Anda di halaman 1dari 9

2.2.

Sediaan Injeksi

Sediaan injeksi adalah sediaan steril, berupa larutan, suspensi, emulsi atau serbuk yang
harus dilarutkan atau disuspensikan dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara
merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir (FI.III.1979)

Sedangkan menurut Farmakope Indonesia edisi IV, injeksi adalah injeksi yang dikemas
dalam wadah 100mL atau kurang. Umumnya hanya larutan obat dalam Air yang biasa diberikan
secara intravena. Suspensi tidak biasa diberikan karena berbahaya yang dapat menyebabkan
penyumbatan pada pembuluh darah kapiler (FI IV,1995)

Sediaan injeksi diberikan jika diinginkan kerja obat yang cepat, bila penderita tidak dapat
diajak kerja sama dengan baik, tidak sadar, tidak tahan menerima pengobatan secara oral atau
obat tidak efektif bila diberikan dengan cara lain (Ansel, 1989)

2.2.1. Penggolongan Sediaan Injeksi

Menurut USP, obat suntik dibagi dalam lima jenis yang secara umum didefinisikan
sebagai berikut:

1. Obat larutan atau emulsi yang sesuai untuk obat suntik, memakai judul “_______ injection.”
(Contoh: Insulin Injection)

2. Bubuk kering atau larutan pekat, tidak mengandung dapar, pengencer atau zat tambahan lain
dan bila ditambah pelarut lain yang sesuai memberikan larutan yang memenuhi semua aspek
persyaratan untuk obat suntik, dan ini dibedakan dengan judul: “Sterile ________” (Contoh:
Sterile Ampicillin Sodium)

3. Sediaan-sediaan seperti dijelaskan di nomor 2 kecuali bahwa mereka mengandung satu atau
lebih dapar, pengencer atau zat penambah lain, dan dibedakan dengan judul: “________ for
injection” (Contoh: Methicillin Sodium for Injection)

4. yang disuspensikan di dalam media cair yang sesuai dan tidak untuk Padatan disuntikkan
intravena atau ke dalam ruang spinal, dibedakan dengan judul: “Sterile _________ Suspension”
(Contoh: Sterile Cortisol Suspension)

5. Padatan kering, yang bila ditambahkan pembawa yang sesuai menghasilkan sediaan yang
memenuhi semua aspek persyaratan untuk Sterile Suspension dan yang dibedakan dengan judul
“Sterile ________ for Suspension” (contoh: Sterile Ampicillin for Suspension) (Ansel, 1989).

Berdasarkan cara pemberiannya, sediaan injeksi dapat digolongkan dalam beberapa jenis, yaitu :

1. Injeksi intraderma atau intrakutan Injeksi intrakutan dimasukkan langsung ke lapisan


epidermis tepat dibawah startum korneum. Umumnya berupa larutan atau suspensi dalam air,
volume yang disuntikkan sedikit (0,1 - 0,2 ml). Digunakan untuk tujuan diagnosa.
2. Injeksi subkutan atau hipoderma

Injeksi subkutan dimasukkan ke dalam jaringan lembut dibawah permukaan kulit. Jumlah larutan
yang disuntikkan tidak lebih dari 1 ml. Larutan harus sedapat mungkin isotonis dan isohidris,
dimaksudkan untuk mengurangi iritasi jaringan dan mencegah terjadinya nekrosis
(mengendornya kulit).

3. Injeksi intramuskular

Injeksi intramuskular dimasukkan langsung ke otot, biasanya pada lengan atau daerah gluteal.
Sediaannya biasa berupa larutan atau suspensi dalam air atau minyak, volume tidak lebih dari 4
ml. Penyuntikan volume besar dilakukan dengan perlahan-lahan untuk mencegah rasa sakit.

4. Injeksi intravena

Injeksi intravena langsung disuntikkan ke dalam pembuluh darah, berupa larutan isotoni atau
agak hipertoni, volume 1-10 ml. Larutan injeksi intravena harus bebas dari endapan atau partikel
padat, karena dapat menyumbat kapiler dan menyebabkan kematian. Injeksi intravena yang
diberikan dalam volume besar, umumnya lebih dari 10 ml, disebut infus. Jika volume dosis
tunggal lebih dari 15 ml, injeksi intravena tidak boleh mengandung bakterisida dan jika lebih
dari 10 ml harus bebas pirogen.

5. Injeksi intraarterium

Injeksi intraarterium dimasukkan langsung ke dalam pembuluh darah perifer, digunakan jika
efek obat diperlukan segera. Umumnya berupa larutan, dapat mengandung cairan non iritan yang
dapat bercampur dengan air, volume 1-10 ml. Tidak boleh mengandung bakterisida.

6. Injeksi intrakardial

Dimasukkan langsung ke dalam otot jantung atau ventrikulus, hanya digunakan untuk keadaan
gawat. Tidak boleh mengandung bakterisida.

7. Injeksi intratekal atau subaraknoid

Injeksi intratekal digunakan untuk menginduksi spinal atau lumbal anestesi dengan
menyuntikkan larutan ke ruang subaraknoid, biasanya volume yang diberikan 1-2 ml. Tidak
boleh mengandung bakterisida dan diracik untuk wadah dosis tunggal.

8. Injeksi intraperitonial

Disuntikkan langsung ke dalam rongga perut. Penyerapannya cepat, bahaya infeksi besar
sehingga jarang dipakai.

9. Injeksi intraartikulus
Injeksi intraartikulus digunakan untuk memasukkan material seperti obat anti inflamasi langsung
ke luka atau jaringan yang teriritasi. Injeksi berupa larutan atau suspensi dalam air.

10. Injeksi subkonjungtiva

Larutan atau suspensi dalam air untuk injeksi selaput lendir bawah mata, umumnya tidak lebih
dari 1 ml.

11. Injeksi intrasisternal dan peridual

Injeksi ini disuntikkan ke intrakarnial sisternal dan lapisan dura dari spinalcord. Keduanya
merupakan prosedur yang sulit dengan peralatan yang rumit (Depkes RI, 1979)

2.2.2. Syarat Sediaan Injeksi

Kerja optimal dari larutan obat yang diberikan secara parenteral hanya akan diperoleh
jika memenuhi persyaratan, yaitu :

1. Aman

Injeksi tidak boleh menyebabkan iritasi jaringan atau menimbulkan efek toksik.

2. Harus jernih

Injeksi yang berupa larutan harus jernih dan bebas dari partikel asing, serat dan benang. Pada
umumnya kejernihan dapat diperoleh dengan penyaringan. Alat-alat penyaringan harus bersih
dan cuci dengan baiksehingga tidak terdapat partikel dalam larutan. Penting untuk menyadari
bahwa larutan yang jernih diperoleh dari wadah dan tutup wadah yang bersih, steril dan tidak
melepaskan partikel.

3. Sedapat mungkin isohidris

Isohidris artinya pH larutan injeksi sama dengan pH darah dan cairan tubuh lain, yaitu pH 7,4.
Hal ini dimaksudkan agar bila diinjeksikan ke badan tidak terasa sakit dan penyerapan obat dapat
maksimal.

4. Sedapat mungkin isotonis

Isotonis artinya mempunyai tekanan osmosa yang sama dengan tekanan osmosa darah dan cairan
tubuh yang lain, yaitu sebanding dengan tekanan osmosa larutan natrium klorida 0,9 %.
Penyuntikan larutan yang tidak isotonis ke dalam tubuh dapat menimbulkan hal-hal yang tidak
diinginkan. Bila larutan yang disuntikkan hipotonis (mempunyai tekanan osmosa yang lebih
kecil) terhadap cairan tubuh, maka air akan diserap masuk ke dalam sel-sel tubuh yang akhirnya
mengembang dan dapat pecah. Pada penyuntikan larutan yang hipertonis (mempunyai tekanan
osmosa yang lebih besar) terhadap cairan-cairan tubuh, air dalam sel akan ditarik keluar, yang
mengakibatkan mengerutnya sel. Meskipun demikian, tubuh masih dapat mengimbangi
penyimpangan-penyimpangan dari isotonis ini hingga 10%. Umumnya larutan yang hipertonis
dapat ditahan tubuh dengan lebih baik daripada larutan yang hipotonis. Zat-zat pembantu yang
banyak digunakan untuk membuat larutan isotonis adalah natrium klorida dan glukosa.

5. Tidak berwarna

Pada sediaan obat suntik tidak diperbolehkan adanya penambahan zat warna dengan maksud
untuk memberikan warna pada sediaan tersebut, kecuali bila obatnya memang berwarna.

6. Steril

Suatu bahan dikatakan steril jika terbebas dari mikroorganisme hidup yang patogen maupun
yang tidak, baik dalam bentuk vegetatif maupun dalam bentuk tidak vegetatif (spora).

7. Bebas pirogen

Hal ini harus diperhatikan terutama pada pemberian injeksi dengan volume besar, yaitu lebih dari
10 ml untuk satu kali dosis pemberian. Injeksi yang mengandung pirogen dapat menimbulkan
demam (Voight, 1995).

2.2.3. Keuntungan dan Kerugian Bentuk Sediaan Injeksi

a. Keuntungan :

1) Bekerja cepat,misalnya pada injeksi adrenalin pada shock afilaksis.

2) Dapat digunakan jika : obat rusak jika kena cairan lambung, merangsang jika ke cairan
lambung, tidak diabsorbsi secara baik oleh cairan lambung.

3) Kemurnian dan takaran zat khasiat lebih terjamin

4) Dapat digunakan sebagai depo terapi

b. Kerugian :

1) Karena bekerja cepat ,jika terjadi kekeliruan sukar dilakukan pencegahan

2) Cara pemberian lebih sukar,harus memakai tenaga khusus

3) Kemungkinan terjadinya infeksi pada bekas suntikan

4) Secara ekonomis lebih mahal dibanding dengan sediaan yang digunakan peroral

2.2.4. Komponen Sediaan Injeksi

Bahan-bahan yang diperlukan pada pembuatan sediaan injekasi terdiri dari:


1. Bahan aktif

Bahan aktif adalah bahan obat utama yang digunakan dalam sediaan yang memberikan efek
terapeutik. Dalam membuat suatu formula sediaan obat, perlu dipertimbangkan beberapa hal
seperti, aspek terapi bahan aktif, sifat fisika-kimia, kemurnian ,keamanan, inert, dan non toksik.

2. Bahan tambahan

Bahan tambahan memiliki beberapa manfaat, seperti memepertahankan kelarutan obat,


mempertahannkan stabilitas kimia fisika larutan, mempertahankan sterilitas larutan, dan
memudahkan penggunaan secara parenteral. Jenis-jenis bahan tambahan yang digunakan adalah
antioksidan, chelating agent, antimikroba, buffer, pengawet, surfaktan, dan zat pengisotonis.
Contoh bahan yang digunakan adalah asam askorbat dan sistein sebagai antioksidan, benzil
alcohol dan paraben sebagai antimikroba atau pengawet, DTPA sebagai chelatikng agent, asam
asetat dan asam sitrta sebagai buffer, dektrosa dan NaCl sebagai zat pengisotonis.

3. Bahan pembawa atau pelarut

a. Pelarut dan pembawa air untuk Obat suntik

1) Pelarut yang sering digunakan dalam obat suntik secara besar-besaran adalah airuntuk injeksi
atau disebut WFI (Water for Injection).

2) Sterile Water for Injection (air steril untuk injeksi), adalah air untuk injeksi yang disterilkan
dan dikemas dengan cara yang sesuai, tidak mengandung bahan antimikroba atau bahan
tambahan lain.

3) Bacteriostatic water for Injection, adalah air steril untuk obat suntik yang mengandung satu
atau lebih zat antimikroba yang sesuai.

4) Sodium chloride Injection, adalah larutan steril dan isotonik NaCl dala air untuk obat suntik.
Larutan tidak mengandung zat antimikroba. Larutan dapat digunakan sebagai pembawa steril
dalam pembuatan larutan atau suspense obat untuk pemakaian secara parenteral.

5) Bacteriostatic sodium Chloride Injection, adalah larutan steril dan isotonic natrium klorida
dalam air untuk nobaqt suntik. Larutan mengandung satu atau lebih zat antimikroba yang sesuai
dan harus tertera dalam etiket. Kadar NaCl 0,9% untuk membuat larutan isotonis. Larutan harus
dikemas dalam wadah tidak alebih dari 30 ml.

b. Pelarut dan Pembawa Bukan air

1) Minyak: Olea neutralisata ad injectionem. Minyak yang digunakan sebagai pembawa obat
suntik harus netral secara fisiologis dan dapat diterima tubuh dengan baik. Cara menetralkan
dengan menambahkan etanol dan dikocok. Contoh: Minyak kacang (Oleum arachidis), minyak
zaitun (Oleum Olivarum), minyak wijen (Oleum Sesami), dan lain-lain. Injeksi dengan pembawa
minyak hanya dapat digunakan dengan cara injeksi intramuskuler dana subkutan, bersifat depo,
membebaskan bahan aktifnya secara lambat.

2) Bukan minyak, antara lain: alkohol, propilenglikol, gliserin, parafin liquid dan Ethyl oleat

2.2.5. Evaluasi Sediaan Injeksi

1. Uji Organoleptis

Uji organoleptis dilakukan dengan pengamatan secara visual dari sediaan injeksi yang meliputi
warna, bau dan penampilan fisik sediaan. Larutan untuk injeksi harus jernih dan praktis bebas
partikel.

2. Pemeriksaan kebocoran.

Untuk mengetahui kebocoran wadah, dilakukan sebagai berikut:

a. Untuk injeksi yang disterilkan dengan pemanasan:

1) Ampul: disterilkan dalam posisi terbalik dengan ujung yang dilebur berada di bawah. Wadah
yang bocor isinya akan kosong/habis atau berkurang setelah selesai sterilisasi.

2) Vial: setelah disterilkan, masih dalam keadaan panas, masukkan ke dalam larutan dingin
metilen biru 0,1%. Wadah yang bocor akan berwarna biru, karena larutan metilen biru akan
masuk ke dalam larutan injeksi tersebut.

b. Untuk injeksi yang disterilkan tanpa pemanasan atau secara aseptik/injeksi berwarna,
diperiksa dengan memasukkannya ke dalam eksikator dan divakumkan. Pada wadah yang bocor,
isi akan terisap keluar.

3. Pemeriksaan sterilitas.

Uji ini dilakukan untuk menetapkan ada tidaknya bakteri, jamur, dan ragi yang hidup dalam
sediaan yang diperiksa. Uji dilakukan dengan teknik aseptik yang cocok.

4. Pemeriksaan pirogenitas.

Pirogen adalah zat yang terbentuk dari hasil metabolisme mikroorganisme berupa zat eksotoksin
dari kompleks polisakarida yang terikat pada suatu radikal yang mengandung unsur nitrogen dan
fosfor, yang daat menimbulkan demam jika disuntikkan (reaksi terjadi setelah 15 menit samapi 8
jam).

Cara menghilangkan pirogen:

a. Untuk alat atau zat yang tahan terhadap pemanasan (jarum suntik, alat suntik dan lain-lain)
dipanaskan pada sushu 250°C selama 30 menit.
b. Untuk aqua p.i bebas pirogen.

1) Dilakukan oksidasi dengan cara:

Didihkan dengan larutan H2O2 1% selama 1 jam, Satu liter air dapat diminum, ditambah 10 ml
larutan KmnO4 0,1 N dan 5 ml larutan 1N, disuling dengan wadah gelas, selanjutnya kerjakan
seperti pembuatan air untuk injeksi.

2) Dilakukan dengan cara absorpsi dari asbes. Lewatkan saring dengan penyaringan bakteri dari
asbes pengabsorpsi 0,1 % (Carbon adsorbens 0,1% pada suhu 60°C selama 5-10 menit) sambil
sekali-kali diaduk, kemudian disaing dengan kertas saring rangkap 2 atau dengan filter asbes.

5. Pemeriksaan kejernihan.

Larutan injeksi, termasuk larutan yang dikonstitusi dari zat padat steril untuk penggunaan
parenteral, harus bebas dari partikel yang dapat diamati pada pemeriksaan secara visual. Bahan
partikulat merupakan zat asing, tidak larut dan melayang, kecuali gelembung gas yang tanpa
disengaja ada dalam larutan parenteral. Diperiksa dengan melihat wadah pada latar belakang
hitam-putih, disinari dari samping. Kotoran berwarna akan terlihat pada latar belakang putih,
kotoran tidak berwarna akanterlihat pada latar belakang hitam.

6. Pemeriksaan keseragaman bobot.

a. Dihilangkan etiket 10 wadah, lalu dicuci bagian luar wadah dengan air;

b. Dikeringkan pada suhu 105°C;

c. Ditimbang satu per satu dalam keadaan terbuka;

d. Dikeluarkan isi wadah dan cuci wadah dengan air, kemudian dengan etanol 95%;

e. Dikeringkan lagi pada suhu 105°C sampai bonot tetap;

f. Didinginkan dan kemudian ditimbang satu per satu.

Bobot isi wadah tidak boleh menyimpang lebih dari batas yang tertera, kecuali satu wadah yang
boleh menyimpang tidak lebih dari 2 kali batas yang tertera.

7. Pemeriksaan keseragaman volume

Untuk injeksi dalam bentuk cairan, volume isi netto tiap wadah harus sedikit berlebih dari
volume yang ditetapkan. Kelebihkan volume yang dianjurkan tertera dalam daftra berikut ini:

Tabel Keragaman Volume :

Volume pada etiket Volume tambahan yang dianjurkan


Cairan Encer Cairan Kental
0,5 ml 0,10 ml (20%) 0,12 ml (24%)
1,0 ml 0,10 ml (10%) 0,15 ml (15%)
2,
2,1 ml 0,15 ml (7,5%) 0,25 ml (12,5%)
5,0 ml 0,30 ml (6%) 0,50 ml (10%)
10,0 ml 0,50 ml (5%) 0,70 ml (7%)
20,0 ml 0,60 ml (3%) 0,90 ml (4,5%)
30,0 ml 0,80 ml (2,6%) 1,20 ml (4%)
50,0 ml atau lebih 2,00 ml (4%) 3,00 ml (6%)

2.2.6. Kemasan Sediaan Injeksi

Setelah proses pembuatan sediaan injeksi selesai, maka dilakukan proses packaging dengan
menggunakan bahan pengemas. Terdapat tiga jenis bahan pengemas, yaitu:

1. Pengemas primer

Pengemas primer merupakan pengemas yang berhubungan langsung dengan obat, sehingga bisa
terjadi migrasi komponen bahan kemasan ke produk yang berpengaruh terhadap kualitas produk.
Wadah untuk pemberian sediaan parenteral meliputi gelas, karet, stainless steel, dan plastik.
Contohnya: botol, ampul dan vial. Wadah berbahan gelas memiliki keutnungan dapat disterilisasi
pada panas kering dan autoklaf tanpa mengalami perubahan. Keuntungan memakai wadah
berbahan plastic adalah harga relative murah, ringan, fleksibel, dan tahan terhadap benturan
mekanis. Karet berfungsi sebagai tutup vial, pompa untuk alat suntik, dan pemisah pada wadah
tunggal. Vial adalah salah satu wadah dari bentuk sediaan steril yang umumnya digunakan pada
dosis ganda dan memiliki kapasitas atau volume 0,5-100 ml. Vial dapat digunakan berulang kali
dan ada kemungkinan adanya kontak dengan lingkungan luar, sehingga diperlukan penambahan
bahan pengawet. Ampul adalah wadah berbentuk silindris yang terbuat dari gelas yang memiliki
ujungruncing (leher) dan bidang dasar datar. Ampul merupakan wadah takaran tunggal sehingga
penggunaannya untuk satu kali injeksi.

2. Pengemas sekunder merupakan kemasan lapis kedua setelah kemasan primer dengan tujuan
memberikan perlindungan lebih kepada produk. Lembaran kertas karton yang dapat dilipat telah
digunakan sebagai pengemas sekunder selama bertahun-tahun. Pemakaian kertas karton dilipat
sebagai kemasan sekunder.

3. Pengemas tersier merupakan kemasan lapis ketiga setalah kemasan sekunder yang bertujuan
untuk memudahkan proses transportasi agar lebih praktis dan efisien, contoh: palet kayu,
cardbox, dan shrink wrap.

Daftar Pustaka
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi ke-4. Jakarta: UI Press. Hal. 399-
407

Voight, A. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi ke-5. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Hal. 461 – 463

Anda mungkin juga menyukai