Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI RUMAH SAKIT DAN KLINIK

“TEKNIK PENCAMPURAN SEDIAAN STERIL”

Dibuat Oleh :

REGULER C18

KELOMPOK 2/2A

SRI GIRA RAHAYU ARUNG L 18.109.AF

SRI HALIWANDARI 18.110.AF

SRI WAHYUNI 18.111.AF

SRYFAJRIANI 18.112.AF

SUMARNI 18.113.AF

SUNARTI 18.114.AF

INSTRUKTUR : Apt. SUHARTINI, S.Farm, M.Tr.Adm kes

AKADEMI FARMASI YAMASI

MAKASSAR

2020/2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Perkembangan teknologi farmasi saat ini sangat berperan aktif dalam
peningkatan kualitas produksi obat-obatan. Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya sediaan obat-obatan yang disesuaikan dengan karakteristik dari zat
aktif obat, kondisi pasien dan peningkatan kualitas obat dengan meminimalkan
efek samping obat tanpa harus mengurangi atau mengganggu kinerja dari zat
aktif obat (Sukandar, 2018).

Saat ini berbagai bentuk sediaan obat dapat dijumpai dipasaran.


Diantaranya adalah sediaan injeksi yang termasuk sediaan steril. Sediaan steril
adalah bentuk sediaan obat dalam bentuk terbagi - bagi yang bebas dari
mikroorganisme hidup (Priyambodo, 2007).
Salah satu bentuk sediaan steril adalah sediaan parenteral. Sediaan
parental merupakan jenis sediaan yang unik di antara bentuk sediaan obat
terbagi-bagi, karena sediaan ini disuntikan melalui kulit atau membran mukosa
ke bagian tubuh yang paling efesien, yaitu membran kulit dan mukosa, maka
sediaan ini harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari bahan - bahan
toksis lainnya, serta harus memiliki tingkat kemurnian yang tinggi. Semua
bahan dan proses yang terlibat dalam pembuatan produk ini harus dipilih dan
dirancang untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi, apakah kontaminasi
fisik, kimia atau mikrobiologis (Priyambodo, 2007).
Produk steril seperti sediaan parenteral bisa diberikan dengan berbagai
rute. Salah satu contoh sediaan parenteral yaitu injeksi volume kecil. Injeksi
volume kecil adalah sediaan parenteral volume kecil yang dikemas dalam wadah
bertanda volume 100 ml atau kurang (Depkes, 1995)
Sediaan injeksi volume kecil dikenal dengan beberapa wadah yaitu dosis
tunggal ( single dose) wadah ampul atau cartridge dan dosis ganda (multiple dose)

1
wadah vial atau flacon (Depkes, 1979). Wadah dosis tunggal adalah
suatu wadah yang kedap udara yang mempertahankan jumlah obat steril yang
dimaksudkan untuk pemberian parenteral sebagai dosis tunggal, dan yang
bila dibuka tidak dapat ditutup rapat kembali dengan jaminan tetap steril (Ansel,
1989) sedangkan wadah dosis berganda adalah wadah kedap udara yang
memungkinkan pengambilan isinya secara berulang tanpa terjadi perubahan
kekuatan, kualitas atau kemurnian pada bagian yang tertinggal (Ansel, 1989).

Pencampuran obat suntik seharusnya dilakukan oleh farmasis di Rumah


Sakit, tetapi kenyataannya masih dilaksanakan oleh tenaga kesehatan lain
dengan sarana dan pengetahuan yang sangat terbatas. Pekerjaan kefarmasian
tersebut memerlukan teknik khusus dengan latar belakang pengetahuan antara
lain sterilitas, sifat fisikokimia, stabilitas obat, dan ketidaktercampuran obat.
Selain hal tersebut diperlukan juga sarana dan prasarana khusus yang menunjang
pekerjaan hingga tujuan sterilitas, stabilitas, dan ketercampuran obat dapat
tercapai. Berdasarkan hal tersebut diakukan pembahasan mengenai teknik
pencampuran obat suntik sebagai sarana pembelajaran dan ilmu pengetahuan
tentang obat suntik.

Untuk mengetahui cara pembuatan dan pemakaiannya serta khasiat


sediaan injeksi dalam bentuk ampul dan vial yang merupakan bentuk-bentuk
sediaan steril, diperlukan suatu proses agar menghasilkan produk yang dapat
dimanfaatkan dengan baik oleh konsumen, serta mempunyai efek terapi yang
sesuai. Oleh karena itu, kami melakukan percobaan untuk mengetahui hal-hal
tersebut. Untuk itulah praktikum sediaan ampul dan vial dilakukan.

1.2 Tujuan Percobaan


a. Mengetahui cara penyiapan obat
b. Mengetahui cara pencampuran dan pemberian obat suntik

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Dasar teori

A. Sediaan steril

Sediaan Steril adalah proses yang dirancang untuk menciptakan


keadaan steril. Secara tradisional keaadan steril adalah kondisi mutlak yang
tercipta sebagai akibat penghancuran dan penghilangan semua
mikroorganisme hidup. Konsep ini menyatakan bahwa steril adalah istilah
yang mempunyai konotasi relative, dan kemungkinan menciptakan kondisi
mutlak bebas dari mikroorganisme hanya dapat diduga atas dapat proyeksi
kinetis angka kematian mikroba (Lachman, 1994).

Produk steril adalah sediaan terapeutis dalam bentuk terbagi-


bagi yang bebas dari mikroorganisme hidup. Sediaan parenteral ini
merupakan sediaan yang unik diantara bentuk obat terbagi-bagi, karena
sediaan ini disuntikkan melalui kulit atau membran mukosa kebagian dalam
tubuh. Karena sediaan mengelakkan garis pertahanan pertama dari tubuh
yang paling efisien, yakni membran kulit dan mukosa, sediaan tersebut
harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari komponen toksik dan harus
mempunyai tingkat kemurniaan tinggi dan luar biasa. Semua komponen dan
proses yang terlibat dalam penyediaan produk ini harus dipilih dan
dirancang untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi secara
fisik,kimia atau mikrobiologi. (Lachman, 1994).
Sediaan steril adalah bentuk sediaan obat dalam bentuk terbagi-
bagi yang bebas dari mikroorganisme hidup. Pada prinsipnya, yang
termasuk sediaan ini antara lain sediaan parental preparat untuk mata dan
preparat irigasi (misalnya infus) (Priyambodo, 2007).

3
B. Sediaan parenteral

Sediaan parenteral merupakan jenis sediaan yang unik diantara


bentuk sediaan obat terbagi-bagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui
kulit atau membrane mukosa ke bagian tubuh yang paling efisien, yaitu
membrane kulit dan mukosa, maka sediaan ini harus bebas dari
kontaminasi mikroba dan dari bahan-bahan toksis lainnya, serta harus
memiliki tingkat kemurnian yang tinggi. Semua bahan dan proses yang
terlibat dalam pembuatan produk ini harus dipilih dan dirancang untuk
menghilangkan semua jenis kontaminasi, apakah kontaminasi fisik, kimia,
atau mikrobiologis (Priyambodo, 2007).

Sediaan parenteral adalah sediaan obat steril, dapat berupa larutan


atau suspensi yang dikemas sedemkian rupa sehingga cocok untuk
diberikan dalam bentuk injeksi hypodermis dengan pembawa atau
zat pensuspensi yang cocok. Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan,
emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan
lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek
jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir (Ansel,
1989). Menurut Depkes (1995), sediaan steril untuk kegunaan parenteral
digolongkan menjadi 5 jenis yang berbeda :

1. Sediaan berupa larutan dalam air/minyak/pelarut organik yang lain


yang digunakan untuk injeksi.

2. Sediaan padat kering (untuk dilarutkan) atau cairan pekat tidak


mengandung dapar, pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan
yang diperoleh setelah penambahan pelarut yang sesuai memenuhi
persyaratan injeksi

3. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai


membentuk larutan yang memenuhi persyaratan untuk suspensi
steril setelah penambahan bahan pembawa yang sesuai

4
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan
tidak disuntikkan secara intravena atau ke dalam saluran spinal

5. Sediaan berupa emulsi, mengandung satu atau lebih dapar,


pengencer atau bahan tambahan lain

Sediaan-sediaan parenteral hanya dapat diberikan kerja yang


optimal apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: (Latifah dan Natsir,
2009)

1. Kandungan bahan obat yang terdapat dalam sediaan parenteral,


harus sama yang terdapat didalam etiket dan tidak terjadi
pengurangan kualitas dan kuantitas selama penyimpanan, baik
terjadinya kerusakan secara kimia maupun secara fisika.

2. Wadah yang digunakan pada sediaan parenteral harus sesuai


sehingga wadah tersebut buakan hanya menjaga sterilitasnya saja,
tetapi juga dapat mencegah terjadinya interaksi antara bahaan
obatnya dengan material dari dinding wadahnya.

3. Tersatukan tanpa terjadinya reaksi

4. Harus steril

5. Bebas pirogen

6. Isotonis dan isohidris

7. Bebas dari partikel


Menurut Latifah dan Natsir (2009), cara-cara pemberiaan
sediaan parenteral meliputi :

1. Subkutan atau pemberian dibawah kulit (s.c), yaitu disuntikkan


kedalam tubuh melalui bagian yang sedikit mengandung lemak dan
masuk kedalam jaringan dibawah kulit. Volume pemberiannya
jarang melewati 1 ml, sedapat mungkin isotonis dan isohidris,

5
karena sediaan yang menimpan dari isotonisnya dapat menimbulkan
rasa nyeri atau nekrosis dan absorpsi dari zat aktifnya tidak optimal.

2. Intra muskular (i.m) yaitu suntikan kedalam jaringan otot, pada


umumnya pada otot pantat atu paha. Tempat suntikan sebaiknya
sejauh mungkin dari saraf-saraf utama atau pembuluh darah utama.
Kerusakan akibat suntikan intramuskular biasanya berkaitan dengan
titik tempat jarum ditusukkakn dan dimana obat ditempatkan.
Kerusakan ini meliputi paralisis akibat rusaknya saraf, abses,
emboli, terkelupasnya kulit, dan pembentuakn parut.

3. Intra vena (i.v) yaitu disuntikkan langsung kedalam pembuluh darah


vena. Larutannya biasanya dalam jumlah kecil (kurang dari 5 ml)
sebaiknya isotonic dan isohidris. Khusus pemberian dengan cara
infus, harus isotonic, isohidris dan bebas pirogen. Tidak ada fase
absorbsi, karena obatnya langsung masuk kedalam pembuluh darah
vena, onset of action cepat.

Disamping cara pemberiaan seperti yang telah diuraikan, masih ada


cara pemberian lainnya yaitu: (Latifah dan natsir, 2009)

1. Intraspinal, intratekal, yaitu disuntikkan masuk kedalam sumsum


tulang belakang. Larutannya harus isotonik dan isohidris, bila
digunakan sebagai anestesi, larutannya harus hipertonis.
2. Intraperitonial, keteter dimasukkan krdalam rongga perut dengan
cara dioperasi untuk tempat memasukkan cairan steril CAPD
(Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis), cara ini berbahaya
larutannya harus isotonis atau hipertonis, zat aktif diabsorpsi lebih
cepat, volume diberikan dalam jumlah besar (1 atau 2 liter).
3. Intraartikular, yaitu disuntikkan kedalam sendi. Larutan harus
isotonik dan isohidris.
4. Intradermal, yaitu disuntikkan kedalam kulit. Larutan harus isotonik
dan isohidris.

6
5. Intracardial (i.ed), yaitu langsung kedalam jantung.
6. Intrasisternal (i.s), yaitu disuntikkan langsung masuk sumsum
tulang belakang, pada dasar otak.

Menurut Agoes (2009), bentuk sediaan injeksi yang beredar


dipasaran saat ini berupa sediaan injeksi volume kecil, sediaan injeksi
volume besar dan sediaan injeksi berbentuk serbuk untuk direkonstruksi.

Sedangkan menurut Depkes (1995), injeksi terbagi menjadi dua


jenis, yaitu larutan injeksi volume besar (Large Volume Parenteral) dan
volume kecil (Small Volume Parenteral).

C. Injeksi Volume Kecil

Larutan injeksi volume kecil adalah sediaan parenteral


volume kecil yang dikemas dalam wadah bertanda volume 100 ml
atau kurang dan biasa disebut dengan injeksi (Departemen Kesehatan RI,
1995). Sediaan injeksi volume kecil adalah ampul 1 ml, 2 ml, 3 ml, 5 ml,
dan 20 ml, serta vial 2 ml, 5 ml, 10 ml, 15 ml, 20 ml, dan 30 ml. Sediaan ini
dapat digunakan untuk penyuntikan secara intramuscular, intravena,
intradermal, subkutan, intraspinal, intrasisternal atau intratekal
(Agoes,2009).

Ada dua tipe utama wadah untuk injeksi yaitu dosis tunggal dan
dosis ganda. Wadah dosis tunggal yang paling sering digunakan adalah
ampul dimana kisaran ukurannya dari 1-100 ml. pada kasus tertentu, wadah
dosis ganda dan sebagainya berupa vial serum atau botol serum (Voight,
1995).

D. Vial
a. Definisi Vial
Vial adalah wadah dosis ganda yang kedap udara, disegel dengan
tutup karet atau plastik penutup yang kecil dengan diafragma pada
bagian tengahnya, yang dirancang untuk penarikan dosis berturut-

7
turut tanpa terjadi perubahan kekuatan, kualitas, atau kemurnian bagian
yang tertinggal (USP, 2014).
Vial merupakan kemasan obat yang terbuat dari kaca atau
plastik dengan tutup karet. Terdapat logam pada bagian atas untuk
melindungi tutup karet. Vial berisi obat yang berbentuk cair atau obat
kering. Jika obat tidak stabil dalam kondisi cair maka akan dikemas
dalam bentuk kering seperti dalam bentuk serbuk kering. Label pada
vial biasanya menunjukkan jumlah pelarut yang digunakan untuk
melarutkan serbuk tersebut sehingga memudahkan dalam hitungan
dosis pemberian obat. Berbeda dengan ampul, vial merupakan sistem
tertutup sehingga diperlukan menyuntikkan udara ke dalam vial untuk
memudahkan dalam mengaspirasi jumlah obat yang dibutuhkan (Agoes,
2009).

b. Keuntungan dan Kerugian Vial


Menurut Winfield (2000) keuntungan vial yaitu

1. Dapat diberikan pada beberapa bagian


2. Dosis lebih fleksibel
3. Pada ampul sejumlah partikel dapat masuk dalam produkketika
leher ampul dipertahankan
4. Biaya per unit dosis lebih rendah

Menurut Gennaro (1998) kerugian dari vial yaitu :

1. Membutuhkan perhatian teknik aseptik yang penuh, meliputi spoit


dengan jarum

2. Suntik steril untuk pengambilan dosis

3. Pengawet dapat diserap permukaan penutup

4. Resiko kontaminasi mikroorganisme dan virus.


c. Penyegelan Vial
Tutup karet harus cocok dengan mulut wadah, cukup rapat

8
untuk menghasilkan penyegel, tetapi tidak begitu rapat sehingga sulit
untuk menempatkannya dalam wadah. Tutup bisa disisipkan dengan
tangan dengan menggunakan pinset steril. Cara tangan yang lebih cepat
meliputi pengambilan tutup dan menyisipkan ke dalam vial dengan
suatu alat yang dihubungkan pada sebuah pipa vakum (Lachman,
1986).

Bila tutup disisipkan dengan mesin, permukaan tutup biasanya


disalut dengan silikon untuk mengurangi penggesekan. Hal ini
memungkinkan penutup tersebut meluncur dari suatu drum berputar
atau drum bervibrasi berdasarkan tempat mengalir yang diletakkan di
atas wadah, siap untuk pemasukan oleh suatu alat penekan (Parrot,
1971).

E. Ampul

a) Defenisi ampul

Ampul adalah wadah gelas yang disegel rapat sebaga i


wadah dosis tunggal yang dapat berisi bahan padat atau larutan
obat jernih atau suspensi halus, dimaksudkan untuk
penggunaan parenteral. Biasanya kecil, dari 1 sampai 50 ml,
tetapi mungkin mempunyai kapasitas sampai 100 ml (Jenkin s,
1969).
Ampul merupakan kemasan obat tunggal yang
berbentuk cair. Dengan volume obat 1 – 10 ml atau lebih.
Terbuat dari kaca, berbentuk botol kecil dan berleh e r.
Warna garis pada leher menunjukkan tempat tersebut mud ah
dipotong untuk membuka kemasan ampul tersebut (Sprow ls,
1996).

Ampul adalah wadah berbentuk silindris yang terbuat


dari gelas yang memiliki ujung runcing (leher) dan bid ang
dasar datar. Ukuran nominalnya adalah 1, 2, 5, 10, 20 kadang -

9
kadang juga 25 atau 30 ml. Ampul adalah wadah takaran
tunggal, oleh karena total jumlah cairannya ditentukan
pemakaian dalam satu kali pemakaiannya untuk satu kali
injeksi. Menurut peraturan ampul dibuat dari gelas tidak
berwarna, akan tetapi untuk bahan obat peka cahaya dapat
dibuat dari bahan gelas berwarna coklat tua. Ampul gelas
berleher dua ini sangat berkembang pesat sebagai ampul
minum untuk pemakaian peroralia (R. Voigt, 1995).

b) Hal-hal yang perlu diperhatikan

Menurut R. Voigt (1995) hal-hal yang perlu diperhat ik an


pada ampul:

1. Tidak perlu pengawet karena merupakan


takaran tunggal

2. Tidak perlu isotonis

3. Diisi melalui buret yang ujungnya disterilkan


terlebih dahulu dengan alkohol 70 %

4. Buret dibilas dengan larutan obat sebelum


diisi

c) Pengisian ampul
Untuk pengisian ampul, jarum hipodermik panjan g
adalah penting karena lubangnya kecil. Jarum harus dimasu kk a n
ke dalam ampul sampai di bawah. Leher ampul, tetapi tidak
cukup jauh untuk masuk ke dalam larutan yang dimasukkan ke
dalam ampul. Jarum harus dikeluarkan dari ampul tanpa
menggunakan tetes larutan pada dinding primer dari leher
ampul. Metode ini digunakan untuk mencegah pengurangan dan
pengotoran jika ampul disegel (Jenkins, 1969).

10
d) Penyegelan ampul

Ampul dapat ditutup dengan melelehkan bagian gelas


dari leher ampul sehingga membentuk segel penutup atau segel
tarik. Segel penutup dibuat dengan melelehkan sebagian gelas
pada bagian atas leher ampul bulatan gelas dan menutup bagian
yang terbuka. Segel tarik dibuat dengan memanaskan leher dari
suatu ampul yang berputar di daerah ujungnya kemud ia n
menarik ujungnya hingga membentuk kapiler kecil yang dapat
diputar sebelum bagian yang meleleh tersebut ditutup (Lach ma n,
1986).
Ampul dapat disegel secara manual melalui penggu n a an
api. Sumbu dibawah ujungnya dan tarik ujungnya melalui
sentuhan dengan tangkai gelas. Gelas yang kuat dihasilk an
dengan peleburan disekitar butiran dan segel dari ampul.
Untuk menghasilkan segel pada ampul dapat digunak an
konfeyor untuk menyegelnya, dimana ini diletakkan di tengah
dan diputar dalam api penyegelan sampai ujung gelas meleb ur
dan membentuk seperti manik penyegelan (Parrot, 1971).

II.2 Standar Pelayanan Kefarmasian

Menurut Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 Pasal 2, Tentang Pengaturan


standar pelayanan kefarmasian dirumah sakit bertujuan untuk :

1. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian;

2. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian ; dan

3. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak


rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety)

Adapun Permenkes Nomor 72 tahun 2016 pasal 3;

1) Standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi standar ;

11
a. Pengelolaan sediaan farmasi, alat Kesehatan, dan bahan medis habis
pakai; dan

b. Pelayanan farmasi klinik

12
BAB III
METODE KERJA

III.1. Alat dan bahan


a) Alcohol 70%
b) Syringe / spoit ukuran 1cc, 3 cc, 5 cc dan 10 cc
c) Sediaan steril dry injeksi vial ( Cefotaxim 1 gram )
d) Aquadest steril/ Nacl fisologis
e) Kapas beralkohol/alcohol swab
f) Kasa / tissue
g) Cairan infus ringel lactat (RL)

III.2. CARA KERJA

1. Penyiapan
Sebelum menjalankan proses pencampuran obat suntik, perlu
dilakukan langkah langkah sebagai berikut:
1) Memeriksa kelengkapan dokumen (formulir) permintaan dengan
prinsip 5 BENAR (benar pasien, obat, dosis, rute dan waktu
pemberian)
2) Memeriksa kondisi obat-obatan yang diterima (nama obat,
jumlah, nomer batch, tgl kadaluarsa), serta melengkapi form
permintaan.
3) Melakukan konfirmasi ulang kepada pengguna jika ada yang
tidak jelas/tidak lengkap.
4) Menghitung kesesuaian dosis.
5) Memilih jenis pelarut yang sesuai.
6) Menghitung volume pelarut yang digunakan.
7) Membuat label obat berdasarkan: nama pasien, nomer rekam
medis, ruang perawatan, dosis, cara pemberian, kondisi
penyimpanan, tanggal pembuatan, dan tanggal kadaluarsa
campuran. (contoh label obat, Gambar. 1 )

13
Gambar. 1
8) Membuat label pengiriman terdiri dari : nama pasien, nomer
rekam medis, ruang perawatan, jumlah paket. (contoh label
pengiriman, Gambar. 2)

Gambar. 2
9) Melengkapi dokumen pencampuran (contoh form
pencampuran dibuku 1: Pedoman Dasar Dispensing Sediaan
Steril)
10) Memasukkan alat kesehatan, label, dan obat-obatan yang akan
dilakukan pencampuran kedalam ruang steril melalui pass box.
2. Pencampuran
Proses pencampuran obat suntik secara aseptis, mengikuti langkah
– langkah sebagai berikut:
a) Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD).
b) Melakukan dekontaminasi dan desinfeksi sesuai prosedur tetap
Protap desinfeksi dan dekontaminasi.
1. Persiapan bahan dan alat
a. Mempersiapkan bahan yang terdiri dari
(a) Alkohol swab
(b) Alkohol 70 % dalam botol spray
(c) Mendesinfeksi bagian luar kemasan bahan obat sitostatika dan
pelarut dengan menyemprotkan alcohol 70 %

14
b. Mempersiapkan alat yang terdiri dari
(a) Mensterilkan alas untuk sitostatika
(b) Mensterilkan bahan untuk sealing (parafin)
(c) Mensterilkan sarung tangan , masker, baju, topi, sarung kaki
(d) Spuit inj. Ukuran 2 X vol yang dibutuhkan.
(e) Jarum
(f) Mendesinfektan etiket, label, klip plastik, kantong plastik u/
disposal dengan menyemprotkan alkohol 70 %.
c) Menghidupkan Laminar Air Flow (LAF) sesuai prosedur tetap
d) Menyiapkan meja kerja LAF dengan memberi alas penyerap cairan
dalam LAF.
e) Menyiapkan kantong buangan sampah dalam LAF untuk bekas obat.
f) Melakukan desinfeksi sarung tangan dengan alkohol 70 %. 5
g) Mengambil alat kesehatan dan obat-obatan dari pass box.
h) Melakukan pencampuran secara aseptis
3. pencampuran serbuk vial cefotaxime kedalam larutan NaCl
1) Membuka vial dengan larutan obat
a) Buka penutup vial
b) Seka bagian karet vial dengan alcohol 70% , biarkan mengering
c) Berdirikan vial
d) Bungkus penutup vial dengan kasa / tissue dan buang kedalam
kantong buangan tertutup
2) Pegang vial dengan posisi 45o masukkan spoit kedalam vial
3) Masukkan pelarut yang sesuai kedalam vial gerakkan secara perlahan
untuk melarutkan obat
4) Ganti needle dengan needle baru
5) Beri tekanan negative dengan cara menarik udara ke dalam spoit
kosong sesuai volume yang diinginkan
6) Pegang vial dengan posisi 45o Tarik kedalam spoit tsb.

15
7) Untuk permintaan infus intra vena (IV), suntikkan larutan obat ke
dalam botol infus dengan posisi 45o perlahan-lahan melalui dinding
agar tidak berbuih dan tercampur sempurna.
8) Untuk permintaan intra vena bolus ganti needle dengan ukuran yang
sesuai untuk penyuntikan.
9) Bila spuit dikirim tanpa needle,pengan spuit dengan posisi jarum
keatas angkat jarum dan buang ke tantong Buangan tertutup
10) Pegang spuit dengan bagian tertutup ke atas, tutup dengan “luer lock
cap”
11) Seka cap dan syringe dengan alcohol
12) Setelah selesai, buang seluruhbahan yang telah terkontaminasi ke
dalam kantong buangan tertutup.
4. Teknik memindahkan obat dari ampul
1) Membuka ampul larutan obat

16
(gambar 3)
(a) Pindahkan semua larutan obat dari leher ampul dengan mengetuk-
ngetuk bagian atas ampul atau dengan melakukan gerakan J-motion.
(b) Seka bagian leher ampul dengan alkohol 70 %, biarkan mengering.
(c) Lilitkan kassa sekitar ampul.
(d) Pegang ampul dengan posisi 45º, patahkan bagian atas ampul dengan
arah menjauhi petugas. Pegang ampul dengan posisi ini sekitar 5
detik.
(e) Berdirikan ampul.
(f) Bungkus patahan ampul dengan kassa dan buang ke dalam kantong
buangan.
2) Pegang ampul dengan posisi 45º, masukkan spuit ke dalam ampul, tarik
seluruh larutan dari ampul, tutup needle.

17
3) Pegang ampul dengan posisi 45º, sesuaikan volume larutan dalam
syringe sesuai yang diinginkan dengan menyuntikkan kembali larutan
obat yang berlebih kembali ke ampul.
4) Tutup kembali needle.
5) Untuk permintaan infus Intra Vena , suntikkan larutan obat ke dalam
botol infus dengan posisi 45º perlahan-lahan melalui dinding agar tidak
berbuih dan tercampur sempurna.
6) Untuk permintaan Intra Vena bolus ganti needle dengan ukuran yang
sesuai untuk penyuntikan.
7) Setelah selesai, buang seluruh bahan yang telah terkontaminasi ke
dalam kantong buangan tertutup.

5. Tabel ketercampuran obat

NAMA OBAT KETERCAMPURAN LARUTAN IV KET

Cefotaxime Kompatibel dengan NaCl 0.9%, dekstrosa,RL

Ranitidine Kompatibel dengan laruta Nacl 0,9 % dan


dektrosa, RL

(sumber : buku pedoman pencampuran obat suntik dan penanganan


sediaan sitostatika)
6. Perhitungan pencampuran serbuk cefotaxime kedalam larutan NaCl

R/ Cefotaxime 300 mg
3x1

Cefotaxime 1 gram/ 1000 mg


Pelarut 10 ml
300 𝑚𝑔
Dosis yang diambil = 1000 𝑚𝑔 x 10 ml =3 ml

7. Penyiapan obat suntik intravena kedalam infus


R/ Ranitidin 50 mg/2ml disuntikkan kedalam larutan sodium chloride 0,9 %

18
BAB IV

HASIL PENGAMATAN DAN


PEMBAHASAN

IV. 1 Hasil pengamatan

Gambar Keterangan
Alat dan bahan yang
dingunakan

Cara penarikan obat vial


cefotaxime dengan cara aseptic

Cara penarikan obat dengan


menggunakan spoit dari ampul
Ranitidin dan neurosanbe
dilakukan dengan posisi 450
dengan cara aseptic

Mengemas menjadi siap pakai;


a. Cefotaxime yang sudah
dilarutkan dengan NaCl
b. Ranitidine ampul yang sudah
di rekontruksi

19
Larutan Cefotaxime
dimasukkan kedalam infus

IV. 2 Pembahasan

Pada percobaan ini , pencampuran sediaan steril injeksi volume kecil


yaitu vial dari zat aktif cefotaxime. Cefotaxime merupakan salah satu obat
antibiotik sefalosporin yang berfungsi untuk membunuh bakteri penyebab
infeksi obat ini bekerja dengan membunuh bakteri dan mencengah
pertumbuhannya karna manfaatnya untuk membasmi bakteri antibiotik ini
tidak efektif untuk mengobati infeksi akibat virus seperti flu.

Adapun pelarut yang di gunakan pada cefotaxime yaitu NaCl 0,9 %.


pada proses pencampuran obat suntik ini dilakukan secara aseptik di dalam
laminar air flow (LAF) sesuai prosedur tetap. Menurut buku pedoman
pencampuran obat suntik dan penanganan sediaan sitostatika cefotaxime
kompatibel dengan larutan NaCl 0,9% Dekstrosa RL .

Pada pencampuran sediaan steril injeksi volume kecil yaitu ampul


Ranitidin. Ranitidin merupakan antagonis histamin, Ranitidin dikenal lebih
potensial dari pada Cimetidine dalam fungsinya untuk menghambat sekresi
asam lambung pentagastrin-stimulated. Fungsi ini dikarenakan antagonis
histamin H2 ini bekerja untuk menghambat sekresi asam lambung. Sedangkan
Neurosanbe merupakan obat yang mengandung thiamine (vitamin B1),
pyridoxin (vitamin B6), dan cyanocobalamin (Vitamin B12). Vitamin B1 dapat
membantu meningkatkan energi. Defisiensi B1 bisa menyebabkan berbagai
penyakit, salah satunya beri-beri. Vitamin B6 adalah nutrisi yang berperan
dalam fungsi sistem saraf pusat dan kulit. Defisiensi vitamin B6 sering terjadi
pada orang-orang dengan gangguan hati, ginjal, dan pencernaan. Sementara ,

20
vitamin B12 penting untuk sistem saraf dan produksi DNA. Jika terjadi
defisiensi vitamin B12 maka bisa mengalami kulit pucat, badan lemah, pusing,
dan lain-lain.

Beyond use date (BUD) adalah tanggal yang ditetapkan pada produk
steril yang telah dibuka dimana kondisi produk tersebut masih dalam rentang
stabil dan dapat diberikan kepada pasien. Pada saat produk steril dibuka
terjadi paparan dengan lingkungan di sekitarnya. Udara, uap air dan
mikroorganisme dapat masuk dan menyebabkan perubahan fisika dan kimia,
serta kontaminasi mikro-organisme. Perubahan fisika dan kimia dipercepat
oleh meningkatnya suhu, sedangkan kontaminasi mikro-organisme dapat
menyebabkan penularan penyakit infeksi. Produk steril biasanya tidak
mengandung pengawet, oleh karena itu dapat terkontaminasi oleh bakteri
dan menjadi sumber penularan penyakit infeksi, sebagai contoh: waktu
kedaluwarsa (expiration date) serbuk injeksi seftriakson 1g dalam vial yang
belum dibuka adalah 3 (tiga) tahun; sedangkan setelah direkonstitusi (beyond
use date) sifat fisika dan kimia stabil selama 24 jam pada suhu 25°C dan
selama 4 hari pada suhu 2-8°C. Single use vial seftriakson yang telah
direkonstitusi harus segera digunakan. Expiration date larutan deksametason
fosfat dalam singleuse vial yang belum dibuka adalah 2 (dua) tahun;
sedangkan setelah diencerkan, beyond use date pada suhu 2-8°C adalah 24
jam.

Waktu kedaluwarsa didefinisikan sebagai satuan waktu dimana suatu


produk dapat dipertahankan atau tetap memiliki sifat dan karakteristik yang
sama dengan pada saat pembuatannya (dalam batas tertentu) selama periode
penyimpanan hingga digunakan. Tanggal kedaluwarsa dibedakan menjadi
dua, yaitu (i) expiration date (ED) atau best before date dan (ii) beyond use
date (BUD). Expiration date adalah tanggal yang ditetapkan berdasarkan
waktu kedaluwarsa yang dihitung sejak produk dibuat (manufacture date);
sedangkan beyond use date dihitung sejak wadah produk dibuka. Beyond
Use Date Produk Steril Sediaan multidosevial (MDV) berisiko

21
menyebabkan penularan penyakit infeksi.

kontaminasi produk steril menjadi dibagi menjadi 5,yaitu:


1. Segera digunakan

Pemberian injeksi dilakukan dalam waktu 1 jam sesudah


penyiapan/pencampuran sediaan injeksi.

2. Rendah

Penyiapan sediaan injeksi dilakukan di Laminar Air Flow Workbench


(LAFW) atau Biological SafetyCabinet (BSC) yang memenuhi persyaratan
partikel dan mikroba ISO Class 5 dan tahapan pencampurannya sedikit,
misalnya: rekonstitusi sediaan injeksi antibiotik vial satu dosis. Ruang ISO
Class 5 adalah salah satu klasifikasi ruang bersih (Clean room) yang
digunakan untuk melakukan pencampuran sediaan injeksi secara aseptik.
Persyaratan ruang ISO Class 5 adalah jumlah partikel yang berukuran 0,5
mikrometer tidak lebih dari 3520 partikel/m3 dan jumlah mikroba kur ang d
ari 1 cfu /m3.

3. Rendah dan diberikan dalam waktu

12 jam BUD Penyiapan sediaan injeksi dilakukan di Ruang ISO Class


5, tahapan pencampurannya sedikit dan diberikan dalam waktu 12 jam BUD.

4. Sedang

Penyiapan sediaan injeksi dilakukan di Ruang ISO Class 5 dan tahapan


pencampurannya banyak; atau produk steril digunakan untuk lebih dari satu
pasien; atau produk steril digunakan untuk satu pasien namun beberapa kali
penggunaan.

5. Tinggi

Penyiapan sediaan injeksi dengan bahan obat yang tidak steril; atau
penyiapan sediaan steril dengan bahan obat steril namun tidak dilakukan di

22
Ruang ISO Class 5; atau waktu/saat sterilisasi sediaan injeksi dilakukan >6
jam waktu penyiapan/pencampuran.

Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas sediaan injeksi adalah


jumlah tusukan, teknik aseptis yang dilakukan oleh petugas kesehatan,
masuknya udara pada saat penusukan, lama penyimpanan, kondisi
penyimpanan, ada atau tidak adanya pengawet.

Waktu kedaluwarsa (beyond use date) sediaan injeksi menurut


kategori risiko kontaminasi.

Suhu Waktu kadaluwarsa ( beyond use date )


penyimpanan Resiko Resiko Resiko
kontaminasi kontaminasi kontaminasi
rendah sedang tinggi
Suhu kamar 48 jam 30 jam 24 jam
(<25°C)
Kulkas (2 – 14 hari 9 hari 3 hari
8°C)
Suhu beku 45 hari
(<10°C)
Pencampuran sediaan steril harus dilakukan secara aseptis oleh
tenaga yang terlatih, karena ada beberapa hal yang harus diperhatikan
seperti kontaminasi terhadap produk, paparan sediaan terhadap petugas
serta lingkungan (terutama untuk sediaan sitostatika).

23
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

V.2 Kesimpulan

a. Sebelum melakukan penyiapan obat suntik perlu dilakukan pemeriksaan


prinsip 7 Benar ( benar, pasien, benar obat, benar dosis, benar rute, benar
waktu pemberian, benar dokumentasi, benar ekspayer date)
b. Cara pencampuran obat suntik secara aseptis harus menggunakan alat
pelindung (APD), melakukan dekomentasi dan desinfeksi sesuai
prosedur, menghidupkan LAF, melakukan desinfeksi dengan alkohol
70% mengambil alat keshatan dan obat-obatan dari pass box, sedangkan
cara pemberian obat untuk permintaan infus intravena, suntikkan
kedalam botol infus dengan posisi 45o perlahan-lahan melalui dinding
agar tidak berbuih dan tercampur sempurna, untuk permintaan intravena
bolus ganti dengan needle dengan ukuran yang sesuai untuk penyuntikan.

V.2 Saran

Sebaiknya dalam praktikum yang dilaksanakan harus memperhatikan


alat dan bahan yang digunakan agar menjamin proses yang tetap aseptis

24
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Goeswin. 2009. Sediaan farmasi Steril . ITB Press. Bandung.

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi ke 4. Penerbit


Universitas Indonesia. Jakarta.

Depkes. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Dirjen POM.


Jakarta. Depkes. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV.
Dirjen POM. Jakarta.

Gennaro. 1998. Remington's Pharmaceutical Science, 20th Ed. Marck


Publishing Co. Easton.

Jenkins. 1969. Scoville's:The Art of Compounding. BurgessPublishing


Co. USA.

Lachman. 1986. The Theory and Practise of IndustrialPharmacy, Third Edition.

Lea and Febiger. Philadelphia.


Lachman dkk. 1994. Teori Dan Praktek Farmasi Industri. UI Press. Jakarta.
Latifah & Natsir. 2009. Sediaan Farmasi Steril . UH press. Makassar.

Parrot. 1971. Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceutics .


Burgess Publishing Co. USA.

Permenkes, 2016.Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefamasian
DIRUMAH SAKIT.Jakarta; Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.

Priyambodo, B. 2007. Manajemen Farmasi Industri. Global Pustaka Utama.

Yogyakarta.
R. Voight, 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.

25
Sprowls. 1966. American Pharmacy 6t h Edition. Lipincott Company.
Philadelphia.

Sukandar, Elin. 2018. Tren Dan Paradigma Dunia Farmasi Industri-Klinik-


Teknologi Kesehatan. Departemen Farmasi, FMIPA, Institut Teknologi
Bandung. Bandung.

USP. 2014. Safety data sheet Sildenafil Citrate. US Pharmacopeial Conv.

Winfield. 2000. Pharmaceutical Practice, 3th Edition. Churchill


Livingstone

26

Anda mungkin juga menyukai