Anda di halaman 1dari 111

LAPORAN HASIL PELAKSANAAN PRAKTIK RESIDENSI

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA PASIEN


GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN DENGAN
PENDEKATAN TEORI SELF CARE OREM
DI RSUP FATMAWATI JAKARTA

KARYA ILMIAH AKHIR

Oleh:

RENI SUSANTI
NPM : 1106043141

PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS


KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU
KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2014
LAPORAN HASIL PELAKSANAAN PRAKTIK RESIDENSI
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA PASIEN
GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN DENGAN
PENDEKATAN TEORI SELF CARE OREM
DI RSUP FATMAWATI JAKARTA

KARYA ILMIAH AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah

Oleh:

RENI SUSANTI
NPM : 1106043141

PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS


KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU
KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2014
Laporan hasil ..., Reni Susanti, FIK UI, 2014
Laporan hasil ..., Reni Susanti, FIK UI, 2014
Laporan hasil ..., Reni Susanti, FIK UI, 2014
Laporan hasil ..., Reni Susanti, FIK UI, 2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, berkah
dan karunia Nya, sehingga dapat menyelesaikan penyusunan Karya Tulis Ilmiah
yang berjudul : “Analisis Praktek Residensi Keperawatan Medikal Bedah Pada
Pasien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan Dengan Penerapan Teori Self Care
Orem di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta”.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari semua pihak yang
terkait Karya Tulis Ilmiah ini tidak dapat terwujud, untuk itu dengan segala
hormat perkenankan penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Dra Junaiti Sahar, SKp, Mapp. Sc, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
2. Henny Permatasari, SKp, M.Kep, Sp. Kom selaku Ka prodi program Pasca
Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
3. Direktur beserta staf, khususnya Ka Instalasi Bougenville, Kepala ruang
beserta perawat ruang hemodialisis yang telah mengizinkan penulis untuk
melaksanakan praktek residensi ini.
4. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, yang telah memberi kesempatan kepada
penulis melanjutkan pendidikan Ners Spesialis ini.
5. Agung Waluyo,SKp, MSc, PhD, selaku pembimbing dan supervisor utama
yang telah banyak meluangkan waktu memberikan pengarahan dengan sabar
kepada penulis selama Praktek residensi Keperawatan Medikal Bedah
6. Lestari Sukmarini, S.Kp. MNS, selaku supervisor yang telah banyak
memberikan pengarahan dengan sabar, cermat dan teliti kepada penulis
selama Praktek residensi Keperawatan Medikal Bedah
7. Ns Welas Riyanto, M.Kep, Sp.KMB, selaku pembimbing klinik RSUP
Fatmawati yang telah banyak memberikan motivasi, kesempatan dan
bimbingannya selama menjalani masa praktek residensi.
8. Seluruh dosen pengajar Program Spesialis Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia, Khususnya Spesialis Keperawatan Medikal Bedah dan seluruh staf
akademik, perpustakaan, dan tata usaha yang telah membantu selama proses
pembelajaran serta penyusunan Karya Tulis Ilmiah.
9. Keluargaku tercinta khususnya anakku Alyaa yang telah dengan sabar dan
penuh pengertian sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan Program
Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
10. Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Program Ners Spesialis Keperawatan
Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, atas
inpirasi, kerja sama dan dukungan motivasi, serta pihak lain yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang membantu penulis dalam menyelesaikan
Karya Tulis Ini.
11. Semua pihak yang tidak bisa satu persatu penulis ungkapkan, terima kasih
atas
bantuan serta dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan
Ners Spesialis ini.

Akhirnya semoga bimbingan dan bantuan beliau dicatat sebagai amal ibadah
oleh Allah SWT dan harapanpenulis bahwa Karya Tulis Ilmiah yang masih jauh
dari sempurna ini mendapat saran dan masukan agar menjadi lebih baik dan
semoga
Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat.
Depok, Juli 2012

Penulis
PROGRAM SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
Karya Ilmiah Akhir, Juli 2014
Reni Susanti
Laporan Hasil Pelaksanaan Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah Pada
Pasien Gangguan Sistem Perkemihan Dengan Penerapan Teori Self Care Orem di
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.

xiii + 86 halaman + 1 skema + 8 gambar + 3 tabel + 3 grafik + 3 lampiran

Abstrak
Karya ilmiah akhir ini disusun untuk memberikan gambaran tentang pelaksanaan
praktek residensi keperawatan medikal bedah yang telah dilaksanakan selama dua
semester. Kegiatan utama yang telah dilaksanakan diantaranya memberikan
asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan, praktek
keperawatan berbasis pembuktian, dan inovasi keperawatan. Asuhan keperawatan
yang dilakukan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan menggunakan
konsep teori Self Care Orem. Masalah keperawatan yang paling sering terjadi
pada pasien dengan gangguan perkemihan diantaranya kelebihan volume cairan,
intoleran aktifitas, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Untuk
mengatasi masalah tersebut telah dilakukan berbagai intervensi keperawatan
berdasarkan sistem keperawatan sesuai dengan kemampuan pasien dalam
memenuhi kebutuhannya. Penerapan praktek keperawatan berbasis pembuktian
dilaksanakan dengan memberikan latihan fisik saat hemodialisis untuk
meningkatkan adekuasi hemodialisis. Tujuan latihan fisik ini adalah untuk
meningkatkan pengeluaran ureum yang merupakan zat toksik dalam tubuh,
sehingga adekuasi dicapai secara optimal. Hasil menunjukkan adekuasi
hemodialisis meningkat sebesar 70,2 %. Inovasi keperawatan dilakukan dengan
melaksanakan edukasi manajemen pasien hemodialisi dengan memberikan
booklet pada pasien yang menjalani hemodialisis. Hasil program inovasi
menunjukkan bahwa pengetahuan pasien meningkatkan. Dapat disimpulkan
bahwa teori Self Care yang diterapkan pada pasien dengan gangguan perkemihan
mengoptimalkan kemampuan pasien dalam mempertahankan kebutuhannya.
Disarankan agar teori Self Care Orem ini dapat diterapkan dalam memberikan
asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan, latihan
fisik saat hemodialisis dapat diberikan sebagai terapi keperawatan dalam
meningkatkan adekuasi hemodialisis serta melakukan edukasi pada pasien untuk
meningkatkan pengetahuannya sehingga kesehatan yang optimal dapat tercapai.

Kata kunci : Gangguan sistem perkemihan, latihan fisik saat hemodialisis dan
manajemen pasien hemodialisis.

Daftar pustaka : 64 (1999 -2014)


SPECIALIST PROGRAM MEDICAL SURGICAL
NURSING FACULTY OF NURSING
UNIVERSITY OF INDONESIA

Final Scientific Creation, July


2014 Reni Susanti

Report of the Implementation Residency Practice of Medical Surgical Nursing at


Patients With Disorders In Urinary System Theory Application of Orem Self Care
in RSUP Fatmawati Jakarta.

xiii + 86 pages + 1 schematic + 8 drawing + 3table + 3 graphs + 3 attachments

Abstract

This final scientific work is made to provide an overview of the implementation of


medical-surgical nursing practice residency which has been held for two
semesters. The main activities have been implemented, including providing
nursing care to patients with disorders of the urinary system, evidence-based
nursing practice, and nursing innovation. Nursing care in patients with urinary
system disorders using theoretical concepts Orem Self Care. Nursing problems
often occur in patients with urinary disorders, such excess fluid volume, activity
intolerance, imbalance nutritional less, than body requirements.
To overcome these problems have been made based nursing interventions nursing
system, in accordance with the patient's ability to meet their needs. Application of
evidence-based nursing practice implemented by giving physical exercise to
improve the adequacy of current hemodialysis. The purpose of this exercise is to
increase spending urea which is a toxic substance in the body, so that the
adequacy achieved optimally. Results indicate adequacy of hemodialysis
increased by 70.2%. Nursing Innovation is done by carrying out management
education hemodialysis patient by providing a booklet in patients undergoing
hemodialysis. The results innovation program showed that the patient knowledge
improves. It can be concluded that the theory of Self Care is applied in patients
with urinary disorders, optimizing the patient's ability to sustain its needs. It is
suggested that the theory of Orem's Self Care can be applied in providing nursing
care to patients with disorders of the urinary system, physical exercise while
hemodialysis can be given as therapy to improve the adequacy of hemodialysis
nursing and educating patients to improve knowledge so that optimum health can
be achieved.

Keywords: urinary system disorders, physical exercise when hemodialysis and


hemodialysis patient management.

Bibliography: 64 (1999 -2014)


DAFTAR ISI

Hal
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... ii
HALAMAN BEBAS PLAGIARISME.......................................................... iii
PERNYATAAN ORISINALITAS................................................................ iv
HALAMAN PERNYATAAN PUBLIKASI.................................................. v
KATA PENGANTAR.................................................................................... vi
ABSTRAK...................................................................................................... vii
DAFTAR ISI.........................................................................................................viii
DAFTAR SKEMA......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... x
DAFTAR TABEL........................................................................................... xi
DAFTAR GRAFIK........................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. xiii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................ 1
10.2 Tujuan Penulisan...........................................................................5
10.3 Sistematika Penulisan....................................................................6

BAB 2 LANDASAN TEORI


2.1 Kanker kandung kemih.................................................................6
2.2 Ileal conduit urinary diversion.....................................................18
2.3 Teori Self Care Orem...................................................................20
2.4 Penerapan teori Self Care Orem pada asuhan keperawatan.........26

BAB 3 PROSES RESIDENSI


3.1 Gambaran kasus utama.................................................................33
3.2 Pembahasan kasus utama.............................................................40
3.3 Praktek berdasarkan pembuktian..................................................60
3.4 Kegiatan Inovasi...........................................................................72

BAB 4 PEMBAHASAN
4.1 Analisis penerapan teori Self Care Orem pada 32 kasus 75
kelolaan...................................................................................
4.2 Analisis penerapan praktek keperawatan berdasarkan bukti... 79 4.3
Analisis penerapan proyek inovasi...............................................81

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN


5.1 Simpulan.......................................................................................85
5.2 Saran.............................................................................................86

DAFTAR PUSTAKA
Lampiran
Skema 2.1 Basic nursing system........................................................... 26
Gambar 2.1 Anatomi kandung kemih................................................ 7

Gambar 2.2 Derajat invasi kanker kandung kemih........................... 12

Gambar 2.3 Stadium kanker kandung kemih.................................... 15

Gambar 2.4 Stadium kanker kandung kemih.................................... 15

Gambar 2.5 Ileal conduit................................................................... 20

Gambar 2.6 Kantong urostomi.......................................................... 20

Gambar 3.1 Gerakan yang diberikan saat menjalani hemodialisis.... 68

Gambar 3.2 Pelaksanaan latihan fisik................................................ 69


Tabel 3.1 Rencana asuhan keperawatan.............................................. 41

Tabel 3.2 Nilai ureum dan kreatinin pasien yang diberikan latihan 69
fisik di instalasi Bougenville ruang Hemodialisis RSUP
Fatmawati Jakarta...............................................................

Tabel 3.3 Nilai ureum dan kreatinin pasien yang diberikan latihan 70
sepeda statis tahun 2012 di instalasi Bougenville ruang
Hemodialisis RSUP Fatmawati Jakarta..............................
Grafik 3.1 Nilai rata – rata ureum dan kreatinin pasien yang 71
menjalani hemodialisis sebelum dan sesudah diberikan
latihan fisik di Instalasi Bougenville ruang hemodialisis
RSUP Fatmawati Jakarta....................................................

Grafik 3.2 Perbandingan nilai adekuasi antara latihan fisik dengan 71


sepeda statis di Instalasi Bougenville ruang hemodialisis
RSUP Fatmawati Jakarta....................................................

Grafik 3.3 Perbandingan karakteristik; jenis kelamin antara latihan 72


fisik dan sepeda statis di Instalasi Bougenville ruang
hemodialisis RSUP Fatmawati Jakarta...............................
Lampiran 1 Resume kasus

Lampiran 2 Booklet Manajemen pasien hemodialisis

Lampiran 3 Jurnal

xv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keperawatan merupakan suatu seni dan ilmu pengetahuan berorientasi pada
perlindungan, promosi dan optimalisasi kesehatan dan kemampuan, pencegahan
penyakit dan cedera, meringankan penderitaan melalui diagnosis dan
penanganan respons manusia dan advokasi dalam pelayanan individu, keluarga,

masyarakat dan populasi (Perry & Potter, 2009). Keperawatan sebagai profesi
bertindak secara profesional dalam memberikan asuhan keperawatan harus
berdasarkan ilmu pengetahuan. Pelayanan kesehatan saat ini semakin
berkembang, demikian juga dengan profesi keperawatan yang senantiasa
mengikuti perkembangan dan kemajuan dalam berbagai bidang untuk
meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan. Kecenderungan perkembangan
tersebut didasari oleh perubahan ilmu, teknologi medis dan kemanusiaan,
pergeseran dalam pendidikan dan organisasi keperawatan profesional,
reformasi perawatan kesehatan, dan sistem layanan kesehatan. Sesuai dengan
hakekat profesi yang terkait dengan pendidikan, dibentuk upaya untuk
meningkatkan kualitas asuhan keperawatan dan pengembangan ilmu
keperawatan melalui
program pendidikan keperawatan berkelanjutan (Potter &Perry, 2009).
Bentuk program pendidikan keperawatan berkelanjutan salah satunya adalah
program pendidikan spesialis keperawatan medikal bedah. Peran perawat yang
diharapkan pada program pendidikan berkelanjutan ini adalah perawat sebagai
pemberi asuhan keperawatan lanjut pada kasus yang kompleks
(practitioner/care provider), pendidik (educator), konselor (counselor), agen
perubahan atau agen inovasi (change egent/innovator), penasihat klien (client
advocate), manajer (manager), peneliti (researcher), dan pelindung (protector)
(NACNS, 2008 dalam Potter & Perry, 2009). Salah satu pendidikan
berkelanjutan dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan ini adalah
program spesialis keperawatan medikal bedah peminatan sistem perkemihan
yang khusus memperdalam pelaksanaan asuhan keperawatan profesional terkait
dengan masalah – masalah pada sistem perkemihan.

1 Universitas Indonesia
Program spesialis keperawatan medikal bedah peminatan sistem perkemihan ini
dilaksanakan selama 2 semester terdiri dari 20 SKS yang dilakukan dalam
bentuk program praktek residensi 1, 2 dan 3 dimana masing – masing
mempunyai target kompetensi selama melaksanakan praktek yaitu mampu
melaksanakan asuhan keperawatan kepada pasien dengan gangguan sistem
perkemihan, melaksanakan tindakan keperawatan mandiri berbasis pembuktian
ilmiah (evidence based nursing practice), berperan sebagai edukator bagi
perawat diruangan/ pasein/ keluarga serta melakukan program inovasi dalam

upaya memberikan pengembangan intervensi keperawatan berdasarkan hasil –


hasil riset keperawatan. Praktek residensi ini dilakukan di RSUP Fatmawati
Jakarta, dimana ruangan yang digunakan mencakup Instalasi Rawat Inap B
(IRNA B) lantai IV utara, lantai V Selatan, Poliklinik bedah urologi, Instalasi
Gawat Darurat (IGD), dan ruang hemodialisis dengan total pasien kelolaan
sebanyak 32 orang.

Kasus – kasus yang ditemukan selama melaksanakan praktek residensi pada


pasien dengan gangguan sistem perkemihan sangat bervariasi mulai dari kasus
yang ringan sampai kasus – kasus yang berat. Asuhan keperawatan yang
diberikan menggunakan pendekatan proses keperawatan yang didasarkan pada
pembuktian ilmiah serta menggunakan pendekatan teori keperawatan. Kasus –
kasus tersebut diantaranya adalah chronic kidney disease (CKD) dengan
berbagai komplikasi, benigh prostate hyperplasia (BPH) pre dan post operasi
Trans Urethral Resection Prostate (TURP), batu pada saluran kemih, sindroma
nefrotik, CKD on Hemodialisis dan CKD on CAPD dan kanker kandung kemih
(bladder transitional cell carcinoma).

Kanker kandung kemih merupakan keganasan kedua terbanyak di dunia atau


sekitar 2% dari seluruh keganasan pada sistem urogenitalia setelah kanker
prostat (Purnomo, 2011). Angka kejadian kanker kandung kemih menempati
urutan kesembilan di seluruh dunia dengan perkiraan 357.000 kasus baru dan
145.000 kematian setiap tahunnya (Parkin, 2008), dimana kanker kandung
kemih ini merupakan kanker yang paling umum diurutan ke – 7 pada pria dan
urutan ke – 17 pada wanita (Murta, Schmitz, Zeegers, et.al, 2007). Dalam
Colombel, et.al (2008) secara global kejadian kanker kandung kemih ini secara
signifikan bervariasi di negara Mesir, Eropa barat dan di Amerika Utara
mempunyai insiden tertinggi dan tingkat rendah di negara – negara Asia. Dalam
populasi umum, seorang pria memiliki 1 di 27 dan wanita 1 di 84 kesempatan
untuk mendapatkan kanker kandung kemih dalam hidup mereka (American
Bladder Cancer Society, 2010). Ini setara dengan 3% kesempatan pada pria dan
1% pada wanita.

Kanker kandung kemih juga merupakan masalah kesehatan umum yang

mempengaruhi ribuan orang di Inggris. Ada 10.335 diagnosis baru kanker


kandung kemih di Inggris pada tahun 2008. Kanker ini merupakan penyakit
yang paling umum urutan ke – 11 pada wanita dan ke – 4 pada pria, dengan
jumlah 7.390 kasus pada pria dan 2.954 kasus pada wanita, sehingga
perbandingan laki-laki dan perempuan dengan rasio 5 : 2 Pada wanita kanker ini
yang paling umum ke-11 (Cancer Research UK (CRUK), 2011). Pada tahun 2008,
terdapat 5.002 kematian di Inggris akibat kanker kandung kemih. Dari jumlah
tersebut, 3.273 laki-laki dan 1.729 perempuan. Kanker kandung kemih
merupakan penyebab paling umum keenam kematian kanker pada pria Inggris
dan 11 pada wanita (CRUK, 2010). Pada tahun 2008, terdapat 110.529 diagnosis
dan 38.278 kematian dari kanker kandung kemih pada kedua jenis kelamin di
Uni Eropa (European Cancer Observatory, 2008).

Kanker kandung kemih di Indonesia sendiri menurut penelitian yang dilakukan


oleh Umbas (2007) masuk dalam urutan sepuluh besar kanker paling umum
yang terjadi pada laki – laki dengan peningkatan kejadian 15% setiap tahunnya
dalam beberapa tahun terakhir. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Supit,
Mochtar, Sugiono dan Umbas (2011) antara tahun 1995 – tahun 2005 ada
254
kasus kanker kandung kemih dengan perbandingan 6 : 1 antara laki – laki dan
perempuan, dimana kasus pada laki – laki 219 (86,2%). Kanker kandung kemih
ini merupakan salah satu kasus yang dikelola selama penulis melakukan
residensi di RSUP Fatmawati.

Kasus – kasus yang dikelola pada sistem perkemihan mempunyai dampak yang
berbeda – beda dari setiap pasien, diantaranya memunculkan perubahan dalam
memenuhi kebutuhan perawatan diri pada pasien sehingga kasus – kasus pada
sistem perkemihan ini memerlukan pengelolaan asuhan keperawatan yang
profesional agar pasien dan perawat mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
Pendekatan asuhan keperawatan yang digunakan dalam memenuhi perawatan
diri ini adalah pendekatan teori Dorothea E. Orem. Orem berpendapat bahwa
asuhan keperawatan dilakukan dengan meyakini bahwa setiap individu
mempelajari kemampuan untuk merawat dirinya sendiri dalam memenuhi
kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan kesejahteraannya. Teori ini dikenal
dengan teori self care (perawatan diri). Orem mengklasifikasikan dalam 3

kebutuhan, yaitu: Universal self care requisites (kebutuhan perawatan diri


universal, Development self care requisites (kebutuhan perawatan diri
pengembangan): Health deviation self care requisites Tiga jenis kebutuhan
tersebut didasarkan oleh beberapa asumsi, yaitu: human being (Kehidupan
manusia), perkembangan manusia dan integritas fungsional (Orem,2001).
Selama penulis melaksanakan praktik residensi, penulis mengelola kasus – kasus
pada sistem perkemihan ini menggunakan teori Self care Orem. Kasus utama
yang penulis uraikan dalam makalah ini adalah asuhan keperawatan pada
pasien
kanker kandung kemih.
Perawatan pasien dengan kanker kandung kemih yang mandiri dapat dicapai
dengan pendekatan teori keperawatan Self Care dari Dorothea E. Orem.
Perawatan mandiri adalah suatu kontribusi berkelanjutan individu bagi
eksistensinya, kesehatan dan kesejahteraan Self Care merupakan upaya individu
untuk memenuhi kebutuhan diri dalam menunjang terpenuhinya kebutuhan
agar tercapainya kesehatan yang optimal dengan mengoptimalkan kemampuan
intelektual, perilaku, dan pemberdayaan lingkungan (Tommey & Aligood,
2006).

Perawatan pasien dengan pendekatan teori perawatan diri ini dapat menjadi
panduan dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan kanker
kandung kemih agar pasien siap dalam melanjutkan perawatan dirinya di rumah
dengan optimal. Teori perawatan diri Orem berusaha mengoptimalkan
kemampuan diri pasien dalam merawat dirinya dan memberikan pengaruh
terhadap aktualisasi diri pasien. Keberhasilan diri pasien merawat dirinya akan
meningkatkan kualitas hidup pasien.
Berdasarkan hal tersebut, penulis melaporkan hasil praktik residensi
keperawatan medikal bedah pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan
dengan menggunakan pendekatan teori Self Care (perawatan diri) Orem di
RSUP Fatmawati Jakarta. Pemaparan laporan ini juga mencakup penerapan
berbagai peran perawat dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien-
pasien menggunakan Evidence Based Nursing Practice (EBNP), salah satunya
dengan melaksanakan latihan fisik saat hemodialisis dalam meningkatkan
adekuasi. Untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yang menjalani

hemodialisis pada praktik residensi ini juga dilakukan edukasi berupa


pembuatan bookletmanajemenpasienhemodialisissebagaiproyekinovasidalam
memenuhi salah satu peran perawat Ners spesialis di pelayanan keperawatan.

Tujuan Penulisan
Tujuan Umum

Melaporkan dan menganalisis kegiatan dalam menjalankan peran sebagai


perawat spesialis selama melaksanakan praktik residensi keperawatan medikal
bedah dengan menggunakan pendekatan teori perawatan diri Orem pada
peminatan keperawatan sistem perkemihan di RSUP Fatmawati

1.2.2. Tujuan Khusus

Melaporkan dan menganalisis kegiatan praktik residensi keperawatan medikal


bedah berdasarkan peran praktikan yang meliputi :
Pemberi asuhan keperawatan pada pasien gangguan sistem perkemihan
khususnya pasien kanker kandung kemih dengan pendekatan teori perawatan
diri Orem.
Menerapkan salah satu tindakan keperawatan pada pasien gangguan sistem
perkemihan khususnya pasien PGTA yang menjalani Hemodialisis
berdasarkan evidence based nursing practice (praktik keperawatan
berdasarkan bukti)
c. Berperan sebagai Inovator, fasilitator, narasumber (resources), koordinator
dan peran contoh melalui proyek inovasi yang dilakukan di ruang
hemodialisis.
1.3. Sistematika Penulisan
Laporan Karya Ilmiah Akhir (KIA) ini terdiri dari 5 bab, Bab 1 berisi tentang
latar belakang, tujuan penulisan serta sistematika penulisan. Bab 2 membahas
tentang tinjauan pustaka dimana dalam bab 2 ini diuraikan konsep teori kanker
kandung kemih, teori ileal conduit urinary diversion dan teori perawatan diri
Orem. Bab 3 berisi tentang proses residensi yang membahas penerapan teori Self
Care Orem pada asuhan keperawatan pasien kanker kandung kemih, penerapan
praktek keperawatan berdasarkan bukti/ Evidence Based Nursing Practice

(EBNP) serta laporan proyek inovasi. Sedangkan Bab 4 berisi tentang pembahasan
berbagai kesenjangan yang ditemukan selama melaksanakan residensi. Bab 5
menguraikan kesimpulan dari laporan KIA serta saran – saran berdasarkan
kesenjangan – kesenjangan yang ditemukan selama praktik residensi.
7

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Bab 2 ini menjelaskan tentang konsep teori kanker kandung kemih dan ileal
conduit urinary diversion serta teori perawatan diri Orem yang diaplikasikan
pada asuhan keperawatan.

2.1 Konsep Kanker Kandung Kemih


2.1.1 Pengertian

Kanker kandung kemih merupakan kanker yang terbentuk di jaringan kandung


kemih (organ yang menyimpan urin). Sebagian besar kanker kandung kemih
adalah karsinoma sel transisional (kanker yang dimulai di sel-sel yang biasanya
membentuk lapisan dalam kandung kemih) (Black & Hawks, 2009). Jenis lain
termasuk karsinoma sel skuamosa (kanker yang dimulai di sel datar yang tipis)
dan adenokarsinoma (kanker yang dimulai dari sel – sel yang membuat dan
melepaskan lendir dan cairan lainnya). Sel – sel yang membentuk karsinoma sel
skuamosa dan adenokarsinoma berkembang di lapisan dalam kandung kemih
sebagai akibat dari iritasi kronis dan peradangan (American Cancer Society,
2014).

2.1.2 Anatomi kandung kemih

Kandung kemih merupakan organ berongga yang terletak di sebelah anterior


tepat di belakang os pubis. Organ ini berfungsi sebagai wadah sementara
menampung urin. Sebagian besar dinding kandung kemih tersusun dari otot
polos yang dinamakan muskulus detrusor. Kontraksi otot ini terutama berfungsi
untuk mengosongkan kandung kemih pada saat buang air kecil (Smeltzer &
Bare, 2002).
Gambar 2.1

Sumber : http://hadijah-arsyad.blogspot.com
Kandung kemih adalah, organ otot berongga yang berfungsi mengumpulkan
urin. Kandung kemih ini terletak di bagian bawah abdomen yang dilapisi
dengan membran yang disebut urothelium. Sel – sel membran ini disebut sel
transisional atau sel urothelial. Dinding kandung kemih memiliki tiga lapisan
yaitu mukosa, submukosa dan muskularis. Muskularis ini terdiri dari lapisan
otot longitudinal yang berada diantara otot polos dan lapisan otot melingkar.
Lapisan otot ini dikenal sebagai otot detrusor, dan otot ini yang berfungsi untuk
mengeluarkan urin dari kandung kemih (Ellis 2004).

Dinding kandung kemih memiliki 4 lapisan utama. Lapisan terdalam terdiri dari
sel yang disebut urothelial atau sel transisi, lapisan ini disebut urothelium atau
epitel transisi. Di bawah urothelium terdapat lapisan tipis jaringan ikat,
pembuluh darah, dan saraf, yang disebut lamina propria. Lapisan berikutnya
adalah lapisan tebal otot yang disebut propria muskularis. Di luar dari otot ini,
terdapat lapisan jaringan ikat lemak yang memisahkan kandung kemih dengan
organ lain yang terdekat (American Cancer Society, 2014).

2.1.3 Jenis Kanker Kandung Kemih

Ada dua bentuk kanker kandung kemih yaitu bentuk superfisial (yang cendrung
kambuhan) dan bentuk invasif. Sekitar 80 – 90% dari semua kanker kandung
kemih merupakan sel transisional (kanker yang berasal dari sel – sel transisional
kandung kemih (Smeltzer & Bare, 2002). 9 dari 10 kanker kandung kemih ini
adalah jenis karsinoma sel – sel transisional (American Cancer Society, 2014).
Sebagian besar kasus kanker kandung kemih adalah urothelial (sel transisional)
karsinoma, yang mewakili 90% sampai 95% dari semua kasus. Histologis
lainnya termasuk skuamosa karsinoma sel (1,5%), adenokarsinoma (1,2%), dan
karsinoma sel kecil (<1%) (Zhang, Zhu, Curado, et.al, 2012). Karsinoma sel
transisional dari kandung kemih juga merupakan histologis yang paling umum
terjadi di Indonesia yaitu sekitar 80% (Umbas, 2007), dan lebih dari 90% di
negara - negara lain (Ries, 2007;. Matalka et al, 2008; Gupta et al, 2009; Kong et
al., 2010).
2.1.4 Etiologi, dan Faktor Resiko
Keganasan pada kandung kemih terjadi karena induksi bahan karsinogen yang
banyak terdapat di sekitar kita. Beberapa faktor resiko yang mempermudah
seseorang menderita kanker kandung kemih (Purnomo, 2011; American Cancer
Society, 2014) adalah
Pekerjaan : Pekerja – pekerja di pabrik kimia (terutama pabrik cat),
laboratorium, pabrik korek api, tekstil, pabrik kulit dan pekerja pada salon
rambut sering terpapar oleh bahan karsinogen berupa senyawa amin aromatik

memiliki resiko lebih tinggi terkena kanker kandung kemih (Brand, Le,
MacArtur, Fang, Gallagher, 2005), terutama ketika masa kerja 10 tahun atau
lebih (Cassidy, Wang, Wu, Lin, 2009).

Perokok : merokok adalah faktor risiko yang paling utama pada penyakit kanker
kandung kemih (National Cancer Institute, 2013). Rokok mengandung bahan
karsinogen berupa amin aromatik dan nitrosamin. Bagi seorang perokok
beresiko 2 – 6 lebih besar kali terkena kanker kandung kemih dibandingkan
dengan yang bukan perokok. Merokok merupakan penyebab separuh dari
kanker kandung kemih yang terjadi baik pada laki – laki ataupun perempuan.
Perokok menghirup, beberapa karsinogen (bahan kimia penyebab kanker)
dalam asap tembakau dan diserap oleh paru – paru kemudian masuk ke dalam
darah. Dari darah bahan – bahan tersebut akan disaring oleh ginjal dan
terkonsentrasi dalam urin. Bahan kimia ini dalam urin dapat merusak sel – sel
yang melapisi bagian dalam kandung kemih, yang meningkatkan kemungkinan
kanker berkembang. Merokok diyakini Penyebab utama penyakit dan dapat
menjelaskan tentang 50%
kasus
Infeksidi saluran
negara maju (Jonkovic’
kemih : infeksi& saluran
Radozalvljevic’, 2007).adalah penyakit urologi
kemih (ISK)
yang paling umum di Amerika Serikat, khususnya di kalangan perempuan.
Sekitar 50% perempuan memiliki satu gejala infeksi selama masa hidup mereka,
dan sering memiliki episode berulang (Stamm, 2002). Infeksi saluran kemih,
ginjal dan batu kandung kemih, kateter kandung kemih yang tersisa di tempat
lama, dan penyebab lain dari iritasi kandung kemih kronis telah dikaitkan
dengan kanker kandung kemih (terutama karsinoma sel skuamosa kandung
kemih), tetapi tidak jelas apakah hal ini benar – benar menyebabkan kandung
kemih kanker. Schistosomiasis (juga dikenal sebagai bilharziasis), infeksi
dengan cacing parasit yang disebut Schistosoma hematobium yang bisa masuk
ke dalam kandung kemih, juga merupakan faktor risiko untuk kanker kandung
kemih. Telah diketahui bahwa kuman – kuman E.coli dan proteus spp
menghasilkan nitrosamin yang merupakan zat karsinogen. Hubungan antara
Schistosomiasis dan kanker kandung kemih terbukti dan merupakan resiko
tinggi meningkatnya kanker kandung kemih di sejumlah negara berkembang,
termasuk Mesir. Di negara maju, karsinoma sel transisional adalah jenis utama
dari kanker kandung kemih, sedangkan di daerah endemik Schistosomiasis,
karsinoma sel skuamosa adalah jenis yang paling umum (Michaud, 2007).

Kopi, pemanis buatan dan obat – obatan : kebiasaan mengkonsumsi kopi,


pemanis buatan yang mengandung sakarin dan siklamat, serta pemakaian obat
– obatan siklofosfamid yang diberikan intravesika, fenasetin, opium dan obat
antituberkulosa INH dalam waktu lama dapat meningkatkan resiko timbulnya
kanker kandung kemih (Purnomo,2011).

Usia : resiko kanker kandung kemih meningkat pada usia lebih dari 55 tahun. 9
dari 10 kanker kandung kameh terjadi pada usia ini. Penelitian yang dilakukan
oleh Anastasiau, Mygdalis, Mihalakis et.al (2010) dari 202 orang responden
dalam penelitiannya 168 orang (83,2%) yang menderita kanker kandung kemih
berusia lebih dari 55 tahun. Di Indonesia menurut penelitian Supit, Mochtar,
Sugiono, Umbas (2011) rata – rata usia pasien yang menderita kanker kandung
kemih juga diatas 55 tahun.

Jenis kelamin : kanker kandung kemih lebih banyak ditemukan pada laki – laki
dari pada perempuan. Diperkirakan kejadian keseluruhan kanker kandung
kemih di Amerika Serikat pada tahun 2012 adalah 73.510 kasus baru yang
melibatkan 55.600 laki-laki dan 17.910 perempuan (Siegel, Naishadham, Jemal,
2012). Hasil penelitian Karagas, Park, Warren, et.al (2004) juga mengemukakan
bahwa laki – laki dan merokok merupakan faktor resiko utama penyebab kanker
kandung kemih. Hal senada juga dikemukakan oleh Anastasiau, Mygdalis,
Mihalakis et.al (2010) pada penelitiannya juga didapatkan bahwa pasien yang
menderita kanker kemih lebih banyak laki – laki dari pada perempuan yaitu
86,1% laki p laki dan 13,9% perempuan. Di Indonesia juga ditemukan hal yang
sama bahwa penderita kanker kandung kemih kebanyakan berjenis kelamin laki
– laki yaitu sekitar 86,2% dengan perbandingan 6 : 1 antara laki – laki dan
perempuan (Supit et al, 2011).

2.1.3. Tanda dan Gejala Klinis


Infeksi saluran kemih, sistitis interstisial, prostatitis dan batu saluran kemih
merupakan manifestasi dari kanker kandung kemih (Yurbro, Wujcik & Gobel,

2011). Adanya darah dalam urin (hematuria) merupakan gejala awal dari kanker
kandung kemih. Hematuria berat atau tanpa nyeri adalah bejala kanker
kandung kemih yang paling sering ditemukan. Infeksi saluran kemih merupakan
komplikasi yang sering terjadi dan menyebabkan gejala sering berkemih,
urgensi, dan nyeri saat berkemih (Smeltzer & Bare, 2002). Hematuria dapat
menimbulkan retensi bekuan darah sehingga pasien mengeluh tidak dapat
buang
air kecil (Purnomo, 2011).
Gejala kanker kandung kemih yang telah tumbuh cukup besar atau telah
menyebar ke bagian lain dari tubuh kadang-kadang menyebabkan gejala lain,
seperti tidak bisa buang air kecil, nyeri punggung bawah pada satu sisi,
kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan, pembengkakan pada kaki
dan nyeri tulang (American Cancer Society, 2014).

2.1.5 Derajat Invasi (Stadium)

Stadium untuk menentukan derajat yang paling sering digunakan untuk kanker
kandung kemih menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) adalah
sistem TNM. TNM sistem stadium berdasarkan 3 buah kunci informasi
(American Cancer Society, 2014) :
T menggambarkan seberapa jauh utama (primer) tumor telah tumbuh
melalui dinding kandung kemih dan apakah itu telah tumbuh menjadi
jaringan di sekitarnya.

N menunjukkan setiap kanker menyebar ke kelenjar getah bening di


dekat kandung kemih. Kelenjar getah bening merupakan salah satu
sistem kekebalan tubuh yang sering mengalami penyebar pertama pada
kanker.
M menunjukkan apakah kanker telah menyebar (metastasis) atau tidak
ke tempat yang jauh, seperti organ lain atau kelenjar getah bening yang
jauh dari kandung kemih.
Gambar 2.2

Sumber :
http://www.cancer.org

a.Kategori T untuk Kanker kandung Kemih

TX : Tumor utama tidak dapat dinilai karena kurangnya informasi T0 : Tidak ada
bukti tumor primer
Ta : Karsinoma papiler Non – invasif
Tis : Non-invasif karsinoma datar (karsinoma in situ datar, atau CIS)

T1 : Tumor telah berkembang dari lapisan sel yang melapisi kandung kemih ke
dalam jaringan ikat di bawahnya namun tidak tumbuh ke dalam lapisan otot
kandung kemih.
T2 : Tumor telah tumbuh ke dalam lapisan otot.
T2a : Tumor telah tumbuh hanya memasuki babak bagian dalam lapisan otot.

T2b : Tumor telah tumbuh menjadi setengah luar lapisan otot.


T3 : Tumor telah tumbuh melalui lapisan otot kandung kemih dan ke dalam
jaringan lemak lapisan yang mengelilinginya.
T3a : Tumor menyebar ke jaringan lemak hanya dapat dilihat dengan
menggunakan mikroskop.
T3b : Penyebaran ke jaringan lemak cukup besar untuk dilihat pada tes
pencitraan atau untuk dilihat atau dirasakan oleh ahli bedah.
T4 : Tumor telah menyebar keluar jaringan lemak dan organ atau struktur di
dekatnya. Ini mungkin akan tumbuh menjadi salah satu dari berikut: stroma
(jaringan utama) dari prostat, mani vesikel, uterus, vagina, dinding panggul,
atau dinding perut.
T4a : Tumor telah menyebar ke stroma prostat (pada pria), atau ke rahim
dan / atau Vagina (pada wanita).
T4b: tumor telah menyebar ke dinding pelvis atau dinding perut.

b. Kategori N untuk kanker kandung kemih

Kategori N menjelaskan bahwa penyebar hanya ke kelenjar getah bening di dekat


kandung kemih saja dan orang – orang di sepanjang pembuluh darah yang
disebut arteri iliaka umum. Kelenjar getah bening ini disebut kelenjar getah
bening regional. Setiap kelenjar getah bening lainnya dianggap kelenjar getah
bening jauh. Menyebar ke kelenjar jauh dianggap metastasis (dijelaskan dalam
kategori M). pembedahan biasanya diperlukan untuk menemukan kanker
menyebar ke kelenjar getah bening, karena tidak sering terlihat pada tes
pencitraan.
NX : kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai karena kurangnya
informasi.
N0 : Tidak ada kelenjar getah bening penyebaran regional.
N1 : Kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di panggul sejati.

N2 : Kanker telah menyebar ke 2 atau lebih kelenjar getah bening di panggul


sejati.
N3: Kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di sepanjang arteri iliaka
umum

c. Kategori M untuk kanker kandung kemih


M0 : Tidak ada tanda-tanda penyebaran jauh.
M1 : Kanker telah menyebar ke bagian tubuh yang jauh. (Situs yang paling
umum adalah jauh kelenjar getah bening, tulang, paru-paru, dan hati).
Stadium Kanker Kandung Kemih
1. Stadium I (T1, N0, M0)
Kanker telah tumbuh ke dalam lapisan jaringan ikat di bawah lapisan
lapisan kandung kemih namun belum mencapai lapisan otot di dinding
kandung kemih (T1) . Kanker belum menyebar ke kelenjar getah bening
(N0) atau ke tempat yang jauh (M0) .

2. Stadium II (T2a atau T2b, N0, M0)

Kanker telah tumbuh ke dalam lapisan otot tebal dinding kandung kemih ,
tapi belum sampai sepenuhnya melalui otot untuk mencapai lapisan
jaringan lemak yang mengelilingi kandung kemih (T2). Kanker belum
menyebar ke
kelenjar getah bening (N0) atau ke tempat yang jauh (M0).
3. Stadium III (T3a , T3b , atau T4a , N0 , M0)

Kanker telah tumbuh ke dalam lapisan jaringan lemak yang mengelilingi


kandung kemih (T3a atau T3b) dan mungkin telah menyebar ke prostat , rahim ,
atau vagina , tetapi tidak tumbuh ke dalam panggul atau dinding perut (T4a).
Kanker belum menyebar ke kelenjar getah bening (N0) atau ke
tempat yang jauh (M0).

4. Stadium IV
Salah satu berikut ini berlaku:

T4b, N0, M0 : Kanker telah tumbuh melalui dinding kandung kemih dan ke
dalam panggul atau dinding perut (T4b). Kanker belum menyebar ke kelenjar
getah bening (N0) atau ke tempat yang jauh (M0), atau setiap T,
N1 ke N3, M0 : Kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening terdekat
(N1 - N3) tetapi tidak untuk tempat yang jauh (M0) atau setiap T , setiap N
,M1 : Kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening jauh atau ke situs
seperti tulang ,hati ,atau paru-paru (M1)
Gambar 2.3

Sumber : http://www.health.harvard.edu

Gambar 2.4

Sumber : http://www.asiancancer.com

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik


Evaluasi diagnostik mencakup pemeriksaan urografi atau IVP, pemindai CT,
ultrasonografi (USG), sistoskopi dan pemeriksaan bimanual dengan pembiusan.
Biopsi tumor dan mukosa di sekitarnya merupakan prosedur diagnostik yang
definitif. Karsinoma sel transisional dan karsinoma insitu akan melepaskan sel –
sel kanker yang dapat dikenali. Pemeriksaan sitologi urin yang baru dan larutan
salin yang digunakan sebagai pembilasan kandung kemih akan memberikan
informasi tentang prognosis pasien, khususnya pasien yang beresiko tinggi untuk
terjadinya tumor primer kandung kemih (Purnomo, 2011; Smeltzer & Bare,
2002).
2.1.7 Patofisiologi
Kanker kandung kemih merupakan dampak dari akibat pemaparan zar
karsinogen ke dinding kandung kemih. Kanker kandung kemih lebih sering
terjadi pada usia di atas 50 tahun dan angka kejadian laki-laki lebih besar
daripada perempuan. Karena usia yang semakin tua, maka akan terjadi
penurunan imunitas serta rentan terpapar radikal bebas yang menyebabkan
bahan karsinogen bersirkulasi dalam darah. Pada pekerja yang bekerja ditempat
yang mengandung senyawa amina aromatik, 2 naftilamin bensidin, 4

aminobifamil seperti pekerja pada pabrik zat kimia, pabrik cat dan lain
sebagainya akan selalu terpapar dengan zat – zat tersebut. Kebiasaan merokok
juga menjadi penyebab terjadinya kanker kandung kemih, dimana dalam rokok
terkandung zat amina aromatik dan nitrasamin yang juga merupakan salah satu
penyebab terjadinya kanker kandung kemih.

Zat – zat tersebut masuk dalam peredaran darah melalui saluran atau sistem
pernafasan yang akan mengaktifkan asam arachidonat dan prostaglandin
sehingga sel point termoregulator meningkat dan menyebabkan aktivitas
metabolisme dan vasokontriksi perifer meningkat yang menghasilkan produksi
panas. Selanjutnya zat karsinogen masuk ke ginjal dan terfiltrasi di glomerulus.
Radikal bebas tersebut bergabung dg urin secara terus menerus dan masuk ke
kandung kemih. Radikal bebas mengikat elektron DNA & RNA sel transisional
sehingga terjadi kerusakan DNA. Mutasi pada genom sel somatik menyebabkan
pengaktifan onkogen pendorong pertumbuhan, perubahan gen yang
mengendalikan pertumbuhan, dan penonaktifan gen supresor kanker. Sehingga
produksi gen regulatorik hilang dan replikasi DNA berlebih dan akhirnya terjadi
kanker pada akan
kemih maka kandung kemih.
terjadi Dengan
tekanan adanya
sehingga penambahan
menyebabkan massa refluks
terjadinya di kandung
pada
ureter dan ginjal yang mengakibatkan retensi urin di ginjal. Tertahannya urin di
ginjal menyebabkan terjadinya hidronefrosis sehingga secara bertahap akan
merusak ginjal, fingsi ginjal ekresi dan filtrasi ginjal menjadi terganggu (Black
& Hawks, 2009; Price & Wilson, 2006; Sherwood, 2011; Guyton, 2008).
2.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang pertama kali dilakukan pada pasien kanker kandung
kemih adalah reseksi kandung kemih transuretra atau TUR buli – buli (Purnomo,
2011). Terapi selanjutnya tergantung dari derajat tumornya (yang didasarkan
pada serajat diferensiasi sel), stadium pertumbuhan tumot (derajat invasi lokal
serta ada tidaknya metastase) dan multi sentrisitas tumor (apakah tumor tersebut
memiliki banyak pusat). Usia pasien dan status fisik, mental serta emosional
harus dipertimbangkan dalam menentukan terapinya.

Jenis utama dari pengobatan untuk kanker kandung kemih adalah bedah, terapi
intravesikal, kemoterapi dan terapi radiasi (American Cancer Society, 2014).
Penanganan kanker kandung kemih tergantung pada derajat tumornya (yang
didasarkan pada derajat deferiensi sel), stadium pertumbuhan tumor (derajat
invasi local serta ada tidaknya metastase) dan multisentrisitas tumor tersebut
(apakah tumor tersebut memiliki banyak pusat).Usia pasiaen dan status fisik,
mental serta emosional harus dipertimbangkan dalam menentukan bentuk
terapinya (Purnomo, 2011).

Reseksi transuretra atau vulgurasi (kauterisasi) dapat dilakukan pada papiloma


yang tunggal (tumor epitel benigna) prosedur ini akan melenyapkan tumor
lewat insisi bedah atau arus listrik dengan menggunakan instrument yang
dimasukkan melalui uretra. Penatalaksanaan kanker kandung kemih superficial
merupakan suatu pantangan karena biasanya mudah terjadi abnormalitas yang
meluas pada mukosa kandung kemih.Keseluruhan lapisan dinding saluran
kemih atau urotelium menghadapi resiko mengingat perubahan karsinoma
pelvis renal, ureter dan uretra. Kekambuhan merupakan masalah yang serius,
mukosa
bukan hanya25ditemukan
kurang lebih dalam
persen hingga mukostumor
40 persen kandung kemih
superficial tetapi
akan jugakembali
kambuh dalam
mukosa
sesudah dilakukan vulgerasi atau reseksi transuretra. Penderita piloma benigna
harus menjalani tindak lanjut dengan pemeriksaan sitologi dan sistoskopi secara
berkala sepanjang hidupnya karena kelainan malignansi yang agresif dapat
timbul dari tumor ini.
Kemoterapi dengan menggunakan kombinasi metotreksat, vinblastin,
doxorubisin (adreamisin) dan cisplatin (M-VAC) terbukti efektif untuk
menghasilkan remisi parsial karsinoma sel transisional kandung kemih pada
sebagian pasien. Kemoterapi intra vena dapat dapat dilakukan bersama dengan
terapi radiasi. Kemoterapi topical (kemoterapi intravesikal atau terapi dengan
memasukkan larutan obat anti neoplastik kedalam kandung kemih yang
membuat obat tersebut mengenai dinding kandung kemih) dapat
dipertimbangkan jika terdapat resiko kekambuhan yang tinggi, jika terdapat

kanker in situ atau jika resksi tumor tidak tuntas.Kemoterapi topical adalah
pemberian medikasi dengan konsentrasi yang tinggi (thiotepa, doxorubisin,
mitomisin, ethoglusid dan Bacilus Calmette – Guerin atau BCG) untuk
meningkatkan penghancuran jaringan tumor. BCG kini dianggap sebagai
preparat intravesikal yang paling efektif untuk kanker kandung kemih yang
kambuhan karena preparat ini akan menggalakkan respon imun tubuh terhadap
kanker. Pasien dibolehkan makan dan minum sebelum prosedur pemasukan
(instilasi) obat dilaksanakan, tetapi kandung kemih terisi penuh, pasien harus
menahan larutan preparat intravesikal tersebut selama 2 jam sebelum
mengalirkannya keluar dengan berkemih. Pada akhir prosedur, pasien
dianjurkan untuk buang air kecil dan meminum cairan sekehendak hati untuk
membilas
preparat tersebut dari kandung kemih.
Radiasi tumor dapat dilakukan sebelum pembedahan untuk mengurangi
mikroekstensi neoplasma dan viabilitas sel-sel tumor sehingga kemungkinan
timbulnya kanker tersebut didaerah sekitarnya atau kemungkinan penyebaran
sel-sel kanker lewat sirkulasi darah atau system infatik dapat dikurangi.Terapi
radiasi juga dilakukan bersama pembedahan atau dilakukan untuk
mengendalikan penyakit pada pasien dengan tumor yang tidak dapat dioperasi.

Sistektomi sederhana (pengangakatan kandung kemih) atau sistektomi radikal


dilakukan pada kanker kandung kemih yang invasive atau multifocal.Sistektomi
radikal pada pria meliputi pengangkatan kandung kemih, prostat serta vesikulus
seminalis dan jaringan vesikal disekitarnya.Pada wanita, sistektomi radikal
meliputi pengangkatan kandung kemih, ureter bagian bawah, uterus, tuba fallopi,
ovarium, vagina anterior dan uretra.Operasi ini dapat mencakup pula
limfadenektomis (pengangkatan nodus limfatikus).Pengangkatan kandung kemih
memerlukan prosedur difersi urin (mengalihkan aliran urin dari kandung kemih
ketempat keluar yang baru, yang biasanya melalui lubang yang dibuat lewata
pembedahan pada kulit (stoma).

Kanker kandung kemih juga dapat diobati dengan infuse langsung preparat
sitotoksik melalui suplai darah arterial organ yang terkena sehingga bisa tercapai
konsentrasi preparat kemoterapeutik yang lebih tinggi dengan efek toksik

sistemik yang lebih kecil. Untuk kanker kandung kemih yang lebih lanjut atau
untuk pasien hematuria yang membandel (setelah terapi radiasi), sebuah balon
besar berisi air yang ditempatkan dalam kandung kemih akan membuat
nekrosis tumor dengan mengurangi suplai darah kedinding kandung kemih
(terapi hidrostatik). Terapi instilasi dengan cara memasukkan larutan formali,
fenol atau perak nitrat dapat meredahkan gejala hematuria dan stranguria
(pengeluaran urin
yang lambat dan nyeri) pada sebagian pasien.
2.2 Ileal Conduit Urinary Diversion

Diversi urin yang masih dianggap gold standard yang dilakukan oleh dokter
bedah adalah ileal conduit karena tingkat komplikasinya yang rendah. Prosedur
diversi urin ini dilakukan untuk mengalihkan aliran urin dari kandung kemih ke
tempat yang lain dan biasanya melalui lubang yang dibuat melalui pembedahan
pada kulit (stoma). Pada ileal conduit ini aliran urin dialihkan dengan
mengimplantasikan ureter ke dalam gelungan ileum yang dibiarkan
berhubungan keluar lewat dinding abdomen. Gelungan ileum ini merupakan
conduit (saluran)msederhana untuk aliran urin dari ureter ke
permukaan.
2002; Black Untuk
& Hawks, 2009). Lebih dari 30 tahun ileum merupakan pilihan
menampung urin uang keluar digunakan kantong ileostomi (Smeltzer & Bare,
saluran paling baik yang digunakan untuk mengalirkan urin yang digunakan oleh
ahli bedah setelah dilakukan pengangkatan kandung kemih (Colombo & Naspro,
2010).
Gambar 2.5

Sumber :
http://www.cancer.ca

Barrier kulit dan kantong drainase urin dipasang setelah pembedahan dilakukan
di sekitar conduit dan dihubungkan dengan drainase. Kantong yang tembus
pandang dipasang untuk memudahkan untuk mengevaluasi pengeluaran urin
dengan lebih baik, melihat tanda – tanda iritasi dan perdarahan dari mukosa
stoma, pembentukan krusta dan iritasi kulit di sekitar stoma serta tanda – tanda
infeksi pada luka (Smeltzer & Bare, 2002).
Akibat atau komplikasi yang ditimbulkan setelah pembentukan ileal conduit ini
mencakup infeksi luka atau dehisens, perembesan urin, iritasi kulit, obstruksi
ureter, penyempitan stoma (stenosis stoma), pyelonefritis, hidronefrosis, dan
pembentukan batu ginjal (Smeltzer & Bare, 2002; Black & Hawks, 2009).
Gambar 2.6

Sumber : http://www.parthenoninc.com
2.3 Teori Perawatan Diri Orem
2.3.1 Definisi Keperawatan
Konsep keperawatan khususnya dalam pandangan Orem mengenai pemenuhan
kebutuhan dasar, terdiri dari udara, air, makanan, eliminasi, istirahat dan
kegiatan, kesendirian dan interaksi sosial, pencegahan risiko, peningkatan fungsi
normal tubuh. (Orem, 1971 dalam Tomey & Alligood, 2006). Keperawatan
memiliki perhatian pada kebutuhan manusia terhadap tindakan perawatan
dirinya sendiri dan kondisi serta penatalaksanaannya secara terus menerus dalam

upaya mempertahankan kehidupan dan kesehatan, penyembuhan dari


penyakit, atau cidera, dan mengatasi bahaya yang ditimbulkannya. Perawatan
diri sendiri
Perawatan
dibutuhkandiri
olehyang tidak
setiap dapat dipertahankan
manusia, baik laki-laki,akan menyebabkan
perempuan, terjadi
dan anak-anak.
kesakitan atau kematian (Perry & Poter, 2009). Keperawatan berupaya
mengatur dan mempertahankan kebutuhan keperawatan diri secara terus

menerus bagi individu yang secara total tidak mampu melakukannya. Perawat
juga membantu pasien untuk mempertahankan perawatan diri dengan
melakukannya sebagian, tetapi tidak seluruh prosedur, melainkan pengawasan
pada orang yang membantu pasien dengan memberikan instuksi dan
pengarahan
secara individual sehingga secara bertahap pasien mampu melakukannya
sendiri.
2.2.2.Keyakinan dan Nilai – Nilai

Keyakinan Orem tentang empat konsep utama keperawatan adalah :


Individu/Pasien : Individu atau kelompok yang tidak mampu secara terus
menerus mempertahankan perawatan diri untuk mempertahankan hidup dan
kesehatan, dalam pemulihan penyakit atau trauma atau koping dan
efeknya.
perawatan diri yang menunjang pemeliharaan dan peningkatan integritas
Kesehatan : Kemampuan individu atau kelompok untuk memenuhi
struktural, fungsi, dan perkembangan. Lingkungan : Tatanan dimana pasien
tuntutan
tidak dapat memenuhi kebutuhan keperluan perawatan diri dan perawat
termasuk didalamnya tetapi tidak spesifik. Keperawatan : Pelayanan yang
dengan sengaja dipilih atau kegiatan yang dilakukan untuk membantu individu,
keluarga dan kelompok masyarakat dalam mempertahankan perawatan diri
sendiri yang mencakup integritas struktural, fungsi, dan perkembangan.
2.2.3.Konsep Utama
Orem dalam mengembangkan teorinya berdasarkan pada tiga teori yang
berfokus pada peran manusia dalam menyeimbangkan kehidupan, kesehatan dan
kesejahteraannya dengan merawat diri sendiri. Ketiga teori tersebut saling
berhubungan yaitu teori perawatan diri, teori kekurangan perawatan diri dan
teori sistem keperawatan. Peran perawat dalam teori ini adalah memenuhi
kebutuhan perawatan diri pasien untuk mencapai kemandirian dan kesehatan
yang optimal (Tomey & Alligood, 2006).

Tujuan yang harus dicapai melalui berbagai usaha perawatan pada teori
perawatan diri Orem kelompokkan menjadi :
Kebutuhan Perawatan Diri Universal (Universal Self Care Requisites) :
kebutuhan perawatan diri yang umum bertujuan untuk mencapai perawatan
diri atau kebebasan merawat diri dimana harus memiliki kemampuan untuk
mengenal, memvalidasi, mengenai anatomi dan fisiologi manusia yang
berintegrasi dalam lingkaran kehidupan. Secara umum Terdapat 8 teori
perawatan diri yaitu pemeliharaan kecukupan pemasukan udara, makanan,
cairan, mempertahankan proses eliminasi dan eksresi, pemeliharaan
keseimbangan antara aktivitas dan istirahat, pemeliharaan keseimbangan
antara kesendirian dan interaksi sosial, pencegahan resiko – resiko untuk hidup,
fungsi usia dan kesehatan manusia, peningkatan fungsi tubuh dan
keseimbangan
manusia dalam
Kebutuhan kelompok sosial
Pengembangan sesuai dengan
Perawatan potensinya Self Care Requisites)
Diri (Development
: Tujuan kebutuhan pengembangan perawatan diri berhubungan dengan
tingkat perkembangan individu dan lingkungan tempat tinggal yang
berkaitan dengan siklus kehidupan serta perubahan hidupnya. Beberapa hal
berhubungan dengan tingkat perkembangan perawatan diri adalah situasi yang
yang
mendukung terhadap perkembangan perawatan diri, terlibat dalam
pengembangan diri serta mencegah atau mengatasi dampak dari situasi individu
dan situasi kehidupan yang mungkin mempengaruhi perkembangan manusia.
(Orem, 1980 dalam Tomey & Alligood, 2006 ).
Kebutuhan Perawatan Diri yang Menyimpang dari Kesehatan (Health
Deviation Self Care Requisites) : Tujuan Perawatan diri dalam hal ini ditujukan
kepada orang yang sakit atau trauma, yang mengalami gangguan patologi,
termasuk ketidakmampuan dan pasien cacat yang sedang dirawat dan menjalani
terapi. Gangguan kesehatan dapat terjadi sepanjang waktu sehingga akan
mempengaruhi pengalaman individu dalam menghadapi kondisi sakit sepanjang
hidupnya. Penyakit atau trauma tidak hanya pada struktur tubuh, fisiologi dan
psikologi saja, tetapi juga pada konsep diri seutuhnya. Ketika konsep diri

manusia mengalami gangguan (termasuk retardasi mental atau autisme),


perkembangan individu akan memberikan dampak baik permanen maupun
sementara. Perawatan diri merupakan komponen dari sistem tindakan
perawatan diri individu yang merupakan langkah – langkah dalam perawatan
ketika terjadi
gangguan kesehatan (Orem, 1980 dalam Tomey & Alligood, 2006 ).
Kebutuhan Perawatan Diri yang Terapeutik (Therapeutic Self Care Demand) :
Terapi pemenuhan kebutuhan dasar merupakan program perawatan yang
bertujuan dalam memenuhi kebutuhan dasar pasien sesuai dengan tanda dan
gejala yang muncul pada pasien. Beberapa hal yang harus diperhatikan perawat
ketika memberikan pemenuhan kebutuhan dasar pada pasien, diantaranya
mengatur dan mengontrol jenis atau macam kebutuhan dasar yang dibutuhkan
pasien dan bagaimana cara pemberiannya pada pasien. Therapeutic Self Care
Demand juga bertujuan untuk meningkatkan kegiatan yang menunjang
pemenuhan kebutuhan dasar seperti promosi dan pencegahan yang
mendukung pasien dalam memenuhi kebutuhan dasar sesuai tingkat
kemandiriannya (Orem,
1980 dalam Tomey & Alligood, 2006 ).
Beberapa pemahaman terkait terapi pemenuhan kebutuhan dasar diantaranya
perawat harus mampu mengidentifikasi faktor pada pasien dan lingkungannya
yang mengarah pada gangguan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Perawat
dalam hal ini harus mampu melakukan pemilihan alat dan bahan yang dipakai
untuk memenuhi kebutuhan dasar pasien, serta memanfaatkan segala sumber
daya yang ada di sekitar pasien untuk memberikan pelayanan pemenuhan
kebutuhan dasar pasien semaksimal mungkin (Orem, 1980 dalam Tomey &
Alligood, 2006 ).
Self Care Agency : dalam memenuhi kebutuhan dasar pasien secara holistik
hanya dapat dilakukan oleh seorang perawat yang mempunyai atau memiliki
kemampuan yang komprehensif dalam memahami konsep dasar manusia dan
perkembangan manusia secara holistik (Orem, 1980 dalam Tomey & Alligood,
2006 ). Perawat yang mampu memberikan pemenuhan kebutuhan dasar pada
pasien adalah perawat dengan keahlian dan keterampilan yang berkompeten dan
memiliki kewenangan untuk memberikan pemenuhan kebutuhan dasar pada
pasien secara holistik (Orem, 1980 dalam Tomey & Alligood, 2006).

Dependent Care Agent : Pemberian kebutuhan dasar pasien yang diberikan


oleh seorang perawat profesional yang memiliki tanggung jawab dan tanggung
gugat dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar pasien termasuk pasien dalam
derajat kesehatan yang masih baik atau masih mampu atau sebagian memenuhi
kebutuhan dasarnya. Pemberian kebutuhan dasar tetap menekankan pada
kemandirian pasien sesuai dengan tingkat kemampuannya. Perawatan yang
diberikan dapat bersifat promotif, preventif dan lain – lain (Orem, 1980 dalam
Tomey & Alligood, 2006 ).

Self Care Deficit : Perawat membantu pasien yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasar, terutama pada pasien dalam perawatan total. Perawatan
yang dilakukan biasanya kuratif dan rehabilitatif. Pemenuhan kebutuhan pasien
hampir semuanya tergantung pada pelayanan keperawatan yang dilakukan oleh
tim tenaga kesehatan terutama perawat (Orem, 1980 dalam Tomey & Alligood,
2006 ).

Nursing Agency : Perawat harus mampu meningkatkan dan mengembangkan


kemampuannya secara terus menerus untuk bisa memberikan pemenuhan
kebutuhan dasar pada pasien secara holistik sehingga mereka mampu
membuktikan dirinya adalah perawat yang berkompeten untuk dapat
memberikan pelayanan profesional dalam memenuhi kebutuhan dasar pasien.
Perawat harus menguasai komunikasi terapeutik, keterampilan intrapersonal,
pemberdayaan sumber daya di sekitar lingkungan perawat dan pasien selain
keterampilan psikomotor, agar dapat memberikan pelayanan yang profesional
(Orem, 1980 dalam Tomey & Alligood, 2006 ).
Nursing Design : dalam memenuhi kebutuhan dasar pasien secara holistik
dibutuhkan seorang perawatan profesional yang mampu berfikir kritis, memiliki
dan menjalankan standar kerja (Orem, 1980 dalam Tomey & Alligood, 2006 ).

2.2.4 Sistem Keperawatan


Sistem keperawatan merupakan serangkaian tindakan praktik keperawatan yang
dilakukan pada satu waktu dengan koordinasi dalam melakukan tindakan
keperawatan pada pasien agar perawatan diri pasien yang therapeutik dapat

diketahui dan memenuhi komponen kebutuhan. Sistem keperawatan juga


untuk melindungi serta mengetahui perkembangan perawatan diri pasien.
Asumsi Dasar : Orem (2001) mengidentifikasi beberapa hal mendasar dari teori
keperawatan terkait kebutuhan dasar manusia : 1) Kebutuhan dasar manusia
bersifat berkelanjutan, dimana pemenuhannya dipengaruhi oleh faktor dari
pasien itu sendiri ataupun dari lingkungan 2) Human agency, pasien memiliki
tingkatan ketergantungan dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya 3)
Pemenuhan kebutuhan dasar secara profesional hanya bisa diberikankan oleh
perawat yang
mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang memadai.
Pernyataan-Pernyataan Teoritis : Orem dalam teorinya memandang tatanan
pelayanan keperawatan ditujukan kepada kebutuhan individu untuk melakukan
tindakan keperawatan mandiri serta mengatur sendiri kebutuhannya. Dalam
konsep praktik keperawatan, Orem mengembangkan bentuk teori perawatan
diri (Orem, 1980 dalam Tomey & Alligood, 2006) di antaranya :
Theory of nursing system : teori sistem keperawatan menjelaskan kebutuhan
pasien dipenuhi oleh perawat, oleh pasien itu sendiri atau kedua – duanya.
Sistem keperawatan didesain berupa sistem tindakan yang dilakukan oleh
perawat dalam meningkatkan self agency seseorang yang mengalami
keterbatasan dalam pemenuhan perawatan diri. Ada tiga kategori sistem
keperawatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri pasien
(Orem, 1980 dalam Tomey & Alligood, 2006) sebagai berikut : 1) Wholly
Compensatory System (sistem kompensasi sepenuhnya) : Merupakan suatu
tindakan keperawatan dengan memberikan bantuan secara penuh pada pasien
karena ketidamampuan pasien dalam memenuhi kebutuhannya secara mandiri
dan memerlukan bantuan dalam pengontrolan pergerakan dan ambulansi serta
adanya manipulasi gerakan. 2) Partially Compensatory System (sistem
kompensasi sebagian) : Merupakan sistem dalam pemenuhan kebutuhan
perawatan diri sendiri sebagian yang dilakukan oleh perawat dan sebagian lagi
oleh pasien itu sendiri. Perawat menyediakan kebutuhan Self Care karena
keterbatasan pasien dan membantu pasien sesuai kebutuhannya. 3) Supportif-
Educative System (sistem dukungan – edukasi) : Merupakan sistem bantuan
yang diberikan pada pasien yang membutuhkan dukungan pendidikan, setelah
diberikan pendidikan diharapan pasien mampu memnuhi perawatannya secara
mandiri. Sistem ini dilakukan agar pasien mampu melakukan tindakan
keperawatan setelah dilakukan pembelajaran.
Skema. 2.1
Wholly Compensatory System

Menyelesaikan self care terapeutik


pasien
Tindakan
Kompensasi terhadap
Perawat
ketidakmampuan pasien terlibat
dalam self-care
Dukung dan lindungi pasien

Partial Compensatory System

Melakukan beberapa tindakan self Tindakan


care untuk pasien pasien
Tindakan terbatas
Kompensasi terhadap keterbatasan
Perawat self care pasien

Bantu pasien sesuai kebutuhan

Melakukan beberapa tindakan self care

Mengatur self-care agency Tindakan


pasien
Menerima asuhan dan bantuan dari
perawat

Supportif-Educative System Menyelesaikan self care


Tindakan
Tindakan Mengatur latihan dan pasien
Perawat perkembangan self
care
Skema 2.2 Basic Nursing System (Orem, 2001 dalam Tomey & Alligood, 2006).
2.2.5 Teori Defisit Perawatan Diri
Keperawatan dibutuhkan seseorang pada saat tidak mampu atau terbatas untuk
melakukan perawatan diri secara terus menerus. Defisit perawatan diri
merupakan bagian penting dalam perawatan secara umum dalam segala bentuk
perencanaan keperawatan yang diberikan pada saat dibutuhkan. Metode Orem
dalam memenuhi perawatan diri sendiri serta membantu dalam proses
penyelesaian masalah dengan bertindak atau berbuat untuk orang lain, sebagai
pembimbing orang lain, memberi dukungan, meningkatkan pengembangan
lingkungan untuk pengembangan pribadi serta mengajarkan atau mendidik
pada
orang lain (Orem, 2001 dalam Tomey & Alligood, 2006).

Penerapan Teori Perawatan Diri Orem pada Asuhan Keperawatan Pasien


Kanker Kandung Kemih
Pengkajian

Pengkajian keperawatan dengan pendekatan Orem merupakan proses


pengumpulan data yang berdasarkan adanya tuntutan untuk perawatan diri,
kekuatan untuk melakukan perawatan diri, kebutuhan perawatan diri, dan
penyimpangan kebutuhan perawatan diri pada pasien yang mengalami masalah
kesehatan dan peningkatan fungsi normal (Christensen & Kenney, 2009).
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik difokuskan pada tanda dan gejala
hiperglikemia dan faktor-faktor fisik, emosional, dan sosial yang dapat
mempengaruhi kemampuan pasien untuk mempelajari dan melaksanakan
berbagai aktivitas perawatan mandiri diabetes (Smeltzer & Bare, 2009).
Pengkajian menurut Orem terdiri dari Basic Conditioning Factor (kondisi faktor
yang mendasar), Universal Self Care Requisite (kebutuhan perawatan diri secara
umum), Development Self Care Requisites (kebutuhan pengembangan
gangguan kesehatan).
perawatan
diri), Health Deviation Self Care Requisites (kebutuhan perawatan diri dari
1. Pemenuhan Kebutuhan Kondisi Faktor yang Mendasar
Pengkajian mencakup kondisi yang mempengaruhi pasien kanker kandung
kemih dalam memenuhi kebutuhan dirinya. Data pengkajian meliputi umur,
jenis kelamin, pendidikan, status kesehatan, status perkembangan, sistem
perawatan kesehatan sistem keluarga, pola hidup, lingkungan. Riwayat
kesehatan yang penting adalah apakah pasien sering mengalami infeksi
saluran kemih dan mengalami adanya darah dalam urin (Purnomo, 2011).

2. Pemenuhan Kebutuhan Perawatan diri yang Universal


Kebutuhan Pernapasan dan Sirkulasi : Pada penderita kanker kandung
kemih dilakukan pengkajian untuk mendeteksi tanda – tanda gangguan
pernafasan akibat metastasis jauh pada organ atau saluran pernafasan.
Kebutuhan Cairan dan Elektrolit : Gangguan kebutuhan cairan dan
elektrolit pada pasien kanker kandung kemih bila terjadi hematuria dan
menimbulkan retensi bekuan darah sehingga pasien mengeluh tidak bisa buang
air kecil dan terjadi obstruksi saluran kemih. Bila terjadi obstruksi saluran kemih
maka terjadi refluks (aliran balik ke ginjal) sehingga terjadi hidronefrosis
akibatnya ginjal membesar, apabila keadaan ini tidak segera diatasi akan merusak
ginjal secara bertahap sampai kerusakan menyeluruh. Kerusakan ginjal
menyeluruh mengakibatkan terjadi gagal ginjal, dimana ginjal gagal
mempertahankan fungsi normalnya sehingga mempengaruhi keseimbangan
cairan dan elektrolit dalam tubuh.
Kebutuhan Nutrisi : Pasien yang mengalami kanker kandung kemih apabila
terjadi gangguan fungsi ginjal akan menyebabkan gagal ginjal, bila terjadi gagal
ginjal akan mengakibatkan hiperkatabolisme yang menyebabkan banyak efek
yang ditimbulkan diantaranya gangguan imunitas serta menurunnya daya tahan
tubuh pasien. Peningkatan katabolisme protein mengakibatkan keseimbangan
nitrogen menjadi terganggu sehingga ginjal tidak mampu untuk menyeimbangkan
keadaan tersebut, akibatnya terjadi akumulasi toksin dalam tubuh yang
menyebabkan uremia (Chan, 2004). Bila terjadi gagal ginjal pada pasien kanker
kandung kemih pasien
mendapatkan harus
terapi nutrisi yang memadai untuk mengatasi gangguan fungsi
ginjal dan gangguan metabolisme serta komplikasi – komplikasi yang
terjadi. Hal – hal yang perlu dikaji untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi
diantaranya adalah nafsu makan pasien, adanya mual dan muntah, terjadinya
penurunan berat badan, pengetahuan pasien tentang diet, kepatuhan pasien
dalam diet serta nilai – nilai dari laboratorium yang berkaitan dengan
masalah nutrisi (glukosa darah, hemoglobin, dan kadar albumin).
Kebutuhan Eliminasi dan Eksresi : Pada pasien kanker kandung kemih
gejala yang paling khas adalah adanya darah dalam urin (hematuria), kadang
disertai dengan nyeri saat proses berkemih. Hematuri yang terjadi biasanya
pada seluruh proses berkemih (hematuri total).
Keseimbangan antara Aktivitas dan Istirahat : Pada karsinoma yang
sudah menadakan infiltrasi luas sering menunjukkan gejala iritasi buli –
buli, salah satunya menimbulkan nyeri yang sangat hebat sehingga pasien
sering mengalami gangguan pada baik aktivitas fisiknya sehari – hari

maupun masalah untuk istirahat sehingga pasien mengalami gangguan


tidur. Pemeliharaan keseimbangan antara kesendirian dan interaksi sosial
: Pasien yang menderita kanker sering merasa dirinya tidak berguna dan
sering menarik diri dari interaksi sosial, namun hal ini tergantung dari
support sistem dalam keluarga dan mekanisme pertahanan diri pasien
dalam menghadapi penyakit ini.
Pencegahan terhadap Resiko yang Mengancam Hidup : Pada penyakit
kanker kandung kemih ini banyak pilihan terapi yang dilakukan untuk
mencegah perluasan penyakit, namun tergantung dari bagaimana pasien
melakukan deteksi dini untuk mencegah resiko yang mengancam
kehidupannya

3. Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Perawatan Diri

Keharusan pasien kanker kandung kemih melakukan perawatan diri


berhubungan dengan proses dan kondisi perkembangan yang terjadi selama
siklus hidup. Dua kategori dari perawatan diri terkait perkembangan adalah
mempertahankan kondisi yang mendukung proses hidup dan meningkatkan
perkembangan, dan mencegah efek yang membahayakan terhadap
perkembangan manusia dan memberikan perawatan untuk mengatasi efek
tersebut (Christensen & Kenney, 2009). Pengkajian dilakukan yang terkait
dengan lingkungan tempat tinggal, hambatan tata ruang rumah, transportasi
yang mendukung, jarak rumah dengan pelayanan kesehatan, pelayanan pra
rumah sakit, dan gaya hidup yang mempengaruhi dan terhindar dari
komplikasi serta kecacatan.
4. Pemenuhan Kebutuhan Perawatan Diri yang Menyimpang dari
Kesehatan
Pasien kanker kandung kemih yang mengalami metastase ke tempat –
tempat yang jauh atau infiltrasi luas sering menunjukkan gejala iritasi
kandung kemih. Infeksi saluran kemih merupakan komplikasi yang lazim
terjadi dan menyebabkan gejala sering berkemih, urgensi dan disuria.
Keluhan penyakit yang telah lanjut berupa gejala obstruksi saluran kemih
bagian atas atau edema tungkai. Edema tungkai ini disebabkan karena
adanya penekanan aliran limfe oleh massa tumor atau oleh kelenjar limfe
yang membesar di daerah pelvis.

2.3.2 Diagnosa Keperawatan

Menurut Nanda (2012-2014); Lewis (2011), dan Smeltzer & Bare (2009),
diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan, antara lain :
Kebutuhan Perawatan Diri Universal

Nyeri berhubungan dengan proses penyakit (penekanan/kerusakan jaringan


syaraf, infiltrasi system suplai syaraf, obtruksi jalur syaraf, inflamasi).
Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
gangguan fungsi ginjal/ kerusakan ginjal.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan masukan
nutrisi yang tidak adekuat.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan (penurunan produksi
energi, peningkatan kebutuhan energi, perubahan kimia tubuh,
kondisi fisik yang lemah).

2. Kebutuhan Pengembangan Perawatan Diri


a. Kurang pengetahuan tentang prosedur pembedahan dan perawatan
pascaoperasi.
b. Ansietas berhubungan dengan antisipasi kehilangan akibat prosedur
pembedahan
3. Kebutuhan Perawatan Diri Yang menyimpang dari Masalah Kesehatan
a. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan masalah
pemasangan aplikator
b. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan diversi urinarius
c. Resiko disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur dan
fisiologis
d. Kurang pengetahuan tentang penatalaksanaan fungsi urinarius
e. Peritonitis sehubungan dengan gannguan anastomosis

Iskemia stoma dan nekrosis berhubungan dengan menurunnya suplay


darah ke stoma
Retraksi stoma dan lepasnya batas mukokutaneus berhubungan dengan
tegangan atau trauma

2.3.3 Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan yang dapat diberikan pada pasien kanker kandung


kemih berdasarkan Nursing Interventions Classification (NIC) (Bulechek &
Dochterman, 2008) antara lain :
Fisiologis Dasar
Intervensi keperawatan yang mendukung fungsi fisik pasien berupa :

Manajemen aktivitas dan latihan berupa ambulasi, mobilisasi, edukasi tentang


aktivitas/latihan fisik.
Manajemen immobilitas, intervensi keperawatan yang mengatur pembatasan
body movement, berupa bed rest care, positioning, dan positioning pada
wheelchair
Nutrition support, intervensi keperawatan yang mendukung modifikasi
atau mempertahankan status nutrisi, berupa edukasi tentang diet, weight
reduction assistance, manajemen nutrisi.
d. Physical comfort promotion, untuk meningkatkan kenyamanan dengan
menggunakan teknik fisik, manajemen nyeri.

2. Self care facilitation, intervensi keperawatan yang memberikan atau


membantu aktivitas rutin sehari-hari, antara lain mandi, perawatan kontak
lensa, manajemen demensia, berpakaian, ear care, eye care, feeding, foot
care, hair care, nail care, oral health maintenance, oral health
promotion,
oral health restoration, perineal care, prosthesis care, self care assistance
(bathing/hygiene, dressing/grooming, feeding, toileting), tidur.

3. Fisiologis kompleks
Intervensi keperawatan yang mendukung pengaturan homeostatis pasien,
yaitu manajemen keseimbangan elektrolit dan asam basa, perioperative care
berupa edukasi pra operasi.

a. Perilaku

Intervensi keperawatan yang mendukung fungsi psikososial dan fasilitas


perubahan gaya hidup pasien berupa terapi perilaku (terapi aktivitas, self
modification assistance), coping assistance (body image enhancement,
konseling, spiritual support, terapi kelompok, peningkatan self efficacy,
peningkatan self esteem), edukasi kesehatan, psycological comfort
promotion (penurunan ansietas, distraksi, terapi relaksasi).

b. Safety

Intervensi keperawatan yang mendukung proteksi terhadap ancaman


bahaya, berupa crisis management dan risk management yaitu intervensi
yang diberikan untuk memulai pengurangan resiko dari aktivitas dan
kelangsungan pemantauan resiko lebih lanjut dari penyakit pasien.
Intervensi mencakup kontrol infeksi, proteksi infeksi, pencegahan
pressure ulcer

c. Keluarga
Intervensi keperawatan yang mendukung unit fungsi keluarga dan
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anggota keluarga, yaitu
family process maintenance, family support, role enhancement

d. Health System
Intervensi keperawatan yang mendukung penggunaan sistem penerimaan
layanan kesehatan yang efektif. Intervensi yang diberikan diharapkan
dapat memfasilitasi pasien dan keluarga dalam menerima dan
memanfaatkan sistem pelayanan kesehatan. Intervensi keperawatan dapat
berupa discharge planning, environmental management : home
preparation, bedside laboratory testing, konsultasi

e. Komunitas
Intervensi keperawatan yang mendukung kesehatan komunitas, berupa
peningkatan kesehatan dan management resiko/komplikasi penyakit yang
mencakup health education, risk identification, environmental risk
protections

2.3.4Evaluasi Keperawatan

Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan. Evaluasi dilakukan


dengan mengidentifikasi tingkat kemandirian pasien dalam memenuhi perawatan
dirinya serta mengidentifikasi keterlibatan keluarga dalam pemberian asuhan
keperawatan. Orem menjelaskan bahwa dalam mengatasi masalah kesehatannya
pasien membutuhkan kemandirian, oleh sebab itu evaluasi yang dilakukan
berfokus pada kemampuan pasien dalam mempertahankan kebutuhan
perawatan dirinya, kemampuan dalam mengatasi kekurangan perawatan dirinya
serta sejauh mana kemampuan dari perkembangan kemandirian pasien serta
kemampun keluarga memberi bantuan dalam memenuhi kebutuhan perawatan
diri pasien apabila pasien tidak mampu melakukan pemenuhannya.
BAB 3
PROSES RESIDENSI

Bab ini menguraikan tentang asuhan keperawatan dan analisis yang meliputi
gambaran dan penerapan teori perawatan diri Orem pada pasien kanker kandung
kemih sebagai kasus kelolaan utama, laporan hasil penerapan Evidence Based
Nursing Practice (EBNP) dan lapon proyek inovasi.

Gambaran Kasus Utama


Penerapan Teori Self Care pada Kasus Kelolaan Utama
a.Pengkajian
Kondisi faktor yang dasar

Pasien Ny. MS usia 60 tahun masuk rumah sakit (RS) pada tanggal 10 Maret
2014. Pasien seorang ibu rumah tangga dengan 5 orang anak, selama dalam
perawatan pasien terlihat sabar dan ikhlas, serta mampu mengendalikan diri
dalam menjalani semua tindakan medis dan tindakan perawatan pasien sangat
kooperatif saat praktikan menanyakan tentang riwayat penyakit pasien, pasien
sering ditunggui setiap hari oleh saudaranya, kebutuhan pasien sehari – hari
dibantu oleh perawat dan keluargannya tersebut. Keluhan utama Ny. M masuk
RS buang air kecil berdarah semenjak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pengkajian dilakukan pada tanggal 11 Maret 2014, pasien di rawat di Ruang
Rawat Inap Lantai 4
Utara.

Riwayat penyakit Ny. MS semenjak tahun 1990 pasien sering mengalami


nyeri saat buang air kecil (bak), pasien berobat ke puskesmas dan pasien
merasa sudah sembuh. 6 bulan sesudah itu pasien merasakan kembali
nyeri

dan perih saat bak dan bak disertai keluarnya darah. Kemudian pasien
berobat ke dokter umum dan dokter menyatakan kalau pasien terkena
infeksi saluran kemih, dokter menganjurkan pasien untuk minum banyak.
Keluhan tersebut sering pasien rasakan dan pasien minum banyak untuk
mengatasi keluhannya. Lebih kurang 6 bulan yang lalu kembali pasien
merasakan keluhan nyeri saat bak dan bak disertai darah. Pasien melakukan
general chek-up, dari hasil pemeriksaan menurut pasien ditemukan adanya
34 UNIVERSITAS INDONESIA
tumor di kandung kemih, kemudian dilakukan biopsi. Dari hasil
pemeriksaan biopsi pasien harus menjalani kemoterapi. Pada bulan
November 2013 pasien menjalani kemoterapi sebanyak 8 kali dengan
frekuensi 1 kali perminggu. 1 bulan yang lalu sebelum masuk RS bak
mengeluarkan darah yang banyak, nyeri saat dan sesudah bak, bak terasa
panas. Kemudian pasien berobat ke poli bedah urologi dan dilakukan CT
scan abdomen. Dari hasil pemeriksaan tersebut dokter menyarankan pasien
utuk dilakukan operasi pengangkatan kandung kemih (radikal cystectomi +
ileal conduit).

Pasien masuk RSUP Fatmawati melalui poliklinik, saat dilakukan pengkajian


kesadaran composmentis, mengeluh nyeri pada daerah supra pubis, nyeri
saat dan sesudah bak, bak berdarah. Tanda-tanda vital yaitu suhu 36,5 0 C,
nadi 80 kali/menit, RR 20 kali/menit, tekanan darah 100/60 mmHg. Tidak
ada anggota keluarganya yang menderita penyakit seperti ini. Pada tanggal
19 maret 2014 pasien menjalani operasi total cystectomi + ileal conduit,
anastomosis ileo – ileal end to end vesika urinaria. Pada
tanggal 23 maret 2014 Ny MS kembali ke lantai 4 Utara ke ruang HCU.

Pemenuhan Kebutuhan Perawatan Diri Universal

Mempertahankan kebutuhan pernapasan dan sirkulasi : Pasien tidak


menggunakan alat bantu pernafasan, pernafasan spontan, jalan nafas tidak
ada sumbatan, frekuensi nafas 20 kali/menit, irama nafas vesikuler di kedua
lapang paru, sesak tidak ada, batuk tidak ada, ronchi tidak ada, wheezing
tidak ada, pengembangan paru simetris, retraksi dinding dada tidak
ada.
kali/menit, irama regular dan pulsasi penuh, tekanan darah 100/60 mmHg,
Keluha nyeri dada tidak ada, edema dan vertigo tidak ada, nadi 68
bunyi Jantung I dan II regular, murmur tidak ada, gallop tidak ada, capillary
refill time <3 detik, akral hangat. Post operasi, pernafasan spontan, irama
nafas vesikuler, RR 18 kali/menit, keluhan nyeri dada tidak ada, irama
jantung reguler, TD 120/70mmHg, Nadi 80 kali/menit, keluhan sesak tidak
ada. Pasien tidak membutuhkan bantuan dalam pemenuhan pernafasan dan
sirkulasi.
Mempertahankan pemenuhan keseimbangan nutrisi dan cairan : Berat
badan 65kg, tinggi badan 157cm (IMT 26,37), pasien terlihat gemuk,
konjungtiva tidak anemis, Hb 11,3 gr/dl, Ht 35%, albumin serum 4,2 gr/dl,
GDS 108 mg/dl, pasien mengeluh mual, muntah (-), diet makanan biasa,
pasien hanya menghabiskan ½ porsi makanannya, nafsu makan berkurang,
pasien mampu untuk makan sendiri hanya memerlukan bantuan untuk
megambil kebutuhan yang tidak mudah dijangkau oleh pasien. Mukosa bibir
lembab, turgor kulit elastis, akral hangat, capilary refill < 3detik, oedem

tidak ada, pasien hanya terpasang venflon saja, minum ± 1500cc/24 jam,
pasien mampu memenuhi kebutuhan cairannya, hasil laboratorium Ht 35%,
ureum 41 mg/dl, kreatinin 1,2 mg/dl, natrium 137 mmol/l, kalium 4,8
mmol/l, klorida 106 mmol/l.

Mempertahankan kemampuan memenuhi kebutuhan eliminasi : Pola


defekasi 1 x sehari dan tidak mengalami perubahan pola defekasi.
Konsistensi, warna dan bau faeses dalam batas normal. Pasien tidak
mengalami konstipasi, inkontinensia, diare dan nyeri dalam BAB. Pola
Berkemih 5 - 6 kali sehari dengan jumlah urine ± 1500cc/hari. Warna
kuning, bau pesing, pasien selalu berusaha ke kamar mandi untuk berkemih
karena pasien merasa tidak nyaman untuk buang air di tempat tidur. Hasil
pemeriksaan laboratorium ureum 41 mg/dl, kreatinin 1,2 mg/dl,
pemeriksaan urinalisa lekosit trace, darah +3, warna kuning, kejernihan
agak keruh, pemeriksaan sedimen urin epitel (+), lekosit 3 – 6/ LPB,
eritrosit > 50/LPB.

MempertahankankemampuanmemenuhikebutuhanPsikososial/
Spiritual : Pasien dapat berinteraksi dengan baik dan kooperatif pada
keluarga, pasien lain dan tenaga kesehatan. Pasien terlihat sangat antusias
dalam menceritakan masalah kesehatan yang dihadapinya. Salah satu anak
pasien seorang perawat dan pasien sering bertukar pendapat dengan anaknya
tersebut. Pasien merasa mungkin karena sebelum sakit ini pasien tidak
terlalu memperhatikan kesehatannya dan merasa gejala sering mengalami
infeksi saluran kemih merupakan hal yang biasa terjadi pada perempuan.
Pasien tidak lagi aktif sebagai kader di lingkungan tempat tinggalnya
semenjak terdeteksi menderita kanker kandung kemih dan menjalani
kemoterapi. Pasien berharap penyakitnya ini segera diatasi dan pasien
merasa sudah siap untuk dilakukan operasi. Namun pasien menanyakan
bagaimana statusnya sebagai perempuan yang bersuami dalam hal
pemenuhan kebutuhan seksual, apakah pasien masih bisa melayani
suaminya, karena pasien mengatakan suaminya jauh lebih muda dari
dirinya.

Mempertahankan kemampuan kebutuhan perlindungan/ kenyamanan

: Keadaan umum terlihat sakit sedang, pasien sering mengeluh nyeri pada
daerah supra pubiknya dan juga mengeluh nyeri bila akan buang air kecil
saat dan sesudah bak dengan skala 7 - 8, ekspresi wajah meringis, pasien
mengatakan kalau bak sering berdiri karena bila dibawa jongkok nyeri
terasa lebih, nyeri berkurang bila bak berdiri dan pasien menarik nafas
dalam serta istigfar untuk mengatasi nyerinya.

Mempertahankan kemampuan kebutuhan aktivitas dan istirahat : Pasien


lebih banyak beraktivitas ditempat tidur karena nyeri yang dirasakan pada
daerah supra pubik, keadaan umum terlihat sedang. Pasien masih mampu
berjalan ke kamar mandi dan dibantu oleh keluarga. Sebagian fungsi
dilakukan pasien diatas tempat tidur dengan dibantu oleh keluarga pasien.
Kebutuhan tidur malam dan siang pasien terganggu karena nyeri yang
datang tiba – tiba, pasien sering terbangun dari tidurnya. Frekuensi
tidurnya hanya sekitar 4 – 5jam/hari. Pasien berharap operasinya segera
dilakukan.

Kebutuhan Pengembangan Perawatan Diri


Ny MS dalam tahap dewasa akhir, dengan latar belakang pasien seorang
guru dan didukung keluarga yang selalu mensuport pasien, pasien dapat
mengendalikan emosinya dan mampu mengekspresikan perasaannya secara
kooperatif. Saat pasien mengalami buang air kecilnya darah semua, pasien
mengutarakan pada perawat untuk minta tolong dilakukan pemeriksaan
Hbnya karena pasien cemas bila Hbnya turun.
Kondisi pasien : saat pengkajian dilakukan pasien mengeluh nyeri pada
bagian supra pubik dengan skala nyeri 7 – 8, pasien terlihat memegang
bagian bawah perutnya bila berjalan ke kamar mandi, teraba massa di
daerah supra pubik, nyeri saat ditekan, nyeri saat dan sesudah bak, kadang –
kadang mual, makan hanya ½ porsi dihabiskan, kepala pusing, tidur sering
terbangun karena nyeri, pasien berharap operasinya segera dilakukan karena
pasien berharap penyakitnya atau tumornya segera diangkat. Riwayat
penyakit DM dan hipertensi tidak ada. Pasien berusaha untuk tetap
beraktivitas memenuhi kebutuhannya seperti mandi, buang air besar dan buang
air kecil ke kamar mandi, makan sendiri dan hanya dibantu sebagian oleh
keluarga. Pada tanggal 19 maret 2014 pasien menjalani operasi Total Cystectomi
+ ileal conduit.
Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan CT scan abdomen didapatkan hasil massa
di intravesika aspek kiri dengan tepi irreguler, bentuk relatif lobulated ukuran
±3,6 x 1,6cm, tak tampak kalsifikasi cendrung gambaran transisional cel
carsinoma. Hasil pemeriksaan patologi anatomi kesannya karsinoma sel
transisional solid dan papiler grade I – II.
Medical problem and plan : Kanker kandung kemih/ Tumor buli T3N0M1 pro
operasi radikal cystectomi + ileal conduit. Pada yanggal 17 maret 2014 dilakukan
operasi total cystectomi dengan mempersevasi ureter dektra dan sinistra, reseksi
ileum sebagai conduit sepanjang 20cm, dilakukan anastomosis ileal – ileal end to
end, serta dilakukan implantasi ureter kanan dan kiri pada ileal conduit ileum
dibuat sebagai stoma pada asenden kanan bawah. Obat – obatan yang
didapatkan setelah operasi infus RL : D5% 2000cc/24jam, ceftriaxone 2 x 1gr,
ketorolac 3 x 30mg, transamin 3 x 500mg, vit K 3 x 10mg, vit C 1 x 400mg,
ranitidin
NGT2 x dan
1amp, terpasang
dialirkan.

b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang ditemukan berdasarkan Self Care defisit dan
perencanaan yang dibuat sesuai dengan tingkat ketergantungan pasien
didapatkan diagnosa keperawatan pada Ny MS sebagai berikut (Nanda,
2014; Smeltzer & Bare, 2002) :
1. Nyeri akut berhubungan dengan penekanan/ kerusakan jaringan syaraf
akibat pembesaran sel kanker kandung kemih
2. Ansietas berhubungan dengan kondisi penyakit, perubahan fungsi
peran, prosedur pembedahan dan perawatan pasca operasi
3. Defisit volume cairan berhubungan dengan post pengeluaran/
kehilangan volume cairan akibat pembedahan
4. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak
adekuat
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan diversi urinarius
Resiko disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur dan
fisiologis

c. Tujuan

Tujuan dari asuhan keperawatan pada pasien kanker kandung kemih yang
terpasang ileal conduit, merupakan tujuan akhir yang dicapai individu (Ny MS)
dalam memenuhi kebutuhan perawatan dirinya setelah permanen terpasang
kantong urostomy seumur hidupnya. Asuhan keperawatan ditujukan pada
pasien Ny MS terutama dalam mempertahankan kebutuhannya terhadap
pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit. (Tabel
3.1).

d. Intervensi keperawatan

Intervensi keperawatan yang diberikan pada Ny MS tergantung dari Self Care


demand, pola asuhan keperawatan yang diberikan berdasarkan wholly
compensatory (bantuan sepenuhnya), partially compensatory (bantuan
sebagian) atau support – educative nursing system (dorongan atau
pendidikan). Intervensi keperawatan yang diberikan sesuai dengan diagnosa
keperawatan yang ditegakkan (Tabel 3.1).

e. Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan berdasarkan kemampuan pasien dalam
mempertahankan kebutuhan perawatan dirinya, kemampuan dalam
mengatasi kekurangan perawatan dirinya serta seberapa besar
kemampuannya kemandirian dan kemampuan keluarga dalam memberikan
bantuan dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri pasien bila pasien tidak
mampu memenuhinya sendiri (Tabel 3.1)
f. Rencana Asuhan Keperawatan
Tabel 3.1
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
Kebutuhan Perawatan Diri
Univesal
Data Subjektif Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri Setelah dilakukan tindakan
Pasien mengatakan dengan penekanan/ keperawatan selama 7 x 24 Mengkaji nyeri : keperawatan selama 7 x 24
nyeri di daerah supra kerusakan jaringan jam pasien dapat mengontol karakteristik, kualitas, jam pasien dapat
pubik syaraf akibat nyeri frekuensi intensitas dan mengontol nyeri
Pasien mengatakan pembesaran sel kanker faktor penyebab S:
kandung kemih Tujuan : timbulnya nyeri Nyeri daerah
nyeri bila ditekan
Nyeri hilang atau berkurang supra pubik
Pasien mengatakan Mencatat adanya
perubahan nyeri hilang/ berkurang
kalau bak sering Indikator :
berdiri, bila jongkok Mengobservasi Pasien dapat
Nyeri daerah tidur dan
atau duduk nyeri terasa ekspresi serta non
supra pubik beristirahat
lebih verbal pasien terhadap
hilang/ berkurang dengan tenang
Pasien mengatakan timbulnya nyeri
Pasien dapat Kebutuhan istirahat
nyeri bila pasien Membantu kebutuhan
tidur dan dan tidur terpenuhi
berubah – rubah posisi perawatan diri pasien
beristirahat Skala nyeri 3 – 5
saat di tempat tidur dalam memenuhi
dengan tenang Tanda – tanda vital
Pasien mengatakan kebutuhannya seperti
Kebutuhan istirahat kebersihan diri, dalam batas normal
tidak bisa tidur karena
dan tidur terpenuhi eliminasi, nutrisi dan Ekspresi wajah
nyeri
Pasien mengatakan Skala nyeri lain – lain lebih tenang
berkurang
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
nyeri datangnya tiba – Tanda – tanda vital Menjelaskan nyeri yang O:
tiba dalam batas normal dirasakan pasien Skala nyeri 7 – 8
Ekspresi wajah tidak Mengajarkan teknik Terlihat memegang
Data Objektif terlihat meringis relaksasi dan distraksi daerah supra pubik
Skala nyeri 7 – 8 Memberitahukan saat berjalan
Terlihat memegang Tingkat kemandirian pasien Wajah meringis
pada petugas
daerah supra pubik saat : partially compensatory kesakitan
kesehatan ataupun
berjalan medis tentang keluhan Tekanan darah
Wajah meringis nyeri pasien 100/60mmHg
kesakitan Memberikan terapi Nadi 68 kali/menit
Tekanan darah tramadol 100mg A:
100/60mmHg (tindakan kolaborasi) Masalah teratasi sebagian,
Nadi 68 kali/menit peroral pasien mampu mengontorl
nyeri, bantuan dalam
perawatan diri sendiri
membutuhkan dukungan
dan harapan saja
(supportif
– educative sistem). Pasien
menjalani operasi
pengangkatan kandung
kemih tanggal 19 maret
2014
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
P:
Post operasi pasien
dirawat di ruang ICU

Kebutuhan Pengembangan
Perawatan Diri
Data subjektif Ansietas berhubungan Setelah dilakukan tindakan Manajemen cemas Setelah dilakukan tindakan
Pasien mengatakan dengan kondisi keperawatan 7 x 24 jam Mengkaji verbal keperawatan 7 x 24 jam
kapan operasinya penyakit, perubahan cemas berkurang dan non verbal cemas berkurang
dilakukan fungsi peran pasien terhadap S:
Tujuan : cemas Pasien mengatakan
Pasien
Cemas hilang/ berkurang sudah bisa tidur
menanyakan Mengidentifikasi
bagaimana nanti pengetahuan pasien Pasien berharap
Indikator :
setelah operasi terhadap prosedur dengan
perannya sebagai Tidak ada gangguan pembedahan dilakukannya
seorang istri apakah tidur Mengkaji religi pasien operasi sumber
tidak terganggu Tidak ada Mengidentifikasi level penyakitnya akan
Pasien mengatakan perubahan pola cemas pasien hilang
hanya tahu bahwa makan Menjelaskan pada Pasien mengerti
kandung kemihnya Tidak terdapat pasien prosedur operasi akan dialami
akan diangkat peningkatan tekanan dan setelah operasi setelah operasi
Pasien mengatakan darah, nadi dan Menjelaskan pada Pasien mengerti
tidak nafsu makan pernafasan pasien bahwa perannya akan penundaan
Pasien mengatakan Tidak ada sebagai istri masih tetap jadwal operasinya
sering terbangun pernyataan – bisa dijalankan setelah
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
Pasien menanyakan pernyataan cemas operasi Pasien mengatakan
apakah sholatnya sah Pasien mengerti dan Menjelaskan pada siap untuk
dengan kantong yang memahami prosedur pasien bahwa sholatnya dilakukan operasi
terpasang ditubuhnya operasi sah bila tidak terdapat O:
Data objektif kebocoran pada kantong Tidak terdapat
Pasien memahami
Pasien bertanya jadwal penundaan penampungan urin peningkatan
tentang prosedur operasinya Menjelaskan pada tekanan darah, nadi
operasi Pasien mengerti pasien bahwa sah dan dan pernafasan
Pasien menanyakan tentang perannya tidak sahnya sholat itu (TD 110/60, nadi
kapan jadwal pasti sebagai istri setelah keputusan Allah SWT, 68 kali/mnt, RR 16
operasinya operasi yang terpenting kali/menit
Pasien menyakan menjaga kebocoran Pasien terlihat
apakah masih bisa Tingkat kemandirian pasien kantong urin. lebih tenang
pasien menjalankan : Mengidentifikasi Pasien tidak lagi
fungsinya sebagai istri partially compensatory keputusan pasien bertanya – tanya
tentang pengangkatan tentang perannya
kandung kemih tersebut sebagai istri
sudah dibicarakan
dengan suami A:
Membina hubungan Masalah teratasi, pasien
saling percaya menjalani operasi tanggal
Membantu pasien 19 maret 2014, bantuan
mendeskripsikan dalam perawatan diri
perasaannya sendiri membutuhkan
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
Memberi pujian pada dukungan dan harapan saja
pasien terhadap perilaku (supportif – educative
yang sesuai sistem).
Memberikan dukungan
pada pasien tetap sabar P:
dan ikhlas Post operasi pasien
Mendengarkan dirawat di ruang ICU
keluhan pasien
Berusaha hadir
menemani pasien dalam
meningkatkan
kenyamanannya dalam
menurunkan rasa cemas
Menyediakan waktu
untuk berdiskusi dengan
pasien dan keluarga
Menjelaskan setiap
tindakan yang akan
dilakukan
Menjelaskan
keuntungan dari teknik
relaksasi (nafas dalam,
berdoa, sholat dan
teknik PMR
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
Kebutuhan Perawatan Diri
Universal Defisit volume cairan Setelah dilakukan tindakan Manajemen cairan Setelah dilakukan tindakan
Data subjektif berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 Pertahankan catatan keperawatan selama 3 x 24
Pasien mengeluh lemas post pengeluaran/ jam 46 volume cairan intake dan output yang jam defisit volume cairan
Pasien mengeluh kehilangan volume teratasi akurat teratasi
pusing cairan akibat Monitor status hidrasi (
pembedahan Tujuan : S:
kelembaban 46erobic46
Data objektif Defisit volume cairan dapat Tidak mengeluh
mukosa, nadi adekuat,
Pasien post operasi diatasi lemas
tekanan darah
hari ke 5 Monitor hasil lab yang Tidak mengeluh
Ureum 143 mg/dl Indikator : pusing
sesuai dengan retensi
Kreatinin 1,9 mg/dl Tekanan darah, nadi,
cairan (BUN , Ht ,
TD 120/70mmHg suhu tubuh dalam O:
osmolalitas urin,
Nadi 80 kali/menit batas normal Ureum 49 mg/dl
albumin, total protein )
RR 18 kali/menit Tidak ada tanda Monitor vital sign setiap Kreatinin 1,4 mg/dl
GDS 205 mg/dl tanda dehidrasi, 15menit – 1jam TD 110/70 mmHg
Natrium 126 mmol/l Elastisitas turgor Nadi 73 kali/menit
kulit baik, Kolaborasi pemberian
Kalium 4,59 mmol/l cairan IV
Klorida 98 mmol/l 46erobic46 mukosa A:
lembab, tidak ada Monitor status nutrisi Masalah defisit volume
Osmolaritas cairan Berikan cairan oral
314,5 (275 – 299 rasa haus yang cairan teratasi
berlebihan Berikan penggantian
mOsm/L) nasogatrik sesuai output
Orientasi terhadap P:
(50 – 100cc/jam) Intervensi dihentikan
waktu dan tempat
Kolaborasi dokter jika
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
baik tanda cairan berlebih pasien pulang tanggal 2
Jumlah dan muncul meburuk April 2014
irama pernapasan Atur kemungkinan
dalam batas tranfusi
normal Persiapan untuk tranfusi
Elektrolit, Hb, Hmt Monitor intake dan urin
dalam batas normal output setiap 8 jam
pH urin dalam batas
normal
Intake oral dan
intavena adekuat
Kebutuhan Perawatan Yang
Menyimpang
Data subjektif : Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Mengkaji daerah Setelah dilakukan tindakan
Pasien mengatakan berhubungan dengan keperawatan selama 7 x 24 sekitar stoma dari tanda keperawatan selama 7 x 24
nafsu makan berkurang pertahanan tubuh primer jam resiko infeksi dapat infeksi, kerusakan jam resiko infeksi dapat
Badan terasa lemas yang tidak adekuat diminimalkan dan tidak integritas kulit diminimalkan dan tidak
Stoma kadang – terjadi Mengkaji kemampuan terjadi
kadang terasa nyeri pasien dalam
bila banyak bergerak Tujuan : S:
melakukan aktivitas
Resiko infeksi dapat sehari – hari Pasien mengatakan
Data objektif : dikontrol nyeri daerah stoma
Mengkaji persiapan
Porsi makan ½ - sudah lebih jauh
Indikator : pasien untuk rencana
¾ habis berkurang
pulang
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
Terpasang urostomy di Tidak menunjukkan Mengidentifikasi Pasien mengatakan
abdomen kanan bawah tanda – tanda infeksi kebutuhan terhadap sudah mengerti
Terpasang drain di Pasien menunjukkan perawatan stoma dan dengan cara merawat
abdomen kiri bawah perilaku positif penggantian kantong kantong urinnya
Luka terhadap urostomy, pengaturan Pasien mengatakan
laparatomi perlindungan cairan dan nutrisi serta secara bertahap bila
sepanjang 12cm terhadap infeksi melakukan kontrol kondisi sudah pulih
rutin akan mencoba
Pengeluaran cairan Pasien menunjukkan
minimal perilaku dalam Mengosongkan melakukan perawatan
meningkatkan intake kantong urostomy kantong sendiri
Riwayat kemoterapi
cairan, nutrisi, sesuai kebutuhan Pasien mengatakan
8 kali pasien
istirahat dan tidur untuk sementara ini
Ureum 143mg/dl
Luka operasi dan Melakukan perawatan pasien minta anaknya
(24/3)
stoma tidak kulit pada daerah yang perawat
Kreatinin 1,9 mg/dl sekitar pemasangan
menunjukkan tanda melakukan perawatan
Lekosit 13.000 urostomy stomanya
– tanda infeksi
Hb 10,1
Pasien mampu Mengajarkan pasien
dan keluarga dalam O:
melakukan
perawatan diri merawat stoma Keadaan
Menjaga kepatenan umum pasien
urostomy supaya tidak baik
bocor Pasien sudah
Mengajarkan pasien mobilisasi jalan
pentingnya mencuci Stoma terlihat
merah muda, tidak
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
tangan dalam kering,
mencegah terjadinya pengeluaran urin
infeksi baik, kulit sekitar
Mengajarkan pasien pemasangan
tentang pengobatan urostomy tidak
yang diberikan untuk menunjukkan tanda
mencegah terjadinya – tanda infeksi
infeksi Luka
Mengajarkan pasien laparatomi
tentang manfaat nutrisi, tidak terlihat tanda
cairan dalam – tanda infeksi
mencegah terjadinya Out put
infeksi 2500cc/24jam
Menjelaskan kepada Intake 1000 –
pasien pentingnya 1800cc/24 jam
kontrol rutin dalam Nafsu makan baik
mempertahankan dan Porsi makan habis
meningkatkan Terlihat lebih
kesehatan pasien bersemangat

A:
Masalah resiko infeksi
dapat teratasi
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
P:
Intervensi dihentikan
pasien pulang tanggal 2
April 2014.

Kebutuhan Perawatan Yang


Menyimpang
Data subjektif : Gangguan citra tubuh Setelah dilakukan tindakan Manajemen citra tubuh Setelah dilakukan tindakan
Pasien mengatakan berhubungan dengan keperawatan 7 x 24 jam Diskusikan dengan keperawatan 7 x 24 jam
bagaimana dengan diversi urinarius harga diri pasien meningkat pasien tentang harga diri pasien
aktivitasnya setelah perubahan dirinya meningkat
terpasang kantong urin Tujuan :
Membantu klien dalam
seumur hidupnya Meningkatkan harga diri S:
memutuskan tingkat
pasien Pasien mengatakan
Pasien mengatakan actual perubahan dalam
pasti bau pesing kalau tubuh atau level fungsi sudah paham dengan
Indikator keadaannya dan
ada kantong di tubuh
tubuhnya Pasien dapat tentang aktivitas yang
Memonitor frekuensi
menerima akan dilakukannya
Pasien mengatakan pernyataan pasien
keadaannya Pasien mengatakan
dia malu dengan Memberikan
teman – temannya di Pasien tidak lagi pasrah dengan
dukungan dan suport
majelis taklim merasa rendah diri penyakitnya ini dan
mental serta spiritual
Pasien tetap bersabar
Pasien mengatakan pada pasien.
seperti apa nanti kata mengungkapkan Melibatkan
teman – teman dan penerimaannya
keluarga untuk
memberikan
dukungan sacara mental
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
lingkungannya dengan terhadap dan spiritual pada O:
keadaannya sekarang pemasangan stoma pasien Terlihat lebih
ini dan aplikator bersemangat
Pasien Tidak lagi bertanya
Data objektif : memperlihatkan tentang kantong yang
Terlihat adanya kemandiriannya terpasang di tubuhnya
ostomi di abdomen dalam perawatan diri
kanan bawah A:
Pasien terlihat sering Masalah teratasi namun
murung tetap perlu support dari
Pasien sering bertanya keluarga dan
tentang perawatan lingkungannya
lubang conduitnya
P:
Pasien sering bertanya
Intervensi dihentikan,
tentang bagaimana
peran keluarga sangat
aktifitasnya nanti
diperlukan dalam
mendukung keadaan
pasien, pasien pulang
tanggal 2 April 2014
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
Kebutuhan Perawatan Yang
Menyimpang
Data subjektif Resiko disfungsi seksual Setelah dilakukan tindakan Mengkaji dan menggali Setelah dilakukan tindakan
Pasien menanyakan berhubungan dengan keperawatan 7 x 24 jam perasaan pasien keperawatan 7 x 24 jam
tentang bagaimana perubahan struktur dan pasien mengerti tentang terhadap pemasangan pasien mengerti tentang
hubungan seksualnya fisiologis perubahan masalah seksual ileal conduit dan perubahan masalah seksual
Data objektif kantong urin
Tujuan : Mendorong pasien S:
Terpasang konduit
Meningkatkan mekanisme Pasien memahami
dan ostomi di untuk mengungkapkan
koping yang tepat dalam perannya sebagai istri
abdomen sebelah perasaannya
menghadapi dan menerima
kanan Memfasilitasi pasien
perubahan fungsi urinarius O:
Bertanya tentang dan seksual dan pasangan untuk Pasien terlihat sering
berapa lama pasien saling mengungkapkan berdiskusi dengan
bisa melayani Indikator : perasaan pasangannya
suaminya setelah Menjelaskan pada
Pasien
operasi ini pasien bahwa pasien
mengekspresikan
perasaannya tidak sendiri dalam A:
terhadap masalah menghadapi Masalah belum dapat
seksual masalahnya dikatakan teratasi namun
Menjelaskan pada pasien dan pasangan sudah
Pasien dan pasangan
pasien bahwa tidak bisa saling menerima
mengerti dengan
permasalahan yang hanya pasien saja yang
mengalami masalah P:
dihadapi
yang dihadapi Intervensi dihentikan
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
Pasien dan pasangan Menjelaskan pada Perlu dukungan dari
terlihat mampu pasien dan keluarga pasangan dan keluarga
menerima perawatan conduit dan dalam mengatasi masalah
Pasien tidak terlihat cara mengganti kantong jangka panjang, pasien
sedih urin pulang tanggal 2 April
Memberi kesempatan 2014
Pasien tidak lagi
bertanya tentang hal pada pasien dan
yang sama keluarga untuk belajar
merawat conduitnya
Memberikan penguatan
positif terhadap
keberhasilan yang
dicapai oleh pasien
3.2 Pembahasan kasus Ny MS berdasarkan Teori Self Care Orem
Analisis kasus pada Ny. MS dilakukan dengan pendekatan teori perawatan diri
Orem. Tipe bantuan pertama yang disediakan perawat berfokus pada universal
self care requisites, development self care requisites, dan health deviation self
care requisites terhadap kesehatan. Analisis masalah pada pasien Ny. MS
berdasarkan universal self care requisites.

Universal Self Care Requisites

Universal Self Care requisites memperlihatkan delapan kebutuhan perawatan diri


yaitu dalam mempertahankan kebutuhan udara dan sirkulasi, cairan, nutrisi,
mempertahankan kebutuhan eliminasi, keseimbangan antara aktivitas dan
istirahat, keseimbangan interaksi sosial, mencegah dan menghadapi resiko yang
mengancam kehidupan serta mempertahankan fungsi kehidupan individu dalam
kelompok sosial. Pengkajian berdasarkan Universal Self Care requisites pada Ny
MD terdapat mesalah keperawatan yang muncul yaitu :

Nyeri akut berhubungan dengan penekanan/ kerusakan jaringan syaraf akibat


pembesaran sel kanker kandung kemih : nyeri yang dirasakan Ny MS bersifat
individual, nyeri merupakan pengalaman emosional bersifat subjektif yang tidak
menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan (Perry & Potter, 2006).
Perjalanan nyeri merupakan rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang
merefleksikan empat proses yaitu tranduksi, transmisi, modulasi dan persepsi
dimana stimulus yang kuat di perifer sampai dirasakan di susunan saraf pusat
(korteks serebri) tersebut. Nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh usia,
jenis kelamin, budaya, perhatian, pengalaman sebelumnya, koping serta
dukungan keluarga dan lingkungan. Proses tranduksi merupakan proses stimulis
noksius diubah ke impuls elektrikal ujung saraf, kemudian ditransmisikan melalui
serabut A – delta dan serabut C dari perider ke medula spinalis, lalu
dimodulasikan yang pada akhirnya menghasilkan proses subjektif sebagai
persepsi nyeri.

Pasien – pasien yang mengalami nyeri harus dilakukan penanganan yang baik
sehingga tidak menimbulkan dampak stres metabolik yang akan mempengaruhi
semua sistem tubuh sehingga memperberat kondisi pasien. Dampak yang
ditimbulkan akibat nyeri yang tidak ditangani secara optimal dapat berupa
gangguan fisiologis dan psikologis meliputi perubahan kognitif diantaranya
terjadinya kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan putus asa, perubahan
neurohomoral seperti hiperalgesia perifer, kepekaan peningkatan luka,
meningkatkan kepekaan nyeri, juga mengakibatkan peningkatan aktivasi
simpatoadrenal yang menyebabkan pelepasan renin, angiotensin sehingga terjadi
hipertensi dan takikardi. Sedangkan perubahan neuroendokrin menyebabkan
peningkatan kortisol, hiperglikemi dan katabolisme (Perry & Potter,
2006).

Ny MS mengalami nyeri akibat penekanan atau kerusakan jaringan syaraf karena


pembesaran sel kanker kandung kemih. Pengkajian nyeri yang dilakukan pada Ny
MS meliputi bagaimana pola, lokasi, kualitas, faktor – faktor yang menimbulkan
nyeri, perilaku pasien terhadap nyeri, apakah nyeri mempengaruhi aktivitas
pasien serta bagaimana koping yang digunakan pasien dalam mengatasi nyeri
yang dirasakannya (Berman et.al, 2009). Nyeri yang dirasakan pasien Ny MS dikaji
dengan menggunakan Visual Analog Scale (VAS) untuk mengetahui kualitas/
intensitas nyeri. Ny MS merasakan nyeri skala 7 – 8, sebelum dilakukan intervensi
keperawatan, untuk mengatasi nyerinya praktikan mengajarkan pasien
menggunakan teknik relaksasi nafas dalam, menganjurkan pasien untuk
meminimalkan pergerakan/ mobilisasi ke kamar mandi, menganjurkan pasien
untuk mencari posisi yang bisa membuat pasien nyaman serta memberikan
support dengan mengajak pasien bercerita tentang apa saja yang pasien suka.
Kehadiran praktikan dekat pasien sedikit membuat pasien lebih nyaman dan lupa
dengan nyeri yang dirasakannya. Terapi yang diberikan pada pasien untuk
mengatasi nyerinya berupa analgetik tramadol 3 x 100mg bila nyeri sudah tidak
bisa ditoleransi.

Penerapan sistem keperawatan berdasarkan teori perawatan diri Orem pada Ny


MS melihat kebutuhan perawatan dirinya, kondisi Ny MS termasuk kategori
sistem kompensasi sebagian, artinya pasien Ny MS memerluhan bantuan sebagian
untuk memenuhi kebutuhan perawatan dirinya dengan metode bantuan :
guidence, support, teaching and providing the developmental environment. Pasien
Ny MS memerlukan bantuan perawatan dirinya hanya sebagian, karena walaupun
pasien mengalami nyeri yang kategorinya sangat nyeri namun nyeri yang
ditimbulkan tidak terus menerus berlangsung, ada faktor – faktor yang
mendukung timbulnya nyeri seperti pergerakan/ mobilisasi pasien saat berjalan ke
kamar mandi atau tidur pasien bila tidur miring ke kanan atau ke kiri, bila pasien
tidur telentang nyeri yang dirasakan tidak terlalu hebat dirasakan.

Ansietas berhubungan dengan kondisi penyakit, perubahan fungsi peran :


Ansietas atau cemas merupakan ketidaknyamanan yang dirasakan seseorang
dimana seringkali sumbernya tidak diketahui. Seseorang akan mengekspresikan
perasaannya dengan menunjukkan kegelisahan dan insomnia (Battistella, 2012).
Tindakan operasi atau pembedahan merupakan pengalaman yang bisa
menimbulkan kecemasan. Kecemasan biasanya berhubungan dengan segala
macam prosedur asing yang harus dijalani pasien dan juga ancaman terhadap
keselamatan jiwa akibat prosedur pembedahan dan tindakan pembiusan.
Keperawatan pre operatif merupakan tahapan awal dari keperawatan perioperatif.
Kesuksesan tindakan pembedahan secara keseluruhan sangat bergantung pada
fase ini. Hal ini disebabkan fase ini merupakan awal yang menjadi landasan untuk
kesuksesan tahapan – tahapan berikutnya. Kesalahan yang dilakukan pada tahap
ini akan berakibat fatal pada tahap berikutnya. Pengakajian secara integral dari
fungsi pasien meliputi fungsi fisik biologis dan psikologis sangat diperlukan untuk
keberhasilan dan kesuksesan suatu operasi. Fase pre operatif dari peran
keperawatan dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir
ketika pasien dikirim ke ruang operasi. Tindakan operasi atau pembedahan
merupakan pengalaman yang sulit bagi hampir semua pasien. Berbagai
kemungkinan buruk bisa saja terjadi yang akan membahayakan bagi pasien.
(Smeltzer & Bare, 2002; Perry & Potter, 2006; Gruedemann, 2005).

Kecemasan dialami pasien dan keluarga biasanya terkait dengan segala macam
prosedur asing yang harus dijalani pasien dan juga ancaman terhadap keselamatan
jiwa akibat segala macam prosedur pembedahan dan tindakan pembiusan. Perawat
mempunyai peranan yang sangat penting dalam setiap tindakan pembedahan baik
pada masa sebelum, selama maupun setelah operasi. Intervensi keperawatan yang
tepat diperlukan untuk mempersiapkan klien baik secara fisik maupun psikis.
Dampak yang mungkin muncul bila kecemasan pasien pre operatif stidak segera
ditangani, yang pertama pasien dengan tingkat kecemasan tinggi tidak akan
mampu berkonsentrasi dan memahami kejadian selama perawatan dan prosedur.
Kedua, harapan pasien terhadap hasil, pasien mungkin sudah memiliki gambaran
tersendiri mengenai pemulihan setelah pembedahan. Ketiga pasien akan merasa
lebih nyaman dengan pembedahan jika pasien mengetahui momen yang dihadapi
pada saat hari pembedahan tiba. Keempat, pasien mungkin memerlukan
penjelasan mengenai nyeri yang akan di rasakan setelah operasi. Nyeri adalah
suatu fenomena pascaoperatif yang memperlambat pemulihan. Apabila pasien

mencapai harapan yang realistik terhadap nyeri dan mengetahui cara


mengatasinya, rasa cemas akan jauh berkurang. Oleh sebab itu perlu peran
perawat untuk mengevaluasi pemahaman pasien mengenai prosedur pre
operatif
(Asmadi, 2009).
Berdasarkan pengkajian yang dilakukan pada Ny MS pasien mengalami depresi
sedang yang disebabkan oleh ketidaktahuan pasien tentang prosedur operasi
yang akan dijalaninya serta penundaan operasi pasien yang tidak dipahami
olehnya. Pasien Ny MS hanya mengetahui kandung kemihnya akan diangkat, tapi
setelah itu pasien tidak mengetahui bagaimana proses selanjutnya dan
bagaimana perannya sebagai seorang istri. Untuk memenuhi kebutuhan
developmental Self Care requisites kategori bantuan yang diberikan sistem
kompensasi sebagian dengan metode bantuan guidance, support, teaching and
providing the developmental environment. Tindakan keperawatan yang diberikan
untuk mengatasi kecemasan pasien dengan membina kepercayaan pasien
sehingga pasien dan keluarga dapat mengungkapkan perasaan cemasnya secara
terbuka, menjelaskan kepada pasien tentang prosedur operasi dan setelah
untuk menjalani
operasi. Setelah operasi dan mengerti tentang perannya nanti sebagai seorang istri
seminggu
masih tetepmelakukan intervensi
bisa dijalankan, pasien
pasien mengatakan
mengatakan dia sudah
siap untuk tidak cemas lagi
dioperasi.

Defisit volume cairan berhubungan dengan post pengeluaran/ kehilangan


volume cairan akibat pembedahan : Kekurangan volume cairan terjadi ketika
air dan elektrolit hilang pada proporsi yang sama ketika mereka berada pada
cairan tubuh normal sehingga rasio elektrolit serum terhadap air tetap sama.
(Smeltzer & Bare, 2002). Seluruh cairan tubuh didistribusikan diantara dua
kompartemen utama, yaitu : cairan intraselular (CIS) dan cairan ekstra selular
(CES). Pada orang normal dengan berat 70 kg, Total cairan tubuh (TBF) rata-
ratanya sekitar 60% berat badan atau sekitar 42 L. persentase ini dapat berubah,
bergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas ( Guyton & Hall, 2008).
Bila cairan kurang dalam tubuh mengakibatkan peningkatan konsentrasi natrium
plasma yang juga menyebabkan peningkatan osmolaritas. Organ yang paling
berperan dalam mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh adalah
ginjal. Ginjal merupakan organ utama dalam membuang produk sisa metabolisme
yang tidak diperlukan dalam tubuh. Melihat hasil pengkajian Ny MS setelah operasi
pasien mengalami kekurangan volume cairan, hasil laboratorium ureum
143 mg/dl dan kreatinin 1,9mg/dl. Ureum dan kreatinin merupakan sampah
metabolisme yang toksik di dalam tubuh. Keberadaan urea di dalam darah yang
meningkat disebut uremia yang mengakibatkan efek toksik dan menimbulkan
gejala seperti mengantuk, cepat marah, mual, muntah sesak nafas, sakit kepala
dan kram otot. pada kasus yang ekstrim dapat menyebabkan kejang, koma bahkan
sampai menyebabkan kematian (Sayeed, 2004). Berdasarkan hasil ureum dan
kreatinin tersebut dapat disimpulkan bahwa Ny MS hanya mengalami kekurangan
volume cairan, belum terjadi kerusakan pada nefron – nefron di ginjal. Untuk
memenuhi kebutuhan developmental Self Care requisites kategori bantuan yang
diberikan sistem keperawatan kompensasi sebagian dengan metode bantuan
guidance, support, teaching and providing the developmental environment.
Tindakan keperawatan yang diberikan untuk mengatasi kekurangan volume cairan
meliputi mempertahankan catatan intake dan output yang akurat, monitor status
hidrasi ( kelembaban mukosa, nadi adekuat, tekanan darah), monitor hasil lab yang
sesuai dengan retensi cairan (BUN , Ht , osmolalitas urin, albumin, total protein ),
monitor vital sign
IV, Monitor setiap
status 15menit
nutrisi, – 1jam,
berikan kolaborasi
cairan pemberian
oral, berikan cairan nasogatrik
penggantian
sesuai output (50 – 100cc/jam), kolaborasi dokter jika tanda cairan kurang muncul
memburuk, monitor intake dan urin output setiap 8 jam

Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak


adekuat : infeksi merupakan proses invasi mikroorganisme dan pertumbuhan
organisme patogenik yang berproliferasi dalam tubuh (Perry & Potter, 2006;
Smeltzer & Bare, 2002). Respon selular tubuh terhadap cedera atau infeksi adalah
inflamasi. Inflamasi merupakan reaksi protektif vascular dengan menghancurkan
cairan, produk darah dan nutrient ke jaringan intertisial ke daerah cedera. Proses
ini berguna untuk menetralisasi dan mengeliminasi pathogen atau jaringan mati
(nekrotik) dan memulai cara-cara perbaikan sel dan jaringan tubuh. Tanda-tanda
infeksi adalah bengkak, kemerahan, panas, nyeri atau nyeri tekan dan hilangnya
fungsi pada bagian yang terinflamasi. Jika inflamasi menjadi sistemik maka
muncul tanda dan gejala lain seperti demam, leukositas, malaise, anoreksia, mual,
muntah dan pembesaran kelenjar limfe. Respon inflamasi dapat dicetuskan oleh
agen fisik, kimiawi, atau mikroorganisme.

Hasil pengkajian pada Ny MS setelah dilakukan operasi, dari hasil pemeriksaan


laboratorium didapatkan hasil ureum mengalami peningkatan yaitu 143 mg/dl
dan kreatinin 1,9 mg/dl. Infeksi pada pasien dengan uremia disebabkan karena
faktor ketahanan tubuh yang menurun akibat meningkatnya kadar ureum dalam
darah yang bersifat toksik, adanya metabolisme yang tidak normal mencakup
metabolisme protein dan defisiensi vitamin akibat penurunan fagositosis leukosit
polimorfonuklear (PMN) dan monosit. Penurunan respun imun pada uremia juga
disebabkan penekanan cell mediated immunity yang disebabkan oleh
memendeknya umur lomfosit, limfopenia, hambatan pada transformasi limfosit
dan penekanan aktivasi limfosit T (Rubin et al, 1990 dalam Pusparini, 2000).
Melihat hasil ureum pada Ny MS tersebut pasien rentan untuk terkena infeksi
didukung dengan riwayat kanker kandung kemih yang sudah mendapatkan terapi
kemoterapi sebanyak 8 kali, serta pasien post operasi besar dan terpasang ileal
conduit permanen di abdomen kanan bawah, hal ini tentu semakin menekan
imunitas pasien sehingga rentan terkena infesi. Untuk memenuhi
kategori bantuan yang diberikan adalah sistem keperawatan kompensasi sebagian
kebutuhan
perawata diri pada
dengan metode bantuanpencegahan terhadap teaching
guidace, support, resiko and
yang providing
mengancam the
kehidupan,
development environment. Intervensi yang diberikan meliputi mengkaji daerah
sekitar stoma dari tanda infeksi, kerusakan integritas kulit, mengkaji kemampuan
pasien dalam melakukan aktivitas sehari – hari, mengkaji persiapan pasien untuk
rencana pulang, mengidentifikasi kebutuhan terhadap perawatan stoma dan
penggantian kantong urostomy, pengaturan cairan dan nutrisi serta melakukan
kontrol rutin, mengosongkan kantong urostomy sesuai kebutuhan pasien,
melakukan perawatan kulit pada daerah sekitar pemasangan urostomy,
mengajarkan pasien dan keluarga dalam merawat stoma, menjaga kepatenan
urostomy supaya tidak bocor, mengajarkan pasien pentingnya mencuci tangan
dalam mencegah terjadinya infeksi, mengajarkan pasien tentang pengobatan yang
diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi, mengajarkan pasien tentang manfaat
nutrisi, cairan dalam mencegah terjadinya infeksi, menjelaskan kepada pasien
pentingnya kontrol rutin dalam mempertahankan dan meningkatkan kesehatan
pasien.

3.3 Praktek Berdasarkan Pembuktian “ Latihan Fisik Saat Hemodialisis


Meningkatkan Adekuasi Pada Pasien Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA)
Bagian ini menguraikan tentang pengalaman praktikan selama menjalani praktek
residensi di RSUP Fatmawati. Praktikan melakukan praktek keperawatan mandiri
berdasarkan fakta tentang latihan fisik saat hemodialisis meningatkan adekuasi
pada pasien penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) yang menjalani hemodialisis di
unit hemodialisis RSUP Fatmawati Jakarta.

Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk membantu


mengeluarkan cairan dan sisa metabolisme yang merupakan sampah metabolik
ketika ginjal gagal menjalankan fungsinya dengan mengalirkan aliran darah yang
penuh dengan racun dan limbah nitrogen dari tubuh pasien ke dialiser kemudian
dibersihkan dan dikembalikan lagi ke tubuh pasien (Smeltzer & Bare, 2001; Black
& Hawks, 2009). Jumlah pasien penyakit ginjal terminal yang menjalani
hemodialisis semakin meningkat di seluruh dunia. Tahun 2001 terdapat 1,1
juta
akhir tahun 2008 terdapat sekitar 2,3 juta pasien penyakit ginjal terminal dengan
orang menjalani hemodialisis kronik, dengan laju pertumbuhan 7% pertahun.
1,77
Pada juta orang dari 145 negara menjalani hemodialisis. Di Indonesia berdasarkan
data dari pusat hemodialisis diberbagai rumah sakit pada tahun 2012 didapatkan
data 30,7 per juta penduduk memerlukan hemodialisis dengan prevalensi rata-rata
23,4 per juta penduduk (Suhardjono, 2013).

Menurut Ikizler & Schulman (2005) hemodialisis merupakan terapi pengganti


ginjal yang digunakan lebih dari 300.000 pasien di Amerika. Berdasarkan data
USRDS tahun 2004 angka kejadian PGTA setiap tahunnya terus meningkat, di
Amerika Serikat pasien yang membutuhkan hemodialisis lebih dari 320.000
(Mokhlough, Ilali & Mohseni, 2012). Laporan Indonesian Renal Registery (IRR)
(2011) dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 pasien yang membutuhkan
tindakan hemodialisis mengalami peningkatan, pada tahun 2007 terdapat 140.972
tindakan dan tahun 2010 menjadi 348.469 tindakan hemodialisis. Pada tahun 2011
di Indonesia terdapat 15.353 pasien yang baru menjalani hemodialisis dan pada
tahun 2012 terjadi peningkatan pasien yang menjalani hemodialisis sebanyak
4.268 orang sehingga secara keseluruhan terdapat 19.621 pasien yang baru
menjalanai hemodialisis (IRR, 2013).

Penelitian Zyga & Sarafis (2009) menunjukkan bahwa angka mordibitas dan
mortalitas dapat diturunkan dengan hemodialisis yang adekuat sehingga harapan
hidup dan kualitas hidup pasien PGTA yang menjalani hemodialisis menjadi
meningkat. Di Amerika Serikat pasien memiliki adekuasi yang tidak adekuat
sekitar 22 – 24% yang menyebabkan peningkatan angka mortalitas sebesar 21%
(Maoujoud, Bahadi, Zajjari & Ahid, 2011). Adekuasi hemodialisis merupakan
angka kecukupan hemodialisis untuk menentukan dosis yang direkomendasikan
dalam menilai keefektifan dari tindakan hemodialisis pada pasien PGTA. Urea
Reduction Ratio (URR) merupakan nilai yang dihitung secara kuantitatif untuk
menilai adekuasi hemodialisi atau menilai perhitungan terhadap nilai Kt/V
(Bennet, 2012). Kt/ V sendiri merupakan indikator penting dalam menilai
adekuasi dan merupakan rasio bersihan ureum selama prosedur tindakan
hemodialisis (NKF, 2006; Daugirdas et.al, 2007). Tercukupinya nilai adekuasi
hemodialisis yang optimal akan memberikan manfaat terhadap
dan mortalitas serta meningkatkan harapan hidup pasien dengan PGTA (NKF –
kelangsungan
hidup pasien
K/DOQI, PGTA,
2006; meningkatkan
Daugirdas produktifitas,
et.al, 2007). mengurangi
Banyak faktor angka mordibitas
yang mempengaruhi nilai
adekuasi diantaranya jenis kelamin, lamanya waktu dan frekuensi hemodialisis,
quick of blood, quick of dialysate, clearance of dialyzer dan tipe dari akses
vaskuler (Pernefri, 2003; Daugirdas et.al, 2007). Nilai Kt/V dihitung dari bersihan
urea nitrogen yang diambil dari sampel darah sebelum dan sesudah hemodialisis
untuk melihat adekuasi hemodialisis. Pengeluaran ureum atau urea nitrogen dapat
ditingkatkan dengan melakukan latihan fisik saat hemodialisis berlangsung.
Banyak penelitian yang menyatakan bahwa latihan fisik saat hemodialisis
bermanfaat untuk meningkatkan kerja jantung, pernafasan, menurunkan glukosa
dan meningkatkan pengaturan pengeluaran hemodialisis menjadi lebih baik (Koh,
2009).

Latihan saat hemodialisis merupakan hal yang penting dilakukan pada pasien
yang menjalani hemodialisis untuk meningkatkan fungsi fisik pasien PGTA
(Smart & Steele, 2011). Penelitian oleh Kong, Tattersal, Greenwood dan

Farrington (1999) mengatakan bahwa latihan fisik selama menjalani hemodialisis


meningkatkan pengeluaran ureum sehingga adekuasi hemodialisis menunjukkan
peningkatan yang cukup signifikan. Hal senada juga disampaikan dalam
penelitian Parson, Toffelmire dan King – Vanvlack (2004) bahwa latihan fisik
selama menjalani hemodialisis mampu meningkatkan pengeluaran ureum
dan
hemodialisispun semakinmeningkat.Namunkegiatanlatihanfisiksaat
kreatinin yang merupakan sampah metabolisme sehingga adekuasi
hemodialisis ini belum menghasilkan peningkatan program latihan yang

berkelanjutan bagi orang – orang yang menjalani hemodialis. Hambatan yang


sering sering dilaporkan untuk keberlanjutan program latihan ini adalah waktu,
keterbatasan fisik dan motivasi pasien (Delgado & Johansen, 2011; Goodman &
Ballou, 2004).

Selama praktikan melaksanakan praktek residensi di ruang hemodialisis RSUP


Fatmawati kegiatan pasien selama menjalani hemodialisis hanya tidur – tiduran,
menonton televisi atau ngobrol dengan sesama pasien. Berdasarkan hasil
wawancara dengan beberapa perawat ruangan dan kepala ruang
hemodialisis
menjalani hemodialisis
sebelumnya juga sudahyaitu mengayuh
ada latihan fisiksepeda
pernahstatis. Namun
diberikan kegiatan
kepada itu tidak
pasien yang
berlangsung lama karena salah satu faktor yang menyebabkan tidak
dilanjutkannya kegiatan tersebut karena tempat meletakkan sepeda tersebut tidak
representatif dengan sarana yang ada di ruang hemodialisis. Untuk itu praktikan
mencoba mencari latihan fisik yang sesuai dengan situasi dan kondisi di ruang
hemodialisis berdasarkan penelitian – penelitian yang sudah dilakukan.
Praktek keperawatan berdasarkan pembuktian (Evidence Based Nursing Practice)
dilakukan dengan memulainya dari penelusuran literature melalui EBSCO data
bases, CINAHL, Proquest, dan MEDLINE. Kata kunci yang digunakan yaitu:
“exersice, haemodialysis, dan adequasi”. Banyak penelitian yang mendukung
EBNP yang akan penulis lakukan pada pasien yang sedang menjalani
hemodialisis di RSUP Fatmawati, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh
Mohseni et.al (2013).

Penelitian yang dilakukan Mohseni et.al (2013) salah satu bentuk terapi
keperawatan yang dapat dilakukan di rumah sakit dalam memberikan asuhan
keperawatan untuk mengoptimalkan kesehatan pasien yang menjalani
hemodialisis seumur hidupnya. Problem (P) : masalah yang ditunjukkan pada
penelitiannya dalam pengelolaan pasien yang menjalani perawatan hemodialisis
adalah penilaian kecukupan dialisis. Blood Urea Nitrogen (BUN) yang rendah
menunjukkan kecukupan nutrisi yang tidak memadai, hal ini akan mempengaruhi
kecukupan pengeluaran urea saat hemodialisis. Intervensi (I) : latihan yang
dilakukan berupa latihan aerobic selama 8 minggu dengan durasi 15 menit perkali
latihan. Latihan diberikan saat 2 jam pertama hemodialisis berjalan, latihan yang
dilakukan meliputi memutar pergelangan tangan, fleksi dan ekstensi pergelangan
tangan masing – masing 20 kali, memutar siku searah jarum jam, memutar
pergelangan kaki, memfleksi dan ekstensikan pergelangan kaki masing – masing
juga dilakukan 20 kali gerakan. Comparation (C) : dalam penelitian ini latihan yang
diberikan dibandingkan dengan resistance training dengan menggunakan beban
berupa barbel untuk menilai efektifitas dari kedua latihan ini dalam meningkatkan
adekuasi hemodialisis. Out put (O) : efektifitas latihan yang diberikan dalam
penelitian Mohseni et. pada
pertama pengukuran al (2013) meningkatkan
kelompok intervensiadekuasi di bulan
(p<0,005).

Berikut ini penulis paparkan jurnal – jurnal yang mendukung EBNP yang penulis
lakukan :
3.3.1 Hasil Jurnal Reading (Critical Review)
a. The Effect of Intradialytic Aerobic Exercise on Dialysis in Hemodialysis
Patients: A Randomized Controlled Trial. Peneliti : Rahelel Mohseni¹, Amir
Emami Zeydi², Ehteramosadat Ilali³, Mohsen Adib-Hajbaghery4, Atieh
Makhlough5 (2013).
Sebuah penelitian Randomized Controlled Trial dengan populasi adalah
seluruh pasien yang menjalani hemodialisis di RS Imam Khomeini Iran
sebanyak 50 orang dengan kriteria inklusi berumur 18 – 76 tahun, menjalani
hemodialisis lebih dari 3 bulan, dengan frekwensi 3 kali seminggu dalam
waktu 3 – 4 jam perdialisisnya, dan sudah mendapatkan ijin dari dokternya
untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian. Sedangkan kriteria ekslusinya

meliputi terjadi pembekuan darah pada dializernya, sedang tidak mengikuti


exercise program, hemodinamiknya tidak stabil sebelum dan sesudah
exercise, mempunyai riwayat angina pectoris dalam 3 bulan terakhir dan
mempunyai banyak kontraindikasi berdasarkan catatan medis pasien.
Sampel pada penelitian ini diambil secara acak dibuatkan daftar nomor
pasiennya dengan menetapkan bahwa nomor ganjil ditetapka sebagai
kelompok kontrol dan nomor genap sebagai kelompok intervensi. Sehingga
mereka tidak
mengetahui pada kelompok mana mereka berada.
Intervensi yang diberikan selama 2 bulan, gerakan aerobic dilakukan selama
15 menit/ hari, 3 kali seminggu saat hemodialisis berjalan pada kelompok
intervensi. Sebelum intervensi diberikan, diberikan penjelasan yang cukup
tentang latihan yang diberikan kemudian dipraktekkan 2 – 3 kali. Pasien di
kelompok intervensi juga menerima penjelasan dari latihan yang diberikan.
Uji statistik pada penelitian ini untuk membandingkan karakteristik pada
kedua kelompok digunakan Chi-square. Untuk menganalisis data digunakan
SPSS 16 untuk melihat nilai mean, SD dari umur, jenis kelamin, lama
menjalani hemodialisis, nilai Kt/v, durasi hemodialisis, co-morbidities.
Sedangkan untuk membandingkan nilai bersihan serum urea (URR) dan Kt/v
pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi digunakan uji ANOVA,
kemudian tingkat kemaknaannya menggunakan nilai p<0,05.

Melihat uji statistik yang digunakan pada penelitian ini, sudah sesuai dengan
kaidah sebuah penelitian. Sehingga latihan yang dilakukan pada penelitian ini
bermakna secara statistik dan secara klinis. Hasil penelitian ini menunjukkan
adekuasi hemodialisis mengalami peningkatan di akhir bulan pertama
pengukuran dan tetap meningkat pada akhir program pada kelompok
intervensi. Untuk nilai Kt/V dari 0,9 meningkat menjadi 1,3 dengan mean 0,6
diakhir bulan pertama pengukuran dan 1,2 dengan Mean 0,4 (p<0,001)
diakhir bulan kedua. Sedangkan untuk nilai URRnya dari 0,4 meningkat
menjadi 0,6 dengan Mean 0,2 diakhir bulan pertama dan kedua pengukuran
(p<0,003).

b. Exercise Training During Hemodialysis Improves Dialysis Efficacy and

Physical Performance. Peneliti Trisha L. Parsons, PhD, Edwin B. Toffelmire,


MD, Cheryl E. King VanVlack, (The American Congress of Rehabilitation
Medicine and the American Academy of Physical Medicine and
Rehabilitation) (2006).
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan efektifitas hemodialisis dan
meningkatkan fungsi fisik pada pasien yang menjalani hemodialisis dengan
memberikan terapi tambahan yaitu program latihan intensitas rendah saat
pasien menjalani hemodialisis. Metoda yang diberikan pada penelitian ini
adalah One-group repeated measures. Program latihan saat hemodialisis
diberikan selama 20 minggu dimana subjek diberikan program latihan 3 kali
seminggu sesuai dengan jadwal mereka tiga kali seminggu (ergometer siklus ,
mini stepper) selama 30 menit dalam setiap 2 jam pertama hemodialisis , kelompok
penelitian ini diberikan latihan di bawah pengawasan. Sebanyak 13 orang
pasien yang menjalani hemodialisis dengan kondisi yang stabil serta
menjalani hemodialisis selama minimal 6 bulan dengan kesehatan paru dan
65erobi muskulosketelal yang baik untuk olahraga.
Hasil yang dinilai adalah efikasi hemodialisis (Kt/V) dinilai sebelum dan
pada akhir setiap bulan dari program latihan dan fungsi fisik dan kualitas
hidup dinilai atau ditentukan pada awal dan pada minggu 10 dan 20 program
latihan. Kesimpulan hasil dari penelitian ini adalah Kt/V meningkat 11% pada
minggu ke – 4, ke – 16 dan minggu ke 20 (P<0,5) dan tetap meningkat untuk
durasi program (18% -19%). Pada Jarak berjalan di 6 menit meningkat
sebesar 14% pada kedua minggu 10 dan 20 (P<0,5). Sedangkan untuk
kualitas hidup tidak ditemukan perubahan yang dicatat dalam nilai KDQOL.
c. Exercise Training in Patients Receiving Maintenance Hemodialysis:A
Systematic Review of Clinical Trials. Penelitian oleh : Birinder Singh B.
Cheema (School of Exercise and Sport Science) and Maria A. Fiatarone
Singh (Faculty of Medicine, University of Sydney, Sydney , Australia;
Hebrew Rehabilitation Center for the Aged and Jean Mayer USDA Human
Nutrition Center on Aging, Tufts University, Boston, Mass., USA) (2005).
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris bahwa latihan fisik
dapat memperoleh adaptasi yang berhubungan dengan kesehatan di kelompok

pasien yang menjalani hemodialisis, dan memberikan rekomendasi untuk


melakukan penelitian di masa yang akan datang. Metode penelitian ini
adalah Meta analisis Uji coba terkontrol secara acak (RCT), uji coba
terkontrol dan dimasukkan percobaan yang tidak dikontrol atau
dikendalikan, Abstrak dan laporan kasus juga tidak dipertimbangkan.
Tinjauan literatur dilakukan pada bulan November 2004 dari tahun 1966-
2004, terbatas pada bahasa Inggris, menggunakan komputerisasi database,
termasuk Medline, CINAHL, Sport Discus, Embase, dan Web of Science.
Pencarian gabungan kata kunci yang terkait pengobatan HD (yaitu
hemodialisis, ginjal terapi penggantian), ESRD (yaitu nefrologi, nefron, ginjal,
ginjal penyakit, gagal ginjal) dan olahraga (yaitu latihan, latihan, fisik
kegiatan, rehabilitasi, pelatihan resistensi, pelatihan fisik, latihan kekuatan,
otot, daya tahan, VO2 peak). Artikel diambil
diperiksa untuk referensi yang relevan lebih lanjut.
Sampel pada penelitian ini pencarian yang menghasilkan 34 artikel
menyajikan dari 29 percobaan , termasuk percobaan terkontrol 9 (9/29,
31%), 7 percobaan terkontrol (7/29, 24%) , dan 13 RCT (13/29, 45%).
Semua 9
tunggal dievaluasi
percobaan denganterlibat
terkontrol tindakantime
berulang dikumpulkan
series investigasisebelum dan
kelompok
pengobatan
sesudah pelatihan. Hasil dari penelitian ini 29 penelitian yang dilihat terakhir
, pasien yang menjalani hemodialisis dengan aman dapat memperoleh
segudang adaptasi yang berhubungan dengan kesehatan terlibat dalam
rejimen latihan tepat terstruktur yang melibatkan erobic dan / atau resistance
training . dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penelitian di
masa mendatang penting dilakukan dalam penerapan latihan dan layak
dilakukan dalam waktu jangka panjang pada pasien yang menjalani
hemodialisis.

Hasil dari beberapa review jurnal – jurnal terkait dengan latihan fisik saat
hemodialisis ini, maka penulis memilih penelitian yang dilakukan oleh
Mohseni et.al (2013), dari hasil penelitian ini penulis merasa bahwa
intervensi yang akan penulis lakukan pada pasien yang sedang menjalani
hemodialisis sangat cocok dilakukan karena dari segi gerakan yang dilakukan
tidak begitu sulit dan tidak membutuhkan waktu yang lama hanya 15 menit
dan dilakukan pada 2 jam pertama hemodialisis berjalan.

Laporan Pelaksanaan Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian Praktikan


melaksanakan Evidence Based Nursing Praktice (EBNP) berupa latihan fisik
terhadap adekuasi hemodialisis pada pasien PGTA yang menjalani hemodialisis di
instalasi Bougenville ruang hemodialisis RSUP Fatmawati Jakarta. Sebelum
praktikan melaksanakan kegiatan EBNP ini praktikan terlebih dahulu menyusun
proposal, setelah proposal disetujui oleh pembimbing selanjutnya praktikan
meminta izin melaksanakan praktek di ruang hemodialisis RSUP Fatmawati
kepada kepala ruang hemodialisis dan kepala instalasi Bougenville. Setelah
mendapatkan izin praktikan menjelaskan rencana program latihan fisik saat
hemodialisis kepada tim kesehatan yang ada di pelayanan dengan melakukan
sosialisasi untuk menjelaskan EBNP yang akan penulis berikan pada pasien yang
sedang menjalani hemodialisis berupa tujuan, manfaat, bentuk atau gerakan
yang diberikan kepada pasien dengan harapan seluruh tim kesehatan terutama
perawat yang ada di ruangan berpartisipasi dalam kegiatan ini dan dapat
tersebut.
dilanjutkan
pelaksanaannya walaupun penulis tidak lagi berpraktek di ruang hemodialisis
Pasien yang terlibat dalam EBNP ini berjumlah 9 orang, dalam mengidentifikasi
pasien penulis melakukannya bersama – sama dengan kepala ruang hemodialisis
sesuai dengan kriteria pasien yang sudah direncanakan yaitu pasien dengan
kondisi status hemodinamik stabil, tidak mengalami gangguan pada jantungnya,
tidak sedang dalam pengobatan pengenceran darah, pasien menggunakan akses
doble lumen atau akses vaskuler, menjalani hemodialisis lebih dari 3 bulan rutin
2 kali seminggu dengan durasi 4 jam setiap hemodilaisisnya, menggunakan mesin
Elisio 13 H Nipro, dialyzer dengan merk yang sama dan single use serta QB 200
– 230. Kegiatan diawali dengan menjelaskan dan mendemontrasikan gerakan fisik
yang dilakukan selama pasien hemodialisis. Latihan fisik dilakukan 2 kali
seminggu selama empat minggu saat pasien menjalani hemodialisis dengan durasi
15 menit setiap latihan, dilaksanakan pada jam ke 1 atau ke 2 hemodialisis
berjalan, masing – masing gerakan dilakukan sebanyak 20 kali pengulangan.
Sebelum latihan fisik diberikan kepada pasien dilakukan terlebih dahulu
pemeriksaan laboratorium untuk melihat nilai ureumnya sesudah hemodialisis.
Tanda – tanda vital pasien berupa tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi nafas
dan suhu tubuh pasien diukur sebelum latihan diberikan, kemudian pasien
diberikan latihan fisik selama 15 menit, 2 kali seminggu selama 4 minggu atau 8 kali
latihan. Setelah 8 kali latihan fisik diberikan saat menjalani hemodialisis,
selanjutnya pasien kembali dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menilai
ureum setelah latihan fisik diberikan. Selanjutnya nilai – nilai laboratorium sebelum
dan sesudah latihan fisik diberikan dihitung untuk mengetahui hasil adekuasinya.
Penghitungan adekuasi dilakukan dengan formula Urea Reduction Ratio (URR),
adekuasi dikata baik bila URR > 60 %.
Gambar 3.1 Gerakan yang diberikan saat menjalani hemodialisis
Gambar 3.2 Pelaksanaan Latihan fisik saat hemodialisis

Berikut ini akan dipaparkan hasil penerapan EBNP yang dilakukan pada pasien yang
menjalani hemodialisis di instalasi Bougenville ruang hemodialisis RSUP Fatmawati
Jakarta.
Tabel 3.2
Nilai ureum dan kreatinin pasien yang menjalani hemodialisis bulan Maret 2014
sebelum EBNP di instalasi Bougenville ruang Hemodialisis
RSUP Fatmawati Jakarta

No Inisial Sebelum HD Sesudah HD Penurunan Adekuasi


Ureum Kreat Ureum Kreat Ureum Kreat (%)
1 Tn OS 360 13,7 150 6,2 210 7,5 58,3
2 Ny LM 146 12,1 39 3,8 107 8,3 73,3
3 Tn AM 156 9 62 4,2 94 4,8 60,3
4 Tn ZI 109 9,4 47 2,7 62 6,7 56,9
5 Tn PP 173 18,2 58 6,3 115 11,9 66,5
6 Tn SH 182 9,6 83 4,4 99 5,2 54,4
7 Ny YS 126 9,4 47 4,1 79 5,3 62,7
8 Tn KM 167 11,3 58 4,4 109 6,9 65,2
9 Tn SN 133 5,3 47 2 86 3,3 64,7
Rata – rata 172,4 10,9 65,7 4,2 106,8 6,6 61,2

Terlihat dari tabel 3.2 hasil laboratorium sebelum penerapan EBNP nilai rata –
rata ureum sebelum hemodialisis 172,4, kreatinin 10,9 Sedangkan nilai rata –
rata ureum sesudah hemodialisis 65,7 dan kreatinin 4,2 dengan penurunan kadar
ureum rata – rata sebesar 106,8 point dan kreatinin 6,6 point serta nilai adekuasi
hemodialisisnya sebesar 61,2 %.

Tabel 3.3
Nilai ureum dan kreatinin pasien yang diberikan latihan fisik di instalasi
Bougenville ruang Hemodialisis RSUP Fatmawati Jakarta

No Inisial Sebelum HD Sesudah HD Penurunan Adekuasi


Ureum Kreat Ureum Kreat Ureum Kreat (%)
1 Tn OS 244 12,8 68 4,4 176 8,4 72,1
2 Ny LM 216 11,5 56 3,3 160 8,2 74,1
3 Tn AM 148 8,7 56 3,6 92 5,1 62,2
4 Tn ZI 98 9,8 28 3,1 70 6,7 71,4
5 Tn PP 197 17,3 62 6,3 135 11 68,5
6 Tn SH 101 8,4 36 3,7 65 4,7 64,4
7 Ny YS 133 10,3 38 3,4 95 6,9 71,4
8 Tn KM 158 8,2 30 2,0 128 6,2 81
9 Tn SN 149 12,8 49 4,5 100 8,3 67,1
Rata – rata 160,4 11,1 47 3,8 113,4 7,3 70,2

Tabel 3.3 memperlihatkan nilai rata – rata ureum 160,4 dan kreatinin 11,1
sebelum latihan fisik dilakukan. Sedangkan sesudah latihan fisik dilakukan nilai
rata – rata ureum 47 dan kreatinin 3,8. Berdasarkan hasil tersebut terdapat
penurunan rata – rata nilai ureum dan kreatinin sebesar 113,4 point untuk
ureum
dan 7,3 point untuk kreatinin serta nilai adekuasi hemodialisisnya sebesar 70,2 %.
Grafik 3.1
Nilai rata – rata ureum dan kreatinin sebelum dan sesudah hemodialisis
sebelum penerapan EBNP (latihan fisik saat hemodialisis) di Instalasi
Bougenville ruang hemodialisis RSUP Fatmawati Jakarta
200
180
160
140
120
100 ureum
80 kreatinin
60
40
20
0
sebelumsesudah
Grafik 3.1 memperlihatkan bahwa perbedaan nilai rata – rata ureum dan kreatinin
sebelum hemodialisis dan sesudah hemodialisis sebelum penerapan EBNP
dilakukan sebesar 106,8 poin untuk ureum dan 6,6 poin untuk kreatinin.

Grafik 3.2
Nilai rata – rata ureum dan kreatinin pasien yang menjalani hemodialisis sebelum
dan sesudah diberikan latihan fisik di Instalasi Bougenville ruang hemodialisis
RSUP Fatmawati Jakarta

180
160.4
160
140
120
100 sebelu
80 m
60 47 sesudah
40
11.1
20 3.8
0
UreumKreatinin

Melihat grafik 3.2 diatas nilai rata – rata ureum sebelum diberikan latihan fisik
sebesar 160,4, sesudah latihan fisik 47, sedangkan nilai rata – rata kreatinin
sebelum latihan fisik sebesar 11,3 dan setelah latihan fisik diberikan sebesar 3,8.
Terdapat penurunan yang signifikan terhadap nilai ureum dan kreatinin sebelum
dan sesudah latihan fisik diberikan.

Grafik 3.3
Perbandingan nilai adekuasi sebelum dan sesudah latihan fisik di
Instalasi Bougenville ruang hemodialisis RSUP Fatmawati Jakarta

80
70.2
70
61.2
60
50
40
30
20
10
Sebelum Sesudah
Grafik 3.2 memperlihatkan perbandingan nilai adekuasi sebelum dan sesudah
latihan fisik diberikan sebesar 9 poin.

3.4 Kegiatan Inovasi


Keperawatan merupakan ilmu terapan yang menggunakan keterampilan
intelektual, teknikal dan interpersonal serta menggunakan proses keperawatan
dalam membantu pasien untuk mencapai tingkat kesehatan optimal. Sebagai
seorang perawat spesialis harus memiliki kemampuan kepemimpinan klinik dalam
memberikan asuhan keperawatan, menjadi peran contoh, sebagai fasilitator,
koordinator dan narasumber serta pembela baik bagi pasien maupun perawat
ruangan. Kemampuan ini sangat dibutuhkan dalam rangka membuat suatu
perubahan/ inovasi dalam melaksanakan pelayanan keperawatan sehingga kualitas
asuhan keperawatan yang diberikan menjadi lebih optimal (Perry & Poter, 2009).
Kegiatan inovasi ini merupakan salah satu peran dan fungsi seorang perawat
spesialis sebagai leader / pemimpin. Kegiatan inovasi dilakukan di instalasi
Bougenville ruang hemodialisis RSUP Fatmawati Jakarta, kegiatan yang dilakukan
adalah memberikan edukasi berupa booklet manajemen pasien hemodialisis
kepada pasien PGTA yang rutin menjalani hemodialisis di ruangan tersebut.
Pasien yang menjalani terapi hemodialisis di instalasi Bougenville ruang
hemodialisis RSUP Fatmawati rata – rata sekitar 37 – 38 pasien setiap harinya. Rata
– rata pasien yang menjalani hemodialisis adalah pasien – pasien yang sebelumnya
menderita penyakit diabetes melitus dan hipertensi, namun ada juga faktor –
faktor lain yang menyebabkan mereka harus menjalani hemodialisis untuk
menggantikan fungsi ginjalnya dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit dalam tubuhnya. Selama praktikan melaksanakan praktek

residensi 1, 2 dan 3 kami tidak melihat adanya pemberian pendidikan kesehatan


berupa tulisan (leaflet, booklet) untuk pasien – pasien yang menjalani
hemodialisis rutin. Berdasarkan wawancara kami dengan kepala instalasi
Bougenville dan kepala ruang hemodialisis, sebelumnya mereka pernah
memberikan leaflet pendidikan kesehatan kepada pasien yang sumber
informasinya juga berasal dari mahasiswa residensi yang berpraktek di ruangan
hemodialisis tersebut. Namun karena kelanjutan dari leaflet atau booklet tersebut
melalui birokrasi yang panjang makanya sampai saat kami melaksanakan praktek
residensi ini tidak kami temukan pemberian informasi tersebut. Kami melihat
kadang – kadang pasien – pasien yang rutin menjalani hemodialisis di RSUP
Fatmawati ini mempunyai inisiatif sendiri mencari informasi yang mereka
butuhkan dan mereka saling memberi informasi kepada pasien – pasien lain.
Melihat hasil observasi dan wawancara kami saat melaksanakan praktek di ruang
hemodialisis tersebut kami membuat booklet sebagai sumber informasi yang
dibutuhkan oleh pasien – pasien yang menjalani hemodialisis seumur hidupnya.
Isi booklet tersebut berupa informasi – informasi tentang apa yang harus pasien

tersebut lakukan selama mereka menjalani hemodialisis. Sesuai dengan saran


dari pembimbing klinik, kepala ruangan dan kepala instalasi mereka
menyarankan isi booklet tersebut lebih banyak berupa gambar – gambar
sehingga pasien tertarik
untuk melihat dan membacanya.
Booklet yang kami berikan pada pasien berjumlah 60 buah buku, didalamnya
berisi tentang 1) pengantar ginjal beserta fungsinya, 2) pengobatan PGTA, 3) apa
yang harus dilakukan selama menjalani hemodialisis diantaranya mengontrol
gula darah, menjaga tekanan darah dalam batas normalnya penderita PGTA,
mengontrol kolesterol, mengikuti aturan diet ginjal, membatasi pemasukan
cairan, cara mensiasati rasa haus dan melakukan olah raga teratur, 4) cara
mengatasi rasa gatal (pruritus). Booklet yang kami berikan kepada pasien ini, juga
kami sertakan sebagai catatan harian pasien selama pasien menjalani
hemodialisis, dimana pasien dapat mencatat berat badan, tekanan darah, hasil –
hasil pemeriksaan laboratorium terutama ureum dan kreatinin sebelum dan
sesudah melakukan hemodialisis. Selama ini berdasarkan hasil wawancara dan
observasi kami kepada pasien, catatan – catatan berupa berat badan,
medical record
tekanan darah, pasien
hasil –saja.
hasilKegiatan inovasi pemberian edukasi berupa booklet
laboratorium sebelum
ini kami lakukan padadan sesudah
minggu hemodialisis
terakhir hanya
bulan april sebagai
2014 dan catatan
evaluasi untuk di
di awal
minggu bulan mei 2014.
Evaluasi program inovasi penerapan edukasi dengan memberikan booklet sebagai
berikut :

Evaluasi terhadap perawat


Perawat yang ada diruang hemodialisis ikut berperan serta dalam pelaksanaan
pemberian edukasi ini. Metode seperti ini menurut mereka lebih efektif karena
menimbulkan minat pasien untuk melihat booklet dan ingin mengetahui isinya
dan tidak menimbulkan kebosanan pada pasien utuk membacanya. Mereka juga

menilai bahwa pelaksanaan edukasi dengan metode seperti ini akan meningkatkan
pengetahuan pasien dan keluarga tentang manajemen pasien hemodialisis.

Evaluasi terhadap pasien

Evaluasi dilakukan pada 20 pasien yang seminggu sebelumnya sudah diberikan


booklet tentang manajemen pasien hemodialisis, evaluasi yang dilakukan meliputi
pengetahuan pasien seputar isi booklet, diantaranya apa saja yang harus mereka
lakukan selama menjalani hemodialisis. Mengevaluasi apakah booklet yang
diberikan mereka bawa kembali sebagai catatan harian untuk mencatat berat
badan, tekanan darah sebelum dan sesudah hemodialisis dan mencatat hasil –
hasil pemeriksaan laboratorium terutama ureum dan kreatinin. Dari 20 pasien yang
dievaluasi 50% mereka memahami dan bisa menjelaskan kembali manajemen
pasien hemodialisis sesuai dengan isi booklet yang diberikan. 90% pasien
membawa kembali bookletnya saat menjalani hemodialisis dan diisi sesuai dengan
apa yang kami harapkan.
tumor di kandung kemih, kemudian dilakukan biopsi. Dari hasil
pemeriksaan biopsi pasien harus menjalani kemoterapi. Pada bulan
November 2013 pasien menjalani kemoterapi sebanyak 8 kali dengan
frekuensi 1 kali perminggu. 1 bulan yang lalu sebelum masuk RS bak
mengeluarkan darah yang banyak, nyeri saat dan sesudah bak, bak terasa
panas. Kemudian pasien berobat ke poli bedah urologi dan dilakukan CT
scan abdomen. Dari hasil pemeriksaan tersebut dokter menyarankan pasien
utuk dilakukan operasi pengangkatan kandung kemih (radikal cystectomi +
ileal conduit).

Pasien masuk RSUP Fatmawati melalui poliklinik, saat dilakukan pengkajian


kesadaran composmentis, mengeluh nyeri pada daerah supra pubis, nyeri
saat dan sesudah bak, bak berdarah. Tanda-tanda vital yaitu suhu 36,5 0 C,
nadi 80 kali/menit, RR 20 kali/menit, tekanan darah 100/60 mmHg. Tidak
ada anggota keluarganya yang menderita penyakit seperti ini. Pada tanggal
19 maret 2014 pasien menjalani operasi total cystectomi + ileal conduit,
anastomosis ileo – ileal end to end vesika urinaria. Pada
tanggal 23 maret 2014 Ny MS kembali ke lantai 4 Utara ke ruang HCU.

Pemenuhan Kebutuhan Perawatan Diri Universal

Mempertahankan kebutuhan pernapasan dan sirkulasi : Pasien tidak


menggunakan alat bantu pernafasan, pernafasan spontan, jalan nafas tidak
ada sumbatan, frekuensi nafas 20 kali/menit, irama nafas vesikuler di kedua
lapang paru, sesak tidak ada, batuk tidak ada, ronchi tidak ada, wheezing
tidak ada, pengembangan paru simetris, retraksi dinding dada tidak
ada.
kali/menit, irama regular dan pulsasi penuh, tekanan darah 100/60 mmHg,
Keluha nyeri dada tidak ada, edema dan vertigo tidak ada, nadi 68
bunyi Jantung I dan II regular, murmur tidak ada, gallop tidak ada, capillary
refill time <3 detik, akral hangat. Post operasi, pernafasan spontan, irama
nafas vesikuler, RR 18 kali/menit, keluhan nyeri dada tidak ada, irama
jantung reguler, TD 120/70mmHg, Nadi 80 kali/menit, keluhan sesak tidak
ada. Pasien tidak membutuhkan bantuan dalam pemenuhan pernafasan dan
sirkulasi.
BAB 4
PEMBAHASAN

Bab 4 ini membahas tentang analisis penerapan teori perawatan diri Orem
terhadap kasus kelolaan gangguan sistem perkemihan, analisis terhadap praktek
keperawatan berdasarkan bukti serta analisis terhadap proyek inovasi yang
dilakukan selama praktek residensi di RSUP Fatmawati.

4.1 Analisis penerapan Teori Perawatan Diri Orem pada 32 kasus kelolaan
Praktek residensi selama 2 semester yang penulis jalani memberikan banyak
pengalaman dalam mengelola kasus – kasus gangguan sistem perkemihan
dengan pendekatan teori perawatan diri Orem. penulis mengelola asuhan
keperawatan pada kasus kelolaan utama serta 32 kasus dengan gangguan sistem
perkemihan
dan menjelaskan analisis penerapan teori perawatan diri Orem.
Kasus Penyakit Ginjal

Sebagian besar kasus yang praktikan kelola berdasarkan teori perawatan diri
Orem yang dirawat di ruang rawat inap merupakan kasus penyakit ginjal tahap
akhir (PGTA) dengan berbagai komplikasi. PGTA merupakan gangguan fungsi
ginjal yang progresif dan irreversibel dimana ginjal gagal menjalankan fungsinya
sehingga tubuh gagal mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit, yang menyebabkan terjadinya uremia (retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah) (Kallenbach et.al, 2005; Smeltzer & Bare, 2002; Black
& Hawks, 2005). Kasus sistem perkemihan yang dirawat di ruang rawat inap
sebagian besar adalah PGTA yang dikelola sebanyak 22 kasus menggunakan
pendekatan teori perawatan diri Orem. Pengkajian yang dilakukan meliputi
pemenuhan kebutuhan perawatan diri universal, kebutuhan pengembangan
diri
dan pemenuhan kebutuhan perawatan diri yang menyimpang dari kesehatan.
Masalah keperawatan yang sering muncul pada pasien PGTA adalah kelebihan
volume cairan, ketidakseimbangan asam basa dan elektrolit, ketidakseimbangan
nutrisi; kurang dari kebutuhan, ketidakpatuhan dan kecemasan.

Beberapa kasus pasien PGTA yang sudah menjalani hemodialisis rutin dua kali
seminggu, sering mengalami perawatan berulang disebabkan karena kelebihan
75 UNIVERSITAS INDONESIA
cairan/ overload, mengalami sesak nafas, edema ekstremitas bahkan edema
keseluruh tubuh. Keadaan ini berpengaruh terhadap lamanya hari perawatan
pasien di rumah sakit. Faktor – faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien
menjalani hemodialisis diantaranya usia, jenis kelamin, tingkat pengetahuan dan
demografi pasien, selain hal tersebut juga dipengaruhi oleh gaya hidup, aspek
psikologis, support sistem dan keinginan pasien (Anggarwal & Mosca, 2010).
Depresi juga menjadi alasan utama pasien dalam menjalani terapi hemodialisis
dalam mematuhi pengobatan yang dijalani oleh pasien (Nilsson et.al, 2007).

Hasil wawancara dengan beberapa pasien yang mengalami PGTA pada umumnya
pasien merasa tidak percaya dengan penyakit yang dialaminya. Dalam hal ini
dukungan keluarga sangat diperlukan dalam mensupport keadaan pasien sehingga
pasien tidak jatuh kekeadaan yang lebih berat, merasa tidak berguna sehingga
pasien sering mengabaikan atau tidak patuh terhadap program pengobatan yang
diberikan kepadanya. Peran perawat pada pasien memberikan sistem dukungan
edukasi dengan meningkatkan agen perawatan diri sehingga pasien belajar
mempertahankan dan meningkatkan perawatan dirinya terutama dalam restriksi
cairan, mengatur diet, mengambil keputusan pada saat yang tepat ketika masalah
muncul. Hal yang paling penting yang dilakukan oleh perawat dalam
mempertahankan kesehatannya meliputi memberikan informasi dan pengajaran
kepada pasien tentang mensiasati rasa haus yang muncul sehingga mendorong
pasien untuk mengkonsumsi cairan yang berlebihan dan menimbulkan akumulasi
cairan dalam tubuh yang menyebabkan pasien mengalami sesak nafas. Menurut
Orem asuhan keperawatan dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap orang
mempelajari kemampuan untuk merawat diri sendiri sehingga membantu individu
Berdasarkan
memenuhi kebutuhan
kebutuhan perawatan
hidup, diri pasien,
memelihara perawat
kesehatan dansebagai salah satu pemberi
kesejahteraannya.
asuhan keperawatan dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri pasien sistem
keperawatan yang diberikan pada pasien penyakit ginjal ini sebagian besar adalah
pemenuhan kebutuhan keperawatan sebagian dan keperawatan mendukung –
mendidik , sedangkan sistem pemenuhan kebutuhan keperawatan keseluruhan
diberikan pada pasien gangguan sistem perkemihannya berasal dari penyakit berat
sebelumnya yang mempengaruhi sistem perkemihan sehingga pasien mengalami
gagal ginjal dan mengalami penurunan kesadaran. Evaluasi yang dilakukan pada
pasien dengan gangguan perkemihan memperlihatkan hasil yang berbeda – beda
sesuai kemampuan pasien dalam mempertahankan kebutuhan perawatan dirinya.
Sedangkan metode yang diberikan untuk mempertahankan kebutuhan pasien
berupa bantuan, membimbing dan mengarahkan, memberikan dukungan fisik dan
psikologis, memberikan dan mempertahankan lingkungan yang mendukung
perkembangan individu dan pendidikan Saat penulis melaksanakan praktek
residensi peran dan fungsi seorang perawat di pelayanan kesehatan mempengaruhi
keamanan dan keselamatan pasien dalam mempertahankan serta
meningkatkan
status
kesehatannya.

Kasus Obstruksi dan Neoplasma

Kasus obstruksi praktikan mengelola 9 kasus kelolaan kasus obstruksi yang


praktikan kelola adalah kasus BPH dan batu saluran kemih, sedangkan kasus
keganasan yang praktikan kelola adalah kanker buli dan kanker
Prostat.berdasarkan evalusi praktikan selama menjalani praktik residensi, kasus
obstruksi yang paling banyak ditemukan adalah Benigna Hipertropi Prostat (BPH)
pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang ke
arah depan dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat
menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter (Purnomo, 2011). Kelenjar prostat
mengitari leher kandung kemih dan urethra, sehingga hipertropi prostat sering
menghalangi pengosongan kandung kemih. Kebanyakan kasus BPH ini terjadi
pada usia – usia diatas 50 tahun keatas, hal ini sesuai dengan teori yang
mengatakan bahwa sampai sekarang masih belum diketahui secara pasti
penyebab terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan
bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dihidrostestosteron
(DHT) dan proseskelola
yang praktikan agingrata
(menjadi
– ratatua) (Purnomo,
dilakukan 2011). Pasien
pemasangan – pasien
foley catheterBPH
untuk
mengeluarkannya karena pasien sudah mengalami obstruksi total sehingga pasien
tidak bisa buang air kecil. Ada beberapa pasien yang sudah lama menggunakan
kateter urin untuk mengatasi masalah tidak bisa buang air kecil. Rata – rata pasien
dilakukan pembedahan Transurethral resection of the prostate (TUR – P) untuk
menyelesaikan masalah pasien. Saat ini TUR – P merupakan operasi yang paling
banyak dilakukan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan
transuretra yang mempergunakan cairan sebagai pembilas agar bagian yang akan
direseksi tidak tertutup oleh darah, dengan menggunakan katater three way.
Masalah keperawatan yang paling sering muncul pada pasien BPH ini adalah
perubahan pola eliminasi, nyeri akut sehubungan dengan tindakan pembedahan
serta ansietas. Sistem keperawatan yang diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan
sebagian dan hanya membutuhkan dukungan serta pendidikan kesehatan saja
sedangkan metode bantuan yang diberikan berupa bimbingan, dukungan,arahan,
mengajarkan dan menyediakan lingkungan untuk mengembangkan kemampuan.
Evaluasi dari kasus BPH rata – rata pasien dirawat selama 3 – 4 hari mulai dari

pre sampai post operasinya. Sedangkan pada kasus neoplasma kasus yang
penulis kelola rata – rata pasien sudah dalam keadaan yang parah atau stadium
lanjut sehingga sistem keperawatan yang diberikan pemenuhan kebutuhan
keseluruhan dengan metode bantuan yang diberikan bantuan, membimbing dan
mengarahkan, memberikan dukungan fisik dan psikologis, memberikan dan
mempertahankan
lingkungan yang mendukung perkembangan individu dan pendidikan.
Pengelolaan kasus – kasus pada gangguan sistem perkemihan sudah dilakukan
dengan pendekatan teori perawatan diri Orem dalam memberikan asuhan
keperawatan pada 32 kasus kelolaan. Asuhan keperawatan yang diberikan
mencakup aspek fisik, psikologis, sosial, kultural dan spiritual. Menurut Orem
pasien adalah orang yang memiliki kebutuhan perawatan diri lebih besar
daripada orang yang membantu memenuhi perawatan diri, oleh karena itu
perawat berperan dalam meningkatkan agen perawatan diri pada pasien yang
mengalami keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan perawatan dirinya. Fokus
intervensi dalam teori Orem ini berdasarkan kebutuhan pasien yang dilihat dari
wholly compensatory system (sistem keperawatan yang diberikan
keseluruhan
Keperawatan dalam
yang diberikan sebagian dalam memenuhi kebutuhan perawatan
memenuhi kebutuhan perawatan diri), Partly compensatory system
diri), dan supportive educative system (sistem keperawatan yang diberikan berupa
(sistem
dukungan dan pendidikan untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri). Intervensi
keperawatan diberikan melalui metode bantuan yaitu memberikan bantuan,
membimbing dan mengarahkan, memberikan dukungan fisik dan psikologis,
memberikan dan mempertahankan lingkungan yang mendukung perkembangan
individu dan pendidikan.
Kelebihan dari teori perawatan diri Orem ini adalah dalam memberikan asuhan
keperawatan memungkinkan perawat untuk menggali masalah yang dihadapi
pasien secara komprehensif dan sehingga perawat dapat menentukan tingkat
kemampuan pasien dalam mencapai pemenuhan kebutuhannya mulai dari
pemenuhan kebutuhan perawatan diri yang universal, pemenuhan kebutuhan
pengembangan perawatan diri, pemenuhan kebutuhan perawatan yang
menyimpang dari kesehatan dan pemenuhan kebutuhan yang terapeutik. Penulis
merasakan bahwa teori Orem ini lebih aplikatif, tidak terlalu sulit

mempergunakannya dalam memberikan asuhan keperawatan dan lebih berfokus


dalam melihat kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan individu, teori Orem
ini berusaha melihat kemandirian pasien dan memberi kesempatan kepada
pasien untuk mengoptimalkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhannya
sehari –
hari.
Kelemahan dari teori Orem ini terdapat pengulangan – pengulangan antara
pengakjian yang satu dengan yang lainnya, pengkajian di universal Self Care
requisites akan dikaji lagi di health deviation Self Care requisites, dimana data
yang ada di health deviation Self Care requisites sudah didapatkan pada
pengkajian universal Self Care requisites. Namun menurut penulis pengkajian
health deviation Self Care requisites difokuskan pada data yang lebih spesifik
penyimpangan atau gangguan yang mengakibatkan pasien mengalami defisit
perawatan diri. Dapat disimpulkan bahwa teori perawatan diri Orem ini lebih
mudah dan aplikatif dilakukan di rumah sakit sebagai pendekatan dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami gangguan sistem
perkemihan.

4.2 Analisis penerapan praktek keperawatan berdasarkan bukti


Secara fisiologis latihan fisik menyebabkan perubahan pada vaskularisasi sebagai
akibat dari adanya kontraksi otot. kontraksi otot menyebabkan terjadi peningkatan
aliran darah ke jaringan otot sehingga kapiler – kapiler di otot yang tadinya
dorman menjadi terbuka dan menyebabkan perluasan daerah permukaan kapiler.
Melihat distribusi ureum pada keadaan ginjal berfungsi secara normal
keberadaannya di intravaskuler hanya 11% dan lebih banyak di ekstravaskuler
(Interselluler 67% dan interstitial 22%) maka ureum akan mengalami peningkatan
pada gangguan fungsi ginjal. Dimana ginjal tidak dapat mereabsorbsi dan
mensekresi ureum ke dalam tubulus untuk dieliminasi ke dalam urin sehingga
konsentrasinya meningkat di dalam plasma, begitu juga dengan kreatinin yang
keberadaannya lebih banyak di otot daripada dalam plasma. Pasien PGTA akan
menjalani hemodialisis seumur hidupnya untuk membantu mengeluarkan sampah
metabolisme yang tidak bisa dieliminasi ke dalam urin karena kegagalan dari
ginjal dalam menjalankan fungsinya sehingga pasien PGTA akan tergantung
hidupnya pada hemodialisis untuk meningkatkan dan mengoptimalkan

kesehatannya. Banyak faktor yang mempengaruhi pengeluaran dari ureum dan


kreatinin saat hemodialisis, diantaranya adalah kecepatan aliran darah saat
masuk ke dialiser. Untuk itu salah satu intervensi yang diberikan untuk
mempercepat masuknya darah ke dialiser adalah dengan melakukan latihan fisik
saat
hemodialisis.
Latihan fisik saat menjalani hemodialisis aman dan baik bagi kinerja psikofisik
serta mampu meningkatkan adekuasi hemodialisis lebih baik (Rizzioli, et al.
2004). Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Parsons, et al. (2004) bahwa
latihan fisik saat menjalani hemodialisis mampu meningkatkan pengeluaran
ureum yang toksik di dalam tubuh. Latihan fisik saat hemodialisis meningkatkan
aliran dan volume darah dalam kapiler sehingga pembuluh darah berdilatasi dan
pompa jantung menjadi meningkat akibatnya aliran darah yang masuk ke dialiser
pada mesin hemodialisis menjadi meningkat (Parson, et.al 2006; Bulckaen, et.al
2011; Sherwood, 2011; Heiwe, Elkhom & Fehrman, 2011). latihan fisik saat
menjalani hemodialisis ini dianjurkan dilakukannya pada 2 jam pertama
hemodialisis berlangsung. Latihan fisik saat hemodialisis bermanfaat dalam
meningkatkan kualitas hidup menjadi lebih baik, karena latihan fisik
meningkatkan banyak indikator fungsi fisik, seperti kebugaran, massa otot, fisik
kinerja (Johansen, 2007).

Bila dilihat dari perbandingan hasil nilai rata - rata adekuasi hemodialisis sebelum
diberikan latihan fisik 61,2%, nilai rata – rata adekuasi hemodialisis setelah
diberikan latihan fisik meningkat sebesar 70,2%. Melihat hasil ini latihan fisik
yang penulis berikan pada pasien yang menjalani hemodialisis menunjukkan hasil
yang cukup baik untuk melihat adekuasi pasien hemodialisis. Adekuasi
hemodialisis ini merupakan kecukupan peresapan hemodialisis yang
direkomendasikan untuk mendapatkan dan menilai keefektifan tindakan
hemodialisis pada pasien PGTA. Menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) (2003), kecukupan nilai adekuasi yang direkomendasikan untuk pasien
– pasien yang menjalani hemodialisi > 65% bila hemodialisis dilakukan dengan
frekuensi 2 kali/ minggu dan durasi 4 – 5 jam.

Latihan fisik yang penulis berikan berdasarkan EBNP ini efektif dilakukan pada
pasien yang sedang menjalani hemodialisis, melihat situasi dan kondisi pasien saat
menjalani hemodialisis mereka hanya menonton, berbicara dengan pasien yang
lain, tidur – tiduran. Latihan fisik yang praktikan berikan tidak membutuhkan alat,
tempat yang luas untuk dilaksanakan, dari bentuk gerakan yang diberikan juga
tidak terlalu sulit hanya dengan memutar pergelangan tangan, kaki, bahu serta
melakukan fleksi dan ekstensi pada pergelangan tangan dan kaki. Waktu yang
dibutuhkan juga tidak terlalu lama hanya sekitar 15 menit setiap latihannya, latihan
fisik ini juga tidak membutuhkan energi yang berlebihan sehingga keletihan yang
ditimbulkan oleh aktifitas fisik dapat diminimalkan. Namun ada hal – hal yang
dapat menyebabkan latihan fisik yang sudah praktikan berikan ini tidak
dilaksanakan oleh pasien karena motivasi pasien yang rendah dalam melakukan
kegiatan saat hemodialisis berjalan, mereka lebih banyak tidur karena mereka
mengungkapkan alasan bahwa satu hari sebelum mereka menjalani hemodialisis
mereka tidak bisa tidur karena ketidaknyamanan yang mereka rasakan sehingga
mereka memanfaatkan waktu saat hemodialisis untuk tidur. Peran perawat dalam
hal ini sangat dibutuhkan dalam memotivasi pasien untuk melakukan latihan fisik
saat menjalani hemodialisis ini. Pendidikan kesehatan untuk pasien lebih
ditingkatkan tentang
atau sesudah tujuan dilakukan.
hemodialisis dan manfaat aktifitas sebelum, saat

4.3 Analisis penerapan proyek inovasi


Proyek inovasi yang kami lakukan di ruang hemodialisi RSUP Fatmawati dimulai
dari analisis situasi ruangan untuk mengetahui sejauh mana penerapan inovasi ini
mampu laksana dan bisa berjalan dengan baik, dengan menggunakan analisis
SWOT.
Analisis situasi
RSUP Fatmawati didirikan pada tahun 1954 oleh Ibu Fatmawati Soekarno.
sebagai RS yang mengkhususkan Penderita TBC Anak dan Rehabilitasinya. Pada
tahun 1984 RS Fatmawati ditetapkan sebagai pusat rujukan untuk wilayah Jakarta
Selatan, kemudian pada tahun 1994 RSUP Fatmawati ditetapkan sebagai RSU
Kelas B Pendidikan dan ditetapkan menjadi Unit Swadana Tanpa Syarat, pada
tahun 1997 sesuai dengan diberlakukannya UU No. 27 Tahun 1997 dimana rumah
sakit mengalami perubahan kebijakan dari Swadana menjadi PNBP (Penerimaan

Negara Bukan Pajak), selanjutnya pada tahun 2000 RS Fatmawati ditetapkan


sebagai RS Perjan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 117 tahun 2000
tentang Pendirian Perusahaan Jawatan RSUP Fatmawati Jakarta. Berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan No. 1243/Menkes/SK/VIII/2005 Pada tanggal 11
Agustus 2005 RSUP Fatmawati ditetapkan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Departemen Kesehatan RI dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum (PPK BLU) (http://www.fatmawatihospital.com).

Seiring perkembangannya RSUP Fatmawati saat ini merupakan Rumah Sakit


pendidikan tipe A yang berada dibawah Kementrian Kesehatan. RSUP Fatmawati
sebagai rumah sakit rujukan untuk wilayah jakarta selatan memiliki tugas pokok
menyelenggarakan dan melaksanakan fungsi perumahsakitan di Indonesia
khususnya di wilayah Jakarta Selatan. Sebagai rumah sakit rujukan RSUP
Fatmawati melaksanakan peran dan fungsinya melalui upaya pelayanan
kesehatan promotif, kuratif, preventif dan rehabilitative secara terpadu. RSUP
Fatmawati sebagai sarana pelayanan publik telah berusaha untuk meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan terbukti pada bulan Desember tahun 2013 lalu
RSUP
dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat khususnya wilayah
Fatmawati lulus standar Joint Commition International (JCI). RSUP Fatmawati
Jakarta Selatan juga berusaha meningkatkan pelayanan bagi pasien PGTA yang
memerlukan hemodialisis untuk kelangsungan hidupnya, terlihat dari peningkatan
ketersedian sarana dan prasarana serta sumber daya manusia terlatih dalam
memberikan pelayanan hemodialisis.

Unit hemodialisa merupakan sarana pelayanan penunjang yang berada di bawah


instalasi rawat jalan Bougenville, saat ini di ruang hemodialisa tersedia 20 buah
mesin hemodialisis yang terdiri dari 10 buah mesin Fresineus dan 10 buah mesin
Nipro. Pelayanan hemodialisis pada pasien dilakukan rutin setiap hari sesuai jam
kerja, pelayanan hemodilaisis terdiri dari 2 shift yaitu pagi dari jam 7.00 – 13.00
dan siang jam 11.00 – 20.00 WIB. Durasi waktu yang diberikan pada proses
hemodialisis adalah 4 jam setiap kali hemodialisis. Perawat di ruang hemodialisis
berjumlah 20 orang rata – rata berpendidikan S1 Keperawatan dan D3
keperawatan yang sudah tersertifikasi. Pada setiap shiftnya petugas yang
melaksanakan kegiatan hemodialisis berjumlah 7 – 8 orang termasuk kepala ruang

dan dokter yang bertanggung jawab pada pelaksanaan hemodialisis tersebut. Bila
ada kegiatan hemodialisis cito maka perawat yang melakukannya adalah perawat
yang terjadwal sesuai dengan hari pelaksanaan namun diutamakan perawat yang
bertugas shift sore.

4.3.1 Strength (kekuatan)

Jumlah petugas 21 orang, rata – rata perawat yang melaksanakan hemodialisis


berpendidikan D3 Keperawatan dan S1 keperawatan, hanya 1 orang yang belim
memiliki sertifikasi hemodialisis, memiliki team kerja yang kompak dan mampu
bekerja sama dengan baik, memiliki dokter yang selalu stanby selama proses
hemodialisis berjalan, dari hasil wawancara perawat yang bertugas diruang
hemodialisis mendukung rencana yang akan kami lakukan, rata – rata pasien
yang menjalani hemodialisis di RSUP Fatmawati menggunakan jaminan
kesehatan untuk membayar, belum ada media tulisan yang kami lihat untuk
memberikan edukasi pada pasien. Pasien – pasien yang menjalani hemodialisis
rata – rata
kooperatif dan berpendidikan.
4.3.2Weaknes (kelemahan)
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara kami dengan kepala ruangan dan
perawat ruangan jadwal untuk melakukan edukasi sudah ditetapkan sebulan
sekali, namun dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya berjalan, selama ini
belum pernah petugas gizi ataupun petugas rehabilitasi memberikan edukasi
kepada pasien. Belum tersedia materi edukasi, leaflet atau sejenisnya terkait
dengan apa yang harus pasien lakukan selama menjalani hemodialisis.
4.3.3 Oportunity (kesempatan)
Status RSUP Fatmawati terstandar JCI, visi rumah sakit menjadi terdepan dan
terpercaya di Indonesia, salah satu misinya memfasilitasi dan meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan, pendidikan dan penelitian diseluruh disiplin ilmu. Pasien
bersedia bekerja sama dengan dengan tim kesehatan.

4.3.4 Threat (ancaman)


Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan pasien, kepala ruang, perawat

yang bertugas pasien rata – rata memiliki kenaikan berat badan diantara dua
hemodialisis 2,5 -3 kg. Saat menjalani hemodialisis pasien mengkonsumsi apa
saja tanpa ada pengontrolan makanan yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi,
kegiatan pasien hanya tidur, ngobrol atau menonton televisi saat menjalani
hemodialisi.

Booklet manajemen pasien hemodialisis yang kami lakukan mendapat tanggapan


yang positif baik dari pasien maupun dari petugas di ruang hemodialisis. Booklet
yang kami buat berisi pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan oleh pasien
selama menjalani hemodialisis seumur hidupnya. Booklet yang kami buat
menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dipahami oleh pasien disertai
dengan gambar – gambar sehingga lebih menarik bagi pasien untuk membaca
booklet ini. Hasil evaluasi kami kepada pasien dan perawat tentang materi yang
disampaikan, bahasa yang digunakan, gambar – gambar yang ditampilkan,
mereka rata – rata mengatakan booklet ini cukup baik dalam menambah
pengetahuan mereka. Namun dari kelebihan yang kami sampaikan terhadap
booklet yang kami buat pasti ada kekurangannya, diantaranya booklet yang kami
berikan pada pasien
banyak gambar – gambar yang ditampilkan. Selain dari itu keterangan gambar –
tidak berwarna dalam mencetaknya, sehingga mungkin kurang menarik
gambar yang masih kurang sehingga mungkin ada gambar – gambar yang kurang
karena
dipahami oleh pasien saat membaca booklet ini.

Berdasarkan kelebihan dan kekurangan booklet yang kami buat untuk ruang
hemodialisis RSUP Fatmawati, pada akhir pelaksanaan program residensi kami
melaksanakan evaluasi yang dihadiri oleh Kepala Instalasi Bougenville, Komite
Keperawatan, pembimbing klinik, Kepala Ruang serta teman – teman yang
bertugas di ruang hemodialisis. Pada evaluasi ini kami memaparkan kelebihan dan
kekurangan yang ada dalam booklet tersebut. Kepala instalasi Bougenvilla
berterima kasih atas apa yang kami lakukan mengingat RSUP Fatmawati sudah
berstandar JCI maka edukasi – edukasi kepada pasien harus lebih banyak
dilakukan dan menawarkan solusi akan memperbanyak booklet ini dengan
tampilan yang lebih baik dan lebih menarik.
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menguraikan simpulan dan saran terkait dengan pengalaman yang
diperoleh selama menjalani praktek residensi keperawatan dalam menjalankan
peran sebagai pemberi asuhan keperawatan dengan melakukan pendekatan Teori
Self Care Orem pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan, penerapan
intervensi keperawatan berdasarkan pembuktian ilmiah (evidence based nursing)
dan pelaksanaan proyek inovasi.

5.1 Simpulan
5.1.1 Teori perawatan diri Orem dapat diterapkan pada asuhan keperawatan
pasien dengan gangguan sistem perkemihan, karena teori Orem ini melihat
proses kemandirian pasien dalam mempertahankan dan meningkatkan
status kesehatannya, sedangkan peran perawat dalm teori ini membantu
memenuhi kebutuhan pasien dalam mencapai kemandirian dan kesehatan
yang optimal.

5.1.2 Penerapan EBNP latihan fisik saat hemodialisi pada 9 pasien di ruang
hemodialisis RSUP Fatmawati dapat meningkatkan pengeluaran kadar
ureum dan kreatinin dan meningkatkan adekuasi hemodialisis sebesar
70,2% sehingga latihan fisik selama hemodialisis dapat digunakan sebagai
salah satu terapi keperawatan dalam mengoptimalkan pengeluaran ureum
kretinin pasien PGTA yang menjalani hemodialisis.

5.1.3 Kegiatan inovasi merupakan suatu kegiatan pengembangan konsep solusi


atau metode (dapat berupa modifikasi metode yang sudah ada atau metode
baru) dalam praktek keperawatan yang disusun berdasarkan fenomena
masalah yang ada di lahan praktek dan kebutuhan ruangan, yang
dikembangkan melalui proses journal reading dan study literature. Proyek
inovasi yang dilakukan praktikan adalah pelaksanaan edukasi dengan
menggunakan booklet sebagai sarana edukasi dan didapatkan hasil bahwa
inovasi ini mampu meningkatkan pengetahuan pasien PGTA yang
menjalani hemodialisis bagaimana mereka memanajemen dirinya yang

86 UNIVERSITAS INDONESIA
87

menjalani hemodialisis seumur hidupnya sehingga mampu


mengoptimalkan kesehatannya.

5.2 Saran
5.2.1 Teori perawatan diri Orem membantu pasien untuk mandiri dalam
mempertahankan kesehatannya, untuk itu teori ini sangat aplikatif
dilakukan dalam memberi asuhan keperawatan pada pasien selama
menjalani perawatan, sehingga perawat sebagai orang yang dekat dengan

pasien bisa mengidentifikasi kemampuan pasien dan keluarga dalam


mempertahankan kesehatannya sebelum pasien menjalani perawatan
dirumah atau sebelum pasien dipulangkan.

5.2.2 Intervensi keperawatan yang dilaksanakan dalam memenuhi kebutuhan


pasien diharapkan berdasarkan pembuktian ilmiah, mampu dilaksanakan oleh
seluruh perawat professional yang ada di ruangan. Dalam hal ini peran perawat
spesialis diharapkan dapat selalu mengembangkan intervensi keperawatan
mandiri dengan mengaplikasikan hasil EBNP guna
meningkatkan kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien.

5.2.3 PGTA merupakan penyakit yang memerlukan hemodialisis untuk


mempertahankan kesehatan pasien yang optimal, untuk itu edukasi sangat
diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya
sehingga bisa ditekan jumlah angka kematian akibat penyakit ginjal tahap
akhir (PGTA) ini.

Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, R. (2006). Management of hypertension in hemodialysis patients.


Hemodialysis International, 10, 241-248.

American Cancer Society, (2008). Cancer Fact & Figure. Atlanta, Ga:
American Cancer Society.

American Cancer Society. (2014). Bladder Cancer. Atlanta, Ga: American


Cancer Society.

Anastasiou, I., Mygdalis,V., Mihalakis, A., Adamakis, I., Contantinides, C.,


Mitropoulus, D., (2010). Patient awareness of smoking as a risk factor
for bladder cancer. International urologi nephrologi; 42: 309-314.

Asmadi, (2009). Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi


Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.

Band, P., Le, N., MacArthur, A., Fang, R,, Gallagher, R.. Identification of
occupational cancer risks in British Columbia: a population-based case–
control study of 1129 cases of bladder cancer. Journal Occupation
Environ Medical, 2005;47:854–8.

Berman, A. Et.al. (2009). Buku Ajar Praktek Keperawatan Klinik. Jakarta : EGC

Battistella, M., (2012). Management of Depression in hemodialysis patients, The


Canadian Association of Nephrology Nurses and Technologists Journal,
22,3.

Black, J.M., Hawks, J.H., (2009). Medical-surgical nursing. Clinical


management for positive outcome. 8th edition. St.Louis.Missouri: Elsevier
Saunders.

Bulechek, G.M., & Cochterman, J.M., (2008). Nursing intervention


classification (5th ed). Mosby Elsevier.

Bulckaen, M., Captini, A., Lange, S., Caciula, G., Giuntoli, F., & Cupisti, A.
(2011). Implementation of exercise training program in a hemodialysis
unit : Effect on physical performance. Journal nephrology, 26 (6), 790-
797.

Cassidy. A, Wong, Lin, W.J., (2009). Risk of urinary bladder cancer; a case
control analysis of industry and occupation. Biomed center, 9: 443

Chan, L.N., (2004). Nutrition support in acute renal failure. Cur Opin Clin Nutr
Metab Care, 7:207-12

Colombo, R., Naspro, R., (2010). Ileal conduit as the standard for urinary
diversion after radical cystectomy for bladder cancer. European urology
supplement, 9:736-744.
Daugirdas, J.T, Blake, P.G, & Ing, T.S., (2007). Handbook of dialysis (4th ed).
Lippincontt: Philadelphia.

Delgado, C., & Johansen, K.L., (2011). Barriers to exercise participation among
dialysis patients. Nephrology, dialysis, transplantation.

Doenges, Marilynn E., (2002). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 4. Jakarta :
EGC.

Ellis, H., (2004). Clinical anatomy : a revision and applied anatomy for clinical
students; Blackwell science, Oxford.

European Cancer Observatory., (2008). Guidelines on Bladder Cancer Muscle


Invasive and Metastatic. European Association of Urology.

Goodman, E.D., & Ballou, M.B., (2004). Perceived barriers and motivators to
exercise in hemodialysis patients. Nephrology Nursing Journal, 31(1), 23–
29

Gruedemann, Barbara J., (2005). Buku Ajar Keperawatan Peroperatif, Vol. 1


Prinsip. Jakarta: EGC.

Gupta, P., Jain, M., Kapoor, R., et al, (2009). Impact of age and gender on the
clinicopathological characteristics of bladder cancer. Indian Journal
Urology, 25, 207-410.

Guyton, C. A., Hall, E. J., (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11:
Jakarta. ECG

Heiwe., Elkholm., & Fehrman. (2011). The importance of exercise programs in


hemodialysis patient, progress in hemodialysis from emergent.
Biotechnology to clinical practice. Intech, 4, 307-377.

Hobisch, A., Tosun, K., Kinzl, J., et al (2001). Life after cystectomy and
orthotopic neobladder versus ileal conduit urinary diversion. Semin Urol
Oncol ;19:18–23

Ikizler,T.A., Sculman, G., (2004). Hemodialysis: techniques and presciption.


American Journal of Kidney Disease, 46 (5), 976-981.

IRR. (2011). 4th Report of Indonesian Renal Registry 2011. Tidak


dipublikasikan.

Jankovic, S., Radosavljevic, V., (2007). Risk factors for bladder cancer. Tumor
1:4–12

Johansen, K.L., Painter, P.L., Sakkas, G.K., Gordon, P., Doyle, J., Shubert, T.,
(2007). Effects of resistance exercise training and nandrolone decanoate on
body composition and muscle function among patients who receive
hemodialysis: A randomized, controlled trial. Journal of The American
Society Nephrology, 17, 2307-2324.

Kallenbach, J.Z., (2012). Review of hemodialysis for nurses and dialysis


personnel. USA: Elsevier mosby.

KDOQI, (2006). Update Clinical Practice Guidelines and Recommendations for


Adequacy 2006, Hemodialysis Adequacy 2006, Peritoneal Dialysis and
Vascular Access 2006. USA: 2006. National Kidney Foundation, Inc.

Kong, C.H, Singam, P., Hong, G.E, et al (2010). Clinicopathological features of


bladder tumours in a single institution in Malaysia. Asian Paific Journal
Cancer Preview, 11, 149-52.

Koh. K.P., Fassett, R.G., Sharman, J.E, et al. (2009). Effect of intradialytic
versus home-based aerobic exercise training on physical function and
vascular parameters in hemodialysis patients: a randomized pilot study.
American Journal Kidney Disease, 55, 88-99.

Kong, C.H., Tattersall, J.E., Greenwood, R.N., Farrington, K., (1999). The effect
of exercise during hemodialysis on solute removal. Nephrology Dialysis
Transplant, 14, 2927-2931.

Matalka, I., Bani-Hani, K., Shotar, A., et al (2008). Transitional cell carcinoma
of the urinary bladder: a clinicopathological study. Singapore Medical
Journal, 49, 790-4

Michaud, D.S., (2007). Chronic inflammation and bladder cancer. Urol Oncol.
;25:260–268.

Makhlough, A., Ilali, E., Mohseni, (2012). Effect of intradialytic aerobic


exercise on serum electrolytes levels in hemodialysis patients. Iranian
Journal of Kidney Disease. 6 (2), 119-122.

Murta, N.C, Schmitz, D.B.J, Zeegers, M.P, et al. (2007). Epidemiology of


urinary bladder cancer: from tumour development to patient’s death.
World Journal Urology ;25:285–95.

NANDA. (2014). Nursing Diagnoses: Definitions & Classification.


Philadelphia: NANDA International

Nabili S. Creatinine blood test. (2010). Diperoleh dari :


http://www.medicinenet.com/creatinine_blood_test/article.htm

National cancer institute, (2013). Comprehensive cancer information. Diperoleh


dari : http://www.cancer.gov

NKF – KDOQI, (2006). Update clinical practice guidelines and recomendation.


Diperoleh dari : http://www.kidney.org/professionals/kdoqi
Orem, D.E. (2001). Nursing: Concept of Practice. 6th edition. St. Louis:
MosbyInc.

Parkin, D.M. (2008). The global burden of urinary bladder cancer. Scand
journal urol nephrol, Suppl (218), 12-20.

Parsons, T.L., Toffelmire, E.B., King, V. V., (2004). The effect of an exercise
program during haemodialysis on dialysis efficacy, blood pressure and
quality of life in end stage renal disease (ESRD) patients. Clinical
Nephrology, 61, 261-274

Pernefri, (2003), Konsesus dialisis perhimpunan nefrologi Indonesia. Jakarta.

Potter, P.A., Perry, A.G., (2009). Fundamental of Nursing. (7th Eddition).


(Ferderika, A. Penerjemah). Jakarta: Salemba Medika

Purnomo, B.B., (2011). Dasar – dasar urologi., (edisi ketiga). Jakarta; Sagung
Seto.

Pusparini, (2000). Perubahan respon imun pada penderita gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis. Jurnal Kedokteran Trisakti, vol 9,3: 115 –
124.

Price, S.A., Wilson, L.M., (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit,
(edisi ke-6). Jakarta : EGC

Ries, L.A.G., (2007). Cancer survival among adults : U.S. SEER program, 1988-
2001, patient and tumor characteristics, 276p. pp., U.S. Department of
Health and Human Services, National Institutes of Health, National
Cancer Institute, Bethesda, MD.

Riyanto, W., (2012). Analisis Praktek Residensi Keperawatan Medikal Bedah


Pada Pasien Gangguan Sistem Perkemihan Dengan Penerapan Teori
model adaptasi Roy di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Karya Ilmiah Akhir, Universitas Indonesia.

Rizzioli, E., Cerretani, D., Normanno, M., Munaro, D., Berto, A., Contarello, G.,
Rizzo, E., Conz, P.A, (2004). Physical exercise during hemodialysis
session: effect on quality of life. G Ital Nefrol. Nefrolologia e Dialisi. Nov-
Dec;21

Sherwood, L., (2012). Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. (Edisi 6). Jakarta:
EGC.

Siegel, R., Naishadham, D., Jemal, A., Cancer statistics, (2012). CA Cancer
Journal Clinic. 2012;62(1):10-29.

Smart, N., & Steele, M., (2011). Exercise training in haemodialysis patients: A
systematic review and meta-analysis. Nephrology (Carlton), 16(7), 626–
632.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal - Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Jakarta : EGC.

Stamm, W.E., (2002) Scientific and clinical challenges in the management of urinary
tract infections. American Journal Medical. ;113 Suppl 1A:1S–4S

Suhardjono., (2013). Penyakit ginjal kronik, dampak dan penanganannya. Seminar


nasionalperhimpunan nefrologi Indonesia: Naskah tidak dipublikasikan.

Sukandar,E.,(2006).TerapiPenggantiGinjaldenganDialisis.
Dalam:Nefrologi Klinik. Edisi III. FK UNPAD.

Supit, W., Mochtar, C.A., Sugiono, M., Umbas, R., (2011). Survival of patients with
transitional cell carcinoma of the urinary bladder in Indonesia : A single institution
review. Asian pacific journal cancer prevention; 12 : 549-553.

Tomey, A.M., & Alligood, M.R., (2006). Nursing Theory : utilization and application
(3rd ed). St Louis, MO : Mosby/ Elsevier.

Umbas, R., (2007). Bladder cancer: 10 years experience from two tertiary care
hospitals in Indonesia. Indonesian Journal Surgical, 35, 17-22.

Yarbro, C.H., Wujcik, D., Globe, H.B., (2011). Cancer nursing : Principles and
practice (7th edition). Elseiver.

Zhang, Y., Zhu, C., Curado, M.P., et al, (2012). Changing patterns of bladder cancer
in the USA: evidence of heterogeneous disease. BJU Int.;109(1):52-56.

Zygas, S., & Sarafis, P., (2009). Hemodialysis adequacy – contemporary trends.
Health science journal, 3(4), 2009-215.

Anda mungkin juga menyukai