Anda di halaman 1dari 83

EVALUASI HEPATOTOKSIK DAN EFEKTIVITAS PENGGUNAAN

PARACETAMOL INFUS DENGAN KOMBINASI OBAT-OBAT


PENGINDUKSI HATI PADA PASIEN INTERNA DAN ICU DI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO
MAKASSAR

EVALUATION OF HEPATOTOXIC AND EFFECTIVENESS OF


THE USE OF PARACETAMOL INFUSION WITH A COMBINATION
OF LIVER INDUCED DRUGS IN INTERNA AND INTENSIVE CARE
UNIT PATIENTS AT DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR

ANDI ASRIANTY
P2500215012

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
EVALUASI HEPATOTOKSIK DAN EFEKTIVITAS PENGGUNAAN
PARACETAMOL INFUS DENGAN KOMBINASI OBAT-OBAT
PENGINDUKSI HATI PADA PASIEN INTERNA DAN ICU DI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO
MAKASSAR

Tesis

Sebagai salah satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Farmasi Klinik

Disusun dan diajukan oleh

ANDI ASRIANTY

Kepada

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

iv
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Andi Asrianty

NIM : P2500215012

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini

benar–benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian

hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis

ini merupakan hasil karya orang lain, maka saya bersedia

mempertanggungjawabkan sekaligus bersedia menerima sanksi yang

seberat-beratnya atas perbuatan tidak terpuji tersebut.

Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tanpa

ada paksaan sama sekali.

Makassar, 11 Agustus 2017

Yang membuat pernyataan

Andi Asrianty

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian ini dengan judul ‘’Evaluasi Hepatotoksik dan

Efektivitas Penggunaan Paracetamol Infus di Instalasi Ruang Rawat Inap

Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun

2017’’.

Selama melaksanakan penelitian ini, banyak kendala yang peneliti

hadapi, maupun kekurangan dan keterbatasan yang datangnya dari

peniliti sebagai mahasiswa yang berada pada tahap belajar, namun

semua kendala tersebut dapat teratasi berkat ridha Allah Subhanahu Wa

Ta’ala, dan berkat dukungan do’a serta bimbingan dari semua pihak yang

mungkin tidak dapat peneliti sebutkan namanya secara keseluruhan.

Adapun pihak – pihak tersebut antara lain adalah :

1. Prof. Dr. rer nat Hj. Marianti A. Manggau., Apt selaku Komisi

Penasehat atas kesabaran dan ketekunan dalam menyediakan

waktu untuk menerima konsultasi peneliti.

2. Bapak Dr. dr. Syamsul H. Salam, SpAn-KIC , selaku pembimbing II

atas kesabaran dan ketekunan dalam menyediakan waktu untuk

menerima konsultasi peneliti.

3. Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt selaku penguji I. Ibu Dr. Hj.

Latifah Rahman, DESS., Apt selaku penguji II dan Ibu Dr. Risfah

Yulianty, M.Si., Apt selaku penguji III yang telah memberikan arahan
iv
dan masukan yang bersifat membangun untuk penyempurnaan

penulisan.

4. Bapak Prof. Dr. Gemini Alam, M.Si., Apt sebagai Dekan Fakultas

Farmasi Universitas Hasanuddin.

5. Ibu Dr. Hj. Latifah Rahman, DESS., Apt sebagai Ketua Program

Studi Magister Farmasi Universitas Hasanuddin.

6. Direktur RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar yang telah

memberikan izin kepada peneliti untuk melanjutkan pendidikan

sekaligus meneliti di Rumah Sakit tersebut

7. Dosen dan Staf Program Studi Magister Farmasi Universitas

Hasanuddin yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

pendidikan di Program Studi Magister Farmasi

8. Bapak Andi Amir Daus dan Hj. A. Fatmawaty, BA selaku Orang Tua

peneliti yang telah memberikan dorongan baik material maupun moril

bagi penulis selama mengikuti pendidikan

9. Rahmat Taufiq Sigit dan Anakda Humairah Khansa Lutfiah selaku

suami dan anak yang telah memberikan dorongan moril bagi penulis

selama mengikuti pendidikan

10. Teman mahasiswa tahun 2015 yang telah memberi bantuan dan

dukungan dalam penyusunan penelitian ini.

11. Semua pihak yang telah membantu dalam rangka penyelesaian

penelitian ini, baik secara langsung maupun tidak langsung yang

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

iv
Penyusun menyadari bahwa penelitian ini jauh dari kesempurnaan,

untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penyun

harapkan dari pembaca yang budiman untuk penyempurnaan penulisan

selanjutnya. Disamping itu penyusun juga berharap semoga penelitian ini

bermanfaat bagi peneliti dan bagi nusa dan bangsa.

Makassar, 11 Agustus 2017

Penulis

iv
ABSTRAK

ANDI ASRIANTY. Evaluasi hepatotoksik dan efektivitas penggunaan


paracetamol infus dengan kombinasi obat-obat penginduksi hati pada
pasien interna dan icu di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar (dibimbing oleh Marianti A. Manggau dan
Syamsul H. Salam).

Penelitian ini bertujuan menganalisis efektivitas dan efek samping


penggunaan parasetamol infus dengan kombinasi obat-obat penginduksi
hati pada pasien interna dan ICU (Intensive Care Unit) di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian
observasional non eksperimen dengan tidak memberikan perlakuan
khusus kepada pasien. Pengambilan sampel dilakukan dengan
penyampelan purposif dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang. Data
dianalisis secara deskriptif prospektif terhadap jumlah pasien dengan
pengamatan karakteristik masing-masing sampel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menggunakan
obat paracetamol infus mayoritas dengan diagnosa jantung 13 pasien
(43,33%), syaraf 7 pasien (23,33%), infeksi 6 pasien (20%), neoplasma
dan diabetes mellitus 2 pasien (6,66%). Standar deviasi dari efektifitas
penurunan suhu menunjukkan perubahan tidak terlihat signifikan bahkan
terjadi penurunan, dimana perubahan suhu dari 0.97 menjadi 0.85,
sedangkan standar deviasi skala nyeri dari 1.79 menjadi 1.52. Dari segi
hepatotoksik tidak terjadi peningkatan yang menunjukkan perubahan
signifikan yaitu nilai AST dari 57.77 menjadi 71.53, dan nilai ALT dari
63.99 menjadi 192.60. Hal ini disebabkan karena adanya pemakaian obat
paracetamol infus dengan aturan pakai, lama pemberian yang relatif lama
dan penggunaan terapi kombinasi obat lain yang menginduksi hati seperti
omeprazole dengan persentase 60%, antibiotik ceftriaxone dengan
persentase 56,66% dan ceftazidine dengan persentase 13,33%, ketorolac
dengan persentase 20% dan ranitidin dengan persentase 26,66%.

Kata Kunci : Paracetamol Infus, Efektivitas dan Hepatotoksik, Obat-obatan


penginduksi hati

iv
ABSTRACT

ANDI ASRIANTY. Evaluation of hepatotoxic and effectiveness of the use


of paracetamol infusion with a combination of liver induced drugs in interna
and intensive care unit patients at dr. Wahidin sudirohusodo makassar
(supervised by Marianti A. Manggau and Syamsul H. Salam).

This study aims to analyze the effectiveness and side effects of


paracetamol infusion with a combination of liver induced drugs in interna
and intensive care unit patients at dr. Wahidin sudirohusodo Makassar.
The design of the research was using a non experimental
observational study by not giving special treatment to the patient.
Sampling was done by purposive sampling with 30 samples. Data were
analyzed descriptively prospectively on the number of patients with
observation characteristics of each sample.
The results showed that patients taking paracetamol drug infusion
majority with heart diagnosis 13 patients (43,33%), nerve 7 patient
(23,33%), infection 6 patient (20%), neoplasma and diabetes mellitus 2
patient (6, 66%). The standard deviation of the effectiveness of the
temperature decrease showed no significant change even the decrease,
where the temperature change from 0.97 to 0.85, while the standard
deviation of pain scale from 1.79 to 1.52. In terms of hepatotoxicity there
was no increase that showed significant changes of AST value from 57.77
to 71.53, and ALT value from 63.99 to 192.60. This is due to the use of
paracetamol drug infusion with the rules of use, the duration of relatively
long administration and the use of other drug-induced combination therapy
such as omeprazole liver with a percentage of 60%, ceftriaxone antibiotics
with a percentage of 56.66% and ceftazidine with a percentage of 13.33%,
Ketorolac with a percentage of 20% and ranitidine with a percentage of
26.66%.

Keywords : Paracetamol Infusion, Effectiveness and Hepatotoxicity, Liver


induced drugs

iv
DAFTAR ISI

halaman

HALAMAN PERNYATAAN............................................................ iv

KATA PENGANTAR ..................................................................... v

ABSTRAK ..................................................................................... viii

ABSTRACT ................................................................................... ix

DAFTAR ISI .................................................................................. x

DAFTAR TABEL ........................................................................... xii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................... xiii

DAFTAR GRAFIK ........................................................................ xiv

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1

A. Latar Belakang ......................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian...................................................................... 5

D. Manfaat Penelitian .................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................ 6

A. Fisiologi dan Patofisiologi Suhu Tubuh ..................................... 6

B. Fisiologi dan Patofisiologi Nyeri ................................................ 9

C. Tinjauan tentang Paracetamol.................................................. 15

D. Efektifitas Paracetamol ............................................................. 25

E.Tinjauan tentang AST dan ALT ................................................. 27

iv
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL ........... 30

A. Hipotesis ................................................................................. 31

B. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektf ............................... 31

BAB VI METODE PENELITIAN ................................................... 37

A. Rancangan Penelitian ……………………………………………. 37

B. Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................... 37

C. Populasi dan Sampel Penelitian ................................................ 37

D. Alur Penelitian ............................................................................. 39

E. Pengolahan Data ......................................................................... 40

F. Analisis Data ................................................................................ 41

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................ 42

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 65

A. Kesimpulan …………………………………………………….……. 65

B. Saran …………………………………………………………………. 66

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 67

LAMPIRAN ........................................................................................ 72

iv
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Demografi pasien yang menggunakan terapi obat

paracetamol infus di Instalasi Ruang Rawat Inap

RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 2017 …………………. 42

2. Karakteristik pemakaian paracetamol infus

berdasarkan penggolongan diagnosa penyakit

pasien di Instalasi Rawat Inap RSUP. Dr.Wahidin

Sudirohusodo Makassar Tahun 2017 …………………………… 45

3. Persentase kombinasi pemakaian obat paracetamol

infus dengan penggunaan obat lain penginduksi kenaikan

fungsi hati ………………………………………………………….... 50

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

1. Pain pathway ………………………………………………….... 12

2. Rumus struktur kimia paracetamol …………………………… 16

3. Mekanisme kerja paracetamol ……………………………….. 17

4. Mekanisme toksisitas paracetamol ………………………….. 22

5. Kerangka Teori …………………………………………………. 29

6. Kerangka Konsep ……………………………………………… 30

iv
DAFTAR GRAFIK

Grafik Halaman

1. Pemakaian obat paracetamol infus berdasarkan

penggolongan diagnosa penyakit pasien di Instalasi

Ruang Rawat Inap RSUP. Dr.Wahidin Sudirohusodo

Makassar Tahun 2017 …………………………………………. 46

2. Penggunaan obat paracetamol infus berdasarkan

lama pemberian pada pasien ……………………………........ 48

3. Standar deviasi (simpangan baku) dari penggunaan obat

paracetamol infuse ……………………………………………... 49

4. Kombinasi pemakaian obat paracetamol infus dengan

penggunaan obat lain penginduksi kenaikan fungsi hati …… 51

iv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman

1. Lembar Surat Ijin Penelitian..................................................... 72

2. Lembar Surat Keterangan Penelitian ....................................... 73

3. Pemakaian paracetamol infus berdasarkan penggolongan

diagnosa penyakit pasien di Instalasi Rawat Inap RSUP.

Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2017 …………… 74

4. Persentase kombinasi pemakaian obat paracetamol infus

dengan penggunaan obat lain penginduksi kenaikan

fungsi hati ………………………………………………………… 75

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan

dirumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal

tersebut diperjelas dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor :

1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit, yang

menyebutkan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang

tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang

berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu,

termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan

masyarakat. Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan

farmasi, mengharuskan adanya perubahan pelayanan dari paradigma

lama Drug Oriented ke paradigma baru Patient Oriented dengan filosofi

Pharmaceutical Care (pelayanan kefarmasian). Praktek pelayanan

kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk

mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan

masalah yang berhubungan dengan kesehatan (Depkes RI, 2006).

World Health Organization (WHO) mendefinisikan penggunaan obat

yang rasional adalah jika pasien menerima obat yang tepat, dalam dosis

yang sesuai kebutuhan untuk periode waktu yang cukup dan pada biaya

terendah untuknya dan di masyarakat. Salah satu bentuk penggunaan


iv
obat yang irrasional adalah pemberian sediaan injeksi jika sediaan oral

dapat diterima pasien. Penggunaan obat di Rumah Sakit didasarkan pada

keselamatan pasien dan besarnya biaya yang dikeluarkan. Data

penggunaan obat yang diperlukan di rumah sakit seperti halnya untuk

obat dengan biaya mahal dan bentuk sediaan obat baru. Salah satu

penggunaan obat di rumah sakit dalam bentuk sediaan baru yaitu

parasetamol infus dengan harga yang lebih mahal jika dibandingkan

parasetamol oral.

Parasetamol infus ini telah disetujui oleh EMA (European Medicine

Agency) sejak tahun 2002 dan tahun 2010 disetujui oleh US Food and

Drug Administration untuk pengelolaan nyeri ringan sampai sedang,

pengelolaan nyeri sedang sampai berat bersama dengan analgesik opioid,

dan menurunkan demam. Di Indonesia, pabrik mencantumkan indikasi

parasetamol infus untuk terapi jangka pendek pada nyeri setelah

pembedahan, demam, jika ada urgensi secara klinik rute pemberian

secara intravena untuk menghilangkan nyeri dan keadaan hipertermia dan

atau jika rute lain tidak memungkinkan untuk pasien (MIMS Indonesia,

2012).

Hipertermia merupakan suatu keadaan suhu tubuh meningkat

sangat tinggi (mencapai sekitar 40˚C) yang disebabkan gangguan otak,

penyakit, metabolik, lingkungan, atau akibat bahan toksik yang

mempengaruhi pusat pengaturan suhu tubuh (hipotalamus). Penyakit

yang berhubungan dengan panas dapat terjadi sebagai akibat dari

iv
paparan panas. Sengatan panas (heat stroke) didefinisikan sebagai

kegagalan akut pemeliharaan suhu tubuh normal dalam mengatasi

lingkungan yang panas (Thomson, 2015).

Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam

penggunaan parasetamol infus menurut UK Medicines information

pharmacist, 2010 yaitu risiko terjadi infeksi (nosokomial) atau nyeri dan

peradangan lokal di tempat injeksi, potensi overdosis jika diberikan

bersamaan dengan obat oral dan adanya efek samping gangguan fungsi

hati (hepatotoksik). Efek samping hepatotoksik, umumnya disebabkan

karena penggunaan melebihi dosis maksimal harian (4 gram pada dewasa

>50 kg berat badan). Dosis toksik paracetamol terjadi jika kadar di dalam

plasma mencapai 150 mg/L atau kurang lebih sekitar 7,5-10 gram

paracetamol dalam sekali pemberian, sedangkan dosis minimum untuk

efek analgesia dan antipiretik adalah 10-20 mg/L. Infus paracetamol

dengan dosis 15 mg/kg berat badan akan menghasilkan konsentrasi 7

mg/L dalam 5 menit di dalam plasma dan untuk infus paracetamol 1 gram

akan menghasilkan konsentrasi 14,4 mg/L dalam 20 menit di dalam

plasma(Martha et al, 2014, Saxena, 2015).

Efek samping hepatotoksik dapat terjadi pada hari kedua ditandai

dengan kenaikan kadar transaminase (AST/ALT), yang disebabkan

karena penggunaan melebihi dosis maksimal harian (Katzung, 2007).

Kerusakan hati dapat mengakibatkan ensefalopati, koma, dan kematian.

iv
Kerusakan hati yang tidak berat dapat pulih dalam beberapa minggu

sampai beberapa bulan (Martha et al, 2014, Saxena, 2015).

Penelitian tentang evaluasi penggunaan parasetamol infus

sebelumnya sudah pernah dilakukan di Brisbane, Australia oleh

Ghiculescu et al, 2007 menunjukkan bahwa parasetamol infus digunakan

untuk nyeri pada pembedahan abdomen (90%) dan nyeri musculoskeletal

(10%). Parasetamol infus juga digunakan pada kondisi komorbid

gangguan ginjal berat (9,5%), ketergantungan alkohol (3,5%), gangguan

fungsi hati (2,4%) dan malnutrisi (18,8%). Pada 90% kasus ditemui bahwa

parasetamol infus digunakan meskipun alternatif rute pemberian yang lain

masih bisa (Ghiculescu et al, 2007).

Penggunaan parasetamol infus di rumah sakit mengalami

peningkatan akhir-akhir ini, penelitian ini mengevaluasi penggunaan

parasetamol infus pada pasien rawat inap apakah pemakaiannya sudah

efektif ataukah terdapat masalah-masalah yang berkaitan dengan

penggunaannya terhadap pasien. Penelitian mengenai ketepatan

pemberian obat termasuk evaluasi hepatotoksik dan efektivitas

penggunaan parasetamol infus sebagai analgetik antipiretik ini perlu

dilakukan karena belum pernah ada evaluasi terhadap penggunaan obat

ini di Makassar.

iv
B. Rumusan Masalah

Apakah penggunaan parasetamol infus dengan kombinasi obat-obat

penginduksi hati pada pasien interna dan ICU (Intensive Care Unit) sudah

efektif mencapai outcome klinik yang diinginkan tanpa disertai efek

samping.

C. Tujuan Penelitian

Menganalisis efektivitas dan efek samping penggunaan parasetamol

infus dengan kombinasi obat-obat penginduksi hati pada pasien interna

dan ICU (Intensive Care Unit).

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat dalam meningkatkan peran farmasi klinik di

rumah sakit terutama dalam hal pemantauan penggunaan obat,

menyajikan data evaluasi penggunaan obat khususnya parasetamol infus.

iv
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Fisiologi dan Patofisiologi Suhu Tubuh

1. Fisiologi Suhu Tubuh

Suhu tubuh merupakan perbedaan antara jumlah panas yang

diproduksi oleh tubuh dengan jumlah panas yang hilang ke lingkungan

luar. Suhu tubuh yang tidak normal memicu peningkatan tonus otot serta

menggigil dan dapat mengindikasikan adanya suatu infeksi. Hal ini biasa

disebut dengan istilah demam/pireksia (Greg, 2006).

Tingkat demam tidak selalu menunjukkan keseriusan kondisi yang

mendasarinya. Suatu penyakit ringan dapat menyebabkan demam tinggi,

dan penyakit yang lebih serius dapat menyebabkan demam rendah.

Sejumlah obat demam tersedia, yang berfungsi untuk menurunkan

demam dan biasanya demam akan hilang dalam beberapa hari.

Walaupun demam sering dikonotasikan negatif, demam tampaknya

memainkan peran kunci dalam membantu tubuh melawan sejumlah

infeksi, inilah yang juga disebut dengan homeostasis. Homeostasis adalah

kemampuan dari tubuh kita dalam mengatur dan menjaga keseimbangan

lingkungan internal (di dalam) yang ideal dan stabil ketika berhadapan

dengan perubahan eksternal (di luar). Temperatur homeostasis

dikendalikan di hipotalamus, tepatnya di bagian anterior,


iv
yang mana ia akan menjadi pusat pengatur suhu tubuh sesuai target

(Greg, 2006, Anochie et al, 2013).

Rata-rata suhu tubuh normal yang diukur secara oral berdasarkan

kelompok usia adalah suhu normal anak – anak berkisar 36,3 – 37,7oC

dan suhu normal dewasa berkisar 36,5 – 37,5oC. Suhu tubuh tinggi diatas

nilai normal adalah 38 – 40oC (Greg, 2006).

2. Patofisiologi Suhu Tubuh

Mekanisme terjadi ketika pembuluh darah disekitar hipotalamus

terkena pirogen eksogen tertentu (seperti bakteri) atau pirogen endogen

(Interleukin-1, interleukin-6, tumor necrosis factor) sebagai penyebab

demam, maka metabolit asam arakidonat dilepaskan dari endotel sel

jaringan pembuluh darah. Metabolit seperti prostaglandin E2, akan

melintasi barrier darah-otak dan menyebar ke dalam pusat pengaturan

suhu di hipotalamus, yang kemudian memberikan respon dengan

meningkatkan suhu. Dengan titik suhu yang telah ditentukan, hipotalamus

akan mengirimkan sinyal simpatis ke pembuluh darah perifer. Pembuluh

darah perifer akan berespon dengan melakukan vasokonstriksi yang

menyebabkan penurunan heat loss melalui kulit. Peningkatan aktivitas

simpatis juga akan menimbulkan piloerection. Jika penyesuaian ini tidak

cukup menyelamatkan panas dengan mencocokkan titik suhu yang baru,

maka akan timbul menggigil yang dipicu melalui spinal dan supraspinal

iv
motor system, yang bertujuan agar tubuh mencapai titik suhu yang baru

(Guliuzza, 2009, Anochie et al, 2013).

Ketika suhu tubuh meningkat terjadi, banyak rekasi fisiologis

berlangsung, termasuk konsumsi oksigen meningkat sebagai respon

terhadap metabolisme sel meningkat, peningkatan denyut jantung,

peningkatan cardiac output, jumlah leukosit meningkat, dan peningkatan

level C-reactive protein. Konsumsi oksigen meningkat sebesar 13% untuk

setiap kenaikan 1°C suhu tubuh, asalkan menggigil tidak terjadi. Jika

menggigil ada, konsumsi oksigen dapat meningkat 100% sampai 200%.

Beberapa sitokin dilepaskan selama keadaan suhu tubuh meningkat yang

akan menginduksi fisiologis stres (tegang). Sitokin ini dapat memicu

percepatan katabolisme otot dengan menyebabkan penurunan berat

badan, kehilangan kekuatan, dan keseimbangan negatif nitrogen negatif.

Fisiologis stres diwujudkan dengan ketajaman mental menurun, delirium,

dan kejang demam. Pada tahap akhir jika suhu tubuh menurun mencapai

normal, maka akan ditandai dengan kemerahan, diaforesis, dan tubuh

akan merasa hangat (Anochie et al, 2013).

Hasil penelitian dengan model berbagai hewan menunjukkan bahwa

demam memiliki beberapa efek respons tubuh menguntungkan terhadap

infeksi. Heat shock proteins (HSP) adalah salah satu penelitian fever-

responsive proteins yang ada. Protein ini diproduksi selama keadaan

demam dan sangat penting untuk kelangsungan hidup sel selama stres.

iv
Studi menunjukkan bahwa protein ini mungkin memiliki efek anti-inflamasi

dengan menurunkan kadar sitokin pro inflamasi. Demam juga memicu

efek menguntungkan lainnya, termasuk peningkatan aktivitas fagositik dan

bacteriocidal neutrofil serta meningkatkan efek sitotoksik limfosit.

Beberapa bakteri menjadi kurang ganas dan tumbuh lebih lambat pada

suhu lebih tinggi yang berhubungan dengan demam. Peningkatan kadar

C-reactive protein mendorong fagosit lebih patuh untuk menyerang

organisme, memodulasi radang, dan mendorong perbaikan jaringan

(Anochie et al, 2013).

B. Fisiologi dan Patofisiologi Nyeri

1. Fisiologi nyeri

Nyeri menurut International Association for the Study of Pain (IASP,

1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan

dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi

kerusakan jaringan. Sebagaimana diketahui bahwa nyeri tidaklah selalu

berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai. Namun

nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang

kultural, umur dan jenis kelamin. Kegagalan dalam menilai faktor

kompleks nyeri dan hanya bergantung pada pemeriksaan fisik

sepenuhnya serta tes laboratorium mengarahkan kita pada

kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama

pada pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti orang tua, anak-anak dan

pasien dengan gangguan komunikasi (Charlotte, 2009).


iv
Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia)

atau pasca pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang

sempurna, karena dampak dari nyeri itu sendiri akan menimbulkan

metabolic stress response (MSR) yang akan mempengaruhi semua sistem

tubuh dan memperberat kondisi pasiennya (Charlotte , 2009).

Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis

kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang

merefleksikan empat proses komponen yang nyata yaitu transduksi,

transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat

diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex

cerebri) (Garry et al,2013, Gautam, 2016)

1) Proses Transduksi (Garry et al, 2013, Gautam 2016)

Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung

saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia,

suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-

ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh (reseptor

meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan

jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya

menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang

akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan

dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang

akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai

sensitisasi perifer.

iv
2) Proses Transmisi (Garry et al, 2013, Gautam 2016)

Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan

proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke

medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum

diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan sebagian ke

traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa

rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta

berhubunga dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi.

Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps

interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin.

Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di

cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.

3) Proses Modulasi (Garry et al, 2013, Gautam 2016)

Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat

(medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem

analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri

yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses

ascenden yang dikontrol oleh otak.

Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin)

dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis.

Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk

menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah

yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang.

iv
4) Persepsi (Garry et al, 2013, Gautam 2016)

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi,

transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu

proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan

terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari

sensorik.

Gambar 1. Pain Pathway (Serpell, 2006)

Pada beberapa jurnal menyebutkan nyeri luka operasi tingkat moderate

sampai severe 30-40% berkurang 24 - 48 jam pasca operasi. Penilaian

derajat nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi

iv
nyeri pasca pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan

keterangan pasien digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri

harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan

menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan (Serpell, 2006).

Pembagian skala nyeri yaitu skala intensitas nyeri deskritif, skala

identitas nyeri numeric dan skala analog visual. Skala nyeri yang

digunakan adalah skala nyeri berdasarkan skala nyeri numeric (angka)

yaitu angka 0 dinyatakan bila tidak mengalami nyeri, angka1-3 dinyatakan

nyeri ringan dan secara obyektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik,

angka 4-6 dinyatakan nyeri sedang dan secara obyektif pasien mendesis,

menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya,

dapat mengikuti perintah dengan baik, angka 7-9 dinyatakan nyeri berat

dan secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi

masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak

dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas

panjang dan angka 10 dinyatakan nyeri sangat berat dan pasien sudah

tidak mampu lagi berkomunikasi (Smeltzer et al, 2009, Potter et al, 2005).

2. Patofisiologi Nyeri

Reseptor nyeri disebut nosireseptor. Nosireseptor mencakup ujung-

ujung saraf bebas yang berespon terhadap berbagai rangsangan

termasuk tekanan mekanis, deformasi, suhu yang ekstrim, dan berbagai

bahan kimia.Pada rangsangan yang intensif, reseptor-reseptor lain

misalnya badan Pacini dan Meissner juga mengirim informasi yang


iv
dipersepsikan sebagai nyeri. Zat-zat kimia yang merangsang terjadinya

nyeri antara lain adalah histamin, bradikini, serotonin, beberapa

prostaglandin, ion kalium, dan ion hydrogen.Masing-masing zat tersebut

tertimbun di tempat cedera, hipoksia, atau kematian sel. Nyeri cepat (fast

pain) disalurkan ke korda spinalis oleh serat A delta, nyeri lambat (slow

pain) disalurkan ke korda spinalis oleh serat C lambat (MacIntyre, 2010,

Garry et al, 2013, Gautam 2016).

Serat-serat C tampak mengeluarkan neurotransmitter substansi P

sewaktu bersinaps di korda spinalis.Setelah di korda spinalis, sebagian

besar serat nyeri bersinaps di neuron-neuron tanduk dorsal dari

segmen.Namun, sebagian serat berjalan ke atas atau ke bawah beberapa

segmen di korda spinalis sebelum bersinaps.Setelah mengaktifkan sel-sel

di korda spinalis, informasi mengenai rangsangan nyeri diikirim oleh satu

dari dua saraf ke otak- traktus neospinotalamikus atau traktus

paleospinotalamikus (Corwin, 2000, Garry et al, 2013).

Informasi yang dibawa ke korda spinalis dalam serat-serat A delta di

salurkan ke otak melalui serat-serat traktus neospinotalamikus. Sebagian

dari serat tersebut berakhir di reticular activating system dan menyiagakan

individu terhadap adanya nyeri, tetapi sebagian besar berjalan ke

thalamus. Dari thalamus, sinyal-sinyal dikirim ke korteks sensorik somatik

tempat lokasi nyeri ditentukan dengan pasti. (Corwin, 2000, Garry et al,

2013).

iv
Informasi yang dibawa ke korda spinalis oleh serat-serat C, dan

sebagian oleh serat A delta, disalurkan ke otak melalui serat-serat traktus

paleospinotalamikus. Serat-serat ini berjalan ke daerah reticular dibatang

otak, dan ke daerah di mesensefalon yang disebut daerah grisea

periakuaduktus.Serat- serat paleospinotalamikus yang berjalan melalui

daerah reticular berlanjut untuk mengaktifkan hipotalamus dan system

limbik.Nyeri yang di bawa dalam traktus paleospinotalamik memiliki

lokalisasi yang difus dan berperan menyebabkan distress emosi yang

berkaitan dengan nyeri (Corwin, 2000, Garry et al, 2013).

Pada saat sel saraf rusak akibat trauma jaringan, maka terbentuklah

zat-zat kimia seperti Bradikinin, serotonin dan enzim proteotik. Kemudian

zat-zat tersebut merangsang dan merusak ujung saraf reseptor nyeri dan

rangsangan tersebut akan dihantarkan ke hypothalamus melalui saraf

asenden. Sedangkan di korteks nyeri akan di persiapkan sehingga

individu mengalami nyeri. Selain dihantarkan ke hypotalamus nyeri dapat

menurunkan stimulasi terhadap reseptor mekanin sensitive pada

termosensitif sehingga dapat juga menyebabkan atau mengalami nyeri

(Corwin, 2000, Garry et al, 2013).

C. Tinjauan tentang Paracetamol

Derivat para amino fenol yaitu fenasetin dan asetaminofen.

Paracetamol atau asetaminofen merupakan metabolit fenasetin dengan

efek antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak 1893. Efek
iv
antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Asetaminofen di

Indonesia lebih dikenal sebagai parasetamol. Parasetamol bersifat

antipiretik dan analgesik tetapi sifat anti-inflamasinya lemah sekali

(Bertolini, 2006).

Gambar 2. Rumus struktur kimia parasetamol

Parasetamol merupakan obat analgesik non narkotik yang memiliki

cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Saraf

Pusat (SSP). Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik

dalam bentuk sediaan tunggal sebagai analgesik-antipiretik maupun

kombinasi dengan obat lain melalui resep dokter atau yang dijual bebas.

Parasetamol merupakan obat lain pengganti aspirin yang efektif sebagai

obat analgesik-antipiretik. Karena hampir tidak mengiritasi lambung,

parasetamol sering dikombinasikan dengan AINS untuk efek analgesik.

Overdosis parasetamol tidak bisa dianggap hal yang wajar karena dapat

menyebabkan kerusakan hati yang fatal dan obat ini sering dikaitkan

dengan keracunan serta bunuh diri dengan parasetamol yang semakin

mengkhawatirkan belakangan ini (Bertolini, 2006, Department of

Physiology and Pharmacology, 2010).

iv
1. Mekanisme Kerja

Gambar 3. Mekanisme Kerja Paracetamol (Graham et al, 2005)

Paracetamol bekerja dengan mengurangi produksi prostaglandin

dengan mengganggu enzim cyclooksigenase (COX). Parasetamol

menghambat kerja COX pada sistem syaraf pusat yang tidak efektif dan

sel edothelial dan bukan pada sel kekebalan dengan peroksida tinggi.

Kemampuan menghambat kerja enzim COX yang dihasilkan otak inilah

yang membuat paracetamol dapat mengurangi rasa sakit kepala dan

dapat menurunkan demam (Graham et al, 2005).

iv
2. Farmakodinamik

Efek analgesik parasetamol yaitu menghilangkan atau mengurangi

nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol menurunkan suhu tubuh

dengan mekanisme yang diduga berdasarkan efek sentral. Efek anti

inflamasinya yang sangat lemah, oleh karena itu parasetamol tidak

digunakan sebagai antireumatik. Ketidakmampuan parasetamol

memberikan efek antiradang itu sendiri mungkin berkaitan dengan fakta

bahwa parasetamol hanya merupakan inhibitor siklooksigenase yang

lemah dengan adanya peroksida konsentrasi tinggi yang ditemukan pada

lesi radang. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis

prostaglandin yang lemah. Efek iritasi, erosi, dan perdarahan lambung

tidak telihat pada obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan

keseimbangan asam basa (Martin, 2007, Lacy, 2012).

3. Farmakokinetik

Absorbsi (Martin et al, 2007, Lacy, 2012)

 Bioavailabilitas

Diserap dengan baik setelah pemberian oral, dengan konsentrasi

puncak plasma dicapai dalam waktu 10-60 menit atau 60-120

menit (formula tablet lepas lambat) .

Penyerapan yang buruk atau variabel setelah pemberian rektal;

variasi dalam konsentrasi plasma puncak dicapai; waktu untuk

iv
mencapai konsentrasi plasma puncak jauh lebih lama dari setelah

pemberian.

 Makanan : Makanan dapat menunda penyerapan

Distribusi (Martin et al, 2007, Lacy, 2012)

 Cepat didistribusikan ke sebagian besar jaringan tubuh. Melewati

plasenta dan didistribusikan ke dalam ASI.

 Protein Plasma Binding : 25%.

Metabolisme (Martha et al, 2014)

Dimetabolisme terutama oleh sulfat dan glukuronida konjugasi; 0,226

dalam jumlah kecil (5-10%) dioksidasi oleh CYP tergantung dari

jalurnya (terutama CYP2E1 dan CYP3A4) ke metabolit toksik. N-

asetil-p-benzoquinoneimine (NAPQI) didetoksifikasi oleh glutathione

dan dihilangkan; dapat mengikat setiap metabolit toksik yang tersisa

untuk hepatosit dan menyebabkan nekrosis.

Eliminasi Martin et al, 2007, Lacy, 2012)

 Rute Eliminasi : Terutama diekskresikan dalam urin sebagai

konjugat

 Half-life : 1,25-3 Jam

 Populasi khusus

Pada pasien dengan dosis toksik atau pasien dengan kerusakan

Hati terjadi perpanjangan waktu paruh asetaminofen. Pada pasien

iv
gangguan ginjal moderat (sedang) sampai berat, konjugat

acetaminophen mungkin terakumulasi.

4. Regimen Dosis (Martin et al, 2007, Lacy, 2012)

 Oral :
Dosis anak 6-12 bulan 60 mg/kali, maks. 6 kali
Sehari; 1-6 tahun 60-120 mg/kali, maks. 6 kali/hari
6-12 tahun 150-300 mg/kali, maks.1,2 gram/hari;
Dewasa 300 mg-1 gram/kali, maks. 4 gram/hari
 Infus :
BB >50 kg 100 mL secara infus IV selama 15 mnt, berikan hingga
4 x/hari. Dosis harian maks : 4 gram.
BB <50 kg & anak dengan BB >33 kg (usia sekitar 11 thn) : 1.5
mL/kg BB, berikan hingga 4 x/hari.
Dosis harian maks: 60 mg/kgBB atau 3 gram. Dosis hrs diberikan
dengan selang waktu (interval) sekurang-kurangnya tiap 4 jam.
 Rektal
Dosis dewasa : 3-4 x sehari 0.5-1 gram, maksimal 4 gram/hari.
Dosis anak usia 7-12 tahun : 3-4 x sehari 250 mg,maks. 1 gram/hari
Dosis anak usia 1-6 tahun : 3-4 x sehari 125 mg, maks. 750 mg/hari
Dosis anak usia kurang dari 1 tahun : 3-4 x sehari 60 mg

5. Efek samping (Martha et al, 2014)

Efek samping penggunaan paracetamol terus menerus dapat

menyebabkan overdosis dan keracunan. Keracunan parasetamol

disebabkan karena akumulasi dari salah satu metabolitnya yaitu N-

acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI), yang dapat terjadi karena

overdosis, pada pasien malnutrisi, atau pada peminum alkohol kronik.

iv
Efek samping parasetamol biasanya terbagi dalam 4 fase, yaitu

(Martha et al, 2014) :

 Fase 1

Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, perasaan tak menentu pada

tubuh yang tak nyaman (malaise) dan banyak mengeluarkan keringat.

 Fase 2

Pembesaran liver, peningkatan bilirubin dan konsentrasi enzim

hepatik, waktu yang dibutuhkan untuk pembekuan darah menjadi

bertambah lama dan kadang-kadang terjadi penurunan volume urin.

 Fase 3

Berulangnya kejadian pada fase 1 (biasanya 3-5 hari setelah

munculnya gejala awal) serta terlihat gejala awal gagal hati seperti

pasien tampak kuning karena terjadinya penumpukan pigmen empedu

di kulit, membran mukosa dan dan sklera (jaundice), hipoglikemia,

kelainan pembekuan darah, dan penyakit degeneratif pada otak

(encephalopathy). Pada fase ini juga mungkin terjadi gagal ginjal dan

berkembangnya penyakit yang terjadi pada jantung (cardiomyopathy).

 Fase 4

Penyembuhan atau berkembang menuju gagal hati yang fatal.

6. Interaksi Obat (Martin et al, 2007, Lacy, 2012)

 Metoclopramide : meningkatkan efek analgetic.

iv
 Carbamazepine, fenobarbital dan fenitoin : meningkatkan potensi

kerusakan hati.

 Kolestiramin dan lixisenatide : mengurangi efek farmakologis

paracetamol.

 Antikoagulan warfarin : paracetamol meningkatkan efek koagulansi

obat ini sehingga meningkatkan potensi resiko terjadinya perdarahan.

7. Kontra Indikasi (Martin et al, 2007, Lacy, 2012)

Hipersensitif terhadap parasetamol dan defisiensi glukose-6-fosfat

dehidrogenase. Tidak boleh digunakan pada penderita dengan gangguan

fungsi hati.

8. Mekanisme Toksisitas

Gambar 4. Mekanisme Toksisitas Paracetamol (James et al, 2003)

iv
Diperkirakan ada lebih dari 250 obat atau bahan kimia yang

menimbulkan efek samping gangguan fungsi hati (hepatotoksik).

Gangguan fungsi hati disebabkan oleh obat-obatan bisa merupakan toksik

langsung yang tergantung kepada dosis obat atau bisa juga merupakan

reaksi alergi yang tergantung pada masing-masing individu. Akibat dosis

toksik dari parasetamol yang paling serius adalah nekrosis hati. Pada

orang dewasa, hepatotoksisitas dapat terjadi setelah penggunaan

parasetamol dosis tunggal sebesar 10-15 gram. Di hati, obat-obatan akan

mengalami perubahan struktur kimia yang dikatalisis oleh enzim, disebut

juga proses biotransformasi. Hasilnya obat menjadi lebih mudah larut

dalam air dan mudah dikeluarkan sisa-sisa metabolisme obat melalui

proses ekskresi. Selain itu, proses juga berperan dalam mengakhiri kerja

obat dalam tubuh (Esquenezi Et al, 2017).

Acetaminophen (parasetamol, N-acetyl-p-aminophenol; APAP)

adalah obat analgesik dan antipiretik yang banyak digunakan. Pada dosis

terapeutik, diyakini aman, memiliki efek analgesik dan antipiretik yang

serupa dengan aspirin dan ibuprofen. Tidak seperti obat lain,

acetaminophen memiliki sifat anti inflamasi yang lemah (Bessems dan

Vermeulen, 2001, James et al, 2003, Prescott dan Critchley, 1983).

Acetaminophen pada awalnya diperkenalkan sebagai analgesik

oleh Von Mering pada tahun 1893, namun tidak banyak digunakan sampai

tahun 1960an, setelah mendapat pengakuan bahwa phenacetin analog

structural bersifat nephrotoxic pada penggunaannya. Sedangkan


iv
penggunaan aspirin, terdapat kekhawatiran tentang perdarahan

gastrointestinal dan sindrom Rye yang terus meningkat (Hinson, 1980).

Davidson dan Eastham adalah orang pertama yang melaporkan

bahwa acetaminophen bersifat hepatotoksik dalam overdosis. Mereka

menggambarkan dua individu yang mengembangkan hepatotoksisitas

setelah overdosis acetaminophen dan meninggal pada hari ketiga setelah

overdosis. Pemeriksaan mikroskopis pada bagian hati dari orang-orang ini

menunjukkan nekrosis hati yang memudar. Nekrosis terutama terjadi di

daerah centrilobular. Perubahan mengindikasikan nekrosis fulminasi yang

terbatas terutama pada hepatosit di daerah centrilobular hati. Nekrosis

pada sel tubulus proksimal ginjal diamati pada salah satu pasien

(Davidson dan Eastham, 1966).

Setelah laporan awal ini, banyak kasus overdosis acetaminophen

yang telah dilaporkan. Boyer dan Rouff menggambarkan gejala klinis

utama sebagai perkembangan mual dan muntah dalam waktu 2-3 jam

setelah disusul oleh nyeri perut. Disfungsi hati terjadi dalam 24 jam dan

mencapai maksimum sekitar 3-4 hari setelah konsumsi. Perubahan klinis

dan biokimia menjadi peningkatan yang signifikan terhadap kadar serum

alanine aminotransferase (ALT) dan asparatate aminotransferase (AST),

hiperbilirubinemia ringan, dan peningkatan waktu protrombin (Dixon et al,

1971). Dalam hubungannya dengan gejala klinis ini, waktu paruh eliminasi

asetaminofen dapat tertunda (Schiodt et al, 2002). Juga, beberapa pasien

iv
dapat mengalami nefrotoksisitas selain hepatotoksisitas (Boyer dan Rouff

1971, Prescott et al, 1971).

Mekanismenya toksisitas terjadi dengan rangkaian peristiwa yang

kompleks. Peristiwa ini meliputi : (1) metabolisme CYP ke metabolit reaktif

yang menghabiskan glutathione dan secara kovalen mengikat protein; (2)

kehilangan glutathione dengan peningkatan pembentukan oksigen dan

nitrogen reaktif dalam hepatosit yang mengalami perubahan nekrotik; (3)

meningkatkan stres oksidatif, terkait dengan perubahan homeostasis

kalsium dan inisiasi respon transduksi sinyal, yang menyebabkan transisi

permeabilitas mitokondria; (4) transisi permeabilitas mitokondria yang

terjadi dengan penambahan stress oksidatif, hilangnya potensi membran

mitokondria, dan hilangnya kemampuan mitokondria untuk mensintesis

ATP; Dan (5) kehilangan ATP yang menyebabkan nekrosis. Terkait

dengan kejadian penting ini tampaknya ada sejumlah mediator inflamasi

seperti sitokin dan kemokin tertentu yang dapat memodifikasi

toksisitasnya. Beberapa telah terbukti dapat mengubah stres oksidatif,

namun hubungan modulator ini dengan kejadian mekanistik penting

lainnya belum dapat digambarkan dengan baik. Selain itu, data yang ada

mendukung keterlibatan sitokin, kemokin, dan faktor pertumbuhan dalam

inisiasi proses regeneratif yang mengarah pada pembentukan kembali

struktur dan fungsi hati (James et al, 2003).

Secara Umum, reaksi toksisitas dari parasetamol akan

dikonversikan menjadi inaktif melalui metabolisme fase II yang


iv
dikonjugasikan dengan sulfat dan glukuronida, yang akan beroksidasi

dalam jumlah kecil melalui sistem enzim sitokrom P450. Sitokrom P450

2E1 (CYP2E1) akan mengkonversikan parasetamol menjadi metabolit

reaktif yang tinggi, N-acetyl-p-benzo-quinone imine (NAPQI). Dalam

kondisi dibawah normal, NAPQI akan didetoksifikasi oleh konjugasi

dengan glutation. Pada kasus toksikasi parasetamol, jalur sulfat dan

glukuronida menjadi terurai sehingga parasetamol merangsang sistem

sitokrom P450 memproduksi NAPQI yang banyak. Konsekuensinya

NAPQI yang dikonjugasi oleh glutation (GSH) bertambah banyak

sedangkan hepatoseluler kekurangan glutation sehingga ketika melewati

kapasitas konjugasi GSH, NAPQI akan berikatan kovalen dengan

makromolekul vital sel hati (seperti lipid dan protein membran sel) dan

menyebabkan nekrosis hati (Esquenezi Et al, 2017, Ellis, 2011).

D. Efektifitas Paracetamol

1. Analgesik

Analgesik merupakan istilah kimia untuk zat-zat yang dapat

menurunkan rasa sakit. Efek penghilang rasa sakit dimunculkan dengan

mereduksi kepekaan fisik dan emosional individu serta memberikan

penggunanya rasa nyaman. Paracetamol merupakan analgesik nonopiat

(analgesic non narkotik) yang dapat mengurangi nyeri dengan cara

bekerja di ujung saraf perifer pada daerah luka dan menurunkan tingkat

mediator inflamasi yang dihasilkan di daerah luka. Nonopiat digunakan


iv
untuk nyeri ringan hingga sedang, kecuali ada kontra indikasi khusus

(Berman et al, 2009). Analgesik opiate (analgesic narkotik) adalah obat

obat yang daya kerjanya meniru opioid endogen dengan memperpanjang

aktivitas dari reseptor reseptor opioid. Tubuh dapat mensintesis zat zat

opioidnya sendiri, yakni zat-zat endorphin, yang juga bekerja melalui

reseptor opioid. Endorphin bekerja dengan menduduki reseptor nyeri di

system saraf pusat, hingga perasaan nyeri dapat diblokir. Tetapi bila

analgetika tersebut digunakan terus-menerus, pembentukan reseptor-

reseptor baru distimulasi dan produksi endorphin di ujung saraf otak

dirintangi. Akibatnya terjadilah kebiasaan dan ketagihan (Tjay, Rahardja,

2007).

2. Antipiretik

Demam dengan suhu tubuh >38oC, yang disebabkan karena

terjadinya nekrosis jaringan atau oleh perubahan mekanisme

termoregulasi. Terjadinya demam ini disebabkan oleh pelepasan zat

pirogen dari dalam lekosit yang sebelumnya telah terangsang baik oleh

zat pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme atau

merupakan suatu hasil reaksi imunologik yang tidak berdasarkan suatu

infeksi (Benneth et al, 2007, Gelfand et al, 1998). Pirogen eksogen

bekerja pada fagosit untuk menghasilkan IL-1, suatu polipetida yang juga

dikenal sebagai pirogen endogen. IL-1 mempunyai efek luas dalam tubuh.

Zat ini memasuki otak dan bekerja langsung pada area preoptika

hipotalamus. Di dalam hipotalamus zat ini merangsang pelepasan asam


iv
arakhidonat serta mengakibatkan peningkatan sintesis PGE-2 yang

langsung dapat menyebabkan suatu pireksia/ demam (Lukmanto, 2005,

Gelfand et al, 1998).

Parasetamol merupakan antipiretik yang reabsorpsinya dari usus

cepat dan praktis tuntas, secara rectal lebih lambat. Dalam hati diuraikan

menjadi metabolit-metabolit toksik yang diekskresikan dengan kemih

sebagai konjugat-glukuronida dan sulfat (Tjay, Rahardja, 2007). Analgesik

bekerja pada sintesis prostaglandin. Sintesis prostaglandin dihalangi oleh

penghambatan pada siklooksigenase, satu enzim kunci pada reaksi

berantai asam arakidonat. Siklooksigenase ada 2 bentuk iso (COX-1 dan

COX-2), yang berbeda dalam distribusinya di jaringan dan regulasinya.

Prinsip kerjanya sama untuk senyawa dalam golongan ini. Perbedaannya

terletak pada afinitas enzim dan tipe inhibitor untuk masing masing obat

(Garry et al , 2013).

E. Tinjauan tentang AST dan ALT

1. Aspartate Transaminase (AST)

Aspartate Transaminase (AST) adalah enzim yang biasanya terdapat

dalam jaringan tubuh, terutama dalam jantung dan hati. Enzim itu

dilepaskan ke dalam serum sebagai akibat dari cedera jaringan, oleh

karena itu konsentrasi dalam serum (AST) dapat meningkat pada penyakit

iv
infark miokard atau kerusakan akut pada sel-sel hati. AST juga disebut

SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) (Sacher et al, 2004).

2. Alanin Transaminase (ALT)

Alanin Transaminase (ALT) adalah enzim yang banyak ditemukan

pada sel hati serta efektif untuk mendiagnosis destruksi hepatoselular.

Enzim ini dalam jumlah yang kecil dijumpai pada otot jantung, ginjal dan

otot rangka. Pada umumnya nilai tes ALT lebih tinggi daripada AST pada

kerusakan parenkim hati akut, sedangkan pada proses kronis didapat

sebaliknya. ALT juga disebut SGPT (Serum Glutamic Piruvat

Transaminase) (Sacher et al, 2004)

Pada hasil test fungsi hati dapat dilihat kadar ALT dan AST yang

menunjukkan kondisi fungsi hati pada saat dilakukan pengetesan. Kadar

normal dari ALT adalah 7 – 35 IU/L dan AST adalah 8 – 33 IU/L.

Meningkatnya kadar ALT dan AST dapat disebabkan oleh banyak faktor,

yaitu obat penekan kolesterol, alkohol, kegagalan jantung, hepatitis (A, B,

C), kegemukan, obat – obat anti nyeri, kerusakan usus kecil, infeksi,

kelebihan zat besi, kanker hati dan keracunan obat (Sacher et al, 2004).

iv
E. Kerangka Teori

EFEKTIFITAS

- Oral - Analgetik
BENTUK
- Infus (Pereda Nyeri)
SEDIAAN
- Rektal - Antipiretk
(Penurun Panas)

Gangguan fungsi hati : EFEK RUTE


- Peningkatan aktivitas SAMPING PEMAKAIAN
serum transaminase
(AST/ALT) - Peroral
- Intravena
PARACETAMOL - Perektal
 Metoclopramide :
meningkatkan efek INTERAKSI
analgetik KONTRA INDIKASI
 Carbamazepine, OBAT
fenobarbital dan fenitoin : - Hipersensitif terhadap
parasetamol dan defisiensi
meningkatkan potensi
glukose-6-fosfat
kerusakan hati.
dehidrogenase.
 Kolestiramin dan
- Tidak boleh digunakan
lixisenatide : mengurangi
pada penderita dengan
efek farmakologis
gangguan fungsi hati.
paracetamol.
 Antikoagulan warfarin :
paracetamol DOSIS
meningkatkan efek
koagulansi obat ini ORAL :
sehingga meningkatkan Dosis anak 6-12 bulan 60 mg/kali, maks. 6 kali
potensi resiko terjadinya Sehari; 1-6 tahun 60-120 mg/kali, maks. 6 kali/hari
perdarahan. 6-12 tahun 150-300 mg/kali, maks. 1,2 g/hari;
Dewasa 300 mg 1 g/kali, maks. 4 g/hari
INFUS :
BB >50 kg 100 mL secara infus IV selama 15 mnt, berikan hingga 4
x/hari. Dosis harian maks : 4 gram.
BB <50 kg & anak dengan BB >33 kg (usia sekitar 11 thn) : 1.5 mL/kg BB,
berikan hingga 4 x/hari.
Dosis harian maks: 60 mg/kgBB atau 3 g. Dosis hrs diberikan dengan
selang waktu (interval) sekurang-kurangnya tiap 4 jam.
REKTAL :
Dosis dewasa : 3-4 x sehari 0.5-1 gram, maksimal 4 gram/hari.
Dosis anak usia 7-12 tahun : 3-4 x sehari 250 mg, maksimal 1 gram/hari
Dosis anak usia 1-6 tahun : 3-4 x sehari 125 mg, maksimal 750 mg/hari
Dosis anak usia kurang dari 1 tahun : 3-4 x sehari 60 mg

iv
46

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Demam dan Nyeri

Paracetamol Infus

Efektifitas Efek samping


- Menurunkan Demam - Hepatotoksik
- Menghilangkan nyeri

- Pengukuran Suhu Pengukuran Kadar


- Pengukuran Skala Nyeri AST dan ALT

Keterangan :

: Variabel Dependen

: Variabel Independen

: Variabel Moderat

Gambar 6 : Kerangka Konsep Penelitian

.
B. Defenisi Operasional

1. Terapi Paracetamol Infus

Terapi paracetamol infus dalam penelitian ini adalah pemberian

secara intravena.

2. Demam dan Nyeri

a. Demam dalam penelitian ini adalah kenaikan suhu tubuh >38oC

yang memicu peningkatan tonus otot serta menggigil dan dapat

mengindikasikan adanya suatu infeksi.

b. Nyeri dalam penelitian ini adalah pengalaman sensorik dan

emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan

kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan.

Pengukuran nyeri berdasarkan skala nyeri numeric (angka)

dengan skala 4-10 (nyeri sedang-berat).


BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian Observasional non

eksperimen dengan Analisis Prospektif. Observasional non eksperimen

karena peneliti tidak memberikan perlakuan pada pasien. Analisis karena

dilakukan dengan menganalisis suatu keadaan untuk menarik kesimpulan.

Prospektif karena penelurusan data dilakukan kedepan.

B. Waktu dan lokasi penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan April – Juni 2017

2. Lokasi Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan di ruang perawatan Interna dan ICU

Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

C. Populasi dan sampel penelitian

1. Populasi Penelitian

Penelitian dilakukan terhadap pasien yang mendapat terapi

paracetamol infus di ruang perawatan interna dan ICU Rumah Sakit

Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.


2. Sampel Penelitian

Sampel adalah pasien yang mendapat terapi paracetamol infus di

ruang perawatan interna dan ICU RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo

periode April - Juni 2017 dengan jumlah sampel sebanyak 30 pasien.

3. Kriteria Inklusi

a. Pasien yang mendapat terapi paracetamol infus

b. Laki – laki atau perempuan usia 17 – 50 tahun

c. Pasien yang memiliki fungsi hati normal

4. Kriteria Eksklusi

a. Pasien yang mengalami alergi obat paracetamol infus

b. Pasien yang memiliki gangguan fungsi hati

5. Kriteria Drop out

a. Pasien meninggal selama periode penelitian

b. Pasien yang mengalami reaksi hipersensitivitas terhadap

paracetamol infus selama penelitian


D. Alur Penelitian

Pasien yang memenuhi Kriteria Inklusi

Terapi Obat Paracetamol Infus

Pengamatan
Pencatatan Data Pasien penggunaan obat lain

Pengambilan data efektifitas


Pencatatan Data Laboratorium :
Nilai Fungsi Hati (AST/ALT) obat sesuai kriteria

Pemberian Obat Pengukuran :


Hepatotoksik Paracetamol infus - Skala Nyeri
>3 hari - Suhu

Data Penelitian :
Nilai Fungsi Hati (AST/ALT)

Pencatatan dan Pengolahan


Data Penelitian
Metode Kerja :

1. Pengambilan data pasien yang menggunakan paracetamol infus di

Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

2. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi ditetapkan sebagai sampel

penelitian

3. Informed consent pada psien dan keluarga pasien untuk memberi

persetujuan mengikuti semua prosedur penelitian

4. Pengamatan pemberian obat paracetamol infus

5. Pengamatan penggunaan obat lain, efektivitas penurunan demam dan

penghilangan nyeri, dosis regimen dan efek samping (pengukuran

kadar AST dan ALT).

6. Pencatatan dan pengolahan data dilakukan oleh peneliti

E. Pengolahan Data

Dari lembar pengumpul data dibuat tabel induk kemudian dianalisis secara

deskriptif prospektif tentang jumlah pasien yang menerima terapi

paracetamol infus dengan mengamati karakteristik masing-masing

sampel.
F. Analisis Data

Analisis data yang telah dikumpulkan dilakukan editing untuk meneliti

ulang data yang belum lengkap dan kebenaran data. Selanjutnya data

tersebut diolah, ditabulasi dan dianalisis serta disajikan dalam bentuk

grafik distribusi frekuensi pemakaian dengan menggunakan rumus

Standar Deviasi / Simpangan Baku (Supranto, 2009) :


BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di ruang perawatan di Rumah Sakit Umum

Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Pengambilan data penelitian

dilakukan pada pasien yang menggunakan terapi pengobatan

paracetamol infus pada bulan April – Juni 2017. Sampel adalah pasien

yang menggunakan terapi obat paracetamol infus yang masuk kategori

inklusi, yaitu sebanyak 30 orang.

Penelitian dilakukan dengan cara pengisian inform consent oleh

pasien sebagai kesediaan pasien menjadi sampel penelitian. Selanjutnya

dilakukan pencatatan rekam medik pasien. Jenis data yang dikumpulkan

selama penelitian meliputi demografi pasien (nama, nomor rekam medik,

usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh), kondisi klinis pasien (hasil

laboratorium, skala nyeri dan suhu) dan data profil pengobatan meliputi

regimen terapi (jenis obat, jumlah obat, dosis pemberian, dan aturan

pemakaian). Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan disajikan dalam

bentuk tabel yang disertai dengan penjelasan.


Tabel 1. Demografi pasien yang menggunakan terapi obat

paracetamol infus di Instalasi Ruang Rawat Inap RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar tahun 2017.

KATEGORI KETERANGAN FREKUENSI PERSENTASE (%)


Jenis kelamin Laki-laki 22 73.3
Perempuan 8 26.6
Umur 18-40 9 13.3
41-50 21 70
>50 0 0
Penggolongan Jantung 13 43.3
Diagnosa Syaraf 7 23.3
Infeksi 6 20
Diabetes Mellitus 2 6.6
Neoplasma 2 6.6

Sebanyak 30 pasien dengan penggunaan obat paracetamol infus

adalah 22 pasien (73.3%) berjenis kelamin laki-laki dan 8 pasien (26.6%)

berjenis kelamin perempuan, dengan diagnosa yang berbeda-beda.

Secara umum resiko kematian karena gangguan fungsi hati lebih tinggi 2

kali lipat pada laki-laki dibandingkan perempuan (Guy & Petters, 2013).

Banyaknya faktor yang dapat dijadikan alasan mengapa laki-laki rentan

terkena penyakit hati yaitu karena memiliki kebiasaan merokok dan

mengkonsumsi alkohol (Oktaviani, 2012).

Menurut WHO (2009), pembagian umur manusia terbagi menjadi

masa balita (0-5 tahun), masa kanak-kanak (5 -11 tahun), remaja (12 -17

tahun), dewasa (18-40 tahun), tua (41-65 tahun), dan lanjut usia (≥65

tahun). Dari data presentase umur di atas menunjukkan bahwa pada usia

tua yaitu umur 41-50 tahun menempati jumlah terbanyak dengan


persentase 70% yang mengalami peningkatan fungsi hati yang

disebabkan oleh obat – obatan dan pengaruh lain. Usia ini merupakan

usia rentan organ tubuh manusia mengalami penurunan fungsi kerja

organ tubuh sehingga rentan mengalami gangguan fungsi hati. Pada

masa balita dapat terkena penyakit gangguan fungsi hati disebabkan

karena faktor keturunan atau genetik. Pada usia dewasa faktor yang

mempengaruhi banyaknya pasien yang terkena gangguan fungsi hati

selain disebabkan oleh keturunan atau gen dapat juga disebabkan oleh

zat-zat toksik seperti obat-obatan, alkohol dan gaya hidup orang dewasa

yang tidak sehat sehingga dapat meracuni hati (Oktaviani, 2012).

Tabel 2. Karakteristik penggunaan Paracetamol Infus di Instalasi

Ruang Rawat Inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun

2017

Kategori Keterangan Frekuensi Persentase


(%)
Lama Pemakaian Obat 1–2 0 0
3–4 10 33.3
5–6 16 53.3
7–8 4 13.3
Skala Nyeri 0–1 3 10
2–3 18 60
4–5 5 16.6
6–7 4 13.3
Suhu 36 – 37oC 19 63.3
38 – 39 oC 11 36.6
Grafik 1. Karakteristik penggunaan Paracetamol Infus di Instalasi Ruang
Rawat Inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

Berdasarkan karakteristik penggunaan Paracetamol Infus di

Instalasi Ruang Rawat Inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar,

menunjukkan bahwa lama pemakaian obat pada pasien yang

menggunakan terapi paracetamol infus mayoritas selama 5-6 hari yaitu

sebanyak 16 pasien (53,33%), lama pemakaian 3-4 hari yaitu sebanyak

10 pasien (33,33%), lama pemakaian 7-8 hari sebanyak 4 pasien

(13.33%). Lama pemakaian obat paracetamol infus dapat memicu efek

samping yang lebih besar kepada pasien terutama terhadap kenaikan

fungsi hati (nilai AST/ALT).

Toksisitas parasetamol disebabkan karena akumulasi dari

metabolitnya yaitu N-acetyl-pbenzoquinoneimine (NAPQI), yang dapat

terjadi karena overdosis. Dimana, Sekitar 4% parasetamol dimetabolisme

menjadi N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI) melalui sistem oksidase


diberbagai isoenzim CYP dari enzim sitokrom P-450. Hal ini berpotensi

terjadinya keracunan antara konjugat dengan glutation, yang kemudian

membentuk metabolit nontoksik sistein dan konjugasi asam merkapturat.

Sedangkan dalam kondisi overdosis, persentase yang lebih besar dari

parasetamol ini dimetabolisme melalui isoenzim CYP, sehingga terjadi

defisiensi glutation yang menyebabkan terbentuknya NAPQI dalam jumlah

lebih besar. Adanya NAPQI menyebabkan terjadinya nekrosis

sentrilobular hati. Asetilsistein berperan mencegah berikatannya NAPQI

dengan hepatosit, sehingga mencegah terjadinya hepatotoksisitas.

Parasetamol diekskresikan melalui urine sebagai metabolitnya, yaitu

asetaminofen glukoronid, asetaminofen sulfat, merkaptat dan bentuk yang

tidak berubah.

N-asetilsistein bekerja mensubstitusi glutation, meningkatkan

sintesis glutation dan meningkatkan konjugasi sulfat pada parasetamol.

Di dalam tubuh, parasetamol akan dimetabolisir menghasilkan zat radikal

bebas yang bernama N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI). Dalam

keadaan normal, NAPQI akan didetoksikasi secara cepat oleh enzim

glutation dari hati. Pada dosis berlebih, hati tidak mampu lagi

mendetoksikasinya, dan zat radikal bebas tersebut justru dapat merusak

hati.

Parasetamol dimetabolisme menjadi glukoronida nontoksik dan

sulfat terkonjugasi, dan metabolit yang sangat reaktif N-acetyl-p-

benzoquinoneimine (NAPQI) melalui isoform CYP. NAPQI disebut sebagai


senyawa biologis reaktif menengah yang sering timbul dari hasil

metabolisme obat. Pada dosis terapi NAPQI mengikat glutation nukleofilik

tapi dalam kondisi overdosis penipisan glutation dapat menyebabkan

nekrosis hati patologis.

Penatalaksanaan pengobatan dirumah sakit untuk pasien yang

mengalami gangguan fungsi hati adalah dengan mengurangi progresi

penyakit, menghindari bahan-bahan yang dapat memicu kenaikan fungsi

hati, dan juga penanganan komplikasi penyakit penyerta sehingga dapat

meningkatkan kualitas hidup pasien.

Berdasarkan kategori skala nyeri pasien menunjukkan bahwa

skala nyeri 0-1 sebanyak 3 pasien, 2-3 sebanyak 18 pasien, 4-5 sebanyak

5 pasien dan 6-7 sebanyak 4 pasien. Efektifitas penggunaan paracetamol

infus dapat dilihat dari penggunaan terapi obat paracetamol infus dengan

skala nyeri yang berdasarkan skala nyeri numeric (angka) yaitu angka 0

dinyatakan bila tidak mengalami nyeri, angka1-3 dinyatakan nyeri ringan

dan secara obyektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik, angka 4-6

dinyatakan nyeri sedang dan secara obyektif pasien mendesis,

menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya,

dapat mengikuti perintah dengan baik, angka 7-9 dinyatakan nyeri berat

dan secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi

masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak

dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas

panjang dan angka 10 dinyatakan nyeri sangat berat dan pasien sudah
tidak mampu lagi berkomunikasi. Sehingga dapat dikatakan pemberian

obat belum efektif dengan jumlah 21 pasien persentase 70% karena

indikasi pemberian paracetamol infus apabila skala nyeri sedang – berat

dengan angka numeric nyeri yaitu 4 – 10 (Smeltzer et al, 2007, Potter,

2005).

Berdasarkan kategori suhu pasien menunjukkan bahwa suhu 36-

37oC sebanyak 19 pasien, 38-39oC sebanyak 11 pasien. Efektifitas

penggunaan paracetamol infus dapat dilihat dari penggunaan terapi obat

paracetamol infus dengan suhu tubuh diatas nilai normal. Rata-rata suhu

tubuh normal yang diukur secara oral berdasarkan kelompok usia adalah

suhu normal anak – anak berkisar 36,3 – 37,7oC dan suhu normal dewasa

berkisar 36,5 – 37,5oC. Suhu tubuh tinggi diatas nilai normal adalah 38 –

40oC. Sehingga dapat dikatakan pemberian obat belum efektif dengan

jumlah 19 pasien persentase 63% karena indikasi pemberian paracetamol

infus apabila suhu tubuh tinggi diatas nilai normal adalah 38 – 40oC

(Greg, 2006).
Grafik 2. Karakteristik penggunaan paracetamol infus berdasarkan nilai
statistik dari efek samping dan efektifitas obat

Berdasarkan grafik diatas menunjukkan bahwa efektifitas

penggunaan obat paracetamol infus belum efektif. Hal ini dapat dilihat dari

nilai deviasi dari suhu dan skala nyeri yang mengalami penurunan. Nilai

deviasi suhu terjadi penurunan grafik dari 0.97 menjadi 0.85 sedangkan

nilai deviasi skala nyeri dari 1.79 menjadi 1.52. Hal ini dikarenakan bahwa

penggunaan obat yang tidak efektif dengan lama pemberian obat yang

relatif lama. Sedangkan efek samping dari pemberian paracetamol infus

menunjukkan peningkatan nilai deviasi dari kenaikan kadar AST

(Aspartate Transaminase) yaitu 57.77 menjadi 71.53, dan nilai deviasi dari

kenaikan ALT (Alanin Transaminase) yaitu 63.99 menjadi 192.60. Hal ini

menunjukkan bahwa penggunaan obat paracetamol infus dengan lama

pemberian yang relatif lama dapat menyebabkan efek samping dari

kenaikan fungsi hati (hepatotoksik).


50

Tabel 3. Persentase kombinasi pemakaian obat paracetamol infus dengan penggunaan obat lain penginduksi kenaikan
fungsi hati.
Persen %
Kelas Terapi Nama Obat Akibat Jumlah (n=100)
Antitukak Ranitidin ↑ ALT (Deng et al, 2009) 8 26.6
Omeprazole Hepatoseluller (Navarro, 2006) 18 60
Pantoprazole ↑ ALT(Navarro, 2006) 0 0
Lansoprazole ↑ Gamma GT, SGPT (Thomson et al, 2012) 3 10
Antibiotik Amoxicillin Kolestatis (Navarro, 2006) 0 0
Ceftriaxone Kolestasis, Hepatitis (NBCL, 2013) 17 56.6
Ceftazidine Kolestatis (Navarro, 2006) 4 13.3
Cefotaxime Kolestatis (Sonderup, 2006) 0 0
Kloramfenikol Hepatitis (Tandon, 2012) 0 0
Analgetik NSAID Ketorolac Hepatotoksisitas (Tandon, 2012) 9 30
Asam Mefenamat Hepatotoksisitas (Tandon, 2012) 2 6.6
Anti Simvastatin Hepatotoksisitas (Navarro, 2006) 2 6.6
Dislipidemia Atorvastatin Hepatotoksisitas (Navarro, 2006) 2 6.6
Antiemetik Methoclorpramide Kolestatis (Magueur e al, 2001) 1 3.3
Antidiare Loperamide Kolestatis, Hepatitis (Mims, 2008) 0 0
Antiansietas Diazepam Kolestatis, Hepatitis (Andreasen et al, 1976) 0 0
Amitriptilin Kolestatis, Hepatitis (Navarro, 2006) 0 0
Antihipertensi Amlodopin Kolestatis, Hepatitis(Zinsser et al, 2004) 4 13.3
valsartan Hepatitis (Vatansever et al, 2012) 3 10
Ramipril Kolestasis(Navarro, 2006) 1 3.3
Antihipertensi/ Hidroklortiazide Kolestasis(Arinzon et al, 2004) 0 0
Diuretik Furosemide Enselopati hepatic (Gerber et al, 2000) 4 13.3
Spironolactone Kolestatis (Depkes RI, 2007) 0 0
Antiplatelet Klopidogrel Kolestasis Hepatitis (Navarro, 2006) 0 0
Kortikosteroid Metil prednisolone Hepatitis (Gutkowski et al, 2011) 3 10
Vasodilator Siticolin ↑ALT, AST (Conant et al, 2004) 1 3.3
Antipirai Allopurinol Hepatoseluler (Navarro, 2006) 1 3.3
Antiepilepsi Na Fenobarbital Kolestatis, Hepatitis (Mims, 2008) 0 0
51

KETERANGAN
A Antitukak
B Antibiotik
C Analgetik NSAID
D Antidislipidemia
E Antiemetik
F Antidiare
G Antiansietas
H Antihipertensi
I Antihipertensi / Diuretik
J Antiplatelet
K Kortikosteroid
L Vasodilator
M Antiangina
N Antiepilepsi
O Antipirai

Grafik 4. Grafik kombinasi pemakaian obat paracetamol infus dengan penggunaan obat lain penginduksi kenaikan fungsi
hati.
52

Dari 30 pasien, obat-obatan yang diberikan sebagai terapi penunjang

kesembuhan penyakit sebanyak 265 jenis dengan rata-rata penggunaan

setiap pasien adalah 7 jenis obat. Obat yang dapat menginduksi

kerusakan hati yang masih digunakan berjumlah 17 jenis obat dengan

presentase 6,41% penggunaan obat. Penggunaan obat penginduksi hati

seharusnya menjadi pertimbangan untuk diberikan bersamaan dengan

penggunaan obat paracetamol infus yang mempunyai efek samping yang

signifikan terhadap hati.

Berdasarkan grafik pada penelitian ini menunjukkan penggunaan

obat-obat penginduksi hati pada pasien yang paling sering bersamaan

dengan penggunaan paracetamol infus pada pengamatan ini adalah

penggunaan terapi obat omeprazole oral dengan dosis 2 x sehari 20 mg,

persentase 60%. Indikasi dari penggunaan omeprazole untuk mengobati

beberapa kondisi, yaitu nyeri ulu hati, gastroesophageal reflux disease

(GERD), dan tukak lambung akibat infeksi bakteri H.Pylori dan Sindrom

Zollinger-Ellison (tumor di pankreas atau di bagian atas usus 12 jari)

(MIMS Indonesia, 2012).

Dosis penggunaan obat omeprazole oral adalah untuk ulkus

duodenal 20 mg sekali sehari sebelum makan. Kebanyakan pasien

sembuh dalam 4-8 minggu. Dosis omeprazole untuk tukak lambung 40 mg

oral sekali sehari sebelum makan selama 4-8 minggu. Dosis omeprazole

untuk erosive esophagitis 20 mg oral sekali sehari sebelum makan. Dosis

ini bisa ditingkatkan menjadi 40 mg per hari berdasarkan respon klinis dan
toleransi pasien. Penelitian telah dilakukan untuk perawatan dan terapi

erosive esophagitis selama 12 bulan. Dosis omeprazole untuk Sindrom

Zollinger-Ellison : Dosis awal = 60 mg oral sehari sekali. Dosis berbeda-

beda sesuai dengan kebutuhan pasien. Dosis pemeliharaan = dosis

hingga 120 mg, 3 kali sehari. Dosis harian yang lebih dari 80 mg harus

dibagi-bagi. Dosis omeprazole untuk refluks asam lambung : Dosis awal =

20 mg oral sekali sehari sebelum makan selama 4-8 minggu. Dosis ini

bisa ditingkatkan hingga 40 mg per hari jika dibutuhkan. Dosis

Pemeliharaan pengobatan jangka panjang dengan dosis 10-20 mg per

hari mungkin dibutuhkan untuk terapi perawatan penyakit refractory dan

sejauh ini dianggap aman. Dosis omeprazole untuk multiple endocrine

adenomas: Dosis awal = 60 mg oral sekali sehari sebelum makan. Dosis

ini bisa diubah berdasarkan respon yang diinginkan dan toleransi pasien.

Dosis pemeliharaan = dosis hingga 120 mg, 3 kali sehari. Dosis harian

yang lebih banyak dari 80 mg harus dibagi-bagi. Dosis omeprazole untuk

systemic mastocytosis: Dosis awal = 60 mg oral sekali sehari sebelum

makan. Dosis ini bisa diubah berdasarkan respon yang diinginkan dan

toleransi pasien. Dosis pemeliharaan: dosis hingga 120 mg, 3 kali sehari.

Dosis harian yang lebih banyak dari 80 mg harus dibagi-bagi. Dosis

omeprazole untuk mencegah maag : 20 mg oral sehari sekali sebelum

makan, selama 14 hari (MIMS Indonesia, 2012).

Efek samping yang biasa terjadi dengan penggunaan omeprazole

adalah kenaikan suhu tubuh, gejala flu, sakit tenggorokan, sakit perut,
buang angin, mual, muntah, diare ringan dan sakit kepala (MIMS

Indonesia, 2012).

Omeprazole dimetabolisme oleh enzim hati sitokrom P450, sehingga

penggunaan obat dengan dosis yang berlebih atau kombinasi dengan

obat-obatan penginduksi hati seperti paracetamol infus dapat

menyebabkan hepatoseluler (kanker yang berasal dari sel-sel hati) yang

ditandai dengan adanya peningkatkan nilai ALT (Navarro, 2006).

Penggunaan obat ranitidin oral dengan dosis 2 x sehari 150 mg,

persentase 26,66%. yang dapat meningkatkan nilai normal ALT. Ranitidin

merupakan golongan histamine reseptor (H2) antagonis (RAS) yang

tergolong inducer idiosyncratic hepatotoksik. Dosis ranitidin adalah 150

mg dan dosis maksimal 6 gram per hari (BPOM RI, 2008). Secara umum

ranitidin dapat meningkatkan nilai ALT. Efek ranitidin terhadap hati akan

memperluas kerusakan hati dan telah terjadi kematian dibeberapa individu

(Deng et al., 2009). Pada pasien lanjut usia dan memiliki ganguan fungsi

hati, ranitidine harus digunakan secara hati-hati (Ehrenpreis, 2001).

Penggunaan obat lansoprazole oral dosis 1 x sehari 30 mg,

persentase 10% dengan indikasi yang sama terhadap obat omeprazole

oral. Dosis lansoprazole untuk ulkus duodenum 30 mg, sekali sehari

selama 4 minggu, Benign ulkus gaster : Lansoprazole 30 mg, sekali sehari

selama 8 minggu, Reflux esofagitis : Lansoprazole 30 mg, sekali sehari

selama 4 minggu. Efek samping dari lansprazole adalah sakit kepala,


diare, nyeri abdomen, dispepsia, nausea, vomitus, mulut kering,

konstipasi, flatulens, pusing, lelah, ruam kulit, urtikaria, pruritus, terjadinya

kenaikan nilai tes fungsi hati, kadang-kadang dapat terjadi arthralgia,

edema perifer dan depresi, perubahan angka hematologis seperti

trombositopenia, eosinofilia, leukopenia (MIMS Indonesia, 2012).

Lansoprazole dimetabolisme oleh enzim hati CYP2C19, sehingga

penggunaan obat dapat meningkatkan Gamma GT, nilai tes fungsi hati

yaitu nilai AST (Aspartate Transaminase) (Thomson et al, 2012).

Penggunaan obat antibiotik dalam berbagai diagnosa penyakit

pasien adalah sebagai terapi didasarkan pada penyerta penyakit lain yang

dialami pasien. Antibiotik yang paling banyak digunakan adalah

ceftriaxone 1 gram/12 jam dengan persentase 56,66%. Indikasi dari

penggunaan obat antibiotik ceftriaxone adalah Infeksi saluran pernapasan,

infeksi saluran kemih, infeksi gonore, sepsis, meningitis, infeksi tulang dan

jaringan lunak, infeksi kulit. Dosis ceftriaxone injeksi menurut literatur

adalah untuk anak-anak di atas 12 tahun hingga dewasa dosis yang

diberikan adalah 1 gram per hari. Sedangkan untuk infeksi parah, dosis

dapat diberikan antara 2 hingga 4 gram per hari, khususnya untuk infeksi

gonore, satu dosis 250 mg ceftriaxone cukup untuk mengatasinya, Untuk

anak-anak di bawah 12 tahun 20 hingga 50 mg/kg. Efek samping yang

biasa terjadi adalah lelah, sariawan, nyeri tenggorokan dan diare (MIMS

Indonesia, 2012).
Penggunaan obat ceftriaxone yang melebihi dosis maksimum dan

kombinasi dengan obat penginduksi hati seperti paracetamol infus dapat

mengakibatkan efek kolestasis yaitu kondisi dimana aliran empedu

terhambat, dimana dalam keadaan normal cairan empedu yang dihasilkan

oleh sel hati akan dialirkan masuk kedalam kantong empedu. Hal ini dapat

mengakibatkan penyakit hati seperti hepatitis, serosis atau kanker hati

(NBCL, 2013).

Penggunaan obat antibiotik ceftazidine dengan dosis 2 x sehari 1

gram intravena, persentase 13,33%. Ceftazidine digunakan untuk

mengobati infeksi pada saluran pernapasan bawah, darah, kulit, sendi,

infeksi pada area perut, dan saluran kemih, penyakit meningitis,

pneumonia nosokomial, infeksi pleura, osteomyelitis. Dosis cefatizidine

umumnya diberikan tiap 8-12 jam sebanyak 1-6 gram per hari atau 2-3 kali

per hari dengan dosis yang berbeda-beda mengikuti jenis infeksi, tingkat

keparahan, dan kondisi fisik pasien. Efek samping yang biasa terjadi

adalah warna kemerahan pada kulit bekas suntikan, ruam, gatal, demam,

mual, sakit perut, muntah, diare, rasa kantuk yang berat, linglung, hilang

kesadaran, berhalusinasi, kejang (MIMS Indonesia, 2012). Selain itu,

penggunaan antibiotik ceftazidine bersamaan paracetamol infus dapat

mengakibatkan kolestasis seperti halnya ceftriazone yang dapat dilihat

dari hasil profil farmakologisnya dan tidak normalnya enzim pada hati yang

berhubungan dengan penggunaan obat ini yang menyebabkan

hepatotoksisitas (Fancher et al, 2007, NBCL, 2013).


Penggunaan obat analgetik NSAID ketorolak dengan dosis 3 x sehari

30 mg intravena, persentase 20% dengan indikasi penggunaan obat

ketorolac adalah mengatasi nyeri sedang hingga nyeri berat untuk

sementara. Biasanya obat ini digunakan sebelum atau sesudah prosedur

medis, atau setelah operasi. Dosis parenteral, pemberian dosis tunggal:

IM: Pasien kurang dari 65 tahun: satu dosis 60 mg. Pasien dengan

gangguan ginjal, dan/atau kurang dari 50 kg: satu dosis 30 mg, IV: Pasien

kurang dari 65 tahun: satu dosis 30 mg. Pasien dengan gangguan ginjal,

dan/atau kurang dari 50 kg: satu dosis 15 mg. Sedangkan pemberian

dosis ganda: Pasien kurang dari 65 tahun: 30 mg IM atau IV setiap 6 jam

sesuai kebutuhan. Dosis maksimal harian tidak lebih dari 120 mg, pasien

dengan gangguan ginjal, dan/atau kurang dari 50 kg (110 pon): 15 mg IM

atau IV setiap 6 jam sesuai kebutuhan. Dosis maksimal harian tidak lebih

dari 60 mg. Efek samping dari ketorolak yaitu nyeri dada, lemas, sesak,

masalah penglihatan atau keseimbangan, BAB hitam, berdarah, batuk

darah atau muntah seperti kopi, bengkak, mual, nyeri perut, demam

ringan, nafsu makan menurun, urine gelap, sakit kuning (kulit atau mata

menguning), kulit pucat, mudah memar, kesemutan berat, nyeri dan lemah

otot (MIMS Indonesia, 2012). Selain itu, penggunaan obat ketorolak

bersamaan dengan paracetamol infus dapat mengakibatkan hepatotoksik

(Tandon, 2012)

Penggunaan obat analgetik NSAID lain yaitu asam mefenamat dosis

3 x sehari 500 mg persentase 6.66% dengan indikasi pemberian obat


asam mefenamat yaitu pengobatan pada nyeri ringan sampai sedang dan

penyakit dengan peradangan, umumnya nyeri gigi, nyeri menstruasi, nyeri

otot atau sendi, dan nyeri setelah melahirkan. Dosis awal diberikan 500

mg, kemudian dilanjutkan 4 x 250 mg. Asam mefenamat tidak boleh

diminum lebih dari 2500 mg/hari dengan tidak melebihi 7 hari. Efek

samping asam mefenamat yang umum ditemui berupa nyeri perut, nyeri

telinga, nyeri saat buang air kecil, telinga berdenging, pusing, diare, mual,

sulit tidur, penurunan nafsu makan, dan kelelahan. Efek samping lain yang

lebih berat berupa gangguan fungsi ginjal, gangguan napas, gangguan

penglihatan, gangguan darah, kejang, penurunan kesadaran, dan depresi

(MIMS Indonesia, 2012). Selain itu penggunaan bersamaan dengan obat

paracetamol infus dapat mengakibatkan kenaikan fungsi hati

(hepatotoksik) (Tandon, 2012).

Penggunaan antidislipidemia atorvastatin dan simvastatin dapat

berakibat hepatotoksisitas atau kerusakan sel hati apabila digunakan oleh

pasien dengan terapi paracetamol infus tanpa ada penyesuaian dosis.

Atorvastatin diketahui dapat meningkatkan secara signifikan transaminase

menjadi 3x batas normal (Grimbert et al, 2006).

Indikasi penggunaan atorvastatin dan simvastatin yang merupakan

obat golongan statin (atau HMG-CoA reductase inhibitors) yang berfungsi

menurunkan kadar kolesterol tubuh dengan menghambat reaksi beberapa

enzim yang dibutuhkan oleh tubuh dalam menghasilkan kolesterol. Dosis

awal penggunaan atorvastatin adalah 10 – 20 mg oral setiap hari, dosis


awal pasien pada pasien yang harus menurunkan kolesterol LDL >45%

yaitu 40 mg peroral setiap hari, dimana dosis maksimum 80 mg perhari

selama 2-4 minggu. Sedangkan dosis awal penggunaan obat simvastatin

adalah 10-20 mg sekali sehari pada malam hari, dengan dosis maksimum

40 mg perhari (MIMS Indonesia, 2012). Efek samping dari simvastatin

adalah sulit buang air besar (konstipasi), infeksi saluran napas atas,

banyak buang gas, peningkatan enzim hati, nyeri otot dan nyeri perut,

sedangkan atorvastatin yaitu neuropati peripheral, diare, peningkatan

elektrolit kalium, miopati, rhabdommiolisis, gagal ginjal akut, peningkatan

liver function test dan Kekeruhan lensa mata (MIMS Indonesia, 2012).

Penggunaan antiemetik methoclorpramide oral dosis 2 x sehari 10

mg, persentase 3.33% dengan indikasi mengatasi mual muntah dan

gangguan pada lambung. Dosis penggunaan methoclorpramide 1-3 tahun,

10-14 kg: 1 mg, 3 kali sehari, >3 – 5 tahun, 15-19 kg: 2 mg, 3 kali sehari,

>5 – 9 tahun, 20-29 kg: 2.5 mg, 3 kali sehari, >9 – 18 tahun, 30-60 kg: 5

mg, 3 kali sehari. Durasi maksimal: 48 hari. Efek samping yang biasa

terjadi adalah Perasaan lelah, mengantuk, lemas, atau pusing, sakit

kepala, sulit tidur (insomnia), mual, muntah, diare, payudara sakit atau

membengkak, perubahan pada siklus menstruasi, buang air kecil lebih

sering dari biasanya (MIMS Indonesia, 2012). Selain itu, penggunaan obat

antiemetik methoclorpramide bersamaan dengan paracetamol infus dapat

mengakibatkan kolestatis (kondisi aliran empedu terhambat, dimana


dalam keadaan normal, cairan empedu yang dihasilkan oleh sel hati akan

dialirkan masuk ke dalam kantong empedu) (Magueur et al, 2001).

Penggunaan obat antihipertensi amlodipin oral dosis 1 x sehari 10

mg, persentase 23.33% dengan indikasi untuk mengatasi hipertensi atau

tekanan darah tinggi. Obat ini juga bisa digunakan untuk membantu

mengatasi serangan angina pectoris. Dosis yang biasanya dianjurkan

untuk orang dewasa adalah 5-10 mg per hari. Dosis untuk orang tua lebih

rendah, yaitu 2,5 mg per hari. Sedangkan dosis untuk anak-anak dan

remaja adalah 2,5-5 mg per hari. Efek samping dari amlodipin adalah

merasa lelah atau pusing, jantung berdegup kencang, merasa mual dan

tidak nyaman di bagian perut, pergelangan kaki membengkak. (MIMS

Indonesia, 2012).

Penggunaan obat antihipertensi valsartan oral dengan dosis 1 x

sehari 80 mg, persentase 10% dengan indikasi hipertensi (dapat

digunakan tunggal maupun dikombinasi dengan obat antihipertensi lain);

gagal jantung pada pasien yang tidak dapat mentoleransi obat

penghambat ACE (penghambat enzim pengubah angiotensin). Dosis yang

biasanya dianjurkan lazimnya 80 mg sekali sehari; jika diperlukan (pada

pasien yang tekanan darahnya tidak terkontrol) ditingkatkan hingga 160

mg sehari atau ditambahkan pemberian diuretika, untuk gagal jantung

dosis awal 40 mg dua kali sehari. Penyesuaian dosis hingga 80 mg dan

160 mg dua kali sehari harus dilakukan pada dosis tertinggi yang dapat

ditoleransi oleh pasien; pertimbangan untuk menguragi dosis harus


dilakukan pada pasien yang juga menerima diuretika; dosis maksimal

yang diberikan pada uji klinik adalah 320 mg pada dosis terbagi. Efek

samping dari valsartan adalah kelelahan, jarang diare, sakit kepala,

mimisan, trombositopenia, nyeri sendi, nyeri otot, gangguan rasa,

neutropenia (MIMS Indonesia, 2012).

Valsartan dan Amlodipin digunakan sebagai terapi penurunan

tekanan darah, dimana kedua obat ini bila diberikan bersamaan dengan

paracetamol infus dapat memicu kerusakan hati / hepatitis (Vatansever et

al, 2012). Amlodipine dimetabolisme di hati. Hepatotoksisitas berat

dengan kolestasis tanpa nekrosis ditunjukkan setelah penggunaan

amlodipine dalam jangka waktu yang relatif panjang (Zinsser, Wyss and

Rich, 2004).

Penggunaan obat antihipertensi ramipril dosis 1 x sehari 5 mg oral,

persentase 3.33% dengan indikasi mengobati hipertensi (tekanan darah

tinggi), nefropati diabetik, dan beberapa jenis gagal jantung kronis. Dosis

awal : 1 x sehari 2.5 mg secara oral. Obat sebaiknya diberikan pada waktu

tidur, dosis pemeliharaan : 2.5 – 20 mg/ hari, dalam dosis tunggal atau

dibagi dalam 2 dosis secara oral (MIMS Indonesia, 2012). Efek samping

dari obat ramipril adalah adalah sakit kepala, kelelahan, nyeri perut dan

dada, pusing, mual, muntah, diare, infeksi saluran pernafasan atas,

asthenia, dan ruam. Selain itu, penggunaan obat ramipril bersamaan

dengan paracetamol infus dapat memicu kolestasis dalam waktu yang

relatif panjang (Navarro, 2006).


Penggunaan antihipertensi furosemid golongan diuretik dosis 1 x

sehari 40 mg intravena, persentase 13.33% dengan indikasi pemberian

mengurangi edema. Dosis yang dianjurkan adalah untuk pengobatan

edema gagal jantung kongestif, gagal ginjal, asites, hipertensi, oliguria

nonobstruktif, dan edema paru adalah dosis awal 20 – 80 mg oral, dosis

pemeliharaan dapat ditingkatkan 20-40 mg setiap 8 jam dengan dosis

maksimum 600 mg perhari (MIMS Indonesia, 2012). Efek samping yang

dapat terjadi adalah kenaikan kadar asam urat dan kadar gula darah, mual

muntah, nafsu makan menurun, iritasi pada mulut dan lambung, diare,

sakit kepala, pusing, penglihatan kabur, anemia aplastik, anemia

hemolitik, trombositopenia. Selain itu, penggunaan furosemid golongan

diuretik pada pasien dengan terapi bersamaan paracetamol infus dapat

memicu peningkatan nilai AST (Aspartate Transaminase) dan ALT (Alanin

Transaminase), enselopati hepatic dengan cara induksi hypokalemia dan

alkalosis metabolik dimana alkalosis dapat memicu difusi ammonia non

ionic dan amin lainnya kedalam system syaraf pusat (Gerber et al, 2000).

Penggunaan kortikosteroid methylprednisolon 2 x sehari 4 mg oral,

persentase 10% dengan indikasi mengurangi peradangan (antiinflamasi),

menekan respon kekebalan tubuh (imunosupresan), mengurangi respon

alergi (antialergi). Dosis yang dianjurkan adalah 4- 48 gram sehari dalam

satu atau dua dosis (MIMS Indonesia, 2012). Efek samping yang dapat

terjadi adalah penglihatan kabur, pusing, detak jantung cepat/lambat,

kesemutan, sesak nafas, pembengkakan jari, tangan, pertambahan berat


badan. Selain itu, penggunaan methylprednisolon dalam dosis tinggi

bersamaan dengan obat paracetamol infus dapat menyebabkan

kerusakan hati parah. Sebuah kasus melaporkan metil prednisolone dosis

tinggi menyebabkan hepatitis akut (Gutkowski et al, 2011).

Penggunaan obat citicolin dosis 2 x sehari 250 mg intravena,

persentase 3.33% dengan indikasi gangguan psikiatrik atau saraf akibat

apopleksia, trauma kepala dan operasi otak, memperbaiki sirkulasi darah

otak termasuk pada stroke iskemik. Dosis yang dianjurkan adalah 250-500

mg, 1-2 kali sehari drip iv atau bolus iv, untuk keadaan kronik 100-300 mg,

1-2 kali sehari seara iv atau im dan gangguan serebrovaskular dapat

diberikan iv atau im sampai 1000 mg (MIMS Indonesia, 2012). Efek

samping yang dapat terjadi syok dan penggunaan bersamaan dengan

obat paracetamol infus dapat menyebabkan kenaikan fungsi hati dari ALT

(Alanin Transaminase) dan AST (Aspartate Transaminase) (Conant et al,

2004).

Pengunaan antipirai allopurinol oral dosis 1 x sehari 300 mg

persentase 3.33% dengan indikasi mencegah pengendapan asam urat,

kalsium oksalat dan gout. Dosis yang dianjurkan adalah dosis awal

pemberian untuk asam urat ringan 100-300 mg sehari. Dosis

pemeliharaan 400-600 mg sehari, dosis maksimum 800 mg sehari dalam

dosis terbagi (MIMS Indonesia, 2012). Efek samping yang dapat terjadi

adalah sakit perut, nyeri dada, sembelit, mulut kering, pusing, kenaikan

suhu tubuh dan diare. Selain itu, penggunaan bersamaan dengan obat
paracetamol infus dapat menyebabkan hepatoseluler (kanker yang

berasal dari sel-sel hati) (Navarro, 2006).

Pemberian obat penginduksi hati terhadap pasien gangguan fungsi

hati terutama bila diberikan secara bersamaan, perlu dilakukan khusus

seperti penentuan regimen dosis, perpanjangan frekuensi penggunaan

obat, penambahan zat lain yang dapat mengurangi efek toksik dan perlu

dilakukan pengawasan parameter fungsi hati (Dipiro, 2005).


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari 30 pasien yang menggunakan paracetamol infus di RSUP Dr.

Wahidin Sudirohusodo Makassar pada tahun 2017 mengalami kenaikan

fungsi hati yang meningkat.

1. Penggunaan paracetamol infus pada terapi pasien dalam penelitian ini

tidaklah efektif disebabkan oleh adanya pemberian paracetamol infus

kepada pasien yang belum mengalami demam ataupun skala nyeri

yang relatif rendah.

2. Penggunaan paracetamol infus pada terapi pasien dalam penelitian ini

menimbulkan efek samping yang signifikan dengan adanya

peningkatan hasil laboratorium meliputi nilai ALT (Alanin

Transaminase) dan AST (Aspartate Transaminase).

3. Penyebab lain meningkatnya nilai laboratorium kadar transaminase

(AST dan ALT) pada pasien yang menggunakan paracetamol infus

adalah penggunaan obat penginduksi kerusakan hati lain yang masih

digunakan bersamaan dengan penggunaan paracetamol infus,

dengan jenis terbanyak obat penginduksi kerusakan hati yang

digunakan adalah omeprazole, ceftriaxone, ranitidine dan ketorolac.


B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh

pemberian obat penginduksi kerusakan hati terhadap pasien gangguan

fungsi hati dilihat dari parameter tes fungsi hati.


DAFTAR PUSTAKA

Anochie, Philip Ifesinachi., 2013, Mechanisms of fever in humans,


International Journal of Microbiology and Immunology, Research
Vol.2(5), p037-043, Nigerian Institute of Medical Research

Arinzon, Z., Arinzon, P., Berner, Y., 2004, Hydrochlorothiazide induced


hepato- cholestatic liver injury, Age and Ageing, 1-2

Andreasen, P.B., Handel, J., Greisen, G., Hvidberg, E.F., 1976,


Pharmacokinetics of diazepam in disorder liver function,
European Journal of Clinical Pharmacology, 10:115-120

Badan POM RI, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Jakarta.

Bessems JG, Vermeulen NP., 2001, Paracetamol (acetaminophen)-


induced toxicity: molecular and biochemical mechanisms,
analogues and protective approaches. Crit Rev Toxicol.
Vol.31:55–138

Bertolini A, Ferrari A, Ottani A, Guerzoni S, Tacchi R, Leone S., 2006.,


Paracetamol: New vistas of an old drug, CNS Drug Rev. Fall-
Winter; 12(3-4): 250-75. DOI:10.1111/j.1527-3458

Boyer TD, Rouff SL., 1971, Acetaminophen-induced hepatic necrosis


and renal failure. JAMA. Vol.218:440–441.

Conant, R., Schauss, A.G., 2004, Therapeutic Applications of Citicoline


for Stroke and Cognitive Dysfunction in the Elderly: A Review of
the Literature, Alternative Medicine Review, 9:17-31.

Corwin, J.E. 2001, Patofisiologi Nyeri, Penerbit Buku Kedokteran.


Jakarta: EGC

Charlotte E.S, 2009, The anatomy and physiology of pain, Basic


science Surgery (Oxford), Volume 27, Issue 12, December 2009,
Pages 507–511
Davidson DG, Eastham WN., 1966, Acute liver necrosis following
overdose of paracetamol. Br Med J. Vol.5512:497–499

Department of Physiology and Pharmacology., 2010, Mechanism of


action of paracetamol., University of New South Wales St. Vincent's
Hospital Darlinghurst., Australia.

Departemen kesehatan RI., 2006, Standar Pelayanan Farmasi di


Rumah Sakit, Keputusan Menteri kesehatan republik Indonesia
Nomor 1197/menkes/sk/x/2004

Deng, X., James P. Luyendyk, Patricia E. Ganey, and Robert A. Roth.


2009. Inflammatory Stress and Idiosyncratic Hepatotoxicity:
Hints from Animal Models. Pharmacological Reviews. Vol. 61, No.
3.
Depkes RI, 2007, Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hati,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and
Posey, L. M., 2005. Pharmacotherapy Handbook Sixth. McGraw-
Hill Company. USA

Dixon MF, Nimmo J, Prescott LF., 1971, Experimental paracetamol-


induced hepatic necrosis histopathological study. Vol.103:225–
229

Ellis., 2011, Anatomy of the liver, University of London, Charing Cross


and Westminster Medical School. London, UK

Ehrenpreis, S., Ehrenpreis E.D., 2001, Clinician’s handbook of


Prescription Drugs: McGraw-Hill Companies.

Esquenezi., 2017, Anatomy and physiology hepar, Universidad del


Rosario, USA. Vol 7

Fancher, T.L., Kamboj, A., Onate, J., 2007, Patients’ elevated LFT
results can indicate hepatocyte injury, cholestasis, or both,
Current Psychiatry, 6(5): 61-68
Fontana, B.J., Shakil, O., Greenson, J.K., Boyd, I., & Lee, W.M., 2005,
Acute Liver Failure Due to Amoxocillin and
Amoxicillin/Clavulanate, Digestive Dieases and Sciences,
50(10);1785-1790.
Friedman, S.L., 2008, Clinins in Liver Disease, Division of liver diseases,
NewYork.
Graham, Scott., 2005, Mechanism of action of paracetamol, US
National Library of Medicine National Institutes of Health , edition 1:;
46-55

Garry G, Michael J. Davies, Richard O. Day, Anthoulla Mohamudally,


Kieran F. Scott., 2013, The modern pharmacology of
paracetamol: therapeutic actions, mechanism of action,
metabolism, toxicity and recent pharmacological findings,
Inflammopharmacology, Volume 21, Issue 3, pp 201–232

Gelfand JA, Dinarello CA., 1998, Fever and Hyperthermia. Harrison’s


Principles of Internal Medicine, 14th ed. McGraw-Hill, p 84–90

Greg ND, 2006., Body Temperature Variability, A Review of the History


of Body Temperature and its Variability Due to Site Selection,
Biological Rhythms, Fitness, and Aging, Vol 4;11(4):278-293)

Ghiculescu, 2007, Drug utilization evaluation of i.v. paracetamol at a


large teaching hospital, Department of Clinical Pharmacology,
Royal Brisbane and Women’s Hospital, Butterfield Street, Herston,
Qld 4029, Australia.

Gautam Das., 2016, Clinical Methods in pain medicine, Edition 2nd,


Ultadanga, West Bengal, Indian Society for Study of Pain, Indian
chapter of International Association for the Study of Pain

Guliuzza, R. J., 2009. Balancing Body Temperature, National Representative at


the Institute for Creation Research, vol 38 (4): 8 Gerber, T., Schomerus,
H., 2000, Hepatic Encephalopathy in Liver Cirrhosis: pathogenesis,
diagnosis, and management. Drugs; 60(6): 1353-7
Grimbert, S., Pessayre, D., Degott C., Benhamou, J.P., 2006, Acute
hepatitis induced by HMG-CoA reductase inhibitor, lovastatin.
Digest Dis Sci.; 39: 2032–2033.
Gutkowski, K., Chwist, A., Hartleb, M, 2011, Liver Injury Induced by
High-Dose metylprednisolone Therapy : A Case Report and
Brief Review of the Literature. Hepat Mon. 11(8): 656-61.
Guy, J., Peters, M. G., 2013, Liver Disease in Women: The Influence of
Gender on Epidemiology, Natural History, and Patient
Outcomes, Gastoenterology and Hepatology, 9, 10.

Hinson JA., 1980, Biochemical toxicology of acetaminophen. Rev


Biochem Toxicol. Vol.2:103–129.

James LP, Mayeux PR, Hinson JA., 2003, Acetaminophen-induced


hepatotoxicity. Drug Metab Dispos. Vol.31:1499–1506

Katzung, G.Bertram. 2007. Basic & Clinical Pharmocology, 10th. New


York. The McGraw-Hill Companies

Lacy., 2012, Drug Information Handbook, 20th edition, American


Pharmacists Association.

Lukmanto H., 2005. Hipetermi dan Demam. Edisi II. Jakarta.

Martha benista, Jerzy z.Nowak., 2014, Paracetamol: mechanism of


action, applications And safety concern, Department of
pharmacology, chair of pharmacology and clinical pharmacology At
the medical university Poland, Vol. 71 No. 1 p.11-23.

Martin J, Nicholas L Wood., 2007, British National Formulary 54th


Edition, BMJ Publishing Group, London.

MacIntyre PE, Schug SA, Scott DA, Visser EJ, Walker SM., 2010, Acute
Pain Management: Scientific Evidence. Third Edition. APM: SE
Working Group of the Australian and New Zealand College of
Anaesthetists and Faculty of Pain Medicine ANZCA & FPM,
Melbourne

Magueur, R., Hagege, H., Attali, P., Singlas, E., Etienne, J.P., & Taburet,
A.m., 2001, Pharmacokinetics of Metoclopramide in Patients
with Liver Cirhosis, Br J clin Pharmac, 31;185-187.
Navarro, VJ., Senior, J.R., 2006, Drug Related hepatotoxicity, N
England Journal Med, 354, 731.9
Nederlands Bijwerkingen Centrum Lareb, 2013, Ceftriaxone and
Hepatitis, Nederlands Bijwerkinged Centrun Nederland
Pharmacovigilance Center.
Oktaviani, I., 2012, Aspek Farmakokinetik Klinik Obat-Obatan yang
Digunakan Pasien Sirosis Hati di Bangsal Interne RSUP Dr. M.
Djamil Padang Periode Oktober 2011- Januari 2012, Laporan
Penelitian, Padang.
Potter., Perry., 2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep,
Proses, dan Praktik. Edisi 4 volume 1, EGC. Jakarta

Prescott LF, Critchley JA., 1983, The treatment of acetaminophen


poisoning. Annu Rev Pharmacol Toxicol. Vol.23:87–101

Prescott LF, Roscoe P, Wright N, Brown SS., 1971, Plasma-paracetamol


half-life and hepatic necrosis in patients with paracetamol
overdosage. Lancet. Vol.1:519–522

Sacher, R.A, McPherson, R.A., 2004. Tinjauan Klinis atas Hasil


Pemeriksaan Laboratorium, Cetakan 1. Jakarta, EGC
Sease, J.M, Timm, E.G, and Stragano., 2008, Pharmacotherapy : A
Pathophysiologic Approach. Ed. 7th, New York: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Saxena, 2015, The Effect of Paracetamol on Core Body Temperature,
http://dx.doi.org/10.1371/journal

Schiodt FV, Ott P, Christensen E, Bondesen S., 2002, The value of


plasma acetaminophen half-life in antidote-treated
acetaminophen overdosage. Clin Pharmacol Ther. Vol.71:221–
225

Serpell M., 2006, Anatomy, physiology and pharmacology of pain,


Surgery 24(10): 350-353

Supranto, 2009, Statistik Teori dan Aplikasi Edisi Ketujuh, Jakarta :


Erlangga

Sonderup, M.W., 2006, Drug Induced Liver Injury is a Significant


Cause of Liver Disease, Including Chronic Liver, Drug Induced
Liver Injuries, 29(6).
Smeltzer, S. C., Bare B. G ., 2009). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth, Edisi 8 Vol. 1, Jakarta: EGC
Tandon, R.K., 2012, Prescribing in patients with liver disease,
Medicine Update. 22, 294- 297.
Tajiri K and Shimizu Y. 2008. Practical Guidelines for Diagnosis and
Early Management of Drug-Induced Liver Injury. World J
Gastroenterol. 14(44): 6774–6785
Tjay, Tan Hoan dan K. Rahardja., 2007. Obat-obat Penting. PT
Gramedia, Jakarta.

Thomson, 2015, International Journal of Hyperthermia, The official


journal of SFTM, Japanese SFTM and European Society for
Hyperthermic Oncology

Thomson, A.B.R., Shaffer, E.A., 2012, First Principles of


Gastroenterologt the Basis of Disease and an Approach to
Management, Gastroenterology, 5:(525).
UBM Medica., 2012, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 12,
Jakarta. PT Medidata Indonesia. Halaman 183-184
Vatansever, S., 2012, Irbesartan-induced autoimmune hepatitis,
Academic Gastroenteroloji Dergisi, 11 (1): 35-38.
Depkes RI., 2009, Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta. Departemen
Republik Indonesia
Zinsser, P., Wys, B.M., Rich, P., 2004, Hepatotoxicity induced by
celecoxib and amlodipine, Swiss Med Wkly, 134:201

Anda mungkin juga menyukai