SKRIPSI
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
ii
iii
iv
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
NIM : 111210200008
Tanda tangan :
v
ABSTRAK
vi
ABSTRACT
Medication Error is patient adverse events due to the use of the drug for the
treatment of health workers, which could otherwise be prevented
(Kepmenkes,2004). Medication errors are often common in hospitals that generally
occur in the management of prescribing, transcribing, and dispensing. The purpose
of this study to evaluate the medication error that occurs in terms of the various
stages in the drug management. This study is an observational with cross sectional
design to the prescription data in Depo Pharmacy Hospital Outpatient Installation
in North Jakarta Tanjung Priok Jakarta. The data were collected prospectively from
May - June 2017 to obtain medication error patterns in prescribing, transcribing and
dispensing phase in Diabetes Mellitus type II patients. The results showed that there
was the potential for medication errors. Respectively for each phase prescribing
potential errors occur due to: there is no signature of the doctor about 87%, there is
no Doctor’s Practice License Number about 84%, there is no dosage form about
4.3%, there is no medical record number and no gender of each patient about 4%.
In the transcribing phase the potential error occurs due to: unclear / incomplete
dosage form 6.6%, unclear / incomplete the rules of drug use 2,6%, unclear /
incomplete patient age 0,87%, unclear / incomplete date of recipe request 0.29%.
In dispensing phase the potential error occurs due to: wrong drug taking
(concentration differs) as much as 1.45%, wrong / incomplete write 0,58%
etiquette.
vii
KATA PENGANTAR
viii
6. Kakakku tersayang Chandra Nur Fatah, dan adikku tercinta Ratna Nurani
yang telah memberikan doa, dukungan, dan semangat sehingga penelitian
ini dapat berjalan dengan lancar
7. Seluruh keluarga besar Prodi Farmasi FKIK yang telah memberikan
kesempatan dan kemudahan untuk melakukan penelitian serta dukungan
yang amat besar.
8. Teman seperjuangan penelitian penulis Rakha Jati Prasetyo, Annissa Fadilla
Martha, Haidarotul Milla yang selalu ada, memberi semangat, dan saling
membantu satu sama lain serta kebersamaan.
9. Teman-teman seperjuangan “DIGOXYN” Farmasi UIN 2012 atas
kebersamaan kita.
10. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
memberikan dukungan hingga terwujudnya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun
penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu farmasi pada khususnya. Akhir kata,
penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak
yang telah membantu saya dalam penelitian ini.
Penulis
ix
HALAMAN PERNYATAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
NIM : 1112102000008
Untuk dipublikasi atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library
Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk
kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian Peryataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.
Dibuat di : Ciputat
Pada Tanggal : 18 Desember 2017
Yang menyatakan
x
DAFTAR ISI
xi
2.2.4. Patofisiologi .......................................................................16
2.2.5. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus ....................................17
2.2.5.1. Diagnosis Diabetes Mellitus ..................................17
2.2.5.2. Pengobatan Diabetes Mellitus ...............................18
2.2.5.2.1. Terapi Farmakologi ................................20
2.2.5.2.2. Terapi Non Farmakologi ........................27
2.3. Root Cause Analisis (RCA) ........................................................27
2.3.1 Definisi ................................................................................27
2.3.2 Alat dan Teknik ...................................................................28
xii
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................39
5.1. Hasil Penelitian ...........................................................................39
5.1.1. Hasil Analisa Data .............................................................39
5.2. Pembahasan Penelitian ................................................................41
5.2.1. Pembahasan Hasil Penelitian .............................................41
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Permenkes Republik Indonesia No. 58 tahun 2014 tentang standar
pelayanan kefarmasian di rumah sakit disebutkan bahwa pelayanan kefarmasian
merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mencegah, mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah terkait obat drug related problem (DRP). Selain itu
farmasi dituntut untuk merealisasikan perluasan paradigma pelayanan kefarmasian
dari orientasi hanya kepada produk (product oriented) menjadi orientasi kepada
obat (drug oriented) dan pasien (patient oriented) dengan filosofi pelayanan
kefarmasian (pharmaceutical care). Pharmaceutical care ini dimaksudkan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien serta untuk meminimalisir kesalahan dalam
pelayanan pengobatan atau medication error.
Medication error umumnya terjadi pada pengelolaan sistem kesehatan yang
didefinisikan sebagai kesalahan yang tidak disengaja dalam penulisan resep
(prescribing), pembacaan resep (transcribing), penyiapan resep (disepensing),
administrasi (administration) atau pemantauan obat (monitoring) di bawah
kendali seorang tenaga farmasi. Medication error merupakan faktor risiko yang
menyebabkan efek samping yang membahayakan. Suatu sistem pengobatan yang
aman perlu dikembangkan dan dipelihara untuk memastikan bahwa pasien
menerima pelayanan obat yang baik. Hal ini dikarenakan semakin bervariasinya
obat dan meningkatnya jumlah obat serta jenis obat (Kunac, dkk, 2014).
Menurut penelitian Bates (1995) telah dilaporkan bahwa peringkat paling
tinggi kesalahan pengobatan (medication error) pada tahap prescribing yang
mencapai 49%, kemudian diikuti tahap administration sebesar 26%, pharmacy
management (14%), transcribing (11%). Kemudian hasil kongres PERSI (2007)
tentang pelaporan peta nasional insiden keselamatan pasien, didapatkan kejadian
yang paling banyak kesalahan pada tahap dispensing (24.8%) dari 10 besar
insiden yang dilaporkan. Dalam proses penggunaan obat yang meliputi
prescribing, transcribing, dispensing dan administration, dispensing menduduki
peringkat pertama.
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
Salah satu medication error dalam proses medikasi yaitu pada tahap
transcribing error yang merupakan kesalahan yang terjadi pada saat pembacaan
resep untuk proses dispensing, antara lain salah membaca resep karena tulisan
yang tidak jelas, informasi tidak jelas atau penggunaan singkatan tidak tepat. Tipe
kejadian transcribing error biasanya berupa ketidaksesuaian pada nama obat,
formulasi obat, cara pemberian obat, dosis regimen obat, dan tidak dicantumkan
obatnya (Lisby, dkk, 2005)
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
agar terapi yang diberikan kepada pasien penderita Diabetes melitus tipe II
mencapai hasil yang optimal. Penyakit Diabetes melitus (DM) merupakan salah
satu penyakit gangguan metabolisme yang mempunyai karakteristik hiperglikemia
kronik akibat dari kerusakan pada sekresi insulin, kerja insulin, atau bahkan
keduanya. Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (ADA) yaitu
diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes tipe lain dan diabetes gestasional
(Kharroubi, dkk, 2015). Pada Umumnya penderita DM disertai gejala poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan. Diabetes yang tidak terkontrol
dapat menyebabkan kematian, karena terjadi komplikasi seperti ketoasidosis
ataupun sindrom hiperosmolar nonketotik (Ramachandran, dkk, 2012).
Setiap tahunnya prevalensi kejadian DM semakin meningkat dan menjadi
masalah kesehatan diseluruh dunia. Ditahun 2013 pencatatan penderita diabetes
didunia menurut International Diabetes Federation (IDF) telah mencapai 382 juta
dengan 46% tidak terdiagnosis, sedangkan pencatatan pembaharuan penderita DM
didunia ditahun 2014 telah dilaporkan mengalami peningkatan dengan 387 juta
penderita DM dengan 46,3% tidak terdiagnosis. Lebih dari 138 juta orang dengan
penderita DM, didaerah Pasifik Barat memiliki lebih banyak penderita DM
dibanding daerah lain. Dalam hal ini beban diabetes sangat besar, yang
memprovokasi 5,1 juta kematian dan mengambil sekitar 548 milliar USD untuk
pengeluaran kesehatan penduduknya (11% dari total pengeluaran seluruh dunia)
pada tahun 2013. Jumlah peningkatan kejadiannya terjadi pada semua jenis
diabetes, khususnya diabetes tipe 2, dan menurut prediksi jumlah orang dengan
diabetes akan terus meningkat menjadi sekitar 592 juta (55%) pada tahun 2035
(International Federation of Diabetes).
Dari 10 negara yang mempunyai angka penderita diabetes terbesar, Indonesia
menduduki peringkat ke 7 didunia (International Federation of Diabetes, 2013).
Jumlah prevalensi penderita diabetes pada usia produktif (18-55 tahun)
berdasarkan hasil Riskesdas 2013 yaitu sekitar 6,9% (12.2 juta orang) terdiagnosis
diabetes, 29,9% (58,3 juta orang) mengalami toleransi glukosa darah terganggu,
dan 36,6% (64,6 juta orang) mengalami glukosa darah puasa terganggu.
Sedangkan jumlah prevalensi diabetes yang terdiagnosis oleh dokter, urutan
tertinggi terdapat di Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
(2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%) (Riskesdas, 2013). Diabetes terjadi lebih
banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan usia yang meningkat, dan
pada keadaan sosio-ekonomi yang sedang sampai tinggi (Mihardja, dkk, 2014).
Oleh karena itu dibutuhkan perhatian lebih dalam pelayanan kefarmasian pasien
diabetes melitus tipe II dan dibutuhkan evaluasi kinerja pelayanan pasien diabetes
melitus tipe II di Rumah Sakit.
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6
1.4.2 Metodologi
Metode dalam penelitian ini nantinya dapat digunakan untuk mengevaluasi
medication error pada fase prescribing, transcribing dan dispensing pada pasien
dengan diagnosa penyakit lain.
1.4.3 Aplikatif
Secara aplikatif hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu bahan
masukan untuk dokter, apoteker dan tenaga kesehatan lainnya dalam memperbaiki
penyiapan obat untuk pasien.
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Menurut Australia Commission on Safety and Quality in Health Care
dalam Patient Safety in Primary Health Care, definisi kesalahan pengobatan
adalah kejadian yang dapat dicegah yang dapat mengakibatkan penggunaan
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
medikasi yang tak tepat atau membahayakan pasien ketika pengobatannya masih
dalam kendali tenaga kesehatan, pasien, atau penggunanya.
Menurut The National Coordinating Council for Medication Error and
Prevention (NCCMERP), kesalahan pengobatan salah satunya melibatkan
prosedur dan sistem yang meliputi : peresepan obat; komunikasi antar sesama
tenaga profesional kesehatan; pelabelan, pengemasan dan pemberian nama
produk; peracikan; penyiapan; distribusi; pemberian obat; edukasi; monitoring
dan penggunaan obat.
2.1.2 Klasifikasi
National Coordinating Council for Medication error Reporting and
Prevention (NCC MERP) mengklasifikasikan kesalahan pengobatan berdasarkan
tingkat keparahan suatu kejadian yang terjadi saat sampai kepada pasien. Kategori
kesalahan pengobatan adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Kategorisasi kesalahan pengobatan menurut NCC-MERP
Tipe error Kategori Keterangan
No Error A Keadaan atau kejadian yang
berpotensial menyebabkan error.
Error-No Harm B Error terjadi, namun tidak sampai ke
pasien.
C Error terjadi dan telah sampai ke
pasien, namun tidak membahayakan
pasien.
Obat telah sampai ke pasien dan telah
diberikan.
Obat telah sampai ke pasien dan
belum diberikan.
D Error terjadi dan diperlukan
monitoring terhadap pasien, tetapi
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
2.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi DM berdasarkan American Diabetes Association (ADA)
membagi DM menurut etiologinya menjadi 4 jenis yaitu diabetes melitus tipe 1,
diabetes melitus tipe 2, diabetes melitus tipe lain, dan diabetes melitus gestational
(American Diabetes Association, 2013). Indonesia sendiri mengklasifikasikan
DM juga berpedoman pada American Diabetes Association (ADA) yang
ditetapkan pada Perkumpulan Endokrinologi Indonesia 2015 (PERKENI, 2015).
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
Diabetes melitus tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas
yang menyebabkan defisiensi insulin absolut. Penyebabnya ada 2 macam, yaitu
Immune-mediated diabetes (autoimun) dan idiopatik. Immune-mediated diabetes
terjadi karena adanya reaksi autoimun yang menyerang sel β pankreas sehingga
menyebabkan kerusakan permanen, dan biasanya terdapat predisposisi genetik
yang sering terjadi pada anak dan usia muda. Sedangkan pada idiopatik, tidak
diketahui etiologi yang jelas pasien mengalami insulinopenia permanen dan tidak
terdapat bukti adanya proses autoimun. Penderita akan bergantung dengan
pemberian terapi insulin untuk dapat bertahan hidup sehingga sering disebut juga
insulin-dependent diabetes melitus (IDDM) (American Diabetes Association,
2013).
Diabetes tipe 2 atau noninsulin-dependent diabetes melitus (NIDDM),
merupakan tipe diabetes yang paling banyak terjadi. Biasanya diawali karena
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
2.2.3 Etiologi
Insulin merupakan salah satu hormon pengatur metabolisme karbohidrat
yang diproduksi oleh pankreas. Sel-sel endokrin pankreas yang mampu
memproduksi hormon ini disebut islet of langerhans (pulau langerhans). Pulau
langerhans mempunyai beberapa tipe sel, yaitu sel α, β, D dan F. Sekitar 60-75%
bagian dari pulau langerhans ini adalah sel β yang berada dibagian tengah pulau
dan berfungsi memproduksi insulin. Sedangkan 20% lainnya terdapat sel α yang
memproduksi glukagon, sisanya adalah sel D yang memproduksi somatostatin dan
sel F yang memproduksi polipeptida pankreas (Silverthorn, 2010).
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
lamina basal dan masuk kedalam kapiler sekitarnya untuk menuju ke sirkulasi
(Barrett, 2010).
Sekresi insulin terjadi apabila adanya rangsangan glukosa. Awalnya
glukosa melewati membran sel β pankreas dengan mediasi Glucosa transporter
(GLUT). GLUT adalah senyawa asam amino yang berada diberbagai sel tubuh
untuk mengangkut glukosa masuk kedalam sel. Glucosa transporter 2 (GLUT 2)
yang terdapat disel β pankreas, akan mengalami glikolisis dan fosforilasi setelah
berikatan dengan molekul glukosa, kemudian akan melepaskan molekul ATP.
ATP yang dibebaskan akan mengaktivasi penutupan K channel sehingga terjadi
depolarisasi yang diikuti pembukaan Ca channel. Masuknya ion Ca intrasel ini
kemudian akan menginduksi proses sekresi insulin (Sudoyo, 2010).
Pada awal kerja insulin ke sel target, terjadi ikatan insulin dengan reseptor
insulin dipermukaan sel target. Reseptor insulin ini merupakan kombinasi 4
subunit yang dihubungkan oleh ikatan disulfida, yaitu subunit alfa yang
seluruhnya terletak diluar membran sel dan subunit beta yang menembus ke
membran sampai sitoplasma sel. Ketika insulin berikatan dengan subunit alfa
terjadi autofosforiasi pada subunit beta, yang akan mengaktivasi tirosin kinase.
Aktifitas tirosin kinase ini akan memulai kaskade fosforilasi sel yang
mengaktifkan Insulin-reseptor substrate (IRS) kemudian akan memediasi
beberapa efek pada masing-masing metabolisme glukosa, protein dan lemak serta
akan menyebabkan pemindahan transporter glukosa kemembran sel untuk
membantu masuknya glukosa kedalam sel (Guyton, 2011).
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
2.2.4 Patofisiologi DM
DM tipe 1 timbul akibat destruksi sel β pankreas karena proses autoimun.
Namun bukan hanya akibat adanya gen yang rentan terhadap diabetes (diabetes
susceptibility gene) akan tetapi juga faktor lingkungan yang tidak dapat diketahui
dapat mencetuskan proses antibodi. Faktor lingkungan yang dianggap berperan
antara lain, pemberian susu sapi sebelum usia 2 tahun, infeksi virus (virus
coxsackie B, cytomegalovirus, mumps dan rubella) (Marcdante, 2014).
Berbeda dengan DM tipe 1 yang mengalami defisiensi insulin absolut,
pada DM tipe 2 terjadi gangguan toleransi glukosa karena adanya gangguan
sekresi insulin ataupun gangguan kerja insulin (resistensi insulin) pada organ
target terutama pada sel otot, adiposa dan jantung. Resistensi insulin disebabkan
oleh adanya faktor genetik dan obesitas. Awalnya resistensi insulin ini belum
menimbulkan manifestasi diabetes, karena sel β pankreas masih dapat
mengkompensasi keadaan dimana terjadi peningkatan glukosa darah dengan
meningkatkan produksi insulin. Sehingga terjadi suatu keadaan hiperinsulinemia
dan glukosa darah juga masih cenderung normal. Namun jika terjadi
berkepanjangan sel β pankreas akan mengalami β cell exhausted (kelelahan sel β)
sehingga terjadi defisiensi sekresi insulin. Hal ini kemudian akan menimbulkan
peningkatan kadar glukosa darah sampai memenuhi kriteria diabetes (Sudoyo,
2010).
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
Jika hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal ataupun DM, maka
digolongkan dalam kelompok prediabetes yaitu toleransi glukosa terganggu
(TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) (PERKENI, 2015).
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
Metformin +
Metformin + Metformin + Metformin DPP- GLP-1 reseptor Metformin +
Kombinasi 2 obat sulfonilurea Tiazolidindion 4 inhibitor agonist insulin
Kombinasi 3 obat
Metformin + Metformin + Metformin + Metformin + Metformin +
sulfonylurea Tizolidindion DPP-4- GLP-1 Insulin
+ + inhibitor receptor +
TZD SU + Agonist TZD
Atau DPP-4-i Atau DPP-4-i SU + Atau DPP-4-i
Atau GLP-1- Atau GLP-1- Atau TZD SU Atau GLP-1-
RA RA Atau Insulin Atau TZD RA
Atau Insulin Atau Insulin Atau Insulin
strategi Jika terapi kombinasi insulin basal tidak dapat mencapai target
insulin HbA1c selam 3-6 bulan maka kombinasi ditambahkan dengan dua
kompleks obat antihiperglikemik non insulin.
Insulin (dosis harian)
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
e. Komplikasi makrovaskular
Hubungan antara masalah tingginya kadar insulin (hiperinsulinemia),
resistensi insulin, dan kardiovaskular sehingga dapat dipercayai bahwa terapi
insulin dapat menyebabkan komplikasi makrovaskular. Namun UKPDS dan
DCCT tidak menemukan hubungan antara komplikasi makrovaskular dengan
terapi insulin.
f. Efek samping
Secara umum efek samping insulin yaitu hipoglikemia dan kenaikan
berat badan. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada pasien yang instensif
melakukan terapi, dan lebih sering terjadi pada pasien DM tipe 1 daripada
tipe2. Sehingga pemantauan kadar glukosa darah sangat penting dilakukaan
pada pasien yang menggunakan terapi insulin. Jika pasien telah mengalami
hipoglikemia yang berat maka akan terjadi takikardia dan berkeringat).
g. Dosis dan cara pemberian
Pada pasien DM tipe 1, dosis seharinya 0,5-0,6 unit/kg. Selama
penyakit akut atau ketosis resistensi insulin maka dapat diberikan dosis yang
lebih tinggi. Dosis diberikan tergantung dengan keadaan patologi pasien.
2. Golongan sulfonilurea
a. Farmakologi
Mekanisme utama dari sulfonilurea yaitu meningkatkan sekresi
insulin. Hal ini dengan cara mengikat sulfonilurea ke reseptor spesifik
sulfonilurea pada sel β pankreas. Sekresi insulin melalui vena portal
kemudian menekan produksi glukosa hepatik.
b. Klasifikasi
Sulfonilurea diklasifikasikan menjadi dua generasi. Generasi pertama
terdiri dari (asetoheksamid, klorpropamid, tolazamid, dan tolbutamid),
generasi kedua (glimepirid, glipizid, dan gliburid).
c. Farmakokinetik
Golongan sulfonilurea semua dimetabolisme di hati. Enzim CYP 450
terlibat dalam metabolisme sulfonilurea di hati. Lalu metabolit yang tidak
aktif akan diekskresikan melalui ginjal sehingga pada obat golongan ini perlu
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
Glikazid
Mempunyai efek hipoglikemik yang sedang sehingga tidak begitu
sering menyebabkan hipoglikemia mempunyai efek antiagregasi
trombosit yang lebih poten. Dapat diberikan pada gangguan fungsi
hati dan ginjal yang ringan.
Glikuidon
Mempunyai efek hipoglikemik yang sedang dan juga jarang
menyebabkan hipoglikemia. Karena hampir seutuhnya di eksresi
melalui empedu dan usus, dapat diberikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal dan hati yang lebih berat.
Glipizid
Mempunyai efek yang lebih lama dari glibenklamid tetapi lebih
pendek dari khlorpropamid dan mempunyai efek menekan
produksi glukosa hati dan meningkatkan jumlah reseptor.
Glimepirid
Mempunyai waktu mulai kerja yang pendek dan waktu kerja yang
lama, dengan cara pemberian dosis tunggal. Efek
farmakodinamiknya adalah mensekresi sedikit insulin dan
kemungkinan adanya aksi dari ekstra pankreas. Untuk pasien yang
berisiko tinggi yaitu usia lanjut, gangguan ginjal atau yang
melakukan aktivitas berat dapat diberikan obat ini. Dibandingkan
dengan glibenklamid, glimepirid lebih jarang menimbulkan efek
hipoglikemik pada awal pengobatan.
3. Golongan biguanid
a. Farmakologi
Metformin merupakan satu-satunya sediaan yang ada di Amerika
Serikat. Metformin telah digunakan secara klinis selama 45 tahun, dan telah
disetujui sejak 1995 tahun. Metformin dapat meningkatkan sensitivitas
insulin pada jaringan perifer. Metformin tidak memiliki efek langsung pada
sel β, meskipun kadar insulin berkurang, mencerminkan peningkatan pada
sesitivitas insulin.
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
b. Farmakokinetik
Metformin memiliki bioavailabilitas oral 50% sampai 60%, kelarutan
lipid yang rendah, dan volume distribusi yang tinggi. Metformin tidak
dimetabolisme dan tidak mengikat protein di plasma. Metformin dieliminasi
di ginjal. Metformin memiliki waktu paruh 6 jam, namun memiliki efek >
24jam.
c. Komplikasi mikrovaskular
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan yang terlihat antara terapi
dengan mengurang komplikasi mikrovaskular.
d. Komplikasi makrovaskular
Menurut UKPDS bahwa metformin dapat mengurangi komplikasi
makrovaskular. metformin secara signifikan dapat mengurangi semua
penyebab kematian dan risiko stroke. Metformin telah terbukti dapat
mengurangi risiko kematian total dan kematian kardiovaskular.
e. Efek samping
Metformin memiliki efek samping pada gastrointestinal (ketidak
nyamanan perut, sakit perut, dan diare) serta dapat terjadi anoreksia sehingga
dapat menyebabkan kehilangan berat badan. Efek samping ini dapat di atasi
dengan titrasi yang lambat. Efek samping pada gastrointestinal juga bersifat
sementara. Pasien lanjut yang mengalami penurunan massa otot dan laju
filtrasi glomerulus kurang dari 70 sampai 80 mL/menit, sehingga sebaiknya
metformin tidak diberikan.
f. Dosis dan cara pemberian
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
4. Golongan tiazolidindion
a. Farmakologi
Tiazolidindion juga disebut sebagai TZDs atau glitazon. Pioglitazone
dan rosiglitazone telah disetujui untuk pengobatan DM tipe2. Tiazolidindion
dapat meningkatkan sensitivitas insulin di otot, hati, dan jaringan lemak
secara tidak langsung. Tiazolidindion dapat menyebabkan preadiposit untuk
berdiferensiasi menjadi sel-sel lemak pada subkutan.
b. Farmakokinetik
Pioglitazon dan rosiglitazon dapat diserap dengan baik dengan atau
tanpa makanan. Keduanya (> 99%) berikatan dengan protein albumin.
Pioglitazon terutama dimetabolisme oleh CYP2C8. Rosiglitazon
dimetabolisme oleh CYP2C8. Waktu paruh pioglitazon dan rosiglitazon yaitu
masing-masing 3-7 jam dan 3-4 jam. Kedua obat tersebut memiliki durasi
antihiperglikemik lebih dari 24 jam.
c. Komplikasi mikrovaskular
Tiazolidindion dapat mengurangi Hba1c, dan mempunyai hubungan
pada risiko komplikasi mikrovaskular.
d. Komplikasi makrovaskular
Tiazolidindion dapat mengubah fungsi endothelium, mempengaruhi
HDL, dan penurunan tekanan darah.
e. Efek samping
Dapat menyebabkan hepatotoksisitas, dapat meningkatkan alanin
amino transferase (ALT), retensi cairan, dan anemia.
f. Dosis dan cara pemberian
Dosis yang dianjurkan dimulai dari pioglitazon15 mg/ hari sekali
sehari dan rosiglitazon 2-4 mg sekali sehari. Dosis dapat ditingkatkan
perlahan-lahan tergantung pada tujuan terapi dan efek samping. Dosis
maksimum piglitazon 45 mg, dan rosiglitazon 8 mg sekali sehari.
5. Golongan α-glukosidase inhibitor
a. Farmakologi
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
2) harus diketahui betul bagaiman cara kerja, lama kerja dan efek
samping obat-obat tersebut. Misalnya klorpropamid jangan
diberikan 3 kali 1 tablet, karena lama kerjanya 24 jam.
3) Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan
adanya interaksi obat.
4) Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral,
usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal, baru
beralih kepada insulin.
5) Usahakan agar harga obat terjangkau oleh orang dengan diabetes.
Adapun indikasi pemakaian obat hipoglikemik oral:
a. Diabetes sesudah umur 40 tahunDiabetes kurang dari 5
tahun.
b. Memerlukan insulin dengan dosis kurang dari 40 unit
sehari.
c. DM tipe 2, berat normal atau lebih (Soegondo, dkk.,2005).
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
BAB 3
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
Medication Error
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.1.1 Lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Rawat Jalan salah satu Rumah Sakit
di Jakarta Utara.
4.3.2 Sampel
Sampel yang digunakan adalah resep pasien penyakit DM tipe II dari
Instalasi Rawat Jalan yang menjalani perawatan selama penelitian dan yang
menebus obat di Apotek salah satu Rumah Sakit di Jakarta Utara. Dengan metode
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
Terdapat 2.500 resep pasien Diabetes Melitus tipe II di Instalasi Rawat Jalan salah
satu Rumah Sakit Jakarta Utara pada rentang Januari hingga Juni 2017. Kemudian
dilakukan pengambilan data penelitian pada Mei – juni 2017 dengan cara
prospektif. Perhitungan jumlah minimal data yang harus diambil menggunakan
metode Slovin dengan Rumus :
n = N/1+(N(e2)) Keterangan :
= 2.500/1+(2.500(0,052)) - n : Jumlah Sampel
= 2.500/7,25 - N : Jumlah Populasi
= 344,8 resep. - e : Batas Toleransi Kesalahan
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kepada salah
satu Rumah Sakit di Jakarta Utara.
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel. 5.1 Distribusi hasil penilaian Medication Error pada tahap Prescribing di Apotek
Instalasi Rawat Jalan salah satu Rumah sakit di Jakarta Utara Tahun 2017.
No PARAMETER PENELITIAN JUMLAH PERSEN
KEJADIAN (%)
1 Tidak ada paraf dokter 301 87,25
2 Tidak ada SIP dokter 290 84,06
3 Tidak ada bentuk sediaan 15 4,35
4 Tidak ada nomor rekam medik 14 4,06
5 Tidak ada jenis kelamin pasien 14 4,06
6 Tidak ada nama dokter penulis resep 9 2,61
7 Tidak ada satuan dosis 8 2,32
8 Tidak ada tanggal lahir (usia) pasien 7 2,03
9 Tidak ada tanggal resep 4 1,16
10 Tidak ada nama pasien 0 0
11 Tidak ada nama obat 0 0
12 Tidak ada jumlah pemberian obat 0 0
13 Tidak ada aturan pakai 0 0
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
Tabel. 5.2 Distribusi hasil penilaian Medication Error pada tahap Transcribing di Apotek
Instalasi Rawat Jalan salah satu Rumah sakit di Jakarta Utara Tahun 2017.
No PARAMETER PENILAIAN JUMLAH PERSEN
KEJADIAN (%)
1 Tidak jelas/tidak lengkap bentuk sediaan 23 6,67
2 Tidak jelas/tidak lengkap aturan pakai 9 2,61
3 Tidak jelas/tidak lengkap usia pasien 3 0,87
4 Tidak jelas/tidak lengkap tanggal permintaan resep 2 0,58
5 Tidak jelas/tidak lengkap nama pasien 1 0,29
6 Tidak jelas/tidak lengkap nomor rekam medik 1 0,29
7 Tidak jelas/tidak lengkap nama obat 0 0
8 Tidak jelas/tidak lengkap dosis pemberian obat 0 0
Tabel. 5.3 Distribusi hasil penilaian Medication Error pada tahap Dispensing di Apotek
Instalasi Rawat Jalan salah satu Rumah sakit di Jakarta Utara Tahun 2017.
No PARAMETERN PENILAIAN JUMLAH PERSEN
KEJADIAN (%)
1 Salah pengambilan obat (konsentrasi berbeda) 5 1,45
2 Salah/tidak lengkap menulis etiket 2 0,58
3 Salah menghitung dosis 0 0
4 Pemberian obat diluar instruksi 0 0
5 Tempat penyimpanan tidak tepat 0 0
6 Obat kadaluarsa/sudah rusak 0 0
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
Gambar 5.1: Model Diagram fishbone pada fase prescribing, fase transcribing dan dispensing
Diagram fishbone diatas adalah salah satu metode untuk melakukan analisa.
Diagram ini sering disebut diagram sebab-akibat (Aamoko,2013). Semakin
mendekati kepala ikan (ke kanan) semakin tinggi presentase yang mengakibatkan
faktor tersebut contoh pada diagram diatas paraf dokter dan SIP dokter. Semakin
besar presentase tersebut, semakin mendekati medication error.
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
345 lembar resep. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terjadi medication
error pada tahap prescribing, transcribing, dan dispensing terhadap pasien
penyakit Diabetes Melitus tipe II.
Dari hasil penelitian yang dilakukan di apotek Instalasi Rawat Jalan salah
satu Rumah Sakit di Jakarta Utara, alur perjalanan resep dimulai dari pasien
bertemu dengan dokter. Kemudian dokter akan menentukan anamnesis, diagnosis,
serta terapi. Kemudian dokter akan mengetik resep elektronik. Pada tahap
prescribing ini kerap terjadi kesalahan. Kemudian resep elektronik dikirimkan
kepada petugas administrasi kefarmasian yang ada di apotek, pasien akan
menerima nomor antrian, resep elektronik dicetak lalu akan diterima oleh petugas
kefarmasian. Dan setelah itu petugas kefarmasian akan menyiapkan, pada proses
tersebut bisa terjadi kesalahan dalam tahap transcribing dan dispensing. Lalu,
obat diberikan kepada apoteker untuk di periksa kembali, agar memperkecil
kemungkinan terjadinya kesalahan pada tahap dispensing. Setelah diperiksa
kembali, obat diberikan ke pasien oleh apoteker. Kemudian resep tersebut di nilai
berdasarkan formulir medication error yang telah dibuat oleh peneliti. Pada
penelitian ini peneliti menilai 3 tahap pada medication error yaitu pada tahap
prescribing, transcribing, dan dispensing terhadap pasien penyakit Diabetes
Mellitus tipe II di Instalasi Rawat Jalan salah satu Rumah Sakit di Jakarta Utara.
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
jenis kelamin, tidak ada nama dokter penulis resep, tidak ada satuan dosis, tidak
ada tanggal lahir atau usia, tidak ada tanggal resep. Selain itu hasil penelitian juga
sejalan dengan penelitian yang dilakukan dikota Yogyakarta yang menunjukkan
bahwa ketidaklengkapan resep disebabkan karena tidak adanya paraf, SIP dokter
dan tanggal penulisan resep (Rahmawati, 2002). Hal ini menggambarkan bahwa
medication error pada tahap prescribing sering ditemukan di Rumah Sakit. Pada
PERMENKES No. 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian,
ditegaskan bahwa persyaratan administrasi resep wajib mencantumkan nama
dokter, nomor SIP dokter, dan paraf dokter penulis resep.
Tidak ada nomor SIP dan paraf dokter disebabkan karena sebagian besar
pelayanan resep di salah satu Rumah Sakit di Jakarta Utara sudah menggunakan
elektronik. Dokter penulis resep sudah mempunyai akun serta password tersendiri
yang sudah tervalidasi oleh pihak RS, sehingga pada form resep elekronik tidak
tercantum SIP dan paraf dokter. Akan tetapi ada beberapa resep dokter yang
tergolong baru dan belum mempunyai akun resep elektronik. Selain itu, beberapa
resep manual juga tidak tercantum nomor SIP dan paraf dokter. Penulisan SIP
(Surat Izin Praktek) dokter dalam resep diperlukan untuk menjamin keamanan
pasien, bahwa dokter yang bersangkutan mempunyai hak dan dilindungi undang-
undang dalam memberikan pengobatan kepada pasien. Begitu juga dengan paraf
dokter. Paraf dokter dalam resep merupakan suatu bukti bahwa yang tertulis
dalam resep adalah benar sesuai dengan ilmu pengetahuan dan keahliannya dokter
yang menulis resep.
Tidak ada bentuk sediaan dan satuan dosis obat terjadi karena sebagian
dokter menganggap petugas kefarmasian sudah paham bentuk sediaan dan satuan
dosis obat yang sudah sering diresepkan. Kesalahan berupa tidak adanya bentuk
sediaan dan satuan dosis obat sangat merugikan pasien, karena pemilihan bentuk
sediaan dan satuan dosis disesuaikan dengan kondisi tubuh pasien. Pemberian
bentuk sediaan dan satuan dosis obat yang tidak tepat dapat mengakibatkan
kegagalan terapi pada saat penggunaan obat oleh pasien. Selanjutnya, tidak ada
nama dokter penulis resep dikarenakan dokter cenderung lupa menulis namanya
di form resep. Kesalahan ini hanya terjadi pada resep manual. Tercantumnya
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
nama dokter pada form resep sangat diperlukan pasien apabila terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan dalam pengobatannya.
Penulisan jumlah dan dosis obat harus ditulis dengan jelas agar terhindar
dari kesalahan pemberian jumlah dosis mengingat adanya obat-obat yang
memiliki dosis lebih dari satu, dimana dosis obat itu sendiri adalah jumlah atau
ukuran yang diharapkan dapat menghasilkan efek terapi pada fungsi tubuh yang
mengalami gangguan. Oleh karena itu, dosis sediaan harus ditulis dengan jelas
dan harus sesuai/tepat.
Data pasien dalam penulisan resep cukup penting, karena hal ini sangat
diperlukan dalam proses pelayanan peresepan karena dapat digunakan sebagai
pembeda ketika ada nama pasien yang sama, agar tidak terjadi kesalahan
pemberian obat pada pasien. Seperti contohnya umur dan nomor rekam medis
pasien sangatlah penting dan harus dicantumkan dalam resep. Bentuk keridak
lengkapan data pasien dalam resep yang diamati ini beragam, yaitu karena tidak
dituliskannya nama pasien, tanggal lahir atau umur pasien, alamat, nomor
rekamedis pasien, atau bahkan tidak dicantumkan keseluruhan.
Seperti data pasien yang tidak lengkap hal ini menyebabkan adanya
hambatan ketika resep tersebut akan diberikan kepada pasien. Tulisan tangan yang
tidak jelas, nama obat yang membingungkan dapat mengakibatkan kesalahan
pengambilan obat sehingga berakibat fatal bagi pasien bila sampai pada tahap
pemberian obat, karena yang diberikan tidak sesuai dengan penyakitnya.
Penulisan resep harus ditulis dengan benar dan jelas, jika resep tidak terbaca
dengan jelas akan berakibat fatal. Jika resep tidak terbaca dengan jelas, maka bisa
menimbulkan kesalahan pada tahap transcribing, yaitu kesalahan pada saat
penerjemahan nama obat, konsentrasi, dosis pemberian obat, durasi pemberian,
rute pemberian, bentuk sediaan, dan tanggal permintaan resep, jika pada tahap
transcribing telah terjadi kesalahan maka pada tahap Dispensing dan selanjutnya
juga akan menemukan kesalahan dalam melakukan pelayanan obat yakni pada
saat pengambilan obat (jenis/konsentrasi berbeda), salah menghitung dosis.
Dengan demikian kemungkinan terjadi Medication Error menjadi lebih besar.
Sehingga perlu dilakukan konfirmasi kepada dokter mengenai resep yang
dituliskan.
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa pelayanan resep
pada tahap prescribing, transcribing dan dispensing pada pasien Diabetes Mellitus
tipe II di Instalasi Rawat Jalan salah satu Rumah Sakit di Jakarta Utara adalah :
1) Pada prescribing meliputi: tidak ada paraf dokter sekitar 87%, dikuti oleh
tidak ada SIP dokter sekitar 84%, tidak ada bentuk sediaan sekitar 4,3%,
sedangkan tidak ada nomor rekam medik dan tidak ada jenis kelamin
pasien masing – masing sekitar 4%.
2) Pada transcribing meliputi: tidak jelas/tidak lengkap bentuk sediaan 6,6%,
diikuti oleh tidak jelas/tidak lengkap aturan pakai 2,6%, tidak jelas/tidak
lengkap usia pasien 0,87%, tidak jelas/tidak lengkap tanggal permintaan
resep 0,29%.
3) Pada dispensing meliputi: salah pengambilan obat (konsentrasi berbeda)
sebanyak 1,45%, ikuti salah/tidak lengkap menulis etiket 0,58%.
6.2 SARAN
1. Setelah melihat kesimpulan diatas dapat diketahui upaya – upaya untuk
memperbaiki tingkat medication error pada tahap prescribing, transcribing
dan dispensing pada pasien Diabetes Mellitus tipe II di Instalasi Rawat Jalan
salah satu Rumah Sakit di Jakarta Utara yaitu:
a. Dilakukan edukasi secara bertahap mengenai keselamatan pasien dan
penerapan pelayanan kefarmasian kepada seluruh tenaga medis di
Instalasi Rawat Jalan salah satu Rumah Sakit di Jakarta Utara
b. Dilakukan penambahan personil petugas apotek.
2. Kepada dokter, farmasi maupun tenaga kesehatan lainnya diharapkan untuk
memperhatikan hal-hal yang berpotensi menimbulkan medication error.
3. Kepada peneliti selanjutnya agar dilakukan lebih lanjut mengenai medication
error hingga sampai pada tahap penilaian potensial cedera pada pasien
Diabetes Mellitus tipe II.
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan RI, Nomor 58 Tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Menteri Kesehatan RI.
Gunardi AD. (2015). Penerapan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) untuk
Mendeteksi Prescription Error pada Resep Poli Jantung di Instalasi Rawat
Jalan RSUP Fatmawati. Skripsi Sarjana Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Guyton AC, Hall JE. Guyton and Hall. (2011) Textbook of Medical Physiology
12th ed. Philadelpia: Saunders Elsevier.
Hartel MJ, Staub LP, Roder C, Eggli S. (199). High incidence of medication
documentation errors in a swiss university hospital due to the handwritten
prescription process. BMC health services research 2011;11:1-6
Kharroubi AT, Darwish HM. 2015. Diabetes mellitus: The epidemic of the
century. World J Diabetes. June 25; 6(6): 850-67.
Kunac DL, Tatley MV, Seddon ME. (2014). A new web-based medication error
reporting programme (MERP) to supplement pharmacovigilance in New
Zealand: findings from a pilot study in primary care. Journal of the New
Zealand Medical Association. Aug;127(1401):69-81
Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson. (2014). Ilmu
Kesehatan Anak Esensial ed ke 6. Singapora: Saunders Elsevier.
Meek CL, Lewis HB, Patient C, Murphy HR, Simmons D.(2015). Diagnosis of
gestational diabetes mellitus: Falling through the net. Article of
Diabetologia.
Rahmawati, fita & oetari, R.A. 2002. kajian penulisan resep: tinjauan aspek
legalitas dan kelengkapan resep di apotek-apotek kotamadya
yogyakarta : majalah farmasi indonesia 13(2)
Siregar, charles J.P. 2006. farmasi klinik teori dan penerapan. jakarta:EGC
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam ed ke-5; Diabetes Melitus di Indonesia. Jakarta: Interna
Publishing. 2010;h1873-929
Tanggal :
Nama Pasien :
Nomer Rekam Medik :
TERJADI
TAHAP
(√)
NO MEDICATION PARAMETER YANG DINILAI
/TIDAK
ERROR
(-)
Tidak ada nomer rekam medik
Tidak ada nama pasien
Tidak ada tanggal lahir (usia)
Tidak ada jenis kelamin
Tidak ada tanggal resep
Tidak ada nama dokter penulis resep
1 Prescribing Error Tidak ada SIP dokter
Tidak ada paraf dokter
Tidak ada nama obat
Tidak ada satuan dosis
Tidak ada jumlah pemberian obat
Tidak ada aturan pakai
Tidak ada bentuk sediaan
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
Obat Generik
Obat Paten
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta