Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan farmasi di Indonesia sudah dimulai semenjak zaman
Belanda, sehingga teknologi steril sebagai salah satu bagian dari ilmu farmasi
mengalami dinamika yang begitu cepat. Teknologi Steril merupakan ilmu yang
mempelajari tentang bagaimana membuat suatu sediaan (Injeksi volume kecil,
Injeksi volume besar, Infus, Tetes Mata dan Salep Mata) yang steril, mutlak
bebas dari jasad renik, patogen, atau non patogen, vegetatif atau non vegetatif
(tidak ada jasad renik yang hidup dalam suatu sediaan). Teknologi steril
berhubungan dengan proses sterilisasi yang berarti proses mematikan jasad renik
(kalor, radiasi, zat kimia) agar diperoleh kondisi steril.
Produk steril adalah sediaan teraseptis dalam bentuk terbagi – bagi yang
bebas dari mikroorganisme hidup. Sediaan parenteral ini merupakan sediaan unik
diantara bentuk sediaan obat terbagi–bagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui
kulit atau membran mukosa ke bagian dalam tubuh. Karena sediaan mengelakkan
garis pertahanan pertama dari tubuh, yang paling efisien yakni membran kulit dan
mukosa. Sediaan tersebut harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari
komponen toksik serta harus mempunyai tingkat kemurnian tinggi dan luar biasa.
Dalam injeksi intravena memberikan beberapa keuntungan antara lain Efek terapi
lebih cepat didapat, Dapat memastikan obat sampai pada tempat yang diinginkan,
Cocok untuk keadaan darurat, Untuk obat–obat yang rusak oleh cairan lambung.
Pemilihan penggunaan obat secara parenteral dilakukan jika obat tidak
dapat diminum melalui mulut karena ketidakmampuan untuk menelan,
menurunnya kesadaran, inaktifasi obat oleh cairan lambung atau ada tujuan untuk
meningkatkan efektivitas obat. Pengobatan parenteral diberikan secara
interdermal (di bawah kulit), subkutan (ke dalam jariungan lemak), intramuscular
(di dalam otot), dan intravena (di dalam vena).
Sediaan parenteral adalah sediaan untuk injeksi atau infuse. Sediaan
parenteral telah digunakan manusia sejak tahun 1660. Meskipun demikian,
perkembangan injeksi baru berlangsung tahun 1852 khususnya pada saat

1
dikenalkannya ampul oleh Limosin (Perancis) dan Friedleader (Jerman) seorang
apoteker. Asal kata injection yang berarti memasukkan ke dalam sedangkan
infusio berarti penuangan ke dalam. Injeksi adalah pemakaian dengan cara
penyemprotan larutan atau suspense ke dalam tubuh yang bertujuan untuk
diagnostic atau terapeutik. Injeksi dapat dilakukan langsung ke dalam aliran
darah, jaringan atau organ. Sediaan parenteral memasuki pertahanan tubuh yang
memiliki efesiensi tinggi yaitu kulit dan membran mukosa sehingga sediaan
parenteral harus bebas dari kontaminasi mikroba dan bahan-bahan beracun dan
juga harus memiliki kemurnian yang dapat diterima
Sehubungan dengan latar belakang yang telah dijabarkan, kami melakukan
praktikum teknologi steril dalam hal ini membuat sediaan injeksi Thiamin HCl
dengan harapan semoga dalam kegiatan praktikum ini, kami dapat menambah
wawasan, melaksanakan desain dan rancangan serta pembuatan sediaan steril
untuk dalam upaya meningkatkan pengetahuan ilmu farmasi.

1.2 Tujuan Praktikum


Adapun tujuan dari praktikum ini yaitu:
1. Memperoleh gambaran dan merancang preformulasi suatu zat aktif dan
membuat serta mengevaluasi hasil dari sediaan yang dibuat
2. Mengetahui dan memahami cara pembuatan, perhitungan dosis, teknik
sterilisasi dan penyerahan suatu sediaan obat parenteral, khususnya
injeksi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Injeksi


Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, injeksi adalah sediaan steril
berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau
disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara
merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau melalui selaput lendir
(FI.III.1979).
Sedangkan menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, injeksi adalah
injeksi yang dikemas dalam wadah 100 mL atau kurang. Umumnya hanya laruitan
obat dalam air yang bisa diberikan secara intravena. Suspensi tidak bisa diberikan
karena berbahaya yang dapat menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah
kapiler (FI.IV.1995).
Obat suntik didefinisikan secara luas sebagai sediaan steril bebas pirogen
yang dimaksudkan untuk diberikan secara parenteral. Istilah parenteral
menunjukkan pemberian lewat suntikan. Kata ini berasal dari bahasa Yunani, para
dan enteron berarti diluar usus halus dan merupakan rute pemberian lain dari rite
oral.
Injeksi diracik dengan melarutkan, mengemulsikan atau mensuspensikan
sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut atau dengan mengisikan sejumlah obat
ke dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda.

2.2. Penggolongan Injeksi


Menurut rute pemberiannya, sediaan injeksi dapat digolongkan sebagai
berikut:
1. Injeksi intradema atau intrakutan. Umumnya larutan atau suspensi dalam
air, digunakan untuk diagnosa, volume lebih kurang 100 ul sampai 200 ul.
2. Injeksi subkutan atau hipoderma. Umumnya larutan isotonus dengan
kekuatan sedemikian rupa hingga volume yang disuntikan tidak lebih dari 1
ml. dapat ditambahkan vasokostriktor seperti Epinefrina untuk melokalisir
efek obat. Jika tidak mungkin disuntikan infuse, volume injeksi 3 1 sampai

3
4 1 sehari masih dapat disuntikan secara subkutan dengan penambahan
hialuronidase ke dalam injeksi atau jika sebelumnya disuntik hialuronidase.
Cara ini disebut hipodermoklisa.
3. Injeksi intramuskulus. Larutan atau suspensi dalam air atau dalam minyak,
volume sedapat mungkin tidak lebih dari 4 ml. Penyuntikan volume besar
dilakukan dengan perlahan – lahan untuk mencegah rasa sakit.
4. Injeksi intravenus. Umunya larutan, dapat mengandung cairan noniritan
yang dapat bercampur dengan air, volume 1 ml sampai 10 ml. Injeksi
intravenus yang diberikan dalam volume besar, umumnya lebih dari 10 ml,
disebut infusi. Emulsi minyak air dapat diberikan intravenus jika dilakukan
pemeriksaan yang teliti terhadap ukuran butiran minyak. Sedemikian berupa
emulsi air – minyak, tidak boleh disuntikan dengan cara ini. Jika volume
dosis tunggal lebih dari 15 ml, intravenus tidak boleh mengandung
bakterisida dan jika dari 10 ml, harus bebas pirogen.
5. Injeksi Intrarterium umunya larutan, dapat mengandung cairan noniritan
yang dapat bercampur dengan air, volume 1 ml sampai 10 ml, digunakan
jika efek obat diperlukan segera dalam periferi. Tidak boleh mengandung
bakterisida.
6. Injeksi intrakor. Larutan hanya digunakan untuk keadaan gawat, disuntikan
ke dalam otot jantung atau ventrikulus. Tidak boleh mengandung
bakterisida.
7. Injeksi intrateka atau Injeksi subaraknoid, injeksi intrasisterna dan injeksi
peridura. Larutan, umunya tidak boleh lebih dari 20 ml. tidak boleh
mengandung bakterisida dan diracik dalam wadah dosis tunggal.
8. Injeksi intratikulus. Larutan atau suspensi dalam air, disuntikan ke dalam
cairan sendi dalam rongga sendi.
9. Injeksi intratikulus. Larutan atau suspensi dalam air, disuntikan ke dalam
cairan sendi dalam rongga sendi.
10. Injeksi intrabursa. Larutan atau suspensi dalam air, disuntikan ke dalam
bursa subacromilis atau bursa olecranon.
11. Injeksi subkonjungtiva. Larutan atau suspensi dalam air untuk injeksi
selaput lendir mata bawah, umunya tidak lebih dari 1 ml.

4
2.3. Keuntungan dan Kelemahan Pemberian Obat Secara Parenteral
Ada keuntungan dan kelemahan pemberian obat secara parental
diantaranya :
Keuntungan :
1. Obat memiliki onset yang cepat.
2. Efek obat dapat diramalkan dengan pasti.
3. Bioavabiltas sempurna atau hampir sempurna
4. Kerusakan obat dalam tractus gastrointestinalis dapat dihindarkan .
5. Obat dapat diberikan kepada penderita yang sedang sakit keras ataupun koma.

Kelemahan :
1. Rasa nyeri saat disuntikkan.
2. Memberikan efek psikologis pada penderita yang takut disuntik.
1. Kekeliruan pemberian obat atau dosis hampir tidak mungkin diperbaiki,
terutama setelah pemberian secara intra vena.
3. Obat hanya dapat diberikan kepada penderita di rumah sakit atau di tempat
praktik dokter oleh tenaga medis yang kompeten

2.4. Persyaratan Sediaan Parenteral


Persyaratan sediaan parenteral:
1. Sesuai antara kandungan bahan obat yang ada didalam sediaan dengan
pernyataan tertulis pada etiket dan tidak terjadi pengurangan kualitas selama
penyimpanan akibat kerusakan obat secara kimiawi dan sebagainya.
2. Penggunaan wadah yang cocok , sehingga tidak hanya memungkinkan
sediaan tetap steril, tetapi juga mencegah terjadinya ineraksi antara bahn obat
dengan material dinding wadah.
3. Tersatukan tanpa terjadi reaksi.
4. Bebas kuman.
5. Bebas Pirogen.
6. Isotonis.
7. Isohidris.
8. Bebas partikel melayang.

5
2.5. Klasifikasi Sediaan Parenteral
Klasifikasi sediaan parenteral :
1. Larutan sejati dengan pembawa air, contohnya injeksi vitamin C
2. Larutan sejati dengan pembawa minyak, contohnya injeksi kamfer
3. Larutan sejati dengan pembawa campuran, contohnya injeksi Phenobarbital
4. Suspensi steril dengan pembawa air, contohnya injeksi calciferol
5. Suspensi steril dengan pembawa minyak, contohnya injeksi
Bismuthsubsalisilat
6. Emulsi steril, contohnya Infus Ivelip 20%
7. Serbuk kering dilarutkan dengan air, contohnya Injeksi Solumedrol

2.6. Komponen Sediaan Injeksi


1. Zat Aktif
a. Memenuhi syarat yang tercantum seduai monografinya masing-
masing dalam farmakope
b. Pada etiekt tercantum p.i (pro injection)

2. Zat Pembawa / Zat Pelarut


Pelarut yang paling sering digunakan pada pembuatan obat suntik
secara besar-besaran adalah air untuk obat suntik (water for injection,
USP). Air ini dimurnikan dengan cara penyulingan atau osmosis terbalik
(reverse osmosis) dan memenuhi standar yang sama dengan Purified
Water, USP dalam hal jumlah zat padat yang ada yaitu tidal lebih dari 1
mg per 100 mL Water for Injection, USP dan tidak boleh mengandung zat
penambah. Walaupun air untuk obat suntik tidak disyaratkan steril tetapi
harus bebas pirogen. Air tersebut dimaksudkan untuk pembuatan produk
yang disuntikkan yang akan disterilkan sesudah dibuat.air untuk obat
suntik harus disimpan dalam wadah yang tertutup rapat pada temperatur di
bawah atau di atas kisaran temperatur dimana mikroba dapat tumbuh. Air
untuk obat suntik dimaksudkan untuk digunakan dalam waktu 24 jam
sesudah penampungan. Tentunya harus ditampung dalam wadah yang
bebas pirogen dan steril. Wadah umumnya dari gelas atau dilapis gelas.

6
Steril Water for Injection,USP adalah air untuk obat suntik yang
telah disterilkan dan dikemas dalam wadah-wadah dosis tunggal yang
tidak lebih besar dari ukuran 1 liter.seperti air untuk obat suntik,harus
bebas pirogen dan tidak boleh mengandung zat antimikroba atau zat
tambahan lain. Air ini boleh menagndung sedikit lebih banyak zat pada
total daripada air untuk obat suntik karena terjadinya pengikisan zat padat
dari lapisan gelas tangki selama proses sterilisasi. Air ini dimaksudkan
untuk digunakan sebagai pelarut, pembawa atau pengencer obat suntik
yang telah disteril dan dikemas.dalam penggunaannya, air ditambahkan
secara aseptis ke dalam vial obat untuk membentuk obat suntik yang
diinginkan.
a. Zat pembawa berair
Umumnya air untuk injeksi digunakan sebagai zat pembawa untuk
injeksi berair. Injeksi Natrium Klorida, Injeksi Natrium Klorida majemuk,
injeksi Glukosa, campuran gliserol dan etanol atau zat pembawa berair
lainnya dapat juga digunakan. Zat pembawa berair harus memenuhi syarat
Uji Pirogenitas.
Air untuk injeksi, Aqua Pro Injection, dibuat dengan menyuling
kembali air suling segar dengan alat kaca netral atau wadah logam yang
cocok yang diperlengkapi dengan labu percik. Hasil sulingan pertama
dibuang, sulingan selanjutnya ditampung dalam wadah yang cocok dan
segera digunakan. Jika dimaksudkan sebagai pelarut serbuk untuk injeksi,
harus disterilkan dengan Cara Sterilisasi A atau C, segera setelah
diwadahkan.
Air untuk Injeksi bebas udara dibuat dengan mendidihkan Air
untuk Injeksi segar selama tidak kurang dari 10 menit sambil mencegah
hubungan dengan udara sesempurna mungkin, didinginkan, dan segera
digunakan. Jika dimaksudkan pelarut serbuk untuk injeksi, harus
disterilkan dengan Cara Sterilisasi A. Segera setelah diwadahkan.

7
b. Zat pembawa tidak berair.
Umumnya digunakan Minyak untuk Injeksi. Minyak untuk Injeksi/
Olea pro Injection, meliputi minyak lemak, ester asam lemak tinggi baik
alam maupun sintesis. Minyak untuk Injeksi harus memenuhi syarat Olea
pinguia dan memenuhi syarat berikut:
1. Harus jernih pada suhu 10°.
2. Tidak berbau asing atau tengik.
3. Bilangan asam 0,2 sampai 0,9.
4. Bilangan iodium 79 sampai 128.
5. Bilangan penyabunan 185 samapai 200.
6. Harus bebas minyak mineral.

3. Zat tambahan
Ditambahkan pada pembuatan injeksi dengan maksud:
a. Bahan penambah kelarutan obat. Untuk menaikkan kelarutan obat
digunakan :
- Pelarut organik yang dapat campur dengan air seperti etanol,
propilenglikol, gliserin.
- Surface active agent (s.a.a) terutama yang nonionik.
- Etilendiamin untuk menambah kelarutan teofilin.
- Dietilamin untuk menambah kelarbarbital.
- Niasinamid dan Salisilas Natricus menambah kelarutan vit B2.
- Kreatinin, niasinamid dan lecitine digunakan untuk menambah
kelarutan steroid.

b. Buffer / pendapar
Pengaturan pH dilakukan dengan penambahan asam, basa, dan dapar.
Penambahan larutan dapar hanya dilakukan untuk larutan obat suntik
dengan pH 5,5-9. Pada pH > 9, jaringan mengalami nekrosis, pada pH<
3, jaringan akan mengalami rasa sakit, phlebitis, dan dapat
menghancurkan jaringan. Pada pH < 3 atau pH > 11 sebaiknya tidak

8
didapar karena sulit dinetralisasikan, terutama ditujukan untuk injeksi
i.m. dan s.c.
Fungsi larutan dapar dalam obat suntik adalah :
- Meningkatkan stabilitas obat, misalnya injeksi vitamin C dan
injeksi luminal.
- Mengurangi rasa nyeri dan iritasi.
- Meningkatkan aktivitas fisiologis obat.
- Umumnya digunakan larutan dapar fosfat, laritan dapar boraks, dan
larutan dapar lain yang berkapasitas dapar rendah.

c. Untuk mendapatkan larutan yang isotonis.


Bahan pembantu mengatur tonisitas adalah NaCl, glukosa, sukrosa,
KNO3, dan NaNO3.

d. Antioksidan
- Asam ascorbic 0,1%
- BHA 0,02%
- BHT 0,02%
- Natrium Bisulfit 0,15%
- Natrium Metabisulfit 0,2%
- Tokoferol 0,5%
- Zat pengkhelat seperti Na-EDTA 0,01-0,075% yang akan membentuk
kompleks dengan logam berat yang merupakan katalisator oksidasi.

e. Bahan Pengawet (preservatives)


- Benzalkonium chloride 0,05%-0,1%
- Benzyl alkohol 2%
- Chlorobutanol 0,5%
- Chlorocresol 0,1-0,3%
- Fenil merkutik nitrat dan asetat 0,002%
- Fenol 0,5%

9
f. Gas inert seperti nitrogen dan karbondioksida sering digunakan untuk
meningkatkan kestabilan produk dengan mencegah reaksi kimia antara
oksigen dalam udara dengan obat

2.7. Tonisitas Larutan Sediaan Injeksi


1. Isotonis
Jika suatu larutan konsentrasinya sama besar dengan konsentrasi dalam sel
darah merah, sehingga tidak terjadi pertukaran cairan di antara keduanya,
maka larutan dikatakan isotoni (ekuivalen dengan larutan 0,9% NaCl)
2. Isoosmotik
Jika suatu larutan memiliki tekanan osmose sama dengan tekanan osmose
dalam serum darah, maka larutan dikatakan isoosmotik (0,9% NaCl, 154
mmol Na+ dan 154 mmol Cl- per liter = 308 mmol per liter, tekanan
osmose 6,86). Pengukuran menggunakan alat osmometer dengan kadar
mol zat per liter larutan ).
3. Hipotonis
Turunnya titik beku kecil, yaitu tekanan osmosenya lebih rendah dari
serum darah, sehingga menyebabkan air akan melintasi membran sel darah
merah yang semipermeabel memperbesar volume sel darah merah dan
menyebabkan peningkatan tekanan dalam sel. Tekanan yang lebih besar
menyebabkan pecahnya sel-sel darah merah. Disebut Hemolisa.
4. Hipertonis
Turunnya titik beku besar, yaitu tekanan osmosenya lebih tinggi dari
serum darah merah, sehingga menyebabkan air keluar dari sel darah merah
melintasi membran semipermeabel dan mengakibatkan terjadinya
penciutan sel-sel darah merah, disebut plasmolisa.

2.8. Prosedur Pembuatan Sediaan Steril


Pembuatan sediaan yang akan digunakan untuk injeksi, harus dilakukan
dengan hati–hati untuk menghindari kontaminasi mikroba dan bahan asing. Cara
pembuatan obat yang baik (CPOB) juga mempersyaratkan tiap wadah akhir

10
injeksi harus diamati satu persatu secara fisik dan tiap wadah yang menunjukan
pencemaran bahan asing yang terlihat secara visual harus ditolak.
Secara umum ada 2 prosedur pembuatan sediaan steril yaitu :
1. Cara sterilisasi akhir
Cara ini merupakan cara sterilisasi umum dan paling banyak digunakan
dalam pembuataan sediaan steril.Zat aktif harus stabil dengan adanya molekul
air dan suhu. Sterilisasi.Dengan cara ini sediaan disterilkan pada tahap
terakhir pembuatan sediaan.Semua alat setelah lubang – lubangnya ditutup
dengan kertas perkamen, dapat langsung digunakan tanpa perlu disterilkan
terlebih dahulu.
2. Cara Aseptis
Cara ini terbatas penggunaannya pada sediaan yang mengandung zat aktif
peka suhu tinggi dan dapat mengakibatkan pengraian dan penurunan kerja
farmakologinya.antibiotik dan beberapa hormon tertentu merupakan zat aktif
yang sebaiknya diracik secara aseptis.Cara aseptis bukanlah suatu cara
sterilisasi melainkan suatu cara untuk memperoleh sediaan steril dengan
mencegah kontaminasi jasad renik dalam sediaan.

2.9. Sterilisasi Wadah


1. Ampul
Setelah dicuci letakkan terbaring dalam kaleng bersih mulut lebar, tutup
sedikit terbuka. Sterilkan dalam oven suhu 170 oC30’. Setelah disterilkan
tutup kaleng dirapatkan dan dikeluarkan dari oven.
2. Vial
Setelah dicuci dengan air suling, sterilkan dalam oven dengan posisi
terbaring seperti ampul. Tutup karet digodog dengan air suling selama 30’
kemudian dikeringkan dalam setangkup kaca arloji dalam oven (jangan
sampai meleleh!).
3. Botol Infus
Setelah dicuci dengan air suling masukkan ke dalam kaleng bersih mulut
lebar dan biarkan sedikit terbuka kemudian disterilkan dalam oven suhu
250oC selama 30’. Tutup karet disterilkan seperti tutup vial.

11
4. Tube
Setelah dicuci diletakkan terbaring dalam kaleng bersih bermulut lebar
tidak tertutup rapat dan disterilkan dalam oven selama 30’. Tutup tube
direndam dalam alcohol 70% selama 30’ dan dikeringkan dalam oven

2.10. Evaluasi Sediaan Parenteral


1. Kekedapan
Ampul yang telah disterilkan seringkali memiliki celah atau retakan
yang tidak terlihat oleh mata atau secar makroskopik, khususnya pada
lokasi penutupan ampul. Ampul dimasukkan ke dalam larutan metilen
biru kemudian divakum. Perhatikan apakah ampul terwarnai oleh
larutan metilen blue. Dengan adanya celah-celah kapiler, larutan
berwarna akan masuk, sehingga mewarnai ampul dan menandakan
ampul rusak. Pada ampul berwarna diuji dengan larutan yang
berflourosensi yang diakhiri dengan pengamatan pada cahaya UV.
2. Kejernihan (pengotoran tidak larut dan bahan melayang)
Pengujian dilakukan secara visual. Ampul atau botol diputar 180°
berulang-ulang di depan suatu background yang gelap dan sisinya
diberi cahaya. Bahan melayang akan berkilauan bila terkena cahaya.
Pencahayaan menggunakan lampu Atherman atau lampu proyeksi
dengan cahaya 1000 lux- 3500 lux dan jarak 25 cm.Background gelap
atau hitam. Umur petugas yang bekerja harus <40 tahun, sehat, dan
setiap tahun harus periksa mata.
3. Zat aktif
Pengujian dapat dilakukan dengan volumetric, spektrofotometer,
HPLC, atau alat lainnya yang cocok secara kuantitatif dengan standar
Farmakope.
4. Sterilitas
Pengujian dilakukan secara mikrobiologis dengan menggunkan
medium pertumbuhan tertentu. Produk dikatakan bebas
mikroorganisme bila Sterility Assuranve Level (SAL) = 10-6 atau 12

12
log reduction (over kill sterilization). Bila proses pembuatan
menggunakan aseptic,maka SAL=10-4.
5. Pirogenitas
Pengujian dilakukan dengan tes kelinci (FI) dan tes limulus.
6. Keseragaman volume
Pengujian dilakukan dengan alat ukur volume. Larutan tiap wadah
harus sedikit lebih dari volume yang tertera pada etiket.
7. Keseragaman bobot
Hilangkan etiket 10 wadah; cuci bagian luar wadah dengan air;
keringkan pada suhu 1050C; timbang satu persatu dalam keadaan
terbuka; keluarkan isi wadah; cuci wadah dengan air, kemudian
dengan eatnol 95%; keringkan lagi pada suhu 105oC sampai bobot
tetap; dinginkan dan kemudian timbang satu per satu. Bobot isi wadah
tidak boleh menyimpang lebih dari batas yang tertera, kecuali satu
wadah yang boleh menyimpang tidak lebih dari 2 kali batas yang
tertera.
8. pH
Pengujian dilakukan dengan menggunakan kertas lakmus atau kertas
universal (secara konvensional) atau dengan alat pH meter

2.11. Wadah Untuk Injeksi.


Wadah untuk injeksi termasuk penutup tidak boleh berinteraksi melalui
berbagai cara baik secara fisik maupun kimiawi dengan sediaan, yang dapat
mengubah kekuatan, mutu atau kemurnian diluar persyaratan resmi dalam kondisi
biasa pada waktu penanganan, pengangkutan, penyimpanan, penjualan dan
penggunaan. Wadah terbuat dari bahan yang dapat mempermudah pengamatan
terhadap isi. Tipe kaca yang diajurkan untuk setiap sediaan umunya tertera dalam
masing – masing monografi.

2.12. Penandaan
Pada etiket tertera nama sediaan untuk sediaan cair yang tertera persentase
atau jumlah zat yang aktif, cara pemberian, kondisi penyimpanan dan tanggal

13
kadaluarsa; nama pabrik pembuat dan pengimpor serta nomor lot atau bets yang
menunjukan identitas. Nomor lot dan nomor bets dapat memberikan informasi
tentang riwaayat pembuatan lengkap meliputi seluruh proses pengolahan,
sterilisasi, pengisian, pengemasan dan penandaan. Pemberian etiket pada wadah
sedemikian rupa sehingga sebagian wadah tidak tertutup oleh etiket, untuk
mempermudah pemeriksaan isi secara visual.

2.13. Injeksi Thiamin HCl


a. Tinjauan farmakologi bahan obat
1) Indikasi
 Untuk pengobatan penyakit jantung dan gangguan saluran cerna
(Farmakologi & Terapi ed.5.p.773)
 Pencegahan dan pengobatan berbagai jenis neuritis yang disebabkan
defisiensi thiamin/ antineuritikum (FI III, p 599)
 Menurunkan kadar kolestrol dengan membentuk kompleks yang tidak larut
asam empedu.
 Untuk pasien defisiensi vitamin B1, seperti beri-beri
2) Efek samping
 Pemberian secara injeksi dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dari ringan
sampai shock anafilaktik dan akan meningkat dengan sesaat lewat rute
paarenteral dan terjadinya reaksi alergi/ hipersensitivitas (MD 28,p.1639)
3) Kontraindikasi
 Injeksi thiamin melalui inta vena tidak diberikan pada pasien beri-beri
dengan kerusakan kardiak. (MD 28th, p 1639)
 Hipersensitivitas terhadap vitamin B1 dan pada ibu menyusui. (MD 34,
p.1445)

b. Tinjauan sifat fisikokimia bahan obat


1) Kelarutan
 1 : 1 dalam air, 1 : 100 dalam alkohol, 1 : 20 dalam gliserol, larut dalam
methyl alkohol, praktis tidak larut dalam aseton, alkohol dehydrat dan eter.
(MD 28th, p.1639)

14
 Mudah larut dalam air, larut dalam glycerin, seukar larut dalam
etanol,tidak larut dalam eter dan benzen (FI IV,p.784)

2) Stabilitas
 Terhadap cahaya :
Tidak stabil, disimpan dalam wadah tertutup rapat dan terlindung cahaya
(FI IV,p.785)
Mudah teroksidasi oleh cahaya (AHFS 97,p.2818)
 Terhadap suhu :
Tidak stabil pada suhu tinggi,sebaiknya suhu penyimpanan dibawah 40C
sekitar 15C-20C (AHFS 97,p.2818)
Tidak stabil pada suhu tinggi, melebur pada suhu ± 248C disertai
peruraian (FI IV,p.764)
 Terhadap pH :
pH stabil thiamin HCl injeksi 2,5 – 4,5 (AHFS (97,p.2818)
pH stabil ± 4, pada pH 4 kehilangan aktivitasnya, sangat lambat (MD
34,p.1455)
 Terhadap oksigen :
Tidak stabil terhadap udara, mudah terdegradasi (MD34,p.1455)

3) OTT (Inkompatibilitas) (MD 28th, p 1634)


 Dengan zat atau substansi pengoksidasi dan pereduksi, HgCl₂, iodida
karbonat, asetat dan ferri sulfat, asam ionat, ferri ammonium sitrat, OTT
dengan Na-ohenobarbitane. Thiamin HCl dapat dirusak oleh ion logam.
OTT dengan riboflavin dalam larutan benzyl penisilin, dekstro injeksi dan
zat tambahan dengan kandungan metabisulfat.
4) Cara penggunaan dan dosis
 Parenteral injeksi : 100-200 mg/ml (AHFS 97,p.2805)
 Dosis terapetik : 10-100 mg/hari peroral dan jika perlu i.m dalam
defisiensi diberikan hingga 600 mg/hari (MD 28,p.1639)
 Dosis profilaksis (oral,im) 5-10 mg/hari : Dosis terapi (oral,im,iv) 10-100
mg/hari (FI III,p.991).
15
BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1. Rancangan Produk (Terlampir)


3.2. Perumusan Karakter Sediaan (Terlampir)
3.3. Data Praformulasi Bahan Aktif (Terlampir)
3.4. Data Praformulasi Bahan Tamabahan (Terlampir)
3.5. Formulir Pemecahan Masalah (Terlampir)
3.6. Komponen Umum Sediaan
No Nama Fungsi Pemakaian Penimbangan bahan
Bahan lazim Unit Batch
1 Thiamin Antineuritikum
1% 20 mg 0,2 gr
HCl (zat aktif)
2 NaCl Zat pengisotonis 13 mg 0,13 gr
3 Aqua Pro
Injeksi Zat pelarut Ad 2 ml Ad 20 ml
(API)
Perhitungan :
1. Dosis Thiamin HCl 1%, dibuat volume/ampul = 2 ml
Jadi Thiamin HCl yang dibutuhkan 20 mg/ampul x 10 ampul = 200 mg
atau 0,2 gram
2. NaCl yang dibutuhkan untuk 20 ml larutan isotonis
0,9
= 100 x 20 ml = 0,18 gram

E terhadap NaCl = 0,25


= 0,2 x 0,25 = 0,05 gram
# NaCl yang diperlukan agar larutan isotonis
= o,18 gr – 0,05 gr = 0,13 gram

3.7. Pengawasan Mutu Sediaan Injeksi (Terlampir)

16
3.8. Prosedur Tetap Pembuatan Sediaan Injeksi Volume Kecil
a. Persiapan
1. Persiapan alat – alat yang akan digunakan. Bersihkan terlebih dahulu
alat yang akan digunakan seperti gelas ukur, gelas piala, corong,
Erlenmeyer, dll
2. Sterilisaasi alat – alat dan wadah ampul yang akan digunakan
3. Praktikan menyiapkan IK pembuatan sediaan injeksi volume kecil
4. Praktikan melakukan kegiatan sesuai IK

b. Kegiatan produksi
1. Pensterilan bahan – bahan, wadah dan alat gelas yang akan digunakan
2. Penimbangan bahan obat dan bahan tambahan
3. Pelarutan bahan dalam pembawa sesuai kelarutan
4. Pengukuran volume I
5. Penyaringan
6. Pengukuran volume II
7. Penyaringan
8. Pengisian ke buret
9. Ampul berisi larutan obat dialiri uap air untuk mencegah pengarangan
kemudian disemprot dengan gas N2 (jika perlu)
10. Pentupan ampul dengan pembakaran

3.9. Instruksi Kerja Pembuatan Sediaan Injeksi Thiamin HCl (Terlampir)


3.10. Instruksi Kerja Evaluasi Sediaan Injeksi Thiamin HCl (Terlampir)

17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Praktikum


Dari praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil evaluasi sediaan
injeksi Thiamin HCl adalah sebagai berikut:
4.1.1. Evaluasi Sediaan ‘Uji Organoleptik”
Dari evaluasi uji organoleptik yaitu pengamatan bentuk, warna dan bau
diperoleh:
Keterangan Hasil
Bentuk Cairan
Warna Bening (tidak berwarna)
Bau Tidak berbau

4.1.2. Evaluasi Sediaan “Uji pH”


Dari evaluasi pengujian pH pada sediaan injeksi Thiamin HCl diperoleh
nilai pH yaitu 4,5

4.1.3. Evaluasi Sediaan “Uji Kejernihan”


Berdasarkan uji kejernihan yang dilakukan terhadap sediaan injeksi
Thiamin HCl yaitu pengamatan terhadap adanya partikel atau tidak diperoleh hasil
bahwa sediaan injeksi Thiamin HCl yang telah dibuat tidak mengandung partikel.

4.1.4. Evaluasi Sediaan ‘Uji Kebocoran’


Berdasakan uji kebocoran yang dilakukan terhadap sediaan ampul yang
kami buat diperoleh bahwa tidak satu pun ampul mengalami kebocoran.

4.1.5. Uji Keseragaman Volume


Berdasarkan uji keseragaman volume secara visual yang dilakukan
terhadap sediaan injeksi yang kami buat diperoleh bahwa volume masing –
masing sediaan dalam ampul tidak seragam.

18
4.2. Pembahasan
Pada praktikum kali ini kami membuat sediaan steril injeksi Thiamin HCl
atau yang lebih dikenal dengan Vitamin B1. Adapun formula dari injeksi
pyridoxine HCl ini adalah:
R/ Pyridoxine HCl 1 % = 20 mg
NaCl qs = 13 mg
API (Aqua Pro Injeksi) add 20 ml

Sediaan injeksi dibagi menjadi 2 bagian yaitu sediaan injeksi vial dan
sediaan injeksi ampul yang telah kami buat adalah sediaan injeksi ampul. Dalam
praktikum pembuatan injeksi Thiamin HCl kami tidak mengalami kendala berarti
karena injeksi ini merupakan larutan sejati selain itu pengerjaannya pun cukup
mudah.
Hal pertama yang dilakukan sebelum proses pembuatan sediaan adalah
sterilisasi alat. Dimana kami melakukan sterilisasi alat pada autoklaf pada suhu
121oC selama 30 menit dan di dalam oven pada suhu 150oC selama 1 jam.
Selanjutnya dilakukan persiapan bahan – bahan yang akan digunakan. Proses
sterilisasi alat ini bertujuan agar alat yang digunakan bebas dari kontaminasi
mikroba sehingga terjamin kesterilan sediaan injeksi yang akan kami buat.
Selanjutnya melakukan penimbangan bahan–bahan yang dibutuhkan.
Penimbangan dilakukan untuk memperoleh bahan baku sesuai dengan jenis dan
jumlah yang diinginkan. Hal selanjutnya yang dilakukan adalah membuat API
yang digunakan sebagai pembawa pada sediaan injeksi yang akan kami buat.
Pembuatan aqua pro injeksi dilakukan dengan memasak aquadest dengan
menggunakan Erlenmeyer yang mana mulut erlenmeyernya ditutup dengan kapas
dan aluminium foil, lalu dimasukkan ke dalam autoclave salama 15 menit, hal ini
dilakukan agar diperoleh API yang steril dan bebas pirogen.
Kemudian dilakukan pelarutan bahan-bahan seperti Thiamin HCl, dan
NaCl yang telah ditimbang ke dalam pembawanya yaitu API yang telah dingin,
hal ini dilakukan agar bahan terlarut sempurna dan aman digunakan secara
parenteral.

19
Langkah selanjutnya yang kami lakukan adalah pengukuran volume
pertama, hal ini dilakukan agar diperoleh volume sesuai yang diinginkan.
Selanjutnya penyaringan agar sediaan yang kami buat bebas dari pirogen. Lalu
pengukuran volume kedua agar diperoleh volume selanjutnya, pada tahap ini
pembuatannya dilebihkan (sudah diperhitungan).
Kemudian dilakukan pengisian sediaan ke dalam ampul melalui buret yang
telah disambungkan dengan pipa kecil agar muat masuk ke dalam ampul. Akan
tetapi pada praktikum ini tidak menggunakan buret melainkan menggunakan pipet
tetes dikarenakan buret yang seharusnya digunakan tidak tersedia. Volume yang
diisikan adalan 2,15 ml sesuai dengan ketentuan yang tertera di FI di mana
sediaan dengan volume 2,0 ml bisa dilebihkan volumenya sebanyak 0,15 ml.
Setelah ampul terisi dengan sediaan maka selanjutnya yaitu menyemprotkannya
dengan uap air dan mengalirkannya dengan gas N2. Hal ini dilakukan untuk
mencegah terjadinya pengarangan dan menghilangkan O2 akan tetapi tahap ini
tidak dilakukan dikarenakan ada kendala pada alat yang akan kami gunakan.
Langkah selanjutnya yaitu melakukan penutupan ampul agar bebas dari cemaran
mikroba dan sediaan tidak tumpah saat didistribusikan. Penutupan dilakukan
dengan memanaskan bagian ampul yang terbuka lalu menutupnya menggunakan
pinset.
Setelah sediaan selesai, maka tahap selanjutnya adalah melakukan evaluasi
sediaan. Evaluasi sediaan dilakukan untuk memastikan bahwa sediaan yang kami
buat sesuai dengan yang diharapkan. Evaluasi sediaan yang dilakukan meliputi uji
organoleptic (bentuk, warna, bau, dna rasa), uji pH, uji kejernihan, dan uji
kebocoran.
Pada pengujian organoleptic diperoleh hasil sebagai berikut:
Keterangan Hasil
Bentuk Cair
Warna Bening
Bau Tidak berbau
Rasa -

Hasil yang diperoleh sesuai dengan harapan sediaan yang akan dibuat.
Evaluasi kedua yang kami lakukan adalah uji pH. Pengujian pH dilakukan
dengan mencelupkan kertas pH universal ke dalam sediaan yang sebelumnya telah
20
ditempatkan ke dalam beaker glass. Nilai pH yang diperoleh yaitu 4,5, nilai
tersebut mendekati syarat nilai pH di farmakope untuk sediaan injeksi yaitu 5-7.
Evaluasi selanjutnya adalah melakukan uji kejernihan. Uji kejernihan
dilakukan untuk memastikan bahwa sediaan steril yang kami hasilkan telah
memenuhi syarat yang ditetapkan di dalam farmakope Indonesia. Uji kejernihan
dilakukan dengan mengocok sediaan lalu diperhatikan menggunakan latar kertas
putih dan hitam. Latar putih digunakan untuk melihat bila dalam sediaan terdapat
partikel hitam atau berwarna. Sedangkan latar hitam digunakan untuk melihat bila
terdapat partikel putih. Dari evaluasi yang telah kami lakukan semua sediaan
ampul yang kami buat bebas dari partikel.
Evaluasi terakhir yang kami lakukan adalah uji kebocoran. Uji ini
dilakukan agar ampul yang telah digunakan tidak menyebabkan masuknya
mikroorganisme atau kontaminan lainnya yang berbahaya serta isinya tidak bocor.
Uji kebocoran dilakukan dengan cara meletakkan ampul secara terbalik di dalam
beaker glass yang telah dilapisi kapas yang telah ditetesi metilen blue sebelumnya.
Lalu dilihat isi ampul, apakah ada pengurangan atau tidak dengan melihat warna
kapas apakah berubah menjadi biru atau tidak. Dari evaluasi yang dilakukan, tidak
satupun ampul mengalami kebocoran.
Setelah proses evaluasi selasai langkah terakhir yang dilakukan adalah
mengemas sediaan. Ampul dikemas dalam kotak yang di dalamnya berisi 10
ampul, yang mana sebelumnya masing-masing ampul telah ditempelkan etiket.

21
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk
yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum
digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam
kulit atau melalui kulit atau melalui selaput lendir.
2. Sediaan injeksi Thiamin yang dibuat memiliki volume 2,15 ml, yang
steril dan proses pengerjaannya menggunakan metode aseptis dan tidak
memerlukan proses sterilisasi akhir karena injeksi Thiamin ini tidak
tahan terhadap pemanasan.
3. Semua alat pada pembuatan sediaan injeksi harus bebas dari
mikroorganisme, dengan cara disterilkan terlebih dahulu sebelum
digunakan.
4. Hasil evaluasi yang dilakukan diperoleh memiliki kejernihan yang cukup
baik, tidak berwarna (bening), dan tidak berbau, nilai pH = 4,5 tidak
terjadi kebocoran, dan tidak mengandung partikel.

5.2 Saran
1. Praktikkan diharapkan dapat melaksanakan praktikum dengan sebaik
mungkin.
2. Laboratotium seharusnya bisa menyediakan dan melengkapi sarana dan
prasarana demi kelancaran praktikum
3. Dari hasil yang telah diperoleh seharusnya dilakukan uji lanjut untuk
sediaan injeksi Thiamin yang telah kami buat seperti uji kadar Thiamin
dalam sediaan tersebut.

22
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Prof.Drs. Moh.Apt. 1997. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: UGM press.

Ansel, C Howard. 1989. Pengantar bentuk sediaan farmasi. Jakarta: UI-press.

Bagian farmakologi FKUI. 1994. Farmakologi dan terapi ed. Keempat. Jakarta:
Bag. Farmakologi FKUI.

Harkness, Richard. 1984. Interaksi Obat. Bandung: penerbit ITB.

Hartanto, Huriawati( alih bahasa).2000. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Martin, Alfred. 1993. Farmasi Fisik. Jakarta: UI – Press.

Martindale. 1972. The Extra Pharmacopeia, 28th Ed. London: The Pharmaceutical
Press.

Mutschler, Ernest. 1985. Dinamika Obat. Bandung: penerbit ITB.

Tja y, Tan Hoan Drs, dan Drs Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat penting. Jakarta:
Gramedia.

Wade, Ainley and Paul J Weller.1994. Handbook of Pharmaceutical Excipient


second ed. London: The Pharmaceutical Press.

Watimena, M.Sc. Dra J. R dan Drs Tan Siang Gwan. 1968. Dasar-dasar
pembuatan dan Resep–resep obat suntik. Bandung : Tarate

23
24

Anda mungkin juga menyukai