1. PENDAHULUAN
Sangat mungkin untuk merancang molekul yang dapat berinteraksi secara efektif dengan
targetnya, tapi tidak selalu berarti senyawa tersebut aktif secara klinis. Hal ini disebabkan,
setelah obat diberikan pada pasien obat tersebut akan melintasi tubuh berdasarkan
berbagai faktor yang dapat menghilangkan, merusak atau mencegahnya mencapai sisi
target yang diinginkan. Keempat faktor tersebut yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi. Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari keempat faktor di atas dan sering
dipandang sebagai apa yang dilakukan tubuh terhadap obat (sebaliknya farmakodinamika
dipandang sebagai apa yang dilakukan obat terhadap tubuh).
Aturan di atas disebut “the rules of five” karena menggunakan angka 5 (atau kelipatannya).
Alasan mengapa aturan di atas menjadi penting akan dibahas pada bagian selanjutnya.
Secara umum, semakin besar dan semakin polar molekul, semakin kecil kemungkinan untuk
aktif secara oral.
Untuk mencapat target spesifiknya, suatu obat yang diberikan oral harus menghadapi
berbagai rintangan. Salah satunya adalah dinding saluran cerna. Sebagian besar obat oral
diabsorpsi di saluran cerna atas dan mereka harus menembus dinding saluran cerna untuk
mencapai pembuluh darah.
Jika obat tersebut berukuran kecil atau ber-BM rendah (<200) mereka dapat “melintas”
melalui celah-celah antara sel-sel dinding saluran cerna. Tapi sebagian besar obat memiliki
>200 dan melewati dinding saluran cerna ke pembuluh darah dengan cara menembus sel-
sel dinding saluran cerna. Karena sel diselubungi oleh membran sel, berarti obat harus
mampu melintasi membran sel.
Membran sel
Membran sel terdiri dari terutama molekul yang disebut fosfolipid. Struktur fosfolipid ini
bervariasi, tapi umumnya mempunyai satu gugus “kepala” yang polar (karena ada gugus
posfat terion) dan terhubung dengan dua rantai hidrofobik panjang nonpolar. Salah satu
contohya adalah fosfatidilkolin.
Pada membran sel, molekul fosfatidilkolin terletak membentuk 2 lapisan dengan ketebalan
sekitar 80 Å. Rantai hidrofobik terpusat di tengah membran sedangkan gugus polar
diposisikan pada permukaan dalam dan luar membran, membentuk lapisan ganda posfolipid
(phospholipid bilayer).
Outer surface
Cell
Solubilitas Obat
Jika obat melewati dinding sel usus, ia harus dapat melarut di dalam pusat hidrofobik dalam
membran sel. Ini berarti obat harus larut dalam lemak. Selain itu obat juga harus larut dalam
air, agar dapat terlarut dalam saluran cerna dan darah. Dengan demikian obat harus
mempunyai karakter kelarutan dalam lemak dan dalam air yang seimbang. Obat yang terlalu
polar dan terlalu hidrofilik tidak dapat melintasi membran sel dan tidak dapat diabsorpsi.
Demikian juga obat yang tidak cukup polar akan buruk kelarutannya dalam lingkungan
berair. Hal ini juga akan menyebabkan absorpsi yang buruk karena obat akan membentuk
koagulat sebagai globul lemak di saluran cerna sehingga menyulitkan kontak dengan dinding
saluran cerna.
Namun beberapa obat polar diabsorpsi dari saluran cerna dengan bantuan carrier protein
(protein pembawa) khusus di membran sel. Obat-obat polar dengan ukuran molekul kecil
(BM < 200) dapat melintas di sela-sela sel. Beberapa obat polar dengan BM tinggi juga bisa
menembus membran dengan cara pinositosis. Kadang-kadang obat sengaja dibuat sangat
polar agar tidak terabsorpsi di saluran cerna, misalnya obat antiinfeksi saluran cerna.
Dengan demikian akan lebih banyak obat mencapai tempat infeksinya.
Lebih banyak bentuk tak terion dalam Bentuk tak terion lebih banyak di usus
lambung kecil
Sebagian besar absorpsi terjadi di Diabsorbsi dengan baik di usus kecil,
lambung, tapi bisa terjadi juga di usus terlebih didukung luas permukaan
kecil, karena permukaan absorpsi absorpsi sangat besar
sangat luas
Setelah obat diabsorpsi dan masuk ke pembuluh darah, ia akan diedarkan ke seluruh tubuh,
yaitu ke semua jaringan dan organ yang dialiri pembuluh darah. Laju dan tingkat distribusi
obat tergantung dari berbagai faktor, termasuk sifat fisikokimia dari obat itu sendiri. Tidak
berarti obat didistribusikan sama rata ke seluruh jaringan, karena beberapa jaringan
mendapat aliran darah lebih banyak dibandingkan daerah lain.
Tingkat distribusi obat ke jaringan tergantung afinitas relatif obat pada jaringan, relatif
terhadap darah/plasma. Obat dengan afinitas tinggi pada jaringan akan terdistribusi dengan
baik ke jaringan. Obat dengan afinitas lebih tinggi pada darah, distribusinya ke jaringan akan
terbatas.
Protein utama plasma adalah albumin (35-50 g/L) yang mengandung residu asam amino
lipofilik, dan kaya akan lysine. Ikatan dengan albumin meningkat sejalan dengan
peningkatan lipofilitas. Obat yang asam cenderung membentuk interaksi muatan-muatan
dengan lysine. Obat yang basa juga berinteraksi dengan asam-α1-glikoprotein (0,4-1,0 g/L).
O
H
R1 N R2
N
H
HA H+ + A-
NH3+
R-NH3
R O
Blood brain barrier (BBB) memisahkan sirkulasi darah dan cairan sererospinal. BBB tersusun
dari sel endotelial yang melapisi kapiler. Struktur antar selnya sangat rapat, sedikit sekali
pori antarsel. Selain itu kapilernya dilapisi jaringan syaraf.
Hanya obat dengan koefisien partisi tinggi yg dapat berdifusi pasif. Obat dengan kelarutan
dalam lemak sedang & rendah serta molekul terion tidak dapat atau sukar berpenetrasi. Sel
endotelial membatasi difusi objek mikroskopik (seperti bakteri) dan molekul hidrofil besar
ke dalam cairan serebrospinal, tapi memungkinkan molekul hidrofil kecil berdifusi (O2, CO2,
hormon). Sel dapat mentransport aktif produk metabolit seperti glukosa menembus barier
dengan protein spesifik.
Sedangkan Placenta Blood Barrier (PBB) merupakan membran yang memisahkan darah
fetus dari darah ibu. PBB disusun dari membran dasar Trophoblast Fetal dan Endotelium.
Ketebalan rata-rata di awal kehamilan (25 µ) yang menurun hingga (2 µ) pada akhir
kehamilan. Obat dengan BM< 1000 Daltons dan kelarutan dalam lemak sedang hingga tinggi
seperti etanol, sulfonamida, barbiturat, steroid, antikonvulsan dan beberapa antibiotik
mudah menembus barrier plasenta dengan difusi sederhana. Nutrisi penting untuk
petumbuhan janin ditransport dengan proses termediasi carrier.
4.1. PENDAHULUAN
Respon fisiologis tubuh terhadap senyawa asing tergantung pada ukurannya. Senyawa besar
(protein, virus, bakteri, dll) memicu respon imun. Senyawa kecil dapat diubah menjadi
senyawa polar oleh enzim spesifik atau via ekskresi. Proses perubahan senyawa kecil
menjadi senyawa polar ini disebut metabolism (biotransformasi). Metabolisme pertama
yang dialami xenobiotik (First-pass metabolism) terjadi di hati. Bagaimama metabolisme
yang dialami oleh xenpbiotil tergantung pada rute administrasi.
Metabolisme bertujuan untuk mengubah senyawa asing (xenobiotik) menjadi turunan larut
air yang segera dapat dieliminasi melalui rute renal. Beberapa metabolit volatil kecil (CO2,
CH3NH2, tiol, tioeter) bisa dieliminasi via paru-paru. Metabolisme xenobiotik secara umum
terjadi dalam 2 langkah : fase I dan fase II.
Klasifikasi Metabolisme:
Fase I: reaksi fungsionalisasi, di mana gugus polar baru dimasukkan atau dibentuk, melalui
reaksi oksidasi, reduksi atau hidrolisis.
Fase II: menggabungkan solubilizing moeities (asam glukoronat, asam amino atau asam
sulfat) pada obat asli (jika punya gugus polar) atau pada metabolit fase I.
Produk metabolism (metabolit) umumnya diekskresikan via urin. Metabolit fase I dan II lebih
polar dibanding obat induk, sehingga lebih mudah diekskresikan via urin (atau empedu),
Produk metabolisme umumnya (tapi tidak selalu) tidak mempunyai aktivitas farmakologi.
a. Oksidasi
Perubahan struktur yang umum terjadi pada reaksi oksidasi adalah :
Penambahan atom O
Hilangnya atom H
Hidroksilasi alifatik
Deaminasi
Reaksi oksidasi pertama kali dipelajari secara in vitro 1940 menggunakan homogenat hati
tikus. Reaksi ini membutuhkan NADP+, O2, fraksi mikrosomal dan NADPH dan melibatkan
protein heme, yang mengabsopsi cahaya visibel pada 450nm setelah reduksi dan terpapar
CO (disebut cytochrome P-450).
b. Reduksi
Perubahan struktur yang umum terjadi pada reaksi reduksi adalah hilangnya atom O dan
masuknya atom H. Reaksi metabolism reduksi meliputi : Reduksi aldehid, Azoreduksi dan
Nitroreduksi. Contoh :
C. Hidrolisis
Perubahan struktur yang khas untuk reaksi hidrolisis adalah :
Pengurangan BM (bobot molekul) menjadi BM pecahannya
Polaritas lebih tinggi
Penambahan gugus -OH, H+
Reaksi hidrolisis meliputi : Deesterifikasi dan Deamidasi.
Beberapa reaksi fase II (metilasi dan asetilasi) tidak menghasilkan metabolit polar tapi lebih
untk menghentikan aktivitas biologi. Reaksi konjugasi biasanya terjadi terhadap gugus
nukelofil pada obat, seperti alkohol, asam karboksilat, amina (termasuk amina heterosiklik)
dan tiol (-OH, -COOH, -NH2, -NR2, -SH). Jika gugus ini tidak ada pada sebuah obat, biasanya
obat tersebut mengalami reaksi fase I terlebih dulu.
Gugus pengkonjugasi merupakan molekul endogen yang mulanya diaktivasi dalam bentuk
koenzim untuk ditranfer ke obat. Enzim yang mengkatalisis reaksi ini disebut transferase.
O-glukuronidasi
Asil-glukuronidasi
N-glukuronidasi
Konjugasi sulfat
Konjugasi asetat
Obat dan metabolitnya dikeluarkan dari tubuh lewat sejumlah rute, seperti paru-paru, kulit,
empedu dan ginjal. Umumnya ekskresi via ginjal merupakan jalur ekskresi yang utama.
Obat volatil dan gas dapat diekskresikan via paru-paru. Beberapa obat keluar melintasi
kapiler paru-paru kemudian berdifusi melintasi membran sel ke kantong udara dan
diekshalasikan. Contohnya adalah anestesi gas (eter, kloroform) yang diekskresikan dengan
penurunan gradien konsentrasi dalam darah yang mengaliri paru-paru.
Empedu juga merupakan salah satu jalur ekskresi. Banyak obat diekskresikan via empedu
dalam bentuk metabolitnya (terutama konjugat glukoronida). Obat (atau metabolitnya)
yang masuk ke saluran cerna via empedu bisa diekskresikan via feses, tetapi bisa juga
direabsorpsi kembali. Proses ini disebut siklus enterohepatik. Konjugat obat (glukuronida)
dapat dihidrolisis di usus oleh bakteri, sehingga terlepas dan direabsorpsi dalam bentuk
obat induk (contoh : kloramfenikol & steroid). Proses ini disebut siklus bilier ekstensif,
sebelum akhirnya dieksresi via urin.
Selain itu 10-15% obat diekskresikan via kulit dan keringat. Obat bisa juga diekskresikan via
saliva dan ASI, tapi jumlahnya jauh lebih rendah dibanding ekskresi via ginjal. Namun tetap
harus diperhatikan, misalnya nikotin bisa diekskresikan ibu lewat ASI.
Ginjal merupakan rute utama ekskresi obat dan metabolitnya. Ginjal berfungsi sebagai filter,
bertujuan untuk membersihkan produk metabolisme dan toksin dari darah dan
mengeluarkannya melalui urin. Unit fungsional dasar ginjal adalah nefron. Darah yang
memasuki ginjal pertama kali disaring di glomerulus nefron. Urin primer yang terbentuk
oleh filtrasi ini dialirkan dari glomerulus ke tubulus dan collecting ducts kemudian
dikeluarkan via ureter.
Ekskresi urin via ginjal merupakan gabungan dari 3 proses, yaitu filtrasi glomerulus,
reabsorpsi tubular dan sekresi tubular aktif.
a. Filtrasi Glomerulus
Aliran darah ke ginjal ± 1,2-1,5L/menit. Lebih kurang 10% volume ini disaring melalui pori-
pori di glomerulus, sehingga filtrat/urin primer 180L/hari. Pori-pori membran kapiler
glomerulus cukup besar sehingga molekul kecil dan sebagian besar molekul obat bisa lewat,
tapi sel darah dan molekul besar (>60 kDa) seperti protein plasma tidak bisa lewat. Sehingga
obat yang terikat protein plasma tidak dieliminasi via giltrasi glomerulus.
b. Reabsorpsi tubular
Lebih 99% dari 180L filtrat bebas protein direabsorpsi lagi di sel tubular, hanya sekitar
1,5L/hr diekskresi sebagai urin. Solut dan obat terlarut dalam filtrat dapat direabsorpsi lagi,
sebagian besar dengan difusi pasif. Contohnya: glukosa terbawa dalam filtrat tapi
direabsorpsi kembali di tubular (dengan carrier). Obat yang sangat lipofil akan terekskresi
sangat lambat karena direabsorpsi kembali. Obat berdifusi dari cairan tubular ke plasma
berdasarkan: gradien konsentrasi, koefisien partisi, derajat ionisasi dan bobot molekul.
pH urin sekitar 4,5-7,0. Perubahan pH urin akan mempengaruhi reabsorpsi pasif dan
ekskresi obat (berdasarkan persamaan Handerson-Haselbach). Pengasaman urin akan
meningkatkan reabsorpsi asam lemah (contoh salisilat) sehingga menunda ekskresi.
Pembasaan urin akan mempercepat ekskresi asam lemah, dan sebaliknya. Contoh: untuk
mempercepat ekskresi fenobarbital (asam lemah) pada pasien keracunan barbital dapat
dilakukan dengan pemberian natrium bikarbonat. Peningkatan aliran urin dengan asupan
cairan atau co-administrasi dengan diuretik juga dapat meningkatkan ekskresi obat dengan
cara menurunkan waktu untuk reabsorpsi.
Sebagian besar darah (90%) meninggalkan glomerulus dalam bentuk tak tersaring, sehingga
sebagian besar obat akan mencapai kapiler peritubular. Di sini obat akan ditransfer ke
lumen tubular dengan sistem carrier yang relatif nonselektif sehingga mentransport molekul
melawan gradien konsentrasi.