Anda di halaman 1dari 88

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Fakultas Farmasi Skripsi Sarjana

2018

Evaluasi Penggunaan Obat Asma Pada


Pasien Asma di Instalasi Rawat Jalan
Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam
Malik Medan Periode Juli 2016-Juni 2017

Nasution, Wilda Khoiriah

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/3922
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ASMA PADA PASIEN
ASMA DI INSTALASI RAWAT JALAN RUMAH SAKIT
UMUM PUSAT H. ADAM MALIK MEDAN
PERIODE JULI 2016 - JUNI 2017

SKRIPSI

OLEH :
WILDA KHOIRIAH NASUTION
NIM 131501078

PROGRAM SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ASMA PADA PASIEN
ASMA DI INSTALASI RAWAT JALAN RUMAH SAKIT
UMUM PUSAT H. ADAM MALIK MEDAN
PERIODE JULI 2016 - JUNI 2017

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


gelar sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara

OLEH :
WILDA KHOIRIAH NASUTION
NIM 131501078

PROGRAM SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena limpahan

rahmat, kasih dan karuniaNya saya dapat menjalani masa perkuliahan dan

penelitian hingga akhirnya menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul

“Evaluasi Penggunaan Obat Asma pada Pasien Asma di Instalasi Rawat Jalan

Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Periode Juli 2016-Juni 2017”.

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana

Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati saya menyampaikan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt.,

selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, yang telah

memberikan fasilitas dan bantuan selama masa pendidikan, kepada Bapak Hari

Ronaldo Tanjung, M.Sc., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah banyak

memberikan bimbingan, arahan, bantuan dan motivasi dengan penuh kesabaran,

ketulusan dan keikhlasan selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Dr. Aminah Dalimunthe,

M.Si., Apt., dan Ibu Yuandani, M.Si., Ph.D., Apt., selaku dosen penguji yang

telah memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Saya juga

menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak dan Ibu dosen staf pengajar di

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik selama

perkuliahan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tiada

terhingga kepada keluarga tercinta Ayahanda Alm. Pangadilan Nasution, Ibunda

iv

Universitas Sumatera Utara


Masatun Daulay, dan seluruh keluarga yang telah memberikan semangat,

dukungan, kepercayaan, dan doa yang tulus. Penulis tak lupa juga mengucapkan

terima kasih kepada Sahabat tercinta Riston Pulungan dan teman-teman yang

tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu selama

penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum

sempurna, oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran yang membangun

demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini

bermamfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

Medan, April 2018


Penulis

Wilda Khoiriah Nasution


NIM 131501078

Universitas Sumatera Utara


SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini,


Nama : Wilda Khoiriah Nasution
Nomor Induk Mahasiswa : 131501078
Program Studi : S-1 Reguler
Judul Skripsi :Evaluasi Penggunaan Obat Asma
Pada Pasien Asma Di Instalasi Rawat
Jalan Rumah Sakit Umum Pusat H.
Adam Malik Periode Juli 2016-Juni
2017
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini ditulis berdasarkan data dari
hasil pekerjaan yang saya lakukan sendiri dan belum pernah diajukan orang lain
untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Perguruan Tinggi dan bukan plagiat
karena kutipan yang ditulis telah disebutkan sumbernya di dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari ada pengaduan dari pihak lain karena di dalam
skripsi ini ditemukan plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia
menerima sanksi apapun oleh Program Studi Farmasi Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara dan bukan menjadi tanggung jawab pembimbing.
Demikianlah surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya untuk dapat
digunakan jika diperlukan sebagai mana mestinya.

Medan April 2018


Yang membuat pernyataan,

Wilda Khoiriah Nasution


NIM 131501078

vi

Universitas Sumatera Utara


EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ASMA PADA PASIEN ASMA DI
INSTALASI RAWAT JALAN RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H.ADAM
MALIK MEDAN PERIODE JULI 2016- JUNI 2017

ABSTRAK

Asma merupakan penyakit kronis saluran pernafasan yang ditandai oleh


inflamasi, peningkatan reaktivitas terhadap berbagai stimulus, dan sumbatan
saluran pernafasan. Prioritas pengobatan penyakit asma sejauh ini ditujukan
untuk mengontrol gejala. Pengobatan secara efektif telah dilakukan untuk
menurunkan morbiditas karena efektivitas terapi hanya tercapai jika ketepatan
obat untuk pasien telah sesuai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil
dan rasionalitas penggunaan obat asma pada pasien asma rawat jalan di Rumah
Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif retrospektif, data
diperoleh dari kartu rekam medik pasien asma rawat jalan di Rumah Sakit Umum
Pusat H. Adam Malik Medan periode juli 2016- Juni 2017. Data yang diperoleh
disajikan dalam bentuk persentase, nilai rata-rata dan tabel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 80 data rekam medik pasien
asma rawat jalan yang dianalisis didapati mayoritas pasien adalah perempuan
(80%) dan pada usia 19-59 tahun (61,25%) dengan rata-rata perpasien 1,64 item
obat. Jenis obat yang paling banyak digunakan adalah jenis obat generik
(70,90%). Golongan obat yang paling banyak diresepkan adalah golongan Agonis
beta-2 (44,78%) dengan bentuk sediaan yang paling banyak adalah inhalasi
(76,87%). Tingkat rasionalitas pengguanaan obat asma berdasarkan pedoman
Kemenkes RI 2011 meliputi kriteria tepat indikasi 100%, tepat pasien 100%,
tepat obat 100%, dan tepat dosis 94,77%.
Penggunaan obat asma pada pasien asma di instalasi rawat jalan Rumah
Sakit Umum Pusat H. Adam Malik sebagian besar sudah rasional.

Kata kunci: Asma, evaluasi penggunaan obat, pasien rawat jalan.

vii

Universitas Sumatera Utara


EVALUATION OF DRUG USE IN ASTHMATIC OUTPATIENTS
IN H. ADAM MALIK HOSPITAL MEDAN
PERIOD JULY 2016 - JUNE 2017

ABSTRACT

Asthma is a cronic respiratory disease that indicated by inflammation,


increased reactivity to a variety of stimuli, and airway blockage. The priority of
treatment of asthma is aimed at controlling symptoms. Treatment has effectively
been performed to reduce morbidity because the effectiveness of therapy is only
achieved if the patient's accuracy is appropriate. This study aims to determine
rationality the analysis of drug use of asthma patients hospitalized in H. Adam
Malik Hospital Medan.
This study was conducted by retrospective method, data obtained from
medical records of asthma patients hospitalized in H. Adam Malik hospital Medan
July 2016 to June 2017. The obtained data were presented in percentage, average
value and tables form.
The result showed that from 80 medical records of analyzed asthma
patients were found the majority of patients was women as much as 64 people
(80%) and at the age 19-59 years were 49 people (61.25%). The most drug use in
female (78.36%) with average per patients 1,64 drugs item and at the age of 19-59
years (61.20%). The most widely used type of drugs was generic (70.90%). The
most widely prescribed classe of asthma drug was Agonis beta-2 (46.61%) and
the most widely used dosage form was inhalation (76.87%). Rationality of drug
use of asthma based on Ministry of Health RI 2011 guedelines the appropriate
indication (100%), appropriate patient (100%), appropriate drugs selection
(100%), appropriate doses (94.77%).
The use of asthmatic drug in outpatient installation at H. Adam Malik
Hospital Medan most of them are rational.

Keyword: Asthma, evaluation of drug use, outpatient.

viii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ................................................................................................... i

HALAMAN JUDUL .............................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................... iii

KATA PENGANTAR ........................................................................... iv

SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ....................................... vi

ABSTRAK ............................................................................................. vii

ABSTRACT ........................................................................................... viii

DAFTAR ISI .......................................................................................... ix

DAFTAR TABEL .................................................................................. xii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................ xiii

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ......................................................... 5

1.3 Perumusan Masalah .................................................................. 4

1.4 Hipotesis .................................................................................... 4

1.5 Tujuan Penelitian ...................................................................... 4

1.6 Manfaat Penelitian .................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 6

2.1 Defenisi Asma ............................................................................ 6

2.2 Epidemiologi Asma .................................................................... 7

ix

Universitas Sumatera Utara


2.3 Patofisiologi Asma .................................................................... 8

2.4 Faktor Risiko .............................................................................. 9

2.5 Gejala ......................................................................................... 10

2.6 Diagnosis Asma ......................................................................... 11

2.6.1 Anamnesis ........................................................................ 11

2.6.2 Pemeriksaan Fisik ........................................................... 12

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang ................................................... 12

2.7 Klasifikasi Asma ........................................................................ 15

2.8 Penatalaksanaan Asma ............................................................... 16

BAB III METODE PENELITIAN ......................................................... 24

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................... 24

3.2 Jenis Penelitian ............................................................................ 24

3.3 Populasi dan Sampel .................................................................. 24

3.3.1 Populasi .............................................................................. 24

3.3.2 Sampel ................................................................................ 24

3.4 Instrumen Penelitian .................................................................... 25

3.5 Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 25

3.6 Analisis Data ................................................................................ 26

3.7 Defenisi Operasional .................................................................... 26

3.8 Langkah-Langkah penelitian ...................................................... 27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................... 29

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian .................................................. 29

4.1.1 Karateristik Pasien Asma Berdasarkan Jenis Kelamin..... 29

4.1.2 Karateristik Pasien Asma Berdasarkan Usia .................... 29

Universitas Sumatera Utara


4.2 Persentase Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Karakteristik . 32

4.2.1 Jenis Kelamin ..................................................................... 32

4.2.2 Usia ..................................................................................... 33

4.3 Persentase Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Jenis Obat ..... 34

4.4 Persentase Penggunaan Obat Asma Pada Pasien Asma


Berdasarkan Bentuk Sediaan ....................................................... 35

4.5 Persentase Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Golongan


Obat ............................................................................................. 36

4.6 Evaluasi Penggunaan Obat Asma ............................................... 38

4.6.1 Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Tepat Pasien ........... 38

4.6.2 Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Tepat Indikasi ........ 40

4.6.3 Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Tepat Obat ............. 41

4.6.4 Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Tepat Dosis ............ 45

4.6.5 Kerasionalan Penggunaan Obat Asma ............................... 48

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 50

5.1 Kesimpulan .................................................................................. 50

5.2 Saran ............................................................................................. 51

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 52

LAMPIRAN ........................................................................................... 55

xi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gambaran KIlinis Secara Umum


Pada Orang Dewasa ................................................................... 15

2.2 Pembagian Derajat Penyakit Asma Pada Anak .......................... 16

2.3 Pengobatan Sesuai Berat Asma ................................................... 17

4.1 Karakteristik Pasien Asma Berdasarkan Jenis Kelamin ............. 29

4.2 Karakteristik Pasien Asma Berdasarkan Usia ............................. 31

4.3 Karateristik Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Jenis Kelamin


..................................................................................................... 31

4.4 Karakteristik Penggunaan Obat Asma Pada Pasien Asma Berdasarkan


Usia.............................................................................................. 33

4.5 Krakteristik Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Jenis Obat ... 34

4.6 Karakteristik Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Bentuk Sediaan


..................................................................................................... 35

4.7 Karakteristik Penggunaan Obat Asma berdasarkan Golongan


Obat ............................................................................................. 36

4.8 Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Penggunaan Obat Asma


Berdasarkan Tepat Pasien ........................................................... 39

4.9 Persentase Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Tepat Pasien .. 39

4.10 Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Tepat Indikasi ................. 40

4.11 Pemberian Obat Asma Berdasarkan Tepat Pemilihan Obat ........ 41

4.12 Pemberian Obat Asma Berdasarkan Tepat Dosis ....................... 46

4.13 Evalausi Ketepatan (Tepat pasien, tepat obat, tepat indikasi dan tepat
dosis) ........................................................................................... 48

4.14 Kerasionalan Penggunaan Obat Asma ........................................ 48

xii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka Pikir Penelitian ....................................................... 5

xiii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Data rekam medik pasien asma rawat jalan RSUP H. Adam


Malik Medan ............................................................................. 55

2 Perhitungan dosis obat asma yang tidak sesuai dengan


ketepatan dosis ........................................................................... 68

3 Rekomendasi persetujuan etik ................................................... 71

4 Surat Izin Penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan ............. 72

5 Surat Izin Selesai Penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan .. 73

xiv

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai oleh

inflamasi, peningkatan reaktivitas terhadap berbagai stimulus, dan hambatan

saluran pernafasan (Depkes, RI, 2007).

Prioritas pengobatan penyakit asma sejauh ini ditujukan untuk mengontrol

gejala. Pengobatan secara efektif telah dilakukan untuk menurunkan morbiditas

karena efektivitas terapi hanya tercapai jika ketepatan obat untuk pasien telah

sesuai (Okti, dkk., 2016).

Penyakit asma merupakan penyakit lima besar penyebab kematian di dunia

yang bervariasi antara 5-10 %. Di Indonesia prevalensi asma belum diketahui

secara pasti namun diperkirakan 2-5 % penduduk Indonesia menderita Asma.

Kementrian Kesehatan memperkirakan penyakit asma termasuk sepuluh besar

penyebab kesakitan dan kematian di Rumah Sakit dan diperkirakan 10 % dari 25

juta penduduk Indonesia menderita asma (Syamsudin, dkk., 2013).

Global initiative for Asthma (GINA) menyatakan bahwa asma adalah salah

satu penyakit kronis yang paling umum terjadi di seluruh dunia dan asma adalah

penyebab utama absen dari sekolah dan pekerjaan (GINA, 2014). Menurut

Depkes, RI, (2007), dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup,

produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya

kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian.

Universitas Sumatera Utara


Global Initiative for Asthma (GINA) memperkirakan bahwa hampir 300 juta

orang di seluruh dunia menderita asma. Pada sepuluh tahun terakhir, telah terjadi

peningkatan tajam insiden asma di Afrika Selatan dan negara-negara di Eropa

Timur, termasuk kawasan Baltik, terutama pada anak dan geriatrik (Clark, 2013).

Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2005 mencatat 225.000 orang

meninggal karena asma. Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 secara

keseluruhan prevalensi penderita asma di Indonesia sebesar 3,5% dan dari data

Riset Kesehatan Dasar di tahun 2013 penderita asma meningkat menjadi 4,5%.

Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi asma di

Provinsi Sumatera Utara adalah 3% dengan kisaran prevalensi sebesar 3-6,4%

(Kemenkes, RI, 2013).

Perbandingan penderita asma berdasarkan jenis kelamin lebih kurang sama.

Namun, pada anak-anak sebagian besar penderita asma adalah laki-laki dengan

perbandingan anak laki-laki dengan anak perempuan adalah 3:2, sementara pada

orang dewasa sebagian besar adalah perempuan (Sundaru, 2006).

Penelitian penggunaan obat diperlukan untuk menggambarkan pola

penggunaan obat, rencana awal penggunaan obat rasional, intervensi untuk

meningkatkan penggunaan obat, siklus pengawasan kualitas, dan peningkatan

mutu berkelanjutan. Pola penggunaan obat dapat menggambarkan sejauh mana

penggunaan obat saat tertentu dan di daerah tertentu (misalnya Negara, wilayah,

masyaraka, rumah sakit), penggambaran tersebut menjadi penting ketika mereka

adalah bagian dari sistem evaluasi berkelanjutan (WHO, 2003).

Defenisi penggunaan obat secara rasional adalah mensyaratkan bahwa

penderita menerima obat yang sesuai dengan kebutuhan klinik, dalam dosis yang

Universitas Sumatera Utara


memenuhi keperluan individual itu sendiri untuk periode waktu yang memadai,

dengan harga yang terendah bagi mereka dan komunitas mereka (Siregar, 2013).

Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-

hari. Peresepan obat tanpa indikasi yang jelas, penentuan dosis, cara dan lama

pemberian yang keliru. Penggunaan suatu obat dikatakan tidak rasional jika

kemungkinan dampak negatif yang diterima oleh pasien lebih besar dibanding

manfaatnya. Dampak negatif disini dapat berupa dampak klinik dan dampak biaya

(Kemenkes RI, 2011).

Berdasarkan uraian dan data di atas maka peneliti merasa perlu dilakukan

penelitian untuk mengetahui gambaran penggunaan obat pada pasien asma rawat

jalan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Kota Medan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

a. Bagaimana prevalensi pasien asma rawat jalan periode Juli 2016 -Juni

2017 di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Kota Medan

berdasarkan jenis kelamin, usia?

b. Bagaimana pola penggunaan obat asma pada pasien asma rawat jalan

periode Juli 2016-Juni 2017 di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam

Malik Kota Medan berdasarkan jenis obat, golongan obat, dan bentuk

sediaan?

c. Bagaimana rasionalitas penggunaan obat asma berdasarkan indikasi

dan dosis penggunaan di RSUP H. Adam Malik Medan?

Universitas Sumatera Utara


1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka hipotesis penelitian ini adalah:

a. Prevalensi tertinggi pasien asma rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat

H. Adam Malik Kota Medan adalah jenis kelamin perempuan, usia 19-59

tahun.

b. Pola penggunaan obat asma pada pasien rawat jalan periode Juli 2016-Juni

2017 di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Kota Medan

berdasarkan obat yang paling banyak digunakan adalah jenis generik,

golongan Agonis beta, dan bentuk sediaan inhalasi.

c. Rasionalitas penggunaan obat asma pada pasien asma di RSUP H.Adam

Malik Medan tergolong baik.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hal diatas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

a. Prevalensi pasien asma rawat jalan periode Juli 2016- Juni 2017 di Rumah

Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Kota Medan berdasarkan jenis

kelamin, usia.

b. Pola penggunaan obat asma pada pasien asma rawat jalan periode Juli

2016- Juni 2017 di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Kota

Medan berdasarkan jenis obat, golongan obat, dan bentuk sediaan.

c. Kerasionalan penggunaan obat asma pada pasien asma berdasarkan

indikasi dan dosis penggunaan di RSUP H.Adam Malik Medan.

Universitas Sumatera Utara


1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat kepada banyak pihak

yaitu:

a. Menjadi bahan informasi dalam program monitoring, evaluasi

penggunaan, perencanaan, dan pengadaan obat asma pada periode

selanjutnya di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Kota Medan.

b. Menjadi bahan informasi bagi masyarakat mengenai penyakit asma

khususnya mengenai terapi obat asma pada pasien asma rawat jalan di

rumah sakit.

c. Memberi gambaran bagi penelitian selanjutnya mengenai penggunaan obat

asma khususnya di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Kota

Medan.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang penggunaan obat asma pada pasien asma

di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Karakteristik pasien:
Pola Penggunaan
- Jenis Kelamin
- Umur Obat Asma
Kriteria
Karakteristik terapi: Rasionalitas :
- Tepat Pasien
- Jenis Obat Rasionalitas - Tepat Obat
- Bentuk Sediaan Obat Asma - Tepat
- Golongan Obat
Indikasi
- Tepat Dosis
Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian

Universitas Sumatera Utara


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Asma

Kata “Asthma” berasal dari bahasa Yunani yang berarti “terengah - engah”

atau sukar bernapas (Hood Alsagaff, 2015). Asma biasanya dikenal sebagai suatu

penyakit yang ditandai dengan adanya wheezing (mengi) intermiten yang timbul

sebagai respon akibat paparan terhadap suatu zat iritan alergen.. Terapi yang

adekuat terhadap penyebab yang mendasari terjadinya asma dapat mencegah

munculnya gejala asma dan dapat meningkatkan kualitas hidup penderita secara

signifikan. Terdapat banyak contoh kasus kasus penderita asma yang data ikut

berpartisifasi dalam kompetisi olahraga profesional atau mempunyai karir sukses

karena asmanya yang “terkontrol” dan tidak mengganggu aktivitas mereka sehari

(Margaret, 2013).

Global initiative for Asthma (2012) dengan spesifik mendefinisikan asma

menurut karakteristiknya secara klinis, fisiologis, dan patologis. Secara klinis,

adanya episodik sesak napas terutama pada malam hari, sering disertai dengan

batuk yang merupakan ciri utamanya. Karakteristik utama fisiologisnya yaitu,

terdapat obstruksi saluran napas dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi.

Berdasarkan patologisnya terdapat inflamasi jalan napas yang berhubungan

dengan perubahan struktur jalan napas (GINA, 2012).

Menurut United State National Tuberculosis Association (1967), asma

bronkial merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi yang

meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan

Universitas Sumatera Utara


manifestasi berupa kesukaran bernafas yang disebabkan oleh penyempitan yang

menyeluruh dari saluran nafas. Penyempitan saluran nafas ini bersifat dinamis,

dan derajat penyempitan dapat berubah, baik secara spontan maupun karena

pemberian obat, dan kelainan dasarnya berupa gangguan imunologi.

Namun untuk mencapai batasan yang sesuai dengan para ahli di bidang

klinik, fisiologi, imunologi, dan patologi pada bulan September 1991 dibuat suatu

kesepakatan baru mengenai batasan asma yakni; Asma bronkial adalah suatu

penyakit paru dengan tanda - tanda khas berupa:

1. Obstruksi saluran pernafasaan yang dapat pulih kembali (namun tidak

pulih kembali secara sempurna pada beberapa penderita) baik secara

spontan atau dengan pengobatan.

2. Keradangan saluran pernafasan

3. Penigkatan kepekaan dan/atau tanggapan yang berlebihan dari saluran

pernafasan terhadap berbagai rangsangan (Hood Alsagaff, 2015).

2.2 Epidemiologi Asma

Sampai saat ini, penyakit asama masih menunjukkan prevalensi yang

tinggi berdasarkan data dari WHO, diseluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta

orang menderita asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma mencapai

400 juta. Selain itu setiap 250 orang ada satu orang meninggal karena asma setiap

tahunnya (GINA, 2004).

Secara geografis prevalensi asma bronkial, rendah pada bangsa Eskimo,

Indian di Amerika Utara dan Papua Nugini walaupun ada sarjana yang

berpendapat bahwa keadaan ini bukan semata– mata karena pengaruh lingkungan,

Universitas Sumatera Utara


tetapi lebih mengarah pada pengaruh genetik. Survei Kesehatan Rumah Tangga

(SKRT) 1986 mengajukan angka sebesar 7.6%. Pada hasil SKRT 1992, asma,

bronkitis kronik dan emfisema dinyatakan sebagai penyebab kematian ke 4 di

Indonesia atau sebesar 5.6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia

mencapai 13/1000 penduduk dibandingkan bronkhitis kronik 11/1000 penduduk

dan obstruksi paru 2/1000 penduduk (PDPI, 2003).

2.3 Patofisiologi Asma

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain

alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma

dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur

imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I

(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada

orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal

dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE

terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang

berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup

alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen

kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan

menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.

Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, eosinofil dan

bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus

kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos

bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas (Rengganis, 2008).

Universitas Sumatera Utara


Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast

intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran

napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator

inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan

napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,

sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh

mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa

melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap,

kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf.

Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya

neuropeptida. Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya

bronkokonstriksi, edema bronkus, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel

inflamasi (Rengganis, 2008).

2.4 Faktor Resiko

Secara umum faktor risiko asma menurut Pedoman Pengendalian Penyakit

Asma (2009) yaitu:

a. Faktor Pejamu

1. Hipereaktivitas

2. Atopi/alergi bronkus

3. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik

4. Jenis kelamin

5. Ras/etnik

Universitas Sumatera Utara


b. Faktor Lingkungan

1. Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, jamur dll).

2. Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari).

3.Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,

makanan laut, susu sapi, telur).

4. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, bloker dll)

5. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray)

6. Ekspresi emosi berlebih

7. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif

8. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan

9. Exercised induced asthma

10. Perubahan cuaca

2.5 Gejala

Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa

pengobatan. Gejala awal berupa :

a. Batuk terutama pada malam atau dini hari

b. Sesak napas

c. Napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan

napasnya

d. Rasa berat di dada

e. Dahak sulit keluar

Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa

yang termasuk gejala yang berat adalah:

10

Universitas Sumatera Utara


a. Serangan batuk yang hebat

b. Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal

c. Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)

d. Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk

e. Kesadaran menurun (Depkes, RI., 2007)

2.6 Diagnosis Asma

Diagnosis asma bisa ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Anamnesa berupa keluhan utama, riwayat penyakit

keluarga, faktor yang memperberat atau memperingan gejala, bagaimana dan

kapan terjadinya keluhan. Karakteristik gejala asma yaitu lebih dari satu gejala

berupa mengi, sesak napas, batuk, dada terasa berat, yang semakin buruk saat

malam atau pagi hari dengan waktu dan intensitas yang bervariasi, bisa dipicu

oleh infeksi virus,olahraga, paparan allergen, perubahan cuaca, serta bahan iritan

seperti asap (GINA, 2014).

2.6.1 Anamnesis

Ada beberapa hal yang harus ditanyakan dari pasien asma antara lain :

a. Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang dini

hari?

b. Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk

setelah terpajan alergen atau pencetus?

c. Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah melakukan

aktifitas atau olahraga?

11

Universitas Sumatera Utara


d. Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan musim

atau cuaca atau suhu yang ekstrim (perubahan yang tiba-tiba)?

e. Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang atau hilang setelah

pemberian obat pelega (bronkodilator)?

f. Apakah dalam keluarga (kakek/nenek, orang tua, anak, saudara

kandung, saudara sepupu) ada yang menderita asma? (Depkes, RI., 2009)

2.6.2 Pemeriksaan fisik

Pasien yang mengalami serangan asma, pada pemeriksaan fisik dapat

ditemukan (sesuai derajat serangan) :

a. Inspeksi : pasien terlihat gelisah, sesak (nafas cuping hidung, nafas

cepat), sianosis.

b. Palpasi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata (pada serangan berat

dapat terjadi pulsus paradoksus).

c. Perkusi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata.

d. Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing, suara lendir (Depkes,

RI.,2009)

2.6.3 Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan fungsi Paru

Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi

mengenai asmanya sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru.

Pemeriksaan fungsi paru sebagai paramater objektif yang standsar dipakai yaitu

pemeriksaan spirometri dan peak expiratory flow (PEF) (PDPI, 2003).

Spirometer adalah alat pengukur faal paru yang penting dalam

menegakkan diagnosa untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan

12

Universitas Sumatera Utara


(Rengganis, 2008). Spirometer adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital

paksa (KVP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Untuk

mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa

(Depkes, RI., 2007).

Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :

a. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP 1 / KVP < 75% atau

VEP 1 < 80% nilai prediksi.

b. Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP 1 > 15% secara spontan, atau

setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah

pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian

kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat

membantu diagnosis asma

c. Menilai derajat berat asma (PDPI, 2003).

Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter) adalah alat yang paling

sederhana untuk memeriksa gangguan jalan napas, yang relatif sangat murah,

mudah dibawa. Dengan PEF meter fungsi paru yang dapat diukur adalah arus

puncak ekspirasi (APE) (Depkes, RI., 2007).

Manfaat APE dalam diagnosis asma

a. Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE > 15% setelah inhalasi

bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau

respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral, 2 minggu).

b. Variabiliti, menilai variabiliti APE harian. Variabiliti juga dapat

digunakan, menilai derajat berat penyakit (PDPI, 2003).

Cara pemeriksaan variabilitas APE (Depkes, RI., 2007).

13

Universitas Sumatera Utara


Pada pagi hari diukur APE untuk mendapatkan nilai terendah dan

malam hari untuk mendapatkan nilai tertinggi.

Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak ekspiratory Flow

Meter ini dianjurkan pada Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik,

praktek dokter dan oleh pasien di rumah. Pemantauan berkala di rawat jalan,

klinik dan praktek dokter. Pemantauan sehari-hari di rumah.

b. Uji provokasi bronkus

Uji provokasi bronkus dilakukan untuk menunjukan adanya

hiperreaktivitasbronkus. Ada beberapa cara untuk melakukan uji provokasi

bronkus seperti uji dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin,

larutan garam hipertonik. Uji provokasi bronkus bermakna jika terjadi penurunan

FEV1 sebesar 20 % atau lebih (Sundaru, 2001).

c. Pemeriksaan sputum

Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil

sangat dominan pada bronkitis kronik (Sundaru, 2001).

d. Uji tusuk kulit (skin prick test)

Uji kulit dengan alergen dilakukan sebagai pemeriksaan diagnostik pada

asma ekstrinsik alergi. Keadaan alergi ini dihubungkan dengan adanya produksi

antibodi IgE (Meiyanti, 2000).

e. Pemeriksaan radiologis

Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu

serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru (Tanjung, 2003).

14

Universitas Sumatera Utara


2.7 Klasifikasi Asma

GINA membagi klasifikasi klinis asma menjadi 4, yaitu Asma intermiten,

Asma persisten ringan, Asma persisten sedang, dan Asma persisten berat. Dalam

klasifikasi GINA dipersyaratkan adanya nilai PEF atau FEV1 untuk penilaiannya.

Tabel 2.1 Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum
pada orang dewasa

Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru


Intermitten Bulanan APE 80%
-Gejala 2 kali sebulan -VEP1 80% nilai
<1x/minggu prediksi APE
-Tanpagejala diluar 80% nilai
serangan. terbaik.
- Serangan singkat -Variabiliti
APE<20%
Persisten ringan Mingguan APE>80%
-Gejala>1x/minggu >2 kali sebulan -VEP1 80% nilai
tetapi<1x/hari. prediksi APE
-Serangan dapat 80% nilai
mengganggu terbaik.
aktiviti dan tidur -Variabiliti APE
2030%
Persisten sedang Harian APE 60-80%
- Gejala setiap hari >2 kali sebulan -VEP1 60-80%
-Serangan nilai prediksi
mengganggu APE 6080%nilai
aktiviti dan tidur. terbaik.
-Membutuhkan -Variabiliti
bronkodilator APE>30%
setiap hari.
Persisten berat Kontinyu APE
-Gejalaterus Sering - VEP1 60%
menerus nilai prediksi.
-Sering kambuh APE 60% nilai
-Aktiviti fisik terbaik
terbatas -Variabiliti
APE>30%
Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman &
Penatalaksanaan di Indonesia, 2003

15

Universitas Sumatera Utara


Konsensus Internasional III juga membagi asma anak berdasarkan keadaan

klinis menjadi 3 yaitu asma episodik jarang (asma ringan) yang meliputi 75%

populasi anakasma, asma episodik sering (asma sedang) meliputi 20% populasi,

dan asma persisten (asma berat) meliputi 5% populasi (Warner, 1998).

Konsensus Nasional juga membagi asma anak menjadi 3 derajat penyakit

seperti halnya Konsensus Internasional, tapi dengan kriteria yang lebih lengkap

seperti dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 2.2 Pembagian derajat penyakit asma pada anak

Parameter Asma episodik Asma episodik Asma persisten


klinis, jarang (Asma sering (Asma (Asma berat)
kebutuhan ringan) sedang)
obat, dan faal
paru
Frekuensi <1x / bulan >1x / bulan Sering
serangan
Lama serangan <1 minggu >1 minggu hampir sepanjang
tahun
Intensitas biasanya ringan biasanya sedang biasanya berat
serangan
Diantara Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
serangan malam
Tidur dan tidak terganggu sering terganggu Sanagt terganggu
aktivitas
Faal paru di PEF/FEV1 >80% PEF/FEV1 PEF/ FEV1 <60%
luar serangan 60-80%
Faal paru pada variabilitas >15% variabilitas >30% variabilitas >50%
saat
Sumber : Konsensus Nasional Asma Anak (IDAI, 2000)

2.8 Penatalaksanaan asma

Tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk mencapai asma terkontrol agar

memiliki kualitas hidup baik yang tidak mengganggu aktivitas dan mencegah

kematian saat serangan.Pada serangan asma, tujuan tatalaksananya adalah untuk:

16

Universitas Sumatera Utara


a. Meredakan penyempitan jalan napas secepat mungkin

b. Mengurangi hipoksemia

c. Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya

d. Rencana tatalaksana untuk mencegah kekambuha

Tabel 2.3 Pengobatan sesuai berat asma

Berat Medikasi Alternatif/ Pilihan lain Alternatif


Asma pengontrol harian lain
Asma Glukokortikosteroid- -Teofilin lepas lambat ------
Persisten Inhalasi (200-400 -Kromolin
Ringan ug BD/hari atau -Leukotriene modifiers
ekivalennya)
Asma Kombinasi inhalasi •Glukokortikosteroid inhalasi • Ditambah
Persisten glukokortikosteroid (400-800 ug BD atau agonis beta-
Sedang (400-800 ug ekivalennya) ditambah 2 kerja lama
BD/hari atau Teofilin lepas lambat,atau oral, atau
ekivalennya) dan •Glukokortikosteroid inhalasi • Ditambah
agonis beta-2 kerja (400-800 ug BD atau teofilin lepas
lama ekivalennya) ditambah lambat
agonis beta-2 kerja lama
oral, atau
•Glukokortikosteroid inhalasi
dosis tinggi (>800 ug BD
atau ekivalennya) atau
•Glukokortikosteroid inhalasi
(400-800 ug BD atau
ekivalennya) ditambah
leukotriene modifiers
Asma Kombinasi inhalasi Prednisolon/metilprednisolon
Persisten glukokortikosteroid oral selang sehari 10 mg
Berat (> 800 ug BD atau ditambah agonis beta-2 kerja
ekivalennya) dan lama oral, ditambah teofilin
agonis beta-2 kerja lepas lambat
lama, ditambah > 1
di bawah ini:
-teofilin lepas
lambat
-leukotriene
modifiers
-kortikosteroid
oral
Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman &
Penatalaksanaan di Indonesia, 2003

17

Universitas Sumatera Utara


Penatalaksaan asma ini dikutip berdasarkan GINA (2012), yang

mengklasifikasikan pengobatan asma menjadi dua yaitu sebagai obat kontrol asma

(controllers) dan obat pelega asma (reliever).

Obat pengontrol adalah obat asma yang digunakan setiap hari dalam jangka

waktu panjang pada asma persisten untuk mencegah asma menjadi semakin parah

dan mempertahankan asma menjadi terkontrol melalui interaksi dengan proses

inflamasi. Sebagai berikut adalah jenis-jenis obat pengontrol :

a. Kortikosteroid inhalasi

Kortikosteroid inhalasi mempunyai efek anti-inflamasi terhadap sel dan

jaringan spesifik. Kortikosteroid yang masuk secara langsung dan diabsopsi di

paru akan berikatan dengan reasxseptornya, menghambat sintesis sitokin

proinflamasi, dan menurunkan jumlah sel T limfosit, sel dendrit, eosinofil juga sel

mast. Penggunaan kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan fungsi paru,

menurunkan hiperesponsif bronkus, menurunkan eksaserbasi asma dalam

kunjungan gawat darurat (Raissy, et al., 2013). Kepatuhan menggunakan obat ini

menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat asma dengan perkiraan 21%

penurunan resiko kematian akibat serangan asma (Sloan, et al., 2013).

Efek samping yang mungkin pada penggunaan kortikosteroid inhalasi lebih

minimal daripada kortikosteroid sistemik. Hal ini bergantung pada dosis, potensi

bioavailabiliti, metabolisme hati, dan waktu paruhnya. Obat inhalasi

kortikosteroid dosis tinggi yang digunakan jangka panjang bisa menimbulkan efek

sistemik seperti purpura, supresi adrenal dan penurunan densitas tulang. Namun,

dengan menggunakan spacer dapat mengurangi efek samping sistemik dengan

18

Universitas Sumatera Utara


menurunkan bioavailabiliti. Selain itu, spacer juga membantu untuk mengurangi

efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk akibat iritasi

saluran napas atas (PDPI, 2003).

b. Kortikosteroid sistemik

Penggunaan kortikosteroid jangka lama lebih direkomendasikan secara

inhalasi daripada sistemik akibat efek samping pemberian sistemik lebih serius.

Namun, pemberian sistemik dapat diberikan pada penderita asma persisten berat

yang tidak terkontrol. Penggunaan sistemik secara oral lebih dianjurkan dari

parenteral (intramuskular, intravena, subkutan) karena pertimbangan waktu paruh

oral lebih singkat dan efek samping yang muncul lebih sedikit (PDPI, 2003).

c. Agonis beta-2 kerja lama (Long-acting β2-agonist)

Mekanisme kerja obat beta-2 agonis yaitu melalui reseptor β2 yang

mengakibatkan relaksasi otot polos bronkus. Formoterol dan salmeterol termasuk

dalam golongan LABA ini, kedua obat itu memiliki lama kerja obat >12 jam.

Namun, obat golongan LABA sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi

jangka panjang karena tidak mempengaruhi respon inflamasinya justru

meningkatkan angka kesakitan dan kematian. LABA dikombinasi dengan

kortikosteroid inhalasi telah terbukti sangat efektif dalam mengurangi gejala asma

dan eksaserbasi dengan menunjukkan hasil fungsi paru yang lebih baik.

Kombinasi LABA dan kortikosteroid inlamasi hanya direkomendasikan untuk

pasien yang gagal mencapai asma terkontrol dengan kortikosteroid dosis rendah

medium (PDPI, 2003).

d. Kromolin: sodium kromoglikat dan sodium nedokromil

19

Universitas Sumatera Utara


Kromolin dan nedokromil merupakan obat alternatif dalam pengobatan

asma persisten ringan. Kromglikat dan nedokromil memiliki sifat yang sama yaitu

sebagai obat anti-inflamasi. Obat ini memblok kanal klorida dan modulasi

pelepasan mediator sel mast dan eosinofil (NHLBI, 2007). Kromolin juga bisa

menghambat reaksi asma fase cepat dan fase lambat, meskipun permulaan

percobaan obat ini hanya berperan pada sel mast untuk mensupresi pengeluaran

histamin, ternyata dapat menghambat generasi sitokin juga (Yazid, et al., 2013).

e. Metilxantin

Teofilin merupakan derivat xantin. Efek terpenting xantin ialah relaksasi

otot polos bronkus, terutama bila otot bronkus dalam keadaan konstriksi. Efek

bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosin

maupun inhibisi PDE (fosfodiesterase). Adenosin dapat menyebabkan

bronkokonstriksi pada pasien asma dan memperkuat penglepasan mediator dari

sel mast. Oleh karena teofilin merupakan antagonis kompetitif reseptor adenosin,

maka hal ini yang mengatasi bronkokonstriksi pasien asma. Selain itu,

penghambatan PDE mencegah pemecahan cAMP dan cGMP sampai terjadi

akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel yang mengakibatkan relaksasi otot polos

termasuk otot polos bronkus (Louisa, 2011).

Pemberian teofilin dapat dipertimbangkan karena efek bronkodilatasinya

akibat inhibisi aktivitas PDE untuk mengatasi gejala asma. Tetapi efek

bronkodilatasinya lebih lemah dari short-acting beta-2 agonis. Penambahan

teofilin kerja singkat dengan obat golongan SABA tidak memperkuat respon

bronkodilatasi namun dapat bermanfaat untuk respiratory drive. Pemberian

teofilin kerja singkat tidak dianjurkan pada pasien yang sudah mendapat terapi

20

Universitas Sumatera Utara


teofilin lepas lambat kecuali ada dilakukan monitoring kadarnya dalam darah

(PDPI, 2003).

Telah dilakukan berbagai penelitian bahwa teofilin efektif sebagai kontrol

gejala dan perbaikan terhadap fungsi paru, sehingga teofilin atau aminofilin lepas

lambat dapat digunakan sebagai pengontrol. Kombinasi kortikosteroid dengan

teofilin sebagai alternatif menunjukkan perbaikan fungsi paru namun teofilin

tidak lebih efektif dari inhalasi beta-2 agonis (PDPI,2003).

f. Leukotriene modifiers

Mekanisme kerja obat ini adalah menghambat reseptor cysteinyl-

leukotriene 1 (CysLT1) dan enzim 5-lipoksigenase. Leukotrin merupakan derivat

asam arakidonat. Asam arakidonat dipecah fosfolipase A2 menjadi arakidonat

bebas. Enzim 5-lipoksigenase ini selanjutnya mengkonversi asam arakidonat

bebas menjadi leukotrin A4 dan akhirnya akan diubah menjadi leukotrin C4, D4,

E4. Leukotrin yang sudah terbentuk berikatan dengan reseptornya yaitu CysLT1

yang ditemukan pada eosinofil, monosit, sel-sel otot polos saluran napas,

neutrofil, sel B, sel plasma, dan makrofag jaringan. Dari mekanisme di atas,

terlihat bahwa leukotrin dianggap sebagai mediator inflamasi yang mampu

mengaktivasi eosinofil, meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler, sekresi

mukus, proliferasi dan penyempitan otot polos, serta diduga efek bronkokonstriksi

yang disebabkan oleh leukotrin lebih besar daripada efek oleh histamin

(Scichilone, 2013).

g. Kombinasi Kortikosteroid dan Long acting Agonis Beta ( LABA)

Pemberian inhalasi kombinasi LABA dengan kortikosteroid, memberikan

hasil yang lebih baik daripada terapi kortikosteroid tunggal, meskipun dosisnya

21

Universitas Sumatera Utara


ditingkatkan. Terapi inhalasi kombinasi yang tetap antara salmeterol dengan

fluticasone serta formoterol dengan budesonide, merupakan bentuk terapi yang

menjanjikan dalam pengobatan asma. Terapi kombinasi yang tetap ini

mempunyai beberapa keuntungan antara lain:

a. Dosis kortikosteroid dan agonis β2 kerja lama (LABA) yang

digunakan pada terapi kombinasi, lebih rendah dibandingkan bila

obat ini dipakai secara terpisah.

b. Pemberian inhalasi kombinasi kedua obat ini memberikan hasil yang

lebih baik dibandingkan pemberian steroid dengan dosis dua kali lipat.

c. Pemberian kortikosteroid dapat meningkatkan sintesis reseptor

agonis β2 dan menurunkan desensitisas terhadap agonis β2.

d. Pemberian agonis β2 menyebabkan reseptor steroid menjadi lebih

“siap”, sehingga lebih sedikit kortikosteroid yang dibutuhkan

untuk menghasilkan aktivitas yang diharapkan.

Prinsip kerja obat pelega (relievers) adalah sebagai bronkodilator untuk

membantu mengatasi bronkokonstriksi jalan napas dan gelaja yang menyertainya

seperti sesak, mengi, batuk, dan dada terasa berat (PDPI, 2003).

a. Short-acting β2 agonis (SABA)

SABA merupakan obat yang paling efektif mengatasi bronkospasme saat

eksaserbasi asma akut dan juga dapat mencegah exercice-induced asthma.

Golongan SABA dapat diberikan secara inhalasi, oral, atau parenteral. Namun

pemberian yang lebih direkomendasikan adalah dengan inhalasi karena

mempertimbangkan kerja obat yang cepat juga efek samping yang minimal.

SABA memiliki mekanisme sama seperti obat β2 agonis lain yaitu dengan

22

Universitas Sumatera Utara


merelaksasi jalan napas, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan

permiabilitas vaskuler, dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan

eosinofil. Yang termasuk obat golongan SABA adalah salbutamol, Fenoterol,

levalbuterol, biltolterol, pirbuterol, isoproterol, metaproternol, terbutaline,

epinephrine (PDPI, 2003).

b. Antikolinergik

Obat golongan ini berupa ipatropium dan oxitropium bromida. Mekanisme

kerja obat golongan ini adalah sebagai bronkodilatasi dengan kompetitif

menghambat reseptor muskarinik kolinergik, menurunkan tonus intrinsik vagus,

blokade reflex bronkokonstriksi akibat zat iritan atau reflux esofagus, dan

menurunkan sekresi mukus. Pemberian secara inhalasi bronkodilator

antikolinergik ini kurang efektif jika dibandingkan dengan SABA. Namun, Obat

ini dapat diberikan pada pasien yang tidak respon terhadap SABA atau sebagai

alternatif pada penderita yang memilik efek samping seperti takikardi, aritmia,

tremor dengan pemakaian SABA (PDPI, 2003).

23

Universitas Sumatera Utara


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Pengambilan data dilakukan pada Bulan Juli-Agustus 2017 di ruang

rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, dengan

mengambil data pasien asma rawat jalan periode Juli 2016-Juni 2017.

3.2 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu penelitian yang

bertujuan untuk mendapatkan gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan

secara objektif, pengambilan data dilakukan secara retrospektif yaitu suatu

penelitian yang mengkaji informasi atau mengambil data yang telah lalu dengan

menggunakan data sekunder (Budiarto, 2002).

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh data rekam medis pasien

asma rawat jalan yang didiagnosis penyakit asma dan menjalani pengobatan di

Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Kota Medan pada periode waktu Juli

2016-Juni 2017.

24

Universitas Sumatera Utara


3.3.2 Sampel

Sampel penelitian harus memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk

kriteria eksklusi.

a. Kriteria inklusi penelitian ini adalah data rekam medis pasien asma

meliputi biodata pasien (usia dan jenis kelamin) dan biodata obat (nama

obat, bentuk sediaan, dan regimen dosis).

b. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah data rekam medis pasien asma yang

tidak lengkap dan tidak bisa dibaca oleh peneliti.

3.4 Instrumen Penelitian

Status rekam medis dari pasien asma rawat jalan periode Juli 2016-Juni

2017 di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Kota Medan dan lembar

pengumpul data penggunaan obat pada pasien asma.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan buku registrasi dapat diketahui populasi penelitian, dari

populasi ditentukan sampel yang memenuhi kriteria inklusi, rekam medis sampel

yang telah ditetapkan kemudian dikumpulkan. Pemindahan data yang diperlukan

dari tiap-tiap rekam medis sampel dipindahkan ke lembar pengumpul data. Data

yang dikumpulkan merupakan data penggunaan obat pada pasien asma dari data

rekam medis pasien rawat jalan penderita asma di Rumah Sakit Umum Pusat H.

Adam Malik Kota Medan Periode Juli 2016 – Juni 2017 berdasarkan jenis

kelamin, usia, jenis obat, golongan obat, regimen dosis, dan bentuk sediaan, obat,

dan dosis yang digunakan.

25

Universitas Sumatera Utara


3.6 Analisis Data

Hasil Penelitian terdiri dari data deskripsi pasien dan data terapi obat.

Data deskripsi pasien di gunakan untuk mencari persentase jenis kelamin dan

usia. Sedangkan data terapi obat digunakan untuk memperoleh gambaran pola

penggunaan obat pada pasien dengan diagnosis asma meliputi jenis obat,

golongan obat, bentuk sediaan obat dan regimen dosis. Data-data penelitian

tersebut dianalisis mengikuti rancangan deskriptif non-analitik kemudian diolah

dengan program Microsoft Excel dan disajikan dalam bentuk persentase, nilai

rata-rata dan tabel.

3.7 Defenisi Operasional

Defenisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Periode adalah total lamanya data penelitian yaitu periode bulan Juli

2016-Juni 2017.

b. Usia adalah total lama waktu hidup objek sejak tanggal kelahiran hingga

saat dilakukan pengobatan asma di Rumah Sakit.

c. Diagnosis penyakit adalah diagnosis penyakit pasien rawat jalan sesuai

yang tertera pada lembar data rekam medis yang diambil.

d. Jenis obat adalah pembagian dari obat yang diresepkan yang terdiri dari

obat generik dan non-generik.

e. Kerasionalan adalah penggunaan obat yang tepat secara medik dan

memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Kerasionalan disini

berdasarkan kriteria tepat pasien, tepat obat, tepat indikasi, tepat dosis

penggunaan pada pasien rawat jalan (IKAPI, 2009).

26

Universitas Sumatera Utara


f. Tepat indikasi adalah pemberian penggunaan obat asma diindikasikan

untuk pasien yang memiliki gejala adanya penyakit asma.

g. Tepat dosis adalah takaran yang diberikan pada pasien yang medapat

terapi obat asma telah sesuai range terapi sehingga konsentrasi dalam

darah cukup memberikan efek terapi

h. Tepat pasien adalah melihat kesesuaian pemberian obat asma kepada

pasien dengan keadaan dan kondisi klinis pasien

i. Tepat obat adalah membandingkan obat asma pada rekam medik dengan

obat asma pada standar terapi untuk penyakit asma.

3.8 Langkah Penelitian

Langkah Pengambilan data yang dilakukan untuk mengumpulkan data

rekam medis pasien adalah :

a. Meminta rekomendasi Dekan Fakultas Farmasi USU untuk dapat

melakukan penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Kota

Medan.

b. Menghubungi kepala bidang pendidikan dan penelitian Rumah Sakit

Umum Pusat H. Adam Malik Kota Medan untuk mendapatkan izin

melakukan penelitian, dengan membawa surat rekomendasi dari fakultas.

c. Melakukan penelitian di bagian rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat

H. Adam Malik Kota Medan dengan mengambil data periode bulan Juli

2016 - Juni 2017.

d. Mencatat data yang dibutuhkan dari data rekam medik yang menuliskan

obat asma untuk pasien rawat jalan yang didiagnosis menderita asma.

27

Universitas Sumatera Utara


e. Melakukan pengelompokan data hasil berdasarkan jenis kelamin, usia,

jenis obat, golongan obat, regimen dosis dan bentuk sediaan.

f. Menganalisis data yang diperoleh sehingga didapatkan kesimpulan dari

penelitian yang telah dilakukan.

28

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan pusat data rekam medis diketahui bahwa total pasien asma

rawat jalan pada periode Juli 2016-Juni 2017 adalah sebanyak 125 pasien, namun

yang memenuhi kriteria inklusi sebagai objek penelitian adalah 80 pasien. Rekam

medis 80 pasien ini dijadikan sebagai sampel.

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

4.1.1 Karakteristik Pasien Asma Berdasarksan Jenis Kelamin

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap pola penggunaan obat asma

pada pasien asma rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Kota

Medan berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Karakteristik Pasien Asma Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah Pasien Persentase (%)


1 Laki – laki 16 20
2 Perempuan 64 80
Total 80 100

Berdasarkan Tabel 4.1 di atas dapat dilihat bahwa dari 80 data rekam medis

yang diteliti mayoritas pasien yang mengalami asam adalah perempuan dengan

jumlah sebanyak 64 orang ( 80%) dan 16 orang ( 20%) adalah laki-laki.

Hal ini sesuai dengan data dari sumber statistic asma centre for disease

control and prevention. Berdasarkan data statistic CDC di Amerika Serikat bahwa

prevalensi asma bronkial lebih tinggi pada pasien perempuan dari pada pasien

laki–laki, yaitu pada perempuan dari 14.634 orang sebanyak 9,1% menderita

29

Universitas Sumatera Utara


asma, sedangakan pada pasien laki – laki dari 9.998 orang sebanyak 6,5% ( CDC,

2015).

Hasil penelitian Aldino pada tahun 2016 juga menunjukkan bahwa

perempuan merupakan jenis kelamin terbanyak yang menjadi pasien asma yaitu,

sejumlah 53 orang (73,61%) sedangkan laki-laki sebanyak 19 orang (26,39%)

(Aldino, 2016).

Berdasarkan penelitian Schatz, et al., terdapat beberapa hal yang

menyebabkan peningkatan kejadian asma bronkial pada perempuan dibandingkan

laki-laki, yaitu perbedaan hormon antara laki-laki dan perempuan, kecemasan dan

depresi yang sering menyerang perempuan (Schatz, 2003).

Penellitian Vrieze, et al., mendapatkan bahwa, selain kadar estrogen yang

tinggi, fluktuasi kadar estrogen yang besar pada saat menstruasi dan pada

penggunaan kontrasepsi, terapi sulih hormon paskamenopouse juga ikut

mempengaruhi keadaan asma bronkial pada perempuan. Fluktuasi kadar estrogen

memicu reaksi inflamasi dan meningkatkan kadar substansi proinflamasi dalam

tubuh, sehingga dapat memperburuk asma bronkial (Vrieze, 2007).

4.1.2 Karakteristik Pasien Asma Berdasarkan Usia

Pada penelitian ini pasien asma dikelompokkan menjadi 5 kelompok usia

yaitu usia 0-2 tahun (neonates dan bayi), 3-12 tahun (anak-anak), 13-18 tahun

(remaja), 19-59 tahun (dewasa) dan 60 tahun keatas (geriatrik) (Depes RI, 2009).

Tetapi pada penelitian ini tidak ditemukan data pasien neonatus atau bayi (0-2

tahun) sehingga data yang diperoleh hanya dari usia 3-12 tahun (anak-anak).

Karakteristik pasien asma rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam

Malik Kota Medan berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 4.2.

30

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.2 Karakteristik Pasien Asma Berdasarkan Usia

No Usia Persentase
Jumlah Pasien
(Tahun) (%)
1 3-12 10 12,50
2 13-18 3 3,75
3 19-59 49 61,25
4 > 60 18 22,50
Total 80 100

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat, Usia pasien terbanyak pada penelitian

ini yaitu pada usia dewasa antara rentang usia 19-59 tahun yaitu sebanyak 49

orang (61,25%) kemudian diikuti usia 60 tahun keatas sebanyak 18 orang

(22,50%). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Aldino (2016) di Rumah Sakit

Umum Dr. Pringadi Kota Medan yang menunjukkan usia pasien asma terbanyak

adalah pada usia dewasa antara rentang usia 19-59 tahun sebesar 51% (Ari

Aldino,2016). Penelitian Atmoko, dkk., menunjukkan usia pasien terbanyak

adalah pasien usia dewasa yaitu sebanyak 72 orang (67%) disebabkan oleh adanya

pengaruh merokok yang dapat meningkatkan terjadinya asma pada usia dewasa

(Atmoko, dkk., 2011).

Menurut Postma, Adanya perubahan hormonal yang terjadi pada masa

dewasa memberikan kontribusi terhadap perkembangan asma bronkial (Postma,

2007). Selain pengaruh hormonal faktor lain yaitu merokok, di Negara-negara

maju lebih 25% orang dewasa dengan asma adalah perokok (Thomson, 2004).

31

Universitas Sumatera Utara


4.2 Persentase Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Karakteristik

4.2.1 Jenis Kelamin

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada pasien asma rawat jalan di

Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Kota Medan, persentase jumlah

penggunaan obat asma berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Karakteristik Jumlah Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Jenis


Kelamin

Rata-rata R/ Persentae
No Jenis Kelamin
perpasien (%)
1 Laki-laki 1,81 21,64
2 Perempuan 1,64 78,36
Total 1,73 100

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, total penggunaan obat pada

pasien asma rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Kota

Medan Periode Juli 2016-Juni 2017 adalah rata-rata 1,73 R/ dimana mayoritas

penggunaan obat pada pasien laki-laki (21,64%) dengan rata-rata penggunaan

1,81 obat perpasien. Menurut penelitian di Rumah Sakit Umum Dr. Pringadi Kota

Medan pasien asma rata-rata mendapat 3,49 obat perpasien. Menurut penelitian di

Rumah Sakit Pendidikan Universitas SRM India pasien asma rata-rata mendapat

3,6 obat perpasien.

Menurut Sundaru (1995) perbedaan jumlah obat yang diberikan disebabkan

oleh sifat variabilitas dan individulitas dari pasien asma dengan respon

pengobatan tiap pasien berbeda-beda, ada pasien yang memerlukan satu macam

obat dan ada pasien yang memerlukan bermacam-macam obat. Hal ini dapat

dikaitkan dengan tujuan terapi asma yaitu untuk meminimalkan gejala kronis,

32

Universitas Sumatera Utara


mencegah eksaserbasi berulang, dan untuk mempertahankan mendekati normal

(Rajathilagam,2012).

4.2.2 Usia

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada pasien asma rawat jalan di

Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Kota Medan, persentase jumlah

penggunaan obat asma berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 4.4 Karakteristik Jumlah Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Usia

Rata-rata R/ Persentase
No Usia ( Tahun)
Perpasien (%)
1 3 – 12 1,3 9,70
2 13 – 18 1,67 3,73
3 19 – 59 1,67 61,20
4 > 60 1,88 25,37
Total 1,68 100

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, total penggunaan obat pada

pasien asma rawat jalan Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Kota Medan

Periode Juli 2016-Juni 2017 adalah rata-rata 1,68 R/ dimana mayoritas

penggunaan resep perpasien adalah pasien asma berusia 19-59 tahun (61,20 %).

Namun jika dilihat dari rata-rata penggunaan obat perpasien, pasien lansia

mendapatkan obat lebih banyak yaitu rata-rata 1,88 obat perpasien diikuti dengan

usia 13-18 tahun rata-rata 1,67 obat perpasien dan pasien usia 19-59 tahun rata-

rata 1,67 obat perpasien.

Menurut Sundaru (1995) perbedaan jumlah obat yang diberikan disebabkan

oleh sifat variabilitas dan individulitas dari pasien asma dengan respon

pengobatan tiap pasien berbeda-beda, ada pasien yang memerlukan satu macam

obat dan ada pasien yang memerlukan bermacam-macam obat.

33

Universitas Sumatera Utara


4.3 Persentase Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Jenis Obat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap Evaluasi Penggunaan obat

asma pada pasien asma rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik

Kota Medan berdasarkan jenis obat, dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Karakteristik Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Jenis Obat

Obat Generik Obat Non Generik


Jumlah R/ Persentase (%) Jumlah R/ Persentase (%)
95 70,90 39 29,10

Bedasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat, mayoritas obat yang diresepkan

Merupakan obat generik 95 R/ (70,90%) dan obat non generik 39 R/ (29,10).

Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa penggunaan obat generik lebih

banyak karena obat generik merupakan pilihan terbaik untuk mendapatkan obat

yang efektif dengan harga yang sesuai dan efisien. Peningkatan penggunaan obat

generik baik pada sarana pelayanan kesehatan rujukan menunjukkan bahwa

Tenaga Kesehatan telah memberikan respon yang positif terhadap Pelaksanaan

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.02/MENKES/068/1/2010 tentang

Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Kesehatan Pemerintah Pada

Tahun 2009 persentase penggunaan obat generik di Rumah Sakit adalah 50,06%

dan meningkat hingga mencapai 57,18 % pada Tahun 2010. Hal ini masih rendah

bila dibandingkan dengan pencapaian penggunaan obat generik di Puskesmas

pada tahun 2009 yakni sebesar 95,08% yang meningkat pada tahun 2010 sebesar

96,06% (Kemenkes RI, 2011).

34

Universitas Sumatera Utara


4.4 Persentase Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Bentuk Sediaan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap evaluasi penggunaan obat

asma pada pasien asma rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik

Kota Medan berdasarkan bentuk sediaan, dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Karakteristik Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Bentuk Sediaan

Usia
Persentase
No Bentuk Sediaan 3-12 13-18 19-59 > 60
(%)
tahun tahun tahun tahun
1 Inhalasi 8 5 65 25 76,87
2 Tablet 5 - 17 9 23, 13
Jumlah 13 5 82 - 100

Berdasarkan Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa bentuk sediaan yang paling

banyak digunakan adalah bentuk sediaan inhalasi yaitu 76,87% pada usia 19-59

tahun. Hasil ini sejalan dengan hasil studi penggunaan obat pada pasien asma di

Rumah Sakit Pendidikan Universitas SRM India yaitu sebanyak 50,4 % pasien

mendapatkan terapi obat dalam bentuk sediaan inhalasi (Rajathilagam,2012).

Menurut Penelitian di Rumah Sakit Umum Dr. Pringai Kota Medan bentuk

sediaan yang paling banyak digunakan adalah bentuk sediaan inhlasi yaitu

sebanyak 52,99 % (Aldino,2016).

Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan

parenteral (subkutan, intramuscular, intravena). Kelebihan pemberian medikai

langsung ke jalan napas (inhalasi) dibandingkan cara lain adalah lebih efektif

untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas, efek sistemik minimal

atau dihindarkan, beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena

35

Universitas Sumatera Utara


tidak terabsorpsi pada pemberian oral. Waktu kerja bronkodilator adalah lebih

cepat bila diberikan inhalasi dari pada oral (PDPI,2003).

Pada penelitian ini dari 103 R/ sediaan inhalasi yang digunakan mayoritas

adalah golongan Agonis beta-2 yaitu 54 R/ (52,43%). Bronkodilator Agonis beta-

2 memiliki manfaat yang besar dan bronkodilator yang paling efektif dengan efek

samping yang minimal pada terapi asma. Penggunaan langsung melalui inhalasi

akan meningkatkan bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan

memberikan efek perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (alergen,

latihan) yang menimbulkan bronkospasme. Berbagai penelitian menunjukkan

penggunaan Agonis beta-2 merupakan terapi pilihan pada serangan akut (PDPI,

2003).

4.5 Persentase Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Golongan Obat

Berdasarkan Penelitian yang dilakukan terhadap evaluasi penggunaan obat

asma pada pasien asma rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik

Kota Medan berdasakan golongan obat dilihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Karakteristik Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Golongan Obat

No Golongan Obat Jumlah R/ Persentase (%)


Agonis beta -2
1 60 44,78
( Salbutamol, Prokaterol, Fenoterol,)
Antikolinergik
2 5 3,73
(Tiotropium Bromida)
Kortikosteroid
3 (Methyl Prednisolon, Budesonid, 14 10,45
Dexamethason)
Agonis beta-2 + Kortikosteroid
4 (Salmeterol + Fluticason, 40 29,85
Budesonid + Formoterol)
Metilxantine
5 15 11,19
(Teofilin, Aminofilin)

36

Universitas Sumatera Utara


Total 134 100

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa persentase penggunaan

obat asma berdasarkan golongan obat, yang paling banyak digunakan adalah

golongan Agonis beta-2 yaitu sebesar 44,78% kemudian kombinasi Agonis beta-2

dan Kortikosteroid yaitu sebesar 29,85%. Hasil ini sejalan dengan studi Evaluasi

Penggunaan Obat Asma di Instalasi Rawat Jalan RSUD Dr. Moewardi yaitu

sebanyak 52,94% pasien mendapatkan terapi obat golongan bronkodilator Agonis

beta-2 (Dewi, 2013).

Agonis beta-2 merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat

bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma. Agonis beta-2 biasa

digunakan sebagai bronkodilator. Mekanisme kerjanya yaitu relaksasi otot polos

saluran napas dan penggunaannya direkomendasikan bila diperlukan mengatasi

gejala dan merupakan terapi pilihan pada serangan akut (PDPI, 2003).

Pada penelitian ini juga ditemukan penggunaan obat asma kombinasi

Agonis beta-2 + Kortikosteroid sebesar 29,85%.. Beberapa penelitian menyatakan

inhalasi Agonis beta-2 memiliki peran dalam terapi sebagai pengontrol asma

bersama kortikosteroid inhalasi. Kombinasi inhalasi Agonis beta-2 dan

kortikosteroid inhalasi dapat memperbaiki gejala, menurunkan asma malam,

memperbaikifaal paru dan menurunkan frekuesi serangan asma. Berbagai

penelitian juga menunjukkan bahwa memberikan kortikosteroid inhalasi

kombinasi dengan inhalasi Agonis beta-2 dalam satu kemasan inhalasi adalah

sama efektifnya dengan memberikan keduanya dalam kemasan inhalasi terpisah

dan kombinasi dalam satu kemasan inhaler lebih nyaman untuk penderita, dosis

37

Universitas Sumatera Utara


yang diberikan masing-masing lebih kecil, meningkatkan kepatuhan, dan

harganya lebih murah (PDPI, 2003).

Pada penelitian ini juga ditemukan penggunaan obat asma golongan

metilxantin dengan persentase 11,19% dan kortikosteroid sebanyak 10,45%.

Berbagai studi menunjukkan pemberian metilxantine (Teofilin) efektif mengontrol

gejala dan memperbaiki faal paru. Kortikosteroid yang dikenal juga sebagai

glukokortikosteroid merupakan obat yang paling banyak digunakan diseluruh

dunia untuk mengatasi gangguan imunitas atau inflamasi termasuk asma (Barnes,

2006). Mekanisme kerja steroid yang lain adalah menghalangi pembentukan

mediator oleh inflamasi, menghalangi pelepasan mediator, dan menghalangi

respons yang timbul akibat lepasnya mediator (Ellin, 1987).

Obat inhalasi kortikosteroid dosis tinggi yang digunakan jangka panjang

bisa menimbulkan efek sistemik seperti purpura, supresi adrenal dan penurunan

densitas tulang. Namun, dengan menggunakan spacer dapat mengurangi efek

samping sistemik dengan menurunkan bioavailabiliti. Selain itu, spacer juga

membantu untuk mengurangi efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring,

disfonia, dan batuk akibat iritasi saluran napas atas. Kepatuhan menggunakan obat

ini menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat asma dengan perkiraan 21%

penurunan resiko kematian akibat serangan asma (Sloan, et al., 2013).

4.6 Evaluasi Penggunaan Obat Asma

4.6.1 Penggunaan obat asma berdasarkan tepat pasien

Data hasil penelitian yang dilakukan terhadap evaluasi penggunaan obat

asma pada pasien asma rawat jalan di RSUP H. Adam Malik Medan Periode Juli

38

Universitas Sumatera Utara


2016-Juni 2017 berdasarkan penggunaan obat asma dengan umur dapat dilihat

pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Penggunaan obat asma berdasarkan tepat pasien

Jumlah Berdasarkan Umur Total


No Nama Obat
3-12 th 13-18 th 19-59 th > 60 th
1 Salbutamol 5 1 4 3 13
2 Prokaterol - - 4 - 4
3 Fenoterol 1 2 30 10 43
Tiotropium
4 - - 1 4 5
Bromida
5 Metilprednisolon - - 6 - 6
6 Dexametason - - - 1 1
7 Budenosid - - 5 2 7
Salmeterol +
8 3 2 17 4 26
Fluticason
Budesonid +
9 4 - 6 4 14
Formoterol
10 Teofilin - - 9 6 15
Total 134

Pada kriteria tepat pasien, penggunaan obat asma dilihat berdasarkan

kesesuaian pemberian obat asma kepada pasien dengan keadaan dan kondisi klinis

pasien. Berdasarkan tabel 4.9 didapat hasil 100% tepat pasien, Berdasarkan 134

resep pada data rekam medis pasien asma di RSUP H. Adam Malik Medan

diketahui pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat yang digunakan, dan

kondisi khusus misalnya hamil dan menyusui sehingga obat tersebut aman

digunakan.

Tabel 4.9 Persentase penggunaan obat asma berdasarkan tepat pasien

No Tepat Pasien Jumlah Persentase (%)


1 Tepat 134 100
2 Tidak tepat - -
Total 134 100

39

Universitas Sumatera Utara


4.6.2 Penggunaan obat asma berdasarkan tepat indikasi

Data hasil penelitian yang dilakukan terhadap evaluasi penggunaan obat

asma pada pasien asma rawat jalan di RSUP H. Adam Malik Medan periode juli

2016-juni 2017 berdasarkan jenis obat asma dapat dilihat pada tabel 4.10 berikut.

Tabel 4.10 Penggunaan obat asma berdasarkan tepat indikasi

Jumlah Persentase (%)


No Nama Obat
R TR R TR
1 Salbutamol 13 - 9,70 -
2 Prokaterol 4 - 2,99 -
3 Fenoterol 43 - 32,09 -
Tiotropium
4 5 - 3,73 -
Bromida
5 Metilprednisolon 6 - 4,48 -
6 Dexametason 1 - 0,75 -
7 Budenosid 7 - 5,22 -
Salmeterol +
8 26 - 19,40 -
Fluticason
Budesonid +
9 14 - 10,45 -
Formoterol
10 Teofilin 15 - 11,19 -
Total 134 - 100 -

Keterangan: R = Rasional

TR = Tidak Rasional

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan obat asma berdasarkan

indikasi sudah tepat (100%). Terapi dengan obat asma pada pasien asma rawat

jalan sangat penting untuk mendapatkan kontrol, mengurangi kerusakan dan risiko

eksaserbasi. Selain itu pemberian obat asma adalah menghilangkan obstruksi

saluran pernapasan, meminimalisasi efek samping obat dan mempertahankan

fungsi paru yang normal atau mendekati normal. Obat-obat yang digunakan

40

Universitas Sumatera Utara


meliputi bronkodilator dan anti inflamasi. Bronkodilator bekerja dengan cara

mengendurkan kontraksi otot polos bronkus. Obat anti inflamasi dapat mencegah

terjadinya proses peradangan lebih lanjut (Alsagaff dan Mukty, 2010).

4.6.3 Penggunaan obat asma berdasarkan tepat obat

Pemilihan obat yang tepat, yaitu obat yang efektif, aman, dan sesuai

dengan kondisi pasien, Penggunaan obat dapat dikatakan tidak tepat atau tidak

rasional jika beresiko yang mungkin terjadi lebih besar dibanding dengan manfaat

dari ketepatan penggunaan obat. Ketidaktepatan penggunaan obat akan makin

memperburuk keadaan pada pasien asma. Berikut adalah tabel jumlah ketepatan

pemberian obat asma.

Tabel 4.11 Pemberian obat asma berdasarkan tepat pemilihan obat

Jumlah
No Nama Obat Ketepatan Persentase
Penggunaan
1 Salbutamol Tepat 13 9,70
2 Prokaterol Tepat 4 2,99
3 Fenoterol Tepat 43 32,09
4 Tiotropium Bromida Tepat 5 3,73
5 Metilprednisolon Tepat 6 4,48
6 Dexametason Tepat 1 0,75
7 Budenosid Tepat 7 5,22
Salmeterol +
8 Tepat 26 19,40
Fluticason
Budesonid +
9 Tepat 14 10,45
Formoterol
10 Teofilin Tepat 15 11,19
Total 134 100

Berdasarkan data rekam medis pasien asma RSUP H. Adam Malik subjek

penelitian menerima lebih dari satu obat atau mendapatrkan kombinasi obat yang

terdiri dari bronkodilator dan kortikosteroid. Pemberian obat tergantung dari

kondisi subyek penelitian. Tepat obat adalah kesesuaian pemberian obat asma

41

Universitas Sumatera Utara


dengan standar NAEPP tahun 2007. Jika obat yang digunakan dalam terapi di

RSUP H. Adam Malik Medan tidak ditemukan dalam standar NAEPP 2007, maka

digunakan standar lain yang memadai. Standar lain seperti Pharmaceutical Care

Asma tahun 2007, GINA tahun 2006, Asma Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan di Indonesia tahun 2003 (Wulandari, 2011).

Masing-masing golongan obat yang digunakan dalam terapi asma pada tabel 4.11

di uraikan dibawah ini :

a. Penggunaan Bronkodilator

Penggunaan agonis beta-2 maupun antikolinergik efektif dalam pengobatan

asma. Agonis beta memiliki efek relaksasi otot polos sehingga terjadi pelebaran

saluran napas. Bronkodilator terbukti dapat mengendorkan spasme otot polos .

Metil santin memiliki efek bronkodilatasi lemah tetapi dapat digunakan untuk

mengatasi gejala asma. Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat

bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma . Penggunaan agonis

beta-2 kerja singkat direkomendasikan bila diperlukan untuk mengatasi gejala.

Kebutuhan yang meningkat atau bahkan setiap hari adalah petanda perburukan

asma dan menunjukkan perlunya terapi antiinflamasi. Demikian pula, gagal

melegakan jalan napas segera atau respons tidak memuaskan dengan agonis beta-

2 kerja singkat saat serangan asma adalah pertanda dibutuhkannya Kortikosteroid

sehingga kombinasi bronkodilator dan kortikosteroid sangat efektif untuk

mengurangi kerusakan dan risiko eksaserbasi.

b. Penggunaan Short-acting β2 agonis (SABA)

SABA merupakan obat yang paling efektif mengatasi bronkospasme saat

eksaserbasi asma akut dan juga dapat mencegah exercice-induced asthma.

42

Universitas Sumatera Utara


Golongan SABA dapat diberikan secara inhalasi, oral, atau parenteral. Namun

pemberian yang lebih direkomendasikan adalah dengan inhalasi karena

mempertimbangkan kerja obat yang cepat juga efek samping yang minimal.

SABA memiliki mekanisme sama seperti obat β2 agonis lain yaitu dengan

merelaksasi jalan napas, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan

permiabilitas vaskuler, dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan

eosinofil. Yang termasuk obat golongan SABA adalah salbutamol, levalbuterol,

biltolterol, pirbuterol, isoproterol, metaproternol, terbutaline,epinephrine.

c. Penggunaan Agonis beta-2 kerja lama (Long-acting β2-agonist)

Mekanisme kerja obat beta-2 agonis yaitu melalui reseptor β2 yang

mengakibatkan relaksasi otot polos bronkus. Formoterol dan salmeterol termasuk

dalam golongan LABA ini, kedua obat itu memiliki lama kerja obat >12 jam.

Namun, obat golongan LABA sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi

jangka panjang karena tidak mempengaruhi respon inflamasinya justru

meningkatkan angka kesakitan dan kematian. LABA dikombinasi dengan

kortikosteroid inhalasi telah terbukti sangat efektif dalam mengurangi gejala asma

dan eksaserbasi dengan menunjukkan hasil fungsi paru yang lebih baik.

Kombinasi LABA dan kortikosteroid inlamasi hanya direkomendasikan untuk

pasien yang gagal mencapai asma terkontrol dengan kortikosteroid dosis rendah

medium.

d. Penggunaan Kortikosteroid

Kortikosteroid sangat berpotensial dan efektif sebagai antiinflamasi. Inhalasi

kortikosteroid pada umumnya digunakan untuk pengobatan jangka panjang dan

asma persisten. Kortikosteroid yang digunakan pada subyek penelitian telah

43

Universitas Sumatera Utara


sesuai dengan standar NAEPP tahun 2007 yakni budesonide dan

metilprednisolon. Dexametason direkomendasikan oleh Departemen Kesehatan RI

pada Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma tahun 2007. Mekanisme ketiga

obat tersebut yakni antiinflamasi dengan memblok alergen dan menurunkan

jumlah sel yang terinflamasi ( Wulandari, 2011).

Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti kandidiasis

orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran pernapasan atas. Efek samping

tersebut dapat dicegah dengan penggunaan spacer, higiene mulut yang baik atau

berkumur-kumur setelah melakukan inhalasi corticostreoid, untuk membuang

steroid yang tersisa pada rongga mulut.

Pemberian steroid oral selama 5–7 hari biasa digunakan sebagai terapi

permulaan pengobatan jangka panjang maupun sebagai terapi awal pada asma

yang tidak terkontrol, atau ketika terjadi perburukan penyakit. Meskipun tidak

dianjurkan, steroid oral jangka panjang terpaksa diberikan apabila pasien asma

persiten sedang-berat tidak mampu membeli steroid inhalasi. Namun,

pemberiannya memerlukan monitoring ketat terhadap gejala klinis yang ada dan

kemungkinan kejadian efek samping obat yang akan lebih mudah muncul pada

pemberian obat secara sistemik.

Pemberian inhalasi kombinasi LABA dengan kortikosteroid, memberikan

hasil yang lebih baik daripada terapi corticosteroid tunggal, meskipun dosisnya

ditingkatkan. Terapi inhalasi kombinasi yang tetap antara salmeterol dengan

fluticasone serta formoterol dengan budesonide, merupakan bentuk terapi yang

menjanjikan dalam pengobatan asma. Terapi kombinasi yang tetap ini

mempunyai beberapa keuntungan antara lain:

44

Universitas Sumatera Utara


a. Dosis Kortikosteroid dan agonis β2 kerja lama (LABA) yang

digunakan pada terapi kombinasi, lebih rendah dibandingkan bila obat

ini dipakai secara terpisah.

b. Pemberian inhalasi kombinasi kedua obat ini memberikan hasil yang

lebih baik dibandingkan pemberian steroid dengan dosis dua kali lipat.

c. Pemberian kortikosteroid dapat meningkatkan sintesis reseptor agonis

β2 dan menurunkan desensitisas terhadap agonis β2.

d. Pemberian agonis β2 menyebabkan reseptor steroid menjadi lebih

“siap”, sehingga lebih sedikit kortikosteroid yang dibutuhkan untuk

menghasilkan aktivitas yang diharapkan.

4.6.4 Penggunaan obat asma berdasarka tepat dosis

Tepat dosis adalah kesesuaian pemberian dosis obat asma yang ditekankan

pada takaran dan frekuensi dibandingkan dengan standar NAEPP tahun 2007. Jika

dosis obat yang digunakan dalam terapi di RSUP H. Adam Malik Medan tidak

ditemukan dalam standar NAEPP 2007, maka digunakan standar lain yang

memadai. Penelitian ini melibatkan evaluasi dosis obat yang diberikan kepada

subyek penelitian, sebab ketepatan dosis obat sangat berpengaruh terhadap

keberlangsungan terapi dan kesembuhan subyek penelitian. Penggunaan obat yang

tidak tepat dosis perlu dikaji ulang dalam pelaksanaan terapi . Ketepatan dosis

pada penderita asma dapat dilihat dalam Tabel 4.12.

45

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.12 Pemberian obat asma beradasarkan tepat dosis

No Nama Obat Keterangan Jumlah Persentase (%)


Dosis kurang - -
1 Salbutamol Tepat dosis 12 8,95
Dosis berlebih 1 0,75
Dosis kurang 2 1,49
2 Prokaterol Tepat dosis 2 1,49
Dosis berlebih - -
Dosis kurang - -
3 Fenoterol Tepat dosis 43 32,09
Dosis berlebih - -
Dosis kurang - -
4 Tiotropium Bromida Tepat dosis 5 3,73
Dosis berlebih - -
Dosis kurang - -
5 Metilprednisolon Tepat dosis 6 4,48
Dosis berlebih - -
Dosis kurang - -
6 Dexametason Tepat dosis 1 0,75
Dosis berlebih - -
Dosis kurang - -
7 Budesonid Tepat dosis 7 5,22
Dosis berlebih - -
Dosis kurang - -
Salmeterol +
8 Tepat dosis 26 19,40
Fluticason
Dosis berlebih - -
Dosis kurang - -
Budesonid +
9 Tepat dosis 14 10,45
Formoterol
Dosis berlebih - -
Dosis kurang 3 2,24
10 Teofilin Tepat dosis 11 8,21
Dosis berlebih 1 0,75
Dosis kurang 5 3,73
Total Tepat dosis 127 94,78
Dosis berlebih 2 1,49

Berdasarkan tabel 4.12, dosis penggunaan obat untuk terapi asma sebanyak

94,78% sudah tepat dosis sesuai dengan dosis ISO dan PDPI tahun 2003. Dosis

yang diberikan pada pasien masih dosis antara dosis lazim dengan dosis

maksimumnya. Penggunaan obat asma yang dosisnya berlebih sebanyalk

46

Universitas Sumatera Utara


1,49%.Pemberian dosis yang kurang sebesar 3,73%. Dosis umumnya berdasarkan

pada umur dan berat badan misalnya dewasa dan anak, mg per Kg berat badan

untuk diberikan pada satu atau lebih. Dosis pemberian dalam sehari peresepan

yang subterapi dapat menyebabkan tidak sembuhnya pasien atau sembuh dalam

jangka waktu yang lama.

Ketidaktepatan dosis pemberian juga terjadi pada golongan B2-agonis

(Salbutamol) sebanyak 1 pemberian dan (Prokaterol) sebanyak 2 pemberian.

Pemberian dosis yang kurang mengakibatkan dosis yang yang tidak adekuat dan

tidak efektif. Hal ioni merupakan masalah kesehatan yang serius dan dapat

menambah biaya terapi bagi pasien. Sebaik apapun diagnosis dan penilaian yang

dialakukan hal itu tidak akan ada artinya apabila pasien tidak menerima dosis

yang tepat sesuai dengan kebutuhannya. Secara garis besar suatu regimen obat

dianggap sesuai dengan indikasinya dan tidak mengalami efek samping akibat

obat, akan tetapi tidak memperoleh manfaat terapi yang diinginkan. Pemberian

dosis berlebih dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang

dapat terjadi untuk obat golongan β2 agonis antara lain vasodilatasi pembuluh

darah dengan reflex takikardi, tremor, hiperaktifitas, gangguan gastrointestinal.

Efek samping ini sebagian besar disebabkan oleh stimulasi β adrenoreseptor,

tergantung pada dosis, aktifitas sel dan rute pemberian.

Pada obat golongan metilxantin ketidaktepatan dosis pemberian terjadi

sebesar 2,99%. Karena efek bronkodilatasi Teofilin tidak berkorelasi denmgan

baik terhadap dosis namun memperlihatkan hubungan yang jelas dengan kadar

darah maka harus benar-benar dilakukan penyesuaian dosis terhadap setiap

pasien. Hal ini juga yang mungkin menjadi pertimbangan dokter ketika

47

Universitas Sumatera Utara


meresepkan Teofilin tersebut kepada setiap pasien. Dosis diberikan sesuai dengan

konsentrasi serum masin g-masing individu dan efek klinis yang terlihat. Ini

semua dilakukan untuk menghindari kemungklinan terjadinya efek samping yang

tidak diharapkan. Maka penurunan dosis perlu dilakukan untuk menghindari efek

samping yang mungkin terjadi.

4.6.5 Kerasionalan Penggunaan Obat Asma

Evaluasi kerasionalan dilakukan meliputi bebrapa kriteria kerasionalan yaitu

tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, dan tepat dosis. Hasil dari evaluasi tersebut

dapat dilihat dalam Tabel 4.13 berikut.

Tabel 4.13 Evaluasi ketepatan (Tepat pasien, tepat obat, tepat indikasi, dan tepat
dosis) penggunaan obat asma

Jumlah Persentase (%)


No Kriteria Obat Asma
Tepat Tidak Tepat Tepat Tidak Tepat
1 Tepat Pasien 80 - 100% -
2 Tepat Indikasi 80 - 100% -
3 Tepat Obat 80 - 100% -
4 Tepat Dosis 73 7 94,77% 5,%

Berdasarkan tabel 4.13 dapat diketahui bahwa penggunaan obat asma pada

pasien rawat jalan periode Juli-2016-Juni 2017 berdasarkan tepat pasien (100%),

tepat indikasi (100%), tepat obat (100%), dan tepat dosis (94,77%).

Tabel 4.14 Kerasionalan Penggunaan Obat Asma

No Jenis Obat Asma Jumlah Persentase


1 Rasional 73 94,77 %
2 Tidak Rasional 7 5,23%

Berdasarkan tabel 4.3, dapat diketahui bahwa penggunaan Obat Asma untuk

pengobatan Asma di instalasi rawat jalan RSUP. H. Adam Malik berdasarkan

48

Universitas Sumatera Utara


tepat pasien, tepat obat, tepat indikasi, dan tepat dosis pemberian obat asma

rasional sebesar 94,77%. Kerasionalan penggunaan obat asma dapat dilihat dari

parameter yang dipakai antara lain tepat pasien, tepat obat, tepat indikasi, dan

tepat dosis. Pemeberian obat asma. Jika dalam pengobatan parameter tersebut

tepat maka dikatakan rasional (Kemenkes RI, 2011).

Penggunaan obata asma yang tidak rasional dapat menimbulkan dampak

negatif diantaranya terjadi efek samping maupun toksisitas, terjadinya

pemborosan biaya, dan tidak tercapainya manfaat klinik yang optimal dalam hal

pengobatan dan kontrol penyakit asma (Kemenkes RI, 2011).

Penilaian rasionalitas penggunaan obat dapat dilakukan oleh farmasis. Peran

farmasis ini penting dalam mencegah terjadinya kesalahan pengobatan. Telah

banyak bukti yang menunjukkan bahwa intervensi farmasi untuk mencegah

kesalahan pengobatan yang mungkin berasal dari peresepan yang tidak benar

(Sugiarto, dkk, 2012).

49

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan dari

penelitian ini adalah:

a. Berdasarkan hasil penelitian, dari 80 rekam medis yang diteliti dapat

ditarik kesimpulan bahwa prevalensi tertinggi pasien asma rawat jalan

yaitu pada jenis kelamin perempuan sebanyak 64 orang (80%), usia 19-

59 tahun yaitu sebanyak 49 orang (61,25%).

b. Jumlah penggunaan obat yang paling banyak pada pasien perempuan 105

obat (78,36%) dengan rata-rata 1,73 obat perpasien dan jumlah

penggunaan obat yang paling banyak pada usia 19-59 tahun 82 obat

(61,20%) namun jumlah rata-rata tertinggi penggunaan obat pada pasien

usia > 60 tahun yaitu 1,88 obat perpasien. Obat yang paling banyak

digunakan adalah Jenis generik (70,90%), bentuk sediaan inhalasi

(76,87%), golongan Agonis beta-2.

c. Kerasionalan penggunaan obat asma pada pasien tepat dosis, tepat

indikasi, tepat pasien, dan tepat obat penggunaan di RSUP H. Adam Malik

Medan memenuhi kategori rasional sebesar 94,77% dan tidak rasional

sebesar 5,23%.

50

Universitas Sumatera Utara


5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan dari

penelitian ini adalah:

a. Perlu dilakukan penulisan yang jelas pada penulisan catatan rekam medik

di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan dan penyimpanan

data-data diharapkan lebih terorganisir untuk memudahkan penelitian

berikutnya atau jika diperlukan dikemudian hari.

b. Kepada peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian

terhadap evaluasi penggunaan obat pada pasien asma rawat jalan atau

rawat inap di rumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya, agar dapat

jadi perbandingan dan menggambarkan penggunaan obat asma di instansi

pelayanan kesehatan yang ada di Kota Medan dan dapat mengetahui lebih

jauh lagi apakah pola peresepan dan pengobatn terhadap pasien asma

sudah tepat.

c. Lebih diperbanyak sosialisasi atau penyuluhan terhadap pasien asma

beserta keluarganya terkait factor risiko dan penatalaksanaan jika terjadi

asma sehingga prevalensi pasien asma masuk rumah sakit berkurang.

51

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Aldino, A. (2016). Pola Penggunaan Obat Asma Pada Pasien Asma Rawat Inap di
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pringadi Kota Medan Periode Juli 2014-
Juni 2015. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Alsagaff, H, dan Mukty, H.A. (2010). Dasar-dasar Ilmu penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press. Hal. 263-279.
Barnes, P.J. (2006). How corticosteroid control inflammation : Quintiles Prize
Lecture 2005. British Journal of Pharmacology. 148: Hal. 245.

Budiarto, E., dan Anggraeni, D. (2002). Pengantar Epidemiologi. Edisi II.


Jakarta: EGC. Hal. 123.

Clark, M.V. (2013). Asma. Panduan Penatalaksanaan Klinis. Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC. Hal. 2.

Depkes RI. (2007). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. Jakarta:


Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan alat kesehatan. Hal. 1.

Depkes RI. (2008). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Hal. 114.
Depkes RI. (2009). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007 Provinsi
Sumatera Utara. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 91.
Ellin., dan Micallef, R. (1987). Mode of action of Glucocorticosteroids and their
effects on asthmatic airways. Im Ellul-Micallef, Lam WK, Togood M.
(Edit. Advances in the use of inhalation corticoteroids. Exccrpta Medica
Amsterdam. Hal. 36.
GINA. (2004). Global Burden of Asthma. http://ginastma.com. Hal. 1-2.
GINA. (2012). Global Strategy for Asthma Management and Prevention.
http://ginastma.com. Hal. 12-20.
GINA. (2014). Global Strategy for Asthma Management and Prevention.
http://ginastma.com. Hal. 4.
IDAI. (2000). Konsensus Nasional Asma Anak. Sari Pediatri. 2 (1): Hal. 50.
Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Hal. 85.

52

Universitas Sumatera Utara


Meiyanti, J.I.M. (2000). Perkembangan Patogenesis dan Pengobatan Asma
Bronkial. Jurnal Kedokteran Trisakti. 9 (3): Hal. 128.
NHLBI. (2007). The Expert Panel Report 3 : Guidelines for the diagnosis and
management of asthma. Hal. 36.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Hal. 127.
PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). (2003). Asma. Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta. Hal. 12, 20-27, 37, 55.
Postma, D.S. (2007). Gender differences in asthma development and progression.
Gender Medicin. Hal. 133.
Rahardjo, R. (2009). Kumpulan Kuliah Farmakologi edisi II. Jakarta: Penerbit
Buku Keddokteran EGC. Hal. 11-12.
Raissy, H. H., Kelly, H.W., Harkins, M. dan Szefler, S.J. (2013). Inhaled
corticosteroids in lung diseases. American journal of Respiratory and
critical care medicine. No. 187. Hal. 798-803.
Rajathilagam, T., Tasneem, S., Nageswari., Paramesh., Jamuna, R.(2012). Drug
Utilization Study in Bronchial Asthma in a Tertiary Care Hospital.
International journal of Pharmaceutical Applications. 3. Hal. 297.
Rengganis, I. (2008). Diagnosis dan tatalaksana asma bronkial. Majalah
Kedokteran Indonesia. 58 (11): Hal. 445-449.
Satibi dan Sikni R.Karminingtyas. (2010). Evaluasi Penggunaan Obat Asma Pada
Pasien Asma di Instalasi Rawat Inap RSUP DR. Sardjito Yogyakarta
Tahun 2005. Majalah Farmaseutik. 6 (3): Hal. 35, 43.
Schatz, M., dan Camargo CA. (2003). The relationship of sex to asthma
prevalence, health care utilization, and medications in a large managed
care organization: Annals of Allergy Asthma and Immunology. 9: Hal.
553.
Scichilone, N., Battaglia, S., Benfante., Bellia. (2013). Safety and efficacy of
montelukast as adjunctive therapy for treatment of asthma in elderly
patients. Clinical Intervensions in Aging. 8: Hal. 1329-1337.
Siregar, C. (2013). Farmasi rumah sakit teori terapan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Hal. 120.
Sloan, D., Chantel. (2013). Reactive versus proactive patterns of inhaled
corticosteroid use. Annals of the American Thoracic Society. 10 (2): Hal.
131-134.
Sundaru, H. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Balai
penerbit : FKUI. Jakarta. Hal. 20.

53

Universitas Sumatera Utara


Sundaru, H. (2006). Empat Klasifikasi Asma. Ethical Digest. No. 24: Hal. 12.
Tanjung, D., (2003). Asuhan Keperawatan Asma Bronkial. USU digital Library
http://Library.usu.ac.id>keperawatan-dudut2//. Diakses. 20 Februari
2018.
Thomson, NC., Chaudhuri R, Livingstone. (2004). Asthma and cigarette
Smoking. European Respiratory Journal. 24: Hal. 822.
Vrieze, A., Postma DS., Kerstjens HA. (2007). Perimenstrual asthma: a syndrome
without known cause or cure. Journal of Allergy and Clinical
Immunoogyl. 112: Hal. 271.
Warner, JO., Naspitz CK., Cropp GJA. (1998). Third International Pediatric
Consensus Statement on the Management of Childhood Asthma. Pediatr
Pulmonol. 25: Hal. 1-17.
WHO. (2003). Introduction to drug Utilization Research. Oslo: WHO
International Working Group for, Drug Statistics Methodology. WHO
Collaborating Centre for Drug Statistics Methodology. Hal. 9.
Wulandari, E. (2011). Pola Penggunaan Obat Untuk Penyakit Asma Pada Pasien
Dewasa Dinstalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Periode Januari-
Desember 2010, Tugas Akhir. Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret.

54

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1. Data Rekam Medik Pasien Asma rawat jalan RSUP H. Adam
Malik
Bentuk Golongan
No No. RM JK Umur Obat Asma Dosis
Sediaan Obat
Fenoterol
HBr-
Agonis β
1 00695392 P 32 Berotec 3x1 pff Inhaler
adrenergik
MDI 100
mcg/p
Agonis β
Kombinasi-
Adrenergi
Seretide
2x1 pff Inhaler k+
Diskus 250
Kortikoste
mcg
roid
Teofilin-
Methylxan
2 00684449 P 60 Retaphyl 1x1 tab Tablet
tine
SR 300 mg
Fenoterol
HBr-
Agonis β
Berotec 3x1 pff Inhaler
adrenergic
MDI 100
mcg / P
Fenoterol
HBr-
Agonis β
3 00686024 P 48 Berotec 3x1 pff Inhaler
adrenergik
MDI 100
mcg/ P
Teofilin-
Methylxan
Retaphyl 3x1 tab Tablet
tine
SR 300 mg
Agonis β
Kombinasi
adrenergic
Seretide
2x1 pff Inhaler +
Diskus 250
Kortikoste
mcg
roid
Fenoterol
HBr-
00675 Agonis β
4 P 40 Berotec 3x2 pff Inhaler
874 adrenergik
MDI 100
mcg/P
Agonis β
Kombinasi-
adrenergik
Seretide
2x1 pff Inhaler +
Diskus 250
Kortikoste
mcg
roid
5 00218 P 65 Kombinasi 2x1 pff Inhaler Agonis β

55

Universitas Sumatera Utara


976 Seretide adrenergik
Diskus 100
mcg
Fenoterol
HBr-
00680 Agonis β
6 P 32 Berotec 3x1 pff Inhaler
633 adrenergik
MDI 100
mcg /P
Budenosid Kortikoste
Formoterol- roid+
2x1 pff Inhaler
Symbicort Agonis β
160 adrenergik
Salbutamol-
0067 Ventolin Agonis β
7 P 17 3x1 pff Inhaler
6961 Nebules 2,5 adrenergic
mg
Fenoterol
HBr-
0065 Agonis β
8 P 30 Berotec 3x1 pff Inhaler
2711 adrenergik
MDI 100
mcg/P
Fenoterol
HBr-
0066 Agonis β
9 P 65 Berotec 3x1 pff Inhaler
0004 adrenergic
MDI 100
mcg/P
Budesonid Kortikoste
Formoterol roid+
2x2 pff Inhaler
Symbicort Agonis β
160 adrenergik
Budesonid
0064 Kortikoste
10 P 27 inh-obucort 2x1 pff Inhaler
4457 roid
swinghaler
Salbutamol
–Ventolin Agonis β
3x1 pff Inhaler
Inhaler 200 adrenergik
dosis
Budesonid Kortikoste
0067 Formoterol roid+
11 P 50 2x2 pff Inhaler
8567 Symbicort Agonis β
160 adrenergic
Fenoterol
HBr-
0036 Agonis β
12 P 47 Berotec 4x1 pff Inhaler
5800 adrenergic
MDI 100
mcg/P
13 0018 P 52 Fenoterol 4x1 pff Inhaler Agonis β

56

Universitas Sumatera Utara


6127 HBr- adrenergic
Berotec
MDI 100
mcg/P
Salbutamol
0060 3x 1/2 Agonis β
14 P 3 tab 2 mg Tablet
5206 tab adrenergik
(sbg sulfat)
Tiotropium
18 mcg
0061 Antikoline
15 Lk 64 refill 1x1 pff Inhaler
8061 rgik
Spiriva 18
mcg
Salbutamol-
Ventolin Agonis β
3x1 pff Inhaler
inhaler 200 adrenergic
dosis
Budesonid Kortikoste
formoterol- roid+
2x2 pff Inhaler
Symbicort Agonis β
160 adrenergik
Fenoterol
HBr-
0008 Agonis β
16 P 70 Berotec 3x2 pff Inhaler
4471 adrenergic
MDI 100
mcg/P
Teofilin-
Retaphyl Methylxan
1x1 tab Tablet
SR 300n tine
mg
Salbutamol
Agonis β
tab. 2 mg 3x1 tab Tablet
adrenergic
(sbg sulfat)
Salbutamol
0066 3x 1/2 Agonis β
17 P 6 tab. 2 mg Tablet
4737 tab adrenergic
(sbg.sulfat)
Fenoterol
HBr-
0064 Agonis β
18 P 38 Berotec 3x1 pff Inhaler
3431 adrenergic
MDI 100
mcg/P
Fenoterol
HBr-
0027 Agonis β
19 P 58 Berotec 3x1 pff Inhaler
1076 adrenergic
MDI 100
mcg/P
0027 Fenoterol Agonis β
20 P 56 4x1 pff Inhaler
2548 HBr- adrenergic

57

Universitas Sumatera Utara


Berotec
MDI 100
mcg/P
Budenosid Kortikoste
0062 formoterol- roid+
21 P 60 2x1 pff Inhaler
2153 symbicort Agonis β
160 adrenergic
Fenoterol
HBr-
Agonis β
Berotec 3x2 pff Inhaler
adrenergic
MDI 100
mcg/P
Tiotropium
0065 18 mcg- Antikoline
22 Lk 73 1x1 pff Inhaler
6359 spiriva rgik
combo set
Teofilin-
Methylxan
Bronsolvan 2x1 tab Tablet
tine
150 mg tab
Fenoterol
HBr-
0064 Agonis β
23 P 62 Berotec 3x1 pff Inhaler
3460 adrenergic
MDI 100
mcg/P
Kombinasi- Kortikoste
Seretide roid+
2x1 pff Inhaler
Diskus 250 Agonis β
mcg adrenergic
Budesonid
0050 inh-obucort Kortikoste
24 P 57 2x2 pff Inhaler
8183 swinghaler roid
2
Fenoterol
HBr-
0065 Agonis β
25 P 24 Berotec 4x1 pff Inhaler
2454 adrenergic
MDI 100
mcg/P
Kombinasi- Kortikoste
Seretide roid +
2x1 pff Inhaler
Diskus 100 Agonis β
mcg adrenergic
Salbutamol
0066 3x1/2 Agonis β
26 P 9 tab 2 mg Tablet
3695 tab adrenergic
(sbg sulfat)
Prokaterol-
0068 Agonis β
27 P 20 Meptin 3x1 pff Inhaler
5319 adrenergic
Swinghaler

58

Universitas Sumatera Utara


10 mcg
Salbutamol
0044 Agonis β
28 Lk 4 tab 2 mg 3x1 tab Tablet
8948 adrenergic
(sulfat)
Teofilin-
0063 Methylxan
29 Lk 52 Retaphyl 1x1 tab Tablet
4909 tine
SR 300 mg
Budesonid Kortikoste
formoterol- roid+
2x1 pff Inhaler
Symbicort Agonis β
160 adrenergic
Budesonid
0063 inh-obucort Kortikoste
30 P 57 2x1 pff Inhaler
7522 swinghaler roid
2
Fenoterol
HBr-
Agonis β
Berotec 4x1 pff Inhaler
adrenergic
MDI 100
mcg / P
Budesonid Kortikoste
0060 formoterol- roid+
31 P 60 2x2 pff Inhaler
7336 Symbicort Agonis β
160 adrenergic
Metil
0061 Kortikoste
32 Lk 34 Prednisolon 3x1 tab Tablet
9496 roid
4 mg
Budesonid Kortikoste
formoterol- roid+
2x2 pff Inhaler
Symbicort Agonis β
160 adrenergik
Fenoterol
HBr-
0062 Agonis β
33 Lk 50 Berotec 3x2 pff Inhaler
2688 adrenergic
MDI 100
mcg/p
Kombinasi- Kortikoste
Seretide roid+
2x1 pff Inhaler
Diskus 250 Agonis β
mcg adrenergik
Fenoterol
HBr-
0061 Agonis β
34 P 75 Berotec 3x2 pff Inhaler
8890 adrenergic
MDI 100
mcg/P
Tiotropium Antikoline
1x1 pff Inhaler
18 mcg rgik

59

Universitas Sumatera Utara


Spiriva
combo set
Agonis β
Kombinasi-
adrenergic
Seretide
2x1 pff Inhaler +
Diskus 250
Kortikoste
mcg
roid
Agonis β
Kombinasi-
adrenergic
0060 Seretide
35 P 51 2x1 pff Inhaler +
3461 Diskus 250
Kortikoste
mcg
roid
Prokaterol-
Meptin Agonis β
3x2 pff Inhaler
swinghaler adrenergik
10 mcg
Teofilin –
0060 2x1/2 Methylxan
36 P 43 Retaphyl Tablet
2775 tab tine
SR 300 mg
Budesonid Kortikoste
formoterol- roid +
2x2 pff Inhaler
Symbicort Agonis β
160 adrenergik
Metil
0061 Kortikoste
37 P 30 Prednisolon 3x1 tab Tablet
1182 roid
4 mg
Teofilin-
2x1/2 Methylxan
Retaphyl Tablet
tab tine
SR 300 mg
Budesonid Kortikoste
Formoterol- roid+
2x2 pff Inhaler
Symbicort Agonis β
160 adrenergik
Agonis β
Kombinasi-
adrenergic
0061 Seretide
38 P 54 4x1 pff Inhaler +
3563 Diskus 250
Kortikoste
mcg
roid
Fenoterol
HBr-
2x1/2 Agoni β
Berotec Inhaler
tab adrenergic
MDI 100
mcg/P
Fenoterol
0058 HBr- Agonis β
39 Lk 61 4x1 pff Inhaler
7888 Berotec sol adrenergic
200 dosis

60

Universitas Sumatera Utara


Teofilin-
2x1/2 Methylxan
Retaphyl Tablet
tab tine
SR 300 mg
Fenoterol
HBr-
0061 Agoni β
40 P 38 Berotec 3x1 pff Inhaler
7775 adrenergic
MDI 100
mcg/P
Agonis β
Kombinasi
adrenergic
–Seretide
2x1 pff Inhaler +
Diskus 100
Kortikoste
mcg
roid
Budesonid Kortikoste
0062 formoterol- roid +
41 P 6 2x1 pff Inhaler
1077 Symbicort Agonis β
80 adrenergic
Agonis β
Kombinasi-
adrenergic
Seretide
2x1 pff Inhaler +
Diskus 250
Kortikoste
mcg
roid
Metil
0060 Kortikoste
42 P 40 Prednisolon 3x2 tab Tablet
2166 roid
4 mg
Fenoterol
HBr- Agonis β
3x1 pff Inhaler
BerotecMD adrenergic
I 100 mcg
Tiotropium
0061 18 mcg- Antikoline
43 P 75 1x1 pff Inhaler
8890 Spiriva rgik
combo set
Kombinasi- Agonis β
Seretide adrenergic
2x1 pff Inhaler
Diskus 250 +Kortikost
mcg eroid
Fenoterol
HBr-
Agonis β
Berotec 3x1 pff Inhaler
adrenergic
MDI 100
mcg/P
Fenoterol
HBr-
0063 Agonis β
44 Lk 53 Berotec 3x1 pff Inhaler
9579 adrenergic
MDI 100
mcg /P

61

Universitas Sumatera Utara


Tiotropium
18 mcg- Antikoline
1x1 pff Inhaler
spiriva rgik
combo set
Fenoterol
HBr-
0066 Agonis β
45 P 18 Berotec 3x1 pff Inhaler
8957 adrenergic
MDI 100
mcg /P
Agonis β
Kombinasi-
Adrenergi
Seretde
2x1 pff Inhaler k+
Diskus 250
Kortikoste
mcg
roid
Agonis β
Kombinasi-
adrenergic
0050 SeretideDis
46 P 33 2x1 pff Inhaler +
3371 kus 100
Kortikoste
mcg
roid
Salbutamol-
Ventolin Agonis β
3x1 pff Inhaler
inhaler 200 adrenergic
dosis
Teofilin-
0060 Retaaphyl 2x1/2 Methylxan
47 P 41 Tablet
2166 SR 300 tab tine
mcg
Agonis β
Budesonid
adrenergic
formoterol-
2x1 pff Inhaler +
Symbicort
Kortikoste
160
roid
Salbutamol
0059 Agonis β
48 P 39 tab 2 mg 3x1 tab Tablet
7581 adrenergic
(sbg sulfat)
Salbutamol
0058 3x1/2 Agonis β
49 P 11 tab 2 mg Tablet
5961 tab adrenergic
(sbg sulfat)
Fenoterol
HBr-
0004 Agonis β
50 P 48 Berotec 4x1 pff Inhaler
2037 adrenergic
MDI 100
mcg/p
Fenoterol
0036 HBr- Agonis β
51 P 47 4x1 pff Inhaler
5800 Berotec adrenergic
MDI 100

62

Universitas Sumatera Utara


mcg/ p
Fenoterol
HBr-
0046 Agonis β
52 P 76 Berotec 4x1 pff Inhaler
4018 adrenergic
MDI 100
mcg/ p
Fenoterol
HBr-
0050 Agonis β
53 Lk 56 Berotec 4x1 pff Inhaler
5660 adrenergic
MDI 100
mcg/P
Prokaterol-
0052 Meptin Agonis β
54 P 59 3x1 pff Inhaler
7127 swinghaler adrenergic
10 mcg
Budesonid
0070 inh-obucort Kortikoste
55 P 64 2x1 pff Inhaler
5734 swinghaler roid
2
Fenoterol
HBr- Asgonis β
0069
56 P 26 Berotec 3x1 pff Inhaler aadrenergi
6983
MDI 100 k
mcg/p
Agonis β
Kombinasi-
adrenergic
SeretideDis
2x1 pff Inhaler +
kus 100
Kortikoste
mcg
roid
Metil
0069 Kortikoste
57 P 45 prednisolon 3x2 tab Tablet
9979 roid
e 4 mg
Salbutamol
Agonis β
tab 2 mg 3x1 tab Tablet
adrenergic
(sbg sulfat)
Metil
0052 Kortikoste
58 P 29 Prednisolon 3x1 tab Tablet
8994 roid
8 mg
Teofilin-
2x1/2 Methylxan
Retaphyl Tablet
tab tine
SR 300 mg
0069 Deksametas Kortikoste
59 Lk 63 3x1 tab Tablet
6943 on 0,5 mg roid
Salbutamol
Agonis β
tab 2 mg 3x1 tab Tablet
adrenergic
(sbg sulfat)
60 0062 P 6 Budesonid 2x1 pff Inhaler Kortikoste

63

Universitas Sumatera Utara


1077 formoterol- roid +
symbicort Agonis β
80 adrenergik
s
Kombinasi- Agonis β
Seretide adrenergic
2x1 pff Inhaler
Diskus 250 +Kortikost
mcg eroid
Fenoterol
HBr-
0066 Agonis β
61 P 54 Berotec 3x2 pff Inhaler
8679 adrenergic
MDI 100
mcg/ P
Agonis β
Kombinasi-
adrenergic
Seretide
2x1 pff Inhaler +
Diskus 100
Kortikoste
mcg
roid
Fenoterol
HBr-
0069 Agonis β
62 P 49 Berotec 3x2 pff Inhaler
6755 adrenergic
MDI 100
mcg/P
Agonis β
Kombinasi
adrenergic
Seretide
2x1 pff Inhaler +
Diskus 250
Kortikoste
mcg
roid s
Kombinasi
0069 Seretide Agonis β
63 P 44 2x1 pff Inhaler
8574 Diskus 250 adrenergic
mcg
Prokaterol-
0069 Meptin Agonis β
64 P 30 3x2 pff Inhaler
9685 swinghaler adrenergic
10 mcg
Budesonid-
obucort Kortikoste
2x2 pff Inhaler
swinghaler roid
2
Fenoterol
HBr-
0066 Agonis β
65 P 48 Berotec 3x1 pff Inhaler
3977 adrenergic
MDI 100
mcg/ P
0069 Fenoterol Agonis β
66 P 50 3x1 pff Inhaler
9544 HBr- adrenergic

64

Universitas Sumatera Utara


Berotec
MDI 100
mcg/ P
Agonis β
Kombinasi
adrenergic
Seretide
2x1 pff Inhaler +
Diskus 250
Kortikoste
mcg
roid
Budesonid Kortikoste
0070 Formoterol roid +
67 P 7 2x1 pff Inhaler
1518 Symbicort Agonis β
80 adrenergic
Agonis β
Kombinasi-
adrenergic
Seretide
2x1 pff Inhaler +
Diskus 250
Kortikoste
mcg
roid
Agonis β
Kombinasi
adrenergic
0070 Seretide
68 P 45 2x1 pff Inhaler +
2224 Diskus 250
Kortikoste
mcg
roid
Budesonidi
0070 Kortikoste
69 P 67 nh-obucort 2x2 pff Inhaler
5364 roid
swinghaler
Fenoterol
HBr-
0060 Berotec Agonis β
70 P 70 3x1 pff Inhaler
2310 MDI adrenergic
inhaler 100
mcg/ p
Teofilin-
2x1/2 Methylxan
Retaphyl Tablet
tab tine
SR 300 mg
Fenoterol
HBr-
0045 Berotec Agonis β
71 Lk 54 3x2 pff Inhaler
5308 MDI adrenergic
inhaler 100
mcg/ p
Teofilin-
2x1/2 Methylxan
Retaphyl Tablet
tab tine
SR 300 mg
Fenoterol
0059 Hbr- Agonis β
72 Lk 6 3x1 pff Inhaler
7801 Berotec adrenergic
MDI 100

65

Universitas Sumatera Utara


mcg/ P
Salbutamol-
0062 Ventolin Agonis β
73 Lk 7 3x1 pff Inhaler
5402 inhaler 200 adrenergic
dosis
Fenoterol
HBr-
0061 Berotec Agonis β
74 P 58 3x1 pff Inhaler
2905 MDI adrenergic
inhaler 100
mcg/ p
Fenoterol
HBr-
0058 Berotec Agonis β
75 Lk 59 4x1 pff Inhaler
6620 MDI adrenergic
inhaler 100
mcg/ p
Teofilin-
2x1/2 Methylxan
Retaphyl Tablet
tab tine
SR 300 mg
Teofilin-
0049 2x1/2 Methylxan
76 P 72 Retaphyl Tablet
7527 tab tine
SR 300 mg
Agonis β
Kombinasi
adrenergic
0060 Seretide
77 P 48 2x1 pff Inhaler +
0532 Diskus 250
Kortikoste
mcg
roid
Teofilin-
2x1/2 Methylxan
Retaphyl Tablet
tab tine
SR 300 mg
Agonis β
Kombinasi
adrenergic
0059 Seretide
78 Lk 20 2x1 pff Inhaler +
4332 Diskus 250
Kortikoste
mcg
roid
Fenoterol
HBr-
Berotec Agonis β
3x1 pff Inhaler
MDI adrenergic
inhaler 100
mcg/ p
Agonis β
Kombinasi
adrenergic
0062 Seretide
79 P 18 2x1 pff Inhaler +
4132 Diskus 250
Kortikoste
mcg
roid

66

Universitas Sumatera Utara


Fenoterol
HBr-
Berotec Agonis β
3x1 pff Inhaler
MDI adrenergic
inhaler 100
mcg/ p
Fenoterol
HBr-
0062 Berotec Agonis β
80 Lk 55 3x1 pff Inhaler
7905 MDI adrenergic
inhaler 100
mcg/ p
Metil Kortikoste
3x2 tab Tablet
Prednisolon roid
Keterangan:
P = Perempuan

Lk = Laki-laki

67

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 2. Perhitungan dosis obat asma yang tidak sesuai berdasarkan
ketepatan dosis

1. R/ Teofilin Retaphyl SR 300 mg


S1 dd tab 1

Pasien usia 60 tahun


 Dosis Lazim dewasa : 2 x 1 tab
1 tab : 300 mg
Dosis perhari: 2 x 300 mg: 600 mg
 Dosis dalam resep : 1 x 1 tab
1 tab : 300 mg
Dosis perhari : 1 x 300 mg: 300 mg

Dosis yang diberikan kurang (Subterapi)

2. R/ Teofilin Retaphyl SR 300 mg


S3 dd tab 1

Pasien usia 48 tahun


 Dosis Lazim dewasa : 2 x 1 tab
1 tab : 300 mg
Dosis perhari: 2 x 300 mg: 600 mg
 Dosis dalam resep : 3 x 1 tab
1 tab : 300 mg
Dosis perhari : 3 x 300 mg: 900 mg

Dosis yang diberikan lebih (Overdosis)

3. R/ Teofilin Retaphyl SR 300 mg


S1 dd tab 1

Pasien usia 60 tahun


 Dosis Lazim dewasa : 2 x 1 tab
1 tab : 300 mg
Dosis perhari: 2 x 300 mg: 600 mg
 Dosis dalam resep : 1 x 1 tab
1 tab : 300 mg
Dosis perhari : 1 x 300 mg: 300 mg
Dosis yang diberikan kurang (Subterapi)

68

Universitas Sumatera Utara


4. R/ Prokaterol-Meptin Swinghaler 10 mcg
S3 pff 1

Pasien usia 20 tahun


 Dosis lazim Dewasa: 4 x 2 pff
1 pff : 10 mcg
Dosis perhari : 4 x 20 mcg : 80 mcg
 Dosis dalam resep: 3 x 1 pff
1 pff : 10 mcg
Dosis perhari: 3x 10 mcg : 30 mcg

Dosis yang diberikan kurang (Subterapi)

5. R/ Salbutamol tab 2 mg (sulfat)


S3 dd tab 1

Pasien usia 4 tahun


 Dosis lazim anak-anak: 3-4 kali ¼- ½ tab
1 tab : 4 mg
Dosis perhari : 3-8 mg
 Dosis dalam resep: 3 x 1 tab
1 tab: 4 mg
Dosis perhari : 12 mg

Dosis yang diberikan berlebih (Overdosis)

6. R/ Teofilin Retaphyl SR 300 mg


S1 dd tab 1

Pasien usia 60 tahun


Dosis Lazim dewasa : 2 x 1 tab
1 tab : 300 mg
Dosis perhari: 2 x 300 mg: 600 mg
Dosis dalam resep : 1 x 1 tab
1 tab : 300 mg
Dosis perhari : 1 x 300 mg: 300 mg

Dosis yang diberikan kurang (Subterapi)

69

Universitas Sumatera Utara


7. R/ Prokaterol-Meptin Swinghaler 10 mcg
S3 pff 1

Pasien usia 20 tahun


 Dosis lazim Dewasa: 4 x 2 pff
1 pff : 10 mcg
Dosis perhari : 4 x 20 mcg : 80 mcg
 Dosis dalam resep: 3 x 1 pff
1 pff : 10 mcg
Dosis perhari: 3x 10 mcg : 30 mcg

Dosis yang diberikan kurang (Subterapi)

70

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 3. Surat persetujuan komisi etik penelitian

71

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 4. Surat Izin penelitian di Rumah Sakit

72

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 5. Surat keterangan selesai penelitian di Rumah Sakit

73

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai