Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Sediaan Steril
Sterilisasi adalah proses yang dirancang untuk menciptakan keadaan steril.
Secara tradisional keaadan sterill adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai
akibat penghancuran dan penghilangan semua mikroorganisme hidup. Konsep ini
menyatakan bahwa steril adalah istilah yang mempunyai konotasi relative, dan
kemungkinan menciptakan kondisi mutlak bebas dari mikroorganisme hanya
dapat diduga atas dapat proyeksi kinetis angka kematian mikroba (Lachman,
1994).
Produk steril adalah sediaan terapetis dalam bentuk terbagi-bagi yang
bebas dari mikroorganisme hidup. Sediaan parenteral ini merupakan sediaan yang
unik diantara bentuk obat terbagi-bagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui
kulit atau membran mukosa kebagian dalam tubuh. Karena sediaan mengelakkan
garis pertahanan pertama dari tubuh yang paling efisien, yakni membran kulit dan
mukosa, sediaan tersebut harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari
komponen toksik dan harus mempunyai tingkat kemurniaan tinggi dan luar biasa.
Semua komponen dan proses yang terlibat dalam penyediaan produk ini harus
dipilih dan dirancang untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi secara fisik,
kimia atau mikrobiologi. (Lachman, 1994).
Sediaan steril adalah bentuk sediaan obat dalam bentuk terbagi- bagi yang
bebas dari mikroorganisme hidup. Pada prinsipnya, yang termasuk sediaan ini
antara lain sediaan parental preparat untuk mata dan preparat irigasi (misalnya
infus) (Priyambodo, 2007). Farmakope Indonesia Edisi III (1979), injeksi adalah
sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspense atau serbuk yang harus dilarutkan
atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan
cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lender.
2.1.2 Sediaan Parenteral
Sediaan parenteral merupakan jenis sediaan yang unik diantara bentuk
sediaan obat terbagi-bagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui kulit atau
membrane mukosa ke bagian tubuh yang paling efisien, yaitu membrane kulit dan
mukosa, maka sediaan ini harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari bahan-
bahan toksis lainnya, serta harus memiliki tingkat kemurnian yang tinggi. Semua
bahan dan proses yang terlibat dalam pembuatan produk ini harus dipilih dan
dirancang untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi, apakah kontaminasi
fisik, kimia, atau mikrobiologis (Priyambodo, 2007).
Sediaan parenteral adalah sediaan obat steril, dapat berupa larutan atau
suspensi yang dikemas sedemkian rupa sehingga cocok untuk diberikan dalam
bentuk injeksi hypodermis dengan pembawa atau zat pensuspensi yang cocok.
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang
harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang
disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau
selaput lendir (Ansel, 1989).
Menurut Depkes (1995), sediaan steril untuk kegunaan parenteral
digolongkan menjadi 5 jenis yang berbeda :
1. Sediaan berupa larutan dalam air/minyak/pelarut organik yang lain
yang digunakan untuk injeksi
2. Sediaan padat kering (untuk dilarutkan) atau cairan pekat tidak
mengandung dapar, pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan
yang diperoleh setelah penambahan pelarut yang sesuai memenuhi
persyaratan injeksi
3. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk
larutan yang memenuhi persyaratan untuk suspensi steril setelah
penambahan bahan pembawa yang sesuai
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan
tidak disuntikkan secara intravena atau ke dalam saluran spinal
5. Sediaan berupa emulsi, mengandung satu atau lebih dapar, pengencer
atau bahan tambahan lain
Sediaan-sediaan parenteral hanya dapat diberikan kerja yang optimal
apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: (Latifah dan Natsir, 2009)
1. Kandungan bahan obat yang terdapat dalam sediaan parenteral, harus
sama yang terdapat didalam etiket dan tidak terjadi pengurangan
kualitas dan kuantitas selama penyimpanan, baik terjadinya kerusakan
secara kimia maupun secara fisika.
2. Wadah yang digunakan pada sediaan parenteral harus sesuai sehingga
wadah tersebut buakan hanya menjaga sterilitasnya saja, tetapi juga
dapat mencegah terjadinya interaksi antara bahaan obatnya dengan
material dari dinding wadahnya.
3. Tersatukan tanpa terjadinya reaksi
4. Harus steril
5. Bebas pirogen
6. Isotonis dan isohidris
7. Bebas dari partikel
Menurut Latifah dan Natsir (2009), cara-cara pemberiaan sediaan
parenteral meliputi :
1. Subkutan atau pemberian dibawah kulit (s.c), yaitu disuntikkan
kedalam tubuh melalui bagian yang sedikit mengandung lemak dan
masuk kedalam jaringan dibawah kulit. Volume pemberiannya jarang
melewati 1 ml, sedapat mungkin isotonis dan isohidris, karena sediaan
yang menimpan dari isotonisnya dapat menimbulkan rasa nyeri atau
nekrosis dan absorpsi dari zat aktifnya tidak optimal.
2. Intra muskular (i.m) yaitu suntikan kedalam jaringan otot, pada
umumnya pada otot pantat atu paha. Tempat suntikan sebaiknya sejauh
mungkin dari saraf-saraf utama atau pembuluh darah utama.
Kerusakan akibat suntikan intramuskular biasanya berkaitan dengan
titik tempat jarum ditusukkakn dan dimana obat ditempatkan.
Kerusakan ini meliputi paralisis akibat rusaknya saraf, abses, emboli,
terkelupasnya kulit, dan pembentuakn parut.
3. Intra vena (i.v) yaitu disuntikkan langsung kedalam pembuluh darah
vena. Larutannya biasanya dalam jumlah kecil (kurang dari 5 ml)
sebaiknya isotonic dan isohidris. Khusus pemberian dengan cara infus,
harus isotonic, isohidris dan bebas pirogen. Tidak ada fase absorbsi,
karena obatnya langsung masuk kedalam pembuluh darah vena, onset
of action cepat.
Disamping cara pemberiaan seperti yang telah diuraikan, masih ada ara
pemberian lainnya yaitu: (Latifah dan natsir, 2009)
1. Intraspinal, intratekal, yaitu disuntikkan masuk kedalam sumsum
tulang belakang. Larutannya harus isotonik dan isohidris, bila
digunakan sebagai anestesi, larutannya harus hipertonis.
2. Intraperitonial, keteter dimasukkan krdalam rongga perut dengan cara
dioperasi untuk tempat memasukkan cairan steril CAPD (Continous
Ambulatory Peritoneal Dialysis), cara ini berbahaya larutannya harus
isotonis atau hipertonis, zat aktif diabsorpsi lebih cepat, volume
diberikan dalam jumlah besar (1 atau 2 liter).
3. Intraartikular, yaitu disuntikkan kedalam sendi. Larutan harus isotonik
dan isohidris.
4. Intradermal, yaitu disuntikkan kedalam kulit. Larutan harus isotonik
dan isohidris.
5. Intracardial (i.ed), yaitu langsung kedalam jantung.
6. Intrasisternal (i.s), yaitu disuntikkan langsung masuk sumsum tulang
belakang, pada dasar otak.
Menurut Agoes (2009), bentuk sediaan injeksi yang beredar di pasaran
saat ini berupa sediaan injeksi volume kecil, sediaan injeksi volume besar dan
sediaan injeksi berbentuk serbuk untuk direkonstruksi. Sedangkan menurut
Depkes (1995), injeksi terbagi menjadi dua jenis, yaitu larutan injeksi volume
besar (Large Volume Parenteral) dan volume kecil (Small Volume Parenteral).
Larutan injeksi volume kecil adalah sediaan parenteral volume kecil yang
dikemas dalam wadah bertanda volume 100 ml atau kurang dan biasa disebut
dengan injeksi (Departemen Kesehatan RI, 1995). Sediaan injeksi volume kecil
adalah ampul 1 ml, 2 ml, 3 ml, 5 ml, dan 20 ml, serta vial 2 ml, 5 ml, 10 ml, 15
ml, 20 ml, dan 30 ml. Sediaan ini dapat digunakan untuk penyuntikan secara
intramuscular, intravena, intradermal, subkutan, intraspinal, intrasisternal atau
intratekal (Agoes, 2009).
Ada dua tipe utama wadah untuk injeksi yaitu dosis tunggal dan dosis
ganda. Wadah dosis tunggal yang paling sering digunakan adalah ampul dimana
kisaran ukurannya dari 1-100 ml. pada kasus tertentu, wadah dosis ganda dan
sebagainya berupa vial serum atau botol serum (Voight, 1995).
2.1.3 Syarat – Syarat Injeksi
Kerja optimal dari larutan obat yang diberikan secara parenteral hanya
akan diperoleh jika memenuhi persyaratan,yaitu: (Voight, 1995)
1. Aman
Injeksi tidak boleh menyebabkan iritasi jaringan atau menimbulkan efek
toksik.
2. Harus jernih
Injeksi yang berupa larutan harus jernih dan bebas dari partikel asing, serat
dan benang. Pada umumnya kejernihan dapat diperoleh dengan
penyaringan. Alat-alat penyaringan harus bersih dan dicuci dengan baik
sehingga tidak terdapat partikel dalam larutan. Penting untuk menyadari
bahwa larutan yang jernih diperoleh dari wadah dan tutup wadah yang
bersih, steril dan tidak melepaskan partikel.
3. Sedapat mungkin isohidris
Isohidris artinya pH larutan injeksi sama dengan pH darah dan cairan
tubuh lain, yaitu pH 7,4. Hal ini dimaksudkan agar bila diinjeksikan ke
badan tidak terasa sakit dan penyerapan obat dapat maksimal.
4. Sedapat mungkin isotonis
Isotonis artinya mempunyai tekanan osmosa yang sama dengan tekanan
osmosa darah dan cairan tubuh yang lain, yaitu sebanding dengan tekanan
osmosa larutan natrium klorida 0,9%. Penyuntikan larutan yang tidak
isotonis ke dalam tubuh dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Bila larutan yang disuntikkan hipotonis (mempunyai tekanan osmosa yang
lebih kecil) terhadap cairan tubuh, maka air akan diserap masuk ke dalam
sel-sel tubuh yang akhirnya mengembang dan dapat pecah. Pada
penyuntikan larutan yang hipertonis (mempunyai tekanan osmosa yang
lebih besar) terhadap cairan-cairan tubuh, air dalam sel akan ditarik keluar,
yang mengakibatkan mengerutnya sel. Meskipun demikian, tubuh masih
dapat mengimbangi penyimpangan-penyimpangan dari isotonis ini hingga
10%. Umumnya larutan yang hipertonis dapat ditahan tubuh dengan lebih
baik daripada larutan yang hipotonis. Zat-zat pembantu yang banyak
digunakan untuk membuat larutan isotonis adalah natrium klorida dan
glukosa.
5. Tidak berwarna
Pada sediaan obat suntik tidak diperbolehkan adanya penambahan zat
warna dengan maksud untuk memberikan warna pada sediaan tersebut,
kecuali bila obatnya memang berwarna.
6. Steril
Suatu bahan dikatakan steril jika terbebas dari mikroorganisme hidup yang
patogen maupun yang tidak, baik dalam bentuk vegetatif maupun dalam
bentuk tidak vegetatif (spora).
7. Bebas pirogen
Hal ini harus diperhatikan terutama pada pemberian injeksi dengan
volume besar, yaitu lebih dari 10 ml untuk satu kali dosis pemberian.
Injeksi yang mengandung pirogen dapat menimbulkan demam
2.1.4 Keuntungan dan Kerugian Sediaan Injeksi
Menurut Ansel H.C (1989), ada beberapa keuntungan dan kerugian dari
sediaan injeksi diantaranya yaitu sebagai berikut :
1. Respon fisiologis yang cepat dapat dicapai segera bila diperlukan, yang
menjadi pertimbangan utama dalam kondisi klinik seperti gagal jantung,
asma, shok.
2. Terapi parenteral diperlukan untukobat-obat yang tidak efektif secara oral
atau yang dapat dirusak oleh saluran pencernaan, seperti insulin, hormon
dan antibiotik.
3. Obat-obat untuk pasien yang tidak kooperatif, mual atau tidak sadar harus
diberikan secara injeksi.
4. Bila memungkinkan, terapi parenteral memberikan kontrol obat dari ahli
karena pasien harus kembali untuk pengobatan selanjutnya. Juga dalam
beberapa kasus, pasien tidak dapat menerima obat secara oral.
5. Penggunaan parenteral dapat menghasilkan efek lokal untuk obat bila
diinginkan seperti pada gigi dan anestesi. 
6. Terapi parenteral dapat memperbaiki kerusakan serius pada keseimbangan
cairan dan elektrolit.
7. Bila makanan tidak dapat diberikan melalui mulut, nutrisi total diharapkan
dapat dipenuhi melalui rute parenteral.
8. Aksi obat biasanya lebih cepat

9. Seluruh dosis obat digunakan

10. Jika pasien dalam keadaan dehidrasi atau shok, pemberian intravena dapat
menyelamatkan hidupnya.
Adapun kerugian dari sediaan injeksi berdasarkan literature Ansel H.C
(1989), sebagai berikut :
1. Bentuk sediaan harus diberikan oleh orang yang terlatih dan membutuhkan
waktu yang lebih lama dibandingkan dengan pemberian rute lain. Pada
pemberian parenteral dibutuhkan ketelitian yang cukup untuk pengerjaan
secara aseptik dari beberapa rasa sakit tidak dapat dihindari
2. Obat yang diberikan secara parenteral menjadi sulit untuk mengembalikan
efek fisiologisnya.
3. PadaBeberapa rasa sakit dapat terjadi seringkali tidak disukai oleh pasien,
terutama bila sulit untuk mendapatkan vena yang cocok untuk pemakaian
i.v.
4. Dalam beberapa kasus, dokter dan perawat dibutuhkan untuk mengatur
dosis.
5. Sekali digunakan, obat dengan segera menuju ke organ targetnya. Jika
pasien hipersensitivitas terhadap obat atau overdosis setelah penggunaan,
efeknya sulit untuk dikembalikan lagi.
6. Pemberian beberapa bahan melalui kulit membutuhkan perhatian sebab
udara atau mikroorganisme dapat masuk ke dalam tubuh. Efek
sampingnya dapat berupa reaksi phlebitis, pada bagian yang diinjeksikan.
2.1.5 Komposisi Injeksi
Obat – obat dalam larutan pembawa yang cocok, dengan atau tanpa bahan
tambahan, ditujukan untuk penggunaan parenteral yang dikenal dengan injeksi.
Injeksi dapat dikemas sebagai unit dosis tunggal atau dosis ganda, volumenya
dapat sejumlah setengah mililiter. Berikut daftar komposisi yang biasa digunakan
dalam sediaan injeksi menurut Tungadi (2017) :
1. Bahan Aktif
2. Bahan Tambahan
Bahan tambahan yang digunakan antara lain antioksidan, pengawet,buffer,
bahan pengkhelat, gas inert, kosolven, surfaktan,bahan pengisotonis,
bahan pelindung serta bahan penyerbuk.
3. Bahan Pembawa
2.1.6 Definisi Ampul
Ampul adalah wadah gelas yang disegel rapat sebagai wadah dosis tunggal
yang dapat berisi bahan padat atau larutan obat jernih atau suspensi halus,
dimaksudkan untuk penggunaan parenteral. Biasanya kecil, dari 1 sampai 50 ml,
tetapi mungkin mempunyai kapasitas sampai 100 ml (Jenkins, 1969).
Ampul merupakan kemasan obat tunggal yang berbentuk cair. Dengan
volume obat 1 – 10 ml atau lebih. Terbuat dari kaca, berbentuk botol kecil dan
berleher. Warna garis pada leher menunjukkan tempat tersebut mudah dipotong
untuk membuka kemasan ampul tersebut (Sprowls, 1996).
Ampul adalah wadah berbentuk silindris yang terbuat dari gelas yang
memiliki ujung runcing (leher) dan bidang dasar datar. Ukuran nominalnya adalah
1, 2, 5, 10, 20 kadang-kadang juga 25 atau 30 ml. Ampul adalah wadah takaran
tunggal, oleh karena total jumlah cairannya ditentukan pemakaian dalam satu kali
pemakaiannya untuk satu kali injeksi. Menurut peraturan ampul dibuat dari gelas
tidak berwarna, akan tetapi untuk bahan obat peka cahaya dapat dibuat dari bahan
gelas berwarna coklat tua. Ampul gelas berleher dua ini sangat berkembang pesat
sebagai ampul minum untuk pemakaian peroralia (R. Voigt, 1995).
2.1.7 Vial
Vial adalah wadah dosis ganda yang kedap udara, disegel dengan tutup
karet atau plastik penutup yang kecil dengan diafragma pada bagian tengahnya,
yang dirancang untuk penarikan dosis berturut-turut tanpa terjadi perubahan
kekuatan, kualitas, atau kemurnian bagian yang tertinggal (USP, 2014).
Vial merupakan kemasan obat yang terbuat dari kaca atau plastik dengan
tutup karet. Terdapat logam pada bagian atas untuk melindungi tutup karet. Vial
berisi obat yang berbentuk cair atau obat kering. Jika obat tidak stabil dalam
kondisi cair maka akan dikemas dalam bentuk kering seperti dalam bentuk serbuk
kering. Label pada vial biasanya menunjukkan jumlah pelarut yang digunakan
untuk melarutkan serbuk tersebut sehingga memudahkan dalam hitungan dosis
pemberian obat. Berbeda dengan ampul, vial merupakan sistem tertutup sehingga
diperlukan menyuntikkan udara ke dalam vial untuk memudahkan dalam
mengaspirasi jumlah obat yang dibutuhkan (Agoes, 2009).
2.1.8 Keuntungan dan Kerugian Vial
Menurut Winfield (2000) keuntungan vial yaitu :
1. Dapat diberikan pada beberapa bagian
2. Dosis lebih fleksibel
3. Pada ampul sejumlah partikel dapat masuk dalam produkketika leher
ampul dipertahankan
4. Biaya per unit dosis lebih rendah
Menurut Gennaro (1998) kerugian dari vial yaitu :
1. Membutuhkan perhatian teknik aseptik yang penuh, meliputi spoit
dengan jarum
2. Suntik steril untuk pengambilan dosis
3. Pengawet dapat diserap permukaan penutup
4. Resiko kontaminasi mikroorganisme dan virus.
2.1.9 Definisi Sterilisasi
Sterilisasi adalah proses yang dirancang untuk menciptakan keadaan steril.
Secara tradisional keadaan steril adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai
akibat penghancuran dan penghilangan semua mikroorganisme hidup. Konsep ini
menyatakan bahwa steril adalah istilah yang mempunyai konotasi relative, dan
kemungkinan menciptakan kondisi mutlak bebas dari mikroorganisme hanya
dapat diduga atas dasar proyeksi kinetis angka kematian mikroba (Lachman,
1994).
2.1.10 Metode-metode sterilisasi menurut Ansel (1989) , yakni:
1. Sterilisasi uap (lembab panas), yakni sterilisasi yang dilakukan dalam
autoklaf dan menggunakan uap air dengan tekanan.
2. Sterilisasi panas kering, yakni sterilisasi yang biasa dilakukan dengan oven
pensteril yang dirancang khusus untuk tujuan sterilisasi.
3. Sterilisasi dengan penyaringan, yakni sterilisasi yang tergantung pada
penghilangan mikroba secara fisik dengan adsorpsi pada media penyaring
atau dengan mekanispe penyaringan, digunakan untuk sterilisasi larutan
yang tidak tahan panas.
4. Sterilisasi gas, sterilisasi gas dilakukan pada senyawa-senyawa yang tidak
tahan terhadap panas dan uap dimana dapat disterilkan dengan cara
memaparkan gas etilen oksida atau protilen oksida. Gas-gas ini sangat
mudah terbakar bila tercampur dengan udara, tetapi dapat digunakan
dengan aman bila diencerkan dengan gas iner seperti karbondioksida, atau
hidrokarbon terfluorinasi yang tepat sesuai.
5. Sterilisasi dengan radiasi pengionan, yakni teknik-teknik yang disediakan
untuk sterilisasi beberapa jenis sediaan-sediaan farmasi dengan sinar gama
dan sinar-sinar katoda, tetapi penggunaan teknik-teknik ini terbatas karena
memerlukan peralatan yang sangat khusus dan pengaruh-pengaruh radiasi
pada produk-produk dan wadahwadah (Hadieotomo,R.S. 1985).
2.2 Uraian Bahan
2.2.1 Zat Aktif
1. Antalgin ( Depkes RI, 1979 )
Nama Resmi : ANTALGIN
Rumus Kimia : Natrium2,3-dimetil-1-fenil-5-pirazolon-4-
metilaminio metana sulfanoat
Rumus Molekul :

Berat Molekul : 333,339 g/mol


pH : 6-7 (martindale, 2009)
pKa : 9,13
Pemerian : Serbuk hablur, putih kekuningan
Kelarutan : Larut dalam 1,5 air dan 1 dalam 30 etanol, praktis
tidak larut dalam eter, aseton, benzene dan
kloroform
Stabilitas : Tidak stabil terhadap udara lembap dan harus
terlindungi dari cahaya matahari
Inkompatibilitas : Terhadap amydopyne
Indikasi : Nyeri akut hebat setelah pembedahan atau luka.
Nyeri karena tumor atau borok. Nyeri hebat akut
atau kronik. Jika analgesic lain tidak bias menolong.
Efek Farmakologi : Menghambat aktivitas enzim cox terutama cox tipe 2
dengan mengurangi sintesis prostaglandin
dikormudorsalis modula spinulis dan bekerja melalui
stimulus reseptor connobinoid dan system
oprodergik. Komponen sistemnya terdapat pada
sepanjang sumbu hipotalamus-hipofilik, dimana
komponen system connobinoid yaitu hipotalamus
dalam menurunkan reseptor pada rasa sakit dan
thermostat yang mengatur suhu tubuh (A.
Sasceknim, 2014)
Interaksi Obat : Mneingkat bila diberikan bersamaan
aminoglikosida, tidak bolh dibrikan etakrinal,
toksisitas salisilat meningkat bila diberikan secara
bersamaan.
Efek Samping : Efek sampingnya infeksi lambung independen,
reaksi alergi agrumitosi dan netosis
Kegunaan : Zat aktif
2.2.2 Zat Tambahan
1. Aqua Pro Injeksi ( Depkes RI, 1979)
Nama Resmi : AQUA PRO INJECTION
Rumus Kimia : H2O
Rumus Struktur :

Berat Molekul : 18,02 g/mol


Kelarutan : Larut dalam etanol
Stabilitas : Stabil dalam semua keadaan baik minyak, dingin
atau panas
Inkompatibilitas : Dalam formulasi sediaan, aqua pro injeksi dapat
bereaksi dengan obat atau bahan yang terurai
terhidrolisis ais, dapat bereaksi dengan logam alkali,
kalsium dioksida dan magnesium.
Kegunaan : Pembawa atau pelarut
2. Benzalkonium Klorida ( Depkes RI, 1995 ; Rowe, 2009)
Nama Resmi : BENZALKONIUM KLORIDA
Nama Lain : Alkilbenzildimetilamonium klorida
Rumus Kimia : C21H38NCl
Sturktur Kimia :
Berat Molekul : 283,888 g/mol
pH : 4-10
pKa : 17,31
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan etanol, bntuk
anhidrat mudah larut dalam benzene dan agak sukar
larut dalam eter
Stabilitas : Bersifat higroskopis. Bisa dipengaruhi oleh cahaya,
warna dan logam
Inkompatibilitas : Dengan aluminium, surfaktan anionic, karbon,
hydrogen peroksida
Penyimpanan : Terlindungi dari cahaya, hindari kontak dengan
logam
Kegunaan : Pangawet antimikroba

3. Natrium Tiosulfat ( Depkes RI, 1995 ; Rowe, 2009)


Nama Resmi : NATRIUM TIOSULFAT
Nama Lain : Sodium Thiosulfate, Sodo Thiol
Rumus Kimia : Na2O3S2
Rumus Stuktur :

Berat Molekul : 158,11 g/mol


Ph : 6,5-8
pKa : 11,35
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, tidak larut dalam
etanol
Stabilitas : Stabil dalam setiap keadaan. Penggunaan khusus
harus disimpan dalam wadah yang sendiri
Inkompatibilitas : Natrium Tiosulfat inkompatibel dngan iodine dan
asam dan dengan garam timbale, merkuri dan perak
Kegunaan : Sebagai antioksidan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

Anda mungkin juga menyukai