Anda di halaman 1dari 84

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PEMBUATAN MIKROPARTIKEL
DILTIAZEM HIDROKLORIDA MENGGUNAKAN
METODE PENGUAPAN PELARUT

SKRIPSI

EVI NURUL HIDAYATI


1111102000131

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2015

i
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PEMBUATAN MIKROPARTIKEL
DILTIAZEM HIDROKLORIDA MENGGUNAKAN
METODE PENGUAPAN PELARUT

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

EVI NURUL HIDAYATI


1111102000131

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2015

ii
ABSTRAK

Nama : Evi Nurul Hidayati


Program Studi : Farmasi
Judul Penelitian : Pembuatan Mikopartikel Diltiazem Hidroklorida
Menggunakan Metode Penguapan Pelarut

Mikropartikel merupakan salah satu sistem penghantaran obat yang berpotensi


untuk dikembangkan karena sistem ini dapat menjadi alternatif penghantaran
beberapa sediaan konvensional. Metode penguapan pelarut adalah metode
pembuatan mikropartikel yang sederhana dan efektif untuk menghasilkan
mikropartikel. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
penguapan pelarut menggunakan sistem emulsi minyak/air. Tujuan penelitian ini
adalah formulasi dan karakterisasi mikropartikel diltiazem hidroklorida. Bahan
yang digunakan adalah etil selulosa, diltiazem hidroklorida dan polivinil alkohol.
Mikropartikel dibuat dalam dua formula yaitu F1 dan F2 dengan variasi pada
konsentrasi surfaktan. Konsentrasi surfaktan yang digunakan untuk F1 dan F2
berturut-turut adalah 0,8% dan 1%. Mikropartikel yang terbentuk dianalisa apakah
berpotensi untuk dihantarkan melalui paru-paru. Berikutnya dilakukan
karakterisasi mikropartikel, yaitu ukuran mikropartikel, kadar obat, efisiensi
penjerapan, perolehan kembali, dan pelepasan obat. Hasil karakterisasi
mikropartikel F1 dan F2 berturut-turut yaitu perolehan kembali 77,51% dan
57,51%. Rentang ukuran yaitu sebesar 0,680-159,740 µm dan 0,340-117,674 µm.
Kadar obat yaitu 3,51±0,02 % dan 3,91±0,01 %. Efisiensi penjerapan yaitu
9,57±0,02 % dan 7,87±0,01 %. Hasil disolusi selama 8 jam mencapai 7,44±0,32%
pada F1 dan 6,94±0,05% pada F2. Apabila dianalisa dari hasil karakterisasi
mikropartikel, metode ini belum bisa menghasilkan mikropartikel yang sesuai
untuk sistem penghantaran obat melalui paru-paru.

Kata kunci : mikropartikel, metode penguapan pelarut, etil selulosa, diltiazem


hidroklorida, polivinil alkohol

vi
ABSTRACT

Name : Evi Nurul Hidayati


Major : Pharmacy
Title : Formulation Microparticle of Diltiazem Hydrochloride
using Solvent Evaporation Methode

Microparticle is a drug delivery system that has potential to be developed


because this system can be an alternative to deliver some conventional dosages.
Solvent evaporation method is a microparticle preparation method that is simple
and effective to produce microparticles. The method that was used for this study is
solvent evaporation method using o/w system. The purpose of this study is to
formulate and characterize diltiazem hydrochloride microparticles. Materials used
in this study are ethyl cellulose, diltiazem hydrochloride and polyvinyl alcohol.
Microparticle were formulated in two formulas termed F1 and F2 with variation in
surfactant concentration. Surfactant concentration used for F1 and F2 respectively
0,8% and 1%. Microparticles from this method is analyzed whether it has
potential to be delivered through the pulmonary drug delivery system.
Microparticles was characterized with various parameters such us, the
microparticle size, drug loading, drug entrapment efficiency, % yield, and drug
release. The characterization results of microparticle F1 and F2 were respectively
77.51% and 57.51%. The size range was 0.680 to 159.740 μm and 0.340 to
117.674 μm. The drug contentwas3.51 and 3.91 ± 0.02% ± 0.01%. The drug
entrapment efficiency was 0.02% ± 9.57 and 7.87 ± 0.01%. The dissolution results
for 8 hours reached 7.44 ± 0.32%for F1 and 6.94 ± 0.05% for F2. If its analyzed
from the microparticle characterization, this method can not produce sufficient
microparticle for pulmonary drug delivery system.

Keywords : microparticles, solvent evaporation method, ethyl cellulose


diltiazem hydrochloride, polyvinyl alcohol

vii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis ucapkan kepada


Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, ridho dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapaat menyelesaikan penyusunan skripsi ini hingga selesai. Penulisan
skripsi berjudul “Pembuatan Mikropartikel Diltiazem Hidroklorida Menggunakan
Metode Penguapan Pelarut” bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna
mendapatkan gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, sejak masa perkuliahan hingga penyusunan skripsi
ini, sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karna itu,
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt dan Ibu Nelly Suryani, Ph.D., Apt, selaku
dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, wakt, tenaga,
saran, dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM.,M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Uiniversitas Isalam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Bapak Yardi, Ph.D., Apt selaku ketua program studi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Uiniversitas Isalam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Seluruh dosen di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu
pengetahuan yang telah diberikan kepada saya.
5. Kedua orang tua, ayahanda Drs. Abd. Rochim dan ibunda Dra. Elik
Zunniaroh yang senantiasa memberikan doa, semangat dan kasih sayang yang
tidak pernah putus, serta dukungan moril maupun materil. Sungguh besar jasa
beliau, tidak ada apapun di dunia ini yang mampu membalas pengorbanan
beliau. Semoga Allah selalu memberikan keberkahan, kesehatan,
keselamatan, perlindungan, rahmat kepada kedua orang tua hamba.
6. Kedua kakak saya, Muhammad Syaifuddin Zuhri dan Nurur Rahmawati yang
telah memberikan doa, semangat, kasih sayang, dan dukungan moril maupun
materil sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar

viii
7. Seluruh keluarga besar Prodi Farmasi FKIK yang telah memberikan
kesempatan, kemudahan dan dukungan dalam melakukan penelitian
8. Kakak-kakak laboran FKIK, kak Eris, kak Rahmadi, mba Rani, kak Tiwi, kak
Lisna atas dukungan dan kerjasamanya selama kegiatan penelitian
9. Lela Laelatu R, Athiyah, Silvia Aryani, Annisa Tiana S.P, Annisa Nurul
Azzahra serta teman-teman seperjuangan yang telah memberikan semangat
dan kebersamaannya, terima kasih atas kerjasama dalam penelitian ini
10. Teman-teman seperjuangan farmasi angkatan 2011 atas dukungan dan
kebersamaannya
11. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
memberikan dukungan hingga terwujudnya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, namun
penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengehtahuan pada umumnya, dan ilmu farmasi pada khususnya. Akhir kata
penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

Ciputat, 2 Juli 2015


Penulis

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii


HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xv
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 3
1.3 Hipotesis ........................................................................................... 3
1.4 Tujuan............................................................................................... 3
1.5 Manfaat ............................................................................................. 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 5
2.1 Mikropartikel .................................................................................... 5
2.2 Metode Pembuatan Mikropartikel .................................................... 8
2.2.1 Presipitasi Partikel dengan Penambahan
Bukan Pelarut (Koaservasi) .................................................... 8
2.2 2 Presipitasi Partikel dengan Partisis Pelarut ............................. 9
2.2 3 Semprot Kering (Spray Drying) .............................................. 10
2.2 4 Metode Ekstraksi Cairan Superkritis....................................... 11
2.2 5 Metode Penguapan Pelarut ...................................................... 12
2.2 5.1 Proses Emulsi Tunggal ............................................... 13
2 5.1.2 Proses Emulsi Ganda .................................................. 16
2.3 Pembuatan Mikropartikel Menggunakan Metode
Penguapan Pelarut ............................................................................ 18
2.3 1 Material ................................................................................... 18
2.3 1.1 Fase Dispersi ............................................................... 18
2.3 1.1 Fase Kontinyu ............................................................. 22
2.3.2 Kondisi dalam Pembuatan Mikropartikel Menggunakan
Metode Penguapan Pelarut ..................................................... 23
2.3 2.1 Agitasi dan Prediksi Ukuran ....................................... 23

xi
2.3 2.2 Suhu dan Tekanan....................................................... 24
2.4 Penghantaran Obat Melalui Paru-Paru ............................................. 26
2.5 Diltiazem Hidroklorida .................................................................... 28
2.6 Etil Selulosa...................................................................................... 29
2.9 Polivinil Alkohol .............................................................................. 30
BAB 3. METODE PENELITIAN ..................................................................... 32
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................... 32
3.2 Alat dan Bahan ................................................................................ 32
3.2.1 Alat .......................................................................................... 32
3.2.2 Bahan ...................................................................................... 32
3.3 Prosedur Kerja .................................................................................. 32
3.3.1 Formula Mikropartikel ............................................................ 32
3.3.2 Pembuatan Mikropartikel ........................................................ 33
3.3.3 Penentuan Perolehan Kembali ................................................ 33
3.3.4 Penentuan Ukuran Partikel Mikropartikel .............................. 34
3.3 5 Pembuatan Panjang Gelombang Maksimum dan
Kurva Kalibrasi ....................................................................... 34
3.3 6 Penentuan Kadar Obat dan Efisiensi Penjerapan .................... 34
3.3 7 Pelepasan Obat Secara In Vitro ............................................... 35
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 36
4.1 Formulasi Mikropartikel .................................................................. 36
4.2 Perolehan Kembali ........................................................................... 36
4.3 Ukuran Mikropartikel ....................................................................... 37
4.4 Pembuatan Panjang Gelombang Maksimum dan
Kurva Kalibrasi ............................................................................... 41
4.5 Kadar Obat dan Efisiensi Penjerapan ............................................... 41
4.6 Pelepasan Obat ................................................................................. 42
BAB 5 . KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 45
5.1 Kesimpulan....................................................................................... 45
5.2 Saran ................................................................................................. 45
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 47
LAMPIRAN ........................................................................................................ 58

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Variasi Formula Mikropartikel...................................................... 5


Gambar 2.2. Skema Empat Prinsip Proses Dalam Pembuatan Mikrosfer
Menggunakan Penguapan Pelarut (Minyak/Air) .......................... 14
Gambar 2.3. Enkapsulasi Menggunakan Teknik Emulsi Minyak Dalam Air..... 14
Gambar 2.4. Skema empat proses utama pada proses penguapan/ekstraksi
pelarut (Air/Minyak/Air) ............................................................... 18
Gambar 2.5. Struktur Kimia Diltiazem Hidroklorida ......................................... 28
Gambar 2.6. Stuktur Kimia Etil Selulosa ........................................................... 29
Gambar 2.7. Stuktur Kimia Polivinil Alkohol .................................................... 31
Gambar 4.1. Diagram Distribusi Frekuensi Mikropartikel F1 ........................... 39
Gambar 4.2. Diagram Distribusi Frekuensi Mikropartikel F2 ........................... 40
Gambar 4.3. Kurva kalibrasi Diltiazem Hidroklorida dalam
Dapar Fosfat pH 7,4 ...................................................................... 41
Gambar 4.4. Profil Pelepasan Mikropartikel Diltiazem HCl ............................. 43

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Formula Mikropartikel Diltiazem Hidroklorida ............................... 33


Tabel 4.1. Efek Variabel Konsentrasi Surfaktan pada Mikropartikel
Diltiazem Hidroklorida ..................................................................... 37
Tabel 4.2. Efek Variabel Konsentrasi Surfaktan pada Ukuran Mikropartikel ... 37
Tabel 4.3. Distribusi Ukuran Mikropartikel F1 ................................................. 39
Tabel 4.4. Distribusi Ukuran Mikropartikel F2 ................................................. 40
Tabel 4.5 Efisiensi Penjerapan dan Kadar Obat Mikropartikel ........................ 42
Tabel 4.6. Persen Pelepasan Obat Mikropartikel Diltiazem HCl....................... 43

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Alur Penelitian .............................................................................. 58


Lampiran 2. Pembuatan Dapar Fosfat ............................................................... 58
Lampiran 3. Scanning Panjang Gelombang Maksimum DIltiazem
Hidroklorida Medium Dapar Fosfat pH 7,4 ................................. 59
Lampiran 4. Data Absorbansi Kurva Standar Diltiazem Hidroklorida
Medium Dapar Fosfat pH 7,4 ....................................................... 59
Lampiran 5. Hasil Mikropartikel Diltiazem Hidroklorida ................................ 60
Lampiran 6. Hasil Uji Perolehan Kembali (PK) ............................................... 60
Lampiran 7. Hasil Uji Disolusi pada Mikropartikel.......................................... 60
Lampiran 8. Bobot dan Persentase Terdisolusi F1 ........................................... 61
Lampiran 9. Bobot dan Persentase Terdisolusi F2 ........................................... 61
Lampiran 10. Gambar Alat .................................................................................. 62
Lampiran 11. Contoh Perhitungan Nilai Efisiensi Penjerapan dan Kadar Obat . 62
Lampiran 12. Contoh Perhitungan Persentase Disolusi ...................................... 62
Lampiran 13. Contoh Perhitungan Persentase Disolusi ...................................... 64
Lampiran 14. Contoh Perhitungan Volume Mikropartikel ................................. 66
Lampiran 15. Sertifikat Analisis Etil Selulosa .................................................... 67
Lampiran 16. SertifikatAnalisis Poli Vinil Alkohol ........................................... 68
Lampiran 17. Sertifikat Analisis Diltiazem Hidroklorida ................................... 69

xv
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sediaan mikropartikel adalah sediaan dengan ukuran partikel sebesar 1-
1000 µm. Mikropartikel dapat menjadi penghantaran obat yang akurat,
mengurangi konsentrasi obat pada target dan memberikan sistem penghantaran
yang efektif untuk zat aktif yang sedikit larut dalam air. Selain itu sediaan
mikropartikel dapat melepaskan lebih dari 80% zat aktif dalam waktu 10 menit.
Mikropartikel dapat digunakan untuk memproduksi obat amorf dengan karakter
fisik yang diinginkan dan dapat mengurangi efek samping lokal, misalnya iritasi
saluran pencernaan pada pemberian oral (Parida, K et al., 2013). Mikropartikel
merupakan salah satu sistem penghantaran yang dapat diberikan melalui oral,
transdermal, intramuskular, intraperitonial, dan paru-paru.
Salah satu syarat penghantaran obat melalui paru-paru adalah ukuran
partikel sediaan tidak boleh lebih dari 10 µm (Hillery, A.M et al., 2005). Apabila
ukuran sediaan melebihi 10 µm, sediaan akan terdeposit pada saluran nafas atas
dan dapat dengan cepat terlepas karena batuk, tertelan dan proses pembersihan
mukus. Partikel dengan ukuran lebih kecil dari 0,5 µm akan dikeluarkan dari paru-
paru melalui proses ekspirasi sebelum terjadi sedimentasi (Taylor, G., Kellawa, I.,
2001).
Obat yang dapat dihantarkan melalui paru-paru dapat berupa obat dengan
efek lokal atau efek sistemik. Karakteristik obat dengan efek sistemik yang dapat
dihantarkan melalui paru-paru di antaranya obat yang memiliki kekurangan
apabila diberikan melalui oral, misalnya obat yang memiliki bioavaibilitas rendah
dan memiliki efek samping terkait saluran pencernaan ketika diberikan melalui
oral. Salah satu obat tersebut adalah diltiazem hidroklorida.
Terdapat beberapa metode pembuatan mikropartikel, diantaranya
penguapan pelarut (solvent evaporation), gelasi ionik, semprot kering, koaservasi,
ekstraksi cairan superkritis (Muhaimin, 2013). Adapun metode yang digunakan
pada penelitian ini adalah metode penguapan pelarut. Metode ini memiliki

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


2

beberapa keunggulan diantaranya reprodusibilitas bagus, waktu pembuatan yang


tidak lama dan alat yang digunakan mudah digunakan (Tiwari, S., P, Verma.,
2011). Beberapa hal yang dapat mempengaruhi ukuran mikropartikel
menggunakan metode penguapan pelarut adalah kecepatan pengadukan, volume
fase encer eksternal dan konsentrasi polimer. Pada faktor konsentrasi surfaktan,
semakin besar konsentrasinya maka dihasilkan ukuran mikropartikel yang lebih
kecil (Muhaimin, 2013).
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan dibuat
mikropartikel diltiazem hidroklorida menggunakan metode penguapan pelarut.
Bahan yang digunakan pada metode penguapan pelarut ini diantaranya polimer,
pelarut yang mudah menguap, surfaktan dan zat aktif. Polimer yang digunakan
pada penelitian ini adalah etil selulosa. Etil selulosa adalah polimer hidrofilik
yang pada penelitian sebelumnya diketahui bahwa mikropartikel etil selulosa
dengan zat aktif natrium diklofenak menunjukan pola pelepasan lepas lambat
(Giri, T.K et al., 2012). Adapun pelarut yang digunakan pada formulasi diltiazem
hidroklorida ini adalah diklorometan. Diklorometan adalah pelarut yang paling
banyak digunakan untuk enkapsulasi menggunakan metode penguapan pelarut
karena volatilitas yang tinggi, titik didih rendah dan ketidakbercampuran dengan
air yang tinggi (Li et al., 2008 dalam Muhaimin, 2013). Bahan selanjutnya adalah
poli vinil alkohol (PVA) sebagai surfaktan. Fungsi surfaktan disini untuk
menurunkan tegangan permukaan antara dua fase (Li et al., 2008 dalam
Muhaimin, 2013). Berdasarkan penelitian Pandav, S., A, Lokhande., J, Naikk
(2013), PVA terbukti lebih mampu menghasilkan mikropartikel dengan stabilitas
lebih baik daripada Tween 80. Komponen berikutnya adalah zat aktif. Zat aktif
yang digunakan sebagai sampel dalam pembuatan mikropartikel ini adalah
diltiazem hidroklorida. Tujuan penggunaan zat aktif ini dalam pembuatan
mirkopartikel untuk meningkatkan bioavaibilitas zat aktif melalui sistem lepas
lambat.
Pada penelitian ini akan dibuat dua formula mikropartikel dengan variasi
pada konsentrasi surfaktan. Adapaun evaluasi yang akan dilakukan adalah
perolehan kembali, ukuran mikropartikel, efisiensi penjerapan, kadar obat, dan
pelepasan obat secara in vitro.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3

1.2. Rumusan Masalah


a. Bagaimana karakteristik mikropartikel diltiazem hidroklorida menggunakan
metode penguapan pelarut?
b. Berapa nilai perolehan kembali, efisiensi penjerapan, kadar obat, dan pelepasan
obat secera in vitro dari mikropartikel diltiazem hidroklorida yang telah
diformulasi?
c. Apakah ukuran mikropartikel diltiazem hidroklorida yang terbentuk sudah
memenuhi syarat untuk sediaan penghantaran obat melalui paru-paru?

1.3. Tujuan
a. Mengetahui karakteristik mikropartikel diltiazem hidroklorida menggunakan
metode penguapan pelarut
b. Mengetahui nilai perolehan kembali, efisiensi penjerapan, kadar obat, dan
pelepasan obat secera in vitro mikropartikel diltiazem hidroklorida
c. Mengetahui apakah mikropartikel yang dihasilkan memenuhi syarat sediaan
penghantaran obat melalui paru-paru

1.4. Manfaat
Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang formulasi dan
karakteristik mikropartikel diltiazem hidroklorida menggunakan metode
penguapan pelarut yang berguna untuk pengobatan angina pektoris, hipertensi dan
aritmia.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mikropartikel
Mikropartikel adalah sediaan dengan ukuran partikel antara 1-1000 µm.
Mikropartikel umumnya diberikan melalui intraperitonial, intramuskular,
subkutan atau langsung ke organ target. Mikropartikel merupakan sistem
penghantaran yang dapat digunakan untuk lepas lambat. Obat dilepaskan secara
perlahan melalui mekanisme erosi dan difusi dari partikel. Kecepatan pelepasan
dapat ditingkatkan dengan menurunkan berat molekul polimer, ukuran partikel
dan mengontrol polimer alam (Parida et al., 2013). Mikropartikel diklasifikasi
menjadi dua, yaitu mikropkapsul dan mikrosfer. Mikrokapsul adalah sistem
reservoir mikrometik. Pada mikrokapsul obat terpusat dalam kulit polimer dengan
ketebalan tertentu dan pelepasannya dikontrol melalui proses disolusi, difusi atau
keduanya. Mikrokapsul dengan dinding tebal umumnya melepas obat dengan
mengikuti orde nol. Mikrosfer berbentuk padat dan hampir berbentuk sistem
matriks mikrometik sferis (Parida et al., 2013). Selain itu, menurut Muhaimin
(2013), mikrosfer adalah mikropartikel sferis sedangkan mikropkapsul adalah
mikropartikel dengan inti yang dikelilingi oleh material berbeda secara nyata dari
inti tersebut. Inti dapat bersifat padatan, cairan ataupun gas. Mikropartikel juga
dideskripsikan sebagai sediaan yang terdiri dari campuran homogen dari polimer
dan zat aktif.

Gambar 2.1. Varasi Formula Mikropartikel


[sumber : Birnbaum and Peppas, 2004]

4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


5

Mikrosfer dapat menjaga konsentrasi obat dalam darah untuk tetap konstan
sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien, menurunkan dosis dan
menurunkan kemungkinan terjadinya toksisitas. Selain itu mikrosfer juga dapat
melindungi obat dari reaksi enzimatik dan pemutusan fotolitik sehingga bentuk
sediaan ini dapat digunakan untuk penghantaran protein (Tiwari, S., P, Verma.,
2012). Mekanisme pelepasan obat dari sediaan mikrosfer menurut Tiwari, S., P,
Verma (2012) adalah sebagai berikut:
a. Sistem monolitik degradasi terkontrol
Pada sistem ini, obat larut dalam matriks dan pelepasannya tergantung pada
degradasi matriks polimer. Difusi obat lebih pelan apabila dibandingkan
dengan degradasi matriks.
b. Sistem monolitik difusi terkontrol
Obat dilepaskan melalui proses difusi sebelum atau saat degradasi matriks
polimer.
c. Sistem reservoir difusi terkontrol
Disini zat aktif dienkapsulasi dengan membran pengontrol kecepatan pelepasan
dimana obat akan berdifusi melewati membran ini. Membran polimer akan
terkikis hanya jika penghantaran obat sudah sempurna.
d. Erosi
Bahan polimer pelapis seperti beeswax dan stearil alkohol dipengaruhi oleh
hidrolisisi enzimatik dan pH.
Alasan pemilihan mikroenkapsulasi diantaranya dapat menutupi rasa dan
bau obat, obat dalam bentuk cairan dapat dirubah menjadi bentuk serbuk yang
mengalir bebas, mencegah inkompatibilitas antar obat, dan dapat mengubah
tempat absorpsi protein (Tiwari, S., P, Verma., 2012).
Mikropartikel dibuat dari polimer biocompatable dan biodegradable
misalnya Polylactic acid (PLA), dan Polylactid-co-glycolic (PLGA). Polimer
alam seperti gelatin dan albumin juga digunakan dalam pembuatan mikrosfer.
Mikropartikel memberikan penghantaran akurat untuk obat poten, mengurangi
konsentrasi obat pada target dan menjadi sistem penghantaran yang efektif untuk
zat aktif yang sedikit larut dalam air. Selain itu mikropartikel dapat
memperlihatkan karakteristik pelepasan dipercepat (immediate release) dan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


6

menghantarkan lebih dari 80% zat aktif dalam 10 menit. Misalnya nimesulid
(Parida et al., 2013).
Menurut Muhaimin (2013), sistem penghantaran obat dengan pelepasan
terkontrol telah dikembangkan untuk mengatasi kesulitan pemberian obat secara
tradisional. Penghantaran obat dengan pelepasan terkontrol menggunakan device
(alat) seperti piringan berbasis polimer, rod, pil atau mikropartikel yang
mengenkapsulasi obat dan pelepasan obat ini terjadi dengan kecepatan terkontrol
selama periode waktu tertentu. Sistem ini memberikan beberapa keuntungan
apabila dibandingkan dengan pemberian obat dengan metode tradisional. Adapun
keuntungan itu adalah sebagai berikut:
a. Kecepatan pelepasan obat dapat digunakan untuk aplikasi spesifik
b. Sistem pelepasan terkontrol dapat melindungi obat, terutama protein yang
mudah rusak ketika berada di tubuh
c. Sistem pelepasan terkontrol dapat meningkatkan kepatuhan pasien.
Ketika berbagai alat digunakan untuk penghantaran obat dengan pelepasan
terkontrol, mikropartikel berbasis polimer adalah tipe yang paling umum
digunakan karena memiliki beberapa keuntungan. Mikropartikel dapat
mengenkapsulasi berbagai obat dengan molekul kecil, vaksin, protein, dan asam
nukleat (Azevedo., et al, 2006; Feng., et a.l, 2006; Little., et al, 2005 dalam
Muhaimin, 2013). Mikropartikel dapat menghantarkan makromolekul, berbagai
faktor diantaranya tipe polimer, berat molekul polimer, komposisi kopolimer, sifat
eksipien yang ditambahkan pada formula mikropartikel, dan ukuran mikropartikel
dapat memberikan efek pada kecepatan penghantaran (Muhaimin, 2013).
Polimer dapat digunakan untuk mengontrol kecepatan pelepasan obat dari
formulasi. Polimer dapat mengikat partikel dari bentuk sediaan dan mengubah
sifat aliran. Aplikasi polimer pada penghantaran obat telah meningkat karena
polimer memberikan sifat unik yang saat ini masih belum dimiliki oleh material
lain. Polimer adalah makromolekul yang memiliki ikatan yang besar, memiliki
berbagai gugus fungsi, dapat dicampur dengan material dengan berat molekul
yang besar atau kecil. Pemahaman mengenai konsep dasar polimer diperlukan
untuk pemahaman lebih jauh mengenai produk obat dan model sistem
penghantaran yang lebih baik. Kemajuan ilmu tentang polimer telah membuka

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


7

peluang untuk penggunaan berbagai polimer sebagai sistem penghantaran obat


(Leong and Langer, 1988; Wang et al., 2002 dalam Muhaimin, 2013).
Pelepasan terkontrol teofilin telah berhasil dibuat dengan pengembangan
formula untuk penghantaran chronotherapeutic menggunakan guar gum,
mikrosfer teofilin dibuat dengan teknik emulsifikasi. Pelapisan mikrosfer
menggunakan metode penguapan pelarut dengan polimer Eudragit® yang sensitif
dengn pH. Chronotherapeutic berbasis sistem penghantaran obat teofilin dengan
target usus besar memanfaatkan sifat sensitif pH enzim dibuat untuk menghindari
serangan asma episodik pada pagi hari. Kelarutan bergantung pH dai Eudragit dan
sifat gel guar gum berperan dalam penundaan pelepasan (Soni et al., 2011).
Chronotherapeutic adalah metode pengobatan dimana ketersediaan obat secara in
vivo diberikan batas waktu untuk menyesuaikan dengan ritme penyakit sehingga
dapat mengoptimalkan hasil terapi dan meminimalisir efek samping (Sajan, J et
al., 2009).

2.2. Metode Pembuatan Mikropartikel


Terdapat banyak metode dalam pembuatan mikropartikel yang digunakan
dalam berbagai aplikasi. Metode ini digunakan untuk mengenkapsulasi obat
dalam polimer (Jalil and Nixon, 1990a, 1990b dalam Muhaimin, 2013). Metode
pembuatan ini harus memiliki syarat tertentu, diantaranya stabilitas dan aktivitas
biologi obat tidak boleh terpengaruh oleh parameter proses yang digunakan dalam
produksi mikropartikel yang mengandung obat. Selain itu hasil mikropartikel
harus memiliki ukuran partikel yang diinginkan dan efisiensi enkapsulasi obat
harus tinggi. Syarat berikutnya adalah kualitas partikel dan profil pelepasan obat
harus reprodusibel (Muhaimin, 2013).

2.2.1. Presipitasi Partikel dengen Penambahan Bukan Pelarut (Koaservasi)


Pada metode ini mikropartikel dibuat dengan mendispersikan partikel
kristal padat atau larutan encer obat dalam larutan organik yang mengandung
polimer, diikuti dengan pemisahan fase dengan penambahan pelarut organik
kedua dimana polimer tidak larut (yang didefinisikan disini sebagai bukan
pelarut). Obat larut air misalnya naferalin asetat, dimasukan dalam mikropartikel

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


8

DL-PLG menggunakan metode ini (Sanders et al., 1984, 1985 dalam Muhaimin,
2013). Larutan encer obat diemulsifikasi dalam larutan polimer DL-PLG dan
diklorometan untuk memproduksi emulsi air/minyak. Penambahan bukan pelarut
menghasilkan presipitasi polimer di sekitar larutan encer obat untuk membentuk
mikropartikel. Penambahan bukan pelarut dalam volume besar melengkapi proses
ekstraksi pelarut polimer dan pengerasan mikrosfer. Metode yang sama telah
digunakan pada obat oksitetrasiklin, tetapi pada proses ini partikel obat padat
dicampurkan pada larutan polimer organik (Vidmar et al., 1984 dalam Muhaimin,
2013). Partikel yang diproduksi dengan metode ini memiliki distribusi ukuran
yang luas dimana hal ini tidak diinginkan untuk penggunaan klinis. Mikropartikel
yang diproduksi dengan metode ini juga memiliki kecenderungan besar untuk
teragregasi. Hasil dari metode ini dapat dirubah dengan perubahan parameter
penyiapan misalnya obat, rasio polimer, pelarut polimer, kecepatan pengadukan,
suhu, volume bukan pelarut, dan tipe bukan pelarut (Muhaimin, 2013).

2.2.2. Presipitasi Partikel dengan Partisi Pelarut


Pada metode ini, larutan atau suspensi obat dalam larutan polimer/pelarut
organik dimasukan pada aliran minyak mineral secara perlahan. Pelarut organik
larut dalam minyak, tetapi obat dan polimer tidak larut dalam minyak,
kopresipitasi obat dan polimer terjadi sebagai partisi campuran dalam minyak.
Hasil pada metode ini tergantung pada kelarutan obat. Apabila obat larut dalam
larutan polimer, obat dan polimer akan terpresipitasi bersama. Apabila obat
dicampurkan dalam larutan polimer, polimer akan terpresipitasi mengelilingi
partikel obat padat (Muhaimin, 2013).
Hidrokortison telah berhasil diformulasi dalam mikropartikel polimer
polilaktida menggunakan metode ini. Namun mikropartikel yang terbentuk relatif
lebih besar. Ukuran partikel berkisar antara 144 µm-412 µm, bergantung pada
kecepatan aliran dan diameter jarum suntik dimana campuran obat/polimer
dimasukan (Leelarasamee et al., 1988 dalam Muhaimin, 2013). Dengan metode
ini, parameter penyiapan yang memberikan efek terhadap ukuran mikropartikel
adalah diameter jarum suntik, rasio obat:polimer, kecepatan aliran minyak
mineral, dan pilihan pelarut polimer (Muhaimin, 2013).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


9

2.2.3. Semprot Kering (Spray Drying)


Semprot kering adalah perubahan bentuk emulsi, suspensi atau suatu
dispersi menjadi bentuk kering melalui atomisasi produk dan pendispersian bahan
pada udara panas. Teknik ini merubah cairan menjadi serbuk kering dalam satu
langkah. Selain itu metode ini mudah dilakukan untuk proses scale up
mikroenkapsulasi. Akhir-akhir ini di dunia industri, metode ini digunakan
memproduksi berbagai macam makanan, kosmetik dan industi farmasi untuk
memproduksi serbuk obat dan sediaan kering lainnya. Bahan yang larut air atau
larut dalam pelarut organik dapat dikeringkan melalui proses semprot kering.
Proses semprot kering terdiri dari tiga tahap, yaitu atomisasi, pengeringan, dan
pengumpulan serbuk. Mula-mula cairan didispersikan ke dalam atomizer dan
akan terdispersi menjadi droplet dalam udara hangat atau gas inert dalam
chamber kering. Hal ini menyebabkan luas permukaan partikel besar sehingga
tahapan penguapan pelarut terjadi dengan cepat. Setelah itu partikel kering
melewati putaran udara dan terjadi pemisahan partikel berdasarkan energi
sentrifugasi. Partikel yang terbentuk umumnya memiliki rentang distribusi ukuran
yang sempit antara satu dan beberapa mikron tergantung pada kondisi proses dan
formula awal. Obat hidrofobik dan hidrofilik dapat dienkapsulasi ke dalam
polimer melalui semprot kering (Patel, H.V. et al., 2013).
Pada pembuatan mikropartikel menggunakan metode ini, parameter yang
harus dipertimbangkan adalah suhu inlet, kapasitas aspirator dan kapasitas pompa.
Suhu inlet adalah parameter penting yang mempengaruhi dimensi dan hasil
partikel. Suhu inlet yang digunakan harus sesuai dengan bahan (obat dan polimer)
dan pelarut. Aspirator udara dapat mempengaruhi pengubahan droplet nebulizer
menjadi partikel padat. Pompa peristaltik mempengaruhi waktu dan efikasi proses
pengeringan (Patel, A.S., T. Soni., V. Thakkar., T Gandhi., 2012)
Keuntungan teknik ini adalah senyawa larut air dan senyawa tidak larut air
dapat dimasukan pada bulatan mikropartikel. Hal ini berbeda dengan sistem
penguapan dengan emulsi tunggal minyak/air dimana metode ini tidak cocok
untuk senyawa yang larut air. Progesteron dan teofilin telah berhasil dimasukan
dalam mikropartikel polilaktida menggunakan metode semprot kering (Bodmeier
and Chen, 1988 dalam Muhaimin 2013).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


10

Akan tetapi sistem ini memiliki beberapa kekurangan, misalnya kristal


berbentuk jarum dibentuk ketika kafein dimasukan menggunakan metode ini ke
dalam polimer polilaktida. Hal ini memungkinkan terjadinya inkompatibilitas
antara obat dan polimer (Bodmeier and Chen, 1988 dalam Muhaimin, 2013).
Begitu pula pada serat yang dapat terbentuk karena kekuatan dispersi yang tidak
cukup untuk memtuskan larutan polimer. Pemilihan pelarut organik menjadi
penting, polimer harus larut dalam pelarut, misalnya metilen klorida, etil asetat
atau hexafluoroisopropanol, karena pelarut dapat menguap dengan cepat dalam
udara panas pada fase pengeringan. Selain itu polimer yang digunakan juga
biasanya tidak larut dalam pelarut organik (Muhaimin, 2013).
Pada metode ini, selama tahap ekstraksi partikel dipaparkan pada udara
panas dengan volume besar sehingga stabilitas obat termolabil atau obat sensitif
oksidasi dapat berubah. Meskipun nitrogen akan mencegah proses oksidasi obat
apabila digunakan untuk menggantikan udara pada fase ini, kemampuan konduksi
nitrogen lebih kecil dari udara sehingga akan mempengaruhi hasil mikropartikel
yang terbentuk. Pembuatan mikroparikel dengan metode ini mengasilkan partikel
dengan ukuran diameter 5 sampai 125 µm (Muhaimin, 2013).

2.2.4. Metode Ekstraksi Cairan Superkritis


Mikronisasi dan pengurangan ukuran partikel adalah hal menarik dalam
teknologi farmasetik yang telah digunakan untuk menyelesaikan masalah
kelarutan atau penargetan obat. Metode pengurangan ukuran partikel
konvensional memerlukan proses kirstalisasi substansi sebelum proses dimulai.
Selama fase ini, ukuran kristal tidak terkontrol. Ketika tenaga mekanis digunakan
untuk mengurangi ukuran kristal, partikel yang terbentuk sering memiliki muatan
permukaan dan menjadi lebih kohesif. Kekurangan lain yang berhubungan dengan
kristalisasi diantaranya memerlukan biaya dan waktu yang besar, distribusi ukuran
partikel bersifat polidispersi dengan jarak ukuran yang besar, dan pelarut organik
yang bersifat toksik digunakna pada proses kristalisasi serta residu pelarut dalam
proses rekristalisasi obat mungkin dapat melebihi batas yang diizinkan
(Muhaimin, 2013).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


11

Penggunaan cairan superkritis sebagai media ekstraksi merupakan


alternatif dalam pembuatan mikropartikel obat dan eksipien farmasi (Eckert et
al., 1996; Fredriksen et al., 1997; Hanna et al., 1995; Marr and Gamse, 1999;
McHugh and Krukonis, 1994; Subramaniam et al., 1997; York, 1999 dalam
Muhaimin 2013). Penelitian yang memelopori pembuatan mikropartikel dari
polimer biodegradabel menggunakan metode ekstraksi cairan superkritis sudah
dilaporkan (Bleich et al., 1993, 1996; Bodmeier et al., 1995; Pablo et al., 1993;
Thies and Müller, 1998; Tom et al., 1993 dalam Muhaimin 2013). Terdapat dua
alasan utama dalam penggunaan teknik ini. Alasan pertama adalah cairan
superkritis mampu melarutkan secara selektif sehingga dapat memungkinkan
untuk memisahkan komponen tertentu dari campuran multikomponen. Alasan
berikutnya adalah sifat perpindahan massa yang mneguntungkan dan kelarutan
pelarut yang tinggi dalam cairan superkritis membuat proses pengeringan
mikropartikel lebih cepat dan efisien dengan jumlah residu pelarut yang rendah
(Folker et al., 1996 ; Shariati and Peters, 2003 dalam Muhaimin 2013).
CO2 superkritis adalah cairan superkritis yang banyak digunakan karena
memiliki kondisi kritis yang rendah (Tc = 31,1oC, Pc = 7,38 MPa), nontoksik,
tidak mudah terbakar, dan memiliki hargayang murah. Teknik yang digunakan
untuk pembentukan partikel menggunakan CO2 superkritis diantaranya
penyebaran cepat larutan superkritis, berbagai macam proses antipelarut misalnya
antipelarut gas, sistem ekstraksi pelarut, partikel dari larutan gas jenuh, proses
antipelarut superkritis, dan disperse peningkat kelarutan melalui cairan superkritis
(Kang,Yunqing et al., 2008)

2.2.5. Metode Penguapan Pelarut


Metode penguapan pelarut banyak digunakan pada pebuatan mikropartikel
polimer yang mengandung obat yang berbeda (Jalil and Nixon, 1990a; Lewis
et al., 1984; Suzuki and Price, 1985; Wang et al., 1999 dalam Muhaimin, 2013).
Beberapa variable yang dapat mempengaruhi mikropartikel telah diteliti
diantaranya kelarutan obat, morfologi internal, tipe pelarut, kecepatan difusi,
suhu, komposisi polimer, viskositas polimer, dan muatan obat (Benoit et al., 1996;
Bodmeier and McGinity, 1988a, 1988b; Bodmeier et al.,1994; Jalil and Nixon,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


12

1990a, 1990b; Jaraswekin et al., 2007 dalam Muhaimin, 2013). Efektivitas


metode penguapan pelarut untuk memproduksi mikrosfer tergantung pada
keberhasilan penjerapan zat aktif dalam mikropartikel. Proses ini paling berhasil
pada obat yang tidak larut atau sulit larut dalam medium cairan yang mengandung
fase kontinyu (Bodmeier and McGinity, 1987 dalam Muhaimin, 2013).
Berbagai tipe obat dengan sifat fisika dan kimia yang berbeda dapat diformulasi
menggunakan sistem polimer, termasuk obat antikanker (Abraham et al., 2010;
Boisdron-Celle et al., 1995; Verrijk et al., 1992 dalam Muhaimin, 2013), zat
narkotik (Mason et al., 1976), anastesi lokal (Lalla and Sapna, 1993 dalam
Muhaimin, 2013), steroid (Cowsar et al., 1985; Giunchedi et al., 1995 dalam
Muhaimin, 2013), zat pengontrol fertilitas (Beck et al., 1981; O’Hern et al.,
1993 dalam Muhaimin, 2013). Terdapat perbedaan metode dalam membuat
mikropartikel menggunakan metode penguapan pelarut. Peningkatan efisiensi
enkapsulasi obat bergantung pada hidrofilisitas dan hidrofobisitas obat
(Muhaimin, 2013).

2.2.5.1. Proses Emulsi Tunggal


Menurut Muhaimim (2013), proses ini melibatkan emulsifikasi minyak
dalam air (minyak/air). Sistem emulsi minyak/air terdiri dari fase organik yang
mengandung pelarut mudah menguap dengan polimer terlarut dan obat yang telah
terenkapsulasi, kemudian diemulsifikasi dalam fase cairan yang mengandung
larutan surfaktan. Untuk obat yang tidak larut atau sulit larut dalam air, sering
digunakan metode minyak dalam air. Metode ini adalah metode paling sederhana
daripada metode lain. Metode ini terdiri dari 4 tahapan utama, yaitu:
a. Disolusi obat hidrofobik dalam pelarut organik yang mengandung polimer
b. Emulsifikasi fase organik, yang disebut fase dispersi, dalam fase encer yang
disebut fase kontinyu
c. Ekstraksi pelarut dari fase dispersi menggunakan fase kontinyu, diiringi
penguapan pelarut, proses perubahan droplet dari fase dispersi menjadi partikel
padat
d. Proses recovery (perolehan kembali) dan pengerinagn mikrosfer untuk
menghilangkan residu pelarut.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


13

Gambar 2.2. Skema Empat Prinsip Proses Dalam Pembuatan Mikrosfer


Menggunakan Penguapan Pelarut (Minyak/Air)
(sumber : Muhamin, 2013)

Sebagian besar sistem emulsi minyak dalam air digunakan untuk


pembuatan mikropartikel yang mengandung fase organik yang terdiri dari pelarut
mudah menguap dengan polimer terlarut dan obat yang terenkapsulasi kemudian
diemulsifikasi dalam fase encer yang mengandung surfaktan terlarut (gambar 2.3).
Surfaktan dimasukan pada fase kontinyu untuk mencegah koalesen droplet
organik ketika terbentuk droplet (Muhamimin, 2013).

Gambar 2.3. Enkapsulasi Menggunakan Teknik Emulsi Minyak Dalam Air


(sumber : Birnbaum and Peppas, 2004)

Larutan polimer-pelarut-obat diemulsifikasi (dengan kecepatan dan suhu


tertentu) untuk menghasilkan emulsi minyak/air. Emulsi ini terbentuk dengan
menggunakan baling-baling atau bar magnetic untuk mencampur fase organik dan
fase kontinyu. Seperti yang terlihat pada gambar 3, surfaktan digunakan untuk
menstabilkan pembentukan droplet fase dispersi selama proses emulsifikasi dan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


14

mencegah terjadinya koalesen. Surfaktan besifat ampifatik di alam dan akan


mengelilingi permukaan droplet untuk menstabilkan pembentukan droplet melalui
pengurangan energi bebas pada interfase diantara dua fase. Surfaktan juga
menyebabkan resistensi untuk terjadinya koalesen dan flokulasi mikrosfer. PVA
adalah salah satu surfaktan yang banyak digunakan untuk memproduksi
mikropartikel polimer biodegradabel dan non biodegradabel. Ketika emulsi
terbentuk, kemudian dilakukan penghilangan pelarut melalui penguapan dan
ekstraksi untuk memadatkan droplet polimer. Pada proses penghilangan pelarut
melalui penguapan, emulsi dijaga pada tekanan rendah atau tekanan asmosfer dan
kecepatan pengadukan dikurangi sehingga pelarut volatil dapat menguap
(Muhaimin, 2013).
Pelarut organik larut dari droplet menuju fase kontinyu eksternal sebelum
menguap pada interfase air-udara. Pada proses ekstraksi, emulsi berpindah
menuju air dalam jumlah besar atau medium lain, dimana pelarut dapat
dikeluarkan dari droplet minyak. Kecepatan penghilangan pelarut melalui
ekstraksi tergantung pada suhu medium, rasio volume emulsi dengan medium dan
sifat kelarutan polimer, pelarut, dan medium dispersi. Hasil ekstraksi yang tinggi
akan menyebabkan pembentukan partikel dengan porositas yang tinggi sehingga
dapat menimbulkan profil pelepasan obat yang tidak dikehendaki (Arshady, 1991;
Jeyanthi, 1996 dalam Muhaimin, 2013). Metode penghilangan pelarut melalui
ekstraksi lebih cepat terjadi (umumnya kurang dari 30 menit) daripada proses
penguapan dan hasil mikrosfer yang terbentuk dengan metode ekstraksi sering
lebih berpori daripada menggunakan metode penguapan pelarut. Salah satu
kekurangan proses emulsi minyak/air adalah efisiensi enkapsulasi yang rendah
pada obat dengan kelarutan sedang dalam air. Obat berdifusi atau memisah dari
fase terdispersi minyak menuju fase kontinyu dan fragmen mikrokristalin obat
hidrofilik terdeposit pada permukaan mikrosfer (Cavalier et al., 1986 Muhaimin,
2013) serta terdispersi dalam matriks polimer. Hal ini menyebakan rendahnya
penjerapan obat hidrofilik dan pelepasan awal obat yang cepat (efek ledakan/burst
effect) (Jalil and Nixon, 1990b; Jones et al., 1995 Muhaimin, 2013). Proses
emulsifikasi minyak/air banyak digunakan untuk enkapsulasi obat larut lemak.
Untuk meningkatkan efisiensi enkapsulasi obat larut air, digunakan metode emulsi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


15

minyak dalam minyak (Tsai, 1986). Pada metode ini, obat dapat terlarut atau
bercampur pada fase minyak sebelum didispersikan dalam fase minyak lainnya.
Pelarut organik yang dapat bercampur dengan air, seperti asetonitril digunakan
untuk melarutkan obat dalam PLGA atau PLA. Kemudian larutan ini
didispersikan dalam minyak seperti minyak mineral ringan dengan ditambahkan
surfaktan larut lemak seperti sorvitan oleat (Span) untuk menghasilkan emulsi
minyak/minyak. Setelah itu mikropartikel didapatkan dengan penguapan atau
ekstraksi pelarut organik dari droplet minyak terdispersi dan minyak yang dicuci
dengan pelarut seperti n-heksan. Proses ini juga disebut metode emulsi air dalam
minyak (Jalil and Nixon, 1990a; O’Hagan et al., 1994 Muhaimin, 2013).

2.2.5.1.Proses Emulsi Ganda


Metode minyak dalam air sesuai untuk enkapsulasi obat hidrofilik tinggi
karena terdapat dua alasan utama. Alasan pertama adalah obat hidrofilik tidak
larut dalam pelarut organik. Alasan berikutnya adalah obat akan berdifusi menuju
fase kontinyu selama proses emulsi yang dapat menyebabkan kehilangan obat
yang tinggi. Terdapat empat alternatif untuk membuat obat hidrofilik dapat
dienkapsulasi adalah:
a. Metode emulsi ganda air/minyak/air: larutan encer obat hidrofilik
diemulsifikasi dengan fase organik (emulsi air/minyak) kemudian emulsi ini
terdispersi menuju larutan encer kedua untuk membentuk emulsi kedua.
b. Metode kosolven minyak/air: ketika obat tidak larut dalam pelarut organik
utama, pelarut kedua atau yang disebut kosolven diperlukan untuk melarutkan
obat.
c. Metode dispersi minyak/air: obat didispersikan pada serbuk padat dalam
larutan polimer dan pelarut organik
d. Metode penguapan pelarut bukan kontinyu minyak/minyak: fase kontinyu
digantikan dengan bukan air (misalnya minyak mineral) (Li et al., 2008 dalam
Muhaimin, 2013)
Proses emulsi ganda biasa digunakan untuk obat yang tidak larut dalam
pelarut organik. Proses emulsi padat minyak/air dapat digunakan untuk
mengenkapsulasi obat yang dapat menghasilkan bentuk dengan ukuran kecil.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


16

Kristal dengan ukuran yang lebih kecil dapat disitribusikan secara homogen
selama pembentukan droplet organik pada emulsi. Obat hidrofilik (cisplatin,
doxorubicin) telah dienkapsulasi menggunakan metode ini. Masalah dalam
enkapsulasi obat hidrofilik adalah kehilangan obat pada fase kontinyu eksternal
selama pembentukan mikropartikel. Adanya kehilangan obat pada fase eksternal
menyebabkan sisa obat akan bermigrasi ke permukaan droplet sebelum proses
pemadatan. Untuk meminimalisisr masalah ini, droplet organik perlu dipadatkan
menjadi mirkopartikel secepat mungkin (Thies, 1992 dalam Muhaimin, 2013).
Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan larutan organik polimer yang kental
dan meningkatkan volume sekunder air sehingga dapat menarik pelarut organik
menuju fase encer dengan cepat. Setelah itu terbentuk mikropartikel dengan obat
yang telah terenkapsulasi di dalamnya. Fase dispersi yang kental dapat
mengurangi volume pelarut organik, memfasilitasi penghilangan pelarut organik
secara cepat dari droplet, juga dapat menghalangi partikel/kristal obat padat untuk
berpindah ke permukaan. Hal ini mengakibatkan distribusi obat dalam partikel
menjadi lebih homogen (Muhaimin, 2013).
Alternatif lain untuk mengenkapsulasi obat hidrofilik adalah dengan
menggunakan proses emulsi air-minyak-air (gambar 4). Larutan encer obat
ditambahkan pada fase organik yang mengandung polimer dan pelarut organik
dengan pengadukan untuk membentuk emulsi pertama yaitu emulsi minyak dalam
air. Emulsi ini kemudian didispersikan ke fase kontinyu yang mengandung
surfaktan untuk membentuk emulsi kedua yaitu emulsi air/minyak/air. Beberapa
obat hidrofilik seperti peptida leuprolida asetat (Okada, 1994; Toguchi, 1992),
vaksin (Azevedo et al., 2006; Feng et al., 2006; Little et al., 2005; O'Hagan et
al., 1991; Singh, 1995;), protein/peptida dan molekul konvensional telah
berhasil dienkapsulasi menggunakan metode ini. Masalah dalam tipe emulsi ini
terjadi ketika emulsi dalam tidak stabil sehingga menyebabkan kehilangan droplet
encer yang mengandung obat menuju fase kontinyu. Pemilihan surfaktan yang
dapat digunakan untuk menstabilkan emulsi terbatas pada material yang akan
terlarut dalam pelarut organik. Biasanya ester asam lemak dari polioksietilen atau
sorbiton digunakan untuk obat dengan kelarutan tinggi pada pelarut organik dan
memiliki kompatibilitas biologi yang baik (Muhaimin, 2013).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


17

Gambar 2.4. Skema empat proses utama pada proses penguapan/ekstraksi pelarut
(Air/Minyak/Air)
(sumber : Muhaimin, 2013)

2.3. Pembuatan Mikropartikel Menggunakan Metode Penguapan Pelarut


Pembuatan mikropartikel menggunakan metode penguapan pelarut
memerlukan beberapa bahan dan kondisi agar mikropartikel yang dihasilkan
memiliki karakteristik yang ditargetkan.

2.3.1. Material
Material yang digunakan pada pembuatan mikropartikel menggunakan
metode ini terdiri dari dua fase, yaitu fase dispersi dan fase kontinyu.

2.3.1.1. Fase Dispersi


Fase disperse pada metode ini terdiri dari polimer, pelarut dan komponen
lain yang perlu diperhatikan oleh peneliti agar mikropartikel yang terbentuk sesuai
dengan yang ditargetkan.
a. Polimer
Metode pembuatan mikropartikel adalah faktor penting dalam enkapsulasi
dan pelepasan obat. Penyiapan bahan termasuk tipe polimer, berat polimer,
komposisi kopolimer, sifat eksipien yang ditambahkan pada formula
mikropartikel, dan ukuran mikropartikel dapat berpengaruh besar pada kecepatan
penghantaran obat (Muhaimin, 2013).
Tipe dan mekanisme polimer degradasi dapat mempengaruhi kecepatan
pelepasan. Berdasarkan kecepatan terhidrolisis pada gugus fungsional, polimer
dapat dikategorikan menjadi dua tipe, yaitu surface eroding (pengikisan
permukaan) dan bulk eroding (pengikisan bulk) (Burkersroda et al., 2002; Kang et
al., 2012; Kumar et al., 2002; Tabata et al., 1993; Tamada and Langer, 1993;

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


18

Wagdare et al., 2011 dalam Muhaimin, 2013). Polimer tipe pengikisan bulk
seperti PLG, dapat menyebar pada air kemudian menjadi matriks polimer dan
terdegradasi pada seluruh matriks mikropartikel. Berbeda dengan polimer
pengikisan permukaan seperti polianhidrida yang mengandung monomer
hidrofobik dengan ikatan lemah. Tipe polimer ini mencegah agar air tidak
berpenetrasi ke dalam polimer bulk, dimana akan terdegradasi secara cepat
menjadi oligomer dan monomer pada interfase polimer/air melalui proses
hidrolisis (Saltzman, 2001 Muhaimin, 2013).
Mikropartikel polimer pengikisan bulk sering terjadi obat pecah sebesar
50% dari total obat yang terdapat dalam mikropartikel tersebut (O’Donnell and
McGinity, 1997 dalam Muhaimin, 2013). Pelepasan obat terjadi selama inkubasi
pada beberapa jam pertama, diikuti dengan difusi pelepasan obat terkontrol secara
pelan dan kadang-kadang fase ketiga dimana obat tersisa akan dilepaskan secara
cepat. Hal ini terjadi akibat degradasi matriks polimer yang parah. Pada
mikropartikel yang mengandung polimer pengikisan permukaan, obat dilepaskan
pada permukaan ketika polimer pecah. Erosi pada polimer ini umumnya terjadi
dengan kecepatan konstan (Gopferich and Langer, 1993; Kanjickal et al., 2004
Muhaimin, 2013). Apabila obat yang diinginkan terdispersi secara homogen
dalam mikropartikel, kecepatan pelepasan yang tinggi akan terjadi pada awalnya.
Seiring berjalannya waktu, area permukaan sferis dan kecepatan pelepasan akan
menurun secara asimtomatis (Muhaimin, 2013).
Polimer dengan berat molekul besar dapat mempengaruhi degradasi
polimer dan kecepatan pelepasan obat. Peningkatan berat molekul dapat
menurunkan kemampuan difusi dan mengurangi kecepatan pelepasan obat
(Alonso et al., 1994; Katou et al., 2008; Le Corre et al., 1994; Liggins and Burt,
2001; Mabuchi et al., 1994; Yang et al., 2001dalam Muhaimin, 2013).
Mekanisme utama pelepasan obat adalah difusi melalui pori yang terisi air.
Degradasi polimer menghasilkan monomer dan oligomer yang larut sehingga
dapat berdifusi keluar dari partikel. Produk yang lebih kecil akan dihasilkan oleh
degradasi cepat dari polimer dengan berat molekul yang lebih rendah. Penurunan
kecepatan pelepasan yang sejalan dengan kenaikan berat molekul polimer
digunakan untuk molekul kecil, peptida dan protein (Blanco and Alonso, 1998;

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


19

Mehta et al., 1996 dalam Muhaimin, 2013). Akan tetapi pada mikrosfer
polianhidrida (polimer tipe pengikisan permukaan), berat molekul hanya
memberikan efek kecil pada pelepasan obat (Hanes et al., 1996; Tabata and
Langer, 1993dalam Muhaimin, 2013). Rasio kopolimer pada berbagai kopolimer
juga dapat memberikan efek pada kecepatan pelepasan. Selain itu peningkatan
bahan yang dapat mempercepat degradasi monomer dapat meningkatkan
kecepatan pelepasan (Lin et al., 2000; Shen et al., 2002; Spenlehauer et al., 1989
dalam Muhaimin, 2013). Ketika pelepasan obat dikontrol dengan polimer
pengikis, kecepatan pelepasan dapat meningkat sejalan dengan tingginya
konsentrasi monomer yang larut atau monomer yang lebih kecil (Tabata and
Langer, 1993 dalam Muhaimin, 2013). Efek komposisi polimer dapat menjadi
kompleks dengan adanya perbedaan fase polimer atau termodinamik obat yang
terenkapsulasi (Kipper et al., 2002 dalam Muhaimin, 2013).

b. Pelarut
Sifat pelarut yang sesuai digunakan dalam pembuatan mikropartikel
menggunakan metode penguapan pelarut adalah dapat melarutkan polimer yang
digunakan, sedikit larut pada fase kontinyu, volatilitas tinggi, titik didih rendah,
dan toksisitas rendah (Li et al., 2008 dalam Muhaimin, 2013)
Sebelumnya kloroform sering digunakan, akan tetapi karena toksisitas dan
tekanan uap yang rendah, pelarut ini digantikan oleh diklorometan. Diklorometan
(metilen klorida) adalah pelarut yang paling banyak digunakan untuk enkapsulasi
menggunakan metode penguapan pelarut karena volatilitas yang tinggi, titik didih
rendah dan ketidakbercampuran dengan air yang tinggi (Li et al., 2008 dalam
Muhaimin, 2013).
Selain itu etil asetat juga berpotensi digunakan karena memiliki toksisitas
yang lebih rendah dari diklorometan. Akan tetapi kebercampuran parsial etil asetat
dalam air (4,5 kali lebih tinggi dari diklorometan), mikrosfer tidak dapat terbentuk
apabila fase terdispersi dikenali secara langsung oleh fase kontinyu. Ekstraksi
mendadak etil asetat dari fase terdispersi menyebabkan polimer terpresipitasi
menjadi serat seperti aglomerat (Freytag et al, 2000 dalam Muhaimin, 2013).
Guna menyelesaikan masalah ketercampuran pelarut dengan air dapat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


20

menggunakan tiga metode,yaitu larutan encer dijenuhkan terlebih dahulu dengan


pelarut (Bahl and Sah, 2000 dalam Muhaimin, 2013). Metode kedua dengan
mengemulsifikasikan fase dispersi dengan sedikit larutan encer. Setelah
pembentukan droplet, emulsi ini dimasukan ke dalam larutan encer dalam jumlah
besar (Freytag et al, 2000 dalam Muhaimin, 2013). Metode terakhir adalah
mengemulsikan fase dispersi dengan sedikit larutan encer kemudian larutan
diagitasi dan pelarut menguap sehingga terjadi pemadatan mikrosfer (Sah, 1997
dalam Muhaimin, 2013).
Kesimpulannya, pelarut dengan toksisitas rendah telah diuji dan
menunjukan bahwa pelarut tersebut dapat digunakan untuk pembuatan
mikropartikel. Akan tetapi belum ada hasil yang cukup untuk membandingkan
kualitas mikrosfer dengan pelarut yang berbeda. Diklorometan masih menjadi
pelarut yang paling banyak digunakan karena cepat menguap, efisiensi
enkapsulasi obat tinggi, menghasilkan bentuk mikrosfer yang sferis dan lebih
seragam (Muhaimin, 2013).

c. Komponen Lain
Pada beberapa kasus, bahan lain yang ditambahkan pada fase dispersi
seperti kosolven dan generator penyerap (Muhaimin, 2013). Kosolven digunakan
untuk melarutkan obat yang tidak larut dalam pelarut pada fase dispersi (Graves et
al., 2006; Hsu and Lin, 2005; Li et al., 2008; Luan et al., 2006; Reithmeier et
al., 2001 dalam Muhaimin, 2013).
Generator penyerap atau yang disebut porosigen atau porogen digunakan
untuk menghasilkan pori di dalam mikropartikel sehingga dapat meningkatkan
kecepatan degradasi polimer dan meningkatkan kecepatan pelepasan obat (Li et
al, 2008 dalam Muhaimin, 2013). Pelarut organik seperti heksan yang tidak
melarutkan poli asam laktat dan poli asam laktat koglikol dapat dicampurkan ke
dalam mikrosfer untuk membentuk pori (Li et al., 2008; Spenlehauer et al,
1986 dalam Muhaimin, 2013). Penggabungan Sephadex (sambung silang gel
dekstran) dalam mikrosfer insulin-PLA dapat meningkatkan porositas mikrosfer
secara signifikan (Li et al, 2008; Watts et al, 1990 dalam Muhaimin, 2013).
Sejumlah n-heptan dengan volume tertentu ditambahkan pada emulsi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


21

etilselulosa/diklorometan untuk enkapsulasi aspirin, juga untuk meningkatkan


porositas obat. Akan tetapi pemberian n-heptan yang berlebihan menyebabkan
mikrosfer memiliki porositas tinggi sehingga menyebabkan efisiensi enkapsulasi
obat rendah (Li et al, 2008; Yang et al, 2000a dalam Muhaimin, 2013).

2.3.1.2. Fase Kontinyu


a. Surfaktan
Surfaktan atau juga disebut agen tensioaktif sering digunakan untuk
mendispersikan satu fase ke fase lain yang tidak bercampur dan menstablikan
emulsi. Surfaktan dapat mengurangi tegangan permukaan fase kontinyu,
menghindari koalesen dan aglomerasi droplet dan menstabilkan emulsi. Surfaktan
yang sesuai dapat menghasilkan mikropartikel dengan ukuran umum dan
distribusi ukuran partikel yang kecil. Selain itu surfaktan dapat menjamin
pelepasan obat untuk menjadi lebih terprediksi dan stabil. Sebelum memilih tipe
dan konsentrasi surfaktan, perlu terlebih dahulu mengetahui polaritas kedua fase
tidak bercampur, ukuran mikropartikel yang diinginkan dan sferisitas
mikropartikel. Surfaktan untuk emulsi bersifat ampifilik. Salah satu bagian
molekul memiliki afinitas untuk menjadi zat terlarut yang polar seperti air dan
bagian lain memiliki afinitas menjadi zat tidak polar seperti hidrokarbon
(hidrofobik). Ketika surfaktan dicampurkan dalam emulsi, surfaktan akan
menutupi permukaan droplet dengan bagian hidrofobiknya dalam droplet dan
bagian hidrofilik terdapat dalam air (Li et al, 2008 dalam Muhaimin, 2013).
Terdapat empat klasifikasi surfaktan berdasarkan bagian hidrofilik dalam
molekulnya, yaitu anionik, kationik, amfoterik, dan non ionik. Surfaktan anioik
menghasilkan muatan negatif pada larutan kontinyu. Surfaktan ini memiliki HLB
atau hydrophilic-lipophile balance (keseimbangan hidrofilikk-lipofilik) tinggi
karena surfaktan jenis ini memiliki kecenderungan bersifat hidrofil. Tipe kedua
adalah surfaktan kationik. Surfaktan ini memberikan muatan positif pada larutan
encer. Tipe selanjutnya adalah surfaktan amfoterik. Surfaktan amfoterik bersifat
anionik pada pH basa dan bersifat kationik pada pH asam. Tipe terakhir adalah
surfaktan non ionik. Surfaktan non ionik tidak memiliki muatan (Li et al., 2008
dalam Muhaimin, 2013)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


22

Sebagian besar emulsi diklorometan/air, menggunakan beberapa tipe


surfaktan. Pertama adalah tipe non ionik misalnya PVA (Polivinil Alkohol)
terhidrolisis sebagian, metil selulosa (Berchane et al., 2006; Lee et al., 1999
dalam Muhaimin, 2013), tweenn (Yang et al., 2000 dalam Muhaimin, 2013)
dan span (Jalil and Nixon., 1990a dalam Muhaimin, 2013). Tipe kedua adalah
tipe anionik, misalnya SDS atau sodiun dodecyl sulphate (natrium dodesil sulfat)
(Muhaimin, 2013). Tipe selanjutnya adalah tipe kationik: CTAB atau
cetyltrimethyl ammonium bromide (setiltrimetil amonium bromida) (Muhaimin,
2013)
Dari kesekian surfaktan ini, yang paling umum digunakan adalah PVA
karena PVA dapat menghasilkan ukuran mikrosfer yang paling kecil (Jeffery et
al., 1991 dalam Muhaimin, 2013). Peningkatan konsentrasi surfaktan dapat
mengurangi ukuran mikropartikel (Pachuau, L., B, Mazumder, 2009).
Penambahan surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan fase kontinyu
sehingga dapat mengurangi ukuran partikel. Akan tetapi selama konsentrasi misel
kritis atau critical micelle concentration (CMC), tegangan permukaan tidak dapat
menurun. Ketika konsentrasi surfaktan mencapai level tertentu, permukaan larutan
dapat diisi secara sempurna. Penambahan surfaktan lebih lanjut dapat
menyebabkan terbentuknya misel dan tegangan permukaan fase encer tidak akan
menurun lagi (Li et al, 2008 dalam Muhaimin, 2013).

b. Antifoam (Antibusa)
Selain surfaktan, antibusa terkadang ditambahkan pada fase kontinyu
ketika dilakukan agitasi yang kuat karena busa dapat mengganggu pembentukan
mikrosfer. Ketika kecepatan pengadukan ditingkatkan, udara akan banyak masuk
dan membentuk busa. Antibusa yang digunakan dapat berupa silika atau nonsilika
dan digunakan saat kecepatan dinaikan dimana gelembung udara sudah tidak
teratur (Berchane et al, 2006; Li et al, 2008; Torres et al, 1998 dalam Muhaimin,
2013).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


23

2.3.2. Kondisi dalam Pembuatan Mikropartikel Menggunakan Metode


Penguapan Pelarut
Faktor lain yang perlu diperhatikan oleh peneliti pada pembuatan
mikropartikel menggunakan metode penguapan pelarut adalah kondisi dalam
pembuatan mikropartikel. Kondisi tersebut adalah agitasi, prediksi ukuran, suhu,
dan tekanan.
2.3.2.1. Agitasi dan Prediksi Ukuran
Agitasi adalah salah satu parameter paling penting untuk mengontrol
ukuran mikropartikel selain sifat fisikokimia material yang digunakan. Banyak
faktor yang berhubungan dengan agitasi yang dapat memberikan efek pada ukuran
mikropartikel, misalnya geometri wadah, dorongan, posisi dorongan, dan rasio
diameter dorongan apabila dibandingkan dengan diameter wadah (Li et al, 2008;
Maa and Hsu, 1996 dalam Muhaimin, 2013). Terdapat beberapa korelasi yang
dapat memprediksi ukuran dan distribusi droplet dalam emulsi dua cairan tidak
bercampur (Maa and Hsu, 1996 dalam Muhaimin, 2013). Korelasi ini memiliki
dua aspek, yaitu:
a. Sifat fisik bahan, seperti masa jenis fase kontinyu dan tegangan antarmuka
b. Faktor yang berhubungan dengan agitasi (Li et al. 2008 dalam Muhaimin,
2013)
Peningkatan kecepatan agitasi dapat menurunkan rata-rata ukuran
mikropartikel (Mateovic et al., 2002; Yang et al.,2000b dalam Muhaimin,
2013). Disisi lain dilaporkan bahwa peningakatan volume fase dispersi dapat
menurunkan ukuran mikropartikel (Jeffery et a., 1991, 1993; Jeyanthi et al, 1997;
Li et al, 2008 dalam Muhaimin, 2013), namun pada studi lain tidak ada pengaruh
yang diteliti (Sansdrap and Moës, 1993 dalam Muhaimin, 2013).

2.3.2.2. Suhu dan tekanan


Kecepatan penguapan pelarut dapat dipercepat dengan peningkatan suhu
fase kontinyu (Li, 1994; Li et al., 2008; Miyazaki et al., 2006 dalam Muhaimin,
2013) atau dengan mengurangi tekanan wadah atau reaktor (Izumikawa et al.,
1991; Chung et al., 2001, 2002; Meng et al., 2004 dalam Muhaimin, 2013).
Akan tetapi terdapat kekurangan saat suhu dinaikan, yaitu terjadi penurunan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


24

massa total perolehan kembali, perubahan distribusi ukuran menjadi lebih besar,
penurunan efisiensi enkapsulasi obat, dan morfologi menjadi lebih kasar (Freitas
et al., 2005 dalam Muhaimin, 2013). Suhu yang digunakan tidak boleh terlalu
tiggi supaya obat tetap bersifat alami dan agar pelarut dapat mencapai titik didih.
Oleh karena itu pengurangan tekanan menjadi pilihan yang lebih baik (Li et al,
2008 dalam Muhaimin, 2013).
Studi yang dilakukan oleh Meng et al (2004), pengisian hemoglobin bovin
pada mikrosfer PELA atau poly(d,l-lactic acid)-co-poly(ethylene glycol) (poli
asam laktat kopolietilen glikol) dibuat menggunakan metode emulsi
air/minyak/air dengan kondisi tekanan atmosfir dan kondisi penurunan tekanan
(30 kPa). Waktu pemadatan mikropartikel menurun dari 240 menit menjadi 40
menit akibat penurunan tekanan. Pengurangan tekanan dapat meningkatkan
efisiensi enkapsulasi pada beberapa kasus (Li et al., 2008 dalam Muhaimin,
2013). Progesteron yang dimasukan pada mikrosfer polilaktida menggunakan
teknik penguapan pelarut minyak/air, didapatkan hasil bahwa efisensi enkapsulasi
lebih besar pada mikrosfer yang dibuat menggukan metode penguapan pelarut
dengan penurunan tekanan, yaitu 200 mmHg lebih rendah daripada tekanan
atmosfir mula-mula yaitu 760 mmHg. Akan tetapi penelitian lain menunjukan
hasil yang berbeda (Izumikawa et al., 1991 dalam Muhaimin, 2013). Efisiensi
enkapsulasi lidokain (Chung et al., 2001 dalam Muhaimin, 2013) atau albumin
(Chung et al., 2002 dalam Muhaimin, 2013) pada mikrosfer PLA yang dibuat
dengan penurunan tekanan lebih rendah daripada mikropartikel yang dibuat
menggunakan tekanan atmosfir. Morfologi permukaan mikrosfer yang diukur
menggunakan scanning electron microscopy pada mikrosfer yang dibuat
menggunakan metode tekanan atmosfir menunjukan permukaan yang berpori dan
keras (Izumikawa et al., 1991 dalam Muhaimin, 2013). Sementara mikrosfer yang
dibuat menggunakan metode pengurangan tekanan memiliki permukaan yang
halus. Mikrosfer yang dibuat dengan tekanan yang berbeda memiliki ukuran yang
mirip dengan penelitian Meng et al (2004). Hasil ini berbeda dengan hasil
penelitian Chung et al (2001, 2002) dimana mikrosfer yang dibuat menggunakan
metode penurunan tekanan memiliki ukuran yang lebih kecil daripada yang dibuat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


25

menggunakan tekanan atmosfir. Pengaruh tekanan pada ukuran mikrosfer masih


belum jelas karena penelitian yang masih kurang (Muhaimin, 2013).
Penurunan tekanan dapat meningkatkan kecepatan penguapan sehingga
tekanan yang digunakan sebaiknya serendah mungkin. Namun apabila tekanan
lebih rendah dari tekanan uap jenuh pelarut pada suhu tertentu, pelarut akan
mendidih. Pembentukan gelembung dapat merusak droplet fase dispersi, jadi
pengurangan tekanan perlu dijaga agar tidak melebihi tekanan uap jenuh pelarut
pada suhu tertentu. Analisi lain menunjukan bahwa suhu harus dijaga pada titik
didih saat dilakukan pengurangan tekanan (Li et al, 2008 dalam Muhaimin, 2013).

2.4. Penghantaran Obat Melalui Paru-Paru


Pengembangan terapi inhalasi yang memiliki efikasi dan keamanan yang
tinggi tidak hanya dipengaruhi oleh sifat farmakologi zat aktif, tetapi juga sistem
penghantaran dengan desain dan formulasi yang baik. Optimasi keseluruhan
sistem, yaitu obat, formulasi obat dan device (alat) perlu dilakukan untuk
mengembangkan terapi inhalasi, baik untuk terapi penyakit lokal maupun
penyakit sistemik. Kombinasi obat-alat harus dapat membuat kondisi aerosol obat
dengan distribusi ukuran partikel yang tepat dan konsentrasi untuk meningkatkan
optimasi deposisi serta dosis pada area paru-paru yang diinginkan (Labiris, N.R.,
MB, Dolovich., 2003).
Penghantaran obat melalui paru-paru sudah digunakan semenjak ribuat
tahun yang lalu. Awal mula terapi inhalasi adalah 4000 tahun yang lalu dimana
masyarakat India menghirup asap tanaman Atropa belladonna untuk mengobati
batuk. Pada abad ke 19 dan ke 20, sigaret asma yang mengandung serbuk
stramonium dengan campuran rokok untuk mengobati penyakit asma
dikembangkan. Pengembangan alat inhalasi modern dapat dibagi menjadi tiga
kategori yaitu nebulizer, MDI (Metered Dose Inhaler), dan DPI (Dry Powder
Inhaler) (Labiris,N.R.,MB, Dolovich., 2003).
a. Nebulizer
Nebulizer telah digunakan selama beberapa tahun yang lalu untuk
mengobati asma dan penyakit pernafasan lainnya. Terdapat dua tipe dasar

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


26

nebulizer yaitu jet nebulizer dan ultrasonik (Labiris,N.R.,MB, Dolovich.,


2003).
b. MDI (Metered Dose Inhaler)
MDI adalah alat inhalasi yang mudah dibawa dan saat ini paling banyak
digunakan untuk penghantaran aerosol. MDI hanya menghantarkan dosis
obat fraksi kecil pada paru-paru. Hanya 10-20% dosis obat yang terdeposit
di paru-paru. Efisiensi penghantaran MDI bergantung pada pola pernafasan
pasien, kecepatan aliran pernafasan dan koordinasi tangan-mulut. Menurut
penelitian Bernnett et al dan Dolvich et al, untuk partikel dengan ukuran
partikel 1 dan 5 µm pada mass median aerodynamic diameter (MMAD),
deposisi lebih tergantung pada kecepatan aliran pernafasan daripada variabel
lain. Peningkatan kecepatan aliran pernafasan dapat menurunkan deposisi
dosis obat pada paru-paru dan penetrasi ke aliran (Labiris,N.R.,MB,
Dolovich., 2003).
c. DPI (Dry Powder Inhaler).
DPI digunakan untuk menyelesaikan kesulitan koordinasi yang
berhubungan dengan MDI. Deposisi paru-paru dapat bermacam-macam
pada DPI yang berbeda. Sekitar 12-40% dosis dihantarkan ke paru-paru
sementara 20-25% obat akan tertinggal pada alat (Labiris,N.R.,MB,
Dolovich., 2003).
Formulasi obat memberikan peranan penting dalam produksi inhalasi yang
efektif. Pengobatan dengan inhalasi tidak hanya penting dari segi farmakologi zat
aktif tetapi juga harus bisa dihantarkan secara efisien, tepat target dan tertinggal di
paru-paru sampai terjadi efek farmakologi yang diinginkan. Obat yang didesain
untuk mengobati penyakit sistemik misalnya insulin untuk diabetes, harus
terdeposit pada perifer paru-paru untuk memastikan bioavaibilitas sistemiknya
maksimum. Untuk terapi gen atau pengobatan antibiotik di cairan serebrospinal,
obat perlu dikondisikan untuk tertinggal di paru-paru agar tercapai efek terapi
optimal. Oleh karena itu diperlukan formula yang dapat membuat obat tertinggal
di paru-paru sesuai dengan waktu yang diinginkan dan menghindari mekanisme
pembersihan paru-paru. Formulasi serbuk kering untuk inhalasi melibatkan
mikronisasi melalui pencampuran jet, presipitasi, freeze dryng (pembekuan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


27

kering), atau semprot kering menggunakan berbagai eksipien misalnya lipid,


polimer, atau sistem pembawa seperti laktosa. Masing-masing sistem ini memiliki
keunggulan dan kekurangan bergantung pada agen terapetik yang diformulasikan
(Labiris, N.R., MB, Dolovich, 2003).
Salah satu formulasi serbuk kering untuk produk inhalasi adalah
menggunakan polimer biodegradabel. Mikrosfer polimer biodegradabel telah
diteliti sebagai pembawa dalam penghantaran obat lepas lambat melalui paru-
paru. Polimer seperti poli asam laktat (PLA) digunakan pada aplikasi medis
seperti benang bedah. Implan ortopedi dan pembalut medis. Namun poli asam
laktat tidak cocok digunakan sebagai penghantaran obat melalui paru-paru karena
waktu paruh biologi yang lama dengan dosis satu kali selama beberapa minggu.
Penelitan tentang pelepasan BDP lepas lambat yang dimuat dalam mikrosfer PLA
bertahan selama 6 hari. Asam oligolaktat, oligomer dari asam laktat memiliki
waktu paruh biologis yang lebih pendek dari PLA sehingga lebih sesuai
digunakan untuk penghantaran obat melalui paru-paru. Polimer mukoadhesif
seperti hydroxypropyl cellulose (HPC) dapat memperlama farmakokinetik dan
farmakodinamik kristal BDP dengan menghindari pembersihan mukus (Labiris,
N.R., MB, Dolovich, 2003).

2.5. Diltiazem Hidroklorida


Diltiazem hidroklorida adalah antagonis saluran kalsium yang banyak
digunakan untuk pengobatan angina pektoris, hipertensi dan aritmia (Gilman,
A.G., 2012). Kelarutan diltiazem menurun secara signifikan seiring dengan
peningkatan pH saluran pencernaan (Gowda D.V, 2010).

Gambar 2.5. Struktur Diltiazem Hidroklorida


(sumber : Kelly,J.G., O’Malley,K, 1992 dalam Sweetman, Sean C., 2009)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


28

Pemberian diltiazem hidroklorida melalui oral menyebabkan beberapa


efek samping, misalnya sakit kepala, bengkak pada pergelangan kaki, mual,
muntah, anoreksia, konstipasi, diare, dan gangguan gastrountestinal lainnya
(Kelly, J.G., O’Malley,K., 1992 dalam Sweetman, Sean C., 2009).
Diltiazem diabsorpsi dengan baik melalui saluran pencernaan setelah
pemberian oral, namun obat ini akan mengalami metabolisme hepatik lintas
pertama (first pass metabolism) yang berlebih sehingga menyebabkan
bioavaibilitas dilttiazem dalam plasma sebesar 40% meskipun terdapat variasi
individual pada konsentrasi plasma. Diltiazem terikat 80% dengan protein plasma.
Obat ini dimetabolisme di hati, terutama oleh Sitokrom P450 isoenzim CYP3A4.
Salah satu hasil metabolitnya, yaitu desasetildiltiazem telah dilaporkan memiliki
aktivitas lebih besar 25 sampai 50% dari senyawa utamanya (parent compound).
Diltiazem hidroklorida berbentk serbuk kristal dengan warna putih atau hampir
putih. Obat ini mudah larut dalam air, diklorometan dan metil alkohol, namun
sedikit larut dalam alkohol terdehidrasi. Diltiazem hidroklorida memiliki waktu
paru 3 sampai 5 jam. Sedangkan waktu puncaknya (Tmax) terjadi pada 3 sampai 4
jam setelah pemberian oral. Obat ini harus disimpan dalam wadah tertutp rapat
dan terlindung dari cahaya (Kelly,J.G., O’Malley,K., 1992 dalam Sweetman, Sean
C., 2009).

2.6. Etil Selulosa


Etil selulosa dengan nama lain Aquacoat ECD; Aqualon; Ashacel;
E426; Ethocel, Ethylcellulosum; Surelease memiliki berbagai berat molekul
(Rowe, Paul., Marian, 2009).

Gambar 2.6. Struktur Kimia Etil Selulosa


[sumber : Rowe, Paul., Marian, 2009]

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


29

Etil selulosa berbentuk serbuk, tidak berasa, mudah mengalir, bewarna


putih sampai coklat muda. Praktis tidak larut dalam gliserin, propilen glikol dan
air. Etil sellosa yang mengandung gugus etoksi kurang dari 46,5% bersifat mudah
larut dalam kloroform, metil asetat, tetrahidrofuran, dan campuran hidrokarbon
aromatik dengan etanol (95%). Sedangkan etil selulosa yang mengandung tidak
kurang dari 46,5% gugus etoksi bersifat mudah larut dalam kloroform, etanol
(95%), etil asetat, metanol, dan toluen. Berbagai macam jenis viskositas tersedia
secara komersial, mulai dari 7 sampai 100 mPa s (7-100 cP) (Rowe, Paul.,
Marian, 2009).
Etil selulosa banyak digunakan dalam sediaaan oral dan topikal. Fungsi
utama polimer ini dalam sediaan oral adalah sebagai agen penyalut untuk tablet
dan granul. Pelapis etil selulosa digunakan untuk obat dengan pelepasan
termodifikasi; menghilangkan rasa tidak enak; meningkatkan stabilitas sediaan,
misalnya granul yang dilapisis dengan etil selulosa akan terhindar dari reaksi
oksidasi. Selain itu etil selulosa yang dilarutkan dalam pelarut organik atau
campuran pelarut dapat digunakan untuk membuat film yang tidak larut dalam air.
Etil selulosa dengan viskositas tinggi cenderung menghasilkan film yang kuat dan
dapat tahan lebih lama. Pelepasan obat melalui sediaan yang dilapisis dengan etil
selulosa dapat dikontrol dengan difusi melalui pelapis film. Etil selulosa dengan
viskositas tinggi digunakan untuk enkapsulasi obat. Pelepasan obat dari
mikrokapsul etil selulosa tergantung pada ketebalan dinding dan luas
permukaannya. Pada sediaan topikal, etil selulosa digunakan sebagai agen penebal
(thickening agent) dalam krim, losion atau gel. Selain itu etil selulosa juga
digunakan sebagai agen penstabil pada emulsi. Etil selulosa juga digunakan pada
kosmetik dan produk makanan (Rowe,Paul., Marian, 2009).
Etil selulosa bersifat stabil dan sedikit higroskopis. Degradasi etil selulosa
terjadi ketika polimer ini terpapar sinar matahari atau sinar UV saat suhu naik.
Selain itu etil selulosa tidak bercampur dengan lilin parafin dan lilin
mikrokristalin. Etil selulsa harus disimpan dalam wadah kering yang terhindar
dari sumber panas dan disimpan pada suhu tidak lebih dari 32oC. Polimer ini
harus dijauhkan dai agen peroksida atau agen pengoksidasi (Rowe, Paul., Marian,
2009).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


30

2.9 Polivinil Alkohol (PVA)


Polivinil alkohol adalah polimer sintetis yag larut air dengan rumus
(C2H3O)n. Nilai n secara komersial berkisar antara 500 dan 5000 yang ekuivalen
dengan berat molekul yaitu 20.000-200.000. Polimer ini berbentuk serbuk granul
tidak bewarna, putih sampai bewarna krem (Rowe,Paul., Marian, 2009).

Gambar 2.7. Rumus Struktur Polivinil Alkohol


[sumber : Rowe, Paul., Marian, 2009]

Polimer ini sering digunakan pada sediaan topikal dan optalmik. Selain itu
digunakan pula sebagai agen penstabil pada emulsi (0,25-3,0% b/v). PVA
digunakan sebagai agen peningkat viskositas pada sediaan optalmik. Polimer ini
digunakan pula pada formulasi lepas lambat untuk pemberian oral. PVA dibuat
menjadi mikrosfer ketika dicampur dengan larutan glutaraldehida. Polimer ini
dapat larut dalam air, sedikit larut dalam etanol (95%), tidak larut dalam pelarut
organik. Pada proses pelarutan PVA dalam air, PVA dicampur dengan air pada
suhu 90oC selama sekitar 5 menit. Proses pencampuran harus tetap dillanjutkan
ketika larutan sudan menjadi dingin kembali (pada suhu ruang) (Rowe, Paul.,
Marian, 2009).
PVA akan stabil apabila disimpan dalam wadah tertutup rapat pada tempat
yang sejuk dan kering. Polimer ini akan stabil pada wadah korosif. Selain itu
material ini akan terdegradasi secara perlahan pada suhu 100oC dan akan cepat
terdegradasi pada suhu 200oC. Polimer ini bersifat stabil terhadap paparan cahaya.
Selain itu, materal ini akan mengalami reaksi spesifik pda senyawa yang memiliki
gugus hidroksi sekunder, misalnya reaksi esterifikasi. Bahan ini akan menjadi
rusak apabila terpapar asam kuat. Kemudian akan larut pada asam lemah dan
basa. Polimer ini berifat inkompatibel dengan garam anorganik khususnya sulfat
dan fosfat pada konsentrasi tinggi. Presipitasi PVA 5% b.v dapat terjadi akibat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


31

adanya fosfat. Selain itu akan terbentuk gel polivinilalkohol apabila terdapat
boraks (Rowe,Paul., Marian, 2009).
.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


32

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian 1,
Laboratorium Penelitian 2, Laboratorium Farmakologi, Laboratorium Kesehatan
Lingkungan, Laboratorium Farmakognosi dan Fitkimia, dan Laboratorium
Sediaan Padat Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian berlangsung 6 bulan, dari bulan
Januari hingga Juni 2015.

3.2. Alat dan Bahan


3.2.1. Alat
Homogenizer (Ace Homogenizer), timbangan analitik (AND GH-202),
hotplate (Thermo Scientific), desikator, sentrifugator (Hettich Zentrifugen EBA
20), mikroskop optik (Olympus TH4 200), spektrofotometer UV-Vis (Hitachi
U2910), shaking bath (Advantex), pH meter (Horiba), gunting, spuit, kaca arloji,
spuit, vial, dan alat-alat gelas yang sering dipakai di laboratoirum.

3.2.2. Bahan
Diltiazem hidroklorida (PT. Indofarma), akuades, etil selulosa N10
(Ashland), diklorometan, polivinil alkohol (Shadong Bio-technologi), metanol,
KH2PO4, NaOH, air deionisasi, aluminium foil, lem sianoakrilat, kertas Sartorius
0,45 µm, kertas penyaring hidrofilik 0,45 µm, dan plastik wrap.

3.3. Prosedur Kerja


3.3.1. Formula Mikropartikel
Melalui perhitungan, maka setiap formula mikropartikel diltiazem
hidroklorida mengandung komponen seperti yang ada dalam tabel 3.1.

32 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


33

3.3.2. Pembuatan Mikropartikel


Mikropartikel diltiazem hidroklorida berbasis etil selulosa dibuat
menggunakan metode penguapan pelarut dengan sistem emulsi minyak/air. Pada
penelitian ini dibuat 2 formulasi. Mula-mula diltiazem hidroklorida dilarutkan
menggunakan 6 ml diklorometan. Kemudian etil selulosa dilarutkan dalam 20 ml
diklorometan dan ditambahkan sampai diklorometan mencapai volume 120 ml.
Disisi lain poli vinil alkohol (PVA) dilarutkan dalam air panas. Setelah itu larutan
PVA didispersikan ke dalam larutan diltiazem hidroklorida dan etil selulosa.
Proses pembentukan emulsi minyak/air dilakukan dengan homogenizer dengan
kecepatan 8000 rpm selama 4 jam. Setelah 4 jam mikropartikel dipisahkan dari
fase cairan eksternal dengan sentrifugasi dan dilanjutkan dengan mencuci
mikropartikel dengan air deionisasi. Kemudian sampel disimpan pada desikator
selama 24 jam setelah itu dilakukan evaluasi (Muhaimin, 2013, dengan
modifikasi).

Tabel 3.1. Formula Mikropartikel Diltiazem Hidroklorida


FORMULA
BAHAN
F1 F2
Diltiazem hidroklorida 120 mg 120 mg
Etil selulosa 300 mg 300 mg
Larutan PVA 8% 400 ml -
Larutan PVA 1% - 400ml
Diklorometan 120 ml 120 ml
[sumber: Muhaimin, 2013, dengan modifikasi]

3.3.3. Penentuan Perolehan Kembali


Perolehan kembali ditentukan dengan menghitung persentasi mikropartikel
terhadap semua bahan yang digunakan

Keterangan : %PK = faktor perolehan kembali, Wm = bobot mikropartikel yang


diperoleh (mg), Wt= bobot bahan pembentuk mikropartikel (mg).
(sumber: Jelvehgari, M., S,Dastmalch., N,Derafshi., 2010)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


34

3.3.4. Penentuan Ukuran Mikropartikel


Penentuan ukuran mikropartikel dilakukan menggunakan mikroskop optik.
Sejumlah mikropartikel didispersikan ke dalam olive oil kemudian diletakan di
kaca objek dan dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali dan 200
kali (Weerakody, R., Fragan, P., Kosaraju, A.L., 2008 dikutip dalam Kasih,
Nirmala., 2014).

3.3.5. Penetuan Panjang Gelombang Maksimum dan Pembuatan Kurva


Kalibrasi
Dibuat satu seri konsentrasi larutan diltiazem hidroklorida dengan cara
ditimbang saksama 5 mg bahan baku diltiazem hidroklorida kemudian dilarutkan
di dalam 50 ml dapar fosfat pH 7,4. Setelah itu dibuat seri konsentrasi 1, 3, 5, 7,
9, 11, 13, dan 15 ppm. Pada sampel dengan konsentrasi 10 ppm dilakukan
pengukuran panjang gelombang maksimum yaitu sampel diukur serapannya pada
panjang gelombang 400-200 nm menggunakan spektrofotometer UV. Setelah itu
dilakukan pengukuran pada sampel dengan konsentrasi 1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15
ppm (Sofiah, S., Faizatun, Y, Riyana., 2007; Nadia, A., Al-Assady., 2011; dengan
modifikasi).

3.3.6. Penentuan Kadar Obat dan Efisiensi Penjerapan


Sebanyak 10 mg mikropartikel diekstraksi dalam 2 ml metanol kemudian
diagitasi dalam shaking bath selama 2 jam. Setelah itu dilakukan pengenceran 100
kali dalam dapar fosfat pH 7,4 (Muhaimin, 2013).
Polimer yang tidak larut di dapar fosfat dipisahkan dari larutan encer
dengan filtrasi menggunakan kertas penyaring hidrofilik 0,45 µm. Konsentrasi
diltiazem HCl dalam larutan encer diukur dengan spektrofotometer UV dengan
panjang gelombang gelombang maksimum (Muhaimin, 2013 dengan modifikasi).
Kadar obat dan efisiensi penjerapan dihitung menggunakan rumus:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


35

Kadar Obat (%)= (Wm/Wp) x 100%

Efisiensi Penjerapan= (Co/Ct) x 100%

Keterangan : Wm = Massa obat dalam mikropartikel


Wp = Massa mikropartikel
Co = Kadar obat
Ct = Kadar obat secara teori
(sumber: Muhaimin, 2013 dengan modifikasi)

3.3.7. Pelepasan Obat secara In Vitro


Pelepasan obat secara in vitro dari mikropartikel dilakukan menggunakan
alat uji disolusi modifikasi. Ditimbang 50 mg mikropartikel kemudian
mikropartikel dibungkus dalam membran sartorius dengan pori 0,45 µm dan
diameter 4,7 cm. Setelah itu membran dilem menggunakan lem sianoakrilat.
Berikutnya membran yang berisi mikropartikel dimasukan ke dalam medium
disolusi, yaitu 50 ml dapar fosfat pH 7,4. Kecepatan pengadukan yang digunakan
sebesar 100 rpm dan suhu dijaga konstan 37±2oC. Selanjutnya sampel diambil
sebanyak 4 ml pada menit ke 5, 15, 30, 60, 90, 120, 150, 180, 240, 300, 360, 420,
480. Untuk menjaga volumenya tetap,ditambahkan 4 ml medium disolusi dengan
menggunakan spuit. Penyuplikan sampel dilakukan dengan menggunakan spuit
yang telah dikalibrasi. Kemudian spuit disolusi dipasangkan kertas penyaring
hidrofilik 0,45 μm setelah itu sampel disaring. Larutan sampel diukur serapannya
dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum. Percobaan
dilakukan duplo (Shah, N et al., 2011, dengan modifikasi).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


36

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Formulasi Mikropartikel


Pada penelitian ini diformulasikan mikropartikel diltiazem HCl
menggunakan metode penguapan pelarut. Tipe emulsi yang digunakan pada
penelitian ini adalah tipe emulsi tunggal minyak dalam air dimana fase minyak
disini adalah larutan diklorometan.
Pada metode ini, emulsi droplet yang mengandung diltiazem hidroklorida
berubah menjadi bentuk padat disebabkan sifat hidrofobisitas etil selulosa dan
penguapan diklorometan ketika dilakukan pengadukan (Giri, Tapan Kumar et al,
2012). Lambatnya kecepatan pengerasan droplet dapat menyebabkan obat
berdifusi keluar dari droplet sehingga mengakibatkan kecilnya efisiensi
penjerapan (Jeyanthi, et al., 1997; Maa and Hsu, 1997; Mehta et al., 1994,
1996; Sansdrap and Moes, 1993 dikutip dalam Muhaimin. 2013 ). Proses
pengerasan droplet juga dipengaruhi oleh ukuran mikropartikel. Semakin besar
ukuran mikropartikel maka waktu yang dibutuhkan untuk mengeraskan droplet
lebih lama. Oleh karena itu diperlukan waktu yang tepat dalam mengeraskan
droplet agar efisiensi penjerapan mikropartikel tidak rendah. Mikropartikel yang
terbentuk menggunakan metode ini memiliki berupa serbuk putih dan memiliki
bentuk asimetris.

4.2. Perolehan Kembali


Hasil perolehan kembali F1 dan F2 berturut-turut adalah 77,81% dan
57,51%. Persentase hasil F1 lebih besar dari F2. Hasil perolehan kembali
mikropartikel pada kedua formula tersebut berbeda. Pada penelitian Pandav, S.,
Lokhande, A., Naik, J. (2013), didapatkan hasil bahwa pada dua formula dengan
variasi pada konsentrasi surfaktan, mikropartikel yang mengandung konsentrasi
surfaktan lebih tinggi memiliki nilai perolehan kembali yang lebih kecil.
Pada proses pembuatan mikropartikel dengan konsentrasi surfaktan lebih
besar memiliki nilai perolehan kembali yang lebih kecil karena saat proses
homogenisasi terjadi peningkatan jumlah partikel yang menempel pada dinding

36 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


37

wadah. Menurut Patel, B., V, Modi., K, Patel., M, Patel. (2012), faktor lain yang
dapat mempengaruhi perolehan kembali mikropartikel adalah konsentrasi polimer
dan kecepatan pengadukan.

Tabel 4.1. Efek Variabel Konsentrasi Surfaktan pada Mikropartikel Diltiazem


Hidroklorida
Kode Formula Konsentrasi Surfaktan (%) Perolehan Kembali (%)
F1 0,8 77,81%
F2 1 57,51%

4.2. Ukuran Mikropartikel


Banyak metode yang tersedia untuk menentukan ukuran partikel,
diantaranya metode pengayakan, mikroskop, sedimentasi, penentuan volume
partikel (coulter counter), dan penyebaran sinar laser (Aulton, M.E., 2002). Tidak
ada satu pun cara pengukuran yang benar-benar merupakan metode langsung.
Walaupun dengan mikroskop dapat dilihat gambaran partikel yang sesungguhnya,
namun hasil yang didapat kemungkinan besar tidak lebih langsung daripada
menggunakan metode lain karena hanya dua dari tiga dimensi partikel yang
biasanya terlihat (Martin, A., J, Swarbrick., A, Cammarata., 2008). Metode
mikroskop dibagi menjadi tiga, yaitu mikroskop cahaya, scanning electron
microscopy dan transmission electron microscopy (Aulton, M.E., 2002). Pada
penelitian ini metode yang digunakan adalah metode mikroskop optik. Menurut
Aulton M.E (2008), jumlah partikel yang harus dihitung adalah 300 sampai
dengan 500 partikel agar didapatkan suatu perkiraan yang baik.

Tabel 4.2. Efek Variabel Konsentrasi Surfaktan pada Ukuran Mikropartikel.

Kode Rentang Ukuran Modus Ukuran


Formula Mikropartikel (µm) Mikropartikel (µm)
F1 0,680-159,740 1-10
F2 0,340-117,674 1-10

Rentang ukuran mikropartikel pada F1 dan F2 berturut-turut adalah 0,680-


159,740 µm dan 0,340-117,674 µm. Penyebab kecilnya ukuran mikropartikel ini

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


38

salah satunya karena tingginya kecepatan pengadukan. Kecepatan pengadukan


yang digunakan pada pembuatan mikropartikel diltiazem hidroklorida ini adalah
8000 rpm. Penentuan penggunaan kecepatan pengadukan sebesar 8000 rpm
adalah hasil dari optimasi metode. Tingginya kecepatan pengadukan dapat
menurunkan ukuran mikropartikel karena kecepatan tinggi dapat mencegah
koalesen droplet dalam fase kontinyu (Jelvehgar, M., S, Dastmalch., Derafshi.
2010).
Formula dengan konsentrasi surfaktan lebih besar (F2) memiliki ukuran
lebih kecil. Apabila dianalisa dari segi jumlah mikropartikel yang terbentuk,
ukuran dominan pada kedua formula adalah 1-10 µm. Distribusi ukuran
mikropartikel pada kedua formula dapat dilihat pada tabel 4.3 dan tabel 4.4.
Jumlah mikropartikel dengan ukuran 1-10 µm pada F2 lebih banyak dihasilkan
daripada F1. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan konsentrasi surfaktan
menyebabkan penurunan ukuran mikropartikel dan peningkatan jumlah
mikropartikel dengan ukuran 1-10 µm. Pada penelitian yang dilakukan Patel, B.,
V, Modi., K, Patel., M, Patel. (2012) disimpulkan bahwa peningkatan konsentrasi
surfaktan menyebabkan penurunan energi antarmuka kedua fase (fase air dan fase
minyak) sehingga menyebabkan penurunan ukuran partikel. Adapun faktor lain
penyebab penurunan ukuran mikropartikel adalah adanya peningkatan kecepatan
pengadukan dan penurunan konsentrasi polimer. Pada pembuatan mikropartikel
ini kecepatan pengadukan yang digunakan sebesar 8000 rpm. Penentuan
penggunaan kecepatan pengadukan ini berdasarkan hasil optimasi metode.
Kecepatn pengadukan yang digunakan ini cukup tinggi sehingga dimungkinkan
dengan tingginya kecepatan pengadukan ini maka dapat dihasilkan ukuran
mikropartikel yang lebih kecil.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


39

Tabel 4.3. Distribusi Ukuran Mikropartikel F1


Rentang Diameter Jumlah % Volume
% Volume
Ukuran Rata- Mikropartikel Jumlah Mikropartikel
3 Mikropartikel
(µm) Rata (µm) (buah) Partikel (µm )
<1 1 1 0,23 0,52 0,00
1-5 3 99 22,86 1398,87 0,01
6-10 8 78 18,01 20899,84 0,13
11-15 13 22 5,08 25294,79 0,16
16-20 18 20 4,62 61041,60 0,39
21-25 23 16 3,70 101878,35 0,65
26-30 28 11 2,54 126370,35 0,80
31-35 33 16 3,70 300912,48 1,91
36-40 38 15 3,46 430745,20 2,73
41-45 43 14 3,23 582521,29 3,70
46-50 48 18 4,16 1041776,64 6,61
51-55 53 19 4,39 1480333,64 9,40
56-60 58 16 3,70 1633737,81 10,37
> 60 60 88 20,32 9947520,00 63,14

Gambar 4.1. Diagram Distribusi Frekuensi Mikropartikel F1

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


40

Tabel 4.4. Distribusi Ukuran Mikropartikel F2


Rentang Diameter Jumlah % Volume
%Volume
Ukuran Rata- Mikropartikel Jumlah Mikropartikel
3 Mikropartikel
(µm) Rata (µm) (buah) Partikel (µm )
<1 1 12 3,2 6,28 0,00
1-5 3 299 79,5 4224,87 0,25
6-10 8 29 7,7 7770,45 0,46
11-15 13 6 1,6 6898,58 0,41
16-20 18 7 1,9 21364,56 1,28
21-25 23 5 1,3 31836,98 1,90
26-30 28 0 0 0,00 0,00
31-35 33 1 00,3 18807,03 1,12
36-40 38 1 00,3 28716,35 1,72
41-45 43 2 00,5 83217,33 4,97
46-50 48 1 00,3 57876,48 3,46
51-55 53 1 00,3 77912,30 4,66
56-60 58 2 00,5 204217,23 12,20
> 60 60 10 2,7 1130400,00 67,56

Gambar 4.2.Diagram Distribusi Frekuensi Mikropartikel F2

Persen volume menunjukan efisiensi metode untuk menghasilkan


mikropartikel dengan ukuran sesuai target yang ingin dicapai. Persen volume
mikropartikel dengan ukuran 1-10 µm pada F1 dan F2 berturut-turut adalah
0,14% dan 0,71%. Hal ini menunjukan bahwa nilai persen volume untuk ukuran
mikropartikel dengan ukuran 1-10 µm cukup kecil, dengan kata lain bahan baku

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


41

yang digunakan dalam pembuatan mikropartikel menggunakan metode ini lebih


banyak menghasilkan mikropartikel dengan ukuran lebih dari 10 µm.

4.4. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Kurva Kalibrasi


Panjang gelombang diltiazem hidroklorida diukur menggunakan
spektrofotometer UV Vis. Panjang gelombang yang didapatkan adalah 236,4 nm.
Standar panjang gelombang maksimum diltiazem hidroklorida adalah 240 nm
(British Pharmacopoiea, 2009)

Gambar 4.3. Kurva Kalibrasi Diltiazem Hidroklorida dalam Dapar Fosfat pH 7,4

4.5. Kadar Obat dan Efisiensi Penjerapan


Evaluasi kadar obat dan efisiensi penjerapan dilakukan untuk mengamati
efisiensi metode dalam enkapsulasi zat aktif. Efisiensi penjerapan menunjukan
efisiensi metode dalam mengenkapsulasi zat aktif sedangkan kadar obat
menunjukan jumlah kadar obat yang terkandung dalam mikropartikel yang
terbentuk. Kadar obat pada F1 dan F2 berturut-turut adalah 3,51±0,02 % dan
3,91±0,01 %. Nilai kadar pada kedua formula ini mirip akan tetapi kadar obat
pada F2 lebih besar dari F1. Pada proses pembentukan mikropartikel,
mikropartikel dengan ukuran lebih besar (F1) memerlukan waktu pengerasan
lebih lama sehingga obat akan cenderung berdifusi menuju fase kontinyu dan
menyebabkan penurunan nilai kadar obat (Chella, N., K,K Yada., R, Vempati.,
2010).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


42

Nilai efisiensi penjerapan F1 dan F2 berturut-turut adalah 9,57±0,01% dan


7,87±0,02%. Nilai efisiensi kedua formula ini mirip, akan tetapi nilai efisiensi
penjerapan F2 lebih besar dari F1.
Nilai efisiensi penjerapan dan kadar obat pada kedua formula tersebut
rendah karena sifat hidrofilisitas diltiazem hidroklorida pada fase kontinyu serta
terjadinya proses difusi diltiazem hidroklorida melewati matriks polimer menuju
fase kontinyu sesaat setelah terjadi penguapan pelarut dan pembentukan
mikropartikel (Perez et al., 2000, 2003 dalam Muhaimin 2013).
Apabila dibandingkan, nilai kadar obat F2 lebih kecil dari F1 sedangkan
efisiensi penjerapan F1 lebih besar dari F2. Faktor lain penyebab rendahnya nilai
efisiensi penjerapan dan kadar obat adalah ukuran mikropartikel. Semakin kecil
ukuran mikropartikel maka kapasitas penjerapan obat di dalam mikropartikel juga
semakin kecil.
Efisiensi penjerapan berbanding lurus dengan konsentrasi polimer dan
surfaktan. Hal ini disebabkan konsentrasi polimer dapat meningkatkan kapasitas
penjerapan obat sedangkan surfaktan menurunkan tegangan permukaan antara
fase dispersi dan fase kontinyu. Hal ini menyebabkan droplet mikropartikel akan
lebih stabil dan mengurangi terjadinya difusi obat menuju fase kontinyu (Giri,
T.K. et al., 2012).

Tabel 4.5. Efisiensi Penjerapan dan Kadar Obat Mikropartikel


Kode Konsentrasi
Efisiensi Penjerapan (%) Kadar Obat (%)
Formula Surfaktan (%)
F1 0,8 9,57±0,02 3,51±0,02
F2 1 7,87±0,01 3,91±0,01

4.5. Pelepasan Obat


Disolusi adalah proses di mana suatu zat padat menjadi terlarut dalam suatu
pelarut (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2004). Evaluasi pelepasan obat secara in vitro
ini dilakukan dengan cara modifikasi disolusi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


43

Tabel 4.6. Persen Pelepasan Obat Mikropartikel Diltiazem HCl


% Pelepasan Obat
Menit Ke-
F1 F2
5 7,17±2,23 2,53±0,01
15 6,53±1,19 1,25±0,01
30 6,68±0,47 3,84±0,01
60 6,59±1,58 4,75±0,03
90 7,33±1,31 4,77±0,04
120 7,28±0,04 4,19±0,04
180 7,53±0,29 4,53±0,03
240 8,09±1,02 4,70±0,02
300 7,24±0,04 5,62±0,04
360 7,12±0,06 6,08±0,05
420 7,32±0,09 6,49±0,05
480 7,44±0,32 6,94±0,05

Gambar 4.4.Profil Pelepasan Mikropartikel Diltiazem HCl

Pelepasan obat melibatkan penetrasi cairan di sekeliling mikropartikel


kemudian obat akan terlarut. Setelah itu obat akan keluar melalui kanal interstitial
atau pori (Higuchi WI. 1967). Setelah menit ke 480, obat yang terlepas dari
F1dan F2 berturut-turut adalah 7,44±0,32% dan 6,94±0,05%. F2 melepaskan obat
lebih lama dari F1 namun kedua data ini mirip. Berdasarkan penelitian Chella,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


44

N., KK, Yada., R, Vempati (2010), etil selulosa dengan viskositas 25 cps
memerlukan waktu 10 jam untuk melepaskan 90% obat. Dapat disimpulkan
bahwa etil selulosa memerlukan waktu yang cukup lama untuk melepaskan obat.
Pada 5 menit pertama, pelepasan obat pada F1 dan F2 cukup besar. Hal ini
dimungkinkan terjadi karena obat tidak terenkapsulasi di inti, melainkan
teradsorpsi di permukaan mikropartikel. Salah satu penyebabnya adalah
konsentrasi PVA yang kurang tepat. Konsentrasi PVA pada mikropartikel ini
kurang dapat menstabilkan partikel, hal ini menyebabkan obat tidak
terenkapsulasi di inti partikel melainkan teradsorpsi pada permukaan partikel
(Giri, TK et al, 2012).
Salah satu faktor yang mempengaruhi pelepasan obat adalah ukuran
mikropartikel. Semakin kecil ukuran mikropartikel, maka obat akan semakin
cepat dilepaskan (Maji, R., S,Ray., B, Das., AK, Nayak., 2012). Pada uji disolusi
kedua formula, terjadi fluktuasi persen pelepasan obat setiap menitnya. Selain itu
kadar obat yang terukur di setiap rentang waktu mirip satu sama lain. Hal ini
terjadi karena kadar obat pada sampel terlalu kecil dan sensitivitas alat
spektrofotometer tidak dapat mendeteksi perubahan kadar yang terlalu kecil
tersebut. Apabila dilihat dari pelepasan obat pada menit-menit awal, formula yang
lebih tepat untuk dijadikan sistem lepas lambat adalah F2 karena pada menit-
menit awal persen pelepasan obat lebih kecil dari F1.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


45

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
1. Rentang ukuran mikropartikel F1 dan F2 berturut-turut sebesar 0,680-
159,740 µm dan 0,340-117,674 µm dengan modus ukuran kedua formula
sebesar 1-10 µm.
3. Nilai efisiensi penjerapan F1 dan F2 berturut-turut adalah 9,57±0,02 % dan
7,87±0,01 %.
4. Nilai kadar obat F1 dan F2 berturut-turut adalah 3,51±0,02 % dan
3,91±0,01 %.
5. Hasil Uji Perolehan Kembali F1 dan F2 berturut-turut adalah 77,51% dan
57,51%.
6. Nilai pelepasan obat F1 dan F2 berturut-turut adalah 7,44±0,32% dan
6,94±0,05%.
7. Berdasarkan nilai ukuran mikropartikel, efisiensi penjerapan, kadar obat
dan pelepasan obat, F2 lebih baik daripada F1.
8. Metode ini masih belum bisa menghasilkan mikropartikel yang sesuai
untuk penghantaran obat melalui paru-paru

5.2. Saran
1. Diperlukan optimasi metode untuk meningkatkan nilai perolehan kembali,
efisiensi penjerapan, kadar obat, dan pelepasan obat.
2. Pada proses emulsifikasi minyak/air disarankan untuk menggunakan zat
aktif hidrofobik.
3. Menggunakan tipe emulsi air/minyak/air apabila zat aktif yang digunakan
bersifat hidrofilik.
4. Digunakan polimer etil selulosa yang memiliki viskositas lebih rendah dan
gugus etoksi yang lebih besar.
5. Mengganti polimer etil selulosa dengan polimer lain yang dapat
melepaskan obat lebih cepat.

45 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


46

6. Pembuatan mikropartikel dengan metode lain, misalnya gelasi ionik,


semprot kering, koaservasi, atau ekstraksi cairan superkritis.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


47

DAFTAR PUSTAKA

Abraham, M.H., Smith. R.E., Luchtefeld. R., Boorem. A.J., Luo. R., Acree. W.E.
2010. Prediction of Solubility of Drugs and Other Compounds in Organic
Solvents. J. Pharm. Sci. 99. 1500-1515.

Alonso, M.J., Gupta, R.K., Min, C., Siber, G.R., Langer, R. 1994. Biodegradable
Microspheres as Controlled Release Tetanus Toxoid Delivery Systems.
Vaccine 12. 299-306.

Arshady, R. 1991. Preparation of Biodegradable Microspheres and


Microcapsules: 2. Polyactides and related polyesters. J. Control. Rel. 17. 1-22

Aulton, M.E. 2002. Pharmaceutics: The Science of Dosage Form Design second
edition. Chemical Livingstone.

Azevedo, A.F., Galhardas, J., Cunha, A., Cruz, P., Goncalves, L.M.D., Almeida,
A.J. 2006. Microencapsulation of Streptococcus Equi Antigens in
Biodegradable Microspheres and Preliminary Immunisation Studies. Eur. J.
Pharm. Biopharm. 64. 131-137.

Beck, L.R., Ramos, R.A., Flowers, C.E., Lopez, G.Z., Lewis, D.H. 1981.
Clinical Evaluation of Injectable Biodegradable Contraceptive System. Am. J.
Obstet. Gynecol. 140. 799-806.

Benoit, J.P., Painbeni, T., Venier-Julienne, M.C. 1996. Internal Morphology of


Biodegradable BCNU-Loaded Microspheres. Proc. Int. Symp. Control. Rel.
Bioact. Mater. 23. 379-380.

Berchane,N.S., Jebrail, F.F.,,Carson, K.H., Rice-Ficht, A.C., Andrews. M.J. 2006.


About Mean Diameter and Size Distributions of Poly(lactide-co-glycolide)
(PLG) Microspheres. J. Microencap. 23. 539-552.

Birnaum, D.T., Peppas, L.B. 2004. Microparticle Drug Ddelivery Ssystems. In:
Brown. D.. (Editor). Drug delivery systems in cancer therapy. Humana Press.
Totowa N.J.

Blanco, D., Alonso, M.J. 1998. Protein Encapsulation and Release From
Poly(lactide-coglycolide) Microspheres: Effect of The Protein and Polymer
Properties and of Coencapsulation of Surfactants. Eur. J. Pharm. Biopharm. 45.
285-294.

Bleich J., Müller, B.W. 1996. Production of Drug Loaded Microparticles by


The Use of Supercritical Gases with The Aerosol Solvent Extraction System
(ASES) Process. J. Microencap. 13. 131-139.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


48

Bleich, J., Müller, B.W., Waβmus, W. 1993. Aerosol Solvent Extraction System–
a New Microparticle Production Technique. Int. J. Pharm. 97. 111-117.

Bodmeier, R., Wang, H., Dixon, D.J., Mawson, S., Johnston, K.P., 1995.
Polymeric microspheres prepared by spraying into compressed carbon dioxide.
Pharm. Res. 12, 1211-1217

Bodmeier, R., Wang, H., Herrmann, J., 1994. Microencapsulation of


chlorpheniramine maleate, a drug with intermediate solubility properties, by a
non-aqueous solvent evaporation technique, STP Pharma. Sci. 4, 275-281.

Bodmeier, R., Chen, H. 1988. Preparation of Biodegradable Poly(±)lactide


Microparticles using A Spray-Drying Technique. J. Pharm. Pharmacol. 40. 754-
757

Boisdron-Celle, M., Menei, P., Benoit. J.P. 1995. Preparation and


Characterization of 5-Fluorouracil Loaded Microparticles as A Biodegradable
Anticancer Drug Carrier. J. Pharm. Pharmacol. 47. 108-114.

Cavalier, M., Benoit, J.P., Thies, C. 1986. The Formation and Characterization
of Hydrocortisone-Loaded Poly((+/-)-lactide) Microspheres. J. Pharm.
Pharmacol. 38. 249-253.

Chella, Naveen., K.K. Yada., R Vempati. 2010. Preparation and Evaluation


ofEthyl Cellulose Microsphere Containing Diclofenac Sodium by Novel W/o/o
Emulsion Method. Journal of Pharmaceutical Sciences and Research. Hal: 884-
888.

Chung, T.-W., Huang, Y.-Y., Liu, Y.-Z. 2001. Effects of The Rate of Solvent
Evaporation on The Characteristics of Drug Loaded PLLA and PDLLA
Microspheres. Int. J. Pharm. 212. 161-169.

Chung, T.-W., Huang, Y.-Y., Tsai, Y.-L., Liu. Y.-Z. 2002. Effects of Solvent
Evaporation Rate on The Properties of Protein-Loaded PLLA and PDLLA
Microspheres Fabricated by Emulsion Solvent Evaporation Process. J.
Microencap. 19. 463-471.

Cowsar, D.R., Tice, T.R., Gilley, R.M., English, J.P. 1985. Poly(lactide-co-
glycolide) Microcapsules for Controlled Release of Steroids. Methods Enzymol.
112. 101-116.

Departemen Kesehatan. 1979. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta:


Deparemen Kesehatan Republik Indonesia.

Eckert, C.A., Knutson, B.L., Denbenedetti, P.G. 1996. Supercritical fluids as


Solvents for Chemical and Materials Processing. Nature 383. 313-318.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


49

Feng, L., Qi, X.R., Zhou, X.J., Maitani, Y., Cong Wang, S., Jiang, Y., Nagai, T.
2006. Pharmaceutical and Immunological Evaluation of A Single-Dose Hepatitis
B Vaccine using PLGA Microspheres. J. Control. Rel. 112. 35-42

Folker, R., Kleinebudde, P., Müller, B.W. 1996. Residual Solvent in


Biodegradable Microparticles. Influence of Process Parameter on The
Residual Solvent in Microparticles Produced by The Aerosol Solvent Extraction
System (ASES) process. J. Pharm. Sci. 86. 101-105.

Fredriksen, L., Anton, K., Hoogevest, P.V., Keller, H.R., Leuenberger, H. 1997.
Preparation of Liposomes Encapsulating Water-Soluble Compounds using
Supercritical Carbon Dioxide. J. Pharm. Sci. 86. 921-928.

Freitas, S., Merkle, H.P., Gander, B. 2005. Microencapsulation by Solvent


Extraction/Evaporation: Reviewing The State of The Art of Microsphere
Preparation Process Technology. J. Control. Rel. 102. 313–332.

Gilman, AG. 2012. Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta:
EGC.

Giri, Tapan Kumar., C, Choudhary., Ajazuddin., A, Alexander., H, Badwaik., D.K


Tripathi. 2012. Prospect of Pharmaceuticals and Biopharmaceuticals Loaded
Microparticles Prepared By Double Emulsion Technique for Controlled Delivery.
Saudi Pharmaceutical Journal (2013)21. 125-141.

Giunchedi, P., Benvenga, A., Alpar, H.O., Conte, U. 1995. PDLLA Microspheres
Containing Steroids: Spray-Drying and w/o/w Emulsification as Preparation
Methods. World Meet. Pharm. Biopharm. Pharm. Technol. 1. 389-390.

Göpferich, A., Langer, R. 1993. Modeling of Polymer Erosion. Macromolecules


26. 4105-4112.

Gowda, D.V., M.S. Khan., Venkatesh M.P., Sowjaya A.S., Shivakumar H.G.
2010. Preparation and Evaluation of HPMC and Eudragit Microparticle Loaded
with Diltiazem Hidroklorida untuk Penghantaran Terkontrol. Scholar Research
Library ISSN 0975-5071.

Graves, R.A., Freeman, T., Pamajula, S., Praetorius, N., Moiseyev, R., Mandal,
T.K. 2006. Effects of Co-Solvents on The Characteristics of Enkephalin
Microcapsules. J. Biomater. Sci. Polym. Edit. 17. 709-720

Giri, Tapan Kumar et al. 2012. Prospect of Pharmaceuticals and


Biopharmaceuticals Loaded Microparticles Prepared by Double Emulsion
Technique for Controlled Delivery. Saudi Pharmaceutical Journal (2013) 21.
125-141.

Higuchi, WI. Diffusional models useful in biopharmaceutics drug release rate


processes. J Pharm Sci 1967; 56: 315-324.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


50

Hanes, J., Chiba, M., Langer, R. 1996. Synthesis and Characterization of


Degradable Anhydride-co-imide Terpolymers Containing Trimellitylimido-L-
typrosine: Novel Polymers for Drug Delivery. Macromolecules 29. 5279-5287

Hanna, M.H., York, P., Rudd, D., Beach, S. 1995. A Novel Apparatus for
Controlled Particle Formation using Supercritical Fluids. Pharm. Res. 12. 141-
146.

Hsu, J.P., Lin, S.H. 2005. Diffusivity of Solvent in A Polymer Solution-Expansive


Free Volume Effect. Eur. Polym. J. 41. 1036-1042

Izumikawa, S., Yoshioka, S., Aso, Y., Takeda, Y. 1991. Preparation of Poly(l-
lactide) Microspheres of Different Crystalline Morphology and Effect of
Crystalline Morphology on Drug Release Rate. J. Control. Rel. 15. 133-140.

Jalil, R., Nixon, J.R. 1990a. Microencapsulation using Poly(dl-lactic acid) I:


Effect of Preparative Variables on The Microcapsule Characteristics and
Release Kinetics. J.Microencap. 7. 229-244.

Jalil,R., Nixon, J.R. 1990b. Biodegradable Poly(lactic acid) and Poly(lactide-


coglycolide) Microcapsules: Problems Associated with Preparative Techniques
and Release Properties. J. Microencap. 7. 297-325.

Jaraswekin, S., Prakongpan, S., Bodmeier, R. 2007. Effect of Poly(lactide-co-


glycolide) Molecular Weight on The Release of Dexamethasone Sodium
Phosphate from Microparticles. J. Microencap. 24. 117-128.

Jeffery, H., Davis, S.S., O’Hagan, D.T. 1993. The Preparation and
Characterization of Poly(lactide-co-glycolide) Microparticles: II. The
Entrapment of A Model Protein using A (water-in-oil)-in Water Emulsion
Solvent Evaporation Technique. Pharm. Res.10. 417-423.

Jeffery, H., Davis, S.S. O’Hagan, D.T. 1991. Preparation and Degradation of
Poly(lactideco-glycolide) Microspheres. J. Control. Rel. 77. 169-175.

Jelvehgari, Mitra., Siavosh Dastmalch., Nazira Derafshi. 2010. Theopylline-


Ethylcellulose Microparticles: Screaning of the Process and Formulation
Variables for Preparation of USstained Release Particles. Iranian Journal of Basic
Medical Sciences. Hal 608-622

Jeyanthi, R., Metha, R.C., Thanoo, B.C., Deluca, P.P. 1997. Effect of Processing
Parameters on The Properties of Peptide Containing PLGA Microspheres. J.
Microencap. 14. 163-174.

Jeyanthi, R., Thanoo, B.C., Metha, R.C., Deluca, P.P. 1996. Effect of Solvent
Removal Technique on The Matrix Characteristics of Polylactide/glycolide
Microspheres for Peptide Delivery. J. Control. Rel. 38. 235–244.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


51

Kang, M.K., Dai, J., Kim, J.C. 2012. Ethylcellulose microparticles containing
chitosan and gelatin: pH-dependent release caused by complex coacervation.
J. Ind. Eng. Chem. 18. 355-359.

Kang, Yunqing et al. 2008. Preparation of PLLA/PLGA Microparticles using


Solution Enhanced DIspersionby Supercritical Fluid (SEDS). Journal of Colloid
and Interface Science. Hal: 87-94.

Kanjickal, D.G., Lopina, S.T. 2004. Modeling of drug release from polymeric
delivery systems - a review. Crit. Rev. Ther. Drug Carrier Syst. 21. 345-386.

Kasih, Nirmala. 2014. Formulasi dan Karakterisasi Mikropartikel EKstrak Etanol


50% Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana K.,) dengan Metode Semprot
Kering (Spray Drying). Skripsi. Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan.

Katou, H., Wandrey, A.J., Gander, B. 2008. Kinetics of solvent


extraction/evaporation process for PLGA microparticle fabrication. Int. J. Pharm.
364. 45-53.

Kelly, JG., O’Malley K. Clinical Pharmacokinetics Calcium Antagonist. Clin


Pharmacokinet. Hal: 416-33

Kumar, N.L., Robert, S., Abraham, D.J. 2002. Polyanhydrides: an overview.


Adv. Drug Del. Rev. 54. 889-910.

Labiris, N.R., M.B Dolovich. 2003. Pulmonary Drug Delivery. Part II: The Role
of Inhalant Delivery Devices and Drug Frmulation In Therapeutic Effectiveness
of Aerosolized Medication. J Clin Pharmacol. 56. 600-612. DOI:10.1046/j.1365-
2125.2003.01893.x

Lalla, J.K., Sapna, K. 1993. Biodegradable microspheres of poly(dl-lactic acid)


containing piroxicam as a model drug for controlled release via the
parenteral route. J. Microencap. 10. 449-460.

Le Corre, P., Le Guevello, P., Gajan, V., Chevanne, F., Le Verge, R. 1994.
Preparation and characterization of bupivacaine-loaded polylactide and
poly(lactide-glycolide) microspheres. Int. J. Pharm. 107. 41-49.

Leelarasamee, N., Howard, S.A., Malanga, C.J., Ma, J.K. ., 1988. A method for
the preparation of poly(lactic acid) microcapsules of controlled particle size and
drug loading. J. Microencap. 52, 147-157.

Leong, K.W., Langer, R. 1988. Polymeric controlled drug delivery. Adv.Drug


Deliv.Rev. 1. 199-233.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


52

Lewis, D.H., Tice, T.R., Zatuchni, G.I., 1984. Polymeric considerations in the
design of microencapsulation of contraceptive steroids. Long Acting Contracept.
Delivery Syst. 1, 77-95.

Li, M., Rouaud, O., Poncelet, D. 2008. Microencapsulation by solvent


evaporation: State of the art for process engineering approaches. Int. J. Pharm.
363. 26-39.

Liggins, R.T., Burt, H.M. 2001. Paclitaxel loaded poly(L-lactic acid)


microspheres: properties of microspheres made with low molecular weight
polymers. Int. J. Pharm. 222. 19-33.

Lin, S.Y., Chen, K.S., Teng, H.H., Li, M.J. 2000. In vitro degradation and
dissolution behaviours of microspheres prepared by three low molecular weight
polyesters. J. Microencap. 17. 577-586.

Little, S.R., Lynn, D.M., Puram, S.V., Langer, R.. 2005. Formulation and
characterization of poly (beta amino ester) microparticles for genetic vaccine
delivery. J. Control. Rel. 107. 449-462.

Luan, X., Skupin, M., Siepmann, J., Bodmeier, R., 2006. Key parameters
affecting the initial release (burst) and encapsulation efficiency of peptide-
containing poly(lactide-co-glycolide) microparticles. Int. J. Pharm. 324, 168-175.

Martin, Alfred. James Swarbrick., Arthur Cammarata. 2008. Farmasi Fisik:


Dasar-Dasar Kimia Fisik Dalam Ilmu Farmasetika. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.

Maji,Ruma., Somasree Ray., Biswarup Das. Amit Kumar Nayak. 2012. Ethyl
Cellulose Microparticle Containing Metformin HCl by Emulsification-Solvent
Evaporation Technique: Effect of Formulation Variables. International Scholarly
Research Network volume 2012. Article ID 801827. 7 pages.

Maa, Y.F., Hsu, C. 1996. Microencapsulation reactor scale-up by dimensional


analysis. J. Microencap. 13. 53-66.

Mabuchi, K., Nakayama, A., Iwamoto, K. 1994. Preparation and in vitro


evaluation of poly(lactic acid) microspheres containing carmofur. Yakuzaigaku
54. 42-48.

Marr, R., Gamse, T. 1999. Use of supercritical fluids for different processes
including new developments-A review. Chem. Eng. Process. 39. 19-28

Mason, N., Thies, C., Cicero, T.J. 1976. In vivo and in vitro evaluation of a
microencapsulated narcotic antagonist. J. Pharm. Sci. 65. 847-850

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


53

Mateovic, T., Kriznar, B., Bogataj, M., Mrhar, A. 2002. The influence of stirring
rate on biopharmaceutical properties of Eudragit RS microspheres. J.
Microencap. 19. 29-36.

McHugh, M.A., Krukonis, V.J. 1994. Supercritical fluid extraction. Butterworth


Heinemann. Boston.

Mehta, R.C., Thanoo, B.C., DeLuca., P.P. 1996. Peptide containing microspheres
from low molecular weight and hydrophilic poly(D.L-lactide-co-glycolide). J.
Control. Rel. 41. 249-257.

Meng, F.T., Ma, G.H., Liu. Y.D., Qiu, W., Su, Z.G. 2004. Microencapsulation of
bovine hemoglobin with high bio-activity and high entrapment efficiency using a
W/O/W double emulsion technique. Colloids Surf. B: Biointerf. 33. 177-183.

Miyazaki, Y., Onuki, Y., Yakou. S., Takayama, K. 2006. Effect of temperature-
increase rate on drug release characteristics of dextran microspheres prepared by
emulsion solvent evaporation process. Int. J. Pharm. 324. 144-151

Muhaimin. 2013. Study of Microparticle Preparation By The Solvent Evaporation


Method Using Focused Beam Reflectance Measurement (FBRM) Disertation.
University Berlin

Nadia A. Al-Assady. 2011. Preparation. Characterization. and Diltiazem Release


Study of Chtosan/ poly (vinyil alcohol) Microspheres. National Journal of
Chemystry. Volume 41. 113-126.

O’Donell., P.B., McGinity, J.W. 1997. Preparation of microspheres by the


solvent evaporation technique. Adv. Drug Delivery Rev. 28. 25-42

O’Hagan, D. T., Jeffery, H., Davis, S. S. 1994. The preparation and


characterization of PLGA microspheres: III. Microparticle/polymer degradation
rates and the in vitro release of a model protein. Int. J. Pharm. 103. 37-45.

O’Hern, P.A., Goldberg, E., Roseman. T.J., Peppas, N.A., Gabelnick, H.L.
1993. Development of a contraceptive peptide vaccine for use with PGAL
microspheres. Proc. Int. Symp. Control. Rel. Bioact. Mater. 20th. 394-395.

Okada, H. 1994. Preparation of three-month depot injectable microspheres of


leuprorelin acetate using biodegradable polymers. Pharm. Res. 11. 1143-1147.

Pablo, G., Debenedetti, J.W., Tom, S-D., Yeo, G-B.L. 1993. Application of
supercritical fluids for the production of sustained delivery devices. J. Control.
Rel. 24. 27-44.

Pachuau, Lalduhsanga., Bhaskar, Mazumder. 2009. A Study on The Effectc of


DIfferent Surfactants on Ethylcellulose Microspheres. International Journal of
PharmTech Research.Vol.1.No.4. Hal: 966-971

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


54

Pandav, S., Lokhande, A., Naik, J. 2013. Assessment of Microparticulate Drug


Delivery System of Propanolol Hydrochloride Prepared by Multiple Solvent
Emulsion Technique. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical
Sciences. Hal: 831-835.

Pérez, M.H., Siepmann, J., Zinutti, C., Lamprecht, A., Ubrich, N., Hoffman, M.,
Bodmeier, R., Maincent, P., 2003. Non-degradable microparticles containing a
hydrophilic and/or a lipophilic drug: preparation, characterization and drug release
modeling. J. Control. Rel. 88, 413-428.

Pérez, M.H., Zinutti, C., Lamprecht, A., Ubrich, N., Astier, A., Hoffman, M.,
Bodmeier, R., Maincent, P., 2000. The preparation and evaluation of poly(є-
caprolactone) microparticles containing both a lipophilic and a hydrophilic drug.
J. Control. Rel. 65, 429-438.

Patel, Hemul., V, Mangesh., R, Shah., Sanjay. B., Kapadlya., Naynika, K., Patel.
2013. Spray Dried Microparticles for Controlled Delivery of Fluconazole using
Factorial Design. International Journal of Research in Pharmaceutical and
Biomedical Sciences. Hal: 582-589.

Pandav, Satish., Jitendra, Naik. 2014. Preparation and In Vitro Evaluation of


Ethylcellulose and Polymethacrylate Resins Loaded Microparticles Containing
Hydrophilic Drug. Journal of Pharmaceutics Volume 2014. Article ID 904036. 5
pages.

Patel, Balkrushna., Vidhi, Modi., Komal, Patel., Manisha, Patel. 2012. Preparation
and Evaluation of Ethyl Cellulose Microspheres Prepared by Emulsification-
Solvent Evaporation Method. International Journal for Research in Management
and Pharmacy (IJRMP) Volume 1. Hal: 82-91.

Parida, K., Panda, S., Ravanan, P., Roy, H., Manickam, M., Talwar, P. 2013.
Microparticles Based Drug Delivery Systes: Preparation and Application in
Cancer Therapeutics. International Archieve of Applied Science and Technology.
Vol 4 (3) September 2013: 68-75 ISSN 2277-1565

Patel, A.S., T.Soni., V, Thakkar., T, Gandhi. 2012. Efect of Spray Drying


Condition on the Physicochemical Properties of the Tramadol-HCl Microparticles
Containing Eudragit RS and RL. Journalof Pharmacy & Bioallied Sciences.

Reithmeier, H., Herrmann, J., Göpferich, A. 2001. Lipid microparticles as a


parenteral controlled release device for peptide. J. Control. Rel. 73. 339-350

Rowe, R.C., Paul, J.S., Marian, E.Q. 2009. Handbook of Pharmaceutical


.Excipient Sixth Edition. Chicago. London : Pharmaceutical Press.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


55

Sah, H. 1997. Microencapsulation techniques using ethyl acetate as a dispersed


solvent: effects of its extraction rate on the characteristics of PLGA
microspheres. J. Control. Rel. 47. 233-245.

Sajan, J et al. 2009. Chronotherapeutics and Chronotheraupetic Drug Delivery


Systems. Tropical Journal of Pharmaceutical Research. October 2009; 8 (5); 467-
475.

Saltzman, W.M. 2001. Drug Delivery: Engineering Principles for Drug Therapy.
Oxford University Press. New York.

Sanders, L.M., McRae, G.I., Vitale, K.M., Kell, B.A. 1985. Microencapsulation of
LHRH analogue using biodegradable polymers. J. Control. Rel. 2. 187-195.

Shah, Nutan et al. 2011. Sustained Release of Spray-Dried Combination Dry


Powder Inhaler Formulation For Pulmonar Delivery. Asian Journal of
Pharmaceutical and Clinical Research Vol.4. Issue 4. 2011. ISSN -0974-2441.

Shariati, A., Peters, C.J. 2003. Recent developments in particle design using
supercritical fluids. Curr. Opin. Solid State Mater. Sci. 7. 371-383.

Shargel, L., Wu-Pong, Susanna, Yu., B.C, Andrew. (2004). Biofarmasetika dan
Farmakoknetika Terapan Edisi Kelima. Alih Bahasa: Fasich. Budi Suprapti. Pusat
penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga: Surabaya.

Shen, E., Kipper, M.J., Dziadul, B., Lim, M.-K., Narasimhan, B. 2002.
Mechanistic relationships between polymer microstructure and drug release
kinetics in bioerodible polyanhydrides. J. Control. Rel. 82. 115-125

Singh, M. 1995. Biodegradable delivery system for a birth control vaccine:


immunogenicity studies in rats and monkeys. Pharm. Res. 12. 1796-1800

Sofiah., Siti, Faizatun., Yulia, Riyana. 2007. Formulasi Tablet Matriks


Mukoadhesif Diltiazem Hidroklorida Menggunakan Hidroksi Propil Metil
Selulosa dan Carbopol 940. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. September 2007.
hal 53-58 Vol. 5. No.2. ISSN 1693-1831.

Soni, M.L., Namdeo, K.P., Jain, S.K., Gupta, M., Dangi, J.S., Kumar, M. 2011.
pHenzyme di-dependent chronotherapeutic drug delivery system of
theophylline for nocturnal asthma. Chem. Pharm. Bull. 59. 191–195

Spenlehauer, G., Veillard, M., Benoit, J.P. 1986. Formation and characterization
of cisplatin loaded poly(d.l-lactide) microspheres for chemoembolization. J.
Pharm. Sci. 75. 750-755

Spenlehauer, G., Vert, M., Benoit, J.P., Boddaert, A. 1989. In vitro and in vivo
degradation of poly(DL-lactide/glycolide) type microspheres made by solvent
evaporation method. Biomaterials 10. 557-563.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


56

Subramaniam, B., Rajewski, R.A., Snavely, K. 1997. Pharmaceutical processing


with supercritical carbon dioxide. J. Pharm. Sci. 86. 885-890

Suzuki, K., Price, J.C. 1985. Microencapsulation and dissolution properties of


a neuroleptic in a biodegradable polymer. poly(dl-lactide). J. Pharm. Sci. 74. 21-
24.

Sweetman, Sean C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty Sixth
Edition. Pharmaceutical Press.

Tabata,Y.S., Gutta, Langer R. 1993. Controlled delivery systems for proteins


using polyanhydride microspheres. Pharm. Res. 10. 487-495.

Tamada, J.A., Langer, R. 1993. Erosion kinetics of hydrolytically degradable


polymers. Proc. Natl. Acad. Sci. 90. 552-556.

Taylor, G., Kellaway, I. 2001. Drug Delivery and Targeting. London: Taylor &
Francis.

The Department of Health Social Services and Public Safety. 2009.British


Pharmacopoiea. London: British Pharmacopoeia Commision Office

Thies, C. 1992. Formation of degradable drug-loaded microparticles by in-


liquid drying processes. In: Dunbrow. M.. (Editor). Microcapsules and
nanoparticles in medicine and pharmacy. CRC. Boca Raton

Thies, J., Müller, B.W. 1998. Size controlled production of biodegradable


microparticles with supercritical gases. Eur. J. Pharm. Biopharm. 45. 67-74.

Tiwari, Shashank., Prerana, Verma. 2012. Microencapsulation Technique By


Solvent Evaporation Method (Study Of Effect Of Process Variables).
International Journal of Pharmasy and Life Sciences ISSN: 0976-7126.

Toguchi, H. 1992. Formulation study of leuprorelin acetate to improve


clinical performance. Clin. Ther. 14. 121-130.

Tom, J.W., Lim, G.B., Denbenedetti, P.G., Prudhomme, R.K. 1993. Applications
of supercritical Fluids in the Controlled Released of Drugs. In: Brennecke. J.F..
Kiran. E.. (Editors). Supercritical Fluid Engineering Science. ACS Symp.
Ser. 514. American Chemical Society. Washington DC. 238-257.

Torres, D., Boado, L., Blanco, D., Vila-Jato, J.L. 1998. Comparison between
aqueous and non-aqueous solvent evaporation methods for
microencapsulation of drug-resin complexes. Int. J. Pharm. 173. 171-182

Tsai, D.C. 1986. Preparation and in vitro evaluation of polylactic acid mitomycin
C microcapsules. J. Microencap. 3. 181-193.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


57

Verrijk, R., Smolders, I.J.H., Bosnie, N., Begg, A.C. 1992. Reduction of systemic
exposure and toxicity of cisplatin by encapsulation in poly(lactide-co-glycolide).
Cancer Res. 52. 6653-6656.

Vidmar, V., Smolcic-Bubalo, A., Jalsenjak, I. 1984. Poly(lactic)


microencapsulated oxytetracycline: in vitro and in vivo evaluation. J. Microencap.
1. 131-136.

Wagdare, N.A., Baggerman, J., Marcelis, A.T.M., Boom, R.M., Rijn, C.J.M.
2011. Polymer microspheres with structured surfaces. Chem. Eng. J. 175. 561-
568.

Wang, J., Schwendeman, S.P. 1999. Mechanisms of solvent evaporation


encapsulation processes: prediction of solvent evaporation rate. J. Pharm. Sci. 88.
1090-1099.

Watts, P.J., Davies, M.C., Melia, C.D. 1990. Microencapsulation using


emulsification/solvent evaporation: an overview of techniques and applications.
Int. J. Pharm. 7. 235-250.

Weerakody, R., Fagan, P., Kosaraju, S.L. (2008). Chitosan Microspheres For
Encapsulation Of α-Lipoic Acid. Australia : Food Science Australia.

Yang, C.Y., Tsay, S.Y., Tsiang, R.C.C. 2000a. An enhanced process for
encapsulating aspirin in ethylcellulose microcapsules by solvent evaporation in an
O/W emulsion. J. Microencap. 17. 269-277.

Yang, Y.Y., Chung, T.S., Bai, X.L., Chan, W.K., 2000b. Effect of preparation
conditions on morphology and release profiles of biodegradable polymeric
microspheres containing protein fabricated by double-emulsion method. Chem.
Eng. Sci. 55, 2223-2236.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


58

Lampiran 1. Alur Penelitian

Pembuatan Mikropartikel

Penentuan Ukuran Mikropartikel


Setelah ukuran partikel 0,5-10 µm

Penentuan Pelepasan Penentuan Penentuan


panjang obat kadar obat Perolehan
gelombang secara in dan Kembali dan
maksimum dan vitro Efisiensi Ukuran
kurva kalibrasi Penjerapan Mikropartikel

Analisis data

Pembahasan

Kesimpulan

Lampiran 2. Pembuatan Dapar Fosfat

Dapar fosfat dibuat dengan cara memasukan 50 ml kalium fosfat monobasa


0.2 M ke dalam labu ukur 200 ml. tambahkan NaOH 0.2 M sebanyak 39.1 ml
kemudian tambahkan akuades sampai tanda batas (Depkes. 1979).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


59

Lampiran 3. Scanning Panjang Gelombang Maksimum DIltiazem Hidroklorida


Medium Dapar Fosfat pH 7,4 (λ maks = 236,4 nm)

Lampiran 4. Data Absorbansi Kurva Standar Diltiazem Hidroklorida Medium


Dapar Fosfat pH 7,4
C (ppm) Absorbansi

1 0,057

3 0,161
5 0,273
7 0,374
9 0,480
11 0,573
13 0,687
15 0,787

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


60

Lampiran 6. Hasil Mikropartikel Diltiazem Hidroklorida

Formula 1 Formula 2

Lampiran 7. Hasil Uji Perolehan Kembali (PK)


Formula Wm (mg) Wt (mg) % PK
F1 420 326,8 77,81%
F2 420 241,55 57,51%

Lampiran 8. Hasil Uji Disolusi pada Mikropartikel


Bobot Terdisolusi (mg) Persen Terdisolusi (%)
Menit Ke
F1 FII F1 FII
0 0 0 0 0
5 0,116±0,04 0,046±0,01 7,17±2,23 2,53±0,60
15 0,105±0,02 0,023±0,01 6,53±1,19 1,25±0,49
30 0,108±0,01 0,070±0,01 6,68±0,47 3,84±0,79
60 0,106±0,03 0,087±0,03 6,59±1,58 4,75±1,38
90 0,118±0,02 0,087±0,04 7,33±1,31 4,77±2,46
120 0,118±0,00 0,077±0,04 7,28±0,04 4,19±2,42
180 0,122±0,00 0,083±0,03 7,53±0,29 4,53±1,48
240 0,131±0,02 0,086±0,02 8,09±1,02 4,70±1,30
300 0,117±0,00 0,103±0,04 7,24±0,04 5,62±1,95
360 0,115±0,00 0,111±0,05 7,12±0,06 6,08±2,58
420 0,118±0,00 0,119±0,05 7,32±0,09 6,49±2,66
480 0,120±0,01 0,127±0,05 7,44±0,32 6,94±2,76

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


61

Lampiran 9. Bobot dan Persentase Terdisolusi F1

Menit Bobot Terdisolusi Rata- Persen Terdisolusi Rata-


Ke (mg) Rata±SD (%) Rata±SD
0 0 0 0 0 0 0
5 0,090 0,141 0,116±0,04 5,60 8,75 7,17±2,23
15 0,092 0,119 0,105±0,02 5,69 7,37 6,53±1,19
30 0,102 0,113 0,108±0,01 6,34 7,01 6,68±0,47
60 0,088 0,125 0,106±0,03 5,47 7,71 6,59±1,58
90 0,103 0,133 0,118±0,02 6,40 8,25 7,33±1,31
120 0,117 0,118 0,118±0,00 7,26 7,31 7,28±0,04
180 0,125 0,118 0,122±0,00 7,74 7,32 7,53±0,29
240 0,142 0,119 0,131±0,02 8,82 7,37 8,09±1,02
300 0,117 0,116 0,117±0,00 7,27 7,21 7,24±0,04
360 0,116 0,114 0,115±0,00 7,17 7,07 7,12±0,06
420 0,119 0,117 0,118±0,00 7,39 7,26 7,32±0,09
480 0,124 0,116 0,120±0,01 7,66 7,21 7,44±0,32

Lampiran 10. Bobot dan Persentase Terdisolusi F2

Menit Bobot Terdisolusi Rata- Persen Terdisolusi Rata-


Ke (mg) Rata±SD (%) Rata±SD
0 0 0 0 0 0 0
5 0,0385 0,054 0,046±0,01 2,11 2,95 2,53±0,60
15 0,0165 0,029 0,023±0,01 0,91 1,60 1,25±0,49
30 0,0599 0,080 0,070±0,01 3,28 4,40 3,84±0,79
60 0,0673 0,106 0,087±0,03 3,68 5,83 4,75±1,38
90 0,0537 0,121 0,087±0,04 2,94 6,61 4,77±2,46
120 0,0435 0,110 0,077±0,04 2,38 6,00 4,19±2,42
180 0,0620 0,104 0,083±0,03 3,39 5,67 4,53±1,48
240 0,0673 0,104 0,086±0,02 3,69 5,71 4,70±1,30
300 0,0758 0,130 0,103±0,04 4,15 7,10 5,62±1,95
360 0,0759 0,146 0,111±0,05 4,16 8,00 6,08±2,58
420 0,0825 0,155 0,119±0,05 4,52 8,46 6,49±2,66
480 0,0893 0,164 0,127±0,05 4,89 8,98 6,94±2,76

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


62

Lampiran 11. Gambar Alat Penelitian

pH Meter
Modifikasi Disolusi Mikroskop IX-71 Ace Homogenizer

Lampiran 12. Contoh Perhitungan Nilai Efisiensi Penjerapan dan Kadar Obat

 Formula 1 (F1)

Diketahui : Absorbansi zat aktif (y)= 0,091

Bobot total mikropartikel : 326,8 mg

Persamaan Kurva Kalibrasi: y= 0,0556x -0,0067

Jawaban :

y= 0,0556x -0,0067

0,091= 0,0556x – 0,0067

x = 1,757 ppm

Konsentrasi= 1,757 µg/ml x 2 ml x Faktor Pengenceran

= 1,757 x 2 x 100

= 351,4 µg (dalam 10 mg mikropartikel)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


63

Formula 2

Diketahui : Absorbansi zat aktif (y)= 0,102

Bobot total mikropartikel : 241,55 mg

Persamaan Kurva Kalibrasi: y= 0,0556x -0,0067

Jawaban :

y= 0,0556x -0,0067

0,102= 0,0556x – 0,0067

x = 1,955 ppm

Konsentrasi= 1,955 µg/ml x 2 ml x Faktor Pengenceran

= 1,955 x 2 x 100

= 391 µg (dalam 10 mg mikropartikel)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


64

Lampiran 13. Contoh Perhitungan Persentase Disolusi

 Formula 1 (F1)

Diketajui : y = 0,052x+ 0,007

y0 = 0,000

y5 = 0,128

y15 = 0,107

Kadar zat aktif untuk F1 tiap 50 mg = 1,615 mg

Ditanya: a. C0 = ? d. % disolusi zat aktif pada t0 = ?

b.C5 = ? e. % disolusi zat aktif pada t5 = ?

c. C15 = ? f. % disolusi zat aktif pada t15 = ?

Jawaban:

a. Mencari nilai x pada menit ke-0

y = 0,052x+ 0,007

0,000 = 0,052x – 0,001

Co = 0,000 ppm

Bobot dalam 4 ml = C0 x 50 ml

= 0,000 µg /ml x 4 ml

= 0,000 µg

b. Mencari nilai x pada menit ke-5

y = 0,052x+ 0,007

0,128 = 0,052x – 0,001

C5 = 2,317 ppm

c. Mencari nilai x pada menit ke-5

y = 0,052x+ 0,007

0,107 = 0,052x – 0,001

C15 = 1,923 ppm

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


65

d. % disolusi zat aktif pada t0

Faktor koreksi = Bobot t0 dalam 4 ml = C0 x 4 ml

= 0,000 µg /ml x 4 ml

= 0,000 µg

= 0 mg

Bobot terdisolusi = (C0 x 50 ml) + Faktor koreksi

= (0 µg /ml x 50 ml) + 0,000 mg

= 0 µg + 0,000 mg

= 0 mg + 0,000 mg

= 0 mg

e. % disolusi zat aktif pada t0

Faktor koreksi (FK) = Bobot t0 dalam 4 ml = C0 x 4 ml

= 0,000 µg /ml x 4 ml

= 0,000 µg

= 0 mg

Bobot terdisolusi = (C5 x 50 ml) + FK C0

= (2,317 µg /ml x 50 ml) + 0,000 mg

= 115,865 µg + 0,000 mg

= 0,115865 mg + 0,000 mg

= 0,116 mg

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


66

= 7,17%

f. % disolusi zat aktif pada t15

Faktor koreksi (FK) = Bobot t5 dalam 4 ml = C5 x 4 ml

= 2,317 µg /ml x 4 ml

= 9,269 µg

= 0,009269 mg

Bobot terdisolusi = (C15 x 50 ml) + FK C0 + FK C5

= (1,923 µg /ml x 50 ml) + 0,000 mg + 0,009269 mg

= 96,154 µg + 0,000 mg + 0,009269 mg

= 0,096154 mg + 0,009269 mg

= 0,105 mg

= 6,53%

Lampiran 14. Contoh Perhitungan Volume Mikropartikel


Diketahui : Diameter mikropartikel = 8 µm
Jumlah mikopartikel berdiameter 3 µm = 31
Jawaban :

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


67

Lampiran 15. Sertifikat Analisis Etil Selulosa

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


68

Lampiran 16. Sertifikat Analisis Poli Vinil Alkohol

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


69

Lampiran 17. Sertifikat Analisis Diltiazem Hidroklorida

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai