Anda di halaman 1dari 149

TESIS

EVALUASI CAPAIAN PENGELOLAAN OBAT


DI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
LANGSA

OLEH:
MAULIANA
NIM 177014038

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

Universitas Sumatera Utara


TESIS

EVALUASI CAPAIAN PENGELOLAAN OBAT


DI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
LANGSA

OLEH:
MAULIANA
NIM 177014038

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

Universitas Sumatera Utara


EVALUASI CAPAIAN PENGELOLAAN OBAT
DI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
LANGSA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar


Magister dalam Ilmu Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara

OLEH:
MAULIANA
NIM 177014038

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
PERSETUJUAN TESIS

Nama Mahasiswa : Mauliana


Nomor Induk Mahasiswa : 177014038
Program Studi : Magister Ilmu Farmasi
Judul Tesis : Evaluasi Capaian Pengelolaan Obat di Instalasi
Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Langsa

Telah diuji dan dinyatakan LULUS di depan Komisi Penguji Tesis pada hari Jumat

tanggal tiga puluh satu bulan Januari tahun dua ribu dua puluh.

Menyetujui:

Komisi Penguji Tesis

Ketua : Prof. Dr. Wiryanto, M. S., Apt.

Sekretaris : Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.

Anggota : Khairunnisa, M. Pharm., Ph. D., Apt.

: Prof. Dra. Azizah Nasution, M. Sc., Ph. D

iv
Universitas Sumatera Utara
PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang betanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Mauliana


Nomor Induk Mahasiswa : 177014038
Program Studi : Magister Ilmu Farmasi
Judul Tesis : Evaluasi Capaian Pengelolaan Obat di Instalasi
Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Langsa

Dengan ini menyatakan bahwa hasil penelitian pada Tesis yang saya buat adalah
asli karya saya sendiri bukan plagist dan apabila dikemudian hari diketahui Tesis
saya tersebut plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi
sanksi apapun oleh Program Studi Magister Ilmu Farmasi Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara. Saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

v
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia
dan ridhoNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul
“Evaluasi Capaian Pengelolaan Obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum
Daerah Langsa”. Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Ilmu Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pengelolaan obat yang tidak efisien dan efektif dapat berdampak negatif
secara medik, sosial maupun ekonomi pada rumah sakit. Atas dasar itulah maka
dilakukan penelitian untuk mengevaluasi capaian pengelolaan obat di IFRSUD
Langsa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengelolaan obat di IFRSUD Langsa
belum sepenuhnya memenuhi standar yang ada. Penelitian ini diharapkan dapat
menjadi masukan bagi rumah sakit dalam rangka penentuan arah kebijakan dan
perbaikan dalam hal pengelolaan obat.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-


besarnya kepada Prof. Dr. Wiryanto, M.S., Apt dan Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.
atas waktu, arahan dan bimbingan yang diberikan selama penyelesaian Tesis ini.
Peneliti juga menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Masfria, M. S., Apt.,
selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan bantuan dan fasilitas selama menjalani pendidikan di Program
Magister Ilmu Farmasi. Kepada kedua orang tua, alm. Ayahanda tercinta dan
Ibunda tercinta saya, serta adik-adik saya, penulis menyampaikan terima kasih
dan penghargaan setinggi-tingginya atas semua pengorbanan, doa dan
dorongannya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan segala perjuangan yang
telah dilakukan.

Medan, 31 Januari 2020


Penulis,

Mauliana
NIM 177014038

vi
Universitas Sumatera Utara
EVALUASI CAPAIAN PENGELOLAAN OBAT DI INSTALASI FARMASI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LANGSA

ABSTRAK

Pengelolaan obat di rumah sakit meliputi tahap pemilihan, perencanaan


dan pengadaan, distribusi dan penggunaan. Ketidakefisienan dalam pengelolaan
obat dapat berdampak negatif secara medik, sosial maupun ekonomi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi capaian pengelolaan obat
di instalasi farmasi rumah sakit umum Daerah Langsa. Penelitian dilakukan pada
bulan Juli-Oktober 2019.
Penelitian menggunakan rancangan deskriptif untuk data tahun 2018 yang
bersifat retrospektif dan prospektif. Data dikumpulkan berupa data kuantitatif dan
kualitatif dari pengamatan dokumen serta wawancara dengan petugas instalasi
farmasi terkait. Data dihitung menggunakan microsoft office excel tahun 2007 dan
hasil perhitungan data yang didapatkan dibandingkan dengan standar yang telah
ditetapkan kemudian dianalisis secara deskriptif dan chi square pada program
SPSS.
Hasil penelitian menunjukkan pengelolaan obat yang sesuai standar
sebagai berikut yaitu kesesuaian item obat yang tersedia dengan formularium
Nasional (88,37%); frekuensi pengadaan tiap item obat per tahun; ketepatan data
jumlah obat pada kartu stok (100%); tingkat ketersediaan obat (13 bulan 14 hari);
persentase peresepan obat antibiotika di rawat jalan (10,66%); persentase
peresepan injeksi di rawat jalan (3,59%); rerata kecepatan pelayanan resep racikan
(49 menit); persentase obat yang dapat diserahkan (99,87% di rawat inap dan
96,44% di rawat jalan) dan persentase obat yang dilabeli dengan lengkap (100%).
Tahapan yang tidak sesuai standar yaitu persentase nilai obat kadaluwarsa dan
atau rusak; persentase stok mati; jumlah item obat per lembar resep; persentase
obat dengan nama generik; persentase peresepan obat antibiotika di rawat inap;
persentase peresepan injeksi di rawat inap; persentase obat yang diresepkan sesuai
formularium rumah sakit dan rerata kecepatan pelayanan resep non-racikan.
Persentase capaian pengelolaan obat yang telah memenuhi standar sebesar 52,2%.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengelolaan obat di
instalasi farmasi rumah sakit umum daerah Langsa belum sepenuhnya efektif dan
efisien sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Peningkatan manajemen obat
perlu dilakukan agar memenuhi nilai standar pada semua kategori.

Kata kunci: pengelolaan obat, evaluasi, instalasi farmasi rumah sakit, Langsa

vii
Universitas Sumatera Utara
EVALUATION OF DRUGS MANAGEMENT ACHIEVMENT IN THE
PHARMACY INSTALLATION OF LANGSA REGIONAL GENERAL
HOSPITAL

ABSTRACT

Drug management cycle consist of selection, procurement, distribution,


and use. Its inefficiency can induce bad condition for medical, social and
economical aspect.
The purpose of this study was to evaluate drug management in pharmacy
installation of Langsa regional general hospital. This study was conducted in Juli-
Oktober 2019.
The research using descriptive design to the data in 2018 which
retrospectively and prospectively. Data collected were quantitative and qualitative
data from document observation and interview with Pharmacy Department
officials related. Data was calculated using microsoft office excel in 2007 and
data calculation results obtained were compared with the established standards
and then analyzed using descriptive analysis and chi square in the SPSS program.
The results showed that drug management system according to standards
as follows: percentage of drug conformity with National Formulary (88,37%);
frequency of drug procurement; number of drug compatibility with card stock
(100%); level of drug availability (13 months 14 days); percentage of the use of
antibiotic in outpatient (10,66%); percentage of the use of injection in outpatient
(3,59%); average prescription concoction service time (49 minutes); percentage of
drug delivered (99,87% inpatient and 96,44% in outpatient) and percentage of
drug labeled correctly (100%). Stage which are not standardized, i.e: percentage
of expire or damage drug value; percentage of dead stock; total of drug item per
prescription sheet; percentage of drugs prescribed by generic name; percentage of
the use of antibiotic inpatient; percentage of the use of injection inpatient;
percentage of drug conformity with hospital formulary; and average prescription
non-concoction service time. The percentage of drug management achievement
that has met the standard is 52,2%.
Based on the description above it can be concluded that the management
of drugs in Langsa Hospital Pharmacy Installation has not been fully effective and
efficient in accordance with standards. Improvement on drug management is
required in order to obtained standard values in all categories.

Keywords: drug management, evaluation, hospital pharmacy installation, Langsa

viii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
HALA MAN PENGESAHAN TESIS ................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN TESIS ....................................................................iv
HALA MAN PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................................v
KATA PENGANTAR ............................................................................................vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
ABSTRACT ...................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................. 4
1.3 Hipotesis ................................................................................................... 4
1.4 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 5
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................... 5
1.6 Kerangka Pikir Penelitian ........................................................................ 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 8


2.1 Rumah Sakit ............................................................................................ 8
2.1.1 Definisi Rumah Sakit .............................................................................. 8
2.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit ................................................................ 8
2.1.3 Klasifikasi Rumah Sakit ........................................................................... 9
2.2 Tim Farmasi dan Terapi ........................................................................... 9
2.3 Instalasi Farmasi Rumah Sakit................................................................ 10
2.3.1 Tugas dan Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit ................................... 11
2.3.2 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit................................. 13
2.3.3 Sumber Daya Manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit ........................... 14
2.4 Manajemen Logistik Obat Rumah Sakit ................................................. 15
2.4.1 Pemilihan ............................................................................................... 20
2.4.2 Perencanaan ........................................................................................... 22
2.4.3 Pengadaan .............................................................................................. 22
2.4.4 Penyimpanan .......................................................................................... 28
2.4.5 Distribusi ............................................................................................... 29
2.4.6 Penggunaan (Use) .................................................................................. 31
2.5 Rumah Sakit Umum Daerah Langsa ....................................................... 34
2.5.1 Definisi Rumah Sakit Umum Daerah Langsa .......................................... 34
2.5.2 Falsafah, Visi dan Misi ........................................................................... 34
2.5.3 Tujuan Rumah Sakit Umum Daerah Langsa ........................................... 35
2.5.4 Susunan Organisasi ................................................................................ 36
2.6 Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Langsa ............................ 36
2.6.1 Tugas Pokok dan Fungsi Instalasi Farmasi ............................................. 36
2.6.2 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RSUD Langsa .............................. 37

ix
Universitas Sumatera Utara
2.6.3 Sumber Daya Instalasi Farmasi RSUD Langsa ....................................... 38
2.7 Kerangka Teori ...........................................................................................39

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 41


3.1 Desain Penelitian .................................................................................. 41
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 41
3.3 Populasi ................................................................................................. 41
3.4 Pengumpulan Data ................................................................................. 41
3.4.1 Data Primer .......................................................................................... 42
3.4.2 Data Sekunder ...................................................................................... 42
3.5 Langkah Kerja Penelitian ....................................................................... 42
3.6 Pengolahan dan Analisis Data ................................................................ 43
3.7 Analisis Parameter ................................................................................. 44
3.8 Definisi Operasional............................................................................... 47

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 49


4.1 Gambaran Umum Penelitian................................................................... 49
4.2 Karakteristik Responden ........................................................................ 49
4.3 Pemilihan ............................................................................................... 50
4.4 Perencanaan dan Pengadaan ................................................................... 53
4.5 Distribusi ............................................................................................... 61
4.5.1 Ketepatan Data Jumlah Obat Pada Kartu Stok ........................................ 63
4.5.2 Persentase Nilai Obat Kadaluarsa Dan/Rusak ......................................... 65
4.5.3 Persentase Stok Mati .............................................................................. 68
4.5.4 Tingkat Ketersediaan Obat ..................................................................... 70
4.6 Penggunaan Obat Yang Diresepkan........................................................ 71
4.6.1 Jumlah Item Obat per Lembar Resep ...................................................... 74
4.6.2 Persentase Obat dengan Nama Generik .................................................. 77
4.6.3 Persentase Peresepan Obat Antibiotika ................................................... 78
4.6.4 Persentase Peresepan Injeksi .................................................................. 83
4.6.5 Persentase Obat Yang Diresepkan Sesuai Formularium Rumah Sakit ..... 85
4.6.6 Rerata Kecepatan Pelayanan Resep ........................................................ 88
4.6.7 Persentase Obat Yang Dapat Diserahkan ................................................ 93
4.6.8 Persentase Obat Yang Dilabeli dengan Lengkap ..................................... 94
4.7 Perbandingan Indikator Resep Rawat Inap dan Rawat Jalan ................... 94
4.8 Persentase Capaian Pengelolaan Obat di Instalasi Farmasi RSUD Langsa
............................................................................................................... 97

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 98


5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 98
5.2 Saran ........................................................................................................... 99

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 100


LAMPIRAN ................................................................................................... 107

x
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL

2.1 Daftar Tenaga Kefarmasian Minimal Di Berbagai Klasifikasi Rumah Sakit


Umum ..................................................................................................... 14
2.2 Indikator efisiensi pengelolaan obat di rumah sakit .................................. 18
3.1 Definisi operasional penelitian ................................................................. 48
4.1 Karakteristik informan ............................................................................. 49
4.2 Kesesuaian item obat yang tersedia dengan Formularium Nasional .......... 52
4.3 Frekuensi pengadaan item obat per tahun ................................................. 58
4.4 Ketepatan data jumlah obat pada kartu stok ............................................. 63
4.5 Persentase nilai obat kadaluarsa ............................................................... 65
4.6 Persentase stok mati instalasi farmasi RSUD Langsa tahun 2018 ............. 68
4.7 Tingkat ketersediaan obat ........................................................................ 71
4.8 Hasil indikator penggunaan obat yang diresepkan .................................... 73
4.9 Jumlah item obat per lembar resep ........................................................... 74
4.10 Persentase obat dengan nama generik ...................................................... 77
4.11 Persentase peresepan obat antibiotika ...................................................... 79
4.12 Perhitungan hasil persentase obat yang diresepkan sesuai formularium
rumah sakit .............................................................................................. 85
4.13 Rerata kecepatan pelayanan resep sediaan jadi (non racikan) dan racikan 89
4.14 Perbandingan indikator resep rawat inap dan rawat jalan ......................... 95
4.15 Hasil uji statistik capaian pengelolaan obat .............................................. 97

xi
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka pikir penelitian ........................................................................... 7


2.1 Siklus pengelolaan obat ........................................................................... 17
2.2 Struktur organisasi instalasi farmasi RSUD Langsa ................................. 38
2.3 Kerangka teori penelitian ......................................................................... 40
3.1 Langkah kerja penelitian .......................................................................... 43

xii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kondisi ruangan dan fasilitas penyimpanan obat di instalasi farmasi


RSUD Langsa berdasarkan Peraturan Mneteri Kesehatan No. 72
Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit
.........................................................................................................107
Lampiran 2. Prosedur penyimpanan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit ........................... 109
Lampiran 3. Surat izin penelitian ..................................................................... 110
Lampiran 4. Surat keterangan kelayakan etik (ethical clearance)..................... 111
Lampiran 5. Surat persetujuan responden (informed consent). ......................... 112
Lampiran 6. Data stok mati obat tahun 2018 ................................................... 116
Lampiran 7. Data obat kadaluarsa di instalasi farmasi RSUD Langsa tahun 2018
.................................................................................................... 117
Lampiran 8. Data tingkat ketersediaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa .121
Lampiran 9. Data pengadaan item obat per tahun ............................................. 122
Lampiran 10. Hasil Uji Statistik Capaian Pengelolaan Obat ............................. 128
Lampiran 11. Hasil Uji Statistik Persentase Obat dengan Nama Generik ...........129
Lampiran 12. Hasil Uji Statistik Persentase Obat Antibiotika ........................... 130
Lampiran 13. Hasil Uji Statistik Persentase Injeksi .......................................... 131
Lampiran 14. Persentase Obat yang Diresepkan Sesuai Formularium Rumah Sakit
........................................................................................................................ 132
Lampiran 15. Persentase Obat Yang Dapat Diserahkan .................................... 133
Lampiran 16. Hasil Uji Statistik Capaian Pengelolaan Obat ............................. 134

xiii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR SINGKATAN

BPJS : Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial


CAB : Cost Benefit Analysis
CEA : Cost Effectiveness Analysis
FIFO : First In First Out
FEFO : First Expired First Out
IFRS : Instalasi Farmasi Rumah Sakit
JKN : Jaminan Kesehatan Nasional
LIFO : Last in First Out
PPAB : Pedoman Pengunaan Antibiotika
PPI : Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
PPRA : Program Pencegahan Resistensi Antimikroba
RS : Rumah Sakit
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
SP : Surat Pesanan
SDM : Sumber Daya Manusia
SIM : Sistem Informasi Manajemen
TFT : Tim Farmasi dan Terapi
TTK : Tenaga Teknis Kefarmasian
UDD : Unit Dose Dispensing

xiv
Universitas Sumatera Utara
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna, salah satu layanannya adalah pelayanan kefarmasian

(Presiden RI, 2009). Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan

bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan

maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien

(Kemenkes RI, 2016).

Pelayanan farmasi merupakan pelayanan penunjang dan sekaligus

merupakan salah satu revenue centre utama, mengingat lebih dari 90% pelayanan

kesehatan di rumah sakit menggunakan perbekalan farmasi (obat-obatan, bahan

kimia, bahan radiologi, bahan medis habis pakai, alat kesehatan dan gas medik)

dan 50% dari seluruh pemasukan rumah sakit berasal dari pengelolaan perbekalan

farmasi, sehingga jika masalah perbekalan farmasi tidak dikelola secara cermat

dan penuh tanggung jawab maka dapat diprediksi bahwa pendapatan rumah sakit

akan mengalami penurunan (Suciati, dkk., 2006).

Salah satu sumber penting dalam pelayanan pasien adalah obat. Obat

merupakan suatu komponen esensial yang harus tersedia di sarana pelayanan

kesehatan, obat merupakan bagian hubungan antara pasien dan sarana pelayanan

kesehatan, karena tersedia atau tidaknya obat di sarana pelayanan kesehatan akan

memberikan dampak positif atau negatif terhadap mutu pelayanan (Quick et al.,

1997).

1
Universitas Sumatera Utara
Manajemen obat yang baik merupakan salah satu aspek yang berpengaruh

pada pelayanan kefarmasian di rumah sakit (Depkes RI, 2005) dan merupakan

aspek penting untuk meningkatkan mutu pelayanan farmasi rumah sakit (Depkes

RI, 2002). Tujuan manajemen obat adalah tersedianya obat setiap saat dibutuhkan

baik jumlah, jenis maupun kualitas (Depkes RI, 2005).

Standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi standar

pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis pakai dan

pelayanan farmasi klinik. Pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang

bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah terkait

obat (Kemenkes RI, 2016).

Manajemen obat di rumah sakit meliputi tahap-tahap seleksi, perencanaan

dan pengadaan, pendistribusian, dan penggunaan, yang saling terkait satu sama

lainnya, sehingga harus terkoordinasi dengan baik agar masing-masing dapat

berfungsi secara optimal. Tahapan yang saling terkait dalam siklus manajemen

obat tersebut diperlukan suatu sistem suplai yang terorganisir agar kegiatan

berjalan baik dan saling mendukung, sehingga ketersediaan obat dapat terjamin

yang mendukung pelayanan kesehatan dan menjadi sumber pendapatan rumah

sakit yang potensial (Quick et al., 2012).

Ketidakterkaitan antara masing-masing tahap akan mengakibatkan tidak

efisiennya sistem suplai dan penggunaan obat yang ada, mempengaruhi kinerja

rumah sakit baik secara medik, ekonomi dan sosial serta akan mengurangi

kepercayaan masyarakat terhadap layanan rumah sakit (Quick et al., 1997).

Analisis terhadap proses manajemen obat harus dilakukan, karena

ketidakefisienan dan ketidaklancaran manajemen obat akan memberi dampak

2
Universitas Sumatera Utara
negatif, bagi kegiatan pelayanan kefarmasian dalam penyediaan pelayanan

kesehatan secara keseluruhan, baik secara medik, sosial maupun secara ekonomi

(Malinggas et al., 2015).

Hasil penelitian Fakhriadi (2011) yang melakukan analisis efisiensi

pengelolaan obat di salah satu instalasi farmasi rumah sakit di Indonesia diperoleh

bahwa pengelolaan obat yang belum efisien. Penelitian Wati (2013) juga

dilakukan di salah satu IFRS di Indonesia masih didapatkan sistem pengelolaan

obat yang belum sesuai dengan standar. Ihsan, dkk., (2014) yang melakukan

evaluasi pengelolaan obat di instalasi farmasi suatu rumah sakit di Indonesia

masih didapatkan sistem pengelolaan yang belum sesuai standar.

Rumah sakit umum daerah Langsa merupakan rumah sakit non pendidikan

milik pemerintah kota Langsa yang merupakan rumah sakit kelas B. Rumah sakit

umum daerah Langsa didukung oleh unit instalasi farmasi yang bertanggung

jawab dalam mengelola dan menyelenggarakan kegiatan yang mendukung

ketersediaan obat dan alat kesehatan di RSUD Langsa. Sebagai rumah sakit yang

memiliki misi meningkatkan kualitas pelayanan individu yang prima secara

berkesinambungan, RSUD Langsa harus mampu menjaga kualitas pelayanan

kesehatannya termasuk kualitas pelayanan farmasi.

Pengelolaan obat oleh instalasi farmasi rumah sakit mempunyai peran

penting dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit, mengingat

ketidakefisienan dan ketidaklancaran pengelolaan obat tersebut dapat memberi

dampak negatif terhadap rumah sakit dan berpengaruh terhadap peran rumah sakit

secara keseluruhan. Menurut Permenkes nomor 72 tahun 2016 disebutkan bahwa

pengelolaan sediaan farmasi terdiri dari pemilihan, perencanaan kebutuhan,

3
Universitas Sumatera Utara
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan

penarikan, pengendalian dan administrasi. Dalam penelitian ini, parameter

pengelolaan obat yang dievaluasi terdiri dari pemilihan, perencanaan dan

pengadaan, distribusi dan penggunaan obat yang diresepkan merujuk pada

parameter manajemen obat menurut Quick et al., (2012).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat perumusan masalah

dalam penelitian ini adalah:

a. apakah pemilihan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa sudah sesuai dengan

standar?

b. apakah perencanaan dan pengadaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa

sudah sesuai dengan standar?

c. apakah pendistribusian obat di instalasi farmasi RSUD Langsa sudah sesuai

dengan standar?

d. apakah penggunaan obat yang diresepkan di instalasi farmasi RSUD Langsa

sudah sesuai dengan standar?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka hipotesis umum dalam

penelitian ini adalah pengelolaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa belum

sesuai dengan standar. Adapun hipotesis khusus penelitian ini adalah:

a. pemilihan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa belum sesuai dengan standar.

4
Universitas Sumatera Utara
b. perencanaan dan pengadaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa belum

sesuai dengan standar.

c. pendistribusian obat di instalasi farmasi RSUD Langsa belum sesuai dengan

standar.

d. penggunaan obat yang diresepkan instalasi farmasi RSUD Langsa belum sesuai

dengan standar.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis penelitian, maka tujuan umum dalam penelitian ini

adalah mengevaluasi pengelolaan obat di instalasi farmasi rumah sakit umum

daerah Langsa. Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk

mengevaluasi:

a. pemilihan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa.

b. perencanaan dan pengadaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa.

c. pendistribusian obat di instalasi farmasi RSUD Langsa.

d. penggunaan obat yang diresepkan di instalasi farmasi RSUD Langsa.

1.5 Manfaat Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan di atas, maka manfaat

penelitian ini adalah:

a. penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi bagi RSUD Langsa

dalam rangka penentuan arah kebijakan dan perbaikan dalam hal manajemen

pengelolaan obat.

5
Universitas Sumatera Utara
b. bahan masukan bagi RSUD Langsa dalam pengelolaan obat secara efektif dan

efisien.

c. bagi program studi Magister Farmasi Universitas Sumatera Utara dapat

menambah referensi tentang evaluasi pengelolaan obat di rumah sakit.

d. bagi masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu yang sesuai

dengan standar yang telah ditetapkan.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Manajemen obat di rumah sakit merupakan salah satu unsur penting dalam

fungsi manajerial rumah sakit secara keseluruhan, karena ketidakefisienan akan

memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit baik secara medis maupun

secara ekonomis. Siklus manajemen obat mencakup empat tahap yaitu selection

(seleksi), perencanaan dan pengadaan, distribusi dan penggunaan. Masing-masing

tahap dalam siklus manajemen obat saling terkait, sehingga harus dikelola dengan

baik agar efektifitas dan efisiensi pengelolaan obat dapat tercapai.

Salah satu upaya untuk terus mempertahankan mutu pengelolaan

perbekalan farmasi di rumah sakit adalah dengan melakukan kegiatan monitoring

dan evaluasi (monev). Untuk mengukur pencapaian standar yang telah ditetapkan

diperlukan indikator, suatu alat/tolok ukur yang hasil menunjuk pada ukuran

kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan. Makin sesuai yang diukur

dengan indikatornya, makin sesuai pula hasil suatu pekerjaan dengan standarnya.

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Kerangka

pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

6
Universitas Sumatera Utara
Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Pemilihan Kesesuaian item obat yang


tersedia dengan formularium
Nasional = ≥ 80%

Frekuensi pengadaan tiap item


Perencanaan obat pertahun = rendah < 12
dan Pengadaan kali/tahun, sedang = 12-24
kali/tahun, tinggi > 24 kali
/tahun

Capaian − Ketepatan data jumlah obat


Distribusi Pengelolaan pada kartu stok = 100%
Obat − Persentase dan nilai obat yang

kadaluwarsa dan atau rusak = ≤


- Sesuai 0,2%
- Tidak − Persentase stok mati = 0%
Sesuai − Tingkat ketersediaan obat = 12-

18 bulan

− Jumlah item obat per lembar


Penggunaan
Obat resep = 1,8-2,2
− Persentase obat dengan nama
generik = 82%-94%
− Persentase peresepan obat
antibiotika = < 22,70%
− Persentase peresepan injeksi =

0,2-48%
− Persentase obat yang

diresepkan sesuai formularium


rumah sakit = 100%
− Rata-rata kecepatan pelayanan

resep = ≤ 60 menit (racikan), ≤


30 menit (sediaan jadi)
− Persentase obat yang dapat

diserahkan = 76-100%
− Persentase obat yang dilabeli

dengan lengkap = 100%

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian

7
Universitas Sumatera Utara
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumah Sakit

2.1.1 Definisi Rumah Sakit

Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 pasal 1, rumah sakit

adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan

dan gawat darurat (Presiden RI, 2009).

2.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

a. Tugas Rumah Sakit

Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah

sakit, bahwa rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna.

b. Fungsi Rumah Sakit

Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah

sakit, rumah sakit mempunyai beberapa fungsi yaitu:

i. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai

dengan standar pelayanan rumah sakit.

ii. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan

kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.

iii. penyelanggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam

rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.

8
Universitas Sumatera Utara
iv. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi

bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan

memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

2.1.3 Klasifikasi Rumah Sakit

Menurut PerKemenkes RI Nomor 56 Tahun 2014, berdasarkan jenis

pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan dalam rumah sakit umum

dan rumah sakit khusus sebagai berikut:

a. rumah sakit umum diklasifikasikan menjadi 4 yaitu, rumah sakit umum kelas

A, kelas B, kelas C, dan kelas D.

b. rumah sakit khusus diklasifikasikan menjadi 3 yaitu, rumah sakit khusus kelas

A, kelas B, dan kelas C.

Penetapan klasifikasi rumah sakit tersebut diatas didasarkan pada pelayanan,

sumber daya manusia, peralatan serta bangunan dan prasarana.

2.2 Tim Farmasi dan Terapi

Menurut Permenkes RI Nomor 72 Tahun 2016 tentang standar pelayanan

kefarmasian di rumah sakit, dalam pengorganisasian rumah sakit dibentuk Tim

Farmasi dan Terapi (TFT) yang merupakan unit kerja dalam memberikan

rekomendasi kepada pimpinan rumah sakit mengenai kebijakan penggunaan obat

di rumah sakit yang anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili semua

spesialisasi yang ada di rumah sakit, apoteker instalasi farmasi, serta tenaga

kesehatan lainnya apabila diperlukan. Tim farmasi dan terapi harus dapat

membina hubungan kerja dengan komite lain di dalam rumah sakit yang

berhubungan/berkaitan dengan penggunaan obat.

9
Universitas Sumatera Utara
Ketua TFT dapat diketuai oleh seorang dokter atau seorang apoteker,

apabila diketuai oleh dokter maka sekretarisnya adalah apoteker, namun apabila

diketuai oleh apoteker, maka sekretarisnya adalah dokter. Tim farmasi dan terapi

harus mengadakan rapat secara teratur, minimal 2 (dua) bulan sekali dan untuk

rumah sakit besar rapat diadakan sekali dalam satu bulan. Tim farmasi dan terapi

dapat mengundang pakar dari dalam maupun dari luar rumah sakit yang dapat

memberikan masukan bagi pengelolaan TFT, memiliki pengetahuan khusus,

keahlian-keahlian atau pendapat tertentu yang bermanfaat bagi TFT (Kemenkes

RI, 2016).

Menurut Kemenkes RI (2016), TFT mempunyai tugas:

a. mengembangkan kebijakan tentang penggunaan obat di rumah sakit.

b. melakukan seleksi dan evaluasi obat yang akan masuk dalam formularium

rumah sakit.

c. mengembangkan standar terapi.

d. mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan obat.

e. melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan obat yang rasional.

f. mengkoordinir penatalaksanaan reaksi obat yang tidak dikehendaki.

g. mengkoordinir penatalaksanaan medication error.

h. menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan obat di rumah sakit.

2.3 Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Menurut Permenkes RI Nomor 72 tahun 2016 tentang standar pelayanan

kefarmasian di rumah sakit, instalasi farmasi adalah unit pelaksana fungsional

yang menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah sakit.

10
Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Tugas dan Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit

a. Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Adapun tugas dari instalasi farmasi rumah sakit, yaitu:

i. menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh

kegiatan pelayanan kefarmasian yang optimal dan profesional serta sesuai

prosedur dan etik profesi.

ii. melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis

habis pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien.

iii. melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan sediaan farmasi, alat

kesehatan dan bahan medis habis pakai guna memaksimalkan efek terapi dan

keamanan serta meminimalkan risiko.

iv. melaksanakan komunikasi, edukasi dan informasi serta memberikan

rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien.

v. berperan aktif dalam TFT.

vi. melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan pelayanan

kefarmasian.

vii. memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan

formularium rumah sakit.

b. Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Fungsi instalasi farmasi rumah sakit dapat dibagi menjadi dua bagian

utama yaitu pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis

pakai dan pelayanan farmasi klinis. Adapun sub fungsi masing-masing yaitu:

i. pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai,

antara lain:

11
Universitas Sumatera Utara
a) memilih sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai

sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit.

b) merencanakan kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan

medis habis pakai secara efektif, efisien dan optimal.

c) mengadakan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai

berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang

berlaku.

d) memproduksi sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis

pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit.

e) menerima sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai

sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku.

f) menyimpan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai

sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian.

g) mendistribusikan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis

pakai ke unit-unit pelayanan di rumah sakit.

h) melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu.

i) melaksanakan pelayanan obat secara dosis sehari (unit dose).

j) melaksanakan komputerisasi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan,

dan bahan medis habis pakai (apabila sudah memungkinkan).

k) mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan

sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai.

l) melakukan pemusnahan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis

habis pakai yang sudah tidak dapat digunakan.

12
Universitas Sumatera Utara
m) mengendalikan persediaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan

medis habis pakai.

n) melakukan administrasi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan

bahan medis habis pakai.

ii. pelayanan farmasi klinis, antara lain:

a) pengkajian dan pelayanan resep.

b) penelusuran riwayat penggunaan obat.

c) melaksanakan rekonsiliasi obat.

d) pelayanan informasi obat.

e) konseling.

f) melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga kesehatan lain.

g) melaksanakan pemantauan terapi obat.

h) memonitoring efek samping obat.

i) evaluasi penggunaan obat.

j) dispensing sediaan steril.

k) pemantauan kadar obat dalam darah (Kemenkes RI, 2016).

2.3.2 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016,

pengorganisasian instalasi farmasi rumah sakit harus mencakup penyelenggaraan

pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai,

pelayanan farmasi klinis dan manajemen mutu yang bersifat dinamis dapat

direvisi sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga mutu.

13
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Sumber Daya Manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Instalasi farmasi harus memiliki apoteker dan tenaga teknis kefarmasian

yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran

dan tujuan instalasi farmasi rumah sakit. Ketersediaan jumlah tenaga apoteker dan

tenaga teknis kefarmasian di rumah sakit dipenuhi sesuai dengan ketentuan

klasifikasi dan perizinan rumah sakit yang ditetapkan oleh menteri (Kemenkes RI,

2016).

Menurut Kemenkes RI (2016), perhitungan kebutuhan apoteker

berdasarkan beban kerja pada pelayanan kefarmasian di rawat inap yang meliputi

pelayanan farmasi manajerial dan pelayanan farmasi klinis dengan aktivitas

pengkajian resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, konseling, edukasi dan

visite, idealnya dibutuhkan tenaga apoteker dengan rasio 1 apoteker untuk 30

pasien. Berdasarkan apoteker menurut beban kerja pada pelayanan kefarmasian di

rawat jalan yang meliputi pelayanan farmasi menajerial dan pelayanan farmasi

klinik dengan aktivitas pengkajian resep, penyerahan obat, pencatatan penggunaan

obat dan konseling, idealnya dibutuhkan tenaga apoteker dengan rasio 1 apoteker

untuk 50 pasien. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014

tentang klasifikasi dan perizinan rumah sakit, jumlah tenaga kefarmasian untuk

masing-masing tipe rumah sakit dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Daftar tenaga kefarmasian minimal di berbagai klasifikasi rumah sakit
umum
Tenaga Klasifikasi Kelas Rumah Sakit Umum
Kefarmasian A B C D
Apoteker dan 1 apoteker 1 apoteker 1 apoteker 1 apoteker
TTK sebagai sebagai sebagai sebagai
kepala IFRS kepala IFRS kepala IFRS kepala IFRS

14
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 (Sambungan)
Tenaga Klasifikasi Kelas Rumah Sakit Umum
Kefarmasian A B C D
Apoteker dan 5 apoteker 4 apoteker 2 apoteker 1 apoteker
TTK dirawat jalan dirawat jalan dirawat jalan dirawat inap
dibantu 10 dibantu 8 dibantu 4 dan rawat
TTK TTK TTK jalan dibantu
2 TTK
5 apoteker 4 apoteker 4 apoteker
dirawat inap dirawat inap dirawat inap
dibantu 10 dibantu 8 dibantu 8
TTK TTK TTK
1 apoteker di 1 apoteker di
IGD dibantu IGD dibantu
2 TTK 2 TTK
1 apoteker di 1 apoteker di
ICU dibantu ICU dibantu
2 TTK 2 TTK
1 apoteker 1 apoteker 1 apoteker 1 apoteker
sebagai sebagai sebagai sebagai
koordinator koordinator koordinator koordinator
penerimaan penerimaan penerimaan penerimaan
dan distribusi dan distribusi dan dan
distribusi, distribusi,
serta serta
produksi produksi
1 apoteker 1 apoteker
sebagai sebagai
koordinator koordinator
produksi produksi
Total jumlah 15 apoteker 13 apoteker 8 apoteker 3 apoteker
apoteker dan dan 24 TTK dan 20 TTK dan 12 TTK dan 2 TTK
TTK minimum

2.4 Manajemen Logistik Obat Rumah Sakit

Sistem manajemen obat merupakan serangkaian kegiatan kompleks yang

merupakan suatu siklus yang saling terkait, pada dasarnya terdiri dari empat

fungsi dasar yaitu seleksi, perencanaan dan pengadaan, distribusi dan penggunaan.

Instalasi farmasi rumah sakit merupakan satu-satunya unit di rumah sakit yang

bertugas dan bertanggung jawab sepenuhnya untuk pengelolaan semua aspek

15
Universitas Sumatera Utara
yang berkaitan dengan obat atau perbekalan kesehatan yang digunakan dirumah

sakit (Quick et al., 1997). Siklus manajemen obat didukung oleh faktor-faktor

pendukung manajemen (management support) yang meliputi organisasi,

administrasi dan keuangan, sumber daya manusia, dan sistem informasi

manajemen (Quick et al., 2012).

Manajemen obat di rumah sakit merupakan salah satu unsur penting dalam

fungsi manajerial rumah sakit secara keseluruhan, karena ketidakefisienan akan

memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit baik secara medis maupun

secara ekonomis. Tujuan manajemen obat di rumah sakit adalah agar obat yang

diperlukan tersedia setiap saat dibutuhkan, dalam jumlah yang cukup, mutu yang

terjamin dan harga yang terjangkau untuk mendukung pelayanan yang bermutu

(Quick et al., 1997).

Siklus pengelolaan obat meliputi empat fungsi dasar yaitu seleksi

(selection), perencanaan dan pengadaan (procurement), distribusi (distribution),

dan penggunaan (use) yang memerlukan dukungan dari organisasi (organization),

ketersediaan pendanaan (financing sustainability), pengelolaan informasi

(information management) dan pengembangan sumber daya manusia (human

resources management) yang ada di dalamnya (Quick et al., 1997).

Dalam sistem manajemen obat, masing-masing fungsi utama terbangun

berdasarkan fungsi sebelumnya dan menentukan fungsi selanjutnya. Seleksi

seharusnya didasarkan pada pengalaman aktual terhadap kebutuhan untuk

melakukan pelayanan kesehatan dan obat yang digunakan, perencanaan dan

pengadaan memerlukan keputusan seleksi dan seterusnya. Setiap tahap siklus

manajemen obat yang baik harus didukung oleh keempat faktor tersebut sehingga

16
Universitas Sumatera Utara
pengelolaan obat dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Siklus pengelolaan

obat tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1 (Quick et al., 1997).

Seleksi/Perencanaan

Dukungan manajemen:
- organisasi Pengadaan
Penggunaan - ketersediaan pendanaan
- pengelolaan informasi
- pengembangan sumber daya
manusia

Distribusi

Gambar 2.1 Siklus pengelolaan obat

Pada dasarnya, manajemen obat di rumah sakit adalah bagaimana cara

mengelola tahap-tahap dan kegiatan tersebut agar dapat berjalan dengan baik dan

saling mengisi sehingga dapat tercapai tujuan pengelolaan obat yang efektif dan

efisien agar obat yang diperlukan oleh dokter selalu tersedia setiap saat

dibutuhkan dalam jumlah cukup dan mutu terjamin untuk mendukung pelayanan

yang bermutu (Quick et al., 1997).

Pengelolaan obat di rumah sakit meliputi tahap-tahap seleksi, perencanaan

dan pengadaan, pendistribusian, dan penggunaan yang saling terkait satu sama

lainnya, sehingga harus terkoordinasi dengan baik agar masing-masing dapat

berfungsi secara optimal. Ketidakterkaitan antara masing-masing tahap akan

mengakibatkan tidak efisiennya sistem suplai dan penggunaan obat yang ada

(Quick et al., 1997).

17
Universitas Sumatera Utara
Ketidakefisienan dan ketidaklancaran pengelolaan obat dapat memberi

dampak negatif terhadap rumah sakit, maka perlu dilakukan penelusuran terhadap

gambaran pengelolaan serta pendukung manajemennya agar dapat diketahui

permasalahan dan kelemahan dalam pelaksanaannya sehingga dapat dilakukan

upaya perbaikan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat (Lilihata, 2011).

Departemen Kesehatan RI dalam pedoman pengelolaan perbekalan

farmasi di rumah sakit (2008), Kemenkes RI dalam standar pelayanan minimal di

rumah sakit (2008), Pudjaningsih (1996), dan WHO (1993) menetapkan beberapa

indikator pengelolaan obat. Sejumlah indikator pengelolaan obat yang dipilih

dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Rumah sakit harus menyusun kebijakan terkait manajemen pengunaan

obat yang efektif. Kebijakan tersebut harus ditinjau ulang sekurang-kurangnya

sekali setahun. Peninjauan ulang sangat membantu rumah sakit memahami

kebutuhan dan prioritas dari perbaikan sistem mutu dan keselamatan penggunaan

obat yang berkelanjutan (Kemenkes RI, 2016).

Tabel 2.2 Indikator efisiensi pengelolaan obat di rumah sakit


Tahapan Indikator Tujuan Nilai
Pembanding
Pemilihan 1. Kesesuaian Untuk mengetahui ≥ 80% (Kemenkes
item obat yang tingkat kepatuhan RI, 2016)
tersedia dengan penggunan obat
Formularium dalam
Nasional Formularium
(Depkes RI, Nasional
2008)

18
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 (Sambungan)
Tahapan Indikator Tujuan Nilai
Pembanding
Perencanaan 1. Frekuensi pengadaan Untuk mengetahui Rendah <
dan tiap item obat berapa kali obat- 12x/tahun,
Pengadaan pertahun obat tersebut Sedang 12 -
(Pudjaningsih, 1996) dipesan dalam 24x/tahun
setahun Tinggi >
24x/tahun
(Pudjaningsih,
1996)
Distribusi 1.Ketepatan data Untuk mengetahui 100%
jumlah obat pada ketelitian petugas (Pudjaningsih,
kartu stok gudang 1996)
(Pudjaningsih, 1996)
2. Persentase dan nilai Untuk mengetahui ≤ 0,2%
obat yang besarnya kerugian (Pudjaningsih,
kadaluwarsa dan rumah sakit 1996)
atau rusak
(Pudjaningsih, 1996)
3. Persentase stok mati Untuk mengetahui 0%
(Pudjaningsih, 1996) sediaan yang tidak (Pudjaningsih,
mengalami 1996)
pergerakan
4.Tingkat ketersediaan Untuk mengetahui 12-18 bulan
obat (Depkes RI, kisaran kecukupan (Depkes RI,
2008) obat 2008)
Penggunaan 1. Jumlah item obat per Untuk mengukur 1,8-2,2
lembar resep derajat polifarmasi (WHO,1993)
(WHO,1993)
2. Persentase obat Untuk mengukur 82%-94%
dengan nama kecendrungan (WHO, 1993)
generik untuk meresepkan
(WHO,1993) obat generik
3. Persentase peresepan Untuk mengukur < 22,70%
obat antibiotika penggunaan (WHO, 1993)
(WHO, 1993) antibiotika
4. Persentase peresepan Untuk mengukur
injeksi (WHO, penggunaan injeksi 0,2%-48%
1993) (WHO, 1993)
5. Persentase obat yang Untuk mengukur 100%
diresepkan sesuai tingkat kepatuhan (Kemenkes RI,
formularium rumah dokter terhadap 2008)
sakit (WHO, 1993) standar obat di
rumah sakit

19
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 (Sambungan)
Penggunaan 6. Rerata Untuk mengetahui ≤ 60 menit
kecepatan tingkat kecepatan (racikan), ≤ 30
pelayanan pelayanan farmasi menit (sediaan
resep rumah sakit jadi) (Menkes RI,
(Kemenkes RI, 2008)
2008)
7. Persentase obat Untuk mengetahui 76-100%
yang dapat cakupan (Pudjaningsih,
diserahkan pelayanan rumah 1996)
(Pudjaningsih, sakit
1996)
8. Persentase obat Untuk besarnya 100% (WHO,
yang dilabeli kelengkapan 1993)
dengan informasi pokok
lengkap yang harus ditulis
(WHO, 1993) pada etiket

2.4.1 Pemilihan

Seleksi atau pemilihan obat merupakan proses kegiatan sejak dari

meninjau masalah kesehatan yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan

terapi, bentuk dan dosis, menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan

obat esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat

(Kemenkes RI, 2016).

Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam tim farmasi

dan terapi untuk menetapkan kualitas dan efektifitas. Pemilihan sediaan farmasi

berdasarkan kepada:

a. formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi.

b. standar sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang telah

ditetapkan.

c. pola penyakit.

d. efektivitas dan keamanan.

e. pengobatan berbasis bukti.

20
Universitas Sumatera Utara
f. mutu.

g. harga.

h. ketersediaan di pasaran.

Kriteria seleksi obat menurut formularium:

a. menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan pasien.

b. memiliki rasio resiko manfaat yang paling menguntungkan.

c. praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan.

d. obat mudah diperoleh.

Seleksi obat bertujuan untuk menghindari obat yang tidak mempunyai

nilai terapeutik, mengurangi jumlah jenis obat dan meningkatkan efisiensi obat

yang tersedia (Quick et al., 2012). Formularium yang telah disusun digunakan

sebagai sumber informasi obat yang digunakan untuk terapi di rumah sakit.

Semua tahap tersebut bertujuan untuk mendapat ketersediaan dan penggunaan

obat yang lebih rasional (Quick, et al., 1997).

Berdasarkan studi pustaka, penelitian mengenai pengelolaan obat pada

tahap pemilihan sudah banyak dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian Saputera

(2018) tentang evaluasi tingkat ketersediaan obat di RSUD BLUD H. Hasan

Basry Kandangan menunjukkan bahwa hasil evaluasi pada tahap pemilihan, yaitu

persentase kesesuaian obat yang tersedia dengan formularium Nasional tingkat II

masih berada di bawah nilai standar. Penelitian Fakhriadi, dkk., (2011)

menunjukkan hasil bahwa pengelolaan obat belum efisien pada tahap selection.

Penelitian Oktaviani, dkk., (2018) menunjukkan bahwa pada beberapa tahap

pengelolaan obat ada yang belum sesuai standar salah satunya tahap seleksi, yaitu

kesesuaian dengan formularium Nasional.

21
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Perencanaan

Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jenis,

jumlah dan periode pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis

habis pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya

kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien. Perencanaan dilakukan

untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat

dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara

lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan

disesuaikan dengan anggaran yang tersedia (Kemenkes RI, 2016).

Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan:

a. anggaran yang tersedia;

b. penetapan prioritas;

c. sisa persediaan;

d. data pemakaian periode yang lalu;

e. waktu tunggu pemesanan; dan

f. rencana pengembangan (Kemenkes RI, 2016).

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menyebutkan bahwa

perencanaan kebutuhan obat adalah salah satu aspek penting dan menentukan

dalam pengelolaan obat karena perencanaan kebutuhan akan mempengaruhi

pengadaan, pendistribusian, dan penggunaan obat di unit pelayanan kesehatan

(Depkes RI, 2004).

2.4.3 Pengadaan

Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan

perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan,

22
Universitas Sumatera Utara
jumlah dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar

mutu. Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari

pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan

dana, pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi

kontrak, pemantauan proses pengadaan dan pembayaran (Kemenkes RI, 2016).

Pengadaan dapat dilakukan melalui beberapa hal, antara lain:

a. pembelian

Untuk rumah sakit pemerintah pembelian sediaan farmasi, alat kesehatan,

dan bahan medis habis pakai harus sesuai dengan ketentuan pengadaan barang

dan jasa yang berlaku (Kemenkes RI, 2016).

Hal-hal yang diperhatikan dalam pembelian adalah kriteria sediaan

farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai; persyaratan pemasok;

penentuan waktu pengadaan dan kedatangan sediaan farmasi, alat kesehatan dan

bahan medis habis pakai; dan pemantauan pengadaan sesuai jenis, jumlah dan

waktu.

b. produksi sediaan farmasi

Produksi sediaan farmasi merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk,

dan pengemasan kembali sediaan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan

kesehatan di rumah sakit. Instalasi farmasi dapat memproduksi sediaan tertentu

apabila sediaan farmasi tidak tersedia di pasaran; sediaan farmasi lebih murah jika

diproduksi sendiri; sediaan farmasi formula khusus; sediaan farmasi kemasan

yang lebih kecil/repacking; sediaan farmasi untuk penelitian; dan sediaan farmasi

yang tidak stabil dalam penyimpanan/harus dibuat baru (Kemenkes RI, 2016).

c. sumbangan/dropping/hibah

23
Universitas Sumatera Utara
Instalasi farmasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap

penerimaan dan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

habis pakai sumbangan/dropping/hibah (Kemenkes RI, 2016).

Tujuan pengadaan adalah memperoleh obat yang dibutuhkan dengan harga

layak, mutu baik, pengiriman obat terjamin tepat waktu, proses berjalan lancar

dan tidak memerlukan waktu dan tenaga yang berlebihan (Quick et al., 1997).

Pengadaan memegang peranan penting karena dengan pengadaan rumah

sakit akan mendapatkan obat dengan harga, mutu, dan jumlah yang sesuai dengan

kebutuhan. Rumah sakit tidak dapat memenuhi kebutuhan pasien jika persediaan

obat tidak ada, hal ini dapat berakibat fatal bagi pasien dan akan mengurangi

keuntungan yang seharusnya dapat diterima di rumah sakit (Indriawati, 2001).

Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan

pengadaan barang dan jasa pemerintah untuk menentukan sistem pengadaan perlu

mempertimbangkan jenis, sifat, dan nilai barang/jasa yang ada. Prinsip pengadaan

barang/jasa yaitu:

i. efisien: berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan

menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang

ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat

dipertanggungjawabkan.

ii. efektif: berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang

telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai

dengan sasaran yang ditetapkan.

iii. terbuka dan bersaing: pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia

barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan

24
Universitas Sumatera Utara
yang sehat diantara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi

syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan

transparan.

iv. transparan: berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan

barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara

evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya

terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi peserta

penyedia barang/jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas pada

umumnya.

v. adil/tidak diskriminatif: memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon

penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada

pihak tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun.

vi. akuntabel: harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi

kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan

masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam

pengadaan barang/jasa.

Metode pemilihan penyedia barang/jasa terbagi menjadi:

a. pelelangan umum

Pelelangan umum adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa yang

dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa

dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas

dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya. Semua

pemilihan penyedia barang/jasa pada prinsipnya dilakukan dengan pelelangan

umum.

25
Universitas Sumatera Utara
b. pelelangan terbatas

Dalam hal jumlah penyedia barang/jasa yang mampu melaksanakan

diyakini terbatas yaitu pekerjaan yang kompleks, maka pemilihan penyedia

barang/jasa dapat dilakukan dengan metode pelelangan terbatas dan diumumkan

secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi dengan

mencantumkan penyedia barang/jasa yang telah diyakini mampu, guna memberi

kesempatan kepada penyedia barang/jasa lainnya yang memenuhi kualifikasi.

c. pemilihan langsung

Pemilihan yang dilakukan dengan membandingkan sebanyak-banyaknya

penawaran, sekurang-kurangnya 3 penawaran dari penyedia barang/jasa yang

telah lulus prakualifikasi serta dilakukan negosiasi baik teknis maupun biaya serta

harus diumumkan minimal melalui papan pengumuman resmi untuk penerangan

umum dan bila memungkinkan melalui internet, pemilihan langsung dapat

dilakukan untuk pengadaan yang bernilai sampai dengan Rp 100.000.000.

d. penunjukan langsung

Pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan cara penunjukan

langsung terhadap 1 penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi baik

teknis maupun biaya sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat

dipertanggungjawabkan. Penunjukan langsung dapat dilaksanakan untuk

pengadaan berskala kecil dengan nilai maksimum Rp 50.000.000.

Langkah proses pengadaan dimulai dengan mereview daftar obat-obatan

yang diadakan, menentukan jumlah item yang akan dibeli, menyesuaikan dengan

situasi keuangan, memilih metode pengadaan, memilih rekanan, membuat syarat

kontrak kerja, memonitor pengiriman barang dan memeriksa, melakukan

26
Universitas Sumatera Utara
pembayaran serta menyimpan yang kemudian didistribusikan. Agar proses

pengadaan berjalan lancar dan dengan manjemen yang baik memerlukan struktur

komponen berupa personel yang terlatih dan menguasai permasalahan pengadaan,

adanya prosedur yang jelas dan terdokumentasi didasarkan pada pedoman baku,

sistem informasi yang baik, didukung oleh dana dan fasilitas yang memadai

(Indriawati, 2001).

Tiga elemen penting pada proses pengadaan yaitu :

a. metode pengadaan yang dipilih, bila tidak teliti dapat menjadikan biaya tinggi.

b. penyusunan dan persyaratan kontrak kerja, sangat penting untuk menjaga agar

pelaksanaan pengadaan terjamin mutu, waktu dan kelancaran bagi semua

pihak.

c. order pemesanan, agar barang sesuai macam, waktu dan tempat (Utomo,

2006).

Berdasarkan studi pustaka, penelitian mengenai pengelolaan obat tahap

perencanaan dan pengadaan telah banyak dilakukan. Penelitian Wirdah, dkk.,

(2013) menunjukkan hasil bahwa frekuensi pengadaan tiap item obat per tahun

masih rendah (1 kali dalam setahun). Penelitian yang dilakukan oleh Mahdiyani,

dkk., (2018) menunjukkan hasil bahwa perencanaan dan pengadaan di instalasi

farmasi RSUD Muntilan belum sepenuhnya sesuai dengan indikator standar.

Penelitian terkait lainnya oleh Ihsan, dkk., (2014) juga menunjukkan bahwa

evaluasi pengelolaan obat di instalasi farmasi rumah sakit umum daerah

Kabupaten Muna Tahun 2014 pada tahap pengadaan belum memenuhi standar

yang ada. Frekuensi pengadaan obat tertinggi selama tahun 2014 di IFRSUD

Kabupaten Muna adalah 4 (empat) kali dan terendah adalah 1 (satu) kali.

27
Universitas Sumatera Utara
2.4.4 Penyimpanan

Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan

cara menempatkan obat-obatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari

pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat.

Tujuan penyimpanan obat-obatan adalah untuk :

a. memelihara mutu obat.

b. menghindari penggunaan yang tidak bertanggungjawab.

c. menjaga kelangsungan persediaan.

d. memudahkan pencarian dan pengawasan (Depkes RI, 2007).

Penyimpanan merupakan kegiatan pengaturan perbekalan farmasi

menurut persyaratan yang ditetapkan :

a. dibedakan menurut bentuk sediaan dan jenisnya.

b. dibedakan menurut suhunya, kestabilannya.

c. mudah tidaknya meledak/terbakar.

d. tahan/tidaknya terhadap cahaya.

Tujuannya adalah untuk mempertahankan kualitas obat, mengoptimalkan

manajemen persediaan, memberikan informasi kebutuhan obat yang akan datang,

melindungi permintaan yang naik turun, melindungi pelayanan dari pengiriman

yang terlambat, menambah keuntungan bila pembelian banyak, menghemat biaya

pemesanan, dan mengurangi kerusakan dan kehilangan.

Ada beberapa macam sistem penataan obat, antara lain yang pertama

sistem First In First Out (FIFO) yaitu obat yang datang kemudian diletakkan

dibelakang obat yang terdahulu, yang kedua Last in First Out (LIFO) yaitu obat

yang datang kemudian diletakkan didepan obat yang datang dahulu, yang ketiga

28
Universitas Sumatera Utara
First Expired First Out (FEFO) yaitu obat yang mempunyai tanggal kadaluarsa

lebih dahulu diletakkan didepan obat yang mempunyai tanggal kadaluarsa

kemudian. Ada beberapa cara penempatan obat yang dapat dilakukan yaitu

menurut jenisnya, menurut abjad, menurut pabrik yang memproduksi dan menurut

khasiat farmakoterapinya (Indriawati, 2001).

2.4.5 Distribusi

Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka

menyalurkan/menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis

pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap

menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah dan ketepatan waktu. Rumah sakit harus

menentukan sistem distribusi yang dapat menjamin terlaksananya pengawasan

dan pengendalian sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai di

unit pelayanan (Kemenkes RI, 2016).

Sistem distribusi di unit pelayanan dapat dilakukan dengan cara berikut:

a. sistem persediaan lengkap di ruangan (floor stock).

Pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis

pakai untuk persediaan di ruang rawat disiapkan dan dikelola oleh instalasi

farmasi. Sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang

disimpan di ruang rawat harus dalam jenis dan jumlah yang sangat dibutuhkan.

Dalam kondisi sementara dimana tidak ada petugas farmasi yang mengelola

(diatas jam kerja) maka pendistribusiannya didelegasikan kepada penanggung

jawab ruangan. Setiap hari dilakukan serah terima kembali pengelolaan obat floor

stock kepada petugas farmasi dari penanggung jawab ruangan. Apoteker harus

29
Universitas Sumatera Utara
menyediakan informasi, peringatan dan kemungkinan interaksi obat pada setiap

jenis obat yang disediakan di floor stock.

b. sistem resep perorangan

Pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis

pakai berdasarkan resep perorangan/pasien rawat jalan dan rawat inap melalui

instalasi farmasi.

c. sistem unit dosis

Pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis

pakai berdasarkan resep perorangan yang disiapkan dalam unit dosis tunggal atau

ganda, untuk penggunaan satu kali dosis/pasien. Sistem unit dosis ini digunakan

untuk pasien rawat inap.

d. sistem kombinasi

Sistem pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis

habis pakai bagi pasien rawat inap dengan menggunakan kombinasi a + b atau b +

c atau a + c.

Sistem distribusi Unit Dose Dispensing (UDD) sangat dianjurkan untuk

pasien rawat inap mengingat dengan sistem ini tingkat kesalahan pemberian obat

dapat diminimalkan sampai kurang dari 5% dibandingkan dengan sistem floor

stock atau resep individu yang mencapai 18%.

Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh

pasien dengan mempertimbangkan beberapa hal, antara lain:

a. efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada.

b. metode sentralisasi atau desentralisasi (Kemenkes RI, 2016).

30
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan studi pustaka, pengelolaan obat pada tahap distribusi belum

sepenuhnya memenuhi standar, diantaranya penelitian oleh Sasongko, dkk.,

(2014) tentang evaluasi distribusi dan penggunaan obat pasien rawat jalan di

rumah sakit ortopedi menunjukkan hasil bahwa belum semua pengelolaan obat

pada tahap distribusi dan penggunaan dikelola secara efisien, seperti kecocokan

jumlah obat dengan kartu stok, masih terdapatnya stok mati dan lain sebagainya.

Penelitian oleh Kasmawati, dkk., (2018) menunjukkan hasil bahwa ketersediaan

obat di RSUD Kota Kendari pada era JKN-BPJS tahun 2015 belum efisien dengan

hasil persentase nilai obat kadaluwarsa sebesar 0,47% dan persentase stok mati

sebesar 2,27%. Penelitian oleh Oktaviani (2018) juga menunjukkan hasil bahwa

pengelolaan obat pada tahap distribusi belum sepenuhnya memenuhi standar,

yaitu ketepatan data jumlah obat pada kartu stok (73%), persentase obat yang

rusak/kadaluarsa (2,8%), dan persentase stok mati (4%).

2.4.6 Penggunaan (Use)

Penggunaan obat adalah proses yang meliputi peresepan oleh dokter,

pelayanan obat oleh farmasi serta penggunaan obat oleh pasien. Seorang dokter

diharapkan membuat peresepan yang rasional, dengan indikasi yang tepat, dosis

yang tepat, memperhatikan efek samping dan kontra indikasinya serta

mempertimbangkan harga dan kewajarannya. Obat yang ditulis dokter pada resep

selanjutnya menjadi tugas farmasi untuk menyiapkan dan menyerahkan kepada

pasien (Quick et al., 1997).

Salah satu faktor penentu keberhasilan pelayanan kefarmasian, dan secara

umum pelayanan kesehatan, adalah penggunaan obat yang rasional (Quick et al.,

1997). Penggunaan obat dikatakan rasional apabila memenuhi kriteria obat yang

31
Universitas Sumatera Utara
benar, indikasi yang tepat, obat yang manjur, aman, cocok untuk pasien dan biaya

terjangkau, ketepatan dosis, cara pemakaian dan lama yang sesuai, sesuai dengan

kondisi pasien, tepat pelayanan, serta ditaati oleh pasien. Manfaat penggunaan

obat yang rasional adalah meningkatkan mutu pelayanan, mencegah pemborosan

sumber dana, dan meningkatkan akses terhadap obat esensial.

Sebaliknya penggunaan obat dikatakan tidak rasional yaitu jika (Seto,

2004):

a. pemakaian obat dimana sebenarnya indikasi pemakaiannya secara medik tidak

ada atau samar-samar.

b. pemilihan obat yang keliru untuk indikasi penyakit tertentu.

c. cara pemakaian obat, dosis, frekuensi dan lama pemberian tidak sesuai.

d. pemakaian obat dengan potensi toksisitas atau efek samping lebih besar

padahal obat lain yang sama kemanfaatan (efficacy) dengan potensi efek

samping lebih kecil juga ada.

e. pemakaian obat-obat mahal padahal alternatif yang lebih murah dengan

kemanfaatan dan keamanan yang sama tersedia.

f. tidak memberikan pengobatan yang sudah diketahui dan diterima kemanfaatan

dan keamanannya (established efficacy and safety).

g. memberikan pengobatan dengan obat-obat yang kemanfaatannya dan

keamanannya masih diragukan.

h. pemakaian obat yang semata-mata didasarkan pada pengalaman individual

tanpa mengacu pada sumber informasi ilmiah yang layak, atau hanya didasari

pada sumber informasi yang diragukan kebenarannya.

32
Universitas Sumatera Utara
Parameter lain dipublikasikan oleh WHO (1993) yang menyebutkan

bahwa penelitian tentang penggunaan obat pada fasilitas kesehatan, penilaian

baik/rasional didasarkan pada 3 macam indikator, yang salah satu indikator

tersebut mempersyaratkan tentang persentase penggunaan antibiotika, penulisan

obat generik, dan kesesuaian dengan formularium rumah sakit/Nasional.

Dampak peresepan yang tidak rasional dapat menimbulkan dampak yang

negatif yaitu diantaranya dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan baik

secara langsung maupun tidak langsung, dampak terhadap biaya pelayanan

pengobatan yang akan sangat dirasakan oleh pasien, dampak terhadap

kemungkinan efek samping obat, dan dampak psikososial (Quick et al., 1997).

Berdasarkan studi pustaka, penelitian oleh Dianingati, dkk., (2018)

mengenai analisis kesesuaian resep untuk pasien JKN dengan indikator peresepan

WHO 1993 pada instalasi farmasi rawat jalan di RSUD Ungaran, menunjukkan

hasil dari semua perhitungan terhadap indikator peresepan WHO 1993 belum ada

yang sesuai dengan nilai estimasi terbaik dari WHO. Hal ini menandakan bahwa

masih perlu adanya pengawasan, evaluasi serta koordinasi antar profesional

kesehatan dan pemerintah untuk memperbaikinya sehingga dapat memberikan

pelayanan kesehatan yang benar, aman dan efektif. Penelitian terkait lainnya oleh

Yuliastuti, dkk., (2012) juga menunjukkan hasil bahwa penggunaan obat pada

pasien rawat jalan di RSUD Sleman Yogyakarta belum sepenuhnya memenuhi

indikator standar WHO. Penelitian Fakhriadi, dkk., (2011) menunjukkan bahwa

untuk pengelolaan obat pada tahap penggunaan (use) belum sepenuhnya

memenuhi standar yaitu belum efisien pada jumlah item per lembar resep rawat

inap di tahun 2007 dan 2008, peresepan obat generik rawat inap dan jalan,

33
Universitas Sumatera Utara
peresepan antibiotika di rawat jalan, peresepan injeksi di rawat inap dan jalan,

peresepan sesuai standar obat rumah sakit di rawat inap dan jalan serta persentase

obat yang diserahkan di rawat inap.

2.5 Rumah Sakit Umum Daerah Langsa

2.5.1 Definisi Rumah Sakit Umum Daerah Langsa

Rumah sakit umum daerah Langsa merupakan rumah sakit rujukan atas

mata rantai sistem kesehatan di wilayah pemerintah Kota Langsa dan sekitar.

Berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

51/Men.Kes/SK/II/1979 tanggal 22 Februari 1979 diberikan status menjadi rumah

sakit dalam klasifikasi tipe C, kemudian pada tahun 1997 ditingkatkan

klasifikasinya menjadi rumah sakit tipe B non pendidikan berdasarkan surat

keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 479/Men.Kes/SKV/1997

tanggal 20 Mei 1997. Berdasarkan keputusan Presiden No. 40 tahun 2001 berubah

status menjadi RSUD Langsa dan telah juga ditetapkan dengan qanun pemerintah

Kota Langsa No. 5 Tahun 2005 dan qanun pemerintah Kota Langsa No. 10 Tahun

2009 tentang rincian pokok dan fungsi pemangku jabatan struktural dilingkungan

RSUD Langsa.

2.5.2 Falsafah, Visi, danMisi

Falsafah rumah sakit adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan

kesehatan perorangan yang berdasarkan keramah-tamahan. Visi RSUD Langsa

adalah rumah sakit daerah Kota Langsa menjadi rumah sakit unggulan di

wilayah Timur Aceh.

Misi RSUD Langsa adalah:

34
Universitas Sumatera Utara
a. meningkatkan kualitas pelayanan individu yang prima secara

berkesinambungan.

b. melakukan pengelolaan rumah sakit dengan menggunakan prinsip bisnis sehat.

c. memberikan pelayanan unggulan, pengembangan dan penelitian traumatologi,

kebidanan, anak dan penyakit dalam.

d. sebagai pendukung utama dalam meningkatkan derajat kesehatan di wilayah

Timur Aceh pada umumnya dan Kota Langsa pada khususnya.

e. membentuk jaringan pelayanan kesehatan dengan seluruh fasilitas pelayanan

primer di Kota Langsa melalui pelayanan dengan sistem rujukan yang

terkoordinasi.

2.5.3 Tujuan Rumah Sakit Umum Daerah Langsa

Tujuan didirikannya RSUD Langsa adalah:

a. tersedianya dan meningkatnya jenis dan mutu pelayanan (medik, penunjang

medik dan penunjang non medik) yang sesuai perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologikedokteran dan kebutuhan masyarakat.

b. tersedianya pelayanan yang optimal untuk masyarakat miskin.

c. berkembangnya sistem manajemen rumah sakit yang efektif dan efisien

serta dapat menjamin pelaksanaan penerapan bisnis yang sehat dengan tetap

menjalankan fungsi sosialnya.

d. tersedianya sumber daya manusia, sarana/prasarana dan dana yang

memadai baik kuantitas dan kualitasnya.

e. terwujudnya pelayanan unggulan.

f. terbentuknya jaringan pelayanan kesehatan dan pendidikan dengan pusat-

pusat pelayanan primer di wilayah Kota Langsa.

35
Universitas Sumatera Utara
2.5.4 Susunan Organisasi

Badan Pelayanan Kesehatan (BPK) RSUD Langsa terdiri dari :

a. direktur.

b. sekretariat.

c. bidang pelayanan medis.

d. bidang keperawatan.

e. bidang penunjang medis.

f. kelompok jabatan fungsional.

g. instalasi.

h. satuan pengawas intern.

i. dewan penyantun.

2.6 Instalasi Farmasi RSUD Langsa

Instalasi Farmasi merupakan instalasi di RSUD Langsa yang bertanggung

jawab terhadap penyelengaraan semua kegiatan pekerjaan kefarmasian meliputi

pengelolaan perbekalan farmasi mulai dari pemilihan, perencanaan, pengadaan,

penyimpanan, penyiapan, peracikan, pelayanan langsung kepada pasien sampai

dengan pengendalian semua perbekalan farmasi yang beredar dan digunakan di

dalam rumah sakit baik untuk pasien rawat inap, rawat jalan maupun untuk semua

unit termasuk poliklinik rumah sakit.

Instalasi farmasi RSUD Langsa terbagi menjadi tiga yaitu depo farmasi

rawat inap, depo farmasi rawat jalan dan depo farmasi instalasi gawat darurat

yang melayani selama 24 jam.

2.6.1 Tugas Pokok dan Fungsi Instalasi Farmasi


Tugas pokok instalasi farmasi RSUD Langsa meliputi:

36
Universitas Sumatera Utara
a. melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal.

b. menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi professional berdasarkan

prosedur kefarmasian dan etik profesi.

c. melaksanakan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE).

d. memberi pelayanan bermutu melalui analisan dan evaluasi untuk

meningkatkan mutu pelayanan farmasi.

e. melakukan pengawasan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku.

f. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang farmasi.

g. mengadakan penelitian dan pengembangan di bidang farmasi.

h. memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan

formularium rumah sakit.

Fungsi instalasi farmasi RSUD Langsa meliputi:

a. pengelolaan perbekalan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai.

b. pelayananan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan

2.6.2 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RSUD Langsa

Struktur organisasi instalasi farmasi RSUD Langsa disajikan pada


Gambar 2.2.

37
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Struktur organisasi instalasi farmasi RSUD Langsa

2.6.3 Sumber Daya Manusia Instalasi Farmasi RSUD Langsa

Instalasi farmasi RSUD Langsa memiliki jumlah tenaga kefarmasian yaitu

13 orang apoteker, 30 orang tenaga teknis kefarmasian, dan 13 orang tenaga

teknis. Ketenagaan di RSUD Langsa terdiri dari

a. 1 orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi.

b. 1 orang apoteker sebagai koordinator gudang.

c. 1 orang apoteker sebagai koordinator depo rawat jalan.

d. 1 orang apoteker sebagai koordinator depo rawat inap.

e. 1 orang apoteker sebagai koordinator depo instalasi gawat darurat.

f. 8 orang apoteker sebagai apoteker masing-masing depo.

g. 3 orang tenaga teknis kefarmasian di gudang.

h. 8 orang tenaga teknis kefarmasian di depo rawat jalan.

i. 16 orang tenaga teknis kefarmasian di depo rawat inap.

j. 3 orang tenaga teknis kefarmasian di depo instalasi gawat darurat.

38
Universitas Sumatera Utara
2.7 Kerangka Teori Penelitian

Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan

merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam

mendukung penyelenggaraan upaya kesehatanyang salah satu layanannya adalah

pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi dua

kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan

farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan kegiatan pelayanan

farmasi klinik. Sistem pengelolaan obat harus dipandang sebagai bagian dari

keseluruhan sistem pelayanan di rumah sakit dan diorganisasikan dengan suatu

cara yang dapat memberikan pelayanan berdasarkan aspek keamanan, efektif dan

ekonomis dalam penggunaan obat, sehingga dapat dicapai efektifitas dan efisiensi

pengelolaan obat. Pengelolaan obat di rumah sakit ini dibentuk di suatu instalasi

farmasi rumah sakit.

Pengelolaan tersebut meliputi seleksi, perencanaan dan pengadaan,

penyimpanan, distribusi serta penggunaan, dimana saling terkait antara satu

dengan yang lain. Ketidakterkaitan antara masing-masing tahap dan kegiatan akan

berakibat sistem suplai dan penggunaan obat tidak efisien, mempengaruhi kinerja

rumah sakit baik secara medik, ekonomi dan sosial, dan sekaligus mengurangi

kepercayaan masyarakat terhadap layanan rumah sakit. Bagan kerangka teori

penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.3.

39
Universitas Sumatera Utara
Pelayanan Farmasi
Klinik
Sistem Instalasi Farmasi
Pelayanan RS Rumah Sakit

Pengelolaan Obat

Seleksi Perencanaan dan Distribusi Use


Pengadaan

Ya Efektif dan
Saling Keterkaitan
Efisien
Tidak

Tidak efisien Mempengaruhi Mengurangi


sistem suplai dan kinerja RS secara kepercayaan
penggunaan obat medik, sosial dan masyarakat
yang ada ekonomi terhadap layanan
RS

Gambar 2.3 Kerangka teori penelitian

40
Universitas Sumatera Utara
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan pengambilan

data secara retrospektif dan prospektif untuk mengevaluasi pengelolaan obat di

instalasi farmasi RSUD Langsa.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Langsa di bagian instalasi farmasi

rumah sakit. Pengumpulan data penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober

2019 untuk data prospektif dan retrospektif.

3.3 Populasi

Populasi target adalah seluruh data berupa dokumen-dokumen tahun 2018

serta data-data yang diamati dan diperoleh pada saat penelitian ini berlangsung di

instalasi farmasi RSUD Langsa.

3.4 Pengumpulan Data

Data diambil secara prospektif dan retrospektif. Pengambilan data

retrospektif dilakukan pada indikator kesesuaian item obat yang tersedia dengan

formularium nasional, frekuensi pengadaan tiap item obat per tahun, persentase

dan nilai obat kadaluarsa dan atau rusak, persentase stok mati dan tingkat

ketersediaan obat, sedangkan pengambilan data prospektif dilakukan pada

41
Universitas Sumatera Utara
indikator ketepatan data jumlah obat pada kartu stok, jumlah item obat per lembar

resep, persentase obat dengan nama generik, persentase peresepan obat antibiotika

dan injeksi, persentase obat yang diresepkan sesuai formularium rumah sakit,

rerata kecepatan pelayanan resep, persentase obat yang dapat diserahkan dan

persentase obat yang dilabeli dengan lengkap.

3.4.1 Data Primer

a. Wawancara

Penelitian melakukan wawancara mendalam yang dapat memberikan

informasi yang sesuai dengan topik penelitian. Disajikan secara tekstual dalam

kalimat deskriptif terutama evaluasi mengenai sistem pendukung yang terkait.

Alat yang digunakan adalah tulis dan tape recorder.

b. Pengamatan

Penelitian melakukan pengamatan langsung dan pencatatan terhadap

standar penyimpanan obat, ketepatan data kartu stok, waktu pelayanan resep dan

lembar resep pasien di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Langsa.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder didapat dengan telaah dokumen-dokumen tahun

sebelumnya yaitu 2018 antara lain laporan pemasukan dan pengeluaran obat,

laporan pengadaan obat, laporan obat rusak dan atau kadaluarsa yang ada di

instalasi farmasi RSUD Langsa.

3.5 Langkah Kerja Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan dengan langkah-langkah pada Gambar 3.1

seperti berikut:

42
Universitas Sumatera Utara
Mengurus surat permohonan izin dari Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sumatera Utara untuk melakukan penelitian di RSUD Langsa.

Mengurus surat persetujuan dari Komite Etik Penelitian bidang kesehatan di


Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Mengurus surat persetujuan dari Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Langsa
untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data

Pengumpulan dan pencatatan data yang termaksud dalam data yang akan
diambil di instalasi farmasi RSUD Langsa dalam bulan Juli-Oktober 2019 di
instalasi farmasi RSUD Langsa.

Melakukan pengambilan data langsung pada saat pelayanan resep oleh peneliti
di instalasi RSUD Langsa tersebut

Melakukan analisis data yang diperoleh dan membuat laporan penelitian.

Gambar 3.1 Langkah kerja penelitian

3.6 Pengolahan dan Analisis Data

Data hasil observasi dokumen, pengamatan langsung dan wawancara

diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu data kuantitatif dan data kualitatif.

Data kualitatif dianalisis dengan mengidentifikasi temuan yang ada dan hasilnya

disajikan dalam bentuk tekstual berupa narasi. Data kuantitatif dibandingkan

dengan standar yang telah ditetapkan yaitu indikator Depkes RI (2008),

Kemenkes RI (2008), Pudjaningsih (1996) dan indikator WHO (1993) kemudian

disajikan dalam bentuk tabel. Data dihitung menggunakan microsoft office excel

tahun 2007 dan hasil perhitungan data yang didapatkan kemudian dianalisis

menggunakan descriptive statistics pada program SPSS versi 22.

43
Universitas Sumatera Utara
3.7 Analisis Parameter

Langkah-langkah analisis setiap parameter dalam penelitian ini adalah:

a. seleksi

i. kesesuaian item obat yang tersedia dengan formularium Nasional

Rumus: X/Y x 100%

Keterangan:
X : Jumlah obat yang sesuai dengan formularium Nasional
Y : Total jumlah obat

b. perencanaan dan pengadaan (procurement)

i. frekuensi pengadaan tiap item obat pertahun

Nilai frekuensi pengadaan tiap item obat per tahun diperoleh melalui

pengumpulan data secara retrospektif dari laporan pengadaan tahun 2018. Total

item obat disampling secara acak sebesar 30% dari keseluruhan total obat yang

diadakan (Ihsan, dkk., 2014).

Rumus: Data diambil dari laporan pengadaan obat tahun 2018,

berdasarkan laporan tersebut dapat diketahui berapa kali obat dipesan.

c. distribusi

i. ketepatan data jumlah obat pada kartu stok

Data diambil secara prospektif dengan cara mencocokkan jumlah sediaan

yang tertera pada kartu stok dengan jumlah fisik obat yang sebenarnya. Kartu stok

obat yang diambil sebagai sampel sebanyak 10% dari total kartu stok obat yang

ada, dicocokkan dengan barang yang ada (Satibi, 2014).

Rumus: X/Y x 100%

Keterangan:
X: Jumlah item obat yang sesuai dengan kartu stock
Y: Jumlah kartu stock yang diambil

44
Universitas Sumatera Utara
ii. persentase dan nilai obat yang kadaluarsa dan atau rusak

Data diambil secara retrospektif berupa pengamatan data obat kadaluarsa

selama tahun 2018 (Djatmiko, 2008).

Rumus: X/Y x 100%

Keterangan:
X : Total nilai obat kadaluarsa dalam setahun
Y : Nilai stok opname

iii. persentase stok mati

Data diambil secara retrospektif berupa pengamatan data pengeluaran obat

di gudang farmasi pada tahun 2018 (Djatmiko, 2008).

Rumus: X/Y x 100%

Keterangan:
X : Jumlah jenis obat yang tidak mengalami transaksi (selama 3 bulan)
Y : Jumlah item obat yang ada stoknya

iv. tingkat ketersediaan obat

Data diambil secara retrospektif berupa data stok obat per Desember 2018

dan data pemakaian obat selama tahun 2018 (Satibi, 2014).

Rumus: X+Y/Z x 1 bulan

Keterangan:
X: Jumlah stock obat
Y: Jumlah pemakaian obat selama 1 tahun
Z: Rerata pemakaian obat perbulan

d. penggunaan (Use)

Pengambilan data dilakukan secara prospektif dengan mengumpulkan data

yang terdapat pada lembar pasien rawat jalan dan rawat inap selama 1 bulan di

RSUD Langsa. Sampel yang digunakan dihitung menggunakan raosoft.com

dengan tingkat kepercayaan 95% yaitu didapatkan sampel sebanyak 344 resep

45
Universitas Sumatera Utara
rawat inap dari 3.280 populasi dan sebanyak 362 lembar resep rawat jalan dari

6.240 populasi (Yuliastuti, dkk., 2013). Adapun parameter yang dihitung pada

tahap penggunaan adalah sebagai berikut:

i. jumlah item obat perlembar resep

Rumus: B/A

Keterangan:
A =Jumlah resep yang disurvey
B = Jumlah total produk obat yang diresepkan

ii. persentase obat dengan nama generik

Rumus: X/Y x 100%

Keterangan:
X : Jumlah obat dalam nama generik
Y : Jumlah total obat yang diresepkan

iii. persentase peresepan obat antibiotika

Rumus: X/Y x 100%

Keterangan:
X : Jumlah resep yang mengandung satu atau lebih antibiotika
Y : Jumlah total resep

iv. persentase peresepan injeksi

Rumus = X/Y x 100%

Keterangan:
X : Jumlah pasien yang menerima suntikan injeksi
Y : Jumlah total resep

v. persentase obat yang masuk dalam formularium rumah sakit

Rumus = X/Y x 100%

Keterangan:
X: Jumlah obat yang sesuai dengan formularium
Y : Total jumlah obat yang diresepkan

46
Universitas Sumatera Utara
vi. rerata kecepatan pelayanan resep (racikan dan non racikan)

Waktu pelayanan resep obat diperoleh dengan cara mengumpulkan data

waktu pelayanan resep yang masuk selama satu bulan di apotek rawat jalan. Data

dikumpulkan secara prospektif. Sampel resep non racikan diambil berdasarkan

perhitungan rumus raosoft dengan jumlah populasi sebanyak 7.360 didapatkan

sampel sebanyak 366 resep sedangkan resep non racikan diambil berdasarkan

perhitungan rumus raosoft dengan jumlah populasi 45 didapatkan sampel

sebanyak 41 resep (Ihsan, dkk., 2014).

Rumus: X-Y/Z x 100%

Keterangan:
X : Waktu selesai diterima pasien
Y : Waktu resep masuk ke apotek
Z : Total jumlah resep

vii. persentase obat yang dapat diserahkan

Rumus: X/Y x 100%

Keterangan:
X : Total jumlah item obat yang diserahkan kepada pasien
Y : Jumlah item obat yang diresepkan

viii. persentase obat yang dilabeli dengan lengkap

Rumus: X/Y x 100%

Keterangan:
X : Jumlah obat dengan etiket yang dilabeli dengan nama pasien dan
aturan pakai
Y : Jumlah total obat yang diberikan kepada pasien.

3.8 Definisi Operasional

Definsi operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1.

47
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3.1 Definisi operasional penelitian
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
1 Capaian Pencapaian Parameter- Membandingkan Sesuai atau Nominal
pengelolaan serangkaian kegiatan parameter capaian tidak
obat yang terdiri pemilihan, dalam Depkes pengelolaan obat sesuai
perencanaan dan RI (2008), dengan parameter
pengadaan, distribusi Pudjaningsih dalam standar
dan penggunaan obat (1996) dan
yang diresepkan WHO (1993)
menggunakan
parameter yang
tercantum dalam
standar sebagai
indikator
2 Pemilihan Proses penentuan obat Parameter Melihat Sesuai atau Nominal
yang akan dalam Depkes kesesuaian tidak
disediakan/diadakan RI (2008) variabel sesuai
pemilihan
terhadap
parameter dalam
standar
pengelolaan obat
3 Perencanaan Proses perencanaan Parameter Melihat Sesuai atau Nominal
dan dan pengadaan obat di dalam kesesuaian tidak
pengadaan instalasi farmasi RSUD Pudjaningsih variabel sesuai
Langsa (1996) perencanaan dan
pengadaan
terhadap
parameter dalam
standar
pengelolaan obat
4 Distribusi Proses penyimpanan Parameter Melihat Sesuai atau Nominal
dan pendistribusian dalam Depkes kesesuaian tidak
obat di instalasi farmasi RI (2008) dan variabel distribusi sesuai
RSUD Langsa Pudjaningsih terhadap
(1996) parameter dalam
standar
pengelolaan obat

5 Penggunaan Proses yang meliputi Parameter Melihat Sesuai atau Nominal


obat yang peresepan oleh dokter, dalam WHO kesesuaian tidak
diresepkan pelayanan obat oleh (1993) dan variabel sesuai
farmasi serta Menkes RI penggunaan obat
penggunaan obat oleh (2008) yang diresepkan
pasien terhadap
parameter dalam
standar
pengelolaan obat

48
Universitas Sumatera Utara
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Penelitian

Instalasi farmasi rumah sakit merupakan bagian yang bertanggung jawab

atas pengelolaan obat pada RSUD Langsa yaitu mulai dari tahap pemilihan,

perencanaan dan pengadaan, distribusi hingga penggunaan obat. Dalam

menjalankan tugasnya, bagian instalasi farmasi bekerja sama dengan bagian

gudang dimana penerimaan obat dan penyimpanan obat dilakukan. Pada

penelitian ini dilakukan evaluasi capaian pengelolaan obat meliputi pemilihan,

perencanaan dan pengadaan (procurement), distribusi dan penggunaan obat yang

diresepkan di RSUD Langsa.

4.2 Karakteristik Responden

Data kualitatif dalam penelitian ini diperoleh melalui hasil observasi dan

wawancara mendalam terhadap kepala instalasi farmasi, apoteker bagian

perbekalan dan apoteker bagian pelayanan. Seluruh informan telah

menandatangani lembar pernyataan kesediaan menjadi subjek penelitian setelah

mendapat penjelasan maksud dan tujuan penelitian. Karakteristik informan

wawancara mendalam disajikan dalam Tabel 4.1.

Table 4.1 Karakteristik informan


Jenis
Informan Pendidikan Jabatan
Kelamin
Spesialis Farmasi Rumah Kepala Instalasi
1 Perempuan
Sakit Farmasi
Koordinator Gudang
2 Perempuan Apoteker
Farmasi

49
Universitas Sumatera Utara
Table 4.1 (Sambungan)
Jenis
Informan Pendidikan Jabatan
Kelamin
Koordinator Instalasi
3 Perempuan Apoteker
Farmasi Rawat Inap
Koordinator Instalasi
4 Laki-laki Apoteker
Farmasi Rawat Jalan

4.3 Pemilihan (Selection)

Pemilihan atau selection adalah proses memilih sejumlah obat di rumah

sakit dengan tujuan untuk menghasilkan penyediaan/pengadaan yang lebih baik,

penggunaan obat yang lebih rasional, dan harga yang lebih rendah (Satibi, 2014).

Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam Tim Farmasi dan

Terapi (TFT) untuk menetapkan kualitas dan efektifitas serta jaminan obat yang

baik. Adapun salah satu fungsi TFT yaitu mengembangkan formularium rumah

sakit dan merevisinya, juga membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan

tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai

penggunaan obat di rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal

maupun nasional (Wati, 2013).

Formularium Nasional merupakan daftar obat terpilih yang dibutuhkan

dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka pelaksanaan

JKN. Dalam hal obat yang diperlukan tidak tercantum dalam formularium

nasional maka dapat digunakan obat lain secara terbatas berdasarkan persetujuan

komite medik atau direktur utama rumah sakit setempat. Formularium nasional

disusun dengan tujuan untuk menjadi acuan bagi fasilitas pelayanan kesehatan

dalam menjamin aksesibilitas obat yang berkhasiat, bermutu, aman, dan

terjangkau dalam sistem JKN, sedangkan formularium RS adalah dokumen yang

selalu diperbaharui secara terus-menerus yang berisi sediaan obat yang terpilih

50
Universitas Sumatera Utara
dan informasi tambahan lainnya yang merefleksikan pertimbangan klinik

mutakhir staf medik rumah sakit. Formularium RS disusun bertujuan untuk

meningkatkan mutu pelayanan farmasi serta meningkatkan efisiensi dan

efektivitas pemakaian obat di RS (Winda, 2018). Formularium RS disusun

mengacu kepada formularium nasional dimana formularium ini merupakan daftar

obat yang disepakati oleh staf medis dan disusun oleh TFT yang ditetapkan oleh

pimpinan rumah sakit (Aritonang, 2017). Hal ini sesuai dengan hasil wawancara

dengan koordinator gudang farmasi RSUD Langsa sebagai berikut:

Pemilihan obat di RSUD Langsa yaitu berdasarkan formularium nasional,


RSUD Langsa mengikuti yang ada di formularium nasional. Namun dari
formularium nasional tidak mencakupi semua obat yang dibutuhkan di RSUD
Langsa, maka dibuatlah formulrium rumah sakit. Formularium rumah sakit dibuat
berdasarkan formularium nasional dan usulan/permintaan dari dokter spesialis.
Obat-obat seperti piracetam, mecobalamin dan sebagainya tidak ada didalam
formularium nasional, namun dokter meminta untuk diadakan di rumah sakit
sehingga dijadikan acuan juga untuk dimasukkan kedalam formularium rumah
sakit (Informan 2).
Berdasarkan hasil wawancara dengan koordinator gudang farmasi tersebut,

diketahui bahwa kebijakan yang diambil oleh RSUD Langsa dalam hal pemilihan

obat, yaitu pemilihan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa dilakukan

berdasarkan acuan formularium nasional, formularium rumah sakit dan

permintaan atau usulan dari dokter spesialis. Jika ada obat-obat yang tidak

termasuk dalam formularium nasional tetapi obat tersebut dibutuhkan dalam

proses penyembuhan penyakit dan dipakai oleh dokter untuk pasien maka obat

tersebut dipilih untuk diadakan seperti mecobalamin, piracetam, ambroksol dan

lain-lain.

Formularium RSUD Langsa disusun sebagai acuan penggunaan obat di

RSUD Langsa dan melengkapi kebutuhan obat yang tidak tercantum di

51
Universitas Sumatera Utara
formularium nasional atas dasar usulan/permintaan dari dokter spesialis di RSUD

Langsa. Formularium RSUD Langsa disusun oleh TFT yang diketuai oleh dokter

spesialis dan kepala instalasi farmasi sebagai sekretaris.

Indikator yang digunakan dalam tahap pemilihan/seleksi adalah

kesesuaian item obat yang tersedia dengan formularium nasional yang bertujuan

untuk mengetahui tingkat kepatuhan penggunan obat dalam formularium nasional.

Data dikumpulkan secara retrospektif dengan membandingkan jumlah obat yang

sesuai dengan formularium nasional dengan total jumlah obat dalam formularium

rumah sakit, dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Kesesuaian item obat yang tersedia dengan formularium nasional
Keterangan Nilai (item) Nilai Standar
Jumlah item obat yang 585 -
sesuai dengan formularium
Nasional
Jumlah item obat 662 -
formularium RSUD
Langsa
Kesesuaian item obat yang 88,37% ≥ 80%
tersedia dengan
formularium nasional (%)

Berdasarkan Tabel 4.2, terlihat bahwa kesesuaian obat yang tersedia di

RSUD Langsa dengan formularium nasional telah memenuhi standar yaitu

sebesar 88,37%.

Berdasarkan hasil tersebut, menunjukkan bahwa obat-obat yang tercantum

dalam formularium RSUD Langsa sebagian besar sudah sesuai dengan

formularium nasional sehingga sebagian besar obat yang disediakan dan diberikan

kepada pasien sudah sesuai dengan obat-obat yang ada tertera dalam formularium

Nasional.

52
Universitas Sumatera Utara
Formularium rumah sakit yang disusun mengacu pada formularium

nasional merupakan salah satu upaya mendukung penggunaan obat rasional

melalui peningkatan akses terhadap obat esensial (Mahdiyani, 2018). Namun

dalam hal di rumah sakit, obat yang dibutuhkan tidak tercantum dalam

formularium nasional dapat digunakan obat lain secara terbatas sepanjang

mendapat persetujuan kepala atau direktur rumah sakit setempat (Menkes, 2018).

Atas dasar dapat digunakannya obat di luar formularium Nasional tersebut maka

kemudian rumah sakit menyusun formularium rumah sakit yang dapat dijadikan

sebagai acuan pengobatan oleh dokter kepada pasien (Winda, 2018).

4.4 Perencanaan dan Pengadaan (Procurement)

Pada tahap pengelolaan obat, proses perencanaan dan pengadaan sangat

berpengaruh pada ketersediaan obat maupun segi ekonomi rumah sakit.

Terjaminnya item dan jumlah obat yang mencukupi menjadi salah satu aspek

terpenting dari rumah sakit untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik.

Disamping itu, karena besarnya biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit pada

pengelolaan obat terutama pada tahap perencanaan dan pengadaan, maka perlu

diadakan evaluasi terhadap tahap tersebut (Mahdiyani, 2018).

Proses perencanaan terdiri dari perkiraan kebutuhan, menetapkan sasaran

dan menentukan strategi, tanggung jawab dan sumber yang dibutuhkan untuk

mencapai tujuan. Perencanaan sediaan farmasi adalah salah satu fungsi yang

menentukan dalam proses pengadaan sediaan farmasi di rumah sakit. Tujuan

perencanaan sediaan farmasi adalah untuk menetapkan jenis dan jumlah sediaan

farmasi sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah

53
Universitas Sumatera Utara
sakit. Perencanaan sediaan farmasi merupakan proses kegiatan dalam pemilihan

jenis, jumlah dan harga sediaan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan

anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode

yang dapat dipertanggung jawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah

ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan

epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Hal ini sesuai dengan

hasil wawancara dengan koordinator gudang farmasi RSUD Langsa terkait

pengadaan sebagai berikut:

Perencanaan dilakukan berdasarkan riwayat pemakaian obat tahun


sebelumnya dengan mempertimbangkan sisa persediaan obat yang ada. Setelah
dibuat perencanaan obat untuk satu tahun kedepan, setiap tiga bulan sekali
dilakukan permintaan pengadaan obat kepada PPK jika terdapat obat yang tidak
masuk kedalam perencanaan awal dikarenakan adanya permintaan/usulan dari
dokter untuk kebutuhan penggunaan obat tersebut sesuai usulan pengobatan dari
dokter spesialis yang bersangkutan (Informan 2).
Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa metode

perencanaan obat di RSUD Langsa dilakukan dengan pola pendekatan konsumsi

yaitu perencanaan berdasarkan pemakaian obat tahun lalu/sebelumnya dengan

mempertimbangkan sisa persediaan yang ada dan usulan permintaan obat dari

dokter. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 Tahun

2014 bahwa perencanaan obat dilakukan untuk menghindari kekosongan dan atau

kelebihan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan

dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan salah satunya metode

konsumsi yang disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.

Perencanaan dilakukan secara optimal sehingga perbekalan farmasi dapat

digunakan secara efektif dan efisien (Nesi, 2018). Apabila terjadi kelemahan

dalam sistem perencanaan tersebut, maka akan mengakibatkan kekacauan dalam

54
Universitas Sumatera Utara
sistem pengelolaan obat, misalnya terjadi pemborosan anggaran, banyaknya obat

tidak terpakai/terbuang, membengkaknya anggaran pengadaan dan penyimpanan

(Pramukantoro, 2018).

Salah satu cara untuk menghindari pembengkakan biaya pengadaan dalam

perencanaan dapat dilakukan melalui evaluasi farmakoekonomi. Farmakoekonomi

dapat membantu pembuat kebijakan dan penyedia pelayanan kesehatan dalam

membuat keputusan dan mengevaluasi keterjangkauan serta akses pengunaan obat

yang rasional. Kunci utama dari kajian farmakoekonomi adalah efisiensi dengan

berbagai strategi yang dapat dilakukan untuk mendapatkan manfaat semaksimal

mungkin dengan sumber daya yang digunakan (Khoiriyah, 2018).

Evaluasi ekonomi adalah salah satu cara untuk melakukan perbandingan

terhadap tingkat efisiensi beberapa intervensi atau program kesehatan. Cost

Effectiveness Analysis (CEA) adalah salah satu bentuk evaluasi ekonomi yang

membandingkan rasio biaya dan efektivitas dari beberapa alternatif

intervensi/program. Sebagai contoh, Cost Effectiveness Analysis dipakai sebagai

metode penetepan intervensi oleh WHO dalam proyek WHO-CHOICE (Choosing

Interventions that are Cost Effective). Hasil evaluasi ini diharapkan dapat dipakai

dalam proses perencanaan dan penetapan prioritas pelayanan kesehatan di tingkat

nasional. Evaluasi ekonomi lainnnya yang dapat digunakan adalah Cost Benefit

Analysis (CBA). Cost Benefit Analysis merupakan evaluasi ekonomi yang paling

kompleks karena mencoba mengukur biaya dan efektivitas dalam bentuk moneter,

di mana besarnya biaya dibandingkan dengan besarnya efektifitas. Evaluasi ini

juga dapat digunakan untuk penetapan perencanaan obat dengan melihat rasio

biaya dan manfaat yang dihasilkan (Probandari, 2007). Namun kelemahan

55
Universitas Sumatera Utara
manajemen obat di RS saat ini adalah kurangnya penelitian dan kajian

farmakoekonomi dalam proses perencanaan sehingga dapat berdampak terhadap

pemborosan biaya dan resiko obat tidak terpakai atau kadaluarsa.

Pengadaan adalah suatu usaha kegiatan untuk memenuhi kegiatan

operasional yang telah ditetapkan dalam fungsi perencanaan (Nesi, 2018).

Pengadaan obat-obatan di rumah sakit dilakukan berdasarkan perencanaan yang

dibuat oleh IFRS. Menurut informasi yang disampaikan oleh informan 1, metode

pengadaan obat yang selama ini dilakukan pada RSUD Langsa dilakukan secara

e-catalog dan diluar e-catalog.

Pengadaan secara e-catalog merupakan pengadaan barang/jasa yang

dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemajuan teknologi

informasi lebih mempermudah dan mempercepat proses pengadaan barang/jasa,

karena penyedia barang/jasa tidak perlu lagi datang ke Kantor Kelompok Kerja

Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) untuk melihat, mendaftar dan mengikuti

proses pelelangan, tetapi cukup melakukannya secara online pada website

pelelangan elektronik (Menkes, 2014).

Pengadaan dilakukan dengan sistem e-purchasing berdasarkan e-catalog

secara online dengan aplikasi LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik).

Untuk obat-obatan diluar e-catalog, pengadaan obat dilakukan langsung oleh

kepala instalasi farmasi rumah sakit dengan menggunakan surat pesanan kepada

distributor. Seperti yang disampaikan oleh informan 1 sebagai berikut:

Pengadaan obat di RSUD Langsa dilakukan oleh PPK dan PPTK dibawah
arahan dan petunjuk Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) RS. Pengadaannya sebisa
mungkin secara e-catalog, tetapi ada juga yang diluar e-catalog karena tersangkut
pembayaran atau stok barang kosong dari distributor, sehingga pengadaan

56
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dengan SP biasa ke distributor. Pengadaan dilakukan setiap sebulan
sekali, tetapi terkadang tidak bisa dipastikan juga karena menyesuaikan dengan
keuangan RS juga, sehingga bisa frekuensinya tidak tetap karena kondisi
pembayaran yang tidak stabil (Informan 1).
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan 1 tersebut, disimpulkan

bahwa pengadaan obat-obatan di RSUD Langsa dilakukan oleh Pejabat Pembuat

Komitmen (PPK) dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dibawah arahan

dan petunjuk Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang ditetapkan dengan SK

Direktur. Hal ini sesuai dengan Perpres No. 72 tahun 2012 tentang pengadaan

barang dan jasa.

Dalam pengadaan obat-obatan dengan sistem e-catalog ditemukan

hambatan saat di lapangan yaitu waktu tunggu pesanan membutuhkan waktu yang

lama dari distributor menuju ke rumah sakit, terjadi kekosongan stok obat yang

dari distributor atau tersangkut pembayaran (utang-piutang) oleh rumah sakit.

Seperti yang disampaikan informan sebagai berikut:

Pengadaan ada yang dilakukan menggunakan e-catalog, ada juga yang


menggunakan SP biasa kepada distributor (diluar e-catalog) karena biasanya
pemesanan melalui e-catalog lama sampainya atau stok kosong dari distributor
atau tersangkut utang-piutang RS, sehingga untuk mencegah kekosongan obat,
kita pesan menggunakan SP biasa ke distributor lain yang bisa menyediakan obat
yang dibutuhkan dengan tetap mempertimbangkan harga yang sesuai (Informan
2).
Oleh karena itu, berdasarkan alasan tersebut instalasi farmasi RSUD

Langsa juga melakukan pemesanan dan pengadaan obat diluar e-catalog guna

mencegah terjadinya kekosongan obat yang akan menganggu pelayanan obat

kepada pasien.

Indikator yang digunakan pada tahap pengadaan/procurement adalah

frekuensi pengadaan tiap item obat per tahun (Pudjaningsih, 1996). Frekuensi

pengadaan obat adalah banyaknya pengadaan tiap jenis obat selama satu tahun.

57
Universitas Sumatera Utara
Nilai frekuensi pengadaan tiap item obat diperoleh melalui pengumpulan data

secara retrospektif dari dokumen pengadaan obat selama tahun 2018 yaitu

menghitung berapa kali satu item obat diadakan/dipesan selama tahun 2018. Total

640 item obat disampling secara acak sebesar 30% dengan jumlah sampel

sebanyak 192 item obat. Frekuensi pengadaan item obat per tahun dapat dilihat

pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 mempelihatkan frekuensi pengadaan obat tertinggi selama tahun

2018 di IFRSUD Langsa adalah 24 (dua puluh empat) kali dan terendah adalah 1

(satu) kali. Pengadaan obat dikatakan rendah jika dilakukan dibawah 12 kali

dalam setahun, dikatakan sedang jika diadakan sebanyak 12 sampai 24 kali dalam

setahun dan dikatakan tinggi jika pengadaan obat dilakukan diatas 24 kali dalam

setahun. Berdasarkan nilai standar tersebut, maka frekuensi pengadaan obat di

IFRSUD Langsa Tahun 2018 rerata masih rendah, dimana sebanyak 185 item obat

yang tergolong frekuensi pengadaan rendah dan 7 item obat yang frekuensi

pengadaannya tergolong sedang yaitu 2 item obat diadakan sebanyak 12 kali, 3

item obat diadakan sebanyak 14 kali, 1 item obat sebanyak 22 kali dan 1 item obat

sebanyak 24 kali dalam setahun.

Tabel 4.3 Frekuensi pengadaan item obat per tahun


No Frekuensi Pengadaan Jumlah item Obat

1 Satu Kali 50

2 Dua Kali 36

3 Tiga Kali 29

4 Empat Kali 17

5 Lima Kali 19

58
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.3 (Sambungan)
No Frekuensi Pengadaan Jumlah item Obat

6 Enam Kali 13

7 Tujuh Kali 4

8 Delapan Kali 7

9 Sembilan Kali 3

10 Sepuluh Kali 3

11 Sebelas Kali 4

12 Dua Belas Kali 2

13 Empat Belas Kali 3

14 Dua Puluh Dua Kali 1

15 Dua Puluh Empat Kali 1

Frekuensi pengadaan yang masih tergolong rendah salah satunya dapat

disesbabkan karena tersangkut pembayaran kepada distributor, seperti yang

disampaikan oleh informan 1 sebagai berikut:

“Pengadaan obat semestinya dilakukan sebulan sekali, namun karena


adanya utang piutang RS sehingga tersangkut pembayaran, menyebabkan
pengadaan yang dilakukan pun masih rendah karena sangat menyesuaikan dengan
anggaran yang tersedia. Jika anggaran sudah tersedia langsung dipesan dan
diadakan tetapi jika belum ada, tidak bisa dipesan dan diadakan dahulu”
(Informan 1).
Tingginya frekuensi pengadaan obat berarti bahwa perputaran obat dalam

rumah sakit lancar dan dapat menghindari penumpukan obat. Semakin banyak

jumlah barang yang disimpan di gudang maka fasilitas yang digunakan pun

semakin banyak, antara lain ruang penyimpanan yang lebih besar dan biaya

penyimpanan yang lebih tinggi. Frekuensi pembelian semakin sering adalah

59
Universitas Sumatera Utara
semakin baik asal tidak mengganggu pelayanan. Oleh karena itu semakin sedikit

barang yang ada di gudang, frekuensi pembelian akan semakin tinggi

(Pudjaningsih, 1996). Frekuensi pengadaan obat di tiap rumah sakit berdasarkan

penelitian-penelitian sebelumnya bervariasi. Frekuensi pengadaan obat yang

relatif kecil di rumah sakit dapat disebabkan karena aturan penggunaan yang tidak

bisa dipecah-pecah dan harus melakukan pembelian sekaligus (Istinganah, dkk.,

2006).

Pengadaan obat dengan kategori frekuensi sedang adalah metil

prednisolon 4 mg sebanyak 24 kali dan clopidogrel 75 mg sebanyak 22 kali

dalam setahun. Pengadaan kedua obat ini cenderung tinggi dibandingkan obat

lainnya dikarenakan kebutuhan pemakaiannya yang tinggi. Hal ini sesuai dengan

hasil survey sepuluh besar penyakit tertinggi di RSUD Langsa yang menunjukkan

bahwa pneumonia dan Congestive Heart Failure (CHF) masing-masing termasuk

peringkat kesatu dan keempat di rawat inap, penyakit kulit dan jaringan subkutan

lainnya, bronkitis dan stroke masing-masing termasuk peringkat kedua, ketiga dan

keempat di rawat jalan, sehingga pengadaan obat metil prednisolon dan

clopidogrel cenderung tinggi karena pemakaiannya yang lebih banyak dibutuhkan

bagi pasien dengan kategori lima besar penyakit tertinggi di RSUD Langsa.

Obat dengan kategori frekuensi pengadaan rendah salah satunya adalah

cendo xitrol SM, tetanus texoid dan meptin inhalation masing-masing diadakan

sebanyak satu kali dan dua kali dalam setahun. Hal ini dikarenakan obat-obat

tersebut cenderung rendah penggunaannya sehingga pengadaannya cukup

dilakukan sekali sesuai kebutuhan penggunaannya dalam setahun.

60
Universitas Sumatera Utara
Frekuensi pengadaan obat juga pernah diteliti oleh Mahdiyani, dkk.,

(2018) di Muntilan dimana rerata frekuensi pengadaan item obat di RSUD

Muntilan pada tahun 2015 sebesar 4,16 kali dan 3,54 kali pada tahun 2016. Jika

dibandingkan dengan hasil penelitian, frekuensi pengadaan item obat per tahun di

RSUD Langsa tergolong lebih tinggi.

4.5 Distribusi

Distribusi sediaan farmasi merupakan salah satu tugas utama pelayanan

farmasi dirumah sakit. Distribusi memegang peranan penting dalam penyerahan

sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diperlukan ke unit-unit disetiap bagian

farmasi rumah sakit termasuk kepada pasien (Satrianegara, 2018). Distribusi obat

yang tidak efisien menyebabkan tingkat ketersediaan obat menjadi berkurang,

terjadi kekosongan obat, banyaknya obat yang menumpuk akibat dari perencanaan

obat yang tidak sesuai serta banyaknya obat yang kadaluwarsa/rusak yang

disebabkan sistem distribusi yang kurang baik sehingga akan berdampak kepada

inefisiensi penggunaan anggaran/biaya obat (Pramukantoro, 2018). Hal ini juga

sangat berkaitan erat dengan proses penyimpanan obat yang dilakukan.

Proses penyimpanan merupakan proses yang sangat penting pada kegiatan

manajemen obat. Penyimpanan merupakan suatu kegiatan pengamanan terhadap

obat-obatan yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik

maupun kimia dan mutunya tetap terjamin (Soerjono, dkk., 2004). Proses

penyimpanan yang tidak sesuai, maka akan terjadi kerugian seperti mutu sediaan

farmasi tidak dapat terpelihara (tidak dapat mempertahankan mutu obat dari

kerusakan, rusaknya obat sebelum masa kadaluwarsanya tiba) (Palupiningtyas,

61
Universitas Sumatera Utara
2014), potensi terjadinya penggunaan yang tidak bertanggung jawab, tidak

terjaganya ketersediaan dan mempersulit pengawasan terhadap inventoris

(Aditama, 2003).

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, sistem penyimpanan sediaan

farmasi di instalasi farmasi RSUD Langsa dilakukan berdasarkan alphabetis,

bentuk sediaan obat, FIFO dan FEFO. Hal tersebut seperti salah satu poin yang

dikemukakan oleh Sheina, dkk., (2010) bahwa salah satu indikator penyimpanan

obat yaitu sistem penataan gudang farmasi menggunakan penataan gudang standar

dengan sistem penyimpanan FIFO dan FEFO. Obat yang disimpan pada gudang

farmasi diinspeksi secara berkala untuk menjaga kualitas obat dan diberikan label

secara jelas untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam pengambilan obat.

Gudang penyimpanan obat di RSUD Langsa tidak terpisah dengan ruang

pelayanan atau apotek rumah sakit, karena RSUD Langsa menggunakan sistem

satu pintu. Terdapat ruang penyimpanan obat yang terpisah dengan alat kesehatan,

hal ini agar obat-obatan tidak tercampur dengan alat kesehatan. Gudang memiliki

jendela bertalis yang berada di lantai 2 dan memungkinkan untuk mencegah

terjadinya pencurian. Penerangan dalam gudang juga cukup terang untuk

mendukung kegiatan dalam gudang. Kondisi ruangan dan fasilitas penyimpanan

obat di instalasi farmasi RSUD Langsa dapat dilihat pada Lampiran 1 dan

Lampiran 2.

Indikator yang digunakan pada tahap distribusi adalah ketepatan data

jumlah obat pada kartu stok, persentase dan nilai obat yang kadaluarsa dan atau

rusak, persentase stok mati dan tingkat ketersediaan obat. Hasil penelitian

terhadap indikator pada tahap distribusi adalah sebagai berikut:

62
Universitas Sumatera Utara
4.5.1 Ketepatan Data Jumlah Obat Pada Kartu Stok

Ketepatan data jumlah obat pada kartu stok dilakukan pada instalasi

farmasi rawat jalan dan rawat inap. Penilaian terhadap indikator ini bertujuan

untuk menilai ketepatan proses pencatatan obat yang ada di tempat penyimpanan

obat pada instalasi farmasi RSUD Langsa. Data diambil secara prospektif dengan

cara mencocokkan jumlah sediaan obat yang tertera pada kartu stok obat dengan

jumlah fisik obat yang ada. Kartu stok obat yang diambil sebagai sampel

sebanyak 10% dari total 266 kartu stok rawat jalan dan 457 kartu stok rawat inap

yaitu 27 kartu stok rawat jalan dan 46 kartu stok rawat inap. Hasil ketepatan data

jumlah obat pada kartu stok dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Ketepatan data jumlah obat pada kartu stok


Nilai (item)
No Keterangan Rawat Jalan Rawat Inap
1 Jumlah sampel 27 46
2 Jumlah obat yang 27 46
sesuai dengan kartu
stok
Persentase ketepatan data 100% 100%
jumlah obat dengan kartu
stok

Berdasarkan Tabel 4.4, diketahui bahwa item sampel obat yang diambil

sudah sesuai 100% antara data jumlah obat di kartu stok terhadap jumlah fisik

obat yang sebenarnya. Hasil ini sudah sesuai dengan standar menurut

Pudjaningsih (1996) yaitu 100% ketepatan data jumlah obat pada kartu stok

dengan kondisi fisik, ini menandakan bahwa administrasi di instalasi farmasi

RSUD Langsa sudah dikerjakan dengan baik dan optimal. Kondisi ini dapat

terjadi karena adanya mekanisme bagi setiap pegawai untuk melakukan kontrol

kesesuaian obat dengan kartu stok setiap hari atau minimal melakukan kontrol

63
Universitas Sumatera Utara
setiap barang datang maupun keluar. Seperti yang disampaikan informan sebagai

berikut:

Untuk pengendalian kartu stok selalu dihimbau untuk para pegawai


khususnya Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) yang ada untuk selalu mencatat
penambahan atau pemotongan kartu stok setiap obat yang masuk dan keluar,
sehingga tidak terjadi perbedaan antara data di kartu stok dengan jumlah fisik obat
yang ada. Setiap petugas sudah dibagi jatah bagian rak obat sehingga semua dapat
terhandle dengan baik. Evaluasi berkala juga dilakukan dengan adanya stock
opname setiap bulannya sehingga dapat terdeteksi jika terjadi ketidaksesuaian
data kartu stok obat dengan fisik obat yang ada dan diketahui sisa stok yang ada
lengkap dengan data kadaluarsa masing-masing obat. Apotekernya juga setiap
hari mengecek secara random beberapa kartu stok untuk melihat kinerja dari TTK
(Informan 3).
Penyimpanan dan pendistribusian berhubungan erat dengan pengendalian,

yang merupakan inti dari manajemen logistik obat. Pengendalian didalamnya

terdapat kegiatan memonitor/mengawasi dan mengamankan seluruh fungsi

logistik obat (Fera, dkk., 2017). Pengawasan obat pada instalasi farmasi rumah

sakit ada dua jenis pengawasan, yaitu pengawasan internal dan pengawasan

eksternal yang bertujuan untuk mengawasi pemasukan dan pengeluaran obat yang

dilakukan oleh instalasi farmasi yang guna untuk mengefesiensikan dan

mengefektifkan pembelian dan pengeluaran obat. Pengawasan internal pada

instalasi farmasi salah satunya dengan melakukan stock opname dan pengisian

kartu stok obat. Pengawasan internal pada rumah sakit dilakukan oleh SPI (Satuan

Pengawas Internal) rumah sakit sedangkan pengawasan eksternal pada rumah

sakit dilakukan oleh inspektorat dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dengan

memeriksa pelaporan pembelian dan pengeluaran obat (Yunita, dkk., 2016).

Pengisian kartu stok bertujuan untuk mengetahui banyaknya obat yang

tersedia dan sesuai antara jumlah dalam pencatatan dengan jumlah obat secara

fisik di instalasi farmasi (Susanto, dkk., 2017). Pencatatan stok yang tidak akurat

64
Universitas Sumatera Utara
akan menyebabkan kerancuan untuk melihat obat kurang atau berlebih.

Permasalahan ini terjadi karena pengelola obat tidak langsung mencatat pada saat

penerimaan dan pengeluaran obat (Chaira, dkk., 2016). Stock opname merupakan

kegiatan mencocokkan kondisi fisik obat dengan kartu stok (Yunita, dkk., 2016).

Stock opname dilakukan untuk mencari dan mengevaluasi stok yang akan atau

kadaluarsa, kerusakan obat, obat dengan kategori fast moving dan slow moving

(Fera, dkk., 2017).

4.5.2 Persentase dan Nilai Obat Yang Kadaluarsa dan atau Rusak

Persentase nilai obat kadaluwarsa diperoleh dari perbandingan antara nilai

obat kadaluwarsa dan atau rusak dengan nilai stock opname obat dikalikan dengan

100%. Obat kadaluwarsa dilihat dari stok obat yang tanggal kadaluwarsanya

berakhir pada tahun 2018. Berdasarkan hasil pengamatan dokumen laporan obat

kadaluwarsa instalasi farmasi RSUD Langsa tahun 2018, diperoleh jumlah obat

kadaluwarsa sebanyak 114 item obat dan tidak terdapat obat yang rusak. Hasil

persentase nilai obat kadaluarsa dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Persentase nilai obat kadaluarsa


No Keterangan Jumlah (Rp)
1 Total nilai obat kadaluarsa 83.793.366
2 Nilai stock opname per Desember 2018 3.172.427.510
Persentase nilai obat kadaluarsa 2,64%

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh persentase nilai obat kadaluarsa

dari 114 item obat dengan total kerugian sebesar Rp. 83.793.366 adalah sebesar

2,64%. Terjadinya kadaluarsa obat di IFRSUD Langsa diakibatkan oleh

penggunaan yang kurang maksimal pada item obat yang kadaluarsa. Salah satu

cara penanganan terhadap kejadian tersebut perlu diperhatikan prinsip distribusi

65
Universitas Sumatera Utara
obat berdasarkan FIFO dan FEFO dimana obat-obat yang lebih duluan masuk dan

memiliki tanggal kadaluarsa yang paling dekat dikeluarkan terlebih dahulu.

Menurut standar yang ditetapkan, persentase obat kadaluwarsa adalah ≤

0,2%, sehingga persentase nilai obat kadaluwarsa di RSUD Langsa belum

memenuhi standar yang telah ditetapkan. Berdasarkan keterangan kepala gudang

instalasi farmasi, hal ini disebabkan karena obat yang kadaluwarsa adalah obat

yang sebagian besar berasal dari pembelian tahun sebelumnya yang stok obatnya

sebagian tidak berjalan, obat tidak diresepkan lagi oleh dokter dan adanya human

error pada saat pengadaan sehingga terjadi kelebihan stok menyebabkan obat

kadaluwarsa karena banyak yang tidak digunakan. Seperti disampaikan oleh

informan 2 sebagai berikut:

Obat kadaluarsa dapat terjadi karena obatnya tidak berjalan, artinya tidak
diresepkan lagi oleh dokter karena alasan-alasan tertentu dan berbanding lurus
dengan stok mati, artinya karena obat tersebut tidak berjalan/tidak mengalami
pergerakan akhirnya menumpuk sampai kadaluarsa. Selain itu, karena pada tahun
2017 sempat terjadi human error pada saat menginput pesanan (kelebihan
mengetik angka 0) yaitu seharusnya yang dipesan adalah sebanyak 500 item
menjadi 5000 item sehingga menyebabkan stoknya berlebih. Akhirnya hanya
sebagian besar yang terpakai dan sisanya tidak terpakai sampai tanggal
kadaluarsanya. Kemudian dari bagian gudang juga selalu mengkonfirmasi kepada
kepala instalasi farmasi jika ada obat-obat yang mendekati masa kadaluarsa agar
disampaikan kepada dokter untuk diresepkan atau diminta pengganti kepada
distributornya dengan masa kadaluarsa baru, tetapi mungkin terkadang lupa
disampaikan atau karena faktor lainnya (Informan 2).
Penelitian terkait oleh Kasmawati, dkk., (2018) di RSUD Kota Kendari

bahwa persentase nilai obat kadaluarsa adalah sebesar 0,47% dan di RSUD dr. R.

Soedjono Selong Lombok Timur bahwa persentase obat kadaluwarsa yaitu

sebesar 0,19% dengan total kerugian sebesar Rp. 2.109.293, serta di RS PKU

Muhammadiyah Temanggung, persentase obat kadaluwarsa yaitu sebesar 1,79%

dengan total kerugian sebesar Rp. 8.492.686. Jika dibandingkan dengan

66
Universitas Sumatera Utara
penelitian terkait terdahulu, persentase nilai obat kadaluarsa di RSUD Langsa

memiliki nilai lebih besar. Terdapatnya obat kadaluwarsa dan rusak menunjukkan

bahwa sistem perencanaan dan penyimpanan yang dilakukan belum efisien.

Adanya obat kadaluwarsa atau rusak mencerminkan ketidaktepatan perencanaan

atau kurang baiknya sistem distribusi terutama pada ketersediaan obat, atau

perubahan pola penyakit (Depkes RI, 2007).

Obat yang rusak atau kadaluarsa merupakan kerugian bagi rumah sakit.

Distribusi obat yang efektif harus memiliki desain dan sistem manajemen yang

baik dengan cara menjaga supply obat tetap konstan, mempertahankan mutu obat

yang baik selama proses distribusi, meminimalkan obat yang kadaluwarsa dan

rusak, memiliki catatan penyimpanan yang akurat dan pemberian informasi untuk

memperkirakan kebutuhan obat (Razak et al., 2012).

Besarnya persentase nilai obat kadaluarsa mencerminkan kurangnya

pengawasan dalam penyimpanan (Purwidyaningrum et al., 2012). Upaya yang

dilakukan pihak rumah sakit dalam menangani obat yang hampir kadaluarsa dari

pihak instalasi farmasi rumah sakit akan memberikan rekomendasi kepada para

dokter untuk meresepkan daftar obat hampir kadaluarsa terlebih dahulu. Obat

yang kadaluarsa dan rusak dapat disebabkan oleh penggunaannya cenderung lebih

kecil sehingga obat menumpuk dan menjadi kadaluarsa. Terjadinya obat yang

kadaluarsa dan rusak mencerminkan ketidaktepatan perencanaan, kurang baiknya

sistem distribusi dan kurangnya pengamatan mutu dalam penyimpanan obat

sehingga mencerminkan kurang baiknya pengelolaan obat (Razak et al., 2012).

67
Universitas Sumatera Utara
4.5.3 Persentase Stok Mati

Persentase stok mati adalah perbandingan antara jumlah obat yang tidak

mengalami transaksi dengan jumlah item obat yang ada stoknya dikalikan dengan

100%. Data dikumpul secara retrospektif berupa pengamatan data pengeluaran

obat di gudang farmasi pada tahun 2018. Obat stok mati yaitu obat yang selama 3

bulan atau lebih tidak mengalami mutasi atau tidak digunakan. Terdapatnya stok

mati ini menunjukkan bahwa sebagian ketersediaan obat masih belum benar-benar

dibutuhkan atau tidak pernah diresepkan kepada pasien (Razak et al.,2012). Hasil

persentase nilai stok mati di instalasi farmasi RSUD Langsa dapat dilihat pada

Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Persentase stok mati instalasi farmasi RSUD Langsa tahun 2018
No Keterangan Jumlah (item)
1 Jumlah item obat stok mati 26
2 Jumlah item obat yang ada stoknya 803
Persentase stok mati (%) 3,24%

Berdasarkan Tabel 4.6, persentase stok mati di RSUD Langsa sebesar

3,24%, sedangkan menurut standar stok mati sebesar 0%. Hasil ini

mengindikasikan nilai tersebut belum memenuhi standar yang ada. Hasil

penelitian terkait yang dilakukan Dyahariesti, dkk., (2019) menunjukkan

peresentase stok mati sebesar 2,27%, sedangkan penelitian Oktaviani (2018)

menunjukkan nilai persentase stok mati sebesar 4%. Dibandingkan dengan

penelitian yang telah dilakukan di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa

persentase stok mati di RSUD Langsa menunjukkan hasil yang lebih besar, yang

menandakan bahwa persentase stok mati di IFRSUD Langsa tergolong tinggi dan

melebihi nilai standar yang ada.

68
Universitas Sumatera Utara
Stok mati merupakan kerugian bagi rumah sakit karena menyebabkan

perputaran modal yang tidak lancar, jika ini berlangsung lama maka obat dapat

rusak dan kadaluarsa. Pada saat perencanaan pengadaan obat seharusnya

berdasarkan pada kebutuhan, pemilihan jenis, jumlah dan harga perbekalan

farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran yang tersedia sehingga dapat

meminimalisir obat menumpuk dan terjadinya stok mati obat. Selain itu, stok mati

juga bisa disebabkan oleh tren penyakit yang sedang terjadi pada saat itu dan

menyebabkan pemakaian terhadap obat tersebut menjadi berkurang atau dokter

sudah mengganti jenis obat yang digunakan (Akbar, 2015).

Berdasarkan hasil wawancara dengan koordinator gudang farmasi RSUD

Langsa, adanya stok mati di instalasi farmasi RSUD Langsa dikarenakan dokter

tidak meresepkan lagi obat tersebut atau penggunaannya rendah atau terbatas di

RS, seperti disampaikan sebagai berikut:

Stok mati disebut death stock. Death stock biasanya disebabkan karena
dokter tidak meresepkan lagi obat tersebut karena berbagai alasan, salah satunya
karena faktor distributor atau perubahan terapi obat dari dokter dan karena
memang penggunaan obat tersebut rendah di rs seperti obat pro TB tab yang
merupakan obat program pemerintah sehingga biasanya penggunaannya lebih
banyak di puskesmas. Tetapi karena standarnya di rs juga harus tersedia obat
tersebut sehingga pemakaiannya sedikit dan cenderung tidak berjalan. Instalasi
farmasi juga ada membuat laporan obat-obat yang sudah 3 bulan tidak berjalan
lalu diteruskan ke bagian pengadaan agar obat-obat tersebut diresepkan kembali
oleh dokter agar pemakaiannya berjalan. Tetapi lebih lanjut dari bagian
pengadaan yang menyampaikan informasi kepada dokter-dokter untuk
meresepkan kembali obat yang tidak berjalan. Oleh karena itu harus ada
komunikasi aktif dengan dokter agar pemakaian obat maksimal dan berjalan
lancar (Informan 2).
Upaya evaluasi yang dilakukan rumah sakit terhadap adanya stok mati

menginformasikan kepada dokter agar obat-obat tersebut diresepkan terlebih

dahulu dan juga selalu dievaluasi tanggal kadaluarsa dengan cara dicatat di kartu

stok obat agar mempermudah pengecekan (Dyahariesti, 2019).

69
Universitas Sumatera Utara
Persentase stok mati yang tinggi menunjukkan perputaran obat yang tidak

lancar karena banyak persediaan obat yang tertahan dan menumpuk di gudang.

Banyaknya obat yang menumpuk di gudang tentunya akan menimbulkan kerugian

karena meningkatnya resiko kerusakan obat kadaluwarsa serta perputaran

persediaan yang tidak lancar. Terjadinya kerusakan obat dan perputaran sediaan

yang tidak lancar akan mempengaruhi pendapatan rumah sakit itu sendiri. Selain

itu kerugian yang disebabkan akibat stok mati adalah perputaran uang yang tidak

lancar, kerusakan obat akibat terlalu lama disimpan sehingga menyebabkan obat

kadaluwarsa. Jika dibiarkan terus menerus terjadi, rumah sakit akan mengalami

kerugian secara terus menerus (Kasmawati, 2018).

4.5.4 Tingkat Ketersediaan Obat

Tingkat ketersediaan obat adalah tingkat persediaan obat baik jenis

maupun jumlah obat, yang diperlukan oleh pelayanan pengobatan dalam periode

waktu tertentu, diukur dengan cara menghitung jumlah stok obat Desember 2018

dengan jumlah pemakaian obat setahun dibagi pemakaian rerata per bulan dikali

satu bulan. Indikator tingkat ketersediaan obat di instalasi farmasi digunakan

untuk mengetahui kisaran kecukupan obat. Kecukupan obat merupakan indikasi

kesinambungan pelayanan obat untuk mendukung pelayanan kesehatan di rumah

sakit (Kasmawati, 2018). Tingkat ketersediaan obat menggambarkan berapa bulan

persediaan obat yang ada di instalasi farmasi dalam memenuhi kecukupan

pemakaian obat (Waluyo, dkk., 2015). Hasil tingkat ketersediaan obat di instalasi

farmasi RSUD Langsa dapat dilihat pada Tabel 4.7.

Berdasarkan Tabel 4.7, menunjukkan tingkat ketersediaan obat di instalasi

farmasi RSUD Langsa sebesar 13,42 bulan atau sekitar 13 bulan 12 hari, sesuai

70
Universitas Sumatera Utara
dengan standar tingkat ketersediaan obat yaitu 12-18 bulan. Hal ini menunjukkan

bahwa rata-rata tingkat ketersediaan obat di RSUD Langsa telah mencukupi

kebutuhan rumah sakit.

Tabel 4.7 Tingkat ketersediaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa


No Keterangan Jumlah (Rp)
1 Jumlah stok obat per Desember 3.172.427.510
2018
2 Rerata pemakaian obat per bulan 2.411.520.901

3 Pemakaian obat per Tahun 28.938.250.810

Tingkat Ketersediaan Obat 13,42 bulan ~ 13 bulan 12 hari

Ketersediaan obat sebagai unsur utama dalam pelayanan kesehatan selain

keterjangkauan, keamanan, mutu dan manfaat, faktor ketersediaan obat sangat

terkait dengan pendanaan. Salah satu persyaratan penting dari pelayanan

kesehatan masyarakat yang bermutu adalah tersedianya obat yang cukup, baik

jenis maupun jumlahnya setiap saat diperlukan oleh masyarakat dan mutu yang

terjamin. Obat dengan tingkat kecukupan kurang akan berdampak pada pelayanan

pasien karena kebutuhan obat pasien tidak terpenuhi atau terlayani dengan baik

sehingga pengobatan obat yang rasional tidak akan tercapai. Solusinya adalah

mengevaluasi dan melakukan sistem perencanaan dan pengadaan obat dengan

selektif disesuaikan dengan kebutuhan RS serta mengacu pada prinsip efektif,

aman, ekonomis dan rasional (Kasmawati, 2018).

4.6 Penggunaan Obat Yang Diresepkan

Tahap penggunaan merupakan suatu proses yang dimulai dari kegiatan

penulisan resep oleh dokter sampai kegiatan pemantauan khasiat dan keamanan

obat. Efektivitas dan efisiensi pelayanan medik tercermin dari cara peresepan

71
Universitas Sumatera Utara
tenaga medik yaitu peresepan yang rasional maupun tidak rasional. Penggunaan

obat yang tidak rasional dapat berpengaruh pada kualitas pengobatan, pelayanan

dan biaya obat (Razak et al., 2012).

Pharmaceutical care atau pelayanan kefarmasian adalah pelayanan

kefarmasian dimana seorang apoteker memiliki tanggung jawab secara langsung

untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Salah satu peran apoteker dalam

pelayanan kefarmasian adalah menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang

rasional. Pengobatan yang rasional adalah pemberian obat berdasarkan diagnosa

penyakit, bukan berdasarkan gejala yang dialami pasien, dimana diberikan hanya

jenis obat yang diperlukan untuk penyembuhan penyakit atau mengatasi masalah

kesehatan secara efektif, aman dan dalam batas-batas kemampuan dana yang

tersedia (Dianingati, 2015). Penggunaan obat secara rasional merupakan kunci

dalam pembangunan pelayanan kesehatan. Pelaksanaan pengobatan yang belum

rasional selama ini telah memberikan dampak negatif berupa pemborosan dana

masyarakat, efek samping yang berupa resistensi, interaksi obat yang berbahaya

yang menurunkan mutu pengobatan dan mutu pelayanan kesehatan (Yuliastuti,

dkk., 2013).

Rumah sakit sebagai instansi penyedia layanan kesehatan dan JKN sebagai

jaminan sosial untuk masyarakat Indonesia yang berlaku sejak 1 Januari 2014

memerlukan suatu pantauan dan evaluasi yang berkelanjutan untuk menjaga

rasionalitas pengobatan dan kualitas pelayanan kesehatan. Salah satu cara untuk

mengetahui tingkat rasionalitaspengobatan adalah dengan menggunakan indikator

yang dikembangkan oleh International Network for the Rational Use of Drug

(INRUD) yang kemudian ditetapkan oleh WHO sebagai metode dasar untuk

72
Universitas Sumatera Utara
menilai penggunaan obat di unit-unit rawat jalan (WHO, 1993). Evaluasi

mengenai penggunaan obat yang terarah sesuai dengan indikator yang ditetapkan

oleh WHO tentunya dapat diketahui masalah yang ada dalam proses pengobatan

dilihat dari kesesuaian data evaluasi tersebut dengan indikator yang ditetapkan

(Pratiwi, 2014).

Indikator penggunaan obat yang diresepkan menurut WHO (1993) dan

Kemenkes RI (2008) terdiri dari jumlah item obat per lembar resep, persentase

obat dengan nama generik, persentase peresepan obat antibiotika, persentase

peresepan injeksi, persentase obat yang diresepkan sesuai formularium rumah

sakit, rerata kecepatan pelayanan resep, persentase obat yang dapat diserahkan

dan persentase obat yang dilabeli dengan lengkap.

Hasil penelitian terhadap indikator penggunaan obat yang diresepkan

dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Hasil indikator penggunaan obat yang diresepkan


No Indikator Nilai Hasil
Pembanding
1 Jumlah item obat per lembar resep 1,8-2,2 4,27 (rajal)
4,36 (ranap)
2 Persentase obat dengan nama 82%-94% 61,27% (rajal)
generik 71,78% (ranap)
3 Persentase peresepan obat < 22,70% 10,66% (rajal)
antibiotika 53,20% (ranap)
4 Persentase peresepan injeksi 0,2-48% 3,59% (rajal)
68,02% (ranap)
5 Persentase obat yang diresepkan 100% 90,61% (rajal)
sesuai formularium rumah sakit 96,40% (ranap)
6 Rerata kecepatan pelayanan resep ≤ 60 menit 47 menit
(racikan); (racikan);
≤ 30 menit 40 menit (sediaan
(sediaan jadi) jadi)

7 Persentase obat yang dapat 76-100% 96,44% (rajal)


diserahkan 99,87% (ranap)

73
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.8 (Sambungan)
No Indikator Nilai Hasil
Pembanding
8 Persentase obat yang dilabeli 100% 100% (rajal)
dengan lengkap 100% (ranap)
Keterangan:
- Rajal : Rawat jalan
- Ranap : Rawat inap

4.6.1 Jumlah Item Obat Per Lembar Resep

Perhitungan rerata jumlah item obat per lembar resep bertujuan untuk

mengetahui ada tidaknya kecenderungan polifarmasi dalam peresepan (WHO,

1993). Perhitungan rerata jumlah obat per lembar resep didapat dari pembagian

total obat yang diresepkan dengan total lembar sampel resep (WHO, 1993).

Rerata jumlah item obat per lembar resep terbaik menurut estimasi WHO (1993)

adalah 1,8-2,2 item per lembar resep. Hasil perhitungan jumlah item obat per

lembar resep di RSUD Langsa dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9 Jumlah item obat per lembar resep


No Keterangan Jumlah (item)
Rajal Ranap
1 Total jumlah obat yang diresepkan 1544 1499
2 Total jumlah resep yang disurvey 362 344
Hasil 4,27 4,36

Berdasarkan Tabel 4.9, rerata jumlah item obat per lembar resep adalah

4,36 untuk rawat inap dan 4,27 untuk rawat jalan, melebihi estimasi terbaik

menurut WHO. Nilai tersebut menunjukkan adanya kecenderungan terjadi

polifarmasi yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan masih ditemukan banyak resep

yang memiliki jumlah obat lebih dari 2, bahkan hingga 11 item obat per lembar

resep. Peresepan item obat melebihi 5 item bahkan sampai 11 item obat per

lembar resep paling banyak ditemukan pada poli saraf dan penyakit dalam. Seperti

yang disampaikan oleh informan sebagai berikut:

74
Universitas Sumatera Utara
Banyaknya jumlah obat yang diresepkan oleh dokter rerata tergolong
banyak, tetapi ada juga yang masih 4-6 obat dalam satu resep tergantung dari
penyakitnya. Biasanya resep yang banyak item obatnya itu dari poli saraf
(neurologi). Sebenarnya waktu itu sudah pernah rapat dengan dokter untuk
masalah ini, namun dokternya karena neurologi itu akumulasi dari beberapa
penyakit sehingga mereka harus meresepkan banyak obat. Dan kita dari farmasi
juga punya SPO tentang peresepan obat per lembar resep, dan sudah
disosialisasikan juga ke dokter-dokter, hanya saja dokternya masih banyak
polifrmasi juga (Informan 3).
Kalau dirawat jalan biasanya memang kecenderungan polifarmasi pasti
ada, terutama paling banyak di poli saraf dan penyakit dalam, biasanya lebih dari
5 item obat per resep, sangat jarang ditemukan hanya dua obat dalam satu resep
pada poli tersebut. Kenapa bisa seperti itu, lebih lanjutnya hanya dokter yang
mengetahui terutama mengenai diagnosa pasiennya. Untuk mencapai hanya 2 atau
3 item obat per lembar resep sangat ideal sekali untuk kasus-kasus pada poli saraf
dan penyakit dalam, ini harus didukung oleh penunjang-penunjang terkait seperti
hasil laboratorium dan radiologi. Karena terlalu idealis jika hanya dua obat per
resep, kecuali mungkin jika diluar negeri dengan fasilitas penunjang medik yang
memadai (Informan 4).
Berdasarkan informasi dari informan tersebut, dapat disimpulkan bahwa

tingginya kecenderungan polifarmasi sulit dihindari pada kasus-kasus seperti

pasien pada poli saraf dan penyakit dalam yang memang membutuhkan lebih

banyak obat dalam pengobatannya. Nilai rerata jumlah obat yang lebih tinggi dari

estimasi WHO belum dapat menunjukkan ada atau tidak penggunaan obat yang

irrasional, karena dibutuhkan penelitian lebih lanjut yang melihat dari diagnosa,

efikasi, keamanan, kecocokan, dan harga. Jumlah obat rerata yang digunakan

cukup banyak, peresepan masih bisa dikatakan rasional jika memang pasien

memiliki indikasi yang membutuhkan beberapa macam obat (Dianingati, 2015).

Peresepan obat dengan jumlah yang relatif banyak dapat disebabkan juga karena

pasien mempunyai beberapa komplikasi penyakit (Oktaviani, 2018).

Jumlah rerata tiap item obat per lembar resep lebih rendah di sebagian

besar negara berkembang (kisaran = 1,3-3,0). Sebagai contoh, 3 di Sri Lanka; 2,1

di Nepal; 2,2 di Vietnam; 2,3 di Botswana; 2,3 di Burkina Faso; 1,8 di Malawi;

75
Universitas Sumatera Utara
1,4 di Sudan; dan 1,3 di Zimbabwe. Namun, jumlah rerata tiap item obat per

resep lebih tinggi di Afghanistan (3,9), India (5,6), Ghana (4,8) dan Nigeria (5,2).

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan jumlah obat yang lebih tinggi dalam

resep, salah satunya kompetensi dari dokter, tidak tersedianya pedoman praktik

klinis, insentif keuangan untuk resep, kurangnya pendidikan medis berkelanjutan

dari penulis resep dan rendahnya obat yang benar secara terapeutik. Polifarmasi

dapat mempengaruhi hasil pengobatan karena pasien lebih cenderung tidak patuh

dan berisiko lebih tinggi mengalami efek samping. Selain itu, obat yang

diresepkan yang tidak perlu dapat menyebabkan implikasi fiskal untuk sistem

kesehatan nasional (Atif et al., 2016).

Jika dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian terkait lainnya yaitu

penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani (2018) menunjukkan hasil jumlah item

obat perlembar resep sebesar 3,44 dan penelitian Yuliastuti (2013) menunjukkan

hasil jumlah item obat per lembar resep sebesar 2,16. Berdasarkan hal tersebut,

rerata jumlah obat per lembar resep pada instalasi farmasi RSUD Langsa lebih

besar daripada rumah sakit lainnya. Hal ini menandakan bahwa profesional

kesehatan di RSUD Langsa perlu meningkatkan pelayanannya melalui peresepan

obat yang lebih akurat dan juga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk

mengetahui hal-hal yang menjadi penyebab, kemudian dapat dipilih strategi untuk

mengurangi besarnya jumlah obat dalam peresepan. Penelitian lanjutan dapat

berupa investigasi mendalam terhadap pengobatan penyakit tertentu, faktor-faktor

penyebab perbedaan hasil dengan estimasi WHO, dan penelitian kualitatif sesuai

dengan nilai yang berlaku di masyarakat. Penelitian tersebut dapat berupa

pertanyaan-pertanyaan lanjutan, misalnya dengan tingginya jumlah obat yang

76
Universitas Sumatera Utara
diresepkan oleh dokter, perlu diketahui apakah terjadi kekurangan obat yang

sesuai terapi, atau memang terjadi kekurangan alat diagnostik, atau ada insentif

yang mendorong terjadinya polifarmasi dan sebagainya (Dianingati, 2015).

4.6.2 Persentase Obat dengan Nama Generik

Pengukuran persentase peresepan obat dengan nama generik dimaksudkan

untuk mengetahui kecenderungan dokter untuk meresepkan obat dengan nama

generik yang berarti tertulis sebagai zat aktif sediaan sehingga ada

kesepemahaman antara dokter dan farmasis dimana secara tidak langsung turut

mencegah prescribing error, yang merupakan awal terjadinya medication error

(WHO, 1993). Hasil perhitungan persentase obat dengan nama generik dapat

dilihat pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10 Persentase obat dengan nama generik


No Keterangan Jumlah (item)
Rajal Ranap
1 Jumlah obat dalam nama generik 946 1076
2 Total obat yang diresepkan 1544 1499
Hasil 61,27% 71,78%

Hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Langsa, persentase obat dengan

nama generik masih kurang dari 82%-94%, yaitu hanya sebesar 71,78% untuk

rawat inap dan 61,27% untuk pasien rawat jalan seperti yang terlihat pada Tabel

4.10. Hal ini mungkin dapat dikarenakan masih banyak dokter yang meresepkan

obat dengan nama dagang, belum terbiasa untuk menuliskan nama generik untuk

pasien JKN dan ada beberapa obat seperti Ventolin®, Pulmicort®, Levemir® dan

obat-obat lainnya yang memang tidak mempunyai nama generik atau ada obat

dengan nama dagang yang memang belum tersedia generiknya di pasaran. Seperti

disampaikan oleh informan sebagai berikut:

77
Universitas Sumatera Utara
Biasanya memang kadang ada obat yang diresepkan tidak sesuai nama
generik karena dokternya sudah biasa meresepkan dengan nama dagang atau
memang karena tidak ada sediaan generiknya seperti arixtra, atau dokternya
memang meresepkan nama dagang seperti vicillin, tetapi kita berikan ampicilin.
Alasan lainnya karena tidak ada nama generiknya sehingga diresepkan sesuai
nama obatnya seperti RL, ventolin nebul, pulmicort, levemir, novorapid dan lain
lain. Kemudian seperti vitamin-vitamin dalam satu sedian mengandung banyak
komposisi sehingga tidak mungkin diresepkan satu-satu sesuai nama generiknya
seperti neurodex, neurohax, sohobion dan sebagainya (Informan 3).
Kalau di rawat jalan, jika ada obat yang diresepkan tidak sesuai nama
generik biasanya karena memang belum ada sediaan generiknya dipasaran,
misalnya oscal, nama generiknya kalsitriol tetapi tidak ada obatnya di pasaran.
Kemudian seperti sinkronik, tramset dan lain-lain memang tidak ada sediaan
generiknya di pasaran seperti parasetamol dan tramadol, karena tidak semua obat
branded sudah ada generiknya, jadi diresepkan sesuai nama dagangnya (Informan
4).
Dalam hal meningkatkan peresepan nama generik oleh dokter, apoteker

diharapkan dapat bertindak dengan lebih aktif untuk mengingatkan dokter sebagai

penulis resep untuk menuliskan resep dengan obat-obat generik (Dianingati,

2015). Penulisan resep sesuai nama generik diperlukan adanya kesadaran dokter

untuk menulis resep generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Hal ini

menandakan adanya kerjasama yang baik antara profesi lain agar bisa mendukung

lancarnya pelayanan farmasi pada pasien (Oktaviani, 2018).

4.6.3 Persentase Peresepan Obat Antibiotika

Menurut WHO (1993), pengukuran indikator persentase peresepan

antibiotika bertujuan untuk mengukur penggunaan antibiotika, karena obat

tersebut sering digunakan secara berlebihan sehingga dapat menyebabkan

kerugian, diantaranya terjadi resistensi dan pemborosan biaya terapi. WHO

menyarankan persentase peresepan obat dengan antibiotika adalah < 22,70%.

Persentase lembar resep yang mengandung antibiotika dihitung dengan cara

membagi jumlah resep yang mengandung satu atau lebih antibiotika dengan

78
Universitas Sumatera Utara
jumlah sampel lembar resep dikalikan 100%. Hasil perhitungan persentase

peresepan obat antibiotika dapat dilihat pada Tabel 4.11.

Tabel 4.11 Persentase peresepan obat antibiotika


No Keterangan Jumlah
Rajal Ranap
1 Jumlah resep yang mengandung satu atau lebih 39 183
antibiotika
2 Total jumlah resep yang disurvey 362 344
Hasil 10,66% 53,20%

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika di rawat

jalan sudah memenuhi standar WHO yaitu sebesar 10,66%, sedangkan untuk

pasien rawat inap melebihi dari rekomendasi WHO yaitu sebesar 53,20%. Hasil

penelitian yang melebihi estimasi WHO menunjukkan adanya kecenderungan

selektivitas yang kurang ketika meresepkan antibiotika, sehingga perlu adanya

pengkajian ulang.

Jumlah maksimal antibiotika per lembar resep yang ditemukan pada

sampel adalah dua antibiotika, hal ini memiliki arti bahwa jumlah resep yang

mengandung kombinasi antibiotika tidak banyak, dikarenakan pasien yang

mengidap penyakit infeksi yang memerlukan kombinasi terapi juga tidak cukup

banyak, sehingga masih dapat dianggap wajar. Penggunaan siprofloksasin,

sefadroksil, dan amoksisilin banyak ditemukan di instalasi farmasi rawat jalan

RSUD Langsa. Kemungkinan penggunaan antibiotika-antibotika tersebut cukup

tinggi dikarenakan spektrumnya yang luas dan tidak banyak pasien yang alergi

maupun resisten terhadap antibiotika tersebut (Dianingati, 2015).

Pada instalasi farmasi rawat inap, antibiotika parenteral yang paling sering

digunakan adalah golongan sefalosporin generasi III seperti cefotaksim dan

ceftriaxon. Sefalosporin merupakan antibiotika parenteral yang aman dan

79
Universitas Sumatera Utara
mempunyai potensi antibakteri yang tinggi. Sefalosporin generasi III merupakan

antibiotika intravena yang paling banyak penggunaannya, karena aktivitasnya

terhadap kuman gram-negatif lebih kuat dan lebih luas lagi meliputi Pseudomonas

dan Bakteroides, selain itu resistensinya terhadap laktamase juga lebih kuat

(Surahman, dkk., 2008). Selain itu juga tingginya pemberian antibiotika pada

pasien rawat inap dimungkinkan untuk mencegah infeksi nosokomial yang

mungkin terjadi di lingkungan rumah sakit selama pasien dirawat inapkan dan

biasanya dokter juga masih meresepkan antibiotika secara empiris. Seperti

disampaikan informan sebagai berikut:

“Kalau antibiotika banyak digunakan sebenarnya kita harus melihat lebih


dahulu diagnosa dokternya, apakah pasien memang benar-benar butuh antibiotika
atau jika memang dibutuhkan harus diberikan. Oleh karena itu, kita tidak
mengetahui secara pasti mengapa dokter meresepkan antibiotika tersebut”
(Informan 3).
“Kalau peresepan antibiotika di rawat jalan, dokter masih meresepkan
antibiotika secara empiris, artinya berdasarkan pengalaman dokter, sehingga
memang masih belum rasional penggunaannya, dan penyediaan antibiotika disini
juga masih sangat terbatas, sehingga dokter memang sering meresepkan
antibiotika saat pasien masuk RS. Selain itu juga pemberian antibiotika salah
satunya bisa saja dimaksudkan untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial
selama di RS” (Informan 1).
Menurut pedoman penerapan formularium nasional, antibiotika hanya

diresepkan apabila kecurigaan infeksi disebabkan oleh bakteri, antibiotika lini

pertama harus dipilih untuk mengatasi infeksi yang bersifat umum dan terapi

antibiotika secara empirik harus didasarkan pada data surveilans bakteri patogen

penyebab infeksi di rumah sakit setempat (Kemenkes RI, 2011). Pada terapi

secara empiris, pemberian antibiotika diberikan pada kasus infeksi yang belum

diketahui secara jelas jenis kumannya seperti pada kasus gawat karena sepsis,

pasien imunokompromise dan sebagainya. Terapi antibiotika pada kasus ini

diberikan dengan berdasarkan data epidemiologi kuman yang ada (Negara, 2014).

80
Universitas Sumatera Utara
Data dari Negara lain menunjukkan penggunaan antibiotika yang tinggi

yaitu 60,9% di India, 66,0% di Kamboja, 66,2% di Yemen dan di Malaysia lebih

rendah dibandingkan negara lain yaitu 23,2% (Kardela, dkk., 2014). Jika

dibandingkan dengan Negara tersebut, persentase peresepan antibiotika di

IFRSUD Langsa masih berada dibawah nilai Negara yang disebutkan. Perbedaan

nilai dari berbagai Negara ini dapat disebabkan karena variasi dalam

kerentanan/resistensi bakteri, kebiasaan peresepandan perbedaan dalam prevalensi

infeksi penyakit di negara-negara yang berbeda (Yimenu et al., 2019). Di Negara

berkembang, antibiotika diresepkan 44% hingga 97% dari pasien rawat inap

sering tidak diperlukan atau tidak tepat (Yimenu et al., 2019).

Menurut WHO, peresepan antibiotika untuk Negara yang lazim dengan

penyakit infeksi diharapkan antara 15%-20%. Namun nilai persentase tersebut

sangat sulit dicapai karena angka penyakit infeksi yang tinggi di Negara

berkembang dan kebijakan penggunaan antibiotika serta program pengendalian

dan pencegahan infeksi dan pengendalian resistensi antimikroba; pemberdayaan

TFT belum dapat berjalan dengan baik di rumah sakit (Negara, 2014). Di negara

berkembang seperti Indonesia, jenis pemeriksaan diagnostik terbatas, jangkauan

asuransi kesehatan juga terbatas, sehingga penegakan diagnosis-pasti bisa tertunda

hingga beberapa hari. Panduan untuk mengenali indikasi terapi antibiotika

empirik yang tergantung pada keadaan klinis (bukan pada diagnosis) akan

mempermudah dokter mengambil keputusan yang tepat tentang perlu tidaknya

memberikan antibiotika sebelum ditegakkan diagnosis-pasti. Hal ini juga menjadi

salah satu pendorong tingginya pemberian antibiotika pada rumah sakit di

Indonesia (Farida, dkk., 2008).

81
Universitas Sumatera Utara
Permasalahan resistensi bakteri juga telah menjadi masalah yang

berkembang di seluruh dunia sehingga WHO mengeluarkan pernyataan mengenai

pentingnya mengkaji faktor-faktor yang terkait dengan masalah tersebut dan

strategi untuk mengendalikan kejadian resistensi. Salah satu cara untuk

mengendalikan kejadian resistensi bakteri adalah dengan penggunaan antibiotika

secara rasional. Penggunaan obat rasional termasuk antibiotika menurut WHO

adalah pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinisnya,

dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhannya, dalam satu kurun waktu yang

adekuat dan harga terendah baginya dan masyarakat sekitarnya (Negara, 2014).

Dampak negatif paling berbahaya akibat penggunaan antibiotika secara

tidak rasional adalah muncul dan berkembangnya kuman-kuman kebal antibiotika

atau dengan kata lain terjadinya resistensi antibiotika. Hal ini mengakibatkan

pengobatan yang diberikan menjadi tidak efektif, peningkatan morbiditas maupun

mortalitas pasien, serta meningkatnya biaya perawatan kesehatan. Faktor-faktor

yang dapat mempengaruhi penggunaan antibiotika secara berlebihan atau tidak

rasional adalah pengetahuan dan pemahaman dokter tentang penyakit infeksi dan

antibiotika yang masih kurang, ketersediaan jenis antibiotika tertentu yang belum

memadai, pemeriksaan kultur yang lama dan kurangnya pengawasan Pedoman

Pengunaan Antibiotika (PPAB) di rumah sakit (Negara, 2014).

Untuk pencegahan terjadinya resistensi antibiotika di rumah sakit, maka

kebijakan dan pedoman pengunaan antibiotika yang rasional mesti dilaksanakan.

Skrining pasien dan petugas perlu dilakukan, peran tim Program Pencegahan

Resistensi Antimikroba (PPRA) dioptimalkan, demikian juga kerjasama dan

82
Universitas Sumatera Utara
koordinasi dengan tim terkait seperti PPRA, Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

(PPI), TFT dan mikrobiologi klinis.

4.6.4 Persentase Peresepan Injeksi

Tujuan perhitungan sediaan injeksi yang dipakai adalah untuk mengukur

tingkat penggunaan injeksi yang biasanya berlebihan dan menambah biaya yang

harus dibayarkan oleh pasien. Persentase peresepan injeksi dihitung dengan

membagi jumlah pasien yang menerima suntikan injeksi dengan jumlah total

resep yang disurvei dikalikan 100%. Data dikumpulkan secara prospektif pada

instalasi rawat jalan dan rawat inap.

Berdasarkan Tabel 4.8, persentase peresepan injeksi di rawat inap sebesar

68,02% dan 3,59% di rawat jalan. Hasil yang diperoleh melebihi nilai standar

yang ditetapkan yaitu sebesar 0,2%-48% untuk pasien di rawat inap dan telah

memenuhi standar yang ditetapkan untuk pasien rawat jalan. Nilai peresepan obat

injeksi pada pasien rawat jalan memang relatif rendah karena kondisi emergensi

maupun ketidaksadaran relatif rendah pada pasien rawat jalan dan obat injeksi

yang diresepkan hanya berupa sediaan insulin, sedangkan persentase peresepan

injeksi yang tinggi pada pasien rawat inap dikarenakan rerata pasien menerima

cairan infus sehingga nilai yang diberikan tinggi dan penggunaan injeksi banyak

digunakan oleh pasien Intensive Care Unit (ICU) dan pasien dokter spesialis saraf

yang memang memerlukan sediaan injeksi. Seperti disampaikan informan sebagai

berikut:

Biasanya yang sering menggunakan injeksi adalah pasien ICU karena


memang mereka butuh dan pasien-pasien saraf. Jika dokter-dokter lain mungkin
ada satu dua. Namun itu juga tergantung dari kondisi pasiennya, jika memang
tidak perlu diinjeksikan maka tidak diberikan. Kemudian kategori pasien masuk
rumah sakit adalah pasien dengan sakit parah/tidak bisa ditangani dirumah yang
hanya satu atau dua hari sembuh, sehingga agar efek obat cepat tercapai maka

83
Universitas Sumatera Utara
pemberian injeksi dibutuhkan untuk penanganan awal, terlebih lagi jika pasiennya
dalam kondisi lemah atau sangat lemah. Setelah kondisi stabil, pasien akan diganti
ke obat oral (Informan 3).
Penggunaan injeksi yang relatif tinggi pada pasien rawat inap dapat

dimengerti karena pasien rawat inap harus diberikan tindakan segera untuk

meringankan penderitaan atau penyakit pasien. Sediaan injeksi merupakan pilihan

utama, karena dapat sesegera mungkin mencegah infeksi, menyediakan kadar obat

yang adekuat dalam darah dalam waktu singkat, sehingga eradikasi

mikroorganisme dapat segera berlangsung. Selanjutnya diberikan kadar

pemeliharaan agar bakteri tidak berkembang dan sediaan yang dapat dipilih

adalah tablet atau kapsul (Sudjaswadi, 2010).

Penilaian persentase peresepan obat injeksi sangat penting dilakukan

terkait potensi penularan penyakit melalui darah (Dianingati, 2015), seperti

hepatitis dan HIV/AIDS yang ditransmisikan melalui penggunaan suntikan tidak

steril (Mahallali, 2012). Penggunaan perlu diperhatikan karena harganya yang

lebih mahal dan dapat menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman serta

memerlukan keahlian khusus untuk penggunaannya (Dianingati, 2015). Selain

memberikan respon ketidaknyamanan, pemberian terapi infus juga dapat

menimbulkan komplikasi, baik komplikasi lokal maupun sistemik. Komplikasi

lokal terdiri dari plebitis, infiltrasi dan ekstravasasi; sementara komplikasi

sistemik antara lain emboli udara, kelebihan cairan, reaksi alergi dan sepsis

(Wayunah, dkk., 2013).

84
Universitas Sumatera Utara
4.6.5 Persentase Obat yang Diresepkan Sesuai Formularium Rumah Sakit

Indikator ini dimaksudkan untuk melihat tingkat kepatuhan dokter

terhadap formularium rumah sakit dalam meresepkan obat kepada pasien

(Sasongko, 2014). Persentase obat yang diresepkan sesuai formularium rumah

sakit dihitung dengan membagi jumlah obat yang diresepkan sesuai dengan

formularium RS dengan total jumlah obat yang diresepkan dikalikan 100%. Data

dikumpulkan secara prospektif dengan jumlah sampel untuk pasien rawat inap

sebanyak 344 lembar resep dan pasien rawat jalan sebanyak 362 lembar resep.

Perhitungan hasil persentase obat yang diresepkan dapat dilihat pada Tabel 4.12.

Tabel 4.12 Perhitungan hasil persentase obat yang diresepkan sesuai formularium
rumah sakit
No Keterangan Jumlah (item)
Rajal Ranap
1 Jumlah obat yang diresepkan sesuai 1399 1445
formularium RS
2 Total jumlah obat yang diresepkan 1544 1499
Hasil 90,61% 96,40%

Dari hasil penelitian diketahui persentase obat yang diresepkan sesuai

dengan formularium rumah sakit adalah 96,40% untuk pasien rawat inap dan

90,61% untuk pasien rawat jalan. Bila dibandingkan dengan rekomendasi dari

WHO (1993) dan Kemenkes RI (2008) adalah 100%, maka nilai yang dicapai

masih belum sesuai dengan rekomendasi dan target yang ada. Hasil nilai

persentase tersebut masih bisa dikatakan relatif tinggi bila dibandingkan hasil

penelitian dari Fakhriadi, dkk., (2011) di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah

Temanggung dan Sudarmono, dkk., (2011) di Rumah Sakit Panti Nugroho

Sleman dimana masing-masing mempunyai nilai sebesar 85,3% dan 85,05%.

Tingginya nilai ini mengindikasikan bahwa obat yang disediakan oleh rumah sakit

85
Universitas Sumatera Utara
merupakan obat yang memang diperlukan dalam pelayanan kesehatannya

(Fakhriadi, dkk., 2011).

Obat-obat yang diresepkan tidak sesuai dengan formularium RS salah

satunya, yaitu multivitamin sirup, curcuma tablet, flunarizin, eprinoc, OBH sirup,

bone-one dan beberapa obat lainnya. Berdasarkan keterangan hasil wawancara

dengan bagian koordinator gudang farmasi di instalasi farmasi RSUD Langsa

dikatakan bahwa peresepan obat di luar formularium RS dikarenakan banyak

faktor diantaranya perubahan dalam hal peresepan dokter sehingga terdapat obat-

obat baru yang diresepkan belum tercantum dalam formularium RS, adanya

utang-piutang RS sehingga dalam perjalanan pengadaan barang disesuaikan

dengan distributor yang dapat memberikan pesanan obat sehingga obat yang

datang dan diresepkan terkadang memiliki nama dagang yang beragam sesuai

distributor pengirim barang, dimana obat-obat tersebut tidak tercantum dalam

formularium RS. Selain itu, formularium RSUD Langsa juga belum direvisi sejak

2 tahun terakhir sehingga obat-obat yang tercantum didalamnya masih belum

diupdate sesuai dengan kenyataan pakai saat ini sehingga nilai persentase

peresepan obat sesuai formularium RS rendah. Seperti yang disampaikan

informan sebagai berikut:

Peresepan tidak sesuai formularium RS biasanya karena memang faktor


dokternya yang sudah terbiasa menulis sediaan tersebut diluar formularium rumah
sakit, tapi petugas farmasi tetap memberikan sediaan generiknya sesuai dengan
yang ada di formulrium rumah sakit, contohnya osteor diberikannya glukosamin.
Kemudian tim KFT juga belum berjalan sehingga formularium rumah sakit juga
belum diupdate sejak 2017 sehingga masih banyak obat-obat yang diresepkan saat
ini yang belum masuk kedalam formularium lama (Informan 2).
Obat yang tidak termasuk dalam formularium rumah sakit tetapi tetap
diresepkan untuk dipakai seperti multivitamin sirup, obat tersebut tidak ada di
formularium rumah sakit atau formularium nasional tetapi memang tidak
digunakan disini, tetapi jika obat generik atau kandungannya ada di formularium

86
Universitas Sumatera Utara
rumah sakit, hanya saja digunakan dalam merk dagang yang berbeda tetap
dihitung masuk ke dalam formularium rumah sakit (Informan 4).

Tiga faktor yang terkait dengan ketidaksesuaian penulisan resep dengan

formularium, yaitu faktor dokter, pasien dan obat. Keputusan dokter untuk

menuliskan resep dipengaruhi pendidikan, informasi yang diterima dari sejawat,

lingkungan tempat kerja dan industri farmasi, serta interaksi dengan pasien.

Pasien mempunyai keluhan dan keinginan, serta sebagai pihak yang membayar

dapat mempengaruhi penulisan resep dokter. Obat merupakan produk industri

farmasi, dimana pihak industri farmasi berperan mengiklankan produknya kepada

dokter agar dokter mau menggunakannya (Hamsidi, dkk., 2015).

Besarnya persentase obat yang diresepkan sesuai formularium RS berarti

bahwa obat yang diresepkan tersedia (kepatuhan farmasis) dan obat yang

disediakan diresepkan (kepatuhan dokter) (Yuliastuti, 2013). Dengan demikian,

proses pelayanan obat kepada pasien dapat berjalan lancar sesuai dengan pedoman

yang telah ditetapkan, dalam hal ini adanya kesesuaian peresepan obat dengan

obat-obat yang tersedia dalam formularium rumah sakit.

Keharusan untuk sesuai dengan daftar obat yang tercantum dalam

formularium RS dan formularium nasionaldisebabkan karena pasien merupakan

pasien JKN yang sudah membayar sejumlah tertentu sesuai dengan yang dipilih

pasien untuk mendapatkan akses kesehatan yang sesuai dengan premi yang

dibayarkan. Jika tidak sesuai dengan formularium, maka pasien akan dibebankan

biaya obat yang tidak tercantum dalam formularium. Akan menjadi kerugian bagi

pasien jika obat harus dibayar karena tidak dicover oleh BPJS sebenarnya dapat

diganti dengan obat lain yang ada dalam formularium rumah sakit. Seperti

disampaikan informan sebagai berikut:

87
Universitas Sumatera Utara
Iya memang kalau dokter meresepkan obat diluar formularium rumah sakit
tidak ditanggung oleh Rumah sakit,tetapi jika memang obat tersebut benar-benar
dibutuhkan dan memang harus ada, nah itu harus ada persetujuan Komite Farmasi
dan Terapi (KFT) agar obat tersebut bisa dicover. Tetapi jika tidak ya pasien harus
beli sendiri diluar tanggungan rumah sakit. Tetapi kalau memang masih bisa
diganti dengan obat yang sesuai dengan formularium, maka apoteker dapat
mengkonfirmasi dokter untuk mensubstitusi obat tersebut sesuai dengan yang
dicover RS, kecuali obat-obat yangmemang sudah disetujui diadakan dan
ditanggung BPJS hanya saja belum masuk forkit karena belum direvisi itu tetap
rumah sakit yang tanggung (Informan 3).
4.6.6 Rerata Kecepatan Pelayanan Resep

Pelayanan resep baik obat jadi maupun racikan merupakan salah satu

bentuk pelayananfarmasi klinik di rumah sakit. Salah satu indikator yang

digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah lamanya waktu tunggu

pelayanan resep di instalasi farmasi, sebagaimana disebutkan dalam Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 58 Tahun 2014 tentang Standar

Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit. Waktu tunggu pelayanan resep adalah

tenggang waktu mulai dari pasien menyerahkan resep sampai dengan pasien

menerima obat (Karuniawati, dkk., 2016). Indikator rerata kecepatan pelayanan

resep ini bertujuan untuk tergambarnya kecepatan pelayanan farmasi sehingga

dapat menghasilkan dimensi mutu berupa efektifitas, kesinambungan pelayanan

dan efisiensi (Kemenkes RI, 2008).

Jumlah sampel dalam yang digunakan adalah 344 resep rawat inap dan

362 resep rawat jalan, dihitung berdasarkan rumus raosoft dengan tingkat

kepercayaan 95%. Data dikumpulkan secara prospektif selama satu bulan di

instalasi farmasi RSUD Langsa. Hasil Rerata waktu tunggu resep secara

keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 4.13.

88
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa jumlah resep obat

jadi yaitu sebanyak 377 resep lebih banyak daripada resep obat racikan yaitu

sebanyak 41 resep. Seperti disampaikan oleh informan sebagai berikut:

“Kalau resep racikan memang tidak terlalu banyak, mungkin hanya sekitar
5-10% dari resep non racikan” (Informan 4).
Tabel 4.13 Rerata kecepatan pelayanan resep sediaan jadi (non racikan) dan
racikan
Jenis Resep Rerata Standar Minimum Maksimum Jumlah
waktu Deviasi (menit) (menit)
tunggu (menit)
(menit)
Sediaan 40 0,0139 5 145 377
Jadi (Non
Racikan)
Racikan 47 0,0123 13 85 41

Berdasarkan Tabel 4.13, diketahui bahwa rerata waktu tunggu sediaan jadi

(non racikan) adalah 40 menit, sedikit melebihi standar yang ditetapkan Depkes

RI (2008) yaitu ≤ 30 menit (sediaan jadi), sedangkan rerata waktu tunggu obat

racikan adalah 47 menit, sudah memenuhi standar Depkes RI (2008) yaitu ≤ 60

menit (racikan).

Tabel 4.13 menunjukkan bahwa waktu tunggu tertinggi sediaan jadi (non

racikan) adalah selama 145 menit dan terendah adalah 5 menit. Berdasarkan hasil

pengamatan langsung selama penelitian, lamanya waktu tunggu sediaan jadi (non

racikan) tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya terlambatnya resep

yang masuk ke instalasi farmasi sehingga resep masuk diwaktu yang bersamaan,

akibatnya terjadi penumpukan resep yang harus dikerjakan; kurangnya SDM yang

memadai baik dari segi TTK dan apoteker sehingga dalam proses pelayanan resep

membutuhkan waktu yang lebih lama terutama pada waktu jam sibuk (peak hour);

setiap tahapan proses pelayanan resep mulai dari penerimaan resep (entry resep)

89
Universitas Sumatera Utara
hingga penyerahan resep kepada pasien masih dilakukan secara manual oleh

petugas.

Secara umum,alur proses penerimaan resep pasien di instalasi farmasi

rawat jalan RSUD Langsa terdiri dari 5 proses yaitu penerimaan resep, pemberian

nomor antrian resep, pengerjaan resep (pengambilan obat dan pembuatan etiket

obat), verifikasi akhir oleh apoteker dan penyerahan obat kepada pasien.

Sejumlah faktor yang berkontribusi terhadap lamanya waktu tunggu

pelayanan resep antara lain adalah jenis resep, jumlah dan kelengkapan resep,

ketersediaan sumber daya manusia yang cukup dan terampil, ketersediaan obat

yang sesuai, serta sarana dan fasilitas yang memadai (Wijaya, 2012). Jumlah resep

yang diterima di depo farmasi juga merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi waktu tunggu pelayanan resep. Selain itu, jumlah item obat tiap

resep serta jumlah racikan pada tiap resep juga mempengaruhi pada lamanya

waktu tunggu pelayanan resep (Maftuhah, dkk., 2016).

Berdasarkan jenis resep, sampel yang didapatkan menunjukkan bahwa

resep obat jadi lebih banyak dibandingkan dengan resep racikan. Berdasarkan

hasil observasi di instalasi farmasi rawat jalan RSUD Langsa, resep racikan paling

banyak ditemukan pada poli anak, poli kulit dan poli jiwa sedangkan resep obat

jadi paling banyak ditemukan pada poli penyakit dalam, ortopedi dan

jantung.Waktu tunggu pelayanan resep racikan lebih lama dibandingkan dengan

pelayanan resep non racikan karena resep racikan memerlukan waktu yang lebih

lama, tidak hanya mempersiapkan obat tetapi juga perlu perhitungan dosis obat,

serta melakukan peracikan obat (Puspita, dkk., 2018). Selain itu, adanya

kekosongan obat juga dapat memperlambat waktu tunggu pelayanan resep karena

90
Universitas Sumatera Utara
dibutuhkan waktu tambahan untuk mengkonfirmasi dokter atau menyediakan obat

yang kosong. Seperti yang disampaikan informan sebagai berikut:

“Kalau racikan dan faktor keterlambatan resep terjadi karena kekosongan


obat, sehingga harus dicarikan dahulu obatnya atau dilakukan konfirmasi kepada
dokter untuk pengganti obatnya sehingga memakan waktu tunggu juga”
(Informan 4).
Faktor-faktor yang berhubungan dengan waktu tunggu pelayanan resep

menurut Wijaya (2012) adalah : a) adanya komponen delay yang menyebabkan

proses menjadi lebih lama. Delay disebabkan antara lain karena petugas belum

mengerjakan resep karena mengerjakan kegiatan lain atau mengerjakan resep .

Hal ini terlihat dari hasil penelitiannya, dimana total waktu komponen delay lebih

besar dari total waktu komponen tindakan baik pada resep non racikan maupun

racikan. Komponen delay lebih besar daripada komponen tindakan menandakan

proses pelayanan resep kurang efektif; b) resep racikan membutuhkan waktu

pelayanan yang lebih lama dibandingkan dengan resep obat jadi. Hal ini

disebabkan obat racikan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan obat

jadi mengingat tahapan dan proses pengemasannya membutuhkan waktu yang

lebih lama; c) ketersediaan sumber daya manusia yang cukup dan terampil, lama

kerja, beban kerja, pengetahuan dan keterampilan pegawai. Pengalaman kerja

merupakan latar belakang individu sehingga dapat mempengaruhi perilaku kinerja

individu dan menyebutkan bahwa makin lama pengalaman kerja seseorang maka

dia akan semakin terampil dan makin lama masa kerja seseorang akan semakin

bertambah wawasan dan kematangan dalam melakukan tugas. Peletakan obat-

obatan juga berpengaruh terhadap waktu pelayanan terutama pada proses

pengambilan obat dimana pegawai farmasi harus menjelajahi ruangan untuk

mencari obat sesuai dengan resep; d) kebijakan dan prosedur, salah satu hal yang

91
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan kebijakan yang mempengaruhi waktu pelayanan resep

adalah mengenai formularium. Adanya ketidaksesuaian resep dengan formularium

memperlambat waktu layanan oleh karena dibutuhkan waktu tambahan untuk

melakukan konfirmasi obat pengganti dengan dokter.

Menurut survei yang dilakukan oleh Health Services and Outcomes

Research, National Healthcare Group Singapore dalam Megawati (2015), selain

akurasi resep dan keterjangkauan obat, waktu tunggu pelayanan obat sangat

mempengaruhi kepuasan pasien yaitu kurang dari 30 menit. Pengalaman seorang

pasien dalam menunggu pelayanan dapat mempengaruhi persepsinya tentang

kualitas layanan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di University of

Southerm California, Los Angeles, Amerika Serikat, dalam Megawati (2015)

menunjukkan bahwa keseluruhan kepuasan pasien terhadap jasa farmasi berkaitan

erat dengan kepuasan mereka mengenai waktu tunggu.

Beban kerja mempengaruhi waktu tunggu pasien, salah satunya seperti

kurangnya staff atau dokter (Pillay et al., 2011). Dokter sering terlambat praktek

dan kurangnya pengawasan dari pihak manajemen mengakibatkan timbulnya

penumpukan pasien. Hal yang sama juga dikemukakan oleh (Purwanto, dkk.,

2015), yaitu resep datang bersamaan menambah waktu tunggu antrian. Intervensi

sistem pelayanan dokter perlu dipertimbangkan yaitu pemeriksaan pelayanan

pasien lebih awal. Resep yang diterima diatas pukul 11.00 WIB mempunyai

waktu tunggu lebih lama dibandingkan resep yang diterima pada pukul 09.00-

11.00 WIB, karena mulai pukul 11.00 WIB semua poliklinik sudah lengkap dalam

memberikan pelayanannya sehingga di depo farmasi juga terjadi penumpukan

92
Universitas Sumatera Utara
resep (Maftuhah, 2016). Hal ini sesuai dengan yang disampaikan informan

sebagai berikut:

Waktu tunggu resep yang lama disebabkan karena masalah jadwal masuk
resep ke apotek yang bersamaan hampir dari semua poli. Petugas farmasi sudah
mulai kerja dari pukul 9 pagi, tetapi resep masuk sekitar jam 11 dan puncaknya di
jam 12 sampai jam 1 atau 2, yang sebenarnya itu adalah waktu ishoma. Jadi secara
otomatis banyak memakan waktu untuk menyelesaikannya, tetapi jika resep
masuk jam 8 atau 9 pagi, maka jam 12 atau jam 1 sudah tuntas diselesaikan
(Informan 4).
Faktor lainnya adalah peralatan fasilitas atau sarana dan prasarana.

Sebagai contoh dengan adanya peralatan seperti blender dan sealing equiptments

(alat untuk merekatkan kertas puyer agar tertutup rapat dan kedap dari udara luar)

maka proses penyiapan obat racikan akan semakin cepat dibandingkan dilakukan

dengan cara manual (Puspita, dkk., 2018). Semakin cepat waktu pelayanan resep

maka semakin baik proses pelayanan kefarmasian (Ihsan, dkk., 2014).

4.6.7 Persentase Obat Yang Dapat Diserahkan

Indikator ini bertujuan untuk mengetahui kepatuhan farmasi dalam

menyediakan obat-obat yang terdapat dalam formularium dan memenuhi

permintaan resep dari dokter. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase

obat yang dapat diserahkan oleh apotek rawat jalan dan rawat inap masing-masing

adalah 96,44% dan 99,87%. Bila dibandingkan dengan penelitian Pudjaningsih

(1996) dan WHO (1993) yang memberikan angka 76%-100%, maka jumlah obat

yang dilayani oleh instalasi farmasi telah memenuhi standar yang ada sehingga

bisa dikatakan efisien dalam pelayanan.

Nilai persentase obat yang dapat diserahkan tidak mencapai 100%

disebabkan karena terjadi kekosongan beberapa obat pada waktu penelitian

93
Universitas Sumatera Utara
dikarenakan adanya utang piutang rumah sakit dan pengiriman barang yang lama.

Seperti yang disampaikan informan sebagai berikut:

Adanya obat yang tidak dapat diserahkan dapat terjadi dikarenakan


beberapa faktor, diantaranya pertama, barang kosong barang karena belum bayar
ke distributor. Kedua, mungkin karena pengiriman barang yang lama yaitu barang
sudah dipesan tetapi belum sampai. Jika memang ada obat yang kosong seperti
itu, biasanya apoteker bisa konfirm ke dokternya untuk substitusi obat dengan
golongan atau kandungan obat yang sama, kecuali jika memang tidak ada
penggantinya sehingga terpaksa tidak diberikan atau dibon untuk diambil ketika
barang sudah datang dari distributor (Informan 3).

4.6.8 Persentase Obat Yang Dilabeli dengan Lengkap

Indikator ini dijadikan petunjuk tentang seberapa besar perhatian dan

tanggung jawab petugas farmasi terhadap hak pasien atas informasi yang

memadahi serta penguasaan petugas farmasi terhadap obat-obatan (Sasongko,

dkk., 2014). Perhitungan dilakukan dengan cara mencatat jumlah item obat yang

dilabeli dengan benar, yaitu yang berisi paling tidak nama pasien, nomor resep,

tanggal resep, tanggal penyerahan resep, serta aturan minum atau pakai obat

(Razak, dkk., 2012).

Dari hasil penelitian diketahui persentase obat yang dilabeli dengan benar

adalah 100%. Hal ini menunjukkan bahwa petugas farmasi telah memberikan hak

pasien yaitu informasi minimal yang harus diketahui oleh pasien atas obat yang

diperolehnya. Besarnya nilai ini mengindikasikan adanya upaya instalasi farmasi

dalam mewujudkan cara pengobatan yang baik dan benar sehingga dapat tercapai

derajat kesehatan yang optimal dalamdiri pasien (Fakhriadi, dkk., 2011).

4.7 Perbandingan Indikator Resep Rawat Inap dan Rawat Jalan

Analisis perbandingan indikator uji di rawat inap dan rawat jalan

dilakukan untuk membuktikan ada tidaknya perbedaan signifikan antara indikator

94
Universitas Sumatera Utara
uji di rawat inap dan rawat jalan. Data dianalisis menggunakan uji Chi-Square

dengan bata nilai signifikansi p < 0,05. Data analisis perbedaan indikator rawat

inap dan rawat jalan yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.15.

Tabel 4.14 Perbandingan indikator resep rawat inap dan rawat jalan
No Indikator Nilai p-Value
Rawat Jalan Rawat Inap
1 Jumlah item obat per 4,27 4,36 0,331
lembar resep
2 Persentase obat dengan 61,27% 71,78% 0,914
nama generik
3 Persentase peresepan 3,59% 68,02% 0,247
injeksi
4 Persentase peresepan 10,66% 53,20% 0,557
obat antibiotika
5 Persentase obat yang 90,61% 96,40% 0,000
diresepkan sesuai
formularium rumah sakit
6 Persentase obat yang 96,44% 99,87% 1,000
dapat diserahkan

Pada analisis perbedaan jumlah item obat per lembar resep rawat inap dan

jumlah item obat per lembar resep rawat jalan diperoleh bahwa tidak terdapat

perbeedaan siginifikan antara jumlah item obat per lembar resep rawat inap dan

rawat jalan ditunjukkan dengan nilai p = 0,331 (p < 0,05) yang tertera pada Tabel

4.15. Faktor yang menyebabkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara

jumlah item obat per lembar resep di rawat inap dan di rawat jalan karena terjadi

kecenderungan polifarmasi terhadap pasien rawat inap dan rawat jalan. Hal ini

menandakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara peresepan

obat oleh dokter di rawat inap dan rawat jalan.

Pada analisis perbedaan persentase obat dengan nama generik di rawat

inap dan di rawat jalan diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara

persentase obat dengan nama generik di rawat inap dan rawat jalan ditunjukkan

dengan nilai p = 0,914 (p < 0,05) yang tertera pada Tabel 4.15. Hal ini

95
Universitas Sumatera Utara
menandakan bahwa penulisan obat dengan nama generik tidak berbeda secara

bermakna baik di rawat inap maupun rawat jalan.

Pada analisis perbedaan persentase peresepan injeksi di rawat inap dan di

rawat jalan diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan siginifikan antara persentase

peresepan injeksi di rawat inap dan rawat jalan ditunjukkan dengan nilai p = 0,247

(p < 0,05) yang tertera pada Tabel 4.15.

Pada analisis perbedaan persentase peresepan obat antibiotika di rawat

inap dan di rawat jalan diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan siginifikan

antara persentase peresepan obat antibiotika di rawat inap dan rawat jalan

ditunjukkan dengan nilai p = 0,557 (p < 0,05) yang tertera pada Tabel 4.15.

Pada analisis perbedaan persentase obat yang diresepkan sesuai

formularium rumah sakit di rawat inap dan di rawat jalan diperoleh bahwa

terdapat perbedaan siginifikan antara persentase peresepan obat antibiotika di

rawat inap dan rawat jalan ditunjukkan dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05) yang

tertera pada Tabel 4.15. Hal ini berarti bahwa adanya perbedaan yang bermakna

antara obat yang diresepkan sesuai formularium rumah sakit di rawat inap dan di

rawat jalan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase obat yang diresepkan

sesuai formularium rumah sakit di rawat jalan memiliki nilai persentase yang

cenderung lebih rendah dibandingkan dengan di rawat inap. Hal ini dapat

disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor dokter, pasien dan obat.

Pada analisis perbedaan persentase obat yang dapat diserahkan di rawat

inap dan di rawat jalan diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan siginifikan

antara persentase obat yang dapat diserahkan di rawat inap dan rawat jalan

ditunjukkan dengan nilai p = 1,000 (p < 0,05) yang tertera pada Tabel 4.15. Hal

96
Universitas Sumatera Utara
ini menandakan bahwa tidak adanya perbedaan bermakna antara persentase obat

yang diserahkan di rawat inap dan rawat jalan yang berarti bahwa ketersediaan

obat di rawat inap dan rawat jalan cenderung merata.

4.8 Persentase Capaian Pengelolaan Obat di Instalasi Farmasi RSUD Langsa

Hasil analisis uji statistik menggunakan metode descriptive analysis

dengan program SPSS versi 22 dapat dilihat pada Tabel 4.15.

Tabel 4.15 Hasil uji statistik capaian pengelolaan obat


Frekuensi Persen Persen Persen
Valid Kumulatif
Valid Tidak 11 47,8 47,8 47,8
sesuai
Sesuai 12 52,2 52,2 100,0
Total 23 100,0 100,0

Tabel 4.15 menunjukkan bahwa evaluasi pengelolaan obat di instalasi

farmasi RSUD Langsa sudah memenuhi standar yang ada dalam penelitian ini

sebesar 52,2%, yang berarti bahwa nilai yang diperoleh cenderung masih rendah

sehingga perlu dilakukan upaya perbaikan dalam tahapan pengelolaan obat guna

mencapai pengelolaan obat yang efektif dan efisien sesuai standar yang telah

ditetapkan.

97
Universitas Sumatera Utara
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan

bahwa capaian pengelolaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa sudah

memenuhi standar sebesar 52,2% dengan hasil parameter sebagai berikut:

a. pemilihan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa sudah memenuhi standar

terhadap kesesuaian item obat yang tersedia dengan formularium nasional

yaitu sebesar 88, 37%.

b. perencanaan dan pengadaan di instalasi farmasi RSUD Langsa yaitu indikator

frekuensi pengadaan item obat per tahun rata-rata masih tergolong dalam

kategori rendah (<12 kali/tahun) dan 7 item obat dalam kategori sedang (12-

24 kali/tahun) .

c. distribusi obat di instalasi farmasi RSUD Langsa belum sepenuhnya

memenuhi standar indikator yang ditetapkan. Indikator yang telah memenuhi

standar adalah ketepatan data jumlah obat pada kartu stok (100%) dan tingkat

ketersediaan obat yaitu selama 13 bulan 12 hari, sedangkan indikator yang

belum memenuhi standar adalah persentase nilai obat kadaluarsa sebesar

2,64% dan persentase stok mati sebesar 3,24%.

d. penggunaan obat yang diresepkan di Instalasi Farmasi RSUD Langsa belum

sepenuhnya memenuhi standar. Indikator yang telah memenuhi standar

meliputi persentase peresepan antibiotika di rawat jalan (10,66%); persentase

peresepan injeksi di rawat jalan (3,59%); rata-rata kecepatan pelayanan resep

non racikan (47 menit); persentase obat yang dapat diserahkan (99,87% di

98
Universitas Sumatera Utara
rawat inap dan 96,44% di rawat jalan) dan persentase obat yang dilabeli

dengan lengkap (100%), sedangkan indikator yang belum memenuhi standar

meliputi jumlah item obat per lembar resep; persentase obat dengan nama

generik; persentase peresepan obat antibiotika di rawat inap; persentase

peresepan injeksi di rawat inap; persentase obat yang diresepkan sesuai

formularium rumah sakit; rerata kecepatan pelayanan resep non racikan.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan penelitian ini, disarankan bagi peneliti

selanjutnya untuk:

a. melakukan penelitian lanjutan terkait faktor penyebab perbedaan hasil dengan

estimasi WHO.

b. melakukan penelitian terkait dengan parameter lainnya.

c. melakukan strategi perbaikan terhadap permasalahan yang ada dalam

pengelolaan obat.

d. melakukan penilaian pre dan post strategi perbaikan yang dilakukan.

99
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T.Y. (2007). Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Jakarta:


Universitas Indonesia. Halaman 76.

Aritonang, J. (2017). Analisis Formularium RSUD Cimacan Tahun 2017. Jurnal


Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2. Jakarta: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia. Halaman 89.

Aryani, F., Anggraini D., dan Yani, N.P. (2014). Evaluasi Mutu Pelayanan
Kefarmasian Kategori Waktu Tunggu Pelayanan Resep di Depo Rawat
Jalan Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Pekanbaru. Pekanbaru:
Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau. Halaman 4-9.

Atif, M., Muhammad, R., Muhammad A., Mubeen N., Salma A., dan Kashaf N.
(2016). Assessment Of Core Drug Use Indicators Using WHO/INRUD
Methodology At Primary Healthcare Centers In Bahawalpur, Pakistan.
BMC Health Service Reasearch Volume 16 Nomor 684. Bahawalpur:
Department of Pharmacy The Islamia University of Bahawalpur. Halaman
2-9.

Chaira, S., Erizal, Z., dan Trisfa, A. (2016). Evaluasi Pengelolaan Obat pada
Puskesmas di Kota Pariaman. Jurnal Sains Farmasi dan Klinis Volume 3
Nomor 1. Padang: Ikatan Apoteker Indonesia. Halaman 40.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2002). Pedoman Supervisi Dan


Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, Direktorat Bina Obat
Publik Dan Perbekalan Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jenderal pelayanan
Kefarmasian dan Alat kesehatan. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Halaman 8-15.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2005). Pedoman Supervisi dan


Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan 2nd ed. Jakarta: Ditjen
Yanfar dan Alkes Direktorat Bina Obat dan Perbekalan Kesehatan.
Halaman 50-59.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2007). Pelatihan Pengelolaan Obat


Di Kabupaten/Kota. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian
dan Alat Kesehatan, Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan, Departemen RI bekerjasama dengan JICA. Halaman 30-69.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Pedoman Pengelolaan


Perbekalan Farmasi Di Rumah Sakit Direktorat Jendral Bima
Kefarmasian Dan Alat Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
bekerjasama dengan Japan International Coorperation Agency. Halaman
23-60.

100
Universitas Sumatera Utara
Dianingati, R.S., dan Septimawanto, D.P. (2013). Analisis Kesesuaian Resep
Untuk Pasien Jaminan Kesehatan Nasional dengan Indikator Peresepan
WHO 1993 pada Instalasi Farmasi Rawat Jalan di RSUD Ungaran Periode
Januari-Juni 2014, Majalah Farmaseutik Volume 11 Nomor 3.
Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Halaman 363-
370.

Djatmiko, M., dan Eny, R. (2008). Evaluasi Sistem Pengelolaan Obat di Instalasi
Farmasi RSUP Dr. Kariadi Semarang Tahun 2007. Jurnal Ilmu Farmasi
dan Farmasi Klinik Volume 5 Nomor 2. Semarang: Fakultas Farmasi
Universitas Wahid Hasyim. Halaman 39-40.

Dyahariesti, N., dan Richa, Y. (2019). Evaluasi Keefektifan Penggelolaan Obat di


Rumah Sakit. Media Farmasi Indonesia Volume 14 Nomor 1. Semarang:
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Ngudi Waluyo. Halaman 1489-1490.

Fakhriadi, A., Marchaban, dan Pudjaningsih, D. (2011). Analisis pengelolaan


Obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung
Tahun 2006, 2007, dan 2008. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi
UGM Volume 1 Nomor 2. Yogyakarta: Pascasarjana Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada. Halaman 94-96.

Farida, H., Herawati, MM Hapsari, Harsoyo N., dan Hardian. (2008). Penggunaan
Antibiotik Secara Bijak Untuk Mengurangi Resistensi Antibiotik, Studi
Intervensi di Bagian Kesehatan Anak RS Dr. Kariadi. Sari Pediatri
Volume 10 Nomor 1. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas
Diponogoro. Halaman 39.

Fera, J. P., dan Fatimawati. (2017). Analisis Manajemen Penyimpanan dan


Pendistribusian Obat di Instalasi Farmasi Chasan Boesoire Ternate.
Ternate: Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi. Halaman 33-
49.

Hamsidi, R., Adryan, F., dan Nasyrah, M. (2015). Evaluasi Rasionalitas


Penggunaan Obat ditinjau dari Indikator Peresepan World Health
Organization (WHO) Pasien Rawat Jalan Poli Penyakit Dalam Periode
Januari-Juni 2015 di Rumah Sakit Umum Bahteramas Provinsi Sulawesi
Tenggara. Pharmauho Volume 1 Nomor 2. Kendari: Fakultas Farmasi
Universitas Halu Oleo. Halaman 17-18.

Ihsan, S., Sry, A. A., dan Mohammad, S. 2014. Evaluasi Pengelolaan Obat di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Muna Tahun
2014. Majalah Farmasi, Sains dan Kesehatan Pharmauho Volume 1
Nomor 2. Kendari: Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo. Halaman 24.

Indriawati, C. S. (2001). Analisis Pengelolaan Obat di Rumah Sakit Umum


Daerah Wates. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Halaman 17-
38.

101
Universitas Sumatera Utara
Kasmawati, H., Sabarudin, dan Siti, A. J. (2018). Evaluasi Ketersediaan Obat
pada Era JKN-BPJS Kesehatan di RSUD Kota Kendari Tahun 2015.
Jurnal Farmasi, Sains, dan Kesehatan Volume 4 Nomor 2. Kendari:
Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo. Halaman 61.
Kardela,W., Retnosari, A., dan Sudibyo, S. (2014). Perbandingan Penggunaan
Obat Rasional Berdasarkan Indikator WHO di Puskesmas Kecamatan
antara Kota Depok dan Jakarta Selatan. Jurnal Kefarmasian Indonesia
Volume 4 Nomor 2. Jakarta: Pascasarjana Fakultas Farmasi Universitas
Indonesia. Halaman 91-102.
Kemenkes RI. (2016). Keputusan Direktur Jenderal Pelyanan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI Nomor HK.02.03/I/2630/2016. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI. Halaman 48.
Kemenkes RI. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2406/Menkes/Per/XII/2011 Tentang Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. Halaman 4-50.

Kemenkes RI. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes RI. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 72


tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 15-41.

Kemenkes RI. (2008). Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Jakarta:


Departemen Kesehatan RI. Halaman 18.

Kemenkes RI. (2018). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


54 Tahun 2018 tentang Penyusunan Dan Penerapan Formularium
Nasional Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 12 dan 29.
Khoiriyah, Shahnaz, D., dan Keri, L. (2018). Review Artikel: Kajian
Farmakoekonomi Yang Mendasari Pemilihan Pengobatan di Indonesia.
Jurnal Farmaka Volume 16 Nomor 3. Sumedang: Fakultas Farmasi
Universitas Padjadjaran. Halaman 134-140.

Lilihata, R. N. (2011). Analisis Manajemen Obat di Instalasi Farmasi Rumah


Sakit Umum Daerah Masohi Kabupaten Maluku Tengah. Tesis.
Yogyakarta: Fakultas Farmasi. Universitas Gadjah Mada. Halaman 28.

Maftuhah, A., dan Susilo, R. (2016). Waktu Tunggu Pelayanan Resep Rawat
Jalan di Depo Farmasi RSUD Gunung Jati Kota Cirebon Tahun 2016.
Cirebon: Akademi Farmasi Muhammadiyah Cirebon. Halaman 43-44.

Malinggas, N.E.R., Soleman, J., dan T, P. (2015). Analysis of Logistics


Management Drugs In Pharmacy Installation District General Hospital

102
Universitas Sumatera Utara
Dr. Sam Ratulangi Tondano. JIKMU Volume 5 Nomor 2b. Ternate:
Universitas Sam Ratulangi. Halaman 448-460.

Mahalli, A.A. El. (2012). WHO/INRUD Drug Prescribing Indicators at Primary


Health Care Centres In Eastern Province, Saudi Arabia. Eastern
Mediterranean Health Journal Volume 18 Nomor 11. Saudi Arabia:
University of Dammam. Halaman: 1091-1094.

Mahdiyani, U., Chairun, W., dan Dwi, E. (2018). Evaluasi Pengelolaan Obat
Tahap Perencanaan dan Pengadaan di RSUD Muntilan Kabupaten
Magelang Tahun 2015-2016. JMPF Volume 8 Nomor 1. Yogyakarta:
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Halaman 21.

Megawati, L.H., dan Dolly, I. (2015). Penurunan Waktu Tunggu Pelayanan Obat
Rawat Jalan Instalasi Farmasi Rumah Sakit Baptis Batu. Jurnal
Kedokteran Brawijaya Volume 28 Nomor 2. Malang: Universitas
Brawijaya Malang. Halaman 163-168.

Negara, K. S. (2014). Analisis Implementasi Kebijakan Penggunaan Antibiotika


Rasional Untuk Mencegah Resistensi Antibiotika di RSUP Sanglah
Denpasar: Studi Kasus Infeksi Methicillin Resistant Staphylococcus
Aureus. Jurnal Adminstrasi Kebijakan Kesehatan Volume I Nomor 1. Bali:
Prima Medical Hospital Bali. Halaman 42-48.

Oktaviani, N., Gunawan, P., dan Y, K. (2018). Evaluasi Pengelolaan Obat Di


Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi NTB Tahun 2017.
Jurnal Farmasi Indonesia Volume 15 Nomor 2. Surakarta: Universitas
Setia Budi Surakarta. Halaman 135- 147.

Palupiningtyas, R. (2014). Analisis Sistem Penyimpanan Obat di Gudang Farmasi


Rumah Sakit Mulya Tangerang Tahun 2014. Skripsi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Halaman 87.

Pudjaningsih, D. (1996). Pengembangan Indikator Efisiensi Pengelolaan Obat di


Farmasi RS. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Program Pasca
Sarjana Fakultas Kedokteran. Halaman 40.

Purwidyaningrum, I., Lukman, H., dan Sri, W. P. (2012). Evaluasi Efisiensi


Distribusi Obat Rawat Inap Di Instalasi Farmasi RSUD Tarakan Jakarta
Pusat. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi. Solo: Universitas
Muhammadiyah Solo. Halaman 10-12.

Pramukantoro, G. E., dan Sunarti. (2018). Evaluasi Pengelolaan Obat di Instalasi


Farmasi Dinas Kesehatan Kota Surakarta Tahun 2015. Jurnal Farmasi
Indonesia Volume 15 Nomor 2. Surakarta: Fakultas Farmasi Universitas
Setia Budi. Halaman 54.

Pratiwi, A. A., dan Rano, K. S. (2014). Analisis Peresepan Obat Anak Usia 2–5
Tahun di Kota Bandung Tahun 2012. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia

103
Universitas Sumatera Utara
Volume 3 Nomor 1. Sumedang: Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran.
Halaman 18-23.

Presiden RI. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 tentang Rumah


Sakit. Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia. Halaman 12-20.

Probandari, A. (2007). Cost Effectiveness Analysis dalam penentuan kebijakan


kesehatan: Sekedar Konsep atau Aplikatif. Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan Volume 10 Nomor 3. Jawa Tengah: Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Halaman 104-107.

Puspita, Marlia, M., Ade, M.U., dan Robby, C.P. (2018). Waktu Tunggu
Pelayanan Resep BPJS Rawat Jalan di Instalasi Farmasi RSIA Anugrah
Medical Center Metro. Jurnal Farmasi Malahayati Volume 1 Nomor 2.
Lampung: Program Studi Sarjana Farmasi Universitas Malahayati.
Halaman 93.

Purwanto, H., Indriati, dan Taufiq, R. (2015).Faktor Penyebab Waktu Tunggu


Lama di Pelayanan Instalasi Farmasi Rawat Jalan RSUD Blambangan.
Jurnal Kedokteran Brawijaya Volume 28 Nomor 2. Malang: Universitas
Brawijaya. Halaman 159-163.

Razak, A., Gunawan, P., dan Muji, H. (2012). Analisis Efisiensi Pengelolaan
ObatPada Tahap Distribusi DanPenggunaan Di Puskesmas. Jurnal
Manajemen Dan Pelayanan Farmasi Volume 2 Nomor 3. Surakarta:
Fakultas Farmasi Univeritas Setia Budi Surakarta. Halaman 189-193.

Satrianegara, Muhammad, F., Emmi, B., dan Guswani. (2018). Analisis


Pengelolaan Manajemen Logistik Obat Di Instalasi Farmasi Rsud Lanto
Daeng Pasewang Kabupaten Jeneponto. Public Health Science Journal
Volume 10 Nomor 1. Makassar: Al-Sihah. Halaman 45.

Satibi. (2014). Manajemen Obat di Rumah Sakit. Yogyakarta: Fakultas Farmasi


Universitas Gadjah Mada. Halaman 21-70.

Suciati, S., dan Wiku, B. B. A. (2006). Analisis Perencanaan Obat Berdasarkan


ABC Indeks Kritis di Instalasi Farmasi. Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan Volume 9 Nomor 1. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia. Halaman 19.

Sudarmono, C.A., Achmad, P., dan Riswaka, S. (2011). Analisis Penggunaan


Obat pada Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Panti Nugroho Sleman
Periode Oktober 2008. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi
Volume 6 Nomor 1. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Halaman 24.

Surahman, E., Esther, M., dan Endah, I. K. (2008). Evaluasi Penggunaan Sediaan
Farmasi Intravena Untuk Penyakit Infeksi Pada Salah Satu Rumah Sakit
Swasta Di Kota Bandung. Majalah Ilmu Kefarmasian Volume 5 Nomor 1.
Jatinangor: Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran. Halaman 21-39.

104
Universitas Sumatera Utara
Susanto, A. K., Gayatri, C., dan Widya, A. L. (2017). Evaluasi Penyimpanan dan
Pendistribusian Obat di Gudang Instalasi Farmasi Rumah Sakit Advent
Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi Volume 6 Nomor 4. Manado: Fakultas
MIPA Universitas Sam Ratulangi. Halaman 92.

Sudjaswadi, R., dan Azimah, M. (2010). Observasi Peresepan Antibiotika untuk


Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Swasta Selangor, Malaysia Periode
Oktober Sampai Desember 2004. Majalah Farmaseutik Volume 6 Nomor
2. Yogyakarta: Fakultas Farmasi UGM. Halaman 7-10.

Seto, S., Nita, Y., dan Triana, L. (2004). Manajemen Farmasi. Surabaya:
Airlangga University Press. Halaman 34.

Usaid. (2013). Procurement Performance Indicators Guide Using Procurement


Performance Indicators to Strengthen the Procurement Process for Public
Health CommoditieS. US: Deliver Project. Halaman 205.

Wayunah, E. N., dan Sigit, M. (2013). Pengetahuan Perawat Tentang Terapi


Infus Memengaruhi Kejadian Plebitis Dan Kenyamanan Pasien. Jurnal
Keperawatan Indonesia Volume 16 Nomor 2. Depok: Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia. Halaman 128-137.

World Health Organization. (1993). How toInvestigate Drug Use in Health


Facilities, Selected Drugh Use Indicator. Geneva: WHO. Halaman 46-52.

Winda, S. (2018). Formularium Nasional (FORNAS) dane-Catalogue Obat


Sebagai Upaya Pencegahan Korupsi dalam Tata Kelola Obat Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Jakarta: Integritas. Halaman 190 dan 192.

Wijaya, H. 2012. Analisis Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM)


Rumah Sakit Bidang Farmasi Di Instalasi Farmasi RS Tugu Ibu Tahun
2012. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. Halaman 108-114.

Yimenu, D. K., Abdurazak, E., Endilik, E., dan Wagaye, A. (2019). Assessment
of Antibiotic Prescribing Patterns at Outpatient Pharmacy Using World
Health Organization Prescribing Indicators. Journal of Primary Care &
Community Health Volume 10 Nomor 1-8. Ethiopia: University of Gondar.
Halaman 2.

Yuliastuti, F., Achmad, P., dan Riswaka, S. (2013). Analisis Penggunaan Obat
Pada Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Umum Daerah Sleman
Yogyakarta Periode April 2009. Jurnal Ilmu FarmasiVolume 10 Nomor 2.
Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Halaman 107-
110.

Yunita, F., Imran, dan Mudatsir. (2016). Manajemen Pengelolaan Obat-Obatan Di


Instalasi Farmasi Rumah Sakit Banda Aceh Dalam Menghadapi Bencana
Gempa Bumi. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Volume 16 Nomor 2. Banda
Aceh: Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Halaman 84.

105
Universitas Sumatera Utara
Quick, J.D., Rankin, J.R., Laing, R.O., O’Connor, R.W., Hogerzeil, H.V., Dukes,
M.N.G., dan Garnett, A. (1997). Managing Drug Supply, 2nd Ed.
Management Sciences for Health. USA: Kumarian Press. Halaman 46-52.

Quick, J.D., Rankin, J.R., Laing, R.O., O’Connor, R.W., Hogerzeil, H.V., Dukes,
M.N.G., dan Garnett, A. (2012). Managing Drug Supply, 3rd
Ed.Management Sciences for Health. USA: Kumarian Press. Halaman 51-
62.

106
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 1. Kondisi Ruangan Dan Fasilitas Penyimpanan Obat di Instalasi
Farmasi RSUD Langsa Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
No. 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit
Pelaksanaan
No Variabel Evaluasi di Instalasi Keterangan
Farmasi
RSUD
Langsa
Ya Tidak
1 Lokasi penyimpanan harus √
menyatu dengan sistem pelayanan
Rumah Sakit
2 Dipisahkan antara fasilitas √
penyelenggaraan manajemen,
pelayanan langsung pada pasien,
peracikan dan produksi
3 Adanya pengaturan suhu √
4 Adanya ventilasi udara yang baik √
5 Adanya pengaturan pencahayaan √
6 Adanya pengaturan kelembaban √
7 Terdapat sistem pembuangan √
limbah yang baik
8 Adanya perlengkapan dispensing √ Untuk dispensing
baik untuk sediaan steril, non steril steril tidak ada
maupun cair untuk obat luar atau karena dilakukan
dalam oleh perawat
9 Lemari/rak penyimpanan yang rapi √
dan terlindung dari debu juga
cahaya dan kelembaban berlebihan
10 Gudang penyimpanan dilengkapi √
dengan palet
11 Terdapat lemari pendingin dan √
pendingin ruangan untuk obat
termolabil
12 Peralatan untuk penyimpanan √
obat, penanganan dan pembuangan
limbah sitotoksik dan obat
berbahaya dibuat secara khusus
13 Terdapat lemari penyimpanan √
khusus untuk narkotika dan
psikotropika
14 Bahan yang mudah terbakar √ Disimpan didalam
disimpan dalam ruang tahan api ruangan biasa yang
dan diberi tanda khusus terpisah

107
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 1. (lanjutan)

Pelaksanaan di
No Variabel Evaluasi Instalasi Farmasi Keterangan
RSUD Langsa
Ya Tidak
15 Gas medis disimpan dengan √
posisi tepat
16 Terdapat lokasi penyimpanan √
obat emergensi untuk kondisi
kegawatdaruratan
17 Tersedia rak/lemari √
penyimpanan obat
18 Tersedia kartu stok obat untuk √
memberi keterangan di
rak/lemari penyimpanan

108
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. Prosedur Penyimpanan Obat di Instalasi Farmasi RSUD Langsa
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 Tahun 2016
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit

Variabel Metode Penyimpanan Ya Tidak Keterangan


Menerapkan Sistem FIFO √
Menerapkan Sistem FEFO √
Sediaan Farmasi yang penampilan √
dan penamaan mirip (LASA) tidak
ditempatkan bersamaan dan diberi
penandaan khusus
Elektrolit konsentrasi tinggi tidak √
disimpan di unit perawatan
Tempat penyimpanan obat tidak √
dipergunakan untuk penyimpanan
barang lainnya yang menyebabkan
kontaminasi

109
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3. Surat Izin Penelitian

110
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 4. Surat Keterangan Kelayakan Etik (Ethical Clearance)

111
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 5. Surat Persetujuan Responden (Informed Consent)

112
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 5. (lanjutan)

113
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 5. (lanjutan)

114
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 5. (lanjutan)

115
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 6. Data Stok Mati Obat Tahun 2018

Nama Obat Pengeluaran Terakhir


Clonidin Tab 01-Sep-18
Ferriprox 500 04-Apr-18
Nystatin Tab Feb-18
Pro TB Tab Sep-18
Tanapress 10 Mg Mei-18
Tanapress 5 Mg Mar-18
Ferriprox 500 Apr-18
Plasbumin 5% 50 Ml Jul-18
Superhoid Supp Jul-18
Cyanocobalamin Inj Mei-18
Cefuroxime Inj Des-17
Norages Mei-18
Uresix Inj Mar-18
Bupivacain Spinal Mar-18
Cendo Lubricen Des-17
Cendo Tobro Sep-17
Nerilon Agust-18
Aminovel 600 2017
Aminofusin Hepar 2017
Eas Primer Apr-18
Nimodipin Apr-18
Tutofusin Mar-18
Wida HSD per 2017
Wida Kdn 2 Mar-18
Pct Drop Mar-18
Vectrin Syr 2017

116
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 7. Data Obat Kadaluarsa di IFRSUD Langsa Tahun 2018

JUMLAH HARGA TOTAL TANGGAL


NO NAMA OBAT SATUAN
SATUAN SATUAN HARGA ED
Azithromycin
1 5 Rp 3.263
250 mg tab Rp 16.315 01/05/2018
Januari
2
Amadiab 2mg tab 50 Rp 2.877 Rp 143.850 2018
3 Ampicilin tab 335 Rp 381 Rp 127.635 01/04/2018
4 Antalgin tab tab 598 Rp 220 Rp 131.560 01/03/2018
5 Aptil tab 4 Rp 19.410 Rp 77.640 01/04/2018
Januari
6
Cal 95 tab 52 Rp 2.832 Rp 147.264 2018
7 Cefila 100 mg tab 7 Rp 13.942 Rp 97.594 01/04/2018
8 Calcium Lactat tab 2708 Rp 82 Rp 222.056 01/08/2018
Depakote Er 250
9 500
mg tab Rp 2.840 Rp 1.420.000 01/03/2018
Donepezil Hcl
10 25 Rp 4.950
5mg tab Rp 123.750 01/07/2018
11 Ergotamin tab 273 Rp 203 Rp 55.419 01/10/2018
12 Efedrin tab 1000 Rp 158 Rp 158.000 01/08/2018
13 Fatral tab 2443 Rp 3.740 Rp 9.136.820 01/08/2018
Fenofibrat
14 203 Rp 1.073
100mg tab Rp 217.819 01/08/2018
Fenofibrate 100
15 430 Rp 4.075
mg tab Rp 1.752.250 01/09/2018
Januari
16
Glimipiride 2mg tab 50 Rp 207 Rp 10.350 2018
Januari
17
Glimipiride 1 mg tab 337 Rp 194 Rp 65.378 2018
18 Glimepirid 3 mg tab 720 Rp 454 Rp 326.880 01/02/2018
19 Harnal 0,2mg tab 812 Rp 7.300 Rp 5.927.600 Juni 2018
20 Hystolan tab 30 Rp 4.950 Rp 148.500 01/04/2018
21 Merimac 600mg tab 9 Rp 4.400 Rp 39.600 01/09/2018
22 Odace 10 mg tab 242 Rp 560 Rp 135.520 01/07/2018
23 Odace 10 mg tab 30 Rp 599 Rp 17.970 01/07/2018
24 Pyrantel tab 700 Rp 1.280 Rp 896.000 01/04/2018
25 simarc 2 mg tab 87 Rp 1.583 Rp 137.721 01/11/2018
26 Suldox tab 17 Rp 2.017 Rp 34.289 01/04/2018
27 Renax Tab tab 100 Rp 3.300 Rp 330.000 09/04/1900
28 Sandepril tab 2266 Rp 8.800 Rp 19.940.800 01/06/2018
29 Suldox tab 5 Rp 2.017 Rp 10.085 01/08/2018
Februari
30
Sanprima Forte tab 39 Rp 1.620 Rp 63.180 2018
31 Simarc 2mg tab 1100 Rp 950 Rp 1.045.000 01/11/2018
Februari
32
Sulfitis tab 22 Rp 3.203 Rp 70.466 2018

117
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 7. (lanjutan)
TANGGAL
NO NAMA OBAT SATUAN JUMLAH TOTAL
HARGA ED
Spironolacton
33 200 Rp 539
100 mg tab Rp 107.800 01/09/2018
Tetracyclin 250
34 235 Rp 149
m tab Rp 35.015 01/02/2018
35 Tensopar 5 mg tab 113 Rp 525 Rp 59.325 01/01/2018
36 Tiaryt tab 150 Rp 1.298 Rp 194.700 01/11/2018
37 Vitamin B6 tab 975 Rp 141 Rp 137.475 01/09/2018
INJEKSI
1 Antalgin inj Amp 131 Rp 3.133 Rp 410.423 01/04/2018
Calcii Gluconas
Amp 32
2 100mg/ml Rp 7.562 Rp 241.984 01/04/2018
Cyanocobalamin Desember
3 inj amp 130 Rp 6.138 Rp 797.940 2018
Combivent
500
4 Nebule Amp Rp 6.042 Rp 3.021.000 14/05/2018
5 Citicolin 250 mg Amp 4 Rp 17.325 Rp 69.300 01/03/2018
Cefuroxime
38 Rp 32.560
6 Sodium Vial Rp 1.237.280 01/07/2018
7 Dextrose 40% Fls 5 Rp 3.200 Rp 16.000 01/07/2018
8 Diphenhidramin Amp 1 Rp 1.355 Rp 1.355 01/12/2018
9 Eprex Syrg 6 Rp 110.000 Rp 660.000 01/01/2018
Februari
10 Ephedrin HCL Amp 150 Rp 8.569 Rp 1.285.350 2018
11 Furosemid Amp 1 Rp 1.333 Rp 1.333 01/08/2018
12 Fargoxin Inj Amp 37 Rp 27.716 Rp 1.025.492 01/07/2018
13 fosmisin 1 gr Vial 10 Rp 88.110 Rp 881.100 01/07/2018
Oktober
14 Norages amp 3 Rp 6.889 Rp 20.666 2018
Oktober
15 Uresix amp 4 Rp 3.715 Rp 14.860 2018
Agustus
16 Furosemid amp 1 Rp 2.521 Rp 2.521 2018
Desember
Rp 3.223
17 KCL Amp 7 Rp 22.561 2018
18 Levosol Amp 2 Rp 55.247 Rp 110.494 01/06/2018
19 Levosol Flc 6 Rp 55.247 Rp 331.482 01/06/2018
20 Meylon Fls 1 Rp 8.910 Rp 8.910 19/05/2018
21 Mgso4 40% Fls 5 Rp 3.650 Rp 10.950 01/06/2018
22 Meylon Amp 23 Rp 6.200 Rp 142.600 01/07/2018
23 Meylon Flc 238 Rp 8.910 Rp 71.280 01/05/2018
24 Notrixum Amp 4 Rp 13.390 Rp 53.560 01/05/2018
25 Norages Amp 3 Rp 6.889 Rp 20.667 01/10/2018
26 Norepineprin amp 11 Rp 66.000 Rp 726.000 Juni 2018
27 Omeprazol Vial 2 Rp 12.967 Rp 25.934 01/05/2018

118
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 7. (lanjutan)
TANGGAL
NO NAMA OBAT SATUAN JUMLAH TOTAL
HARGA ED
28 Oxtercid inj Vial 3 Rp 41.579 Rp 124.737 01/09/2018
Phenytoin
4
29 Sodium Amp Rp 6.231 Rp 24.924 01/04/2018
30 Sikzonoate Amp 10 Rp 65.340 Rp 653.400 01/02/2018
31 Sulbacef 1 gr Vial 1 Rp 176.963 Rp 176.963 01/02/2018
32 Tiaryt Amp 10 Rp 13.200 Rp 132.000 01/07/2018
33 Uresix Amp 4 Rp 4.087 Rp 16.348 01/10/2018
34 Vit. K Inj Amp 1 Rp 8.000 Rp 8.000 01/01/2018
Oxtercid inj
35 (cefuroxime) vial 3 Rp 48.400 Rp 145.200 01/09/2018
Regivell inj Agustus
36 (bupivacain) amp 2 Rp 29.040 Rp 58.080 2018
37 Omeprazole vial 2 Rp 13.588 Rp 27.176 Mei 2018
Januari
38 Vit K inj amp 1 Rp 4.167 Rp 4.167 2018
OBAT LUAR
Cendo Oculenta
1
1 SM Tube Rp 63.236 Rp 63.236 01/04/2018
Cendo
3
2 Augentonic Strip Rp 21.408 Rp 64.224 01/03/2018
Cendo Hervis
1 Rp 36.383
3 SM Tube Rp 36.383 01/11/2018
4 Cendo Lubricen Strip 10 Rp 41.209 Rp 412.090 01/11/2018
5 Cendo Tobro Strip 1 Rp 18.933 Rp 18.933 01/08/2018
6 Cendo Tobro Strip 8 Rp 20.827 Rp 166.616 01/08/2018
7 Cendo Homatro Strip 5 Rp 35.393 Rp 176.965 01/04/2018
8 Cendo Lubricen Strip 20 Rp 41.209 Rp 824.180 01/04/2018
Cendo
2 Rp 75.000
9 Lenticular Strip Rp 150.000 01/07/2018
10 Illiadin 0.025% Botol 151 Rp 30.305 Rp 4.576.055 01/09/2018
Chloramphenicol
7
11 1 % SM tube Rp 1.640 Rp 11.480 01/01/2018
12 Nerilon Tube 71 Rp 34.595 Rp 2.456.245 01/10/2018
13 Nerilon Tube 9 Rp 12.250 Rp 110.250 01/07/2018
14 Ottopraf Botol 12 Rp 31.460 Rp 377.520 01/06/2018
15 Reco Tetes Mata Btl 4 Rp 9.741 Rp 38.964 01/03/2018
Reco Tetes
7 Rp 7.370
16 Telinga Botol Rp 51.590 01/04/2018
INFUS
1 Aminovel Btl 1 Rp 93.500 Rp 93.500 01/07/2018
Aminofusin
Btl 17
2 hepar Rp 88.501 Rp 1.504.517 01/07/2018
3 Aminofluid Bag 1 Rp 70.189 Rp 70.189 01/06/2018
4 Aminoleban Bag 1 Rp 71.100 Rp 71.100 01/10/2018

119
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 7. (lanjutan)
TANGGAL
NO NAMA OBAT SATUAN JUMLAH TOTAL
HARGA ED
5 Dex 10% Botol 2 Rp 7.500 Rp 15.000 01/06/2018
6 Eas Primer Btl 6 Rp 52.999 Rp 317.994 01/07/2018
7 Levofloxacin Botol 1 Rp 26.879 Rp 26.879 01/01/2018
Levofloxacin
8 infus bag 10 Rp 40.000 Rp 400.000 Januari 2018
9 Nimodipin Botol 17 Rp 154.275 Rp 2.622.675 01/09/2018
10 Nimodipin botol 7 Rp 154.275 Rp 1.079.925 01/09/2018
Plasbumin 5%
11 50ml botol 2 Rp 302.048 Rp 604.095 Januari 2018
12 Ringer Lactat Botol 3 Rp 7.150 Rp 21.450 01/07/2018
13 Tutofusin Bag 3 Rp 39.327 Rp 117.981 01/10/2018
14 Wida HSD Botol 11 Rp 10.825 Rp 119.075 01/10/2018
15 Wida KDN2 Botol 29 Rp 16.335 Rp 473.715 01/11/2018
16 Wida KN 1 Botol 1 Rp 11.011 Rp 11.011 01/08/2018
Wida Dex 5% +
17 1/2 NS Btl 9 Rp 10.625 Rp 95.625 01/11/2018
OBAT LUAR
1 Amoxilin Sirup Botol 3579 Rp 1.919 Rp 6.868.101 16/10/2018
2 Azitromicyn syr Botol 91 Rp 31.669 Rp 2.881.879 01/07/2018
3 Azomax Btl 2 Rp 97.900 Rp 195.800 01/06/2018
4 Endostein syr botol 14 Rp 30.800 Rp 431.200 Februari2018
5 Paracetamol Drop 5 Rp 5.980 Rp 29.900 01/08/2018
6 Vectrin Botol 2 Rp 31.680 Rp 63.360 01/11/2018
TOTAL 83.793.366

120
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 8. Data Tingkat Ketersediaan Obat di IFRSUD Langsa

Bulan Sisa Stok per Bulan


Januari Rp 2.005.122.838
Februari Rp 3.001.208.787
Maret Rp 1.950.905.684
April Rp 2.119.396.268
Mei Rp 2.288.023.330
Juni Rp 2.017.854.525
Juli Rp 2.129.104.944
Agustus Rp 1.979.205.500
September Rp 2.534.424.682
Oktober Rp 2.834.199.575
November Rp 2.906.377.167
Desember Rp 3.172.427.510
Jumlah Total Rp 28.938.250.810
Rata pemakaian per bulan Rp 2.411.520.901

121
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 9. Data Pengadaan Item Obat per Tahun

Nama Obat Total Pengadaan


Metil Prednisolon 4 Mg 24
Clopidogrel 75 Mg 22
Cefadroxil 14
Natrium Diklofenak 50 Mg 14
Metil Prednisolon Inj 14
Amlodipin 10 Mg 12
Pct Syr 12
Betahistin 11
Candesartan 16 Mg 11
PCT 500 Mg 11
Ondansentron 4 Mg 11
Furosemid 40 Mg 10
Metformin 500 Mg 10
Antasida Syr 10
Ambroxol 30 Mg 9
Domperidon Syr 9
Cefotaksim 1 Gr 9
Antasida Doen 8
Cotrimoksazol 480 Mg 8
HCT 25 Mg 8
Levofloksasin 500 Mg 8
Alprazolam 1 Mg 8
Novorapid 8
Aminofluid 8
Captopril 25 Mg 7
Perossal 7
Scabimite 10 Mg 7
Wida BES 7
Allopurinol 300mg 6
Ketocid 6
Cetirizin 10 Mg 6
Citicoline Tab 1000 Mg 6
Folic Acid 1mg 6
Megabal 500 G 6
Vitamin B6 10 Mg 6
Nistatin 6
Mikonazol 10g 6
Baquinor 0,3% 6

122
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 9. (lanjutan)

Nama Obat Total Pengadaan


Aqua Pro Injeksi 6
Dextrose 40% 6
Serum A.T.S 1500 IU 6
Bone One 5
Glucodex 80 Mg 5
Ofloksasin 200 Mg 5
Ramipril 5 Mg 5
Salbutamol 2 Mg 5
Spironolacton 25 Mg 5
Treatson 0,25 Mg 5
Valdimex 5mg 5
Oralit 5
Kloramfenikol Syr 5
Noochepal 5
Desoximetason 5
Cendo Floxa 5
Protofen 5
Metoklopramid 10 Mg 5
Nefrofer 5
Vicillin SX 1500 5
Manitol 20% 500 Ml 5
Karbivent Peripheral 1440 Ml 5
Acyclovir 400 Mg 4
Glimepirid 3 Mg 4
Loratadine 10 (PPG BRN) 4
Metklopramid 10 Mg 4
Recolfar 4
Rifampicin 450 Mg 4
Valsartan 160mg 4
Stesolid Rectal 10 Mg 4
Codein 20 Mg 4
MST Continus 10 Mg 4
Kompolax 4
Genoint O,3% 4
Berotec 100 Mcg 4
Flixotide Nebule 4
Fresofol 1 % 4
Sansulin Log -G 4

123
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 9. (lanjutan)

Nama Obat Total Pengadaan


Aminofusin L600 4
Acetyl Sistein 3
Concor 2,5 Mg 3
Depakote 250 Mg 3
Depakote ER 500 3
Epsonal 3
Fenofibrat 300 Mg 3
Flunarizin 5 Mg 3
Ibuprofen 200 Mg 3
Ibuprofen 400 Mg 3
Ksr 600 3
Piracetam 400 Mg 3
Eritromisin Syr 3
Asiklovir Salp 5% 3
Hidrokortison Krim 2,5% 3
Levocin Eye Drop 3
Cendo Vitrolenta 3
Tarivid Otic 3
Onbreezhaler 300 Mcg 3
Aminofilin Inj 3
Farsix 3
Hyperhep 3
Pehacain 3
Norages 3
Novaldo 3
Tramadol Inj 3
Dextrose 10% 500 Ml 3
Plasbumin 20% 50 Ml 3
Piracetam Infus 3
Osteonate OAW 3
Gabapentin 300 Mg 2
Atorvastatin 40 Mg 2
Atorvastatin 10 Mg 2
Cimetidine 200 Mg 2
Clozapin 100 Mg (AAM) 2
Hydroxyurea Medac 2
Herbesser CD 2
Glimepirid 1 Mg 2

124
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 9. (lanjutan)

Nama Obat Total Pengadaan


Glyceril Guaiacolat 100 Mg 2
Itraconazol 100 Mg 2
Elizac 20 Mg 2
Corsaneuron 2
Sifrol 0,75 Mg 2
Tamofen 10 Mg 2
Tramadol 50mg (IGM) 2
Valsartan 80 Mg 2
Azytromicin 200mg/5ml 2
Mucogard Syr 2
Becefort Syr 2
Interzink Syr 2
Nymiko Drops 2
Cendocarpin 2% 2
Cendo Polynel 2
Illiadin Drop 0,025% 2
Meptin Inhalation 2
Spiriva 18mcg Combo 2
Citicolin 500 Mg/4ml 2
Dopamin 2
Lidokain 2 % 2
Mgso4 40% OTSU 2
Phenytoin Sodium 2
Piracetam Inj 1 Gr 2
Prosogan 2
Kaen Mg3 2
Infusan Ns 2
Tamoliv 2
Molasic 1
Kalnex 500 Mg 1
Methyl Ergometrin 1
Ostriol 1
Kloramfenikol 500 Mg 1
Bisakodil 5 Mg 1
Eutyrox 1
Farmasal 100 Mg 1
Isoniazide 100 Mg 1
Levopar 1

125
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 9. (lanjutan)

Nama Obat Total Pengadaan


Molasma 1
Neurodex 1
Nimotop 1
Ondansentron 4 Mg 1
Santa E 1
Kutoin 1
Propylthiouracil 100 Mg 1
Spasmolit 1
Trihexypenidil 2 Mg 1
Urief 1
Vitamin C 25mg 1
Diazepam 2 Mg 1
Stesolid Inj 1
Sucralfat Syr 1
Tabas Syr 1
Cinolon 1
Mometason 10 G 1
Rivanol 300 Ml 1
Soft U Derm 10 % 1
Cendo Midriatil 1% 1
Inmatrol 1
Cendo Siloxan 1
Cendom Tonor 1
Cendo Xitrol Sm 1
Xylocain Spray 1
Fosen Enema 1
Atropin Sulfat 1
Epinefrin 1
Atracurium Besylat 1
Sagestam Inj (BSP) 1
Kcl 7.46 1
Mecobalamin 1
Vitamin K1 2 Mg/ Ml 1
Sikzonoat 25mg Inj 1
Tetanus Texoid (Tt) 1
Otsu Salin 3% 500 Ml 1
Tutofusin Ops 1
Wida D5%+1/2NS 500 Ml 1

126
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 9. (lanjutan)

Nama Obat Total Pengadaan


Humalog Mix 1

127
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 10. Hasil Uji Statistik Jumlah Item Obat per Lembar Resep

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
jlhitemrajal *
344 100,0% 0 0,0% 344 100,0%
jlhitemranap

Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 95,289a 90 ,331
Likelihood Ratio 97,105 90 ,286
Linear-by-Linear
,652 1 ,419
Association
N of Valid Cases 344
a. 82 cells (74,5%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is ,00.

128
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 11. Hasil Uji Stastistik Persentase Obat dengan Nama Generik

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
persentasenamagenerikr
ajal *
344 100,0% 0 0,0% 344 100,0%
persentasenamagenerikr
anap

Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 441,138a 483 ,914
Likelihood Ratio 304,040 483 1,000
Linear-by-Linear
,422 1 ,516
Association
N of Valid Cases 344
a. 515 cells (97,5%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is ,00.

129
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 12. Persentase Peresepan Obat Antibiotika

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
persentaseantibiotika
rajal *
344 100,0% 0 0,0% 344 100,0%
persentaseantibiotika
ranap

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square ,345 1 ,557
Continuity Correctionb ,170 1 ,680
Likelihood Ratio ,344 1 ,558
Fisher's Exact Test ,603 ,339
Linear-by-Linear
,344 1 ,558
Association
N of Valid Cases 344
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17,32.
b. Computed only for a 2x2 table

130
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 13. Persentase Peresepan Injeksi

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square ,345 1 ,557
Continuity Correctionb ,170 1 ,680
Likelihood Ratio ,344 1 ,558
Fisher's Exact Test ,603 ,339
Linear-by-Linear
,344 1 ,558
Association
N of Valid Cases 344
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17,32.
b. Computed only for a 2x2 table

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 1,340 1 ,247
Continuity Correctionb ,710 1 ,400
Likelihood Ratio 1,500 1 ,221
Fisher's Exact Test ,351 ,204
Linear-by-Linear
1,336 1 ,248
Association
N of Valid Cases 344
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,84.
b. Computed only for a 2x2 table

131
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 14. Persentase Obat Yang Diresepkan Sesuai Formularium Rumah
Sakit

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
persentaseobatforkitraja
l*
344 100,0% 0 0,0% 344 100,0%
persentaseobatforkitran
ap

Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 200,363a 132 ,000
Likelihood Ratio 93,461 132 ,995
Linear-by-Linear
,001 1 ,977
Association
N of Valid Cases 344
a. 146 cells (93,6%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is ,01.

132
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 15. Persentase Obat Yang Dapat Diserahkan

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
persentaseobatdiserahk
anrajal *
344 100,0% 0 0,0% 344 100,0%
persentaseobatdiserahk
anranap

Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square ,334a 16 1,000
Likelihood Ratio ,617 16 1,000
Linear-by-Linear
,263 1 ,608
Association
N of Valid Cases 344
a. 22 cells (81,5%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is ,00.

133
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 16. Hasil Uji Statistik Capaian Pengelolaan Obat

Statistics
capaian
pengelolaan
obat hasil
N Valid 23 23
Missing 0 0
Mean ,52
Minimum 0
Maximum 1

134
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai