PENDAHULUAN
A. Pengertian
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, injeksi adalah sediaan steril
berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau
disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara
merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau melalui selaput lendir.
Sedangkan menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, injeksi adalah
injeksi yang dikemas dalam wadah 100 mL atau kurang. Tujuan obat dibuat steril
(seperti injeksi) karena berhubungan langsung dengan darah atau cairan tubuh
dan jaringan tubuh lain dimana pertahanan terhadap zat asing tidak selengkap
yang berada di saluran cerna/gastrointestinal, misalnya hati yang dapat berfungsi
untuk menetralisir / menawarkan racun(detoksikasi=detoksifikasi).
Injeksi vial adalah salah satu bentuk sediaan steril yang umumnya
digunakan pada dosis ganda dan memiliki kapasitas atau volume 0,5 mL – 100
mL. Injeksi vial pun dapat berupa takaran tunggal atau ganda dimana digunakan
untuk mewadahi serbuk bahan obat, larutan atau suspensi dengan volume
sebanyak 5 mL atau pun lebih.
Injeksi klorfeniramini maleat mengandung klorfeniramini maleat
C₁₆H₁₉ClN₂.C₄H₄O₄ tidak kurang dari 90,0 % dan tidak lebih 110,0 % dari
jumlah yang tertera pada etiket.
1
2. Sediaan padat kering (untuk dilarutkan) atau cairan pekat tidak mengandung
dapar, pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh
setelah penambahan pelarut yang sesuai memenuhi persyaratan injeksi,
ditandai dengan nama , ...................Steril.
Dalam FI.ed..III disebut berupa zat padat kering jika akan disuntikkan
ditambah zat pembawa yang cocok dan steril, hasilnya merupakan larutan
yang memenuhi syarat larutan injeksi. Misalnya: Inj. Dihydrostreptomycin
Sulfat steril
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak
disuntikkan secara intravena atau ke dalam saluran spinal, ditandai dengan
nama , Suspensi.......... Steril.
Dalam FI.ed.III disebut Suspensi steril ( zat padat yang telah disuspensikan
dalam pembawa yang cocok dan steril) . Misalnya : Inj. Suspensi
Hydrocortisone Acetat steril
5. Sediaan berupa emulsi, mengandung satu atau lebih dapar, pengencer atau
bahan tambahan lain, ditandai dengan nama, ............. Untuk Injeksi.
Dalam FI.ed.III disebut bahan obat dalam pembawa cair yang cocok,
hasilnya merupakan emulsi yang memenuhi semua persyaratan emulsi
steril. Misalnya : Inj. Penicilline Oil untuk injeksi
Menurut Prinsip Kerjanya, sediaan injeksi steril dapat dibuat dengan 2 cara,
yaitu :
2
1. Na-Steril (sterilisasi akhir), yaitu Cara kerja yang dilakukan dengan
penyeterilan dilakukan di akhir proses pencampuran. Hal ini biasa
dilakukan pada bahan obat yang tahan pemanasan. Alat yang digunakan
dicuci bersih dan bahan obat baru disterilkan pada akhir proses
pembuatan dengan wadah yang sudah tertutup rapat dan siap dikemas
2. Aseptis yaitu Cara kerja yang dilakukan untuk mencegah sedapat
mungkin agar mikroba tidak masuk. Dalam hal ini mikroba tidak
dimusnahkan. Cara kerja ini digunakan untuk obat-obatan yang sama
sekali tidak tahan pemanasan. Semua alat yang digunakan dalam prinsip
ini harus steril, obat yang dapat disterilkan harus disterilkan lebih
dahulu. Ruang kerja yang digunakan harus bersih (steril), sedapat
mungkin pekerja menggunakan pakaian steril karena kemungkinan
paling banyak mengkontaminasi terletak pada pekerja, terutama tangan
dan nafasnya.
Dalam hal ini, Inj. CTM dibuat dengan cara Na-Steril, karena bahan
obat yang digunakan tahan terhadap pemanasan.
B. Macam – macam Cara Penyuntikan
1. Injeksi intrakutan ( i.k / i.c ) atau intradermal Dimasukkan ke dalam
kulit yang sebenarnya, digunakan untuk diagnosa. Volume yang
disuntikkan antara 0,1 - 0,2 ml, berupa larutan atau suspensi dalam air.
2. Injeksi subkutan ( s.k / s.c ) atau hipodermik Disuntikkan ke dalam
jaringan di bawah kulit ke dalam alveolar, volume yang disuntikkan
tidak lebih dari 1 ml. Umumnya larutan bersifat isotonik, pH netral,
bersifat depo (absorpsinya lambat). Dapat diberikan dalam jumlah besar
(volume 3 - 4 liter/hari dengan penambahan enzym hialuronidase), bila
pasien tersebut tidak dapat diberikan infus intravena. Cara ini disebut"
Hipodermoklisa ".
3. Injeksi intramuskuler ( i.m ) Disuntikkan ke dalam atau diantara
lapisan jaringan / otot. Injeksi dalam bentuk larutan, suspensi atau
emulsi dapat diberikan secara ini. Yang berupa larutan dapat diserap
dengan cepat, yang berupa emulsi atau suspensi diserap lambat dengan
3
maksud untuk mendapatkan efek yang lama. Volume penyuntikan antra
4 - 20 ml, disuntikkan perlahan-lahan untuk mencegah rasa sakit.
4. Injeksi intravenus ( i.v ) Disuntikkan langsung ke dalam pembuluh
darah vena. Bentuknya berupa larutan, sedangkan bentuk suspensi atau
emulsi tidak boleh, sebab akan menyumbat pembuluh darah vena
tersebut. Dibuat isitonis, kalau terpaksa dapat sedikit hipertonis
(disuntikkannya lambat / perlahan-lahan dan tidak mempengaruhi sel
darah); volume antara 1 - 10 ml. Injeksi intravenus yang diberikan dalam
dosis tunggal dengan volume lebih dari 10 ml, disebut "infus intravena/
Infusi/Infundabilia". Infusi harus bebas pirogen dan tidak boleh
mengandung bakterisida, jernih, isotonis. Injeksi i.v dengan volume 15
ml atau lebih tidak boleh mengandung bakterisida Injeksi i.v dengan
volume 10 ml atau lebih harus bebas pirogen.
5. Injeksi intraarterium ( i.a ) Disuntikkan ke dalam pembuluh darah
arteri / perifer / tepi, volume antara 1 - 10 ml, tidak boleh mengandung
bakterisida.
6. Injeksi intrakor / intrakardial ( i.kd ) Disuntikkan langsung ke dalam
otot jantung atau ventriculus, tidak boleh mengandung bakterisida,
disuntikkan hanya dalam keadaan gawat.
7. Injeksi intratekal (i.t), intraspinal, intrasisternal (i.s), intradural ( i.d ),
subaraknoid. Disuntikkan langsung ke dalam saluran sumsum tulang
belakang pada dasar otak ( antara 3 -4 atau 5 - 6 lumbra vertebrata ) yang
ada cairan cerebrospinalnya. Larutan harus isotonis karena sirkulasi
cairan cerebrospinal adalah lambat, meskipun larutan anestetika
sumsum tulang belakang sering hipertonis. Jaringan syaraf di daerah
anatomi disini sangat peka.
8. Intraartikulus Disuntikkan ke dalam cairan sendi di dalam rongga
sendi. Bentuk suspensi / larutan dalam air.
9. Injeksi subkonjuntiva Disuntikkan ke dalam selaput lendir di bawah
mata. Berupa suspensi / larutan, tidak lebih dari 1 ml.
10. Injeksi intrabursa Disuntikkan ke dalam bursa subcromillis atau bursa
olecranon dalam bentuk larutan suspensi dalam air.
4
11. Injeksi intraperitoneal ( i.p ) Disuntikkan langsung ke dalam rongga
perut. Penyerapan cepat ; bahaya infeksi besar
12. Injeksi peridural ( p.d ), extradural, epidural Disuntikkan ke dalam
ruang epidural, terletak diatas durameter, lapisan penutup terluar dari
otak dan sumsum tulang belakang.
Kerugian :
1. Karena bekerja cepat, jika terjadi kekeliruan sukar dilakukan
pencegahan.
2. Cara pemberian lebih sukar, harus memakai tenaga khusus.
3. Kemungkinan terjadinya infeksi pada bekas suntikan.
4. Secara ekonomis lebih mahal dibanding dengan sediaan yang
digunakan per oral.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Preformulasi
5
1. Zat Aktif
Pemerian : Serbuk hablur putih ; tidak berbau ; rasa pahit.
Kelarutan : Larut dalam 4 bagian air , dalam 10 bagian etanol (95%) P
dan dalam 10 bagian kloroform P ; sukar larut dalam eter P.
Sterilisasi : Pemanasan 98o – 100oC
PH : 4,0-5,2
Khasiat : Antihistamin
Anti histamin : zat zat yang dapat mengurangi atau
menghalangi efek histamin terhadap tubuh dengan jalan
memblok reseptor-histamin (penghambatan saingan).
Kloramfenikol termasuk tipe 1 H1 Blockers
(antihistaminika klasik) dan termasuk obat generasi ke 1
yang berkhasiat sedatif terhadap SSP dan kebanyakan
memiliki efek antikolinergis. Klorfeniramin termasuk
derivat propilamin yang mana memiliki daya kerja
antihitaminika yang kuat. Dan klorfeniramin dengan daya
kerja 10 kali lebih kuat dan dengan derajat toksisitas yang
sama. Memiliki Efek samping sedatif ringan dan sering kali
digunakan dalam obat batuk.
Dosis : Dosis maksimum sehari 40mg.
Literatur : - FI Edisi III Hal 153
- Martindale hal 1300
- Wattimena hal 160
-OOP Edisi Ke enam Cetakan Ke 3 Bab Antihistaminika
Halaman 819.
2. Zat Pembawa
Benzyl Alkohol
Pemerian : Cairan ; tidak berwarna ; hampir tidak berbau ; rasa tajam
dan membakar.
6
Kelarutan : larut dalam 25 bagian air ; dapat campur dengan etanol
(95%) P, dengan kloroform dan dengan eter P.
Sterilisasi : Otoklaf
pH : 5-8
Khasiat : Antiseptikum
Antiseptikum adalah senyawa kimia yang digunakan untuk
membunuh atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme padajaringan yang hidup seperti pada
permukaan kulit dan membran mukosa. Benzy Alkohol
selain berkhasiat sebagai antiseptik juga berkhasiat sebagai
anestetik dan anti gatal lema. Bekerja optimal dalam
lingkungan asam. Obat ini tidak merangsang dan tidak
toksis
- Excipient hal 35
Natrium Chorida
7
- Pharmaceutical Excipient hal. 267
B. Pendekatan Preformulasi
8
Chlorpeniramini Mudah larut dalam air; larut dalam 4-5 Pemanasan 98- FI IV hal 210
Maleas etanol dan dalam kloroform; sukar 100o C, 30 Martindale The Extar
larut dalam eter dan benzene menit Pharmacpoeia 28 hal
penyaring 1300
bakteri Waimena hal 160
Benzyl alcohol Agak sukar larut dalam air; Mudah 5-6 Pemanasan FI IV hal 71
larut dalam etanol 50%; bercampur 100o C, 30 Exicipient hal 35
dengan etanol, dengan eter dan menit Martindale hal 39
dengan kloroform
Aqua p.i. Dapat dicampur dan larut dengan 5-7 Didihkan 10 FI III Hal 97
pelarut yang polar dan elektrolit menit Handbook of
pharmaceutical
excipient hal 37
C. Formulasi
Injeksi Chlorpeniramini Maleas (Fornas hal 69, Martindale 28 hal 1300)
tiap ml mengandung :
R/ Chlorpheniramini maleas 10 mg
Benzyl alkohol 1%
Aqua p.i. ad 1 ml
Keterangan :
Wadah : Vial 10 ml sebanyak 3 buah
Wadah bebas dari udara dengan gas nitrogen dan hindari cahaya
Sterilisasi : Otoklaf 1210C 15 menit
9
Etiket : Biru
Teknik : Na-Steril
pH : 4.0 – 5.2
I. KR :
OTT : Hindari dari cahaya,zat aktif dapat rusak jika terkena
cahaya
Usul :
1. Wadah (vial dianggap steril dan berwarna coklat karena
zat aktif akan rusak jika terkena cahaya.
2. Alat-alat gelas (Erlenmeyer,beaker glass) dianggap
steril.
3. Bahan obat (Chlorpheniramin maleas dan benzyl
alcohol) dianggap steril
II. Perhitungan
Volume vial yang akan dibuat sebanyak 2 @10 ml
V = ( n x v’ ) + ( 2 x 3 )
= ( 2 x 10.5 ) + ( 2 x 3 )
= 21 + 6
= 27 ml ~ 30 ml
10 𝑚𝑔
Chlorpheniramini Maleas = x 30 ml = 300 mg
1 𝑚𝑙
1
Benzilalcohol = x 30 ml = 0,3 g
100
0,3𝑔
Sediaan 10 % = x 100 ml = 3 ml
10 𝑔
10
III. Penimbangan
Chlorpheniramini Maleas = 300 mg
Benzylalcoholum = 3 ml
NaCl = 0.1708 g
Aqua p.i ad 30 ml
11
Cara Mulai paraf selesai paraf
Sterilisasi
Kaca arloji, Flambir 20 Wattimena
pinset, spatula, detik 45
batang
pengaduk
Vial, beaker Oven 170o Wattimena
glass C selama 39, 49, 139
30 menit
Gelas ukur, Autoklaf Wattimena
pipet, corong, 120o C 72, 77
kertas saring selama 15
menit
Karet pipet Rebus 30 Wattimena
menit 31
Aqua p.i Autoklaf Wattimena
12
Larutan obat Autoklaf FI IV hal
121o C 15’ 112
12
Pada evaluasi sediaan injeksi ini yang dilakukan adalah :
1. Warna : Pada injeksi CTM ini tidak terjadi perubahan warna pada
sediaan setelah disimpan tetap dalam keadaan bening atau tidak
berwarna
2. PH : Injeksi CTM ini mempunyai pH 5 yang telah memenuhi
syarat Dengan range 4-5
3. Kejernihan larutan : Injeksi CTM yang dibuat cukup jernih dan bebas
dari kotoran
4. Evaluasi wadah : Wadah yang digunakan cukup rapat dan dalam
keadaan baik tidak mengalami kebocoran
BAB III
PENUTUP
13
A. Kesimpulan
Pada praktikum kali ini kami membuat injeksi Chlorpheniramini
Maleas , pembuatan sediaan injeksi ini dibuat dengan metode sterilisasi Na
steril yaitu cara kerja yang dilakukan dengan penyeterilan dilakukan di akhir
proses pencampuran, metode ini didasarkan pada kestabilan zat aktif yang
tahan terhadap pemanasan. Dalam pembuatan injeksi ini alat-alat yang
digunakan dicuci dengan bersih terlebih dahulu dan kemudian disterilkan
terkecuali bahan obat dianggap sudah steril, dalam pembuatan injeksi ini
PH juga harus diperhatikan agar tetap dalam rentang kestabilan bahan.
Injeksi tidak boleh mengandung partikulat atau kotoran sehingga sebelum
dimasukan kedalam wadah vial, sediaan harus terlebih dahulu disaring
sebanyak 2x.
Pada injeksi yang dibuat sedapat mungkin harus isotonis dengan
cairan tubuh ataupun hipertonis dalam keadaan tertentu. Perlunya injeksi ini
dibuat isotonis ataupun hipertonis agar pada saat penyuntikan tidak
menimbulkan rasa nyeri dan tidak merusak jaringan tubuh atau
memecahkan pembuluh darah maka ditambahakan NaCl. Tetapi dalam
buku Pedoman yaitu Martindle ed 30 hal 1300 bisa ditambahkan
pengisotonis dan bisa juga tidak ditambahkan pengisotonis.
Evaluasi sediaan yang dapat kami lakukan setelah injeksi selesai
dibuat adalah evaluasi penampilan sediaan injeksi ynag dihasilkan larutan
bening, hal ini terjadi karena CTM ini tidak terjadi reaksi dan stabil pada
saat penyimpanan dan injeksi CTM memiliki pH 5,0.
14
Etiket Obat
Brosur Obat
15
DAFTAR PUSTAKA
16
1. Departemen Kesehatan RI, 1979. Farmakope Indonesia, edisi III, Jakarta.
2. Departemen kesehatan RI, 1995. Farmakope Indonesia, edisi IV,
Jakarta.Indonesia
3. Martindale, The Extra Pharmacopeia Twenty-eight Edition. The
Parmaceutical Press, London. 1982.
4. Wattimena edisi II. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
5. Anonim.Penuntun Praktikum Farmasetika I.2011
6. http://www.academia.com/2014/03/tekhnologi-sediaan-steril-injeksi.html
17