersamaan dengan makanan. Dan dosis
maksimumnya perhari 4,8 mg. Efek merugikan obat ini mual, muntah,
malas, sakit kepala, hipotensi, dan kelaparan. Kontraindikasinya sebaiknya
tidak digunakan pada pasien migrain. Efikasi obat ini reduksi 0,1%-0,6%
HbA1c.
9) Produk kombinasi
Metformin dengan gliburid, glipizid, sitagliptin, repaglinid,
pioglitazon, dan rosiglitazon. Selain itu glimepirid dengan pioglitazon atau
rosiglitazon.
Insulin
Kategori insulin menurut American College of Clinical Pharmacy dan
Farmakologi & Terapi:
Insulin kerja cepat, insulin regular, onsetnya 30-60 menit, dengan waktu injeksi
sebelum makan 30 menit, puncak kerja obat 2-3 jam, dengan durasi 4-6 jam.
Insulin kerja sangat cepat, insulin aspart/lispro/glulisin, onsetnya 5-20 menit,
dengan waktu injeksi sebelum makan 15 menit, puncak kerja obat 1-3 jam,
dengan durasi 3-5 jam.
Insulin kerja menengah, NPH Lente, onsetnya 1-2 jam, dengan waktu injeksi
sebelum makan tidak tersedia, puncak kerja obat 4-8 jam, dengan durasi 10-20
jam.
Insulin kerja panjang, Detemir, Glargine, onsetnya 2-4 jam atau 1-2 jam, dengan
waktu injeksi sebelum makan tidak tersedia, puncak kerja obat 6-8 jam, dengan
durasi 6-24 jam.
Karena hasil yang baik pada tahun 1940, US Navy menetapkan terapi oksigen
hiperbarik sebagai terapi standar untuk para penyelam militer yang menderita
penyakit dekompresi dan emboli udara pada arteri. Pada tahun yang sama, standar
keamanan dan indikasi terapi oksigen hiperbarik dibuat. Pada tahun 1850an,
Bertin dari Eropa membuat chamber hiperbariknya sendiri dan menulis buku
pertama yang membahas tentang teknologi medik dengan oksigen hiperbarik.
Pada tahun 1956, terapi oksigen hiperbarik pertama kali digunakan pada penyakit
yang tidak berhubungan dengan penyelaman. Pada waktu yang bersamaan,
banyak peneliti yang mulai tertarik dengan penelitian terapi dengan oksigen ini.
Tetapi yang pertama kali menggunakan terapi oksigen hiperbarik dan disebut
dengan bapak dari terapi oksigen hiperbarik adalah seorang dokter bedah
berkebangsaan Belanda, Ita Boerema, yang melakukan operasi di dalam kamar
bertekanan tinggi. Pada tahun 1960 dan 1970, terapi oksigen hiperbarik mulai
digunakan untuk berbagai penyakit (Neuman S Tom, 2008).
Pada tahun 1662, pendeta berkebangsaan Inggris bernama Henshaw mulai
tertarik dengan pengobatan dengan terapi oksigen hiperbarik. Ia membangun
sebuah struktur bernama domicillium yang digunakan untuk mengobati bermacam–
macam penyakit. Kamar tersebut diberikan tekanan. Pada tahun 1875, Forlanini dari
Itali yang pertama menemukan treatment oksigen hiperbarik untuk artificial
pneumothotaks; tuberkulosis. Ide mengobati pasien dibawah tekanan
tinggi dikembangkan lagi oleh dokter bedah berkebangsaan Perancis bernama
Fontaine pada tahun 1879. Dia memperkenalkan ruang operasi hiperbarik mobile,
muat untuk 12 orang (Neuman S Tom, 2008). Sejak saat itu, terapi hiperbarik
terus dikembangkan dan diperluas penggunaannya untuk bidang kesehatan.
Mengetahui besarnya manfaat terapi hiperbarik dalam penyembuhan
berbagai penyakit sudah selayaknya terapi hiperbarik dijadikan salah satu terapi
pengobatan baru yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Di Indonesia,
perawatan untuk terapi oksigen hiperbarik ini masih sangat sedikit. Hanya daerah–
daerah tertentu yang memiliki ruang hiperbarik. Dan masih banyak tenaga kesehatan
khususnya di bidang kedokteran belum mengenal dan mengerti manfaat terapi
hiperbarik.
Tidak terdapat definisi yang pasti akan tekanan dan durasi yang digunakan
untuk sesi terapi oksigen hiperbarik. Umumnya tekanan minimal yang digunakan
adalah sebesar 2,4 atm selama 90 menit. Banyaknya sesi terapi tergantung pada
kondisi pasien dengan rentang satu sesi untuk keracunan ringan karbon
monoksida hingga enam puluh sesi atau lebih untuk lesi diabetik pada kaki.
(Hanabe, 2004).
Terapi oksigen hiperbarik dilakukan dalam 10 hari untuk 1 sesi. Penentuan
frekuensi terapi yang dilakukan pasien sesuai dengan pemeriksaan pada pasien
setelah terapi. Apabila hasil pemeriksaan sudah sesuai target penyembuhan
penyakit, maka terapi dapat dihentikan. Terapi oksigen hiperbarik dilakukan pada
tekanan 2,4 atm selama 90 menit. Tiap 30 menit terapi, pasien diberikan waktu
istirahat selama 5 menit. Hal ini dilakukan untuk menghindari keracunan oksigen
pada pasien (Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda, 2010).
Oksigen 100% diberikan dengan menggunakan masker, sementara gas
disekitar tubuh merupakan udara normal yang terkompresi pada tekanan yang
sama. Di dalam RUBT posisi penderita bisa duduk/tiduran (Mahdi, 1999 dalam
Samsudin, 2003). RUBT merupakan suatu tabung yang terbuat dari plat baja yang
dibuat sedemikian rupa sehingga mampu diisi udara tekan mulai dari 1 ATA
(Atmosfer Absolute) sampai beberapa ATA, tergantung jenis dan penggunaannya
(Mahdi, 1999 dalam Samsudin, 2003).
Aspek fisika
Untuk praktisnya, komposisi udara disederhanakan menjadi 21% O 2 , 79%
N2. Tekanan total dari campuran gas ini pada permukaan air laut adalah 760
mmHg (Jain, 1999).
Hukum Dalton mengatakan, tekanan gas pada suatu campuran gas
berbanding lurus dengan proporsi gas tersebut terhadap total volume campuran
gas itu, tekanan parsial suat gas = tekanan absolut x proporsi terhadap volume
total gas. Jadi tekanan parsial oksigen (PO2) di udara adalah 760 x 21 / 100 = 160
mmHg.
Aspek fisiologi
Aspek fisiologi dari terapi HBO mencakup beberapa hal yaitu sebagai
berikut:
a. Fase Respirasi
Fase-fase respirasi dari pertukaran gas terdiri dari fase ventilasi,
transportasi, utilisasi, dan diffusi. Dengan kondisi tekanan oksigen yang
tinggi, diharapkan matriks seluler yang menopang kehidupan suatu
organisme mendapatkan kondisi yang optimal. Efek fisiologis dapat
dijelaskan melalui mekanisme oksigen yang terlarut plasma. Pengangkutan
oksigen ke jaringan meningkat seiring dengan peningkatan oksigen terlarut
dalam plasma (Mahdi, 2009).
Seperti diketahui, kekurangan oksigen pada tingkat sel menyebabkan
terjadinya gangguan kegiatan basal yang pokok untuk hidup suatu
organisme. Untuk mengetahui kegunaan HBO dalam mengatasi hipoksia
seluler, perlu dipelajari fase–fase pertukaran gas sebagai berikut:
1) Fase Ventilasi
Fase ini merupakan penghubung antara fase transportasi dan
lingkungan gas di luar. Fungsi dari saluran pernafasan adalah
memberikan O2 dan membuang CO2 yang tidak diperlukan dalam
metabolisme. Gangguan yang terjadi dalam fase ini akan menyebabkan
hipoksia jaringan. Gangguan tersebut meliputi gangguan membran
alveoli, atelektasis, penambahan ruang rugi, ketidakseimbangan
ventilasi alveolar, dan perfusi kapiler paru (Pennefather, 2002).
2) Fase Transportasi
Fase ini merupakan penghubung antara lingkungan luar dengan organ-
organ (sel dan jaringan). Fungsinya adalah menyediakan gas yang
dibutuhkan dan membuang gas yang dihasilkan oleh proses metabolisme.
Gangguan dapat terjadi pada aliran darah lokal atau
umum, hemoglobin, dan shunt anatomis atau fisiologis. Hal ini dapat
diatasi dengan merubah tekanan gas di saluran pernafasan (Kindwall &
Whelan, 1999).
3) Fase Utilisasi
Pada fase utilisasi terjadi metabolisme seluler, fase ini dapat
terganggu apabila terjadi gangguan pada fase ventilasi maupun
transportasi. Gangguan ini dapat diatasi dengan hiperbarik oksigen,
kecuali gangguan itu disebabkan oleh pengaruh biokimia, enzim, dan
cacat atau keracunan (Kindwall & Goldman, 1998).
4) Fase Difusi
Fase ini adalah fase pembatas fisik antara ketiga fase tersebut dan
dianggap pasif, namun gangguan pada pembatas ini akan
mempengaruhi pertukaran gas.
dimana ruangan tersebut lebih dari 1 ruangan bisa dua, tiga, atau lebih,
sehingga jika terjadi kendala atau masalah pada salah satu pasien atau
peserta terapi dapat dilakukan penanganan dengan baik tanpa mengganggu
pasien yang lain. Selain itu juga masalah kontaminasi penyakit maupun
hal lain dapat dipisahkan dengan baik. Alat hiperbarik seperti ini adalah
yang terbaik jika akan melayani pasien lebih dari 1 orang dalam satu kali
pelayanan, sehingga baik tenaga perawat yang menemani di dalam
maupun di luar, paramedis maupun dokter ahli hiperbarik dapat
memberikan bantuan langsung ke dalam jika terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
Biasanya digunakan pada pasien dengan kondisi umum yang buruk atau
yang menggunakan alat bantuan, multiplace chamber dipilih karena
mempunyai keuntungan yaitu alat–alat bantu tersebut dapat dimasukan ke
dalam chamber dan perawat dapat ikut memonitor kondisi pasien tersebut.
Kamar tipe A dapat dimasuki oleh beberapa orang pasien sekaligus dan
dapat disertai dengan perawat atau pendamping yang mengobservasi
pasien dan membantu di saat gawat darurat. Pasien dalam multiplace
chamber menghirup oksigen 100% melalui masker (Richard A. Neubauer,
1998).
b) Kelas B-untuk Manusia, (monoplace chamber) dengan satu ruangan untuk
satu pasien. Biasanya pasien sendiri di dalam ruangan dan tidak ditemani
oleh tenaga medis. Tenaga medis hanya mengawasi dan memantau dari
luar. Semua instruksi, peralatan pendukung, dan kendali ada di luar.
Pada kamar tipe B pasien tidak menggunakan masker untuk menghirup
oksigen 100% karena udara di dalam chamber tersebut telah dialiri oleh
oksigen 100% (Richard A. Neubauer, 1998).
c) Kelas C-untuk Binatang bukan untuk Manusia.
awak kapal selam. Fasilitas hiperbarik juga digunakan untuk kebugaran tubuh.
Pasien dapat melakukan aktivitas fisik sewaktu di dalam chamber yang diberi
tekanan hiperbarik. Untuk kasus emergensi, fasilitas hiperbarik dapat dilakukan
24 jam.
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
110-130 mg/dL
6. Usia Rentang usia pasien Membaca data Usia menurut DEPKES
penderita diabetes rekam medis RI, 2009:
melitus yang berobat pasien 1. 5-11 tahun: masa
ke RUMKITAL Dr. kanak-kanak
Mintohardjo Jakarta 2. 12-16 tahun: masa
remaja awal
3. 17-25 tahun: masa
remaja akhir
4. 25-35 tahun: masa
dewasa awal
5. 36-45 tahun: masa
dewasa akhir
6. 46-55 tahun: masa
lansia awal
7. 55-65 tahun: masa
lansia akhir
8. 65-sampai di atas:
manula
7. Jeniskelamin Kondisi fisik yang Membaca data 1. Laki-laki
menentukan status rekam medis 2. Perempuan
seseorang laki-laki pasien
atau perempuan
8. Efektivitas Seberapa baik terapi Mengamati 1. Efektif
hiperbarik yang dan mencatat 2. Tidak efektif
diberikan dapat status pasien
menyembuhkan dari data
pasien. Efektif apabila rekam medis
HbA1c dan GDS
terkendali.
Keterangan: DM: diabetes mellitus, HbA1c: Hemoglobin terglikosilasi, GDS: guladarah
sewaktu, ATA: atmosferabsolut
3.3 Hipotesis
Berdasarkan uraian pada latar belakang, rumusan masalah, yang
didukung oleh kajian teoritis, maka hipotesis yang dapat dikemukakan
adalah sebagai berikut:
Penggunaan oksigen bertekanan tinggi (HBO) sebesar 2,4 ATA 3x30
menit/hari selama perawatan pasien diabetes melitus dapat
menurunkan kadar HbA1c.
Penggunaan oksigen bertekanan tinggi (HBO) sebesar 2,4 ATA 3x30
menit/hari selama perawatan pasien diabetes melitus dapat
menurunkan kadar gula darah.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
5.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria
inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu
semua rekam medis pasien yang memenuhi kriteria inklusi diambil sebagai
penelitian yaitu sebanyak 30 rekam medis pasien.
Penggunaan antidiabetik
Penggunaan terapi oksigen hiperbarik
2) Analisa bivariat
Analisis bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang
diduga berhubungan/berkorelasi dan untuk melihat kemaknaan antara
variabel.
Analisis bivariat yang digunakan pada penelitian ini adalah uji T
dependent/Paired samples T-Test karena sampel pada penelitian ini terdiri
dari satu kelompok dan dilihat kadar HbA1c beserta kadar gula darahnya
sebelum dan sesudah diberikan terapi hiperbarik.
BAB V
HASIL
Inj. lantus
17. Sjafrie Metformin + 247 234 228 13,2 12,9 12,6 TT
Glimepirid
18. Milla Metformin + 309 300 285 10,9 10,3 9,7 TT
Glimepirid +
Inj. novorapid
19. Niluh Metformin + 258 243 - 12,0 10,5 - TT
Glimepirid +
Inj novorapid
20. I gusti Metformin + 251 242 235 11,7 10,3 7,8 TT
made glimepirid +
Inj novorapid
21. C. Budhi Metformin + 219 210 - 10,6 8,5 - TT
Glimepirid +
Inj novorapid
22. Haryono Metformin + 256 245 - 10,9 9,9 - TT
Glimepirid +
Inj novorapid
23. Eddy Metformin + 247 228 212 12,3 11,0 9,9 TT
Glimepirid
24. Bamban Inj novorapid + 301 285 - 11,5 8,0 - TT
g Inj lantus
25. Adam Inj novorapid + 252 249 235 12,1 11,7 11,5 TT
Inj lantus
26. Risyof Inj novorapid + 230 272 - 11,5 9,0 - TT
Inj lantus
27. Taufik Inj novorapid + 327 310 - 11,0 10,9 - TT
Inj lantus
28. Bamban Metformin + 382 370 362 10,1 9,8 9,0 TT
gW Glimepirid
29. Saleh Inj novorapid + 328 320 - 11,7 11,5 - TT
Inj lantus
30. Supri Inj novorapid + 317 298 280 9,9 8,9 8,0 TT
Inj lantus
Keterangan: HbA1c: Hemoglobin terglikosilasi, GDS:glukosa darah sewaktu, OAD:
obat antidiabetes, Tidak ada GDS dan HbA1c yang terkendali selama penggunaan OAD.
Terkendali apabila HbA1c: ≤6,5-7,0%, GDS: 110-130mg/dL (Dipiro et al, 2009).
Pada tabel 5.2, terlihat bahwa tidak ada keadaan pasien yang terkendali
yaitu kadar HbA1c >7% dan GDS >140mg/dL. Hal ini menunjukan penggunaan
OAD belum dapat mengendalikan kadar HbA1c dan GDS pasien.
Tabel 5.3. Distribusi kondisi pasien sebelum dan sesudah terapi OHB di
RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015
No Nama Freku Jenis OAD Sebelum Terapi Sesudah Terapi Keadaan
ensi Hiperbarik Hiperbarik Pasien
OHB HbA1c GDS HbA1c GDS Keluar
(sesi) (%) (mg/dL) (%) (mg/dL) (T/TT)
1 Tini 1 Metformin + 8,6 215 6,4 130 T
Glimepirid
2 Didi 4 Metformin + 11,2 278 7,0 116
Glimepirid 11,7 262 7,0 130 T
10,2 243 7,0 122
9,7 230 6,9 112
3 Umar 2 Metformin + 9,4 226 6,8 130 T
Glimepirid 8,6 210 6,4 115
4 Harto 2 Metformin+ 8,1 216 7,0 129 T
Glimepirid 9,2 218 6,7 120
5 Budhi 2 Inj. novorapid 8,9 240 7,0 130 T
7,8 235 6,9 129
6 Faruk 2 Inj. novorapid 9,5 215 7,0 128 T
8,3 220 6,8 129
7 Agus 1 Metformin 10,7 210 6,8 128 T
8 Iwan 1 Metformin 9,7 218 6,6 125 T
9 Sry 2 Glimepirid + 10,2 278 6,5 129
Metformin + 7,6 220 6,5 125 T
Inj. novorapid +
Inj. lantus
10 Teguh 1 Metformin 9,1 199 6,9 130 T
11 Radila 3 Inj novorapid 12,6 309 9,8 260
h 8,8 280 9,7 200 T
7,9 258 6,9 124
12 Djoko 2 Glimepirid + 10,1 360 8,0 227
Metformin + 11,7 309 8,3 209 TT
Inj. novorapid +
Inj. lantus
13 Imlati 2 Glimepirid + 10,7 284 9,6 219
Metformin + 8,9 207 7,0 118 T
Inj. novorapid +
Inj. lantus
14 Bamba 2 Glimepirid + 11,8 288 7,8 232
ng P Metformin + 7,8 209 6,5 130 T
Inj. novorapid +
Inj. lantus
15 Aries 1 Inj novorapid 9,2 226 6,9 128 T
16 Sutan 5 Glimepirid + 11,8 319 8,2 251
miwati Metformin + 10,5 288 8,5 250 T
Inj. novorapid + 9,7 254 8,9 200
Inj. lantus
8,1 220 7,0 127
8,1 209 6,8 115
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
Dari tabel 5.3, terlihat bahwa rata-rata kadar HbA1c pasien sebelum terapi
sebesar 9,37± 1,38% dan sesudah diterapi sebesar 7,5± 1,109%. Rata-rata GDS
pasien sebelum terapi sebesar 249,21± 39,71% dan sesudah diterapi sebesar
158,7± 48,82%. Hal ini menunjukan adanya perubahan kadar HbA1c dan GDS
yang mendekati normal setelah penggunaan terapi. Data yang telah diperoleh
kemudian diolah secara statistik dengan menggunakan uji Paired samples T-Test
(lihat pada lampiran 4), mendapatkan hasil yang bermakna yaitu (p≤0,05) yang
menunjukan adanya perubahan kadar HbA1c dan GDS pada pasien diabetes
sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik.
Dari tabel 5.4, terlihat bahwa keadaan pasien keluar yang terkendali adalah
83,3% dan 16,7% tidak terkendali.
Tabel 5.5. Frekuensi terapi oksigen hiperbarik dan jenis OAD pada keadaan
pasien keluar yang terkendali di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode
Januari 2014-Februari 2015
Pada tabel 5.5, terlihat bahwa frekuensi penggunaan OHB dan jenis OAD
pada keadaan pasien keluar yang terkendali di RUMKITAL Dr. Mintohardjo yang
memiliki tingkat kesembuhan paling tinggi adalah pada frekuensi penggunaan
terapi oksigen hiperbarik selama 2 sesi dengan Inj. Novorapid + Inj. Lantus
sebesar 20 %.
Tabel 5.6. Frekuensi terapi oksigen hiperbarik dan jenis OAD pada keadaan
pasien keluar yang tidak terkendali di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode
Januari 2014-Februari 2015
Pada tabel 5.6, terlihat bahwa frekuensi penggunaan OHB dan jenis OAD
pada keadaan pasien keluar yang tidak terkendali di RUMKITAL Dr.
Mintohardjo yaitu paling banyak terdapat pada frekuensi penggunaan terapi
oksigen hiperbarik selama 2 sesi dengan injeksi novorapid + glimepirid +
metformin sebesar 40%.
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Pembahasan
6.1.1 Karakteristik Pasien
a. Jenis Kelamin
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pasien laki-laki lebih
banyak menderita DM daripada pasien perempuan. Hasil tersebut sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Nuh Huda di Surabaya tahun 2011,
yang menyatakan diabetes lebih banyak diderita oleh laki-laki sebesar
65% pasien dan perempuan 35% pasien.
Tidak ada hipotesa yang menyebutkan bahwa jenis kelamin
berhubungan dengan angka kejadian diabetes, tetapi kecenderungan
kearah laki-laki lebih benyak menderita diabetes lebih diakibatkan oleh
pola makan yang susah diatur daripada perempuan (Tjokroprawiro, 2007).
b. Usia
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pasien diabetes yang
menggunakan obat antidiabetes dan terapi oksigen hiperbarik paling
banyak terdapat pada kelompok usia 56-65 tahun.
Terlihat bahwa penderita diabetes mulai rentan dan sering terjadi
pada usia 46 tahun ke atas hingga 65 tahun. Pada usia ini, umur sangat erat
kaitannya dengan terjadinya kenaikan kadar glukosa darah, sehingga
(Prihartini, 2001). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Budhiarto tahun 1983 yang menyebutkan penurunan yang bermakna dari HbA1c
pada pasien diabetes yang semula tidak baik dan menjadi lebih baik dengan
menggunakan terapi HBO (Prihartini, 2001).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian indra, 2000 yang
menggunakan terapi oksigen hiperbarik pada pasien diabetes tanpa menggunakan
obat antidiabetes yang hasilnya adalah terjadi penurunan kadar glukosa darah dan
HbA1c akibat efek oksigen bertekanan tinggi atau terjadi efek hipoglikemia pada
penggunaan oksigen bertekanan tinggi. Terapi oksigen hiperbarik meningkatkan
sensitivitas jaringan terhadap insulin dan menimbulkan hipoglikemik pada
penderita diabetes, di mana terapi oksigen hiperbarik pada 2,4 atmosfer absolut
menimbulkan penurunan kadar gula darah (Ishihara, 2007). Efek hipoglikemik
tersebut dihipotesakan terjadi karena oksigen bertekanan tinggi menginhibisi
hormon anti insulin, meningkatkan sekresi C-peptidase dan sensitivitas sel
reseptor insulin di jaringan untuk mengoreksi keseimbangan asam basa (Ishihara,
2007).
Pada penderita DM, terjadi gangguan keseimbangan antara glukosa ke
dalam sel, glukosa yang disimpan di hati, dan glukosa yang dikeluarkan dari hati.
Keadaan ini menyebabkan kadar glukosa dalam darah meningkat dan
kelebihannya akan keluar melalui urin. Jumlah urin banyak dan mengandung gula.
Penyebab keadaan ini hanya 2. Pertama, pankreas tidak mampu lagi membuat
insulin. Kedua, sel tubuh tidak memberi respon terhadap kerja insulin sebagai
kunci untuk membuka pintu sel sehingga tidak dapat masuk ke dalam sel (Hans
Tandra, 2008).
Terapi oksigen hiperbarik dapat meningkatkan jumlah molekul oksigen
yang masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan maupun pori-pori atau jaringan
luar tubuh. Dengan meningkatnya oksigen yang dihirup, maka jumlah oksigen
yang terlarut di dalam darah semakin meningkat. Oksigen diangkut oleh darah ke
seluruh sel-sel dan jaringan tubuh. Banyak fungsi-fungsi sel dan jaringan tubuh
yang tergantung pada oksigen, sehingga meningkatkan kemampuan sel-sel dan
jaringan tubuh untuk membelah atau bergenerasi, membunuh kuman penyakit,
dan meningkatkan metabolisme pada sel yang akan menghasilkan banyak manfaat
bagi tubuh (Samsudin, 2003). Pada penderita diabetes dimana terjadi penurunan
sensitivitas atau kerusakan sel Langerhans yang menyebabkan gula darah tidak
terkontrol, dengan adanya peningkatan suplai O2 mengakibatkan perbaikan
metabolisme pada sel Langerhans yang sekaligus meningkatkan sensitivitas sel
Langerhans dalam merangsang pengeluaran insulin untuk mengontrol kadar gula
darah. Insulin meningkatkan transport glukosa dalam sel. Insulin meningkatkan
transport glukosa dalam beberapa detik sampai beberapa menit yang menunjukan
kerja langsung insulin pada membran sel sendiri (Indra, 2000). Penelitian Price
tahun 1995 menyatakan penurunan kadar gula darah terjadi karena meningkatnya
metabolisme tubuh sehingga kecepatan pemakaian glukosa juga meningkat.
Berdasarkan pengamatan pada tabel 5.4, tentang rekapitulasi pasien yang
menggunakan terapi oksigen hiperbarik didapatkan hasil paling banyak adalah
keadaan pasien keluar yang terkendali. Penilaian dinyatakan terkendali apabila
HbA1c ≤6,5-7,0% dan GDS 110-130 mg/dL. Penilaian tersebut sesuai dengan
algoritma penatalaksanaan DM Tipe 2 menurut Dipiro et al, 2009.
Berdasarkan pengamatan pada tabel 5.5, frekuensi penggunaan terapi
oksigen hiperbarik dan obat antidiabetes yang memiliki tingkat kesembuhan yang
paling banyak adalah lama penggunaan terapi 2 sesi dengan kombinasi obat Inj.
Novorapid + Inj. Lantus. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Dedov tahun 1994 yang menjelaskan bahwa dalam penelitiannya pada penderita
diabetes selama 1 tahun yang diukur kadar glukosa darahnya tiap 2 bulan
menyatakan penggunaan oksigen tekanan tinggi secara berulang 2 kali dengan
interval 6 bulan dapat mencegah kenaikan kadar glukosa darah kembali dan ini
lebih efektif daripada hanya sekali (Prihartini, 2001). Pada penelitian Dedov, hasil
yang lebih efektif akan terjadi bila penggunaan terapi oksigen hiperbarik
dilakukan berulang, 2 atau 3 kali atau lebih dan untuk memperpanjang perbaikan
kadar glukosa darah penderita diabetes dapat berhasil sampai setengah tahun pada
3 kali terapi dengan interval 4 bulan (Prihartini, 2001).
Injeksi Novorapid termasuk ke dalam golongan insulin rapid acting (kerja
cepat) dan injeksi lantus termasuk ke dalam golongan insulin long acting (kerja
panjang). Penggunaan insulin kerja cepat dikarenakan efeknya yang dapat bekerja
cepat, seringkali mulai menurunkan kadar glukosa darah 20 menit setelah
penyuntikan. Namun efek insulin kerja cepat hanya sebentar, karena itu
diperlukan insulin kerja panjang untuk membuat kadar glukosa darah menjadi
stabil sepanjang hari. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil
(Sudoyo, 2006).
Obat Antidiabetes oral pada pasien diabetes melitus yang menggunakan
terapi oksigen hiperbarik adalah metformin + glimepirid. Glimepirid merupakan
obat yang termasuk ke dalam golongan sulfonilurea. Mekanisme kerja glimepirid
yaitu dengan menstimulasi ekskresi insulin dan metformin pun bekerja untuk
mengurangi glukoneogenesis hepatik, meningkatkan sensitifitas insulin, serta
mengurangi absorbsi glukosa pada saluran cerna.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, kombinasi kedua obat tersebut
merupakan kombinasi yang rasional karena mempunyai cara kerja yang sinergis,
sehingga kombinasi ini dapat menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada
pengobatan tunggal masing-masing, baik pada dosis maksimal keduanya maupun
pada kombinasi dosis rendah. Kombinasi dengan dosis maksimal dapat
menurunkan glukosa darah yang lebih banyak. Pemakaian kombinasi dengan
sulfonilurea sudah dapat dianjurkan sejak awal pengelolaan diabetes, berdasarkan
hasil penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) hanya
50% pasien diabetes mellitus tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan dengan
pengobatan tunggal metformin atau sulfonilurea sampai dosis maksimal
(Soegondo, 2005).
Selain penggunaan beberapa obat antidiabetes oral dan insulin, pemakaian
obat antidiabetes oral dengan injeksi juga dapat digunakan oleh pasien diabetes
yang tidak berhasil dikelola dengan obat antidiabetes oral dosis maksimal atau
terdapat kontraindikasi dari obat tersebut. Pemakaian obat antidiabetes oral
dengan insulin yang paling banyak digunakan adalah kombinasi metformin +
glimepirid dengan injeksi novorapid + injeksi lantus dengan pemberian 2 sesi
terapi oksigen hiperbarik dan kombinasi injeksi novorapid dengan glimepirid +
metformin dengan pemberian 2 sesi terapi oksigen hiperbarik. Kombinasi obat
antidiabetes oral dengan insulin diberikan bila sasaran kadar glukosa darah belum
tercapai. Kombinasi obat antidiabetes oral dengan insulin yang banyak
BAB VII
7.1 Kesimpulan
7.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Black. J & Hawk. J. 2005. Medical Surgical Nursing. 7th ed. St. Louis. Elsevier
Sounders.
Black & Hawks, 2009; National Collaborating Centre for Chronic Conditions.
Dwipayana rady. 2010. The effect of hyperbaric oxygen on the healing of rat’s
flexor muscle injury. Surabaya.
GuytonAC, 1997. Buku Teks Fisiologi Kedokteran. Edisi 19, Ahli Bahasa: Iyan
Darmawan, Jakarta: EGC, hlm 487-495.
Guyton. A. C. & Hall. JE. 2006. Textbook of Medical Physiology, 11th ed. WB.
Saunders. Philadelphia.
Hilary, King, Sicree Richard, Green Anders, Roglic Gojka, Wild Sarah. 2004.
Global Prevalence of Diabetes: Estimates for the year 2000 and
projections for 2030. Diabetes care vol 27 number 5 : 1047 – 1053.
Huda Nuh. T. 2010. Pengaruh Hiperbarik Oksigen terhadap Perfusi Perifer Luka
Gangren pada penderita Diabetes Melitus di RS AL Dr. RAMELAN
Surabaya. Balai PenerbitFK-UI. Depok.
Jain. KK. 1999. Oxsygen Toxicity. Textbook of Medicine 3rd revised Edition.
Hogrefe and Huber Publishing Inc.
Kariadi, Sri Hartini. 2009. Diabetes? Siapa Takut!! Panduan Lengkap Untuk
Diabetisi, Keuarganya dan Profesional Medis. Bandung.
Kindwall. EP. & Goldman. RW. 1998. Hyperbaric Medicine Procedures. 6th ed.
St. Luke Hospital. Mylwaukee.
Kindwall. EP. & Whelan HT. 1999. The Physiologic Effect Of The Hyperbaric
Oxygen. Hyperbaric Medicine Practice 2nd. Best Publishing Co.
Mahdi, H. Et al. 2009. Ilmu Kesehatan Bawah Air dan Hiperbarik. Lembaga
Kesehatan Keangkatan Lautan (LAKESLA). Surabaya.
Moore E James, dkk. 2014. Biomedical Technology and Devices. Second Edition.
CRC Press. U.S.
PERKENI. 2007. Petunjuk Praktis Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Price ME, Stabler CM, Kemper GB, 1995. Evaluation of glucose monitoring
devices in the hyperbaric chamber. Military Medicine, 1995, 160 (30): 143-
6.
Sudoyo, Aru W, Dr.dr.2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Tandra Hans. 2008. Segala sesuatu yang harus anda ketahui tentang diabetes:
panduan lengkap mengenal & mengatasi diabetes dengan cepat dan
mudah. PT: Gramedia. Jakarta.
Tobing dr. Ade, dkk. 2008. Care Your Self : Diabetes Mellitus. PenebarPlus+.
Jakarta.
Wijayanto Indra. 2000. Pengaruh HBO pada diabetes melitus melalui pengukuran
HbA1c. Surabaya.
Paired Differences
Pair 1 GDS_sbl - GDS_ssd 9.05167E1 31.95415 4.12526 82.26204 98.77130 21.942 59 .000
Keterangan:
p≤0,05 = menunjukan signifikan statistik kadar GDS pada pasien sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik
menunjukan terjadi perubahan kadar GDS pada pasien sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik
Paired Differences
Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper t df Sig. (2-tailed)
Pair 1 HbA1c_sbl - HbA1c_ssd 1.87000 1.32873 .17154 1.52675 2.21325 10.901 59 .000
Keterangan:
p≤0,05 = menunjukan signifikan statistik kadar HbA1c pada pasien sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik
menunjukan terjadi perubahan kadar HbA1c pada pasien sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik