Disusun Oleh:
Zulafrika
201551306
A. Latar Belakang
Sediaan farmasi steril merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi yang
banyak digunakan terutama pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Apabila obat
tidak dapat diminum melalui oral karena ketidak mampuan untukmenelan,
menurunnya kesadaran, inaktifasi obat oleh cairan lambung atau ada tujuan
untukmeningkatkan efektivitas obat, maka dapat dipilih rute parenteral.
Pengobatan parenteral diberikan secara interdermal (di bawah kulit), subkutan
(ke dalam jaringan lemak), intramuskular (di dalam otot), dan intravena (di
dalam vena).Sediaan ini sangat membantu pada saat pasien dioperasi, diinfus,
disuntik, mempunyai luka terbuka yang harus diobati dan sebagainya.
Dalam keadaan tersebut sangat dibutuhkan kondisi steril karena
pengobatannya lansung berhubungan dengan sel tubuh, lapisan mukosa organ
tubuh dan dimasukan langsung ke dalam cairan atau rongga tubuh, hai ini sangat
memungkinkan terjadinya kontaminasi dan dalam hal ini dibutuhkan bentuk
sediaan obat yang steril. Bentuk sediaan steril ini disamping persyaratan steril,
dibutuhkan kondisi lainnya seperti harus isotonis, isohidris dan beberapa
diantaranya harus bebas pirogen (Rahman & Djide, 2009).
Proses pembuatan sediaan steril sama dengan proses pembuatan sediaan non
steril, tetapi pada pembuatan sediaan steril dibutuhkan pemahaman tentang proses
sterilisasi terutama yang berkaitan dengan stabilitas bahan aktif maupun zat
tambahan dalam formulasi. Dengan demikian dalam pembuatan sediaan steril,
bukan hanya pengetahuan tentang formulasi, bentuk sediaan, tetapi juga dibutuhkan
pengetahuan tentang sifat fisika kimia sehingga dihasilkan sediaan steril yang
memenuhi persyaratan (Rahman & Djide, 2009).
Salah satu sediaan farmasi steril adalah sediaan parenteral yang digunakan
per injectionem dan per infus (Lukas, 2006; Rahman & Djide, 2009). Pada
umumnya pemberian dengan cara parenteral dilakukan bila diinginkan kerja obat
yang cepat seperti pada keadaan gawat, bila penderita tidak dapat bekerja sama
dengan baik, tidak sadar, tidak dapat atau tidak tahan menerima pengobatan melalui
mulut (oral) atau bila obat itu sendiri tidak efektif dengan cara pemberian lain
(Ansel, 1989).
B. Tujuan
- Dapat mengetahui definisi sediaan parenteral
- Dapat mengetahui rute pemberian obat secara parenteral
- Dapat mengetahui profil farmakokinetik sediaan parenteral
- Dapat mengetahui keuntungan dan kerugian sediaan parenteral
C. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat dengan menambah
wawasan pembaca mengenai sediaan parenteral, rute pemberiaan obat sediaan
parenteral, profil farmakokinetika sediaan parenteral, dan keuntungan serta
kerugian dari sediaan parenteral.
BAB 2
ISI
A. Definisi
Parenteral berasal dai kata Yunani, para dan enteron yang berarti di luar
usus halus dan merupakan rute pemberian lain dari rute oral. Istilah parenteral
seperti yang umum digunakan menunjukan pemberian lewat suntikan seperti
berbagai sediaan yang diberikan lewat suntikan (Ansel, 1989).
Sediaan parenteral adalah bentuk sediaan yang digunakan untuk injeksi atau
sediaan untuk infus. Injeksi adalah pemakaian dengan cara menyemprotkan larutan
atau suspensi ke dalam tubuh untuk tujuan terapeutik atau diagnostik. Injeksi dapat
dilakukan langsung ke dalam alairan darah, ke dalam jaringan atau organ. Asal
kata injeksi dai injectio yang berarti memasukan ke dalam, sedangkan infusio
berarti penuangan ke dalam (Lukas, 2006).
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, suspensi atau emulsi atau serbuk
yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang
disuntikan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau selaput lendir. Infus
intravena adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen dan
sedapat mungkin dibuat isotonis terhadap darah, disuntikan langsung ke dalam
vena dalam volume relatif banyak (Depkes R.I, 1979). Dalam Farmakope
Indonesia Ed. IV (Depkes R.I, 1995), yang dimaksud dengan larutan parenteral
volume besar adalah injeksi dosis tunggal untuk intravena dan dikemas dalam
wadah bertanda lebih dari 100 ml. Injeksi volume kecil adalah injeksi yang
dikemas dalam wadah bertanda volume 100 ml atau kurang.
Sediaan steril untuk kegunaan parenteral digolongkan menjadi 5 jenis yang
berbeda yaitu (Depkes R.I 1995; Rahman & Djide, 2009) :
1. Obat atau larutan atau emulsi yang digunakan untuk injeksi, di tandai dengan
nama Injeksi....... Contoh. Injeksi Vitamin C
2. Sediaan padat kering atau cairan pekat tidak mengandung dapar, pengencer
atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah penambahan
pelarut yang sesuai memenuhi persyaratan injeksi, dan dapat dibedakan dari
nama bentuknya,......Steril. Contoh Inj. Dehidrostreptomisin Sulfat Steril.
3. Sediaan seperti tertera pada poin 2 tetapi mengandung satu atau lebih dapar,
penegncer atau bahan tambahan lain, dan dapat dibedakan dari nama
bentuknya,......untuk Injeksi. Contoh Inj. Penicillin Oil untuk Injeksi.
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak
disuntikan secara intravena atau ke dalam saluran spinal, dan dapat dibedakan
dari nama bentuknya, Suspensi........Steril. Contoh.Inj. Suspensi Hidrokortison
Asetat Steril.
5. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan
yang memenuhi semua persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan
bahan pembawa yang sesuai dan dapat dibedakan dari nama
bentuknya,.......Steril untuk Suspensi. Contoh Inj. Prokain Penisilin G steril
untuk suspensi.
Sediaan Parenteral Volume Besar harus steril dan bebas pirogen karena :
Sediaan diinjeksikan langsung kedalam aliran darah (i.v).
Sediaan ditumpahkan pada tubuh dan daerah gigi (larutan penguras).
Sediaan langsung berhubungan dengan darah (hemofiltrasi).
Sediaan langsung ke dalam tubuh (dialisa peritoneal).
Bebas dari bahan pertikulat jernih, karena dapat menyebabkan emboli.
Dikemas dalam wadah dosis tunggal
Tidak mengadung bahan baktersid karena volume cairan terlalu besar.
Isotonis dan isohidris
D. Dasar-Dasar Formulasi
1. Pengaruh Cara Suntik (Rute pemberian)
2. Pengaruh Pembawa
Zat Pembawa berair yaitu Air untuk injeksi digunakan sebagai zat pembawa
untuk injeksi berair. Injeksi Natrium Klorida, Injeksi Natrium klorida
majemuk, injeksi Glukosa, campuran Gliserol dan etanol atau zat pembawa
berair lainnya dapat juga digunakan. Zat pembawa berair harus memenuhi
syarat Uji Pirogenitas. Air ini dapat dibuat dengan metoda destilasi atau dengan
metoda osmosis terbalik. Zat pembawa tidak berair umumnya digunakan
Minyak untuk Injeksi. Minyak untuk injeksi atau olea pro injectione, meliputi
minyak lemak, ester asam lemak tinggi baik alam ataupun sintetis.
3. Pengaruh Eksipien
a. Zat Pendapar
Perubahan pH sediaan dapat terjadi karena reaksi penguraian zat, pengaruh
wadah gelas/plastik dan pengaruh gas serta tekanan terhadap zat khasiat
sehingga diperlukan pendapar yang dapat mempertahankan pH sediaan.
pH yang baik adalah kapasitas dapar yang dimilikinya memungkinkan
penyimpanan lama dan darah dapat menyesuaikan diri serta pH ideal = 7,4
sesuai pH darah. Bila pH > 9 terjadi nekrosis pada jaringan dan bila pH <
3 sangat sakit waktu disuntikkan.
b. Pengaruh penambahan anti oksidan
Zat khasiat dapat terurai akibat oksidasi sehingga untuk mengatasinya
dapat ditambahkan suatu anti oksidan yaitu zat yang mempunyai potensial
oksidasi lebih rendah dari zat khasiatnya
c. Pengaruh penambahan anti mikroba
Anti mikroba perlu ditambahkan untuk sediaan parenteral yang dipakai
berkali-kali (dosis terbagi). Kadang-kadang ditambahkan pada dosis
tunggal yang tidak ada sterilisasi akhir
d. Pengaruh Tonisitas
Definisi isotonis adalah larutan parenteral yang mempunyai tekanan
osmosa sama dengan plasma darah. Bila larutan parenteral mempunyai
tekanan osmosa lebih rendah dari plasma darah disebut hipotonis
sedangkan bila tekanan osmosanya lebih tinggi disebut hipertonis. Untuk
mengurangi kerusakan jaringan dan iritasi serta mencegah hemolisa maka
sediaan parenteral sebaiknya harus isotonis. Sediaan yang isotonis ini tidak
selalu dapat dicapai mengingat kadang-kadang diperlukan zat khasiat
dengan dosis tinggi untuk mendapatkan efek farmakologi sehingga
isotonis terlampaui (larutan sedikit hipertonis)
E. Rute Pemberian
Sediaan parenteral bisa diberikan dalam berbagai rute. Lima rute yang
paling umum adalah intravena, intramuskular, subkutan, intrakutan dan intraspinal
(Lachman dkk, 1994). Cara pemberian lainnya meliputi intraperitoneal dan
intraartikular (Lukas, 2006). Rute pemberian yang dimaksud mempunyai efek
nyata terhadap formulasi suatu produk parenteral. Volume di mana suatu dosis obat
harus dimasukan merupakan faktor untuk dipertimbangkan (Lachman dkk, 1994).
1) Subkutan (s.c) atau dibawah kulit.
a. Tempat penyuntikan dibagian tubuh yang sedikit lemak dan masuk ke
jaringan di bawah kulit.
b. Volume tidak lebih dari 1 ml
c. Larutan sebaiknya isotonis dan isohidri. Larutan yang sangat meyimpang
isotonisnya dapat menimbulkan rasa nyeri atau nekrosis dan absorpsi zat
aktif tidak optimal
d. Onset (mula kerja) obat berbentuk larutan dalam air lebih cepat daripada
sediaan suspensi. Determinan kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan
tempat terjadinya penyerapan.
e. Zat aktif bekerja lambat daripada secara i.v (Lukas, 2006)
2) Intramuskular (i.m)
a. Disuntikan ke dalam jaringan otot, umumnya di otot pantat atau paha.
b. Volume sediaan umumnya 2 ml
c. Sediaan berupa larutan, suspensi atau emulsi. Jaringan otot mentoleransi
minyak dan partikel-partikel yang tersuspensi dengan baik, di dalam minyak
sehingga jaringan otot tersebut merupakan rute yang cocok untuk minyak
dan suspensi dalam minyak. Bentuk larutan sebaiknya isotonis.
d. Onset (mula kerja) bervariasi tergantung besar kecilnya partikel.
e. Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta muda terakumulasi.
Pemberian suatu obat ke dalam jaringan otot akan menghasilkan
pengumpulan produk pada tempat injeksi. Dari depo ini, obat dilepaskan
pada suatu laju yang sebagian besar ditentukan oleh karakteristik formula
tersebut. Larutan dalam air lebih cepat diabsorpsi daripada minyak. (Lukas,
2006; Lachman dkk, 1994).
3) Intravena (i.v)
a. Disuntikan ke dalam pembuluh darah i.v
b. Volume relatif lebih besar. Volume kecil (< 5 ml) sebaiknya isotonis dan
isohidri, sedangkan volume besar (infus) harus isotonis dan isohidris.
c. Tidak melalui fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, onset
(mula kerja) segera, bioavaibilitas 100% (Lukas, 2006)
4) Intraspinal, Intraperitoneal, Intraartikular dan Intradermal
a. Intraspinal, disuntikan ke dalam susmsum tulang belakang. Larutan harus
isotonik dan isohidris, karena sirkulasi dari cairan serebrospinal lambat dan
gangguan tekanan osmotik dengan cepat menyebabkan sakit kepala dan
muntah (Lukas, 2006; Lachman dkk, 1994).
b. Peritoneal (i.p), yaitu kateter dimasukan dalam perut dengan operasi untuk
memasukan cairan steril dialisis. Larutan harus hipertonis, zat aktif
diabsorpsi dengan cepat dan volume diberikan dalam jumlah besar (1 atau
2 liter) (Lukas, 2006).
c. Intraartikular, yaitu disuntikan ke dalam sendi, larutan isotonis dan isohidris
(Lukas, 2006)Intradermal/intrakutan (i.c), disuntikan ke dalam kulit.
Umumnya diberikan untuk tujuan diagnostik, desensitasi (alergi) atau
imunisasi, larutan sebaiknya isotonis dan isohidris karena larutan yang
nonisotonik dapat memberikan tanda-tanda iritasi palsu (Lukas, 2006;
Lachman dkk, 1994).
Hubungan antara nasib obat dalam tubuh dengan rute pemberiannya (Lukas,
2006; Rahman & Djide, 2009).
1. Intravena (i.v)
Obat langsung masuk ke sirkulasi sistemik dan didistribusikan ke seluruh
tubuh. Konsentrasi obat dalam plasma ditentukan oleh kecepatan
biotransformasi dan kecepatan ekskresi/eliminasi obat dari tubuh. Cara
pemberian intravena sebagai berikut :
a. Secara bolus, injeksi diberikan secara langsung dengan kadar tinggi dan
pada waktu yang pendek.
b. Secara intermitant infus, injeksi i.v diberikan melalui infus dengan periode
pemberian 20 menit sampai 4 jam dalam sehari.
c. Secara continous infus, injeksi i.v melalui infus dengan waktu pemberian
lebih dari 6 jam sampai 24 jam.
2. Intramuskular (i.m)
a. Obat yang berbahaya bila diberikan secara intravena, maka diberikan
secara i.m.
b. Respon terhadap obat yang diberikan secara i.m tidak secepat i.v tetapi
secara kuantitatif hasil absorpsi i.m baik, biovaibilitas mencapai 80-100%.
c. Larutan obat dalam air lebih cepat diabsorpsi daripada bentuk suspensi
atau larutan dalam minyak.
d. Kecepatan absorpsi tergantung pada vaskularitas tempat suntikan dengan
kecepatan darah antara 0,02-0,07 ml/menit.
e. Molekul kecil langsung diabsorpsi ke dalam kapiler. Molekul besar masuk
ke sirkulasi melalui saluran getah bening.
f. Obat tertentu (ampisilin, klodiazepoksida, diazepam) tidak terabsorpsi
secara sempurna karena terjadi presipitasi yang menyebabkan redisolusi
sangat lambat atau terjadinya fagositosis partikel obat.
3. Subkutan (s.c)
a. Faktor yang mempengaruhi absorpsi secara s.c sama dengan i.m. Namun
karena kecepatan peredaran darah pada s.c dan sirkulasi regional kurang,
maka kecepatan absorpsi obat kurang pula.
b. Absorpsi dapat diperlambat dengan penambahan Adrenalin, yang
menyebabkan konstriksi pembulu darah, sehingga difusi obat tertahan atau
diperlambat.
c. Absorpsi obat dapat dipercepat dengan penambahan hyaluronidase, suatu
enzim yang memecah mukopolisakharida dan matriks jaringan yang
menyebabkan penyebaran dipercepat.
4. Intradermal (i.c)
a. Obat-obat tertentu diberikan secara i.c di bawah epidermis, lokasi biasanya
pada bagian lengan bawah.
b. Volume yang diberikan tidak lebih dari 0,2 ml karena volume jaringan
kecil dan kompak, absorpsi lambat karena kurangnya pembulu darah
A. Kesimpulan
Sediaan parenteral yaitu sediaan yang digunakan tanpa melalui mulut atau
dapat dikatakan obat dimasukkan de dalam tubuh selain saluran cerna (langsung ke
pembuluh darah) sehingga memperoleh efek yang cepat dan langsung sampai
sasaran. Injeksi dan infus termasuk semua bentuk obat yang digunakan secara
parentral. Sediaan parental dibagi menjadi 2 macam yaitu : sediaan parenteral
volume kecil dan sediaan parenteral volume besar. Faktor fisiko kimia pembuatan
sediaan parenteral kelarutan, pH, pembawa, cahaya/suhu dan faktor kemasan/
wadah. Persyaratan sediaan parenteral terdiri atas : sesuai antara kandungan bahan
obat yang ada didalam sediaan dengan pernyataan tertulis pada etiket dan tidak
terjadi pengurangan kualitas selama penyimpanan akibat kerusakan obat secara
kimiawi dan sebagainya, penggunaan wadah yang cocok, sehingga tidak hanya
memungkinkan sediaan tetap steril, tersatukan tanpa terjadi reaksi, bebas kuman,
bebas pirogen, isotonis, isohidris dan bebas partikel melayang.
DAFTAR PUSTAKA