Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumah sakit merupakan pelayanan kesehatan institusi menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (1). Pelayanan farmasi rumah sakit
adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit
yang utuh dan berorientasi kepada pelayanan pasien. Sebagai upaya untuk
menjamin mutu pelayanan kefarmasian di rumah sakit yang berorientasi pada
keselamatan pasien dikeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
nomor 72 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit (2).
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab
kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai
hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Salah satu jenis
pelayanan kefarmasian di rumah sakit adalah pelayanan farmasi klinik. Pelayanan
farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada
pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko
terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient
safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin. Salah satu kejadian
yang dapat membahayakan keselamatan pasien (patient safety) adalah medication
error (2).
Medication error adalah setiap kejadian yang dapat dihindari yang dapat
menyebabkan atau berakibat pada pelayanan obat yang tidak tepat atau
membahayakan pasien. Medication error sampai saat ini tetap menjadi salah satu
permasalahan kesehatan yang banyak menimbulkan berbagai dampak bagi pasien
mulai dari resiko ringan bahkan resiko yang paling parah yaitu menyebabkan suatu
kematian . Kesalahan pengobatan (medication error) dapat terjadi pada 4 fase, yaitu
kesalahan Kesalahan peresepan (prescribing error), kesalahan penerjemahan resep
(transcribing erorr), kesalahan menyiapkan dan meracik obat (dispensing erorr),
2

dan kesalahan penyerahan obat kepada pasien (administration error). Tingginya


permasalahan medication error pada fase prescribing untuk pasien menunjukkan
perlunya tindakan nyata untuk mengurangi kejadian tersebut agar dapat dihindari
hal-hal yang merugikan bagi pasien anak. Tindakan nyata yang dapat dilakukan
oleh seorang farmasis dalam mencegah terjadinya medication error diantaranya
adalah melakukan kajian resep. Kajian resep meliputi kajian administratif resep
meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan, nama dokter, nomor
surat izin praktik (No. SIP), alamat, nomor telepon, paraf dokter, dan tanggal
penulisan resep, kajian farmasetis resep meliputi bentuk sediaan, kekuatan sediaan,
stabilitas dan kompatibilitas dan kajian klinis resep meliputi ketepatan indikasi,
ketepatan dosis obat, aturan penggunaan obat, cara penggunaan obat, lama
penggunaan obat, duplikasi/polifarmasi, reaksi obat yang tidak diinginkan,
kontraindikasi dan interaksi obat (3). Salah satu tujuan dilakukannya kajian resep
untuk mengetahui kejadian prescribing error.
Prescribing error merupakan kesalahan peresepan yang sering ditemukan.
Prescribing error yang sering terjadi adalah administrasi resep yang tidak lengkap,
penggunaan singkatan yang tidak lazim, dan penulisan aturan pakai yang tidak
jelas. Angka kejadian prescribing error ditemukan cukup tinggi pada resep pasien
pediatri. Ketidaklengkapan dan ketidakjelasan penulisan resep merupakan bentuk
prescribing error yang merugikan pasien terlebih pada anak-anak. Kesalahan
pengobatan pada anak-anak dapat memperparah penyakitnya dan merusak organ
tubuh anak-anak. Mengingat sistem enzim yang terlibat dalam metabolisme obat
pada anak-anak belum terbentuk atau sudah ada namun dalam jumlah yang sedikit,
sehingga metabolismenya belum optimal. Selain itu, ginjal pada anak-anak belum
berkembang dengan baik, sehingga kemampuan mengeliminasi obat belum dapat
bekerja dengan optimal (4).
Berdasarkan penelitian sebelumnya menunjukkan identifikasi medication error
pada resep pasien pediatri di salah satu Instalasi Farmasi Rawat Jalan Rumah Sakit
Di Kota Palu pada fase prescribing yaitu tidak ada SIP dokter 92,37%, tidak ada
tinggi pasien 92,37%, tidak ada berat badan 90,67%, tidak ada usia pasien 72,88%,
tidak ada nomor rekam medik 64,40%, tidak ada bentuk sediaan 58,47 (5).
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa terdapat administrasi resep yang tidak
3

lengkap meliputi (tidak adanya tanggal penulisan resep sebesar 53,33%, paraf
dokter sebesar 51,43%, alamat pasien sebesar 84,76%, berat badan pasien sebesar
100%, dan jenis kelamin pasien sebesar 99,05%), penulisan aturan pakai yang tidak
jelas sebesar 15,24%, dan penggunaan singkatan yang tidak lazim sebesar 15,24%.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa medication error fase prescribing
terjadi pada peresepan pasien anak rawat jalan di RSUD Sambas (6).
Hasil survei diperoleh dari Rumah Sakit Umum Kartini Kalirejo Kabupaten
Lampung Tengah bahwa selama tahun 2021 jumlah resep pasien pediatri rawat
jalan yang masuk ke Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Kartini Kalirejo
Kabupaten Lampung Tengah mencapai 3600 resep yang berasal dari poli anak, poli
penyakit dalam, poli obgyn, poli bedah dan poli umum. Tingginya jumlah resep
pediatri dan keterbatasan jumlah sumberdaya manusia di Instalasi Farmasi Rumah
Sakit Umum Kartini Kalirejo Kabupaten Lampung Tengah dapat berpotensi untuk
terjadinya medication error
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik dan dianggap perlu di
lakukannya penelitian tentang Analisis Kejadian Medication Error Fase
Prescribing Pada Resep Pasien Pediatri Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Kartini
Kalirejo Kabupaten Lampung Tengah.

B. Rumusan Masalah
Apakah terjadi kejadian medication error fase prescribing pada resep pasien
pediatri rawat jalan di Rumah Sakit Umum Kartini Kalirejo Kabupaten Lampung
Tengah ?
C. Tujuan
a Tujuan Umum
Mengetahui kejadian medication error fase prescribing pada resep pasien
pediatri rawat jalan di Rumah Sakit Umum Kartini Kalirejo Kabupaten Lampung
Tengah.
b Tujuan Khusus
a) Mengetahui karakteristik pasien pediatri di Rumah Sakit Umum Kartini
Kalirejo Kabupaten Lampung Tengah berdasarkan jenis kelamin dan umur
asal poli.
4

b) Mengetahui pola penyakit resep pasien pediatri di Rumah Sakit Umum


Kartini Kalirejo Kabupaten Lampung Tengah.
c) Mengetahui profil penggunaan obat resep pasien pediatri di Rumah Sakit
Umum Kartini Kalirejo Kabupaten Lampung Tengah.
d) Mengetahui tingkat kejadian medication error resep pasien padiatri
Rumah Sakit Umum Kartini Kalirejo Kabupaten Lampung Tengah pada
fase prescribing.

D. Manfaat Penelitian
a Keilmuan
Bagi bidang farmasi untuk mengidentifikasi terkait ketidak sesuaian skrining
resep pada pasien anak di rumah sakit.
b Personal dan Instansi
a) Bagi peneliti untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dalam
melakukan penelitian sehingga diharapkan mampu memahami skrining
yang dilakukan pada resep anak sehingga menghindari kejadian
medication error.
b) Bagi rumah sakit sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan upaya
pencegahan medication error.
c) Bagi peneliti lainnya sebagai acuan pustaka untuk penelitian selanjutnya
mengenai hubungan dilakukannya skrining resep dalam mencegah
terjadinya medication error.
c Pemerintah
Membuat kebijakan terkait upaya mencegah terjadinya medication error pada
pasien anak yang komprehensif.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Medication Error
a. Definisi Medicaton Error
Kesalahan pengobatan adalah kegagalan dalam proses perawatan yang
mengarah pada, atau berpotensi menyebabkan, membahayakan pasien.
Kesalahan pengobatan dapat terjadi dalam menentukan rejimen obat dan dosis
mana yang akan digunakan (kesalahan resep - resep yang tidak rasional, tidak
sesuai, dan tidak efektif, resep kurang, resep berlebihan); menulis resep
(kesalahan resep); membuat formulasi (kekuatan yang salah, kontaminan atau
pezina, pengemasan yang salah atau menyesatkan); mengeluarkan formulasi
(obat yang salah, formulasi yang salah, label yang salah); pemberian atau minum
obat (dosis salah, rute salah, frekuensi salah, durasi salah) terapi pemantauan
(gagal mengubah terapi bila diperlukan, perubahan yang salah). Kesalahan
dalam meresepkan termasuk resep yang tidak rasional, tidak pantas, dan tidak
efektif, resep kurang dan resep berlebihan (secara kolektif disebut kesalahan
resep) dan kesalahan dalam menulis resep (termasuk keterbacaan).
Menghindari kesalahan pengobatan adalah penting dalam peresepan yang
seimbang, yaitu penggunaan obat yang sesuai dengan kondisi pasien dan, dalam
batas yang dibuat oleh ketidakpastian yang datang pada keputusan terapeutik,
dalam rejimen dosis yang mengoptimalkan keseimbangan manfaat untuk
membahayakan. Dalam peresepan yang seimbang, mekanisme kerja obat harus
dikawinkan dengan patofisiologi penyakit (7).
b. Penggolongan Medication Error
Medication error dapat terjadi pada proses pengobatan, antara lain:
prescribing (peresepan), transcribing (penerjemahan resep), dispensing
(penyiapan), dan administration . Berikut adalah tipe – tipe kejadian dalam
Medication error sebagai berikut :
6

Tabel 2.1 Tipe – tipe Medication error


Tipe Keterangan

Pesribing error (kesalahan dalam Kesalahan pemilihan obat, dosis, bentuk sediaan obat,
peresepn) kuantitas, rute, konsentrasi, kecepatan pemberian,atau
intruksi penggunaan obat, penulisan resep yang tidak
jelas, dan lain lain yang menyebabkan kesalahan
pemberian obat kepada pasien.
Omission error (kesalahan karena Kegagalan memberikan dosis obat kepada pasien
kurang stok obat) sampai pada jadwal berikutnya.
Unauthorized drug error (kesalahan Memberikan obat yang tidak di instruksikan oleh dokter
pemberian obat diluar kuasa)

Wrog patient (salah pasien) Memberikan obat kepada pasien yang salah
Improper dose error (kesalahan karena Memberikan dosis obat kepada pasien lebih besar atau
dosis yang tidak tepat) lebih kecil dari pada dosis yang diinstruksikan oleh
dokter atau memberikan dosis duplikasi

Wrong dosage from error (kesalahan Memberikan obat dengan bentuk sediaan yangtidak
dari dosis yang salah) benar
Wrong drug preparation (kesalahan Mempersiapkan obat dengan bentuk sediaan yang tidak
dari persiapan obat) sesuai
Wrong administration thecniqui error Prosedur atau teknik yang tidak layak atau tidak benar
(kesalahan dari teknik administrasi saat pemberian obat
yang salah)
Deteriorated drug error (kesalahan Memberikan obat yang telah kadaluarsa atau yang telah
pemberian obat yang aktifitasnya mengalami penurunan
menurun)

Monitoring error (kesalahan dalam Kegagalan untuk memantau kelayakan dan deteksi
pemantauan) problem dari regimen yang diresepkan
Wrong time error (kesalahan waktu Memberikan obat diluar waktu, dari interval waktu yang
pemberian) ditentukan
Compliance error (kesalahan Sikap pasien yang tidak layak berkaitan dengan
kepatuhan penggunaan obat oleh ketaatann penggunaan obat yang diresepkan
pasien

c. Penyebab Medication Error


Fase - fase medication error di atas, dapat dikemukakan bahwa faktor
penyebabnya dapat berupa: Komunikasi yang buruk, baik secara tertulis (dalam
resep) maupun secara lisan (antar pasien, dokter dan apoteker). Sistem distribusi
obat yang kurang mendukung (sistem komputerisasi, sistem penyimpanan obat,
dan lain sebagainya). Sumber daya manusia (kurang pengetahuan, pekerjaan
yang berlebihan), Edukasi kepada pasien kurang. Peran pasien dan keluarganya
kurang (11).
7

d Prescribing Error
Medication error pada fase prescribing adalah error yang terjadi pada fase
penulisan resep. Fase ini meliputi (11) :
a) Kesalahan resep
1. Seleksi obat (didasarkan pada indikasi, kontraindikasi, alergi yang
diketahui, terapi obat yang ada, dan faktor lain), dosis, bentuk sediaan,
mutu, rute, konsentrasi, kecepatan pemberian, atau instruksi untuk
menggunakan suatu obat yang diorder atau diotorisasi oleh dokter (atau
misalnya seorang pasien dengan infeksi bakteri yang resisten terhadap
obat yang ditulis untuk pasien tersebut.
2. Resep atau order obat yang tidak terbaca yang menyebabkan kesalahan
yang sampai pada pasien.
b) Kesalahan karena yang tidak diotorisasi
Pemberian kepada pasien, obat yang tidak diotorisasi oleh seorang penulis
resep yang sah untuk pasien. Mencakup suatu obat yang keliru, suatu dosis
diberikan kepada pasien yang keliru, obat yang tidak diorder, duplikasi dosis,
dosis diberikan di luar pedoman atau protokol klinik yang telah ditetapkan,
misalnya obat diberikan hanya bila tekanan darahpasien turun di bawah suatu
tingkat tekanan yang ditetapkan sebelumnya (11).
c) Kesalahan karena dosis tidak benar
Pemberian kepada pasien suatu dosis yang lebih besar atau lebih kecildari
jumlah yang diorder oleh dokter penulis resep atau pemberian dosis duplikat
kepada pasien, yaitu satu atau lebih unit dosis sebagai tambahan pada dosis
obat yang diorder.
d) Kesalahan karena indikasi tidak diobati
Kondisi medis pasien memerlukan terapi obat tetapi tidak menerima suatu
obat untuk indikasi tersebut. Misalnya seorang pasien hipertensi atau
glukoma tetapi tidak menggunakan obat untuk masalah ini.
e) Kesalahan karena penggunaan obat yang tidak diperlukan
Pasien menerima suatu obat untuk suatu kondisi medis yang tidak
memerlukan terapi obat (11).
8

B. Resep
a. Definisi Resep
Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter, dokter gigi, dokter
hewan yang diberi izin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
kepada apoteker pengelolaan apotek untuk menyiapkan dan atau membuat,
meracik serta menyerahkan obat kepada pasien (8).
b. Jenis – Jenis Resep
Jenis- jenis resep dibagi menjadi:
a) Resep Standar
Resep standar (resep officinalis/pre compounded) merupakan resep
dengan komposisi yang telah dibakukan dan dituangkan ke dalam buku
farmakope atau buku standar lainnya. Resep standar menuliskan obat jadi
(campuran dari zat aktif) yang dibuat oleh pabrik farmasi dengan merk
dagang dalam sediaan standar atau nama generik (9).
b) Resep magistrales
Resep magistrales (resep polifarmasi/compounded) adalah resep yang
telah dimodifikasi atau diformat oleh dokter yang menulis. Resep ini dapat
berupa campuran atau obat tunggal yang diencerkan dan dalam pelayanannya
perlu diracik terlebih dahulu (9).
c. Unsur – unsur Dalam Resep Dokter
a) Inscriptio
Identitas dokter: nama, alamat, dan nomor izin praktek dokter, dapat
dilengkapi dengan nomor telepon, jam praktek, serta hari praktek. Nama kota
dan tanggal penulisan resep.
b) Invocatio
Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep. Tanda ini adalah
singkatan dari resipe yang berarti “harap diambil”.
c) Prescriptio
Inti resep dokter atau komposisi berisi : nama seiap jenis/bahan obat, dan
jumlah bahan obat (mg, g, ml, l). Untuk penulisan jumlah obat dalam satuan
biji (tablet, kapsul, botol) dalam angka romawi.
9

d) Subscriptio
Merupakan tanda tangan/paraf dokter penulis resep yang berperan sebagai
legalitas dan keabsahan resep tersebut.
e) Signatura
Aturan pemakaian obat (frekuensi, jumlah obat dan saat obat diminum,
informasi lain), umumnya ditulis dengan singkatan dalam bahasa latin.
Aturan pakai ditandai dengan signa yang disingkat dengan huruf s.
f) Pro
Pro (diperuntukan) terdiri dari nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan
berat badan pasien (10).

C. Rumah Sakit
Berdasarkan PERMENKES No. 56 Tahun 2016 Rumah Sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat
darurat. Rumah sakit merupakan salah satu dari sarana kesehatan tempat
menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal bagi masyarakat (11).
Menurut WHO (World Health Organization) , rumah sakit merupakan bagian
intergral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan
pelayanan paripurna (komprehensif) , penyembuhan penyakit (kuratif) dan
pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat. Rumah sakit juga merupakan
pusat pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat penelitian medis (11).

a. Pelayanan Rumah Sakit


Berbagai Pelayanan yang diberikan di rumah sakit dibedakan menjadi dua
golongan, yaitu (12) :
a) Pelayanan utama yang terdiri dari :
1. Pelayanan medik/keperawatan yang dilakukan oleh berbagai staf medik
fungsional sesuai dengan jenis dan status penyakit penderita tertentu.
Staf medik fungsional umumnya terdiri atas dokter umum, dokter gigi
dan dokter spesialis dari disiplin: bedah umum, bedah syaraf. Bedah
10

jantung dan toraks, bedah tulang, bedah urologi, anastesi, bedah


obstetrik dan ginekologi, bedah proktologi, penyakit dalam dan lain
sebagainya (12).
2. Pelayanan Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) yang mempunyai
pengaruh besar terhadap perkembangan rumah sakit sebab hampir
seluruh pelayanan yang diberikan pada penderita di rumah sakit
berintervensi dengan sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan.
Bertanggung jawab atas pengelolaan dan pengendalian sediaan farmasi
atau perbekalan kesehatan, mulai dari perencanaan, pemilihan,
penetapan spesifikasi, pengadaan, pengendalian mutu, penyimpanan,
serta dispensing, distribusi bagi penderita, pemantauan efek, pemberian
informasi, dan sebagainya, semuanya adalah tugas, fungsi, serta
tanggung jawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit (12).
b) Pelayanan pendukung merupakan semua pelayanan yang mendukung
pelayanan medik untuk penegakan diagnosis dan perawatan penderita.
Pelayanan pendukung antara lain, pelayanan laboratorium, pelayanan ahli
gizi dan makanan, rekam medik, bank darah, serta sterilisasi, pemeriksaan
sinar-X dan layanan sosial (12).

D. Instalasi Farmasi Rumah Sakit


Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu unit di rumah sakit tempat
penyelenggaraan semua kegiatan pekerjaan kefarmasian yang ditujukan untuk
keperluan rumah sakit dan pasien. Pekerjaan kefarmasian adalah kegiatan yang
menyangkut pembuatan, pengendalian mutu sediaan farmasi, pengelolaan
perbekalan farmasi (perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
distribusi, pencatatan, pelaporan, pemusnahan/penghapusan), pelayanan resep,
pelayanan informasi obat, konseling, farmasi klinik di ruangan (13).
IFRS merupakan suatu organisasi pelayanan di rumah sakit yang memberikan
pelayanan produk yaitu sediaan farmasi, perbekalan kesehatan dan gas medis habis
pakai serta pelayanan jasa yaitu farmasi klinik (PIO, Konseling, Meso, Monitoring
Terapi Obat, Reaksi Merugikan Obat) bagi pasien atau keluarga pasien. IFRS
adalah fasilitas pelayanan penunjang medis, di bawah pimpinan seorang apoteker
yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
11

kompeten secara profesional, yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta
pelayanan kefarmasian, yang terdiri atas pelayanan paripurna, mencakup
perencanaan, pengadaan, produksi, penyimpanan perbekalan kesehatan/sediaan
farmasi; dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita rawat inap dan rawat
jalan; pengendalian mutu dan pengendalian distribusi dan penggunaan seluruh
perbekalan kesehatan di rumah sakit; serta pelayanan farmasi klinis (13).

a. Tugas
Melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan
kesehatan. Sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang dimaksud adalah
obat, bahan obat, gas medis dan alat kesehatan, mulai dari pemilihan,
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pengendalian, penghapusan, administrasi dan pelaporan serta evaluasi yang
diperlukan bagi kegiatan pelayanan rawat jalan dan rawat inap. IFRS berperan
sangat sentral terhadap pelayanan di rumah sakit terutama pengelolaan dan
pengendalian sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan kesehatan (13).

b. Tanggung Jawab
Mengembangkan pelayanan farmasi yang luas dan terkoordinasi dengan baik
dan tepat untuk memenuhi kebutuhan unit pelayanan yang bersifat diagnosis dan
terapi untuk kepentingan pasien yang lebih baik (13).

c. Fungsi
IFRS berfungsi sebagai unit pelayanan dan unit produksi. Unit pelayanan
yang dimaksud adalah pelayanan yang bersifat manajemen (nonklinik)
merupakan pelayanan yang tidak bersentuhan langsung dengan pasien dan
tenaga kesehatan lain. Pelayanan IFRS yang menyediakan unsur logistik atau
perbekalan kesehatan dan aspek administrasi. IFRS yang berfungsi sebagai
pelayanan nonmanajemen (klinik) pelayanan yang bersentuhan langsung dengan
pasien atau kesehatan lainnya (13).
d. Ruang Lingkup
Ruang lingkup IFRS yaitu memberikan pelayanan farmasi berupa pelayanan
nonklinik dan klinik. Pelayanan nonklinik biasanya tidak secara langsung
dilakukan sebagai bagian terpadu, pelayanan ini sifatnya administrasi atau
12

manajerial seperti pengelolaan sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan


kesehatan dan interaksi profesional dengan tenaga kesehatan lainnya. Pelayanan
klinik mencakup fungsi IFRS yang dilakukan dalam program rumah sakit yaitu
pelayanan obat di apotik/depo, konseling pasien, pelayanan informasi obat,
evaluasi penggunaan obat, monitoring efek samping obat, pemantauan terapi
obat (13).
E. Pelayanan Farmasi Rumah Sakit
Pelayanan kefarmasian di rumah sakit harus menjamin ketersediaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang aman, bermutu,
bermanfaat, dan terjangkau. Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian di
rumah sakit, harus dilakukan pengendalian mutu pelayananan kefarmasian yang
meliputi monitoring dan evaluasi (monev). Sebagian besar rumah sakit di Indonesia
belum melakukan kegiatan pelayanan farmasi seperti yang diharapkan, mengingat
beberapa kendala antara lain kemampuan tenaga farmasi, terbatasnya pengetahuan
manajemen rumah sakit akan fungsi farmasi rumah sakit, kebijakan manajemen
rumah sakit, terbatasnya pengetahuan pihak terkait tentang pelayanan farmasi
rumah sakit (13).
Praktik Kefarmasian adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh tenaga farmasi
dalam menjalankan pelayanan farmasi yang meliputi pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit meliputi 2
(dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan kegiatan pelayanan
farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia,
sarana, dan peralatan (13).

F. Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit


Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan
sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan
pelayanan kefarmasian. Standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit
13

bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin


kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dan melindungi pasien dan
masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka
keselamatan pasien (patient safety). Menurut peraturan perundang -
undangan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit meliputi :

a. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis


Habis Pakai
Kegiatan Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai di rumah sakit meliputi:
a) Pemilihan.
Setiap rumah sakit harus menggunakan jenis sediaan farmasi, alat
kesehatan, BMHP berdasarkan Formularium dan standar
pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi, pola penyakit, efektiv itas
dan keamanan, pengobatan berbasis bukti, mutu harga, dan
ketersediaan di pasaran. Formularium Rumah Sakit disusun oleh Tim
Farmasi dan Terapi yang disepakati oleh Staf Medik dengan mengacu
pada Formularium Nasional. Formularium RS harus tersedia untuk
semua penulis resep/instruksi pengobatan, penyediaan obat dan
pemberi obat di RS (14).
b) Perencanaan Kebutuhan.
Rumah Sakit harus melakukan perencanaan kebutuhan obat dengan
menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan untuk
menghindari kekosongan obat. Perencanaan obat yang baik dapat
meningkatka pengendalian stok sediaan farmasi di RS. Perencanaan
dilakukan mengacu pada Formularium RS yang telah disusun
sebelumnya(14).

c) Pengadaan.
Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan
yang telah direncanakan dan disetujui, melalui Pembelian,
Produksi/pembuatan sediaan farmasi, dan sumbangan/droping/ hibah.
14

Pembelian dengan penawaran yang kompetitif (tender) merupakan


suatu metode penting untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara
mutu dan harga, apabila ada dua atau lebih pemasok, apoteker harus
mendasarkan pada kriteria berikut : mutu produk, reputasi produsen,
distributor resmi, harga, berbagai syarat, ketepatan waktu pengiriman,
mutu pelayanan pemasok, dapat dipercaya, kebijakan tentang barang
yang dikembalikan, dan pengemasan (14).

d) Penerimaan.
Penerimaan dan pemeriksaan merupakan salah satu bagian dari
kegiatan pengadaan agar obat yang diterima sesuai dengan jenis,
jumlah dan mutunya berdasarkan dokumen yang menyertainya
dilakukan oleh panitia penerimaan yang salah satu anggotanya adalah
tenaga farmasi. Pemeriksaan mutu obat dilakukan secara
organoleptik, khusus pemeriksaan label dan kemasan perlu dilakukan
pengecekan terhadap tanggal kedaluwarsa, dan nomor batch terhadap
obat yang diterima (14).
e) Penyimpanan.
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara
dengan cara menempatkan sediaan farmasi dan BMHP yang diterima
pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik
yang dapat merusak mutu obat. Tujuan penyimpanan adalah untuk
memelihara mutu sediaan farmasi, menghindari penggunaan yang
tidak bertanggungjawab, menghindari kehilangan dan pencurian, serta
memudahkan pencarian dan pengawasan (14).

f) Pendistribusian.
Distribusi adalah kegiatan menyalurkan sediaan farmasi dan
BMHP di rumah sakit untuk pelayanan pasien dalam proses terapi
baik pasien rawat inap maupun rawat jalan serta untuk menunjang
pelayanan medis dan BMHP. Tujuan pendistribusian adalah
tersedianya sediaan farmasi dan BMHP di unitunit pelayanan secara
tepat waktu, tepat jenis dan jumlah. Distribusi sediaan farmasi dan
15

BMHP dapat dilakukan dengan salah satu/kombinasi system (14).

g) Pemusnahan Dan Penarikan.


Rumah Sakit harus memiliki sistem penanganan obat yang rusak
(tidak memenuhi persyaratan mutu)/telah kedaluwarsa/tidak
memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan
atau kepentingan ilmu pengetahuan/dicabut izin edarnya untuk
dilakukan pemusnahan atau pengembalian ke distributor sesuai
ketentuan yang berlaku. Tujuan pemusnahan adalah untuk menjamin
sediaan farmasi dan BMHP yang sudah tidak memenuhi syarat
dikelola sesuai dengan standar yang berlaku. Adanya penghapusan
akan mengurangi beban penyimpanan maupun mengurangi risiko
terjadi penggunaan obat yang sub standar (14).

h) Pengendalian.
Pengendalian persediaan adalah suatu kegiatan untuk memastikan
tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan
program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan/kekosongan obatdi rumah sakit (14).

i) Administrasi.
Kegiatan administrasi terdiri dari Pencatatan, Pelaporan,
Administrasi Keuangan, dan Administrasi Penghapusan Pencatatan
merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memonitor transaksi
sediaan farmasi dan BMHP yang keluar dan masuk di lingkungan
IFRS. Adanya pencatatan akan memudahkan petugas untuk
melakukan penelusuran bila terjadi adanya mutu obat yang substandar
dan harus ditarik dari peredaran. Pencatatan dapat dilakukan dengan
menggunakan bentuk digital maupun manual. Kartu yang umum
digunakan untuk melakukan pencatatan adalah Kartu Stok dan kartu
Stok Induk (14).

b. Pelayanan Farmasi Klinik


Kegiatan Pelayanan Farmasi Klinik di rumah sakit meliputi:
16

a) Pengkajian Dan Pelayanan Resep.


Pengkajian dan pelayanan resep merupakan suatu rangkaian
kegiatan dalam penyiapan obat (dispensing) yang meliputi
penerimaan, pengkajian resep, pemeriksaan ketersediaan produk,
penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai, telaah obat, dan penyerahan disertai pemberian informasi.
kegiatan pengkajian resep dilakukan dengan tujuan untuk
mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah terkait obat sebelum
obat disiapkan. Sedangkan pelayanan resep bertujuan agar pasien
mendapatkan obat dengan tepat dan bermutu (14).

b) Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat.


Kegiatan mendapatkan informasi yang akurat mengenai seluruh
obat dan sediaan farmasi lain, baik resep maupun non resep yang
pernah atau sedang digunakan pasien. Kegiatan ini dilakukan dengan
cara mewawancarai pasien, keluarga/pelaku rawat (care giver) dan
dikonfirmasi dengan sumber data lain, contoh: daftar obat di rekam
medis pada admisi sebelumnya, data pengambilan obat dari Instalasi
Farmasi, obat yang dibawa pasien (14).

c) Rekonsiliasi Obat.
Proses mendapatkan dan memelihara daftar semua obat (resep dan
nonresep) yang sedang pasien gunakan secara akurat dan rinci,
termasuk dosis dan frekuensi, sebelum masuk RS dan
membandingkannya dengan resep/instruksi pengobatan ketika admisi,
transfer dan discharge, mengidentifikasi adanya diskrepansi dan
mencatat setiap perubahan, sehingga dihasilkan daftar yang lengkap
dan akurat (14).

d) Pelayanan Informasi Obat (PIO).


Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan
dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat,
tidak bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh
apoteker(14).
17

e) Konseling.
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran
terkait terapi obat dari apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau
keluarganya. Pemberian konseling obat bertujuan untuk
meningkatkan kepatuhan pasien, mengoptimalkan hasil terapi,
meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD),
dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya
meningkatkan keamanan penggunaan obat bagi pasien (patient
safety)(14).

f) Visite.
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan
untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji
masalah terkait obat, memantau terapi obat dan Reaksi Obat yang
Tidak Dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan
menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional
kesehatan lainnya (14).

g) Pemantauan Terapi Obat (PTO).


Pemantauan Terapi Obat (PTO) adalah kegiatan untuk memastikan
terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien Meningkatkan
efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD), meminimalkan biaya pengobatan dan
menghormati pilihan pasien (14).

h) Dokumentasi
Pemantauan Terapi Obat (PTO) yang dilakukan harus
dikomunikasikan dengan dokter, perawat dengan metode komunikasi
SOAP (Subjective Objective Assessment Plan) sebagai dokumen
tertulis dan dapat dilakukan metode SBAR (Situation Background
Assessment Recommendation) jika dilakukan komunikasi verbal.
Penulisan SOAP harus menyatakan kesinambungan dan keterkaitan
antara data subyektif dengan data obyektif. Selanjutnya data yang
18

ditulis sebaiknya mencerminkan hal-hal yang akan dianalisa dalam


asesmen. Asesmen mencantumkan Drug Related Problem (DRP)
yang ditemukan dari analisis.Plan ditulis berurutan sesuai dengan
hasil asesmen (bila DRP lebih dari satu). SOAP ditulis secara
berkesinambungan dengan SOAP sebelumnya. Penulisan SOAP harus
mencantumkan tanggal dan waktu penulisan serta diakhiri dengan
paraf apoteker disertai nama berikut gelar (14).

i) Monitoring Efek Samping Obat (MESO).


MESO yang dilaksanakan di RS lebih tepat bila disebut
farmakovigilans yakni mengenai survei ESO, identifikasi obat pemicu
ESO, analisis kausalitas dan memberikan rekomendasi
penatalaksanaannya (14).

j) Evaluasi Penggunaan Obat (EPO).


Proses sistematis dan berkesinambungan dalam menilai
kerasionalan terapi obat melalui evaluasi data penggunaan obat pada
suatu sistem pelayanan dengan mengacu pada kriteria dan standar
yang telah ditetapkan (ASHP). jenis-jenis evaluasi penggunaan
obat(14):
1. Evaluasi penggunaan obat kuantitatif, contoh: pola peresepan
obat, pola penggunaan obat
2. Evaluasi penggunaan obat kualitatif, contoh: kerasionalan
penggunaan (indikasi, dosis, rute pemberian, hasil terapi)
farmakoekonomi, contoh: analisis minimalisasi biaya, analisis
efektifitas biaya, analisis manfaat biaya, analisis utilitas
biaya(14).
k) Dispensing Sediaan Steril.
Dispensing sediaan steril adalah penyiapan sediaan farmasi steril
untuk memenuhi kebutuhan individu pasien dengan cara melakukan
pelarutan, pengenceran dan pencampuran produk steril dengan teknik
aseptic untuk menjaga sterilitas sediaan sampai diberikan kepada
pasien(14).
19

l) Pemantauan Kadar Obat Dalam Darah (PKOD).


Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan
interpretasi hasil pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari
dokter yang merawat dikarenakan adanya masalah potensial atau atas
usulan dari Apoteker kepada dokter (14).

G. Pelayanan Farmasi Rawat Jalan


Pelayanan farmasi di rumah sakit menurut Permenkes No. 56 Tahun 2014
tentang klasifikasi dan perizinan rumah sakit meliputi pengelolaan sedian farmasi,
alat kesehatan dan bahan medis habis pakai. Rumah sakit meliputi 2 kegiatan, yaitu
kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sedian farmasi, alat kesehatan
dan bahan medis habis pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik.Kegiatan
tersebut harus didukung oleh SDM, sarana, dan peralatan.Pelayanan kefarmasian di
rawat jalan yang meliputi pelayanan farmasi manajerial dan klinik dengan aktivitas
pengkajian resep, penyerahan obat, pencatatan penggunaan obat dan konseling.
Dalam pelayanan farmasi untuk pasien rawat jalan dirumah sakit meliputi aspek
sebagai berikut (15):
a. Aspek Manajemen
Apotik berfungsi untuk melakukan perencanaan, pengelolaan staf,
pengelolaan unit pelayanan pasien rawat jalan. Hal tersebut dilakukan karena
apoteker berperan sebagai penanggung jawab dalam unit pelayanan farmasi
khususnya pelayanan pasien rawat jalan (15).
b. Aspek Fasilitas dan Peralatan
Fasilitas dan peralatan unit rawat jalan antara lain posisi farmasi harus berada
dalam wilayah yang mudah dijangkau oleh pasien, dilengkapi dengan kapasitas
ruangan khusus bagi apoteker dan pasien untuk melakukan konseling, serta
ruang tunggu yang nyaman bagi pasien juga sangat diperlukan. Sumber
pengolahan data yang memadai diperlukan untuk menyajikan informasi
mengenai profil pengobatan pasien, sistem billing untuk pasien maupun
mengelola persedian obat (15).
20

c. Aspek Persyaratan Order / Resep Obat


Dalam pengelolaan obat persyaratan yang harus dipenuhi antara lain (15):
a) Fungsi dispensing dilakukan oleh seorang apoteker atau Asisten Apoteker
yang ditunjuk di bawah pengawasan apoteker.
b) Seorang apoteker juga harus mengembangkan kebiasaan mengetahui
praktik penulisan resep oleh dokter.
c) Obat yang diberikan kepada pasien rawat jalan hanya berdasarkan order
tertulis atau lisan dari dokter penulis yang sah. Order lisan hanya dapat
diterima oleh apoteker
d) Ketepatan pemilihan obat, dosis, dosis, rute pemberian serta jumlah secara
klinik harus dikaji apoteker.
d. Aspek Operasional Lainnya
Selain itu diperlukan kebijakan atau pedoman yang mengatur tentang jam
kerja instalasi farmasi rumah sakit, penggunaan formularium yang berlaku di
rumah sakit, pengadaan, pendistribusian obat, pelaporan masalah obat,
keamanan obat, penanganan obat yang berbahaya, maupun dokumentasi obat-
obat, pemberian informasi, edukasi dan konseling (15).

H. Pasien Pediatri
Masa bayi dan anak merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang
sangat pesat. Anak bukan dewasa kecil sehingga penggunaan obat untuk anak
merupakan hal khusus yang terkait dengan perbedaan laju perkembangan organ,
sistem enzim yang bertanggung jawab terhadap metabolisme dan ekskresi obat. Hal
ini ditunjang dengan belum banyaknya penelitian tentang penggunaan obat pada
bayi dan anak. Data farmakokinetik, farmakodinamik, efikasi dan keamanan obat
untuk bayi dan anak-anak masih sangat jarang. Kurangnya informasi mengenai hal
ini menyebabkan timbulnya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki seperti
grey baby syndrome (sebagai akibat pemberian kloramfenikol dengan dosis
berlebih), phocomelia (sebagai akibat pemberian thalidomida) dan kernicterus
(sebagai akibat pemberian sulfonamida) (16).
Hal penting yang harus diperhatikan untuk pediatri adalah dosis yang optimal,
regimen dosis tidak dapat disederhanakan hanya berdasarkan berat badan atau luas
21

permukaan tubuh pasien pediatri yang diperoleh dari ekstrapolasi data pasien
dewasa. Bioavalaibilitas, farmakokinetik, farmakodinamik, efikasi dan informasi
tentang efek samping dapat berbeda secara bermakna antara pasien pediatri dan
pasien dewasa karena adanya perbedaan usia, fungsi organ dan status penyakit.
Perkembangan yang signifikan telah dibuat untuk farmakokinetik untuk pediatri
selama dua dekade ini, tetapi hanya sedikit penelitian yang mempunyai korelasi
secara farmakokinetik dengan outcome efikasi, efek samping dan kualitas
hidup.(16).
a Pembagian Usia
Perkembangan penanganan klinik penyakit untuk pasien pediatri sangat
berarti. Ada banyak prinsip farmakoterapi yang harus dipertimbangan dalam
penanganan pasien pediatri. Beberapa definisi yang berhubungan dengan
pediatri adalah (16) :
a) Pediatri : Anak yang berusia lebih muda dari 18 tahun
b) Neonatus : Usia 1 hari sampai 1 bulan
c) Bayi : Usia 1 bulan sampai 1 tahun
d) Anak : Usia 1 tahun sampai 11 tahun
e) Remaja : Usia 12 tahun sampai 18 tahun

b Ruang Lingkup Pelayanan Kefarmasin Pasien Pediatri


Pasien pediatri sesuai dengan kondisi penyakitnya dapat diberikan pelayanan
sebagai berikut:
a) Pelayanan rawat jalan untuk pencegahan penyakit, pencegahan keracunan
dan imunisasi serta penanganan penyakit ringan atau penyakit yang berat
yang sudah dalam fase pemeliharaan atau penyakit kronis.
b) Pelayanan rawat darurat untuk penanganan pasien dengan kondisi
emergensi yang memerlukan penanganan cepat dan mengancam jiwa.
c) Pelayanan rawat inap untuk penanganan pasien dengan kondisi penyakit
atau gangguan yang memerlukan perawatan, pengobatan dan pemantauan
yang khusus (16).
22

I. Kerangka Teori

Rumah Sakit

Standar Pelayanan Kefarmasian

Pengelolaan Sediaan
Pelayanan Farmasi Klinik
Farmasi, Alat Kesehatan
dan Bahan Medis Habis
Pakai
Pengkajian dan Pelayanan Resep

Medication Error

Prescribing Transcribin Dispensing Administrasi


g on

Pengkajian Administrasi
Resep
1. Nama Pasien
2. Umur Pasien
3. Jenis Kelamin Pasien
4. Berat Badan Pasien
5. Tinggi Badan Pasien
6. Nama Dokter
7. Nomor Ijin (SIP)
8. Alamat Dokter
9. Paraf Dokter
10. Tanggal Resep
11. Ruangan/Unit Asal Resep
Pengkajian Klinis Resep
1. Indikasi
2. Duplikasi pengobatan
3. Interaksi obat
4.
Gambar 2.1 Skema Kerangka Teori
23

J. Kerangka Konsep

Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum


Kartini Kalirejo Kabupaten Lampung
Tengah

Resep

Variabel Bebas Variabel Terikat


(Variable Independent) (Variable Dependent)

Resep Pasien Pediatri Medication Error

Karakteristik Pasien, Pola Fase Pesribing


Penyakit , Pola
Pengobatan
Pengkajian Administrasi
Resep
12. Nama Pasien
13. Umur Pasien
14. Jenis Kelamin Pasien
15. Berat Badan Pasien
16. Tinggi Badan Pasien
17. Nama Dokter
18. Nomor Ijin (SIP)
19. Alamat Dokter
20. Paraf Dokter
21. Tanggal Resep
22. Ruangan/Unit Asal
Resep
Pengkajian Klinis Resep
1. Indikasi
2. Duplikasi pengobatan
3. Interaksi obat

Gambar 2.2 Skema Kerangka Konsep


24

K. Definisi Oprasional
Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang dimaksud, atau
tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan (17). Berikut ini definisi
operasional dari variabel yang digunakan dalam penelitian:

Tabel 2.2 Definisi Oprasional


No Variabel Definsi Ukuran Skala
1 Usia Usia responden yang dihitung 1. Neonatus : : Usia 1 hari Interval
dari tahun saat penelitian sampai 1 bulan
dikurangi tahun lahir 2. Bayi : Usia 1 bulan
responden. sampai 1 tahun
3. Anak : Usia 1 tahun
sampai 11 tahun
4. Remaja : Usia 12 tahun
sampai 18 tahun

2 Jenis Perbedaan biologis dan 1. Laki – Laki Interval


Kelamin fisiologis yang dibawa sejak 2. Perempuan
lahir dan tidak dapat diubah.

3 Pesribing Pengkajian Administrasi - Terjadi Nominal


error Resep medication error bila
tidak ada informasi pada
i 1. Nama Pasien bagian administrasi
2. Umur Pasien
3. Jenis Kelamin Pasien
4. Berat Badan Pasien - Tidak terjadi
5. Tinggi Badan Pasien medication error bila ada
iformasi bagian
6. Nama Dokter administrasi
7. Nomor Ijin (SIP)
8. Alamat Dokter
9. Paraf Dokter
10. Tanggal Resep
11. Ruangan/Unit Asal
Resep
Pengkajian Klinis Resep
1. Indikasi
2. Duplikasi pengobatan
3. Interaksi obat
25

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pengambilan data secara
retrospektif yang didasarkan data resep pasien di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Umum Kartini Kalirejo Kabupaten Lampung Tengah.

B. Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2022 data yang diambil dari bulan
Januari – Juni tahun 2022 di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Kartini Kalirejo
Kabupaten Lampung Tengah.

C. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel


a. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah resep pasien pediatri di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit Umum Kartini Kalirejo Kabupaten Lampung Tengah periode
Januari – Juni 2022 dengan jumlah 1825 resep.

b. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah resep pasien pediatri di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit Umum Kartini Kalirejo Kabupaten Lampung Tengah periode
Januari – Juni 2022 yang memenuhi kriteria inklusi.

c. Metode Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel menggunakan teknik random sampling yaitu
pengambilan sampel secara acak, yang dimana diasumsikan populasi yang
diambil homogen, jadi setiap anggota populasi mempunyai kesempatan yang
sama untuk diseleksi sebagai sampel.Setelah didapatkan data populasi, maka
besaran sampel dihitung dengan rumus dibawah ini :
26

N
n=
1 + N (d)

Keterangan :
n = besaran sampel minimum
N = jumlah populasi
d = tingkat kepercayaan/ketetapan yang diinginkan (0.1)
Sehingga jika besar populasi 1825 pasien pediatri pada periode Januari – Juni
2022, maka perhitungan besar sampelnya adalah :
1825
n=
1 + 18,25 (0,1)
1825
n=
19,25
𝑛 = 94,8 dibulatkan menjadi 100 sampel

d. Kriteria Sampel
a) Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap
anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel (15). Sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini :
1. Resep pasien pediatri dengan umur 1 sampai 18 tahun di Instalasi
Farmasi Rumah Sakit Umum Kartini Kalirejo Kabupaten Lampung
Tengah periode Januari – Juni 2022.
2. Resep pasien pediatri rawat jalan yang ditebus di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit Umum Kartini Kalirejo Kabupaten Lampung Tengah
periode Januari – Juni 2022.
b) Kriteria Ekslusi
Kriteria ekslusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil
sebagai sampel (15). Kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah Resep yang
tidak terbaca dan tidak teridentifikasi dengan jelas.

D. Variabel Penelitian
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang
dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu konsep tertentu.
27

a. Variabel Bebas (Variable Independent)


Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi
sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat (dependent). Dalam
penelitian ini variabel independenya adalah resep pasien pediatri Instalasi
Farmasi Rumah Sakit Umum Kartini Kalirejo Kabupaten Lampung Tengah.

b. Variabel Terikat (Variable Dependent)


Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat
karena adanya variabel independen. Dalam penelitian ini variabel dependennya
adalah kesalahan pengobatan (Medication Error) pada tahap prescrebing.

E. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Peraturan Mentri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit. Pengumpulan data dilakukan sendiri oleh penulis.

F. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data sekunder dengan
pengumpulan data resep, setiap temuan Medication error pada fase prescrebing.
Selanjutnya data ditabulasi dalam bentuk % (persen) dari masing-masing bentuk
kejadian Medication Error dengan mengggunakan diagram batang. Setelah data
terkumpul, data akan dikelola dengan program Microsoft Excel yang ada
dikomputer.

G. Pengolahan Data
Data diolah dengan Microsoft Excel untuk mempermudah dalam pengolahan
data yang diperoleh selanjutnnya disimpulkan dan dilihat kesesuaianya dengan
persyaratan Kepututasan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 Tahun 2016 tentang
pelayanan kefarmasian di rumah sakit. Kemudian data hasil penilaian pada angket
dianalisis untuk mengetahui ada atau tidaknya kesalahan medication eror di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Kartini Kalirejo Kabupaten Lampung
Tengah.
28

H. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara analisis univariat (deskriptif) dan dihitung dalam
besaran presentasi sehingga menghasilkan angka presentasi yang dimaksudkan
pada masing fase prescribing kejadian medication error.

I. Rencana Jadwal Kegiatan


Penelitian ini akan dilakukan secara bertahap dimulai dari studi pustaka sampai
uji sidang skripsi. Adapan rencana jadwal kegiatan sebagai berikut :
Bulan/Tahun 2022
Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Studi Pustaka
Penyusunan
Makalah Proposal
Seminar Proposal

Persiapan Penelitian

Pelaksanaan
Penelitian
Pengolahan dan
Analisis Data
Penyusunan Skripsi
Seminar Hasil
Perbaikan Skripsi
29

DAFTAR PUSTAKA

1. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2020. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Klasifikasi Dan Perizinan
Rumah Sakit. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
2. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
3. Setya Enti Rikomah. 2018. Farmasi Klinik. Jakarta: Deepublish.
4. Wahyuning Setyani. 2020. Resep Dan Peracikan Obat. Sanata Dharma Univ
Press.
5. Firdayanti. 2020. Identifikasi Medication Error Pada Resep Pasien Pediatri
Di Palu Indonesia. As-Syifaa J Farm. 12(02):107–16.
6. Nu’man Maiz. 2014. Analisis Medication Error Fase Prescribing Pada Resep
Pasien Anak Rawat Jalan Di Instalasi Farmasi RSUD Sambas Tahun 2014.
Progr Stud Farm Fak Kedokt Univ Tanjungpura.
7. Aronson JK. 2009. Medication error definition and classification. Br J clin
pharmacol; 599–604.
8. Moh. Anief. 2012. Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
9. Amalia. 2014. Rational Drug Prescription Writing. JUKE. 4(7).
10. Team Medical Mini Notes. 2014. Basic Pharmacology & Drug Notes.
Makasar.
11. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. PERMENKES RI No. 56 Tahun
2014 Tentang Klasifikasi Dan Perizinan Rumah Sakit. 2014.
12. Septini R. 2012. Analisis Waktu Tunggu Pelayanan Resep Pasien Askes
Rawat Jalan di Yanmasum Farmasi RSPAD Gatot Subroto tahun 2011.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Univesitas Indonesia.
13. Febri Enda Budi Setiawan. 2019. Menejemen Rumah Sakit. Sidoarjo:
Jafatama Jawara.
14. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). 2019. Petunjuk
Teknis Standar PElayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
15. Siregar. 2014. Farmasi Rumah Sakit : Teori dan Penerapan. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
30

16. Derektorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2009. Pedoman Pelayanan
Kefarmasian Untuk Pasien Pediatri. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
17. Notoatmodjo S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
31

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai