Anda di halaman 1dari 79

KETEPATAN PEMILIHAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA

PASIEN GERIATRI DENGAN HIPERTENSI ESENSIAL


DI INSTALASI RAWAT JALAN DAN INSTALASI RAWAT INAP
RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2013

DRAFT SKRIPSI

OLEH :

SANTY KAURIFAN
0904107

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA


YAYASAN PERINTIS
PADANG
2014

1
2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Alhamdulillahirabbil alamin, segala puji dan syukur ke hadirat

Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam

semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan

kaum muslimin di jalan yang Allah ridhai ini.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

pendidikan strata satu pada jurusan farmasi, Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia,

yang berjudul “ KETEPATAN PEMILIHAN OBAT ANTIHIPERTENSI

PADA PASIEN GERIATRI DENGAN HIPERTENSI ESENSIAL DI

INSTALASI RAWAT JALAN DAN INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR.

M. DJAMIL PADANG TAHUN 2013”.

Selama penulisan skripsi dan menempuh pendidikan pada Sekolah

Tinggi Farmasi Indonesia, penulis telah banyak memperoleh bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Hansen Nasif, SSi, Sp.FRS, Apt sebagai pembimbing I dan Ibu

Sanubari Rela Tobat, M.Farm, Apt sebagai pembimbing 2 yang telah

meluangkan waktu memberikan bimbingan dan dorongan sehingga penulis

dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.


2. Ibu Dra. Hj. Deswinar Darwin, Sp.FRS, Apt (alm) selaku pembimbing 1

terdahulu yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

i
3. Ibu Hj. Fifi Harmely, M.Farm, Apt selaku Koordinator Akademik Sekolah

Tinggi Farmasi Indonesia (STIFI) Yayasan Perintis Padang sekaligus

sebagai penasehat akademik dalam kegiatan akademis penulis.


4. Seluruh Dosen, Karyawan dan karyawati Sekolah Tinggi Farmasi

Indonesia Yayasan Perintis Padang.


5. Seluruh staf bagian Rekam Medik dan Diklit RSUP Dr. M.Djamil Padang
6. Seluruh teman-teman atas segala bantuan dan kerjasamanya.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum sempurna, karena itu

penulis mengharapkan kritik dan sarannya sehingga pada akhirnya skripsi ini

dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di masa

mendatang.

Padang, Juni 2014

Penulis

ABSTRAK

ii
Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan yang terjadi di negara
maju maupun berkembang. Hipertensi merupakan penyebab kematian ketiga di
indonesia untuk semua umur. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2007, prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 31,7 %. Terapi
pengobatan yang diterima pasien geriatri sangat kompleks, maka perlu ketepatan
terapi terutama dalam pemilihan obat. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui ketepatan pemilihan obat antihipertensi yang digunakan pasien
geriatri dengan hipertensi esensial di instalasi rawat inap dan instalasi rawat jalan
RSUP Dr. M.Djamil Padang.

Penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan data


retrospektif selama tahun 2013. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien
geriatri yang menderita hipertensi esensial dengan atau tanpa faktor penyulit di
instalasi rawat jalan dan instalasi rawat inap RSUP DR. M.Djamil Padang periode
1 Januari 2013 – 31 Desember 2013 dengan data rekam medik yang lengkap
dengan usia lebih dari 60 tahun. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi di instalasi
rawat jalan 43 pasien, sedangkan di instalasi rawat inap yang memenuhi kriteria
inklusi 34 pasien.

Hasil analisa kuantitatif menunjukkan obat antihipertensi yang paling


banyak digunakan adalah golongan calcium chanel blockers dengan jenis
amlodipin, di instalasi rawat jalan 35,71% dan di instalasi rawat inap 33,33%.
Kombinasi obat antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah kombinasi
golongan Angiotensin II Receptor Blockers dan Calcium Chanel Blockers, di
instalasi rawat jalan 32,56% dan di instalasi rawat inap 28,57%. Hasil analisa
kualitatif ketepatan pemilihan obat antihipertensi di instalasi rawat jalan meliputi
tepat indikasi 100%, tepat pasien 100%, tepat obat 92,85%, dan sesuai range dosis
100%. Sedangkan di instalasi rawat inap diperoleh hasil tepat indikasi 94,12%,
tepat pasien 91,67%, tepat obat 83,82%, dan sesuai range dosis 94,28%.

Kata kunci : Hipertensi esensial, Pasien Geriatri, RSUP Dr. M.Djamil Padang

ABSTRACT

iii
Hypertension is one of the health problems that occur in both develoved
and develoving countries. Hypertension is the third leading cause of death in
Indonesia for all ages. Based on data from Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
2007, the prevalence of hypertension was 31,7 % in Indonesia. Therapeutic
treatment of geriatric patient who received very complex, it is necessary
precision, especially in the selection of drug therapy. The purpose of this study
was to determine appropriateness of antihypertension drugs selection in geriatric
patients with essential hypertension at inpatient installation and outpatient
installation Dr. M.Djamil Padang general hospital.

This study is a descriptive and data collection was retrospectively in


period of 2013. Inclution criteria in this study is geriatric patient with essential
hypertension with or without compelling indication at inpatient installation and
outpatient installation DR. M. Djamil Padang general hospital in period of 1 st
january 2013 – 31st december 2013 with complete medical record data whose age
> 60 years old. Patient include in this study was 43 outpatient installation and 34
inpatient installation.

The result of quantitative analysis showed that most widely used is class of
calcium chanel blockers which type is amlodipin, at outpatient installation
35,71% and inpatient installation 33,33%. The most widely used drug
combination of antihypertension is combination of Angiotensin II Receptor
blockers and Calcium Channel Blockers, at outpatient installation 32,56% and
inpatient installation 28,57%. The results of qualitative analysis showed that
100% of right indication, 100% of right patient, 92,85% of right medication, and
100% of right dose range. While at inpatient installation, the result showed
94,12%of right indication, 91,67% of right patient, 83,82% of right medication,
and 94,28% of right dose range.

Keyword : Essential Hypertension, Geriatric Patient, Dr. M.Djamil Padang


General Hospital

DAFTAR ISI

iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... i

ABSTRAK ...................................................................................................... iii

ABSTRACT ................................................................................................... iv

DAFTAR ISI .................................................................................................. v

DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ix

DAFTAR TABEL .......................................................................................... x

I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian.............................................................................. . .3
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... . .4

II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ . .5


2.1 Tinjauan Umum ..................................................................................... . .5
2.1.1 Definisi Hipertensi............................................................................. . .5
2.1.2 Etiologi Hipertensi ........................................................................... . .6
2.1.3 Patofisiologi ...................................................................................... . .8
2.1.4 Gejala Klinis...................................................................................... . .9
2.1.5 Hipertensi pada Usia Lanjut ............................................................. . .9
2.1.6 Kerusakan pada organ ....................................................................... 11
2.1.7 Terapi Hipertensi ............................................................................... 14
2.1.7.1 Tujuan Terapi ............................................................ 14
2.1.7.2 Terapi Non-farmakologi .......................................... 14
2.1.7.3 Terapi Farmakologi ................................................. 14
2.1.8 Disposisi Obat Pada Usia Lanjut ................................................ 20
2.1.9 Evaluasi Penggunaan Obat ............................................................... 23
2.1.9.1 Definisi EPO ....................................................................... 23
2.1.9.2 Langkah-langkah EPO ........................................................ 24

v
2.1.9.3 Pelaksana EPO .................................................................... 25
2.1.9.4 Kriteria Obat yang akan dievaluasi ..................................... 26
2.2 Tinjauan Farmakologi ........................................................................... 27
2.2.1 Diuretik ............................................................................................. 27
2.2.2 Penghambat Enzim Konversi Angiotensin / ACE Inhibitor ............. 29
2.2.3 Angiotensin II Receptor Blocker / ARB ........................................... 30
2.2.4 Antagonis Kalsium ............................................................................ 31
2.2.5 Antagonis β-adrenergik / Beta blockers ............................................ 32
2.3 Aspek Kimia Obat ................................................................................. 33
2.3.1 Monografi ......................................................................................... 33
2.3.2 Identifikasi ........................................................................................ 34
2.3.3 Penetapan Kadar ............................................................................... 34
2.3.4 Isolasi ................................................................................................ 35
2.4 Aspek Farmasetika ................................................................................ 36
2.4.1 Bentuk Tablet .................................................................................... 36
2.4.2 Bentuk Injeksi.................................................................................... 37

III. BAHAN DAN METODE ................................................................... 38


3.1 Disain Penelitian ................................................................................... 38
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 38
3.2.1 Lokasi Penelitian ............................................................................... 38
3.2.2 Waktu Penelitian ............................................................................... 38
3.3 Populasi dan Sampel ............................................................................. 39
3.3.1 Populasi ............................................................................................. 39
3.3.2 Sampel .............................................................................................. 39
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ................................................................. 39
3.4.1 Kriteria Inklusi .................................................................................. 39
3.4.2 Kriteria Eksklusi ............................................................................... 39
3.5 Bahan dan Alat Penelitian ..................................................................... 40
3.6 Prosedur Penelitian ................................................................................ 40
3.7 Penyajian Data ....................................................................................... 40
3.7.1 Data Kuantitatif ................................................................................. 41
3.7.2 Data Kualitatif ................................................................................... 41

vi
3.8 Definisi Operasional .............................................................................. 41
3.9 Kerangka Penelitian .............................................................................. 39

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 44


4.1 Hasil Analisa Kuantitatif ....................................................................... 44
4.2 Hasil Analisa Kualitatif ......................................................................... 52

V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 63


5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 60
5.2 Saran....................................................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR LAMPIRAN

vii
Lampiran 1. Evaluasi ketepatan indikasi dan ketepatan pasien pada
pasien geriatri dengan hipertensi esensial di IRJA RSUP
Dr. M. Djamil Padang tahun 2013......................................... 62
Lampiran 2. Evaluasi ketepatan indikasi dan ketepatan pasien pada
Pasien geriatri dengan hipertensi esensial di IRNA RSUP
Dr. M. Djamil Padang tahun 2013......................................... 69
Lampiran 3. Evaluasi ketepatan obat dan kesesuaian range dosis pada
pasien geriatri dengan hipertensi esensial di IRNA RSUP
Dr. M. Djamil Padang tahun 2013.......................................... 77
Lampiran 4. Evaluasi ketepatan obat dan kesesuaian range dosis pada
Pasien geriatri dengan hipertensi esensial di IRJA RSUP
Dr. M. Djamil Padang tahun 2013........................................... 80
Lampiran 5. Hasil evaluasi tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat dan
kesesuaian dengan range dosis yang direkomendasikan JNC7 88

DAFTAR GAMBAR

viii
Gambar Halaman
1. Algoritma Pengobatan Hipertensi menurut JNC VII ............. ........19
2. Grafik klasifikasi pasien berdasarkan diagnosa dengan atau tanpa
faktor penyulit ........................................................................ .......45
3. Diagram persentase hasil evaluasi ketepatan indikasi pada pasien
geriatri dengan hipertensi esensial di IRNA RSUP Dr. M. Djamil
Padang tahun 2013 ................................................................. ........84
4. Diagram persentase hasil evaluasi ketepatan indikasi pada pasien
geriatri dengan hipertensi esensial di IRJA RSUP Dr. M. Djamil
Padang tahun 2013.................................................................. ........84
5. Diagram persentase hasil evaluasi ketepatan pasien pada pasien
Geriatri dengan hipertensi esensial di IRNA RSUP Dr. M. Djamil
Padang tahun 2013................................................................. ........84
6. Diagram persentase hasil evaluasi ketepatan pasien pada pasien
geriatri dengan hipertensi esensial di IRJA RSUP Dr. M. Djamil
Padang tahun 2013 ................................................................. ........85
7. Diagram persentase hasil evaluasi ketepatan obat pada pasien
geriatri dengan hipertensi esensial di IRJA RSUP Dr. M. Djamil
Padang tahun 2013................................................................. ........85
8. Diagram persentase hasil evaluasi ketepatan obat pada pasien
geriatri dengan hipertensi esensial di IRNA RSUP Dr. M. Djamil
Padang tahun 2013 ................................................................. ........85
9. Diagram persentase hasil evaluasi kesesuaian range dosis pada Pasien
geriatri dengan hipertensi esensial di IRNA RSUP Dr. M. Djamil
Padang tahun 2013 ................................................................. ........86
10. Diagram persentase hasil evaluasi kesesuaian range dosis pada pasien
geriatri dengan hipertensi esensial di IRNA RSUP Dr. M. Djamil
Padang tahun 2013 ................................................................. ........86

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC VII ............................. 5
2. Pedoman Penggunaan Beragam Obat Antihipertensi pada Pasien
dengan Faktor Penyulit menurut JNC VII ................................... 20
3. Jadwal Penelitian ......................................................................... . .38
4. Distribusi pasien geriatri dengan hipertensi esensial di instalasi rawat
Jalan dan instalasi rawat inap RSUP Dr.M.Djamil Padang tahun 2013 44
5. Jumlah dan persentase pasien geriatri dengan hipertensi esensial
dengan atau tanpa faktor penyulit ............................................... .....45
6. Jumlah dan persentase penggunaan obat antihipertensi berdasarkan
golongan dan jenis obat antihipertensi di IRNA RSUP Dr.M.Djamil

ix
Padang tahun 2013 ..................................................................... .....47
7. Jumlah dan persentase penggunaan obat antihipertensi berdasarkan
golongan dan jenis obat antihipertensi di IRNA RSUP Dr. M. Djamil
Padang tahun 2013....................................................................... .....48
8. Jumlah dan persentase obat antihipertensi tunggal dan kombinasi
yang digunakan pada pasien geriatri di IRNA RSUP Dr. M.Djamil
Padang tahun 2013 ..................................................................... .....49
9. Golongan obat antihipertensi pada kelompok monoterapi yang
digunakan pasien geriatri di IRNA RSUP Dr. M. Djamil Padang
tahun 2013 .................................................................................... ... 49
10. Golongan obat antihipertensi pada kelompok terapi kombinasi yang
digunakan pasien geriatri di IRNA RSUP Dr. M. Djamil Padang
tahun 2013 ....................................................................................... 49
11. Jumlah dan persentase obat antihipertensi tunggal dan kombinasi
yang digunakan pada pasien geriatri di IRJA RSUP Dr. M.Djamil
Padang tahun 2013 ........................................................................... 50
12. Golongan obat antihipertensi pada kelompok monoterapi yang
digunakan pasien geriatri di IRJA RSUP Dr. M. Djamil Padang
tahun 2013..................................................................................... .....50
13. Golongan obat antihipertensi kelompok terapi kombinasi yang
digunakan pasien geriatri di IRJA RSUP Dr. M. Djamil Padang
tahun 2013.................................................................................... .....51
14. Persentase hasil evaluasi ketepatan indikasi pasien geriatri dengan
hipertensi esensial di IRNA RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2013 52
15. Persentase hasil evaluasi ketepatan indikasi pada pasien geriatri
dengan hipertensi esensial di IRJA RSUP Dr. M. Djamil Padang
tahun 2013..................................................................................... .....52
16. Persentase hasil evaluasi ketepatan pasien pada pasien geriatri dengan
hipertensi esensial di IRNA RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2013 53
17. Persentase hasil evaluasi ketepatan pasien pada pasien geriatri dengan
hipertensi esensial di IRJA RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2013 53
18. Persentase hasil evaluasi ketepatan pemilihan obat pada pasien geriatri
dengan hipertensi esensial di IRJA RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun
2013............................................................................................... .....54
19. Persentase hasil evaluasi ketepatan pemilihan obat pada pasien geriatri
dengan hipertensi esensial di IRNA RSUP Dr. M. Djamil Padang
tahun 2013.................................................................................... .....54
20. Persentase hasil evaluasi kesesuaian range dosis pada pasien geriatri
dengan hipertensi esensial di IRNA RSUP Dr. M. Djamil Padang
tahun 2013.................................................................................... .....56
21. Persentase hasil evaluasi kesesuaian range dosis pada pasien geriatri
dengan hipertensi esensial di IRJA RSUP Dr. M. Djamil Padang
tahun 2013.................................................................................... .....56

x
11
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertensi menurut Seventh Report of the Joint National Comittee on

Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC

VII) didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik lebih besar atau

sama dengan 140 mmHg dan atau peningkatan tekanan darah diastolik yang lebih

besar atau sama dengan 90 mmHg (Chobanian et al., 2003). Hipertensi

merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di negara maju

maupun berkembang. Hipertensi merupakan penyebab kematian ketiga di

Indonesia untuk semua umur (6,8%), setelah stroke (15,4%) dan tuberculosis

(7,5%). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi

hipertensi di Indonesia sebesar 31,7% (Depkes, 2008).

Penderita yang penyebab hipertensinya tidak diketahui disebut penderita

hipertensi esensial. Umumnya peningkatan tekanan darah disebabkan oleh

peningkatan tahanan (resistensi) pengaliran darah melalui arteriol-arteriol secara

menyeluruh, sedangkan curah jantung, biasanya normal. Penelitian yang seksama

terhadap fungsi sistem saraf otonom, refleks baroreseptor, sistem renin-

angiotensin-aldosteron, dan ginjal belum mampu mengidentifikasi suatu kelainan

primer penyebab meningkatnya resistensi pembuluh darah tepi pada hipertensi

esensial (Katzung, 2001)

Jumlah penduduk berusia lebih dari 60 tahun di Indonesia pada tahun 2010

mengalami kenaikan sebesar 400%, sehingga jumlahnya lebih banyak dari anak

1
usia dibawah Lima Tahun (Balita). Usia lanjut membawa konsekuensi

meningkatnya morbiditas dan mortalitas berbagai penyakit kardiovaskular,

diantaranya hipertensi (Bakri, 2001).

Sebagian besar usia lanjut yang didiagnosis hipertensi pada akhirnya

menjalani terapi dengan menggunakan obat antihipertensi. Pengobatan hipertensi

pada usia lanjut secara farmakologi sedikit berbeda dengan usia muda karena

adanya perubahan-perubahan fisiologis akibat proses menua. Perubahan fisiologis

yang terjadi pada usia lanjut menyebabkan konsentrasi obat menjadi lebih besar,

waktu eliminasi obat menjadi lebih panjang, terjadi penurunan fungsi dan respon

dari organ, adanya berbagai penyakit lain, adanya obat-obat untuk penyakit

penyerta yang sementara dikonsumsi harus diperhitungkan dalam pemberian obat

antihipertensi (Ikawati, 2008).

Terapi pengobatan yang diterima pasien geriatri sangat kompleks, maka

perlu ketepatan terapi terutama dalam pemilihan obat harus disesuaikan dengan

kondisi atau keadaan fungsional tubuh usia lanjut sehingga dapat mengendalikan

progresifitas komplikasi lain yang menyertai. Terapi dengan penggunaan obat

terutama ditujukan untuk meningkatkan kualitas atau mempertahankan hidup

pasien. Namun ada hal-hal yang tak dapat disangkal dalam pemberian obat yaitu

kemungkinan terjadinya hasil pengobatan tidak seperti yang diharapkan

(Tjay,2007).

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti melakukan penelitian tentang

ketepatan pemilihan obat antihipertensi pada geriatri yang menderita hipertensi

esensial di Instalasi Rawat Jalan dan Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.M.Djamil

Padang . Ketepatan pemilihan obat antihipertensi dalam penelitian ini ditinjau dari

2
tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat dan kesesuaian dengan range dosis obat

antihipertensi yang digunakan pasien geriatri yang menderita hipertensi esensial

di instalasi rawat jalan dan instalasi rawat inap RSUP Dr. M.Djamil Padang.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah pilihan obat antihipertensi yang digunakan pasien geriatri

penderita hipertensi esensial di Instalasi Rawat Jalan dan Instalasi Rawat Inap

RSUP Dr.M.Djamil Padang sudah sesuai dengan standar yang direkomendasikan

oleh Konsensus penatalaksanaan hipertensi pada keadaan khusus : Hipertensi

pada usia lanjut (Perhimpunan Hipertensi Indonesia, 2009), JNC VII dan

Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Seventh Edition (Dipiro, 2008).

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pilihan obat

antihipertensi yang digunakan pasien geriatri dengan hipertensi esensial di

Instalasi Rawat Jalan dan Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. M.Djamil Padang sudah

sesuai dengan standar yang direkomendasikan oleh Konsensus penatalaksanaan

hipertensi pada keadaan khusus : Hipertensi pada usia lanjut (Perhimpunan

Hipertensi Indonesia, 2009), JNC VII dan Pharmacotherapy A Pathophysiologic

Approach Seventh Edition (Dipiro, 2008).

3
1.4 Manfaat Penelitian

Dengan mempelajari ketepatan pemilihan obat antihipertensi pada pasien

geriatri yang menderita hipertensi esensial di Instalasi Rawat Jalan dan Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr.M.Djamil Padang diharapkan :

1.4.1 Bagi Manajemen Rumah Sakit

a. Sebagai bahan masukan, pertimbangan, evaluasi dalam menetapkan

kebijakan terkait pemilihan obat antihipertensi pada pasien geriatri

dengan hipertensi esensial di Instalasi Rawat Jalan dan Instalasi Rawat

Inap RSUP Dr.M.Djamil Padang.

b. Memberikan informasi pada tenaga medis dan profesional kesehatan

lainnya tentang pemilihan obat antihipertensi pada pasien geriatri

dengan hipertensi esensial di RSUP Dr.M.Djamil Padang.

1.4.2 Bagi dunia pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan kontribusi dalam pengayaan materi ilmu kefarmasian

khususnya farmasi klinis.

1.4.3 Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan

pembanding untuk penelitian selanjutnya.

1.4.4 Bagi peneliti sendiri, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan

pengalaman tentang pemilihan obat antihipertensi pada pasien geriatri

dengan hipertensi esensial di Instalasi Rawat Jalan dan Instalasi Rawat

Inap di RSUP Dr.M.Djamil Padang

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum

2.1.1 Definisi Hipertensi

Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah arterial

secara persisten (Dipiro, 2008). Menurut The Seventh Report of Joint National

Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood

Pressure (JNC VII), dikatakan hipertensi jika tekanan darah sistolik lebih besar

atau sama dengan 140 mmHg dan atau peningkatan tekanan darah diastolik yang

lebih besar atau sama dengan 90 mmHg. Klasifikasi tekanan darah pada orang

dewasa terbagi seperti tabel dibawah ini.

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC VII

Klasifikasi Tekanan Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik


Darah (mmHg) (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi Stage 1 140-159 90-99
Hipertensi Stage 2 ≥ 160 ≥ 100
(Chobanian et al., 2003)

Tekanan darah adalah tekanan yang digunakan untuk mengedarkan darah

dalam pembuluh darah dalam tubuh. Jantung yang berperan sebagai pompa otot

mensuplai tekanan tersebut untuk menggerakkan darah dan juga mengedarkan

darah di seluruh tubuh. Pembuluh darah (dalam hal ini arteri) memiliki dinding-

dinding yang elastis dan menyediakan resistensi yang sama terhadap aliran darah.

5
Oleh karena itu, ada tekanan dalam sistem peredaran darah, bahkan detak jantung

(Gardner, 2007).

2.1.2 Etiologi Hipertensi

Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam.

Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologinya tidak diketahui (hipertensi

esensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan

tetapi dapat dikontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah

mempunyai penyebab yang khusus, dikenal dengan hipertensi sekunder. Banyak

penyebab hipertensi sekunder, endogen maupun eksogen. Bila penyebab

hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat

disembuhkan secara potensial (Katzung, 2001).

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu :

Hipertensi esensial/primer/idiopatik dan hipertensi sekunder (Gray, 2005).

1) Hipertensi Esensial.

Hipertensi esensial merupakan 95% dari kasus-kasus hipertensi. Tekanan

darah merupakan hasil curah jantung dan resistensi vaskular, sehingga tekanan

darah meningkat jika curah jantung meningkat, resistensi vaskular perifer

bertambah, atau keduanya. Pada hipertensi yang baru mulai curah jantung

biasanya normal atau sedikit meningkat dan resistensi perifer normal. Pada tahap

hipertensi lanjut, curah jantung cenderung menurun dan resistensi perifer

meningkat. Adanya hipertensi juga menyebabkan penebalan dinding arteri dan

arteriol, mungkin sebagian diperantarai oleh faktor yang dikenal sebagai pemicu

hipertrofi vaskular dan vasokonstriksi sehingga menjadi alasan sekunder

mengapa terjadi kenaikan tekanan darah (Gray, 2005).

6
Peningkatan tekanan darah biasanya disebabkan oleh kombinasi berbagai

kelainan (multifaktorial).Bukti-bukti epidemiologik menunjukkan adanya faktor

keturunan (genetik), ketegangan jiwa, dan faktor lingkungan dan makanan

(banyak asupan garam dan kurang asupan kalium atau kalsium) mungkin sebagai

kontributor berkembangnya hipertensi. Tekanan darah tidak meningkat pada

orang-orang berumur dengan menu harian berkadar garam rendah (Gray, 2005).

Faktor keturunan pada hipertensi esensial diperkirakan berperan sebanyak

30%. Mutasi pada beberapa gen telah dihubungkan dengan penyebab-penyebab

hipertensi yang jarang ditemukan. Sejumlah variasi pada fungsi gen-gen untuk

enzim pengubah angiotensin (ACE), adrenoreseptor β2, dan α adducin (suatu

protein sitoskeletal) nampaknya berkontribusi pada beberapa kasus hipertensi

esensial (Gray, 2005).

2) Hipertensi Sekunder

Sekitar 5% kasus hipertensi telah diketahui penyebabnya, antara

lain penyakit parenkim ginjal (3%), penyakit renovaskular (1%), endokrin (1%),

sindrom cushing, hiperplasia adrenal kongenital, feokromositoma, Koarktasio

aorta, kaitan dengan kehamilan, dan akibat obat (Gray, 2005).

Menurut JNC VII, prosedur-prosedur diagnosa tambahan mungkin

diperlukan untuk mengidentifikasi penyebab hipertensi, khususnya pada penderita

yang:

1. Usia, riwayat, ciri fisik, keparahan, atau hasil tes laboratorium memberikan

petunjuk tentang penyebab hipertensi.

2. Respon tekanan darah tidak menunjukkan hasil memuaskan pada terapi obat.

7
3. Tekanan darah meningkat tanpa diketahui penyebabnya meski kontrol darah

dilakukan dengan baik.

4. Kemunculan hipertensi secara tiba-tiba.

(Chobanian et al., 2003)

2.1.3 Patofisiologi

Hipertensi esensial melibatkan interaksi yang sangat rumit antara faktor

genetik dan lingkungan yang dihubungkan oleh agen mediator neuro-hormonal.

Secara umum disebabkan oleh peningkatan tahanan perifer dan atau peningkatan

volume darah. Hipertensi sekunder terjadi pada kurang dari 5% kasus, dan

kebanyakan disebabkan oleh penyakit parenkim ginjal kronik atau penyakit

renovaskular. Kondisi lain yang menyebabkan hipertensi sekunder adalah

feokromositoma, sindrom cushing, hipertiroid, hiperparatiroid, aldosteronisme

primer, kehamilan, peningkatan tekanan intrakranial dan koarktasio aorta.

Beberapa obat yang bisa menaikkan tekanan darah termasuk kortikosteroid,

estrogen, amfetamin/anoreksia, MAO inhibitor, dekongestan oral, venlafaxine,

siklosporin, NSAID, dan hormon tiroid (Dipiro, 2008).

Banyak faktor yang dapat menyebabkan pengembangan hipertensi primer,

antara lain :

 Gangguan patologis pada Central Nervous System (CNS), serat saraf otonom,

reseptor adrenergik atau baroreseptor.

 Abnormalitas pada renal atau jaringan autoregulator yang mengatur proses

ekskresi natrium, volume plasma dan konstriksi arteriolar.

 Abnormalitas humoral,termasuk Renin-Angiotensin-Aldosteron System

(RAAS), hormon natriuretik dan hiperinsulinemia.

8
 Defisiensi pada sintesis setempat substan vasodilator pada endotel vaskular

seperti prostasiklin, bradikinin, dan nitrat oksida, atau peningkatan produksi

substan vasokonstriktor seperti angiotensin II atau endotelin I.

 Asupan natrium yang tinggi dan peningkatan natriuretik di sirkulasi yang

menginhibisi transpor natrium intraseluler, sehingga reaktivitas vaskular

meningkat dan tekanan darah naik.

 Peningkatan konsentrasi kalsium intraselular, sehingga fungsi otot polos

vaskular berubah dan terjadi peningkatan tahanan vaskuler perifer.

Penyebab utama kematian pada pasien hipertensi adalah kejadian

serebrovaskular, kardiovaskular dan gagal ginjal. Kemungkinan untuk kematian

prematur berkaitan dengan tingkat keparahan naiknya tekanan darah (Brashers,

2007).

2.1.4 Gejala Klinis (Brashers, 2007).

Biasanya tak bergejala pada stadium awal; bila tekanan darah meningkat

secara akut, pasien dapat mengalami epistaksis, sakit kepala, penglihatan kabur,

tinitus, pusing, defisit neurologis transien, atau angina; bila perkembangan gejala

lebih lambat, pasien dapat datang dengan gejala yang berhubungan dengan

kerusakan organ akhir, seperti gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, atau

retinopati.

2.1.5 Hipertensi pada Usia Lanjut

Usia lanjut merupakan kelompok umur dimana terjadi penurunan kondisi

fisik/biologis, kondisi psikologis, serta perubahan kondisi sosial. Menurut UU No.

13 Tahun 1998 dinyatakan bahwa usia 60 tahun ke atas adalah yang paling layak

9
disebut usia lanjut. Departemen kesehatan RI (2006) memberikan batasan usia

lanjut sebagai berikut:

 virilitas (prasenium) yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan

kematangan jiwa (usia 55 -59 tahun),

 usia lanjut dini (senescen) yaitu kelompok yang mulai memasuki masa usia

lanjut dini (usia 60 – 64 tahun).

 Lansia berisiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif, yaitu usia

di atas 65 tahun.

Sedangkan menurut WHO, usia lanjut dapat diklasifikasikan menjadi usia

pertengahan (middle age) 45 – 59 tahun, usia lanjut (elderly) 60 – 74 tahun, usia

lanjut tua (old) 75 – 90 tahun, usia lanjut sangat tua (very old) di atas 90 tahun

(Darmojo dan Boedi, 2006).

Jumlah penduduk berusia lebih dari 60 tahun di Indonesia pada tahun 2010

mengalami kenaikan sebesar 400%, sehingga jumlahnya lebih banyak dari Bawah

Lima Tahun (Balita). Usia lanjut membawa konsekuensi meningkatnya morbiditas

dan mortalitas berbagai penyakit kardiovaskular (Bakri, 2001).

TDS (Tekanan Darah Sistolik) meningkat sesuai dengan peningkatan usia,

akan tetapi TDD (Tekanan Darah Diastolik) meningkat seiring dengan TDS

sampai sekitar usia 55 tahun, yang kemudian menurun oleh karena terjadinya

proses kekakuan arteri akibat aterosklerosis. 50% dari mereka yang berusia di atas

60 tahun akan menderita hipertensi sistolik terisolasi (TDS ≥ 140 mmHg dan

TDD < 90 mmHg). Keadaan ini diakibatkan oleh kehilangan elastisitas arteri

karena proses menua. Kekakuan aorta akan meningkatkan TDS dan pengurangan

volume aorta, yang akhirnya menurunkan TDD. Semakin besar perbedaan TDS

10
dan TDD atau tekanan nadi, semakin besar risiko komplikasi kardiovaskular.

Tekanan nadi yang meningkat pada usia lanjut dengan hipertensi sistolik terisolasi

berkaitan dengan besarnya kerusakan yang terjadi pada organ target yaitu jantung,

otak dan ginjal (Bakri, 2001).

Terapi hipertensi pada lansia, termasuk pada lansia dengan hipertensi

sistolik terisolasi sama dengan terapi hipertensi secara umum. Pada kebanyakan

individu, dosis awal yang lebih rendah disarankan untuk menghindari simptom;

bagaimanapun, dosis standar dan beberapa obat diperlukan pada kebanyakan

individu untuk mencapai target tekanan darah (Bakri, 2001).

2.1.6 Kerusakan Pada Organ (Dipiro, 2008)

Hipertensi yang tidak ditangani dengan tepat dan sesegera mungkin, akan

mengakibatkan kerusakan organ dalam tubuh. Berikut ini kerusakan organ yang

dapat terjadi :

1) Jantung

Hipertensi dapat berimplikasi terhadap jantung, baik secara langsung

melalui efek yang berkaitan dengan tekanan darah, maupun secara tak langsung

melalui peningkatan perubahan aterosklerosis. Hipertensi dapat mengakibatkan

Cardio Vaskular Disease (CVD) dan meningkatkan resiko kejadian iskemik

misalnya angina dan infark miokard.

Selain itu, sebagai mekanisme kompensasi dari jantung dalam merespon

naiknya tahanan pembuluh darah karena meningkatnya tekanan darah, hipertensi

dapat memperparah hipertrofi ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri merupakan

perubahan miokardial (selular), bukan perubahan arterial. Hal itu patut

diwaspadai karena hipertrofi ventrikel kiri tergolong faktor resiko berbahaya akan

11
terjadinya penyakit koroner akut, gagal jantung dan aritmia. Sebagaimana

diketahui, gagal jantung merupakan dampak negatif hipertensi terbesar untuk

jantung. Gagal jantung dapat menurunkan kemampuan kontraksi (disfungsi

sistolik) atau ketidakmampuan untuk mengisi darah (disfungsi diastolik).

Hipertensi yang tidak terkontrol merupakan salah satu pemicu gagal jantung.

2) Otak

Gejala kerusakan pada organ ini yaitu terjadinya Transcient Ischemic

Attack (TIA), stroke iskemik, infark serebral, dan perdarahan otak. Peningkatan

tekanan darah sistolik yang berkepanjangan dapat menyebabkan hipertensi

ensefalopati.

Ensefalopati dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi

yang meningkat cepat). Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini dapat

menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang

interstisial di seluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron di sekitarnya kolaps,

dan terjadi koma serta kematian.

Stroke dapat terjadi karena perdarahan otak, atau akibat embolus yang

terlepas dari pembuluh darah non-otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat

terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak

mengalami hipertrofi dan penebalan, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang

diperdarahinya berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami aterosklerosis dapat

melemah dan kehilangan elastisitas sehingga meningkatkan kemungkinan

terbentuknya aneurisma.

12
3) Ginjal

GFR (Glomerulus Filtration Rate/Laju Filtrasi Glomerulus) digunakan

untuk mengetahui fungsi ginjal. GFR menurun seiring bertambahnya usia, namun

penurunan itu dapat dipercepat oleh hipertensi .Hipertensi berhubungan dengan

nefrosklerosis, yang menyebabkan peningkatan tekanan intraglomerular.

Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan yang

tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, yaitu glomerulus. Dengan rusaknya glomerulus,

darah akan mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan

dapat berlanjut menjadi hipoksik dan kematian. Dengan rusaknya membran

glomerulus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid

plasma berkurang menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi

kronik.

4) Mata

Hipertensi dapat menyebabkan retinopati yang berimplikasi pada

kebutaan. Keparahannya diklasifikasikan menjadi empat, yaitu: tingkat 1 yang

ditandai dengan menebalnya diameter arteri, yang menyebabkan vasokonstriksi;

tingkat 2 yang ditandai dengan perlengketan arteriovena, yang menyebabkan

aterosklerosis; tingkat 3 yang terjadi jika hipertensi tidak kunjung diobati yang

dapat menyebabkan infark serabut saraf dan eksudat halus retina dan perdarahan

intraretinal; terakhir tingkat 4 muncul sebagai akibat dari kasus yang semakin

parah, yang ditandai dengan papiledema.

13
2.1.7 Terapi Hipertensi

2.1.7.1 Tujuan Terapi ( Dipiro, 2008)

Secara keseluruhan tujuan penanganan hipertensi adalah mengurangi

morbiditas dan kematian. Target nilai tekanan darahnya adalah kurang dari

140/90 mmHg untuk hipertensi tidak komplikasi; kurang dari 130/80 mmHg

untuk penderita diabetes melitus, gangguan fungsi ginjal dan penyakit arteri

koroner; kurang dari 120/80 mmhg untuk mereka dengan disfungsi ventrikel kiri

(gagal jantung).

2.1.7.2 Terapi Non-farmakologi ( Dipiro, 2008).

Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya dianjurkan untuk

memodifikasi gaya hidup, termasuk penurunan berat badan jika kelebihan berat

badan, melakukan diet makanan yang diambil DASH (Dietary Approaches to

Stop Hypertension), mengurangi asupan natrium hingga lebih kecil atau sama

dengan 2,4 g/hari (6 g/hari NaCl), melakukan aktivitas fisik seperti aerobik,

mengurangi konsumsi alkohol dan menghentikan kebiasaan merokok.

Penderita yang didiagnosis hipertensi stage 1 atau 2 sebaiknya

ditempatkan, pada terapi modifikasi gaya hidup dan terapi obat secara bersamaan.

2.1.7.3 Terapi Farmakologi (Depkes, 2006)

Ada 9 kelas obat antihipertensi,yaitu :

1. Diuretik

2. Beta Blockers

3. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI)

4. Penghambat reseptor angiotensin (ARB)

5. Antagonis Kalsium (CCB)

14
6. Alfa-1 Blocker

7. Agonis Alfa-2 sentral

8. Penghambat adrenergik

9. Vasodilator

Diuretik, beta blocker, penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI),

penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan antagonis kalsium, dianggap sebagai

obat antihipertensi utama. Obat-obat ini baik sendiri atau dikombinasi, harus

digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena bukti

menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini. Penyekat alfa, agonis alfa-2

sentral, penghambat adrenergik, dan vasodilator digunakan sebagai obat alternatif

pada pasien-pasien tertentu disamping obat utama (Depkes, 2006).

Obat antihipertensi dapat digolongkan berdasarkan tempat dan mekanisme

kerjanya. Karena tekanan arteri merupakan hasil curah jantung dan resistensi

pembuluh darah perifer, tekanan arteri dapat diturunkan oleh obat yang bekerja

terhadap resistensi perifer maupun curah jantung, atau terhadap keduanya. Obat-

obat dapat menurunkan curah jantung dengan cara menghambat daya

kontraktilitas miokardial atau menurunkan tekanan pengisian ventrikel. Penurunan

tekanan pengisian ventrikel dapat dicapai melalui kerja terhadap tonus vena atau

volume darah melalui efek di ginjal. Obat dapat menurunkan resistensi perifer

melalui kerjanya pada otot polos untuk merelaksasi pembuluh resistensi atau

dengan mengganggu aktivitas sistem yang menyebabkan konstriksi pembuluh

resistensi (misalnya sistem saraf simpatik) (Goodman dan Gillman, 2007).

Modifikasi gaya hidup saja bisa dianggap cukup untuk pasien dengan

prehipertensi, tetapi tidak cukup untuk pasien-pasien dengan hipertensi atau untuk

15
pasien-pasien dengan target tekanan darah dan adanya indikasi khusus. Pada

kebanyakan pasien dengan tekanan darah lebih tinggi (hipertensi tingkat 2),

disarankan kombinasi terapi obat, dengan salah satunya diuretik tipe tiazid.

Algoritma untuk pengobatan hipertensi dapat dilihat pada gambar 1. Rekomendasi

ini terutama untuk pasien tanpa indikasi khusus dan berdasarkan bukti terbaik

yang ada yang menunjukkan penurunan mortalitas dan morbiditas (Chobanian et

al., 2003).

Strategi penanganan hipertensi dengan modifikasi gaya hidup tidak hanya

dilakukan untuk kategori prehipertensi. Hal ini juga dilakukan untuk hipertensi

stadium 1 dan hipertensi stadium 2. Saat seseorang yang telah melakukan

modifikasi gaya hidup namun tekanan darahnya tidak sesuai dengan tekanan

darah target (<140/90 mmHg, untuk yang rentan dengan penyakit kardiovaskuler;

dan < 130/80 mmHg, untuk yang rentan dengan diabetes dan penyakit ginjal),

maka dipertimbangkan pemberian terapi farmakologi. Ketentuannya adalah untuk

pasien dengan hipertensi stadium 1 (TD 140-159/90-99 mmHg) yang tanpa faktor

penyulit, diberikan obat tunggal diuretik jenis thiazide dengan dosis awal yang

paling rendah. Namun jika sampai pada dosis maksimal tidak terdapat perubahan,

maka harus dipertimbangkan pemberian kombinasi obat antihipertensi dari kelas

lainnya (ACEI, BB, ARB, CCB, dan antagonis aldosteron). Selanjutnya untuk

pasien dengan hipertensi stadium 2 (> 160/100 mmHg) tanpa faktor penyulit,

harus diberikan dua obat kombinasi sebagai obat awal, dimana diuretik jenis

thiazide tetap sebagai obat dasar yang ditambahkan dengan obat antihipertensi

dari kelas lainnya (Chobanian et al., 2003).

16
Untuk pasien hipertensi dengan faktor penyulit, penanganannya

tergantung pada jenis faktor penyulit yang diderita. JNC 7 mengidentifikasi 6

faktor penyulit, data dari percobaan klinis mendukung penggunaan kelas

antihipertensi tertentu untuk mengobati baik faktor penyulit dan hipertensinya

(Chobanian et al., 2003).

Pada tabel 2 terlihat pasien dengan faktor penyulit gagal jantung, JNC

VII tidak merekomendasikan penggunaan obat antihipertensi golongan CCB

karena menyebabkan relaksasi otot jantung dengan mengurangi masuknya

kalsium ekstraselular ke dalam sel, sedangkan pada kondisi gagal jantung

kontraksi otot jantung melemah sehingga memerlukan kalsium untuk berkontraksi

(Dipiro, 2008).

Untuk faktor penyulit pasca infark miokard, obat yang tidak

direkomendasikan adalah golongan diuretik, ARB, dan CCB. Golongan diuretik

tidak direkomendasikan karena memiliki efek samping hipokalemia yang dapat

berbahaya bagi pasien pasca infark miokard yang mendapat terapi digitalis.

Golongan ARB dapat menyebabkan hipotensi yang akan memperburuk kondisi

pasien pasca infark miokard. Pada kondisi infark miokard terjadi nekrosis pada

otot miokard sehingga jantung tidak mampu memompa darah dalam jumlah yang

adekuat untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Golongan CCB tidak

direkomendasikan berkaitan dengan kerjanya yang mengurangi masuknya

kalsium ekstraselular ke dalam sel sehingga menghambat kontraksi jantung

(Dipiro, 2008)

Untuk faktor penyulit resiko penyakit jantung koroner, yang tidak

direkomendasikan adalah golongan ARB dan Antagonis Aldosteron. Golongan

17
ARB dapat menyebabkan hipotensi pada penderita hipertensi dengan kadar renin

tinggi seperti pada penyakit jantung iskemik dan angina stabil. Antagonis

aldosteron adalah suatu diuretik hemat kalium, pemakaiannya dapat menurunkan

konsentrasi kolesterol HDL, konsentrasi HDL yang tinggi diperlukan pada pasien

jantung iskemik yang disebabkan aterosklerosis (Goodman dan Gillman, 2007)

Untuk pasien diabetes, penggunaan antagonis aldosteron tidak

direkomendasikan karena dapat merusak toleransi terhadap glukosa sehingga

memperburuk kondisi diabetes( Katzung, 2001). Untuk pasien dengan penyakit

ginjal kronik tidak direkomendasikan penggunaan golongan obat diuretik, BB,

CCB dan antagonis aldosteron. Golongan diuretik dan antagonis aldosteron tidak

disarankan karena dapat menekan aliran darah ke ginjal dan semakin

meningkatkan plasma renin, CCB dapat mengganggu keseimbangan kalium

dalam darah karena ginjal tidak mampu secara normal memetabolisme kalium.

Golongan BB tidak disarankan karena dapat menyebabkan aliran darah ke ginjal

berkurang dalam waktu singkat sehingga dapat memperburuk fungsi ginjal jika

digunakan dalam jangka panjang (Goodman dan Gillman, 2007; Katzung, 2001).

Untuk pasien pencegahan stroke berulang, penggunaan golongan obat

BB, ARB, CCB, dan antagonis aldosteron tidak direkomendasikan. Derajat

penurunan tekanan darah adalah faktor yang penting dalam pencegahan stroke

berulang. Dalam suatu penelitian klinis menunjukkan bahwa penggunaan

kombinasi golongan diuretik dan ACEI menghasilkan derajat penurunan tekanan

darah yang lebih baik dari golongan lainnya (Chobanian et al., 2003).

18
Modifikasi gaya
hidup

Tidak mencapai tekanan darah target (< 140/90 mmHg)


(<130 /80 mmHg untuk pasien dengan diabetes dan penyakit ginjal
kronis)

Pilihan obat awal

Tanpa Faktor Penyulit Dengan Faktor Penyulit

Hipertensi stage 1 Hipertensi stage 2 Obat-obat untuk


(TDS 140-159 mmHg (TDS ≥160 mmHg atau faktor penyulit .
atau TDD 90-99 mmHg) TDD ≥100 mmHg) Obat-obat
Diuretik tiazid untuk Dua obat kombinasi antihipertensi
semua pasien. Dapat untuk semua pasien lainnya(diuretik,
dipertimbangkan ACEI, (biasanya diuretik ACEI, ARB, BB, CCB)
ARB, BB, CCB atau tiazid dan ACEI, atau yang dibutuhkan.
Kombinasi. ARB, atauBB, atau CCB.

Sasaran Tekanan Darah Tidak Tercapai

Optimalkan dosis atau tambahkan obat-obat


tambahan sampai tekanan darah sasaran tercapai.
Pertimbangkan konsultasi dengan spesialis

Gambar 1. Algoritma Pengobatan Hipertensi Menurut JNC VII


BB: Beta Blocker; ACEI: Angiotensin Converting Enzyme; ARB: Angiotensin
Receptor Blocker; CCB: Calcium Chanel Blocker (Chobanian et al., 2003).

19
Tabel 2. Pedoman Penggunaan Beragam Obat Antihipertensi Pada Pasien Dengan
Faktor Penyulit Menurut JNC VII 2003

Faktor Penyulit Rekomendasi Obat


Diuretik BB ACEI ARB CCB Aldo
Ant
Gagal Jantung     
Pasca Infark   
Miokard
Resiko Tinggi PJK    
Diabetes     
Penyakit Ginjal  
Kronik
Pencegahan stroke  
berulang
BB: Beta Blocker; ACEI: Angiotensin Converting Enzyme; ARB: Angiotensin
Receptor Blocker; CCB: Calcium Chanel Blocker; Aldo Ant: Aldosterone
Antagonist (Chobanian et.al, 2003).

2.1.8 Disposisi Obat Pada Lanjut Usia (Stitzel dan Craig, 2004).

Perkembangan usia merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi nasib obat di dalam tubuh. Pasien lanjut usia (individu dengan usia

di atas 65 tahun) adalah golongan masyarakat yang paling banyak menerima

terapi obat. Perubahan farmakokinetika (absorbsi, distribusi, metabolisme, dan

ekresi) yang berhubungan dengan usia telah mendapat perhatian secara luas.

Perubahan fisiologi dan farmakokinetik pada pasien lanjut usia berkontribusi

terhadap lemahnya klirens obat pada populasi ini.

 Absorbsi

Pasien lanjut usia tidak mengabsorbsi obat secara lengkap atau lebih

lambat dikarenakan berkurangnya kecepatan aliran darah atau pengosongan

lambung yang lambat. Mengurangi keasaman lambung dapat mengurangi absorbsi

obat-obat yang membutuhkan keasaman tinggi.

 Distribusi

20
Distribusi obat pada pasien lanjut usia dapat berubah karena

hipoalbuminemia, perubahan kualitas pada tempat obat berikatan, pengurangan

massa otot, pengurangan proporsi lemak tubuh, dan pengurangan total cairan

tubuh. Tingkat plasma bebas, obat dalam bentuk aktif sering berfungsi langsung

untuk memperpanjang ikatan obat dan protein plasma. Perubahan-perubahan pada

serum albumin dapat mempengaruhi konsentrasi obat bebas untuk sejumlah obat

yang terikat kuat, seperti phenitoin, warfarin, dan meperidine.

 Metabolisme

Perubahan metabolisme terjadi karena berkurangnya aktivitas enzim

hepatik. Metabolisme dapat terganggu oleh pengurangan massa hati, volume dan

aliran darah. Metabolisme melalui jalur reaksi fase I reaksi oksidasi berkurang

sejalan dengan pertambahan usia sedangkan jalur reaksi Fase II reaksi konjugasi

tidak berubah.

Dalam suatu studi klinis terkontrol, plasma T 1/2 diazepam (Valium), suatu

anti anxietas yang digunakan secara luas, memperlihatkan ketergantungan

terhadap usia yang menyolok. Pada pasien yang berusia 20 tahun, T1/2 sekitar 20

jam, dan meningkat seiring pertambahan usia menjadi sekitar 90 jam pada pasien

usia 80 tahun.

 Ekresi

Eliminasi ginjal terhadap senyawa-senyawa asing dapat berubah secara

dramatis dengan pertambahan usia disebabkan oleh faktor-faktor seperti

berkurangnya aliran darah ginjal, berkurangnya laju filtrasi ginjal, berkurangnya

aktivitas tubuli sekresi, dan pengurangan sejumlah fungsi nefron. Telah

diperkirankan pada manusia, mulai usia 20 tahun fungsi ginjal berkurang sekitar

21
10 % tiap dekade kehidupan. Pengurangan ekresi ginjal ini terutama penting untuk

obat-obat seperti penicillin dan digoxin,yang dieliminasi sebagian besar oleh

ginjal.

Perubahan Farmakodinamika (Lamy, 1990).

Sebagian obat memberikan efek farmakologi atau toksikologinya

sebagai akibat antaraksi obat-reseptor. Pada lansia mungkin terjadi perubahan

keefektifan antaraksi tersebut, karena kinerja farmakodinamika obat terkait pada

tempat reseptor tertentu lebih besar atau lebih kecil daripada yang terjadi pada

individu dewasa. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh penurunan atau

peningkatan kepekaan reseptor terhadap dinamika obat, yang terkait dengan

perubahan atau kereaktifan tempat kerja reseptor. Meskipun demikian, hal ini

tidak dapat diberlakukan secara umum mengingat jumlah reseptor tidak pasti,

tetapi diatur oleh sejumlah faktor yang meliputi keparahan penyakit tertentu

(iskemia, hipertensi, gagal jantung, hipertropi kardiak), obat (glukokortikoid,

hormon, agonis dan antagonis adrenergik), dan proses menua itu sendiri.

Pada lansia, sistem adrenoseptor-beta berubah. Misal, pada lansia resisten

terhadap agonis adrenergik (isoproterenol) dan antagonisnya (propanolol).

Keadaan ini mungkin diperantarai oleh berkurangnya jumlah dan daya ikat

(afinitas) reseptor bersangkutan. Terbukti ada korelasi positif antara proses menua

dan level norepinefrin-plasma. Selain itu, proses menua juga berkorelasi positif

dengan resistensi jantung terhadap tanggapan kronotropik isoproterenol.

2.1.8 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)

2.1.8.1 Definisi EPO (Holloway dan Green, 2004).

22
EPO adalah suatu sistem evaluasi terhadap penggunaan obat yang

berkelanjutan, sistematis, dan berdasarkan kriteria, yang akan membantu

memastikan bahwa obat digunakan dengan tepat (pada tingkat individu pasien).

Jika terapi dianggap tidak sesuai, intervensi terhadap pemberi terapi atau pasien

akan dibutuhkan untuk mengoptimalkan terapi obat. EPO dilakukan terhadap obat

atau penyakit tertentu secara terstruktur sehingga dapat menilai proses peresepan,

dispensing, dan cara penggunaan obat yang sebenarnya terjadi (indikasi, dosis,

interaksi obat dll).

Secara sederhana, EPO didefinisikan sebagai program jaminan mutu untuk

terapi obat. Di rumah sakit, Program EPO merupakan sarana yang penting untuk

memastikan bahwa obat-obat yang digunakan sudah tepat dan rasional. Program

EPO adalah suatu proses jaminan mutu yang terstruktur, dilaksanakan terus-

menerus, dan diotorisasi rumah sakit, dan ditujukan untuk memastikan bahwa

obat-obatan digunakan dengan tepat, aman, dan efektif. Dalam lingkungan

pelayanan kesehatan penggunaan obat yang ekonomis harus juga diberikan

prioritas tinggi dan karena itu, menjadi suatu komponen dari definisi ini (Siregar,

2006).

Definisi program EPO di atas difokuskan pada jaminan penggunaan obat

secara kualitatif terhadap kriteria yang telah ditetapkan terlebih dahulu, kemudian

memprakarsai perubahan dalam penggunaan obat yang tidak memenuhi kriteria

(Siregar, 2006).

2.1.8.2 Langkah – Langkah EPO. ( Holloway dan Green, 2004)

Langkah-langkah dalam melakukan EPO adalah sebagai berikut :

23
1) Menetapkan Penanggung Jawab.

EPO adalah tanggung jawab dari Komite Farmasi dan Terapi (KFT) untuk

menetapkan prosedur-prosedur pelaksanaan program EPO. Idealnya, KFT harus

menetapkan rencana tahunan, menguraikan obat-obatan dan kondisi klinis mana

yang akan menjadi bagian dalam proses EPO.

2) Mengembangkan ruang lingkup kegiatan dan menentukan tujuan

KFT harus memutuskan tujuan EPO dan ruang lingkup kegiatan yang

dibutuhkan. Ruang lingkup dapat sangat luas atau fokus pada satu aspek terapi

obat dan akan tergantung pada jenis masalah yang teridentifikasi.

3) Menentukan komponen-komponen obat untuk kriteria EPO

Kriteria untuk EPO harus ditetapkan dengan menggunakan Standar Terapi

Rumah Sakit. Jika Standar Terapi Rumah Sakit tidak ada, kriteria dapat

berdasarkan rekomendasi dari standar penggunaan obat nasional yang tersedia,

literatur-literatur lain yang terkait yang bersumber dari pakar internasional

maupun lokal.

Komponen-komponen penggunaan obat untuk kriteria EPO:

1. Penggunaan : indikasi obat yang tepat, tidak ada kontraindikasi

2. Seleksi : Obat sesuai dengan indikasi klinis

Ketepatan jenis obat berkaitan dengan pemilihan kelas terapi dan jenis

obat berdasarkan pertimbangan manfaat, keamanan, harga dan mutu

(Sastramihardja, 1997).

3. Dosis : indikasi-dosis khusus, interval dan lama pengobatan

4. Interaksi : tidak ada interaksi obat-obat, obat-makanan, obat-alat medis

24
5. Penyiapan obat : langkah-langkah yang terkait dengan penyiapan obat

untuk diberikan pada pasien

6. Pemberian obat : Langkah-langkah yang terkait dalam pemberian, jumlah

yang diberikan

7. Pemberian Informasi Obat (PIO) : Instruksi yang diberikan pada pasien

mengenai obat dan penyakit khusus.

8. Monitoring : secara klinis dan laboratorium

9. Efek, contohnya : pengurangan tekanan darah, gula darah, serangan asma

4) Pengumpulan data

Pengumpulan data dapat dilakukan secara retrospektif atau secara prospektif

5) Analisa Data

6) Umpan balik terhadap penulis resep dan membuat rencana kegiatan

7) Tindak Lanjut

2.1.8.3 Pelaksana EPO.(Siregar, 2006)

1) Dilaksanakan oleh staf medik bekerja sama dengan Instalasi Farmasi Rumah

Sakit (IFRS), bagian keperawatan, staf manajemen, bagian administratif,

bagian pelayanan, dan berbagai individu.

2) Didasarkan atas penggunaan kriteria objektif yang merefleksikan

pengetahuan mutakhir, pengalaman klinik, dan pustaka yang relevan.

3) Dapat mencakup penggunaan mekanisme penapisan untuk mengidentifikasi,

mengevaluasi lebih intensif berbagai masalah, atau untuk memperoleh

kemampuan untuk penyempurnaan penggunaan suatu obat atau golongan

obat.

2.1.8.4 Kriteria Dasar Obat Yang Akan dievaluasi (Holloway dan Green,
2004)

25
Menurut American Society of Hospital Pharmacist (AHSP) obat-obatan

yang dievaluasi memenuhi salah satu atau lebih alasan-alasan berikut:

1) Obat itu diketahui atau dicurigai menyebabkan reaksi merugikan atau

berinteraksi dengan obat lain, atau prosedur diagnosa sehingga dapat

mengurangi hasil terapi yang bermakna.

2) Penderita yang menggunakan obat tersebut mempunyai resiko tinggi terhadap

munculnya efek obat yang merugikan.

3) Obat tersebut berpotensi toksik atau menimbulkan ketidaknyamanan pada

dosis penggunaan.

4) Obat tersebut termasuk yang paling banyak digunakan di rumah sakit atau

harganya mahal.

5) Obat tersebut paling efektif digunakan dengan cara-cara tertentu.

6) Obat yang dalam penilaian formularium akan dimasukkan, dihapus atau tetap

dimasukkan dalam formularium obat.

7) Obat-obat yang telah diseleksi melalui kebijakan organisasi untuk dievaluasi.

2.1.8.5 Kriteria Penggunaan Obat Yang Rasional ( Siregar, 2005).

Tujuan dari setiap sistem manajemen obat adalah mengantarkan obat yang

benar kepada pasien yang membutuhkannya. Tahap seleksi, pengadaan dan

distribusi merupakan perintis yang perlu untuk penggunaan obat rasional.

Konferensi tenaga ahli tentang penggunaan obat rasional yang diadakan

oleh WHO di Nairobi tahun 1985, telah mendefinisikan penggunaan obat yang

rasional sebagai berikut. Penggunaan obat yang rasional, mensyaratkan bahwa

pasien menerima obat-obatan yang sesuai pada kebutuhan klinik mereka, dalam

26
dosis yang memenuhi kebutuhan individu mereka sendiri, untuk suatu periode

waktu yang memadai, dan pada harga terendah untuk mereka dan masyarakatnya.

Istilah penggunaan obat yang rasional dalam konteks biomedis

mencakup kriteria berikut :

1). Obat yang benar

2). Indikasi yang tepat, yaitu alasan menulis resep didasarkan pada pertimbangan

medis yang baik.

3). Obat yang tepat, mempertimbangkan kemanjuran, keamanan, kecocokan bagi

pasien, dan harga.

4). Dosis, pemberian, dan durasi pengobatan yang tepat.

5). Pasien yang tepat, yaitu tidak ada kontraindikasi dan kemungkinan reaksi

merugikan adalah minimal

6). Dispensing yang benar, termasuk informasi yang tepat bagi pasien tentang obat

yang ditulis.

7). Kepatuhan pasien terhadap pengobatan.

2.2 Tinjauan Farmakologi

2.2.1 Diuretik

Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan mendeplesi natrium

dalam tubuh. Mula-mula, diuretik menurunkan tekanan darah dengan mengurangi

volume darah dan curah jantung, tahanan vaskular perifer mungkin meningkat.

Setelah 6-8 minggu, curah jantung kembali ke normal sedangkan tahanan vaskular

perifer menurun. Natrium diduga berperan dalam tahanan vaskular dengan

meningkatkan kekakuan pembuluh darah dan reaktifitas saraf, kemungkinan

27
berhubungan dengan peningkatan pertukaran natrium-kalsium yang menghasilkan

suatu peningkatan kalsium intraselular. Efek-efek tersebut dilawan oleh diuretik

atau oleh pembatasan natrium. Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi respon

diuretik ini. Pertama, tempat kerja diuretik di ginjal. Diuretik yang bekerja pada

daerah mereabsorpsi sedikit sodium akan memberi efek yang lebih kecil bila

dibandingkan dengan diuretik yang bekerja pada daerah yang mereabsorpsi

banyak sodium. Kedua, status fisiologi organ akan memberikan respons yang

berbeda terhadap diuretik misalnya dekompensasi jantung, sirosis hati, dan gagal

ginjal. Ketiga, interaksi antara obat dengan reseptor (Goodman dan Gillman,

2007).

Berdasarkan cara bekerja, ada beberapa jenis diuretik yang diketahui pada

saat ini.

- Tiazid dan senyawa turunannya, contohnya hidroklorotiazid, klortalidon,

klorotiazid, bendroflumetiazid.

- Loop diuretik, contohnya furosemid, bumetanid, torsemid, asam etakrinat.

- Diuretik hemat kalium, contohnya amilorid, triamteren, spironolakton.

Diuretik tiazid bukan obat pilihan untuk pasien dengan gangguan ginjal.

Pada kondisi ini loop diuretik seperti furosemid dan bumetanide lebih

direkomendasikan karena mempunyai potensi natriuretik intrinsik lebih besar dan

tidak menekan aliran darah ginjal.

Pada situasi yang diketahui disebabkan oleh renin-angiotensin-aldosteron

seperti pada hipertensi sekunder karena penyakit ginjal (hipertensi renovaskular),

diuretik sebaiknya tidak digunakan karena akan semakin meningkatkan plasma

renin (Katzung, 2001).

28
2.2.2 Penghambat Enzim Konversi Angiotensin/ACE Inhibitor

ACE didistribusikan secara luas di banyak jaringan, dengan beberapa tipe

sel yang berbeda, tapi lokasi umumnya pada sel endotelial. Karena sel endotel

vaskular meliputi area yang luas, tempat utama produksi angiotensin II adalah

pembuluh darah, bukan ginjal. ACE inhibitor bekerja sebagai vasodilator dan

mengurangi resistensi perifer. ACE inhibitor menghalangi perubahan angiotensin I

menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor poten yang merangsang sekresi

aldosteron. ACE inhibitor juga menghalangi degradasi bradikinin dan merangsang

sintesis senyawa vasodilator lain, seperti prostaglandin E2 dan prostasiklin. Fakta

bahwa ACE inhibitor menurunkan tekanan darah pada pasien dengan plasma renin

normal dan aktivitas ACE mengindikasikan pentingnya bradikinin dan mungkin

produksi ACE di jaringan sebagai penyebab meningkatnya tahanan vaskular

perifer. Obat-obat yang termasuk golongan ACE inhibitor antara lain analapril,

lisinopril, benazapril, captopril, fosinopril, ramipril.

Sebagian besar ACE inhibitor diberikan secara oral. Selain captopril dan

lisinopril, ACE inhibitor adalah prodrug dan setelah diabsorpsi secara cepat

dimetabolisme menjadi bentuk aktif diacid, misalnya enalapril diubah menjadi

enalaprilat. Metabolisme utama di hati. Ekresi sebagai obat aktif atau metabolit

aktif terutama melalui urine, beberapa seperti benzeprilat dan fosinoprilat juga

diekresi melalui saluran empedu.

Sekitar 10-20% pasien mengalami batuk yang sulit hilang pada pemberian

ACE inhibitor, pasien ini bisa menerima antagonis reseptor angiotensin II sebagai

pengganti. Hipotensi akut bisa terjadi pada onset terapi ACE inhibitor, terutama

pada pasien yang natrium dan volume airnya berkurang banyak. Efek samping

29
paling serius dari ACE inhibitor adalah netropenia dan agranulocytosis,

proteinuria, glomerulonephritis, gagal ginjal akut, dan angioedema, efek ini terjadi

pada < 1% pasien (Dipiro, 2008).

Hipotensi berlebihan dapat terjadi ketika ACE inhibitor digunakan dengan

diuretik, obat antihipertensi lain, obat-obat lain, termasuk alkohol, yang

menurunkan tekanan darah. Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien yang

menerima ACE inhibitor dengan diuretik hemat kalium atau obat lain yang dapat

menyebabkan hiperkalemia seperti ciclosporin atau indometacin (Sweetman,

2009)

2.2.3 Angiotensin II Receptor Blocker /ARB (Dipiro, 2008).

Angiotensin II dihasilkan oleh jalur renin-angiotensin (yang melibatkan

ACE) dan jalur alternatif yang menggunakan enzim lain seperti chymase. ACE

inhibitor hanya menghambat jalur renin-angiotensin, sedangkan angiotensin II

receptor blocker secara langsung menghambat reseptor AT1 angiotensin yang

memediasi efek angiotensin II (vasokonstriksi, pelepasan aldosterone, aktivasi

saraf simpatik, konstriksi arteriol eferen glomerulus).

Tidak seperti ACE inhibitor, obat ini tidak menghambat pemecahan

bradikinin sehingga tidak menyebabkan batuk. Semua obat dalam kelas ini

mempunyai efek antihipertensi yang sama dan kurva respon-dosis yang relatif

datar. Penambahan thiazid dalam dosis kecil bisa meningkatkan efeknya. ARB

digunakan pada pasien yang membutuhkan ACE inhibitor tapi tidak bisa

mentolerirnya (terutama karena batuk) meski telah dicoba untuk mengurangi dosis

atau pemberian ACE inhibitor alternatif.

30
2.2.4 Antagonis Kalsium.

Antagonis saluran kalsium menyebabkan relaksasi otot jantung dan otot

polos dengan memblokade saluran kalsium yang sensitif, sehingga mengurangi

masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Relaksasi otot polos vaskular

menyebabkan vasodilatasi dan reduksi pada tekanan darah.

Nipedipin dan obat dihidropiridin (amlodipin, felodipin, isradipin,

nikardipin, nifedipin dll) bersifat lebih selektif sebagai vasodilator dan memiliki

efek depresi jantung yang lebih lemah dibandingkan verapamil dan diltiazem.

Obat-obat ini terutama berkhasiat pada hipertensi dengan kadar renin rendah.

Dibandingkan golongan senyawa antihipertensi lain, antagonis kalsium sebagai

monoterapi lebih dapat mengendalikan tekanan darah pada pasien lanjut usia dan

ras Afro-Amerika, yaitu kelompok penduduk dengan prevalensi keadaan renin

rendah yang lebih banyak (Dipiro, 2008).

Khasiat antagonis kalsium ditingkatkan dengan penggunaan bersamaan

dengan ACE inhibitor, metildopa atau antagonis reseptor ß-adrenergik. Jika

antagonis reseptor ß-adrenergik digunakan secara bersamaan, antagonis kalsium

yang lebih dipilih adalah amlodipin, isradipin, nikardipin. Diuretik juga dapat

meningkatkan khasiat antagonis kalsium.

Antagonis kalsium tidak boleh digunakan pada pasien dengan

abnormalitas nodus SA atau AV atau pada pasien gagal jantung kongestif yang

nyata. Namun obat-obat ini biasanya aman pada pasien hipertensi yang disertai

asma, hiperlipidemia, diabetes melitus, dan disfungsi ginjal. Berbeda dengan

antagonis reseptor ß-adrenergik, Antagonis kalsium tidak mengubah toleransi

31
kerja fisik, obat ini juga tidak mengubah konsentrasi lipid, asam urat, atau

elektrolit dalam plasma (Goodman dan Gillman, 2007).

2.2.5 Antagonis β-adrenergik / Beta blockers

Beta blockers adalah antagonis kompetitif katekolamin pada reseptor beta

adrenergik dalam berbagai jaringan. Meskipun beta blockers memiliki sifat umum

yang mirip tetapi ada perbedaan pada afinitas terhadap subtipe reseptor beta1 dan

beta2, aktivitas simpatomimetik intrinsik, aktivitas menstabilkan membran,

blokade reseptor alfa adrenergik, dan sifat farmakokinetik termasuk perbedaan

dalam kelarutan lemak. Perbedaan-perbedaan ini dapat mempengaruhi pemilihan

obat pada keadaan-keadaan khusus (Dipiro, 2008).

Mekanisme hipotensi dari beta blocker mempengaruhi pengaturan

sirkulasi melalui sejumlah cara, termasuk penurunan daya kontraktilitas

miokardial dan curah jantung. Konsekuensi penting karena pemblokan reseptor β-

adrenergik adalah berkurangnya sekresi renin yang menyebabkan turunnya kadar

angiotensin II. Kuatnya bukti yang mendukung konsep bahwa penurunan

angiotensin II, dengan efek-efeknya terhadap pengendalian sirkulasi dan terhadap

aldosteron, sangat berperan terhadap kerja antihipertensi golongan obat ini,

selaras dengan efeknya pada jantung. Efek bloker β-adrenergik tampaknya tidak

bergantung pada renin, terutama pada dosis tinggi. Sejumlah mekanisme telah

dipostulasikan untuk menjelaskan penurunan tekanan darah yang tak tergantung

renin, termasuk perubahan sensitivitas baroreseptor, perubahan fungsi neuron

adrenergik perifer, dan peningkatan biosintesis prostasiklin (Dipiro, 2008).

Antagonis reseptor β-adrenergik merupakan terapi yang efektif untuk

semua tingkatan hipertensi. Meskipun ada perbedaan yang nyata pada sifat

32
farmakokinetiknya, efek antihipertensi semua beta bloker memiliki durasi yang

cukup untuk memungkinkan pemberian dua kali sehari. Populasi yang sedikit

merespons antihipertensi terhadap senyawa beta bloker antara lain para lanjut usia

dan ras afro-amerika, tetapi beberapa individu dalam kelompok ini dapat memiliki

respons yang sangat baik. Beta bloker biasanya tidak menyebabkan retensi garam

dan air, dan tidak diperlukan pemberian diuretik untuk menghindari edema atau

munculnya toleransi.Namun diuretik memang memiliki efek antihipertensi aditif

jika dikombinasikan dengan beta bloker (Dipiro, 2008).

Bisoprolol, metoprolol, atenolol dan asebutolol adalah kardioselektif pada

dosis rendah dan mengikat lebih kuat pada reseptor ß1 daripada reseptor ß2.

Sebagai hasil,agen-agen ini lebih jarang menyebabkan bronkospasma dan

vasokonstriksi dan bisa lebih aman dari beta blocker non selektif pada pasien

dengan asma, chronic obstructive pulmonary disease (COPD), diabetes, dan

penyakit vaskular perifer (Sweetman, 2009).

2.3. ASPEK KIMIA OBAT

2.3.1 Monografi (Depkes RI, 1995)

 Hidroklortiazid

Rumus bangun :

Pemerian : Serbuk hablur, putih atau praktis putih; praktis tidak berbau

Kelarutan: Sukar larutdalam air; mudah larut dalam natrium hidroksida, dalam n-

butilamina, dan dalam dimetilformamida; agak sukar larut dalam

33
metanol; tidak larut dalam eter,dalam kloroform dan dalam asam

mineral encer.

2.3.2 Identifikasi (Depkes RI, 1995).

Identifikasi hidroklortiazid dilakukan sebagai berikut :

A. Spektrum serapan inframerah zat yang telah didispersikan dalam kalium

bromida P, menggunakan campuran hidroklorotiazida-kalium bromida yang telah

dipanaskan pada suhu 105o selama 2 jam, menunjukkan maksimum hanya pada

panjang yang sama seperti pada Hidroklorotiazida BPFI.

B. Spektrum serapan ultraviolet larutan (1 dalam 100.000) dalam metanol P

menunjukkan maksimum dan minimum pada panjang gelombang yang sama

seperti pada Hidroklorotiazida BPFI.

2.3.3 Penetapan Kadar (Depkes RI, 1995).

Lakukan penetapan dengan cara kromatografi cair kinerja tinggi seperti

yang tertera pada Kromatografi <931>.

Fase gerak. Buat campuran natrium fosfat monobase 0,1 M asetonitril P (9:1),

atur pH hingga 3,0 ± 0,1 dengan asam fosfat P, saring dan awaudarakan.Jika perlu

lakukan penyesuaian menurut kesesuaian sistem seperti yang tertera pada

Kromatografi <931>.

Larutan kesesuaian sistem.Timbang seksama sejumlah Hidroklorotiazida BPFI

dan klorotiazida, larutkan dalam fase gerak hingga kadar masing-masing lebih

kurang 0,15 mg per ml.

Larutan Baku. Timbang seksama sejumlah Hidroklorotiazida BPFI, larutkan

dalam fase gerak hingga kadar lebih kurang 0,15 mg per ml.

34
Larutan uji. Timbang seksama lebih kurang 30 mg, masukkan ke dalam labu

tentukur 200 ml, larutkan dalam sejumlah kecil asetonitril P, tidak lebih 10% dari

volume total larutan, encerkan dengan fase gerak sampai tanda.

Sistem kromatografi. Lakukan seperti yang tertera pada kromatografi < 931>.

Kromatografi cair kinerja tinggi dilengkapi dengan detektor 254 nm dan kolom

4,6 mm x 25 cm berisi bahan pengisi L1. Laju aliran lebih kurang 2,0 ml per

menit. Lakukan kromatografi terhadap Larutan kesesuaian sistem, dan rekam

respons puncak seperti yang tertera pada Prosedur; simpangan baku relatif tidak

lebih dari 1,5%; waktu retensi relatif klortiazida dan hidroklortiazida berturut-

turut adalah 0,8 dan 1,0. Resolusi, R, antara klorotiazida dan hidroklortiazida

tidak kurang dari 2,0.

Prosedur. Suntikkan secara terpisah sejumlah volume sama (lebih kurang 20 μl)

Larutan baku dan Larutan uji ke dalam kromatograf, ukur respons puncak utama.

Hitung jumlah dalam mg, C7H8ClN3O4S2, dengan rumus: 200 C ( γu/ γs )

C adalah kadar hidroklorotiazida BPFI dalam mg per ml Larutan baku; γu dan γs

berturut-turut adalah respons puncak larutan uji dan larutan baku.

2.3.4 Isolasi (Lednicer, 2007).

Pembuatan hidroklortiazid dimulai dari 3-kloranilin, yang melalui

pemanasan dengan asam klorsulfonat, tanpa melindungi gugus amino, kemudian

diikuti reaksi dengan amonia akan menjadi kloraminofenamid. Dari senyawa ini

melalui kondensasi dengan larutan paraformaldehida atau larutan formaldehida

akan diperoleh hidroklortiazid.

35
2.4 Aspek Farmasetika

Secara farmasetika obat antihipertensi dibuat dalam berbagai bentuk

sediaan, diantaranya adalah :

2.4.1 Bentuk Tablet (Syamsuni, 2006).

Tablet menurut FI edisi IV adalah sediaan padat mengandung bahan obat

dengan atau tanpa bahan pengisi.Tablet adalah bentuk sediaan farmasi yang paling

banyak dibuat atau diproduksi karena memiliki banyak kelebihan dibandingkan

dari bentuk sediaan lainnya, diantaranya :

 Takaran obat cukup teliti dan serba sama untuk setiap tablet

 Pembebasan obat dapat diatur sesuai dengan efek terapi yang diinginkan

 Rasa dan bau yang tidak menyenangkan dapat ditutupi dengan penyalutan

 Bahan obat yang dapat rusak oleh cairan atau enzim dalam saluran pencernaan

dapat diatasi dengan penyalutan.

 Bentuk tablet dapat menjamin kestabilan sifat fisik dan kimia bahan obat,

karena tablet merupakan sediaan kering.

 Mudah dalam pengemasan, pengepakan, transportasi dan penggunaannya.

 Biaya produksi relatif murah dibandingkan dengan bentuk sediaan lain.

Contoh obat hipertensi bentuk tablet : Captopril tablet, hidroklortiazide tablet,

reserpin tablet, amlodipin tablet, nifedipin tablet dll.

36
2.4.2 Bentuk Injeksi (Syamsuni, 2006).

Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk

yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan,

yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit

atau selaput lendir. Contoh obat antihipertensi dalam bentuk injeksi : furosemide

injeksi.

37
BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Disain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pengambilan data

secara retrospektif.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan (Maret – Mei 2014) di Instalasi

Rekam Medik RSUP Dr.M.Djamil Padang.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan

Tabel 3. Jadwal Penelitian

Kegiatan Bulan I Bulan II Bulan III


Persiapan
Pengumpulan Data
Analisa Data
Penulisan Hasil

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

38
Subyek dalam penelitian ini adalah seluruh pasien geriatri yang menderita

hipertensi di Instalasi Rawat Jalan dan Instalasi Rawat Inap RSUD Dr.M.Djamil

Padang periode 1 Januari – 31 Desember 2013.

3.3.2 Sampel

A. Tekhnik pengambilan sampel

Tekhnik pengambilan sampel dengan menggunakan metode sensus.

B. Ukuran Sampel

Semua anggota populasi yang memenuhi kriteria inklusi menjadi sampel.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1 Kriteria Inklusi

1. Pasien geriatri yang menderita hipertensi esensial dengan atau tanpa

faktor penyulit di Instalasi Rawat Jalan dan Instalasi Rawat Inap RSUP

Dr.M.Djamil Padang periode 1 Januari 2013 – 31 Desember 2013

dengan data rekam medik yang lengkap. Data rekam medik yang

lengkap yaitu memuat informasi seperti No.RM, nama pasien, jenis

kelamin, umur, riwayat penyakit, diagnosa, tekanan darah, pemakaian

obat antihipertensi..

2. Laki-laki atau perempuan dengan usia > 60 tahun.

3.4.2 Kriteria Eksklusi

1. Pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap (tidak memuat

informasi dasar yang dibutuhkan dalam penelitian).

2. Laki-laki atau perempuan dengan usia < 60 tahun.

39
3.5 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan penelitian berupa rekam medik pasien geriatri di instalasi rawat

jalan dan instalasi rawat inap RSUP Dr. M. Djamil Padang selama tahun 2013.

Alat dalam penelitian ini berupa lembar pengumpul data untuk mencatat

data rekam medik pasien.

3.6 Prosedur Penelitian

1. Meminta izin dan surat rekomendasi dari STIFI Yayasan Perintis Padang

untuk melaksanakan penelitian di RSUP Dr.M.Djamil Padang.

2. Menyerahkan surat rekomendasi kepada bagian pendidikan dan penelitian

(Diklit) RSUP Dr.M.Djamil Padang untuk mendapatkan izin melakukan

penelitian.

3. Menyerahkan surat izin pengambilan data ke bagian rekam medis RSUP

Dr.M.Djamil Padang.

4. Melaksanakan pengumpulan data di bagian rekam medis RSUP

Dr.M.Djamil Padang.

5. Analisa data dan menyajikan dalam bentuk tabel dan diagram persentase.

3.7 Penyajian Data

Data yang diperoleh disajikan secara apa adanya dan tidak akan dianalisa

apakah ada hubungan sebab akibat antara variabel. Data yang diperoleh berupa :

3.7.1 Data Kuantitatif

40
Data disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel atau diagram. Data

yang diperoleh antara lain :

a. Jumlah dan persentase geriatri yang menderita hipertensi esensial dengan dan

tanpa faktor penyulit.

b. Jumlah dan persentase pasien yang diberikan obat antihipertensi berdasarkan

golongan obat antihipertensi.

c. Jumlah dan persentase pasien yang diberikan obat antihipertensi berdasarkan

jenis obat dari masing-masing golongan obat antihipertensi.

d. Jumlah dan persentase pasien yang diberikan antihipertensi tunggal dan

kombinasi.

3.7.2 Data Kualitatif

Data kualitatif adalah data yang diperoleh dari ketepatan dalam pemilihan

obat ditinjau dari tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, dan kesesuaian dengan

range dosis terapi berdasarkan JNC VII, Konsensus penatalaksanaan hipertensi

pada keadaan khusus: Hipertensi pada usia lanjut (Perhimpunan Hipertensi

Indonesia, 2009), Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Seventh

Edition (Dipiro, 2008).

3.8 Defenisi Operasional

 Tepat indikasi : ketepatan penggunaan antihipertensi atas dasar diagnosa

yang ditegakkan dokter sesuai dengan diagnosa yang tercantum di rekam

medik yang memiliki tekanan darah ≥ 140/90 mmHg,atau pada pasien yang

memiliki riwayat penyakit hipertensi sebelumnya.

 Tepat Pasien : obat yang diberikan tidak kontra indikasi dengan kondisi pasien

atau riwayat penyakit pasien.

41
 Tepat Obat : Ketepatan pemilihan kelas terapi dan jenis obat berdasarkan

diagnosa yang telah ditetapkan dan hasil pemeriksaan tekanan darah.

Selanjutnya untuk penentuan terapi obat yang akan diberikan disesuaikan

dengan standar JNC VII, PHI (2009), Dipiro (2008).

 Kesesuaian dengan range dosis :.Kesesuaian range dosis obat antihipertensi

disesuaikan dengan standar JNC VII . Dosis yang sesuai juga dilihat dari

keadaan fungsi ginjal pasien berdasarkan perhitungan klirens kreatinin.

 Hipertensi : Peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau

peningkatan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg.

 Hipertensi esensial : Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya.

 Pasien geriatri dengan hipertensi esensial : Pasien dengan usia > 60

tahun yang memiliki klasifikasi diagnosa utama atau diagnosa sekunder

berdasarkan ICD 10 dengan kode diagnosa I10.

3.9 Kerangka Penelitian

Izin Penelitian

42
Pengambilan Sampel

Rekam Medik Pasien

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Pemilihan Sampel

Sampel

Lembar Pengumpul Data

Analisa Data

Data Kuantitatif Data Kualitatif

Data jumlah dan persentase obat Data ketepatan pemilihan obat


antihipertensi yang digunakan antihipertensi yang digunakan

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

43
4.1 Hasil Analisa Kuantitatif

Berdasarkan data rekam medis di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 1

Januari 2013 – 31 Desember 2013 diperoleh data seluruh pasien hipertensi

esensial di instalasi rawat jalan adalah 214 pasien dan di instalasi rawat inap

adalah 215 pasien. Pasien yang termasuk populasi geriatri di instalasi rawat jalan

sebanyak 59 pasien dan yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 43 pasien,

sedangkan di instalasi rawat inap yang termasuk populasi geriatri sebanyak 64

pasien dan yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 34 pasien.

Tabel 4. Distribusi pasien geriatri dengan hipertensi esensial di instalasi rawat


jalan dan instalasi rawat inap RSUP Dr.M. Djamil Padang tahun 2013.

Instalasi Rawat Jalan Instalasi Rawat Inap


SMF Jumlah Pasien SMF Jumlah Pasien
Penyakit Dalam 32 Penyakit Dalam 29
Syaraf 8 Syaraf 2
Paru-paru 3 Paru-paru 2
Kardiologi 1
Total 43 Total 34

Hipertensi merupakan faktor resiko morbiditas dan mortalitas untuk orang

lanjut usia. Hipertensi masih merupakan faktor resiko utama untuk stroke, gagal

jantung dan penyakit koroner, dimana peranannya diperkirakan lebih besar

dibandingkan pada orang yang lebih muda (Kaplan, 2006). Kondisi klinis pasien

lanjut usia yang berobat di rumah sakit sangat beragam sehingga diperlukan

ketepatan dalam pemilihan dan penggunaan obat antihipertensi agar tujuan terapi

dapat tercapai.

Pada penelitian ketepatan pemilihan obat antihipertensi pada pasien

geriatri dengan hipertensi esensial di instalasi rawat inap dan instalasi rawat jalan

44
RSUP DR.M.Djamil Padang ini, analisa kuantitatif berdasarkan jumlah dan

persentase pasien geratri dengan hipertensi esensial berdasarkan faktor penyulit,

persentase penggunaan obat antihipertensi berdasarkan golongan dan jenis obat,

persentase penggunaan obat antihipertensi tunggal dan kombinasi, persentase

golongan obat antihipertensi pada kelompok terapi tunggal dan kelompok terapi

kombinasi.

a. Jumlah dan persentase pasien geriatri dengan hipertensi esensial dengan atau

tanpa faktor penyulit

Tabel 5. Jumlah dan persentase pasien geriatri dengan hipertensi esensial dengan
atau tanpa faktor penyulit.

No. Faktor Penyulit Pasien Rawat Inap Pasien Rawat Jalan


Jumlah Persentase Jumlah Persentase
1 Tanpa Faktor Penyulit 18 48,65% 30 69,77 %
2 Diabetes Melitus 3 8,82 % 1 2,32 %
3 Penyakit ginjal kronis 1 2,94 % 0 0%
4 Gagal Jantung 4 11,76 % 4 9,3 %
5 Pencegahan stroke 4 11,76 % 4 9,3 %
berulang
6 Resiko tinggi penyakit 1 2,94 % 0 0%
jantung koroner
7 Diabetes Melitus + 2 5,88 % 2 4,65 %
Penyakit ginjal kronis
8 Gagal jantung + 1 2,94% 1 2,32 %
Diabetes melitus
9 Gagal jantung + 0 0% 1 2,32 %
Diabetes melitus +
Pencegahan stroke
berulang
Total 34 100% 43 100%

45
Gambar 2. Grafik klasifikasi pasien berdasarkan diagnosa dengan atau tanpa
faktor penyulit.

Dari tabel 5 menunjukkan bahwa kasus hipertensi tanpa faktor penyulit

lebih banyak terjadi dibandingkan dengan kasus hipertensi dengan faktor penyulit.

Hasil analisa jumlah dan persentase pasien geriatri dengan hipertensi esensial tanpa

faktor penyulit yang dirawat inap adalah 18 orang (48,65%) dan pasien dengan faktor

penyulit adalah 16 orang (51,35%). Sedangkan pasien geriatri dengan hipertensi esensial

tanpa faktor penyulit di rawat jalan adalah 30 orang (69,77%) dan pasien dengan faktor

penyulit adalah 13 orang (30,23%). JNC VII mengidentifikasi 6 faktor penyulit pada

hipertensi yaitu gagal jantung, post infark miokard, resiko tinggi penyakit jantung

koroner, diabetes melitus, gagal ginjal kronik dan pencegahan stroke berulang. Faktor

penyulit adalah kondisi komorbid tertentu dimana penggunaan golongan tertentu obat

antihipertensi berdasarkan bukti dari uji klinis lebih menguntungkan untuk mengobati

baik faktor penyulit maupun hipertensinya. Dari hasil penelitian, faktor penyulit yang

paling banyak terjadi adalah gagal jantung dan pencegahan stroke berulang. Gagal

jantung atau dikenal juga sebagai Congestive Heart Failure (CHF) adalah kondisi jantung

yang tidak mampu mempertahankan aliran darah yang mencukupi kebutuhan perfusi

jaringan dan kebutuhan metabolisme. Stroke adalah salah satu kerusakan organ target

yang disebabkan oleh hipertensi. Pencapaian target tekanan darah pada pasien yang telah

mengalami stroke dianggap modal utama untuk mengurangi resiko stroke kedua

(Chobanian et al.,2003).

46
b. Jumlah dan persentase penggunaan obat antihipertensi berdasarkan

golongan dan jenis obat antihipertensi.

Tabel 6. Jumlah dan persentase penggunaan obat antihipertensi berdasarkan


golongan dan jenis obat antihipertensi di IRNA RSUP Dr. M.Djamil
Padang tahun 2013

NNo. Golongan obat Jenis Obat Jumlah Persentase Persentase


antihipertensi Jenis Obat Golongan
Obat
1 Diuretik HCT 6 9,09 % 25,75 %
Furosemide 11 16,66 %
2 ACE Inhibitor Captopril 4 6,06 % 15,16 %
Lisinopril 3 4,55 %
Ramipril 3 4,55 %
3 Ca Chanel Blocker Amlodipin 22 33,33 % 33,33 %
4 Reseptor Candesartan 14 21,21 % 21,21 %
Angiotensin II
Blocker (ARB)
5 Beta Blocker Bisoprolol 3 4,55 % 4,55 %
Total 66 100% 100 %

Dari tabel 6 dapat dilihat golongan obat yang paling banyak digunakan

adalah golongan Calcium Chanel Blocker (33,33 %), diikuti oleh golongan

diuretik (25,75 %), dan golongan Reseptor Angiotensin II Blocker (21,21 %).

Berdasarkan jenis obat, diperoleh hasil bahwa Amlodipin merupakan obat

antihipertensi yang terbanyak digunakan (33,33%), diikuti Candesartan (21,21%)

dan Furosemide (16,66%).

Pada pasien geriatri rawat jalan, golongan obat antihipertensi yang

terbanyak digunakan adalah Calcium Chanel Blocker (35,71%), diikuti oleh

golongan ACE inhibitor(24,48 %) dan Reseptor Angiotensin II Blocker(16,32 %).

Berdasarkan jenis obat, diperoleh hasil bahwa Amlodipin merupakan obat

antihipertensi yang terbanyak digunakan yaitu 35,71 %, diikuti oleh Candesartan

(16,32 %) dan HCT (11,22 %).

47
Tabel 7. Jumlah dan persentase golongan dan jenis obat antihipertensi yang
digunakan pasien geriatri dengan hipertensi esensial di IRJA RSUP Dr.
M.Djamil Padang tahun 2013

NNo. Golongan obat Jenis Obat Jumlah Persentase Persentase


antihipertensi Jenis Obat Golongan
Obat
1 Diuretik HCT 11 11,22 % 16,32 %
Furosemide 4 4,08 %
Spironolakton 1 1,02 %

2 ACE Inhibitor Captopril 8 8,16 % 24,48 %


Lisinopril 7 7,14 %
Ramipril 9 9,18 %
3 Calsium Chanel Amlodipin 35 35,71 % 35,71 %
Blocker
4 Reseptor Candesartan 16 16,32 % 16,32 %
Angiotensin II
Blocker (ARB) Valsartan 4 4,08% 4,08%
5 Beta Blocker Bisoprolol 3 3,06 % 3,06 %
Total 98 100 % 100 %

Hasil analisa persentase penggunaan obat antihipertensi berdasarkan golongan

dan jenis obat yang digunakan pasien geriatri dengan hipertensi esensial di instalasi rawat

inap dan rawat jalan, obat antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah amlodipin

(Calsium Chanel Blocker) dan Candesartan (Angiotensin II Reseptor Blocker). CCB

menghambat kalsium dari sistem pembuluh darah arteri masuk ke dalam sel sehingga

menyebabkan dilatasi arteri koroner dan juga arteri perifer. Amlodipin merupakan

kelompok CCB dihidropiridin yang efektif untuk pengobatan hipertensi pada lanjut usia.

Golongan ARB mengurangi berlanjutnya kerusakan organ target jangka panjang pada

hipertensi dan faktor penyulit lainnya. ARB tidak mempengaruhi bradikinin sehingga

tidak menyebabkan batuk kering seperti golongan ACEI (Depkes, 2006).

48
c. Jumlah dan persentase penggunaan obat antihipertensi tunggal dan kombinasi

Tabel 8. Jumlah dan persentase obat antihipertensi tunggal dan kombinasi


yangdigunakan pada pasien geriatri di IRNA RSUP Dr.M.Djamil
Padang tahun 2013

No Terapi Obat Jumlah Persentase


1 Monoterapi 20 36,36 %
2 Multiple terapi 31 56,36 %
( 2 Kombinasi )
3 Multiple terapi 4 7,27 %
( 3 Kombinasi)
Total 55 100 %

Tabel 9. Golongan obat antihipertensi pada kelompok monoterapi yang


digunakan pasien geriatri dengan hipertensi esensial di IRNA RSUP
Dr.M.Djamil Padang tahun 2013

No. Golongan Obat Jumlah Persentase


1 Diuretik 5 25 %
2 Ca Chanel Blocker 10 50 %
3 Reseptor Angiotensin 2 10 %
II Blocker
4 ACE Inhibitor 3 15 %
Total 20 100 %

Tabel 10. Golongan obat antihipertensi pada kelompok terapi kombinasi yang
digunakan pasien geriatri dengan hipertensi esensial di IRNA RSUP
Dr. M. Djamil tahun 2013

Golongan Obat Jumlah Persentase


No
1 Diuretik + ARB 8 22,86 %
2 Diuretik + ACEI 7 20 %
3 Diuretik + BB 2 5,71 %
4 ARB + CCB 10 28,57 %
5 CCB + ACEI 3 8,57 %
6 Diuretik + CCB 1 2,86 %
7 ACEI + BB + Diuretik 1 2,86 %
8 Diuretik + ARB + CCB 2 5,71 %
9 Diuretik tiazid +ACEI+Loop diuretik 1 2,86 %
Total 35 100 %

49
Dari tabel 8, 9, 10 terlihat bahwa sebanyak 20 pasien geriatri rawat inap

menerima terapi tunggal dan 35 pasien menerima terapi kombinasi. Pada

kelompok terapi tunggal, golongan antihipertensi terbanyak digunakan adalah

golongan Calsium Chanel Blocker (50 %) dan diuretik (25 %). Pada kelompok

terapi kombinasi, golongan antihipertensi yang sering digunakan yaitu kombinasi

golongan ARB dan CCB (28,57 %) dan golongan diuretik dan ARB (22,86%).

Tabel 11. Jumlah dan persentase obat antihipertensi tunggal dan kombinasi yang
digunakan pada pasien geriatri dengan hipertensi esensial di IRJA
RSUP Dr.M.Djamil Padang

No Terapi Obat Jumlah Persentase


1 Monoterapi 19 30,65 %
2 Multiple terapi 37 59,68 %
( 2 Kombinasi )
3 Multiple terapi 5 8,06 %
( 3 Kombinasi)
4 Multiple terapi 1 1,61 %
( 4 Kombinasi)
Total 62 100 %

Tabel 12. Golongan obat antihipertensi pada kelompok monoterapi yang


digunakan pasien geriatri dengan hipertensi esensial di IRJA RSUP
Dr. M. Djamil tahun 2013

No. Golongan Obat Jumlah Persentase


1 Diuretik 3 15,78 %
2 Ca Chanel Blocker 7 36,84 %
3 Reseptor Angiotensin 3 15,78 %
II Blocker
4 ACE Inhibitor 5 26,32 %
5 Beta Blocker 1 5,27 %
Total 19 100 %

50
Tabel 13. Golongan obat antihipertensi pada kelompok terapi kombinasi yang
digunakan pasien geriatri dengan hipertensi esensial di IRJA RSUP
Dr. M. Djamil tahun 2013

No Golongan Obat Jumlah Persentase


11 1 Diuretik + ARB 2 4,65 %
2 Diuretik + ACEI 2 4,65 %
3 Diuretik + CCB 6 13,95 %
4 ARB + CCB 14 32,56 %
5 CCB + ACEI 9 20,93 %
6 CCB + BB 2 4,65 %
7 ACEI+ BB 2 4,65 %
8 ACEI + ARB + Diuretik 1 2,33 %
9 Diuretik + ARB + CCB 1 2,33 %
10 Diuretik tiazid +ACEI+Loop diuretik 1 2,33 %
11 Diuretik+ACEI+CCB 1 2,33 %
12 Diuretik tiazid +CCB+Loop diuretik 1 2,33 %
13 Diuretik tiazid +CCB+Loop diuretik+ACEI 1 2,33 %
Jumlah 43 100 %

Dari hasil penelitian terlihat sebanyak 19 pasien geriatri rawat jalan

menerima terapi tunggal dan 43 pasien menerima terapi kombinasi obat

antihipertensi. Pada kelompok terapi tunggal, golongan antihipertensi yang paling

sering digunakan adalah Calsium Chanel Blocker (36,84 %) dan golongan ACE

inhibitor (26,32%). Pada kelompok terapi kombinasi, golongan obat antihipertensi

yang sering digunakan yaitu kombinasi golongan ARB dan CCB (32,56 %) dan

kombinasi golongan CCB dan ACEI (20,93 %).

Hasil analisa persentase penggunaan antihipertensi tunggal dan kombinasi

diperoleh hasil bahwa golongan CCB yang paling sering digunakan. Pada kelompok

terapi kombinasi, golongan antihipertensi yang sering digunakan yaitu kombinasi ARB

dan CCB. Kebanyakan pasien dengan hipertensi memerlukan dua atau lebih obat

antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Penambahan obat

kedua dari kelas yang berbeda dimulai apabila pemakaian obat tunggal dengan dosis

lazim gagal mencapai target tekanan darah (Chobanian et al., 2003). Pilihan terapi diatas

51
sesuai dengan guideline NICE/BHS, 2006 untuk pengobatan hipertensi pada lanjut usia

yaitu pada tahap pertama diberikan terapi tunggal golongan CCB atau diuretik, jika tidak

tercapai target tekanan darah, untuk tahap kedua, obat semula (tahap pertama)

ditambahkan ACEI atau ARB (PHI, 2009).

4.2 Hasil Analisa Kualitatif

Analisa ketepatan pemilihan obat antihipertensi pada pasien geriatri dengan

hipertensi esensial di IRNA dan IRJA RSUP Dr.M.Djamil Padang dilakukan dengan

membandingkan penggunaan obat di rumah sakit dengan Standar JNC VII, Perhimpunan

Hipertensi Indonesia (2009), literatur terkait dan disesuaikan dengan Formularium yang

berlaku di Rumah Sakit.

a. Tepat indikasi

Tabel 14. Persentase hasil evaluasi ketepatan indikasi pada pasien geriatri
dengan hipertensi esensial di IRNA RSUP Dr.M.Djamil Padang
tahun 2013.

No KRITERIA JENIS DATA PERSENTASE


1 Tepat Indikasi Tepat 94,12 %
2 Tidak Tepat 5,88 %
Total 100 %

Tabel 15. Persentase hasil evaluasi ketepatan indikasi pada pasien geriatri
dengan hipertensi esensial di IRJA RSUP Dr.M.Djamil Padang tahun
2013.

No KRITERIA JENIS DATA PERSENTASE


1 Tepat Indikasi Tepat 100 %
2 Tidak Tepat 0%
Total 100 %

Pada tabel 14 menunjukkan penggunaan obat antihipertensi pada pasien

geriatri dengan hipertensi esensial di IRNA RSUP Dr.M.Djamil padang

berdasarkan kriteria tepat indikasi adalah 94,12 % , sedangkan yang tidak tepat

indikasi adalah 5,88 %.

52
Pada tabel 15 menunjukkan penggunaan obat antihipertensi pada pasien

geriatri dengan hipertensi esensial di IRJA RSUP Dr.M.Djamil Padang

berdasarkan kriteria tepat indikasi adalah 100 %, sedangkan yang tidak tepat

indikasi adalah 0 %.

Tepat indikasi adalah ketepatan penggunaan antihipertensi atas dasar diagnosa

yang ditegakkan dokter sesuai dengan diagnosa yang tercantum di rekam medik yang

memiliki tekanan darah ≥ 140/90 mmHg,atau pada pasien yang memiliki riwayat

penyakit hipertensi sebelumnya. Penggunaan obat antihipertensi tidak tepat indikasi

terjadi pada pasien rawat inap no.13 dan no. 22, kedua pasien tersebut memiliki indikasi

hipertensi tetapi tidak menerima terapi obat antihipertensi.

b. Tepat Pasien

Tabel 16. Persentase hasil evaluasi ketepatan pasien pada pasien geriatri dengan
hipertensi esensial di IRNA RSUP Dr.M.Djamil Padang tahun 2013.

No KRITERIA JENIS DATA PERSENTASE


1 Tepat Pasien Tepat 91,67 %
2 Tidak Tepat 8,33%
Total 100 %

Tabel 17. Persentase hasil evaluasi ketepatan pasien pada pasien geriatri dengan
hipertensi esensial di IRJA RSUP Dr.M.Djamil Padang tahun 2013.

No KRITERIA JENIS DATA PERSENTASE


1 Tepat Pasien Tepat 100 %
2 Tidak Tepat 0%
Total 100 %

Analisa kualitatif tentang penggunaan obat antihipertensi pada pasien geriatri

dengan esensial dengan kriteria tepat pasien pada instalasi rawat inap diperoleh data

tepat pasien sebanyak 91,67 % dan tidak tepat pasien 8,33%. Sedangkan pada pasien

geriatri dengan hipertensi esensial di instalasi rawat jalan diperoleh data tepat pasien

sebesar 100% dan tidak tepat pasien 0%. Pemilihan obat berdasarkan kondisi pasien

53
dapat meningkatkan efek terapi dan mencegah terjadinya efek samping yang dapat

memperparah penyakit pasien. Hasil evaluasi tepat pasien adalah obat yang diberikan

tidak kontra indikasi dengan kondisi pasien atau riwayat penyakit pasien. Penggunaan

obat antihipertensi tidak tepat pasien terjadi pada pasien rawat inap no.4,26, dan 32. Pada

pasien no.4 penggunaan HCT tidak tepat pasien karena HCT kontra indikasi untuk pasien

dengan hipokalemia yaitu kadar kalium dalam darah kurang dari 3,5 mEq/L darah. Pada

pasien no. 26 penggunaan Lasix inj (Furosemide) tidak tepat pasien karena kadar kalium

dalam darah juga dibawah nilai normal. Pada pasien no.32 tidak tepat pasien karena

menggunakan Kombinasi diuretik yaitu HCT dan Furosemide sementara pasien dalam

kondisi hipokalemia yang lebih berat yaitu kadar kaliumnya 2,2 mEq/L. Hipokalemia

yaitu bila kadar kalium kurang dari 3 mEq/L, dapat menyebabkan kelemahan otot yang

dapat diikuti dengan kelumpuhan dan kegagalan pernafasan (Suyono, 2001).

c. Tepat Obat

Tabel 18. Persentase hasil evaluasi ketepatan pemilihan obat pada pasien geriatri
dengan hipertensi esensial di IRJA RSUP Dr.M.Djamil Padang tahun
2013.

No KRITERIA JENIS DATA PERSENTASE


1 Tepat Obat Tepat 92,85 %
2 Tidak Tepat 7,15 %
Total 100 %

Tabel 19. Persentase hasil evaluasi ketepatan pemilihan obat pada pasien geriatri
dengan hipertensi esensial di IRNA RSUP Dr.M.Djamil Padang tahun
2013.

No KRITERIA JENIS DATA PERSENTASE


1 Tepat Obat Tepat 88,23 %
1
2 Tidak Tepat 11,77 %
2
Total 100 %

54
Analisa kualitatif tentang penggunaan obat antihipertensi pada pasien geriatri

dengan hipertensi esensial di instalasi rawat inap diperoleh hasil tepat obat sebesar

88,23% dan tidak tepat obat sebesar 11,77%, sedangkan di instalasi rawat jalan diperoleh

data tepat obat sebesar 92,85 % dan tidak tepat obat sebesar 7,15%. Ketepatan pemilihan

obat berkaitan dengan pemilihan kelas terapi dan jenis obat berdasarkan pertimbangan

manfaat, keamanan, harga dan mutu. Sebagai acuannya digunakan standar JNC VII.

Dari hasil penelitian, ketidaktepatan pemilihan obat sebagian besar terjadi pada pasien

dengan faktor penyulit. Pada pasien geriatri dengan hipertensi esensial dengan faktor

penyulit pencegahan stroke berulang yaitu pasien no.13, no.21 dan no.34 menerima

terapi golongan CCB, hal ini tidak sesuai dengan standar JNC VII yang

merekomendasikan penggunaan Diuretik danACEI untuk faktor penyulit tersebut.

Derajat penurunan tekanan darah adalah faktor yang penting dalam pencegahan

stroke berulang. Dalam suatu penelitian klinis menunjukkan bahwa penggunaan

kombinasi golongan diuretik dan ACEI menghasilkan derajat penurunan tekanan

darah yang lebih baik dari golongan lainnya (Chobanian et al., 2003). Menurut

Pedelty (2006), obat antihipertensi golongan CCB dihidropiridin dan

nondihidropiridin efektif untuk menurunkan resiko terjadinya stroke, yang

sebaiknya dihindari adalah CCB dihidropiridin kerja singkat seperti nifedipin

karena beresiko mempercepat hipotensi. Amlodipin merupakan golongan CCB

dengan waktu paruh panjang sehingga cukup diberikan sekali sehari. Jadi

penggunaan amlodipin pada pasien tersebut termasuk pada kriteria tepat obat.

Ketidak tepatan pemilihan obat yang lain adalah pada pasien yang

memiliki 2 faktor penyulit yaitu pasien no.14 dan no.25 dengan faktor penyulit

diabetes melitus dan penyakit ginjal kronik, pasien tersebut menerima terapi CCB

dalam bentuk kombinasi. Untuk faktor penyulit penyakit ginjal kronik, golongan

55
CCB tidak direkomendasikan, yang direkomendasikan adalah golongan ACEI dan

ARB karena dua golongan obat tersebut dapat menurunkan tekanan darah dan

juga tekanan intraglomerular sehingga dapat memberikan keuntungan tambahan

dengan mengurangi penurunan fungsi ginjal lebih lanjut. Sedangkan golongan

CCB tidak direkomendasikan karena dapat mengganggu keseimbangan kalium

dalam darah karena ginjal tidak mampu secara normal memetabolisme kalium

(Goodman dan Gillman, 2007)

Ketidak tepatan pemilihan obat berikutnya adalah pada pasien dengan

faktor penyulit gagal jantung yaitu pasien no.27 dan no.33, pasien tersebut

mendapat terapi CCB, golongan CCB tidak direkomendasikan karena memiliki

efek menurunkan denyut jantung dan konduksi nodal atrioventrikular yang

cenderung untuk memperparah gagal jantung (Goodman dan Gillman, 2007).

Pada pasien hipertensi tanpa faktor penyulit, tidak tepat obat terjadi pada

pasien no.10 dan no.28 dengan kategori hipertensi stage 2 yang seharusnya

memerlukan kombinasi dua golongan obat antihipertensi tetapi hanya diberikan

satu macam obat antihipertensi.

d. Kesesuaian range dosis

Tabel 20. Persentase hasil evaluasi kesesuaian range dosis pada pasien geriatri
dengan hipertensi esensial di IRNA RSUP Dr.M.Djamil Padang tahun
2013.

No KRITERIA JENIS DATA PERSENTASE


1 Kesesuaian range Sesuai 94,28 %
2 dosis Tidak Sesuai 5,72 %
Total 100 %

56
Tabel 21. Persentase hasil evaluasi kesesuaian range dosis terapi pada pasien
geriatri dengan hipertensi esensial di IRJA RSUP Dr.M.Djamil
Padang tahun 2013.

No KRITERIA JENIS DATA PERSENTASE


1 Kesesuaian range Sesuai 100 %
2 dosis Tidak sesuai 0%
Total 100 %

Analisa kualitatif tentang penggunaan obat antihipertensi pada pasien

geriatri dengan hipertensi esensial di instalasi rawat inap dan instalasi rawat jalan

RSUP Dr. M.Djamil tentang kesesuaian range dosis terapi, untuk pasien rawat

inap diperoleh data sesuai range dosis terapi sebesar 94,28% dan tidak sesuai

sebesar 5,72%. Tepat dosis adalah dosis yang diberikan sesuai dengan kondisi pasien

dan penyakit pasien yang dapat dinilai dari respon tiap individu pasien misalnya dari

pengukuran tekanan darah, penelitan yang telah dilakukan menggunakan data

retrospektif sehingga tidak dapat menilai respon penderita terhadap obat, jadi

yang peneliti lakukan adalah membandingkan kesesuaian range dosis terapi

dengan standar dosis JNC 7. Pada pasien lanjut usia terjadi penurunan fungsi

ginjal, sehingga penyesuaian dosis perlu dilakukan karena sebagian besar obat

dieliminasi melalui ginjal.

Penentuan dosis obat yang tepat sangat berkaitan dengan laju filtrasi

glomerulus, dalam hal ini dapat dilakukan dengan mengukur klirens kreatinin.

Perhitungan klirens kreatinin dapat dilakukan berdasarkan kreatinin serum.

Kreatinin serum merupakan produk sampingan dari metabolisme otot rangka

normal. Perhitungan klirens kreatinin pada penelitian ini dengan menggunakan

formula Cockroft-Gault yaitu :

57
Klirens kreatinin (ml/menit) = (140 – usia) x Berat Badan

72 x Scr

Pada wanita : Clcr pada pria dikalikan 0,85

Penyesuaian dosis obat = Klirens kreatinin pasien X Dosis obat

Klirens kreatinin normal

Data hasil pemeriksaan kreatinin serum yang digunakan adalah data hasil

pemeriksaan kreatinin serum pada awal pasien dirawat. Rentang kreatinin serum normal

menurut standar rumah sakit adalah 0,6 – 1,2 mg/dl. Berdasarkan data dapat dilihat dosis

yang diberikan pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal tidak sama dengan

dosis lazim berdasarkan ketentuan buku standar.

Ketidaksesuaian dengan range dosis terjadi pada pasien geriatri rawat inap no.5

dan no.20, setelah dilakukan penyesuaian dosis berdasarkan klirens kreatinin diketahui

dosis yang diberikan lebih besar dari dosis untuk pasien dengan fungsi ginjal masing-

masing 11,35% dan 10,74%. Penggunaan obat yang melebihi dosis dapat memicu

terjadinya efek samping obat. Pasien no.5 mendapat terapi lasix injeksi dan candesartan,

efek samping dari furosemide antara lain ketidakseimbangan elektrolit mencakup

hiponatremia, hipokalemia dan hipokloremia, alkalosis sedangkan candesartan dapat

menimbulkan hipotensi ortostatik. Pasien no.20 mendapat terapi lisinopril dan HCT,

efek samping lisinopril antara lain neutropenia dan agranulositosis, sedangkan HCT dapat

menimbulkan hipokalemia, hiponatremia, hipomagnesia, hiperkalsemia dan

hiperurisemia (Sweetman, 2009)

Untuk pasien rawat jalan, pengobatan dikatakan sesuai range dosis apabila dosis

obat antihipertensi yang diberikan berada pada rentang dosis minimal dan dosis maksimal

58
per hari yang direkomendasikan JNC VII. Evaluasi kesesuaian range dosis

menunjukkan pada pasien rawat jalan, persentase sesuai range dosis sebesar 100 %

dan tidak sesuai range dosis sebesar 0%.

59
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan obat

antihipertensi pada pasien geriatri dengan hipertensi esensial di RSUP Dr.M.

Djamil berdasarkan analisa kualitatif yang telah dilakukan pada instalasi rawat

inap ditemukan tepat indikasi 94,12%, tepat pasien 91,67 %, tepat obat 88,23 %,

sesuai range dosis 94,28 %.

Pada pasien geriatri dengan hipertensi esensial di instalasi rawat jalan

memenuhi kriteria tepat indikasi 100%, tepat pasien 100%, tepat obat 92,85% dan

sesuai range dosis 100 % .

5.1 SARAN

Disarankan kepada Komite Farmasi dan Terapi RSUP Dr. M. Djamil

Padang untuk membuat standar terapi hipertensi khusus untuk pasien geriatri.

60
DAFTAR PUSTAKA

Bakri,S., Suhardjono,Djafar,J., 2001. Hipertensi pada Keadaan-Keadaan Khusus,


dalam Sujono,S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke 3, Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Brashers, Valentina L., 2007. Aplikasi klinis patofisiologi : Pemeriksaan &


Manajemen, Edisi 2, Jakarta: EGC.

Chobanian AV, JL Bakris, HR Black, WC Cushman, LA Green, JL Izzo Jr, DW


Jones., 2003. The 7th Report of The Joint National Comittee on
Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure.
Http://hyper.aha-journals.org/cgi/content/full/42/6/1206, diakses Januari
2013.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995. Farmakope Indonesia, Edisi
IV, Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2003. Pedoman Pembinaan


Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas Kesehatan, Jakarta: Depkes RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pharmaceutical Care untuk


Penyakit Hipertensi, Jakarta: Depkes RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pedoman Tatalaksana Gizi


Usia Lanjut untuk Tenaga Kesehatan, Jakarta: Depkes RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008. Riset Kesehatan Dasar


(RISKESDAS) 2007 dalam Laporan Nasional 2007, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey,
L.M.,2008. Pharmacotherapy: a Phatophysiologic Approach, 7th Edition,
New York: Mc Graw Hill.

Ganiswara, S.G., Editor,1995. Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, Bagian


Farmakologi, FKUI, Jakarta.

Gardner, F.S., 2007. Smart Treatment for High Blood Pressure, Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher.

Gray, H., 2005. Kardiologi Edisi IV, Jakarta: Erlangga.

Goodman dan Gilman, 2007. Dasar Farmakologi dan Terapi, Edisi 10,
Jakarta:EGC.

61
Holloway,K., Green, T., 2004. Drug and Therapeutics Committees-A Practical
Guide, Geneva: WHO.

Ikawati, Z., 2008. Kajian Keamanan Pemakaian Obat Antihipertensi di


Poliklinik Usia Lanjut Instalasi Rawat Jalan RS Dr. Sardjito, Yogyakarta.

Kaplan, 2006. Clinical Hypertension, 9th Edition, Philadelphia: Lippincot William


and Wilkins.

Katzung, B.G.,2001. Farmakologi Dasar dan Klinis, Edisi I, Jakarta: Salemba


Medika.

Kenward dan Tan, 2003. Penggunaan Obat pada Gangguan Ginjal, Dalam:
Farmasi Klinis, Ed Aslam, Jakarta.

Lamy, 1990. Nonpresciption Drugs and The Elderly. Dalam American


Pharmaceutical Associations (APHA). Handbook of Nonprescription
Drugs. 9th Ed. APHA: Washington D.C.

Lednicer, D., 2007. Organic Chemistry of Drug Synthesis, New York : Jhon
Willey & Son.

Pedelty, L., 2004. Chronic management of Blood Pressure after stroke,


Hypertension, American Heart Association.

Sastramihardja, 1997. Penggunaan Antibiotika Yang Rasional, Ikatan Dokter


Indonesia, Jakarta.

Siregar, C.J.P., 2006. Farmasi Klinik, Teori dan Penerapan,Jakarta: EGC.

Siregar, C.J.P., 2005. Farmasi Rumah Sakit: Teori dan Penerapan, Jakarta:EGC

Stitzel dan Craig, 2004. Modern Pharmacology With Clinical Applications,7th ed,
Philadelphia: Lippinkott Williams & Wlikins.

Suyono, S., 2001, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Ed III, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.

Syamsuni, 2006. Ilmu Resep, Jakarta : EGC.

Sweetman, S.C.,2009. Martindale The Complete Drug Reference, 36th Ed,


London: The Pharmaceutical Press.

Tjay, T.H., Rahardja, K., 2007. Obat-obat Penting, Edisi VI, Alex Media
Komputindo, Jakarta.

62
Lampiran 5. Hasil evaluasi tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat dan
kesesuaian dengan range dosis yang direkomendasikan
JNC 7

88
Lampiran 5. (Lanjutan)

89
Lampiran 5. (Lanjutan)

90
91

Anda mungkin juga menyukai