Anda di halaman 1dari 67

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

TESIS

PENGARUH METILPREDNISOLON 60 mg iv TERHADAP KADAR TNF-α


DAN HITUNG LIMFOSIT PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL
KRONIK STADIUM V PASCA HEMODIALISIS DI UNIT
HEMODIALISA RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

Oleh :

David Indra Widjayadi


S.960 7006

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/
RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA
2013

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PENGESAHAN

Telah Disetujui dan Disahkan oleh Pembimbing Tesis


Program Pendidikan Spesialis I Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang Berjudul :

PENGARUH METILPREDNISOLON 60 mg iv TERHADAP KADAR TNF-α


DAN HITUNG LIMFOSIT PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL
KRONIK STADIUM V PASCA HEMODIALISIS DI UNIT
HEMODIALISA RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Spesialis Penyakit Dalam


dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis I Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, Januari 2013


Pembimbing Tesis

Prof. Dr. H.M Bambang Purwanto, dr. Sp.PD-KGH-FINASIM


NIP. 194807191976091001

Pembimbing/ Konsultan Statistik

Drs. Sumardi, MM
NIP. 19629081987021004
commit to user

ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Telah Diuji dan Diseminarkan pada Hari Kamis, Januari 2013


di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNS/
RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Tesis yang Berjudul:

PENGARUH METILPREDNISOLON 60 mg iv TERHADAP KADAR TNF-α


DAN HITUNG LIMFOSIT PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL
KRONIK STADIUM V PASCA HEMODIALISIS DI UNIT
HEMODIALISA RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

Ketua Program Studi PPDS-I Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran UNS/ RSUD Dr.Moewardi Surakarta

Prof. Dr. H. M. Bambang Purwanto, dr. Sp.PD-KGH-FINASIM


NIP. 194807191976091001

Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran UNS/ RSUD Dr.Moewardi Surakarta

Prof. Dr. H. A.Guntur Hermawan, dr. Sp.PD-KPTI-FINASIM


NIP : 19490506 19731010 001

commit to user

iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Telah diuji pada :


Tanggal Januari 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. HA.Guntur Hermawan, dr. Sp.PD-KPTI FINASIM


Anggota :
1. Prof. Dr. HM. Bambang Purwanto,dr. Sp.PD-KGH-FINASIM

2. Prof. Dr. H. Zainal Arifin Adnan, dr. Sp.PD-KR-FINASIM

3. Prof. Dr. Djoko Hardiman, dr. Sp.PD-KEMD-FINASIM

4. Suradi Maryono, dr. Sp.PD-KHOM-FINASIM

5. Sumarmi Soewoto, dr. Sp.PD-KGER-FINASIM

6. Tantoro Harmono, dr. Sp.PD-KGEH-FINASIM

7. Tatar Sumandjar, dr. Sp.PD-KPTI-FINASIM

8. Tri Yuli Pramana, dr. Sp.PD-KGEH-FINASIM

9. Dr. Sugiarto, dr.Sp.PD-FINASIM

10. Supriyanto Kartodarsono, dr. Sp.PD-FINASIM

11. P. Kusnanto, dr. Sp.PD-KGEH-FINASIM

12. Supriyanto Muktiatmodjo, dr. Sp.PD-FINASIM

13. Dhani Redhono, dr. Sp.PD-KPTI-FINASIM

14. Wachid Putranto, dr. Sp.PD-FINASIM

commit to user

iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

MOTTO

Blessed is the man who trusts in the LORD, whose trust is the LORD.

Jeremiah 17:7 (esv)

commit to user

v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa dan Maha
Kasih, atas bimbingan-NYA sehingga penyusunan Tesis yang berjudul : Pengaruh
Metilprednisolon 60 mg iv terhadap Kadar TNF-α dan Hitung Limfosit pada Pasien
Penyakit Ginjal Kronis Stadium V yang Menjalani Hemodialisis di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta ini dapat terselesaikan. Penelitian ini untuk memenuhi sebagian
persyaratan dalam menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis I bidang Ilmu
Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan
penghargaan yang tinggi kepada:
1. R. Basoeki Soetardjo drg.MMR sebagai Direktur RSUD Dr. Moewardi beserta
seluruh jajaran staf direksi yang telah berkenan dan mengijinkan untuk menjalani
program pendidikan PPDS interna.
2. Prof. Dr. H. Zainal Arifin Adnan, dr. Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan
kemudahan dan dukungan kepada penulis selama menjalani pendidikan PPDS Ilmu
Penyakit Dalam.
3. Prof. DR. HA. Guntur Hermawan, dr. Sp.PD-KPTI-FINASIM selaku Kepala Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FK UNS/ RSUD Dr Moewardi yang telah memberikan ijin dan
bimbingan sehingga tugas penulisan tesis ini terwujud.
4. Prof. Dr. HM. Bambang Purwanto, dr. Sp.PD-KGH-FINASIM selaku Ketua Program
Studi PPDS I Interna dan sebagai pembimbing penelitian, yang telah membimbing
dan memberikan pengarahan dalam penyusunan tesis ini, serta memberikan
kemudahan penulis dalam melaksanakan pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit Dalam.
5. Drs. Sumardi, MM selaku pembimbing/ konsultan statistik penelitian, yang dengan
kesabaran telah membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan tesis.
6. Seluruh Staf Pengajar Ilmu Penyakit Dalam FK UNS/ RSUD Dr. Moewardi
Surakarta. Prof. Dr. H A Guntur Hermawan dr. Sp.PD-KPTI-FINASIM, Prof. Dr.
Zainal Arifin Adnan, dr. Sp.PD-KR-FINASIM, Prof. Dr. Djoko Hardiman, dr.
Sp.PD-KEMD-FINASIM, Prof. commit to userPurwanto, dr. Sp.PD-KGH-FINASIM,
Dr. Bambang

vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Suradi Maryono, dr. Sp.PD-KHOM-FINASIM, Sumarmi Soewoto dr. Sp.PD-KGER-


FINASIM, Tatar Sumandjar, dr. Sp.PD-KPTI-FINASIM, Tantoro Harmono, dr.
Sp.PD-KGEH-FINASIM, Tri Yuli Pramana, dr. Sp.PD-KGEH- FINASIM, P
Kusnanto, dr. Sp.PD-KGEH-FINASIM, Dr. Sugiarto, dr. Sp.PD-FINASIM,
Supriyanto Kartodarsono, dr. Sp.PD-FINASIM, Supriyanto Muktiatmojo, dr. Sp.PD-
FINASIM, Dhani Redhono, dr. Sp.PD-KPTI-FINASIM, Wachid Putranto, dr. Sp.PD-
FINASIM, Arifin, dr. Sp.PD-FINASIM, Fatichati Budiningsih, dr. Sp.PD, Agung
Susanto, dr. Sp.PD, Arief Nurudin, dr. Sp.PD, Agus Joko Susanto, dr. Sp.PD dan
Yulyani Werdiningsih, dr. Sp.PD yang telah memberi dorongan, bimbingan dan
bantuan dalam segala bentuk sehingga penulis bisa menyelesaikan penyusunan tesis.
7. Seluruh teman sejawat Residen Penyakit Dalam yang telah memberikan dukungan
dan bantuan kepada penulis baik dalam penelitian ini maupun selama menjalani
pendidikan.
8. Orangtua, kakek dan nenek, yang telah memberikan dorongan baik moril maupun
materil dalam menjalani pendidikan PPDS I Interna.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah membantu
penulis baik dalam menjalani pendidikan maupun dalam penelitian ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan tesis ini masih
banyak terdapat kekurangan, untuk itu penyusun mohon maaf dan sangat mengharapkan
saran serta kritik dalam rangka perbaikan penulisan penelitian tesis ini.

Surakarta, Desember 2012


Penyusun

commit to user

vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI TESIS ................................................ iii
PANITIA PENGUJI TESIS ............................................................................... iv
MOTTO ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ v
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xiii
ABSTRAK .... ................................................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 5
1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................. 5
1.3.1. Tujuan Umum ......................................................................... 5
1.3.2. Tujuan Khusus ......................................................................... 5
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................. 5
1.4.1 Manfaat Teoritis ....................................................................... 5
1.4.2 Manfaat Terapan ...................................................................... 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA . ....................................................................... .7
2.1. Penyakit Ginjal Kronik .................................................................... 7
2.2. Etiologi ........................................................................................... 8
2.3. Gambaran Klinis PGK ..................................................................... 8
2.4. Uremia ............................................................................................ 8
2.5. Program Terapi PGK ....................................................................... 9
2.6. TNF-α ............................................................................................. 13
2.7. Limfosit pada Sistem Imun commit to user
.............................................................. 14

viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.8. Hemodialisis ................................................................................... 16


2.9. Kortikosteroid ............................................................................... 16
2.10. Steroid dalam tubuh ...................................................................... 18
2.11. Metilprednisolon. ......................................................................... .21
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS. ................................ 233.1.
Kerangka Konseptual. ............................................................................ 23
3.2. Hipotesis Penelitian ........................................................................ 24
BAB 4 METODE PENELITIAN . .................................................................... .26
4.1. Jenis Penelitian . .............................................................................. 26
4.2. Tempat Penelitian ............................................................................ 26
4.3. Populasi Sampel ............................................................................. 26
4.3.1. Populasi Sasaran ................................................................... 26
4.3.2. Populasi Sumber ................................................................... 26
4.3.3. Populasi Sampel .................................................................... 26
4.4. Besar Sampel .................................................................................. 26
4.5. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel ................................................ 27
4.6. Identifikasi variabel ........................................................................ 27
4.6.1. Variabel Tergantung ............................................................. 27
4.6.2. Variabel Bebas ...................................................................... 27
4.7. Definisi Operasional ....................................................................... 28
4.8. Biaya .............................................................................................. 29
4.9. Cara Kerja ...................................................................................... 30
4.10. Desain Analisa Stastitik ................................................................ 31
4.11. Alur Penelitian .............................................................................. 32
BAB 5 HASIL PENELITIAN ........................................................................... 33
5.1. Karakteristik Subyek Penelitian ...................................................... 33
5.2. Pengujian Variabel Utama .............................................................. 37
5.3. Hasil TNF-α dan Hitung Limfosit kedua kelompok ......................... 38

commit to user

ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB 6 PEMBAHASAN ................................................................................... 43


6.1. Hasil Utama .................................................................................... 43
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 50
7.1. Kesimpulan .................................................................................... 50
7.2. Saran .............................................................................................. 50
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 51
LAMPIRAN ...................................................................................................... 58

commit to user

x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Algoritme Program Terapi Penyakit Ginjal Kronik ............................. 10


Gambar 2.2. Menjelaskan Patogenesis PJV pada pasien PGK ................................. 11
Gambar 2.3. Faktor – Faktor Resiko Aterosklerosis pada Uremia ............................ 12
Gambar 2.4. Menggambarkan Proses terjadinya Aterosklerosis .............................. 13
Gambar 2.5. Jalur Terbentuknya Sitokin Pro inflamasi............................................. 14
Gambar 2.6. Titik Tangkap Steroid Dosis Rendah pada Inflamasi ........................... 15
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian ................................................................ 25
Gambar 4.1. Diagram Alur Pemeriksaan TNF-α dan Hitung Limfosit ..................... 31
Gambar 4.2. Alur Penelitian .................................................................................... 32
Gambar 5.1. Grafik Batang rerata kadar TNF-α sebelum dan sesudah HD kedua
kelompok ............................................................................................ 41
Gambar 5.2. Grafik Batang rerata Hitung Limfosit sebelum dan sesudah HD kedua
kelompok ............................................................................................ 41
Gambar 5.3. Grafik Batang rerata kadar TNF-α dan Hitung Limfosit sebelum dan
sesudah HD kedua kelompok ............................................................... 42

commit to user

xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik ............................................................... 7


Tabel 2.2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar Derajat Penyakit .............. 7
Tabel 2.3. Mortalitas Pasien yang Menjalani Dialisis ............................................... 10
Tabel 2.4. Aksi Glukokortikoid selama Respon Stres .............................................. 19
Tabel 2.5. Perbandingan Dosis Ekivalen Kortikosteroid Sistemik ........................... 22
Tabel 5.1. Perbandingan Jenis Kelamin Kelompok Perlakuan dan Kelompok
Kontrol ................................................................................................... 34
Tabel 5.2. Perbandingan Umur Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ......... 35
Tabel 5.3. Perbandingan Variabel Karakteristik Klinis Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol................................................................................... 36
Tabel 5.4. Perbandingan Kadar TNF-α dan Hitung Limfosit Sebelum dan Sesudah
Perlakuan pada Kelompok Kontrol .......................................................... 38
Tabel 5.5. Perbandingan Kadar TNF-α dan Hitung Limfosit Sebelum dan Sesudah
Perlakuan pada Kelompok Perlakuan ....................................................... 39
Tabel 5.6. Perbandingan Delta-TNF-α dan Delta-Hitung Limfosit pada Kelompok
Kontrol dan Kelompok Perlakuan ............................................................ 41
Tabel 6.1.Tipe Membran Dialisis ............................................................................. 46

commit to user

xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR SINGKATAN

ADMA : Asimetric Dimethylarginine


AGE : Advanced Glycosylation End Products
ATP : Adenosin Triposphate
cAMP : cyclic Adenosine Monophosphat
CCPD : Continous Cyclic Perotoneal dialysis
CRP : C- Reactive Protein
DP : Dialisis Peritoneal
EC : Endothelial Cell
ELFA : Enzyme Linked Fluorecence Assay
GSG-S : Glutahione Synthetase
GCS : Glutamylcysteine synthetase
GGT : Gagal Ginjal Terminal
GSHP : Glutathioneperoxidase
Hb : Hemoglobin
HD : Hemodialisis
Ht : Hematokrit
Hs-CRP : High sensitivity-C- Reactive Protein
ICAM - 1 : Inter Cellulare Adhession Molecule-1
IFN – γ : Interferon Gamma
IL - 1ß : Interleukin- 1ß
IL – 6 : Interleukin-6
IL – 8 : Interleukin – 8
IL-12 : Interleukin-12
kDA : Kilo Dalton
LFA : Leucocyte Functioning Antigen
LFG : Laju Filtrasi Glomerulus
LT : Leukotrien
MCP - 1 commit Protein
: Monocyte Chemoattractant to user

xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

MPO : Myeloperoxidase
NAS : N-asetil sistein
NFκβ : Nuclear Factor Kappa Beta
NO : Nitrite Oxyde
OAPP : Oxidation Advance Protein Plasma
PAM : Peptidyl Amidating Mono-oxygenase
PBMC : Peripheral Blood Mononuclear Cell
PCT : Prokalsitonin
PG : Prostaglandin
PGI : Prostasiklin
PGE2 : Prostaglandin E2
PGES : Prostaglandin Synthase
PGK : Penyakit Ginjal Kronis
PJK : Penyakit Jantung Vaskuler
PKV : Penyakit Kardio Vaskuler
RCT : Randomized Control Trial
ROS : Reactive Oksigen Species
SAMe : S-Adenosyl Methionine
SOD : Superoxide Dismutase
TLR : Toll-like Receptor
TNF– α : Tumor Necrosis Factor – Alpha
TXA2 : Tromboxane A2
Uji K-S : Uji Kolmogorof-Smirnov
VEGF : Vascular Endothel Growth Factor
VICAM -1 : Vasculare Inter Cellulare Adhession Molecule-1
VSMC : Vascular Smooth Muscle Cell

commit to user

xiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PENGARUH METILPREDNISOLON DOSIS RENDAH TERHADAP KADAR


TNF-α DAN HITUNG LIMFOSIT PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIS
STADIUM V YANG MENJALANI DIALISIS DI RSUD Dr.MOEWARDI
SURAKARTA

David Indra W ,Bambang P, Wahid P


Sub Bagian Nefrologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Abstrak
Latar belakang. Penyebab kematian terbanyak (60%) penderita Penyakit Ginjal Kronik
Stadium V (CKD) adalah kejadian kardiovaskuler yang didasari aterosklerosis. Pasien
CKD yang menjalani hemodialisis rutin mempunyai hitung limfosit menurun dan TNF-α
yang meningkat sehingga memperbesar angka kematian kejadian kardiovaskuler. TNF-
α menyebabkan apoptosis limfosit. Steroid menghambat produksi TNF-α sehingga
apoptosis limfosit dihambat.

Metodologi.Jenis penelitian Randomized control trial /RCT, melibatkan 30 pasien CKD


non diabetikum yang menjalani HD seminggu 2 kali minimal 3 bulan – 5 tahun.15
sampel sebagai kontrol, 15 sampel dengan pemberian steroid dosis rendah. Steroid yang
dipakai methyl prednisolon 60 mg iv, 3 menit sebelum dialisa.

Hasil. Karakteristik subyek pada awal penelitian berbeda pada kelompok limfosit.
Didapatkan Delta hitung Limfosit kelompok perlakuan dan kontrol menurun, secara
statistik bermakna p=0,029 (p<0,05). Kadar TNF-α pasca hemodialisa meningkat pada
kelompok kontrol (p=0.002), tetapi menurun pada kelompok perlakuan (p=0.02). Kadar
TNF-α pasca dialisa kedua kelompok berbeda bermakna (p=0.008) Perbedaan selisih
(delta) TNF-α pasca dialisa antara kedua kelompok berbeda bermakna. (p=0.000)

Diskusi. Pasca dialisa didapatkan hasil hitung limfosit kelompok perlakuan yang
menurun, berbeda dengan teori. Mungkin disebabkan limfosit berukuran lebih kecil dari
ukuran membran dialyzer.Perbedaan hasil TNF-α kelompok perlakuan dan kontrol
terjadi akibat efek steroid dosis rendah mampu menghambat sitokin pro inflamasi
melalui penghambatan NF-KB. Pemberian steroid dosis rendah sebelum HD mampu
mencegah pelepasan TNF-α. . Disarankan penelitian lanjutan untuk hitung limfosit
dengan sampel yang lebih banyak

Kesimpulan. Kortikosteroid dosis rendah menghambat peningkatan TNF-α, akibat


hemodialisa, sehingga menurunkan kejadian penyakit kardiovaskuler.

Kata kunci : Haemodialisis, Hitung Limfosit, TNF-α, CKD, Steroid dosis


rendah

commit to user

xv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

EFFECT LOW DOSE STEROID T0 TNF-α EXPESSION AND LYMPHOCYTE


COUNT DURING DIALISIS IN PATIENTS WITH CHRONIC KIDNEY
DISEASE STAGE V NON DIABETICUM AT
DR. MOEWARDI HOSPITAL SURAKARTA

David Indra W1,Bambang P2, Wahid P 2


1
Dept. of Internal Medicine FK UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta
2
Nephrology Div. Dept.of Internal Medicine FK UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Abstract
Background
Mortality rate among CKD patients with hemodialysis still high, 60 % caused by
cardiovascular event. During hemodialysis, there is an acute inflammation process,
decreased of lymphocyte count production and increased TNF-α expression. TNF-α
increased the apoptosis of lymphocyte count, but steroid have inhibitory effect on the
expression and function of TNF-α.

Method
Randomized control trial study with 30 sample, 15 subjects given low dose steroid, 15
subject as control. Population study is non diabetic CKD stage V with dyalisis twice a
week, duration is 3 month - 5 year. Methyl prednisolon 60 mg IV is using as low dose
steroid, just 3 minute before hemodialysis.

Result
Characteristc subject different of group lymphocyte. Delta lymphocyte count between
two group was decreased, statistically significant (p=0.029). TNF-α expression
increased in control group (p=0.002), but decreased in intervention group (p=0.02). The
levels TNF-α significant different in both of group (p=0.008). Delta TNF-α are
significant different in both of group (p=0.000)

Discussion
The study showed that lymphocyte count intervention group decreased it means
different with teory. Maybe it caused by the size of lymphocyte is smaller than
membrane dialyzer. The difference result between intervention and control group is
caused by low dose corticosteroid, which inhibit TNF- production through NF-KB
inhibition. Low dose steroid is able to inhibit increasing of TNF-α during hemodialysis.
Suggested a further study with more sample and appropriate of timing sample.

Conclusion
Low dose steroid is able to inhibit increasing of TNF-α during hemodialysis.

Keywords : HD, CKD, TNF-α, Lymphocyte count, Low dose steroid

commit to user

xvi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.


Penurunan fungsi ginjal yang progresif mengakibatkan peningkatan
berbagai komplikasi diantaranya : anemia, malnutrisi, aterosklerosis, penyakit
osteodistrofi ginjal, neuropati dan penurunan kualitas hidup. Kesemuanya itu
berdampak pada peningkatan mortalitas (Weiner dkk, 2004).
Mortalitas pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK), terutama yang
menjalani hemodialisis amat tinggi. Angka kematian terbanyak diakibatkan oleh
karena komplikasi kardiovaskuler. Pasien dengan penurunan fungsi ginjal tahap
awalpun sudah mempunyai resiko yang lebih tinggi akan terjadinya komplikasi
penyakit kaediovaskuler tersebut (Go dkk, 2004).
Pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis, mempunyai
resiko 10-30 kali lebih besar untuk terjadinya kematian akibat penyakit jantung
vaskuler (PJV). Arterial Vasculer Disease dan Cardiomyopathy adalah penyebab
kematian yang terbanyak (Sarnak dkk., 2003). Go dkk, mendapatkan resiko
kematian pasien dengan PGK sampai melebihi 6 kali populasi normal, sedangkan
pada pasien yang menjalani hemodialisis dapat melebihi 100 kali normal
(Suharjono, 2007). Sedangkan dari data United States Renal Data System Annual
Data Report (USRDS-ADR), penyebab terbanyak kematian pasien yang
menjalani hemodialisis disamping Arterial heart disease adalah stroke (USDRS,
2003).
Prevalensi pasien penyakit ginjal kronik, diperkirakan akan semakin
meningkat. Tahun 2003, lebih dari 320.000 orang penderita PGK di Amerika
Serikat menjalani hemodialisis, dan diperkirakan akan mengalami peningkatan
sampai 650.000 pada tahun 2010 dan akan mencapai 2 juta orang pada tahun
2030. Dengan kondisi ini, resiko kematian akibat PJV juga akan semakin
meningkat. Penyebab pasti dan mekanisme peningkatan PJV pada penderita
penyakit ginjal kronik belum dapat dipastikan (Nolan, 2005).
commit to user

1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2

Pasien penyakit ginjal kronik mempunyai faktor resiko klasik dan non
klasik terhadap PJV, akan tetapi mekanisme yang spesifik yang memudahkan
terjadinya PJV belum diketahui dengan pasti. Faktor utama yang mempengaruhi
terjadinya proses PJV adalah adanya inflamasi sebagai faktor yang sangat penting
dalam proses aterosklerosis (Stinghen dan Pecoits-Filho, 2007).
Morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovakuler pada pasien-
pasien yang menjalani hemodialisis, dipengaruhi oleh inflamasi kronik. Sebelum
dilakukan hemodialisis, inflamasi kronis sudah sering terjadi pada pasien penyakit
ginjal kronik. Dalam hal ini, uremia yang berkaitan dengan inflamasi menjadi
faktor penentu yang menjelaskan tetap tingginya kematian akibat penyakit
kardiovaskuler pada hemodialisis (Erten, 2007; Razeghi dkk., 2008).
Plak aterosklerosis terbentuk diawali oleh aktivasi limfosit T, makrofag
dan mast sel, yang nantinya akan meningkatkan pengeluaran ROS (Reactive
Oxygen Species), mediator lipid pro inflamasi, enzim hidrolitik, kemokin, sitokin
pro dan anti inflamasi serta growth factor (Erten, 2007; Bodiou, 2008).
Pada keadaan uremia akan terjadi stimulasi peningkatan kadar atau sintesis
IL-1 β dan TNF- α. IL1-β akan merangsang endotel mengekspresikan ICAM -1.
ICAM-1 akan berikatan dengan LFA sehingga monosit akan terikat pada
permukaan endotel dan akan dimasukkan ke subendotel (per-diapedesis). Semua
ini nantinya akan mengakibatkan monosit berubah nama menjadi makrofag,
dimana makrofag akan memakan LDL (VLDL yang telah diopsonifikasi oleh
ROS), sehingga makrofag akan terus memakan LDL dan VLDL tersebut akan
menjadi foam cell. Foam cell tersebut akan mengekspresikan growth factor dan
sitokin yang lain, akhirnya membentuk plak (Guntur, 2001; Purwanto, 2008).
Saat dilakukan hemodialisis, sekitar 35-65 % pasien menunjukkan tanda-
tanda inflamasi. Dialisis telah dihubungkan dengan perubahan akut pada aktivasi
komplemen, marker granulosit, fungsi makrofag, aktivasi sel T serta pelepasan
sitokin pro inflamasi. Penelitian pada pasien yang dihemodialisis menunjukkan
peningkatan produksi sitokin pro inflamasi seperti tumor necrosis factor α (TNF-
α), interleukin-1β (IL1-β) dan interleukin-6 (IL-6). (Malaponte, 2002)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
3

TNF-α dan IL-1 selanjutnya akan memacu keluarnya ekspresi gen


Cyclooxigenase (COX) dan Phospholipase A2 yang mengakibatkan
meningkatnya sintesis prostaglandin, salah satunya prostaglandin E2 (PGE2).IL-1
dan TNF-α bekerja secara sinergis dalam menyebabkan terjadinya syok
hemodinamik, sintesis eicosanoid dan toksisitas sel. Sebagai akibat dari
peningkatan sintesis prostaglandin E2 adalah meningkatnya respon nyeri dan
menginduksi demam (Dinarello,1992)
TNF-α dapat memproduksi panas secara langsung dengan aksi
hipotalamik melibatkan pelepasan PGE2. Selain itu TNF-α juga menyebabkan
lepasnya IL 1-β yang memproduksi panas sendiri (demam endogen). IL 1-β
merangsang sel endotel menghasilkan PGE2 ini yang secara langsung
menstimulasi nucleus ventromedial hipotalamus untuk menghasilkan panas.
(Guntur, 2008)
Pasien uremia, pada PGK terutama mereka yang menjalani hemodilisis,
berada pada resiko tinggi untuk mengalami kerusakan akibat stress oksidatif
(Alhamdani dan Mohamed-Saiel, 2005). Ketidakseimbangan antara produksi ROS
dan pertahanan antioksidan menghasilkan kondisi stress oksidatif (SO), yang
dapat muncul baik dari defisiensi antioksidan atau peningkatan pembentukan ROS
seperti peroksinitrit (OONO-), asam hipoklorin (HOCL), atau anion superoksida
(Nanayakkara dan Gaillard, 2010). Pada PGK terjadi suatu keadaan
proinflammatory state karena terjadi peningkatan molekul kemokin, sitokin dan
molekul adhesi. Kondisi ini akan memacu terbentuknya SO.
Menurut Rieser dkk PGE2 bersinergi dengan TNF-α dalam menginduksi
sel dendritik manusia untuk memproduksi IL-12. IL-12 sendiri merupakan
sitokin pro inflamasi yang dapat menginduksi proliferasi Th-1, menghasilkan
interferon gamma dan selanjutnya akan mengaktifkan makrofag. Makrofag yang
teraktivasi akan mengeluarkan sitokin-sitokin pro inflamasi. Kondisi ini
memudahkan terjadinya atherosklerosis. Penelitian in vitro menunjukkan PGE2
saja tanpa stimulasi adanya LPS dapat menginduksi pengeluaran IL-12 oleh sel
dendritik, namun IL-12 yang diproduksi hanya sedikit. TNF-α saja tanpa PGE2
commitIL-12
tidak mampu menginduksi pengeluaran to user
oleh sel dendritik. Tetapi saat PGE2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
4

bersama-sama dengan TNF-α ternyata memberikan efek sinergistik yang


menghasilkan pengeluaran IL-12 dalam jumlah besar (Rieser, 1997)
Selama proses hemodialisis, kadar TNF-α dan sitokin pro inflamasi
lainnya seperti IL-1 dan IL-6 meningkat akibat terpapar kontaminasi dengan
dialisat. Tetapi dengan hemodialisis rutin dan jangka panjang akan terjadi
penurunan jumlah sitokin secara bermakna bila dibandingkan dengan yang
diterapi secara konservatif (Malaponte, 2002; Sukandar, 2006).
Pada penelitian yang dilakukan di Sub Bagian Nefrologi, Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FK UNS/RSDM Surakarta, terbukti bahwa terjadi peningkatan
kadar TNF-α pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik stadium V yang dilakukan
hemodialisis, dibandingkan dengan sebelum hemodialisis (Rosy, 2009).
Hemodialisis mempunyai beberapa efek antara lain: bioinkompatibilitas,
kontaminasi dengan cairan dialisat yang menghasilkan endotoksin
(lipopolisakarida) dan terlepasnya sitokin (Boure, 2004; Erten, 2007).
Beberapa zat terlarut seperti albumin, fibrin, β2-mikroglobulin, komponen
aktif komplemen C3 serta sitokin (IL-1 dan TNF-α) akan mengalami absorbsi
kedalam membran dialiser dan sebagian zat tersebut akan dieliminasi dari darah
selama proses hemodialisis (Tzanatos,2000; Malaponte, 2002; Sukandar, 2006).
Kortikosteroid dosis rendah mampu memblok jalur inflamasi melalui
sejumlah jalur. Antara lain kortikosteroid mampu menghambat produksi
prostaglandin melalui (i) induksi dan aktivasi annexine-1 (ii) induksi MAPK
fosfatase-1, dan (iii) menekan transkripsi siklooksigenase-2 (Rhen dan Cidlowski,
2005).
Titik tangkap pemberian kortikosteroid dosis rendah pada inflamasi
adalah mengurangi respon inflamasi sistemik, sebagai vasopressor, menghambat
produksi sitokin pro inflamasi seperti TNF-α, IL1-β, IL-6, dan selanjutnya akan
menghambat diproduksinya prostaglandin E2, ICAM, complemen, maupun CRP,
menghambat produksi mediator-mediator inflamasi seperti cyclooksigenase-2,
menurunkan adhesi leukosit ke endotel (Annane dan Caillon, 2003).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
5

Berdasarkan data di atas, kami ingin meneliti pengaruh kortikosteroid


dosis rendah, dalam hal ini metilprednisolon, terhadap kadar TNF-α dan hitung
limfosit yang terjadi karena proses hemodialisis.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Apakah pemberian metilprednisolon dosis rendah dapat menurunkan
kadar TNF-α pada pasien Penyakit Ginjal Kronik stadium V yang
menjalani hemodialisis ?
1.2.2. Apakah pemberian metilprednisolon dosis rendah dapat meningkatkan
hitung limfosit pada pasien Penyakit Ginjal Kronik stadium V
yang menjalani hemodialisis ?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. UMUM
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metilprednisolon
dosis rendah terhadap kadar TNF-α dan hitung limfosit pada pasien
PGK stadium V yang menjalani hemodialisis.
1.3.2. KHUSUS
1.3.1. Membuktikan adanya penurunan kadar TNF-α pada pasien
PGK stadium V pasca hemodialisis setelah diberikan
metilprednisolon dosis rendah pra hemodialisis.
1.3.2. Membuktikan adanya kenaikkan hitung limfosit pada pasien
PGK stadium V pasca hemodialisis setelah diberikan
metilprednisolon dosis rendah pra hemodialisis.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Pengembangan Ilmu (Teoritis) memberikan bukti empiris terhadap
teori bahwa metilprednisolon dosis rendah dapat dipakai untuk
menurunkan kadar TNF-α dan meningkatkan hitung limfosit pada
pasien PGK stadium V pasca hemodialisis.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6

1.4.2. Terapan
1.4.1. Metilprednisolon dapat menurunkan proses inflamasi akibat
hemodialisis pada pasien PGK stadium V.
1.4.2. Menurunkan angka kesakitan dan kematian pasien PGK
stadiumV yang menjalani hemodialisis.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PENYAKIT GINJAL KRONIK


Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi
yang beragam yang dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif
dan pada umumnya akan berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel,
dimana pada suatu derajat sehingga memerlukan terapi pengganti ginjal yang
tetap, baik berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
Pada pedoman K/DOQI, batasan penyakit ginjal kronik adalah kerusakan
ginjal yang terjadi selama atau lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologik
atau petanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada urinalisis. Selain itu, batasan
ini juga memperhatikan derajat fungsi ginjal atau Laju Filtrasi Glomerulus (LFG),
seperti terlihat pada tabel di bawah ini (K/DOQI, 2002).
Tabel 2.1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik

Kriteria Penyakit Ginjal Kronik


1.Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG), dengan manifestasi :
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urin, atau kelainan dalam test pencitraan (imaging test)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.
Sumber : (Suwitra, 2006)

Pada individu dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan


oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan
nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah.
Tabel 2.2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar Derajat Penyakit.

Derajat Penjelasan LFG


1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang 30 - 59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat 15 – 29
5 Gagal ginjal < 15 / dialisa
commit to user
Sumber : (Suwitra, 2006)

7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG, yang dihitung
dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :
LFG (60 ml/menit/1,73m2) = (140-umur) x berat badan
72 x kreatinin plasma(mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
2.2. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik.
Ada beberapa etiologi penyakit ginjal kronik yang sering kita jumpai,
diantaranya:
1. Glomerulonefritis, baik primer maupun sekunder
2. Penyakit ginjal herediter
3. Hipertensi esensial
4. Uropati obstruktif
5. Infeksi saluran kemih dan ginjal (pielonefritis)
6. Nefritis interstisial (Sukandar,2006)
2.3. Gambaran Klinis Penyakit Ginjal Kronik
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :
a. Sesuai penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia, Lupus
eritematosus Sistemik (LES) dan lain sebagainya.
b.Sindroma Uremia, yang terdiri dari : lemah, letargia, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati
perifer, pruritus, uremic frost, pericarditis, kejang-kejang sampai koma
c.Gejala Komplikasinya : hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (Suwitra,
2006).
2.4. Uremia.
Uremia adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan kadar nitrogen
urea dalam serum (azotemia) yang terjadi pada pasien gagal ginjal. Gejala uremia
muncul ketika GFR turun sampai kurang lebih 20% dari normal. Uremia juga
merupakan suatu tanda proinflamasi kronik seperti CRP dan meningkatnya kadar
commit todengan
sitokin proinflamasi yang berhubungan user peningkatan angka kematian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

Sitokin ini serta rangsangan inflamasi diduga mempunyai peran yang penting
terhadap progresifitas terjadinya proses aterosklerosis (Nolan, 2005).
Sampai saat ini donor ginjal masih sedikit, sehingga terapi uremia
didominasi oleh dialisis (Meyer dan Hostetter, 2007; Sukandar, 2006).
Pada pasien yang menjalani dialisis, mikroinflamasi kelihatannya menjadi
proses predisposisi dari cepatnya proses aterosklerosis dan komplikasi PJV.
Mikroinflamasi ini akan meningkatkan proses aterosklerosis pada pasien yang
menjalani dialisis kronik serta berhubungan dengan suatu keadaan inflamasi dan
kalsifikasi arteri koroner (Kras, 2007).
Saat ini dapat dipahami bahwa ada hubungan antara milieu uremia yang
merupakan suatu keadaan inflamasi ringan yang berjalan kronik. Dari beberapa
data menunjukkan bahwa fungsi ginjal memegang peranan yang penting pada
proses inflamasi, serta fungsi ginjal yang menurun ini berhubungan dengan
meningkatnya respon inflamasi (Suliman dan Stenvikel, 2008).
Uremia pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis, diduga akan
menyebabkan peningkatan kadar sitokin, disamping itu proses dialisis itu sendiri
turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan sekresi sitokin pada akhir
pelaksanaan hemodialisis. Dalam hal ini, membran dialisis dapat merangsang
meningkatnya pelepasan sitokin. Tetapi dengan dialisis yang rutin dan jangka
panjang akan terjadi penurunan jumlah sitokin secara bermakna bila dibanding
dengan pasien PGK yang hanya diterapi konservatif (Malaponte, 2002; Sukandar,
2006).
2.5. Program Terapi Penyakit Ginjal Kronik
Pada pasien penyakit ginjal kronik, kematian tersering diakibatkan oleh
penyakit jantung vaskuler dengan mortalitas hampir 40% hingga 50% jika disertai
gangguan serebrovaskuler pada pasien yang dilakukan dialisis reguler (Amaresan,
2005; Sukandar, 2006; Razeghi E dkk, 2008).
Perubahan-perubahan faal ginjal (LFG), bersifat individual untuk setiap
pasien gagal ginjal kronik, lama terapi konservatif bervariasi, dari bulan sampai
tahun. Pada gambar di bawah, akan terungkap algoritme program terapi PGK.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

Penyakit Ginjal Kronik

Konservatif

Penyakit Ginjal Terminal

Hemodialisis
Meninggal Dialisis /CAPD

Gagal

Transplantasi Berhasil

Gambar 2.1. Algoritme Program Terapi Penyakit Ginjal Kronik (Sukandar, 2006)

Pada pasien penyakit ginjal kronik, kematian tersering diakibatkan oleh


penyakit jantung vaskuler dengan mortalitas hampir 40% hingga 50% jika disertai
gangguan serebrovaskuler pada pasien yang dilakukan dialisis reguler (Amaresan,
2005; Sukandar, 2006; Razeghi dkk., 2008).
Tabel 2.3 Mortalitas Pasien yang Menjalani Dialisis

PENYAKIT PROSENTASE
1. Jantung vaskuler
Infark miokard 14
Gagal jantung kongestif 13
Henti jantung 13
2. Gangguan serebrovaskuler 11
3. Infeksi 11
4. Lain – lain 38

Sumber : (Sukandar, 2006)

Sebelum dilakukan hemodialisis, pada pasien dengan uremia, inflamasi


kronis sering terjadi. Uremia yang berkaitan dengan inflamasi, menjadi penentu
yang menjelaskan tetap tingginyacommit
kematian
to akibat
user penyakit jantung vaskuler pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

hemodialisis. Aterosklerosis merupakan salah satu penyebab utama morbiditas


dan mortalitas pasien penyakit ginjal kronis (Papagiani dkk, 2003; Massy, 2005).
Ada tiga faktor penting yang berperan pada kerusakan vaskuler pada
penyakit ginjal kronis yaitu : (1). Faktor resiko yang klasik (framingham)
diantaranya hipertensi, dislipidemia, merokok dan diabetes mellitus; (2). Kelainan
yang terjadi pada penyakit ginjal kronis, diantaranya: uremia, sekunder
hiperparatiroid serta paparan pada bioincompabilitas membran dialisis serta cairan
dialisat tidak steril ; (3). Faktor resiko yang muncul seperti hiperhomosisteinemia,
aktifitas simpatik yang meningkat serta akumulasi dari inhibisi endogen seperti
sintesis nitrit-oxide (NO), asimetric dimethylarginin (ADMA) (Tripepi, 2003).
Pasien penyakit ginjal kronik memiliki resiko tradisional dan non
tradisional yang besar untuk penyakit jantung vaskuler, tetapi mekanisme spesifik
yang memediasi meningkatnya PJV belum terdefinisikan dengan baik. Namun
akhir-akhir ini, proses utama yang menyebabkan aterosklerosis telah memasukkan
inflamasi sebagai faktor yang memperberat aterosklerosis, seperti terlihat pada
gambar 2.2 (Stinghen dan Pecoits F, 2007).

Gambar 2.2. Menjelaskan Patogenesis PJV pada pasien PGK


(Sumber: Nolan, 2005)

Pada pasien dengan hiperuremia yang kronis yang disebabkan baik oleh
commitfaktor-faktor
faktor-faktor renal maupun non renal, to user resiko penyakit jantung dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

aterosklerosis saling mempengaruhi sebagai komorbiditas, seperti terlihat pada


gambar 2.3 di bawah ini :

Gambar 2.3. Faktor – Faktor Resiko Atherosklerosis pada Uremia


(Sumber: Santoro dan Mancini, 2002)

Pada gambar 2.4. dibawah ini, menjelaskan bahwa PGK menstimulasi


akumulasi toksin ureum, produksi ROS serta gangguan metabolisme mineral.
Sebagai akibatnya, semua itu akan menstimulasi sitokin pro inflamasi sistemik
seperti TNF-α dan IL-1 merangsang pembentukan CRP dan fibrinogen serta
respon vaskuler (MCP-1, IL-1β, ICAM-1 dan VICAM-1), yang nantinya akan
menyebabkan stimulasi disfungsi endotel, memudahkan terjadinya pembentukan
plak dan proses terjadinya aterosklerosis.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

Gambar 2.4. Menggambarkan Proses terjadinya Aterosklerosis


(Sumber: Stinghen, 2007)
2.6 Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF –α)
Tumor Necrosis Factor-alpha (TNF–α) dibentuk atas 212 asam amino
diatur pada homotrimers yang stabil dengan berat molekul 17 kDa. TNF-α adalah
suatu sitokin yang bersifat pleiotropik yang mempunyai kemampuan besar
terhadap efek proinflamasi pada aterosklerosis dan metabolik lain dan kelainan
inflamasi seperti obesitas dan resistensi insulin yang juga merupakan faktor resiko
terhadap PJV. TNF-α diproduksi oleh monosit dan makrofag. Keterlibatan TNF-α
dalam patogenesis aterosklerosis didukung oleh adanya plak aterosklerosis pada
manusia. Selain itu, kadar TNF-α dalam sirkulasi berhubungan dengan
peningkatan risiko infark miokardium yang berulang (Ridker dkk., 2000;
Kleemann dkk., 2008). TNF-α yang aktif dihasilkan oleh makrofag, NK sel, T-
limfosit dan B-limfosit (Morgera, 2003). PGK merupakan suatu penyakit
inflamasi, dimana stimulus inflamasi yang banyak terdapat pada pasien PGK
commit
menyebabkan dilepaskannya sitokin to user
termasuk inteleukin (IL-1, IL-6 dan TNF- α).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

Meningkatnya kadar TNF- α terdapat pada keadaan inflamasi akut dan kronik
(Popa dkk., 2007). Angka normal dari TNF- α adalah < 8.1 pg/ml (Guntur, 2004).
Bagaimana TNF-α dapat diekspresikan dalam darah dapat diterangkan
pada gambar 2.5. Produk dari bakteri yang berupa lipopolisakarida (LPS) dapat
merangsang makrofag untuk mengekskresikan TNF-α. Pada jalur lain virus,
parasit, jamur yang berperan sebagai superantigen melalui sel limfosit
merangsang pembentukan Interferon (IFN) yang pada akhirnya juga dapat
merangsang makrofag untuk mengekskresikan TNF-α.

Gambar 2.5. Jalur Terbentuknya Sitokin Proinflamasi (dikutip dari Guntur, 2004).
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dandona dan kawan-kawan,
pada saat dilakukan hemodialisis akan terjadi kontak antara endotoksin yang
biasanya dihasilkan oleh bakteri Escherichia coli dengan darah, TNF-α akan
mulai diekspresikan dengan cepat 1 jam setelah kontak kemudian kadar TNF-α
akan mencapai puncak setelah 90 menit, dan mulai menurun setelah 6
jam.(Dandona, 1994)
2.7. Limfosit pada Sistem Imun
Sistem imun tubuh manusia berguna untuk melakukan resistensi terhadap
commit
penyakit, terutama penyakit infeksi. to user
Sistem imun tubuh terdiri atas sistem imun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

alamiah atau non spesifik (innate/natural) dan didapat atau spesifik


(adaptive/acquired). Sistem imun spesifik memiliki kemampuan untuk mengenali
benda asing (antigen) dan kemudian menyingkirkannya dari sistem tubuh untuk
mencegah kerusakan pada tubuh. Sistem imun tubuh spesifik ini utamanya
diperankan oleh sel darah putih (leukosit) yang berperan banyak dalam
menjalankan sistem kekebalan humoral maupun selular. Limfosit adalah salah
satu jenis dari leukosit yang berperan dalam system imun tubuh, baik humoral
maupun selular. Lebih spesifik lagi, limfosit T, Limfosit B dan Natural Killer Sel.
Limfosit T dan B berperan dalam system imun selular, sedangkan sel Natural
Killer berperan dalam system imun humoral (Gandasurya, 2003).
Limfosit ini berperan pada adaptive immunity, yang artinya mereka
melakukan deferensiasi setelah mengenali antigen dengan membentuk limfosit
efektor dan limfosit memori. Limfosit efektor berguna untuk menghancurkan
antigen, baik dengan melepaskan antibody (dalam hal ini limfosit B, maupun
cytotoxic granul yang dilepaskan oleh sel T-sitotoxic). Adapun sel limfosit T-
helper juga memiliki peran yang utama dalam menjalankan respon sistem imun,
sebagai Antigen Presenting Cell yang memberi sinyal pada sel imun lain. Sel
memori ini kemudian tetap berada di sirkulasi selama beberapa waktu (5 minggu
hingga beberapa tahun) untuk mempersiapkan diri menghadapi antigen yang sama
di masa yang akan dating (Baratawidjaya, 2001)
Hitung limfosit secara mikroskopik tidak dapat membedakan antara
limfosit T dan limfosit B. Meningkatnya jumlah limfosit dalam tubuh
(limfositosis) biasanya merupakan tanda laboratorium dari terjadinya infeksi suatu
penyakit, dan bias pula terjadi pada pasien leukemia. (Baratawidjaya, 2001)
Pada pasien hemodialisa yang berulang pada pasien penyakit ginjal kronis
yang menerima terapi hemodialisa akan ditemui kadar limfosit yang menurun,
pathogenesis dan patofisiologi dari keadaan ini kurang begitu dimengerti,
hipotesis yang ada saat ini bahwa kadar ureum dan toksik metabolit lainnya yang
tidak bisa diekskresikan oleh ginjal menyebabkan defek dari jumlah, fungsi dan
umur limfosit tersebut (Meiyer, 2003)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

Berkurangnya kadar limfosit yang beredar meningkatkan resiko terjadinya


infeksi pada pasien penyakit ginjal kronis stadium terminal. Berdasarkan studi
klinis, pada pasien penyakit ginjal kronis stadium terminal, ditemukan kadar
oksidan dalam darah yang meningkat disertai dengan meningkatnya sitokin pro-
inflamasi. Hal ini disebabkan karena adanya interaksi antara membran dialisa
dengan darah menginduksi terjadinya proses peradangan akut yang berujung pada
perubahan jumlah dan fungsi limfosit. (Donati, 2002)
2.8. Hemodialisis
Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal buatan dengan
tujuan untuk mengeliminasi sisa-sisa produk metabolisme (protein) serta koreksi
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara kompartemen darah dan
dialisat melalui selaput membran semipermiabel yang berperan sebagai ginjal
buatan.
Komplemen yang teraktivasi dan leukosit, menyebabkan reaksi inflamasi
yang disebut dengan bioinkompatibilitas. Dimana proses ini tidak terlalu kuat bila
menggunakan membran sintetik yang mempunyai ukuran pori-pori yang besar
yang memudahkan aliran air dan meningkatkan kekuatan ultrafiltrasi, sehingga
dapat memudahkan molekul besar seperti solute uremia dibandingkan dengan
membran yang memiliki ukuran pori yang kecil (Boure T dan Vanholder R, 2004)
Beberapa zat terlarut (solute) seperti albumin, fibrin, β2-microglobulin,
komponen aktif komplemen, sitokin (IL-1 dan TNF-α) akan mengalami absorbsi
ke dalam membran dializer selama berlangsungnya proses hemodialisis. Sebagian
dari zat terlarut (solute) tersebut akan dieliminasi dari darah. Proses absorbsi
protein tergantung dari sifat hidrofobik membran.(Sukandar, 2006).
2.9. Kortikosteroid
Glukokortikoid dihasilkan dari glandula adrenal, mempunyai banyak fungsi
metabolisme karbohidrat, keseimbangan cairan dan elektrolit. Dapat memperbaiki
gejala klinik penyakit tetapi bukan merupakan terapi kausalis. Mempunyai efek
terhadap inflamasi-alergi berupa menekan aktivitas hiperreaktivitas tipe I, III dan
IV. Mempunyai peran baik terhadap reaksi alergi dan inflamasi (Guntur, 2004).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

Kortisol dan analog sintetisnya dapat mencegah atau menekan timbulnya


gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik atau alergen. Gejala ini
umumnya berupa kemerahan, rasa sakit dan panas, pembengkakan di tempat
radang. Secara mikroskopis obat ini kecuali menghambat fenomena inflamasi dini
udem, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan
aktivitas fagositosisnya, juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang telah
lanjut (proliferasi kapiler dan fibroblas, pengumpulan kolagen dan pembentukan
sikatrik) (Guntur, 2004).
Glukokortikoid memiliki efek anti inflamasi dan imunomodulator. Kortisol
menghambat transkripsi pengkodean gen sitokin pro inflamasi dengan cara
menurunkan aktivitas nuclear factor kappa (NF-кB) sebagai hasilnya,
kortikosteroid akan menghambat sintesis atau aksi sebagian besar sitokin pro
inflamasi (Rhen dan Cidlowski, 2005).
Meskipun efek anti inflamasi kortikosteroid terutama disebabkan oleh
penekanan sintesis sitokin pro inflamasi, sebagian efek juga disebabkan
peningkatan produksi sitokin anti inflamasi seperti IL-10. Glukokortikoid
menyebabkan pergeseran dari respon Th1 ke respon Th2, dimana akan terjadi
peningkatan produksi IL-4, IL-10 dan IL-13 (Ramirez, 1996).
Glukokortikoid mengurangi reaksi inflamasi dengan menurunkan ekspresi
molekul adhesi, menekan pengeluaran enzim proteolisis dan menghambat
aktivitas Cyclo-Oxygenase dan sintesis Nitric Oxide. Penghambatan sintesis Nitric
Oxide dan aktivitas Cyclo-oxygenase 2 tidak hanya menurunkan regulasi reaksi
inflamasi tetapi juga memiliki efek positif pada hemodinamik dengan mengurangi
produksi vasodilator dan faktor pro-koagulan. Aksi utama glukokortikoid selama
respon stres dapat dilihat pada tabel 2 (Marik dan Zaloga, 2002).
Bila glukokortikoid digunakan untuk masa kerja yang singkat (kurang dari
1 minggu) maka jarang terjadi efek samping yang serius. Bila diberikan untuk
waktu beberapa bulan atau tahun, timbul supresi adrenal, sedangkan pemberian
dengan dosis harian 100 mg kortisol atau lebih selama lebih dari 2 minggu akan
terjadi sindroma Cushing iatrogenik (Medrol, 2005)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

2.9.1. Steroid dalam tubuh


Secara konvensional aktivasi produksi kortisol timbul melalui aktivasi
corticotropin releasing hormon-adrenocorticotropic hormon (CRH-ACTH). CRH
hipotalamus mengaktifasi kelenjar pituitari untuk mengeluarkan ACTH yang
selanjutnya akan memacu kortek adrenal untuk memproduksi kortisol dan
dehydroepiandrosterone. Sekresi CRH terjadi secara pulsatif dan ini diikuti oleh
pengeluaran ACTH secara pulsatif. Sistem simpatis susunan syaraf pusat akan
menstimulasi hipotalamus untuk memproduksi CRH (Marik dan Zaloga, 2002)
Kortisol bentuk kortikosteroid yang disekresi oleh kortek adrenal pada
orang sehat tanpa stress mempunyai kadar diurnal sesuai dengan rangsangan
kortikotropin yang disekresi oleh kelenjar pituitaria. Sekresi kortikotropin
dirangsang oleh Corticotropin Releasing Hormon (CRH), di mana <10% dalam
bentuk bebas. Pada keadaan infeksi berat/sepsis, trauma, luka bakar, dan operasi
akan terjadi peningkatan sekresi kortisol akibat peningkatan sekresi hormon
kortikotropin dan CRH. Mekanisme feed back tidak bekerja maksimal sehingga
variasi diurnal sekresi kortisol tidak normal. Gangguan pada mekanisme aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal dikatakan disebabkan oleh banyaknya sitokin di
dalam sirkulasi pada keadaan tersebut. Pada keadaan ini juga terjadi penurunan
corticosteroid-binding globulin (CBG) sehinggga kortisol bebas akan semakin
tinggi.
Proses inflamasi dikatakan dapat memecah ikatan CBG dengan kortisol
oleh enzim neutrofil elastase. Sitokin inflamasi juga dapat meningkatkan kortisol
di jaringan karena sitokin ini dapat merubah metabolisme kortisol perifer dan
meningkatkan afinitas reseptor glukokortikoid terhadap kortisol. Tetapi tingginya
kadar sitokin inflamasi pada sepsis secara langsung dapat menghambat sintesa
kortisol oleh adrenal. Pemberian terapi kortikosteroid jangka lama dapat menekan
sekresi kortikotropin dan CRH akan menimbulkan atropi adrenal terutama jika
diberikan hidrokortison 30 mg sehari selama lebih dari 3 minggu. Pada keadaan
kadar sitokin yang rendah dalam darah, jaringan akan lebih sensitif terhadap
kortisol dibandingkan dengan keadaan sitokin tinggi yang akan menyebabkan
commit respon
resistensi. Hal ini menandakan perlunya to user adrenal yang normal untuk dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

mengontrol inflamasi. Hal ini sering disebut sebagai functional adrenal


insufficiency atau relative adrenal insufficiency artinya walaupun kadar kortisol
tinggi tetapi belum cukup untuk menekan proses inflamasi (Marik dan Zaloga,
2002 ; Cooper dan Stewart, 2003).
Keadaan critical illness juga dapat menyebabkan gangguan respon dari
kortisol. Keadaan tersebut disebabkan adanya gangguan dari aksis hipotalamus-
pituitari-adrenal, sehingga terjadi insufisiensi kortisol. Sintesis kortisol pada
adrenal dapat mengalami kekurangan, hal ini disebabkan adanya infark pituitary,
perdarahan adrenal, septikaemia dan sepsis. Pada keadaan sepsis dimana terjadi
peningkatan sitokin pro-inflamasi, dapat menghambat sintesis kortisol dari
adrenal (Guntur,2008).
Tes untuk menentukan terdapat respon atau tidak ada respon dilakukan tes
dengan memberikan 250 μg kortikotropin stimulasi dan diabsorbsi selama 30-60
menit. Bila terjadi peningkatan berarti masih dalam keadaan refrakter, tetapi
sebaiknya penggunaan steroid tidak perlu menunggu hasil tes tersebut (Cooper
dan Stewart, 2003)
Tabel 2.4. Aksi Glukokortikoid Selama Respon Stres

Efek Kardiovaskuler
- Menjaga tonus vaskluer
- Mengatur permeabilitas vaskuler
- Meningkatkan sensitifitas vaskuler terhadap katekolamin
- Mengatur pengeluaran kalium dan potassium
- Mengatur pengeluaran air
- Meningkatkan sintesis dan afinitas reseptor β adrenergic

Efek Anti Inflamasi


- Mengurangi produksi sitokin pro inflamasi (TNF-α, IL-1β, IL-6)
- Meningkatkan sintesis sitokin anti inflamasi (IL-10, IL-Ira)
- Menurunkan ekspresi molekul adhesi
- Menghambat sintesis kemokin
- Menghambat sintesis phospholipase A2
- Menghambat sintesis cyclooxygenase-2
- Menghambat sintsesis nitric oxide Synthase

Efek Metabolik
- Menstimulasi glukoneogenesis
- Menghambat ambilan glukosa di jaringan perifer
- Menstimulasi glikogenolisis di hepar
- Aktivasi proses lipolisis
commit to user
Dikutip dari : (Marik dan Zaloga, 2002)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

Titik tangkap pemberian kortikosteroid dosis rendah pada inflamasi adalah


mengurangi respon inflamasi sistemik, sebagai vasopressor, menghambat
produksi sitokin pro inflamasi, menghambat produksi mediator-mediator
inflamasi seperti cyclooksigenase-2, menurunkan adhesi leukosit ke endotel
(Anane dan Caillon, 2003)
Kortikosteroid mampu memblok jalur inflamasi melalui sejumlah jalur.
Antara lain kortikosteroid mampu menghambat produksi prostaglandin melalui (i)
induksi dan aktivasi annexin-1, (ii) induksi MAPK fosfatase-1, dan (iii) menekan
transkipsi siklooksigenase-2. Kortikostreroid juga dapat menghambat produksi
sitokin-sitokin proinflamasi melalui penghambatan aktivasi NF Kappa Beta.
(Rhen dan Cidlowski,2005)

LPS bp
ENDOTOKSIN - Metformin
TLR4

CD14 - Insulin Treatment


MD-2
- Oestrogen

My D88 - Statin
IRAK - ACE Inhibitor
TRAF6 - AG II Blocker
- Anti ROS
- NO
NIK/MKK
- Bradikinin
IKK M
-Low dose
NF-KB
Kortikosteroid
Target Genes
IL-6 IL-12
CYTOKINES IL-8
TNF-
IL-1
TGFβ-1
Guntur, 2008, Bratawijaya, Purwanto 2010

Gambar 2.6. Titik Tangkap Steroid Dosis Rendah pada Inflamasi


(Sumber : Guntur, 2008 ; Purwanto,2010)

Pemberian kortikosteroid dosis rendah dapat mengurangi respon inflamasi


sistemik, sebagai vasopresor, menghambat produksi sitokin pro inflamasi,
menghambat produksi mediator-mediator inflamasi, dan menurunkan adhesi
leukosit ke endotel (Anane dan Cailon, 2003). Selain itu penggunaan
kortikosteroid mampu menurunkan ekspresi IL-6 dan iNOS sebagai pemicu
apoptosis yang diinduksi oleh commit
sejumlah rangsangan inflamasi (Sorrels dan
to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

Sapolsky, 2007; Roth dan Hanspeter, 2004). Sehingga kortikosteroid dosis rendah
akan menghambat ekspresi NF-KB maupun caspase (Szabo dkk., 2002).
Dalam hubungannya dengan apoptosis, kortikosteroid menunjukkan efek
berupa penekanan maupun potensiasi terhadap proses apoptosis. Kortikosteroid
yang dilepaskan selama inflamasi terlihat meningkatkan apoptosis thymosit
(Moran dkk., 2005), yang dimediatori oleh induksi caspase-9 (Oberholzer dkk.,
2001). Sebaliknya kortikosteroid mempunyai efek anti apoptosis pada netrofil, sel
epitel, dan fibroblas (Moran dkk., 2000).
Penggunaan klinik kortikosteroid sebagai anti inflamasi merupakan terapi
paliatif, dalam hal ini penyebab penyakit tetap ada hanya gejalanya yang
dihambat. Sebenarnya hal inilah yang menyebabkan obat ini banyak digunakan
untuk berbagai penyakit, bahkan sering disebut life saving drug, tetapi juga
mungkin menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Karena gejala inflamasi ini
sering digunakan sebagai dasar evaluasi terapi inflamasi, maka pada penggunaan
glukokortikoid kadang-kadang terjadi masking effect, dari luar penyakit
nampaknya sudah sembuh tetapi infeksi di dalam masih terus menjalar (Guntur,
2004).
2.9.2. Metilprednisolon
Metilprednisolon adalah derivat dari prednisolon yang mempunyai
kelebihan sebagai anti inflamasi yang sangat kuat dengan efek samping yang lebih
sedikit bila dibandingkan dengan steroid yang lain. Efek retensi air dan sodium
sangat minimal, efek samping iritasi lambung juga minimal. Metilprednisolon
dimetabolisme di dalam hepar menjadi metabolit inaktif yaitu 20B-
hydroksimethylperdnisolon dan 20B-hydroksi-6a methylprednisolone (Medrol,
2005).
Sebagai adrenokortikoid, metilprednisolon berdifusi melewati membran dan
membentuk kompleks dengan reseptor sitoplasmik spesifik. Kompleks tersebut
kemudian memasuki inti sel, berikatan dengan DNA dan menstimulasi rekaman
messenger RNA (mRNA) dan selanjutnya sintesis protein dari berbagai enzim
akan bertanggung jawab pada efek sistemik adrenokortikoid (Medrol, 2005).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag


dan leukosit pada lokasi inflamasi. Metilprednisolon juga menghambat
fagositosis, pelepasan enzim lisosomal, sintesis dan atau pelepasan beberapa
mediator kimia inflamasi. Meskipun mekanisme yang pasti belum diketahui
secara lengkap, kemungkinan efeknya melalui blokade faktor penghambat
makrofag (MIF), menghambat lokalisasi makrofag, reduksi atau dilatasi
permeabilitas vaskuler yang terinflamasi, dan mengurangi lekatan leukosit pada
endothelium kapiler, menghambat pembentukan oedem dan migrasi leukosit serta
meningkatkan sintesis lipomodulin (macrocortin), suatu inhibitor fosfolipase A2,
memediasi pelepasan asam arakidonate dari membran fosfolipid (Medrol, 2005).
Metilprednisolon mempunyai waktu paruh 78-188 menit di dalam darah,
dan mempunyai konsentrasi puncak dalam 1-2 jam setelah diberikan. Pemberian
dosis metilprednisolon dibagi dalam 2 kategori yaitu dosis tinggi diberikan
dengan dosis > 60 mg perhari atau setara dengan hidrocortison >300 mg perhari.
Dosis rendah diberikan dalam 6o mg perhari atau setara dengan hidrocortisone
300 mg perhari (Anane, 2007).
Tabel 2.5. Perbandingan Dosis Ekivalen Kortikosteroid Sistemik

Nama Potensi antiinflamasi relatif Dosis ekivalen (mg)

Hidrokortison 1 20
Kortison 0,8 25
Prednison 4 5
Metilprednisolon 5 4
Prednisolon 5 4
Deksametason 20-30 0,75
Sumber : (Medrol, 2005)

Metilprednisolon dalam dosis sedang dan diberikan dalam waktu kurang


dari 2 minggu, tidak akan menimbulkan efek samping secara umum. Sedangkan
pemberian dalam dosis besarpun dan diberikan dalam waktu lebih dari 2 minggu,
tidak akan menimbulkan efek retensi natrium seperti glukokortikoid lainnya
(Medrol, 2005).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1.Kerangka Konseptual
Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel, dimana pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra,
2006)
Hemodialisis merupakan merupakan salah satu terapi pengganti ginjal
buatan yang bertujuan untuk mengeliminasi sisa-sisa produk metabolisme
(protein) dan memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara
kompartemen ginjal buatan (Rahardjo dkk., 2006).
Beberapa zat terlarut seperti albumin, fibrin, β2-mikroglobulin, komponen
aktif komplemen serta sitokin (IL-1 dan TNF-α) akan mengalami absorbsi ke
dalam membran dializer selama proses hemodialisis dan sebagian dari zat tersebut
akan dieliminasi dari darah (Sukandar, 2006).
Pada PGK, toksik uremik akan mengakibatkan perubahan phenotipe sel-sel
endotel dan akan meningkatkan produksi ROS serta gangguan metabolisme
mineral. Sebagai akibatnya, semua itu akan menstimulasi sitokin pro inflamasi
sistemik seperti TNF-α dan IL-1 merangsang pembentukan CRP dan fibrinogen
serta respon vaskuler (MCP-1, IL-1β, ICAM-1 dan VICAM-1), yang nantinya akan
menyebabkan stimulasi disfungsi endotel, memudahkan terjadinya pembentukan
plak dan proses terjadinya aterosklerosis. Hemodialisis akan merangsang produksi
sitokin pro inflamasi seperti IL-1, IL-6 dan TNF-α. IL-6 akan merangsang
pembentukan hs-CRP, yang nantinya akan mengaktifkan sistem komplemen.
Komplemen yang teraktivasi dan leukosit, menyebabkan reaksi inflamasi yang
disebut dengan bioinkompatibilitas (Boure dan Vanholder, 2004 ; Stinghen dan
Pecoits-F, 2007).
Kortisol dan analog sintetisnya dapat mencegah atau menekan timbulnya
gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik atau alergen. Gejala ini
commit
umumnya beruipa kemerahan, rasa sakitto dan
userpanas, pembengkakan di tempat

23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

radang. Secara mikroskopis obat ini kecuali menghambat fenomena inflamasi dini
udem, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan
aktivitas fagositosisnya, juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang telah
lanjut (proliferasi kapiler dan fibroblas, pengumpulan kolagen dan pembentukan
sikatrik) (Guntur, 2005).
Titik tangkap pemberian kortikosteroid dosis rendah pada inflamasi adalah
mengurangi respon inflamasi sistemik, sebagai vasopressor, menghambat
produksi sitokin pro inflamasi, menghambat produksi mediator-mediator
inflamasi seperti cyclooksigenase-2, menurunkan adhesi leukosit ke endotel
(Anane dan Caillon, 2003)
Kortikosteroid mampu memblok jalur inflamasi melalui sejumlah jalur.
Antara lain kortikosteroid mampu menghambat produksi prostaglandin melalui (i)
induksi dan aktivasi annexin-1, (ii) induksi MAPK fosfatase-1, dan (iii) menekan
transkipsi siklooksigenase-2. Kortikostreroid juga dapat menghambat produksi
sitokin-sitokin pro inflamasi melalui penghambatan aktivasi NF Kappa Beta
(Rhen dan Cidlowski, 2005).

3.2.Hipotesis Penelitian
3.2.1 Metilprednisolon dosis rendah dapat menurunkan kadar TNF-α pada
pasien PGK stadium V yang menjalani hemodialisis .
3.2.2 Metilprednisolon dosis rendah dapat meningkatkan hitung limfosit
pada pasien PGK stadium V yang menjalani hemodialisis .

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

Penyakit Ginjal Kronik stadium V

Hemodialisis

Bio-inkompatibilitas Kontaminasi Lose


Membran dialisis cairan dialisat dialiser

Ag - Ab
Meningkatkan Menurunkan

Makrofag

├─────────────────────── metilprednisolon

IL- 6 IL -1β  PGE2  TNF -α 

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

1. : meningkatkan
2. : menurunkan
3.├──── : menghambat
4. Ag – Ab : Antigen – Antibodi
5. TNF–ά : Tumor Necrosis Factor- alpha
6. IL-1β : Interleukin- 1 beta.
7. IL-6 : Interleukin – 6
8. PGE2 : Prostaglandin E2

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini adalah eksperimen dengan randomisasi (Randomized
Control Trial / RCT )
4.2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Unit Hemodialisis RSUD Dr. Moewardi
Surakarta.
4.3. Populasi Sampel
4.3.1. Populasi sasaran : Pasien Penyakit Ginjal Kronik stadium V yang telah
melakukan hemodialisis selama 3 bulan sampai 5
tahun.
4.3.2. Populasi sumber : Pasien Penyakit Ginjal Kronik stadium V yang telah
melakukan hemodialisis selama 3 bulan sampai 5
tahun seminggu sekali di unit Hemodialisa RSUD
Dr. Moewardi Surakarta.
4.3.3.Populasi sampel : Diambil acak pada semua pasien Penyakit Ginjal
Kronik stadium V yang telah menjalani hemodialisis
selama 3 bulan sampai 5 tahun seminggu sekali di
Unit Hemodialisa RS Dr. Moewardi Surakarta, dan
bersedia diambil darahnya untuk penelitian.
4.4. Besar Sampel
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen pendahuluan sederhana
dengan menggunakan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, maka
jumlah anggota sampel ditentukan masing-masing antara 10 s/d 20 (Dahlan,
2005 ; Sugiyono 2009).

commit to user

26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27

Sedangkan menurut Steel dan Torrie , penelitian eksperimental ini dilakukan

pada populasi (N) tidak diketahui,sehingga dapat dipakai rumus untuk

menentukan besar sampel (n) sebagai berikut:

n= (Steel and Torrie, 1980)

2
Karena sulit ditaksir dari literatur, studi yang sama sebelumnya atau studi
2 2
pendahuluan oleh peneliti, maka diasumsikan , sehingga hasilnya

n= (Z½ + Z )2

n = (1,645 + 0,842)2 = 6,185 dibulatkan menjadi 7

Keterangan:
n = besar sampel masing-masing kelompok
Z½ = nilai standar normal, yang besarnya tergantung
Bila = 0,05 Z½ = 1,645
Z = nilainya tergantung yang ditentukan (berdasarkan tabel)
= error untuk menerima H0, bila H0 salah
Bila = 0,08 Z = 0,842
= selisih antara rerata variabel terapi dan kontrol yang
Diharapkan oleh peneliti
= standar deviasi

Maka dalam penelitian ini diambil sampel 30 orang dengan pembagian 15

orang mendapatkan perlakuan dengan metilprednisolon dan 15 orang tanpa

perlakuan.

4.5. Identifikasi Variabel


4.5.1. Variabel tergantung :
commit to user
a. TNF –α
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28

b. Hitung Limfosit
4.5.2. Variabel bebas : metilprednisolon dosis rendah, hemodialisis
4.6. Definisi Operasional
4.6.1. Penderita Gagal Ginjal Kronik stadium V :
Penderita yang memenuhi kriteria seperti di bawah ini :
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1.Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
a. Kelainan patologis
b. Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam
komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam test
pencitraan (imaging test)
2.Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3
bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Stadium V : bila Laju Filtrasi Glomerulus < 15, penderita


mengalami penyakit gagal ginjal kronik tanpa melihat
penyebabnya, penderita sudah menjalani hemodialisis selama
minimal 3 bulan, dengan waktu seminggu sekali.
Kriteria Inklusi antara lain :
1. Pasien sudah tegak diagnosis PGK stadium V yang dibuktikan dengan
pemeriksaan USG ginjal, laboratorium darah dan pemeriksaan urin
memenuhi kriteria K/ DOQI 2002
2. Usia 18-59 tahun
3. Pasien tidak sedang dalam kondisi infeksi
4. Pasien tidak dalam keadaan sepsis
5. Tensi sistolik lebih dari 100 mmHg
6. Hb lebih dari 6 mg/ dL
7. Tidak didapatkan aritmia jantung
8. Tidak menderita hepatitis B dan C kronik.

Kriteria Eksklusi antara lain :


1. Pasien PGK dengan nefropati diabetik stadium V
commit to user
2. Pasien PGK yang sedang menjalani terapi dengan steroid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29

3. Pasien PGK stadium V dengan keganasan


4. Pasien PGK stadium V dengan uropati obstruktif.
Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi selanjutnya dilakukan
randomisasi.
4.6.2. Hemodialisis : Alat Hemodialisis yang digunakan adalah dializer
dari Nipro dengan model no FB- 110T dengan spesifikasi :
Sterilisasi EOG
Bahan Cellulose Asetat
Diameter lubang 200 µm
Ketebalan 15 µm
Permukaaan efektif 1,1 m2
Panjang efektif 200 mm
Volume tampung darah 75 mL
Hemodialisis dilakukan selama 4 jam
4.6.3. TNF-α : Kadar TNF-α diukur dari darah responden yang diambil
3-5 menit pra dialisis dan setelah hemodialisis 4 jam,
dilakukan pengukuran secara quantitative metode TNF-α
/ TNFSF 1A Immunoassay di laboratorium Prodia
Surakarta
4.6.4.Hitung Limfosit: diukur dari darah responden yang diambil 3-5
menit pra dialisis dan setelah hemodialisis 4 jam, dan
dilakukan pengukuran secara kualitatif di laboratorium
Prodia Surakarta
4.6.5. Metilprednisolon : Digunakan metillprednisolon dosis rendah
(60 mg) bolus IV 3-5 menit sebelum hemodialisis
4.7. Waktu
Waktu yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 3 bulan.
4.8. Biaya
Biaya penelitian diperkirakan lebih kurang Rp.16.000.000,-
4.9. Cara Kerja
Subyek penelitian diberikan inform consent subyek dibagi 2 kelompok
dengan cara diundi memakai gulungan kertas bertuliskan angka 1-30. Satu
kelompok (yang commit
berangka to user
genap) mendapatkan perlakuan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30

metilprednisolon, dan kelompok yang lain (berangka ganjil) tidak


mendapatkan perlakuan. Kelompok yang tidak mendapat perlakuan, 3-5
menit sebelum dilakukan hemodialisis diambil sampel darahnya, kemudian
diperiksa kadar TNF-α dan hitung limfosit. 4 jam setelah hemodialisis,
diambil kembali sampel darahnya dan dilakukan pemeriksaan kadar hs-CRP
dan komplemen C3. Kelompok yang mendapatkan perlakuan, 3-5 menit
sebelum dilakukan hemodialisis, diambil sampel darahnya untuk diperiksa
kadar TNF-α dan hitung limfosit kemudian diberikan injeksi
metilprednisolon 60 mg intra vena bolus kemudian menjalani hemodialisa. 4
jam setelah hemodialisis berakhir, diambil sampel darahnya untuk diperiksa
kadar TNF-α dan hitung limfosit.
Prinsip pemeriksaan TNF-α (Metode sandwich enzym Imunoassay):
Suatu monoklonal antibodi yang spesifik untuk TNF-α diteteskan/ pre
coated pada microplate. Standar dan sampel diteteskan pada cekungan
microplate yang sudah dilapis antibodi anti TNF-α tersebut. TNF-α
yang ada akan terikat pada antibodi tersebut. Sesudah dilakukan
pencucian untuk membuang substansi yang tidak terikat, suatu enzyme-
linked policlonal antibodi spesifik untuk TNF-α dimasukkan pada
cekungan tersebut. Kemudian dilakukan pencucian lagi. Diberikan
larutan substrat pada cekungan tersebut. Sesudah diinkubasi, diberikan
cairan amplifier dan akan timbul warna sesuai dengan proporsi kadar
TNF-α yang terikat pada antibodi. Perubahan warna yang timbul
ditunggu sampai berhenti dan kemudian dilakukan pengukuran. Kadar
TNF-α dalam serum darah baru dapat terdeteksi bila kadarnya telah
mencapai > 0.5 pg/mL
Prinsip Hitung Limfosit: Sampel diukur dari darah responden yang
diambil 3-5 menit pra dialisis dan setelah hemodialisis 4 jam, dan
dilakukan pengukuran secara quantitative di laboratorium Prodia
Surakarta, kemudian dilakukan uji statistik untuk mengetahui kemaknaan
hitung limfosit tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31

.
Gambar 4.1 Diagram Alur Pemeriksaan TNF-α dan Hitung Limfosit
4.10. Desain analisis statistik
Data yang diperoleh kemudian dilakukan analisis statistik
menggunakan SPSS.13 for windows dengan uji beda mean dengan Uji t
untuk menilai kemaknaan perbedaan mean antara kadar TNF-α dan hitung
limfosit pada pasien PGK stadium V pasca hemodiálisis tanpa pemberian
metilprednisolon dibandingkan dengan kadar TNF-α dan hitung limfosit
pada pasien PGK stadium V pasca hemodiálisis dengan pemberian
metilprednisolon.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32

4.2. Alur Penelitian

Penderita Penyakit Ginjal Kronis std V

Randomisasi

Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol

Sampel darah PraTest Sampel darah Pra Test


TNF-α dan Hitung limfosit TNF-α dan Hitung limfosit

Metilprednisolon 60 mg iv
3 menit sebelum HD

Hemodialisis 4 jam Hemodialisis 4 jam

Sampel darah Pasca Test Sampel darah Pasca Test


TNF-α dan Hitung limfosit TNF-α dan Hitung limfosit

Analisis Statistik

Gambar 4.2 Alur Penelitian

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB 5
HASIL PENELITIAN

5.1. Karakteristik Subyek Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana pengaruh

metilprednisolon dosis rendah terhadap kadar TNF-α dan Hitung Limfosit pada

pasien penyakit gagal ginjal kronis stadium V pasca menjalani hemodialisis

selama 3 bulan sampai 5 tahun. Subyek penelitian berjumlah 30 orang dibagi

dalam dua kelompok sampel yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan

dimana masing-masing berjumlah 15 orang. Kelompok perlakuan mendapatkan

perlakuan dengan pemberian metilprednisolon dosis rendah, sedangkan kelompok

kontrol tidak mendapatkan perlakuan dimaksud.

Sebelum melakukan analisis lebih lanjut, lebih dahulu dijelaskan

karakteristik subyek penelitian untuk masing-masing kelompok sampel. Selain

deskripsi singkat tentang karakteristik subyek penelitian, sekaligus dilihat

sejauhmana tingkat homogenitas karakteristik subyek penelitian itu berdasarkan

kelompok sampel. Karakteristik penelitian yang berupa variabel kualitatif, uji

homogenitas dilakukan menggunakan uji Chi Square. Karakteristik penelitian

yang berupa variabel-variabel kuantitatif, uji homogenitas dilakukan

menggunakan uji beda 2 mean dimana jenis ujinya didasarkan pada distribusi data

variabel karakteristik itu. Jika distribusi data variabel bersifat normal, maka uji

beda 2 mean menggunakan jenis analisis statistik parametrik yaitu uji t untuk beda

2 mean sampel independent. Namun apabila distribusi data bersifat tidak normal,

commit to user

33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34

maka uji beda 2 mean menggunakan jenis analisis statistik non parametrik yaitu

uji Mann-Whitney.

Karakteristik jenis kelamin dan hasil uji homogenitas variabel karakteristik

jenis kelamin dimaksud menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin ternyata

homogen antara kelompok sampel kontrol dan perlakuan. Nilai chi kuadrat

didapatkan sebesar 1,292 dengan probabilitas sebesar 0,256 (p > 0,05) yang

berarti tidak ada perbedaan proporsi jenis kelamin laki-laki atau perempuan antara

kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.

Tabel 5.1.
Perbandingan Jenis Kelamin Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol

Perlakuan Kontrol Uji Chi Square


Jenis Kelamin
n % N % Χ2 P value
Laki-laki 8 53,33 11 73,33
1,292 0,256
Perempuan 7 46,67 4 26,67

Sumber : Data Primer 2012, diolah.

Berdasarkan tabel 5.1. di atas, pada kelompok perlakuan dari 15 orang

sampel terdiri dari 8 orang laki-laki (53,33 persen) dan 7 orang perempuan (46,67

persen), sedangkan pada kelompok kontrol dengan 15 orang sampel terdiri dari 11

orang laki-laki (73,33 persen) dan 4 orang perempuan (26,67 persen). Dengan

komposisi jenis kelamin itu didapatkan hasil pengujian bahwa variabel jenis

kelamin homogen berdasarkan kelompok sampel.

Variabel karakteristik umur responden menunjukka nilai rata-rata 45,67


commit to user
tahun untuk kelompok perlakuan dengan standar deviasi 9,57 tahun dan sebesar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35

46,73 tahun untuk kelompok kontrol dengan standar deviasi sebesar 14,19 tahun.

Distribusi data variabel umur bersifat normal sehingga uji homogenitas untuk

variabel umur digunakan uji parametrik uji t untuk beda 2 mean sampel

independent.

Hasil analisis uji beda 2 mean menggunakan uji t sampel indepent

mendapatkan nilai t sebesar – 0,241 dengan probabilitas 0,811 (p > 0,05). Hasil

itu menunjukkan uji beda 2 mean yang tidak signifikan pada derajat signifikansi 5

persen, yang berarti bahwa rata-rata umur antar kedua kelompok sampel itu tidak

berbeda secara meyakinkan atau dengan kata lain variabel karakteristik umur

bersifat homogen. Deskripsi dan hasil pengujian karakteristik umur adalah sebagai

berikut:

Tabel 5.2.
Perbandingan Umur Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol

Perlakuan Kontrol Uji t Beda 2


Mean
Variabel
Rata- Std Rata- Std Nilai t P value
rata Deviasi rata Deviasi
Umur (tahun) 45,67 9,57 46,73 14,19 -0,241 0,811

Sumber : Data Primer 2012, diolah.

Selain jenis kelamin dan umur sebagai karakteristik demografis, pengujian

homogenitas juga dilakukan terhadap variabel karakteristik klinis yang meliputi

TDS, TDD, Nadi, Suhu, Respirasi, Hemoglobin, Lekosit, Albumin dan GDS serta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
36

PGE2. Setelah masing-masing variabel diuji normalitas datanya, kemudian

dilanjutkan uji homogenitas variabel itu menurut kelompok sampel.

Tabel 5.3.
Perbandingan Variabel Karakteristik Klinis Kelompok Perlakuan dan Kelompok
Kontrol

Perlakuan Kontrol Uji t Beda 2 Mean


Variabel Rata- Std Rata- Std Nilai P value
rata Deviasi rata Deviasi Statistik
1.TDS-pre 165,33 19,59 153.33 34,78 t = 1,164 0,254
2.TDD-pre 92,00 12,65 92,00 18,59 t = 0,000 1,000
3.Nadi-pre 82,13 7,31 80,80 10,55 t = 0,402 0,690
4.Suhu-pre 35,13 0,35 35,73 0,42 Z = 0,000 1,000
5.Respirasi-pre 20,53 1,60 20,53 1,77 Z = - 0,162 0,902
6.Hb pre 8,55 1,13 9,10 2,14 t = - 0,877 0,388
7.Lekosit-pre 6,19 1,33 6,80 2,11 t = - 0,952 0,349
8.Albumin-pre 4,03 0,27 3,81 0,41 t = 1,745 0,092
9.GDS-pre 135,87 75,24 110,40 26,93 Z = - 0,560 0,595
10.PGE2 pre 1750,2 2104.3 1210,9 792,2 t = 0,929 0,361

Berdasarkan deskripsi dan pengujian homogenitas variabel karakteristik klinis

dalam tabel 5.3. di atas menunjukkan bahwa semua variabel karakteristik klinis

bersifat homogen karena perbedaan rata-rata variabel-variabel karakteristik klinis

tersebut pada dua kelompok sampel yaitu kelompok perlakuan dan kelompok

sampel tidak signifikan pada derajat signifikansi 5 persen. Dengan demikian

karena semua variabel karakteristik baik demografis (jenis kelamin dan umur)

maupun variabel klinis (TDS, TDD, Nadi, Suhu, Respirasi, Hemoglobin, Lekosit,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37

Albumin, GDS dan PGE2) bersifat homogen, maka dapat dilanjutkan pada

pengujian selanjutnya yaitu menguji variabel utama TNF-α dan Hitung Limfosit.

5.2. Pengujian Variabel Utama

Pembuktian hipotesis ada pengaruh pemberian metilprednisolon dosis

rendah terhadap kadar TNF-α dan Hitung Limfosit dilakukan dengan dua cara,

yaitu: (i) Menguji beda 2 mean kadar TNF-α dan Hitung Limfosit sebelum dan

sesudah dilakukan perlakuan untuk masing-masing kelompok sampel dengan uji

beda 2 mean untuk sampel berpasangan. Dengan langkah ini diharapkan pada

kelompok perlakuan akan terjadi perbedaan yang signifikan, sedangkan pada

kelompok kontrol tidak terjadap perbedaan yang signifikan karena pada kelompok

ini tidak diberikan perlakuan. (ii) Menguji beda 2 mean variabel perubahan kadar

TNF-α (delta-TNF-α) dan Hitung Limfosit (delta Hitung Limfosit) dengan uji

beda 2 mean untuk sampel independent. Dengan langkah ini diharapkan ada

perbedaan signifikan beda 2 mean kedua variabel perubahan tersebut (delta-TNF-

α dan delta-Hitung Limfosit) antar kelompok perlakuan dan kelompok kontrol,

karena kelompok perlakuan diharapkan mengalami perubahan setelah perlakuan

sedangkan kelompok kontrol tidak berubah setelah perlakuan. Sebelum dilakukan

pengujian beda 2 mean itu, terlebih dahulu juga dilakukan pengujian normalitas

data variabel utama untuk memastikan jenis uji statistik yang akan digunakan

untuk pengujian beda 2 mean dimaksud.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
38

5.3. Hasil TNF-α dan Hitung Limfosit kedua kelompok

Variabel TNF-α dan Hitung Limfosit sebelum dan sesudah perlakuan pada

kelompok kontrol berdistribusi normal, maka uji beda 2 mean untuk sampel

berpasangan dilakukan dengan uji t. Hasil pengujian beda 2 mean variabel TNF-α

dan Hitung Limfosit sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol

menunjukkan hasil pengujian yang tidak signifikan pada derajat signifikansi 5

persen (p > 5 persen). Dengan demikian berarti variabel TNF-α dan Hitung

Limfosit pada kelompok kontrol tidak mengalami perubahan setelah adanya

perlakuan.

Tabel 5.4.
Perbandingan Kadar TNF-α dan Hitung Limfosit Sebelum dan Sesudah Perlakuan
pada Kelompok Kontrol

Sebelum Sesudah Uji t Beda 2 Mean


Variabel Rata- Std Rata- Std Nilai P value
rata Deviasi rata Deviasi Statistik
TNF-α 7,28 5,42 11,16 10,08 t = - 1,646 0,122
Hitung Limfosit 18,34 5,91 16,75 9,80 t = 1,181 0,257

Selanjutnya pada pengujian beda 2 mean sampel berpasangan variabel

TNF-α dan Hitung Limfosit sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok

sampel perlakuan menunjukkan hasil pengujian yang signifikan pada derajat

signifikansi sebesar 5 persen. Hal itu dapat diartikan bahwa setelah mendapatkan

perlakuan, variabel TNF-α dan Hitung Limfosit berubah menurun secara

meyakinkan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
39

Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa dengan adanya

perlakuan pemberian Metilprednisolon dosis rendah dapat menurunkan kadar

TNF-α benar-benar terbukti secara meyakinkan. Namun hipotesis yang

menyatakan bahwa dengan pemberian Metilprednisolon dosis rendah dapat

meningkatkan Hitung Limfosit tidak dapat terbukti secara meyakinkan, bahkan

yang terjadi sebaliknya dimana dengan pemberian Metilprednisolon dosis rendah

itu justru menurunkan secara meyakinkan Hitung Limfosit.

Tabel 5.5.
Perbandingan Kadar TNF-α dan Hitung Limfosit Sebelum dan Sesudah Perlakuan
pada Kelompok Perlakuan

Sebelum Sesudah Uji t Beda 2 Mean


Variabel Rata- Std Rata- Std Nilai P value
rata Deviasi rata Deviasi Statistik
TNF-α 5,98 2,56 4,94 3,20 Z = - 3,124 0,002*
Hitung Limfosit 21,66 5,19 11,02 2,49 t = 9,654 0,000*
Keterangan : * Signifikan pada derajat 5 persen.

Pembuktian hipotesis itu juga dapat dilakukan dengan menggunakan

pengujian atas variabel perubahan TNF-α (delta TNF-α) dan perubahan Hitung

Limfosit (delta-Hitung Limfosit). Variabel perubahan TNF-α (delta TNF-α)

merupakan selisih TNF-α sebelum perlakuan dengan TNF-α sesudah perlakuan,

sedangkan variabel perubahan Hitung Limfosit (delta-Hitung Limfosit)

merupakan selisih Hitung Limfosit sebelum perlakuan dengan Hitung Limfosit

sesudah perlakuan. Maka apabila rata-rata variabel perubahan (delta) itu positif
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
40

menunjukkan adanya penurunan setelah ada perlakuan, dan sebaliknya jika rata-

rata variabel perubahan (delta) itu negatif berarti setelah ada perlakuan variabel itu

mengalami peningkatan.

Rata-rata variabel delta-TNF-α pada kelompok perlakuan positif yang

berarti setelah ada perlakuan kadar TNF-α mengalami penurunan, sementara pada

kelompok kontrol nilai rata-rata variabel delta-TNF-α negatif yang berarti

meningkat setelah ada perlakuan. Hasil pengujian beda 2 mean variabel delta-

TNF-α menunjukkan pengujian yang signifikan pada derajat signifikansi 5 persen.

Hal itu berarti bahwa mean delta-TNF-α pada kelompok kontrol dan perlakuan

berbeda secara meyakinkan. Artinya dengan adanya perlakuan pemberian

Metilprednisolon dosis rendah benar-benar ada kecenderungan kuat dapat

menurunkan kadar TNF-α.

Rata-rata variabel delta-Hitung Limfosit pada kelompok kontrol maupun

kelompok perlakuan bernilai positif yang berarti variabel Hitung Limfosit itu

mengalami penurunan setelah pemberian perlakuan. Hasil pengujian beda 2 mean

variabel delta-Hitung Limfosit mendapatkan pengujian yang signifikan pada

derajat dignifikansi 5 persen. Hal itu berarti bahwa dengan pemberian perlakuan

kadar Hitung Limfosit justru mengalami penurunan yang signifikan.

Dengan demikian hipotesis pertama yang menyatakan bahwa pemberian

Metilprednisolon dosis rendah dapat menurunkan kadar TNF-α benar-benar dapat

dibuktikan. Namun hipotesis kedua yang menyatakan bahwa pemberian

Metilprednisolon dosis rendah tidak dapat meningkatkan kadar Hitung Limfosit

secara meyakinkan, bahkan pemberian itu menurunkan secara meyakinkan kadar


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
41

Hitung Limfosit. Hasil pengujian beda 2 mean variabel delta-TNF-α dan delta-

Hitung Limfosit adalah sebagai berikut:

Tabel 5.6.
Perbandingan Delta-TNF-α dan Delta-Hitung Limfosit pada Kelompok Kontrol
dan Kelompok Perlakuan

Kontrol Perlakuan Uji t Beda 2 Mean


Variabel Rata- Std Rata- Std Nilai P value
rata Deviasi rata Deviasi Statistik
Delta-TNF-α - 3,88 9,13 1,04 0,89 Z = - 4,21 0,000*
Delta-Hitung Limfosit 1,59 5,23 10,64 4,27 t = 5,192 0,000*
Keterangan : * Signifikan pada derajat 5 persen.

12 11,15

10

8 7,28
5,97
6 4,93 TNF-α Pre HD
TNF-α Post HD
4

0
PERLAKUAN KONTROL

Gambar 5.1. Grafik Batang rerata kadar TNF-α sebelum dan sesudah HD kedua

Kelompok

Rerata kadar TNF-α pada kelompok perlakuan menurun dari 5,97 pre

hemodialisis menjadi 4,93 pasca hemodialisis, sedangkan Rerata kadar TNF-α

pada kelompok kontrol meningkat dari 7,28 pre hemodialisis menjadi 11,15 pasca

hemodialisis. commit to user


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
42

25 21,66

20 18,34
16,74

15 11,02 Limf Pre HD


10 Limf Post HD

0
PERLAKUAN KONTROL

Gambar 5.2. Grafik Batang rerata Hitung Limfosit sebelum dan sesudah HD
kedua kelompok

Hasil penelitian ini memperlihatkan Hitung Limfosit menurun dari 21,66


pre hemodialisis menjadi 11,02 pasca hemodialisis pada kelompok perlakuan,
sedangkan Hitung Limfosit menurun dari 18,34 pre dialisis menjadi 16,74 pasca
hemodialisis pada kelompok kontrol.

12 10,64
10
8
6
4 Delta TNF-α
1,59
1,04 Delta Limf
2
0
-2
-4 -3,87
PERLAKUAN KONTROL

Gambar 5.3. Grafik Batang rerata kadar TNF-α dan Hitung Limfosit sebelum
dan sesudah HD kedua kelompok

Delta kadar TNF-α pada kelompok perlakuan 1,0405, sedangkan delta


Hitung Limfosit pada kelompok perlakuan 10,64. Delta kadar TNF-α pada
kelompok kontrol -3,87, sedangkan delta Hitung Limfosit pada kelompok kontrol
commit to user
1,59.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB 6
PEMBAHASAN

6.1. Hasil Utama


Pada data awal penelitian didapatkan penyebaran yang merata pada kedua
kelompok penelitian tentang beberapa faktor yang bisa mengganggu hasil
penelitian (tabel 5.1, tabel 5.2, tabel 5.3). Data tersebut meliputi jenis kelamin
didapatkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok
(p=0,256), artinya penyebaran laki-laki dan perempuan merata secara statistik
pada kedua kelompok (Tabel 5.1). Begitu juga sebaran umur, tampak pada tabel
5.2 didapatkan umur rata-rata pada kelompok perlakuan adalah 45,67 ± 9,56, dan
pada kelompok kontrol adalah 46,73 ± 14,9. Dengan menggunakan uji t
didapatkan hasil tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok
(p=0,811). Pada tabel 5.3 tampak beberapa faktor yang kemungkinan
mempengaruhi hasil penelitian, meliputi tekanan darah, nadi, suhu, respirasi,
pernafasan, hemoglobin, lekosit, albumin, dan gula darah juga telah tersebar
merata pada kedua kelompok penelitian, dengan menggunakan uji t didapatkan
perbedaan yang tidak signifikan secara statistik dengan nilai p<0,005 untuk
semua faktor.
Tidak semua faktor perancu kami periksa, karena terdapat banyak sekali
faktor perancu yang kemungkinan mempengaruhi hasil penelitian. Beberapa
faktor pada tabel 5.3 hanya sebagian faktor perancu yang diketahui, dan ternyata
dengan randomisasi menjadi tersebar merata pada kedua kelompok. Dengan
teknik randomisasi, secara statistik semua faktor perancu baik yang diketahui
maupun tidak diketahui diharapkan akan tersebar merata pada kedua kelompok.
Sehingga teknik ini bisa dipakai untuk menyingkirkan semua faktor perancu dari
saat penentuan desain penelitian.
Teknik eksperimen dengan randomisasi (Randomized Control Trial / RCT)
kami pilih karena teknik ini merupakan standar baku penelitian eksperimen,
yang bisa mengeneralisasikan hasil penelitian, sehingga hasil yang didapat pada

commitpasien
penelitian ini bisa dipakai pada semua to userpenyakit ginjal kronik. Selain itu,

43
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
44

dengan teknik ini bisa mengabaikan semua faktor perancu baik yang diketahui
maupun yang tidak diketahui. Pemberian metilprednisolon pada pasien penyakit
ginjal kronik yang menjalani hemodialisa ini sangat banyak faktor perancunya
yang tidak mungkin kami singkirkan semua.
Pada tabel 5.4 tampak bahwa pada kelompok kontrol didapatkan hasil
peningkatan kadar TNF-α yang signifikan pasca hemodialisa. Untuk TNF-α
didapatkan data pre hemodialisa dengan rata-rata 7,28 dan pasca hemodialisa
dengan rata-rata 11,16 dengan p=0,122. Sedangkan kadar Hitung Limfosit
didapatkan penurunan rerata Hitung Limfosit pre hemodialisa dengan rata-rata
18,34 dan pasca hemodialisa didapatkan 16,75 dengan p=0.257. Ini
memperlihatkan bahwa proses hemodialisa memang meningkatkan kadar TNF-α
dan menurunkan kadar Hitung Limfosit sesuai dengan referensi dari banyak
sumber. Antara lain hasil penelitian yang dilakukan oleh Walker dan kawan-
kawan didapatkan peningkatan kadar TNF-α setelah dilakukan hemodialisis
(Walker et al., 2004). Pada penelitian yang dilakukan di Sub Bagian Nefrologi,
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNS/RSDM Surakarta tahun 2009, terbukti
bahwa terjadi peningkatan kadar TNF-α pada pasien CKD Stage V yang
dilakukan hemodialisis, dibandingkan dengan sebelum hemodialisis (Rosy, 2009).
Martin dan kawan-kawan dalam penelitiannya mendapatkan kadar
TNF-α yang mengalami penurunan setelah dilakukan hemodialisis dengan
membran selulosa asetat (Martin et al., 1991). Pada kelompok kontrol penelitian
ini kadar TNF-α mengalami perbedaan yang bermakna antara sebelum dilakukan
hemodialisis dan setelah dilakukan hemodialisis selama 4 jam. Ada beberapa hal
yang dapat menyebabkan peningkatan kadar TNF-α. Dalam penelitian ini
peningkatan kadar TNF-α dapat dipengaruhi oleh beberapa sebab, antara lain :
1. Tipe membran yang dipakai saat dilakukan hemodialisis.
Pada penelitian ini membran dialisa yang dipakai adalah selulosa
diasetat. Menurut Pastan S dan Balley J, selulosa adalah suatu membran
dialisa tipe semi sintetik dengan low flux atau memiliki pori pori membran
dialisat yang kecil yang mampu untuk menahan sel sel darah dan plasma
commit
protein. Selulosa adalah suatu to user dialisa yang mempunyai sifat
membran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45

kompatibel terhadap darah lebih kecil bila dibandingkan dengan membran


dialisat tipe sintetik. Komplemen yang teraktivasi pada saat proses
hemodialisa berlangsung dengan membran selulosa disebabkan oleh :
a. Permukaaan membran selulosa dilapisi oleh gugus hydroxyl yang
merupakan suatu radikal bebas.
b. Bahan selulosa mengandung Limulus Amobocyte-Lysate-Reactive-
Material (LALRM).
Pada saat proses hemodialisa berlangsung, darah yang mengalami
kontak langsung dengan kedua zat ini yang akhirnya dapat merangsang
pelepasan histamin, tromboxan, IL-1 dan TNF-α (Pastan and Balley, 1998).
Singh dan Brenner berpendapat bahwa dengan membran dialisis
berbahan selulosa yang dilapisi dengan asetat (selulosa asetat) maka gugus
hydroxyl akan terikat pada lapisan asetat sehingga menghambat aktivasi
komplemen. Bioinkompatibilitas adalah kemampuan dari membran untuk
mengaktifkan sistem komplemen (Singh and Brenner, 2006).
Ada beberapa tipe membran dialisat yang pada saat ini sudah umum
untuk dipergunakan pada proses hemodialisis seperti dijelaskan pada tabel 1.

Tabel 6.1. Tipe Membran Dialisis


Membrane type Example High or Bio-
Membrane Low Flux Compati
Name bility
Cellulose Cuphrophane Low -
SemisyntheticCellulosederivatives
Cellulose diacetate Cellulose-acetate High/Low +
Cellulose triacetate Cellulose triacetate High ++
Diethylaminoethyl-substitued Hemophane High +
Acetate
Synthetic polymer
Polyacrylonithril methalylsulfomic PAN/AN 29 High ++
Copolymer
Polyacrylonithril methacryl PAN High ++
Copolymer
Polymethylmetacrylate PMMA High/Low ++
Polysulfone Polusulfone High ++

commit to(Dikutip
user dari Pastan dan Balley, 1998)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
46

2. Kontaminasi Cairan Dialisis.

Cairan dialisis dapat mengalami kontaminasi misalnya dari air pada


water treatment, sehingga dapat terjadi infeksi dan menimbulkan reaksi
inflamasi. Kontaminasi cairan dialisis dengan bakteri dan endotoksin
lipopolysaccharide (LPS) akan menyebabkan efek klinik yang berhubungan
dengan aktivasi sistem komplemen (Sukandar,2006). Menurut Association for
the Advancement of Medical Instrumentation (AAMI), batas bakteri yang
terkandung dalam air yang digunakan harus < 200 CFU/ml, endotoksin < 1
EU/ml (Farrington et al, 2003).
Cairan dialisis yang terkontaminasi oleh bakteri dapat melepaskan
LPS, peptidoglicans dan produk pro-inflamasi lain yang akan di transferkan
ke membran dialisis dan masuk ke darah (Boure, 2004).
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dandona dan kawan-
kawan, pada saat dilakukan hemodialisis akan terjadi kontak antara
endotoksin yang biasanya dihasilkan oleh bakteri Escherichia coli dengan
darah, TNF-α akan mulai diekspresikan dengan cepat 1 jam setelah kontak
kemudian kadar TNF-α akan mencapai puncak setelah 90 menit, dan mulai
menurun setelah 6 jam (Dandona et al., 1994). Pada penelitian ini kadar
TNF-α diperiksa sebelum dilakukan hemodialisis dan segera setelah
dilakukan hemodialisis selama 4 jam, sehingga pasca hemodialisa didapatkan
kadar TNF-α yang masih tinggi pada kelompok kontrol, sedangkan kelompok
perlakuan justru terjadi penurunan kadar TNF-α akibat pengaruh pemberian
metilprednisolon.
Dialisis telah dihubungkan dengan perubahan akut pada aktivasi
komplemen, marker granulosit , fungsi makrofag, aktivasi sel T serta
pelepasan sitokin pro inflamasi. Penelitian pada pasien yang dihemodialisis
menunjukkan peningkatan produksi sitokin pro inflamasi seperti tumor
necrosis factor α (TNF-α), interleukin-1β (IL1-β) dan interleukin-6 (IL-
6).(Malaponte,2002). TNF-α dan IL-1 selanjutnya akan merangsang
pengeluaran PGE2.(Guntur ,2006)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47

Pada kelompok perlakuan didapatkan kadar TNF-α pre hemodialisa


rata-rata adalah 5,98 dan pasca hemodialisa didapatkan 4,94 dengan p= 0,002.
Sedangkan pada Hitung Limfosit didapatkan rata-rata pre hemodialisa adalah
21,66 dan pasca hemodialisa didapatkan 11,02 dengan p = 0.000. Ini
memperlihatkan kepada kita bahwa untuk kadar TNF-α dan Hitung Limfosit
terjadi penurunan setelah diberikan perlakuan dengan metilprednisolon dosis
rendah, yang signifikan secara statistik. Ini berarti pemberian metil
prednisolon dosis rendah mampu menghambat pengeluaran TNF-α. Hal ini
sesuai dengan teori bahwa kortikosteroid mampu menghambat produksi
prostaglandin melalui (i) induksi dan aktivasi annexine-1 (ii) induksi MAPK
fosfatase-1, dan (iii) menekan transkripsi siklooksigenase-2 (Rhen dan
Cidlowski, 2005).
Pada tabel 5.6 tampak bahwa delta TNF-α pre dan pasca hemodialisa
antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan terdapat perbedaan yang
secara statistik bermakna dengan p =0,000. Ini terjadi karena
metilprednisolon mampu menghambat produksi TNF-α dengan melakukan
penghambatan aktivasi NFκB. Demikian juga Selisih/delta TNF-α berbeda
signifikan (p=0,000) dengan terjadi penurunan dibandingkan kontrol. Ini
membuktikan bahwa metilprednisolon dosis rendah mampu menghambat
produksi TNF-α pasca hemodialisa. Pada penelitian ini hemodialisa
dilakukan selama 4 jam dan sampel darah post hemodialisis diambil 3 menit
setelahnya. Jangka waktu tersebut ternyata cukup mampu menurunkan kadar
TNF-α.
Proses inflamasi pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
keterlibatan berbagai macam faktor seperti akumulasi toksin uremia,
malnutrisi, stres oksidatif, disregulasi metabolik dan nutrisi, disfungsi imun,
dan terapi farmakologi. Inflamasi yang terjadi pada PGK bersifat kronis
sehingga pemberian metilprednisolon 60 mg iv makin menurunkan hitung
limfosit karena limfosit pada PGK sudah terjadi exhausted dan senescent.
(Kordinas V et al,2012)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
48

Penyakit ginjal kronis menyebabkan keadaan imunodefisiensi yang


membuat pasien mudah terpapar infeksi. Patofisiologi dari kejadian ini masih
kurang dimengerti, meningkatnya kadar ureum menyebabkan sindrom ureum
yang mengganggu sistem kekebalan tubuh. Terutama gangguan pada fungsi
dan jumlah sel limfosit yang berperan dalam cell-mediated immunity.
Hemodialisis sebagai terapi pada penyakit ginjal kronis stage V turut
berperan sebagai faktor yang menurunkan sistem immune tubuh
Hemodialisis mempunyai beberapa efek antara lain:
bioinkompabilitas, kontaminasi dengan cairan dialisat yang menghasilkan
endotoksin (lipopolisakarida) dan terlepasnya sitokin (Boure, 2004; Erten,
2007).
Beberapa zat terlarut seperti albumin, fibrin, β2-mikroglobulin,
komponen aktif komplemen C3 serta sitokin (IL-1 dan TNF-α) akan
mengalami absorbsi kedalam membran dialiser dan sebagian zat tersebut akan
dieliminasi dari darah selama proses hemodialisis (Tzanatos,2000;
Malaponte, 2002; Sukandar, 2006).
Kortikosteroid dosis rendah mampu memblok jalur inflamasi melalui
sejumlah jalur. Antara lain kortikosteroid mampu menghambat produksi
prostaglandin melalui (i) induksi dan aktivasi annexine-1 (ii) induksi MAPK
fosfatase-1, dan (iii) menekan transkripsi siklooksigenase-2 (Rhen dan
Cidlowski, 2005).
Pemberian kortikosteroid dosis rendah dapat mengurangi respon
inflamasi sistemik, sebagai vasopresor, menghambat produksi sitokin pro
inflamasi, menghambat produksi mediator-mediator inflamasi, dan
menurunkan adhesi leukosit ke endotel (Annane dan Caillon, 2003). Selain
itu penggunaan kortikosteroid mampu menurunkan ekspresi IL-6 dan iNOS
sebagai pemicu apoptosis yang diinduksi oleh sejumlah rangsangan inflamasi
(Sorrels dan Sapolsky, 2007; Roth dan Hanspeter, 2004). Sehingga
kortikosteroid dosis rendah akan menghambat ekspresi NF-KB maupun
caspase (Szabo dkk., 2002).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
49

Dalam hubungannya dengan apoptosis, kortikosteroid menunjukkan


efek berupa penekanan maupun potensiasi terhadap proses apoptosis.
Kortikosteroid yang dilepaskan selama inflamasi terlihat meningkatkan
apoptosis thymosit (Moran dkk.,2005), yang dimediatori oleh induksi
caspase-9 (Oberholzer dkk., 2001). Sebaliknya kortikosteroid mempunyai
efek anti apoptosis pada netrofil, sel epitel, dan fibroblas (Moran dkk., 2000).
Penelitian ini dibagi dalam 2 kelompok, masing-masing kelompok 15 orang.
Hasil yang didapat pada penelitian ini diharapkan bisa dipakai sebagai
landasan untuk penelitian berikutnya dengan sampel yang lebih besar.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

7.1.1. Terdapat penurunan kadar TNF-α akibat pemberian metilprednisolon dosis

rendah pada pasien PGK stadium V yang menjalani hemodialisis.

7.1.2. Metilprednisolon dosis rendah tidak terbukti meningkatkan hitung

limfosit pada pasien PGK stadium V yang menjalani hemodialisis

7.2. Saran

7.2.1. Pemberian metilprednisolon dosis rendah pada pasien PGK stadium V

kemungkinan dapat digunakan sebagai pilihan protokol selama dilakukan

tindakan hemodialisis untuk mencegah meningkatnya kadar TNF-α.

7.2.2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk membandingkan membran dialisat

selulosa yang memiliki bioinkompabilitas tinggi dengan membran dialisat

dengan bioinkompabilitas rendah.

commit50to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
51

commit to user

Anda mungkin juga menyukai