SKRIPSI
OLEH:
SYAFRIDA
NIM 151524107
1
Universitas Sumatera Utara
DRUG RELATED PROBLEMS PADA TERAPI PENDERITA
GAGAL JANTUNG KONGESTIF DI RSUD
DR. PIRNGADI MEDAN
SKRIPSI
OLEH:
SYAFRIDA
NIM 151524107
2
Universitas Sumatera Utara
Medan, Januari 2018
Fakultas Farmasi
Sumatera Utara
Dekan,
3
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan
judul “Drug Related Problems pada Terapi Penderita Gagal Jantung Kongestif di
RSUD Dr. Pirngadi Medan”. Bahan seminar berupa hasil penelitian ini disusun
agar dapat melanjutkan sidang meja hijau serta untuk melengkapi tugas-tugas dan
tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik langsung maupun
tidak langsung. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku
Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dra. Azizah
Nasution, M.Sc., Ph.D., Apt., dan Ibu Dr. Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt.,
selaku dosen pembimbing, Bapak Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt., dan
Ibu Yuandani, S.Farm., M.Si., Ph.D., Apt., sebagai dosen penguji yang telah
serta saran dengan penuh perhatian dan kesabaran hingga saya dapat
Bagus Sumantri, S.Farm., M.Si., Apt., selaku dosen penasehat akademik yang
iv
4
Universitas Sumatera Utara
sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
kelemahan dalam penulisan hasil penelitian ini. Oleh karena itu, dengan segala
yang membangun demi penyempurnaan tulisan ini. Akhir kata penulis berharap
Syafrida
NIM 151524107
v5
Universitas Sumatera Utara
SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini ditulis berdasarkan data dari hasil
pekerjaan yang saya lakukan sendiri, dan belum pernah diajukan oleh orang lain
untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Perguruan Tinggi lain, dan bukan plagiat
karena kutipan yang ditulis telah disebutkan sumbernya di dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari ada pengaduan dari pihak lain karena didalam
skripsi ini ditemukan plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia
menerima sanksi apapun oleh Program Studi Farmasi Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara, dan bukan menjadi tanggung jawab pembimbing.
Demikianlah surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya untuk
dapat digunakan jika diperlukan sebagaimana mestinya.
Syafrida
NIM 151524107
vi
6
Universitas Sumatera Utara
DRUG RELATED PROBLEMS PADA TERAPI PENDERITA GAGAL
JANTUNG KONGESTIF DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN
ABSTRAK
vii
7
Universitas Sumatera Utara
DRUG RELATED PROBLEMS IN MANAGEMENT PATIENTS WITH
CONGESTIVE HEART FAILURE IN DR. PIRNGADI
HOSPITAL MEDAN
ABSTRACT
viii
8
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ....................................................................................................... i
HALAMAN JUDUL................................................................................... ii
ix
9
Universitas Sumatera Utara
2.5 Patofisiologi ............................................................................. 10
x
10
Universitas Sumatera Utara
3.3 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ................................ 27
xi
11
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN ............................................................................................... 51
xii
12
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.7 Jenis – Jenis DRPs dan Penyebab yang Mungkin Terjadi ......... 22
xiii
13
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
xiv
14
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
xv
15
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
setiap saat, baik saat istirahat maupun saat bekerja (Sitompul dan Sugeng, 2004).
kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel tubuh akan
nutrisi dan oksigen secara adekuat. Gagal jantung kongestif dapat disebabkan
oleh overload volume, tekanan dan disfungsi miokard, gangguan pengisian, atau
seluruh dunia (Goodman dan Gilman, 2011). Penyebab kematian nomor satu
penyakit yang disebabkan gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah seperti
penyakit jantung koroner, penyakit gagal jantung atau payah jantung, hipertensi
dan stroke. Pada tahun 2008 diperkirakan sebanyak 17,3 juta kematian
terjadi sebelum usia 60 tahun dan seharusnya dapat dicegah. Kematian dini yang
penyakit jantung koroner dan stroke diperkirakan akan terus meningkat mencapai
1
Universitas Sumatera Utara
Prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,13%
gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan sekitar 530.068 orang (Kemenkes RI,
untuk yang didiagnosis dan (0,3%) untuk prevalensi gejala. Penyakit gagal
jantung meningkat seiring dengan bertambanya umur, tertinggi pada umur 65-74
tahun (0,49%) untuk yang didiagnosis, menurun sedikit pada umur ≥75 tahun
(0,4%) tetapi untuk gejala tertinggi pada umur ≥75 tahun (1,1%) (Riskesdas,
2013). Prevalensi faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah, seperti
berat badan lebih dan obesitas, diabetes melitus, sering makan makanan asin,
sering makan makanan berlemak, kurang sayur buah, kurang aktivitas fisik,
lain sehingga membutuhkan berbagai macam obat dalam terapinya (Yasin, et al.,
2005). Pasien gagal jantung kongestif pada umumnya harus diberikan sedikitnya
empat jenis pengobatan yakni ACE inhibitor, diuretik, betabloker, dan digoksin.
dari pengalaman pasien atau diduga akibat adanya terapi obat sehingga potensial
2
Universitas Sumatera Utara
mengganggu keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki (Cipolle, et al., 1998).
Kategori DRPs meliputi beberapa kriteria, yaitu indikasi tanpa obat, obat tanpa
indikasi, obat tidak tepat, dosis obat kurang, dosis obat berlebih, reaksi obat
morbiditas, mortalitas, dan biaya terapi obat. Hal ini akan sangat membantu
pada 9399 pasien reguler (tidak hanya pasien yang lebih tua) dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa lebih dari 1400 pasien mengalami lebih dari satu kategori
dilakukan pada salah satu unit perawatan umum menemukan 8,8% kejadian
DRPs pada 93% pasien darurat. Berdasarkan catatan sejarah di Amerika pada
tahun 1997 terjadi 140 ribu kematian dari 1 juta pasien yang dirawat di rumah
sakit akibat adanya DRPs dari obat yang diresepkan (Cipolle, et al., 1998)..
Yogyakarta, dari 37 rekam medis pasien yang didiagnosis CHF didapat 20 rekam
medis pasien yang mengalami DRPs, terdiri dari interaksi obat sebanyak 35
(22,22%), tidak ditemukan DRPs dosis yang tidak sesuai, penggunaan obat yang
tidak sesuai dan kejadian yang tidak diinginkan (Utami dan Resita, 2016).
3
Universitas Sumatera Utara
Penelitian lainnya telah dilakukan oleh Fajriansyah, dkk., (2016) telah
mengidentifikasi DRPs kategori interaksi obat, over dosis dan dosis subterapi
dari 25 data rekam medis pasien didapat 22 kejadian DRPs yang terdiri dari
dkk., (2010) melakukan penelitian tentang kajian interaksi obat pada pasien
penyakit gagal jantung rawat inap di RSUD Tugurejo Semarang tahun 2008, dari
90 rekam medis pasien rawat inap didapat 63 rekam medis pasien (70%)
penelitian tentang DRPs agar pasien mendapatkan terapi yang tepat guna
Desember 2016 terhadap data rekam medis penderita gagal jantung kongestif
pasien rawat jalan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Penelitian
ini diharapkan menjadi bahan kajian bagi pihak rumah sakit, khususnya
masyarakat.
4
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan Masalah
indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, obat salah, dosis obat kurang, dosis obat
berlebih, reaksi obat merugikan dan interaksi obat pada penderita gagal jantung
kongestif pasien rawat jalan di RSUD Dr. Pirngadi Medan Periode Juli-Desember
2016?
1.3 Hipotesis
Berdasarkan perumasan masalah di atas maka hipotesis penelitian ini
adalah terjadi DRPs kategori indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, obat salah,
dosis obat kurang, dosis obat berlebih, reaksi obat merugikan dan interaksi obat
pada penderita gagal jantung kongestif pasien rawat jalan di RSUD Dr. Pirngadi
Medan Periode Juli-Desember 2016.
1.4 Tujuan Penelitian
mengetahui jumlah kejadian dan persentase DRPs kategori indikasi tanpa obat,
obat tanpa indikasi, obat salah, dosis obat kurang, dosis obat berlebih, reaksi obat
merugikan dan interaksi obat pada penderita gagal jantung kongestif pasien rawat
a. Bagi Rumah Sakit: Sebagai bahan evaluasi bagi pihak rumah sakit mengenai
b. Bagi Program Studi: Sebagai sarana untuk menambah wawasan dan ilmu
5
Universitas Sumatera Utara
c. Bagi Peneliti: Dapat menambah pengetahuan mengenai DRPs pada penderita
klasifikasi Strand. Klasifikasi DRPs menurut Strand terdiri dari 8 kategori tetapi
penelitian ini hanya melihat data rekam medis saja, peneliti tidak bertemu dengan
ini yaitu obat-obat yang diberikan kepada pasien gagal jantung kongestif. DRPs
kategori indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, obat salah, dosis obat kurang,
dosis obat berlebih, reaksi obat merugikan, dan interaksi obat sebagai variabel
Identifikasi DRPs
Kategori DRPs:
Regimen obat yang 1. Indikasi Tanpa Obat
diberikan pada 2. Obat Tanpa Indikasi
terapi pasien CHF 3. Obat Salah
4. Dosis Obat Kurang
5. Dosis Obat Lebih
6. Reaksi Obat Merugikan
7. Interaksi Obat
6
Universitas Sumatera Utara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
sel organ tubuh dan jaringan akan nutrisi dan oksigen yang memadai. Hal ini
atau mengakibatkan otot jantung kaku dan menebal. Jantung hanya mampu
memompa darah untuk waktu yang singkat dan dinding otot jantung yang
melemah tidak mampu memompa dengan kuat (Udjianti, 2010). Perbedaan antara
jantung normal dengan gagal jantung kongestif dapat dilihat pada Gambar 2.1.
struktur dan fungsi jantung sehingga jantung dapat memompa darah dengan
7
Universitas Sumatera Utara
kongestif, terdapat kelainan ataupun gangguan struktur dan fungsi jantung
atrium kiri.
f. Nokturia dan oliguria (retensi garam dan air yang timbul dalam gagal
g. Gallop S3; bunyi yang di dengar kira-kira sepertiga jalan diastolik, terjadi
pada awal diastolik selama fase pengisian cepat dalam ventrikel atau pada
8
Universitas Sumatera Utara
2.3 Klasifikasi Gagal Jantung
latihan. Klasifikasi yang banyak dipergunakan adalah dari New York Heart
9
Universitas Sumatera Utara
2.4 Penyebab Gagal Jantung
ventrikel yang meningkat tidak dapat dipenuhi dengan peningkatan aliran darah
Pada kasus ini, disfungsi diastolik dan sistolik, keduanya terjadi. Penyebab lain
gagal jantung yaitu hipertensi sistemik atau paru kronis, gagal ginjal atau
intoksikasi air (jarang terjadi), akan meningkatkan volume plasma sampai pada
2.5 Patofisiologi
Gagal jantung terjadi jika curah jantung tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan tubuh akan O2. Gagal jantung adalah suatu gejala klinik kompleks
ventrikel untuk diisi oleh darah atau untuk mengeluarkan darah. Pada kebanyakan
pasien gagal jantung, disfungsi sistolik dan diastolik ditemukan bersamaan. Pada
10
Universitas Sumatera Utara
jantung inilah yang menimbulkan gejala-gejala gagal jantung. Disfungsi sistolik
biasanya terjadi akibat infark miokard yang menyebabkan kematian sebagian sel
otot jantung, sedangkan disfungsi diastolik biasanya terjadi akibat hipertensi yang
ventrikel. Sel miokard yang mati pada infark miokard diganti dengan jaringan
ikat, dan pada sel miokard yang tinggal (jumlahnya telah berkurang) terjadi
kiri atau gagal jantung kanan. Gagal jantung pada salah satu sisi dapat berlanjut
dengan gagal jantung sisi yang lain. Penyebab utama gagal jantung kanan adalah
gagal jantung kiri. Pada gagal jantung kiri, volume darah yang diterima sisi kiri
jantung kanan, ventrikel kanan tidak mampu memompa darah secara optimal,
darah yang dipompa lebih sedikit daripada volume darah yang diterima dari
sirkulasi sistemik, sehingga darah mulai terkumpul di sistem vena perifer (Pusat
sebagai gagal jantung akut dan kronis. Gagal jantung akut biasanya dipercepat
fungsi ventrikel kiri dengan cepat, biasanya berkaitan dengan infark miokard dan
disfungsi valvular akut. Gagal jantung kronis, sering dianggap sebagai gagal
11
Universitas Sumatera Utara
jantung kongestif, yang berlangsung pada periode tertentu. Gagal jantung
d. Pembesaran jantung.
e. Gallop S3.
f. Edema paru.
g. Rales
pada hati).
d. Pembesaran hati.
12
Universitas Sumatera Utara
e. Efusi pleura; penumpukan cairan diantara dua lapisan pleura yaitu membran
Bila terdapat 1 gejala utama dan 2 gejala tambahan atau 3 gejala tambahan, maka
gagal jantung antara lain foto thorax untuk melihat adanya kongesti pada paru,
dengan dugaan klinis gagal jantung, tes darah untuk mengetahui ada tidaknya
angiografi dan melakukan tes tambahan seperti tes fungsi hati, serum elektrolit,
mengukur kreatinin, lipid, urin, tes fungsi paru dan hormon stimulasi tiroid
(Dosh, 2004).
pengubah angiotensin (ACE inhibitor) sebagai terapi yang paling efektif untuk
plasma sehingga aliran balik vena dan peregangan serabut otot jantung
13
Universitas Sumatera Utara
setelah serangan jantung. Digoksin diberikan untuk meningkatkan kontraktilitas.
Digoksin bekerja secara langsung pada serabut otot jantung untuk meningkatkan
kekuatan setiap kontraksi tanpa bergantung kepada panjang serabut otot jantung
(Corwin, 2009).
a. Pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas harus diet
sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah atau berat badan.
bersepeda atau berjalan dianjurkan untuk pasien gagal jantung yang stabil
hidup (Dipiro, et al., 2015). Terapi farmakologi pada gagal jantung, antara lain:
2.9.1 ACE-Inhibitor
morbiditas pada semua pasien gagal jantung sistolik. Mekanisme kerja ACE-
14
Universitas Sumatera Utara
(Arini dan Nafrialdi, 2007). ACE-inhibitor pada gagal jantung dapat mencegah
untuk pasien dengan fungsi ventrikel yang menurun, yaitu dengan fraksi ejeksi di
bawah normal (<40-45%) dengan atau tanpa gejala. Pada pasien dengan gejala
gagal jantung tanpa retensi cairan, obat ini harus diberikan bersama diuretik. Efek
samping batuk kering dan angiodema (Arini dan Nafrialdi, 2007). Berdasarkan
hanya di reseptor AT1 dan tidak di reseptor AT2, maka disebut juga AT1-bloker.
kinin aktif, sehingga vasodilator Nitric Oxide (NO) dan PGl2 tidak terbentuk.
15
Universitas Sumatera Utara
dan C yang tidak toleran terhadap ACE inhibitor. Candesartan dan valsartan
gagal jantung dan merupakan senyawa pilihan, apakah digunakan sendiri atau
Tabel 2.3.
2.9.3 Diuretik
Diuretik merupakan obat utama untuk mengatasi gagal jantung akut yang
paru atau edema perifer. Penggunaan diuretik dapat menghilangkan sesak nafas
mengurangi retensi air dan garam sehingga mengurangi volume cairan ekstrasel,
alir balik vena, dan tekanan pengisian ventrikel (preload) (Arini dan Nafrialdi,
2007). Diuretik tidak harus diberikan untuk pasien tanpa retensi cairan. Diuretik
yang biasa digunakan adalah golongan diuretik tiazid dan diuretik loop. Diuretik
dosis diuretik untuk gagal jantung kongestif ditunjukkan pada Tabel 2.4.
16
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 Diuretik dan Thiazide
Diuretik Dosis Awal Dosis Biasa sehari
Diuretik Loop
Furosemide 20-40 mg 40-240 mg
Bumetanide 0,5-1,0 mg 1-5 mg
Torasemide 5-10 mg 10-20 mg
Thiazide
Bendroflumethiazide 2,5 mg 2,5-10 mg
Hydrocholothiazide 25 mg 12,5-100 mg
Metolazone 2,5 mg 2,5-10 mg
Indapamide 2,5 mg 2,5-5 mg
menyebabkan retensi Na dan air serta mengekskresi K dan Mg. Retensi Na dan
langsung yang menyebabkan fibrosis miokard dan proliferasi fibroplas (Arini dan
Nafrialdi, 2007). Ada dua antagonis aldosteron, yaitu diuretik hemat kalium
triamteren yang menghilangkan sekresi kalium dan ion hidrogen di ginjal. Obat-
obat ini umumnya digunakan untuk mengimbangi efek kehilangan kalium dan
magnesium dari diuretik loop (Gray, et al., 2006). Berdasarkan Clinical Practice
Guideline St. Luke’s Health Partners, dosis antagonis aldosteron untuk gagal
17
Universitas Sumatera Utara
2.9.5 β-Bloker
simpatis pada pasien gagal jantung. Stimulasi adrenergik pada jantung memang
pada awalnya meningkatkan kerja jantung, akan tetapi aktivitas simpatis yang
jantung, dan hal ini dapat dicegah oleh β-bloker (Arini dan Nafrialdi, 2007).
pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang kurang stabil yang
tidak ada kontraindikasi atau riwayat intoleransi β-bloker. Pasien harus menerima
β-bloker meskipun gejalanya ringan atau keadaan pasien terkontrol baik dengan
dosis β-bloker untuk gagal jantung kongestif ditunjukkan pada Tabel 2.6.
2.9.6 Vasodilator
mitral dan infusiensi aorta. Pemilihan vasodilator pada penderita gagal jantung
dilakukan berdasarkan gejala gagal jantung dan tanda yang ada. Pada penderita
18
Universitas Sumatera Utara
membantu mengurangi gejala (Chaidir dan Munaf, 2009). Selain ACE-inhibitor
dan antogonis ATII, vasodilator lain yang digunakan untuk pengobatan gagal
jantung (Arini dan Nafrialdi, 2007). Obat ini mengurangi tekanan pengisian dan
pompa yang berat. Kombinasi dengan zat inotropik, misalnya dobutamin akan
hipotensi. Dosis yang biasa diberikan adalah 15-20 µg/menit pada orang dewasa
dan 0,1-8 µg/kg BB/menit pada anak- anak (Agoes, dkk., 2009).
Obat ini juga prodrug dari NO, pada kecepatan infus yang rendah obat ini
mendilatasi vena dengan demikian hanya menurunkan preload jantung (Arini dan
Nafrialdi, 2007). Indikasi utama obat ini adalah untuk angina pektoris, tetapi
19
Universitas Sumatera Utara
tekanan pengisian ventrikel kiri dan mengurangi edema paru akut (Agoes, dkk.,
2009).
2.9.7 Digoksin
fibrilasi atrium), dan mengurangi aktivitas saraf simpatis (Arini dan Nafrialdi,
2007). Digoksin harus digunakan bersamaan dengan terapi gagal jantung standar
(ACE inhibitor, β-bloker, dan diuretik) pada pasien dengan gejala gagal jantung
untuk mengurangi rawat inap. Dosis digoksin untuk mencapai konsentrasi plasma
yaitu 0,5 sampai 1 ng/ mL (0,6-1,3 nmol/ L). Pasien dengan fungsi ginjal normal
dapat mencapai tingkat ini dengan dosis 0,125 mg/hari. Pasien dengan fungsi
ginjal menurun, lanjut usia atau menerima obat yang berinteraksi misalnya
atau efedrin memiliki efek inotropik positif, namun obat ini tidak dianjurkan
untuk gagal jantung karena dapat meningkatkan denyut jantung yang akan
tidak langsung pada miokard dengan melepaskan norepinefrin dari ujung saraf.
20
Universitas Sumatera Utara
melepaskan norepinefrin dari ujung saraf. Dosis dobutamin 2,5-10 µg/kg/men
DRPs adalah kejadian yang tidak diinginkan pasien terkait terapi obat,
dan secara nyata maupun potensial berpengaruh pada outcome yang diinginkan
pada pasien. Suatu kejadian dapat disebut DRPs apabila terdapat dua kondisi,
yaitu: (a) adanya kejadian tidak diinginkan yang terjadi dan yang akan terjadi
pada pasien, kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnosis penyakit,
fisiologis, sosiokultur atau ekonomi; dan (b) adanya hubungan antara kejadian
c. Pasien mempunyai kondisi medis tetapi mendapatkan obat yang tidak aman,
21
Universitas Sumatera Utara
d. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi
e. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi
f. Pasien mempunyai kondisi medis akibat dari reaksi obat yang merugikan.
diresepkan.
Adapun kasus masing- masing kategori DRPs yang mungkin terjadi dapat
Tabel 2.7 Jenis – Jenis DRPs dan Penyebab Yang Mungkin Terjadi
DRPs Kemungkinan kasus pada DRPs
Butuh terapi obat a. Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi
tambahan obat yang baru.
b. Pasien dengan kondisi kronik membutuhkan lanjutan
terapi obat.
c. Pasien dengan kondisi kesehatan membutuhkan
kombinasi farmakoterapi untuk mencapai efek
sinergis atau potensiasi.
d. Pasien dengan risiko pengembangan kondisi
kesehatan baru dapat dicegah dengan penggunaan
obat profilaksis.
Terapi obat yang a. Pasien mendapatkan obat yang tidak tepat indikasi.
tidak perlu b. Pasien mengalami toksisitas karena obat atau hasil
pengobatan.
c. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol
dan rokok.
d. Pasien dengan kondisi pengobatan yang lebih baik
diobati tanpa terapi obat.
e. Pasien diberikan multiple drugs untuk kondisi di
mana hanya single drugs therapy dapat digunakan.
f. Pasien diberikan terapi obat untuk penyembuhan
untuk menghindari reaksi merugikan dari pengobatan
lainnya.
Obat tidak tepat a. Pasien di mana obatnya tidak efektif.
22
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.7 (Lanjutan)
23
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.7 (Lanjutan)
24
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.9 Klasifikasi Penyebab DRPs Menurut PCNE (2006)
Domain Primer Kode Masalah
Efek samping
Pasien menderita suatu P1.1 Efek samping diderita (non-alergi)
efek obat yang P1.2 Efek samping diderita (alergi)
merugikan P1.3 Efek toksis diderita
Masalah pilihan obat
Pasien mendapat atau P2.1 Obat tidak tepat (tidak tepat untuk indikasi)
akan mendapatkan Sediaan obat yang tidak tepat (tidak tepat
P2.2
kesalahan pada untuk indikasi)
pemilihan obat untuk Kombinasi tidak tepat pada kelompok terapi
P2.3
penyakitnya atau bahan aktif
Kontra-indikasi obat (Kehamilan atau
P2.4
menyusui)
Tidak ada indikasi yang jelas pada
P2.5
penggunaan obat
Tidak ada obat yang diresepkan tetapi
P2.6
indikasi jelas
Masalah Dosis
Pasien mendapat lebih Dosis obat terlalu rendah atau pemberian
P3.1
atau kurang dari jumlah dosis tidak mencukupi
dosis obat yang dia Dosis obat terlalu tinggi atau pemberian
P3.2
butuhkan. dosis berlebihan
P3.3 Lama pengobatan terlalu pendek
P3.4 Lama pengobatan terlalu lama
Masalah Penggunaan Obat
Kesalahan atau tidak Obat tidak diambil atau diberikan sama
P4.1
adanya obat yang sekali
diambil atau diberikan Kesalahan pengambilan atau administrasi
P4.2
obat
Interaksi
Adanya manifestasi atau P5.1 Potensi interaksi.
potensial interaksi obat-
P5.2 Manifestasi interaksi
obat atau obat-makanan
Lainnya Pasien tidak puas dengan terapi meskipun
P6.1
mendapat obat yang tepat
Ketidakcukupan pengetahuan kesehatan dan
P6.2
penyakit
Keluhan yang tidak jelas. Diperlukan
P6.3
klarifikasi lebih lanjut
P6.4 Kegagalan terapi (alasan yang tidak
diketahui)
25
Universitas Sumatera Utara
BAB III
METODE PENELITIAN
desain cross sectional yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara pendekatan,
observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2012).
atau mengambil data yang telah lalu (Strom dan Kimmel, 2006). Data yang
3.2.1 Populasi
Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh data rekam medis pasien
rawat jalan yang didiagnosis menderita gagal jantung kongestif di Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan periode Juli-Desember 2016. Populasi target,
3.2.2 Sampel
Sampel penelitian ini adalah data rekam medis pasien yang memenuhi
a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap
anggota populasi studi yang dapat dipilih sebagai sampel. Yang termasuk kriteria
inklusi adalah:
26
Universitas Sumatera Utara
a. Rekam medis pasien dengan diagnosis gagal jantung kongestif dan
b. Kriteria eksklusi
yang tidak bisa dijadikan sebagai sampel. Adapun yang menjadi kriteria ekslusi
adalah data rekam medis pasien yang tidak lengkap (tidak memuat informasi
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi, Jl.
Professor H. M. Yamin S.H No. 47 Medan dan penelitian dilakukan dari Bulan
Febuari-Juni 2017.
Pengumpulan data rekam medis pasien rawat jalan penderita gagal jantung
diperoleh dari rekam medis pasien. Data karakteristik pasien meliputi nomor
rekam medis, diagnosis, kelas rawat, nama inisial, jenis kelamin, umur, tanggal
pengobatan, obat-obat yang diresepkan dan hasil uji laboratorium (jika ada).
27
Universitas Sumatera Utara
3.4.2.1 Karakteristik Pasien dan Penggunaan Obat
(jika ada).
a. Identifikasi DRPs pada pasien gagal jantung kongestif instalasi rawat jalan di
klasifikasi Strand.
c. Hasil analisis DRPs yang diperoleh diorganisir dengan program Excel yang
28
Universitas Sumatera Utara
3.5 Diagram Alir Penelitian
Mengelompokkan
Rekam Medis Data Berdasarkan Identifikasi DRPs
Kriteria Inklusi
DRPs Kategori:
1. Indikasi Tanpa Obat
2. Obat Tanpa Indikasi
3. Obat Salah
4. Dosis Obat Kurang
5. Dosis Obat Lebih
6. Reaksi Obat Merugikan
7. Interaksi Obat
Analisis Data
Penarikan
Kesimpulan
a. Drug Related Problems adalah potensi kejadian yang tidak diinginkan pasien
terkait terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh pada
tersebut.
c. Obat tanpa indikasi adalah pasien mempunyai kondisi medis dan menerima
29
Universitas Sumatera Utara
d. Obat salah adalah kondisi dimana pasien mendapatkan obat yang tidak aman,
mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat yang diberikan kurang.
mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat yang diberikan berlebih.
h. Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat adanya interaksi obat-
Pirngadi Medan.
4. Mencatat data rekam medis penderita gagal jantung kongestif pasien rawat
30
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
Demografi pasien meliputi jenis kelamin, usia, dan jenis obat yang
digunakan. Evalusi DRPs pada pasien dengan diagnosis gagal jantung kongestif
pasien dengan diagnosis gagal jantung kongestif di Rumah Sakit Umum Daerah
rekam medis. Lalu didapat 33 rekam medis pasien yang masuk kriteria inklusi
yaitu pasien rawat jalan dengan diagnosis gagal jantung kongestif dan
1 Laki-laki 20 60,60
2 Perempuan 13 39,39
Data dari tabel di atas, ditemukan bahwa pasien yang menderita penyakit
gagal jantung kongestif paling banyak adalah pada jenis kelamin laki-laki yaitu
Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Utami dan Resita (2016)
juga menunjukkan bahwa jenis kelamin yang paling banyak menderita gagal
jantung kongestif adalah jenis kelamin laki-laki. Faktor resiko gagal jantung
31
Universitas Sumatera Utara
Lipoprotein (HDL). Penyakit jantung kebanyakan diderita oleh kaum laki-laki,
dihubungkan dengan kebiasaan merokok, minuman keras serta dan akivitas yang
lebih tinggi. Pasien gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada pasien laki-
laki dibandingkan dengan perempuan pada usia 45-75 tahun (Grossman dan
Brown, 2009).
paling banyak adalah pada masa lansia akhir (56-65 tahun) yaitu sebanyak 13
pasien (39,39 %) dan masa manula (>65 tahun) sebanyak 10 pasien (30,30%),
sedangkan sisanya pada masa lansia awal (46-55 tahun) sebanyak 6 pasien
(18,18%), pada masa dewasa akhir (36-45 tahun) sebanyak 3 pasien (9,09% ) dan
pada masa dewasa awal (26-35 tahun) sebanyak 1 pasien (3,03%). Usia rata-rata
pasien gagal jantung kongestif yaitu 59,90 ± 10,83 tahun. Karakteristik pasien
Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Utami dan Resita (2016)
penderita CHF terbanyak adalah pada usia 55-64 tahun yaitu 10 pasien. Hasil
riset kesehatan dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa angka kejadian CHF
tertinggi adalah pada usia 55-64 tahun, 65-74 tahun dan >75 tahun (Kemenkes
bahwa penderita gagal jantung kongestif terbanyak adalah pada usia >65 tahun
32
Universitas Sumatera Utara
didapat sebanyak 48% pasien sedangkan pada usia 56-65 tahun didapat sebanyak
24% pasien sisanya pada usia 46-55 tahun sebanyak 20% dan pada usia 26-35
Data pada Tabel diatas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita
gagal jantung kongestif pada masa lansia akhir (56-65 tahun) yaitu 13 pasien,
lebih banyak dibandingkan pada masa manula (>65 tahun) yaitu 10 pasien. Hal
ini dikarenakan jumlah pasien pada masa manula (>65 tahun) yang datang untuk
berobat jumlahnya lebih sedikit dibandingkan pasien pada masa lansia akhir (56-
65 tahun).
dari pengalaman pasien akibat terapi obat, sehingga secara aktual maupun
jantung kongestif di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Pirngadi Medan periode Juli-Desember 2016, dari 33 rekam medis pasien didapat
19 rekam medis pasien (57,57%) yang mengalami DRPs (+) dan 14 rekam medis
pasien (42,42%) tidak mengalami DRPs (-) seperti ditunjukkan pada Gambar 4.1.
33
Universitas Sumatera Utara
57,57%
60%
42,42%
Persentase (%) 50%
40%
30%
20%
10%
0%
DRP's (+) DRP'S (-)
Gambar 4.1 Kejadian DRPs pada Pasien Gagal Jantung Kongestif di Instalasi
Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan
Periode Juli-Desember 2016
mengalami DRPs paling banyak adalah pada masa lansia akhir (56-65 tahun)
yaitu sebanyak 8 pasien (42,10%) dan masa manula (>65 tahun) sebanyak 7
pasien (36,84%), sedangkan sisanya pada masa lansia awal (46-55 tahun)
sebanyak 2 pasien (10,52%), pada masa dewasa akhir (36-45 tahun) sebanyak 2
pasien (10,52% ) dan tidak ditemukan DRPs pada masa dewasa awal (26-35
tahun). Usia rata-rata pasien yang mengalami DRPs yaitu pada usia 62,52 ± 10,39
34
Universitas Sumatera Utara
4.2.2 Kejadian DRPs Berdasarkan Jenis Kelamin
yang paling banyak mengalami DRPs adalah pasien dengan jenis kelamin
1 Perempuan 10 52,63
2 Laki-laki 9 47,36
Jumlah pasien rawat jalan yang berobat dari periode Juli-Desember 2016
sebanyak 8.920 orang dan dari jumlah tersebut diperoleh sebanyak 37 pasien
DRPs dengan diagnosis gagal jantung kongestif di poli kardiologi periode Juli-
(56,25%), indikasi tanpa obat sebanyak 8 kasus (25%); dosis obat kurang
sebanyak 5 kasus (15,6%); obat tanpa indikasi sebanyak 1 kasus (3,1%); dosis
obat lebih tidak ada kasus (0%); reaksi obat merugikan tidak ada kasus (0%); dan
obat salah obat tidak ada kasus (0%). Gambaran umum kejadian DRPs secara
35
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.5 DRPs yang Terjadi pada Pasien Gagal Jantung Kongestif di Instalasi
Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan
periode Juli-Desember 2016
Kejadian DRPs yang dialami pasien gagal jantung kongestif paling banyak
sedangkan Jumlah rata-rata kejadian DRPs yang terjadi pada pasien gagal jantung
Yogyakarta, dari 37 data rekam medis pasien yang didiagnosis CHF didapat 20
rekam medis pasien yang mengalami DRPs, terdiri dari interaksi obat sebanyak
(22,22%), tidak ditemukan DRPs dosis yang tidak sesuai, penggunaan obat yang
tidak sesuai dan kejadian yang tidak diinginkan. Penelitian lainnya telah
dilakukan oleh Fajriansyah dkk (2016) mengenai DRPs kategori interaksi obat,
over dosis dan dosis subterapi pada pasien gagal jantung kongestif di RSUP
kejadian DRPs yang terdiri dari kategori interaksi obat sebanyak 14 kejadian
(63,63%), overdosis sebanyak 5 kejadian (22,72%), dan dosis sub terapi sebanyak
36
Universitas Sumatera Utara
obat pada pasien gagal jantung kongestif di instalasi rawat inap RSUD Dr.
Moewardi Surakarta periode tahun 2008 dari hasil penelitian diperoleh 44 rekam
medis pasien (91,67%) potensial mengalami interaksi obat dengan jumlah 165
kejadian interaksi obat. Yulias dkk (2010) melakukan penelitian tentang kajian
interaksi obat pada pasien penyakit gagal jantung rawat inap di RSUD Tugurejo
Semarang tahun 2008, dari 90 rekam medis pasien rawat inap didapat 63 rekam
menunjukkan bahwa dari 33 rekam medis pasien dengan diagnosis GJK didapat
19 rekam medis pasien (57,57%) yang mengalami DRPs. Kejadian DRPs yang
terjadi di RSUD Dr. Pirngadi Medan lebih sedikit dibandingkan dengan kejadian
DRPs yang terjadi pada rumah sakit lain yang telah dilakukan identifikasi
sebelumnya, akan tetapi kejadian DRPs pada terapi pasien CHF di RSUD Dr.
membutuhkan terapi obat tetapi pasien tidak mendapatkan obat untuk indikasi
tersebut (Strand, et al., 1990). Jumlah angka kejadian DRPs pada indikasi tanpa
37
Universitas Sumatera Utara
Identifikasi DRPs kategori indikasi tanpa obat diperoleh dari hasil uji
laboratorium pasien, dimana dari hasil uji laboratorium sebelumnya pasien tidak
hasil uji laboratorium terakhir didapat bahwa kadar gula darah, asam urat dan
Berdasarkan Tabel 4.6 diatas, didapat 3 kasus (9,3%) indikasi tanpa obat
dimana pasien mengalami hiperglikemia (gula darah >140 mg/dL) tetapi pasien
(glukosa) ke sel-sel seluruh tubuh melalui aliran darah. Kadar gula dalam darah
masuknya gula ke dalam sel-sel tubuh yang membutuhkan. Kelebihan kadar gula
dalam darah ini dapat meningkatkan resiko gangguan di dalam peredaran darah
Data pada Tabel 4.6 juga terdapat 3 kasus (9,3%) indikasi tanpa obat
dimana pasien mengalami hiperurisemia (asam urat >7 mg/dL) tetapi tidak
terjadinya peningkatan kadar asam urat diatas normal. Apabila terjadi kelebihan
pembentukan atau penurunan eksresi asam urat maka akan terjadi peningkatan
Data pada Tabel 4.6 juga menunjukkan terdapat 2 kasus (6,2%) indikasi
zat di dalam aliran darah dimana makin tinggi kadar kolesterol semakin besar
38
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan dari kolesterol tersebut tertimbun pada dinding pembuluh darah.
Hal ini menyebabkan saluran pembuluh darah menjadi lebih sempit sehingga
dan High Density Lipoprotein (HDL), serta lemak lain di dalam darah dengan
kadar tidak boleh lebih dari 200 mg/dL. Kolesterol merupakan satu faktor resiko
yang sangat besar peranannya pada penyakit jantung dan stroke (Junaidi, 2010).
Tingginya kadar gula darah, asam urat, dan kolesterol pada penderita gagal
menerima obat yang mempunyai indikasi medis valid (Strand, et al., 1990).
Jumlah kejadian DRPs pada kategori obat tanpa indikasi adalah sebanyak 1 kasus
(3,1%), yang mana pasien tidak mengalami hiperlipidemia (kolesterol total pasien
untuk memperoleh kesehataan yang optimal (Guyton dan Hall, 2006). Kolesterol
dalam tubuh yang normal <200 mg/dL akan mencegah terjadinya aterosklerosis.
Kondisi ini merupakan salah satu faktor terjadinya penyakit jantung dan stroke.
39
Universitas Sumatera Utara
4.2.3.3 Obat Salah
obat yang tidak aman, tidak paling efektif, dan kontraindikasi dengan pasien
pemberian obat salah pada pasien gagal jantung kongestif di instalasi rawat jalan
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan periode Juli-Desember 2016.
mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat tersebut kurang (Strand, et al.,
1990). Jumlah angka kejadian DRPs pada dosis obat kurang adalah sebanyak 5
Berdasarkan Tabel 4.7 di atas terdapat 2 jenis obat dengan dosis kurang
yang terdiri dari 3 kasus (9,3%) pasien mendapatkan dosis alprazolam kurang dan
2 kasus (6,2%) pasien mendapatkan dosis KSR kurang. Dosis alprazolam sesuai
MIMS, ISO dan drug interaction checker diberikan dengan dosis 0,25-0,5 mg 3
kali sehari tetapi dosis yang diberikan kepada pasien yaitu 0,25 mg 1 kali sehari.
40
Universitas Sumatera Utara
(minor tranquilezer) untuk mengatasi kecemasan (Tatro, 2003).
Dosis KSR sesuai MIMS diberikan dengan dosis 600-1200 mg 2-3 kali
sehari akan tetapi dosis yang diberikan kepada pasien yaitu 600 mg 1 kali sehari.
terutama tiazid (Gunawan, 2007). Adanya dosis kurang yang diberikan kepada
ditemukan perbedaan dosis isosorbide dinitrate (ISDN) menurut St. Luke’s Health
Panduan Praktik Klinik (PPK) dan Clinical Pathway (CP) penyakit jantung dan
pembuluh darah dosis isosorbide dinitrate yaitu 5-20 mg 3 x kali sehari, menurut
Panduan Praktik Klinik (PPK) dan Clinical Pathway (CP) penyakit jantung dan
pembuluh darah, dosis isosorbide dinitrate yang diberikan kepada pasien sudah
mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat tersebut lebih (Strand, et al.,
berlebih pada pasien gagal jantung kongestif di instalasi rawat jalan Rumah Sakit
dari reaksi obat yang merugikan (Strand, et al., 1990). Berdasarkan hasil
penelitian, pada rekam medis pasien gagal jantung kongestif di instalasi rawat
41
Universitas Sumatera Utara
jalan RSUD Dr. Pirngadi Medan periode Juli-Desember 2016 tidak ditemukan
data yang menyatakan bahwa pasien mengalami reaksi obat merugikan seperti
reaksi alergi dan keracunan obat sehingga tidak dapat dilakukan identifikasi lebih
lanjut.
Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat adanya interaksi
tiga level yaitu minor, moderate, atau mayor. Minor berarti tingkat keparahan
interaksi yang terjadi ringan, tidak mempengaruhi hasil terapi, dapat diatasi
dengan baik. Moderate berarti tingkat keparahan yang terjadi sedang, dapat
tersebut diantaranya:
a. Aspirin-Micardis (Telmisartan)
Kombinasi kedua obat ini dapat menurunkan efek hipotensi dan vasodilator dari
42
Universitas Sumatera Utara
telmisartan, aspirin menghambat terbentuknya prostaglandin. Prostaglandin
prostaglandin dihambat maka akan terjadi vasokonstriksi dan tekanan darah akan
naik, namun jika efek kedua obat diperlukan maka monitoring tekanan darah
perlu dilakukan. Apabila efek tidak diinginkan, pertimbangkan salah satu pilihan
yaitu mengurangi dosis aspirin kurang dari 100 mg/hari atau mengkonversi ke
b. Aspirin-Clopidogrel
mempunyai efek pada fungsi platelet. Interaksi yang terjadi termasuk interaksi
c. Lansoprazole-Clopidogrel
mencegah serangan jantung atau stroke. Interaksi yang terjadi termasuk interaksi
d. Spironolactone-Valsartan
dilakukan monitoring terhadap konsentrasi serum kalium dan fungsi ginjal ketika
43
Universitas Sumatera Utara
menggunakan kombinasi obat ini. Selain itu, penambahan loop diuretik
e. Spironolactone-Ramipril
meningkatkan kadar kalium dalam darah pada pasien dengan resiko tinggi pasien
dengan gangguan ginjal (Tantro, 2010). Interaksi yang terjadi termasuk interaksi
ginjal dan kadar kalium darah secara rutin sehingga dapat dilakukan penyesuaian
terapi.
f. Spironolactone-KSR
potasium pada pasien dan menyebabkan hiperkalemia berat. Pada kondisi ini
g. Digoksin-Bisoprolol
glikoprotein di usus dan ginjal. Perlu dilakukan monitoring kadar digoksin dalam
h. Candesartan-Meloxicam
44
Universitas Sumatera Utara
Menggabungkan candesartan bersama dengan meloxicam dapat
prostaglandin dihambat maka akan terjadi vasokonstriksi dan tekanan darah akan
naik.
i. ISDN-Ramipril
tekanan darah dan memperlambat detak jantung. Interaksi yang terjadi termasuk
Enzyme (ACE) dan meningkatkan efek vasodilatasi dan hipotensi dari ISDN.
45
Universitas Sumatera Utara
BAB V
5.1 Kesimpulan
gagal jantung kongestif, DRPs yang paling banyak terjadi adalah interaksi obat
yaitu sebanyak 18 kasus (56,25%). DRPs yang lain berturut - turut adalah
indikasi tanpa obat yaitu sebanyak 8 kasus (25%), dosis obat kurang yaitu
sebanyak 5 kasus (15,6%), obat tanpa indikasi yaitu sebanyak 1 kasus (3,1%).
5.2 Saran
kesehatan lainnya untuk mencegah terjadinya DRPs sehingga efek terapi obat
dapat dicapai.
b. Apoteker dan dokter dapat lebih bekerja sama dengan baik sehingga kejadian
interaksi obat, indikasi tanpa obat dan dosis obat kurang pada terapi pasien
46
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, A., Kamaludin., Chaidir, J., Munaf, S., Nattadiputra, S., Yodhian, L.F.,
Tanzil, S., Azis, S., Theodorus. (2009). Kumpulan Kuliah Farmakologi.
Sriwijaya: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 109-120.
Yancy, C.W., Jessup, M., dan Chair, V. (2013). Guidelines for the
Management of Heart Failure. American College of Cardiology
(ACC) and American Heart Association (AHA). 1: 1-7.
Arini, S., dan Nafrialdi. (2007). Obat Kardiovaskular Obat Gagal Jantung dalam
Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Editor Utama: Sulistia Gan Gunawan.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 299-313.
Cipolle, R.J., Strand, L.M., dan Morley, P.C. (2004). Pharmaceutical Care
Practice The Clinician’s Guide. New York: Mc Graw Hill Company. Hal.
63-80.
Corwin, E.J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Hal. 506-507.
Dipiro, J.T., Barbara, G.W., Terry., L.S., dan Cecily, V.D. (2008).
Pharmacotherapy Handbook Seven Edition. New York: Mc Graw Hill.
Hal. 98-109.
Dipiro, J.T., Barbara, G.W., Terry., L.S., dan Cecily, V.D. (2015).
Pharmacotherapy Handbook Eight Edition. New York: Mc Graw Hill.
Hal. 82-94.
47
Universitas Sumatera Utara
Physician. 70: 2145-2152.
European Heart Jurnal. (2016). ESC Guideline for The Diagnosis and Treatment
of Acute and Chronic Heart Failure. European: European Society of
Cardiology. Hal. 1-5.
Fajriansyah, Hadijah, T., dan Almi, K. (2016). Kajian Drug Relation Problem
(DRPs) Kategori Interaksi Obat, Over Dosis dan Dosis Subterapi pada
Pasien Gagal Jantung Kongestif di RSUP Universitas Hasanuddin.
Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi. 5: 1-2.
Gray, H.H., Dawkins, K.D., Morgan, J.M & Simpson, I.A. (2006). Kardiologi
Edisi 4. Jakarta: Erlangga. Hal. 189-186.
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. (2006). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 891.
Grossman, S., dan Brown, D. (2009). Congestive Heart Failure and Pulmonary
Edema. Diakses dari http://emedicine.medscape.com. Diunduh tanggal 30
Mei 2017.
Kementrian Kesehatan RI. (2014). Info Datin Situasi Kesehatan Jantung. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
48
Universitas Sumatera Utara
PCNE. (2010). Classification for Drug Related Problems, Pharmaceutical Care
Network European Foundation. Zuidlaren. 6.2: 3-4. Diunduh dari:
www.pcne.org/upload/.../11_PCNE_classification_V6-2.pdf.
Sitompul, B., dan Sugeng, I.J. (2004). Gagal Jantung dalam Buku Ajar
Kardiologi. Editor: Lily Ismudiati Rilantoro, Faisal Baraas, Santoso Karo
Karo, dan Poppy Surbianti Roebiono. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal. 115.
Smeltzer, S.C., dan Bare, B.G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Edisi 8.Volume I. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 377.
St. Luke’s Health Partners. (2016). Clinical Practice Guideline Heart Failure.
Texas Heart Institute. 1: 1-6.
Tatro, D.S. (2003). Drug Interaction Facts, The Authority on Drug Interactions,
1 edition. ed. Lippincott & Wilkins: Saint Louis. Hal. 245-250.
Tatro, D.S. (2010). Drug Interaction Facts. USA: wolter Kluwer Health. Hal.
189-195.
Tierney, L.M., Stephen, J.M., Maxine, A.P. (2002). Diagnosis dan Terapi
Kedokteran (Ilmu Penyakit Dalam). Jakarta: Salemba Medika. Hal. 328.
Utami, P., dan Resita, M.S. (2016). Identifikasi Drug Related Problems (DRPs)
pada Penatalaksanaan Pasien Congestive Heart Failure (CHF) di Instalasi
49
Universitas Sumatera Utara
Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Gamping Periode Januari-Juni
2015. Universitas Muhammadiyah. 1: 1-7.
Yanti, A.P., Muhammad, A.M., dan Diana, L. (2014). Drug Related Problem
Associated With The Treatment For Congestive Heart Failure (CHF) And
Acute Miocardial Infarction In Pgi Cikini Hospital 2014. World Journal
of Pharmaceutical Research. 3: 66-70.
Yasin, N.M., Herlina, T.W., dan Endah, K. D. (2005). Kajian Interaksi Obat pada
Pasien dengan Gagal Jantung Kongestif di RSUP DR.Sardjito Yogyakarta
Tahun 2005. Jurnal Farmasi Indonesia. 4: 15-22.
50
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 1. Data Pasien CHF dengan Disertai Jenis Kelamin, Usia dan Klaim
NAMA USIA
NO JK BIAYA
INISIAL (TAHUN)
1 RFS Pr 65 BPJS
2 AB Lk 79 BPJS
3 EM Pr 60 BPJS
4 TJM Lk 67 BPJS
5 ML Pr 58 BPJS
6 AG Pr 53 BPJS
7 LG Lk 62 BPJS
8 PJBP Lk 44 BPJS
9 S Lk 56 UMUM
10 NS Lk 54 BPJS
11 S Pr 55 BPJS
12 DN Lk 30 UMUM
13 SNAN Pr 64 BPJS
14 NS Lk 73 BPJS
15 AFI Lk 71 BPJS
16 AR Lk 61 BPJS
17 SP Lk 69 UMUM
18 M Pr 70 BPJS
19 ST Lk 66 BPJS
20 S Pr 79 BPJS
21 SK Pr 70 BPJS
22 J Pr 44 UMUM
23 RN Pr 53 BPJS
24 HS Pr 46 BPJS
25 ST Lk 44 BPJS
26 JSR Pr 57 BPJS
27 SP Pr 71 BPJS
28 SM Lk 66 BPJS
29 YE Lk 57 BPJS
30 RD Lk 58 UMUM
31 LSB Lk 62 BPJS
32 SAN Pr 63 BPJS
33 PU Lk 50 BPJS
34 YA Pr 32 BPJS
35 KS Lk 54 BPJS
36 AS Lk 60 BPJS
37 RS Lk 61 BPJS
51
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. Data Pasien Berdasarkan Terapi
52
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
53
Universitas Sumatera Utara
54
Universitas Sumatera Utara
55
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
56
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
57
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
58
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
59
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
60
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
61
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
62
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
63
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
64
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
65
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
66
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
67
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
68
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
69
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
70
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
71
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
72
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
73
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
74
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. (Lanjutan)
75
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3. Hasil Rekapitulasi DRPs
76
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3. (Lanjutan)
Nama Nama Obat dan Kejadian
NO I II III IV V VI VII
Pasien Kondisi Klinik DRPs
25. ST - - - - - - - - -
26. JSR Alprazolam 1
Spironolactone-
Valsartan
27. SP 2
Spironolactone-
Irbesartan
28. SM Alprazolam 1
29. YE - - - - - - - - -
30. RD Alprazolam 1
31. LSB - - - - - - - - -
Spironolactone-
KSR
32. SAN
Hiperurisemia 3
KSR
33. PU - - - - - - - - -
Total 8 1 0 5 0 0 18 32
Keterangan:
77
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 4. Rekapitulasi DRPs Pasien Beserta Keterangan
78
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 4. (Lanjutan)
79
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 4. (Lanjutan)
80
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 4. (Lanjutan)
81
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 4. (Lanjutan)
82
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 4. (Lanjutan)
83
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 4. (Lanjutan)
84
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 5. Hasil Rekapitulasi DRPs Kategori Indikasi Tanpa Obat dan Obat Tanpa Indikasi
85
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 5. (Lanjutan)
86
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 5. (Lanjutan)
87
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 6. Hasil Rekapitulasi DRPs Kategori Interaksi Obat
88
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 6. (Lanjutan)
89
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 6. (Lanjutan)
90
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 6. (Lanjutan)
91
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 6. (Lanjutan)
92
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 7. Surat Permohonan Judul Penelitian
93
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 8. Surat Permohonan Izin Penelitian di RSUD Dr. Pirngadi Medan
94
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 9. Surat Izin Melakukan Penelitian di RSUD Dr. Pirngadi Medan
95
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 10. Surat Selesai Penelitian RSUD di Dr. Pirngadi Medan
96
Universitas Sumatera Utara