Disusun oleh :
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER………………………………………………………………………………………...
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1. Tujuan....................................................................................................................................1
1.2. Latar Belakang.....................................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................4
2.1. Sediaan Infus.........................................................................................................................4
2.2. Sediaan Parenteral...............................................................................................................5
2.3. Tetapan Isotonis...................................................................................................................9
2.4. Syarat-Syarat Infus............................................................................................................10
2.5. Keuntungan Sediaan Infus...............................................................................................10
2.6. Kerugian Sediaan Infus....................................................................................................11
2.7. Fungsi Pemberian Infus....................................................................................................11
2.8. Sterilisasi..............................................................................................................................11
2.9. Wadah...................................................................................................................................13
BAB III JALANNYA PERCOBAAN...................................................................................15
3.1. Alat Dan Bahan..................................................................................................................15
3.2. Data Bahan..........................................................................................................................15
3.3. Penimbangan Bahan..........................................................................................................19
3.4. Metode Sterilisasi Alat Dan Bahan yang Digunakan.................................................20
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................................24
4.1. Hasil Percobaan..................................................................................................................24
4.2. Pembahasan.........................................................................................................................24
BAB V KESIMPULAN..........................................................................................................26
5.1. Kesimpulan..........................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................27
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Tujuan
Mahasiswa mampu melakukan perhitungan dan penimbangan
bahan aktif dan bahan tambahan untuk membuat sediaan injeksi
volume besar.
Mahasiswa mampu menuliskan perhitungan tonisitas dan
osmolaritas sediaan injeksi volume besar.
Mahasiswa mampu menuliskan prosedur pembuatan injeksi
volume besar.
Mahasiswa mampu melakukan evaluasi sediaan injeksi volume
besar.
1
sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam
pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan
atau zat-zat makanan dari tubuh.
Terapi intravena (IV) digunakan untuk memberikan cairan ketika
pasien tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok, untuk
memberikan garam yang dirperlukan untuk mempertahankan
keseimbangan elektrolit, atau glukosa yang diperlukan untuk metabolisme
dan memberikan medikasi (Perry & Potter., 2005).
2
darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi
(kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun).
Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada
penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah
cairan Ringer-Laktat (RL), dan normalsaline/larutan garam fisiologis
(NaCl 0,9%).
3. Cairan hipertonik:
Osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga
“menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam
pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan
produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya
kontradiktif dengan cairan Hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl
45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5% + NaCl
0,9%, produk darah (darah), dan albumin. (Perry & Potter., 2005).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
harus jernih dan praktis bebas partikel (The Departement of Health,
Social Service and Public Safety, 2002 – British Pharmacope 2009).
Kecuali dinyatakan lain, infus intravena tidak boleh mengandung
bakterisida atau dapar (Lachman, 1993).
5
tubuh yang paling efesien, yaitu membran kulit dan mukosa, maka
sediaan ini harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari bahan - bahan
toksis lainnya, serta harus memiliki tingkat kemurnian yang tinggi.
Semua bahan dan proses yang terlibat dalam pembuatan produk ini harus
dipilih dan dirancang untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi,
apakah kontaminasi fisik, kimia atau mikrobiologis (Priyambodo, B.,
2007).
Produk steril yang banyak diproduksi di industri farmasi adalah
dalam bentuk larutan terbagi (ampul) dan bentuk serbuk padat siap untuk
digunakan dengan diencerkan terlebih dahulu dengan larutan pembawa
(vial). Sediaan parental, bisa diberikan dengan berbagai rute : intra vena
(i.v), sub cutan (s.c), intradermal, intramuskular (i.m), intra articular, dan
intrathecal. Bentuk sediaan sangat mempengaruhi cara (rute) pemberian.
Sediaan bentuk suspensi, misalnya tidak akan pernah diberikan secara
intravena yang langsung masuk ke dalam pembuluh darah karena adanya
bahaya hambatan kapiler dari partikel yang tidak larut, meskipun
suspensi yang dibuat telah diberikan dengan ukuran partikel dari fase
dispersi yang dikontrol dengan hati - hati. Demikian pula obat yang
diberikan secara intraspinal (jaringan syaraf di otak), hanya bisa
diberikan dengan larutan dengan kemurnian paling tinggi, oleh karena
sensivitas jaringan syaraf terhadap iritasi dan kontaminasi (Priyambodo,
B., 2007).
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi
atau serbuk yang dilarutkan, atau disuspensikan lebih dahulu sebelum
digunakan, yang disuntikan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit
atau melalui selaput lendir. Injeksi diracik dengan melarutkan,
mengemulsikan atau mensuspensikan sejumah obat kedalam sejumlah
pelarut atau dengan mengisikan sejumlah obat kedalam wadah dosis
tunggal atau wadah dosis ganda (DepKes., 1979).
Sedangkan menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, injeksi adalah
injeksi yang dikemas dalam wadah 100 mL atau kurang. Umumnya
6
hanya laruitan obat dalam air yang bisa diberikan secara intravena.
Suspensi tidak bisa diberikan karena berbahaya yang dapat menyebabkan
penyumbatan pada pembuluh darah kapiler (DepKes., 1995).
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, hal 10 larutan intravena
volume besar adalah injeksi dosis tunggal untuk intravena dan dikemas
dalam wadah bertanda volume lebih dari 100 mL.Infus adalah larutan
dalam jumlah besar terhitung mulai dari 100 ml yang diberikan melalui
intravena tetes demi tetes dengan bantuan peralatan yang cocok. Asupan
air dan elektrolit dapat terjadi melalui makanan dan minuman dan
dikeluarkan dalam jumlah yang relatif sama, rasionya dalam tubuh
adalah air 57%; lemak 20,8%; protein 17,0%; serta mineral dan glikogen
6%. Ketika terjadi gangguan hemostatif, maka tubuh harus segera
mendapatkan terapi untuk mengembalikan keseimbangan air dan
elektrolit larutan untuk infus intravenous harus jernih dan praktis bebas
partikel (Lukas, Syamsuni, H.A., 2006).
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III halaman 12, infus
intravenous adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas
pirogen dan sedapat mungkin dibuat isotonis terhadap darah, disuntikkan
langsung ke dalam vena, dengan volume relatife banyak. Kecuali
dinyatakan lain, infus intravenous tidak diperbolehkan mengandung
bakteriasida dan zat dapar. Larutan untuk infus intravenous harus jernih
dan praktis bebas partikel.
Injeksi volume besar atau injeksi yang dimaksudkan untuk
pemberian langsung ke dalam pembuluh darah vena harus steril dan
isotonis dengan darah, dikemas dalam wadah tunggal berukuran 100 mL
- 2000 mL. Tubuh manusia mengandung 60 air dan terdiri atas cairan
intraseluler (di dalam sel), 40 yang mengandung ion-ion K+, Mg+, sulfat,
fosfat, protein serta senyawa organik asam fosfat seperti ATP, heksosa,
monofosfat dan lain-lain. Air mengandung cairan ekstraseluler (di luar
sel) 20 yang kurang lebih mengandung 3 liter air dan terbagi atas cairan
intersesier (diantara kapiler) 15 dan plasma darah 5 dalam sistem
7
peredaran darah serta mengandung beberapa ion seperti Na+, klorida dan
bikarbonat (Anief., 2008).
Menurut Anief tahun 2008 Injeksi dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Injeksi intrakutan atau intradermal (i.c) :
Biasanya berupa larutan atau suspensi dalam air, volume yang
disuntikan sedikit (0,1-0,2 mL). digunakan untuk tujuan diagnosa.
2. Injeksi subkutan atau hipoderma (s.c) :
Umumnya larutan isotonus, jumlah larutan yang disuntikan tidak lebih
dari 1 mL. Disuntikan ke dalam jaringan di bawah kulit ke dalam
“alveola”, kulit mula-mula diusap dengan cairan desinfektan (etanlo
70%). Dapat ditambahkan vasokonstriktor seperti epinefrina 0,1%
untuk melokalisir efek obat. Larutan harus sedapat mungkin isotonus,
sedangpH-nya sebaiknya netral, maksudkan untuk mengurangi iritasi
jaringan dan mencegah kemungkinan terjadi nekrosis (mengendornya
kulit).
Jika tidak disuntikan secara infus, volume injeksi 3 Lt sampai 4 Lt
sehari, masih dapat disuntikkan secara subkutan dengan penambahan
hialuronidase ke dalam injeksi atau jika sebelumnya disuntik
hialuronidase.
3. Injeksi intramuscular (i.m) :
Merupakan larutan atau suspense dalam air atau minyak atau emulsi.
Disuntikkan masuk otot daging dan volume sedapat mungkin tidak
lebih dari 4 mL. Penyuntikan volume besar dilakukan perlahan-lahan
untuk mencegah rasa sakit, sedapat mungkin tidak lebih dari 4 mL. Ke
dalam otot dada dapat disuntikkan sampai 200 mL, sedang otot lain
volume yang disuntikkan lebih kecil.
4. Injeksi intravenus (i.v) :
Merupakan larutan, dapat mengandung cairan yang tidak
menimbulkan iritasi yang dapat bercampur dengan air, volume 1 mL
sampai 10 mL. Larutan ini biasanya isotonus atau hipertonus. Bila
larutan hipertonus maka disuntikan perlahan-lahan. Jika larutan yang
8
diberikan banyak umumnya lebih dari 10 mL disebut infus, larutan
diusahakan supaya isotonus dan diberikan dengan kecepatan 50 tetes
tiap menit dan lebih baik pada suhu badan. Emulsi minyak-air dapat
diberikan , asal ukuran butiran minyak cukup kecil (emulsi mikro).
Bentuk suspensi atau emulsi makro tidak boleh diberikan melalui
intravena.
5. Injeksi intraarterium (i.a) :
Umumnya berupa larutan, dapat mengandung cairan non-iritan yang
dapat bercampur dengan air, volume yang disuntikan 1 mL sampai 10
mL dan digunakan bila diperlukan efek obat yang segera dalam daerah
perifer.
6. Injeksi intrakor atau intrakardial (i.k.d) :
Berupa larutan, hanya digunakan untuk keadaan gawat, dan disuntikan
ke dalam otot jantung atau ventrikulus.
7. Injeksi intratekal (i.t), intraspinal, intradural :
Berupa laturan harus isotonis, sebab sirkulasi cairan cerebropintal
adalah lambat, meskipun larutan anestetika sumsum tulang belakang
sering hipertonis. Larutan harus benar-benar steril, bersih sebab
jaringan syaraf daerah anatomi di sini sangat peka.
8. Injeksi intrakulus :
Berupa larutan atau suspense dalam air yang disunikan ke dalam
cairan sendi dalam rongga sendi.
9. Injeksi subkonjungtiva :
Berupa larutan atau suspensi dalam air yang untuk injeksi selaput
lendir mata bawah, umumnya tidak lebih dari 1 mL.
10. Injeksi yang digunakan lain:
a. Intraperitoneal (i.p) disuntikkan langusng ke dalam rongga perut,
penyerapan cepat, bahaya infeksi besar dan jarang dipakai.
b. Peridural (p.d) ekstra dural, disuntikan ke dalam ruang epidural,
terletak diatas durameter, lapisan penutup terluar dari otak dan
sumsum tulang belakang.
9
c. Intrasisternal (i.s) disuntikkan ke dalam saluran sumsum tulang
belakang pada otak.
2.3. Tetapan Isotonis
Sumber : Farmakope Indonesia Edisi IV (1995)
10
2.5. Keuntungan Sediaan Infus
1. Obat memiliki onset (mula kerja) yang cepat.
2. Efek obat dapat diramalkan dengan pasti.
3. Biovaibilitas obat dalam traktus gastrointenstinalis dapat dihindarkan.
4. Obat dapat diberikan kepada penderita sakit keras atau dalam keadaan
koma.
5. Kerusakan obat dalam tractus gastrointestinal dapat dihindarkan.
11
kondisi mutlak bebas dari mikroorganisme hanya dapat diduga atas dasar
proyeksi kinetis angka kematian mikroba (Lachman., 1994).
Ada tiga cara utama yang umum dipakai dalam sterilisasi yaitu
penggunaan panas, penggunaan bahan kimia, dan penyaringan (filtrasi).
Bila panas digunakan bersama-sama dengan uap air maka disebut
sterilisasi panas lembab atau sterilisasi basah, bila tanpa kelembaban
maka disebut sterilisasi panas kering atau sterilisasi kering. Sedangkan
sterilisasi kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan gas atau
radiasi. Pemilihan metode didasdarkan pada sifat bahan yang akan
disterilkan (Hadioetomo, R. S., 1985).
Pada umumnya metode sterilisasi ini digunakan untuk sediaan
farmasi dan bahan-bahan yang dapat tahan terhadap temperatur yang
dipergunakan dan penembusan uap air, tetapi tidak timbul efek yang
tidak dikehendaki akibat uap air tersebut.metode ini juga dipergunakan
untuk larutan dalam jumlah besar, alat – alat gelas, pembalut operasi dan
instrumen. Tidak digunakan untuk mensterilkan minyak-minyak, minyak
lemak, dan sediaan-sediaan lain yang tidak dapat ditembus oleh uap air
atau pensterilan serbuk terbuka yang mungkin rusak oleh uap air jenuh
(Ansel., 1989).
Metode-metode sterilisasi menurut Ansel , yakni:
1. Sterilisasi uap (lembab panas), yakni sterilisasi yang dilakukan dalam
autoklaf dan menggunakan uap air dengan tekanan.
2. Sterilisasi panas kering, yakni sterilisasi yang biasa dilakukan dengan
oven pensteril yang dirancang khusus untuk tujuan sterilisasi. Oven
dapat dipanaskan dengan gas atau listrik dan umumnya temperatur
diatur secara otomatis.
3. Sterilisasi dengan penyaringan, yakni sterilisasi yang tergantung pada
penghilangan mikroba secara fisik dengan adsorpsi pada media
penyaring atau dengan mekanispe penyaringan, digunakan untuk
sterilisasi larutan yang tidak tahan panas. Sediaan obat yang
disterilkan dengan cara ini, diharuskan menjalani pengesahan yang
12
ketat dan memonitoring karena efek produk hasil penyaringan dapat
sangat dipengaruhi oleh banyaknya mikroba dalam larutan yang
difiltrasi.
4. Sterilisasi gas, sterilisasi gas dilakukan pada senyawa-senyawa yang
tidak tahan terhadap panas dan uap dimana dapat disterilkan dengan
cara memaparkan gas etilen oksida atau protilen oksida. Gas-gas ini
sangat mudah terbakar bila tercampur dengan udara, tetapi dapat
digunakan dengan aman bila diencerkan dengan gas iner seperti
karbondioksida, atau hidrokarbon terfluorinasi yang tepat sesuai.
5. Sterilisasi dengan radiasi pengionan, yakni teknik-teknik yang
disediakan untuk sterilisasi beberapa jenis sediaan-sediaan farmasi
dengan sinar gama dan sinar-sinar katoda, tetapi penggunaan teknik-
teknik ini terbatas karena memerlukan peralatan yang sangat khusus
dan pengaruh-pengaruh radiasi pada produk-produk dan wadah-
wadah.
2.9. Wadah
Wadah berhubungan erat dengan produk. Tidak ada wadah
yang tersedia sekarang ini yang benar - benar tidak reaktif, terutama
dengan larutan air. Sifat fisika dan kimia mempengaruhi kestabilan
produk tersebut, tetapi sifat fisika diberikan pertimbangan utama dalam
pemilihan wadah pelindung (Lachman., 1994).
Wadah terbuat dari berbagai macam bahan, wadah plastik,
wadah gelas, dan wadah dari karet. Wadah plastik, bahan utama dari
plastik yang digunakan untuk wadah adalah polimer termoplastik, unit
struktural organik dasar untuk masing - masing type yang biasa terdapat
dalam bidang medis. Sesuai dengan namanya, polimer termoplastik
meleleh pada temperatur yang meningkat. Wadah plastik digunakan
terutama karena bobotnya ringan, tidak dapat pecah, serta bila
mengandung bahan penambah dalam jumlah kecil, mempunyai toksisitas
dan reaktivitas dengan produk yang rendah. Suatu golongan plastik baru,
poliolefin, patut disebut secara khusus, yang saat ini mendapat perhatian
13
dalam bidang parenteral adalah polipropilen dan kopolimer polietilen -
polietilen (Lachman., 1994).
Wadah Gelas masih tetap merupakan bahan pilihan untuk
wadah produk yang dapat disuntikkan. Gelas pada dasarnya tersusun dari
silkon dioksida tetrahedron, dimodifikasi secara fisika dan kimia dengan
oksida - oksida seperti oksida natrium, kalium, kalsium, magnesium,
alumunium, boron, dan besi. Gelas yang paling tahan secara kimia
hampir seluruhnya tersusun dari silikon dioksida, tetapi gelas tersebut
relatif rapuh dan hanya dapat dilelehkan dan dicetak pada temperatur
tinggi (Lachman., 1994).
14
BAB III
JALANNYA PERCOBAAN
BM 182,17
Pemerian Serbuk kristal berwarna putih dan tidak berbau
atau granul mengalir bebas, rasa manis. (The
Handbook of Pharmaceutical Excipients hlm. 449)
Kelarutan Larut 1 dalam 5,5 air; larut 1 dalam 83 etanol
95%; larut 1 dalam 18 gliserin. (The Handbook of
Pharmaceutical Excipients hlm. 451)
Stabilitas
15
Larutan manitol dalam air bersifat stabil, baik oleh
- Hidrolisis/ dingin, asam/basa encer maupun oksigen dari
oksidasi udara (tanpa kehadiran katalis). (The Handbook of
Pharmaceutical Excipients 6th Ed 2009 hlm. 429)
liso 19
17 x = 17 x = 0,1773%
M 182,17
16
Nilai E telah diketahui, sehingga ekivalensi manitol 5% dapat
dihitung :
Rumus ekivalensi manitol 5% = % kadar (m) x E = 5% x 0,1773
= 0,8865%
Dengan demikian :
Jumlah NaCl yang ditambahkan supaya sediaan isotonis
= (0,9 - 0,8865)% = 0,0135%
= 0,0135 g dalam 100 mL.
- Osmolaritas
Rumus osmolaritas :
bobot zat (g / L)
Osmolaritas manitol = × 1000 × Jumlah
ionbobot molekul
= 50 g/L / 182,17 x 1000 x 1 = 274,469
mOsmol/L
bobot zat (g / L)
Osmolaritas NaCl = × 1000 × Jumlah
ionbobot molekul
= 0,135 g/L / 58,44 x 1000 x 2 = 4,620
mOsmol/L
Osmolaritas total = 274,469 + 4,620 = 279,089 mOsmol/L
C. Pendekatan Formula
D. Preformulasi Eksipien
Nama Zat Aktif: NaCl (The Handbook of Pharmaceutical Excipients hlm. 637)
17
1 Pemerian Serbuk hablur putih atau kristal tidak berwarna,
mempunyai rasa asin.
2 Kelarutan Sedikit larut dalam etanol
1: 250 dalam etanol 95%
1:10 dalam gliserin
1:2,8 dalam air
1:2,6 dalam air 100oC
3 Stabilitas:
Panas Tahan panas hingga suhu 804 ⁰ C.
Hidrolisis pH 6,7-7,3 pada larutan jenuh.
Cahaya Harus terlindung dari cahaya
18
1: 4,2 dalam metanol
1:0,9 dalam air
1:0,3 pada 100°C
Nama Eksipien: Carbo Adsorbens / arang jerap (Farmakope Indonesia Ed. IV hlm.
173)
1 Pemerian Serbuk halus, bebas dari butiran, hitam; tidak berbau; tidak
2 Kelarutan Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol.
3 Fungsi Penjerap pyrogen, menghilangkan pyrogen dalam sediaan
4 Kemasan Dalam wadah tertutup baik
5 gram
x 1500 ml = 75gram
100 ml
19
mengantisipasi kehilangan zat pada proses
pembuatan.
Perhitungan untuk 3 botol
0,25 ml x 3 = 0,75 ml
Wadah
Prosedur pembuatan
20
RUANG PROSEDUR
Grey area Semua alat, wadah dan sediaan obat jadi disterilisasi dengan cara yang telah
(ruang ditentukan sebelumnya yang didasari dengan elemen dan stabilitasnya masing
sterilisasi) – masing. Gelas kimia ditara terlebih dahulu sebelum disterilisasi.
Kemudian dilakukan pembuatan air steril pro injeksi sebanyak 1500 ml untuk
pembuatan 3 botol infus mannitol 5% 500 ml. aquabidest disterilisasi dengan
autoklaf 121ºC selama 15 menit.
Setelah semua tersterilisasi, kemudian dimasukkan ke dalam white area
melalui tranfer box.
Grey area Bahan pertama yang ditimbang adalah mannitol, sebanyak 82,5 gr
(ruang menggunakan kaca arloji steril. Dilanjutkan dengan menimbang NaCl
penimbangan) sebanyak 222,75 mg menggunakan kaca arloji steril. Kemudian menimbang
karbon aktif masing – masing 1,5 gr dan 1,5 gr menggunakan kaca arloji steril
untuk dipirogenasi aqua p.i dan sediaan akhir.
Pembuatan air bebas pyrogen dilakukan dengan cara memindahkan 1500 ml
air pro injeksi kedalam Erlenmeyer 2 L, kemudian ditambahkan 1,5 gr carbo
adsorbens lalu ditutup dengan kaca arloji, sisipi dengan batang pengaduk.
Panaskan pada suhu 60 oC – 70oC selama 15 menit (gunakan thermometer).
Saring larutan dengan kertas saring rangkap 2, lalu disterilisasi membrane
melalui kolom G3 dengan membran filter 0,22 µm. Air steril bebas pyrogen
ini digunakan untuk membilas alat dan wadah yang telah disterilisasi dan
menggenapkan volume sediaan.
White area Proses pencampuran dilakukan dengan cara melarutkan mannitol sebanyak
Kelas C 27,5 gr dengan 250 ml aqua pro injeksi bebas pyrogen ke dalam gelas kimia
(ruang 500 ml dan diaduk dengan batang pengaduk hingga larut. Setelah itu,
pencampuran membuat larutan NaCl dengan memasukkan NaCl 74,25 mg yang dilarutkan
dan dengan aqua pro injeksi bebas pyrogen 50 ml kedalam gelas kimia 100 ml dan
pengisian) diaduk menggunakan batang pengaduk hingga larut.
Kemudian larutan mannitol dan NaCl dicampurkan kedalam Erlenmeyer 1 L,
lalu diaduk homogen. Setelah itu ditambahkan aqua pro injeksi bebas pyrogen
hingga 400 ml. kemudian dilakukan pengecekan pH dengan beberapa tetes
larutan menggunakan pH indicator atau pH meter. Bila pH yang didapat
belum mencapai nilai yang diharapkan, tambahkan larutan NaOH 0,1 N atau
HCl 0,1 N hingga pH larutan mencapai 7,4. Lalu genapkan dengan air pro
injeksi bebas pyrogen hingga 500 ml.
Kemudian setelah itu, dimasukkan karbon aktif sebanyak 0,5 g dimasukkan ke
dalam larutan sediaan dan diaduk hingga merata, lalu dipanaskan di atas api
Bunsen atau hot plate hingga suhu 60 oC – 70oC selama 15 menit sambil
diaduk sekali – kali. Kemudian larutan disaring dalam keadaan masih panas
menggunakan kertas saring yang dilipat menjadi 2 rangkap dan dibasahi
dengan aqua pro injeksi bebas pyrogen, yang kemudian dipasang pada corong
dan ditempatkan pada Erlenmeyer lainnya. Kemudian larutan disaring
kembali menggunakan membran filter 0,22 µm dalam kolom G3. Kemudian
filtrat dimasukkan ke dalam 1 botol flakon/vial yang telah ditara sebanyak 500
ml.
21
Grey area Sediaan steril yang berupa hasil pencampuran, akan dikemas dengan wadah
(ruang botol flakon/vial dengan ukuran yang sesuai dengan volume sediaan yang
penutupan) dibuat. Kemudian ditutup dengan tutup botol vial yang berbahan karet yang
telah disterilisasi sebelumnya dengan simpul champagne.
Grey area Kemudian dilakukan sterilisasi sediaan yang telah jadi atau sterilisasi akhir
(ruang menggunakan autoklaf 121˚C selama 15 menit.
sterilisasi)
Grey area Kemudian dilakukan evaluasi sediaan.
(ruang Evaluasi sediaan injeksi volume besar meliputi evaluasi fisika, evaluasi kimia,
evaluasi) dan evaluasi biologi.
Lalu setelah itu sediaan diberi etiket yang sesuai.
Gambar sediaan yang telah jadi :
22
Gambar etiket yang digunakan :
23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2. Pembahasan
Pada praktikum ini dilakukan proses sterilisasi alat yang akan digunakan
untuk pembuatan sediaan steril pada praktikum selanjutnya. Pembuatan sediaan steril
dilakukan dengan cara aseptis, dimana cara aseptis memerlukan alat yang steril,bahan
yang steril, lingkungan yang terkontrol, dan personal yang terlatih. Secara tradisional
keadaan steril adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai akibat penghacuran dan
penghilangan semua mikroorganisme hidup (Lachman dkk., 2008).
Tujuan suatu sediaan dibuat steril, karena berhubungan langsung
dengan darah atau cairan tubuh dan jaringan tubuh lain yang
pertahanannya terhadap zat asing tidak selengkap pada saluran cerna atau
gastrointestinal. Diharapkan dengan kondisi steril dapat dihindari adanya
infeksi sekunder. Dalam hal ini tidak berlaku relative steril atau setengah
steril, hanya ada dua pilihan yaitu steril dan tidak steril. Dan infus
merupakan sediaan yang perlu di sterilkan dan harus bebas dari
mikroorganisme hidup maupun pirogen. Sehingga semua peralatan yang
akan digunakan juga harus disterilkan terlebih dahulu sebelum digunakan.
24
Karena cairan infus digunakan secara intravena, maka sediaan infus harus
isotonis, isohidri, bebas dari kuman dan pirogen, semua bahan tersatukan
tanpa terjadi reaksi dan bebas partikel melayang. Oleh karena itu, perlu
ditambahkan NaCl 0,9 % sebagai agen tonisitas dan carbon aktif 0,1 %
untuk membebaskan sediaan dari pirogen,untuk mencegah demam dan
untuk menyerap cemaran.
Pembuatan larutan infus harus dilakukan secara steril, setelah
pembuatan larutan infus selesai dibuat, yang selanjutnya dilakukan adalah
evaluasi sediaan larutan infus yang meliputi uji pH, uji kerjernihan dan
warna serta uji kebocoran. Setelah dilakukan uji pH menggunakan kertas
lakmus, pada lakmus merah tidak menunjukan perubahan warna dan pada
lakmus biru juga tidak menunjukan perubahan warna. Selanjutnya
dilakukan uji kejernihan dan warna, dengan cara pengamatan visual secara
langsung. Evaluasi terakhir yang dilakukan yaitu evaluasi kebocoran.
Larutan yang telah di masukkan kedalam botol kemudian dilakukan uji
kebocoran yang dilakukan dengan cara menyiapkan larutan gantian violet
dalam beaker glass kemudian sediaan tersebut dimasukkan kedalam
larutan gantian violet tersebut dengan cara di balikkan, yaitu posisi tutup
botol di bawah. Ketidak bocoran kemasan yang digunakan ini akan
meminimalisir terjadinnya kontaminasi.
25
BAB V
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Praktikum pembuatan larutan infus mannitol 5 % dibuat
dengan menggunakan natrium klorida (NaCl) dan mannitol sebagai zat
aktif dan natrium hidroksida dan aqua pro injection sebagai zat
tambahan. Adapun evaluasi sediaan larutan infus yang meliputi uji pH,
uji kerjernihan dan warna serta uji kebocoran.
26
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth., 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Alih
Bahasa : Agung Waluyo, dkk, Edisi 8. Jakarta : EGC
Lachman, Lieberman, Kanig., 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri II.
Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
Lukas, Syamsuni, H.A., 2006. Ilmu Resep. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Potter, P.A, Perry, A.G., 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses, dan Praktik, Edisi 4. Volume 2, Alih Bahasa : Renata
Komalasari,dkk. Jakarta : EGC
27
Tim kimia dasar jurusan PMIPA-FKIP. 2012. Penuntun praktikum kimia dasar
jurusan Pendidikan MIPA. Jember : jember university press.
28