Anda di halaman 1dari 15

BAB II

ASPEK KIMIA MEDISINAL NASIB OBAT DALAM TUBUH

1. PENDAHULUAN

Sangat mungkin untuk merancang molekul yang dapat berinteraksi secara efektif dengan
targetnya, tapi tidak selalu berarti senyawa tersebut aktif secara klinis. Hal ini disebabkan,
setelah obat diberikan pada pasien obat tersebut akan melintasi tubuh berdasarkan
berbagai faktor yang dapat menghilangkan, merusak atau mencegahnya mencapai sisi
target yang diinginkan. Keempat faktor tersebut yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi. Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari keempat faktor di atas dan sering
dipandang sebagai apa yang dilakukan tubuh terhadap obat (sebaliknya farmakodinamika
dipandang sebagai apa yang dilakukan obat terhadap tubuh).

The rules of five (Lipinski Rules)

Sangat penting untuk mempertimbangkan aspek farmakokinetika selama merancang suatu


obat. Tidak mungkin obat bisa berinteraksi dengan target bila ia tidak bisa mencapai
targetnya. Sehingga ditemukanlah aturan “the rules of five”, dimana obat yang mampu
mencapai target bila diberikan oral harus memenuhi syarat berikut:

 Berat molekul kurang dari 500


 Jumlah gugus donor ikatan hidrogen tidak lebih dari 5
 Jumlah gugus penerima ikatan hidrogen tidak lebih dari 10
 Nilai log P hitung kurang dari +5

Aturan di atas disebut “the rules of five” karena menggunakan angka 5 (atau kelipatannya).
Alasan mengapa aturan di atas menjadi penting akan dibahas pada bagian selanjutnya.
Secara umum, semakin besar dan semakin polar molekul, semakin kecil kemungkinan untuk
aktif secara oral.

Dr.RH_Kimia Medisinal_2. Aspek KiMed Nasib Obat dalam Tubuh 1


2. ASPEK KIMIA MEDISINAL DALAM ABSORPSI OBAT

Untuk mencapat target spesifiknya, suatu obat yang diberikan oral harus menghadapi
berbagai rintangan. Salah satunya adalah dinding saluran cerna. Sebagian besar obat oral
diabsorpsi di saluran cerna atas dan mereka harus menembus dinding saluran cerna untuk
mencapai pembuluh darah.

Jika obat tersebut berukuran kecil atau ber-BM rendah (<200) mereka dapat “melintas”
melalui celah-celah antara sel-sel dinding saluran cerna. Tapi sebagian besar obat memiliki
>200 dan melewati dinding saluran cerna ke pembuluh darah dengan cara menembus sel-
sel dinding saluran cerna. Karena sel diselubungi oleh membran sel, berarti obat harus
mampu melintasi membran sel.

Membran sel

Membran sel terdiri dari terutama molekul yang disebut fosfolipid. Struktur fosfolipid ini
bervariasi, tapi umumnya mempunyai satu gugus “kepala” yang polar (karena ada gugus
posfat terion) dan terhubung dengan dua rantai hidrofobik panjang nonpolar. Salah satu
contohya adalah fosfatidilkolin.

Rantai hidrofobik gugus polar

Gambar 1. Struktur Fosfatidilkolin

Pada membran sel, molekul fosfatidilkolin terletak membentuk 2 lapisan dengan ketebalan
sekitar 80 Å. Rantai hidrofobik terpusat di tengah membran sedangkan gugus polar
diposisikan pada permukaan dalam dan luar membran, membentuk lapisan ganda posfolipid
(phospholipid bilayer).

Outer surface

Cell

Gambar 2. Struktur Membran Sel

Dr.RH_Kimia Medisinal_2. Aspek KiMed Nasib Obat dalam Tubuh 2


Hal ini berarti gugus polar dapat berinteraksi dengan daerah berair di dalam dan luar sel,
sedangkan rantai hidrofobik berinteraksi satu sama lain melalui interaksi hidrofobik. Lapisan
ganda posfolipid merupakan struktur cair yang bersama-sama berbagai struktur lain¸seperti
glikoprotein, reseptor dan enzim, menyusun membran sel. Jadi bagian tengah dari membran
sel adalah lipid, artinya merupakan penghalang (barrier) bagi air, ion dan partikel polar
untuk masuk atau keluar sel.

Solubilitas Obat

Jika obat melewati dinding sel usus, ia harus dapat melarut di dalam pusat hidrofobik dalam
membran sel. Ini berarti obat harus larut dalam lemak. Selain itu obat juga harus larut dalam
air, agar dapat terlarut dalam saluran cerna dan darah. Dengan demikian obat harus
mempunyai karakter kelarutan dalam lemak dan dalam air yang seimbang. Obat yang terlalu
polar dan terlalu hidrofilik tidak dapat melintasi membran sel dan tidak dapat diabsorpsi.
Demikian juga obat yang tidak cukup polar akan buruk kelarutannya dalam lingkungan
berair. Hal ini juga akan menyebabkan absorpsi yang buruk karena obat akan membentuk
koagulat sebagai globul lemak di saluran cerna sehingga menyulitkan kontak dengan dinding
saluran cerna.

Karakter hidrofilik/hidrofobik obat merupakan faktor penting yang mempengaruhi absorpsi.


Selain itu BM obat juga perlu dipertimbangkan, karena faktanya sebagian besar obat aktif
oral mempunyai BM < 500. Hal ini disebabkan obat dengan BM tinggi biasanya mempunyai
banyak gugus fungsi polar, sehingga membatasi absorpsi. Sesuai aturan Lipinski, obat harus
mempunyai tidak lebih dari 5 gugus donor ikatan hidrogen dan tidak lebih dari 10 gugus
penerima ikatan hidrogen. Obat polar yang melanggar aturan ini biasanya tidak aktif oral
dan harus diberikan secara injeksi.

Gambar 3. Obat melintasi celah dan obat menembus membran sel

Namun beberapa obat polar diabsorpsi dari saluran cerna dengan bantuan carrier protein
(protein pembawa) khusus di membran sel. Obat-obat polar dengan ukuran molekul kecil
(BM < 200) dapat melintas di sela-sela sel. Beberapa obat polar dengan BM tinggi juga bisa
menembus membran dengan cara pinositosis. Kadang-kadang obat sengaja dibuat sangat
polar agar tidak terabsorpsi di saluran cerna, misalnya obat antiinfeksi saluran cerna.
Dengan demikian akan lebih banyak obat mencapai tempat infeksinya.

Dr.RH_Kimia Medisinal_2. Aspek KiMed Nasib Obat dalam Tubuh 3


Absorpsi oral sangat dipengaruhi oleh ionisasi. Prinsip utamanya : hanya obat dalam bentuk tak
terion yang akan menembus membran. Derajat ionisasi obat2 yg bersifat asam lemah atau basa
lemah tergantung konstanta disosiasi (pKa) dan pH larutan: Pers. Henderson-Hasselbach:

Obat asam: log (kadar terion/kadar tak terion) = pH - pKa

Obat basa: log (kadar tak terion/kadar terion) = pH - pKa

Gambar 4. Hubungan ionisasi dengan absorpsi

Sehingga pada pH lambung manusia sekitar 2 dan pH usus sekitar 6:

ASAM (lemah) BASA (lemah)

Lebih banyak bentuk tak terion dalam Bentuk tak terion lebih banyak di usus
lambung kecil
Sebagian besar absorpsi terjadi di Diabsorbsi dengan baik di usus kecil,
lambung, tapi bisa terjadi juga di usus terlebih didukung luas permukaan
kecil, karena permukaan absorpsi absorpsi sangat besar
sangat luas

Dr.RH_Kimia Medisinal_2. Aspek KiMed Nasib Obat dalam Tubuh 4


3. ASPEK KIMIA MEDISINAL DALAM DISTRIBUSI OBAT

Setelah obat diabsorpsi dan masuk ke pembuluh darah, ia akan diedarkan ke seluruh tubuh,
yaitu ke semua jaringan dan organ yang dialiri pembuluh darah. Laju dan tingkat distribusi
obat tergantung dari berbagai faktor, termasuk sifat fisikokimia dari obat itu sendiri. Tidak
berarti obat didistribusikan sama rata ke seluruh jaringan, karena beberapa jaringan
mendapat aliran darah lebih banyak dibandingkan daerah lain.

Tingkat distribusi obat ke jaringan tergantung afinitas relatif obat pada jaringan, relatif
terhadap darah/plasma. Obat dengan afinitas tinggi pada jaringan akan terdistribusi dengan
baik ke jaringan. Obat dengan afinitas lebih tinggi pada darah, distribusinya ke jaringan akan
terbatas.

3.1. Distribusi Obat ke Jaringan

Protein utama plasma adalah albumin (35-50 g/L) yang mengandung residu asam amino
lipofilik, dan kaya akan lysine. Ikatan dengan albumin meningkat sejalan dengan
peningkatan lipofilitas. Obat yang asam cenderung membentuk interaksi muatan-muatan
dengan lysine. Obat yang basa juga berinteraksi dengan asam-α1-glikoprotein (0,4-1,0 g/L).
O

H
R1 N R2
N
H

HA H+ + A-

NH3+

Gambar 5. Ikatan obat asam dengan lysine

Membran sel jaringan mengandung posfolipid bermuatan negatif. Basa cenderung


mempunyai afinitas pada jaringan karena interaksi muatan-muatan dengan phosphate head
group. Sebaliknya dengan obat yang bersifat asam, cenderung lemah afinitasnya terhadap
jaringan.

R-NH3

R O

Gambar 6. Intaraksi obat asam dengan membran sel

Dr.RH_Kimia Medisinal_2. Aspek KiMed Nasib Obat dalam Tubuh 5


3.2. Penetrasi obat menembus Blood Brain Barrier dan Placenta Blood Barrier

Blood brain barrier (BBB) memisahkan sirkulasi darah dan cairan sererospinal. BBB tersusun
dari sel endotelial yang melapisi kapiler. Struktur antar selnya sangat rapat, sedikit sekali
pori antarsel. Selain itu kapilernya dilapisi jaringan syaraf.

Hanya obat dengan koefisien partisi tinggi yg dapat berdifusi pasif. Obat dengan kelarutan
dalam lemak sedang & rendah serta molekul terion tidak dapat atau sukar berpenetrasi. Sel
endotelial membatasi difusi objek mikroskopik (seperti bakteri) dan molekul hidrofil besar
ke dalam cairan serebrospinal, tapi memungkinkan molekul hidrofil kecil berdifusi (O2, CO2,
hormon). Sel dapat mentransport aktif produk metabolit seperti glukosa menembus barier
dengan protein spesifik.

Sedangkan Placenta Blood Barrier (PBB) merupakan membran yang memisahkan darah
fetus dari darah ibu. PBB disusun dari membran dasar Trophoblast Fetal dan Endotelium.
Ketebalan rata-rata di awal kehamilan (25 µ) yang menurun hingga (2 µ) pada akhir
kehamilan. Obat dengan BM< 1000 Daltons dan kelarutan dalam lemak sedang hingga tinggi
seperti etanol, sulfonamida, barbiturat, steroid, antikonvulsan dan beberapa antibiotik
mudah menembus barrier plasenta dengan difusi sederhana. Nutrisi penting untuk
petumbuhan janin ditransport dengan proses termediasi carrier.

Dr.RH_Kimia Medisinal_2. Aspek KiMed Nasib Obat dalam Tubuh 6


4. ASPEK KIMIA MEDISINAL DALAM METABOLISME OBAT

4.1. PENDAHULUAN
Respon fisiologis tubuh terhadap senyawa asing tergantung pada ukurannya. Senyawa besar
(protein, virus, bakteri, dll) memicu respon imun. Senyawa kecil dapat diubah menjadi
senyawa polar oleh enzim spesifik atau via ekskresi. Proses perubahan senyawa kecil
menjadi senyawa polar ini disebut metabolism (biotransformasi). Metabolisme pertama
yang dialami xenobiotik (First-pass metabolism) terjadi di hati. Bagaimama metabolisme
yang dialami oleh xenpbiotil tergantung pada rute administrasi.

Studi metabolisme obat perlu dilakukan karena:


 Mungkin terbentuk metabolit toksik
 Studi metabolisme obat dibutuhkan untuk perijinan obat baru
 Metabolit harus teridentifikasi
 Metabolit tidak boleh toksik

Studi metabolisme obat dapat dilakukan dengan:


 Obat yang sudah dilabel radioaktif diberikan pada hewan coba
 Sampel urin dan feses dikumpulkan
 Dilakukan ekstraksi untuk mengisolasi senyawa radioaktif dalam campuran
 Pemisahan selanjutnya dengan kromatografi
 Senyawa radioaktif diidentifikasi, umumnya dengan spektroskopi massa

Metabolisme bertujuan untuk mengubah senyawa asing (xenobiotik) menjadi turunan larut
air yang segera dapat dieliminasi melalui rute renal. Beberapa metabolit volatil kecil (CO2,
CH3NH2, tiol, tioeter) bisa dieliminasi via paru-paru. Metabolisme xenobiotik secara umum
terjadi dalam 2 langkah : fase I dan fase II.

Klasifikasi Metabolisme:
Fase I: reaksi fungsionalisasi, di mana gugus polar baru dimasukkan atau dibentuk, melalui
reaksi oksidasi, reduksi atau hidrolisis.
Fase II: menggabungkan solubilizing moeities (asam glukoronat, asam amino atau asam
sulfat) pada obat asli (jika punya gugus polar) atau pada metabolit fase I.

Metabolisme fase I bisa terjadi sebelum atau setelah fase II.


Metabolit fase I bisa diekskresikan tanpa mengalami fase II.

Produk metabolism (metabolit) umumnya diekskresikan via urin. Metabolit fase I dan II lebih
polar dibanding obat induk, sehingga lebih mudah diekskresikan via urin (atau empedu),
Produk metabolisme umumnya (tapi tidak selalu) tidak mempunyai aktivitas farmakologi.

Dr.RH_Kimia Medisinal_2. Aspek KiMed Nasib Obat dalam Tubuh 7


Organ penting yang terlibat dalam metabolisme : hati, ginjal, saluran cerna. Beberapa terjadi
di paru-paru dan plasma. Mikroba dalam saluran cerna berperan dalam metabolisme obat
tertentu (contoh: Reduksi senyawa nitro dan azo).

4.2. METABOLISME FASE I


Pada metabolism fase I terjadi fungsionalisasi senyawa induk untuk subjek fase II, dengan
pembentukan gugus fungsi untuk reaksi fase II. Contoh: gugus –CH3 difungsionalisasi
menjadi gugus –CH2OH atau –COOH. Produk menjadi lebih polar dibanding obat induk, dan
bisa menjadi substrat untuk reaksi fase II. Fase ini meliputi reaksi oksidasi, reduksi dan
hidrolisis.

a. Oksidasi
Perubahan struktur yang umum terjadi pada reaksi oksidasi adalah :
 Penambahan atom O
 Hilangnya atom H

Reaksi-reaksi yang bisa terjadi pada oksidasi adalah:


 Hidroksilasi aromatik

 Hidroksilasi alifatik

Dr.RH_Kimia Medisinal_2. Aspek KiMed Nasib Obat dalam Tubuh 8


 N-, S- atau O-Dealkilasi

 Pembentukan oksida (N-oksidasi,

 Deaminasi

Dr.RH_Kimia Medisinal_2. Aspek KiMed Nasib Obat dalam Tubuh 9


 Epoksidasi

Reaksi oksidasi pertama kali dipelajari secara in vitro 1940 menggunakan homogenat hati
tikus. Reaksi ini membutuhkan NADP+, O2, fraksi mikrosomal dan NADPH dan melibatkan
protein heme, yang mengabsopsi cahaya visibel pada 450nm setelah reduksi dan terpapar
CO (disebut cytochrome P-450).

b. Reduksi
Perubahan struktur yang umum terjadi pada reaksi reduksi adalah hilangnya atom O dan
masuknya atom H. Reaksi metabolism reduksi meliputi : Reduksi aldehid, Azoreduksi dan
Nitroreduksi. Contoh :

C. Hidrolisis
Perubahan struktur yang khas untuk reaksi hidrolisis adalah :
 Pengurangan BM (bobot molekul) menjadi BM pecahannya
 Polaritas lebih tinggi
 Penambahan gugus -OH, H+
Reaksi hidrolisis meliputi : Deesterifikasi dan Deamidasi.

Dr.RH_Kimia Medisinal_2. Aspek KiMed Nasib Obat dalam Tubuh 10


Hidrolisis xenobiotik ester dan amida menghasilkan asam karboksilat, alkohol dan amina.
Beberapa metabolit merupakan substrat untuk fase II (konjugasi dan ekskresi). Berbagai
esterase nonspesifik ditemukan di plasma, hati, ginjal dan intestinal (kapasitas hidrolisis
terbesar di hati, saluran cerna dan darah). Enzim hidrolisis paling penting adalah
karboksilesterase, arilesterase, kolinesterase dan serin endopeptidase. Beberapa esterase
secara preferensial menghidrolisis ester alifatik, sementara ester lain lebih spesifik untuk
ester aromatis.

4.3. METABOLISME FASE II


Reaksi metabolism fase II merupakan reaksi kondensasi gugus besar (konjugasi) terhadap
senyawa induk atau hasil metabolisme fase I. Reaksi ini dikatalisis enzim yang sesuai.
Pembentukan turunan yang jauh lebih polar, melalui konjugasi dengan senyawa endogen,
antara lain : Glukuronida, asam sulfat, glutation, asam amino, dan asam asetat.

Beberapa reaksi fase II (metilasi dan asetilasi) tidak menghasilkan metabolit polar tapi lebih
untk menghentikan aktivitas biologi. Reaksi konjugasi biasanya terjadi terhadap gugus
nukelofil pada obat, seperti alkohol, asam karboksilat, amina (termasuk amina heterosiklik)
dan tiol (-OH, -COOH, -NH2, -NR2, -SH). Jika gugus ini tidak ada pada sebuah obat, biasanya
obat tersebut mengalami reaksi fase I terlebih dulu.

Gugus pengkonjugasi merupakan molekul endogen yang mulanya diaktivasi dalam bentuk
koenzim untuk ditranfer ke obat. Enzim yang mengkatalisis reaksi ini disebut transferase.

Dr.RH_Kimia Medisinal_2. Aspek KiMed Nasib Obat dalam Tubuh 11


Dr.RH_Kimia Medisinal_2. Aspek KiMed Nasib Obat dalam Tubuh 12
Contoh reaksi konjugasi :

O-glukuronidasi

Asil-glukuronidasi

N-glukuronidasi

Konjugasi sulfat

Dr.RH_Kimia Medisinal_2. Aspek KiMed Nasib Obat dalam Tubuh 13


Konjugasi glisin

Konjugasi asetat

5. ASPEK KIMIA MEDISINAL DALAM EKSKRESI OBAT

Obat dan metabolitnya dikeluarkan dari tubuh lewat sejumlah rute, seperti paru-paru, kulit,
empedu dan ginjal. Umumnya ekskresi via ginjal merupakan jalur ekskresi yang utama.

5.1. Ekskresi via paru, empedu dan jalur lain

Obat volatil dan gas dapat diekskresikan via paru-paru. Beberapa obat keluar melintasi
kapiler paru-paru kemudian berdifusi melintasi membran sel ke kantong udara dan
diekshalasikan. Contohnya adalah anestesi gas (eter, kloroform) yang diekskresikan dengan
penurunan gradien konsentrasi dalam darah yang mengaliri paru-paru.

Empedu juga merupakan salah satu jalur ekskresi. Banyak obat diekskresikan via empedu
dalam bentuk metabolitnya (terutama konjugat glukoronida). Obat (atau metabolitnya)
yang masuk ke saluran cerna via empedu bisa diekskresikan via feses, tetapi bisa juga
direabsorpsi kembali. Proses ini disebut siklus enterohepatik. Konjugat obat (glukuronida)
dapat dihidrolisis di usus oleh bakteri, sehingga terlepas dan direabsorpsi dalam bentuk
obat induk (contoh : kloramfenikol & steroid). Proses ini disebut siklus bilier ekstensif,
sebelum akhirnya dieksresi via urin.

Selain itu 10-15% obat diekskresikan via kulit dan keringat. Obat bisa juga diekskresikan via
saliva dan ASI, tapi jumlahnya jauh lebih rendah dibanding ekskresi via ginjal. Namun tetap
harus diperhatikan, misalnya nikotin bisa diekskresikan ibu lewat ASI.

Dr.RH_Kimia Medisinal_2. Aspek KiMed Nasib Obat dalam Tubuh 14


5.1. Ekskresi via ginjal

Ginjal merupakan rute utama ekskresi obat dan metabolitnya. Ginjal berfungsi sebagai filter,
bertujuan untuk membersihkan produk metabolisme dan toksin dari darah dan
mengeluarkannya melalui urin. Unit fungsional dasar ginjal adalah nefron. Darah yang
memasuki ginjal pertama kali disaring di glomerulus nefron. Urin primer yang terbentuk
oleh filtrasi ini dialirkan dari glomerulus ke tubulus dan collecting ducts kemudian
dikeluarkan via ureter.

Ekskresi urin via ginjal merupakan gabungan dari 3 proses, yaitu filtrasi glomerulus,
reabsorpsi tubular dan sekresi tubular aktif.

a. Filtrasi Glomerulus

Aliran darah ke ginjal ± 1,2-1,5L/menit. Lebih kurang 10% volume ini disaring melalui pori-
pori di glomerulus, sehingga filtrat/urin primer 180L/hari. Pori-pori membran kapiler
glomerulus cukup besar sehingga molekul kecil dan sebagian besar molekul obat bisa lewat,
tapi sel darah dan molekul besar (>60 kDa) seperti protein plasma tidak bisa lewat. Sehingga
obat yang terikat protein plasma tidak dieliminasi via giltrasi glomerulus.

b. Reabsorpsi tubular

Lebih 99% dari 180L filtrat bebas protein direabsorpsi lagi di sel tubular, hanya sekitar
1,5L/hr diekskresi sebagai urin. Solut dan obat terlarut dalam filtrat dapat direabsorpsi lagi,
sebagian besar dengan difusi pasif. Contohnya: glukosa terbawa dalam filtrat tapi
direabsorpsi kembali di tubular (dengan carrier). Obat yang sangat lipofil akan terekskresi
sangat lambat karena direabsorpsi kembali. Obat berdifusi dari cairan tubular ke plasma
berdasarkan: gradien konsentrasi, koefisien partisi, derajat ionisasi dan bobot molekul.

pH urin sekitar 4,5-7,0. Perubahan pH urin akan mempengaruhi reabsorpsi pasif dan
ekskresi obat (berdasarkan persamaan Handerson-Haselbach). Pengasaman urin akan
meningkatkan reabsorpsi asam lemah (contoh salisilat) sehingga menunda ekskresi.
Pembasaan urin akan mempercepat ekskresi asam lemah, dan sebaliknya. Contoh: untuk
mempercepat ekskresi fenobarbital (asam lemah) pada pasien keracunan barbital dapat
dilakukan dengan pemberian natrium bikarbonat. Peningkatan aliran urin dengan asupan
cairan atau co-administrasi dengan diuretik juga dapat meningkatkan ekskresi obat dengan
cara menurunkan waktu untuk reabsorpsi.

c. Sekresi tubular aktif

Sebagian besar darah (90%) meninggalkan glomerulus dalam bentuk tak tersaring, sehingga
sebagian besar obat akan mencapai kapiler peritubular. Di sini obat akan ditransfer ke
lumen tubular dengan sistem carrier yang relatif nonselektif sehingga mentransport molekul
melawan gradien konsentrasi.

Dr.RH_Kimia Medisinal_2. Aspek KiMed Nasib Obat dalam Tubuh 15

Anda mungkin juga menyukai