OLEH:
MAULIANA
NIM 177014038
OLEH:
MAULIANA
NIM 177014038
TESIS
OLEH:
MAULIANA
NIM 177014038
Telah diuji dan dinyatakan LULUS di depan Komisi Penguji Tesis pada hari Jumat
tanggal tiga puluh satu bulan Januari tahun dua ribu dua puluh.
Menyetujui:
iv
Universitas Sumatera Utara
PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini menyatakan bahwa hasil penelitian pada Tesis yang saya buat adalah
asli karya saya sendiri bukan plagist dan apabila dikemudian hari diketahui Tesis
saya tersebut plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi
sanksi apapun oleh Program Studi Magister Ilmu Farmasi Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara. Saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
v
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia
dan ridhoNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul
“Evaluasi Capaian Pengelolaan Obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum
Daerah Langsa”. Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Ilmu Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Pengelolaan obat yang tidak efisien dan efektif dapat berdampak negatif
secara medik, sosial maupun ekonomi pada rumah sakit. Atas dasar itulah maka
dilakukan penelitian untuk mengevaluasi capaian pengelolaan obat di IFRSUD
Langsa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengelolaan obat di IFRSUD Langsa
belum sepenuhnya memenuhi standar yang ada. Penelitian ini diharapkan dapat
menjadi masukan bagi rumah sakit dalam rangka penentuan arah kebijakan dan
perbaikan dalam hal pengelolaan obat.
Mauliana
NIM 177014038
vi
Universitas Sumatera Utara
EVALUASI CAPAIAN PENGELOLAAN OBAT DI INSTALASI FARMASI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LANGSA
ABSTRAK
Kata kunci: pengelolaan obat, evaluasi, instalasi farmasi rumah sakit, Langsa
vii
Universitas Sumatera Utara
EVALUATION OF DRUGS MANAGEMENT ACHIEVMENT IN THE
PHARMACY INSTALLATION OF LANGSA REGIONAL GENERAL
HOSPITAL
ABSTRACT
viii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
HALA MAN PENGESAHAN TESIS ................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN TESIS ....................................................................iv
HALA MAN PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................................v
KATA PENGANTAR ............................................................................................vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
ABSTRACT ...................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................. 4
1.3 Hipotesis ................................................................................................... 4
1.4 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 5
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................... 5
1.6 Kerangka Pikir Penelitian ........................................................................ 6
ix
Universitas Sumatera Utara
2.6.3 Sumber Daya Instalasi Farmasi RSUD Langsa ....................................... 38
2.7 Kerangka Teori ...........................................................................................39
x
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
xi
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
xii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR SINGKATAN
xiv
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
(Presiden RI, 2009). Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien
merupakan salah satu revenue centre utama, mengingat lebih dari 90% pelayanan
kimia, bahan radiologi, bahan medis habis pakai, alat kesehatan dan gas medik)
dan 50% dari seluruh pemasukan rumah sakit berasal dari pengelolaan perbekalan
farmasi, sehingga jika masalah perbekalan farmasi tidak dikelola secara cermat
dan penuh tanggung jawab maka dapat diprediksi bahwa pendapatan rumah sakit
Salah satu sumber penting dalam pelayanan pasien adalah obat. Obat
kesehatan, obat merupakan bagian hubungan antara pasien dan sarana pelayanan
kesehatan, karena tersedia atau tidaknya obat di sarana pelayanan kesehatan akan
memberikan dampak positif atau negatif terhadap mutu pelayanan (Quick et al.,
1997).
1
Universitas Sumatera Utara
Manajemen obat yang baik merupakan salah satu aspek yang berpengaruh
pada pelayanan kefarmasian di rumah sakit (Depkes RI, 2005) dan merupakan
aspek penting untuk meningkatkan mutu pelayanan farmasi rumah sakit (Depkes
RI, 2002). Tujuan manajemen obat adalah tersedianya obat setiap saat dibutuhkan
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis pakai dan
dan pengadaan, pendistribusian, dan penggunaan, yang saling terkait satu sama
berfungsi secara optimal. Tahapan yang saling terkait dalam siklus manajemen
obat tersebut diperlukan suatu sistem suplai yang terorganisir agar kegiatan
berjalan baik dan saling mendukung, sehingga ketersediaan obat dapat terjamin
efisiennya sistem suplai dan penggunaan obat yang ada, mempengaruhi kinerja
rumah sakit baik secara medik, ekonomi dan sosial serta akan mengurangi
2
Universitas Sumatera Utara
negatif, bagi kegiatan pelayanan kefarmasian dalam penyediaan pelayanan
kesehatan secara keseluruhan, baik secara medik, sosial maupun secara ekonomi
pengelolaan obat di salah satu instalasi farmasi rumah sakit di Indonesia diperoleh
bahwa pengelolaan obat yang belum efisien. Penelitian Wati (2013) juga
obat yang belum sesuai dengan standar. Ihsan, dkk., (2014) yang melakukan
Rumah sakit umum daerah Langsa merupakan rumah sakit non pendidikan
milik pemerintah kota Langsa yang merupakan rumah sakit kelas B. Rumah sakit
umum daerah Langsa didukung oleh unit instalasi farmasi yang bertanggung
ketersediaan obat dan alat kesehatan di RSUD Langsa. Sebagai rumah sakit yang
dampak negatif terhadap rumah sakit dan berpengaruh terhadap peran rumah sakit
3
Universitas Sumatera Utara
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan
a. apakah pemilihan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa sudah sesuai dengan
standar?
dengan standar?
1.3 Hipotesis
penelitian ini adalah pengelolaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa belum
a. pemilihan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa belum sesuai dengan standar.
4
Universitas Sumatera Utara
b. perencanaan dan pengadaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa belum
standar.
d. penggunaan obat yang diresepkan instalasi farmasi RSUD Langsa belum sesuai
dengan standar.
daerah Langsa. Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi:
a. penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi bagi RSUD Langsa
dalam rangka penentuan arah kebijakan dan perbaikan dalam hal manajemen
pengelolaan obat.
5
Universitas Sumatera Utara
b. bahan masukan bagi RSUD Langsa dalam pengelolaan obat secara efektif dan
efisien.
Manajemen obat di rumah sakit merupakan salah satu unsur penting dalam
memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit baik secara medis maupun
secara ekonomis. Siklus manajemen obat mencakup empat tahap yaitu selection
tahap dalam siklus manajemen obat saling terkait, sehingga harus dikelola dengan
dan evaluasi (monev). Untuk mengukur pencapaian standar yang telah ditetapkan
diperlukan indikator, suatu alat/tolok ukur yang hasil menunjuk pada ukuran
kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan. Makin sesuai yang diukur
dengan indikatornya, makin sesuai pula hasil suatu pekerjaan dengan standarnya.
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Kerangka
6
Universitas Sumatera Utara
Variabel bebas Variabel terikat Parameter
18 bulan
0,2-48%
− Persentase obat yang
diserahkan = 76-100%
− Persentase obat yang dilabeli
7
Universitas Sumatera Utara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
8
Universitas Sumatera Utara
iv. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan dalam rumah sakit umum
a. rumah sakit umum diklasifikasikan menjadi 4 yaitu, rumah sakit umum kelas
b. rumah sakit khusus diklasifikasikan menjadi 3 yaitu, rumah sakit khusus kelas
Farmasi dan Terapi (TFT) yang merupakan unit kerja dalam memberikan
di rumah sakit yang anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili semua
spesialisasi yang ada di rumah sakit, apoteker instalasi farmasi, serta tenaga
kesehatan lainnya apabila diperlukan. Tim farmasi dan terapi harus dapat
membina hubungan kerja dengan komite lain di dalam rumah sakit yang
9
Universitas Sumatera Utara
Ketua TFT dapat diketuai oleh seorang dokter atau seorang apoteker,
apabila diketuai oleh dokter maka sekretarisnya adalah apoteker, namun apabila
diketuai oleh apoteker, maka sekretarisnya adalah dokter. Tim farmasi dan terapi
harus mengadakan rapat secara teratur, minimal 2 (dua) bulan sekali dan untuk
rumah sakit besar rapat diadakan sekali dalam satu bulan. Tim farmasi dan terapi
dapat mengundang pakar dari dalam maupun dari luar rumah sakit yang dapat
RI, 2016).
b. melakukan seleksi dan evaluasi obat yang akan masuk dalam formularium
rumah sakit.
10
Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Tugas dan Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
ii. melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
kesehatan dan bahan medis habis pakai guna memaksimalkan efek terapi dan
kefarmasian.
Fungsi instalasi farmasi rumah sakit dapat dibagi menjadi dua bagian
utama yaitu pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai dan pelayanan farmasi klinis. Adapun sub fungsi masing-masing yaitu:
i. pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai,
antara lain:
11
Universitas Sumatera Utara
a) memilih sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
c) mengadakan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
berlaku.
e) menerima sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
f) menyimpan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
12
Universitas Sumatera Utara
m) mengendalikan persediaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan
e) konseling.
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai,
pelayanan farmasi klinis dan manajemen mutu yang bersifat dinamis dapat
13
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Sumber Daya Manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit
yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran
dan tujuan instalasi farmasi rumah sakit. Ketersediaan jumlah tenaga apoteker dan
klasifikasi dan perizinan rumah sakit yang ditetapkan oleh menteri (Kemenkes RI,
2016).
berdasarkan beban kerja pada pelayanan kefarmasian di rawat inap yang meliputi
rawat jalan yang meliputi pelayanan farmasi menajerial dan pelayanan farmasi
obat dan konseling, idealnya dibutuhkan tenaga apoteker dengan rasio 1 apoteker
tentang klasifikasi dan perizinan rumah sakit, jumlah tenaga kefarmasian untuk
Tabel 2.1 Daftar tenaga kefarmasian minimal di berbagai klasifikasi rumah sakit
umum
Tenaga Klasifikasi Kelas Rumah Sakit Umum
Kefarmasian A B C D
Apoteker dan 1 apoteker 1 apoteker 1 apoteker 1 apoteker
TTK sebagai sebagai sebagai sebagai
kepala IFRS kepala IFRS kepala IFRS kepala IFRS
14
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 (Sambungan)
Tenaga Klasifikasi Kelas Rumah Sakit Umum
Kefarmasian A B C D
Apoteker dan 5 apoteker 4 apoteker 2 apoteker 1 apoteker
TTK dirawat jalan dirawat jalan dirawat jalan dirawat inap
dibantu 10 dibantu 8 dibantu 4 dan rawat
TTK TTK TTK jalan dibantu
2 TTK
5 apoteker 4 apoteker 4 apoteker
dirawat inap dirawat inap dirawat inap
dibantu 10 dibantu 8 dibantu 8
TTK TTK TTK
1 apoteker di 1 apoteker di
IGD dibantu IGD dibantu
2 TTK 2 TTK
1 apoteker di 1 apoteker di
ICU dibantu ICU dibantu
2 TTK 2 TTK
1 apoteker 1 apoteker 1 apoteker 1 apoteker
sebagai sebagai sebagai sebagai
koordinator koordinator koordinator koordinator
penerimaan penerimaan penerimaan penerimaan
dan distribusi dan distribusi dan dan
distribusi, distribusi,
serta serta
produksi produksi
1 apoteker 1 apoteker
sebagai sebagai
koordinator koordinator
produksi produksi
Total jumlah 15 apoteker 13 apoteker 8 apoteker 3 apoteker
apoteker dan dan 24 TTK dan 20 TTK dan 12 TTK dan 2 TTK
TTK minimum
merupakan suatu siklus yang saling terkait, pada dasarnya terdiri dari empat
fungsi dasar yaitu seleksi, perencanaan dan pengadaan, distribusi dan penggunaan.
Instalasi farmasi rumah sakit merupakan satu-satunya unit di rumah sakit yang
15
Universitas Sumatera Utara
yang berkaitan dengan obat atau perbekalan kesehatan yang digunakan dirumah
sakit (Quick et al., 1997). Siklus manajemen obat didukung oleh faktor-faktor
Manajemen obat di rumah sakit merupakan salah satu unsur penting dalam
memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit baik secara medis maupun
secara ekonomis. Tujuan manajemen obat di rumah sakit adalah agar obat yang
diperlukan tersedia setiap saat dibutuhkan, dalam jumlah yang cukup, mutu yang
terjamin dan harga yang terjangkau untuk mendukung pelayanan yang bermutu
manajemen obat yang baik harus didukung oleh keempat faktor tersebut sehingga
16
Universitas Sumatera Utara
pengelolaan obat dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Siklus pengelolaan
obat tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1 (Quick et al., 1997).
Seleksi/Perencanaan
Dukungan manajemen:
- organisasi Pengadaan
Penggunaan - ketersediaan pendanaan
- pengelolaan informasi
- pengembangan sumber daya
manusia
Distribusi
mengelola tahap-tahap dan kegiatan tersebut agar dapat berjalan dengan baik dan
saling mengisi sehingga dapat tercapai tujuan pengelolaan obat yang efektif dan
efisien agar obat yang diperlukan oleh dokter selalu tersedia setiap saat
dibutuhkan dalam jumlah cukup dan mutu terjamin untuk mendukung pelayanan
dan pengadaan, pendistribusian, dan penggunaan yang saling terkait satu sama
mengakibatkan tidak efisiennya sistem suplai dan penggunaan obat yang ada
17
Universitas Sumatera Utara
Ketidakefisienan dan ketidaklancaran pengelolaan obat dapat memberi
dampak negatif terhadap rumah sakit, maka perlu dilakukan penelusuran terhadap
rumah sakit (2008), Pudjaningsih (1996), dan WHO (1993) menetapkan beberapa
kebutuhan dan prioritas dari perbaikan sistem mutu dan keselamatan penggunaan
18
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 (Sambungan)
Tahapan Indikator Tujuan Nilai
Pembanding
Perencanaan 1. Frekuensi pengadaan Untuk mengetahui Rendah <
dan tiap item obat berapa kali obat- 12x/tahun,
Pengadaan pertahun obat tersebut Sedang 12 -
(Pudjaningsih, 1996) dipesan dalam 24x/tahun
setahun Tinggi >
24x/tahun
(Pudjaningsih,
1996)
Distribusi 1.Ketepatan data Untuk mengetahui 100%
jumlah obat pada ketelitian petugas (Pudjaningsih,
kartu stok gudang 1996)
(Pudjaningsih, 1996)
2. Persentase dan nilai Untuk mengetahui ≤ 0,2%
obat yang besarnya kerugian (Pudjaningsih,
kadaluwarsa dan rumah sakit 1996)
atau rusak
(Pudjaningsih, 1996)
3. Persentase stok mati Untuk mengetahui 0%
(Pudjaningsih, 1996) sediaan yang tidak (Pudjaningsih,
mengalami 1996)
pergerakan
4.Tingkat ketersediaan Untuk mengetahui 12-18 bulan
obat (Depkes RI, kisaran kecukupan (Depkes RI,
2008) obat 2008)
Penggunaan 1. Jumlah item obat per Untuk mengukur 1,8-2,2
lembar resep derajat polifarmasi (WHO,1993)
(WHO,1993)
2. Persentase obat Untuk mengukur 82%-94%
dengan nama kecendrungan (WHO, 1993)
generik untuk meresepkan
(WHO,1993) obat generik
3. Persentase peresepan Untuk mengukur < 22,70%
obat antibiotika penggunaan (WHO, 1993)
(WHO, 1993) antibiotika
4. Persentase peresepan Untuk mengukur
injeksi (WHO, penggunaan injeksi 0,2%-48%
1993) (WHO, 1993)
5. Persentase obat yang Untuk mengukur 100%
diresepkan sesuai tingkat kepatuhan (Kemenkes RI,
formularium rumah dokter terhadap 2008)
sakit (WHO, 1993) standar obat di
rumah sakit
19
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 (Sambungan)
Penggunaan 6. Rerata Untuk mengetahui ≤ 60 menit
kecepatan tingkat kecepatan (racikan), ≤ 30
pelayanan pelayanan farmasi menit (sediaan
resep rumah sakit jadi) (Menkes RI,
(Kemenkes RI, 2008)
2008)
7. Persentase obat Untuk mengetahui 76-100%
yang dapat cakupan (Pudjaningsih,
diserahkan pelayanan rumah 1996)
(Pudjaningsih, sakit
1996)
8. Persentase obat Untuk besarnya 100% (WHO,
yang dilabeli kelengkapan 1993)
dengan informasi pokok
lengkap yang harus ditulis
(WHO, 1993) pada etiket
2.4.1 Pemilihan
Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam tim farmasi
dan terapi untuk menetapkan kualitas dan efektifitas. Pemilihan sediaan farmasi
berdasarkan kepada:
b. standar sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang telah
ditetapkan.
c. pola penyakit.
20
Universitas Sumatera Utara
f. mutu.
g. harga.
h. ketersediaan di pasaran.
nilai terapeutik, mengurangi jumlah jenis obat dan meningkatkan efisiensi obat
yang tersedia (Quick et al., 2012). Formularium yang telah disusun digunakan
sebagai sumber informasi obat yang digunakan untuk terapi di rumah sakit.
Basry Kandangan menunjukkan bahwa hasil evaluasi pada tahap pemilihan, yaitu
menunjukkan hasil bahwa pengelolaan obat belum efisien pada tahap selection.
pengelolaan obat ada yang belum sesuai standar salah satunya tahap seleksi, yaitu
21
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Perencanaan
jumlah dan periode pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya
kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien. Perencanaan dilakukan
b. penetapan prioritas;
c. sisa persediaan;
perencanaan kebutuhan obat adalah salah satu aspek penting dan menentukan
2.4.3 Pengadaan
22
Universitas Sumatera Utara
jumlah dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar
a. pembelian
dan bahan medis habis pakai harus sesuai dengan ketentuan pengadaan barang
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai; persyaratan pemasok;
penentuan waktu pengadaan dan kedatangan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
bahan medis habis pakai; dan pemantauan pengadaan sesuai jenis, jumlah dan
waktu.
apabila sediaan farmasi tidak tersedia di pasaran; sediaan farmasi lebih murah jika
yang lebih kecil/repacking; sediaan farmasi untuk penelitian; dan sediaan farmasi
yang tidak stabil dalam penyimpanan/harus dibuat baru (Kemenkes RI, 2016).
c. sumbangan/dropping/hibah
23
Universitas Sumatera Utara
Instalasi farmasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap
penerimaan dan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
layak, mutu baik, pengiriman obat terjamin tepat waktu, proses berjalan lancar
dan tidak memerlukan waktu dan tenaga yang berlebihan (Quick et al., 1997).
sakit akan mendapatkan obat dengan harga, mutu, dan jumlah yang sesuai dengan
kebutuhan. Rumah sakit tidak dapat memenuhi kebutuhan pasien jika persediaan
obat tidak ada, hal ini dapat berakibat fatal bagi pasien dan akan mengurangi
pengadaan barang dan jasa pemerintah untuk menentukan sistem pengadaan perlu
mempertimbangkan jenis, sifat, dan nilai barang/jasa yang ada. Prinsip pengadaan
barang/jasa yaitu:
menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang
dipertanggungjawabkan.
ii. efektif: berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang
iii. terbuka dan bersaing: pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia
24
Universitas Sumatera Utara
yang sehat diantara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi
transparan.
umumnya.
vi. akuntabel: harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi
pengadaan barang/jasa.
a. pelelangan umum
dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa
dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas
dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya. Semua
umum.
25
Universitas Sumatera Utara
b. pelelangan terbatas
secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi dengan
c. pemilihan langsung
telah lulus prakualifikasi serta dilakukan negosiasi baik teknis maupun biaya serta
d. penunjukan langsung
teknis maupun biaya sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat
yang diadakan, menentukan jumlah item yang akan dibeli, menyesuaikan dengan
26
Universitas Sumatera Utara
pembayaran serta menyimpan yang kemudian didistribusikan. Agar proses
pengadaan berjalan lancar dan dengan manjemen yang baik memerlukan struktur
adanya prosedur yang jelas dan terdokumentasi didasarkan pada pedoman baku,
sistem informasi yang baik, didukung oleh dana dan fasilitas yang memadai
(Indriawati, 2001).
a. metode pengadaan yang dipilih, bila tidak teliti dapat menjadikan biaya tinggi.
b. penyusunan dan persyaratan kontrak kerja, sangat penting untuk menjaga agar
pihak.
c. order pemesanan, agar barang sesuai macam, waktu dan tempat (Utomo,
2006).
(2013) menunjukkan hasil bahwa frekuensi pengadaan tiap item obat per tahun
masih rendah (1 kali dalam setahun). Penelitian yang dilakukan oleh Mahdiyani,
Penelitian terkait lainnya oleh Ihsan, dkk., (2014) juga menunjukkan bahwa
Kabupaten Muna Tahun 2014 pada tahap pengadaan belum memenuhi standar
yang ada. Frekuensi pengadaan obat tertinggi selama tahun 2014 di IFRSUD
Kabupaten Muna adalah 4 (empat) kali dan terendah adalah 1 (satu) kali.
27
Universitas Sumatera Utara
2.4.4 Penyimpanan
cara menempatkan obat-obatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari
Ada beberapa macam sistem penataan obat, antara lain yang pertama
sistem First In First Out (FIFO) yaitu obat yang datang kemudian diletakkan
dibelakang obat yang terdahulu, yang kedua Last in First Out (LIFO) yaitu obat
yang datang kemudian diletakkan didepan obat yang datang dahulu, yang ketiga
28
Universitas Sumatera Utara
First Expired First Out (FEFO) yaitu obat yang mempunyai tanggal kadaluarsa
kemudian. Ada beberapa cara penempatan obat yang dapat dilakukan yaitu
menurut jenisnya, menurut abjad, menurut pabrik yang memproduksi dan menurut
2.4.5 Distribusi
pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap
menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah dan ketepatan waktu. Rumah sakit harus
dan pengendalian sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai di
pakai untuk persediaan di ruang rawat disiapkan dan dikelola oleh instalasi
farmasi. Sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang
disimpan di ruang rawat harus dalam jenis dan jumlah yang sangat dibutuhkan.
Dalam kondisi sementara dimana tidak ada petugas farmasi yang mengelola
jawab ruangan. Setiap hari dilakukan serah terima kembali pengelolaan obat floor
stock kepada petugas farmasi dari penanggung jawab ruangan. Apoteker harus
29
Universitas Sumatera Utara
menyediakan informasi, peringatan dan kemungkinan interaksi obat pada setiap
pakai berdasarkan resep perorangan/pasien rawat jalan dan rawat inap melalui
instalasi farmasi.
pakai berdasarkan resep perorangan yang disiapkan dalam unit dosis tunggal atau
ganda, untuk penggunaan satu kali dosis/pasien. Sistem unit dosis ini digunakan
d. sistem kombinasi
habis pakai bagi pasien rawat inap dengan menggunakan kombinasi a + b atau b +
c atau a + c.
pasien rawat inap mengingat dengan sistem ini tingkat kesalahan pemberian obat
30
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan studi pustaka, pengelolaan obat pada tahap distribusi belum
(2014) tentang evaluasi distribusi dan penggunaan obat pasien rawat jalan di
rumah sakit ortopedi menunjukkan hasil bahwa belum semua pengelolaan obat
pada tahap distribusi dan penggunaan dikelola secara efisien, seperti kecocokan
jumlah obat dengan kartu stok, masih terdapatnya stok mati dan lain sebagainya.
obat di RSUD Kota Kendari pada era JKN-BPJS tahun 2015 belum efisien dengan
hasil persentase nilai obat kadaluwarsa sebesar 0,47% dan persentase stok mati
sebesar 2,27%. Penelitian oleh Oktaviani (2018) juga menunjukkan hasil bahwa
yaitu ketepatan data jumlah obat pada kartu stok (73%), persentase obat yang
pelayanan obat oleh farmasi serta penggunaan obat oleh pasien. Seorang dokter
diharapkan membuat peresepan yang rasional, dengan indikasi yang tepat, dosis
mempertimbangkan harga dan kewajarannya. Obat yang ditulis dokter pada resep
umum pelayanan kesehatan, adalah penggunaan obat yang rasional (Quick et al.,
1997). Penggunaan obat dikatakan rasional apabila memenuhi kriteria obat yang
31
Universitas Sumatera Utara
benar, indikasi yang tepat, obat yang manjur, aman, cocok untuk pasien dan biaya
terjangkau, ketepatan dosis, cara pemakaian dan lama yang sesuai, sesuai dengan
kondisi pasien, tepat pelayanan, serta ditaati oleh pasien. Manfaat penggunaan
2004):
c. cara pemakaian obat, dosis, frekuensi dan lama pemberian tidak sesuai.
d. pemakaian obat dengan potensi toksisitas atau efek samping lebih besar
padahal obat lain yang sama kemanfaatan (efficacy) dengan potensi efek
tanpa mengacu pada sumber informasi ilmiah yang layak, atau hanya didasari
32
Universitas Sumatera Utara
Parameter lain dipublikasikan oleh WHO (1993) yang menyebutkan
negatif yaitu diantaranya dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan baik
kemungkinan efek samping obat, dan dampak psikososial (Quick et al., 1997).
mengenai analisis kesesuaian resep untuk pasien JKN dengan indikator peresepan
WHO 1993 pada instalasi farmasi rawat jalan di RSUD Ungaran, menunjukkan
hasil dari semua perhitungan terhadap indikator peresepan WHO 1993 belum ada
yang sesuai dengan nilai estimasi terbaik dari WHO. Hal ini menandakan bahwa
pelayanan kesehatan yang benar, aman dan efektif. Penelitian terkait lainnya oleh
Yuliastuti, dkk., (2012) juga menunjukkan hasil bahwa penggunaan obat pada
memenuhi standar yaitu belum efisien pada jumlah item per lembar resep rawat
inap di tahun 2007 dan 2008, peresepan obat generik rawat inap dan jalan,
33
Universitas Sumatera Utara
peresepan antibiotika di rawat jalan, peresepan injeksi di rawat inap dan jalan,
peresepan sesuai standar obat rumah sakit di rawat inap dan jalan serta persentase
Rumah sakit umum daerah Langsa merupakan rumah sakit rujukan atas
mata rantai sistem kesehatan di wilayah pemerintah Kota Langsa dan sekitar.
tanggal 20 Mei 1997. Berdasarkan keputusan Presiden No. 40 tahun 2001 berubah
status menjadi RSUD Langsa dan telah juga ditetapkan dengan qanun pemerintah
Kota Langsa No. 5 Tahun 2005 dan qanun pemerintah Kota Langsa No. 10 Tahun
2009 tentang rincian pokok dan fungsi pemangku jabatan struktural dilingkungan
RSUD Langsa.
adalah rumah sakit daerah Kota Langsa menjadi rumah sakit unggulan di
34
Universitas Sumatera Utara
a. meningkatkan kualitas pelayanan individu yang prima secara
berkesinambungan.
terkoordinasi.
serta dapat menjamin pelaksanaan penerapan bisnis yang sehat dengan tetap
35
Universitas Sumatera Utara
2.5.4 Susunan Organisasi
a. direktur.
b. sekretariat.
d. bidang keperawatan.
g. instalasi.
i. dewan penyantun.
dalam rumah sakit baik untuk pasien rawat inap, rawat jalan maupun untuk semua
Instalasi farmasi RSUD Langsa terbagi menjadi tiga yaitu depo farmasi
rawat inap, depo farmasi rawat jalan dan depo farmasi instalasi gawat darurat
36
Universitas Sumatera Utara
a. melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal.
a. pengelolaan perbekalan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai.
37
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Struktur organisasi instalasi farmasi RSUD Langsa
38
Universitas Sumatera Utara
2.7 Kerangka Teori Penelitian
merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan kegiatan pelayanan
farmasi klinik. Sistem pengelolaan obat harus dipandang sebagai bagian dari
cara yang dapat memberikan pelayanan berdasarkan aspek keamanan, efektif dan
ekonomis dalam penggunaan obat, sehingga dapat dicapai efektifitas dan efisiensi
pengelolaan obat. Pengelolaan obat di rumah sakit ini dibentuk di suatu instalasi
dengan yang lain. Ketidakterkaitan antara masing-masing tahap dan kegiatan akan
berakibat sistem suplai dan penggunaan obat tidak efisien, mempengaruhi kinerja
rumah sakit baik secara medik, ekonomi dan sosial, dan sekaligus mengurangi
39
Universitas Sumatera Utara
Pelayanan Farmasi
Klinik
Sistem Instalasi Farmasi
Pelayanan RS Rumah Sakit
Pengelolaan Obat
Ya Efektif dan
Saling Keterkaitan
Efisien
Tidak
40
Universitas Sumatera Utara
BAB III
METODE PENELITIAN
3.3 Populasi
serta data-data yang diamati dan diperoleh pada saat penelitian ini berlangsung di
retrospektif dilakukan pada indikator kesesuaian item obat yang tersedia dengan
formularium nasional, frekuensi pengadaan tiap item obat per tahun, persentase
dan nilai obat kadaluarsa dan atau rusak, persentase stok mati dan tingkat
41
Universitas Sumatera Utara
indikator ketepatan data jumlah obat pada kartu stok, jumlah item obat per lembar
resep, persentase obat dengan nama generik, persentase peresepan obat antibiotika
dan injeksi, persentase obat yang diresepkan sesuai formularium rumah sakit,
rerata kecepatan pelayanan resep, persentase obat yang dapat diserahkan dan
a. Wawancara
informasi yang sesuai dengan topik penelitian. Disajikan secara tekstual dalam
b. Pengamatan
standar penyimpanan obat, ketepatan data kartu stok, waktu pelayanan resep dan
lembar resep pasien di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Langsa.
sebelumnya yaitu 2018 antara lain laporan pemasukan dan pengeluaran obat,
laporan pengadaan obat, laporan obat rusak dan atau kadaluarsa yang ada di
seperti berikut:
42
Universitas Sumatera Utara
Mengurus surat permohonan izin dari Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sumatera Utara untuk melakukan penelitian di RSUD Langsa.
Mengurus surat persetujuan dari Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Langsa
untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data
Pengumpulan dan pencatatan data yang termaksud dalam data yang akan
diambil di instalasi farmasi RSUD Langsa dalam bulan Juli-Oktober 2019 di
instalasi farmasi RSUD Langsa.
Melakukan pengambilan data langsung pada saat pelayanan resep oleh peneliti
di instalasi RSUD Langsa tersebut
diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu data kuantitatif dan data kualitatif.
Data kualitatif dianalisis dengan mengidentifikasi temuan yang ada dan hasilnya
disajikan dalam bentuk tabel. Data dihitung menggunakan microsoft office excel
tahun 2007 dan hasil perhitungan data yang didapatkan kemudian dianalisis
43
Universitas Sumatera Utara
3.7 Analisis Parameter
a. seleksi
Keterangan:
X : Jumlah obat yang sesuai dengan formularium Nasional
Y : Total jumlah obat
Nilai frekuensi pengadaan tiap item obat per tahun diperoleh melalui
pengumpulan data secara retrospektif dari laporan pengadaan tahun 2018. Total
item obat disampling secara acak sebesar 30% dari keseluruhan total obat yang
c. distribusi
yang tertera pada kartu stok dengan jumlah fisik obat yang sebenarnya. Kartu stok
obat yang diambil sebagai sampel sebanyak 10% dari total kartu stok obat yang
Keterangan:
X: Jumlah item obat yang sesuai dengan kartu stock
Y: Jumlah kartu stock yang diambil
44
Universitas Sumatera Utara
ii. persentase dan nilai obat yang kadaluarsa dan atau rusak
Keterangan:
X : Total nilai obat kadaluarsa dalam setahun
Y : Nilai stok opname
Keterangan:
X : Jumlah jenis obat yang tidak mengalami transaksi (selama 3 bulan)
Y : Jumlah item obat yang ada stoknya
Data diambil secara retrospektif berupa data stok obat per Desember 2018
Keterangan:
X: Jumlah stock obat
Y: Jumlah pemakaian obat selama 1 tahun
Z: Rerata pemakaian obat perbulan
d. penggunaan (Use)
yang terdapat pada lembar pasien rawat jalan dan rawat inap selama 1 bulan di
dengan tingkat kepercayaan 95% yaitu didapatkan sampel sebanyak 344 resep
45
Universitas Sumatera Utara
rawat inap dari 3.280 populasi dan sebanyak 362 lembar resep rawat jalan dari
6.240 populasi (Yuliastuti, dkk., 2013). Adapun parameter yang dihitung pada
Rumus: B/A
Keterangan:
A =Jumlah resep yang disurvey
B = Jumlah total produk obat yang diresepkan
Keterangan:
X : Jumlah obat dalam nama generik
Y : Jumlah total obat yang diresepkan
Keterangan:
X : Jumlah resep yang mengandung satu atau lebih antibiotika
Y : Jumlah total resep
Keterangan:
X : Jumlah pasien yang menerima suntikan injeksi
Y : Jumlah total resep
Keterangan:
X: Jumlah obat yang sesuai dengan formularium
Y : Total jumlah obat yang diresepkan
46
Universitas Sumatera Utara
vi. rerata kecepatan pelayanan resep (racikan dan non racikan)
waktu pelayanan resep yang masuk selama satu bulan di apotek rawat jalan. Data
sampel sebanyak 366 resep sedangkan resep non racikan diambil berdasarkan
Keterangan:
X : Waktu selesai diterima pasien
Y : Waktu resep masuk ke apotek
Z : Total jumlah resep
Keterangan:
X : Total jumlah item obat yang diserahkan kepada pasien
Y : Jumlah item obat yang diresepkan
Keterangan:
X : Jumlah obat dengan etiket yang dilabeli dengan nama pasien dan
aturan pakai
Y : Jumlah total obat yang diberikan kepada pasien.
Definsi operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1.
47
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3.1 Definisi operasional penelitian
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
1 Capaian Pencapaian Parameter- Membandingkan Sesuai atau Nominal
pengelolaan serangkaian kegiatan parameter capaian tidak
obat yang terdiri pemilihan, dalam Depkes pengelolaan obat sesuai
perencanaan dan RI (2008), dengan parameter
pengadaan, distribusi Pudjaningsih dalam standar
dan penggunaan obat (1996) dan
yang diresepkan WHO (1993)
menggunakan
parameter yang
tercantum dalam
standar sebagai
indikator
2 Pemilihan Proses penentuan obat Parameter Melihat Sesuai atau Nominal
yang akan dalam Depkes kesesuaian tidak
disediakan/diadakan RI (2008) variabel sesuai
pemilihan
terhadap
parameter dalam
standar
pengelolaan obat
3 Perencanaan Proses perencanaan Parameter Melihat Sesuai atau Nominal
dan dan pengadaan obat di dalam kesesuaian tidak
pengadaan instalasi farmasi RSUD Pudjaningsih variabel sesuai
Langsa (1996) perencanaan dan
pengadaan
terhadap
parameter dalam
standar
pengelolaan obat
4 Distribusi Proses penyimpanan Parameter Melihat Sesuai atau Nominal
dan pendistribusian dalam Depkes kesesuaian tidak
obat di instalasi farmasi RI (2008) dan variabel distribusi sesuai
RSUD Langsa Pudjaningsih terhadap
(1996) parameter dalam
standar
pengelolaan obat
48
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
atas pengelolaan obat pada RSUD Langsa yaitu mulai dari tahap pemilihan,
Data kualitatif dalam penelitian ini diperoleh melalui hasil observasi dan
49
Universitas Sumatera Utara
Table 4.1 (Sambungan)
Jenis
Informan Pendidikan Jabatan
Kelamin
Koordinator Instalasi
3 Perempuan Apoteker
Farmasi Rawat Inap
Koordinator Instalasi
4 Laki-laki Apoteker
Farmasi Rawat Jalan
penggunaan obat yang lebih rasional, dan harga yang lebih rendah (Satibi, 2014).
Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam Tim Farmasi dan
Terapi (TFT) untuk menetapkan kualitas dan efektifitas serta jaminan obat yang
baik. Adapun salah satu fungsi TFT yaitu mengembangkan formularium rumah
penggunaan obat di rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal
JKN. Dalam hal obat yang diperlukan tidak tercantum dalam formularium
nasional maka dapat digunakan obat lain secara terbatas berdasarkan persetujuan
komite medik atau direktur utama rumah sakit setempat. Formularium nasional
disusun dengan tujuan untuk menjadi acuan bagi fasilitas pelayanan kesehatan
selalu diperbaharui secara terus-menerus yang berisi sediaan obat yang terpilih
50
Universitas Sumatera Utara
dan informasi tambahan lainnya yang merefleksikan pertimbangan klinik
obat yang disepakati oleh staf medis dan disusun oleh TFT yang ditetapkan oleh
pimpinan rumah sakit (Aritonang, 2017). Hal ini sesuai dengan hasil wawancara
diketahui bahwa kebijakan yang diambil oleh RSUD Langsa dalam hal pemilihan
permintaan atau usulan dari dokter spesialis. Jika ada obat-obat yang tidak
proses penyembuhan penyakit dan dipakai oleh dokter untuk pasien maka obat
lain-lain.
51
Universitas Sumatera Utara
formularium nasional atas dasar usulan/permintaan dari dokter spesialis di RSUD
Langsa. Formularium RSUD Langsa disusun oleh TFT yang diketuai oleh dokter
kesesuaian item obat yang tersedia dengan formularium nasional yang bertujuan
sesuai dengan formularium nasional dengan total jumlah obat dalam formularium
Tabel 4.2 Kesesuaian item obat yang tersedia dengan formularium nasional
Keterangan Nilai (item) Nilai Standar
Jumlah item obat yang 585 -
sesuai dengan formularium
Nasional
Jumlah item obat 662 -
formularium RSUD
Langsa
Kesesuaian item obat yang 88,37% ≥ 80%
tersedia dengan
formularium nasional (%)
sebesar 88,37%.
formularium nasional sehingga sebagian besar obat yang disediakan dan diberikan
kepada pasien sudah sesuai dengan obat-obat yang ada tertera dalam formularium
Nasional.
52
Universitas Sumatera Utara
Formularium rumah sakit yang disusun mengacu pada formularium
dalam hal di rumah sakit, obat yang dibutuhkan tidak tercantum dalam
mendapat persetujuan kepala atau direktur rumah sakit setempat (Menkes, 2018).
Atas dasar dapat digunakannya obat di luar formularium Nasional tersebut maka
kemudian rumah sakit menyusun formularium rumah sakit yang dapat dijadikan
Terjaminnya item dan jumlah obat yang mencukupi menjadi salah satu aspek
terpenting dari rumah sakit untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik.
Disamping itu, karena besarnya biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit pada
pengelolaan obat terutama pada tahap perencanaan dan pengadaan, maka perlu
dan menentukan strategi, tanggung jawab dan sumber yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan. Perencanaan sediaan farmasi adalah salah satu fungsi yang
perencanaan sediaan farmasi adalah untuk menetapkan jenis dan jumlah sediaan
farmasi sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah
53
Universitas Sumatera Utara
sakit. Perencanaan sediaan farmasi merupakan proses kegiatan dalam pemilihan
jenis, jumlah dan harga sediaan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan
epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Hal ini sesuai dengan
mempertimbangkan sisa persediaan yang ada dan usulan permintaan obat dari
dokter. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 Tahun
2014 bahwa perencanaan obat dilakukan untuk menghindari kekosongan dan atau
digunakan secara efektif dan efisien (Nesi, 2018). Apabila terjadi kelemahan
54
Universitas Sumatera Utara
sistem pengelolaan obat, misalnya terjadi pemborosan anggaran, banyaknya obat
(Pramukantoro, 2018).
yang rasional. Kunci utama dari kajian farmakoekonomi adalah efisiensi dengan
Effectiveness Analysis (CEA) adalah salah satu bentuk evaluasi ekonomi yang
Interventions that are Cost Effective). Hasil evaluasi ini diharapkan dapat dipakai
nasional. Evaluasi ekonomi lainnnya yang dapat digunakan adalah Cost Benefit
Analysis (CBA). Cost Benefit Analysis merupakan evaluasi ekonomi yang paling
kompleks karena mencoba mengukur biaya dan efektivitas dalam bentuk moneter,
juga dapat digunakan untuk penetapan perencanaan obat dengan melihat rasio
55
Universitas Sumatera Utara
manajemen obat di RS saat ini adalah kurangnya penelitian dan kajian
dibuat oleh IFRS. Menurut informasi yang disampaikan oleh informan 1, metode
pengadaan obat yang selama ini dilakukan pada RSUD Langsa dilakukan secara
karena penyedia barang/jasa tidak perlu lagi datang ke Kantor Kelompok Kerja
Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) untuk melihat, mendaftar dan mengikuti
kepala instalasi farmasi rumah sakit dengan menggunakan surat pesanan kepada
Pengadaan obat di RSUD Langsa dilakukan oleh PPK dan PPTK dibawah
arahan dan petunjuk Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) RS. Pengadaannya sebisa
mungkin secara e-catalog, tetapi ada juga yang diluar e-catalog karena tersangkut
pembayaran atau stok barang kosong dari distributor, sehingga pengadaan
56
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dengan SP biasa ke distributor. Pengadaan dilakukan setiap sebulan
sekali, tetapi terkadang tidak bisa dipastikan juga karena menyesuaikan dengan
keuangan RS juga, sehingga bisa frekuensinya tidak tetap karena kondisi
pembayaran yang tidak stabil (Informan 1).
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan 1 tersebut, disimpulkan
Komitmen (PPK) dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dibawah arahan
Direktur. Hal ini sesuai dengan Perpres No. 72 tahun 2012 tentang pengadaan
hambatan saat di lapangan yaitu waktu tunggu pesanan membutuhkan waktu yang
lama dari distributor menuju ke rumah sakit, terjadi kekosongan stok obat yang
Langsa juga melakukan pemesanan dan pengadaan obat diluar e-catalog guna
kepada pasien.
frekuensi pengadaan tiap item obat per tahun (Pudjaningsih, 1996). Frekuensi
pengadaan obat adalah banyaknya pengadaan tiap jenis obat selama satu tahun.
57
Universitas Sumatera Utara
Nilai frekuensi pengadaan tiap item obat diperoleh melalui pengumpulan data
secara retrospektif dari dokumen pengadaan obat selama tahun 2018 yaitu
menghitung berapa kali satu item obat diadakan/dipesan selama tahun 2018. Total
640 item obat disampling secara acak sebesar 30% dengan jumlah sampel
sebanyak 192 item obat. Frekuensi pengadaan item obat per tahun dapat dilihat
2018 di IFRSUD Langsa adalah 24 (dua puluh empat) kali dan terendah adalah 1
(satu) kali. Pengadaan obat dikatakan rendah jika dilakukan dibawah 12 kali
dalam setahun, dikatakan sedang jika diadakan sebanyak 12 sampai 24 kali dalam
setahun dan dikatakan tinggi jika pengadaan obat dilakukan diatas 24 kali dalam
IFRSUD Langsa Tahun 2018 rerata masih rendah, dimana sebanyak 185 item obat
yang tergolong frekuensi pengadaan rendah dan 7 item obat yang frekuensi
item obat diadakan sebanyak 14 kali, 1 item obat sebanyak 22 kali dan 1 item obat
1 Satu Kali 50
2 Dua Kali 36
3 Tiga Kali 29
4 Empat Kali 17
5 Lima Kali 19
58
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.3 (Sambungan)
No Frekuensi Pengadaan Jumlah item Obat
6 Enam Kali 13
7 Tujuh Kali 4
8 Delapan Kali 7
9 Sembilan Kali 3
10 Sepuluh Kali 3
11 Sebelas Kali 4
rumah sakit lancar dan dapat menghindari penumpukan obat. Semakin banyak
jumlah barang yang disimpan di gudang maka fasilitas yang digunakan pun
semakin banyak, antara lain ruang penyimpanan yang lebih besar dan biaya
59
Universitas Sumatera Utara
semakin baik asal tidak mengganggu pelayanan. Oleh karena itu semakin sedikit
relatif kecil di rumah sakit dapat disebabkan karena aturan penggunaan yang tidak
2006).
dalam setahun. Pengadaan kedua obat ini cenderung tinggi dibandingkan obat
lainnya dikarenakan kebutuhan pemakaiannya yang tinggi. Hal ini sesuai dengan
hasil survey sepuluh besar penyakit tertinggi di RSUD Langsa yang menunjukkan
peringkat kesatu dan keempat di rawat inap, penyakit kulit dan jaringan subkutan
lainnya, bronkitis dan stroke masing-masing termasuk peringkat kedua, ketiga dan
bagi pasien dengan kategori lima besar penyakit tertinggi di RSUD Langsa.
cendo xitrol SM, tetanus texoid dan meptin inhalation masing-masing diadakan
sebanyak satu kali dan dua kali dalam setahun. Hal ini dikarenakan obat-obat
60
Universitas Sumatera Utara
Frekuensi pengadaan obat juga pernah diteliti oleh Mahdiyani, dkk.,
Muntilan pada tahun 2015 sebesar 4,16 kali dan 3,54 kali pada tahun 2016. Jika
dibandingkan dengan hasil penelitian, frekuensi pengadaan item obat per tahun di
4.5 Distribusi
sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diperlukan ke unit-unit disetiap bagian
farmasi rumah sakit termasuk kepada pasien (Satrianegara, 2018). Distribusi obat
terjadi kekosongan obat, banyaknya obat yang menumpuk akibat dari perencanaan
obat yang tidak sesuai serta banyaknya obat yang kadaluwarsa/rusak yang
disebabkan sistem distribusi yang kurang baik sehingga akan berdampak kepada
obat-obatan yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik
maupun kimia dan mutunya tetap terjamin (Soerjono, dkk., 2004). Proses
penyimpanan yang tidak sesuai, maka akan terjadi kerugian seperti mutu sediaan
farmasi tidak dapat terpelihara (tidak dapat mempertahankan mutu obat dari
61
Universitas Sumatera Utara
2014), potensi terjadinya penggunaan yang tidak bertanggung jawab, tidak
(Aditama, 2003).
bentuk sediaan obat, FIFO dan FEFO. Hal tersebut seperti salah satu poin yang
dikemukakan oleh Sheina, dkk., (2010) bahwa salah satu indikator penyimpanan
obat yaitu sistem penataan gudang farmasi menggunakan penataan gudang standar
dengan sistem penyimpanan FIFO dan FEFO. Obat yang disimpan pada gudang
farmasi diinspeksi secara berkala untuk menjaga kualitas obat dan diberikan label
pelayanan atau apotek rumah sakit, karena RSUD Langsa menggunakan sistem
satu pintu. Terdapat ruang penyimpanan obat yang terpisah dengan alat kesehatan,
hal ini agar obat-obatan tidak tercampur dengan alat kesehatan. Gudang memiliki
obat di instalasi farmasi RSUD Langsa dapat dilihat pada Lampiran 1 dan
Lampiran 2.
jumlah obat pada kartu stok, persentase dan nilai obat yang kadaluarsa dan atau
rusak, persentase stok mati dan tingkat ketersediaan obat. Hasil penelitian
62
Universitas Sumatera Utara
4.5.1 Ketepatan Data Jumlah Obat Pada Kartu Stok
Ketepatan data jumlah obat pada kartu stok dilakukan pada instalasi
farmasi rawat jalan dan rawat inap. Penilaian terhadap indikator ini bertujuan
untuk menilai ketepatan proses pencatatan obat yang ada di tempat penyimpanan
obat pada instalasi farmasi RSUD Langsa. Data diambil secara prospektif dengan
cara mencocokkan jumlah sediaan obat yang tertera pada kartu stok obat dengan
jumlah fisik obat yang ada. Kartu stok obat yang diambil sebagai sampel
sebanyak 10% dari total 266 kartu stok rawat jalan dan 457 kartu stok rawat inap
yaitu 27 kartu stok rawat jalan dan 46 kartu stok rawat inap. Hasil ketepatan data
jumlah obat pada kartu stok dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Berdasarkan Tabel 4.4, diketahui bahwa item sampel obat yang diambil
sudah sesuai 100% antara data jumlah obat di kartu stok terhadap jumlah fisik
obat yang sebenarnya. Hasil ini sudah sesuai dengan standar menurut
Pudjaningsih (1996) yaitu 100% ketepatan data jumlah obat pada kartu stok
RSUD Langsa sudah dikerjakan dengan baik dan optimal. Kondisi ini dapat
terjadi karena adanya mekanisme bagi setiap pegawai untuk melakukan kontrol
kesesuaian obat dengan kartu stok setiap hari atau minimal melakukan kontrol
63
Universitas Sumatera Utara
setiap barang datang maupun keluar. Seperti yang disampaikan informan sebagai
berikut:
logistik obat (Fera, dkk., 2017). Pengawasan obat pada instalasi farmasi rumah
sakit ada dua jenis pengawasan, yaitu pengawasan internal dan pengawasan
eksternal yang bertujuan untuk mengawasi pemasukan dan pengeluaran obat yang
instalasi farmasi salah satunya dengan melakukan stock opname dan pengisian
kartu stok obat. Pengawasan internal pada rumah sakit dilakukan oleh SPI (Satuan
sakit dilakukan oleh inspektorat dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dengan
tersedia dan sesuai antara jumlah dalam pencatatan dengan jumlah obat secara
fisik di instalasi farmasi (Susanto, dkk., 2017). Pencatatan stok yang tidak akurat
64
Universitas Sumatera Utara
akan menyebabkan kerancuan untuk melihat obat kurang atau berlebih.
Permasalahan ini terjadi karena pengelola obat tidak langsung mencatat pada saat
penerimaan dan pengeluaran obat (Chaira, dkk., 2016). Stock opname merupakan
kegiatan mencocokkan kondisi fisik obat dengan kartu stok (Yunita, dkk., 2016).
Stock opname dilakukan untuk mencari dan mengevaluasi stok yang akan atau
kadaluarsa, kerusakan obat, obat dengan kategori fast moving dan slow moving
4.5.2 Persentase dan Nilai Obat Yang Kadaluarsa dan atau Rusak
obat kadaluwarsa dan atau rusak dengan nilai stock opname obat dikalikan dengan
100%. Obat kadaluwarsa dilihat dari stok obat yang tanggal kadaluwarsanya
berakhir pada tahun 2018. Berdasarkan hasil pengamatan dokumen laporan obat
kadaluwarsa instalasi farmasi RSUD Langsa tahun 2018, diperoleh jumlah obat
kadaluwarsa sebanyak 114 item obat dan tidak terdapat obat yang rusak. Hasil
dari 114 item obat dengan total kerugian sebesar Rp. 83.793.366 adalah sebesar
penggunaan yang kurang maksimal pada item obat yang kadaluarsa. Salah satu
65
Universitas Sumatera Utara
obat berdasarkan FIFO dan FEFO dimana obat-obat yang lebih duluan masuk dan
instalasi farmasi, hal ini disebabkan karena obat yang kadaluwarsa adalah obat
yang sebagian besar berasal dari pembelian tahun sebelumnya yang stok obatnya
sebagian tidak berjalan, obat tidak diresepkan lagi oleh dokter dan adanya human
error pada saat pengadaan sehingga terjadi kelebihan stok menyebabkan obat
Obat kadaluarsa dapat terjadi karena obatnya tidak berjalan, artinya tidak
diresepkan lagi oleh dokter karena alasan-alasan tertentu dan berbanding lurus
dengan stok mati, artinya karena obat tersebut tidak berjalan/tidak mengalami
pergerakan akhirnya menumpuk sampai kadaluarsa. Selain itu, karena pada tahun
2017 sempat terjadi human error pada saat menginput pesanan (kelebihan
mengetik angka 0) yaitu seharusnya yang dipesan adalah sebanyak 500 item
menjadi 5000 item sehingga menyebabkan stoknya berlebih. Akhirnya hanya
sebagian besar yang terpakai dan sisanya tidak terpakai sampai tanggal
kadaluarsanya. Kemudian dari bagian gudang juga selalu mengkonfirmasi kepada
kepala instalasi farmasi jika ada obat-obat yang mendekati masa kadaluarsa agar
disampaikan kepada dokter untuk diresepkan atau diminta pengganti kepada
distributornya dengan masa kadaluarsa baru, tetapi mungkin terkadang lupa
disampaikan atau karena faktor lainnya (Informan 2).
Penelitian terkait oleh Kasmawati, dkk., (2018) di RSUD Kota Kendari
bahwa persentase nilai obat kadaluarsa adalah sebesar 0,47% dan di RSUD dr. R.
sebesar 0,19% dengan total kerugian sebesar Rp. 2.109.293, serta di RS PKU
66
Universitas Sumatera Utara
penelitian terkait terdahulu, persentase nilai obat kadaluarsa di RSUD Langsa
memiliki nilai lebih besar. Terdapatnya obat kadaluwarsa dan rusak menunjukkan
atau kurang baiknya sistem distribusi terutama pada ketersediaan obat, atau
Obat yang rusak atau kadaluarsa merupakan kerugian bagi rumah sakit.
Distribusi obat yang efektif harus memiliki desain dan sistem manajemen yang
baik dengan cara menjaga supply obat tetap konstan, mempertahankan mutu obat
yang baik selama proses distribusi, meminimalkan obat yang kadaluwarsa dan
rusak, memiliki catatan penyimpanan yang akurat dan pemberian informasi untuk
dilakukan pihak rumah sakit dalam menangani obat yang hampir kadaluarsa dari
pihak instalasi farmasi rumah sakit akan memberikan rekomendasi kepada para
dokter untuk meresepkan daftar obat hampir kadaluarsa terlebih dahulu. Obat
yang kadaluarsa dan rusak dapat disebabkan oleh penggunaannya cenderung lebih
kecil sehingga obat menumpuk dan menjadi kadaluarsa. Terjadinya obat yang
67
Universitas Sumatera Utara
4.5.3 Persentase Stok Mati
Persentase stok mati adalah perbandingan antara jumlah obat yang tidak
mengalami transaksi dengan jumlah item obat yang ada stoknya dikalikan dengan
obat di gudang farmasi pada tahun 2018. Obat stok mati yaitu obat yang selama 3
bulan atau lebih tidak mengalami mutasi atau tidak digunakan. Terdapatnya stok
mati ini menunjukkan bahwa sebagian ketersediaan obat masih belum benar-benar
dibutuhkan atau tidak pernah diresepkan kepada pasien (Razak et al.,2012). Hasil
persentase nilai stok mati di instalasi farmasi RSUD Langsa dapat dilihat pada
Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Persentase stok mati instalasi farmasi RSUD Langsa tahun 2018
No Keterangan Jumlah (item)
1 Jumlah item obat stok mati 26
2 Jumlah item obat yang ada stoknya 803
Persentase stok mati (%) 3,24%
3,24%, sedangkan menurut standar stok mati sebesar 0%. Hasil ini
persentase stok mati di RSUD Langsa menunjukkan hasil yang lebih besar, yang
menandakan bahwa persentase stok mati di IFRSUD Langsa tergolong tinggi dan
68
Universitas Sumatera Utara
Stok mati merupakan kerugian bagi rumah sakit karena menyebabkan
perputaran modal yang tidak lancar, jika ini berlangsung lama maka obat dapat
farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran yang tersedia sehingga dapat
meminimalisir obat menumpuk dan terjadinya stok mati obat. Selain itu, stok mati
juga bisa disebabkan oleh tren penyakit yang sedang terjadi pada saat itu dan
Langsa, adanya stok mati di instalasi farmasi RSUD Langsa dikarenakan dokter
tidak meresepkan lagi obat tersebut atau penggunaannya rendah atau terbatas di
Stok mati disebut death stock. Death stock biasanya disebabkan karena
dokter tidak meresepkan lagi obat tersebut karena berbagai alasan, salah satunya
karena faktor distributor atau perubahan terapi obat dari dokter dan karena
memang penggunaan obat tersebut rendah di rs seperti obat pro TB tab yang
merupakan obat program pemerintah sehingga biasanya penggunaannya lebih
banyak di puskesmas. Tetapi karena standarnya di rs juga harus tersedia obat
tersebut sehingga pemakaiannya sedikit dan cenderung tidak berjalan. Instalasi
farmasi juga ada membuat laporan obat-obat yang sudah 3 bulan tidak berjalan
lalu diteruskan ke bagian pengadaan agar obat-obat tersebut diresepkan kembali
oleh dokter agar pemakaiannya berjalan. Tetapi lebih lanjut dari bagian
pengadaan yang menyampaikan informasi kepada dokter-dokter untuk
meresepkan kembali obat yang tidak berjalan. Oleh karena itu harus ada
komunikasi aktif dengan dokter agar pemakaian obat maksimal dan berjalan
lancar (Informan 2).
Upaya evaluasi yang dilakukan rumah sakit terhadap adanya stok mati
dahulu dan juga selalu dievaluasi tanggal kadaluarsa dengan cara dicatat di kartu
69
Universitas Sumatera Utara
Persentase stok mati yang tinggi menunjukkan perputaran obat yang tidak
lancar karena banyak persediaan obat yang tertahan dan menumpuk di gudang.
persediaan yang tidak lancar. Terjadinya kerusakan obat dan perputaran sediaan
yang tidak lancar akan mempengaruhi pendapatan rumah sakit itu sendiri. Selain
itu kerugian yang disebabkan akibat stok mati adalah perputaran uang yang tidak
lancar, kerusakan obat akibat terlalu lama disimpan sehingga menyebabkan obat
kadaluwarsa. Jika dibiarkan terus menerus terjadi, rumah sakit akan mengalami
maupun jumlah obat, yang diperlukan oleh pelayanan pengobatan dalam periode
waktu tertentu, diukur dengan cara menghitung jumlah stok obat Desember 2018
dengan jumlah pemakaian obat setahun dibagi pemakaian rerata per bulan dikali
pemakaian obat (Waluyo, dkk., 2015). Hasil tingkat ketersediaan obat di instalasi
farmasi RSUD Langsa sebesar 13,42 bulan atau sekitar 13 bulan 12 hari, sesuai
70
Universitas Sumatera Utara
dengan standar tingkat ketersediaan obat yaitu 12-18 bulan. Hal ini menunjukkan
kesehatan masyarakat yang bermutu adalah tersedianya obat yang cukup, baik
jenis maupun jumlahnya setiap saat diperlukan oleh masyarakat dan mutu yang
terjamin. Obat dengan tingkat kecukupan kurang akan berdampak pada pelayanan
pasien karena kebutuhan obat pasien tidak terpenuhi atau terlayani dengan baik
sehingga pengobatan obat yang rasional tidak akan tercapai. Solusinya adalah
penulisan resep oleh dokter sampai kegiatan pemantauan khasiat dan keamanan
obat. Efektivitas dan efisiensi pelayanan medik tercermin dari cara peresepan
71
Universitas Sumatera Utara
tenaga medik yaitu peresepan yang rasional maupun tidak rasional. Penggunaan
obat yang tidak rasional dapat berpengaruh pada kualitas pengobatan, pelayanan
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Salah satu peran apoteker dalam
penyakit, bukan berdasarkan gejala yang dialami pasien, dimana diberikan hanya
jenis obat yang diperlukan untuk penyembuhan penyakit atau mengatasi masalah
kesehatan secara efektif, aman dan dalam batas-batas kemampuan dana yang
rasional selama ini telah memberikan dampak negatif berupa pemborosan dana
masyarakat, efek samping yang berupa resistensi, interaksi obat yang berbahaya
dkk., 2013).
Rumah sakit sebagai instansi penyedia layanan kesehatan dan JKN sebagai
jaminan sosial untuk masyarakat Indonesia yang berlaku sejak 1 Januari 2014
rasionalitas pengobatan dan kualitas pelayanan kesehatan. Salah satu cara untuk
yang dikembangkan oleh International Network for the Rational Use of Drug
(INRUD) yang kemudian ditetapkan oleh WHO sebagai metode dasar untuk
72
Universitas Sumatera Utara
menilai penggunaan obat di unit-unit rawat jalan (WHO, 1993). Evaluasi
mengenai penggunaan obat yang terarah sesuai dengan indikator yang ditetapkan
oleh WHO tentunya dapat diketahui masalah yang ada dalam proses pengobatan
dilihat dari kesesuaian data evaluasi tersebut dengan indikator yang ditetapkan
(Pratiwi, 2014).
Kemenkes RI (2008) terdiri dari jumlah item obat per lembar resep, persentase
sakit, rerata kecepatan pelayanan resep, persentase obat yang dapat diserahkan
73
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.8 (Sambungan)
No Indikator Nilai Hasil
Pembanding
8 Persentase obat yang dilabeli 100% 100% (rajal)
dengan lengkap 100% (ranap)
Keterangan:
- Rajal : Rawat jalan
- Ranap : Rawat inap
Perhitungan rerata jumlah item obat per lembar resep bertujuan untuk
1993). Perhitungan rerata jumlah obat per lembar resep didapat dari pembagian
total obat yang diresepkan dengan total lembar sampel resep (WHO, 1993).
Rerata jumlah item obat per lembar resep terbaik menurut estimasi WHO (1993)
adalah 1,8-2,2 item per lembar resep. Hasil perhitungan jumlah item obat per
Berdasarkan Tabel 4.9, rerata jumlah item obat per lembar resep adalah
4,36 untuk rawat inap dan 4,27 untuk rawat jalan, melebihi estimasi terbaik
polifarmasi yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan masih ditemukan banyak resep
yang memiliki jumlah obat lebih dari 2, bahkan hingga 11 item obat per lembar
resep. Peresepan item obat melebihi 5 item bahkan sampai 11 item obat per
lembar resep paling banyak ditemukan pada poli saraf dan penyakit dalam. Seperti
74
Universitas Sumatera Utara
Banyaknya jumlah obat yang diresepkan oleh dokter rerata tergolong
banyak, tetapi ada juga yang masih 4-6 obat dalam satu resep tergantung dari
penyakitnya. Biasanya resep yang banyak item obatnya itu dari poli saraf
(neurologi). Sebenarnya waktu itu sudah pernah rapat dengan dokter untuk
masalah ini, namun dokternya karena neurologi itu akumulasi dari beberapa
penyakit sehingga mereka harus meresepkan banyak obat. Dan kita dari farmasi
juga punya SPO tentang peresepan obat per lembar resep, dan sudah
disosialisasikan juga ke dokter-dokter, hanya saja dokternya masih banyak
polifrmasi juga (Informan 3).
Kalau dirawat jalan biasanya memang kecenderungan polifarmasi pasti
ada, terutama paling banyak di poli saraf dan penyakit dalam, biasanya lebih dari
5 item obat per resep, sangat jarang ditemukan hanya dua obat dalam satu resep
pada poli tersebut. Kenapa bisa seperti itu, lebih lanjutnya hanya dokter yang
mengetahui terutama mengenai diagnosa pasiennya. Untuk mencapai hanya 2 atau
3 item obat per lembar resep sangat ideal sekali untuk kasus-kasus pada poli saraf
dan penyakit dalam, ini harus didukung oleh penunjang-penunjang terkait seperti
hasil laboratorium dan radiologi. Karena terlalu idealis jika hanya dua obat per
resep, kecuali mungkin jika diluar negeri dengan fasilitas penunjang medik yang
memadai (Informan 4).
Berdasarkan informasi dari informan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pasien pada poli saraf dan penyakit dalam yang memang membutuhkan lebih
banyak obat dalam pengobatannya. Nilai rerata jumlah obat yang lebih tinggi dari
estimasi WHO belum dapat menunjukkan ada atau tidak penggunaan obat yang
irrasional, karena dibutuhkan penelitian lebih lanjut yang melihat dari diagnosa,
efikasi, keamanan, kecocokan, dan harga. Jumlah obat rerata yang digunakan
cukup banyak, peresepan masih bisa dikatakan rasional jika memang pasien
Peresepan obat dengan jumlah yang relatif banyak dapat disebabkan juga karena
Jumlah rerata tiap item obat per lembar resep lebih rendah di sebagian
besar negara berkembang (kisaran = 1,3-3,0). Sebagai contoh, 3 di Sri Lanka; 2,1
di Nepal; 2,2 di Vietnam; 2,3 di Botswana; 2,3 di Burkina Faso; 1,8 di Malawi;
75
Universitas Sumatera Utara
1,4 di Sudan; dan 1,3 di Zimbabwe. Namun, jumlah rerata tiap item obat per
resep lebih tinggi di Afghanistan (3,9), India (5,6), Ghana (4,8) dan Nigeria (5,2).
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan jumlah obat yang lebih tinggi dalam
resep, salah satunya kompetensi dari dokter, tidak tersedianya pedoman praktik
dari penulis resep dan rendahnya obat yang benar secara terapeutik. Polifarmasi
dapat mempengaruhi hasil pengobatan karena pasien lebih cenderung tidak patuh
dan berisiko lebih tinggi mengalami efek samping. Selain itu, obat yang
diresepkan yang tidak perlu dapat menyebabkan implikasi fiskal untuk sistem
penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani (2018) menunjukkan hasil jumlah item
obat perlembar resep sebesar 3,44 dan penelitian Yuliastuti (2013) menunjukkan
hasil jumlah item obat per lembar resep sebesar 2,16. Berdasarkan hal tersebut,
rerata jumlah obat per lembar resep pada instalasi farmasi RSUD Langsa lebih
besar daripada rumah sakit lainnya. Hal ini menandakan bahwa profesional
obat yang lebih akurat dan juga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui hal-hal yang menjadi penyebab, kemudian dapat dipilih strategi untuk
penyebab perbedaan hasil dengan estimasi WHO, dan penelitian kualitatif sesuai
76
Universitas Sumatera Utara
diresepkan oleh dokter, perlu diketahui apakah terjadi kekurangan obat yang
sesuai terapi, atau memang terjadi kekurangan alat diagnostik, atau ada insentif
generik yang berarti tertulis sebagai zat aktif sediaan sehingga ada
kesepemahaman antara dokter dan farmasis dimana secara tidak langsung turut
(WHO, 1993). Hasil perhitungan persentase obat dengan nama generik dapat
nama generik masih kurang dari 82%-94%, yaitu hanya sebesar 71,78% untuk
rawat inap dan 61,27% untuk pasien rawat jalan seperti yang terlihat pada Tabel
4.10. Hal ini mungkin dapat dikarenakan masih banyak dokter yang meresepkan
obat dengan nama dagang, belum terbiasa untuk menuliskan nama generik untuk
pasien JKN dan ada beberapa obat seperti Ventolin®, Pulmicort®, Levemir® dan
obat-obat lainnya yang memang tidak mempunyai nama generik atau ada obat
dengan nama dagang yang memang belum tersedia generiknya di pasaran. Seperti
77
Universitas Sumatera Utara
Biasanya memang kadang ada obat yang diresepkan tidak sesuai nama
generik karena dokternya sudah biasa meresepkan dengan nama dagang atau
memang karena tidak ada sediaan generiknya seperti arixtra, atau dokternya
memang meresepkan nama dagang seperti vicillin, tetapi kita berikan ampicilin.
Alasan lainnya karena tidak ada nama generiknya sehingga diresepkan sesuai
nama obatnya seperti RL, ventolin nebul, pulmicort, levemir, novorapid dan lain
lain. Kemudian seperti vitamin-vitamin dalam satu sedian mengandung banyak
komposisi sehingga tidak mungkin diresepkan satu-satu sesuai nama generiknya
seperti neurodex, neurohax, sohobion dan sebagainya (Informan 3).
Kalau di rawat jalan, jika ada obat yang diresepkan tidak sesuai nama
generik biasanya karena memang belum ada sediaan generiknya dipasaran,
misalnya oscal, nama generiknya kalsitriol tetapi tidak ada obatnya di pasaran.
Kemudian seperti sinkronik, tramset dan lain-lain memang tidak ada sediaan
generiknya di pasaran seperti parasetamol dan tramadol, karena tidak semua obat
branded sudah ada generiknya, jadi diresepkan sesuai nama dagangnya (Informan
4).
Dalam hal meningkatkan peresepan nama generik oleh dokter, apoteker
diharapkan dapat bertindak dengan lebih aktif untuk mengingatkan dokter sebagai
2015). Penulisan resep sesuai nama generik diperlukan adanya kesadaran dokter
untuk menulis resep generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Hal ini
menandakan adanya kerjasama yang baik antara profesi lain agar bisa mendukung
membagi jumlah resep yang mengandung satu atau lebih antibiotika dengan
78
Universitas Sumatera Utara
jumlah sampel lembar resep dikalikan 100%. Hasil perhitungan persentase
jalan sudah memenuhi standar WHO yaitu sebesar 10,66%, sedangkan untuk
pasien rawat inap melebihi dari rekomendasi WHO yaitu sebesar 53,20%. Hasil
pengkajian ulang.
sampel adalah dua antibiotika, hal ini memiliki arti bahwa jumlah resep yang
mengidap penyakit infeksi yang memerlukan kombinasi terapi juga tidak cukup
tinggi dikarenakan spektrumnya yang luas dan tidak banyak pasien yang alergi
Pada instalasi farmasi rawat inap, antibiotika parenteral yang paling sering
79
Universitas Sumatera Utara
mempunyai potensi antibakteri yang tinggi. Sefalosporin generasi III merupakan
terhadap kuman gram-negatif lebih kuat dan lebih luas lagi meliputi Pseudomonas
dan Bakteroides, selain itu resistensinya terhadap laktamase juga lebih kuat
(Surahman, dkk., 2008). Selain itu juga tingginya pemberian antibiotika pada
mungkin terjadi di lingkungan rumah sakit selama pasien dirawat inapkan dan
pertama harus dipilih untuk mengatasi infeksi yang bersifat umum dan terapi
antibiotika secara empirik harus didasarkan pada data surveilans bakteri patogen
penyebab infeksi di rumah sakit setempat (Kemenkes RI, 2011). Pada terapi
secara empiris, pemberian antibiotika diberikan pada kasus infeksi yang belum
diketahui secara jelas jenis kumannya seperti pada kasus gawat karena sepsis,
diberikan dengan berdasarkan data epidemiologi kuman yang ada (Negara, 2014).
80
Universitas Sumatera Utara
Data dari Negara lain menunjukkan penggunaan antibiotika yang tinggi
yaitu 60,9% di India, 66,0% di Kamboja, 66,2% di Yemen dan di Malaysia lebih
rendah dibandingkan negara lain yaitu 23,2% (Kardela, dkk., 2014). Jika
IFRSUD Langsa masih berada dibawah nilai Negara yang disebutkan. Perbedaan
nilai dari berbagai Negara ini dapat disebabkan karena variasi dalam
berkembang, antibiotika diresepkan 44% hingga 97% dari pasien rawat inap
sangat sulit dicapai karena angka penyakit infeksi yang tinggi di Negara
TFT belum dapat berjalan dengan baik di rumah sakit (Negara, 2014). Di negara
empirik yang tergantung pada keadaan klinis (bukan pada diagnosis) akan
81
Universitas Sumatera Utara
Permasalahan resistensi bakteri juga telah menjadi masalah yang
dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhannya, dalam satu kurun waktu yang
adekuat dan harga terendah baginya dan masyarakat sekitarnya (Negara, 2014).
atau dengan kata lain terjadinya resistensi antibiotika. Hal ini mengakibatkan
rasional adalah pengetahuan dan pemahaman dokter tentang penyakit infeksi dan
antibiotika yang masih kurang, ketersediaan jenis antibiotika tertentu yang belum
Skrining pasien dan petugas perlu dilakukan, peran tim Program Pencegahan
82
Universitas Sumatera Utara
koordinasi dengan tim terkait seperti PPRA, Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
tingkat penggunaan injeksi yang biasanya berlebihan dan menambah biaya yang
membagi jumlah pasien yang menerima suntikan injeksi dengan jumlah total
resep yang disurvei dikalikan 100%. Data dikumpulkan secara prospektif pada
68,02% dan 3,59% di rawat jalan. Hasil yang diperoleh melebihi nilai standar
yang ditetapkan yaitu sebesar 0,2%-48% untuk pasien di rawat inap dan telah
memenuhi standar yang ditetapkan untuk pasien rawat jalan. Nilai peresepan obat
injeksi pada pasien rawat jalan memang relatif rendah karena kondisi emergensi
maupun ketidaksadaran relatif rendah pada pasien rawat jalan dan obat injeksi
injeksi yang tinggi pada pasien rawat inap dikarenakan rerata pasien menerima
cairan infus sehingga nilai yang diberikan tinggi dan penggunaan injeksi banyak
digunakan oleh pasien Intensive Care Unit (ICU) dan pasien dokter spesialis saraf
berikut:
83
Universitas Sumatera Utara
pemberian injeksi dibutuhkan untuk penanganan awal, terlebih lagi jika pasiennya
dalam kondisi lemah atau sangat lemah. Setelah kondisi stabil, pasien akan diganti
ke obat oral (Informan 3).
Penggunaan injeksi yang relatif tinggi pada pasien rawat inap dapat
dimengerti karena pasien rawat inap harus diberikan tindakan segera untuk
utama, karena dapat sesegera mungkin mencegah infeksi, menyediakan kadar obat
pemeliharaan agar bakteri tidak berkembang dan sediaan yang dapat dipilih
lebih mahal dan dapat menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman serta
sistemik antara lain emboli udara, kelebihan cairan, reaksi alergi dan sepsis
84
Universitas Sumatera Utara
4.6.5 Persentase Obat yang Diresepkan Sesuai Formularium Rumah Sakit
sakit dihitung dengan membagi jumlah obat yang diresepkan sesuai dengan
formularium RS dengan total jumlah obat yang diresepkan dikalikan 100%. Data
dikumpulkan secara prospektif dengan jumlah sampel untuk pasien rawat inap
sebanyak 344 lembar resep dan pasien rawat jalan sebanyak 362 lembar resep.
Perhitungan hasil persentase obat yang diresepkan dapat dilihat pada Tabel 4.12.
Tabel 4.12 Perhitungan hasil persentase obat yang diresepkan sesuai formularium
rumah sakit
No Keterangan Jumlah (item)
Rajal Ranap
1 Jumlah obat yang diresepkan sesuai 1399 1445
formularium RS
2 Total jumlah obat yang diresepkan 1544 1499
Hasil 90,61% 96,40%
dengan formularium rumah sakit adalah 96,40% untuk pasien rawat inap dan
90,61% untuk pasien rawat jalan. Bila dibandingkan dengan rekomendasi dari
WHO (1993) dan Kemenkes RI (2008) adalah 100%, maka nilai yang dicapai
masih belum sesuai dengan rekomendasi dan target yang ada. Hasil nilai
persentase tersebut masih bisa dikatakan relatif tinggi bila dibandingkan hasil
Tingginya nilai ini mengindikasikan bahwa obat yang disediakan oleh rumah sakit
85
Universitas Sumatera Utara
merupakan obat yang memang diperlukan dalam pelayanan kesehatannya
satunya, yaitu multivitamin sirup, curcuma tablet, flunarizin, eprinoc, OBH sirup,
faktor diantaranya perubahan dalam hal peresepan dokter sehingga terdapat obat-
obat baru yang diresepkan belum tercantum dalam formularium RS, adanya
dengan distributor yang dapat memberikan pesanan obat sehingga obat yang
datang dan diresepkan terkadang memiliki nama dagang yang beragam sesuai
formularium RS. Selain itu, formularium RSUD Langsa juga belum direvisi sejak
diupdate sesuai dengan kenyataan pakai saat ini sehingga nilai persentase
86
Universitas Sumatera Utara
rumah sakit, hanya saja digunakan dalam merk dagang yang berbeda tetap
dihitung masuk ke dalam formularium rumah sakit (Informan 4).
formularium, yaitu faktor dokter, pasien dan obat. Keputusan dokter untuk
lingkungan tempat kerja dan industri farmasi, serta interaksi dengan pasien.
Pasien mempunyai keluhan dan keinginan, serta sebagai pihak yang membayar
bahwa obat yang diresepkan tersedia (kepatuhan farmasis) dan obat yang
proses pelayanan obat kepada pasien dapat berjalan lancar sesuai dengan pedoman
yang telah ditetapkan, dalam hal ini adanya kesesuaian peresepan obat dengan
pasien JKN yang sudah membayar sejumlah tertentu sesuai dengan yang dipilih
pasien untuk mendapatkan akses kesehatan yang sesuai dengan premi yang
dibayarkan. Jika tidak sesuai dengan formularium, maka pasien akan dibebankan
biaya obat yang tidak tercantum dalam formularium. Akan menjadi kerugian bagi
pasien jika obat harus dibayar karena tidak dicover oleh BPJS sebenarnya dapat
diganti dengan obat lain yang ada dalam formularium rumah sakit. Seperti
87
Universitas Sumatera Utara
Iya memang kalau dokter meresepkan obat diluar formularium rumah sakit
tidak ditanggung oleh Rumah sakit,tetapi jika memang obat tersebut benar-benar
dibutuhkan dan memang harus ada, nah itu harus ada persetujuan Komite Farmasi
dan Terapi (KFT) agar obat tersebut bisa dicover. Tetapi jika tidak ya pasien harus
beli sendiri diluar tanggungan rumah sakit. Tetapi kalau memang masih bisa
diganti dengan obat yang sesuai dengan formularium, maka apoteker dapat
mengkonfirmasi dokter untuk mensubstitusi obat tersebut sesuai dengan yang
dicover RS, kecuali obat-obat yangmemang sudah disetujui diadakan dan
ditanggung BPJS hanya saja belum masuk forkit karena belum direvisi itu tetap
rumah sakit yang tanggung (Informan 3).
4.6.6 Rerata Kecepatan Pelayanan Resep
Pelayanan resep baik obat jadi maupun racikan merupakan salah satu
tenggang waktu mulai dari pasien menyerahkan resep sampai dengan pasien
Jumlah sampel dalam yang digunakan adalah 344 resep rawat inap dan
362 resep rawat jalan, dihitung berdasarkan rumus raosoft dengan tingkat
instalasi farmasi RSUD Langsa. Hasil Rerata waktu tunggu resep secara
88
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa jumlah resep obat
jadi yaitu sebanyak 377 resep lebih banyak daripada resep obat racikan yaitu
“Kalau resep racikan memang tidak terlalu banyak, mungkin hanya sekitar
5-10% dari resep non racikan” (Informan 4).
Tabel 4.13 Rerata kecepatan pelayanan resep sediaan jadi (non racikan) dan
racikan
Jenis Resep Rerata Standar Minimum Maksimum Jumlah
waktu Deviasi (menit) (menit)
tunggu (menit)
(menit)
Sediaan 40 0,0139 5 145 377
Jadi (Non
Racikan)
Racikan 47 0,0123 13 85 41
Berdasarkan Tabel 4.13, diketahui bahwa rerata waktu tunggu sediaan jadi
(non racikan) adalah 40 menit, sedikit melebihi standar yang ditetapkan Depkes
RI (2008) yaitu ≤ 30 menit (sediaan jadi), sedangkan rerata waktu tunggu obat
menit (racikan).
Tabel 4.13 menunjukkan bahwa waktu tunggu tertinggi sediaan jadi (non
racikan) adalah selama 145 menit dan terendah adalah 5 menit. Berdasarkan hasil
pengamatan langsung selama penelitian, lamanya waktu tunggu sediaan jadi (non
yang masuk ke instalasi farmasi sehingga resep masuk diwaktu yang bersamaan,
akibatnya terjadi penumpukan resep yang harus dikerjakan; kurangnya SDM yang
memadai baik dari segi TTK dan apoteker sehingga dalam proses pelayanan resep
membutuhkan waktu yang lebih lama terutama pada waktu jam sibuk (peak hour);
setiap tahapan proses pelayanan resep mulai dari penerimaan resep (entry resep)
89
Universitas Sumatera Utara
hingga penyerahan resep kepada pasien masih dilakukan secara manual oleh
petugas.
rawat jalan RSUD Langsa terdiri dari 5 proses yaitu penerimaan resep, pemberian
nomor antrian resep, pengerjaan resep (pengambilan obat dan pembuatan etiket
obat), verifikasi akhir oleh apoteker dan penyerahan obat kepada pasien.
pelayanan resep antara lain adalah jenis resep, jumlah dan kelengkapan resep,
ketersediaan sumber daya manusia yang cukup dan terampil, ketersediaan obat
yang sesuai, serta sarana dan fasilitas yang memadai (Wijaya, 2012). Jumlah resep
yang diterima di depo farmasi juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi waktu tunggu pelayanan resep. Selain itu, jumlah item obat tiap
resep serta jumlah racikan pada tiap resep juga mempengaruhi pada lamanya
resep obat jadi lebih banyak dibandingkan dengan resep racikan. Berdasarkan
hasil observasi di instalasi farmasi rawat jalan RSUD Langsa, resep racikan paling
banyak ditemukan pada poli anak, poli kulit dan poli jiwa sedangkan resep obat
jadi paling banyak ditemukan pada poli penyakit dalam, ortopedi dan
pelayanan resep non racikan karena resep racikan memerlukan waktu yang lebih
lama, tidak hanya mempersiapkan obat tetapi juga perlu perhitungan dosis obat,
serta melakukan peracikan obat (Puspita, dkk., 2018). Selain itu, adanya
kekosongan obat juga dapat memperlambat waktu tunggu pelayanan resep karena
90
Universitas Sumatera Utara
dibutuhkan waktu tambahan untuk mengkonfirmasi dokter atau menyediakan obat
proses menjadi lebih lama. Delay disebabkan antara lain karena petugas belum
Hal ini terlihat dari hasil penelitiannya, dimana total waktu komponen delay lebih
besar dari total waktu komponen tindakan baik pada resep non racikan maupun
pelayanan yang lebih lama dibandingkan dengan resep obat jadi. Hal ini
disebabkan obat racikan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan obat
lebih lama; c) ketersediaan sumber daya manusia yang cukup dan terampil, lama
individu dan menyebutkan bahwa makin lama pengalaman kerja seseorang maka
dia akan semakin terampil dan makin lama masa kerja seseorang akan semakin
mencari obat sesuai dengan resep; d) kebijakan dan prosedur, salah satu hal yang
91
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan kebijakan yang mempengaruhi waktu pelayanan resep
akurasi resep dan keterjangkauan obat, waktu tunggu pelayanan obat sangat
kurangnya staff atau dokter (Pillay et al., 2011). Dokter sering terlambat praktek
penumpukan pasien. Hal yang sama juga dikemukakan oleh (Purwanto, dkk.,
2015), yaitu resep datang bersamaan menambah waktu tunggu antrian. Intervensi
pasien lebih awal. Resep yang diterima diatas pukul 11.00 WIB mempunyai
waktu tunggu lebih lama dibandingkan resep yang diterima pada pukul 09.00-
11.00 WIB, karena mulai pukul 11.00 WIB semua poliklinik sudah lengkap dalam
92
Universitas Sumatera Utara
resep (Maftuhah, 2016). Hal ini sesuai dengan yang disampaikan informan
sebagai berikut:
Waktu tunggu resep yang lama disebabkan karena masalah jadwal masuk
resep ke apotek yang bersamaan hampir dari semua poli. Petugas farmasi sudah
mulai kerja dari pukul 9 pagi, tetapi resep masuk sekitar jam 11 dan puncaknya di
jam 12 sampai jam 1 atau 2, yang sebenarnya itu adalah waktu ishoma. Jadi secara
otomatis banyak memakan waktu untuk menyelesaikannya, tetapi jika resep
masuk jam 8 atau 9 pagi, maka jam 12 atau jam 1 sudah tuntas diselesaikan
(Informan 4).
Faktor lainnya adalah peralatan fasilitas atau sarana dan prasarana.
Sebagai contoh dengan adanya peralatan seperti blender dan sealing equiptments
(alat untuk merekatkan kertas puyer agar tertutup rapat dan kedap dari udara luar)
maka proses penyiapan obat racikan akan semakin cepat dibandingkan dilakukan
dengan cara manual (Puspita, dkk., 2018). Semakin cepat waktu pelayanan resep
permintaan resep dari dokter. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase
obat yang dapat diserahkan oleh apotek rawat jalan dan rawat inap masing-masing
(1996) dan WHO (1993) yang memberikan angka 76%-100%, maka jumlah obat
yang dilayani oleh instalasi farmasi telah memenuhi standar yang ada sehingga
93
Universitas Sumatera Utara
dikarenakan adanya utang piutang rumah sakit dan pengiriman barang yang lama.
tanggung jawab petugas farmasi terhadap hak pasien atas informasi yang
dkk., 2014). Perhitungan dilakukan dengan cara mencatat jumlah item obat yang
dilabeli dengan benar, yaitu yang berisi paling tidak nama pasien, nomor resep,
tanggal resep, tanggal penyerahan resep, serta aturan minum atau pakai obat
Dari hasil penelitian diketahui persentase obat yang dilabeli dengan benar
adalah 100%. Hal ini menunjukkan bahwa petugas farmasi telah memberikan hak
pasien yaitu informasi minimal yang harus diketahui oleh pasien atas obat yang
dalam mewujudkan cara pengobatan yang baik dan benar sehingga dapat tercapai
94
Universitas Sumatera Utara
uji di rawat inap dan rawat jalan. Data dianalisis menggunakan uji Chi-Square
dengan bata nilai signifikansi p < 0,05. Data analisis perbedaan indikator rawat
inap dan rawat jalan yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.15.
Tabel 4.14 Perbandingan indikator resep rawat inap dan rawat jalan
No Indikator Nilai p-Value
Rawat Jalan Rawat Inap
1 Jumlah item obat per 4,27 4,36 0,331
lembar resep
2 Persentase obat dengan 61,27% 71,78% 0,914
nama generik
3 Persentase peresepan 3,59% 68,02% 0,247
injeksi
4 Persentase peresepan 10,66% 53,20% 0,557
obat antibiotika
5 Persentase obat yang 90,61% 96,40% 0,000
diresepkan sesuai
formularium rumah sakit
6 Persentase obat yang 96,44% 99,87% 1,000
dapat diserahkan
Pada analisis perbedaan jumlah item obat per lembar resep rawat inap dan
jumlah item obat per lembar resep rawat jalan diperoleh bahwa tidak terdapat
perbeedaan siginifikan antara jumlah item obat per lembar resep rawat inap dan
rawat jalan ditunjukkan dengan nilai p = 0,331 (p < 0,05) yang tertera pada Tabel
4.15. Faktor yang menyebabkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara
jumlah item obat per lembar resep di rawat inap dan di rawat jalan karena terjadi
kecenderungan polifarmasi terhadap pasien rawat inap dan rawat jalan. Hal ini
inap dan di rawat jalan diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara
persentase obat dengan nama generik di rawat inap dan rawat jalan ditunjukkan
dengan nilai p = 0,914 (p < 0,05) yang tertera pada Tabel 4.15. Hal ini
95
Universitas Sumatera Utara
menandakan bahwa penulisan obat dengan nama generik tidak berbeda secara
rawat jalan diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan siginifikan antara persentase
peresepan injeksi di rawat inap dan rawat jalan ditunjukkan dengan nilai p = 0,247
inap dan di rawat jalan diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan siginifikan
antara persentase peresepan obat antibiotika di rawat inap dan rawat jalan
ditunjukkan dengan nilai p = 0,557 (p < 0,05) yang tertera pada Tabel 4.15.
formularium rumah sakit di rawat inap dan di rawat jalan diperoleh bahwa
rawat inap dan rawat jalan ditunjukkan dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05) yang
tertera pada Tabel 4.15. Hal ini berarti bahwa adanya perbedaan yang bermakna
antara obat yang diresepkan sesuai formularium rumah sakit di rawat inap dan di
rawat jalan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase obat yang diresepkan
sesuai formularium rumah sakit di rawat jalan memiliki nilai persentase yang
cenderung lebih rendah dibandingkan dengan di rawat inap. Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor dokter, pasien dan obat.
inap dan di rawat jalan diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan siginifikan
antara persentase obat yang dapat diserahkan di rawat inap dan rawat jalan
ditunjukkan dengan nilai p = 1,000 (p < 0,05) yang tertera pada Tabel 4.15. Hal
96
Universitas Sumatera Utara
ini menandakan bahwa tidak adanya perbedaan bermakna antara persentase obat
yang diserahkan di rawat inap dan rawat jalan yang berarti bahwa ketersediaan
farmasi RSUD Langsa sudah memenuhi standar yang ada dalam penelitian ini
sebesar 52,2%, yang berarti bahwa nilai yang diperoleh cenderung masih rendah
sehingga perlu dilakukan upaya perbaikan dalam tahapan pengelolaan obat guna
mencapai pengelolaan obat yang efektif dan efisien sesuai standar yang telah
ditetapkan.
97
Universitas Sumatera Utara
BAB V
5.1 Kesimpulan
frekuensi pengadaan item obat per tahun rata-rata masih tergolong dalam
kategori rendah (<12 kali/tahun) dan 7 item obat dalam kategori sedang (12-
24 kali/tahun) .
standar adalah ketepatan data jumlah obat pada kartu stok (100%) dan tingkat
non racikan (47 menit); persentase obat yang dapat diserahkan (99,87% di
98
Universitas Sumatera Utara
rawat inap dan 96,44% di rawat jalan) dan persentase obat yang dilabeli
meliputi jumlah item obat per lembar resep; persentase obat dengan nama
5.2 Saran
selanjutnya untuk:
estimasi WHO.
pengelolaan obat.
99
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Aryani, F., Anggraini D., dan Yani, N.P. (2014). Evaluasi Mutu Pelayanan
Kefarmasian Kategori Waktu Tunggu Pelayanan Resep di Depo Rawat
Jalan Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Pekanbaru. Pekanbaru:
Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau. Halaman 4-9.
Atif, M., Muhammad, R., Muhammad A., Mubeen N., Salma A., dan Kashaf N.
(2016). Assessment Of Core Drug Use Indicators Using WHO/INRUD
Methodology At Primary Healthcare Centers In Bahawalpur, Pakistan.
BMC Health Service Reasearch Volume 16 Nomor 684. Bahawalpur:
Department of Pharmacy The Islamia University of Bahawalpur. Halaman
2-9.
Chaira, S., Erizal, Z., dan Trisfa, A. (2016). Evaluasi Pengelolaan Obat pada
Puskesmas di Kota Pariaman. Jurnal Sains Farmasi dan Klinis Volume 3
Nomor 1. Padang: Ikatan Apoteker Indonesia. Halaman 40.
100
Universitas Sumatera Utara
Dianingati, R.S., dan Septimawanto, D.P. (2013). Analisis Kesesuaian Resep
Untuk Pasien Jaminan Kesehatan Nasional dengan Indikator Peresepan
WHO 1993 pada Instalasi Farmasi Rawat Jalan di RSUD Ungaran Periode
Januari-Juni 2014, Majalah Farmaseutik Volume 11 Nomor 3.
Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Halaman 363-
370.
Djatmiko, M., dan Eny, R. (2008). Evaluasi Sistem Pengelolaan Obat di Instalasi
Farmasi RSUP Dr. Kariadi Semarang Tahun 2007. Jurnal Ilmu Farmasi
dan Farmasi Klinik Volume 5 Nomor 2. Semarang: Fakultas Farmasi
Universitas Wahid Hasyim. Halaman 39-40.
Farida, H., Herawati, MM Hapsari, Harsoyo N., dan Hardian. (2008). Penggunaan
Antibiotik Secara Bijak Untuk Mengurangi Resistensi Antibiotik, Studi
Intervensi di Bagian Kesehatan Anak RS Dr. Kariadi. Sari Pediatri
Volume 10 Nomor 1. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas
Diponogoro. Halaman 39.
Ihsan, S., Sry, A. A., dan Mohammad, S. 2014. Evaluasi Pengelolaan Obat di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Muna Tahun
2014. Majalah Farmasi, Sains dan Kesehatan Pharmauho Volume 1
Nomor 2. Kendari: Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo. Halaman 24.
101
Universitas Sumatera Utara
Kasmawati, H., Sabarudin, dan Siti, A. J. (2018). Evaluasi Ketersediaan Obat
pada Era JKN-BPJS Kesehatan di RSUD Kota Kendari Tahun 2015.
Jurnal Farmasi, Sains, dan Kesehatan Volume 4 Nomor 2. Kendari:
Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo. Halaman 61.
Kardela,W., Retnosari, A., dan Sudibyo, S. (2014). Perbandingan Penggunaan
Obat Rasional Berdasarkan Indikator WHO di Puskesmas Kecamatan
antara Kota Depok dan Jakarta Selatan. Jurnal Kefarmasian Indonesia
Volume 4 Nomor 2. Jakarta: Pascasarjana Fakultas Farmasi Universitas
Indonesia. Halaman 91-102.
Kemenkes RI. (2016). Keputusan Direktur Jenderal Pelyanan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI Nomor HK.02.03/I/2630/2016. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI. Halaman 48.
Kemenkes RI. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2406/Menkes/Per/XII/2011 Tentang Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. Halaman 4-50.
Maftuhah, A., dan Susilo, R. (2016). Waktu Tunggu Pelayanan Resep Rawat
Jalan di Depo Farmasi RSUD Gunung Jati Kota Cirebon Tahun 2016.
Cirebon: Akademi Farmasi Muhammadiyah Cirebon. Halaman 43-44.
102
Universitas Sumatera Utara
Dr. Sam Ratulangi Tondano. JIKMU Volume 5 Nomor 2b. Ternate:
Universitas Sam Ratulangi. Halaman 448-460.
Mahdiyani, U., Chairun, W., dan Dwi, E. (2018). Evaluasi Pengelolaan Obat
Tahap Perencanaan dan Pengadaan di RSUD Muntilan Kabupaten
Magelang Tahun 2015-2016. JMPF Volume 8 Nomor 1. Yogyakarta:
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Halaman 21.
Megawati, L.H., dan Dolly, I. (2015). Penurunan Waktu Tunggu Pelayanan Obat
Rawat Jalan Instalasi Farmasi Rumah Sakit Baptis Batu. Jurnal
Kedokteran Brawijaya Volume 28 Nomor 2. Malang: Universitas
Brawijaya Malang. Halaman 163-168.
Pratiwi, A. A., dan Rano, K. S. (2014). Analisis Peresepan Obat Anak Usia 2–5
Tahun di Kota Bandung Tahun 2012. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia
103
Universitas Sumatera Utara
Volume 3 Nomor 1. Sumedang: Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran.
Halaman 18-23.
Puspita, Marlia, M., Ade, M.U., dan Robby, C.P. (2018). Waktu Tunggu
Pelayanan Resep BPJS Rawat Jalan di Instalasi Farmasi RSIA Anugrah
Medical Center Metro. Jurnal Farmasi Malahayati Volume 1 Nomor 2.
Lampung: Program Studi Sarjana Farmasi Universitas Malahayati.
Halaman 93.
Razak, A., Gunawan, P., dan Muji, H. (2012). Analisis Efisiensi Pengelolaan
ObatPada Tahap Distribusi DanPenggunaan Di Puskesmas. Jurnal
Manajemen Dan Pelayanan Farmasi Volume 2 Nomor 3. Surakarta:
Fakultas Farmasi Univeritas Setia Budi Surakarta. Halaman 189-193.
Surahman, E., Esther, M., dan Endah, I. K. (2008). Evaluasi Penggunaan Sediaan
Farmasi Intravena Untuk Penyakit Infeksi Pada Salah Satu Rumah Sakit
Swasta Di Kota Bandung. Majalah Ilmu Kefarmasian Volume 5 Nomor 1.
Jatinangor: Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran. Halaman 21-39.
104
Universitas Sumatera Utara
Susanto, A. K., Gayatri, C., dan Widya, A. L. (2017). Evaluasi Penyimpanan dan
Pendistribusian Obat di Gudang Instalasi Farmasi Rumah Sakit Advent
Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi Volume 6 Nomor 4. Manado: Fakultas
MIPA Universitas Sam Ratulangi. Halaman 92.
Seto, S., Nita, Y., dan Triana, L. (2004). Manajemen Farmasi. Surabaya:
Airlangga University Press. Halaman 34.
Yimenu, D. K., Abdurazak, E., Endilik, E., dan Wagaye, A. (2019). Assessment
of Antibiotic Prescribing Patterns at Outpatient Pharmacy Using World
Health Organization Prescribing Indicators. Journal of Primary Care &
Community Health Volume 10 Nomor 1-8. Ethiopia: University of Gondar.
Halaman 2.
Yuliastuti, F., Achmad, P., dan Riswaka, S. (2013). Analisis Penggunaan Obat
Pada Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Umum Daerah Sleman
Yogyakarta Periode April 2009. Jurnal Ilmu FarmasiVolume 10 Nomor 2.
Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Halaman 107-
110.
105
Universitas Sumatera Utara
Quick, J.D., Rankin, J.R., Laing, R.O., O’Connor, R.W., Hogerzeil, H.V., Dukes,
M.N.G., dan Garnett, A. (1997). Managing Drug Supply, 2nd Ed.
Management Sciences for Health. USA: Kumarian Press. Halaman 46-52.
Quick, J.D., Rankin, J.R., Laing, R.O., O’Connor, R.W., Hogerzeil, H.V., Dukes,
M.N.G., dan Garnett, A. (2012). Managing Drug Supply, 3rd
Ed.Management Sciences for Health. USA: Kumarian Press. Halaman 51-
62.
106
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 1. Kondisi Ruangan Dan Fasilitas Penyimpanan Obat di Instalasi
Farmasi RSUD Langsa Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
No. 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit
Pelaksanaan
No Variabel Evaluasi di Instalasi Keterangan
Farmasi
RSUD
Langsa
Ya Tidak
1 Lokasi penyimpanan harus √
menyatu dengan sistem pelayanan
Rumah Sakit
2 Dipisahkan antara fasilitas √
penyelenggaraan manajemen,
pelayanan langsung pada pasien,
peracikan dan produksi
3 Adanya pengaturan suhu √
4 Adanya ventilasi udara yang baik √
5 Adanya pengaturan pencahayaan √
6 Adanya pengaturan kelembaban √
7 Terdapat sistem pembuangan √
limbah yang baik
8 Adanya perlengkapan dispensing √ Untuk dispensing
baik untuk sediaan steril, non steril steril tidak ada
maupun cair untuk obat luar atau karena dilakukan
dalam oleh perawat
9 Lemari/rak penyimpanan yang rapi √
dan terlindung dari debu juga
cahaya dan kelembaban berlebihan
10 Gudang penyimpanan dilengkapi √
dengan palet
11 Terdapat lemari pendingin dan √
pendingin ruangan untuk obat
termolabil
12 Peralatan untuk penyimpanan √
obat, penanganan dan pembuangan
limbah sitotoksik dan obat
berbahaya dibuat secara khusus
13 Terdapat lemari penyimpanan √
khusus untuk narkotika dan
psikotropika
14 Bahan yang mudah terbakar √ Disimpan didalam
disimpan dalam ruang tahan api ruangan biasa yang
dan diberi tanda khusus terpisah
107
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 1. (lanjutan)
Pelaksanaan di
No Variabel Evaluasi Instalasi Farmasi Keterangan
RSUD Langsa
Ya Tidak
15 Gas medis disimpan dengan √
posisi tepat
16 Terdapat lokasi penyimpanan √
obat emergensi untuk kondisi
kegawatdaruratan
17 Tersedia rak/lemari √
penyimpanan obat
18 Tersedia kartu stok obat untuk √
memberi keterangan di
rak/lemari penyimpanan
108
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. Prosedur Penyimpanan Obat di Instalasi Farmasi RSUD Langsa
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 Tahun 2016
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
109
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3. Surat Izin Penelitian
110
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 4. Surat Keterangan Kelayakan Etik (Ethical Clearance)
111
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 5. Surat Persetujuan Responden (Informed Consent)
112
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 5. (lanjutan)
113
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 5. (lanjutan)
114
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 5. (lanjutan)
115
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 6. Data Stok Mati Obat Tahun 2018
116
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 7. Data Obat Kadaluarsa di IFRSUD Langsa Tahun 2018
117
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 7. (lanjutan)
TANGGAL
NO NAMA OBAT SATUAN JUMLAH TOTAL
HARGA ED
Spironolacton
33 200 Rp 539
100 mg tab Rp 107.800 01/09/2018
Tetracyclin 250
34 235 Rp 149
m tab Rp 35.015 01/02/2018
35 Tensopar 5 mg tab 113 Rp 525 Rp 59.325 01/01/2018
36 Tiaryt tab 150 Rp 1.298 Rp 194.700 01/11/2018
37 Vitamin B6 tab 975 Rp 141 Rp 137.475 01/09/2018
INJEKSI
1 Antalgin inj Amp 131 Rp 3.133 Rp 410.423 01/04/2018
Calcii Gluconas
Amp 32
2 100mg/ml Rp 7.562 Rp 241.984 01/04/2018
Cyanocobalamin Desember
3 inj amp 130 Rp 6.138 Rp 797.940 2018
Combivent
500
4 Nebule Amp Rp 6.042 Rp 3.021.000 14/05/2018
5 Citicolin 250 mg Amp 4 Rp 17.325 Rp 69.300 01/03/2018
Cefuroxime
38 Rp 32.560
6 Sodium Vial Rp 1.237.280 01/07/2018
7 Dextrose 40% Fls 5 Rp 3.200 Rp 16.000 01/07/2018
8 Diphenhidramin Amp 1 Rp 1.355 Rp 1.355 01/12/2018
9 Eprex Syrg 6 Rp 110.000 Rp 660.000 01/01/2018
Februari
10 Ephedrin HCL Amp 150 Rp 8.569 Rp 1.285.350 2018
11 Furosemid Amp 1 Rp 1.333 Rp 1.333 01/08/2018
12 Fargoxin Inj Amp 37 Rp 27.716 Rp 1.025.492 01/07/2018
13 fosmisin 1 gr Vial 10 Rp 88.110 Rp 881.100 01/07/2018
Oktober
14 Norages amp 3 Rp 6.889 Rp 20.666 2018
Oktober
15 Uresix amp 4 Rp 3.715 Rp 14.860 2018
Agustus
16 Furosemid amp 1 Rp 2.521 Rp 2.521 2018
Desember
Rp 3.223
17 KCL Amp 7 Rp 22.561 2018
18 Levosol Amp 2 Rp 55.247 Rp 110.494 01/06/2018
19 Levosol Flc 6 Rp 55.247 Rp 331.482 01/06/2018
20 Meylon Fls 1 Rp 8.910 Rp 8.910 19/05/2018
21 Mgso4 40% Fls 5 Rp 3.650 Rp 10.950 01/06/2018
22 Meylon Amp 23 Rp 6.200 Rp 142.600 01/07/2018
23 Meylon Flc 238 Rp 8.910 Rp 71.280 01/05/2018
24 Notrixum Amp 4 Rp 13.390 Rp 53.560 01/05/2018
25 Norages Amp 3 Rp 6.889 Rp 20.667 01/10/2018
26 Norepineprin amp 11 Rp 66.000 Rp 726.000 Juni 2018
27 Omeprazol Vial 2 Rp 12.967 Rp 25.934 01/05/2018
118
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 7. (lanjutan)
TANGGAL
NO NAMA OBAT SATUAN JUMLAH TOTAL
HARGA ED
28 Oxtercid inj Vial 3 Rp 41.579 Rp 124.737 01/09/2018
Phenytoin
4
29 Sodium Amp Rp 6.231 Rp 24.924 01/04/2018
30 Sikzonoate Amp 10 Rp 65.340 Rp 653.400 01/02/2018
31 Sulbacef 1 gr Vial 1 Rp 176.963 Rp 176.963 01/02/2018
32 Tiaryt Amp 10 Rp 13.200 Rp 132.000 01/07/2018
33 Uresix Amp 4 Rp 4.087 Rp 16.348 01/10/2018
34 Vit. K Inj Amp 1 Rp 8.000 Rp 8.000 01/01/2018
Oxtercid inj
35 (cefuroxime) vial 3 Rp 48.400 Rp 145.200 01/09/2018
Regivell inj Agustus
36 (bupivacain) amp 2 Rp 29.040 Rp 58.080 2018
37 Omeprazole vial 2 Rp 13.588 Rp 27.176 Mei 2018
Januari
38 Vit K inj amp 1 Rp 4.167 Rp 4.167 2018
OBAT LUAR
Cendo Oculenta
1
1 SM Tube Rp 63.236 Rp 63.236 01/04/2018
Cendo
3
2 Augentonic Strip Rp 21.408 Rp 64.224 01/03/2018
Cendo Hervis
1 Rp 36.383
3 SM Tube Rp 36.383 01/11/2018
4 Cendo Lubricen Strip 10 Rp 41.209 Rp 412.090 01/11/2018
5 Cendo Tobro Strip 1 Rp 18.933 Rp 18.933 01/08/2018
6 Cendo Tobro Strip 8 Rp 20.827 Rp 166.616 01/08/2018
7 Cendo Homatro Strip 5 Rp 35.393 Rp 176.965 01/04/2018
8 Cendo Lubricen Strip 20 Rp 41.209 Rp 824.180 01/04/2018
Cendo
2 Rp 75.000
9 Lenticular Strip Rp 150.000 01/07/2018
10 Illiadin 0.025% Botol 151 Rp 30.305 Rp 4.576.055 01/09/2018
Chloramphenicol
7
11 1 % SM tube Rp 1.640 Rp 11.480 01/01/2018
12 Nerilon Tube 71 Rp 34.595 Rp 2.456.245 01/10/2018
13 Nerilon Tube 9 Rp 12.250 Rp 110.250 01/07/2018
14 Ottopraf Botol 12 Rp 31.460 Rp 377.520 01/06/2018
15 Reco Tetes Mata Btl 4 Rp 9.741 Rp 38.964 01/03/2018
Reco Tetes
7 Rp 7.370
16 Telinga Botol Rp 51.590 01/04/2018
INFUS
1 Aminovel Btl 1 Rp 93.500 Rp 93.500 01/07/2018
Aminofusin
Btl 17
2 hepar Rp 88.501 Rp 1.504.517 01/07/2018
3 Aminofluid Bag 1 Rp 70.189 Rp 70.189 01/06/2018
4 Aminoleban Bag 1 Rp 71.100 Rp 71.100 01/10/2018
119
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 7. (lanjutan)
TANGGAL
NO NAMA OBAT SATUAN JUMLAH TOTAL
HARGA ED
5 Dex 10% Botol 2 Rp 7.500 Rp 15.000 01/06/2018
6 Eas Primer Btl 6 Rp 52.999 Rp 317.994 01/07/2018
7 Levofloxacin Botol 1 Rp 26.879 Rp 26.879 01/01/2018
Levofloxacin
8 infus bag 10 Rp 40.000 Rp 400.000 Januari 2018
9 Nimodipin Botol 17 Rp 154.275 Rp 2.622.675 01/09/2018
10 Nimodipin botol 7 Rp 154.275 Rp 1.079.925 01/09/2018
Plasbumin 5%
11 50ml botol 2 Rp 302.048 Rp 604.095 Januari 2018
12 Ringer Lactat Botol 3 Rp 7.150 Rp 21.450 01/07/2018
13 Tutofusin Bag 3 Rp 39.327 Rp 117.981 01/10/2018
14 Wida HSD Botol 11 Rp 10.825 Rp 119.075 01/10/2018
15 Wida KDN2 Botol 29 Rp 16.335 Rp 473.715 01/11/2018
16 Wida KN 1 Botol 1 Rp 11.011 Rp 11.011 01/08/2018
Wida Dex 5% +
17 1/2 NS Btl 9 Rp 10.625 Rp 95.625 01/11/2018
OBAT LUAR
1 Amoxilin Sirup Botol 3579 Rp 1.919 Rp 6.868.101 16/10/2018
2 Azitromicyn syr Botol 91 Rp 31.669 Rp 2.881.879 01/07/2018
3 Azomax Btl 2 Rp 97.900 Rp 195.800 01/06/2018
4 Endostein syr botol 14 Rp 30.800 Rp 431.200 Februari2018
5 Paracetamol Drop 5 Rp 5.980 Rp 29.900 01/08/2018
6 Vectrin Botol 2 Rp 31.680 Rp 63.360 01/11/2018
TOTAL 83.793.366
120
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 8. Data Tingkat Ketersediaan Obat di IFRSUD Langsa
121
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 9. Data Pengadaan Item Obat per Tahun
122
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 9. (lanjutan)
123
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 9. (lanjutan)
124
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 9. (lanjutan)
125
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 9. (lanjutan)
126
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 9. (lanjutan)
127
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 10. Hasil Uji Statistik Jumlah Item Obat per Lembar Resep
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 95,289a 90 ,331
Likelihood Ratio 97,105 90 ,286
Linear-by-Linear
,652 1 ,419
Association
N of Valid Cases 344
a. 82 cells (74,5%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is ,00.
128
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 11. Hasil Uji Stastistik Persentase Obat dengan Nama Generik
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 441,138a 483 ,914
Likelihood Ratio 304,040 483 1,000
Linear-by-Linear
,422 1 ,516
Association
N of Valid Cases 344
a. 515 cells (97,5%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is ,00.
129
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 12. Persentase Peresepan Obat Antibiotika
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square ,345 1 ,557
Continuity Correctionb ,170 1 ,680
Likelihood Ratio ,344 1 ,558
Fisher's Exact Test ,603 ,339
Linear-by-Linear
,344 1 ,558
Association
N of Valid Cases 344
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17,32.
b. Computed only for a 2x2 table
130
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 13. Persentase Peresepan Injeksi
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square ,345 1 ,557
Continuity Correctionb ,170 1 ,680
Likelihood Ratio ,344 1 ,558
Fisher's Exact Test ,603 ,339
Linear-by-Linear
,344 1 ,558
Association
N of Valid Cases 344
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17,32.
b. Computed only for a 2x2 table
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 1,340 1 ,247
Continuity Correctionb ,710 1 ,400
Likelihood Ratio 1,500 1 ,221
Fisher's Exact Test ,351 ,204
Linear-by-Linear
1,336 1 ,248
Association
N of Valid Cases 344
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,84.
b. Computed only for a 2x2 table
131
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 14. Persentase Obat Yang Diresepkan Sesuai Formularium Rumah
Sakit
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 200,363a 132 ,000
Likelihood Ratio 93,461 132 ,995
Linear-by-Linear
,001 1 ,977
Association
N of Valid Cases 344
a. 146 cells (93,6%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is ,01.
132
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 15. Persentase Obat Yang Dapat Diserahkan
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square ,334a 16 1,000
Likelihood Ratio ,617 16 1,000
Linear-by-Linear
,263 1 ,608
Association
N of Valid Cases 344
a. 22 cells (81,5%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is ,00.
133
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 16. Hasil Uji Statistik Capaian Pengelolaan Obat
Statistics
capaian
pengelolaan
obat hasil
N Valid 23 23
Missing 0 0
Mean ,52
Minimum 0
Maximum 1
134
Universitas Sumatera Utara