Anda di halaman 1dari 73

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

EVALUASI MEDICATION ERROR PADA RESEP PASIEN DIABETES


MELLITUS TIPE II DITINJAU DARI FASE PRESCRIBING,
TRANSCRIBING DAN DISPENSING DI INSTALASI RAWAT JALAN
SALAH SATU RUMAH SAKIT JAKARTA UTARA

SKRIPSI

ANGGA MAULIDAN PERNAMA


NIM : 1112102000008

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
2017
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

EVALUASI MEDICATION ERROR PADA RESEP PASIEN DIABETES


MELLITUS TIPE II DITINJAU DARI FASE PRESCRIBING,
TRANSCRIBING DAN DISPENSING DI INSTALASI RAWAT JALAN
SALAH SATU RUMAH SAKIT JAKARTA UTARA

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

ANGGA MAULIDAN PERNAMA


NIM : 1112102000008

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
2017

ii
iii
iv
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

SKRIPSI INI ADALAH HASIL KARYA SENDIRI,


DAN SEMUA SUMBER YANG DIKUTIP MAUPUN YANG DIRUJUK
TELAH SAYA NYATAKAN DENGAN BENAR

Nama : Angga Maulidan Pernama

NIM : 111210200008

Tanda tangan :

Tanggal : 18 Desember 2017

v
ABSTRAK

Nama : Angga Maulidan Pernama


Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Evaluasi Medication Error pada Resep Pasien
Diabetes Melitus Tipe II ditinjau dari Fase Prescribing,
Transcribing dan Dispensing di Instalasi Rawat Jalan
salah satu Rumah Sakit Jakarta Utara

Kesalahan pengobatan (Medication Error) adalah kejadian yang merugikan


pasien, akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang
sebetulnya dapat dicegah (Kepmenkes,2004). Medication error ini sering terjadi
dirumah sakit yang umumnya terjadi pada pengelolaan dalam penulisan resep
(prescribing), pembacaan resep (transcribing), dan penyiapan resep (dispensing).
Tujuan dari penelitian ini untuk mengevaluasi medication error yang terjadi
ditinjau dari berbagai tahap dalam pelayanan obat. Penelitian ini merupakan
observasional dengan disain cross sectional terhadap data-data resep yang ada di
Depo Farmasi Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit di Jakarta Utara Tanjung Priok
Jakarta. Pengumpulan data dilakukan secara prospektif mulai bulan Mei – Juni
2017 untuk mendapatkan gambaran medication error pada fase prescribing,
transcribing dan dispensing pada pasien Diabetes Melitus tipe II. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terjadi medication error pada ketiga fase tersebut. Masing-
masing untuk fase prescribing potensi kesalahan terjadi karena: tidak ada paraf
dokter sekitar 87%, dikuti oleh tidak ada surat izin praktek (SIP) dokter sekitar 84%,
tidak ada bentuk sediaan 4,3%, sedangkan tidak ada nomor rekam medik dan tidak
ada jenis kelamin pasien masing – masing sekitar 4%. Pada fase transcribing
potensi kesalahan terjadi karena: tidak jelas/tidak lengkap bentuk sediaan 6,6%,
diikuti oleh tidak jelas/tidak lengkap aturan pakai 2,6%, tidak jelas/tidak lengkap
usia pasien 0,87%, tidak jelas/tidak lengkap tanggal permintaan resep 0,29%. Pada
dispensing potensi kesalahan terjadi karena: salah pengambilan obat (konsentrasi
berbeda) sebanyak 1,45%, ikuti salah/tidak lengkap menulis etiket 0,58%.

Kata kunci : Medication Error, Prescribing, Transcribing Dan Dispensing.

vi
ABSTRACT

Name : Angga Maulidan Pernama


Major : Farmasi
Title : Evaluation of Medication Error on Patient Type II
Diabetes Mellitus in Prescribing, Transcribing and
Dispensing Phase at an Outpatient Installation of North
Jakarta Hospital

Medication Error is patient adverse events due to the use of the drug for the
treatment of health workers, which could otherwise be prevented
(Kepmenkes,2004). Medication errors are often common in hospitals that generally
occur in the management of prescribing, transcribing, and dispensing. The purpose
of this study to evaluate the medication error that occurs in terms of the various
stages in the drug management. This study is an observational with cross sectional
design to the prescription data in Depo Pharmacy Hospital Outpatient Installation
in North Jakarta Tanjung Priok Jakarta. The data were collected prospectively from
May - June 2017 to obtain medication error patterns in prescribing, transcribing and
dispensing phase in Diabetes Mellitus type II patients. The results showed that there
was the potential for medication errors. Respectively for each phase prescribing
potential errors occur due to: there is no signature of the doctor about 87%, there is
no Doctor’s Practice License Number about 84%, there is no dosage form about
4.3%, there is no medical record number and no gender of each patient about 4%.
In the transcribing phase the potential error occurs due to: unclear / incomplete
dosage form 6.6%, unclear / incomplete the rules of drug use 2,6%, unclear /
incomplete patient age 0,87%, unclear / incomplete date of recipe request 0.29%.
In dispensing phase the potential error occurs due to: wrong drug taking
(concentration differs) as much as 1.45%, wrong / incomplete write 0,58%
etiquette.

Keywords: Medication Error, prescribing, Transcribing and Dispensing

vii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, segala puji dan syukur penulis ucapkan


kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan ridho-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini hingga selesai. Penulisan
skripsi yang berjudul “:Evaluasi Medication Error pada Resep Pasien Diabetes
Mellitus Tipe II ditinjau dari Fase Prescribing, Transcribing dan Dispensing di
Instalasi Rawat Jalan salah satu Rumah Sakit Jakarta Utara” bertujuan untuk
memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan
skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena
itu, saya mengucapkan terim kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Arif Sumantri S.K.M, M. Kes. selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
2. Ibu Dr. Delina Hasan, M.kes., Apt. dan bapak Dr M. Yanis Musdja, M.Sc.,
Apt selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan,
waktu, tenaga, saran, dan dukungan dalam penelitian ini
3. Kedua orang tua, Ayahanda tersayang H. Asep Bobon HR dan Ibunda
tercinta Hj. Fenny Rubae’ah A. yang selalu memberikan kasih sayang, doa
tanpa henti yang dipanjatkan dalam setiap langkah yang penulis lakukan
untuk menyelesaikan skripsi ini, serta dukungan baik moril maupun materil.
Tidak ada apapun di dunia ini yang dapat membalas kasih sayang yang telah
kalian berikan kepada anakmu, semoga Allah selalu memberikan
keselamatan dan perlindungan kepada orang tua hamba tercinta
4. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah banyak memberikan bantuan kepada penulis
5. Seluruh dosen di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

viii
6. Kakakku tersayang Chandra Nur Fatah, dan adikku tercinta Ratna Nurani
yang telah memberikan doa, dukungan, dan semangat sehingga penelitian
ini dapat berjalan dengan lancar
7. Seluruh keluarga besar Prodi Farmasi FKIK yang telah memberikan
kesempatan dan kemudahan untuk melakukan penelitian serta dukungan
yang amat besar.
8. Teman seperjuangan penelitian penulis Rakha Jati Prasetyo, Annissa Fadilla
Martha, Haidarotul Milla yang selalu ada, memberi semangat, dan saling
membantu satu sama lain serta kebersamaan.
9. Teman-teman seperjuangan “DIGOXYN” Farmasi UIN 2012 atas
kebersamaan kita.
10. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
memberikan dukungan hingga terwujudnya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun
penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu farmasi pada khususnya. Akhir kata,
penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak
yang telah membantu saya dalam penelitian ini.

Jakarta, 18 Desember 2017

Penulis

ix
HALAMAN PERNYATAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif


Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Angga Maulidan Pernama

NIM : 1112102000008

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/ karya


ilmiah saya, dengan judul :

Evaluasi Medication Error pada Resep Pasien Diabetes Melitus Tipe II


ditinjau dari Fase Prescribing, Transcribing dan Dispensing di Instalasi
Rawat Jalan salah satu Rumah Sakit Jakarta Utara

Untuk dipublikasi atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library
Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk
kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian Peryataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.

Dibuat di : Ciputat
Pada Tanggal : 18 Desember 2017
Yang menyatakan

(Angga Maulidan Pernama)

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii


HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ..........................................v
ABSTRAK .................................................................................................... vi
ABSTRACT .................................................................................................. vii
KATAPENGANTAR .................................................................................. viii
HALAMAN PERNYATAAN PUBLIKASI ..................................................x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL .........................................................................................xv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ...............................................................................1
1.1. Latar Belakang ...............................................................................1
1.2. Rumusan Masalah ..........................................................................4
1.3. Tujuan Penelitian............................................................................5
1.4. Manfaat Penelitian .........................................................................6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................7


2.1. Medication Error ............................................................................7
2.1.1. Definisi .................................................................................7
2.1.2. Klasifikasi ............................................................................8
2.1.3. Faktor-faktor Medication Error ............................................9
2.1.4. Medication Error pada Prescribing .....................................10
2.1.5. Medication Error pada Transcribing ...................................11
2.1.6. Medication Error pada Dispensing .....................................11
2.2. Diabetes Mellitus (DM) ...............................................................12
2.2.1. Definisi ...............................................................................12
2.2.2. Klasifikasi...........................................................................12
2.2.3. Etiologi ...............................................................................14

xi
2.2.4. Patofisiologi .......................................................................16
2.2.5. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus ....................................17
2.2.5.1. Diagnosis Diabetes Mellitus ..................................17
2.2.5.2. Pengobatan Diabetes Mellitus ...............................18
2.2.5.2.1. Terapi Farmakologi ................................20
2.2.5.2.2. Terapi Non Farmakologi ........................27
2.3. Root Cause Analisis (RCA) ........................................................27
2.3.1 Definisi ................................................................................27
2.3.2 Alat dan Teknik ...................................................................28

BAB 3 KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL .................30


3.1. Kerangka Konsep ........................................................................30
3.2. Definisi Operasional .....................................................................31

BAB 4 METODE PENELITIAN .................................................................34


4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................34
4.1.1. Lokasi Penelitian ...............................................................34
4.1.2. Waktu penelitian ................................................................34
4.2. Desain dan Rancangan Penelitian ................................................34
4.3. Populasi dan Sampel ...................................................................34
4.3.1. Populasi..............................................................................34
4.3.2. Sampel ...............................................................................34
4.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ........................................................35
4.4.1. Kriteria Inklusi ...................................................................35
4.4.2. Kriteria Ekslusi ..................................................................35
4.5. Prosedur Penelitian.......................................................................35
4.5.1. Tahap Perencanaan dan Persiapan ......................................35
4.5.2. Tahap Pengumpulan Data ..................................................36
4.5.3. Tahap Manajemen Data .....................................................37
4.6. Alat Pengumpulan data ................................................................37
4.7. Teknik Pengolahan dan Analisis Data .........................................37

xii
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................39
5.1. Hasil Penelitian ...........................................................................39
5.1.1. Hasil Analisa Data .............................................................39
5.2. Pembahasan Penelitian ................................................................41
5.2.1. Pembahasan Hasil Penelitian .............................................41

BAB 6 KESIMPULAN .................................................................................47


6.1. Kesimpulan ...............................................................................47
6.2. Saran ..........................................................................................47

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................48


LAMPIRAN ...................................................................................................52

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.2. Sel-sel pulau Langerhans pankreas ..........................................14


Gambar 2.3. Skematik reseptor insulin..........................................................16
Gambar 2.4. Algoritma Penatalaksanaan DM tipe 2 .....................................19
Gambar 5.1. Model Diagram fishbone ..........................................................41

xiv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kategorisasi kesalahan pengobatan menurut NCC-MERP ............ 9


Tabel 2.2. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan DM Tipe 2 ................13
Tabel 2.3. Kriteria diagnosis DM ...................................................................17
Tabel 2.4. Target Penatalaksanaan Diabetes ..................................................19
Tabel 4.1. Penjabaran Variabel Penilaian.......................................................36
Tabel 5.1. Distribusi hasil penilaian Medication Error (Prescribing) ...........39
Tabel 5.2. Distribusi hasil penilaian Medication Error (Transcribing) .........40
Tabel 5.3. Distribusi hasil penilaian Medication Error (Dispensing) ............40

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.Lembar Kerja pengamatan ............................................................. 52


Lampiran 2.Contoh Resep ................................................................................. 53
Lampiran 3.Contoh Dispensing Obat ................................................................ 54
Lampiran 4.Gambar Rak Obat .......................................................................... 55
Lampiran 5.Alur Perjalanan Resep ................................................................... 56
Lampiran 6.Surat Izin Penelitian ....................................................................... 57

xvi
1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Permenkes Republik Indonesia No. 58 tahun 2014 tentang standar
pelayanan kefarmasian di rumah sakit disebutkan bahwa pelayanan kefarmasian
merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mencegah, mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah terkait obat drug related problem (DRP). Selain itu
farmasi dituntut untuk merealisasikan perluasan paradigma pelayanan kefarmasian
dari orientasi hanya kepada produk (product oriented) menjadi orientasi kepada
obat (drug oriented) dan pasien (patient oriented) dengan filosofi pelayanan
kefarmasian (pharmaceutical care). Pharmaceutical care ini dimaksudkan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien serta untuk meminimalisir kesalahan dalam
pelayanan pengobatan atau medication error.
Medication error umumnya terjadi pada pengelolaan sistem kesehatan yang
didefinisikan sebagai kesalahan yang tidak disengaja dalam penulisan resep
(prescribing), pembacaan resep (transcribing), penyiapan resep (disepensing),
administrasi (administration) atau pemantauan obat (monitoring) di bawah
kendali seorang tenaga farmasi. Medication error merupakan faktor risiko yang
menyebabkan efek samping yang membahayakan. Suatu sistem pengobatan yang
aman perlu dikembangkan dan dipelihara untuk memastikan bahwa pasien
menerima pelayanan obat yang baik. Hal ini dikarenakan semakin bervariasinya
obat dan meningkatnya jumlah obat serta jenis obat (Kunac, dkk, 2014).
Menurut penelitian Bates (1995) telah dilaporkan bahwa peringkat paling
tinggi kesalahan pengobatan (medication error) pada tahap prescribing yang
mencapai 49%, kemudian diikuti tahap administration sebesar 26%, pharmacy
management (14%), transcribing (11%). Kemudian hasil kongres PERSI (2007)
tentang pelaporan peta nasional insiden keselamatan pasien, didapatkan kejadian
yang paling banyak kesalahan pada tahap dispensing (24.8%) dari 10 besar
insiden yang dilaporkan. Dalam proses penggunaan obat yang meliputi
prescribing, transcribing, dispensing dan administration, dispensing menduduki
peringkat pertama.

1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2

Salah satu medication error dalam proses medikasi yaitu pada tahap
transcribing error yang merupakan kesalahan yang terjadi pada saat pembacaan
resep untuk proses dispensing, antara lain salah membaca resep karena tulisan
yang tidak jelas, informasi tidak jelas atau penggunaan singkatan tidak tepat. Tipe
kejadian transcribing error biasanya berupa ketidaksesuaian pada nama obat,
formulasi obat, cara pemberian obat, dosis regimen obat, dan tidak dicantumkan
obatnya (Lisby, dkk, 2005)

Pada penelitian Gunardi (2015), hasil prescribing mengenai kelengkapan


tahapan pengisian resep didapatkan; tidak ada nomor rekam medis 15.64%, tidak
ada nama pasien 0.08%, tidak ada tanggal lahir pasien 29.89%, tidak ada jenis
kelamin pasien 92.21%, tidak ada tinggi badan pasien 99.89%, tidak ada berat
badan pasien 99.89%, tidak ada riwayat alergi pasien 65.19%, tidak ada tanggal
resep 25.84%, tidak ada nama dokter 0.43%, tidak ada SIP dokter 1.47%, tidak
ada rute sediaan 100%, tidak ada aturan pakai 7.91%, tidak ada paraf dokter
100%, tidak terisi pengkajian dan klarifikasi petugas 8.27%, tidak terisi kolom
penyiapan oleh petugas 7.50%, tidak terisi kolom dispensing oleh petugas
42.88%, tidak terisi kolom penyerahan dan informasi petugas 9.75%, tidak terisi
form pengkajian resep oleh petugas 0.98%, dan tidak terisi klarifikasi dan
informasi oleh petugas 100%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hartel, dkk
(2011), melakukan observasi di Inselspital University Hospital of Bern,
Switzerland pada 1934 resep yang ada, telah tercatat bahwa terdapat 105
kesalahan dalam proses medikasi. Dalam hasil tersebut dilaporkan terjadi
prescribing errors sebanyak 39 (37%), transcribing error sebanyak 56 (53,3%),
dan administration documentation error sebanyak 10 (9,5%). Dalam hal ini dapat
dilihat bahwa kejadian transcribing error memiliki angka kejadian yang paling
tinggi dibandingkan prescribing error dan administration documentation error.
Lisby, dkk (2005) juga melaporkan bahwa kejadian transcribing error terjadi
sebanyak 310 resep dari 558 resep (56%), yang merupakan kejadian paling
banyak dari kejadian kesalahan medikasi yang lainnya seperti prescribing,
dispensing, dan administration stages. Kemudian dilaporkan juga bahwa sekitar
2% dari jumlah kejadian transcribing error tersebut mempunyai potensi yang
berakibat fatal bagi pasien.

2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Susanti (2013) di RSUP


Fatmawati, hasil penelitian menunjukan bahwa pada fase prescribing potensi
kesalahan terjadi karena tulisan resep tidak terbaca 0,3%, nama obat berupa
singkatan 12%, tidak ada dosis pemberian 39%, tidak ada jumlah pemberian 18%,
tidak ada aturan pakai 34%, tidak menuliskan satuan dosis 59%, tidak ada bentuk
sediaan 84%, tidak ada rute pemberian 49%, tidak ada tanggal permintan resep
16%, tidak lengkap identitas pasien (tidak ada nomor rekamedik 62%), usi 87%,
berat badan 88%, tinggi badan 88%, jenis kelamin pasien 76% dan no kamar
pasien 77%. Pada transcribing potensi kesalahan terjadi karena tidak ada dosis
pemberian obat 89%, tidak ada rute pemberian 21%, tidak ada bentuk sediaan
14%. Pada dispensing potensi kesalahan terjadi karena pemberian etiket yang
tidak lengkap 61%.
Laporan di atas telah menggerakkan sistem kesehatan dunia untuk merubah
paradigma pelayanan kesehatan menuju keselamatan pasien (patient safety).
Gerakan ini berdampak juga terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia melalui
pembentukan KKPRS (Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit) pada tahun
2004 (Depkes, 2008). Program Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang
dipelopori oleh PERSI (Persatuan Rumah sakit Indonesia) menetapkan 7 langkah
dalam manajemen keselamatan pasien. Pelaporan secara sukarela merupakan data
dasar untuk melakukan upaya evaluasi dalam pencapaian tujuan. Pelaporan
insiden dalam lingkup pelayanan farmasi diperkirakan menggambarkan 10% dari
kenyataan kejadian kesalahan (errors) (Depkes, 2008).
Apoteker berperan utama dalam meningkatkan keselamatan dan efektifitas
penggunaan obat. Dengan demikian dalam penjabaran, misi utama Apoteker
dalam hal keselamatan pasien adalah memastikan bahwa semua pasien
mendapatkan pengobatan yang optimal. Hal ini telah dikuatkan dengan berbagai
penelitian yang menunjukkan bahwa kontribusi Apoteker dapat menurunkan
medication errors (Depkes, 2008).
Berdasarkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2014, penyebab kematian
tersering di Indonesia dari survei kejadian menempatkan Diabetes melitus tipe II
pada peringkat 3 dan perlu pengawasan lebih lanjut terhadap medication error

3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4

agar terapi yang diberikan kepada pasien penderita Diabetes melitus tipe II
mencapai hasil yang optimal. Penyakit Diabetes melitus (DM) merupakan salah
satu penyakit gangguan metabolisme yang mempunyai karakteristik hiperglikemia
kronik akibat dari kerusakan pada sekresi insulin, kerja insulin, atau bahkan
keduanya. Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (ADA) yaitu
diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes tipe lain dan diabetes gestasional
(Kharroubi, dkk, 2015). Pada Umumnya penderita DM disertai gejala poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan. Diabetes yang tidak terkontrol
dapat menyebabkan kematian, karena terjadi komplikasi seperti ketoasidosis
ataupun sindrom hiperosmolar nonketotik (Ramachandran, dkk, 2012).
Setiap tahunnya prevalensi kejadian DM semakin meningkat dan menjadi
masalah kesehatan diseluruh dunia. Ditahun 2013 pencatatan penderita diabetes
didunia menurut International Diabetes Federation (IDF) telah mencapai 382 juta
dengan 46% tidak terdiagnosis, sedangkan pencatatan pembaharuan penderita DM
didunia ditahun 2014 telah dilaporkan mengalami peningkatan dengan 387 juta
penderita DM dengan 46,3% tidak terdiagnosis. Lebih dari 138 juta orang dengan
penderita DM, didaerah Pasifik Barat memiliki lebih banyak penderita DM
dibanding daerah lain. Dalam hal ini beban diabetes sangat besar, yang
memprovokasi 5,1 juta kematian dan mengambil sekitar 548 milliar USD untuk
pengeluaran kesehatan penduduknya (11% dari total pengeluaran seluruh dunia)
pada tahun 2013. Jumlah peningkatan kejadiannya terjadi pada semua jenis
diabetes, khususnya diabetes tipe 2, dan menurut prediksi jumlah orang dengan
diabetes akan terus meningkat menjadi sekitar 592 juta (55%) pada tahun 2035
(International Federation of Diabetes).
Dari 10 negara yang mempunyai angka penderita diabetes terbesar, Indonesia
menduduki peringkat ke 7 didunia (International Federation of Diabetes, 2013).
Jumlah prevalensi penderita diabetes pada usia produktif (18-55 tahun)
berdasarkan hasil Riskesdas 2013 yaitu sekitar 6,9% (12.2 juta orang) terdiagnosis
diabetes, 29,9% (58,3 juta orang) mengalami toleransi glukosa darah terganggu,
dan 36,6% (64,6 juta orang) mengalami glukosa darah puasa terganggu.
Sedangkan jumlah prevalensi diabetes yang terdiagnosis oleh dokter, urutan
tertinggi terdapat di Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara

4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5

(2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%) (Riskesdas, 2013). Diabetes terjadi lebih
banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan usia yang meningkat, dan
pada keadaan sosio-ekonomi yang sedang sampai tinggi (Mihardja, dkk, 2014).
Oleh karena itu dibutuhkan perhatian lebih dalam pelayanan kefarmasian pasien
diabetes melitus tipe II dan dibutuhkan evaluasi kinerja pelayanan pasien diabetes
melitus tipe II di Rumah Sakit.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut :
 Medication error yang terjadi di rumah sakit biasanya pada tahap
prescribing, transcribing dan dispensing
 Pada Rumah Sakit di dunia, termasuk Indonesia sering terjadi medication
error, untuk Salah Satu Rumah Sakit di Jakarta Utara belum diketahui
tingkat kejadian medication error
 Prevalensi pasien penyakit Diabetes Melitus tipe II saat ini tinggi
 Dengan tingginya prevalensi, pada pasien Diabetes Melitus tipe II
kemungkinan akan terjadi medication error pada tahap prescribing,
transcribing dan dispensing
 Di Salah Satu Rumah Sakit di jakarta Utara belum pernah dilaksanakan
kajian atau analisa tentang tahap-tahap medication error yang mungkin
terjadi pada pasien Diabetes Melitus tipe II.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengevaluasi medication error yang terjadi pada pasien diabetes
melitus tipe II yang terjadi di Instalasi Rawat Jalan Salah satu Rumah Sakit di
Jakarta Utara Tanjung Priok Jakarta.

5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6

1.3.2 Tujuan khusus


 Untuk mengetahui nilai persentase kejadian medication error pada fase
prescribing pada pasien diabetes yang terjadi di Instalasi Rawat Jalan
Salah satu Rumah Sakit di jakarta Utara.
 Untuk mengetahui nilai persentase kejadian medication error pada fase
transcribing pada pasien diabetes yang terjadi di Instalasi Rawat Jalan
Salah satu Rumah Sakit di jakarta Utara.
 Untuk mengetahui nilai persentase kejadian medication error pada fase
dispensing pada pasien diabetes yang terjadi di Instalasi Rawat Jalan Salah
satu Rumah Sakit di jakarta Utara.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan, bagaimana cara mengevaluasi medication error pada pasien
penyakit diabetes melitus tipe II di Instalasi Rawat Jalan salah satu Rumah Sakit
di Jakarta Utara.

1.4.2 Metodologi
Metode dalam penelitian ini nantinya dapat digunakan untuk mengevaluasi
medication error pada fase prescribing, transcribing dan dispensing pada pasien
dengan diagnosa penyakit lain.

1.4.3 Aplikatif
Secara aplikatif hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu bahan
masukan untuk dokter, apoteker dan tenaga kesehatan lainnya dalam memperbaiki
penyiapan obat untuk pasien.

6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Sebagai seorang farmasis, peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang


berorientasi kepada pasien atau yang lebih dikenal dengan patient oriented sangat
penting untuk dilakukan. Praktek pharmaceutical care meruapan suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan
farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien (Anonim, 2014), salah satu dari upaya peningkatan mutu
pelayanan terhadap pasien ini dapat dilakukan melalui suatu proses pelayanan
kefarmasian salah satunya dengan cara melakukan pengkajian terhadap masalah-
masalah terkait penggunaan obat yang sekarang lebih dikenal dengan Medication
error.

2.1 Medication Error


Keputusan penggunaan obat selalu mengandung pertimbangan antara
manfaat dan risiko. Tujuan pengkajian farmakoterapi adalah mendapatkan luaran
klinik yang dapat dipertanggungjawabkan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien dengan risiko minimal. Berdasarkan Laporan Peta Nasional Insiden
Keselamatan Pasien (Kongres PERSI September 2006), kesalahan dalam
pemberian obat menduduki peringkat pertama (24,8%) dari 10 besar insiden yang
dilaporkan. Jika disimak lebih lanjut, dalam proses penggunaan obat yang
meliputi prescribing, transcribing, dispensing, dan administering, dispensing
menduduki peringkat pertama. Dengan demikian, keselamatan pasien merupakan
bagian penting dalam risiko pelayanan rumah sakit selain risiko keuangan
(financial risk), risiko properti (property risk), risiko tenaga profesi (professional
risk), maupun risiko lingkungan (environment risk) pelayanan dalam risiko
manajemen (Depkes, 2008).

2.1.1 Definisi
Menurut Australia Commission on Safety and Quality in Health Care
dalam Patient Safety in Primary Health Care, definisi kesalahan pengobatan
adalah kejadian yang dapat dicegah yang dapat mengakibatkan penggunaan

7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8

medikasi yang tak tepat atau membahayakan pasien ketika pengobatannya masih
dalam kendali tenaga kesehatan, pasien, atau penggunanya.
Menurut The National Coordinating Council for Medication Error and
Prevention (NCCMERP), kesalahan pengobatan salah satunya melibatkan
prosedur dan sistem yang meliputi : peresepan obat; komunikasi antar sesama
tenaga profesional kesehatan; pelabelan, pengemasan dan pemberian nama
produk; peracikan; penyiapan; distribusi; pemberian obat; edukasi; monitoring
dan penggunaan obat.

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Departemen Kesehatan RI dalam Surat


Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 yang
menyebutkan bahwa kesalahan pengobatan merupakan kejadian yang merugikan
pasien, akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang
sebetulnya dapat dicegah.

2.1.2 Klasifikasi
National Coordinating Council for Medication error Reporting and
Prevention (NCC MERP) mengklasifikasikan kesalahan pengobatan berdasarkan
tingkat keparahan suatu kejadian yang terjadi saat sampai kepada pasien. Kategori
kesalahan pengobatan adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Kategorisasi kesalahan pengobatan menurut NCC-MERP
Tipe error Kategori Keterangan
No Error A Keadaan atau kejadian yang
berpotensial menyebabkan error.
Error-No Harm B Error terjadi, namun tidak sampai ke
pasien.
C Error terjadi dan telah sampai ke
pasien, namun tidak membahayakan
pasien.
Obat telah sampai ke pasien dan telah
diberikan.
Obat telah sampai ke pasien dan
belum diberikan.
D Error terjadi dan diperlukan
monitoring terhadap pasien, tetapi

8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9

tidak membahayakan pasien.

Error-Harm E Error terjadi dan berkontribusi atau


menghasilkan bahaya sementara pada
pasien dan memerlukan intervensi.
F Error terjadi dan berkontribusi atau
menghasilkan bahaya sementara pada
pasien dan memerlukan perawatan
atau perpanjangan perawatan di
rumah sakit.
G Error terjadi dan berkontribusi atau
menghasilkan bahaya yang permanen
terhadap pasien.
H Error terjadi dan nyaris menimbulkan
kematian.
Error-Death I Error terjadi dan berkontribusi atau
menyebabkan kematian pada pasien.

2.1.3 Faktor-faktor yang Menyebabkan Medication Error


Masalah-masalah dan sumber medication error merupakan multidisiplin
dan multifaktorial. Jarang sekali tindakan dari satu individu menjadi penyebab
dari medication error, melainkan salah satu jenis faktor kontribusi yang bergabung
untuk menjadi penyebab insiden.
Kesalahan dapat terjadi pada beberapa langkah, dimulai dari pemberian
resep sampai penyediaan akhir obat ke pasien. Penyebab umum kesalahan
medikasi meliputi diagnosis yang tidak tepat, kesalahan pemberian resep,
kekeliruan dalam penghitungan dosis, praktek distribusi obat yang buruk, masalah
terkait obat dan perangkatnya, pemberian obat yang tidak tepat, adanya kegagalan
komunikasi antar tenaga kesehatan dan kurangnya edukasi pasien (AMCP, 2010).
Menurut American Society of Health-System Pharmacists (ASHP) dalam
Guideline on Preventing Medication Errors in Hospitals, penyebab-penyebab
umum yang memicu terjadinya medication error, yaitu diantaranya:
1. Adanya ambigu pada penunjukkan di label atau di dalam pengemasan.
2. Nomenklatur produk obat Look-Alike-Sound-Alike (LASA),
penggunaan huruf atau nomor prefiks dan sufiks dalam nama obat

9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10

3. Adanya kegagalan atau kerusakan pada alat kesehatan.


4. Resep yang tak terbaca.
5. Transkripsi yang tidak tepat.
6. Perhitungan dosis yang tak tepat.
7. Personil yang tidak cukup terlatih.
8. Menggunakan singkatan yang tidak dimengerti dalam resep.
9. Kesalahan dalam pelabelan.
10. Beban kerja yang berlebihan.
11. Penyimpangan dalam kerja individu
12. Tidak tersedianya obat

2.1.4 Medication Error Pada Prescribing


Kesalahan meresepkan dan kesalahan resep merupakan masalah utama di
antara kesalahan pengobatan. Prescribing terjadi baik di rumah sakit umum
maupun di rumah sakit khusus, meskipun kesalahan jarang terjadi hingga
fatal namun dapat mempengaruhi keselamatan pasien dan kualitas kesehatan
(Giampaolo, 2009). Kesalahan pengobatan dapat terjadi akibat kesalahan
pemakaian, kesalahan penafsiran, penulisan singkatan yang tidak terbaca,
sebab penggunaan singkatan khusus atau buatan. Kesalahan resep mencakup
segala hal yang terkait dengan tindakan menulis resep, sedangkan kesalahan
peresepan meliputi peresepan irrasional, peresepan obat yang berlebih, peresepan
obat yang kurang, dan peresepan yang tidak efektif, yang timbul dari penilaian
medis atau keputusan mengenai perawatan atau pengobatan dan pemantauan
yang keliru (Giampaolo, 2009).

2.1.4.1 Prevalensi medication error pada prescribing


Hasil penelitian kajian penulisan resep di kota madya yogyakarta
menunjukkan bahwa resep yang memenuhi persyaratan yang berlaku adalah
39,8%. Ketidaklengkapan tersebut disebabkan antara lain karena tidak adanya
paraf, nomor ijin praktek dokter, tanggal resep. Tulisan tangan dokter yang
kurang dapat dibaca sangat menyulitkan sehingga berpotensi menimbulkan
kesalahan interpretasi terutama pada nama obat, dosis, aturan pakai, dan cara

10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11

pemberian, yang selanjutnya dapat menyebabkan kesalahan pengobatan


(Rahmawati, 2002).

2.1.5 Medication Error pada Transcribing


Transcribing error adalah kesalahan terjadi pada saat pembacaan resep
untuk proses dispensing, antara lain salah membaca resep karena tulisan
yang tidak jelas, informasi tidak jelas atau penggunaan singkatan tidak tepat
(charles dan endang, 2006).

2.1.5.1 Prevalensi Medication Error pada transcribing


Berdasarkan Laporan Peta Nasional Insiden Keselamatan Pasien
(Konggres PERSI Sep 2007), kesalahan dalam pemberian obat menduduki
peringkat pertama (24.8%) dari 10 besar insiden yang dilaporkan. Jika
disimak lebih lanjut, dalam proses penggunaan obat yang meliputi
prescribing, transcribing, dispensing dan administering, dispensing
menduduki peringkat pertama (Depkes,2008).

2.1.6 Medication Error Pada Dispensing


Dispensing obat adalah kegiatan atau proses untuk memastikan
kelayakan atau order resep obat, seleksi suatu obat zat aktif yang memadai
dan memastikan bahwa penderita atau perawat mengerti penggunaan dan
pemberian obat yang tepat dari obat tersebut (Siregar, 2003). Dispensing adalah
proses menyiapkan dan menyarahkan obat kepada orang yang namanya
tertulis pada resep. Dispensing merupakan tindakan atau proses yang
memastikan ketepatan resep obat, ketepatan seleksi zat aktif yang memadai
dan memastikan bahwa pasien atau perawat mengerti penggunaan dan
pemberian yang tepat (Siregar, 2006). Dispensing termasuk semua kegiatan
yang terjadi antara waktu resep/order dan obat diterima. Atau suplai lain
yang ditulis disampaikan kepada penderita (Siregar, 2003).

2.1.6.1 Prevalensi Medication Error pada Dispensing


Dalam penelitian Sekhar dkk di india (2011) Penelitian ini merupakan
prospektif yang melibatkan resep rawat inap dari periode Desember 2007
hingga September 2008. Resep dari pasien dirawat di bangsal umum

11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12

dilibatkan dalam penelitian ini. Kesalahan yang dilaporkan oleh perawat,


yang didokumentasikan oleh apoteker dalam bentuk laporan kesalahan
Dispensing. Semua kesalahan didokumentasikan dikumpulkan, dianalisis dan
dikategorikan ke dalam berbagai jenis. Frekuensi terjadinya berbagai jenis
kesalahan pengeluaran dihitung. Insiden kesalahan dispensing ditemukan
menjadi 4,8% dan jenis yang paling sering ditemukan adalah dispensing obat
yang salah (43,1%). Dalam penelitian silvia dkk di brazil 2011 disebutkan
lebih dari satu kesalahan dalam peresepan, total 1.632 kesalahan, ditemukan
dalam obatyang perlu waspada tinggi (high-alert) sebanyak 632 (89,6%) dari 705
obat yang diresepkan dan dibagikan. Kemudian mengidentifikasi setidaknya satu
kesalahan dispensing dalam setiapobat high alert yang di keluarkan, sejumlah
1.707 kesalahan. Di antara kesalahan dispensing, sebanyak 723 (42,4%)
terjadi pada kesalahan isi yang bersamaan dengan kesalahan resep.

2.2 Diabetes Mellitus (DM)


2.2.1 Definisi
Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) tahun
2013 adalah kelompok penyakit metabolik dengan ditandai peningkatan glukosa
dalam darah (hiperglikemia) yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin yang tidak adekuat, atau keduanya (American Diabetes Association,
2013).

2.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi DM berdasarkan American Diabetes Association (ADA)
membagi DM menurut etiologinya menjadi 4 jenis yaitu diabetes melitus tipe 1,
diabetes melitus tipe 2, diabetes melitus tipe lain, dan diabetes melitus gestational
(American Diabetes Association, 2013). Indonesia sendiri mengklasifikasikan
DM juga berpedoman pada American Diabetes Association (ADA) yang
ditetapkan pada Perkumpulan Endokrinologi Indonesia 2015 (PERKENI, 2015).

12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13

Tabel 2.2 : Konsensus Pengendalian dan Pencegahan DM Tipe 2 di Indonesia


2015 (PERKENI, 2015).
No. Tipe DM
1. DM tipe 1 Destruksi sel , umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut
 Autoimun
 Idiopatik
2. DM tipe 2  Dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif
 Dominan defek sekresi insulin disertai resistensi
insulin
3. DM tipe lain  Defek genetik fungsi sel 
 Defek genetik kerja insulin
 Penyakit eksokrin pankreas
 Endokrinopati
 Karena obat atau zat kimia
 Infeksi
 Sebab imunologi yang jarang
 Sindrom genetik lain yang berhubungan dengan
DM
4. DM gestasional

Diabetes melitus tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas
yang menyebabkan defisiensi insulin absolut. Penyebabnya ada 2 macam, yaitu
Immune-mediated diabetes (autoimun) dan idiopatik. Immune-mediated diabetes
terjadi karena adanya reaksi autoimun yang menyerang sel β pankreas sehingga
menyebabkan kerusakan permanen, dan biasanya terdapat predisposisi genetik
yang sering terjadi pada anak dan usia muda. Sedangkan pada idiopatik, tidak
diketahui etiologi yang jelas pasien mengalami insulinopenia permanen dan tidak
terdapat bukti adanya proses autoimun. Penderita akan bergantung dengan
pemberian terapi insulin untuk dapat bertahan hidup sehingga sering disebut juga
insulin-dependent diabetes melitus (IDDM) (American Diabetes Association,
2013).
Diabetes tipe 2 atau noninsulin-dependent diabetes melitus (NIDDM),
merupakan tipe diabetes yang paling banyak terjadi. Biasanya diawali karena

13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14

resistensi insulin yang menyebabkan adanya kompensasi dengan meningkatkan


produksi insulin, yang pada akhirnya terjadi ketidakmampuan sel β pankreas
memproduksi insulin yang adekuat, akhirnya resistensi insulin diikuti dengan
defisiensi insulin relatif (Sudoyo, 2010).
Diabetes melitus gestasional (GDM) didefinisikan sebagai gangguan
toleransi glukosa tanpa diagnosis diabetes sebelumnya dan baru pertama kali
didapatkan saat masa kehamilan.(Sugiyama, 2011) Penderita GDM harus segera
ditatalaksana karena dapat menimbulkan kematian janin, distosia bahu dan
hipoglikemia janin (Meek, 2015).

2.2.3 Etiologi
Insulin merupakan salah satu hormon pengatur metabolisme karbohidrat
yang diproduksi oleh pankreas. Sel-sel endokrin pankreas yang mampu
memproduksi hormon ini disebut islet of langerhans (pulau langerhans). Pulau
langerhans mempunyai beberapa tipe sel, yaitu sel α, β, D dan F. Sekitar 60-75%
bagian dari pulau langerhans ini adalah sel β yang berada dibagian tengah pulau
dan berfungsi memproduksi insulin. Sedangkan 20% lainnya terdapat sel α yang
memproduksi glukagon, sisanya adalah sel D yang memproduksi somatostatin dan
sel F yang memproduksi polipeptida pankreas (Silverthorn, 2010).

Gambar 2.2 Sel-sel pulau Langerhans pankreas


Sumber : Silverthorn 2010

Insulin disintesis di retikulum endoplasma kasar sel β pankreas. Dimulai


dari translasi RNA di ribosom untuk membentuk preproinsulin. Kemudian
preproinsulin ini dibelah menjadi proinsulin, dan ditranspor ke aparatus Golgi
untuk membentuk insulin dan peptida C. Insulin dan peptida C dikemas dalam
granula, kemudian granula mengalami eksositosis sehingga dapat melewati

14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15

lamina basal dan masuk kedalam kapiler sekitarnya untuk menuju ke sirkulasi
(Barrett, 2010).
Sekresi insulin terjadi apabila adanya rangsangan glukosa. Awalnya
glukosa melewati membran sel β pankreas dengan mediasi Glucosa transporter
(GLUT). GLUT adalah senyawa asam amino yang berada diberbagai sel tubuh
untuk mengangkut glukosa masuk kedalam sel. Glucosa transporter 2 (GLUT 2)
yang terdapat disel β pankreas, akan mengalami glikolisis dan fosforilasi setelah
berikatan dengan molekul glukosa, kemudian akan melepaskan molekul ATP.
ATP yang dibebaskan akan mengaktivasi penutupan K channel sehingga terjadi
depolarisasi yang diikuti pembukaan Ca channel. Masuknya ion Ca intrasel ini
kemudian akan menginduksi proses sekresi insulin (Sudoyo, 2010).
Pada awal kerja insulin ke sel target, terjadi ikatan insulin dengan reseptor
insulin dipermukaan sel target. Reseptor insulin ini merupakan kombinasi 4
subunit yang dihubungkan oleh ikatan disulfida, yaitu subunit alfa yang
seluruhnya terletak diluar membran sel dan subunit beta yang menembus ke
membran sampai sitoplasma sel. Ketika insulin berikatan dengan subunit alfa
terjadi autofosforiasi pada subunit beta, yang akan mengaktivasi tirosin kinase.
Aktifitas tirosin kinase ini akan memulai kaskade fosforilasi sel yang
mengaktifkan Insulin-reseptor substrate (IRS) kemudian akan memediasi
beberapa efek pada masing-masing metabolisme glukosa, protein dan lemak serta
akan menyebabkan pemindahan transporter glukosa kemembran sel untuk
membantu masuknya glukosa kedalam sel (Guyton, 2011).

Gambar 2.3 Skematik reseptor insulin


Sumber : Guyton & Hall 2011.

15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16

2.2.4 Patofisiologi DM
DM tipe 1 timbul akibat destruksi sel β pankreas karena proses autoimun.
Namun bukan hanya akibat adanya gen yang rentan terhadap diabetes (diabetes
susceptibility gene) akan tetapi juga faktor lingkungan yang tidak dapat diketahui
dapat mencetuskan proses antibodi. Faktor lingkungan yang dianggap berperan
antara lain, pemberian susu sapi sebelum usia 2 tahun, infeksi virus (virus
coxsackie B, cytomegalovirus, mumps dan rubella) (Marcdante, 2014).
Berbeda dengan DM tipe 1 yang mengalami defisiensi insulin absolut,
pada DM tipe 2 terjadi gangguan toleransi glukosa karena adanya gangguan
sekresi insulin ataupun gangguan kerja insulin (resistensi insulin) pada organ
target terutama pada sel otot, adiposa dan jantung. Resistensi insulin disebabkan
oleh adanya faktor genetik dan obesitas. Awalnya resistensi insulin ini belum
menimbulkan manifestasi diabetes, karena sel β pankreas masih dapat
mengkompensasi keadaan dimana terjadi peningkatan glukosa darah dengan
meningkatkan produksi insulin. Sehingga terjadi suatu keadaan hiperinsulinemia
dan glukosa darah juga masih cenderung normal. Namun jika terjadi
berkepanjangan sel β pankreas akan mengalami β cell exhausted (kelelahan sel β)
sehingga terjadi defisiensi sekresi insulin. Hal ini kemudian akan menimbulkan
peningkatan kadar glukosa darah sampai memenuhi kriteria diabetes (Sudoyo,
2010).

Tahap selanjutnya dimana produksi insulin semakin menurun, akan


menginduksi glukosa hati melalui proses glikolisis dan glukoneogenesis sehingga
terjadi peningkatan kadar glukosa darah yang berlebihan dan mengakibatkan
meningkatnya glukosa darah puasa. Keadaan hiperglikemia ini akan memperberat
gangguan sekresi insulin sehingga disebut fenomena glukotoksitas. Resistensi
insulin juga terjadi pada jaringan adiposa sehingga akan merangsang lipolisis dan
meningkatkan asam lemak bebas. Hal ini juga akan mengakibatkan gangguan
sekresi insulin oleh sel β pankreas. Fenomena ini disebut lipotoksisitas (Sudoyo,
2010).

16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17

2.2.5 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus


2.2.5.1 Diagnosis Diabetes Mellitus
Penegakan diagnosis DM dapat dilihat atas dasar pemeriksaan kadar gula
darah. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Pada penderita DM dapat ditemukan
berbagai keluhan yang dapat menjadi pertimbangan jika dicurigai DM. Keluhan
klasik DM antara lain poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak jelas penyebabnya. Selain itu keluhan yang terjadi seperti badan lemah,
kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada laki-laki, serta pruritus
vulva pada wanita (PERKENI, 2015).
Tabel 2.3 Kriteria diagnosis DM (PERKENI, 2015).
Kriteria diagnosis DM dalam PERKENI 2015
Pemeriksaaan glukosa plasma puasa ≥126mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan
kalori minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes Tleransi Glukosa Orl (TTGO)
dengan beban 75 gram.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mgdl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode High-perfomance Liquid
Chromatography (HPLC) yang terstadarisasi oleh National Glycohaemoglobin
Standarization Program (NGSP)

Jika hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal ataupun DM, maka
digolongkan dalam kelompok prediabetes yaitu toleransi glukosa terganggu
(TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) (PERKENI, 2015).

 Glukosa darah puasa terganggu (TGPT) yaitu hasil pemeriksaan


glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO
glukosa plasma 2 jam <140mg/dl
 Toleransi glukosa terganggu (TGT) yaitu hasil pemeriksaan glukosa
plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma
puasa ,100 mg/dl.
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT.

17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18

 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasi


pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

2.2.5.2 Pengobatan Diabetes Mellitus


Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditunjukan unuk mencapai 2
target utama, yaitu:
1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal.
2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi
diabetes.
The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa
parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan
diabetes yaitu:
Parameter Kadar Ideal Yang Diharapkan
Kadar Glukosa Darah Puasa 80-120mg/dl
Kadar Glukosa Plasma Puasa 90-130mg/dl
Kadar Glukosa Darah Saat Tidur (Bedtime 100-140/mg/dl
blood glucose)
Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur 110-150mg/dl
(Bedtime plasma glucose)
Kadar Insulin <7%
Kadar HbA1c <7mg/dl
Kadar Kolesterol HDL >45mg/dl (pria)
Kadar Kolesterol HDL >55mg/dl (wanita)
Kadar Trigliserida <200mg/dl
Tekanan Darah <130/80mmHg
Tabel 2.4 : Target Penatalaksanaan Diabetes (American Diabetes Association, 2013)

Pada dasarnya dalam penatalaksanaan diabetes ada dua pendekatan,


pendekatan yang pertama tanpa obat dan pendekatan yang kedua adalah dengan
obat. Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olahraga. Apabila dengan
langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan
dengan terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi
keduanya.

18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19

Makanan sehat, kontrol berat badan, meningkatkan aktivitas fisik


Terapi awal Metformin
monoterapi
Efek ( HbA1c) Tinggi
Hipoglikemia Risiko Rendah
Berat badan Nertral/menurunkan
Efek samping GI/ asidosis laktat
Harga Murah
Jika target HbA1c tidak tercapai selama 3 bulan, lanjutkan ke kombinasi 2 obat

Metformin +
Metformin + Metformin + Metformin DPP- GLP-1 reseptor Metformin +
Kombinasi 2 obat sulfonilurea Tiazolidindion 4 inhibitor agonist insulin

Efek ( HbA1c) Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi


Hipoglikemia Risiko Risiko rendah Risiko rendah Risiko Risiko
moderate rendah rendah
Berat badan Meningkat Meningkat Netral Menurun Meningkatk
Efek samping major Hipoglikemia Edema, HF, Fx’s Jarang GI
Hipoglikemia
Harga Murah Mahal Mahal Mahal variasi
Jika target HbA1c tidak tercapai selama 3 bulan, lanjutkan ke kombinasi 2 obat

Kombinasi 3 obat
Metformin + Metformin + Metformin + Metformin + Metformin +
sulfonylurea Tizolidindion DPP-4- GLP-1 Insulin
+ + inhibitor receptor +
TZD SU + Agonist TZD
Atau DPP-4-i Atau DPP-4-i SU + Atau DPP-4-i
Atau GLP-1- Atau GLP-1- Atau TZD SU Atau GLP-1-
RA RA Atau Insulin Atau TZD RA
Atau Insulin Atau Insulin Atau Insulin

strategi Jika terapi kombinasi insulin basal tidak dapat mencapai target
insulin HbA1c selam 3-6 bulan maka kombinasi ditambahkan dengan dua
kompleks obat antihiperglikemik non insulin.
Insulin (dosis harian)

Gambar 2.4 : Algoritma Penatalaksanaan DM tipe 2


(American Diabetes Association, 2014)

19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20

2.2.5.2.1 Terapi Farmakologi (Soegondo, dkk.,2005)


Sampai tahun 1995 hanya 2 pilihan untuk pengobatan farmakologis yang
tersedia untuk pasien DM, sulfonilurea (untuk DM tipe 2 saja). Namun, saat ini
telah ada lima kelas terapi obat oral DM tipe 2 yang telah disetujui: α-glukosidase
inhibitor, biguanid, meglitinid, tiazolidindion atau glitazon, dan sulfonylurea.
Obat antidiabetes oral diindikasikan untuk pasien DM tipe 2 yang tidak dapat
mencapai target glikemik meskipun telah melakukan diet dan olahraga.
1. Insulin
a. Farmakologi
Insulin merupakan hormon anabolik dan antikatabolik, yang berperan
utama pada protein, karbohidrat, dan metabolisme. Insulin endogen
diproduksi dari proinsulin peptida pada sel β.
b. Karakteristik
Insulin biasanya dikategorikan berdasarkan sumbernya, kekuatan, onset
dan durasi kerja. Selain itu insulin memiliki asam amino dalam molekul
insulin termodifikasi. Sediaan insulin biasanya U-100 dan U-500, 100
unit/mL dan 500 unit/mL.
c. Farmakokinetik
Kinetik injeksi subkutan tergantung pada onset, puncak, dan durasi kerja.
Penambahan protamin NPH, NPL, dan suspense protamin aspart) atau
kelebihan seng maka dapat menunda onset, puncak, dan durasi efek insulin.
Waktu paruh injeksi insulin reguler (IV) yaitu 9 menit. Sehingga wkatu
efektif untuk injeksi insulin (IV) lebih pendek. Insulin IV lebih murah
daripada insulin lainnya. Insulin terdegradasi di hati, otot, dan ginjal. Insulin
dimetabolisme dihati sekitar 20%-50%, sedangkan dimetabolisme di ginjal
sekitar 25%-20%. Sehingga tidak dianjurkan untuk pasien menggunakan
insulin jika terdapat penyakit ginjal stadium akhir.
d. Komplikasi mikrovaskular
Insulin telah terbukti sebagai agen oral untuk mengobati DM.
Penelitian di Amerika telah membuktikan bahwa efikasi antara insulin dan
sulfonilurea menunjukkan efikasi yang sama dalam penurunan
mikrovaskular.

20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21

e. Komplikasi makrovaskular
Hubungan antara masalah tingginya kadar insulin (hiperinsulinemia),
resistensi insulin, dan kardiovaskular sehingga dapat dipercayai bahwa terapi
insulin dapat menyebabkan komplikasi makrovaskular. Namun UKPDS dan
DCCT tidak menemukan hubungan antara komplikasi makrovaskular dengan
terapi insulin.
f. Efek samping
Secara umum efek samping insulin yaitu hipoglikemia dan kenaikan
berat badan. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada pasien yang instensif
melakukan terapi, dan lebih sering terjadi pada pasien DM tipe 1 daripada
tipe2. Sehingga pemantauan kadar glukosa darah sangat penting dilakukaan
pada pasien yang menggunakan terapi insulin. Jika pasien telah mengalami
hipoglikemia yang berat maka akan terjadi takikardia dan berkeringat).
g. Dosis dan cara pemberian
Pada pasien DM tipe 1, dosis seharinya 0,5-0,6 unit/kg. Selama
penyakit akut atau ketosis resistensi insulin maka dapat diberikan dosis yang
lebih tinggi. Dosis diberikan tergantung dengan keadaan patologi pasien.
2. Golongan sulfonilurea
a. Farmakologi
Mekanisme utama dari sulfonilurea yaitu meningkatkan sekresi
insulin. Hal ini dengan cara mengikat sulfonilurea ke reseptor spesifik
sulfonilurea pada sel β pankreas. Sekresi insulin melalui vena portal
kemudian menekan produksi glukosa hepatik.
b. Klasifikasi
Sulfonilurea diklasifikasikan menjadi dua generasi. Generasi pertama
terdiri dari (asetoheksamid, klorpropamid, tolazamid, dan tolbutamid),
generasi kedua (glimepirid, glipizid, dan gliburid).
c. Farmakokinetik
Golongan sulfonilurea semua dimetabolisme di hati. Enzim CYP 450
terlibat dalam metabolisme sulfonilurea di hati. Lalu metabolit yang tidak
aktif akan diekskresikan melalui ginjal sehingga pada obat golongan ini perlu

21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22

perlu penyesuaian dosis dan berhati-hati pada pasien yang mengalami


gangguan ginjal.
d. Komplikasi mikrovaskular
Sulfonilurea dapat mengurangi komplikasi mikrovaskular pada pasien
DM tipe 2.
e. Efek samping
Efek samping yang paling umum adalah hipoglikemia. Semakin
rendah FPG, maka semakin tinggi potensi hipoglikemia. Orang-orang yang
melewatkan makan, berolahraga dalam beban yang berat makan lebih
mungkin mengalami hipoglikemia. Faktor rsiko mengalami hipoglikemia
yaitu usia >60 tahun, jenis kelamin perempuan, dan digunakan bersamaan
dengan diuretik tiazid. Efek samping lainnya pada golongan ini yaitu ruam
kulit, anemia hemolitik, gangguan pencernaan, dan kolestasis.
f. Dosis dan cara pemberian
Untuk dosis pasien usia lanjut dan pasien gangguan ginjal atau hati,
dapat dilakukan penurunan dosis. Dosis dosis harus dititrasi setiap 1 sampai 2
minggu untuk mencapai target glikemik. Pada obat immediate release
memiliki dosis maksimal glipizid yaitu 40mg/hari, dosis efektif maksimal 10-
15 mg/hari. Yang termasuk obat golongan ini sebagai berikut :
(Soegondo,dkk., 2005).
 Khlorpropamid
Seluruhnya dieksresi melalui ginjal sehingga tidak dipakai pada
gangguan faal ginjal dan oleh karena lama kerjanya lebih dari 24
jam, diberikan sebagai dosis tunggal, tidak dianjurkan untuk pasin
geriatri.
 Glibenklamid
Mempunyai efek hipoglikemik yang poten, sehingga pasien perlu
diingatkan untuk melakukan jadwal makan yang ketat. Dikatakan
mempunyai efek terhadap agregasi trombosit. Dalam batas-batas
tertentu masih dapat diberikan pada beberapa kelainan fungsi hati
dan ginjal yang ringan.

22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23

 Glikazid
Mempunyai efek hipoglikemik yang sedang sehingga tidak begitu
sering menyebabkan hipoglikemia mempunyai efek antiagregasi
trombosit yang lebih poten. Dapat diberikan pada gangguan fungsi
hati dan ginjal yang ringan.
 Glikuidon
Mempunyai efek hipoglikemik yang sedang dan juga jarang
menyebabkan hipoglikemia. Karena hampir seutuhnya di eksresi
melalui empedu dan usus, dapat diberikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal dan hati yang lebih berat.
 Glipizid
Mempunyai efek yang lebih lama dari glibenklamid tetapi lebih
pendek dari khlorpropamid dan mempunyai efek menekan
produksi glukosa hati dan meningkatkan jumlah reseptor.
 Glimepirid
Mempunyai waktu mulai kerja yang pendek dan waktu kerja yang
lama, dengan cara pemberian dosis tunggal. Efek
farmakodinamiknya adalah mensekresi sedikit insulin dan
kemungkinan adanya aksi dari ekstra pankreas. Untuk pasien yang
berisiko tinggi yaitu usia lanjut, gangguan ginjal atau yang
melakukan aktivitas berat dapat diberikan obat ini. Dibandingkan
dengan glibenklamid, glimepirid lebih jarang menimbulkan efek
hipoglikemik pada awal pengobatan.

3. Golongan biguanid
a. Farmakologi
Metformin merupakan satu-satunya sediaan yang ada di Amerika
Serikat. Metformin telah digunakan secara klinis selama 45 tahun, dan telah
disetujui sejak 1995 tahun. Metformin dapat meningkatkan sensitivitas
insulin pada jaringan perifer. Metformin tidak memiliki efek langsung pada
sel β, meskipun kadar insulin berkurang, mencerminkan peningkatan pada
sesitivitas insulin.

23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24

b. Farmakokinetik
Metformin memiliki bioavailabilitas oral 50% sampai 60%, kelarutan
lipid yang rendah, dan volume distribusi yang tinggi. Metformin tidak
dimetabolisme dan tidak mengikat protein di plasma. Metformin dieliminasi
di ginjal. Metformin memiliki waktu paruh 6 jam, namun memiliki efek >
24jam.
c. Komplikasi mikrovaskular
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan yang terlihat antara terapi
dengan mengurang komplikasi mikrovaskular.
d. Komplikasi makrovaskular
Menurut UKPDS bahwa metformin dapat mengurangi komplikasi
makrovaskular. metformin secara signifikan dapat mengurangi semua
penyebab kematian dan risiko stroke. Metformin telah terbukti dapat
mengurangi risiko kematian total dan kematian kardiovaskular.
e. Efek samping
Metformin memiliki efek samping pada gastrointestinal (ketidak
nyamanan perut, sakit perut, dan diare) serta dapat terjadi anoreksia sehingga
dapat menyebabkan kehilangan berat badan. Efek samping ini dapat di atasi
dengan titrasi yang lambat. Efek samping pada gastrointestinal juga bersifat
sementara. Pasien lanjut yang mengalami penurunan massa otot dan laju
filtrasi glomerulus kurang dari 70 sampai 80 mL/menit, sehingga sebaiknya
metformin tidak diberikan.
f. Dosis dan cara pemberian

Metformin immediate release memiliki dosis sehari-hari sebesar 500


mg/hari bersamaan dengan makanan untuk meminimalkan efek samping pada
gastrointestinal. Metformin dapat ditingkatkan 500 mg sampai 200 mg/hari
hingga mencapai tujuan glikemik. Metformin dapat digunakan sebesar 850
mg, kemudian dapat ditingkatkan setiap 1 sampai 2 minggu dan untuk dosis
maksimal 850 mg tiga kali sehari (2250mg/hari). Untuk metformin extend
release dapat dimulai dari dosis 500mg/hari bersamaan dengan makan malam
dan di titrasi setiap minggu. Sediaan ini dapat meminimalkan efek samping
pada gastrointestinal dan meningkatkan kontrol glikemik.

24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25

4. Golongan tiazolidindion
a. Farmakologi
Tiazolidindion juga disebut sebagai TZDs atau glitazon. Pioglitazone
dan rosiglitazone telah disetujui untuk pengobatan DM tipe2. Tiazolidindion
dapat meningkatkan sensitivitas insulin di otot, hati, dan jaringan lemak
secara tidak langsung. Tiazolidindion dapat menyebabkan preadiposit untuk
berdiferensiasi menjadi sel-sel lemak pada subkutan.
b. Farmakokinetik
Pioglitazon dan rosiglitazon dapat diserap dengan baik dengan atau
tanpa makanan. Keduanya (> 99%) berikatan dengan protein albumin.
Pioglitazon terutama dimetabolisme oleh CYP2C8. Rosiglitazon
dimetabolisme oleh CYP2C8. Waktu paruh pioglitazon dan rosiglitazon yaitu
masing-masing 3-7 jam dan 3-4 jam. Kedua obat tersebut memiliki durasi
antihiperglikemik lebih dari 24 jam.
c. Komplikasi mikrovaskular
Tiazolidindion dapat mengurangi Hba1c, dan mempunyai hubungan
pada risiko komplikasi mikrovaskular.
d. Komplikasi makrovaskular
Tiazolidindion dapat mengubah fungsi endothelium, mempengaruhi
HDL, dan penurunan tekanan darah.
e. Efek samping
Dapat menyebabkan hepatotoksisitas, dapat meningkatkan alanin
amino transferase (ALT), retensi cairan, dan anemia.
f. Dosis dan cara pemberian
Dosis yang dianjurkan dimulai dari pioglitazon15 mg/ hari sekali
sehari dan rosiglitazon 2-4 mg sekali sehari. Dosis dapat ditingkatkan
perlahan-lahan tergantung pada tujuan terapi dan efek samping. Dosis
maksimum piglitazon 45 mg, dan rosiglitazon 8 mg sekali sehari.
5. Golongan α-glukosidase inhibitor
a. Farmakologi

25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26

Saat ini, ada dua inhibitor α-glukosidase (akarbosa dan miglitol).


Inhibitor α-glukosidase kompetitif dapat menghambat enzim (maltase,
isomaltase, sukrase, dan glukoamilase) di usus kecil.
b. Farmakokinetik
Mekanisme kerja α-glukosidase inhibitor terbatas pada luminal usus.
Beberapa metabolit dari akarbosa diserap dan dieskresikan melalui ginjal,
sedangkan mayoritas miglitol diserap dan ekskresikan melalui ginjal tidak
berubah.
c. Komplikasi mikrovaskular
α-glukosidase inhibitor dapat mengurangi kadar Hba1c, dan terbukti
berhubungan pada risiko komplikasi mikrovaskular.
d. Komplikasi makrovaskular
Akarbosa terbukti dapat menurunkan gangguan toleransi glukosa
terhadap diabetes, serta mengurangi risiko kardiovaskular.
e. Efek samping
Efek samping pada gastrointestinal seperti perut kembung,
ketidaknyamanan perut, dan diare.
f. Dosis dan cara pemberian
Dosis untuk kedua obat (miglitol dan akarbosa) mirip. Memulai
dengan dosis yang sangat rendah (25 mg dengan satu kali makan satu hari),
dapat meningkatkan secara bertahap (selama beberapa bulan) untuk dosis
maksimum 50 mg tiga kali sehari utuk pasien ≤ 60 kg atau 100 mg tiga kali
sehari untuk pasien > 60kg. kedua inhibitor α-glukosidase harus bersamaan
dengan makanan. inhibitor α-glukosidase kontraindikasi pada pasien dengan
sindrom usus atau inflamasi usus, dan tidak harus diberikan pada pasien
dengan kreatinin serum > 2mg/dL.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat hipoglikemik
oral:
1) dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian
dinaikkan secara bertahap.

26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27

2) harus diketahui betul bagaiman cara kerja, lama kerja dan efek
samping obat-obat tersebut. Misalnya klorpropamid jangan
diberikan 3 kali 1 tablet, karena lama kerjanya 24 jam.
3) Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan
adanya interaksi obat.
4) Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral,
usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal, baru
beralih kepada insulin.
5) Usahakan agar harga obat terjangkau oleh orang dengan diabetes.
Adapun indikasi pemakaian obat hipoglikemik oral:
a. Diabetes sesudah umur 40 tahunDiabetes kurang dari 5
tahun.
b. Memerlukan insulin dengan dosis kurang dari 40 unit
sehari.
c. DM tipe 2, berat normal atau lebih (Soegondo, dkk.,2005).

2.2.5.2.2 Terapi Non Farmakologi


a. Latihan jasmani
Latihan jasmani bukan hanya dapat menjaga kebugaran tubuh namun
dapat juga menurunkan berat badan, mempermudah transpor glukosa kedalam sel
dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa. Rekomendasi latihan jasmani dilakukan secara teratur, 3-5 kali
perminggu selama sekitar 30-45 menit. Dianjurkan berupa latihan yang bersifat
aerobik dengan intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti jalan
cepat, bersepeda, atau berenang (PERKENI, 2015).

2.3 ROOT CAUSE ANALYSIS (RCA)


2.3.1 Definisi
Metode root cause analysis merupakan suatu analisis sistematis dari
semua faktor yang mempengaruhi atau memiliki potensi untuk mencegah suatu
kesalahan. Metode ini dapat diaplikasikan untuk mencegah Medication Error,
dimana merupakan suatu kejadian yang menempatkan pasien pada risiko
berbahaya (WHO, 2008).

27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28

RCA adalah suatu metode yang digunakan untuk menunjukkan sebuah


masalah atau ketidaksesuaian, agar mendapatkan akar penyebab dari suatu
masalah. RCA ini digunakan sehingga dapat mengoreksi atau mengeliminasi
penyebab suatu masalah, dan mencegahnya agar tidak terulang kembali (Quality
Management and Training, 2008).

2.3.2 Alat dan Teknik


Menurut Quality Management and Training (2008), terdapat beberapa alat
dan teknik yang digunakan untuk melakukan RCA, yang diantaranya:
a. 5-Mengapa (Gemba Gembutsu)
5-Mengapa kadang-kadang disebut sebagai Gemba Gembutsu, dimana
artinya adalah tempat dan informasi dalam bahasa Jepang. 5-Mengapa biasanya
mengacu pada praktik bertanya sebanyak 5 kali, mengapa kegagalan telah terjadi,
agar mendapatkan akar penyebab dari suatu masalah. 5-Mengapa digunakan untuk
menyelesaikan metode RCA yang sederhana.
b. Analisis Pareto
Analisis Pareto merupakan teknik mudah yang digunakan untuk membantu
memilih perubahan yang paling efektif. Analisis pareto merupakan teknik formal
untuk menemukan perubahan yang akan menghasilkan keuntungan yang besar.
Sebagai contoh, suatu produsen mungkin ingin menyusun mengapa konsumen
tidak lagi memilihnya sebagai supplier.
c. Diagram Tulang Ikan (Fishbone)
Diagram fishbone merupakan teknik yang sangat berguna untuk RCA
yang lebih kompleks. Tipe diagram ini mengidentifikasikan semua proses dan
faktor potensial yang berkontribusi pada suatu masalah.
d. Brainstorming atau Wawancara
Kebanyakan orang familiar dengan teknik brainstorming atau wawancara.
Kumpulkan semua ide sebanyak mungkin dari semua partisipan tanpa adanya
kritik atau penghakiman ketika partisipan menyampaikan idenya.
e. Analisis Proses, Pemetaan dan Flow Chart
Flowchart mengatur informasi tentang sebuah proses secara grafis
sehingga terlihat jelas dampak yang akan muncul dalam suatu proses.
f. Pohon Kesalahan (Fault Tree)

28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29

Metode ini merupakan teknik grafis yang menyediakan deskripsi sistemik


pada kombinasi kejadian yang mungkin dalam suatu sistem, yang dapat
mengakibatkan hasil yang tak diinginkan. Metode ini dapat mengombinasikan
kegagalan sistem dan manusia.
g. Lembar Pengecekan (Check Sheets)
Teknik ini sederhananya digunakan untuk mengumpulkan dan merekam
data. Data yang dihasilkan biasanya numerik, tetapi bisa juga digunakan untuk
tujuan lain, seperti membuat daftar pertanyaan audit dan merekam jawabannya.

29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30

BAB 3
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Instalasi Rawat Jalan salah satu


Rumah Sakit di Jakarta Utara

Apotek di salah satu Rumah


Sakit di Jakarta Utara

Resep Poli Penyakit Dalam

Resep Pasien DM tipe II Kriteria inklusi dan ekslusi

Medication Error

Prescribing Transcribing Dispensing

Tidak Terjadi Terjadi Tidak Terjadi Terjadi Tidak Terjadi Terjadi


Kesalahan Kesalahan Kesalahan Kesalahan Kesalahan Kesalahan

(Sumber: Susanti, 2013)

30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31

3.2 Definisi Operasional


Definisi operasional merupakan penjelasan semua variabel dan istilah
yang digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga akhirnya
mempermudah dalam mengartikan makna penelitian (Sastroasmoro & Ismael,
2010). Definisi operasional pada penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:

No. Variabel Definisi Operasional Cara ukur Ukuran


1. Instalasi Rawat Adalah tempat/poli pelayanan
Jalan salah satu kesehatan bagi pasien tanpa harus
Rumah Sakit di menginap di salah satu Rumah
Jakarta Utara Sakit di Jakarta Utara
2. Apotek di salah Adalah pelayan farmasi pasien di
satu Rumah salah satu Rumah Sakit di Jakarta
Sakit di Jakarta Utara
Utara
3. Resep poli Adalah resep yang berasal dari
penyakit dalam Poli Penyakit Dalam di salah satu
Rumah Sakit di Jakarta Utara
4. Resep pasien Adalah resep pasien dengan
penyakit DM penyakit DM tipe II dari Poli
tpe II Penyakit Dalam di salah satu
Rumah Sakit di Jakarta Utara
5. Medication Adalah kesalahan dalam Mengamati dan - Potensi ME; bila
error pelayanan resep yang dinilai pada mencatat tingkat resep tidak terisi
tahap prescribing dan trancribing kesalahan yang memenuhi syarat
terjadi pada tahap atau tidak terisi
prescribing,transc dengan lengkap di
ribing dan lembar formulir
Dispensing pada penelitian
lembar resep poli - Tidak potensi ME;
penyakit dalam di bila resep
salah satu Rumah memenuhi syarat
Sakit di Jakarta atau terisi dengan
Utara lengkap di lembar
formulir penelitian
6. Prescribing - Adalah tahapan penulisan resep Mengamati dan 1. Tidak Terjadi
obat. Yang akan dinilai pada mencatat tingkat Kesalahan :
tahap administrasi di depo kesalahan yang penulisan resep (13
farmasi. terjadi pada tahap item) resep terisi
- Kesalahan terjadi karena tidak prescribing penuh
terisi 13 item pada lembar resep lembar resep poli 2. Terjadi
yaitu : penyakit dalam di Kesalahan : tahap
 Tidak ada nomer rekam salah satu Rumah penulisan resep (13
medik, Sakit di Jakarta item) pada lembar
 Tidak jelas nama pasien Utara resep ada yang
 Tidak ada tanggal lahir tidak terisi
(usia)
 Tidak ada jenis kelamin
 Tidak ada tanggal resep
 Tidak ada nama dokter
penulis resep
 Tidak ada SIP dokter
 Tidak ada paraf dokter

31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32

 Tidak ada nama obat


 Tidak menuliskan satuan
dosis
 Tidak ada jumlah
pemberian obat
 Tidak ada aturan pakai
 Tidak ada bentuk Sediaan
(Susanti, 2013)
7. Transcribing - Adalah tahapan pembacaan Mengamati dan 1. Tidak Terjadi
resep obat. mencatat tingkat Kesalahan : tahapan
- Kesalahan terjadi karena tidak kesalahan yang pembacaan resep (9
terisi 10 item pada dokumen depo terjadi pada tahap item) terisi penuh
farmasi di salah satu Rumah Sakit Transcribing depo 2.Terjadi Kesalahan
di Jakarta Utara yaitu : farmasi poli : tahap pembacaan
 Tidak jelas nama pasien penyakit dalam di resep (9 item) ada
 Tidak jelas Nomor salah satu Rumah yang tidak terisi
rekamedik Sakit di Jakarta
 Tidak jelas usia pasien Utara
 Tidak jelas nama obat
 Tidak jelas dosis pemberian
 Tidak jelas durasi
pemberian
 Tidak jelas rute pemberian
 Tidak jelas bentuk sediaan
 Tidak jelas tanggal
permintaan resep
(Susanti, 2013)
8. Dispensing - Adalah proses menyiapkan dan Mengamati dan 1.Tidak Terjadi
menyerahkan obat kepada orang mencatat tingkat Kesalahan : tahapan
yang namanya tertulis pada resep. kesalahan yang pembacaan resep (6
- Kesalahan terjadi karena tidak terjadi pada tahap item) terisi penuh
terisi 8 item pada dokumen depo Dispensing depo 2.Terjadi Kesalahan
farmasi di rumah sakit yaitu : farmasi poli : tahap pembacaan
 Salah pengambilan obat penyakit dalam di resep (6 item) ada
(jenis/konsentrasi berbeda) salah satu Rumah yang tidak terisi
 Salah menghitung dosis Sakit di Jakarta
 Pemberian Obat diluar Utara
Intruksi
 Tempat penyimpanan tidak
tepat
 Obat kadaluarsa atau sudah
rusak
 Salah/tidak lengkap
menulis etiket
(Susanti, 2013)
9. Tidak Terjadi - Adalah resep yang tidak Mengamati dan Pada tahapan
Kesalahan memenuhi penulisan, pembacaan mencatat tingkat prescribing (15
dan penyiapan resep kesalahan yang item), transcribing
terjadi pada tahap (9 item), dan
Perscribing, dispensing (6 item)
Transcribing dan tidak ada yang terisi
Dispensing di di lembar form
salah satu Rumah penilaian
Sakit di Jakarta
Utara
10. Terjadi - Adalah resep yang tidak Mengamati dan Pada tahapan

32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33

Kesalahan memenuhi penulisan, pembacaan mencatat tingkat prescribing (15


dan penyiapan resep kesalahan yang item), transcribing
terjadi pada tahap (9 item), dan
Perscribing, dispensing (6 item)
Transcribing dan ada yang terisi di
Dispensing di lembar form
salah satu Rumah penilaian
Sakit di Jakarta
Utara

33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34

BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.1.1 Lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Rawat Jalan salah satu Rumah Sakit
di Jakarta Utara.

4.1.2 Waktu penelitian


Waktu penelitian dilaksanakan di mulai dari bulan Mei – Juni 2017.

4.2 Desain dan Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental. Desain yang
digunakan adalah Cross Sectional, yaitu pengumpulan data variable untuk
mendapatkan gambaran medication error pada fase prescribing, transcribing dan
dispensing pada pasien Diabetes Melitus tipe II sebagai variable terikat pada
periode waktu tertentu. Analisa dilakukan secara deskriptif, berarti data yang telah
didapatkan kemudian dideskripsikan secara objektif dengan memaparkan
fenomena yang terjadi dengan bantuan tabel atau gambar kemudian dilanjutkan
dengan cara kualitatif yang dibantu dengan diagram fishbone (tulang ikan).
Penelitian ini bersifat prospektif dengan melakukan evaluasi terhadap medication
error tahapan prescribing, transcribing, dan dispensing pada pasien penyakit
Diabetes Melitus tipe II di Instalasi Rawat Jalan salah satu Rumah Sakit di Jakarta
Utara bulan Mei – Juni 2017.

4.3 Populasi dan Sample


4.3.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah semua resep pasien DM tipe II yang
berkunjung ke Instalasi Rawat Jalan salah satu Rumah Sakit di Jakarta Utara pada
periode Januari hingga Juni 2017 yang berjumlah 2500 resep.

4.3.2 Sampel
Sampel yang digunakan adalah resep pasien penyakit DM tipe II dari
Instalasi Rawat Jalan yang menjalani perawatan selama penelitian dan yang
menebus obat di Apotek salah satu Rumah Sakit di Jakarta Utara. Dengan metode

34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35

pengambilan sampel secara random sampling, random sampling yaitu semua


pasien yang memenuhi kriteria yang diambil pada periode Mei-Juni 2017, dan
dianggap data telah mewakili seluruh populasi.

Terdapat 2.500 resep pasien Diabetes Melitus tipe II di Instalasi Rawat Jalan salah
satu Rumah Sakit Jakarta Utara pada rentang Januari hingga Juni 2017. Kemudian
dilakukan pengambilan data penelitian pada Mei – juni 2017 dengan cara
prospektif. Perhitungan jumlah minimal data yang harus diambil menggunakan
metode Slovin dengan Rumus :
n = N/1+(N(e2)) Keterangan :
= 2.500/1+(2.500(0,052)) - n : Jumlah Sampel
= 2.500/7,25 - N : Jumlah Populasi
= 344,8 resep. - e : Batas Toleransi Kesalahan

4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


4.4.1 Kriteria inklusi
1. Resep pada pasien DM tipe II
2. Resep pasien yang dirawat jalan
3. Resep yang dilayani

4.4.2 Kriteria ekslusi


1. Resep yang tidak dilayani

4.5 Prosedur Penelitian


Terdapat tiga tahapan penelitian yang dilakukan, yaitu tahap perencanaan,
pengumpulan data, dan pengolahan data.

4.5.1 Tahap perencanaan dan persiapan


Tahap perencanaan dimulai dengan penentuan masalah yang akan diteliti.
Di dalam penentuan masalah ditetapkan masalah yang akan diteliti, dalam hal ini
evaluasi medication error pada fase prescribing, transcribing, dan dispensing
pada pasien Diabetes Melitus tipe II. Tahap persiapan dimulai dengan membuat
dan menyerahkan surat permohonan izin pelaksanaan penelitian dari Fakultas

34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kepada salah
satu Rumah Sakit di Jakarta Utara.

4.5.2 Tahap pengumpulan data


Data yang dikumpulkan didapat dari Apotek salah satu Rumah Sakit di
Jakarta Utara pada bulan Mei – Juni 2017 dengan pengumpulan setiap senin-
jumat. Data dikumpulkan dan dicatat dengan dilakukan pengamatan mengenai
kelengkapan tahapan Prescribing, Transcribing, dan Dispensing dengan
penjabaran variabel penilaian sebagai berikut.

Tabel. 4.1 Penjabaran Variabel Penilaian Pada Prescribing, Transcribing, dan


Dispensing (Sumber: Susanti, 2013)
No. Tahapan Variabel Penilaian

1. Prescribing 1. Tidak ada nomer rekam medik,


2. Tidak ada nama pasien
3. Tidak ada tanggal lahir (usia pasien)
4. Tidak ada jenis kelamin pasien
5. Tidak ada tanggal resep
6. Tidak ada nama dokter penulis resep
7. Tidak ada SIP dokter
8. Tidak ada paraf dokter
9. Tidak ada nama obat
10. Tidak menuliskan satuan dosis
11. Tidak ada jumlah pemberian obat
12. Tidak ada aturan pakai
13. Tidak ada bentuk sediaan

2. Transcribing 1. Tidak jelas/lengkap nama pasien


2. Tidak jelas/lengkap nomor rekam medik
3. Tidak jelas/lengkap usia pasien
4. Tidak jelas/lengkap nama obat
5. Tidak jelas/lengkap dosis pemberian obat
6. Tidak jelas/lengkap aturan pakai
7. Tidak jelas/lengkap bentuk sediaan
8. Tidak jelas/lengkap tanggal permintaan resep

3. Dispensing 1. Salah pengambilan obat (konsentrasi berbeda)


2. Salah menghitung dosis
3. Pemberian obat diluar instruksi
4. Tempat penyimpanan tidak tepat
5. Obat kadaluarsa/sudah rusak
6. Salah /tidak lengkap menulis etiket

34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37

4.5.3 Tahap manajemen data

Manajemen data dilakukan dengan cara mentranskrip data medication


error pada fase prescribing, transcribing, dan dispensing melalui resep
menggunakan formulir penilaian kesalahan pengobatan/medication error dan
selanjutnya dikumpulkan ke dalam komputer.

4.6 Alat Pengumpulan Data


Alat yang dipakai dalam pengumpulan data ini adalah resep pasien penyakit
Diabetes Melitus tipe II dari Poli Penyakit Dalam Instalasi Rawat Jalan salah satu
Apotek Rumah Sakit di Jakarta Utara dan formulir penilaian kesalahan
pengobatan (medication error) yang dibantu dengan alat tulis dan alat-alat yang
digunakan untuk mendokumentasikan penelitian, seperti foto dan lain-lain. Data
yang dikumpulkan merupakan resep yang masuk pada bulan januari – juni 2017.

4.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data


Teknik Pengolahan data dilakukan sebagai berikut:
a. Editing
Proses pemeriksaan ulang kelengkapan data dan mengeluarkan data-
data yang tidak memenuhi kriteria agar dapat diolah dengan baik serta
memudahkan proses analisa. Kesalahan data dapat diperbaiki dan kekurangan
data di lengkapi dengan mengulang pengumpulan data atau dengan cara
penyisipan data (interpolasi)
b. Coding
Coding data merupakan kegiatan merekapitulasi data medication error
menjadi sebuah data yang berbentuk angka atau bilangan agar lebih mudah
diinterprestasikan. Data medication error yang telah berbentuk angka atau
bilangan tersebut selanjutnya dikelompokkan ke masing-masing tahap
prescribing, transcribing, dan dispensing.
c. Entry data
Entry data merupakan kegiatan memproses data yang telah
dikelompokkan sebelumnya. Rekapitulasi data medication error tersebut
selanjutnya diinput ke dalam komputer dengan menggunakan aplikasi

34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38

Microsoft Excel untuk melihat persentase medication error pada tahap


prescribing, transcribing, dan dispensing yang telah diamati.
d. Cleaning
Data yang sudah diinput diperiksa kembali untuk memastikan data
sudah bersih dari kesalahan dan siap untuk dianalisis.
e. Analisis Data
Analisis data kuantitatif dengan metode Root Cause Analysis (RCA)
menggunakan bantuan Diagram fishbone/Ishikawa. Diagram
fishbone/Ishikawa merupakan suatu alat visual utnuk mengindentifikasi,
mengeksplorasi, dan secara grafik menggambarkan secara detail semua
penyebab yang berhubungan dengan suatu permasalahan. Konsep dasar dari
Diagram fishbone/Ishikawa adalah permasalahan diletakkan pada bagian
kanan dari diagram atau pada bagian kepala dari kerangka tulang ikannya
(Scarvada, 2004).
Analisis data statistik yang akan dilakukan adalah analisis univariat.
Analisis univariat adalah analisis yang digunakan untuk melihat variabel yang
terlibat dalam penelitian (Notoatmojo, 2003).

34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39

BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 HASIL PENELITIAN


Penelitian prospektif ini dilakukan terhadap 345 resep pasien Diabetes
Melitus tipe II di Instalasi Rawat Jalan salah satu Rumah Sakit di Jakarta Utara
tahun 2017. Penelitian ini dilakukan pada 3 tahap Medication Error yaitu pada
tahap Prescribing, Transcribing, dan Dispensing.

5.1.1 Hasil Analisa Data


5.1.1.1 Data Medication Error pada Tahap Prescribing

Tabel. 5.1 Distribusi hasil penilaian Medication Error pada tahap Prescribing di Apotek
Instalasi Rawat Jalan salah satu Rumah sakit di Jakarta Utara Tahun 2017.
No PARAMETER PENELITIAN JUMLAH PERSEN
KEJADIAN (%)
1 Tidak ada paraf dokter 301 87,25
2 Tidak ada SIP dokter 290 84,06
3 Tidak ada bentuk sediaan 15 4,35
4 Tidak ada nomor rekam medik 14 4,06
5 Tidak ada jenis kelamin pasien 14 4,06
6 Tidak ada nama dokter penulis resep 9 2,61
7 Tidak ada satuan dosis 8 2,32
8 Tidak ada tanggal lahir (usia) pasien 7 2,03
9 Tidak ada tanggal resep 4 1,16
10 Tidak ada nama pasien 0 0
11 Tidak ada nama obat 0 0
12 Tidak ada jumlah pemberian obat 0 0
13 Tidak ada aturan pakai 0 0

Dari tabel diatas menunjukan bahwa medication error pada tahap


prescribing terdapat resep yang tidak ada paraf dokter sekitar 87%, di ikuti oleh
tidak ada SIP dokter sekitar 84%, tidak ada bentuk sediaan sekitar 4,3%,
sedangkan tidak ada nomor rekam medik dan tidak ada jenis kelamin pasien
masing – masing sekitar 4%.

39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40

5.1.1.2 Data Medication Error pada Tahap Transcribing

Tabel. 5.2 Distribusi hasil penilaian Medication Error pada tahap Transcribing di Apotek
Instalasi Rawat Jalan salah satu Rumah sakit di Jakarta Utara Tahun 2017.
No PARAMETER PENILAIAN JUMLAH PERSEN
KEJADIAN (%)
1 Tidak jelas/tidak lengkap bentuk sediaan 23 6,67
2 Tidak jelas/tidak lengkap aturan pakai 9 2,61
3 Tidak jelas/tidak lengkap usia pasien 3 0,87
4 Tidak jelas/tidak lengkap tanggal permintaan resep 2 0,58
5 Tidak jelas/tidak lengkap nama pasien 1 0,29
6 Tidak jelas/tidak lengkap nomor rekam medik 1 0,29
7 Tidak jelas/tidak lengkap nama obat 0 0
8 Tidak jelas/tidak lengkap dosis pemberian obat 0 0

Dari tabel diatas menunjukan bahwa medication error pada tahap


transcribing terdapat resep yang tidak jelas/tidak lengkap, yaitu bentuk sediaan
sekitar 6%, di ikuti aturan pakai sekitar 2%.

5.1.1.3 Data Medication Error pada Tahap Dispensing.

Tabel. 5.3 Distribusi hasil penilaian Medication Error pada tahap Dispensing di Apotek
Instalasi Rawat Jalan salah satu Rumah sakit di Jakarta Utara Tahun 2017.
No PARAMETERN PENILAIAN JUMLAH PERSEN
KEJADIAN (%)
1 Salah pengambilan obat (konsentrasi berbeda) 5 1,45
2 Salah/tidak lengkap menulis etiket 2 0,58
3 Salah menghitung dosis 0 0
4 Pemberian obat diluar instruksi 0 0
5 Tempat penyimpanan tidak tepat 0 0
6 Obat kadaluarsa/sudah rusak 0 0

Dari tabel diatas menunjukan bahwa medication error pada tahap


dispensing terdapat resep yang salah pengambilan obat (konsentrasi berbeda)
sekitar 1%.

40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41

5.1.1.4 Hasil Kejadian Medication Error dengan menggunakan diagram


Fishbone.

Gambar 5.1: Model Diagram fishbone pada fase prescribing, fase transcribing dan dispensing

Diagram fishbone diatas adalah salah satu metode untuk melakukan analisa.
Diagram ini sering disebut diagram sebab-akibat (Aamoko,2013). Semakin
mendekati kepala ikan (ke kanan) semakin tinggi presentase yang mengakibatkan
faktor tersebut contoh pada diagram diatas paraf dokter dan SIP dokter. Semakin
besar presentase tersebut, semakin mendekati medication error.

5.2 PEMBAHASAN PENELITIAN


5.2.1 Pembahasan Hasil Penelitian
Penelitian tentang evaluasi medication error pada tahap prescribing,
transcribing, dan dispensing ini dilakukan di apotek Instalasi Rawat Jalan salah
satu Rumah Sakit di Jakarta Utara terhadap pasien penyakit Diabetes Melitus tipe
II menggunakan lembar resep periode bulan Mei – Juni 2017, sampel yang
didapatkan selama pengamatan menggunakan teknik random sampling sebanyak

41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42

345 lembar resep. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terjadi medication
error pada tahap prescribing, transcribing, dan dispensing terhadap pasien
penyakit Diabetes Melitus tipe II.
Dari hasil penelitian yang dilakukan di apotek Instalasi Rawat Jalan salah
satu Rumah Sakit di Jakarta Utara, alur perjalanan resep dimulai dari pasien
bertemu dengan dokter. Kemudian dokter akan menentukan anamnesis, diagnosis,
serta terapi. Kemudian dokter akan mengetik resep elektronik. Pada tahap
prescribing ini kerap terjadi kesalahan. Kemudian resep elektronik dikirimkan
kepada petugas administrasi kefarmasian yang ada di apotek, pasien akan
menerima nomor antrian, resep elektronik dicetak lalu akan diterima oleh petugas
kefarmasian. Dan setelah itu petugas kefarmasian akan menyiapkan, pada proses
tersebut bisa terjadi kesalahan dalam tahap transcribing dan dispensing. Lalu,
obat diberikan kepada apoteker untuk di periksa kembali, agar memperkecil
kemungkinan terjadinya kesalahan pada tahap dispensing. Setelah diperiksa
kembali, obat diberikan ke pasien oleh apoteker. Kemudian resep tersebut di nilai
berdasarkan formulir medication error yang telah dibuat oleh peneliti. Pada
penelitian ini peneliti menilai 3 tahap pada medication error yaitu pada tahap
prescribing, transcribing, dan dispensing terhadap pasien penyakit Diabetes
Mellitus tipe II di Instalasi Rawat Jalan salah satu Rumah Sakit di Jakarta Utara.

5.2.1.1 Identifikasi Medication Error (kesalahan dalam pengobatan) pada


tahap Prescribing
Pada hasil penelitian yang dilakukan pada tahap prescribing terdapat 13
komponen yang dinilai. Berdasarkan tabel 5.1 diketahui hasil dari analisa
Medication error terhadap resep pasien penyakit Diabetes Mellitus tipe II dapat
diketahui hasil penilaian pada bulan Mei – Juni 2017 yaitu: tidak ada paraf dokter,
tidak ada SIP dokter, tidak ada bentuk sediaan, tidak ada nomor rekamedik, tidak
ada jenis kelamin, tidak ada nama dokter penulis resep, tidak ada satuan dosis,
tidak ada tanggal lahir atau usia, tidak ada tanggal resep.
Hasil ketidak lengkapan data pasien ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan Susanti (2013) yang mendapatkan hasil ketidak
lengkapan data pasien pada proses prescribing yaitu: tidak ada paraf dokter, tidak
ada SIP dokter, tidak ada bentuk sediaan, tidak ada nomor rekamedik, tidak ada

42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43

jenis kelamin, tidak ada nama dokter penulis resep, tidak ada satuan dosis, tidak
ada tanggal lahir atau usia, tidak ada tanggal resep. Selain itu hasil penelitian juga
sejalan dengan penelitian yang dilakukan dikota Yogyakarta yang menunjukkan
bahwa ketidaklengkapan resep disebabkan karena tidak adanya paraf, SIP dokter
dan tanggal penulisan resep (Rahmawati, 2002). Hal ini menggambarkan bahwa
medication error pada tahap prescribing sering ditemukan di Rumah Sakit. Pada
PERMENKES No. 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian,
ditegaskan bahwa persyaratan administrasi resep wajib mencantumkan nama
dokter, nomor SIP dokter, dan paraf dokter penulis resep.
Tidak ada nomor SIP dan paraf dokter disebabkan karena sebagian besar
pelayanan resep di salah satu Rumah Sakit di Jakarta Utara sudah menggunakan
elektronik. Dokter penulis resep sudah mempunyai akun serta password tersendiri
yang sudah tervalidasi oleh pihak RS, sehingga pada form resep elekronik tidak
tercantum SIP dan paraf dokter. Akan tetapi ada beberapa resep dokter yang
tergolong baru dan belum mempunyai akun resep elektronik. Selain itu, beberapa
resep manual juga tidak tercantum nomor SIP dan paraf dokter. Penulisan SIP
(Surat Izin Praktek) dokter dalam resep diperlukan untuk menjamin keamanan
pasien, bahwa dokter yang bersangkutan mempunyai hak dan dilindungi undang-
undang dalam memberikan pengobatan kepada pasien. Begitu juga dengan paraf
dokter. Paraf dokter dalam resep merupakan suatu bukti bahwa yang tertulis
dalam resep adalah benar sesuai dengan ilmu pengetahuan dan keahliannya dokter
yang menulis resep.
Tidak ada bentuk sediaan dan satuan dosis obat terjadi karena sebagian
dokter menganggap petugas kefarmasian sudah paham bentuk sediaan dan satuan
dosis obat yang sudah sering diresepkan. Kesalahan berupa tidak adanya bentuk
sediaan dan satuan dosis obat sangat merugikan pasien, karena pemilihan bentuk
sediaan dan satuan dosis disesuaikan dengan kondisi tubuh pasien. Pemberian
bentuk sediaan dan satuan dosis obat yang tidak tepat dapat mengakibatkan
kegagalan terapi pada saat penggunaan obat oleh pasien. Selanjutnya, tidak ada
nama dokter penulis resep dikarenakan dokter cenderung lupa menulis namanya
di form resep. Kesalahan ini hanya terjadi pada resep manual. Tercantumnya

43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44

nama dokter pada form resep sangat diperlukan pasien apabila terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan dalam pengobatannya.
Penulisan jumlah dan dosis obat harus ditulis dengan jelas agar terhindar
dari kesalahan pemberian jumlah dosis mengingat adanya obat-obat yang
memiliki dosis lebih dari satu, dimana dosis obat itu sendiri adalah jumlah atau
ukuran yang diharapkan dapat menghasilkan efek terapi pada fungsi tubuh yang
mengalami gangguan. Oleh karena itu, dosis sediaan harus ditulis dengan jelas
dan harus sesuai/tepat.
Data pasien dalam penulisan resep cukup penting, karena hal ini sangat
diperlukan dalam proses pelayanan peresepan karena dapat digunakan sebagai
pembeda ketika ada nama pasien yang sama, agar tidak terjadi kesalahan
pemberian obat pada pasien. Seperti contohnya umur dan nomor rekam medis
pasien sangatlah penting dan harus dicantumkan dalam resep. Bentuk keridak
lengkapan data pasien dalam resep yang diamati ini beragam, yaitu karena tidak
dituliskannya nama pasien, tanggal lahir atau umur pasien, alamat, nomor
rekamedis pasien, atau bahkan tidak dicantumkan keseluruhan.
Seperti data pasien yang tidak lengkap hal ini menyebabkan adanya
hambatan ketika resep tersebut akan diberikan kepada pasien. Tulisan tangan yang
tidak jelas, nama obat yang membingungkan dapat mengakibatkan kesalahan
pengambilan obat sehingga berakibat fatal bagi pasien bila sampai pada tahap
pemberian obat, karena yang diberikan tidak sesuai dengan penyakitnya.
Penulisan resep harus ditulis dengan benar dan jelas, jika resep tidak terbaca
dengan jelas akan berakibat fatal. Jika resep tidak terbaca dengan jelas, maka bisa
menimbulkan kesalahan pada tahap transcribing, yaitu kesalahan pada saat
penerjemahan nama obat, konsentrasi, dosis pemberian obat, durasi pemberian,
rute pemberian, bentuk sediaan, dan tanggal permintaan resep, jika pada tahap
transcribing telah terjadi kesalahan maka pada tahap Dispensing dan selanjutnya
juga akan menemukan kesalahan dalam melakukan pelayanan obat yakni pada
saat pengambilan obat (jenis/konsentrasi berbeda), salah menghitung dosis.
Dengan demikian kemungkinan terjadi Medication Error menjadi lebih besar.
Sehingga perlu dilakukan konfirmasi kepada dokter mengenai resep yang
dituliskan.

44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45

Untuk melakukan antisipasi kesalahan dalam peresepan obat maka


apoteker harus melakukan konfirmasi ulang mengenai penulisan resep yang tidak
lengkap dan jelas untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam pelayanan
kefarmasian.

5.2.1.2 Identifikasi Medication Error (kesalahan dalam pengobatan) pada


tahap Transcribing.
Pada tahap transcribing terdapat 8 komponen yang dinilai. Berdasarkan
tabel 5.2 diketahui hasil dari analisa terhadap resep pasien penyakit Diabetes
Melitus tipe II dapat diketahui hasil penilaian pada bulan Mei - Juni 2017 bahwa
kesalahan yang berpotensi menimbulkan Medication Error yaitu: tidak jelas/tidak
lengkap bentuk sediaan, tidak jelas/tidak lengkap aturan pakai, tidak jelas/tidak
lengkap usia pasien, tidak jelas/tidak lengkap tanggal permintaan resep, tidak
jelas/tidak lengkap nama pasien dan tidak jelas/tidak lengkap nomor rekamedik.
Hal ini sejalan dengan penelitian Bates (JAMA,1995) yang menunjukkan bahwa
peringkat paling tinggi kesalahan pengobatan (Medication error) setelah tahap
prescribing adalah transcribing.
Kesalahan pada fase trascribing ini karena seringnya ditemukan resep
manual, dengan tulisan dokter yang tidak jelas sehingga mengakibatkan resep sulit
terbaca dan dokter tidak secara lengkap menuliskan/mengetik aturan pakai pada
lembar resep karena dokter menganggap tenaga kesehatan farmasi sudah paham
aturan pakai obat yang akan diberikan kepada pasien. Tidak jelas/ tidak lengkap
bentuk sediaan dikarenakan bentuk sediaan obat yang diberikan merupakan obat
yang biasa digunakan seperti metformin, gluvas dan metrix. Sehingga perlu
diklarifikasi dengan dokter penulis resep yang tentunya hal ini juga sangat
mempengaruhi efektivitas waktu dalam pelayanan resep bagi pasien. Apabila
tidak dilakukan klarifikasi, maka dapat berdampak buruk dalam ketepatan
pemberian obat untuk pasien jika terjadi kesalahan dalam memberikan obat dan
dapat berakibat fatal.

45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46

5.2.1.3 Identifikasi Medication Error (kesalahan dalam pengobatan) pada


tahap Dispensing
Pada hasil penelitian yang dilakukan pada tahap dispensing terdapat 6
komponen yang dinilai. Berdasarkan tabel 5.3 diketahui hasil dari analisa
Medication error terhadap resep pasien penyakit Diabetes Melitus tipe II dapat
diketahui hasil penilaian pada bulan Mei – Juni 2017 yaitu: salah pengambilan
obat (konsentrasi berbeda) dan salah/tidak lengkap menulis etiket. Sedangkan
berdasarkan hasil penelitian kesalahan pada proses dispensing seperti kesalahan
menghitung dosis, pemberian obat diluar intruksi, tempat penyimpanan tidak
tepat, obat kadaluarsa atau sudah rusak, dan salah/tidak lengkap menulis etiket
tidak terjadi kesalahan, hal ini tidak sejalan dengan laporan Depkes 2008 bahwa
Medication error pada tahap dispensing yang menduduki kejadian tertinggi.
Kesalahan pada fase dispensing (salah pengambilan obat) ini disebabkan
karena obat memiliki bentuk dan nama yang serupa/ look-alike sound-alike
(LASA). Selain itu, banyaknya resep yang masuk ke apotek, sehingga
mengakibatkan tenaga kesehatan farmasi kesulitan untuk melakukan proses
pengambilan obat tersebut. Sedangkan salah atau tidak lengkap menulis etiket, ini
disebabkan karena etiket yang di tulis tidak lengkap sehingga dapat berpotensi
menimbulkan medication error. Dari data di atas, maka dapat diketahui bahwa
tingkat Medication Error masih kerap terjadi dalam praktek sehari-hari di
Instalasi rawat jalan salah satu Rumah Sakit Jakarta Utara.
Hasil pengamatan pada penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
informasi kepada dokter dan farmasis di salah satu Rumah Sakit di Jakarta Utara
mengenai penulisan resep yang tidak sesuai dengan PERMENKES RI No. 35
tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek, Berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 menjelaskan bahwa
Rumah Sakit wajib melaksanakan standar keselamatan pasien.

46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa pelayanan resep
pada tahap prescribing, transcribing dan dispensing pada pasien Diabetes Mellitus
tipe II di Instalasi Rawat Jalan salah satu Rumah Sakit di Jakarta Utara adalah :
1) Pada prescribing meliputi: tidak ada paraf dokter sekitar 87%, dikuti oleh
tidak ada SIP dokter sekitar 84%, tidak ada bentuk sediaan sekitar 4,3%,
sedangkan tidak ada nomor rekam medik dan tidak ada jenis kelamin
pasien masing – masing sekitar 4%.
2) Pada transcribing meliputi: tidak jelas/tidak lengkap bentuk sediaan 6,6%,
diikuti oleh tidak jelas/tidak lengkap aturan pakai 2,6%, tidak jelas/tidak
lengkap usia pasien 0,87%, tidak jelas/tidak lengkap tanggal permintaan
resep 0,29%.
3) Pada dispensing meliputi: salah pengambilan obat (konsentrasi berbeda)
sebanyak 1,45%, ikuti salah/tidak lengkap menulis etiket 0,58%.

6.2 SARAN
1. Setelah melihat kesimpulan diatas dapat diketahui upaya – upaya untuk
memperbaiki tingkat medication error pada tahap prescribing, transcribing
dan dispensing pada pasien Diabetes Mellitus tipe II di Instalasi Rawat Jalan
salah satu Rumah Sakit di Jakarta Utara yaitu:
a. Dilakukan edukasi secara bertahap mengenai keselamatan pasien dan
penerapan pelayanan kefarmasian kepada seluruh tenaga medis di
Instalasi Rawat Jalan salah satu Rumah Sakit di Jakarta Utara
b. Dilakukan penambahan personil petugas apotek.
2. Kepada dokter, farmasi maupun tenaga kesehatan lainnya diharapkan untuk
memperhatikan hal-hal yang berpotensi menimbulkan medication error.
3. Kepada peneliti selanjutnya agar dilakukan lebih lanjut mengenai medication
error hingga sampai pada tahap penilaian potensial cedera pada pasien
Diabetes Mellitus tipe II.

47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48

DAFTAR PUSTAKA

Academy of Managed Care Pharmacy. (2010). Medication Errors.


http://www.amcp.org/WorkArea/DownloadAsset.aspx?id=9300. diakses
pada tanggal 4 November 2016 pukul 01.25 WIB.
American Diabetes Asoociation. 2014. Standards of Medical Care In Diabetes
2014, Vol 37 (suppl 1) . American Diabetes Asoociation. Hal. 27.
American Diabetes Association. Diagnosis and classification of diabetes mellitus.
Diabetes Care. 2013 Jan; 36(suppl 1):S67-S74.

American Society of Health-System Pharmacists. (2016). ASHP Guidelines on


Preventing Medication Errors in Hospitals. http://www.ashp.org. diakses
pada tanggal 4 November 2016 pukul 01.23 WIB.

Anonim. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan RI, Nomor 58 Tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Menteri Kesehatan RI.

Australian Commission on Safety and Quality in Health Care. (2010). Patient


Safety in Primary Health Care. http://www.safetyandquality.gov.au.
diakses pada tanggal 4 November 2016 pukul 20.46 WIB.

Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan


RI.(2013). Riset kesehatan dasar (Riskesdas).

Barrett K, Barman SM, Boitano S, Brooks HL. (2010) Ganong’s review of


medical physiology 23rd ed. United states of America: The mcGraw-Hill
companies.

Departemen kesehatan RI. (2008) Tanggung jawab apoteker terhadap keselamatan


pasien (patient safety).

DepKes. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Jakarta: Depkes RI.

48 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


49

Gunardi AD. (2015). Penerapan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) untuk
Mendeteksi Prescription Error pada Resep Poli Jantung di Instalasi Rawat
Jalan RSUP Fatmawati. Skripsi Sarjana Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Guyton AC, Hall JE. Guyton and Hall. (2011) Textbook of Medical Physiology
12th ed. Philadelpia: Saunders Elsevier.

Hartel MJ, Staub LP, Roder C, Eggli S. (199). High incidence of medication
documentation errors in a swiss university hospital due to the handwritten
prescription process. BMC health services research 2011;11:1-6

International Federation of Diabetes. (2013) IDF Diabetes Atlas 6th Ed.

Kharroubi AT, Darwish HM. 2015. Diabetes mellitus: The epidemic of the
century. World J Diabetes. June 25; 6(6): 850-67.

Kunac DL, Tatley MV, Seddon ME. (2014). A new web-based medication error
reporting programme (MERP) to supplement pharmacovigilance in New
Zealand: findings from a pilot study in primary care. Journal of the New
Zealand Medical Association. Aug;127(1401):69-81

Lisby M, Nielsen LP, Mainz J. (2005).Errors in the medication process:


frequency, type, and potential. International journal for quality in health
care;17(1):15-22.

Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson. (2014). Ilmu
Kesehatan Anak Esensial ed ke 6. Singapora: Saunders Elsevier.

Meek CL, Lewis HB, Patient C, Murphy HR, Simmons D.(2015). Diagnosis of
gestational diabetes mellitus: Falling through the net. Article of
Diabetologia.

Mihardja L, Soetrisno U, Soegondo S. (2014). Prevalence and clinical profile of


diabetes mellitus in productive aged urban Indonesians. J Diabetes Invest.

49 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


50

National Coordinating Council for Medication Error Reporting and Prevention.


(2016). About Medication Errors. http://www.nccmerp.org/about-
medication-errors. diakses pada tanggal 3 November 2016 pukul 23.50
WIB

Nur, Apriliana. (2016). Studi Prospektif Dampak Intervensi Sosialilasi Terhadap


Kejadian Nyaris Cedera Pelayanan Kefarmasian di Apotek Rawat Jalan
Rumkital Dr. Mintohardjo periode April - Mei 2016. Tangerang Selatan:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PerMenKes) No.58.2014.


Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit Jakarta : Menteri
Kesehatan Republik Indonesia.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI).(2015) Konsensus
pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.

Ramachandran A, Snehalatha C, Shetty AS, Nanditha A. (2012) Trends in


prevalence of diabetes in Asian countries. World J Diabetes. June 15; 3(6):
110-17

Rahmawati, fita & oetari, R.A. 2002. kajian penulisan resep: tinjauan aspek
legalitas dan kelengkapan resep di apotek-apotek kotamadya
yogyakarta : majalah farmasi indonesia 13(2)

Sekhar, Sonal et al.2011. Study on dispensing errors of inpatient prescriptions in a


tertiary care hospital. Der Pharmacia Sinica p :14-18

Siregar, charles J.P. 2006. farmasi klinik teori dan penerapan. jakarta:EGC

Siregar, Carles Jp.2003.Farmasi Rumah Sakit Teori Dan Penerapan.Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam ed ke-5; Diabetes Melitus di Indonesia. Jakarta: Interna
Publishing. 2010;h1873-929

50 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


51

Sugiyama T. Management of Gestational Diabetes Mellitus.(2011). Japan Medical


Association Journal.

Susanti I. (2013). Identifikasi Medication Erorr pada Fase Prescribing,


Transcribing, dan Dispensing di Depo Farmasi Rawat Inap Penyakit
Dalam Gedung Teratai Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati. Skripsi
Sarjana Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Silverthorn DU.(2010). Human physiology an integrated approach 5th ed. San


Francisco: Pearson education.

51 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


52

Lampiran 1. Lembar kerja pengamatan

Tanggal :
Nama Pasien :
Nomer Rekam Medik :

TERJADI
TAHAP
(√)
NO MEDICATION PARAMETER YANG DINILAI
/TIDAK
ERROR
(-)
Tidak ada nomer rekam medik
Tidak ada nama pasien
Tidak ada tanggal lahir (usia)
Tidak ada jenis kelamin
Tidak ada tanggal resep
Tidak ada nama dokter penulis resep
1 Prescribing Error Tidak ada SIP dokter
Tidak ada paraf dokter
Tidak ada nama obat
Tidak ada satuan dosis
Tidak ada jumlah pemberian obat
Tidak ada aturan pakai
Tidak ada bentuk sediaan

Tidak jelas/lengkap nama pasien


Tidak jelas/lengkap nomor rekam medik
Tidak jelas/lengkap usia pasien
Tidak jelas/lengkap nama obat
2 Transribing Error
Tidak jelas/lengkap dosis pemberian obat
Tidak jelas/lengkap durasi pemberian obat
Tidak jelas/lengkap bentuk sediaan
Tidak jelas/lengkap tanggal permintaan resep

Salah pengambilan obat (konsentrasi berbeda)


Salah menghitung dosis
Pemberian obat diluar instruksi
3 Dispensing Error
Tempat penyimpanan tidak tepat
Obat kadaluarsa/sudah rusak
Tidak ada/lengkap menulis etiket

52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53

Lampiran 2. Contoh Resep

53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54

Lampiran 3. Contoh dispensing obat

1. Pengambilan obat pada tempat raknya

2. Mencocokan obat dengan resep

3. Masukan obat ke dalam plastik clip dan pemberian etiket

54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55

Lampiran 4. Gambar rak obat

Obat Generik

Obat Paten

55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56

Lampiran 5. Alur Perjalanan Resep pada Salah Satu Rumah Sakit di


Jakarta Utara

Pasien bertemu dengan dokter


Parameter yang dinilai

 Tidak ada paraf dokter


 Tidak ada SIP dokter
Dokter menentukan anamnesis,
 Tidak ada bentuk sediaan
diagnosis, serta terapi
 Tidak ada nomor rekam medik
 Tidak ada jenis kelamin
pasien
Parameter yang dinilai Dokter menulis resep (prescribing)  Tidak ada nama dokter penulis
resep
 Tidak jelas/tidak lengkap  Tidak ada satuan dosis
bentuk sediaan  Tidak ada tanggal lahir (usia)
 Tidak jelas/tidak lengkap Pasien meyerahkan resep pada petugas pasien
aturan pakai kefarmasian  Tidak ada tanggal resep
 Tidak jelas/tidak lengkap usia  Tidak ada nama pasien
pasien  Tidak ada nama obat
 Tidak jelas/tidak lengkap  Tidak ada jumlah pemberian
Petugas kefarmasian atau Apoteker
tanggal permintaan resep membaca resep dokter (transcribing) obat
 Tidak jelas/tidak lengkap  Tidak ada aturan pakai
nama pasien
 Tidak jelas/tidak lengkap
nomor rekam medik Petugas kefarmasian atau Apoteker
Parameter yang dinilai
 Tidak jelas/tidak lengkap menyiapkan obat untuk pasien
nama obat (dispensing)
 Salah pengambilan obat
 Tidak jelas/tidak lengkap (konsentrasi berbeda)
dosis pemberian obat  Salah/tidak lengkap menulis
Apoteker melakukan pengecekan etiket
kembali resep  Salah menghitung dosis
 Pemberian obat diluar
instruksi
 Tempat penyimpanan tidak
Apoteker memberikan obat kepada tepat
pasien  Obat kadaluarsa/sudah rusak

56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57

Lampiran 6. Surat Izin Penelitian

57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai