Oleh:
RENI SUSANTI
NPM : 1106043141
Oleh:
RENI SUSANTI
NPM : 1106043141
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, berkah
dan karunia Nya, sehingga dapat menyelesaikan penyusunan Karya Tulis Ilmiah
yang berjudul : “Analisis Praktek Residensi Keperawatan Medikal Bedah Pada
Pasien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan Dengan Penerapan Teori Self Care
Orem di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta”.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari semua pihak yang
terkait Karya Tulis Ilmiah ini tidak dapat terwujud, untuk itu dengan segala
hormat perkenankan penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Dra Junaiti Sahar, SKp, Mapp. Sc, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
2. Henny Permatasari, SKp, M.Kep, Sp. Kom selaku Ka prodi program Pasca
Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
3. Direktur beserta staf, khususnya Ka Instalasi Bougenville, Kepala ruang
beserta perawat ruang hemodialisis yang telah mengizinkan penulis untuk
melaksanakan praktek residensi ini.
4. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, yang telah memberi kesempatan kepada
penulis melanjutkan pendidikan Ners Spesialis ini.
5. Agung Waluyo,SKp, MSc, PhD, selaku pembimbing dan supervisor utama
yang telah banyak meluangkan waktu memberikan pengarahan dengan sabar
kepada penulis selama Praktek residensi Keperawatan Medikal Bedah
6. Lestari Sukmarini, S.Kp. MNS, selaku supervisor yang telah banyak
memberikan pengarahan dengan sabar, cermat dan teliti kepada penulis
selama Praktek residensi Keperawatan Medikal Bedah
7. Ns Welas Riyanto, M.Kep, Sp.KMB, selaku pembimbing klinik RSUP
Fatmawati yang telah banyak memberikan motivasi, kesempatan dan
bimbingannya selama menjalani masa praktek residensi.
8. Seluruh dosen pengajar Program Spesialis Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia, Khususnya Spesialis Keperawatan Medikal Bedah dan seluruh staf
akademik, perpustakaan, dan tata usaha yang telah membantu selama proses
pembelajaran serta penyusunan Karya Tulis Ilmiah.
9. Keluargaku tercinta khususnya anakku Alyaa yang telah dengan sabar dan
penuh pengertian sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan Program
Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
10. Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Program Ners Spesialis Keperawatan
Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, atas
inpirasi, kerja sama dan dukungan motivasi, serta pihak lain yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang membantu penulis dalam menyelesaikan
Karya Tulis Ini.
11. Semua pihak yang tidak bisa satu persatu penulis ungkapkan, terima kasih
atas
bantuan serta dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan
Ners Spesialis ini.
Akhirnya semoga bimbingan dan bantuan beliau dicatat sebagai amal ibadah
oleh Allah SWT dan harapanpenulis bahwa Karya Tulis Ilmiah yang masih jauh
dari sempurna ini mendapat saran dan masukan agar menjadi lebih baik dan
semoga
Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat.
Depok, Juli 2012
Penulis
PROGRAM SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
Karya Ilmiah Akhir, Juli 2014
Reni Susanti
Laporan Hasil Pelaksanaan Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah Pada
Pasien Gangguan Sistem Perkemihan Dengan Penerapan Teori Self Care Orem di
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Abstrak
Karya ilmiah akhir ini disusun untuk memberikan gambaran tentang pelaksanaan
praktek residensi keperawatan medikal bedah yang telah dilaksanakan selama dua
semester. Kegiatan utama yang telah dilaksanakan diantaranya memberikan
asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan, praktek
keperawatan berbasis pembuktian, dan inovasi keperawatan. Asuhan keperawatan
yang dilakukan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan menggunakan
konsep teori Self Care Orem. Masalah keperawatan yang paling sering terjadi
pada pasien dengan gangguan perkemihan diantaranya kelebihan volume cairan,
intoleran aktifitas, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Untuk
mengatasi masalah tersebut telah dilakukan berbagai intervensi keperawatan
berdasarkan sistem keperawatan sesuai dengan kemampuan pasien dalam
memenuhi kebutuhannya. Penerapan praktek keperawatan berbasis pembuktian
dilaksanakan dengan memberikan latihan fisik saat hemodialisis untuk
meningkatkan adekuasi hemodialisis. Tujuan latihan fisik ini adalah untuk
meningkatkan pengeluaran ureum yang merupakan zat toksik dalam tubuh,
sehingga adekuasi dicapai secara optimal. Hasil menunjukkan adekuasi
hemodialisis meningkat sebesar 70,2 %. Inovasi keperawatan dilakukan dengan
melaksanakan edukasi manajemen pasien hemodialisi dengan memberikan
booklet pada pasien yang menjalani hemodialisis. Hasil program inovasi
menunjukkan bahwa pengetahuan pasien meningkatkan. Dapat disimpulkan
bahwa teori Self Care yang diterapkan pada pasien dengan gangguan perkemihan
mengoptimalkan kemampuan pasien dalam mempertahankan kebutuhannya.
Disarankan agar teori Self Care Orem ini dapat diterapkan dalam memberikan
asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan, latihan
fisik saat hemodialisis dapat diberikan sebagai terapi keperawatan dalam
meningkatkan adekuasi hemodialisis serta melakukan edukasi pada pasien untuk
meningkatkan pengetahuannya sehingga kesehatan yang optimal dapat tercapai.
Kata kunci : Gangguan sistem perkemihan, latihan fisik saat hemodialisis dan
manajemen pasien hemodialisis.
Abstract
Hal
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... ii
HALAMAN BEBAS PLAGIARISME.......................................................... iii
PERNYATAAN ORISINALITAS................................................................ iv
HALAMAN PERNYATAAN PUBLIKASI.................................................. v
KATA PENGANTAR.................................................................................... vi
ABSTRAK...................................................................................................... vii
DAFTAR ISI.........................................................................................................viii
DAFTAR SKEMA......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... x
DAFTAR TABEL........................................................................................... xi
DAFTAR GRAFIK........................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................ 1
10.2 Tujuan Penulisan...........................................................................5
10.3 Sistematika Penulisan....................................................................6
BAB 4 PEMBAHASAN
4.1 Analisis penerapan teori Self Care Orem pada 32 kasus 75
kelolaan...................................................................................
4.2 Analisis penerapan praktek keperawatan berdasarkan bukti... 79 4.3
Analisis penerapan proyek inovasi...............................................81
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran
Skema 2.1 Basic nursing system........................................................... 26
Gambar 2.1 Anatomi kandung kemih................................................ 7
Tabel 3.2 Nilai ureum dan kreatinin pasien yang diberikan latihan 69
fisik di instalasi Bougenville ruang Hemodialisis RSUP
Fatmawati Jakarta...............................................................
Tabel 3.3 Nilai ureum dan kreatinin pasien yang diberikan latihan 70
sepeda statis tahun 2012 di instalasi Bougenville ruang
Hemodialisis RSUP Fatmawati Jakarta..............................
Grafik 3.1 Nilai rata – rata ureum dan kreatinin pasien yang 71
menjalani hemodialisis sebelum dan sesudah diberikan
latihan fisik di Instalasi Bougenville ruang hemodialisis
RSUP Fatmawati Jakarta....................................................
Lampiran 3 Jurnal
xv
BAB 1
PENDAHULUAN
masyarakat dan populasi (Perry & Potter, 2009). Keperawatan sebagai profesi
bertindak secara profesional dalam memberikan asuhan keperawatan harus
berdasarkan ilmu pengetahuan. Pelayanan kesehatan saat ini semakin
berkembang, demikian juga dengan profesi keperawatan yang senantiasa
mengikuti perkembangan dan kemajuan dalam berbagai bidang untuk
meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan. Kecenderungan perkembangan
tersebut didasari oleh perubahan ilmu, teknologi medis dan kemanusiaan,
pergeseran dalam pendidikan dan organisasi keperawatan profesional,
reformasi perawatan kesehatan, dan sistem layanan kesehatan. Sesuai dengan
hakekat profesi yang terkait dengan pendidikan, dibentuk upaya untuk
meningkatkan kualitas asuhan keperawatan dan pengembangan ilmu
keperawatan melalui
program pendidikan keperawatan berkelanjutan (Potter &Perry, 2009).
Bentuk program pendidikan keperawatan berkelanjutan salah satunya adalah
program pendidikan spesialis keperawatan medikal bedah. Peran perawat yang
diharapkan pada program pendidikan berkelanjutan ini adalah perawat sebagai
pemberi asuhan keperawatan lanjut pada kasus yang kompleks
(practitioner/care provider), pendidik (educator), konselor (counselor), agen
perubahan atau agen inovasi (change egent/innovator), penasihat klien (client
advocate), manajer (manager), peneliti (researcher), dan pelindung (protector)
(NACNS, 2008 dalam Potter & Perry, 2009). Salah satu pendidikan
berkelanjutan dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan ini adalah
program spesialis keperawatan medikal bedah peminatan sistem perkemihan
yang khusus memperdalam pelaksanaan asuhan keperawatan profesional terkait
dengan masalah – masalah pada sistem perkemihan.
1 Universitas Indonesia
Program spesialis keperawatan medikal bedah peminatan sistem perkemihan ini
dilaksanakan selama 2 semester terdiri dari 20 SKS yang dilakukan dalam
bentuk program praktek residensi 1, 2 dan 3 dimana masing – masing
mempunyai target kompetensi selama melaksanakan praktek yaitu mampu
melaksanakan asuhan keperawatan kepada pasien dengan gangguan sistem
perkemihan, melaksanakan tindakan keperawatan mandiri berbasis pembuktian
ilmiah (evidence based nursing practice), berperan sebagai edukator bagi
perawat diruangan/ pasein/ keluarga serta melakukan program inovasi dalam
Kasus – kasus yang dikelola pada sistem perkemihan mempunyai dampak yang
berbeda – beda dari setiap pasien, diantaranya memunculkan perubahan dalam
memenuhi kebutuhan perawatan diri pada pasien sehingga kasus – kasus pada
sistem perkemihan ini memerlukan pengelolaan asuhan keperawatan yang
profesional agar pasien dan perawat mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
Pendekatan asuhan keperawatan yang digunakan dalam memenuhi perawatan
diri ini adalah pendekatan teori Dorothea E. Orem. Orem berpendapat bahwa
asuhan keperawatan dilakukan dengan meyakini bahwa setiap individu
mempelajari kemampuan untuk merawat dirinya sendiri dalam memenuhi
kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan kesejahteraannya. Teori ini dikenal
dengan teori self care (perawatan diri). Orem mengklasifikasikan dalam 3
Perawatan pasien dengan pendekatan teori perawatan diri ini dapat menjadi
panduan dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan kanker
kandung kemih agar pasien siap dalam melanjutkan perawatan dirinya di rumah
dengan optimal. Teori perawatan diri Orem berusaha mengoptimalkan
kemampuan diri pasien dalam merawat dirinya dan memberikan pengaruh
terhadap aktualisasi diri pasien. Keberhasilan diri pasien merawat dirinya akan
meningkatkan kualitas hidup pasien.
Berdasarkan hal tersebut, penulis melaporkan hasil praktik residensi
keperawatan medikal bedah pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan
dengan menggunakan pendekatan teori Self Care (perawatan diri) Orem di
RSUP Fatmawati Jakarta. Pemaparan laporan ini juga mencakup penerapan
berbagai peran perawat dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien-
pasien menggunakan Evidence Based Nursing Practice (EBNP), salah satunya
dengan melaksanakan latihan fisik saat hemodialisis dalam meningkatkan
adekuasi. Untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yang menjalani
Tujuan Penulisan
Tujuan Umum
(EBNP) serta laporan proyek inovasi. Sedangkan Bab 4 berisi tentang pembahasan
berbagai kesenjangan yang ditemukan selama melaksanakan residensi. Bab 5
menguraikan kesimpulan dari laporan KIA serta saran – saran berdasarkan
kesenjangan – kesenjangan yang ditemukan selama praktik residensi.
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Bab 2 ini menjelaskan tentang konsep teori kanker kandung kemih dan ileal
conduit urinary diversion serta teori perawatan diri Orem yang diaplikasikan
pada asuhan keperawatan.
Sumber : http://hadijah-arsyad.blogspot.com
Kandung kemih adalah, organ otot berongga yang berfungsi mengumpulkan
urin. Kandung kemih ini terletak di bagian bawah abdomen yang dilapisi
dengan membran yang disebut urothelium. Sel – sel membran ini disebut sel
transisional atau sel urothelial. Dinding kandung kemih memiliki tiga lapisan
yaitu mukosa, submukosa dan muskularis. Muskularis ini terdiri dari lapisan
otot longitudinal yang berada diantara otot polos dan lapisan otot melingkar.
Lapisan otot ini dikenal sebagai otot detrusor, dan otot ini yang berfungsi untuk
mengeluarkan urin dari kandung kemih (Ellis 2004).
Dinding kandung kemih memiliki 4 lapisan utama. Lapisan terdalam terdiri dari
sel yang disebut urothelial atau sel transisi, lapisan ini disebut urothelium atau
epitel transisi. Di bawah urothelium terdapat lapisan tipis jaringan ikat,
pembuluh darah, dan saraf, yang disebut lamina propria. Lapisan berikutnya
adalah lapisan tebal otot yang disebut propria muskularis. Di luar dari otot ini,
terdapat lapisan jaringan ikat lemak yang memisahkan kandung kemih dengan
organ lain yang terdekat (American Cancer Society, 2014).
Ada dua bentuk kanker kandung kemih yaitu bentuk superfisial (yang cendrung
kambuhan) dan bentuk invasif. Sekitar 80 – 90% dari semua kanker kandung
kemih merupakan sel transisional (kanker yang berasal dari sel – sel transisional
kandung kemih (Smeltzer & Bare, 2002). 9 dari 10 kanker kandung kemih ini
adalah jenis karsinoma sel – sel transisional (American Cancer Society, 2014).
Sebagian besar kasus kanker kandung kemih adalah urothelial (sel transisional)
karsinoma, yang mewakili 90% sampai 95% dari semua kasus. Histologis
lainnya termasuk skuamosa karsinoma sel (1,5%), adenokarsinoma (1,2%), dan
karsinoma sel kecil (<1%) (Zhang, Zhu, Curado, et.al, 2012). Karsinoma sel
transisional dari kandung kemih juga merupakan histologis yang paling umum
terjadi di Indonesia yaitu sekitar 80% (Umbas, 2007), dan lebih dari 90% di
negara - negara lain (Ries, 2007;. Matalka et al, 2008; Gupta et al, 2009; Kong et
al., 2010).
2.1.4 Etiologi, dan Faktor Resiko
Keganasan pada kandung kemih terjadi karena induksi bahan karsinogen yang
banyak terdapat di sekitar kita. Beberapa faktor resiko yang mempermudah
seseorang menderita kanker kandung kemih (Purnomo, 2011; American Cancer
Society, 2014) adalah
Pekerjaan : Pekerja – pekerja di pabrik kimia (terutama pabrik cat),
laboratorium, pabrik korek api, tekstil, pabrik kulit dan pekerja pada salon
rambut sering terpapar oleh bahan karsinogen berupa senyawa amin aromatik
memiliki resiko lebih tinggi terkena kanker kandung kemih (Brand, Le,
MacArtur, Fang, Gallagher, 2005), terutama ketika masa kerja 10 tahun atau
lebih (Cassidy, Wang, Wu, Lin, 2009).
Perokok : merokok adalah faktor risiko yang paling utama pada penyakit kanker
kandung kemih (National Cancer Institute, 2013). Rokok mengandung bahan
karsinogen berupa amin aromatik dan nitrosamin. Bagi seorang perokok
beresiko 2 – 6 lebih besar kali terkena kanker kandung kemih dibandingkan
dengan yang bukan perokok. Merokok merupakan penyebab separuh dari
kanker kandung kemih yang terjadi baik pada laki – laki ataupun perempuan.
Perokok menghirup, beberapa karsinogen (bahan kimia penyebab kanker)
dalam asap tembakau dan diserap oleh paru – paru kemudian masuk ke dalam
darah. Dari darah bahan – bahan tersebut akan disaring oleh ginjal dan
terkonsentrasi dalam urin. Bahan kimia ini dalam urin dapat merusak sel – sel
yang melapisi bagian dalam kandung kemih, yang meningkatkan kemungkinan
kanker berkembang. Merokok diyakini Penyebab utama penyakit dan dapat
menjelaskan tentang 50%
kasus
Infeksidi saluran
negara maju (Jonkovic’
kemih : infeksi& saluran
Radozalvljevic’, 2007).adalah penyakit urologi
kemih (ISK)
yang paling umum di Amerika Serikat, khususnya di kalangan perempuan.
Sekitar 50% perempuan memiliki satu gejala infeksi selama masa hidup mereka,
dan sering memiliki episode berulang (Stamm, 2002). Infeksi saluran kemih,
ginjal dan batu kandung kemih, kateter kandung kemih yang tersisa di tempat
lama, dan penyebab lain dari iritasi kandung kemih kronis telah dikaitkan
dengan kanker kandung kemih (terutama karsinoma sel skuamosa kandung
kemih), tetapi tidak jelas apakah hal ini benar – benar menyebabkan kandung
kemih kanker. Schistosomiasis (juga dikenal sebagai bilharziasis), infeksi
dengan cacing parasit yang disebut Schistosoma hematobium yang bisa masuk
ke dalam kandung kemih, juga merupakan faktor risiko untuk kanker kandung
kemih. Telah diketahui bahwa kuman – kuman E.coli dan proteus spp
menghasilkan nitrosamin yang merupakan zat karsinogen. Hubungan antara
Schistosomiasis dan kanker kandung kemih terbukti dan merupakan resiko
tinggi meningkatnya kanker kandung kemih di sejumlah negara berkembang,
termasuk Mesir. Di negara maju, karsinoma sel transisional adalah jenis utama
dari kanker kandung kemih, sedangkan di daerah endemik Schistosomiasis,
karsinoma sel skuamosa adalah jenis yang paling umum (Michaud, 2007).
Usia : resiko kanker kandung kemih meningkat pada usia lebih dari 55 tahun. 9
dari 10 kanker kandung kameh terjadi pada usia ini. Penelitian yang dilakukan
oleh Anastasiau, Mygdalis, Mihalakis et.al (2010) dari 202 orang responden
dalam penelitiannya 168 orang (83,2%) yang menderita kanker kandung kemih
berusia lebih dari 55 tahun. Di Indonesia menurut penelitian Supit, Mochtar,
Sugiono, Umbas (2011) rata – rata usia pasien yang menderita kanker kandung
kemih juga diatas 55 tahun.
Jenis kelamin : kanker kandung kemih lebih banyak ditemukan pada laki – laki
dari pada perempuan. Diperkirakan kejadian keseluruhan kanker kandung
kemih di Amerika Serikat pada tahun 2012 adalah 73.510 kasus baru yang
melibatkan 55.600 laki-laki dan 17.910 perempuan (Siegel, Naishadham, Jemal,
2012). Hasil penelitian Karagas, Park, Warren, et.al (2004) juga mengemukakan
bahwa laki – laki dan merokok merupakan faktor resiko utama penyebab kanker
kandung kemih. Hal senada juga dikemukakan oleh Anastasiau, Mygdalis,
Mihalakis et.al (2010) pada penelitiannya juga didapatkan bahwa pasien yang
menderita kanker kemih lebih banyak laki – laki dari pada perempuan yaitu
86,1% laki p laki dan 13,9% perempuan. Di Indonesia juga ditemukan hal yang
sama bahwa penderita kanker kandung kemih kebanyakan berjenis kelamin laki
– laki yaitu sekitar 86,2% dengan perbandingan 6 : 1 antara laki – laki dan
perempuan (Supit et al, 2011).
2011). Adanya darah dalam urin (hematuria) merupakan gejala awal dari kanker
kandung kemih. Hematuria berat atau tanpa nyeri adalah bejala kanker
kandung kemih yang paling sering ditemukan. Infeksi saluran kemih merupakan
komplikasi yang sering terjadi dan menyebabkan gejala sering berkemih,
urgensi, dan nyeri saat berkemih (Smeltzer & Bare, 2002). Hematuria dapat
menimbulkan retensi bekuan darah sehingga pasien mengeluh tidak dapat
buang
air kecil (Purnomo, 2011).
Gejala kanker kandung kemih yang telah tumbuh cukup besar atau telah
menyebar ke bagian lain dari tubuh kadang-kadang menyebabkan gejala lain,
seperti tidak bisa buang air kecil, nyeri punggung bawah pada satu sisi,
kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan, pembengkakan pada kaki
dan nyeri tulang (American Cancer Society, 2014).
Stadium untuk menentukan derajat yang paling sering digunakan untuk kanker
kandung kemih menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) adalah
sistem TNM. TNM sistem stadium berdasarkan 3 buah kunci informasi
(American Cancer Society, 2014) :
T menggambarkan seberapa jauh utama (primer) tumor telah tumbuh
melalui dinding kandung kemih dan apakah itu telah tumbuh menjadi
jaringan di sekitarnya.
Sumber :
http://www.cancer.org
TX : Tumor utama tidak dapat dinilai karena kurangnya informasi T0 : Tidak ada
bukti tumor primer
Ta : Karsinoma papiler Non – invasif
Tis : Non-invasif karsinoma datar (karsinoma in situ datar, atau CIS)
T1 : Tumor telah berkembang dari lapisan sel yang melapisi kandung kemih ke
dalam jaringan ikat di bawahnya namun tidak tumbuh ke dalam lapisan otot
kandung kemih.
T2 : Tumor telah tumbuh ke dalam lapisan otot.
T2a : Tumor telah tumbuh hanya memasuki babak bagian dalam lapisan otot.
Kanker telah tumbuh ke dalam lapisan otot tebal dinding kandung kemih ,
tapi belum sampai sepenuhnya melalui otot untuk mencapai lapisan
jaringan lemak yang mengelilingi kandung kemih (T2). Kanker belum
menyebar ke
kelenjar getah bening (N0) atau ke tempat yang jauh (M0).
3. Stadium III (T3a , T3b , atau T4a , N0 , M0)
4. Stadium IV
Salah satu berikut ini berlaku:
T4b, N0, M0 : Kanker telah tumbuh melalui dinding kandung kemih dan ke
dalam panggul atau dinding perut (T4b). Kanker belum menyebar ke kelenjar
getah bening (N0) atau ke tempat yang jauh (M0), atau setiap T,
N1 ke N3, M0 : Kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening terdekat
(N1 - N3) tetapi tidak untuk tempat yang jauh (M0) atau setiap T , setiap N
,M1 : Kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening jauh atau ke situs
seperti tulang ,hati ,atau paru-paru (M1)
Gambar 2.3
Sumber : http://www.health.harvard.edu
Gambar 2.4
Sumber : http://www.asiancancer.com
aminobifamil seperti pekerja pada pabrik zat kimia, pabrik cat dan lain
sebagainya akan selalu terpapar dengan zat – zat tersebut. Kebiasaan merokok
juga menjadi penyebab terjadinya kanker kandung kemih, dimana dalam rokok
terkandung zat amina aromatik dan nitrasamin yang juga merupakan salah satu
penyebab terjadinya kanker kandung kemih.
Zat – zat tersebut masuk dalam peredaran darah melalui saluran atau sistem
pernafasan yang akan mengaktifkan asam arachidonat dan prostaglandin
sehingga sel point termoregulator meningkat dan menyebabkan aktivitas
metabolisme dan vasokontriksi perifer meningkat yang menghasilkan produksi
panas. Selanjutnya zat karsinogen masuk ke ginjal dan terfiltrasi di glomerulus.
Radikal bebas tersebut bergabung dg urin secara terus menerus dan masuk ke
kandung kemih. Radikal bebas mengikat elektron DNA & RNA sel transisional
sehingga terjadi kerusakan DNA. Mutasi pada genom sel somatik menyebabkan
pengaktifan onkogen pendorong pertumbuhan, perubahan gen yang
mengendalikan pertumbuhan, dan penonaktifan gen supresor kanker. Sehingga
produksi gen regulatorik hilang dan replikasi DNA berlebih dan akhirnya terjadi
kanker pada akan
kemih maka kandung kemih.
terjadi Dengan
tekanan adanya
sehingga penambahan
menyebabkan massa refluks
terjadinya di kandung
pada
ureter dan ginjal yang mengakibatkan retensi urin di ginjal. Tertahannya urin di
ginjal menyebabkan terjadinya hidronefrosis sehingga secara bertahap akan
merusak ginjal, fingsi ginjal ekresi dan filtrasi ginjal menjadi terganggu (Black
& Hawks, 2009; Price & Wilson, 2006; Sherwood, 2011; Guyton, 2008).
2.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang pertama kali dilakukan pada pasien kanker kandung
kemih adalah reseksi kandung kemih transuretra atau TUR buli – buli (Purnomo,
2011). Terapi selanjutnya tergantung dari derajat tumornya (yang didasarkan
pada serajat diferensiasi sel), stadium pertumbuhan tumot (derajat invasi lokal
serta ada tidaknya metastase) dan multi sentrisitas tumor (apakah tumor tersebut
memiliki banyak pusat). Usia pasien dan status fisik, mental serta emosional
harus dipertimbangkan dalam menentukan terapinya.
Jenis utama dari pengobatan untuk kanker kandung kemih adalah bedah, terapi
intravesikal, kemoterapi dan terapi radiasi (American Cancer Society, 2014).
Penanganan kanker kandung kemih tergantung pada derajat tumornya (yang
didasarkan pada derajat deferiensi sel), stadium pertumbuhan tumor (derajat
invasi local serta ada tidaknya metastase) dan multisentrisitas tumor tersebut
(apakah tumor tersebut memiliki banyak pusat).Usia pasiaen dan status fisik,
mental serta emosional harus dipertimbangkan dalam menentukan bentuk
terapinya (Purnomo, 2011).
kanker in situ atau jika resksi tumor tidak tuntas.Kemoterapi topical adalah
pemberian medikasi dengan konsentrasi yang tinggi (thiotepa, doxorubisin,
mitomisin, ethoglusid dan Bacilus Calmette – Guerin atau BCG) untuk
meningkatkan penghancuran jaringan tumor. BCG kini dianggap sebagai
preparat intravesikal yang paling efektif untuk kanker kandung kemih yang
kambuhan karena preparat ini akan menggalakkan respon imun tubuh terhadap
kanker. Pasien dibolehkan makan dan minum sebelum prosedur pemasukan
(instilasi) obat dilaksanakan, tetapi kandung kemih terisi penuh, pasien harus
menahan larutan preparat intravesikal tersebut selama 2 jam sebelum
mengalirkannya keluar dengan berkemih. Pada akhir prosedur, pasien
dianjurkan untuk buang air kecil dan meminum cairan sekehendak hati untuk
membilas
preparat tersebut dari kandung kemih.
Radiasi tumor dapat dilakukan sebelum pembedahan untuk mengurangi
mikroekstensi neoplasma dan viabilitas sel-sel tumor sehingga kemungkinan
timbulnya kanker tersebut didaerah sekitarnya atau kemungkinan penyebaran
sel-sel kanker lewat sirkulasi darah atau system infatik dapat dikurangi.Terapi
radiasi juga dilakukan bersama pembedahan atau dilakukan untuk
mengendalikan penyakit pada pasien dengan tumor yang tidak dapat dioperasi.
Kanker kandung kemih juga dapat diobati dengan infuse langsung preparat
sitotoksik melalui suplai darah arterial organ yang terkena sehingga bisa tercapai
konsentrasi preparat kemoterapeutik yang lebih tinggi dengan efek toksik
sistemik yang lebih kecil. Untuk kanker kandung kemih yang lebih lanjut atau
untuk pasien hematuria yang membandel (setelah terapi radiasi), sebuah balon
besar berisi air yang ditempatkan dalam kandung kemih akan membuat
nekrosis tumor dengan mengurangi suplai darah kedinding kandung kemih
(terapi hidrostatik). Terapi instilasi dengan cara memasukkan larutan formali,
fenol atau perak nitrat dapat meredahkan gejala hematuria dan stranguria
(pengeluaran urin
yang lambat dan nyeri) pada sebagian pasien.
2.2 Ileal Conduit Urinary Diversion
Diversi urin yang masih dianggap gold standard yang dilakukan oleh dokter
bedah adalah ileal conduit karena tingkat komplikasinya yang rendah. Prosedur
diversi urin ini dilakukan untuk mengalihkan aliran urin dari kandung kemih ke
tempat yang lain dan biasanya melalui lubang yang dibuat melalui pembedahan
pada kulit (stoma). Pada ileal conduit ini aliran urin dialihkan dengan
mengimplantasikan ureter ke dalam gelungan ileum yang dibiarkan
berhubungan keluar lewat dinding abdomen. Gelungan ileum ini merupakan
conduit (saluran)msederhana untuk aliran urin dari ureter ke
permukaan.
2002; Black Untuk
& Hawks, 2009). Lebih dari 30 tahun ileum merupakan pilihan
menampung urin uang keluar digunakan kantong ileostomi (Smeltzer & Bare,
saluran paling baik yang digunakan untuk mengalirkan urin yang digunakan oleh
ahli bedah setelah dilakukan pengangkatan kandung kemih (Colombo & Naspro,
2010).
Gambar 2.5
Sumber :
http://www.cancer.ca
Barrier kulit dan kantong drainase urin dipasang setelah pembedahan dilakukan
di sekitar conduit dan dihubungkan dengan drainase. Kantong yang tembus
pandang dipasang untuk memudahkan untuk mengevaluasi pengeluaran urin
dengan lebih baik, melihat tanda – tanda iritasi dan perdarahan dari mukosa
stoma, pembentukan krusta dan iritasi kulit di sekitar stoma serta tanda – tanda
infeksi pada luka (Smeltzer & Bare, 2002).
Akibat atau komplikasi yang ditimbulkan setelah pembentukan ileal conduit ini
mencakup infeksi luka atau dehisens, perembesan urin, iritasi kulit, obstruksi
ureter, penyempitan stoma (stenosis stoma), pyelonefritis, hidronefrosis, dan
pembentukan batu ginjal (Smeltzer & Bare, 2002; Black & Hawks, 2009).
Gambar 2.6
Sumber : http://www.parthenoninc.com
2.3 Teori Perawatan Diri Orem
2.3.1 Definisi Keperawatan
Konsep keperawatan khususnya dalam pandangan Orem mengenai pemenuhan
kebutuhan dasar, terdiri dari udara, air, makanan, eliminasi, istirahat dan
kegiatan, kesendirian dan interaksi sosial, pencegahan risiko, peningkatan fungsi
normal tubuh. (Orem, 1971 dalam Tomey & Alligood, 2006). Keperawatan
memiliki perhatian pada kebutuhan manusia terhadap tindakan perawatan
dirinya sendiri dan kondisi serta penatalaksanaannya secara terus menerus dalam
menerus bagi individu yang secara total tidak mampu melakukannya. Perawat
juga membantu pasien untuk mempertahankan perawatan diri dengan
melakukannya sebagian, tetapi tidak seluruh prosedur, melainkan pengawasan
pada orang yang membantu pasien dengan memberikan instuksi dan
pengarahan
secara individual sehingga secara bertahap pasien mampu melakukannya
sendiri.
2.2.2.Keyakinan dan Nilai – Nilai
Tujuan yang harus dicapai melalui berbagai usaha perawatan pada teori
perawatan diri Orem kelompokkan menjadi :
Kebutuhan Perawatan Diri Universal (Universal Self Care Requisites) :
kebutuhan perawatan diri yang umum bertujuan untuk mencapai perawatan
diri atau kebebasan merawat diri dimana harus memiliki kemampuan untuk
mengenal, memvalidasi, mengenai anatomi dan fisiologi manusia yang
berintegrasi dalam lingkaran kehidupan. Secara umum Terdapat 8 teori
perawatan diri yaitu pemeliharaan kecukupan pemasukan udara, makanan,
cairan, mempertahankan proses eliminasi dan eksresi, pemeliharaan
keseimbangan antara aktivitas dan istirahat, pemeliharaan keseimbangan
antara kesendirian dan interaksi sosial, pencegahan resiko – resiko untuk hidup,
fungsi usia dan kesehatan manusia, peningkatan fungsi tubuh dan
keseimbangan
manusia dalam
Kebutuhan kelompok sosial
Pengembangan sesuai dengan
Perawatan potensinya Self Care Requisites)
Diri (Development
: Tujuan kebutuhan pengembangan perawatan diri berhubungan dengan
tingkat perkembangan individu dan lingkungan tempat tinggal yang
berkaitan dengan siklus kehidupan serta perubahan hidupnya. Beberapa hal
berhubungan dengan tingkat perkembangan perawatan diri adalah situasi yang
yang
mendukung terhadap perkembangan perawatan diri, terlibat dalam
pengembangan diri serta mencegah atau mengatasi dampak dari situasi individu
dan situasi kehidupan yang mungkin mempengaruhi perkembangan manusia.
(Orem, 1980 dalam Tomey & Alligood, 2006 ).
Kebutuhan Perawatan Diri yang Menyimpang dari Kesehatan (Health
Deviation Self Care Requisites) : Tujuan Perawatan diri dalam hal ini ditujukan
kepada orang yang sakit atau trauma, yang mengalami gangguan patologi,
termasuk ketidakmampuan dan pasien cacat yang sedang dirawat dan menjalani
terapi. Gangguan kesehatan dapat terjadi sepanjang waktu sehingga akan
mempengaruhi pengalaman individu dalam menghadapi kondisi sakit sepanjang
hidupnya. Penyakit atau trauma tidak hanya pada struktur tubuh, fisiologi dan
psikologi saja, tetapi juga pada konsep diri seutuhnya. Ketika konsep diri
Self Care Deficit : Perawat membantu pasien yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasar, terutama pada pasien dalam perawatan total. Perawatan
yang dilakukan biasanya kuratif dan rehabilitatif. Pemenuhan kebutuhan pasien
hampir semuanya tergantung pada pelayanan keperawatan yang dilakukan oleh
tim tenaga kesehatan terutama perawat (Orem, 1980 dalam Tomey & Alligood,
2006 ).
Menurut Nanda (2012-2014); Lewis (2011), dan Smeltzer & Bare (2009),
diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan, antara lain :
Kebutuhan Perawatan Diri Universal
3. Fisiologis kompleks
Intervensi keperawatan yang mendukung pengaturan homeostatis pasien,
yaitu manajemen keseimbangan elektrolit dan asam basa, perioperative care
berupa edukasi pra operasi.
a. Perilaku
b. Safety
c. Keluarga
Intervensi keperawatan yang mendukung unit fungsi keluarga dan
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anggota keluarga, yaitu
family process maintenance, family support, role enhancement
d. Health System
Intervensi keperawatan yang mendukung penggunaan sistem penerimaan
layanan kesehatan yang efektif. Intervensi yang diberikan diharapkan
dapat memfasilitasi pasien dan keluarga dalam menerima dan
memanfaatkan sistem pelayanan kesehatan. Intervensi keperawatan dapat
berupa discharge planning, environmental management : home
preparation, bedside laboratory testing, konsultasi
e. Komunitas
Intervensi keperawatan yang mendukung kesehatan komunitas, berupa
peningkatan kesehatan dan management resiko/komplikasi penyakit yang
mencakup health education, risk identification, environmental risk
protections
2.3.4Evaluasi Keperawatan
Bab ini menguraikan tentang asuhan keperawatan dan analisis yang meliputi
gambaran dan penerapan teori perawatan diri Orem pada pasien kanker kandung
kemih sebagai kasus kelolaan utama, laporan hasil penerapan Evidence Based
Nursing Practice (EBNP) dan lapon proyek inovasi.
Pasien Ny. MS usia 60 tahun masuk rumah sakit (RS) pada tanggal 10 Maret
2014. Pasien seorang ibu rumah tangga dengan 5 orang anak, selama dalam
perawatan pasien terlihat sabar dan ikhlas, serta mampu mengendalikan diri
dalam menjalani semua tindakan medis dan tindakan perawatan pasien sangat
kooperatif saat praktikan menanyakan tentang riwayat penyakit pasien, pasien
sering ditunggui setiap hari oleh saudaranya, kebutuhan pasien sehari – hari
dibantu oleh perawat dan keluargannya tersebut. Keluhan utama Ny. M masuk
RS buang air kecil berdarah semenjak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pengkajian dilakukan pada tanggal 11 Maret 2014, pasien di rawat di Ruang
Rawat Inap Lantai 4
Utara.
dan perih saat bak dan bak disertai keluarnya darah. Kemudian pasien
berobat ke dokter umum dan dokter menyatakan kalau pasien terkena
infeksi saluran kemih, dokter menganjurkan pasien untuk minum banyak.
Keluhan tersebut sering pasien rasakan dan pasien minum banyak untuk
mengatasi keluhannya. Lebih kurang 6 bulan yang lalu kembali pasien
merasakan keluhan nyeri saat bak dan bak disertai darah. Pasien melakukan
general chek-up, dari hasil pemeriksaan menurut pasien ditemukan adanya
34 UNIVERSITAS INDONESIA
tumor di kandung kemih, kemudian dilakukan biopsi. Dari hasil
pemeriksaan biopsi pasien harus menjalani kemoterapi. Pada bulan
November 2013 pasien menjalani kemoterapi sebanyak 8 kali dengan
frekuensi 1 kali perminggu. 1 bulan yang lalu sebelum masuk RS bak
mengeluarkan darah yang banyak, nyeri saat dan sesudah bak, bak terasa
panas. Kemudian pasien berobat ke poli bedah urologi dan dilakukan CT
scan abdomen. Dari hasil pemeriksaan tersebut dokter menyarankan pasien
utuk dilakukan operasi pengangkatan kandung kemih (radikal cystectomi +
ileal conduit).
tidak ada, pasien hanya terpasang venflon saja, minum ± 1500cc/24 jam,
pasien mampu memenuhi kebutuhan cairannya, hasil laboratorium Ht 35%,
ureum 41 mg/dl, kreatinin 1,2 mg/dl, natrium 137 mmol/l, kalium 4,8
mmol/l, klorida 106 mmol/l.
MempertahankankemampuanmemenuhikebutuhanPsikososial/
Spiritual : Pasien dapat berinteraksi dengan baik dan kooperatif pada
keluarga, pasien lain dan tenaga kesehatan. Pasien terlihat sangat antusias
dalam menceritakan masalah kesehatan yang dihadapinya. Salah satu anak
pasien seorang perawat dan pasien sering bertukar pendapat dengan anaknya
tersebut. Pasien merasa mungkin karena sebelum sakit ini pasien tidak
terlalu memperhatikan kesehatannya dan merasa gejala sering mengalami
infeksi saluran kemih merupakan hal yang biasa terjadi pada perempuan.
Pasien tidak lagi aktif sebagai kader di lingkungan tempat tinggalnya
semenjak terdeteksi menderita kanker kandung kemih dan menjalani
kemoterapi. Pasien berharap penyakitnya ini segera diatasi dan pasien
merasa sudah siap untuk dilakukan operasi. Namun pasien menanyakan
bagaimana statusnya sebagai perempuan yang bersuami dalam hal
pemenuhan kebutuhan seksual, apakah pasien masih bisa melayani
suaminya, karena pasien mengatakan suaminya jauh lebih muda dari
dirinya.
: Keadaan umum terlihat sakit sedang, pasien sering mengeluh nyeri pada
daerah supra pubiknya dan juga mengeluh nyeri bila akan buang air kecil
saat dan sesudah bak dengan skala 7 - 8, ekspresi wajah meringis, pasien
mengatakan kalau bak sering berdiri karena bila dibawa jongkok nyeri
terasa lebih, nyeri berkurang bila bak berdiri dan pasien menarik nafas
dalam serta istigfar untuk mengatasi nyerinya.
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang ditemukan berdasarkan Self Care defisit dan
perencanaan yang dibuat sesuai dengan tingkat ketergantungan pasien
didapatkan diagnosa keperawatan pada Ny MS sebagai berikut (Nanda,
2014; Smeltzer & Bare, 2002) :
1. Nyeri akut berhubungan dengan penekanan/ kerusakan jaringan syaraf
akibat pembesaran sel kanker kandung kemih
2. Ansietas berhubungan dengan kondisi penyakit, perubahan fungsi
peran, prosedur pembedahan dan perawatan pasca operasi
3. Defisit volume cairan berhubungan dengan post pengeluaran/
kehilangan volume cairan akibat pembedahan
4. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak
adekuat
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan diversi urinarius
Resiko disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur dan
fisiologis
c. Tujuan
Tujuan dari asuhan keperawatan pada pasien kanker kandung kemih yang
terpasang ileal conduit, merupakan tujuan akhir yang dicapai individu (Ny MS)
dalam memenuhi kebutuhan perawatan dirinya setelah permanen terpasang
kantong urostomy seumur hidupnya. Asuhan keperawatan ditujukan pada
pasien Ny MS terutama dalam mempertahankan kebutuhannya terhadap
pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit. (Tabel
3.1).
d. Intervensi keperawatan
e. Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan berdasarkan kemampuan pasien dalam
mempertahankan kebutuhan perawatan dirinya, kemampuan dalam
mengatasi kekurangan perawatan dirinya serta seberapa besar
kemampuannya kemandirian dan kemampuan keluarga dalam memberikan
bantuan dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri pasien bila pasien tidak
mampu memenuhinya sendiri (Tabel 3.1)
f. Rencana Asuhan Keperawatan
Tabel 3.1
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
Kebutuhan Perawatan Diri
Univesal
Data Subjektif Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri Setelah dilakukan tindakan
Pasien mengatakan dengan penekanan/ keperawatan selama 7 x 24 Mengkaji nyeri : keperawatan selama 7 x 24
nyeri di daerah supra kerusakan jaringan jam pasien dapat mengontol karakteristik, kualitas, jam pasien dapat
pubik syaraf akibat nyeri frekuensi intensitas dan mengontol nyeri
Pasien mengatakan pembesaran sel kanker faktor penyebab S:
kandung kemih Tujuan : timbulnya nyeri Nyeri daerah
nyeri bila ditekan
Nyeri hilang atau berkurang supra pubik
Pasien mengatakan Mencatat adanya
perubahan nyeri hilang/ berkurang
kalau bak sering Indikator :
berdiri, bila jongkok Mengobservasi Pasien dapat
Nyeri daerah tidur dan
atau duduk nyeri terasa ekspresi serta non
supra pubik beristirahat
lebih verbal pasien terhadap
hilang/ berkurang dengan tenang
Pasien mengatakan timbulnya nyeri
Pasien dapat Kebutuhan istirahat
nyeri bila pasien Membantu kebutuhan
tidur dan dan tidur terpenuhi
berubah – rubah posisi perawatan diri pasien
beristirahat Skala nyeri 3 – 5
saat di tempat tidur dalam memenuhi
dengan tenang Tanda – tanda vital
Pasien mengatakan kebutuhannya seperti
Kebutuhan istirahat kebersihan diri, dalam batas normal
tidak bisa tidur karena
dan tidur terpenuhi eliminasi, nutrisi dan Ekspresi wajah
nyeri
Pasien mengatakan Skala nyeri lain – lain lebih tenang
berkurang
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
nyeri datangnya tiba – Tanda – tanda vital Menjelaskan nyeri yang O:
tiba dalam batas normal dirasakan pasien Skala nyeri 7 – 8
Ekspresi wajah tidak Mengajarkan teknik Terlihat memegang
Data Objektif terlihat meringis relaksasi dan distraksi daerah supra pubik
Skala nyeri 7 – 8 Memberitahukan saat berjalan
Terlihat memegang Tingkat kemandirian pasien Wajah meringis
pada petugas
daerah supra pubik saat : partially compensatory kesakitan
kesehatan ataupun
berjalan medis tentang keluhan Tekanan darah
Wajah meringis nyeri pasien 100/60mmHg
kesakitan Memberikan terapi Nadi 68 kali/menit
Tekanan darah tramadol 100mg A:
100/60mmHg (tindakan kolaborasi) Masalah teratasi sebagian,
Nadi 68 kali/menit peroral pasien mampu mengontorl
nyeri, bantuan dalam
perawatan diri sendiri
membutuhkan dukungan
dan harapan saja
(supportif
– educative sistem). Pasien
menjalani operasi
pengangkatan kandung
kemih tanggal 19 maret
2014
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
P:
Post operasi pasien
dirawat di ruang ICU
Kebutuhan Pengembangan
Perawatan Diri
Data subjektif Ansietas berhubungan Setelah dilakukan tindakan Manajemen cemas Setelah dilakukan tindakan
Pasien mengatakan dengan kondisi keperawatan 7 x 24 jam Mengkaji verbal keperawatan 7 x 24 jam
kapan operasinya penyakit, perubahan cemas berkurang dan non verbal cemas berkurang
dilakukan fungsi peran pasien terhadap S:
Tujuan : cemas Pasien mengatakan
Pasien
Cemas hilang/ berkurang sudah bisa tidur
menanyakan Mengidentifikasi
bagaimana nanti pengetahuan pasien Pasien berharap
Indikator :
setelah operasi terhadap prosedur dengan
perannya sebagai Tidak ada gangguan pembedahan dilakukannya
seorang istri apakah tidur Mengkaji religi pasien operasi sumber
tidak terganggu Tidak ada Mengidentifikasi level penyakitnya akan
Pasien mengatakan perubahan pola cemas pasien hilang
hanya tahu bahwa makan Menjelaskan pada Pasien mengerti
kandung kemihnya Tidak terdapat pasien prosedur operasi akan dialami
akan diangkat peningkatan tekanan dan setelah operasi setelah operasi
Pasien mengatakan darah, nadi dan Menjelaskan pada Pasien mengerti
tidak nafsu makan pernafasan pasien bahwa perannya akan penundaan
Pasien mengatakan Tidak ada sebagai istri masih tetap jadwal operasinya
sering terbangun pernyataan – bisa dijalankan setelah
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
Pasien menanyakan pernyataan cemas operasi Pasien mengatakan
apakah sholatnya sah Pasien mengerti dan Menjelaskan pada siap untuk
dengan kantong yang memahami prosedur pasien bahwa sholatnya dilakukan operasi
terpasang ditubuhnya operasi sah bila tidak terdapat O:
Data objektif kebocoran pada kantong Tidak terdapat
Pasien memahami
Pasien bertanya jadwal penundaan penampungan urin peningkatan
tentang prosedur operasinya Menjelaskan pada tekanan darah, nadi
operasi Pasien mengerti pasien bahwa sah dan dan pernafasan
Pasien menanyakan tentang perannya tidak sahnya sholat itu (TD 110/60, nadi
kapan jadwal pasti sebagai istri setelah keputusan Allah SWT, 68 kali/mnt, RR 16
operasinya operasi yang terpenting kali/menit
Pasien menyakan menjaga kebocoran Pasien terlihat
apakah masih bisa Tingkat kemandirian pasien kantong urin. lebih tenang
pasien menjalankan : Mengidentifikasi Pasien tidak lagi
fungsinya sebagai istri partially compensatory keputusan pasien bertanya – tanya
tentang pengangkatan tentang perannya
kandung kemih tersebut sebagai istri
sudah dibicarakan
dengan suami A:
Membina hubungan Masalah teratasi, pasien
saling percaya menjalani operasi tanggal
Membantu pasien 19 maret 2014, bantuan
mendeskripsikan dalam perawatan diri
perasaannya sendiri membutuhkan
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
Memberi pujian pada dukungan dan harapan saja
pasien terhadap perilaku (supportif – educative
yang sesuai sistem).
Memberikan dukungan
pada pasien tetap sabar P:
dan ikhlas Post operasi pasien
Mendengarkan dirawat di ruang ICU
keluhan pasien
Berusaha hadir
menemani pasien dalam
meningkatkan
kenyamanannya dalam
menurunkan rasa cemas
Menyediakan waktu
untuk berdiskusi dengan
pasien dan keluarga
Menjelaskan setiap
tindakan yang akan
dilakukan
Menjelaskan
keuntungan dari teknik
relaksasi (nafas dalam,
berdoa, sholat dan
teknik PMR
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
Kebutuhan Perawatan Diri
Universal Defisit volume cairan Setelah dilakukan tindakan Manajemen cairan Setelah dilakukan tindakan
Data subjektif berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 Pertahankan catatan keperawatan selama 3 x 24
Pasien mengeluh lemas post pengeluaran/ jam 46 volume cairan intake dan output yang jam defisit volume cairan
Pasien mengeluh kehilangan volume teratasi akurat teratasi
pusing cairan akibat Monitor status hidrasi (
pembedahan Tujuan : S:
kelembaban 46erobic46
Data objektif Defisit volume cairan dapat Tidak mengeluh
mukosa, nadi adekuat,
Pasien post operasi diatasi lemas
tekanan darah
hari ke 5 Monitor hasil lab yang Tidak mengeluh
Ureum 143 mg/dl Indikator : pusing
sesuai dengan retensi
Kreatinin 1,9 mg/dl Tekanan darah, nadi,
cairan (BUN , Ht ,
TD 120/70mmHg suhu tubuh dalam O:
osmolalitas urin,
Nadi 80 kali/menit batas normal Ureum 49 mg/dl
albumin, total protein )
RR 18 kali/menit Tidak ada tanda Monitor vital sign setiap Kreatinin 1,4 mg/dl
GDS 205 mg/dl tanda dehidrasi, 15menit – 1jam TD 110/70 mmHg
Natrium 126 mmol/l Elastisitas turgor Nadi 73 kali/menit
kulit baik, Kolaborasi pemberian
Kalium 4,59 mmol/l cairan IV
Klorida 98 mmol/l 46erobic46 mukosa A:
lembab, tidak ada Monitor status nutrisi Masalah defisit volume
Osmolaritas cairan Berikan cairan oral
314,5 (275 – 299 rasa haus yang cairan teratasi
berlebihan Berikan penggantian
mOsm/L) nasogatrik sesuai output
Orientasi terhadap P:
(50 – 100cc/jam) Intervensi dihentikan
waktu dan tempat
Kolaborasi dokter jika
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
baik tanda cairan berlebih pasien pulang tanggal 2
Jumlah dan muncul meburuk April 2014
irama pernapasan Atur kemungkinan
dalam batas tranfusi
normal Persiapan untuk tranfusi
Elektrolit, Hb, Hmt Monitor intake dan urin
dalam batas normal output setiap 8 jam
pH urin dalam batas
normal
Intake oral dan
intavena adekuat
Kebutuhan Perawatan Yang
Menyimpang
Data subjektif : Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Mengkaji daerah Setelah dilakukan tindakan
Pasien mengatakan berhubungan dengan keperawatan selama 7 x 24 sekitar stoma dari tanda keperawatan selama 7 x 24
nafsu makan berkurang pertahanan tubuh primer jam resiko infeksi dapat infeksi, kerusakan jam resiko infeksi dapat
Badan terasa lemas yang tidak adekuat diminimalkan dan tidak integritas kulit diminimalkan dan tidak
Stoma kadang – terjadi Mengkaji kemampuan terjadi
kadang terasa nyeri pasien dalam
bila banyak bergerak Tujuan : S:
melakukan aktivitas
Resiko infeksi dapat sehari – hari Pasien mengatakan
Data objektif : dikontrol nyeri daerah stoma
Mengkaji persiapan
Porsi makan ½ - sudah lebih jauh
Indikator : pasien untuk rencana
¾ habis berkurang
pulang
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
Terpasang urostomy di Tidak menunjukkan Mengidentifikasi Pasien mengatakan
abdomen kanan bawah tanda – tanda infeksi kebutuhan terhadap sudah mengerti
Terpasang drain di Pasien menunjukkan perawatan stoma dan dengan cara merawat
abdomen kiri bawah perilaku positif penggantian kantong kantong urinnya
Luka terhadap urostomy, pengaturan Pasien mengatakan
laparatomi perlindungan cairan dan nutrisi serta secara bertahap bila
sepanjang 12cm terhadap infeksi melakukan kontrol kondisi sudah pulih
rutin akan mencoba
Pengeluaran cairan Pasien menunjukkan
minimal perilaku dalam Mengosongkan melakukan perawatan
meningkatkan intake kantong urostomy kantong sendiri
Riwayat kemoterapi
cairan, nutrisi, sesuai kebutuhan Pasien mengatakan
8 kali pasien
istirahat dan tidur untuk sementara ini
Ureum 143mg/dl
Luka operasi dan Melakukan perawatan pasien minta anaknya
(24/3)
stoma tidak kulit pada daerah yang perawat
Kreatinin 1,9 mg/dl sekitar pemasangan
menunjukkan tanda melakukan perawatan
Lekosit 13.000 urostomy stomanya
– tanda infeksi
Hb 10,1
Pasien mampu Mengajarkan pasien
dan keluarga dalam O:
melakukan
perawatan diri merawat stoma Keadaan
Menjaga kepatenan umum pasien
urostomy supaya tidak baik
bocor Pasien sudah
Mengajarkan pasien mobilisasi jalan
pentingnya mencuci Stoma terlihat
merah muda, tidak
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
tangan dalam kering,
mencegah terjadinya pengeluaran urin
infeksi baik, kulit sekitar
Mengajarkan pasien pemasangan
tentang pengobatan urostomy tidak
yang diberikan untuk menunjukkan tanda
mencegah terjadinya – tanda infeksi
infeksi Luka
Mengajarkan pasien laparatomi
tentang manfaat nutrisi, tidak terlihat tanda
cairan dalam – tanda infeksi
mencegah terjadinya Out put
infeksi 2500cc/24jam
Menjelaskan kepada Intake 1000 –
pasien pentingnya 1800cc/24 jam
kontrol rutin dalam Nafsu makan baik
mempertahankan dan Porsi makan habis
meningkatkan Terlihat lebih
kesehatan pasien bersemangat
A:
Masalah resiko infeksi
dapat teratasi
Pengkajian Diagnosa Keperawatan Outcome, indikator Intervensi dan Evaluasi
Therapeutic Self and method of Implementasi
Care demand helping
P:
Intervensi dihentikan
pasien pulang tanggal 2
April 2014.
Pasien – pasien yang mengalami nyeri harus dilakukan penanganan yang baik
sehingga tidak menimbulkan dampak stres metabolik yang akan mempengaruhi
semua sistem tubuh sehingga memperberat kondisi pasien. Dampak yang
ditimbulkan akibat nyeri yang tidak ditangani secara optimal dapat berupa
gangguan fisiologis dan psikologis meliputi perubahan kognitif diantaranya
terjadinya kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan putus asa, perubahan
neurohomoral seperti hiperalgesia perifer, kepekaan peningkatan luka,
meningkatkan kepekaan nyeri, juga mengakibatkan peningkatan aktivasi
simpatoadrenal yang menyebabkan pelepasan renin, angiotensin sehingga terjadi
hipertensi dan takikardi. Sedangkan perubahan neuroendokrin menyebabkan
peningkatan kortisol, hiperglikemi dan katabolisme (Perry & Potter,
2006).
Kecemasan dialami pasien dan keluarga biasanya terkait dengan segala macam
prosedur asing yang harus dijalani pasien dan juga ancaman terhadap keselamatan
jiwa akibat segala macam prosedur pembedahan dan tindakan pembiusan. Perawat
mempunyai peranan yang sangat penting dalam setiap tindakan pembedahan baik
pada masa sebelum, selama maupun setelah operasi. Intervensi keperawatan yang
tepat diperlukan untuk mempersiapkan klien baik secara fisik maupun psikis.
Dampak yang mungkin muncul bila kecemasan pasien pre operatif stidak segera
ditangani, yang pertama pasien dengan tingkat kecemasan tinggi tidak akan
mampu berkonsentrasi dan memahami kejadian selama perawatan dan prosedur.
Kedua, harapan pasien terhadap hasil, pasien mungkin sudah memiliki gambaran
tersendiri mengenai pemulihan setelah pembedahan. Ketiga pasien akan merasa
lebih nyaman dengan pembedahan jika pasien mengetahui momen yang dihadapi
pada saat hari pembedahan tiba. Keempat, pasien mungkin memerlukan
penjelasan mengenai nyeri yang akan di rasakan setelah operasi. Nyeri adalah
suatu fenomena pascaoperatif yang memperlambat pemulihan. Apabila pasien
Penelitian Zyga & Sarafis (2009) menunjukkan bahwa angka mordibitas dan
mortalitas dapat diturunkan dengan hemodialisis yang adekuat sehingga harapan
hidup dan kualitas hidup pasien PGTA yang menjalani hemodialisis menjadi
meningkat. Di Amerika Serikat pasien memiliki adekuasi yang tidak adekuat
sekitar 22 – 24% yang menyebabkan peningkatan angka mortalitas sebesar 21%
(Maoujoud, Bahadi, Zajjari & Ahid, 2011). Adekuasi hemodialisis merupakan
angka kecukupan hemodialisis untuk menentukan dosis yang direkomendasikan
dalam menilai keefektifan dari tindakan hemodialisis pada pasien PGTA. Urea
Reduction Ratio (URR) merupakan nilai yang dihitung secara kuantitatif untuk
menilai adekuasi hemodialisi atau menilai perhitungan terhadap nilai Kt/V
(Bennet, 2012). Kt/ V sendiri merupakan indikator penting dalam menilai
adekuasi dan merupakan rasio bersihan ureum selama prosedur tindakan
hemodialisis (NKF, 2006; Daugirdas et.al, 2007). Tercukupinya nilai adekuasi
hemodialisis yang optimal akan memberikan manfaat terhadap
dan mortalitas serta meningkatkan harapan hidup pasien dengan PGTA (NKF –
kelangsungan
hidup pasien
K/DOQI, PGTA,
2006; meningkatkan
Daugirdas produktifitas,
et.al, 2007). mengurangi
Banyak faktor angka mordibitas
yang mempengaruhi nilai
adekuasi diantaranya jenis kelamin, lamanya waktu dan frekuensi hemodialisis,
quick of blood, quick of dialysate, clearance of dialyzer dan tipe dari akses
vaskuler (Pernefri, 2003; Daugirdas et.al, 2007). Nilai Kt/V dihitung dari bersihan
urea nitrogen yang diambil dari sampel darah sebelum dan sesudah hemodialisis
untuk melihat adekuasi hemodialisis. Pengeluaran ureum atau urea nitrogen dapat
ditingkatkan dengan melakukan latihan fisik saat hemodialisis berlangsung.
Banyak penelitian yang menyatakan bahwa latihan fisik saat hemodialisis
bermanfaat untuk meningkatkan kerja jantung, pernafasan, menurunkan glukosa
dan meningkatkan pengaturan pengeluaran hemodialisis menjadi lebih baik (Koh,
2009).
Latihan saat hemodialisis merupakan hal yang penting dilakukan pada pasien
yang menjalani hemodialisis untuk meningkatkan fungsi fisik pasien PGTA
(Smart & Steele, 2011). Penelitian oleh Kong, Tattersal, Greenwood dan
Penelitian yang dilakukan Mohseni et.al (2013) salah satu bentuk terapi
keperawatan yang dapat dilakukan di rumah sakit dalam memberikan asuhan
keperawatan untuk mengoptimalkan kesehatan pasien yang menjalani
hemodialisis seumur hidupnya. Problem (P) : masalah yang ditunjukkan pada
penelitiannya dalam pengelolaan pasien yang menjalani perawatan hemodialisis
adalah penilaian kecukupan dialisis. Blood Urea Nitrogen (BUN) yang rendah
menunjukkan kecukupan nutrisi yang tidak memadai, hal ini akan mempengaruhi
kecukupan pengeluaran urea saat hemodialisis. Intervensi (I) : latihan yang
dilakukan berupa latihan aerobic selama 8 minggu dengan durasi 15 menit perkali
latihan. Latihan diberikan saat 2 jam pertama hemodialisis berjalan, latihan yang
dilakukan meliputi memutar pergelangan tangan, fleksi dan ekstensi pergelangan
tangan masing – masing 20 kali, memutar siku searah jarum jam, memutar
pergelangan kaki, memfleksi dan ekstensikan pergelangan kaki masing – masing
juga dilakukan 20 kali gerakan. Comparation (C) : dalam penelitian ini latihan yang
diberikan dibandingkan dengan resistance training dengan menggunakan beban
berupa barbel untuk menilai efektifitas dari kedua latihan ini dalam meningkatkan
adekuasi hemodialisis. Out put (O) : efektifitas latihan yang diberikan dalam
penelitian Mohseni et. pada
pertama pengukuran al (2013) meningkatkan
kelompok intervensiadekuasi di bulan
(p<0,005).
Berikut ini penulis paparkan jurnal – jurnal yang mendukung EBNP yang penulis
lakukan :
3.3.1 Hasil Jurnal Reading (Critical Review)
a. The Effect of Intradialytic Aerobic Exercise on Dialysis in Hemodialysis
Patients: A Randomized Controlled Trial. Peneliti : Rahelel Mohseni¹, Amir
Emami Zeydi², Ehteramosadat Ilali³, Mohsen Adib-Hajbaghery4, Atieh
Makhlough5 (2013).
Sebuah penelitian Randomized Controlled Trial dengan populasi adalah
seluruh pasien yang menjalani hemodialisis di RS Imam Khomeini Iran
sebanyak 50 orang dengan kriteria inklusi berumur 18 – 76 tahun, menjalani
hemodialisis lebih dari 3 bulan, dengan frekwensi 3 kali seminggu dalam
waktu 3 – 4 jam perdialisisnya, dan sudah mendapatkan ijin dari dokternya
untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian. Sedangkan kriteria ekslusinya
Melihat uji statistik yang digunakan pada penelitian ini, sudah sesuai dengan
kaidah sebuah penelitian. Sehingga latihan yang dilakukan pada penelitian ini
bermakna secara statistik dan secara klinis. Hasil penelitian ini menunjukkan
adekuasi hemodialisis mengalami peningkatan di akhir bulan pertama
pengukuran dan tetap meningkat pada akhir program pada kelompok
intervensi. Untuk nilai Kt/V dari 0,9 meningkat menjadi 1,3 dengan mean 0,6
diakhir bulan pertama pengukuran dan 1,2 dengan Mean 0,4 (p<0,001)
diakhir bulan kedua. Sedangkan untuk nilai URRnya dari 0,4 meningkat
menjadi 0,6 dengan Mean 0,2 diakhir bulan pertama dan kedua pengukuran
(p<0,003).
Hasil dari beberapa review jurnal – jurnal terkait dengan latihan fisik saat
hemodialisis ini, maka penulis memilih penelitian yang dilakukan oleh
Mohseni et.al (2013), dari hasil penelitian ini penulis merasa bahwa
intervensi yang akan penulis lakukan pada pasien yang sedang menjalani
hemodialisis sangat cocok dilakukan karena dari segi gerakan yang dilakukan
tidak begitu sulit dan tidak membutuhkan waktu yang lama hanya 15 menit
dan dilakukan pada 2 jam pertama hemodialisis berjalan.
Berikut ini akan dipaparkan hasil penerapan EBNP yang dilakukan pada pasien yang
menjalani hemodialisis di instalasi Bougenville ruang hemodialisis RSUP Fatmawati
Jakarta.
Tabel 3.2
Nilai ureum dan kreatinin pasien yang menjalani hemodialisis bulan Maret 2014
sebelum EBNP di instalasi Bougenville ruang Hemodialisis
RSUP Fatmawati Jakarta
Terlihat dari tabel 3.2 hasil laboratorium sebelum penerapan EBNP nilai rata –
rata ureum sebelum hemodialisis 172,4, kreatinin 10,9 Sedangkan nilai rata –
rata ureum sesudah hemodialisis 65,7 dan kreatinin 4,2 dengan penurunan kadar
ureum rata – rata sebesar 106,8 point dan kreatinin 6,6 point serta nilai adekuasi
hemodialisisnya sebesar 61,2 %.
Tabel 3.3
Nilai ureum dan kreatinin pasien yang diberikan latihan fisik di instalasi
Bougenville ruang Hemodialisis RSUP Fatmawati Jakarta
Tabel 3.3 memperlihatkan nilai rata – rata ureum 160,4 dan kreatinin 11,1
sebelum latihan fisik dilakukan. Sedangkan sesudah latihan fisik dilakukan nilai
rata – rata ureum 47 dan kreatinin 3,8. Berdasarkan hasil tersebut terdapat
penurunan rata – rata nilai ureum dan kreatinin sebesar 113,4 point untuk
ureum
dan 7,3 point untuk kreatinin serta nilai adekuasi hemodialisisnya sebesar 70,2 %.
Grafik 3.1
Nilai rata – rata ureum dan kreatinin sebelum dan sesudah hemodialisis
sebelum penerapan EBNP (latihan fisik saat hemodialisis) di Instalasi
Bougenville ruang hemodialisis RSUP Fatmawati Jakarta
200
180
160
140
120
100 ureum
80 kreatinin
60
40
20
0
sebelumsesudah
Grafik 3.1 memperlihatkan bahwa perbedaan nilai rata – rata ureum dan kreatinin
sebelum hemodialisis dan sesudah hemodialisis sebelum penerapan EBNP
dilakukan sebesar 106,8 poin untuk ureum dan 6,6 poin untuk kreatinin.
Grafik 3.2
Nilai rata – rata ureum dan kreatinin pasien yang menjalani hemodialisis sebelum
dan sesudah diberikan latihan fisik di Instalasi Bougenville ruang hemodialisis
RSUP Fatmawati Jakarta
180
160.4
160
140
120
100 sebelu
80 m
60 47 sesudah
40
11.1
20 3.8
0
UreumKreatinin
Melihat grafik 3.2 diatas nilai rata – rata ureum sebelum diberikan latihan fisik
sebesar 160,4, sesudah latihan fisik 47, sedangkan nilai rata – rata kreatinin
sebelum latihan fisik sebesar 11,3 dan setelah latihan fisik diberikan sebesar 3,8.
Terdapat penurunan yang signifikan terhadap nilai ureum dan kreatinin sebelum
dan sesudah latihan fisik diberikan.
Grafik 3.3
Perbandingan nilai adekuasi sebelum dan sesudah latihan fisik di
Instalasi Bougenville ruang hemodialisis RSUP Fatmawati Jakarta
80
70.2
70
61.2
60
50
40
30
20
10
Sebelum Sesudah
Grafik 3.2 memperlihatkan perbandingan nilai adekuasi sebelum dan sesudah
latihan fisik diberikan sebesar 9 poin.
menilai bahwa pelaksanaan edukasi dengan metode seperti ini akan meningkatkan
pengetahuan pasien dan keluarga tentang manajemen pasien hemodialisis.
Bab 4 ini membahas tentang analisis penerapan teori perawatan diri Orem
terhadap kasus kelolaan gangguan sistem perkemihan, analisis terhadap praktek
keperawatan berdasarkan bukti serta analisis terhadap proyek inovasi yang
dilakukan selama praktek residensi di RSUP Fatmawati.
4.1 Analisis penerapan Teori Perawatan Diri Orem pada 32 kasus kelolaan
Praktek residensi selama 2 semester yang penulis jalani memberikan banyak
pengalaman dalam mengelola kasus – kasus gangguan sistem perkemihan
dengan pendekatan teori perawatan diri Orem. penulis mengelola asuhan
keperawatan pada kasus kelolaan utama serta 32 kasus dengan gangguan sistem
perkemihan
dan menjelaskan analisis penerapan teori perawatan diri Orem.
Kasus Penyakit Ginjal
Sebagian besar kasus yang praktikan kelola berdasarkan teori perawatan diri
Orem yang dirawat di ruang rawat inap merupakan kasus penyakit ginjal tahap
akhir (PGTA) dengan berbagai komplikasi. PGTA merupakan gangguan fungsi
ginjal yang progresif dan irreversibel dimana ginjal gagal menjalankan fungsinya
sehingga tubuh gagal mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit, yang menyebabkan terjadinya uremia (retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah) (Kallenbach et.al, 2005; Smeltzer & Bare, 2002; Black
& Hawks, 2005). Kasus sistem perkemihan yang dirawat di ruang rawat inap
sebagian besar adalah PGTA yang dikelola sebanyak 22 kasus menggunakan
pendekatan teori perawatan diri Orem. Pengkajian yang dilakukan meliputi
pemenuhan kebutuhan perawatan diri universal, kebutuhan pengembangan
diri
dan pemenuhan kebutuhan perawatan diri yang menyimpang dari kesehatan.
Masalah keperawatan yang sering muncul pada pasien PGTA adalah kelebihan
volume cairan, ketidakseimbangan asam basa dan elektrolit, ketidakseimbangan
nutrisi; kurang dari kebutuhan, ketidakpatuhan dan kecemasan.
Beberapa kasus pasien PGTA yang sudah menjalani hemodialisis rutin dua kali
seminggu, sering mengalami perawatan berulang disebabkan karena kelebihan
75 UNIVERSITAS INDONESIA
cairan/ overload, mengalami sesak nafas, edema ekstremitas bahkan edema
keseluruh tubuh. Keadaan ini berpengaruh terhadap lamanya hari perawatan
pasien di rumah sakit. Faktor – faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien
menjalani hemodialisis diantaranya usia, jenis kelamin, tingkat pengetahuan dan
demografi pasien, selain hal tersebut juga dipengaruhi oleh gaya hidup, aspek
psikologis, support sistem dan keinginan pasien (Anggarwal & Mosca, 2010).
Depresi juga menjadi alasan utama pasien dalam menjalani terapi hemodialisis
dalam mematuhi pengobatan yang dijalani oleh pasien (Nilsson et.al, 2007).
Hasil wawancara dengan beberapa pasien yang mengalami PGTA pada umumnya
pasien merasa tidak percaya dengan penyakit yang dialaminya. Dalam hal ini
dukungan keluarga sangat diperlukan dalam mensupport keadaan pasien sehingga
pasien tidak jatuh kekeadaan yang lebih berat, merasa tidak berguna sehingga
pasien sering mengabaikan atau tidak patuh terhadap program pengobatan yang
diberikan kepadanya. Peran perawat pada pasien memberikan sistem dukungan
edukasi dengan meningkatkan agen perawatan diri sehingga pasien belajar
mempertahankan dan meningkatkan perawatan dirinya terutama dalam restriksi
cairan, mengatur diet, mengambil keputusan pada saat yang tepat ketika masalah
muncul. Hal yang paling penting yang dilakukan oleh perawat dalam
mempertahankan kesehatannya meliputi memberikan informasi dan pengajaran
kepada pasien tentang mensiasati rasa haus yang muncul sehingga mendorong
pasien untuk mengkonsumsi cairan yang berlebihan dan menimbulkan akumulasi
cairan dalam tubuh yang menyebabkan pasien mengalami sesak nafas. Menurut
Orem asuhan keperawatan dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap orang
mempelajari kemampuan untuk merawat diri sendiri sehingga membantu individu
Berdasarkan
memenuhi kebutuhan
kebutuhan perawatan
hidup, diri pasien,
memelihara perawat
kesehatan dansebagai salah satu pemberi
kesejahteraannya.
asuhan keperawatan dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri pasien sistem
keperawatan yang diberikan pada pasien penyakit ginjal ini sebagian besar adalah
pemenuhan kebutuhan keperawatan sebagian dan keperawatan mendukung –
mendidik , sedangkan sistem pemenuhan kebutuhan keperawatan keseluruhan
diberikan pada pasien gangguan sistem perkemihannya berasal dari penyakit berat
sebelumnya yang mempengaruhi sistem perkemihan sehingga pasien mengalami
gagal ginjal dan mengalami penurunan kesadaran. Evaluasi yang dilakukan pada
pasien dengan gangguan perkemihan memperlihatkan hasil yang berbeda – beda
sesuai kemampuan pasien dalam mempertahankan kebutuhan perawatan dirinya.
Sedangkan metode yang diberikan untuk mempertahankan kebutuhan pasien
berupa bantuan, membimbing dan mengarahkan, memberikan dukungan fisik dan
psikologis, memberikan dan mempertahankan lingkungan yang mendukung
perkembangan individu dan pendidikan Saat penulis melaksanakan praktek
residensi peran dan fungsi seorang perawat di pelayanan kesehatan mempengaruhi
keamanan dan keselamatan pasien dalam mempertahankan serta
meningkatkan
status
kesehatannya.
pre sampai post operasinya. Sedangkan pada kasus neoplasma kasus yang
penulis kelola rata – rata pasien sudah dalam keadaan yang parah atau stadium
lanjut sehingga sistem keperawatan yang diberikan pemenuhan kebutuhan
keseluruhan dengan metode bantuan yang diberikan bantuan, membimbing dan
mengarahkan, memberikan dukungan fisik dan psikologis, memberikan dan
mempertahankan
lingkungan yang mendukung perkembangan individu dan pendidikan.
Pengelolaan kasus – kasus pada gangguan sistem perkemihan sudah dilakukan
dengan pendekatan teori perawatan diri Orem dalam memberikan asuhan
keperawatan pada 32 kasus kelolaan. Asuhan keperawatan yang diberikan
mencakup aspek fisik, psikologis, sosial, kultural dan spiritual. Menurut Orem
pasien adalah orang yang memiliki kebutuhan perawatan diri lebih besar
daripada orang yang membantu memenuhi perawatan diri, oleh karena itu
perawat berperan dalam meningkatkan agen perawatan diri pada pasien yang
mengalami keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan perawatan dirinya. Fokus
intervensi dalam teori Orem ini berdasarkan kebutuhan pasien yang dilihat dari
wholly compensatory system (sistem keperawatan yang diberikan
keseluruhan
Keperawatan dalam
yang diberikan sebagian dalam memenuhi kebutuhan perawatan
memenuhi kebutuhan perawatan diri), Partly compensatory system
diri), dan supportive educative system (sistem keperawatan yang diberikan berupa
(sistem
dukungan dan pendidikan untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri). Intervensi
keperawatan diberikan melalui metode bantuan yaitu memberikan bantuan,
membimbing dan mengarahkan, memberikan dukungan fisik dan psikologis,
memberikan dan mempertahankan lingkungan yang mendukung perkembangan
individu dan pendidikan.
Kelebihan dari teori perawatan diri Orem ini adalah dalam memberikan asuhan
keperawatan memungkinkan perawat untuk menggali masalah yang dihadapi
pasien secara komprehensif dan sehingga perawat dapat menentukan tingkat
kemampuan pasien dalam mencapai pemenuhan kebutuhannya mulai dari
pemenuhan kebutuhan perawatan diri yang universal, pemenuhan kebutuhan
pengembangan perawatan diri, pemenuhan kebutuhan perawatan yang
menyimpang dari kesehatan dan pemenuhan kebutuhan yang terapeutik. Penulis
merasakan bahwa teori Orem ini lebih aplikatif, tidak terlalu sulit
Bila dilihat dari perbandingan hasil nilai rata - rata adekuasi hemodialisis sebelum
diberikan latihan fisik 61,2%, nilai rata – rata adekuasi hemodialisis setelah
diberikan latihan fisik meningkat sebesar 70,2%. Melihat hasil ini latihan fisik
yang penulis berikan pada pasien yang menjalani hemodialisis menunjukkan hasil
yang cukup baik untuk melihat adekuasi pasien hemodialisis. Adekuasi
hemodialisis ini merupakan kecukupan peresapan hemodialisis yang
direkomendasikan untuk mendapatkan dan menilai keefektifan tindakan
hemodialisis pada pasien PGTA. Menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) (2003), kecukupan nilai adekuasi yang direkomendasikan untuk pasien
– pasien yang menjalani hemodialisi > 65% bila hemodialisis dilakukan dengan
frekuensi 2 kali/ minggu dan durasi 4 – 5 jam.
Latihan fisik yang penulis berikan berdasarkan EBNP ini efektif dilakukan pada
pasien yang sedang menjalani hemodialisis, melihat situasi dan kondisi pasien saat
menjalani hemodialisis mereka hanya menonton, berbicara dengan pasien yang
lain, tidur – tiduran. Latihan fisik yang praktikan berikan tidak membutuhkan alat,
tempat yang luas untuk dilaksanakan, dari bentuk gerakan yang diberikan juga
tidak terlalu sulit hanya dengan memutar pergelangan tangan, kaki, bahu serta
melakukan fleksi dan ekstensi pada pergelangan tangan dan kaki. Waktu yang
dibutuhkan juga tidak terlalu lama hanya sekitar 15 menit setiap latihannya, latihan
fisik ini juga tidak membutuhkan energi yang berlebihan sehingga keletihan yang
ditimbulkan oleh aktifitas fisik dapat diminimalkan. Namun ada hal – hal yang
dapat menyebabkan latihan fisik yang sudah praktikan berikan ini tidak
dilaksanakan oleh pasien karena motivasi pasien yang rendah dalam melakukan
kegiatan saat hemodialisis berjalan, mereka lebih banyak tidur karena mereka
mengungkapkan alasan bahwa satu hari sebelum mereka menjalani hemodialisis
mereka tidak bisa tidur karena ketidaknyamanan yang mereka rasakan sehingga
mereka memanfaatkan waktu saat hemodialisis untuk tidur. Peran perawat dalam
hal ini sangat dibutuhkan dalam memotivasi pasien untuk melakukan latihan fisik
saat menjalani hemodialisis ini. Pendidikan kesehatan untuk pasien lebih
ditingkatkan tentang
atau sesudah tujuan dilakukan.
hemodialisis dan manfaat aktifitas sebelum, saat
dan dokter yang bertanggung jawab pada pelaksanaan hemodialisis tersebut. Bila
ada kegiatan hemodialisis cito maka perawat yang melakukannya adalah perawat
yang terjadwal sesuai dengan hari pelaksanaan namun diutamakan perawat yang
bertugas shift sore.
yang bertugas pasien rata – rata memiliki kenaikan berat badan diantara dua
hemodialisis 2,5 -3 kg. Saat menjalani hemodialisis pasien mengkonsumsi apa
saja tanpa ada pengontrolan makanan yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi,
kegiatan pasien hanya tidur, ngobrol atau menonton televisi saat menjalani
hemodialisi.
Berdasarkan kelebihan dan kekurangan booklet yang kami buat untuk ruang
hemodialisis RSUP Fatmawati, pada akhir pelaksanaan program residensi kami
melaksanakan evaluasi yang dihadiri oleh Kepala Instalasi Bougenville, Komite
Keperawatan, pembimbing klinik, Kepala Ruang serta teman – teman yang
bertugas di ruang hemodialisis. Pada evaluasi ini kami memaparkan kelebihan dan
kekurangan yang ada dalam booklet tersebut. Kepala instalasi Bougenvilla
berterima kasih atas apa yang kami lakukan mengingat RSUP Fatmawati sudah
berstandar JCI maka edukasi – edukasi kepada pasien harus lebih banyak
dilakukan dan menawarkan solusi akan memperbanyak booklet ini dengan
tampilan yang lebih baik dan lebih menarik.
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menguraikan simpulan dan saran terkait dengan pengalaman yang
diperoleh selama menjalani praktek residensi keperawatan dalam menjalankan
peran sebagai pemberi asuhan keperawatan dengan melakukan pendekatan Teori
Self Care Orem pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan, penerapan
intervensi keperawatan berdasarkan pembuktian ilmiah (evidence based nursing)
dan pelaksanaan proyek inovasi.
5.1 Simpulan
5.1.1 Teori perawatan diri Orem dapat diterapkan pada asuhan keperawatan
pasien dengan gangguan sistem perkemihan, karena teori Orem ini melihat
proses kemandirian pasien dalam mempertahankan dan meningkatkan
status kesehatannya, sedangkan peran perawat dalm teori ini membantu
memenuhi kebutuhan pasien dalam mencapai kemandirian dan kesehatan
yang optimal.
5.1.2 Penerapan EBNP latihan fisik saat hemodialisi pada 9 pasien di ruang
hemodialisis RSUP Fatmawati dapat meningkatkan pengeluaran kadar
ureum dan kreatinin dan meningkatkan adekuasi hemodialisis sebesar
70,2% sehingga latihan fisik selama hemodialisis dapat digunakan sebagai
salah satu terapi keperawatan dalam mengoptimalkan pengeluaran ureum
kretinin pasien PGTA yang menjalani hemodialisis.
86 UNIVERSITAS INDONESIA
87
5.2 Saran
5.2.1 Teori perawatan diri Orem membantu pasien untuk mandiri dalam
mempertahankan kesehatannya, untuk itu teori ini sangat aplikatif
dilakukan dalam memberi asuhan keperawatan pada pasien selama
menjalani perawatan, sehingga perawat sebagai orang yang dekat dengan
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
American Cancer Society, (2008). Cancer Fact & Figure. Atlanta, Ga:
American Cancer Society.
Band, P., Le, N., MacArthur, A., Fang, R,, Gallagher, R.. Identification of
occupational cancer risks in British Columbia: a population-based case–
control study of 1129 cases of bladder cancer. Journal Occupation
Environ Medical, 2005;47:854–8.
Berman, A. Et.al. (2009). Buku Ajar Praktek Keperawatan Klinik. Jakarta : EGC
Bulckaen, M., Captini, A., Lange, S., Caciula, G., Giuntoli, F., & Cupisti, A.
(2011). Implementation of exercise training program in a hemodialysis
unit : Effect on physical performance. Journal nephrology, 26 (6), 790-
797.
Cassidy. A, Wong, Lin, W.J., (2009). Risk of urinary bladder cancer; a case
control analysis of industry and occupation. Biomed center, 9: 443
Chan, L.N., (2004). Nutrition support in acute renal failure. Cur Opin Clin Nutr
Metab Care, 7:207-12
Colombo, R., Naspro, R., (2010). Ileal conduit as the standard for urinary
diversion after radical cystectomy for bladder cancer. European urology
supplement, 9:736-744.
Daugirdas, J.T, Blake, P.G, & Ing, T.S., (2007). Handbook of dialysis (4th ed).
Lippincontt: Philadelphia.
Delgado, C., & Johansen, K.L., (2011). Barriers to exercise participation among
dialysis patients. Nephrology, dialysis, transplantation.
Ellis, H., (2004). Clinical anatomy : a revision and applied anatomy for clinical
students; Blackwell science, Oxford.
Goodman, E.D., & Ballou, M.B., (2004). Perceived barriers and motivators to
exercise in hemodialysis patients. Nephrology Nursing Journal, 31(1), 23–
29
Gupta, P., Jain, M., Kapoor, R., et al, (2009). Impact of age and gender on the
clinicopathological characteristics of bladder cancer. Indian Journal
Urology, 25, 207-410.
Guyton, C. A., Hall, E. J., (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11:
Jakarta. ECG
Hobisch, A., Tosun, K., Kinzl, J., et al (2001). Life after cystectomy and
orthotopic neobladder versus ileal conduit urinary diversion. Semin Urol
Oncol ;19:18–23
Jankovic, S., Radosavljevic, V., (2007). Risk factors for bladder cancer. Tumor
1:4–12
Johansen, K.L., Painter, P.L., Sakkas, G.K., Gordon, P., Doyle, J., Shubert, T.,
(2007). Effects of resistance exercise training and nandrolone decanoate on
body composition and muscle function among patients who receive
hemodialysis: A randomized, controlled trial. Journal of The American
Society Nephrology, 17, 2307-2324.
Koh. K.P., Fassett, R.G., Sharman, J.E, et al. (2009). Effect of intradialytic
versus home-based aerobic exercise training on physical function and
vascular parameters in hemodialysis patients: a randomized pilot study.
American Journal Kidney Disease, 55, 88-99.
Kong, C.H., Tattersall, J.E., Greenwood, R.N., Farrington, K., (1999). The effect
of exercise during hemodialysis on solute removal. Nephrology Dialysis
Transplant, 14, 2927-2931.
Matalka, I., Bani-Hani, K., Shotar, A., et al (2008). Transitional cell carcinoma
of the urinary bladder: a clinicopathological study. Singapore Medical
Journal, 49, 790-4
Michaud, D.S., (2007). Chronic inflammation and bladder cancer. Urol Oncol.
;25:260–268.
Parkin, D.M. (2008). The global burden of urinary bladder cancer. Scand
journal urol nephrol, Suppl (218), 12-20.
Parsons, T.L., Toffelmire, E.B., King, V. V., (2004). The effect of an exercise
program during haemodialysis on dialysis efficacy, blood pressure and
quality of life in end stage renal disease (ESRD) patients. Clinical
Nephrology, 61, 261-274
Purnomo, B.B., (2011). Dasar – dasar urologi., (edisi ketiga). Jakarta; Sagung
Seto.
Pusparini, (2000). Perubahan respon imun pada penderita gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis. Jurnal Kedokteran Trisakti, vol 9,3: 115 –
124.
Price, S.A., Wilson, L.M., (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit,
(edisi ke-6). Jakarta : EGC
Ries, L.A.G., (2007). Cancer survival among adults : U.S. SEER program, 1988-
2001, patient and tumor characteristics, 276p. pp., U.S. Department of
Health and Human Services, National Institutes of Health, National
Cancer Institute, Bethesda, MD.
Rizzioli, E., Cerretani, D., Normanno, M., Munaro, D., Berto, A., Contarello, G.,
Rizzo, E., Conz, P.A, (2004). Physical exercise during hemodialysis
session: effect on quality of life. G Ital Nefrol. Nefrolologia e Dialisi. Nov-
Dec;21
Sherwood, L., (2012). Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. (Edisi 6). Jakarta:
EGC.
Siegel, R., Naishadham, D., Jemal, A., Cancer statistics, (2012). CA Cancer
Journal Clinic. 2012;62(1):10-29.
Smart, N., & Steele, M., (2011). Exercise training in haemodialysis patients: A
systematic review and meta-analysis. Nephrology (Carlton), 16(7), 626–
632.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal - Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Jakarta : EGC.
Stamm, W.E., (2002) Scientific and clinical challenges in the management of urinary
tract infections. American Journal Medical. ;113 Suppl 1A:1S–4S
Sukandar,E.,(2006).TerapiPenggantiGinjaldenganDialisis.
Dalam:Nefrologi Klinik. Edisi III. FK UNPAD.
Supit, W., Mochtar, C.A., Sugiono, M., Umbas, R., (2011). Survival of patients with
transitional cell carcinoma of the urinary bladder in Indonesia : A single institution
review. Asian pacific journal cancer prevention; 12 : 549-553.
Tomey, A.M., & Alligood, M.R., (2006). Nursing Theory : utilization and application
(3rd ed). St Louis, MO : Mosby/ Elsevier.
Umbas, R., (2007). Bladder cancer: 10 years experience from two tertiary care
hospitals in Indonesia. Indonesian Journal Surgical, 35, 17-22.
Yarbro, C.H., Wujcik, D., Globe, H.B., (2011). Cancer nursing : Principles and
practice (7th edition). Elseiver.
Zhang, Y., Zhu, C., Curado, M.P., et al, (2012). Changing patterns of bladder cancer
in the USA: evidence of heterogeneous disease. BJU Int.;109(1):52-56.
Zygas, S., & Sarafis, P., (2009). Hemodialysis adequacy – contemporary trends.
Health science journal, 3(4), 2009-215.