Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan farmasi di Indonesia sudah dimulai semenjak zaman
Belanda, sehingga teknologi steril sebagai salah satu bagian dari ilmu farmasi
mengalami dinamika yang begitu cepat. Teknologi Steril merupakan ilmu yang
mempelajari tentang bagaimana membuat suatu sediaan yang steril, mutlak
bebas dari jasad renik, patogen, atau non patogen, vegetatif atau non vegetatif
(tidak ada jasad renik yang hidup dalam suatu sediaan).
Menurut USP, sediaan steril dibagi dalam lima jenis, salah satunya adalah
padatan kering. Padatan kering bila ditambahkan pembawa yang sesuai
menghasilkan sediaan yang memenuhi semua aspek persyaratan untuk Sterile
Suspension yang dibedakan dengan judul “Sterile _____ for Suspension”.
Amoksisilin sering diberikan dalam bentuk sediaan injeksi kering. Sediaan
injeksi kering diformulasikan untuk senyawa-senyawa yang tidak stabil dalam
bentuk larutan tetapi stabil dalam bentuk kering. Injeksi ini diberikan dalam
bentuk serbuk kering yang telah disterilkan dan dalam kemasannya disertai
dengan pelarutnya (aqua pro injeksi). Dalam penggunaanya, air ditambahkan
secara aseptis ke dalam vial obat untuk menghasilkan obat suntik yang
diinginkan (Ansel, 1989).
Injeksi amoksisilin adalah larutan steril dari Na-amoksisilin dalam aqua
pro injeksi. Injeksi amoksisilin disiapkan dengan cara melarutkan Na-
amoksisilin untuk injeksi dalam aqua pro injeksi dengan jumlah yang sama. Na-
amoksisilin untuk injeksi adalah bahan yang terdiri dari Na-amoksisilin dengan
atau tanpa zat tambahan (Departement of Health, 2002). Na-amoksisilin 10
mg/ml dalam aqua pro injeksi hanya stabil selama dua hari pada suhu 0°C. Na
amoksisilin konsentrasi rendah lebih stabil daripada konsentrasi tinggi (Trissel,
1998).

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana perhitungan bahan untuk membuat sediaan injeksi rekonstitusi
natrium amoksisilin ?
2. Bagaimana penimbangan bahan untuk membuat sediaan injeksi rekonstitusi
natrium amoksisilin?
3. Bagaimana prosedur pembuatan sediaan injeksi rekonstitusi natrium
amoksisilin ?
4. Apa evaluasi yang dilakukan untuk sediaan injeksi rekonstitusi natrium
amoksisilin ?

C. Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dari percobaan pembuatan sediaan obat steril injeksi
rekonstitusi yaitu :
1. Melakukan perhitungan bahan untuk pembuatan sediaan injeksi rekonstitusi
natrium amoksisilin.
2. Melakukan penimbangan bahan untuk sediaan injeksi rekonstitusi natrium
amoksisilin.
3. Melakukan pembuatan sediaan injeksi rekonstitusi natrium amoksisilin.
4. Melakukan evaluasi sediaan injeksi rekonstitusi natrium amoksisilin.

D. Prinsip Percobaan
1. Perhitungan bahan dilakukan berdasarkan konsentrasi dari masing-masing
bahan yang ditetapkan pada formula.
2. Penimbangan bahan dilakukan dengan menggunakan timbangan analitik.
3. Pembuatan sediaan injeksi rekonstitusi dilakukan dalam spesifkasi ruangan
grey area dan white area.
4. Evaluasi sediaan injeksi rekonstitusi meliputi penetapan pH, uji bahan
partikulat dalam injekisi, uji kejernihan dan uji waktu rekonstitusi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sediaan Injeksi
1. Definisi Sediaan Injeksi
Sediaan injeksi adalah sediaan steril, berupa larutan, suspensi, emulsi
atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan dahulu sebelum
digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit
atau melalui kulit atau selaput lendir (Depkes RI, 1995). Sediaan injeksi
diberikan jika diinginkan kerja obat yang cepat, bila penderita tidak dapat
diajak kerja sama dengan baik, tidak sadar, tidak tahan menerima pengobatan
secara oral atau obat tidak efektif bila diberikan dengan cara lain (Ansel,
1989)
2. Persyaratan Sediaan Injeksi
Kerja optimal dari larutan obat yang diberikan secara parenteral hanya
akan diperoleh jika memenuhi persyaratan, yaitu :
a. Aman
Injeksi tidak boleh menyebabkan iritasi jaringan atau menimbulkan efek
toksik.
b. Harus jernih
Injeksi yang berupa larutan harus jernih dan bebas dari partikel asing, serat
dan benang. Pada umumnya kejernihan dapat diperoleh dengan
penyaringan. Alat-alat penyaringan harus bersih dan dicuci dengan baik
sehingga tidak terdapat partikel dalam larutan. Penting untuk menyadari
bahwa larutan yang jernih diperoleh dari wadah dan tutup wadah yang
bersih, steril dan tidak melepaskan partikel.
c. Sedapat mungkin isohidris
Isohidris artinya pH larutan injeksi sama dengan pH darah dan cairan
tubuh lain, yaitu pH 7,4. Hal ini dimaksudkan agar bila diinjeksikan ke
badan tidak terasa sakit dan penyerapan obat dapat maksimal.

3
d. Sedapat mungkin isotonis
Isotonis artinya mempunyai tekanan osmosa yang sama dengan tekanan
osmosa darah dan cairan tubuh yang lain, yaitu sebanding dengan tekanan
osmosa larutan natrium klorida 0,9 %. Penyuntikan larutan yang tidak
isotonis ke dalam tubuh dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Bila larutan yang disuntikkan hipotonis (mempunyai tekanan osmosa yang
lebih kecil) terhadap cairan tubuh, maka air akan diserap masuk ke dalam
sel-sel tubuh yang akhirnya mengembang dan dapat pecah. Pada
penyuntikan larutan yang hipertonis (mempunyai tekanan osmosa yang
lebih besar) terhadap cairan-cairan tubuh, air dalam sel akan ditarik keluar,
yang mengakibatkan mengerutnya sel. Meskipun demikian, tubuh masih
dapat mengimbangi penyimpangan-penyimpangan dari isotonis ini hingga
10%. Umumnya larutan yang hipertonis dapat ditahan tubuh dengan lebih
baik daripada larutan yang hipotonis. Zat-zat pembantu yang banyak
digunakan untuk membuat larutan isotonis adalah natrium klorida dan
glukosa.
e. Tidak berwarna
Pada sediaan obat suntik tidak diperbolehkan adanya penambahan zat
warna dengan maksud untuk memberikan warna pada sediaan tersebut,
kecuali bila obatnya memang berwarna.
f. Steril
Suatu bahan dikatakan steril jika terbebas dari mikroorganisme hidup yang
patogen maupun yang tidak, baik dalam bentuk vegetatif maupun dalam
bentuk tidak vegetatif (spora).
g. Bebas pirogen
Hal ini harus diperhatikan terutama pada pemberian injeksi dengan volume
besar, yaitu lebih dari 10 ml untuk satu kali dosis pemberian. Injeksi yang
mengandung pirogen dapat menimbulkan demam (Voight, 1995).
3. Penggolongan Sediaan Injeksi
Menurut USP, obat suntik dibagi dalam lima jenis yang secara umum
didefinisikan sebagai berikut:

4
a. Obat larutan atau emulsi yang sesuai untuk obat suntik, memakai judul
“_______ injection.” (Contoh: Insulin Injection)
b. Bubuk kering atau larutan pekat, tidak mengandung dapar, pengencer atau
zat tambahan lain dan bila ditambah pelarut lain yang sesuai memberikan
larutan yang memenuhi semua aspek persyaratan untuk obat suntik, dan ini
dibedakan dengan judul: “Sterile ____” (Contoh: Sterile Ampicillin
Sodium)
c. Sediaan-sediaan seperti dijelaskan di nomor 2 kecuali bahwa mereka
mengandung satu atau lebih dapar, pengencer atau zat penambah lain, dan
dibedakan dengan judul: “____ for injection” (Contoh: Methicillin
Sodium for Injection)
d. Padatan yang disuspensikan di dalam media cair yang sesuai dan tidak
untuk disuntikkan intravena atau ke dalam ruang spinal, dibedakan dengan
judul: “Sterile _____ Suspension” (Contoh: Sterile Cortisol Suspension)
e. Padatan kering, yang bila ditambahkan pembawa yang sesuai
menghasilkan sediaan yang memenuhi semua aspek persyaratan untuk
Sterile Suspension dan yang dibedakan dengan judul “Sterile _____ for
Suspension” (contoh: Sterile Ampicillin for Suspension) (Ansel, 1989).
Berdasarkan cara pemberiannya, sediaan injeksi dapat digolongkan
dalam beberapa jenis, yaitu :
a. Injeksi intraderma atau intrakutan
Injeksi intrakutan dimasukkan langsung ke lapisan epidermis tepat
dibawah startum korneum. Umumnya berupa larutan atau suspensi dalam
air, volume yang disuntikkan sedikit (0,1 - 0,2 ml). Digunakan untuk
tujuan diagnosa.
b. Injeksi subkutan atau hipoderma
Injeksi subkutan dimasukkan ke dalam jaringan lembut dibawah
permukaan kulit. Jumlah larutan yang disuntikkan tidak lebih dari 1 ml.
Larutan harus sedapat mungkin isotonis dan isohidris, dimaksudkan untuk
mengurangi iritasi jaringan dan mencegah terjadinya nekrosis
(mengendornya kulit).

5
c. Injeksi intramuscular
Injeksi intramuskular dimasukkan langsung ke otot, biasanya pada lengan
atau daerah gluteal. Sediaannya biasa berupa larutan atau suspensi dalam
air atau minyak, volume tidak lebih dari 4 ml. Penyuntikan volume besar
dilakukan dengan perlahan-lahan untuk mencegah rasa sakit.
d. Injeksi intravena
Injeksi intravena langsung disuntikkan ke dalam pembuluh darah, berupa
larutan isotoni atau agak hipertoni, volume 1-10 ml. Larutan injeksi
intravena harus bebas dari endapan atau partikel padat, karena dapat
menyumbat kapiler dan menyebabkan kematian. Injeksi intravena yang
diberikan dalam volume besar, umumnya lebih dari 10 ml, disebut infus.
Jika volume dosis tunggal lebih dari 15 ml, injeksi intravena tidak boleh
mengandung bakterisida dan jika lebih dari 10 ml harus bebas pirogen.
e. Injeksi intraarterium
Injeksi intraarterium dimasukkan langsung ke dalam pembuluh darah
perifer, digunakan jika efek obat diperlukan segera. Umumnya berupa
larutan, dapat mengandung cairan non iritan yang dapat bercampur dengan
air, volume 1-10 ml. Tidak boleh mengandung bakterisida.
f. Injeksi intrakardial
Dimasukkan langsung ke dalam otot jantung atau ventrikulus, hanya
digunakan untuk keadaan gawat. Tidak boleh mengandung bakterisida.
g. Injeksi intratekal atau subaraknoid
Injeksi intratekal digunakan untuk menginduksi spinal atau lumbal anestesi
dengan menyuntikkan larutan ke ruang subaraknoid, biasanya volume
yang diberikan 1-2 ml. Tidak boleh mengandung bakterisida dan diracik
untuk wadah dosis tunggal.
h. Injeksi intraperitonial
Disuntikkan langsung ke dalam rongga perut. Penyerapannya cepat,
bahaya infeksi besar sehingga jarang dipakai.

6
i. Injeksi intraartikulus
Injeksi intraartikulus digunakan untuk memasukkan material seperti obat
anti inflamasi langsung ke luka atau jaringan yang teriritasi. Injeksi berupa
larutan atau suspensi dalam air.
j. Injeksi subkonjungtiva
Larutan atau suspensi dalam air untuk injeksi selaput lendir bawah mata,
umumnya tidak lebih dari 1 ml.
k. Injeksi intrasisternal dan peridual
Injeksi ini disuntikkan ke intrakarnial sisternal dan lapisan dura dari
spinalcord. Keduanya merupakan prosedur yang sulit dengan peralatan
yang rumit (Depkes RI, 1979).
4. Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Sediaan Parenteral
Pemberian melalui injeksi mempunyai beberapa keuntungan maupun
kerugian dibandingkan dengan melalui cara lain. Keuntungan pemberian
secara injeksi, yakni: (1) Obat-obat yang rusak atau diinaktifkan oleh sistem
saluran cerna atau tidak diabsorpsi dengan baik untuk memberikan respon
memuaskan, dapat diberikan secara parenteral, (2) Sering digunakan apabila
dibutuhkan absorpsi yang segera, seperti pada keadaan darurat, (3) Kadar obat
dalam darah yang dihasilkan jauh lebih bisa diramalkan (kadar obat lebih
besar dari pemberian oral), (4) Memungkinkan pemberian dosis yang lebih
kecil, (5) Pemberian secara parenteral berguna dalam pengobatan pada pasien
yang tidak mau bekerjasama, kehilangan kesadaran atau sebaliknya tidak
dapat menerima obat secara oral.
Adapun kerugian pemberian secara parenteral, yakni: (1) Apabila obat
sudah disuntikkan, maka obat tersebut tidak dapat ditarik lagi. Ini berarti,
pemusnahan untuk obat yang mempunyai efek tidak baik atau toksik maupun
kelebihan dosis karena ketidakhati-hatian akan sukar dilakukan, (2) Tuntutan
sterilitas untuk sediaan parenteral sangat ketat, (3) Harga sediaannya relatif
mahal, (4) Memerlukan petugas terlatih yang berwenang untuk melakukan
pengobatan, (5) Adanya resiko toksisitas jaringan dan akan terasa sakit saat

7
penyuntikan serta sulit untuk memulihkan keadaan bila terjadi kesalahan
(Groves, 1988 ; Turco & King, 1979).
B. Antibiotik
1. Defiinisi
Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang
memiliki khasiat membunuh atau menghambat pertumbuhan kuman,
sedangkan toksisitasnya terhadap manusia relatif kecil (Tan dan Rahardja,
2002). Definisi lain menyebutkan bahwa antibiotik merupakan obat yang
digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia, yang
harus memiliki sifat toksisitas yang selektif, artinya obat tersebut bersifat
toksik pada mikroba, tetapi tidak toksik pada tuan rumah atau manusia
(Pelczar, 1988).
2. Antibiotik Amoksisilin
Penisilin dan sefalosporin merupakan kelompok antibiotik beta laktam
yang telah lama dikenal. Amoksisilin merupakan penisilin semi-sintetik oral
yang secara struktur berhubungan dengan ampisilin (Pires de Abreu and
Ortiz, 2003). Amoksisilin mengandung tidak kurang dari 90,0% C16H19N3O5S,
dihitung terhadap zat anhidrat. Pemerian : serbuk hablur, putih. Amoksisilin
sukar larut dalam air dan metanol; tidak larut dalam benzena, dalam karbon
tetraklorida dan dalam kloroform. Agar amoksisilin mudah larut dalam air,
maka dibuat garam amoksisilin C16H19N3O5S.Na (Depkes RI, 1995).
Amoksisilin digunakan sebagai trihidrat dalam produk oral dan sebagai garam
dalam produk parenteral.
Amoksisilin digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh
bakteri gram – negatif seperti Neisseria gonorrhoeae, Haemophilus
influenzae, Escherichia coli, Proteus mirabilis, Salmonella. Amoksisilin juga
digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram –
positif seperti Streptococcus pneumoniae, Enterococci, Listeria dan
Staphylococcus yang tidak menghasilkan penisilinase (McEvoy, 2002).
Mekanisme kerja amoksisilin adalah menghambat pembentukan mukopeptida

8
yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba (Istiantoro dan
Ganiswarna, 1995).
Amoksisilin sering diberikan dalam bentuk sediaan injeksi kering.
Sediaan injeksi kering diformulasikan untuk senyawa-senyawa yang tidak
stabil dalam bentuk larutan tetapi stabil dalam bentuk kering. Injeksi ini
diberikan dalam bentuk serbuk kering yang telah disterilkan dan dalam
kemasannya disertai dengan pelarutnya (aqua pro injeksi). Dalam
penggunaanya, air ditambahkan secara aseptis ke dalam vial obat untuk
menghasilkan obat suntik yang diinginkan (Ansel, 1989).
Injeksi amoksisilin adalah larutan steril dari Na-amoksisilin dalam aqua
pro injeksi. Injeksi amoksisilin disiapkan dengan cara melarutkan Na-
amoksisilin untuk injeksi dalam aqua pro injeksi dengan jumlah yang sama.
Na-amoksisilin untuk injeksi adalah bahan yang terdiri dari Na-amoksisilin
dengan atau tanpa zat tambahan (Departement of Health, 2002). Natrium
amoksisilin 50 mg/ml lebih tidak stabil pada semua larutan infus
dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih rendah, 10 atau 20 mg/ml
(Trissel, 1998). Amoksisilin memiliki dua jalur degradasi, disebut sebagai
dimerisasi dan peruraian hidrolitik pada cincin β-laktam (Connors, 1992).
C. Uraian Bahan
1. Amoksisilin Natrium

Rumus molekul C16H18N3NaO5S


Berat molekul 378,4 g/mol
Pemerian Serbuk berwarna putih atau hampir putih; sangat
higroskopis.
(Farmakope Indonesia Edisi IV, 1995, hlm. 97)
Kelarutan Sangat mudah larut dalam air; agak sukar larut dalam
alkohol; sangat sukar larut dalam aseton; praktis tidak
larut
dalam kloroform dan eter.
(Farmakope Indonesia Edisi IV, 1995, hlm. 97)
Stabilitas
 Panas Disimpan pada suhu rendah
 Hidrolisis Larutan amoksisilin natrium yang tidak mengandung
dapar paling stabil pada pH 5,8.
larutan amoksisilin natrium dalam dapar sitrat paling

9
stabil pada pH 6,5.
(The Pharmaceutical CODEX Twelfth Edition, 1994,
hlm. 730)
Kesimpulan :
Bentuk zat aktif yang digunakan : Garam
Bentuk sediaan : Serbuk rekonstitusi
Cara sterilisasi sediaan : proses pembuatan dilakukan secara aseptik di
bawah LAF; sterilisasi dengan filtrasi membran 0,22 μm
Kemasan : Vial, tertutup baik.
(The Pharmaceutical CODEX Twelfth Edition, 1994, hlm. 730)
Penyimpanan : Disimpan dalam wadah kedap udara.
(The Pharmaceutical CODEX Twelfth Edition, 1994, hlm. 730)

2. Natrium Dihidrogen Fosfat

Pemerian Serbuk kristal putih atau bergranul.


(Handbook of Pharmaceutical Excipients, 1994, hlm. 659)
Kelarutan Larut dalam air (1:1); sangat tidak larut dalam etanol 95 %.
(Handbook of Pharmaceutical Excipients, 1994, hlm. 659)
Stabilitas Meleleh pada suhu 205 °C dengan dekomposisi.
 Panas pH 4,1 – 4,5 untuk larutan monohidrat 5% b/v pada suhu
 Hidrolisis 25°C.
(Handbook of Pharmaceutical Excipients, 1994, hlm. 659)
Cara Sterilisasi : Dengan oven 170 °C selama 1 jam.
Inkompatibilitas : Tidak kompatibel dengan senyawa alkalin, karbonat, dan
garam kalsium, magnesium dan aluminium.
(Handbook of Pharmaceutical Excipients, 1994, hlm. 64 – 65)
Kemasan : Disimpan pada wadah yang kedap udara, sejuk, dan kering.
(Handbook of Pharmaceutical Excipients, 1994, hlm. 64 – 65)

3. Dinatrium Hidrogen Fosfat

Pemerian Serbuk berwarna putih (anhidrat).


(Handbook of Pharmaceutical Excipients, 1994, hlm. 656)
Kelarutan Sangat larut dalam air, terutama dalam air panas dan air
mendidih;
praktis tidak larut dalam etanol 95 %.
(Handbook of Pharmaceutical Excipients, 1994, hlm. 657)
Stabilitas
 Panas Stabil
 Hidrolisis pH 9,1 untuk larutan anhidrat 1% b/v pada suhu 25°C.
(Handbook of Pharmaceutical Excipients, 1994, hlm. 656)
Cara Sterilisasi : Dengan oven 170 °C selama 1 jam.
Inkompatibilitas : Tidak kompatibel dengan senyawa alkaloid, antipirin,

10
kloral hidrat,
Pb asetat, kalsium glukonat, pirogalol, ciprofloksasin, resorsinol.
(Handbook of Pharmaceutical Excipients, 1994, hlm. 657)
Kemasan : Disimpan pada wadah yang kedap udara, sejuk, dan kering.
(Handbook of Pharmaceutical Excipients, 1994, hlm. 657)

4. Benzil alkohol

Pemerian Larutan jernih, tidak berwarna; bau aromatik lemah; rasa


membakar tajam .
(The Pharmaceutical CODEX Twelfth Edition, 1994,
hlm. 641)
Kelarutan Larut dalam air (1:25 pada suhu 25 °C dan 1:14 pada
90°C); larut dalam etanol, kloroform, dan eter.
(Handbook of Pharmaceutical Excipients, 1994, hlm.
642)
Stabilitas
Harus disimpan dalam tempat yang sejuk; mendidih pada
 Panas
suhu 206 °C tanpa penguraian .
Stabil pada pH 7 – 9 (larutan 5% b/v).
Harus terlindung dari cahaya.
 Hidrolisis (Farmakope Indonesia Edisi IV, 1995, hlm. 71)
Cara Sterilisasi : Dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15
menit.
Inkompatibilitas : Tidak kompatibel dengan oksidator, asam kuat, dan
metilselulosa.
(Handbook of Pharmaceutical Excipients, 1994, hlm. 64 – 65)
Kemasan : Disimpan pada wadah yang kedap udara, sejuk, kering, dan
terlindung dari cahaya.
(Handbook of Pharmaceutical Excipients, 1994, hlm. 64 – 65)

5. Aqua pro injection

Pemerian Air untuk injeksi yang disterilisasi dan dikemas dengan


cara yang sesuai, tidak mengandung bahan antimikroba
atau bahan tambahan lainnya. Cairan jernih, tidak
berwarna, tidak berbau (Farmakope Indonesia Edisi IV,
1995, hlm 112 – 113).
Kelarutan Bercampur dengan banyak pelarut polar.
Stabilitas
 Panas Tahan panas hingga suhu 804 ⁰C.
 Hidrolisis pH 6,7 – 7,3 pada larutan jenuh.
 Cahaya Harus terlindung dari cahaya.
Kesimpulan : Air dapat bereaksi dengan obat atau eksipien lain yang dapat

11
terhidrolisis. Air dapat bereaksi dengan logam logam alkali dan secara cepat
dengan logam logam alkali tanah dan oksidanya, seperti kalium oksida dan
magnesium oksida. Air juga bereaksi dengan garam garam anhidrat untuk
membentuk hidrat dengan berbagai komposisi, dengan material organik
tertentu. (Handbook of Pharmaceutical Excipients p 802 – 806)
Cara sterilisasi : Dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15
menit.
Kemasan : Disimpan pada wadah yang kering dan tertutup.

D. Evaluasi
1. Penetapan pH (Depkes RI, 1995)
Prinsip evaluasi :
Menggunakan pH meter.
2. Uji Bahan Partikulat dalam Injeksi (Depkes RI, 1995)
Prinsip evaluasi :
Memerlukan sistem elektronik penghitung partakel pengotor cairan yang
dilengkapi dengan alat untuk memasukkan contoh yang sesuai.
Syarat :
Jumlah partikel/mL:
>50 mikrometer: negatif
>25 mikrometer: <1000
>10 mikrometer: <10000
3. Uji Kejernihan (Depkes RI, 1995)
Prinsip evaluasi :
Wadah sediaan akhir disinari dari samping dengan latar belakang warna
hitam untuk melihat partikel berwarna putih dan latar belakang putih untuk
melihat partikel berwarna.
Syarat :
Tidak ditemukan adanya serat pengotor
4. Uji waktu rekonstitusi
Prinsip evaluasi :
Sediaan diisi aquadest hingga batas tanda, diukur waktu yang dibutuhkan
serbuk melarut.

12
BAB III
METODE KERJA

A. Alat

No Nama Alat Jumlah Cara Sterilisasi


.
1. Batang pengaduk 3
2. Spatel 3
3. Kaca arloji 3
4. Pipet tetes 1 Oven pada suhu 170°C selama 1
5. Corong 1 jam
6. Pinset 1
7. Kertas perkamen Secukupnya
8. Tissue/serbet Secukupnya
9. Gelas beaker 250 ml 1
10. Gelas beaker 10 ml 2 Autoklaf pada suhu 121°C
11. Gelas ukur 50 ml 1 selama 15 menit
12. Gelas ukur 5 ml 2
13 Karet pipet 1 Direndam dalam etanol 70%
selam 24 jam

B. Wadah

No Wadah Jumlah Cara sterilisasi


.
1. Vial 1 Oven pada suhu 170°C selama 1 jam
2. Ampul 1
3. Tutup vial 1 Direndam dalam etanol 70% selam 24 jam

C. Bahan

No Nama Bahan Cara Sterilisai


.
1. Amoksisilin Natrium Sterilisasi sediaan dengan radiasi (sterilisasi cara
dingin)

13
2. NaH2PO4
Oven pada suhu 170 °C selama 1 jam
3. Na2HPO4
4. Benzil alkohol
Autoklaf pada suhu 121 °C selama 15 menit
5. Aqua pro injection

D. Master Formula

No Bahan Konsentrasi Fungsi


.
1. Amoksisilin Natrium 5% Zat aktif
2. NaH2PO4 0,06435% Dapar
3. Na2HPO4 0,61857% Dapar
4. Benzil alkohol 0,1% Pengawet antimikroba
5. Aqua pro injectio Ad 10 ml Pelarut

E. Perhitungan Bahan
1. Amoksisilin = 5% = 5000 mg/100 ml
= 50 mg/ml
= 50 x 10
= 500 mg = 0,5 gram
0,06435
2. NaH2PO4 = 0,06435% = x 10 = 0,006436 gram
100
0,61857
3. Na2HPO4 = 0,61857% = x 10 = 0,061857 gram
100
0,1
4. Benzil alkohol = 0,1% = x 10 = 0,01 ml
100
5. Aqua pro injection = 10 ml – (0,5 + 0,006436 + 0,061857 + 0,1)
= 10 ml – 0,66
= 9,34 ml
F. Prosedur Kerja

Ruang Pengerjaan Prosedur


Grey area 1. Disterilkan aquades sebanyak 10mL dengan autoklaf
121°C selama 15 menit.
(Ruang Sterilisasi)
2. Ditara terlebih dahulu gelas kimia yang akan digunakan
sesuai dengan volume yang dibutuhkan.
3. Disterilisasi semua alat dan wadah yang telah dicuci
bersih menurut prosedur yang sesuai.

14
Grey area 1. Ditimbang amoksisilin natrium sebanyak 0,5 g di atas
kaca arloji steril.
(Ruang
2. Ditimbang NaH2PO4 sebanyak 0,006435 g di atas kaca
Penimbangan) arloji steril.
3. Ditimbang Na2HPO4 sebanyak 0,37114 g di atas kaca
arloji steril.
4. Diambil benzil alkohol sebanyak 0,01 mL dan
dimasukkan ke dalam cawan penguap.
5. Diambil Aqua p.i sebanyak 10 mL dan dimasukkan ke
dalam gelas kimia 10 mL steril yang sudah ditara.
White area grade 1. Digerus amoksisilin natrium sampai halus.
A background B 2. Ditambahkan dapar fosfat lalu diaduk secara homogen.
(LAF) 3. Dimasukkan hasil gerusan ke dalam vial.
4. Ditutup sementara dengan menggunakan aluminium
foil.
White area grade 1. Dilarutkan Benzil alkohol dengan air sedikit demi sedikit
A background B sampai volumenya mencapai 10mL dalam gelas ukur 10
(Ruang mL (hingga mencapai tanda).
Pencampuran) 2. Diaduk larutan dengan menggunakan batang pengaduk
hingga tercampur secara merata.
3. Disaring larutan dengan kertas saring ke dalam gelas
kimia 10 mL steril.
Grey area (Ruang Ditutup ampul dan vial.
Penutupan)
Grey area (Ruang Sterilisasi akhir pelarut dilakukan dengan autoklaf 121°C
Sterilisasi) selama 15 menit.
Grey area (Ruang Dilakukan evaluasi sediaan.
Evaluasi) Diberi etiket, dikemas dalam wadah sekunder.

15
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Evaluasi Hasil
Penetapan pH 5
Bahan partikulat dalam injeksi Tidak terdapat bahan partikulat
Uji kejernihan dan warna Jernih dan warna bening
Uji waktu rekonstitusi 45 detik

B. Pembahasan
Larutan rekonstitusi adalah larutan yang berasal dari serbuk yang
dilarutkan terlebih dahulu di dalam air sebagai pelarut sebelum
digubakan.bentuk sediaan rekonstitusi ini terutama digunakan untuk obat yang
memiliki stabilitas terbatas di dalam pelarut air seperti golongan antibiotika.
Syarat-syarat untuk larutan direkonstitusi baik sediaan steril maupun non steril
adalah campuran serbuk harus homogeny agar dosis tetap pada setiap pemberian
obat, campuran serbuk harus larut secara sempurna dindalam air, larutan harus
mudah dituang dan memiliki dosis yang tepat dan sesuai (Ayuhastuti , 2016).
Pada praktikum kali ini kami melakukan pembuatan sediaan injeksi
rekonstitusi Natrium Amoksisilin. Langkah pertama yang dilakukan yakni
membuat aqua pro injeksi steril dengan cara aquadest sebanyak 100 ml
disterilkan dengan autoklaf 121°C selama 15 menit, dan semua alat dan wadah
yang telah dicuci bersih disterilkan menurut prosedur yang sesuai, selajutnya
ditimbang amoksisilin natrium sebanyak 500 mg (1 tablet) diatas kaca arloji
steril, NaH2PO4 sebanyak 0,0064 g dan Na2HPO4 Sebanyak 0,0618 g. Setelah
itu, diambil dan dimasukkan benzil alkohol ke dalam gelas ukur sebanyak 0,01
ml dan aquadest di ambil menggunakan gelas sebanyak 9,4218 ml kemudian di
masukkan ke dalam gelas kimia. Gerus amoksisilin natrium dalam mortar
sampai halus, kemudian tambahkan dapar fosfat ke dalam serbuk amoksisilin
lalu di aduk sampai homogen, selanjutnya di masukkan ke dalam vial ditutup
sementara dengan menggunakan aluminium foil. Setelah itu, benzil alkohol
dilarutkan dengan air sedikit demi sedikit sampai volumenya mencapai 10 ml,

16
kemudian larutan diaduk dengan menggunakan batang pengaduk hingga
tercampur secara merata lalu dimasukkan ke dalam ampul dan tutup ujung ampul
dengan aluminium foil.
Selanjutnya dilalukukan evaluasi terhadap sediaan yang telah di buat,
langkah pertama yaitu Uji PH menggunakan indikator pH, dimana hasil dari
sediaan yang kami buat yaitu pH 5, lalu Uji bahan partikulat dalam wadah yaitu
tidak terdapat partikulat dalam sediaan, kemudian Uji kejernihan dan warna
sediaan berwarna bening dan jernih. Terakhir dilakukan uji waktu rekonstitusi,
uji waktu rekonstitusi dari sediaan kami yaitu 45 detik. Setelah dilakukan
evaluasi, sediaan diberi etiket dan dikemas dalam wadah sekunder yang
dilengkapi dengan brosur informasi obat yang sesuai.

BAB V

17
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Perhitungan bahan dilakukan berdasarkan konsentrasi dari masing-masing
bahan yang ditetapkan pada formula.
2. Penimbangan bahan dilakukan dengan menggunakan timbangan analitik ntuk
memperoleh hasil timbanngan yang lebih akurat.
3. Pembuatan sediaan injeksi rekonstitusi dilakukan dalam spesifkasi ruangan
grey area dan white area.
4. Evaluasi sediaan injeksi rekonstitusi meliputi penetapan pH yang hasilnya
menunjukkan angka 5 (asam), uji bahan partikulat dalam injeksi
menunjukkan tidak terdapat bahan partikulat, uji kejernihan dan warna
menunjukkan sediaan jernih dan berwarna bening serta uji waktu rekonstitusi
hasilnya 45 detik.

B. Saran
Praktikan harus lebih hati-hati dan teliti saat melakukan praktikum, dan
sebaiknya praktikan mengetahui terlebih dahulu prosedur yang akan dilakukan
pada saat praktikum

DAFTAR PUSTAKA

18
Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi ke-4. UI Press.
Jakarta.
Ayuhastuti, Anggraeni. 2016. Praktikum Teknologi Sediaan Steril. Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan. Jakarta
Selatan.
Connors, K. A., G. L. Amidon, V. J. Stella. 1992. Stabilitas Kimiawi Sediaan
Farmasi. Edisi ke-2. Jilid ke-1. Penerjemah: Drs. Didik Gunawan. IKIP
Semarang Press. Semarang.
Departement of Health. 2002. British Pharmacopeia. Volume I. The Stationery
Office the Departement of Health. London.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi ke-3. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi ke-4. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta.
Groves, M. 1988. Parenteral Technology Manual. 2nd edition. Interpharm Press.
USA.
Lund, W. 1994. The Pharmaceutical Codex 12th Edition. The Pharmaceutical Press.
London.
McEvoy, G.K. 2002. AHFS Drug Information. Bethesda: The American Society
of Health-System Pharmacist, Inc.
Pelczar, Michael J., dan E.C.S. Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. UI-
Press. Jakarta .
Rowe, Raymond C., Sheskey, Paul J., Quinn, Marian E.. 2009. Handbook of
Pharmaceutical Excipients 6th Edition. The Pharmaceutical Press.
Tan Hoan Tjay., dan Kirana Raharja. 2002. Obat-Obat Penting: Khasiat,
Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. PT Elex Media Komputindo.
Jakarta.
Trissel, L.A. 1998. Handbook on Injectable Drugs, 10th edition. Bethesda: The
American Society of Health-System Pharmacist, Inc.
Turco & King. 1979. Sterile Dosage Form: Their Preparation and Clinical
Application. 2nd edition. Philadelphia: Lea & Febiger

19
Voight, A. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi ke-5. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

LAMPIRAN
a. Alat

20
Gelas Kimia Gelas ukur Spatula

Batang pengaduk Kaca arloji Timbangan analitik

Pipet tetes Botol ampul Botol vial

b. Bahan

21
Amoksisilin Natrium NaH2PO4 Na2HPO4

Benzil Alkohol Aquadest

c. Cara Kerja

Disterilkan alat yang akan digunakan

22
Amoksisilin digerus Benzil alcohol Larutan diaduk
dalam mortar dan dilarutkan dengan menggunakan batang
ditambahkan dapar aquadest pengaduk

23

Anda mungkin juga menyukai