29
SEDIAAN STERIL
Yang termasuk dalam sediaan steril antara lain sediaan parenteral volum besar, sediaan
parenteral volum kecil (injeksi), sediaan mata (tetes/salep mata)
INDIKASI UMUM
Berdasarkan penggunaan
a. Injeksi
Suatu larutan obat dalam pembawa yang cocok dengan atau tanpa bahan tambahan yang
dimaksudkan untuk penggunaan parenteral
b. Cairan Infus
Merupakan injeksi khusus karena cara pemberiannya dan volumenya besar Berguna untuk :
1. Nutrisi dasar, contoh : infus dekstrosa
2. Perbaikan keseimbangan elektrolit, contoh : infus ringer mengandung ion Na+, K+, Ca2+
dan Cl-
3. Pengganti cairan tubuh, contoh iInfus dekstrosa dan NaCl
4. Membantu diagnosis, contoh untuk penentuan fungsi ginjal : injeksi mannitol
c. Radiopharmaceutical
Suatu injeksi yang mengandung bahan radioaktif. Berfungsi untuk diagnosis dan pengobatan
dalam jaringan organ. Pembuatan dan penggunaannya berbeda dengan bahan obat biasa (non
radioaktif)
e. Larutan Irigasi
Persyaratan seperti larutan parenteral
Dikemas dalam wadah volume besar dengan tutup dapat berputar
Digunakan untuk merendam luka/mencuci luka, sayatan bedah atau jaringan/organ tubuh
Diberi label sama seperti injeksi.
Contoh : Sodium chlorida untuk irigasi, Ringers untuk irigasi, Steril water untuk irigasi
Label/etiket : “bukan untuk obat suntik”
f. Larutan Dialisis
Untuk menghilangkan senyawa-senyawa toksis yang secara normal disekresikan oleh ginjal.
Pada kasus keracunan atau gagal ginjal atau pada pasien yang menunggu transplantasi ginjal,
dialysis adalah prosedur darurat untuk menyelamatkan hidup. Dialisis adalah proses, dimana
senyawa-senyawa dapat dipisahkan satu dengan lainnya dalam larutan berdasarkan perbedaan
kemampuan berdifusi lewat membran. Larutan yang tersedia di perdagangan mengandung
dekstrosa sebagai sumber utama kalori, vitamin, mineral, elektrolit, dan asam amino/peptida
sebagai sumber nitrogen.
g. Bahan Diagnostik
Diagnostik merupakan salah satu metode pemeriksaan dalam ilmu pengobatan pencegahan
(preventive medicine) penyakit infeksi, didasarkan atas reaksi antara suatu antibodi dengan
antigen yang bersangkutan. Untuk ini digunakan suntikan intrakutan diatas kulit (imunity
skin test) dengan suatu antigen dengan kadar serendah2nya yang masih memungkinkan
adanya reaksi.
Reaksi positip dalam bentuk semacam benjolan diatas kulit, menunjukkan bahwa tubuh sudah
mengandung antibodi tertentu. _ Hasil negatip, berarti tubuh tidak memiliki antibodi tsb, dlm
keadaan ini orang harus diberi vaksin untuk mengebalkan tubuh secara aktif
Reaksi TUBERKULIN, merupakan salah satu tes kekebalan yg terkenal untuk mendiagnosa
penyakit tuberculose (Mantoux skin test )
Zat-zat yang diberikan kepada pasien secara oral/parenteral untuk menentukan keadaan
fungsional dari suatu organ tubuh atau untuk membantu dokter menentukan diagnosa
penyakit dan juga digunakan dalam reaksi imunisasi
Contoh : Injeksi Evans Blue, yang digunakan dalam penentuan volume darah
k. Antikoagulan
Larutan untuk mencegah pembekuan darah, butuh syarat seperti injeksi dan bebas pirogen.
Contoh : Larutan Natrium sitrat Steril, ACDP, Heparin, ACD
l. Sediaan vaksin
Merupakan produk biologi (pembantu diagnostik) untuk tujuan mencegah penyakit dan
pengobatan
RUTE PENGGUNAAN
Rute Pemberian
1. Intravena
Merupakan larutan yang dapat mengandung cairan yang tidak menimbulkan iritasi yang
dapat bercampur dengan air, volume 1 ml sampai 10 ml. Larutan ini biasanya isotonis dan
hipertonis. Bila larutan hipertonis maka disuntikkan perlahan-lahan. Larutan injeksi intravena
harus jernih betul, bebas dari endapan atau partikel padat, karena dapat menyumbat kapiler
dan menyebabkan kematian. Penggunaan injeksi intravena tidak boleh mengandung
bakterisida dan jika lebih dari 10 ml harus bebas pirogen.
3. Pemberian Intramuskuler
Intramuskuler artinya diantara jaringan otot. Cara ini keceparan absorbsinya terhitung
nomor 2 sesudah intravena. Jarum suntik ditusukkan langsung pada serabut otot yang
letaknya dibawah lapisan subkutis. Penyuntikan dapat di pinggul, lengan bagian atas. Volume
injeksi 1 sampai 3 ml dengan batas sampai 10 ml (PTM—volume injeksi tetap dijaga kecil,
biasanya tidak lebih dari 2 ml, jarum suntik digunakan 1 samai 1 ½ inci. Problem klinik yang
biasa terjadi adalah kerusakan otot atau syaraf, terutama apabila ada kesalahan dalam teknik
pemberian (ini penting bagi praktisi yang berhak menyuntik). Yang perlu diperhatikan bagi
Farmasis anatara lain bentuk sediaan yang dapat diberikan intramuskuler, yaitu bentuk
larutan emulsi tipe m/a atau a/m, suspensi dalam minyak atau suspensi baru dari puder steril.
Pemberian intramuskuler memberikan efek “depot” (lepas lambat), puncak konsentrasi dalam
darah dicapai setelah 1-2 jam. Faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari jaringan otot
(im) anatar lain : rheologi produk, konsentrasi dan ukuran partikel obat dalam pembawa,
bahan pembawa, volume injeksi, tonisitas produk dan bentuk fisik dari produk. Persyaratan
pH sebaiknya diperhatikan, karena masalah iritasi, tetapi dapat dibuat pH antara 3-5 kalau
bentuk suspensi ukuran partikel kurang
Pemberian obat intramuscular menghasilkan efek obat yang kurang cepat, tetapi biasanya
efek berlangsung lebih lama dari yang dihasilkan oleh pemberian lewat IV.
Syarat pemberian obat secara IM :
Dapat berupa larutan, air, minyak, atau suspensi. Biasanya dalam bentuk air lebih cepat
diabsorbsi dari pada bentuk suspensi dan minyak.
Dilakukan dengan cara memasukkan ke dalam otot rangka
Tempat penyuntikan sebaiknya sejauh mungkin dari syaraf- syaraf utama dan pembuluh-
pembuluh darah utama.
Pada orang dewasa, tempat yang paling sering digunakan utnuk suntik IM, adalah seperempat
bagian atas luar otot gluteus max. pada bayi, daerah glutel sempit dan komponen utama
adalah lemak, Bukan otot
Tempat suntikan lebih baik dibagian atas atau bawah deltoid, karena lebih jauh dari syaraf
radial.
Volume yang umum diberikan IM, sebaiknya dibatasi maximal 5 mili, bila disuntikkan di
daerah glutel dan 2 ml bila di deltoid.
4. Pemberian intrathekal-intraspinal
Penyuntikan langsung ke dalam cairan serebrospinal pada beberapa temapt. Cara ini
berbeda dengan cara spinal anastesi. Kedua pemberian ini mensyaratkan sediaan dengan
kemurniaannya yang sangat tinggi, karena daerah ini ada barier (sawar) darah sehingga
daerahnya tertutup.
Sediaan intraspinal anastesi biasanya dibuat hiperbarik yaitu cairannya mempunyai
tekanan barik lebih tinggi dari tekanan barometer. Cairan sediaan akan bergerak turun karena
gravitasi, oleh sebab itu harus pada posisi pasien tegak.
5. Intraperitoneal
Penyuntikan langsung ke dalam rongga perut, dimana obat secara cepat diabsorbsi.
Sediaan intraperitoneal dapat juga diberikan secara intraspinal, im,sc, dan intradermal
6. Intradermal
Cara penyuntikan melalui lapisan kulit superficial, tetapi volume pemberian lebih kecil
dari sc, absorbsinya sangat lambat sehingga onset yang dapat dicapai sangat lambat.
7. Intratekal
Digunakan khusus untuk bahan obat yang akan berefek pada cairan serebrospinal.
Digunakan untuk infeksi ssp seperti meningitis, juga untuk anestesi spinal. Intratekal
umumnya diinjeksikan secara langsung pada lumbar spinal atau ventrikel sehingga sediaan
dapat berpenetrasi masuk ke dalam daerah yang berkenaan langsung pada SSP.
Diposkan 29th May 2013 oleh niken prawesti
Label: kuliah TEKNOLOGI STERIL
0
Tambahkan komentar
Niken Prawesti
Ig @ranprawest
Klasik
Kartu Lipat
Majalah
Mozaik
Bilah Sisi
Cuplikan
Kronologis
1.
SEP
15
interaksi obat
A. Mekanisme terjadinya interaksi obat
Mekanisme interaksi obat dapat melalui beberapa cara, yakni 1) interaksi secara
farmasetik (inkompatibilitas); 2) interaksi secara farmakokinetik dan 3) interaksi secara
farmakodinamik.
1. Interaksi farmasetik:
Interaksi farmasetik atau disebut juga inkompatibilitas farmasetik bersifat langsung dan
dapat secara fisik atau kimiawi, misalnya terjadinya presipitasi, perubahan warna, tidak
terdeteksi (invisible), yang selanjutnya menyebabkan obat menjadi tidak aktif. Contoh:
interaksi karbenisilin dengan gentamisin terjadi inaktivasi; fenitoin dengan larutan dextrosa 5%
terjadi presipitasi; amfoterisin B dengan larutan NaCl fisiologik, terjadi presipitasi.
2. Interaksi farmakokinetika
Interaksi dalam proses farmakokinetik, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi (ADME) dapat meningkatkan ataupun menurunkan kadar plasma obat. Interaksi obat
secara farmakokinetik yang terjadi pada suatuobat tidak dapat diekstrapolasikan (tidak berlaku)
untuk obat lainnya meskipun masih dalam satu kelas terapi, disebabkan karena adanya
perbedaan sifat fisikokimia, yang menghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda. Contohnya,
interaksi farmakokinetik oleh simetidin tidak dimiliki oleh H 2-bloker lainnya; interaksi oleh
terfenadin, aztemizole tidak dimiliki oleh antihistamin non-sedatif lainnya.
Interaksi yang terjadi pada proses absorpsi gastrointestinal
Mekanisme interaksi yang melibatkan absorpsi gastrointestinal dapat terjadi melalui
beberapa cara: (1) secara langsung, sebelum absorpsi; (2) terjadi perubahan pH
cairangastrointestinal; (3) penghambatan transport aktif gastrointestinal; (4) adanya perubahan
flora usus dan (5) efek makanan. Interaksi yang terjadi secara langsung sebelum obat diabsorpsi
contohnya adalah Obat-obat seperti digoksin, siklosporin, asam valproat menjadi inaktif jika
diberikan bersama adsorben (kaolin, charcoal) atau anionic exchange resins (kolestiramin,
kolestipol).
Terjadinya perubahan pH cairan gastrointestinal, misalnya peningkatan pH karena
adanya antasida, penghambat-H, ataupun penghambat pompa-proton akan menurunkan
absorpsi basa-basa lemah (misal, ketokonazol, itrakonazol) dan akan meningkatkan absorpsi
obat-obat asam lemah (misal, glibenklamid, glipizid, tolbutamid). Peningkatan pH cairan
gastrointestinal akan menurunkan absorpsi antibiotika golongan selafosporin seperti sefuroksim
aksetil dan sefpodoksim proksetil
Mekanisme interaksi melalui penghambatan transport aktif gastrointestinal,
misalnya grapefruit juice, yakni suatu inhibitor protein transporter uptake pump di saluran cerna,
akan menurunkan bioavailabilitas beta-bloker dan beberapa antihistamin (misalnya, fexofenadin)
jika diberikan bersama-sama. Pemberian digoksin bersama inhibitor transporter efflux pump
Pglikoprotein (a.l. ketokonazol, amiodarone, quinidin) akan meningkatkan kadar plasma digoksin
sebesar 60-80% dan menyebabkan intoksikasi (blockade jantung derajat-3), menurunkan
ekskresinya lewat empedu, dan menurunkan sekresinya oleh sel-sel tubulus ginjal proksimal.
Interaksi yang terjadipada proses distribusi.
Mekanisme interaksi yang melibatkan proses distribusi terjadi karena pergeseran ikatan
protein plasma. Interaksi obat yang melibatkan proses distribusi akan bermakna klinik jika: (1)
obat indeks memiliki ikatan protein sebesar > 85%, volume distribusi (Vd) obat < 0,15 I/kg dan
memiliki batas keamanan sempit; (2) obat presipitan berikatan dengan albumin pada tempat
ikatan (finding site) yang sama dengan obat indeks, serta kadarnya cukup tinggi untuk
menempati dan menjenuhkan binding-site nya. Contohnya, fenilbutazon dapat menggeser
warfarin (ikatan protein 99%; Vd = 0,14 I/kg) dan tolbutamid (ikatan protein 96%, Vd = 0,12 I/kg)
sehingga kadar plasma warfarin dan tolbutamid bebas meningkat. Selain itu, fenilbutazon juga
menghambat metabolisme warfarin dan tolbutamid.
Interaksi yang terjadi pada proses metabolism obat.
Mekanisme interaksi dapat berupa (1) penghambatan (inhibisi) metabolisme, (2) induksi
metabolisme, dan (3) perubahan aliran darah hepatik.
Hambatan ataupun induksi enzim pada proses metabolisme obat terutama berlaku
terhadap obat-obat atau zat-zat yang merupakan substrat enzim mikrosom hati sitokrom P450
(CYP). Beberapa isoenzim CYP yang penting dalam metabolisme obat, antara lain: CYP2D6
yang dikenal juga sebagai debrisoquin hidroksilase dan merupakan isoenzim CYP pertama
yang diketahui, aktivitasnya dihambat oleh obat-obat seperti kuinidin, paroxetine, terbinafine;
CYP3A yang memetabolisme lebih dari 50% obat-obat yang banyak digunakan dan terdapat
selain di hati juga di usus halus dan ginjal, antara lain dihambat oleh ketokonazol, itrakonazol,
eritromisin, klaritromisin, diltiazem, nefazodon; CYP1A2 merupakan ezim pemetabolis penting di
hati untuk teofilin, kofein, klozapin dan R-warfarin, dihambat oleh obat-obat seperti
siprofloksasin, fluvoksamin.
Interaksi inhibitor CYP dengan substratnya akan menyebabkan peningkatan kadar
plasma atau peningkatan bioavailabilitas sehingga memungkinkan aktivitas substrat meningkat
sampai terjadinya efek samping yang tidak dikehendaki. Berikut ini adalah contoh-contoh
interaksi yang melibatkan inhibitor CYP dengan substratnya:
Interaksi terfenadin, astemizol, cisapride (substrat CYP3A4/5) dengan ketokonazol,
itrakonazol, etitromisin, atau klaritromisin (inhibitor poten CYP3A4/5) akan meningkatkan kadar
substrat, yang menyebabkan toksisitas berupa perpanjangan interval QT yang berakibat
terjadinya aritmia ventrikel (torsades de pointes) yang fatal (cardiac infarct).
Interaksi triazolam, midazolam (substrat) dengan ketokonazol, eritromisin (inhibitor) akan
meningkatkan kadar substrat, meningkatkan bioavailabilitas (AUC) sebesar 12 kali, yang
berakibat efek sedasi obat-obat sedative diatas meningkat dengan jelas.
Induktor atau zat yang menginduksi enzim pemetabolis (CYP) akan meningkatkan sistensis
enzim tersebut. Interaksi induktor CYP dengan substratnya menyebabkan laju kecepatan
metabolisme obat (substrat) meningkat sehingga kadarnya menurun dan efikasi obat akan
menurun; atau sebaliknya, induksi CYP menyebabkan meningkatnya pembentukan metabolit
yang bersifat reaktif sehingga memungkinkan timbulnya risiko toksik. Berikut adalah contoh-
contoh interaksi yang melibatkan inductor CYP dengan substratnya:
Kontraseptik oral (hormon estradiol) dengan deksametason, menyebabkan kadar estradiol
menurun sehingga efikasi kontraseptik oral menurun
Asetaminofen (parasetamol) yang merupakan substrat CYP2E1, dengan adanya inductor enzim
seperti etanol, ENH, fenobarbital yang diberikan secara terus menerus (kronik), menyebabkan
peningkatan metabolism asetaminofen menjadi metabolit reaktif sehingga meningkatkan risiko
terjadinya hepatotoksisitas
Interaksi yang terjadi pada proses ekskresi obat
pada proses ekskresi melalui empedu dan pada sirkulasi enterohepatik, sekresi tubuli ginjal, dan karena
terjadinya perubahan pH urin. Gangguan dalam ekskresi melalui empedu terjadi akibat kompetisi antara
obat dan metabolit obat untuk sistem transport yang sama, contohnya kuinidin menurunkan ekskresi
empedu digoksin, probenesid menurunkan ekskresi empedu rifampisin. Obat-obat tersebut memiliki
system transporter protein yang sama, yaitu P-glikoprotein. Obat-obat yang menghambat P-glikoprotein di
intestine akan meningkatkan bioavailabilitas substrat P-glikoprotein, sedangkan hambatan P-glikoprotein
di ginjal dapat menurunkan ekskresi ginjal substrat. Contoh, itrakonazol, suatu inhibitor P-glikoprotein di
ginjal, akan menurunkan klirens ginjal digoksin (substrat P-glikoprotein) jika diberikan bersamasama,
sehingga kadar plasma digoksin akan meningkat.
Sirkulasi enterohepatik dapat diputus-kan dibebaskan atau dengan mensupresi flora usus yang
menghidrolisis konjugat obat, sehingga obat tidak dapat direabsorpsi. Contoh: kolestiramin,suatu binding
agents-, akan mengikat parent drug (misalnya warfarin, digoksin) sehingga reabsorpsinya terhambat dan
klirens meningkat. Antibiotik berspektrum luas (misalnya rifampisin, neomisin) yang mensupresi flora
usus dapat mengganggu sirkulasi enterohepatik metabolit konjugat obat (misalnya kontrasepsi
oral/hormonal) sehingga konjugat tidak dapat dihidrolisis dan reabsorpsinya terhambat dan berakibat efek
kontrasepsi menurun.
Penghambatan sekresi di tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat
untuk sistem transport yang sama, terutama sistem transport untuk obat bersifat asam dan metabolit yang
juga bersifat asam. Contoh: fenilbutazon dan indometasin menghambat sekresi ke tubuli ginjal obat-obat
diuretik tiazid dan furosemid, sehingga efek diuretiknya menurun; salisilat menghambat sekresi probenesid
ke tubuli ginjal sehingga efek probenesid sebagai urikosurik menurun.
Perubahan pH urin akibat interaksi obat melalui perubahan jumlah reabsorpsi pasif di tubuli
ginjal. Interaksi ini akan bermakna klinik jika: (1) fraksi obat yang diekskresi utuh oleh ginjal cukup besar
(> 30%), dan (2) obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5-10 atau asam lemah dengan pKa 3,0 - 7,5.
Beberapa contoh antara lain: obat bersifat basa lemah (amfetamin, efedrin, fenfluramin, kuinidin) dengan
obat yang mengasamkan urin (NH4C1)) menyebabkan klirens ginjal obat-obat pertama meningkat
sehingga efeknya menurun; obat-obat bersifat asam (salisilat, fenobarbital) dengan obat-obat yang
membasakan urin seperti antasida (mengandung NaHCO3, A1(OH)3, Mg(OH)), akan meningkatkan
klirens obat-obat pertama, sehingga efeknya menurun.
3. Interaksi farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja
atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada
perubahan kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya. Interaksi farmakodinamik umumnya dapat
diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena klasifikasi obat
adalah berdasarkan efek farmakodinamiknya. Selain itu, umumnya kejadian interaksi farmakodinamik
dapat diramalkan sehingga dapat dihindari sebelumnya jika diketahui mekanisme kerja obat.
Contoh interaksi obat pada reseptor yang bersifat antagonistik misalnya: interaksi antara β-bloker
dengan agonis-β2pada penderita asma; interaksi antara penghambat reseptor dopamin (haloperidol,
metoclo-pramid) dengan levodopa pada pasien parkinson. Beberapa contoh interaksi obat secara fisiologik
serta dampaknya antara lain sebagai berikut: interaksi antara aminoglikosida dengan furosemid akan
meningkatkan risiko ototoksik dan nefrotoksik dari aminoglikosida; β=bloker dengan verapamil
menimbulkan gagal jantung, blok AV, dan bradikardi berat; benzodiazepine dengan etanol meningkatkan
depresi susunan saraf pusat (SSP); kombinasi obat-obat trombolitik, antikoagulan dan anti platelet
menyebabkan perdarahan.
Penggunaan diuretik kuat (misal furosemid) yang menyebabkan perubahan keseimbangan cairan
dan elektrolit seperti hipokalemia, dapat meningkatkan toksisitas digitalis jika diberikan bersama-sama.
Pemberian furosemid bersama relaksan otot (misal, d-tubokurarin) menyebabkan paralisis berkepanjangan.
Sebaliknya, penggunaan diuretik hemat kalium (spironolakton, amilorid) bersama dengan penghambat
ACE (kaptopril) menyebabkan hiperkalemia. Kombinasi anti hipertensi dengan obat-obat anti inflamasi
nonsteroid (NSAID) yang menyebabkan retensi garam dan air, terutama pada penggunaan jangka lama,
dapat menurunkan efek antihipertensi.
0
Tambahkan komentar
2.
MAY
29
INTERAKSI OBAT
Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan bersama-sama
Pada prinsipnya interaksi obat dapat menyebabkan dua hal penting. Yang pertama, interaksi obat dapat mengurangi atau bahkan
menghilangkan khasiat obat. Yang kedua, interaksi obat dapat menyebabkan gangguan atau masalah kesehatan yang serius, karena
meningkatnya efek samping dari obat- obat tertentu. Resiko kesehatan dari interaksi obat ini sangat bervariasi, bisa hanya sedikit
menurunkan khasiat obat namun bisa pula fatal.
Obat merupakan bahan kimia yang memungkinkan terjadinya interaksi bila tercampur dengan bahan kimia lain baik yang berupa
makanan, minuman ataupun obat-obatan. Interaksi juga terjadi pada berbagai kondisi kesehatan seperti diabetes, penyakit ginjal
atau tekanan darah tinggi. Dalam hal ini terminologi interaksi obat dikhususkan pada interaksi obat dengan obat.
Dalam interaksi obat-obat, obat yang mempengaruhi disebut presipitan, sedangkan obat yang dipengaruhi disebut objek. Contoh
presipitan adalah aspirin, fenilbutazon dan sulfa. Object drug biasanya bersifat mempunyai kurva dose-response yang curam
(narrow therapeutic margin), dosis toksik letaknya dekat dosis terapi (indeks terapi sempit). Contoh : digoksin, gentamisin,
warfarin, dilantin, obat sitotoksik, kontraseptif oral, dan obat-obat sistem saraf pusat.
Berdasarkan jenis atau bentuknya interaksi obat diklasifikasikan atas:
1. Interaksi secara kimia atau farmasetis
2. Interaksi secara farmakokinetik
3. Interaksi secara fisiologi
4. Interaksi secara farmakodinamik
Interaksi secara kimia / farmasetis terjadi apabila secara fisik atau kimia suatu obat inkompatibel dengan obat lainnya.
Pencampuran obat yang inkompatibel akan mengakibatkan inaktivasi obat. Interaksi ini sering terjadi pada cairan infus yang
mencampurkan berbagai macam obat .
Interaksi secara farmakokinetik terjadi apabila suatu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi, biotransformasi / metabolisme, atau
ekskresi obat lain.
Secara fisiologi interaksi terjadi apabila suatu obat merubah aktivitas obat lain pada lokasi yang terpisah dari tempat aksinya.
Sedangkan interaksi secara farmakodinamik terjadi apabila suatu obat mempengaruhi aktivitas obat lain pada atau dekat sisi
reseptornya.
Interaksi antar obat dapat berakibat menguntungkan atau merugikan. Interaksi yang menguntungkan, misalnya (1)
Penicillin dengan probenesit: probenesit menghambat sekresi penicillin di tubuli ginjal sehingga meningkatkan kadar penicillin
dalam plasma dan dengan demikian meningkatkan efektifitas dalam terapi gonore; (2) Kombinasi obat anti hipertensi:
meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek samping: (3) Kombinasi obat anti kanker: juga meningkatkan efektifitas dan
mengurangi efek samping (4) kombinasi obat anti tuberculosis: memperlambat timbulnya resistansi kuman terhadap obat; (5)
antagonisme efek toksik obat oleh antidotnya masing-masing.
Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektifitas obat
yang berinteraksi, jadi terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit, misalnya glikosida jantung,
antikoagulan, dan obat-obat sitotastik. Demikian juga interaksi yang menyangkut obat-obat yang biasa digunakan atau yang sering
diberikan bersama tentu lebih penting daripada obat yang dipakai sekali-kali.
FAKTOR-FAKTOR PENUNJANG INTERAKSI OBAT
Insidens interaksi obat yang penting dalam klinik sukar diperkirakan karena :
1. Dokumentasinya masih sangat kurang;
2. Seringkali lolos dari pengamatan karena kurangnya pengetahuan para dokter akan mekanisme dan kemungkinan terjadinya
interaksi obat sehingga interaksi obat berupa peningkatan toksisitas seringkali dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah
satu obat sedangkan interaksi berupa penurunan efektifitas seringkali diduga akibat bertambahnya keparahan penyakit; selain itu,
terlalu banyak obat yang saling berinteraksi sehingga sulit untuk diingat;
3. Kejadian atau keparahan interaksi dipengaruhi oleh variasi individual (populasi tertentu lebih peka misalnya penderita lanjut usia
atau yang berpenyakit parah, adanya perbedaan kapasitas metabolisme antar individu ), penyakit tertentu ( terutama gagal ginjal
atau penyakit hati yang parah), dan faktor- faktor lain ( dosis besar, obat ditelan bersama-sama, pemberian kronik).
1. USIA
Fisiologi tubuh, metabolisme dan eliminasi pada bayi, anak dan orang dewasa berbeda.
2. BOBOT BADAN
Perbandingan dosis obat – bobot badan menentukan konsentrasi obat yang mencapai sasaran.
3. KEHAMILAN
Pengosongan lambung↑, metabolisme ↑, ekskresi/filtrasi glomerolus ↑.
4. OBAT DALAM ASI
Ampisilin, eritromisin, kanamisin, linkomisin, kloramfenikol, rifampisin, streptomisin sulfat, tetrasiklin, dll.
5. VARIASI DIURENAL
Hormon kortikosteroid dari korteks adrenal pada pagi hari ↑, mlm hari ↓
6. TOLERANSI
MK : Induksi enzim
7. SUHU TUBUH
Distribusi ekskresi, ikatan, aktivitas enzim
8. KONDISI PATOLOGIK
Gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal.
9. GENETIK
Defisiensi enzim
1. Modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi konsentrasinya di cairan jaringan (interaksi farmakodinamik).
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping
yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada
sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang
berinteraksi
Interaksi farmakodinamik meliputi aditif , potensiasi, sinergisme dan antagonisme. Mekanisme yang terlibat dalam interaksi
farmakodinamik adalah perubahan efek pada jaringan atau reseptor.
2. Mempengaruhi konsentrasi obat B yang mencapai situs aksinya (interaksi farmakokinetik).
a. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena indeks terapi obat B sempit (misalnya, pengurangan sedikit saja efek akan
menyebabkan kehilangan efikasi dan atau peningkatan sedikit saja efek akan menyebabkan toksisitas).
b. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena kurva dosis-respon curam (sehingga perubahan sedikit saja konsentrasi plasma
akan menyebabkan perubahan efek secara substansial).
c. Untuk kebanyakan obat, kondisi ini tidak ditemui, peningkatan yang sedikit besar konsentrasi plasma obat-obat yang relatif tidak
toksik seperti penisilin hampir tidak menyebabkan peningkatan masalah klinis karena batas keamanannya lebar.
d. Sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam dan batas terapi yang sempit, interaksi obat dapat menyebabkan
masalah utama, sebagai contohnya obat antitrombotik, antidisritmik, antiepilepsi, litium, sejumlah antineoplastik dan obat-obat
imunosupresan
Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya
sehingga meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya
Interaksi farmakokinetik ditandai dengan perubahan kadar plasma obat, area di bawah kurva (AUC), onset aksi, waktu paruh dsb
Salah satu faktor yang dapat mengubah respon terhadap obat adalah pemberian bersamaan dengan obat-obat lain. Ada beberapa
mekanisme dimana obat dapat berinteraksi, tetapi kebanyakan dapat dikategorikan secara farmakokinetik (absorpsi, distribusi,
metabolisme, eksresi), farmakodinamik, atau toksisitas kombinasi.
Pengetahuan tentang mekanisme dimana timbulnya interaksi obat yang diberikan sering bermanfaat secara klinik, karena
mekanisme dapat mempengaruhi baik waktu pemberian obat maupun metode interaksi. Beberapa interaksi obat yang penting
timbul akibat dua mekanisme atau lebih.
Akibat interaksi obat dapat terjadi keadaan :
a) Sumasi (adiktif).
b) Sinergisme, contoh : Sulfonamid mencegah bakteri untuk mensintesa dihidrofolat, sedangkan trimetoprim menghambat reduksi
dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Kedua obat ini bila diberikan bersama-sama akan memiliki efek sinergistik yang kuat sebagai
obat anti bakteri.
c) Antagonisme, contoh : Antagonis reseptor beta (beta bloker) mengurangi efektifitas obat-obat bronkhodilator seperti salbutamol
yang merupakan agonis beta reseptor.
d) Potensiasi, contoh :
1) banyak diuretika yang menurunkan kadar kalium plasma, dan yang akan memperkuat efek glikosid jantung yang mempermudah
timbulnya toksisitas glikosid.
2) Penghambat monoamin oksidase meningkatkan jumlah noradrenalin di ujung syaraf adrenergik dan karena itu memperkuat efek
obat-obat seperti efedrin dan tiramin yang bekerja dengan cara melepaskan noradrenalin.
INTERAKSI OBAT BERMAKNA KLINIS
1. OBAT YANG RENTANG TERAPINYA SEMPIT
Contoh: antiepilepsi, digoksin, lithium, siklosporin, warfarin
2. OBAT YANG MEMERLUKAN PENGATURAN DOSIS TELITI
Contoh: antihipertensi
3. PENGINDUKSI ENZIM
Contoh: asap rokok, barbiturat, fenitoin, griseofulvin, karbamzepin, rifampisin.
4. PENGHAMBAT ENZIM
Contoh: amiodaron, diltiazem, eritromisin, ketokonazol, metronidazol, simetidin, siprofloksasin, verapamil
HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN INTERAKSI OBAT
1. Tidak semua obat yang berinteraksi signifikan scr klinik
2. Interaksi tidak selamanya merugikan.
3. Jika dua obat berinteraksi tidak berarti tidak boleh diberikan
4. Interaksi tidak hanya untuk terapi yang berbeda tetapi kadang untuk mengobati penyakit yang sama.
5. Interaksi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pengobatan.
0
Tambahkan komentar
3.
MAY
29
PROTEIN
3. Mengapa jika anak kekurangan protein dapat menyebabkan tubuh menjadi kurus ?
Protein memainkan peran utama dalam memastikan kesehatan tubuh, fungsi utama
protein termasuk membangun dan memperbaiki jaringan tubuh juga mengikat
karbohidrat dan lemak, sehingga jika asupan protein berkurang maka akan menyebabkan
tubuh menjadi kurus khususnya pada anak
4. Bagaimana cara menjaga keseimbangan protein pada penderita kwarshiorkor ?
Cukup dengan mengonsumsi makanan kaya protein yang cukup, normalnya 0,8
g/kg/BB/hari dan untuk pasien yang sudah parah maka diperbaiki asupan nutrisinya
secara parenteral terlebih dahulu.
5. Mengapa kwarshiorkor terjadi kepada anak?
Kata Kwashiorkor sendiri berarti “anak tersingkirkan” dimana anak kekurangan nutrisi
ketika masih kanak-kanak utamanya protein, maka ketika ia tumbuh maka akan sangat
banyak nutrisi yang diperlukan dan karena tidak tercukupnya nutrisi yang diberikan saat
masih kanak-kanak makan akan berdampak pada kwarshiorkor.
6. Mengapa harus menggunakan antibiotik pada penyakit kwarshiorkor dan apakah tidak
menimbulkan kerusakan organ pada anak?
Pemberian antibiotik pada anak jika diperlukan dimana terjadi infeksi didalam tubuh
akibat bakteri yang berasal dari makanan yang dikonsumsi oleh anak dan pada
pemberiannya juga tentu berdasarkan dosis, sehingga jika dosis yang diberikan tepat
maka tidak akan menimbulkan toksisitas dan sebaliknya akan menimbulkan toksisitas
bahkan terjadi kerusakan organ jika dosis yang diberikan tidak tepat
0
Tambahkan komentar
4.
MAY
29
STERILISASI
STERILISASI
Sterilisasi adalah menghilangkan semua bentuk kehidupan, baik bentuk patogen, non patogen,
vegetatif, non vegetatif dari suatu objek atau material.. Suatu bahan dinyatakan steril bila sama sekali
bebas dari mikroorganisme hidup yang patogen maupun yang tidak, baik dalam bentuk vegetatif maupun
dalam bentuk tidak vegetatif (spora).
Sterilisasi adalah proses yang dirancang untuk menciptakan keadaan steril. Secara tradisional keadaan
steril adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai akibat penghancuran dan penghilangan semua
mikroorganisme hidup.
Ada 3 alasan utama untuk melakukan sterilisasi
1. Untuk mencegah transmisi penyakit
2. Untuk mencegah pembusukan material oleh mikroorganisme
3. Untuk mencegah kompetisi nutrien dalam media pertumbuhan sehingga memungkinkan kultur
organisme spesifik berbiak untuk keperluan sendiri (seperti produksi ragi) atau untuk metabolitnya
(seperti untuk memproduksi minuman dan antibiotika).
1. Panas
a. Inaktivasi virus dengan panas
Contohnya seperti penganjuran pada semua alat suntik seperti jarum dan instrument lain yang telah kena
kontak dengan darah agar di autoklaf pada suhu 121 oC selama 20 menit atau dipanaskan dalam oven
pada suhu 180oC selama 1 jam.
2. Pengeringan ( Desikasi )
3. Radiasi
Semua bentuk radiasi dapat merusak mikroorganisme, yang menyebabkan kematian atau mutasi. Dua
kelompok radiasi yang telah digunakan untuk mengendalika mikroorganisme adalah radiasi pengionan
(sinar–X, sinar gamma dan sinar katode) dan sinar ultraviolet.
a. Sinar pengion
b. Cahaya Ultraviolet
MEKANISME STERILISASI
Sterilisasi Secara Kimia, Berdasarkan mekanisme kerjanya zat anti-mikroba, maka sterilisasi kimiawi bisa
diklasifikasikan atas 3 golongan, yaitu:
1. Golongan zat yang menyebabkan kerusakan membran sel.
2. Golongan zat yang menyebabkan denaturasi protein.
3. Golongan zat yang mampu mengubah grup protein dan asam amino yang fungsional
Sterilisasi Gas digunakan dalam pemaparan gas atau uap untuk membunuh mikroorganisme dan
sporanya. Meskipun gas dengan cepat berpenetrasi ke dalam pori dan serbuk padat, sterilisasi adalah
fenomena permukaan dan mikroorganisme yang terkristal akan dibunuh.
Gas yang biasa digunakan adalah etilen oksida dalam bentuk murni atau campuran dengan gas
inert lainnya. Gas ini sangat mudah menguap dan sangat mudah terbakar. Merupakan agen alkilasi yang
menyebabkan dekstruksi mikroorganisme termasuk sel-sel spora dan vegetatif. Sterilisasi dilakukan
dalam ruang atau chamber sterilisasi.
Sterilisasi menghasilkan bahan toksik seperti etilen klorohidrin yang menghasilkan ion klorida
dalam bahan-bahan. Digunakan untuk sterilisasi ala-alat medis dan baju-baju medis, bahan-bahan seperti
pipet sekali pakai dan cawan petri yang digunakan dalam laboratorium mikrobiologi. Residu etilen oksida
adalah bahan yang toksik yang harus dihilangkan dari bahan-bahan yang disterilkan setelah proses
sterilisasi, yang dapat dilakukan dengan mengubah suhu lebih tinggi dari suhu kamar. Juga perlu
dilakukan perlindungan terhadap personil dari efek berbahaya gas ini.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sterilisasi ini termasuk kelembaban, konsentrasi gas, suhu
dan distribusi gas dalam chamber pengsterilan. Penghancuran bakteri tergantung pada adanya
kelembaban, gas dan suhu dalam bahan pengemas, penetrasi melalui bahan pengemas, pada pengemas
pertama atau kedua, harus dilakukan, persyaratan desain khusus pada bahan pengemas.
Mekanisme aksi etilen oksida dianggap menghasilkan efek letal
terhadap mikroorganisme dengan mengalkilasi metabolit esensial yang terutama mempengaruhi proses
reproduksi. Alkilasi ini barangkali terjadi dengan menghilangkan hidrogen aktif pada gugus sulfhidril,
amina, karboksil atau hidroksil dengan suatu radikal hidroksi etil metabolit yang tidak diubah dengan
tidak tersedia bagi mikroorganisme sehingga mikroorganisme ini mati tanpa reproduksi.
0
Tambahkan komentar
5.
MAY
29
SEDIAAN STERIL
Yang termasuk dalam sediaan steril antara lain sediaan parenteral volum besar, sediaan
parenteral volum kecil (injeksi), sediaan mata (tetes/salep mata)
INDIKASI UMUM
Berdasarkan penggunaan
a. Injeksi
Suatu larutan obat dalam pembawa yang cocok dengan atau tanpa bahan tambahan yang
dimaksudkan untuk penggunaan parenteral
b. Cairan Infus
Merupakan injeksi khusus karena cara pemberiannya dan volumenya besar Berguna untuk :
1. Nutrisi dasar, contoh : infus dekstrosa
2. Perbaikan keseimbangan elektrolit, contoh : infus ringer mengandung ion Na+, K+, Ca2+
dan Cl-
3. Pengganti cairan tubuh, contoh iInfus dekstrosa dan NaCl
4. Membantu diagnosis, contoh untuk penentuan fungsi ginjal : injeksi mannitol
c. Radiopharmaceutical
Suatu injeksi yang mengandung bahan radioaktif. Berfungsi untuk diagnosis dan pengobatan
dalam jaringan organ. Pembuatan dan penggunaannya berbeda dengan bahan obat biasa (non
radioaktif)
e. Larutan Irigasi
Persyaratan seperti larutan parenteral
Dikemas dalam wadah volume besar dengan tutup dapat berputar
Digunakan untuk merendam luka/mencuci luka, sayatan bedah atau jaringan/organ tubuh
Diberi label sama seperti injeksi.
Contoh : Sodium chlorida untuk irigasi, Ringers untuk irigasi, Steril water untuk irigasi
Label/etiket : “bukan untuk obat suntik”
f. Larutan Dialisis
Untuk menghilangkan senyawa-senyawa toksis yang secara normal disekresikan oleh ginjal.
Pada kasus keracunan atau gagal ginjal atau pada pasien yang menunggu transplantasi ginjal,
dialysis adalah prosedur darurat untuk menyelamatkan hidup. Dialisis adalah proses, dimana
senyawa-senyawa dapat dipisahkan satu dengan lainnya dalam larutan berdasarkan perbedaan
kemampuan berdifusi lewat membran. Larutan yang tersedia di perdagangan mengandung
dekstrosa sebagai sumber utama kalori, vitamin, mineral, elektrolit, dan asam amino/peptida
sebagai sumber nitrogen.
g. Bahan Diagnostik
Diagnostik merupakan salah satu metode pemeriksaan dalam ilmu pengobatan pencegahan
(preventive medicine) penyakit infeksi, didasarkan atas reaksi antara suatu antibodi dengan
antigen yang bersangkutan. Untuk ini digunakan suntikan intrakutan diatas kulit (imunity
skin test) dengan suatu antigen dengan kadar serendah2nya yang masih memungkinkan
adanya reaksi.
Reaksi positip dalam bentuk semacam benjolan diatas kulit, menunjukkan bahwa tubuh sudah
mengandung antibodi tertentu. _ Hasil negatip, berarti tubuh tidak memiliki antibodi tsb, dlm
keadaan ini orang harus diberi vaksin untuk mengebalkan tubuh secara aktif
Reaksi TUBERKULIN, merupakan salah satu tes kekebalan yg terkenal untuk mendiagnosa
penyakit tuberculose (Mantoux skin test )
Zat-zat yang diberikan kepada pasien secara oral/parenteral untuk menentukan keadaan
fungsional dari suatu organ tubuh atau untuk membantu dokter menentukan diagnosa
penyakit dan juga digunakan dalam reaksi imunisasi
Contoh : Injeksi Evans Blue, yang digunakan dalam penentuan volume darah
k. Antikoagulan
Larutan untuk mencegah pembekuan darah, butuh syarat seperti injeksi dan bebas pirogen.
Contoh : Larutan Natrium sitrat Steril, ACDP, Heparin, ACD
l. Sediaan vaksin
Merupakan produk biologi (pembantu diagnostik) untuk tujuan mencegah penyakit dan
pengobatan
KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN
Keuntungan sediaan parenteral:
1. Aksi obat lebih cepat
2. Cocok untuk obat inaktif jika diberikan oral
3. Obat yang mengiritasi bila diberikasn secara oral
4. Kondisi pasien (pingsan, dehidrasi) sehingga tidak memungkinkan obat diberikan secar oral.
5. Dapat digunakan secara depo terapi.
6. Kemurniaan dan takaran zat berkhasiat lebih terjamin.
Kerugian sediaan parenteral:
1. Karena bekerja cepat, jika terjadi kekeliruan sukaar dilakukan pencegahan.
2. Secara ekonomi lebih mahal dibandingkan sediaan per oral
3. Risiko, kalau alergi atau salah obat maka tidak bisa langsung dighilangkan
4. Cara pemberian lebih sukar, butuh personil khusus, misal di rumah sakit oleh dokter atau
perawat.
Alasan obat dibuat sediaan parenteral:
1. Kadar obat sampai ke target
Jumlah obat yang sampai ke jaringan target sesuai dengan jumlah yang diinginkan untuk
terapi.
2. Parameter farmakologi
Meliputi waktu paruh, C maks., onset.
3. Jaminan dosis dan kepatuhan
Terutama untuk pasien-pasien rawat jalan
4. Efek biologis
Efek biologis tidak dapat dicapai karena obat tidak bisa dipakai secara oral. Contoh:
amphoterin B (absorbsi jelek) dan insulin (rusak oleh asam lambung).
5. Alternatif rute, jika tidak bisa lewat oral.
6. Dikehendaki efek lokal dengan menghindari efek atau reaksi toksik sistemik.
Contoh: methotreksat, penggunaan secara intratekal untuk pengobatan leukimia.
7. Kondisi pasien
Untuk pasien-pasien yang tidak saar, tidak kooperatif, atau tidak bisa dikontrol
8. Inbalance (cairan badan dan elektrolit)
Contoh: muntaber serius, sehingga kekurangan elektrolit yang penting dan segera harus
dikembalikan
9. Efek lokal yang diinginkan. Contoh: anestesi lokal
3. Pemberian Intramuskuler
Intramuskuler artinya diantara jaringan otot. Cara ini keceparan absorbsinya terhitung
nomor 2 sesudah intravena. Jarum suntik ditusukkan langsung pada serabut otot yang
letaknya dibawah lapisan subkutis. Penyuntikan dapat di pinggul, lengan bagian atas. Volume
injeksi 1 sampai 3 ml dengan batas sampai 10 ml (PTM—volume injeksi tetap dijaga kecil,
biasanya tidak lebih dari 2 ml, jarum suntik digunakan 1 samai 1 ½ inci. Problem klinik yang
biasa terjadi adalah kerusakan otot atau syaraf, terutama apabila ada kesalahan dalam teknik
pemberian (ini penting bagi praktisi yang berhak menyuntik). Yang perlu diperhatikan bagi
Farmasis anatara lain bentuk sediaan yang dapat diberikan intramuskuler, yaitu bentuk
larutan emulsi tipe m/a atau a/m, suspensi dalam minyak atau suspensi baru dari puder steril.
Pemberian intramuskuler memberikan efek “depot” (lepas lambat), puncak konsentrasi dalam
darah dicapai setelah 1-2 jam. Faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari jaringan otot
(im) anatar lain : rheologi produk, konsentrasi dan ukuran partikel obat dalam pembawa,
bahan pembawa, volume injeksi, tonisitas produk dan bentuk fisik dari produk. Persyaratan
pH sebaiknya diperhatikan, karena masalah iritasi, tetapi dapat dibuat pH antara 3-5 kalau
bentuk suspensi ukuran partikel kurang
Pemberian obat intramuscular menghasilkan efek obat yang kurang cepat, tetapi biasanya
efek berlangsung lebih lama dari yang dihasilkan oleh pemberian lewat IV.
Syarat pemberian obat secara IM :
Dapat berupa larutan, air, minyak, atau suspensi. Biasanya dalam bentuk air lebih cepat
diabsorbsi dari pada bentuk suspensi dan minyak.
Dilakukan dengan cara memasukkan ke dalam otot rangka
Tempat penyuntikan sebaiknya sejauh mungkin dari syaraf- syaraf utama dan pembuluh-
pembuluh darah utama.
Pada orang dewasa, tempat yang paling sering digunakan utnuk suntik IM, adalah seperempat
bagian atas luar otot gluteus max. pada bayi, daerah glutel sempit dan komponen utama
adalah lemak, Bukan otot
Tempat suntikan lebih baik dibagian atas atau bawah deltoid, karena lebih jauh dari syaraf
radial.
Volume yang umum diberikan IM, sebaiknya dibatasi maximal 5 mili, bila disuntikkan di
daerah glutel dan 2 ml bila di deltoid.
4. Pemberian intrathekal-intraspinal
Penyuntikan langsung ke dalam cairan serebrospinal pada beberapa temapt. Cara ini
berbeda dengan cara spinal anastesi. Kedua pemberian ini mensyaratkan sediaan dengan
kemurniaannya yang sangat tinggi, karena daerah ini ada barier (sawar) darah sehingga
daerahnya tertutup.
Sediaan intraspinal anastesi biasanya dibuat hiperbarik yaitu cairannya mempunyai
tekanan barik lebih tinggi dari tekanan barometer. Cairan sediaan akan bergerak turun karena
gravitasi, oleh sebab itu harus pada posisi pasien tegak.
5. Intraperitoneal
Penyuntikan langsung ke dalam rongga perut, dimana obat secara cepat diabsorbsi.
Sediaan intraperitoneal dapat juga diberikan secara intraspinal, im,sc, dan intradermal
6. Intradermal
Cara penyuntikan melalui lapisan kulit superficial, tetapi volume pemberian lebih kecil
dari sc, absorbsinya sangat lambat sehingga onset yang dapat dicapai sangat lambat.
7. Intratekal
Digunakan khusus untuk bahan obat yang akan berefek pada cairan serebrospinal.
Digunakan untuk infeksi ssp seperti meningitis, juga untuk anestesi spinal. Intratekal
umumnya diinjeksikan secara langsung pada lumbar spinal atau ventrikel sehingga sediaan
dapat berpenetrasi masuk ke dalam daerah yang berkenaan langsung pada SSP.
0
Tambahkan komentar
6.
MAY
29
1.Isotonis
Jika suatu larutan konsentrasinya sama besar dengan konsentrasi dalam sel darah
merah, sehingga tidak terjadi pertukaran cairan di antara keduanya, maka larutan
dikatakan isotonis ( ekuivalen dengan larutan 0,9% NaCl ).
2.Isoosmotik
Jika suatu larutan memiliki tekanan osmose sama dengan tekanan osmose serum
darah, maka larutan dikatakan isoosmotik ( 0,9% NaCl, 154 mmol Na+ dan 154 mmol
Cl- per liter = 308 mmol per liter, tekanan osmose 6,86 ). Pengukuran menggunakan
alat osmometer dengan kadar mol zat per liter larutan.
3.Hipotonis
Turunnya titik beku kecil, yaitu tekanan osmosenya lebih rendah dari serum darah,
sehingga menyebabkna air akan melintasi membrane sel darah merah yang
semipermeabel memperbesar volume sel darah merah dan menyebabkan
peningkatan tekanan dalam sel. Tekanan yang lebih besar menyebabkan pecahnya
sel – sel darah merah. Peristiwa demikian disebut hemolisa.
4.Hipertonis
Turunnya titik beku besar, yaitu tekanan osmosenya lebih tinggi dari serum darah,
sehingga menyebabkan air keluar dari sel darah merah melintasi membran
semipermeabel dan mengakibatkan terjadinya penciutan sel – sel darah merah.
Peristiwa demikian disebut Plasmolisa.
Bahan pembantu mengatur tonisitas adalah : NaCl, Glukosa, Sukrosa, KNO 3 dan
NaNO3
1
Lihat komentar
7.
MAY
29
1. Kejernihan
Kejernihan adalah suatu batasan yang relatif, yang artinya sangat dipengaruhi oleh
penilaian subjektif dari pengamat. Tujuan dilakukan uji kejernihan ini adalah untuk
mengetahui kejernihan dari sediaan yang dibuat. Syarat kejernihan yaitu sediaan
larutan ( kecuali suspensi dan emulsi) adalah tidak ada zat yang terdispersi dalam
larutan jernih
2. Partikel
Sediaan steril harus bebas dari partikel melayang karena dapat menyebabkan
kontaminasi dan membawa mikroorganisme.
Partikel asing tersebut merupakan partikel-partikel yang tidak larut yang dapat
berasal dari larutan dan zat kimia yang terkandung, lingkungan, peralatan, personal,
maupun dari wadah. Partikel asing tersebut dapat menyebabkan pembentukan
granuloma patologis dalam organ vital tubuh. Untuk mengetahui keberadaan partikel
asing dilakukan dengan menerawang sediaan pada sumber cahaya. Tujuan dari uji
partikel asing ini adalah agar mengetahui apakah ada partikel dalam sediaan. Dari
hasil uji ini mensyaratkan bahwa tidak terdapat partikel asing dalam sediaan.
Pada waktu pembuatan sediaan steril kemungkinan jika masih terdapat partikel asing
bisa terjadi karena sewaktu penyaringan masing ada partikel yang lolos dari saringan
3. Tipe suspense
Untuk sediaan steril tipe suspense harus memenuhi persyaratan yang berlaku untuk
suspensi steril
Suspensi optalmik merupakan sediaan cair steril yang mengandung partikel-partikel
yang terdispersi dalam cairan pembawa yang ditujukkan untuk penggunaan pada
mata.
Suspensi untuk injeksi merupakan sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair
yang sesuai dan tidak disuntikan secara intravena atau kedalam saluran spinal.
Sedangkan suspensi untuk injeksi kontinyu merupakan sediaan padat kering dengan
bahan pembawa yang sesuai untuk membentuk larutan yang memenuhi semua
persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan bahan pembawa yang sesuai.
Suspensi steril berlaku sebagai obat yang hipertonis, mengambil cairan dari jaringan
sekitar. Sehingga akhirnya bisa larut. Walau sudah larut semua, cairan tetap sebagai
hipertonis
Persyaratan fisik lainnya :
- Stabil.
Artinya sediaan tidak mengalami degradasi fisika (ataupun kimia). Misal jika bentuk
sediaan larutan maka sediaan tersebut tetap berada dalam bentuk larutan (bukan
suspensi). Sifat stabil ini berkaitan dengan formulasi. Ketidakstabilan dapat dilihat dari:
a.terjadi perubahan warna
Contoh: larutan adrenalin yang awalnya berwarna jernih karena teroksidasi akan
menjadi merah karena terbentuk adenokrom.
b.terjadi pengendapan
Contoh: injeksi aminophilin dibuat dengan air bebas CO2, karena jika tidak bebas
CO2 maka akan terbentuk theopilin yang kelarutannya kecil dalam air sehingga akan
mengendap. Akibatnya dosis menjadi berkurang.
4. Tonisitas
• Tonisitas menggambarkan tekanan osmose yang diberikan oleh suatu larutan (zat
padat yang terlarut di dalamnya)
• Suatu larutan dapat bersifat isotonis, hipotonis, atau hipertonis
• NaCl 0,9 % sebagai larutan pengisotoni
• Tidak semua sediaan steril harus isotonis, tapi tidak boleh hipotonis, beberapa boleh
hipertonis
Tonisitas laruan obat suntik :see all...